politik hukum nasional -...

339

Click here to load reader

Upload: lenhu

Post on 06-Mar-2019

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

POLITIK HUKUM NASIONAL

TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Ekonomi Islam

Oleh: DJAWAHIR HEJAZZIEY NIM : 04.3.00.1.08.01.0037

Promotor: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM.

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

Penguji: Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H/2010 M

Page 2: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Oleh

DJAWAHIR HEJAZZIEY NIM : 04.3.00.1.08.01.0037

Promotor:

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM.

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M/1930 H

Page 3: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

السالم عليكم ورحمة اهللا وبرآاته I

KESIMPULAN BESAR DESERTASI

Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang merupakan korelasi yang

bersifat sinergiperpaduan antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif

populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik, ekonomi,

sosial dan budaya.

II

Page 4: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DENGAN KOMUNITAS AKADEMIK LAIN

Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan dan

kepentingan mengenai gerakan Politik Hukum Nasional Perbankan Syariah

sebagai hukum positif dalam sebuah sistem kenegaraan di Indonesia:

1. Gerakan “Islam Politik” mengutarakan bahwa menegakkan syari’at Islam

harus dilakukan melalui jalan kekuasaan atau revolusi sebagai alat.

sedangkan di bidang ekonomi, gerakan fundamentalis menempuh strategi

gradualis dan demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang

ekonomi: A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz,

Mohammad Syafi’i Antonio, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, Suroso Jajuli,

Zaenal Baharnoer, Iwan Poncowinoto atau Riawan Amin.

Page 5: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

2. Gerakan “Islam Kultural” mengutarakan bahwa dalam menegakkan syariat

Islam memilih jalur budaya dan kemasyarakatan; bertujuan untuk

menciptakan masyarakat Islam (creating Islamic Society), peradaban Islam

atau masyarakat madani, paling tidak ikut serta dalam civil society.

Pendapat ini dianut oleh organisasi Islam mainstream, yaitu NU,

Muhammadiyah dan ICMI

3. Gerakan “Islam Liberal” atau sekulariasi mempropagndakan tidak perlu

membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Pendapat ini dianut

oleh: Nurkholis Majid, Abdullah Ahmad an-Na’im, Khalid Muhammad Khalid,

Page 6: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

III POSISI PENULIS

Desertasi ini mengafirmasikan pendapat pertama, bahwa peneggakan syariat

Islam harus menempuh jalan mencapai kekuasaan atau revolusi sebagai alat

atau yang dikenal dalam istilah “Islam struktural”.

IV SUMBER YANG DIPAKAI DAN CARA MEMBACANYA

Page 7: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

1. Sumber data primer pada penelitian ini adalah Politik dan hukum perbankan syaiah, didukung oleh buku-buku, jurnal maupun tulisan populer baik diakses oleh media cetak ataupun elektronik, dengan telaah regulasi dan Undang-undang a. UU RI No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; b. UU RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; c. UU RI No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia; d. PP. No. 72 Tahun 1992 (Pasal 6) Merupakan Salah Satu Pelaksanaan

Peraturan Dari UU No.7 Tahun 1992; e. UU RI No. 14 Tahun 1967 Pokok Perbankan f. UU RI No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

2. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

3. Landasan teori desertasi ini: menggunakan analisis yang dikemukakan oleh:

Page 8: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

a. Van den Berg dalam sebuah teori receptio in complexu yang

menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi

pemeluk-pemeluknya, jika penduduk masyarakat beragama Islam,

maka hukum yang berlaku harus hukum Islam. b. Eugen Ehrlich mengutarakan bahwa untuk mengadakan pembaruan

hukum melalui perundang-undangan harus memperhatikan kenyataan

yang hidup dalam masyarakat “living dan just law” yang merupakan

cerminan nilai-nilai hidup masyarakat atau “inner order”

Page 9: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

c. Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru

yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat

diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi

dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum

Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat.

Sekian terima kasih

wassalaam

Page 10: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam

Bidang Ilmu Ekonomi Islam

Oleh: DJAWAHIR HEJAZZIEY

NIM : 04.3.00.1.08.01.0037

Promotor:

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM.

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H/2010 M

Page 11: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

LEMBAR PERSETUJUAN

Desertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh sdr. DJAWAHIR HEJAZZIEY dengan

NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 dapat disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Desertasi

Pendahuluan

Demikian untuk dimaklumi,

Pembimbing I

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

(Tanggal, --------------------2010)

Page 12: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

LEMBAR PERSETUJUAN

Desertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh sdr. DJAWAHIR HEJAZZIEY dengan

NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 dapat disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Desertasi

Pendahuluan

Demikian untuk dimaklumi,

Pembimbing II

Prof. DR. H. Abdul Gani Abdullah, SH.

(Tanggal, --------------------2010)

Page 13: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

TANDA BUKTI PENYERAHAN DESERTASI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui untuk diserahkan Disertasi final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, 15 Oktober 2010

NAMA JABATAN TTD/PENERIMA Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA

Ketua Sidang/Penguji

...................................................

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM

Pembimbing/Penguji ...................................................

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

Pembimbing /Penguji ...................................................

Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM

Penguji ...................................................

Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah Penguji ...................................................

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA

Penguji ...................................................

Perpustakaan UIN ...................................................

Perpustakan Pascasarjana ...................................................

...................................................

Page 14: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM

Page 15: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010

Pembimbing /Penguji

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

Page 16: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010

Penguji

Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM

Page 17: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010

Penguji

Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

Page 18: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010

Penguji

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA PENGESAHAN

Page 19: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam

Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27

Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010

TIM PENGUJI Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA (Ketua Sidang/Penguji)

...................................................

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM (Pembimbing/Penguji)

...................................................

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH (Pembimbing /Penguji)

...................................................

Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM (Penguji)

...................................................

Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah (Penguji)

...................................................

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA (Penguji)

...................................................

Page 20: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSETUJUAN KETUA SIDANG

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Ketua Sidang/Merangkap Penguji

Page 21: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

Prof. Dr. Suwito, MA

PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Penguji

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA

Page 22: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Penguji

Prof. Dr. Masykuri Abdillah

Page 23: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Penguji

Prof. Dr. Sri Edi Swasono

Page 24: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Pembimbing/merangkap Penguji

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

Page 25: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Pembimbing/merangkap Penguji

Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH

Page 26: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PERSETUJUAN SEKRETARIS

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN

SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :

04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11

Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi

ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010

Sekretaris

Feni Arifin

Page 27: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

ABSTRAK

Nama : Djawahir Hjeazziey, NIM: 04.3.00.1.08.01.0037, Judul Disertasi: Politik Hukum Nasional Tentang Perbankan Syariah Indonesia.

Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang memiliki hubungan yang sinergi antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kesimpulan ini menolak pendapat: Nurcholis Majid, Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan bahwa formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, tidak diperlukan, karena negara harus bersifat netral tidak boleh didominasi oleh satu golonganpun, baik muslim maupun non-muslim.

