portofolio kasus psikiatri

22
PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS MEDIK “GANGGUAN SOMATISASI” Oleh: dr. Rizal Kurniawan Pembimbing: dr. P K Dewi RS PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG 1

Upload: rizal

Post on 01-Oct-2015

79 views

Category:

Documents


27 download

DESCRIPTION

Gangguan Somatisasi

TRANSCRIPT

PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS MEDIK

GANGGUAN SOMATISASI

Oleh:

dr. Rizal KurniawanPembimbing:

dr. P K DewiRS PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

(Periode 16 April 2014 s/d 15 April 2015)

PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS JIWANama Peserta dr. Rizal Kurniawan

Nama WahanaRS PKU Muhammadiyah Temanggung

Topik Gangguan Somatisasi

Tanggal (kasus) 12 Maret 2015

Nama Pasien Ny. SNo. RM 0164384

Tanggal Presentasi Maret 2015Pendamping

Tempat Presentasi Aula RS PKU Muhammadiyah Temanggung

Objektif Presentasi

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

DeskripsiSeorang wanita berusia 46 tahun datang dengan keluhan badan kaku, mulut kaku dan sulit berbicara, nyeri ulu hati dan sesak.

TujuanMenegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Gangguan Somatisasi

Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara Membahas Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail Pos

Data PasienNy. SNo. Registrasi: 0164384

Nama KlinikTelp.Terdaftar sejak: 2014

Data Utama untuk Bahan Diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Gangguan Somatisasi ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu pasien mengeluh badan kaku, mulut kaku dan sulit berbicara, nyeri ulu hati dan sesak. Pasien menyangkal memiliki masalah yang dipendam. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak kaku dan tegang, GCS E3M6V5, dan nyeri epigastrium (+). Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hipertrigliserida (306 mg/dl) dan pemeriksaan EKG normo sinus rythm.

2. Riwayat Pengobatan: pasien pernah menderita keluhan serupa dan terkadang kambuh, pasien sering memeriksakan dirinya ke RS PKU Muhammadiyah.

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat sakit seperti ini (+) sejak setahun terakhir. Riwayat sakit mag (+). Riwayat sakit jantung disangkal.

Riwayat sakit darah tinggi disangkal. Riwayat sakit gula disangkal.

4. Riwayat Keluarga: Riwayat anggota keluarga sakit serupa disangkal. Riwayat sakit darah tinggi di anggota keluarga disangkal. Riwayat sakit gula di anggota keluarga disangkal.

5. Riwayat Pekerjaan: pasien bekerja sebagai pedagang. Suami bekerja sebagai PNS, Pengobatan pasien dibiayai oleh BPJS mandiri. Kesan : sosial ekonomi cukup.

6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anak di rumah permanen.

7. Riwayat Imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus): lengkap.

8. Lain-lain : -

Daftar Pustaka: 1. Jr, G Richard S., M.D. (1990). Somatization Disorder in Medical Setting. Maryland : Diane Publishing2. Nolen, Susan-Hoeksema. (2007). Abnormal Psychology Fourth Edition. New York : McGraw-Hill Education

Hasil Pembelajaran:

1. Diagnosis Gangguan Somatisasi.

2. Klasifikasi Gangguan Somatoform.

3. Tata laksana pasien Gangguan Somatisasi.

4. Edukasi pada keluarga tentang penyakit pasien dan pengobatan pasien.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :

Pasien mengeluh kurang lebih 4 jam SMRS, saat sedang makan tiba-tiba badan dan tangan hingga jari kaku-kaku, mulut kaku dan sulit berbicara, nyeri ulu hati dan sulit bernapas. Pasien masih mau makan minum, perawatan diri baik, hubungan dengan orang sekitar baik. Pasien bekerja sebagai pedagang di rumahnya. Demam disangkal. Kejang disangkal. Sulit tidur disangkal. Keringat dingin disangkal. Mual disangkal. Muntah disangkal. BAK jumlah dan warna biasa. BAB warna dan konsistensi biasa. Pasien terkadang merasa sakit seperti ini kurang lebih setahun terakhir dan sering memeriksakan dirinya RS PKU Muhammadiyah Temanggung.

Riwayat penyakit keluarga: riwayat sakit serupa dikeluarga disangkal. Riwayat kehamilan ibu: selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, kontrol secara teratur, hamil cukup bulan. Riwayat imunisasi: lengkap

Kondisi lingkungan sosial dan fisik: Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anak di rumah permanen.

