preskes peb-obsgyn

41
Presentasi Kasus PREEKLAMPSIA BERAT PADA MULTIGRAVIDA HAMIL ATERM DALAM PERSALINAN KALA I FASE AKTIF Oleh : M. Faiz K. Anwar G99141163 M Rama Anshoorie G99141164 Dwi Budi N. G99141166 Dea Saufika N. G99142056 Arwindya Galih G99142063 Pembimbing : Teguh Prakosa, dr., Sp. OG (K)

Upload: dea-saufika

Post on 07-Dec-2015

276 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

presentasi kasus

TRANSCRIPT

Presentasi Kasus

PREEKLAMPSIA BERAT PADA MULTIGRAVIDA HAMIL ATERM

DALAM PERSALINAN KALA I FASE AKTIF

Oleh :

M. Faiz K. Anwar G99141163

M Rama Anshoorie G99141164

Dwi Budi N. G99141166

Dea Saufika N. G99142056

Arwindya Galih G99142063

Pembimbing :

Teguh Prakosa, dr., Sp. OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

BAB I

PENDAHULUAN

Pre eklampsia merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya

hipertensi dan proteinuria yang timbul karena kehamilan, sedangkan eklampsia

mempunyai gambaran klinik seperti pre eklampsia, biasanya disertai kejang dan

penurunan kesadaran (koma). Sampai sekarang etiologi pre eklampsia masih

belum diketahui. Setelah perdarahan dan infeksi, pre eklampsia dan eklampsia

merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal yang paling tinggi dalam

ilmu kebidanan (POGI, 2005; Rustam Mochtar, 1998).

Hipertensi Dalam kehamilan (HDK) adalah salah satu penyebab

morbiditas dan mortalitas ibu di samping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga

didapatkan angka mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia

pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian

perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser

perdarahan sebagai penyebab kematian maternal utama (Haryono, 2004).

Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat

komplikasi dari pre eklampsia dan eklampsianya seperti: Sindroma HELLP,

solusio plasenta, hipofibrigonemia, hemolisis, perdarahan otak, gagal ginjal,

dekompensasi kordis dengan oedema pulmo dan nekrosis hati. Mortalitas

perinatal pada pre eklampsia dan eklampsia disebabkan asfiksia intra uterin,

prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Asfiksia terjadi karena

adanya gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme arteri spiralis

(Sarwono, 2002).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PRE EKLAMPSIA

1. Definisi

Pre eklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang

didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu (POGI, 2005). Pre

eklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,

edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini

terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi

sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2002).

Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada

kasus hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi

eklampsia. Bentuk serangan kejangnya ada kejang ‘grand mal’ dan

dapat timbul pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan.

Kejang yang timbul lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar

kemungkinannya disebabkan lesi lain yang bukan terdapat pada susunan

saraf pusat (Cunningham, et al., 1995).

Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan

pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan darah

ke otak, hipoksik otak atau edema otak (Rustam Mochtar, 1998).

PEB dapat menjadi impending eklampsia. Impending eklampsia

ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif dari pasien yaitu

jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya nyeri

epigastrik (Turn bull, 1995).

2. Etiologi

Penyebab pre eklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti.

Teori yang dewasa ini dapat dikemukakan sebagai penyebab pre

eklampsia ialah iskemia plasenta (Budiono, 1999).

2

Vasospasme merupakan dasar patofisiologi pre eklampsia dan

eklampsia. Konsep ini yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918)

(Cunningham, et al., 1995).. Namun tetap banyak teori yang mencoba

menerangkan sebab penyakit ini, akan tetapi tidak ada yang dapat

memberi jawaban yang memuaskan.

Sekarang ini tiga hipotesis menempati penyelidikan utama,

hipotesis pertama menghubungkan pre eklampsia dengan faktor

imunologi (ketidakcocokan berlebihan antara ibu dengan anak),

hipotesis kedua menghubungkan sindrom prostalglandin yang

menimbulkan ketidakseimbangan diantara vasodilator PG2 dan

prostasiklin serta rangkaian vasokonstriktor PGF dan tromboksan,

hipotesis ketiga menghubungkan pre eklampsia dengan iskemia

uteroplasenta (Neville, et al., 2001).

Rupanya tidak hanya satu faktor melainkan banyak faktor yang

menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang

ditemukan seringkali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang

akibat (Sarwono, 2002).

3. Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis pre eklampsia.

Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan

menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan

hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel,

kebocoran arteriol disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain

itu Hubel mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan

menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang

selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia

jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan

proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi

oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di

dalam sel. Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak

3

jenuh yang menghasilkan peroksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak

merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase

terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan

timbul keadaan yang disebut stess oksidatif.

Pada pre eklampsia serum anti oksidan kadarnya menurun dan

plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada

wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan

sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat.

Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein.

Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati

termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel

endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan

antara lain: (a) adhesi dan agregasi trombosit, (b) gangguan permeabilitas

lapisan endotel terhadap plasma, (c) terlepasnya enzim lisosom,

tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya trombosit, (d)

produksi prostasiklin terhenti, (e) terganggunya keseimbangan

prostasiklin dan tromboksan, (f) terjadi hipoksia plasenta akibat

konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak.

4

Gambar 1. Patofisiologi pre eklampsia

5

PATOLOGI

Pre eklampsia ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu.

Oleh karena itu, sebagian besar pemeriksaan anatomik-patologik berasal

dari penderita eklampsia yang meninggal. Tidak ada perubahan

histopatologik yang khas pada pre eklampsia dan eklampsia. Perdarahan,

infark, nekrosis dan trombosis pembuluh darah kecil pada penyakit ini

dapat ditemukan dalam berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin

disebabkan oleh vasospasme arteriola. Penimbunan fibrin dalam

pembuluh darah merupakan faktor penting juga dalam patogenesis

kelainan-kelainan tersebut.

Perubahan patologi anatomi

Plasenta: pada pre eklampsia terdapat spasme arteri spiralis desidua

mengakibatkan menurunnya aliran darah ke plasenta. Proses penuaan

plasenta seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh

darah dalam vili karena fibrosis dan konversi mesoderm menjadi jaringan

fibrotik, menjadi lebih cepat pada pre eklampsia.

Ginjal: organ ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada pre

eklampsia terdapat kelainan glomerolus, hiperplasi sel-sel

jukstaglomerular, kelainan pada tubulus henle, dan spasme pembuluh

darah ke glomerolus. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan

proteinuria dan berhubungan dengan retensi garam dan air. Sesudah

persalinan berakhir, sebagian besar perubahan yang digambarkan

menghilang.

Hati: organ ini besarnya normal dengan tempat perdarahan yang tidak

teratur. Tidak ada hubungan antara beratnya penyakit pre eklampsia dan

luasnya perubahan pada hati.

Otak: pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan

anemia pada korteks serebri, pada keadaan lanjut dapat ditemukan

perdarahan.

Retina: kelainan yang ditemukan pada retina ialah spasme pada arteriola

dekat diskus optikus. Terlihat edema pada diskus optikus dan retina.

6

Paru-paru: terdapat tanda edema perubahan karena bronkopneumonia

sebagai akibat aspirasi.

Jantung: pada eklampsia mengalami perubahan degeneratif pada

miokardium. Sering ditemukan degenerasi lemak dan cloudy swelling

serta nekrosis dan perdarahan.

4. Epidemiologi

Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang

mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi,

perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan frekuensi di

lapangan berkisar antara 3-10%.

Pada primigravida frekuensi pre eklampsia lebih tinggi bila

dibandingkan dengan multigravida terutama primigravida muda, DM

tipe I, diabetes gestasional, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops

fetalis, umur lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat pernah eklampsia,

hipertensi kronik, dan penyakit ginjal, merupakan faktor predisposisi

untuk terjadinya pre eklampsia (Sarwono, 2002).

5. Klasifikasi

Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Pre eklampsia ringan

Kriteria diagnostik :

Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi

terlentang; atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan

tekanan diastolik 15 mmHg.

Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan

dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.

Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada

urin kateter atau mid stream

Oedema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria

diagnostik kecuali anasarka.

b. Pre eklampsia berat

7

Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:

1. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110

mmHg atau lebih

2. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam

3. Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam

24 jam.

4. Kenaikan kreatinin serum

5. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan

abdomen

6. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis

7. Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan

8. Terjadi gangguan fungsi hepar

9. Hemolisis mikroangiopatik

10. Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)

11. Sindroma HELLP. (POGI, 2005; Sarwono, 2002; Rustam

Mochtar, 1998)

6. Diagnosis

Diagnosis pre eklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan

proteinuria (POGI, 2005).