Disertasi ini juga memperkuat pendapat gerakan Islam Politik yang mengutarakan bahwa penegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, gerakan ini menempuh strategi gradualis dan demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Adiwarman Karim, Amin Suma, Zaenal Arifin, dan Riawan Amin.

Indikator yang menunjukkan kebenaran kesimpulan disertasi ini dapat diketahui bahwa: pembentukan bank Islam di dunia; seperti, pertama Mesir Bank Mit Ghamr maupun Bank Sosial Nasr; Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial Islamic International Bank for Investment and Development, ternyata melibatkan elit politik pemerintah, peranan pemerintah sangat besar, baik dalam bentuk regulasi maupun permodalan; kedua, Pakistan, menghapuskan sistem lembaga keuangan non-bank, dengan sistem non-ribawi; ketiga, Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran; keempat bank Amanah Philipina, Bank Islam Malaysia, juga melibatkan pemerintah.

Sumber utama yang digunakan disertasi ini adalah data-data otentik yang diperoleh dari buku-buku kontemporer tentang politik dan hukum perbankan syariah, jurnal maupun tulisan populer yang diadop baik dari media cetak atau elektronik dengan sifat penelitian deskriptif dan eksplanatif serta mengelaborasi disiplin ilmu politik, ilmu hukum, agama dan sosial. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perspektif sosiologis antropologis dengan metode penelitian telaah dokumen Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU RI No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Perbankan; UU RI No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU RI No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Regulasi yakni PP. No. 72 Tahun 1992 (Pasal 6) merupakan salah satu pelaksanaan peraturan dari UU No.7 Tahun 1992; Data-data yang diperoleh dianalisa melalui deskripsi data, direduksi, dan dilakukan pemilahan sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan pada tahap kesimpulan dilakukan interpretasi data, dan dihubungkan yang satu dengan yang lain untuk memperoleh kesimpulan akhir.

xii

Page 28: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

ABSTRACT Name: Djawahir Hjeazziey, NIM: 04.3.00.1.08.01.0037, Dissertation Title: Politics of National Laws on Indonesian Islamic Banking.

This dissertation proves that the configuration of the laws have a synergistic relationship between the legal product of elitist and the legal product of the population responsive that is built on the values of religious faith, ideological, political, economic, social and cultural rights. This conclusion rejects the notion: Nurcholis Majid, Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na'im who pointed out that the formalization of Islamic shari'ah became positive law, not needed, because the neutral country should not be dominated by only one group, both Muslims and non- -Muslim.

This dissertation also reinforce the opinion of political Islam movement which points out that enforcement of Islamic sharia must be done through street power. In the economic sphere, this movement took gradualist strategy and democratic. Figures of the Islamic sharia fighters in the economy: PM Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Shafi Antonio, Amin Suma, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, and Riawan Amen.

Indicators that show the truth of the conclusion of this dissertation can be seen that: the establishment of Islamic banks in the world, like: firstly, Egyptian Bank and the Bank Mit Ghamr Social Nasr, Faisal Islamic Bank, a commercial banks, Islamic International Bank for Investment and Development, the government's political elite turned out to involve , the role of government is very big, either in the form of capital regulation and, secondly, Pakistan, abolish the system of non-bank financial institutions, with a system of non-ribawi; third, Iran, the Islamization of the national banking system is done after the foundation of the Islamic Republic of Iran; fourth Amanah bank Philippines, Bank Islam Malaysia, also involving the government.

The main sources used in this dissertation is authentic data obtained from contemporary books about politics and the law of sharia banking, journals and popular writing that diadop either print or electronic media with descriptive and explanatory nature of research and elaborate on the discipline of political science, science legal, religious and social. While the approach used is the sociological perspective of an anthropological approach to document analysis, research methods Act No. RI. 7 Year 1992 About the Banking Act No. RI. 14 Year 1967 About the Principal Banking Act No. RI. 10 of 1998 concerning the Amendment of Act No. 7 Year 1992 About the Banking Law Decree No. 21 Year 2008 About Islamic Banking and Regulation of the PP. No. 72, 1992 (Article 6) is one of the implementation rules of the Act No.7 of 1992; The data obtained were analyzed through the description of data, is reduced, and conducted in accordance with the focus of the research division. While the conclusions made at this stage of data interpretation, and connected with each other to get final conclusions.

xiii

Page 29: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

xiv

الملخص

سياسة : ، عنوان األطروحة 04.3.00.1.08.01.0037: ، هياآلها اإلطارية األساسية جواهر حجازي : االسم .اإلسالمية اإلندونيسية القوانين الوطنية على الخدمات المصرفية

والمنتج القانوني للنخبوية الرسالة تثبت أن التكوين للقوانين هناك عالقة تعاونية بين بين المنتج هذه االيمان وااليديولوجية الدينية والسياسية واالقتصادية واالجتماعية القانوني لالستجابة السكان التي اعتمد على قيم

النعيم ، الذي أشار إلى ، خالد محمد خالد ، عبد اهللا أحمد نور خالص ماجد :االستنتاج ترفض فكرة هذا .والثقافيةالقانون الوضعي وليس من الضروري ، منذ إضفاء الطابع عة اإلسالمية فيأن إضفاء الطابع الرسمي على الشري

مما يعني التخلص من المدارس المدارس على الدولة أن اختيار مدرسة معينة من الرسمي على ذلك ، يجب .األخرى

يشير إلى أنه يجب الرسالة أيضا على تعزيز البحوث التي تجريها حرآة اإلسالم السياسي الذي هذهأما في المجال االقتصادي ، .في يد السلطة أو الثورة بذل تطبيق الشريعة اإلسالمية من خالل الشارع بانها اداةمن المقاتلين الشريعة اإلسالمية في االقتصاد شخصيات .مع الحرآة األصولية والديمقراطية استراتيجية تدريجي

ادي ,امين سومامين عزيز ، محمد شافي أنطونيو ،ا محمد,آرنين فروتاتمجا ، شيف الدين رئيس الوزراء: .آمين رياونالكريم ، زين العارفين، و ورمان

اإلسالمية إنشاء المصارف: مالحظة المؤشرات التي توضح حقيقة ختام هذه الرسالة ما يلي ويمكن اإلسالمي ، االجتماعية ، وبنك فيصل في العالم ، مثل ، والبنك المصري األول وميت غمر نصر البنك

والتنمية ، والنخبة السياسية للحكومة تحولت الى لالستثمار الدولي والمصارف التجارية والمصرف اإلسالمي آبير جدا ، سواء في شكل من أشكال التنظيم رأس المال ، وثانيا ، وباآستان ، إشراك ، ودور الحكومة هو

، ثالثا ، وإيران ، ويتم أسلمة النظام رباوي - وإلغاء نظام غير المصرفية والمؤسسات المالية ، مع نظام غيرماليزيا ، جمهورية إيران اإلسالمية ؛ الرابعة الفلبين أمانة المصرفية ، وبنك إسالم المصرفي الوطني بعد تأسيس .والتي تشمل أيضا الحكومة