2. Objektif:

a. Vital sign KU: cukup Kesadaran: composmentis TD: 119/66 mmHg Frekuensi nadi: 89 x/menit

Frekuensi nafas: 20 x /menit

Suhu: 36,00 C Berat badan: 58 kg Tinggi badan: 150 cmb. Pemeriksaan Fisik Psikiatri ( Bangsal Shofa, 13 Maret 2015 11.00)1. Penampilan: seorang wanita usia 46 tahun, tampak sesuai dengan umurnya. Kulit sawo matang. Rambut lurus berombak. Berperawakan BB dan TB rata-rata. Pada saat pemeriksaan pasien tampak kebersihan cukup.2. Perilaku dan aktivitas psikomotor :

Tingkah laku : normoaktif3. Sikap tehadap pemeriksa: kooperatif

Kontak psikis : ada, wajar dan dapat dipertahankan.

4. Mood dan Afek

a. Mood : euthymieb. Afek : sesuai

5. Gangguan Persepsi : halusinasi (-), ilusi (-)

6. Pikiran

a. Bentuk pikir: realistisb. Arus pikir : lancarc. Isi pikiran : waham (-)

7. Sensorium dan Kognitif

a. Kesadaran

: jernih

b. OrientasiTempat

: baik Waktu

: baik

Personal

: baik

Situasional

: baik

c. Daya ingat

Segera

: baik

Jangka pendek

: baik

Jangka sedang

: baik

Jangka panjang

: baik

d. Konsentrasi

: baike. Perhatian

: normovigilitas

f. Kemampuan baca dan tulis

: baik

g. Kemampuan visuospasial

: baik

h. Pikiran abstrak

: baik

8. Pengendalian Impuls

: cukup

9. Tilikan

Tilikan emosional sesungguhnya: kesadaran emosional tentang motif dan perasaan didalam diri pasien dan orang yang dapat menyebabkan perubahan dalam perilaku.c. Pemeriksaan Sistemik

Kulit:Teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis.

Kepala:Bentuk normal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut. Mata:Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya +/+ normal. THT: Faring hiperemis (-), Tonsil T2-2 hiperemis (-/-). Mulut:Mukosa mulut dan bibir basah.

Leher:Tidak ada kelainan. KGB:

Tidak teraba pembesaran KGB pada leher, axilla, dan inguinal. Thoraks:Cor : BJ I/ II normal, regular, bising (-), gallop (-)Pulmo : SD vesikuler (+/+), ST : Rhonki basah halus (-/-) Abdomen:

Inspeksi : Abdomen datar.

Auskultasi : Bising usus (+) normal. Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-). Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-) Punggung: Dalam batas normal, tidak tampak kelainan.. Ekstremitas: Pitting edema pretibial -/-.Akral dingin -/-d. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan darah lengkap: RBC 4,44x106/mm3 (3,50-5,50x106 mm3)

WBC 8,5x103/mm3 (3,5-10,0x103/mm3)

HGB 13,0 gr/dl (11,5-16,5 gr/dl)

MCV 69,0 fl (75,0-100,0 fl) L MCH 29,4 pq (25,0-35,0 pq)

MCHC 41,9 gr/dl (31,0-38,0 gr/dl)

HCT 35,5% (35-55,0%)

PLT 358x103/mm3 (100-400x103/mm3)

Glucose 93 mg/dl (70-108 mg/dl) SGOT 21 U/L (6-31 U/L)

SGPT 14 U/L (4-31 U/L) Natrium 140,1 mmol/L (135-155 mmol/L) Kalium 3,97 mmol/L (3,6-5,5 mmol/L)

Chloride 106,4 mmol/L (98-110 mmol/L)

3. Assesment (penalaran klinis):

Penegakan diagnosis gangguan somatisasi dapat dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis ditemukan gejala klinis adalah keluhan kaku-kaku nyeri di beberapa tempat hampir seluruh tubuh terutama ekstremitas dan mulut, nyeri ulu hati, dan sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan fisik medis hanya ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium selebihnya tidak menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan fisik psikiatri tidak menunjukkan adanya kelainan (hari perawatan 1). Pemeriksaan penunjang berupa darah rutin menunjukkan hasil yang normal.Terapi yang diberikan pada pasien yaitu terapi farmakologi, terapi keluarga, terapi suportif, dan terapi okupasi. Terapi farmakologi yang diberikan berupa obat anti ansietas berupa alprazolam 0,5 mg 1x sehari tiap malam. Pasien juga diberikan obat H2 bloker untuk gastritisnya yaitu omeprazole 1x 20 mg.

Terapi keluarga diberikan dengan mengedukasi keluarga pasien tentang penyakit pasien dan meminta keluarga pasien untuk memberi dukungan, perhatian dan semangat kepada pasien. Terapi okupasi diberikan setelah pasien dapat mengendalikan dan menghilangkan semua gejala penyakit tersebut. Pasien dapat diberikan ketrampilan maupun dipersilahkan kembali bekerja di tempanya.