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.

Dengan adanya tanda dan gejala pre eklampsia yang disusul oleh

serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.

(Budiono, 1999)

Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah

gejala-gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan

obyektif. Gejala subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan

nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain : hiperreflexia,

eksitasi motorik dan sianosis (M. Dikman Angsar, 1995).

7. Pencegahan

8

Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah

terjadinya pre eklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko

terjadinya pre eklampsia (POGI,2005).

Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam

pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur,

namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih

banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak,

karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan

perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat

penderita tanpa memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang

merupakan kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono,

2002).

8. Diagnosis Banding

- Hipertensi menahun

- Penyakit ginjal

- Epilepsi

9. Penanganan

Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah

timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan

intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi

dengan selamat (Sarwono, 2002).

Pada pre eklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu

pengeluaran trofoblast. Pada pre eklampsia berat, penundaan merupakan

tindakan yang salah. Karena pre eklampsia sendiri bisa membunuh janin

(Cunningham, et al., 1995).

PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan

Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya.

Perawatannya dapat meliputi :

9

a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah

mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Indikasi :

Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini

1). Ibu :

a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :

- Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,

terjadi kenaikan darah yang persisten

- Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,

terjadi kenaikan desakan darah yang persisten

b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia

c). Gangguan fungsi hepar

d). Gangguan fungsi ginjal

e). Dicurigai terjadi solutio plasenta

f). Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan

2). Janin :

a). Umur kehamilan lebih dari 37 minggu

b). Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST

nonreaktif dan profil biofisik abnormal)

c). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat

(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG

d). Timbulnya oligohidramnion

3). Laboratorium :

Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP syndrome

(POGI, 2005).

Pengobatan Medisinal :

1). Segera masuk rumah sakit

2). Tirah baring ke kiri secara intermiten

3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500

cc (60-125 cc/jam)

10

4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan

terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis

lanjutan.

5). Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 160/110

6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah

jantung kongestif, edema anasarka

7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam

(POGI, 2005).

b. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap

dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,

meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi

keselamatan ibu.

Indikasi :

Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda

impending eklamsi dengan keadaan janin baik.

Pengobatan Medisinal :

Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.

Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja

(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).

Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-

kejang dapat diberikan:

i. Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada

bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat

diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas

magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella

positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit

ii. klorpromazin 50 mg IM

iii. diazepam 20 mg IM.

Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat

diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan

11

kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat

oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena.

Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.

Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan

sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita

dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar,

sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan

diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I,

dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi

dengan cunam atau ekstraktor vakum (Budiono, 1999).

10. Prognosis

Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu

antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2

– 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya

pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya

sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena

perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan

aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan

hipoksia intra uterin.

12

BAB III

STATUS PENDERITA

A. ANAMNESIS

Tanggal 27 Juli 2015

1. Identitas Penderita

Nama : Ny. A.O

Umur : 40 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SLTA

Alamat : Joyotakan 02/05 Serengan Surakarta

Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Nama Suami : Tn. B

Pekerjaan : Swasta

HPMT : 20 Oktober 2014

HPL : 27 Juli 2015

UK : 40 minggu

Tanggal Masuk : 27 Juli 2013 jam 06.15

CM : 00-96-84-23

Berat Badan : 75 kg

Tinggi badan : 159 cm

2. Keluhan Utama

Kenceng-kenceng.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Datang seorang G4P3A0, 40 tahun, umur kehamilan 40 minggu,

dengan keluhan kenceng-kenceng. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan

13

janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan, air kawah

belum dirasakan keluar, lendir darah (+).

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Sakit Jantung : disangkal

Riwayat Hipertensi : (+) sejak hamil ketiga 5 tahun lalu

Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

5. Riwayat Fertilitas

Baik

6. Riwayat Obstetri

BaikI. Laki-laki, 15 th, BBL 3300 gr, lahir spontan di bidan

II. Laki-laki, 13 th, BBL 3000 gr, lahir spontan di bidan

III. Laki-laki, 5 th, BBL 3500 gr, lahir spontan VE di RSDM e/c HT

IV. Hamil sekarang

7. Riwayat Ante Natal Care (ANC)

Teratur di bidan.