الكتب دمة في هذه األطروحة هي البيانات التي تم الحصول عليها منالرئيسية المستخ المصادر ، والمجالت ، والكتابة الشعبية التي األصيلة المعاصرة في السياسة والقانون والشريعة اإلسالمية المصرفية

diadop في اإللكترونية مع طبيعة وصفية وتفسيرية للبحث ووضع على االنضباط إما طباعة أو وسائل اإلعالمفي حين ان النهج المتبع هو المنظور السوسيولوجي نهج .العلوم القانونية والدينية واالجتماعية السياسية ، العلوم

. حول قانون المصارف رقم ري1992سنة . 7األنثروبولوجية إلى وثيقة التحليل وطرق البحث القانون رقم ري 1992 سنة 7 بشأن تعديل القانون رقم 1998نة لس . 10 حول قانون المصارف رقم القرض ري1967عام 14

عن الخدمات المصرفية اإلسالمية وتنظيم مؤتمر المندوبين2008 21بقانون رقم عن السنة المصرفية المرسوموتشير البيانات ؛1992لعام No . 7هي واحدة من قواعد تنفيذ قانون) 6المادة (1992لعام 72 رقم .المفوضين

تخفيض ، والتي أجريت وفقا للترآيز قسم ليها من خالل تحليل ووصف البيانات ، ويتمالتي تم الحصول عفي حين أن االستنتاجات التي قدمت في هذه المرحلة لتفسير البيانات ، وربطها مع بعضها البعض .البحوث

.للحصول على نتيجة نهائية

Page 30: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

KATA PENGANTAR

اشرف والصالة والسالم على , على امور الدنيا والدين, وبه نستعين,الحمد هللا رب العلمين

.وعلى اله وصحبه اجمعين, االنبياء والمرسلين

Pertama-tama penulis panjatkan puji ke hadirat Ilahi Robbi, karena atas berkat

dan inayah-Nyalah bahwa disertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL

PERBANKAN SYARIAH NASIONAL” dapat dirampungkan.Salawat dan salam

disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw, kepada para sahabatnya,

keluaraganya dan kepada kita semua yang senantiasa berjuang menegakkan agama

Allah, yakni Islam.

Merupakan ciri dan sifat manusia bahwa ketidaksempurnaan melekat dan

terlihat sebagai kudratnya. Namun demikian, diyakini bahwa kekurangan tadi bukan

merupakan bentu usaha yang disengaja. Usaha-usaha penyempurnaan akan menuju

keilmiahan adalah sebagai bentuk perjuangan yang tidak akan terhenti untuk

mencapai suatu tujuan sampai menghadapi keharibaan Allah swt.

Dalam kesempatan ini, ucapan salam ta’dzim dan terimakasih yang tak

terhingga disampaikan kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor yang telah memimpin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., sebagai Direktur sekolah Pasca

Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memperjuangkan SPS ini

dengan penuh semangat dan banyak membawa perubahan yang lebih baik.

Disamping itu, kharisma beliaulah yang dapat memberikan suri tauladan bagi

kebanyakan mahasiswa;

Page 31: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

3. Bapak Prof.Dr.H. Suwito,MA, Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA. Bapak Dr.

Fuad Jabali, MA., yang telah membimbing dan mengarahkan kepada

mahasiswa dengan penuh semangat dan tak mengenal lelah. Merekalah para

penyangga SPS UIN ini;

4. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH, MA, MM, yang telah

meberikan motivasi, dorongan, bimbingan dan suri tauladan kepada para

mahasiswa, tentu saja kepada penulis;

5. Bapak Prof.Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH. yang telah memberikan

motivasi baik secara moril maupun materil dan arahan yang jelas terhadap

penyelesaian disertasi ini;

6. Seluruh dosen dan staf cifitas akademik SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang secara penuh keikhlasan meberikan dalam pelaksanaan kuliah dan

penyelesaian disertasi ini;

7. Keluarga Besar Bapak H. Suwito dan Ibu yang telah memberikan dorongan

dan bantuan baik material maupun spiritual;

8. Bapak Tomy Soeharto yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam

menyelesaikan disertasi ini, baik dalam bentuk material maupun spiritual;

9. Seluruh kawan-kawan di Granadi, terutama Pak Sulton dan ustadz Ridwan

yang selalu memberikan dorongan hingga selesainya disertasi ini;

10. Seluruh kawan-kawan dosen, para pegawai dan staf perpustakaan yang ada di

Fakultas Syariah Hukum yang telah meberikan kemudahan dan motivasi yang

tak dapat disebutkan satu persatu;

11. Wabil khusus kawan-kawan: saudara Syafi’i, SEI, Mufida, SHI, Danny

Arsyad, SEI, Ervin, SEI, Ahmad Juhri, SP dan Pak Habibi, S.Ag, MH, yang

telah memberikan motivasi keras dan memberikan bantuan dalam mencari

data-data, hingga selesainya disertasi ini,

Page 32: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

12. Istriku Ana Susanti tercinta, dan anak-anakku tersayang : Wihda Hejazziey,

Sayyid Fahd Mohammed Hejazziey, Siti Nabilah Hejazziey, Ezzet el-a’la

Hejazziey, Ratu Fedhlia Wednina Okta Hejazziey dan Maula Ikfina Qonita

Hejazziey yang telah terganggu waktu dan kasih sayangnya, karena

menyelesaikan disertasi ini;

13. Kakanda Drs. H. Ahmad Mun’im Hijassiy, tetenda Munadzarah, dan teh Dra.

Hj. Kholiyah Thahir, MA yang telah memberikan motivasi dan bantuan baik

moril dan materil sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Akhirnya, semoga amal bakti dan perjuangan mereka diberikan imbalan yang

setimpal oleh Allah swt. Amin Yaa Robbal ‘alamin.

Jakarta, 22 juli 2010

Penulis

Djawahir Hejazziey

Page 33: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Djawahir Hejazziey NIM : 04.3.00.1.08.01.0037 Tempat Tgl Lahir : Banten,15 oktober 1955 Pekerjaan : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Alamat : Jalan. Abdul Wahab Gg. Swadaya 1 No.58 Rt.03/006

Sawangan Depok Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul : “POLITIK

HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA”, adalah karya penulis sendiri, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya, Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, penulis siap menerima sanksi dari Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikianlah surat pernyataan ini penulis dibuat dengan sesungguhnya.