4. Plan:

Diagnosis klinis: Gangguan Somatisasi Pengobatan:

a. Promotif: Diberikan penyuluhan mengenai Gangguan Somatisasi mulai dari pengertian, penyebab, gejala penyakit, dan pengobatan.b. Preventif:

Pada anggota keluarga yang menunjukkan gejala yang sama diharapkan dapat dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat Keluarga diedukasi untuk memberikan dorongan dan semangat kepada pasien.c. Kuratif:

O2 NK 3L/m

Inf. RL 20 tpm

Inj Ranitidin 2x1amp

Neciblok (Sukralfat) syr. 3xC1

Zypraz (Alprazolam) 0,25mg 2x1tab

Neurobion (Vit. B1 B6 B12) 2x1tab EdukasiKonsultasi:

Perlu dilakukan konsultasi kepada psikiater apabila terdapat keadaan-keadaan seperti di bawah ini:

1. Pasien mengalami perubahan perilaku.2. Ditemukan adanya tanda-tanda bentuk pikir non realistik.

3. Pasien melakukan perbuatan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

GANGGUAN SOMATOFORM

A. GANGGUAN SOMATOFORM

Somatoform diambil dari bahasa Yunani soma, yang artinya tubuh. Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh simtom fisik, yang tidak dapat dijelaskan oleh abnormalitas organik. Biasanya simtom fisik itu merefleksikan faktor atau konflik psikologis, misalnya kecemasan. Gangguan somatoform merupakan gejala-gejala fisik tanpa penjelasan fisiologis yang jelas, tidak berada di bawah kendali volunteer, diasumsikan berhubungan dengan faktor-faktor psikologis (berkaitan dengan gangguan emosi).B. JENIS-JENIS GANGGUAN SOMATOFORM

1. PAIN DISORDER (GANGGUAN NYERI)

Gangguan nyeri yang berlebihan

Disebabkan oleh tekanan atau hendaya (impairment) nyata

Tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan patologi organis

Kadangkala atau mungkin berhubungan dengan stress, membolehkan individu untuk menghindar, menjaga perhatian atau simpati orang lain.

Diagnosis yang tepat sulit karena pengalaman nyeri yang subjektif. Sehingga tidak mudah untuk memutuskan kapan suatu nyeri merupakan nyeri somatoform atau nyeri sungguhan.

2. BODY DISMORPHIC DISORDER

Orang yang mengalami gangguan ini terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan untuk mencoba memperbaiki sesuatu yang dianggap salah. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan ekstrem, seperti menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Seseorang terpreokupasi (terpaku) pada defek/kerusakan yang dibayangkan atau berlebihan dalam hal penampilan

Sangat menekan dan sering mengarah untuk tindakan operasi plastik

Prevalensi lebih banyak pada perempuan

Sulit menentukan kapan persepsi suatu ketidakpuasan menjadi suatu gangguan

Dipengaruhi secara dominan oleh faktor sosial budaya

3. HYPOCONDRIASIS DISORDER (GANGGUAN HIPOKONDRIASIS)

Ciri utama dari hipokondriasis adalah ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius, seperti jantung atau kanker. Ketakutan tetap ada walaupun sudah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar.

Gangguan ini muncul pada usia berapapun, namun paling sering pada usia 20 dan 30 tahun. Secara umum, gangguan ini dianggap paling biasa terjadi di antara orang lanjut usia.

Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius

Bereaksi berlebihan pada sensasi fisik dan abnormalitas minor

Mengembangkan keyakinan yang salah (kebanyakan melakukan doctor shopping untuk membuktikan keyakinannya)

Menurut DSM IV Ciri Diagnostik Hipokondriasis :

1. Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atau tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya.

2. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis.

3. Keterpakuan tidak pada intensitas khayalan (orang itu mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran akan penampilan.

4. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan.

5. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atau lebih.

6. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lainnya.

4. CONVERSION DISORDER (GANGGUAN KONVERSI)

Ciri dari gangguan ini adalah adanya perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik. Simtom ini tidak dibuat secara sengaja, namun biasanya muncul dalam kondisi yang penuh dengan tekanan. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan dari psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran/konversi, dari energi seksual/agresif ke simtom fisik.

Merupakan gejala klasik menunjukkan adanya gangguan yang berkaitan dengan kerusakan neurologis, padahal secara fisiologis tidak ada masalah.

Gangguan diadopsi secara involunter atau tak sadar

Pada sepertiga kasus ditemukan adanya la belle indifference yaitu ketidakpedulian relative terhadap gejala.

Kelumpuhan parsial atau total pada tangan atau kaki, gangguan seizures dan koordinasi, sensasi gatal, mati rasa, dll.

Pada fungsi penglihatan dapat terjadi buta total, tunnel vision (lapangan penglihatan terbatas)

Pada fungsi suara dapat terjadi aphonia (kehilangan suara hanya berbisik)

Pada fungsi penciuman dapat terjadi anosmia (kehilangan sense penciuman)

False pregnancy, penderita merasa dirinya hamil padahal secara organis tidak terjadi apa-apa

Muncul dalam situasi stress, berhubungan dengan psikologis, membolehkan individu untuk menghindar dan mendapat perhatian orang lain.