8. Riwayat Haid

Menarche : 13 tahun

Lama menstruasi : 7 hari

Siklus menstruasi : 28 hari

9. Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali, lamanya 16 tahun dengan suami sekarang.

10. Riwayat KB

KB IUD, lepas 3 tahun lalu

14

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Interna

Tanggal 27 Juli 2015 jam 08.00

Keadaan Umum : sedang, somnolen gizi cukup

Tanda vital :

T : 170/110 mmHg Rr : 20 x/ menit

N : 92 x/ menit S : 36,5 0C

Kepala : Mesocephal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

THT : Tonsil tidak membesar, faring hiperemis (-)

Leher : Gld. tiroid tidak membesar, limfonodi tidak membesar

Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae

hiperpigmentasi (+)

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / sonor

Auskultasi : SD vesikuler (+/+), ST (-/-)

Abd : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada,

Striae gravidarum (+)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar,

lien tidak membesar.

Perkusi : Timpani pada daerah bawah processus

xyphoideus, redup pada daerah uterus

Genital : VT : V/U tenang, dinding vagina DBN, portio lunak,

diameter 4 cm, eff 50%, kepala turun hodge II-III, AK (-)

STLD (+), KK (+), penunjuk belum dapat dinilai

15

Ekstremitas : Oedema Akral dingin

2. Status Obstetri

Inspeksi

Kepala : cloasma gravidarum (+)

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thoraks : glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae

hiperpigmentasi (+)

Abdomen : dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)

Genetalia Eksterna : vulva/uretra tenang, lendir darah (-), peradangan

(-), tumor (-)

Palpasi

Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri,

memanjang, punggung di kanan, presentasi kepala, kepala

masuk panggul > 1/3 bagian, HIS (+) 2-3 x/10’/20’ TFU

32 cm ~ TBJ 3300 gr.

Pemeriksaan Leopold :

I : Teraba tinggi fundus uteri setinggi 2 jari di bawah processus

xyphoideus, teraba bagian besar dan lunak di fundus, kesan bokong

II : Teraba bagian janin punggung di kanan

III : Teraba bagian terbawah janin bulat, keras, kesan kepala

IV : Bagian terendah janin masuk panggul > 1/3 bagian

Ekstremitas : Oedem (-) akral dingin (-)

Auskultasi

DJJ (+) 140-142-142/reg

Pemeriksaan Dalam (VT) :

VT : V/U tenang, dinding vagina DBN, portio lunak, diameter 4 cm, eff

50%, kepala turun hodge II-III, AK (-) STLD (+), KK (+), penunjuk

belum dapat dinilai

16

- -

- -

-

-

-

-

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 27 Juli 2015

Urinalisa

Protein : +3

Lab Darah

Hb : 9,0 g/dl Na : 135 mmol/L

Hct : 31 % K : 3,8 mmol/L

AE : 4,35 106 /μL Cl : 105 mmol/L

AL : 11.0. 103 /μL Albumin : 3,4 mg/d

AT : 372. 103 /μL LDH : 254 ug/dl

Gol darah : O SGOT : 20 ug/dl

GDS : 87 mg/dl SGPT : 15 ug/dl

Ureum : 11 mg/dl PT : 11 detik

Kreatinin : 0,4 mg/dl APTT : 37,6 detik

HbsAg : (-)

USG

Tampak janin tunggal, IU, memanjang, preskep, DJJ (+), dengan BPD=9,59;

AC=34,1; FL=7,38; EFBW=3453 gr, air ketuban kesan cukup, plasenta

insersi di corpus, tak tampak jelas kelainan kongenital mayor

D. KESIMPULAN

Seorang G4P3A0, 40 tahun, hamil aterm UK: 40 minggu T : 170/110

mmHg, riwayat obstetri buruk, riwayat fertilitas baik. Teraba janin tunggal,

intra uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, kepala sudah

masuk panggul, TBJ 3453 gram, DJJ (+) 140-142-142/reg, His (+), portio

lunak membuka 4 cm, eff 50% KK (+) Penunjuk belum dapat dinilai. Kepala

turun hodge II-III AK (-) STLD (+). Dari pemeriksaan laboratorium

didapatkan proteinuri : +3, Hb : 9.0 g/dl , albumin 3,4 g/dl

17

E. DIAGNOSIS

PEB pada multigravida hamil aterm dalam persalinan kala I fase aktif

F. PROGNOSIS

Dubia

G. TERAPI

- Protab PEB

• O2 5 liter/menit

• Infus RL 20 tpm

• MgSO4 40% injeksi 8 gr IM (4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri)