Ciputat, 22 Juli 2010

Yang membuat pernyataan

Djawahir Hejazziey

Page 34: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

SURAT PERNYATAAN ii

PERSETUJUAN PENGUJI DAN PEMBIMBING iii

KATA PENGANTAR ix

ABSTRAK xii

DAFTAR TRANSLITERASI xv

DAFTAR LAMPIRAN xvii

DAFTAR ISI xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………. 1

B. Permasalahan ………………………………………………………….. 14

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 15

D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 16

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ……………………………………. 16

F. Kerangka Teori ………………………………………………………… 18

G. Metode Penelitian ……………………………………………………… 22

H. Sistematika Pembahasan ………………………………………………. 24

BAB II DISKURSUS POLITIK HUKUM NASIONAL

A. Definisi Politik Hukum ………………………….……………………....26

B. Politik dan Hukum ……………...……………………………………… 34

C. Politik Hukum Nasional … …………………… ………………………. 54

D. Lembaga-Lembaga Pembentuk Undang-Undang .……………… 65

xviii

Page 35: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

xix

BAB III POLITIK HUKUM ISLAM

A. Politik Hukum Islam di Indonesia …………………...……………… 94

B. Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional …… ……….. 109

C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia ……...….….... 131

BAB IV HUKUM PERBANKAN SYARIAH DALAM SUATU TINJAUAN

A. Epistemologi …….………………… ………………………………. 155

B. Sumber Hukum Perbankan Syariah ……………………….…….…. 162

C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan Syariah ………..…………….……. 170

BAB V POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH

A. Politik Hukum Perbankan Syariah …………………………….…… 196

B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah ………………. 236

C. Perspektif Hukum Islam ……………………….………………….…. 245

D. Analisa ………………………………………………………… ….. 254

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………….……. 271

B. Rekomendasi ………………………………………….…………….. 272

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………….. 274

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………...………………………………………… 285

Page 36: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam, sebagai agama samawi dengan kitabnya al-Qur’ân Al-Karim,

tidak hanya merupakan sebuah sistem yang komprehensif dalam mengatur

semua aspek1, tetapi juga bersifat universal yang senantiasa sesuai dengan

dinamika kehidupan. Islam sebagai “total way of life”, memiliki hubungan

yang erat dan integral dengan kehidupan masyarakat, politik, hukum,

pendidikan, dan ekonomi.2 Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan

agama dengan phenomena sosial.

John L. Esposito mengutarakan rasa kekagumannya terhadap

perkembangan dan kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia yang secara

dominan3 merefleksikan kedinamisan identitas diri, baik dalam bidang politik,

hukum, budaya, pajak, dan ekonomi yang berkembang dengan pesat.

1Lihat Said Sa’ad Marthon, Al-Madkhal li al-Fikr al-Iqtis âd fi al-Islâm: Ekonomi Islam

di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin (Jakarta: Zikru Hakim, 2007), xix.

2Islam diakui relevan dan terintegritas dengan politik, hukum, pendidikan, kehidupan masyarakat dan ekonomi. Lembaga-lembaga atau wilayah kehidupan tidak dilipandang sekuler tetapi dipandang sebagai agama, didasarkan pada kepercayaan bahwa Islam sebagai jalan kehidupan, agama dan masyarakat saling berhubungan. Bagi umat Islam, pendapat bahwa agama adalah integral dengan kehidupan itu merupakan norma-norma ketuhanan, jadi tidak ada dichotomi suci dan kotor, pertanyaannya adalah bukan apakah agama harus mengiformasikan kehidupan, tapi kapan dan bagaimana. Bagi umat Islam, percampuran agama dan politik bukan masalah, permasalahannya apakah itu dilakukan untuk memanipulasi aatau mengawasi manusia atau sikap yang distorsi. Lihat John L. Esposito, Islam the Straight Path (New York: Oxford University Press, 1998), 158-159.

3Islam secara terus menerus menunjukkan kedinamisan dan perbedaan dalam ekpresi. Tema-tema dominan mengenai Islam kontemporer mengenai telah ada kebangkitan. Pengaruh Islam tentang kehidupan orang Islam telah menjadi bukti di banyak Negara Islam sejak tahun 1879 an, apakan dalam bentuk pakaian wanita di jalan-jalan di Kairo, Istanbul, and Kuala Lumpur atau dalam politik Islam dari Tunis sampai Mindano. Hukum Islam, perpajakan, hukuman danbank-bank telah diperkenalkan di banyak Negara Islam. Islam benar-benar sebuah agama dunia (global).Perdebatan dan perjuangan tentang isu-isu mengenai identitas, keimanan, budaya dan praktik-praktek yang terjadi sekarang ini tidak hanya di dunia Muslim taoi juga di Barat. Orang-orang Islam di Negara-negara mayoritas beragama Islam dari Afrika Utara sampai ke Asia Tenggara memperjuangkan peranan Islam dalam Negara dan masyarakat, sedangkan di Eropa dan Amerika memperjuangkan isu-isu keimanan dan percampuran budaya. Lihat John L. Esposito, Islam the Straight Path, 159

1

Page 37: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

2

Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan dan petunjuk secara

paripurna, lugas dan tegas, baik dalam bentuk dogmatis, konsep dan

pemikiran, baik secara teoritis maupun implementatif. Islam menuntut

umatnya untuk memanifestasikan ajarannya dalam seluruh aspek kehidupan.

Adalah tidak masuk akal, seorang muslim menjalankan shalat 5 waktu sehari

dengan berikrar bahwa mati dan hidup karena Allâh, kemudian kesehariannya

melakukan transaksi yang menyimpang dari tuntunan Islam yang menjadi

rahmat bagi alam semesta (Rahmatan li al-‘âlamîn) termasuk kehidupan

perekonomian manusia.

Salah satu aspek nilai kemandirian Islam yang sangat menonjol adalah

doktrin dan praktek ekonomi.4 Kaum muslimin menjadi lebih semangat dan

sangat berkeinginan membangun sebuah perekonomian yang konsisten

dengan nilai-nilai dan etika Islam, sesuai dengan validitas Islam yang tidak

terikat dengan ruang dan waktu. Ajaran Islam tentang ekonomi merupakan

bagian dari visi besar etika universal. Ini berarti basic formulas (rumusan

dasar), proses dan motivasi ekonomi dalam masyarakat Islam berpihak pada

nilai-nilai keadilan dan etik-religius, berbeda dengan yang lain baik Neo-

Klasik, Marxis, Intitusional dan lain-lain.5 Nilai-nilai etika Islam bisa

ditransformasikan dalam seperangkat aksioma6 dalam memformulasikan

prilaku ekonomi yang konsisten.

Nilai-nilai etika Islam terintegrasi menjadi tingkah laku ekonomi.7

4Lihat Pengantar Zafar Ishaq Ansori dalam buku M. Umer Chaptra: Islam and Economic

Developemnt: Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan Abidin B. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), xv.

5Lihat Prolog Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, And Society: Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah Syaiful Anam, Muhammad Ufukul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003), xii.

6Ada empat aksioma yang terangkum di dalamnya yaitu: kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will), dan tanggung jawah (responsibility). Aksioma tersebut harus dijadikan dasar untuk merumuskan pernyataan logis yang mengandung generalitas tentang ekonomi Islam, rumusan pernyataan tersebut difalsifikasi jika tidak dapat diverifikasi dalam konteks kehidupan masyarakat muslim. Lihat Prolog Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, economics, and society: Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah Syaiful Anam, Muhammad Ufukul Mubin, xiii.