Menurut DSM IV Ciri Diagnostik Gangguan Konversi :

1. Paling tidak terdapat satu simtom/defisit yang melibatkan fungsi motorik/sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.

2. Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset/kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial atau situasi konflik.

3. Orang tersebut tidak sengaja menciptakan simtom atau berpura-pura memiliki dengan tujuan tertentu.

4. Simtom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan pengujian yang tepat.

5. Simtom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis.

Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah fungsi seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain.Perlu dibedakan dengan Malingering dan Factitious Disorder Pada malingering, individu berpura-pura menampilkan ketidakmampuan karena niat untuk menghindari tanggung jawab (secara sadar). Dengan demikian dilakukan dengan terarah dan hati-hati agar tidak ketahuan berbohong.

Pada factitious disorder, gejala mirip gangguan konversi namun bersifat volunteer (secara sadar), motivasinya cenderung tidak jelas, individu memiliki kebutuhan akan peran sebagai pasien tetapi bukan untuk tujuan kriminil seperti pada malingering.

5. SOMATIZATION DISORDER (GANGGUAN SOMATISASI / BRIQUETS SYNDROME)

Gangguan somatisasi memiliki ciri keluhan somatik yang beragam dan berulang. Keluhan yang muncul ini biasanya mencakup sistem organ yang berbeda. Keluhan ini tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik, karena biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis, seperti kecemasan dan gangguan depresi. Keluhan berulang-ulang secara histrionic

Bersifat multiple somatic Tidak ada penyebab fisik yang jelas

Sering mengunjungi dokter, menggunakan obat-obatan, perawatan bahkan pembedahan.

Keluhan dapat berupa sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, kelelahan, nyeri dada, masalah seksual, masalah pencernaan.

Prevalensi pada perempuan lebih besar daripada laki-laki.

Gangguan ditimbulkan karena intensitas stressor yang besar.

C. Etiologi dan Terapi

1. Psikoanalisa: gangguan muncul karena impuls-impuls yang terepresi dan dikonversikan ke gejala fisik. Menurut teori ini, penyebab hysteria atau gangguan konversi disebabkan oleh kondisi psikologis. Ego berfungsi mengendalikan dorongan seksual atau agresi yang tidak dapat diterima secara sosial, dalam bentuk represi. Kendali ini akan menghambat timbulnya kecemasan jika individu sadar akan munculnya dorongan tersebut. Namun, energi sisa yang ada dalam dorongan tersebut dikonversikan ke dalam simtom fisik, seperti kebutaan atau kelumpuhan.

Terapi: membantu mengangkat dorongan-dorongan yang terepresi. Penanganan dengan pendekatan ini dilakukan dengan cara mengungkap dan mengangkat konflik tidak sadar ke dalam kesadaran. Jika konflik ini diungkap dan dilalui, maka simtom tidak akan muncul sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah.

2. Behaviorisme: adanya pengangkatan gejala-gejala fisik sebagai cara untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Misalnya, orang dengan gangguan konversi dapat dibebaskan dari tugas/tanggung jawab dalam suatu pekerjaan. Lingkungan sekitar pun mendukung jika orang tersebut tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Kemudian, ketika orang ini tidak mengalami sakit, namun ingin terbebas dari tanggung jawab, maka ia akan memunculkan simtom tersebut.

Terapi: mengurangi kecemasan dan mendorong perilaku yang membolehkan pelepasan gejala. Selain itu, penanganan dengan pendekatan ini menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder yang dihubungan dengan keluhan fisik. Misalnya, mengabaikan keluhan orang yang mengalami gangguan tersebut, mengajarkan kepada orang yang mengalami gangguan itu untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawabnya, mengajarkan orang yang mengalami gangguan untuk mengatasi kecemasan dan stres dengan cara yang lebih adaptif.

3. Kognitif: Penjelasan kognitif berfokus pada peran dari pikiran yang terdistorsi. Orang yang mengalami hipokondriasis memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan keluhan fisik yang ringan. Mereka salah menginterpretasi simtom ringan sebagai tanda sakit yang serius, yang akhirnya justru menimbulkan kecemasan. Kecemasan itu sendiri akhirnya menimbulkan simtom fisik yang tidak menyenangkan. Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak putus. Demikian juga halnya dengan orang yang mengalami BDD memiliki pikiran yang salah akan konsep dirinya.

Terapi: Penanganan dengan pendekatan ini dilakukan dengan restrukturisasi kognitif, yaitu dengan mengubah keyakinan penderita yang salah akan adanya suatu penyakit dalam tubuh dan keyakinan yang salah mengenai konsep diri.

2