dilanjutkan 4 gr / 6 jam jika syarat terpenuhi

• Nifedipin tab 3x10 mg sub lingual, jika tensi ≥ 160/110

• Pasang DC balance cairan

- Observasi 10 awasi tanda impending eklamsia

- Lanjut persalinan per vaginam diperingan dengan VE

H. FOLLOW UP

Tanggal 27 Juli 2015 pukul 09.35

G4P3A0, 38tahun, UK 40 minggu

Keluhan : pasien ingin mengejan

KU : Baik, compos mentis

VS : TD : 160/110 mmHg RR : 20x/menit

HR: 90x/menit T : 36,5o C

Mata : CA (-/-), SI (-/-)

Thorax : Cardio pulmo dalam batas normal

Abdomen :Supel, nyeri tekan(-), teraba janin tunggal IU,

memanjang, puka, preskep, kepala masuk panggul > 1/3

bagian, his (+) 4x/10’/50’’, DJJ (+) 148/150/145 reguler,

TFU 32 cm = 3300 gram

18

Genital : V/U tenang, dinding vagina dbn, porsio tidak teraba, Ø

lengkap, kepala turun di Hodge III, AK (+) jernih, STLD

(+)

Diagnosis : Kala II PEB pada multigravida hamil aterm

Plan : Pimpin persalinan dengan persiapan kala II VE

Konsul TS anak

Tanggal 27 Juli 2015 pukul 09.55

Lahir bayi secara VE, perempuan, 3000 gram, AS: 7-8-9

Lahir plasenta utuh, bentuk cakram, ukuran 20x20x2 cm

Robekan porsio (+) repair porsio

Waktu:

Kala I : 7 jam

Kala II : 15 menit

Kala III : 15 menit

Total : 7 jam 30 menit

Perdarahan:

Kala I : 25 cc

Kala II : 100 cc

Kala III : 50 cc

Total : 175 cc

Tanggal 27 Juli 2015 pukul 12.00 (2 jam post partum)

Keluhan : pendarahan jalan lahir (-)

KU : Baik, compos mentis

VS : TD : 120/80 mmHg RR : 20x/menit

HR: 98x/menit T : 36,5o C

Mata : CA (+/+), SI (-/-)

Thorax : Cardio pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jbp, kontraksi (+)

19

Genital : V/U tenang, dinding vagina dbn, tak tampak hematom

vulva, tak tampak laserasi, darah (-), lokia (+)

Diagnosis : Post VE a/i PEB pada multipara h. aterm + anemia (7,8)

Plan : Ceftriaxone inj 2gr/24 jam

Metronidazol inj 500mg/8jam IV drip

Perbaikan KU (transfusi sampai dengan Hb > 10 mg/dL)

Protap PEB: O2 3 lpm

RL 12 tpm

Inj MgSO4 20 % 1gr/jam/24 jam

Nifedipine 3x10mg jika TD >160/110mmHg

Awasi KU/VS/Balans cairan

Tanggal 28 Juli 2015 pukul 17.30

Keluhan : hasil lab jadi, Hb 6,4 gr/dl

KU : Baik, compos mentis

VS : TD : 130/90 mmHg RR : 20x/menit

HR: 90x/menit T : 36,5o C

Mata : CA (+/+), SI (-/-)

Thorax : Cardio pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, nyeri tekan(-), TFU 2 jbp, kontraksi (+)

Genital : V/U tenang, dinding vagina dbn, tak tampak hematom

vulva, tak tampak laserasi, darah (-), lokia (+)

Diagnosis : Post VE a/i PEB pada multipara h. aterm + anemia (6,4)

Plan : Ceftriaxone inj 2gr/24 jam

Metronidazol inj 500mg/8jam IV drip

Perbaikan KU (transfusi sampai dengan Hb > 10 mg/dL)

Protap PEB: O2 3 lpm

RL 12 tpm

Inj MgSO4 20 % 1gr/jam/24 jam

Awasi KU/VS/Balans cairan

Transfusi PRC 3 kolf

20

Tanggal 28 Juli 2015 pukul 07.00

Keluhan : -

KU : Baik, compos mentis

VS : TD : 130/90 mmHg RR : 20x/menit

HR: 90x/menit T : 36,5o C

Mata : CA (+/+), SI (-/-)