7Lihat Muhammad Akram Khan, Economic Message of the Qur’ân (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), 148.

Page 38: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

3

Oleh karenanya, menempatkan manusia rasional dengan dasar insiatifnya

sendiri dan mengejar utilitas ekonomi optimal dengan keuntungan maksimal

(maximum gain) namun mengorbankan minimal (minimum sacrifice). Maka

manusia semacam ini disebut homo economicus yang berlawanan dengan

homo eticus.8

Telah banyak bermunculan kritik terhadap ekonomi konvensional

antara lain:9 Amartya Sen, mengatakan menjauhkan ilmu ekonomi dan etika

telah memelaratkan dan juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat

antara deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi. Sistem kapitalisme dan

sosialisme, dianggap kurang valid dan tidak mampu mengatasi problematika

kehidupan, sehingga diharapkan adanya sebuah penetrasi sistem ekonomi

alternatif yang lebih capable.10 Pada awal abad inilah merupakan masa

kebangkitan dunia Islam dari ketertidurannya di tengah pergolakan dunia.

Kondisi ini membawa pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip dan

nilai-nilai syariah dalam kehidupan nyata.

Prinsip-prinsip etika ekonomi dan perdagangan yang bertumpu pada

syariah,11 telah dibangun oleh Rasulullah Saw, di tengah-tengah masyarakat

Arab kuno tidak hanya mengenal barter, tetapi juga system jual beli telah

berlaku, mata uang Persia dan Romawi juga dikenal luas oleh masyarakat dan

8M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity

(London: MacMillan Press, 1977), 139. 9Gunnar Myrdal (Swedia) Hla Myint (Myanmar) dan Amartya Sen (India), Amitai

Etzioni (Amerika). Tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Sukadji Ranuwihardjo, Rukmono Markam, Mubyarto, dan Sri Edi Swasono. Amartya Sen adalah salah satu pendukung aliran pemikiran ekonomi kritis Social Economics, menjelaskan bahwa sebagai ilmu moral, ilmu ekonomi secara impiratif mengenal keadilan (justice/fairness), peduli dengan persamaan (equality) dan pemerataan (equity), mengedepankan kemanusiaan (humanity), serta mengemban nilai-nilai agama. Secara etikal memngenal dan menghormati kepentimngan-kepentingan bersama, seperti: social welfare, public needs, public interests, solidarity, juga menghormati kepentingan-kepentingan individu, seperti kebebasan (liberty), kebahagiaan (happiness). Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesi, Jakarta: UIN Press, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009, 9.

10Said Sa’ad Marthon, Al-Madkhal li al-Fikr al-Iqtisâd fi al-Islâm: Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin, xx.

11A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: UIN Press, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 11.

Page 39: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

4

telah menjadi sarana pertukaran yang efektif12. Tradisi dan praktek ekonomi

Islam terus dikembangkan, Abu Bakar, misalnya telah menggunakan asas

pemerataan dalam distribusi harta Negara. Kebijakan ini berbeda dengan

Umar Ibn Khathab,13 yang menggunakan sistem distribusi dengan asas

pengistimewaan pada orang-orang tertentu14 yang mendapatkan prioritas

pertama.15

Seiring dengan penggantian sistem pemerintahan Islam yang

berkembang kearah dinasti-dinasti Islam dalam suatu organisasi pemerintahan

yang kuat, muncul tokoh-tokoh pemikir muslim yang dikatagorikan sebagai

“fuqahâ”, para filosuf dan sufi.16 Pada awalnya pemikiran mereka tentang

hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah mah dah (murni). Kemudian,

secara perlahan tapi pasti dituntut oleh suatu relaitas, karya ilmiahnya semakin

berkembang termasuk pemikiran-pemikiran ghair mahdah (tidak murni),

seperti ekonomi.

Kondisi ekonomi, sepanjang abad 20, dunia Internasional menghadapi

kehidupan yang krisis,17 saat ini terdapat kesadaran transendental18 untuk

12Ashgar Ali Engineer, “Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Analisis Pertumbuhan

Sosio-Ekonomi, Jakarta: Pustaka Belajar dan Insist Press, 1999, 63. 13Afzalurrahman, Muhammad sebagai Seorang Pedagang (Jakarta: Yayasan Swarna

Buni: 1997), 21 14Assaabiqunal Awalun, keluarga nabi, dan para pejuang perang. Sedangkan sumber

penerimaan Negara berasal dari Zakat, jizyah, kharaj, ghanimah dan fai yang kemudian pada masa Umar dikembangkan lebih luas lagi seperti adanya ‘ushr’dari pajak perdagangan antara Negara muslim dengan Negara asing.

15Irfan Mahmud Ra’ana, Economic System under Umar the Great, Terjemahan Mansuruddin Djaely dalam system ekonomi pemerintahan Umar Ibn Al-Khathab, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992, 92.

16A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesi, 13. 17Krisis ekonomi dunia yang berdampak ekonomi Indonesia membawa berkah tersendiri.

Ada semacam justifikasi sosial atas kekurangan dan kelemahan system ekonomi konvensional yang selama ini dijalankan, sekaligur menumbuhkan kuriositas umat Islam, khususnya uintuk lebih memahami ekonomi Islam. Bahkan bagi sebahagian kelompok masyarakat muslim ada semacam tuntutan utnuk menemukan kembali khazanah Islam yang sempat terlupakan dalam bidang ekonomi. Maraknya kajian-kajian tentang ekonomi Islam tidak dapay dipisahkan dari fenomena kembangkitan kembali ajaran-ajaran Islam yang orisinal (Islamic Resurgence) di seluruh dunia Islam bahkan dikawasan minoritas muslim. Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesai, 21.

18Kesadaran di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Kesadaran yang ada dalam masyarakat Islam akhirnya mengkristal dalam kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kebangkitan ini mendoronga intelektual muslim untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya guna mengkaji, memahami, menganalisa dan mengelaborasi serta menerapkan sumber-sumber hukum

Page 40: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

5

mengembalikan segala problematika kehidupan kepada nilai-nilai Islam dan

mempelajari khazanah Islam dengan mensinkronisasikan sistem kehidupan

yang ada.

Argumentasi yang dibangun oleh para pemikir ekonomi Islam bahwa

ekonomi Islam adalah sarat dengan nilai-nilai dan tidak mengajarkan spiritual

yang tandus atau gersang.19 Pemikiran yang sangat brilian dari para fuqaha,

filosuf, dan sufi memiliki benang merah20 yang jelas merupakan aplikasi etika

dan moral dalam seluruh aktifitas ekonomi. Selain itu, juga menjalankan

fungsinya sebagai penjelas terhadap suatu fakta secara objektif, disamping

fungsi prediktif seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Dan

yang harus difahami adalah bahwa pemikiran ekonomi Islam tidak

bermaksud menafikan pemahaman dan analisa sistem ekonomi kontemporer.