Thorax : Cardio pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, nyeri tekan(-), TFU 2 jbp, kontraksi (+)

Genital : V/U tenang, dinding vagina dbn, tak tampak hematom

vulva, tak tampak laserasi, darah (-), lokia (+)

Diagnosis : Post VE a/i PEB pada multipara h. aterm + anemia (7,8)

+ leukositosis (27,4)

Plan : Ceftriaxone inj 2gr/24 jam

Metronidazol inj 500mg/8jam IV drip

Perbaikan KU (transfusi sampai dengan Hb > 10 mg/dL)

Protap PEB: O2 3 lpm

RL 12 tpm

Inj MgSO4 20 % 1gr/jam/24 jam

Awasi KU/VS/Balans cairan

Cek DR3 post transfusi

Tanggal 29 Juli 2015 pukul 06.00

Keluhan : -

KU : Baik, compos mentis

VS : TD : 140/90 mmHg RR : 20x/menit

HR: 85x/menit T : 36,6o C

Mata : CA (-/-), SI (-/-)

Thorax : Cardio pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, nyeri tekan(-), TFU 4 jbp

Genital : Darah (-), lokia (+), discharge (-)

Diagnosis : Post VE a/i PEB pada multipara h. aterm + anemia (9,9)

21

Plan : Usul ganti oral:

Cefadroxyl 2x1

Asam mefenamat 3x1

Vit. C 2x1

Furosemid 2x1

Usul TKTP

Transfusi 2 kolf -> cek DR3 post transfusi

Diet TKTP

Mobilisasi duduk

Tanggal 30 Juli 2015 pukul 06.00

Keluhan : -

KU : Baik, compos mentis

VS : TD : 130/90 mmHg RR : 20x/menit

HR: 85x/menit T : 36,6o C

BC : 194

Mata : CA (-/-), SI (-/-)

Thorax : Cardio pulmo dalam batas normal

Abdomen : Supel, nyeri tekan(-), TFU 4 jbp

Genital : Darah (-), lokia (+), discharge (-)

Diagnosis : Post VE a/i PEB pada multipara h. aterm + anemia (9,9)

Plan : Cefadroxyl 2x1

Asam mefenamat 3x1

Vit C 2x1

Diet TKTP

Mobilisasi jalan, AFF DC dan Infus

Inj. Furosemid 10mg/ 12jam -> stop

Bila bisa BAK spontan -> BLPL -> kontrol poli 3 hari lagi

22

BAB IV

ANALISIS KASUS

A. ANAMNESIS

Seorang G4P3A0, 40 tahun, usia kehamilan 40 minggu datang ke IGD

rujukan dari BPM dengan keterangan G4P3A0, UK 40 minggu dengan tekanan

darah 170/110 mmHg. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin masih

dirasakan, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan, air kawah belum

dirasakan keluar. Lendir darah sudah dirasakan keluar. Tidak didapatkan

keluhan nyeri kepala yang terpusat di bagian dahi, pandangan kabur, mual

muntah, maupun nyeri pada ulu hati. BAK dan BAB tidak ada keluhan.

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merukan rujukan dari bidan

dengan keterangan hamil aterm dengan tekanan darah 170/110mmHg ,

dengan tekanan darah yang tinggi merupakan gejala yang perlu diwaspadai

kearah preeklamsi. Untuk menyingkirkan adanya tanda- tanda eklamsi, pasien

tidak ada kejang selama tekanan darah tinggi tersebut, pasien juga tidak ada

tanda tanda impending eklamsi seperti nyeri kepala yang terpusat didahi,

pandangan kabur, mual, muntah, maupun nyeri ulu hati. Pasien mengaku

mempunyai riwayat hipertensi saat kehamilan sebelumnya. Hamil ini

merupakan hamil keempat. Hansen (1986) meninjau beberapa penelitian dan

melaporkan peningkatan insiden preeklampsia sebesar 2-3 kali lipat pada

pasien hamil yang berusia di atas 40 tahun bila dibandingkan dengan yang

berusia 25 – 29 tahun. Dari anamnesis juga ditemukan bahwa pasien

memunyai riwayat hipertensi sebelumnya (sejak hamil ketiga). Budiono

(1999) menyebutkan bahwa insidensi terjadinya pre eklamsi akan meningkat

pada pasien dengan riwayat hipertensi kronis hingga 10 kali lipat.

B. PEMERIKSAAN FISIK DAN LABORATORIUM

Keadaan umum ibu baik, gizi kesan berlebih dengan berat badan 75 kg

dan tinggi badan 159 cm kesan gizi lebih dengan IMT 29,76. Status gizmi

kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga

23

menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada

dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seseorang

makin banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti

makin berat pula fungsi pemompaan jantung. Sehingga dapat meningkatkan

risiko terjadinya preeklampsia. Dikatakan preeklampsia berat bila terdapat

dua atau lebih gejala dan tanda dibawah ini:

1) Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik

≥110 mmHg

2) Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan

kuantitatif

3) Oliguria (urine ≤ 400 mL/24jam)

4) Kenaikan kreatinin serum

5) Keluhan serebral dan gangguan penglihatan: perubahan kesadaran,

nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.

6) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium,

dapat disebabkan teregangnya kapsula Glisone. Nyeri dapat sebagai

gejala awal ruptur hepar. Nyeri epigastrium sering disertai dengan

kenaikan kadar serum hepatik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yang tinggi, ini

merupakan penunjang diagnosis untuk preeklamsia berat, sedangkan tanda-

tanda impending eklampsi dan HELLP syndrome tidak didapatkan.

C. PENATALAKSANAAN

Prinsip Penatalaksanaan kasus dengan diagnosis PEB pada

multigravida hamil aterm dalam persalinan adalah lanjutkan persalinan per

vaginam dengan diperingan dengan vakum ekstraksi. Sebelumnya diberikan

protap PEB segera saat masuk Rumah sakit :

1) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten

2) Infus ringer laktat atau ringer dextrose

3) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang

4) Pemberian antihipertensi, diberikan bila tekanan darah sistolik > 160

24

mmHg, diastolik >110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan :

nifedipin 10 mg

5) Pemberian diuretik bila ada indikasi edema, gagal jantung kongestif,

dan edema paru.

6) Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang

berlebihan.

7) Keseimbangan cairan. Jangan sampai terjadi overload cairan.

Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria.

Sebaiknya pengeluaran urin dinilai setiap jam. Tujuannya untuk

memelihara output urin 30 ml/jam, bila kurang dari 100 cc/4 jam

maka input cairan juga dikurangi.

8) Evaluasi keadaan organ vital dengan melakukan pemeriksaan EKG,

melengkapi laboratorium untuk mengetahui fungsi hemopoetik,

ginjal, hepar seperti darah rutin, studi koagulasi, elektrolit, asam

urat, fungsi hati, fungsi ginjal dan urinalisis. Pemeriksaan serial

sebaiknya dilakukan untuk menilai progresifitas penyakit.

9) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah

dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.

10) Observasi tanda-tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap

jam.

25

DAFTAR PUSTAKA

Abdul BS (2003). Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. Jakarta: FKUI.

Abdul BS, George A, Gulardi HW, Djoko W (2000). Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anonim (1995). Protokol penanganan kasus obstetri dan ginekologi. Surakarta: RS dr. Moewardi.

Budiono Wibowo (1999). Pre eklampsia dan eklampsia dalam ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark (1997). William’s Obstetrics 20th Prentice-Hall International,Inc.

Hariadi R (2004). Ilmu kedokteran fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

Haryono Roeshadi. (2004). Sindroma HELLP dalam ilmu kedokteran maternal. Surakarta: Himpunan Kedokteran Fetomaternal.

Hidayat W (1998). Pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi, RSUP dr. Hasan Sadikin. Bandung: SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran RSUP dr. Hasan Sadikin.

Kelompok Kerja Penyusunan “Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia” (2005). Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

Loekmono H (2003). Pre eklampsia. UNS: Catatan kulih Obgyn.

Dikman A (1995). Kuliah dasar hipertensi dalam kehamilan (EPH-Gestosis). Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.

Neville, Hacker J, George Moore (2001). Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates.

Rustam Mochtar (1998). Sinopsis Obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. Jakarta: EGC.

Agung R (1995). Tinjauan Kepustakaan : Sindroma HELLP. Surakarta: Fakultas Kedokteran UNAIR.

26

Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro (1999). Ilmu kandungan. Jakarta: FK UI.

Sastrawinata S (2003). Obstetri patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

27