Namun berusaha mendialektikakan pemahaman dan analisa tersebut dengan

nilai dan etika ekonomi Islam yang tidak lepas dari kajian para pemikir

sebelumnya yaitu para pemikir muslim masa klasik hingga abad

pertengahan.21 Bahkan jauh sebelum kritik ilmu ekonomi konvensional

berkembang, para pemikir muslim telah lebih dahulu merumuskan

kemakmuran Negara berdasarkan tauhid.22

Kebangkitan ekonomi Islam di tingkat Internasional secara kolektif,

berawal dari konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur,23

dan kitab-kitab peninggalan umat Islam untuk menemukan sebuak konsep serta paradigma baru dalam semua aspek kehidupan. Salah satu manifestasi kebangkitan Islam adalah adanya keinginan intelektual muslim untuk mengembalikan perkembangan pemikiran dan pengetahuan kepada ajaran Islam, sesuai dengan perkembangan zaman.

19Lihat Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic and the Orientalists (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1985), 90.

20Pemikiran yang brilian ini tidak berkembang di dunia muslim melainkan lahir dalam bentuknya yang seperti suatu hal baru yang datang dari belahan dunia Barat.

21Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia , 10 22Ilmu tentang teori yang berbasiskan tauhid , artinya bahwa tiada keterpisahan antara

kehidupan di dunia dan di akhirat bagi manusia yang beriman dan beramal sale Merka adalah golongan yang mengharapkan ridho Allâh dalam segala geraknya. Lihat Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model dan sistem ekonomi (Jakarta: Al-Ishlah Press & STEI, 2009), 106-107.

23Pada konferensi tersebut menghasilkan beberapa hal : 1) tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit/banyak haran hukumnya; 2) diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba

Page 41: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

6

Malaysia pada bulan April 1969, yang dikuti oleh 19 negara peserta.

Kemudian sejarah kebangkitan perbankan Islam berikutnya yakni dengan

didirikannya Islamic Development Bank (IDB).24 Lembaga ini kemudian

berperan penting dalam memenuhi kebutuhan negara-negara Islam untuk

pembangunan dan secara aktif memberikan pinjaman bebas bunga

berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Dengan berdirinya lembaga ini

dapat memberikan motivasi pada negara-negara lain untuk mendirikan

lembaga-lembaga keuangan Islam. Pada akhir tahun 1970-an dan awal dekade

1980-an lembaga-lembaga keuangan Islam banyak bermunculan seperti: di

Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, dan Turki.25

Bank-bank syariah dalam bentuknya yang sekarang untuk pertama kalinya

didirikan di Dubai dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1973 oleh

sekelompok pengusaha muslim dari berbagai Negara. Dalam jangka waktu

sepuluh tahun sejak pendirian bank tersebut telah muncul lebih dari 50 bank

yang bebas bunga. Di luar Negara-negara yang mayoritas penduduknya

beragama Islam, bank-bank tersebut telah didirikan pula seperti di Denmark,

Luxemburg, Switzerland, dan United Kingdom.26

Pada awalnya, persoalan bunga inilah yang menjadi latar belakang

lahirnya perbankan prinsip bagi hasil atau syariah dan ini pula yang

dijadikan sebagai salah satu kriteria dasar yang membedakan antara sistem

perbankan syariah dengan konvensional. Bagi pengusung perbankan syariah

didasarkan pada bagi hasil bukan bunga (riba). Schacht, mantan direktur

Bank Reich dalam ceramahnya di Damaskus, pada tahun 1953, menyatakan

bahwa bila dihitung secara matematik, ternyata semua kekayaan yang ada di

dalam waktu secepat mungkin; sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun benar-benar dalam keadaan darurat.

24Pendirian IDB diawali dengan sidang menteri Luar negeri Negara-negara Organisasi Konfensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970. Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah Internasional. Setelah mendapatkan persetujuan dari Negara-negara OKI lainnya dan tahapan tertentu, maka pada tahun 1975, berdirilah IDB yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri.

25Gemala Dewi , Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perbankan Syariah di Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2007), 127.

26Sutan Remy Syahdeini, “Perbankan Syariah suatu Alternative Kebutuhan Pembiayaan Mastarakat”, Jurnal Hukum Bisnis, 2008, 8.

Page 42: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

7

bumi sedang berpindah kepemilikannya kepada segelintir para pelaku

ekonomi yang berbasis bunga.27 Islam sama sekali tidak mentolerir apalagi

memberikan apresiasi terhadap bunga, yang secara tegas dilarang oleh al-

Qur’ân.

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, ekonomi Islam terus

tumbuh menyempurkan diri di tengah-tengah beragamnya sistim sosial dan

ekonomi konvensional yang berasaskan pada sistim sekuler. Lebih dari 55

yang pasarnya sedang bangkit dan berkembang, bahkan beberapa lembaga

keuangan Islam telah beroperasi di 13 lokasi lain, yaitu Australia, Bahama,

Luxemburg, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, dan Kepulauan Virginia.28

Ekonomi Islam dikatakan baru dalam tanda petik, karena sesungguhnya ilmu

ekonomi Islam sudah pernah dipraktekan secara sempurna oleh Rasulullah

hingga masa keemasan Daulah Islamiyah beberapa abad lalu.29 Di Pakistan,

Iran dan Sudan semua bank harus beroperasi sesuai dengan prinsip keuangan

Islam. Sedangkan di beberapa negara lain menerapkan sistem keuangan

campuran30 atau kombinasi, termasuk di Indonesia dan Malaysia.

Istilah ekonomi Islam (Islamic Economics) untuk di negara lain, lebih

dikenal menggunakan istilah ekonomi syariah31 untuk di Indonesia sebagai

27Maksudnya adalah bahwa orang yang memberi pinjaman selalu saja beruntung dalam

segala bentuk kegiatannya. Sedangkan mereka yang menerima pinjaman senantiasa dihadapkan kepada dua pilihan untung atau rugi. Dengan demikian, secara matematik semua harta pada akhirnya berpindah milik kepada para pelaku riba yang terus menerus beruntung. Disinilah yang sesungguhnya bahwa ekonomi syariah disamping juga menekankan pada keadilan juga pemerataan yang tidak saling menganiaya sesama. Hal ini, bukan asumsi dasar yang menempatkan manusia rasional dengan insiatifnya sendiri mengejar utilitas ekonomi ptimal yakni mencarai keuntukngan maksimal denag mengorbankan minimal. Lihat Muhammad Gunawan Yasni, Ekonomi Sufistik: Adil dan Membahagiakan, 14.

28Mervyn K. Lewis & Latifa M. Alghoud, Perbankan Syariah: Prinsip Praktik dan Prospek, Terjemahan Burhan Subrata (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 9.

29Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam (Kencana, Jakarta: 2007), v.

30Maksudnya bahwa bank Islam beroperasi berdampingan dengan bank konvensional meski dengan skala yang sangat terbatas. Kendatipun telah tersebar secara meluas, perbankan Islam masih kurang dipahami oleh dibeberapa belahan dunia Islam, bahkan masih teka-teki di sjumlah Negara Barat. Lihat Mervyn K. Lewis &Latifa M. Alghoud, Perbankan Syariah: Prinsip Praktik dan Prospek, 9.

31Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007), edisi ke-3, xii-xiii. Istilah Ekonomi Syariah ini misalnya

Page 43: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

8

ciri khas. Sebuah sistem ekonomi yang diadopsi dari al-Qur’ân dan as-

Sunnah, serta dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar

tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap

zaman.32 Ekonomi Syariah juga dapat dipahami sebagai sebuah ilmu yang

membahas prihal ekonomi dari berbagai sudut pandang keislaman (filsafat,

etika dan lain-lain) terutama dari aspek hukum, dan syariahnya.33 Itulah

sebabnya, menurut Amin Suma, mengapa ekonomi Islam sering pula disebut

ekonomi syariah.34

Pembangunan ekonomi syariah merupakan bagian dari pada bentuk

perjuangan penegakan syariat Islam di Indonesia yang telah dirintis sejak

republik ini dibangun, namun selalu mengalami kegagalan:

Pertama; ketika piagam Jakarta dirumuskan yang akan dijadikan

mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 dan dipersiakan oleh

BPUPKI/PPKI. Dalam rumusan tersebut, dicantumkan lima sila yang menjadi

dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa

dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Rumusan

ini tidak disetujui, degan alasan menjaga persatuan dan kesatuan seluruh

rakyat Indonesia, kemudian umat Islam, yang diwakili oleh Ki Bagus

Hadikusumo dari Muhammadiyah, akhirnya merelakan dicabut 7 kata

tersebut.35

Kedua; Dalam sidang Konstituante 1959, seluruh partai Islam

memperjuangkan syari’at Islam berlaku tidak hanya untuk umat Islam, tetapi

juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan inipun akhirnya menemui

terdapat dalam pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (PERUPA).

32Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-ayat al-Qur’ân yang Berdimensi Ekonomi (Bandung: Renaja Rosdakarya, 2006), 33.

33Lihat Amin Suma, Seputar Ekonomi Syariah: Studi tentang Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah di Indonesia”, dalam Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Perbankan Syariah: Menyongsong Berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Perubahan UU. Nomor 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama), (T. Tp.: Mahkamah Agubg RI, 2006), 39.

34Suma, Seputar Ekonom Syariah, 39. 35Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang

ekonomi” dslsm buku Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), edisi ke-3 xxii.

Page 44: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

9

kegagalan, karena suara pendukung Islam sebagai dasar negara masih lebih

kecil dari suara yang menolaknya, walaupun umat Islam disebut sebagai

mayoritas di Indonesia.36

Ketiga; pada masa reformasi, perjuangan formalisasi syari’at Islam

muncul kembali atas tuntutan dari sejumlah organisasi Islam radikal dan

beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan

Partai Keadilan (PK) agar ST MPR, Agustus 2002, agar memulihkan kembali

gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945

tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk ditambah

“dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan itu

tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan

dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah,

ternyata menolak usul amandemen tersebut.

Dari tiga alternatif usulan perjuangan penegakan syariat Islam di

Indonesia tersebut, semuanya mengalami kegagalan dengan alasan yang tidak

jelas, padahal bangsa ini termasuk penyelenggara negara adalah bangsa

penganut agama Islam dan terbesar kedua di dunia. Kenapa dan bagaimana

bisa terjadi demikian?

Ada permasalahan pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

dan kepentingan terhadap formalisasi penegakan syariat Islam sebagai hukum

positif dalam sebuah sistem kenegaraan di Indonesia. Perbedaan ini dibangun

oleh tiga kelompok yang masing-masing memiliki bangunan argumentasi.

Pertama; gerakan “Islam Politik” yang menempuh jalan mencapai kekuasaan

sebagai alat untuk menegakkan syari’at Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang

memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Ketiga, gerakan “Islam Liberal”

yang mempropagandakan tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam

wacana publik37

36Lihat Rahardjo, xxiii 37Islam politik bertujuan menegakkan Negara Islam atau kekuasaan Islam, sedangkan

Islam kultural, bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat

Page 45: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

10

Konfigurasi politik hukum dalam ilmu politik hukum sangat signifikan

pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan,

diperbaharui, diubah dan/atau ditinggalkan . Faktor tersebut meliputi antara

lain : legal system (norma pokok negara dan falsafah negara); religiousisme;

humanisme; culturalisme; globalisasi; etniccal assimilation; liberalisme;

feodalisme; socialisme; militerisme; interrelationship of Civilizationship;

authoritarisme; capitalisme38 dan seterusnya. Semua hal tersebut amat

mendominasi dalam pembentukan, penyusunan, perubahan dan pemberlakuan

undang-undang atau hukum.

Faktor lain adalah bahwa peranan pemerintah terhadap pelaksanaan

dan pembentukan syariat Islam dalam hal ini pembangunan Bank Syariah

secara meluas adalah sangat krusial sebagai instrumental, karena tanpa adanya

keterlibatan pemerintah disamping sebagai pembentuk payung hukum atau

undang-undang yang menjadi dasar bagi terbentuknya perbankan syariah.

Kepercayaan masyarakat akan dirasakan sulit, jika pemerintah tidak secara

tegas campur tangan baik dari segi regulasi maupun permodalan, apalagi

masyarakatnya bersifat majemuk dan heterogen.

Di negara-negara Islam lain, misalnya, keterlibatan pemerintah

memiliki pengaruh yang besar, di Mesir dibentuk Faisal Islamic Bank, sebuah

bank umum komersial dengan aset milliaran dolas AS dan juga sebuah bank

pembangunan, Islamic International Bank for Investment and Development,

Islamic Development Bank (IDB), yang berpusat di Jedah. Bank

pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (The World Bank) dan Bank

Pembangunan Asia (ADB), ini dibentuk oleh organisasi Konferensi Islam

(OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk

Indonesia. Ini adalah juga sebuah kasus di mana negara berperan instrumental

dalam pembentukan bank pembangunan Islam dengan modal yang cukup

madani, paling tidak ikut serta dalam civil society. Organisasi Islam mainstream, yaitu NU, Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia), memilih jalan kedua.

38Abdul Gani Abdullah, Catatan Kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Islan Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 14 April 2010.

Page 46: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

11

besar. Di Malaysia, Pakistan dan Iran Islamisasi sistem perbankan dilakukan

secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran.

Inilah relevansi pemikiran ekonomi tersebut sebagai bahan kajian

untuk mendapatkan metodologi ekonomi syariah yang dapat dikembangkan

untuk konteks kekinian, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat pada

level praksisnya,39 seperti dalam konteks penyusunan Rancangan Undang-

undang (RUU) Perbankan Syariah.40

Penyusunan Undang-undang Perbankan Syariah memiliki orientasi

dan tujuan untuk mewadahi kehendak masyarakat Islam di Indonesia yang

telah lama memperjuangkan peranan Islam dalam Negara dan masyarakat

dalam bentuk pelaksanakan syariat Islam. Hal ini dimaksudkan agar umat

Islam akan merasa tenteram hatinya dengan menggunakan jasa perbankan

syariah, karena banyak umat Islam yang tidak mau menyimpan dananya atau

melakukan transaksi dengan menggunakan jasa bank konvensional.

Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentunya

hukum yang paling relevan dan laik dengan jiwa bangsa adalah hukum positif

39Mengenai hubungan ini sebuah teori/konsep perlu dihubungkan dengan level

praksisnya, agar dapat memberikan manfaatnya secara nyata. Hal ini sepeerti direfleksikan oleh Malik Bi al-Nabi bahwa perlu diperhatikan adanya tiga level yang saling berkait dan agar tidak dipisah-pisahkan untuk mensinergikan antara gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan dalam berbagai bentuknya termasuk berupa kebijakan-kebijakan praksis strategisnya. Ketiganya adalah hubungan antara gagasan-gagasan (pemikiran ) dan parameter tindakan (parameters of actions), yang mesti tetap melihat pada tiga level, yakni: 1) level politik, ideology dan etika dalam kaitannya dengan hal perseorangan; 2) level logika, filsafat dan sains untuk mencapai di bidang ide, gagasan atau pemikiran; dan 3) level sosial, ekonomi dan teknik dalam hal untuk mencapai sasaran atau tujuan. Lihat Malik Bi al-Nabi, The Question of Ideas in the Muslim World, Penerjemah Muhammed el-Tahir el-Mesawi, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), 37.

40Perbankan syariah sendiri, misalnya, sebagai salah satu bagian dari ekonomi syariah, selama ini masih menjadi subordinate dari perbankan konvensional. Perbankan syariah, pada mulanya masih tunduk di bawah UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dan UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dengan demikian Perbankan syariah, belum memiliki UU tersendiri. Padahal, pangsa pasar Perbankan syariah semakin hari semakin luas. Sebagaimana dilaporkan jurnal nasional, (sebuah Harian Umum yang terbit di Jakarta sejak tahun 2006), sejauh ini, terdapat tiga Bank Umum syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 105 buah bank perkriditan rakyat syariah dengan asset sebesar Rp. 30 Trilyun. Selain itu dalam kerja sama Internasional di dunia perbankan, diperlukan adanya Badan perbankan syaria Dasar-dasar pikiran tersebut mendorong para anggota dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) sekitar 2.5 tahun silam menggagas agar ada UU tersendiri tentang perbankan syaria Abdul Razak, “Menanti RUU Perbankan syariah” , dalam Jurnal Nasional, 13 Juni 2007, 7.

Page 47: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

12

yang sesuai dengan agama yang dianut. Sebetulnya hukum ini telah lama

hidup dalam bentuk hukum adat, seperti paroan (bagi dua), pertelon (bagi

tiga) namun belum dilegalisasi oleh kekuasaan secara tertulis sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena hukum tanpa kekuasaan

adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.

Kepatuhan atau loyalitas terhadap sistem ekonomi syariah sesuai dengan teori

reception in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk William Christian

van den Berg yang pada intinya mengatakan bahwa hukum mengikuti agama

yang dianut oleh seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum

Islamlah yang berlaku baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di

Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan.41

Dengan demikian bahwa lahirnya undang-undang Republik Indonesia

No. 21 tahun 2008, tentang perbankan syariah yang telah memberikan angin

segar dan pintu gerbang bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia

yang selama ini dinanti-nanti oleh ummat Islam agar memperoleh

perlindungan hukum dan ketenangan hidup karena sesuai dengan apa yang

diyakininya dan bentuk operasionalya selalu dikawal oleh Majelis Ulama

Indonesia

Perbankan syariah42 yang berdiri pada tahun 1991 terus mengalami

41Mohamad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2002), 225. 42Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak

pertangahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia-Timur Tenga Pada 1974 dan pada 1976 dalam seminar Internasional yang diselenggarakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (KSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa hal yang menghambat terealisasinya ide ini yaitu pertama: operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, dan arena itu tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku, yakni UU No. 14/1967; Kedua: konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam dan arena itu tidak dikehendaki pemerintah; ketiga: masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu. Sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatadan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.

Tahun 1988 disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi Industri perbankan. Para ulama berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada perangkat hukum yang dapat dirujuk. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih mendalam pada musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990 dibentuklah

Page 48: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

13

pertumbuhan dan perkembangan hingga pertengahan 1997, pertumbuhan yang

spektakuler justru terjadi sejak masa krisis Ekonomi tahun 1997. Hal ini

diantaranya karena kemampuan perbankan Islam dalam menghadapi gejolak

moneter yang diwarnai oleh tingkat bunga yang sangat tinggi, sementara

perbankan syariah terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis pada

bunga.43

Meskipun demikian perkembangan perbankan syariah belum

diimbangi dengan kemajuan dibidang hukum dengan tidak adanya undang-

undang secara spesifik mengelaborasi kekhususan perbankan syariah.

Sesudah 28 tahun kemudian sejak berdirinya bank syariah dengan

pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jadi

Pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17 Juni 2008 dan

pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono 16 Juli 2008, 44

dapat dikatakan sangat terlambat. Sebab, di Zaman penjajahan saja,

pemerintahan Kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi

masyarakat muslim dalm bidang ekonomi syariah, tercermin pada ordonansi

riba tahun 1938, tentang riba yang memberikan kewenangan kepada hakim

untuk membatalkan perjanjian yang memberatkan slah satu pihak atau

mempengan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2 ayat 14

Ordonansi Riba 1938).45

Politik hukum Nasional perbankan syariah memiliki urgensitas yang

bernilai tinggi, baik dalam bentuk undang-undang maupun, fasilitas

permodalan dan infrastruktur yang kondusif agar perbankan syariah mampu

mengejar ketertinggalannya dari bank-bank konvensional yang ada di tanah

air dan atau bank Islam yang ada di dunia.

kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.(Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi (Jakarta:Ekonisia, 2007), ed.2, Cet.4, 29)

43Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Jakarta: Alvabebet, 2000) Cet.III, ix

44Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tenatng Perbankan Syariah dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867

45Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Addenda Cooigeada (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve), 1.

Page 49: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

14

Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan

di atas penelitian ini mengambil judul: POLITIK HUKUM NASIONAL

TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA. Judul ini

menitikberatkan pada persoalan urgensitas politik hukum perbankan syariah di

Indonesia.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Indonesia sebagai Negara yang mempunyai penduduk terbesar

keempat di dunia dengan mayoritas pemeluk agama Islam, sejatinya hal-hal

terkait dengan masalah ekonomi syariah dan kebijakan pemerintah terhadap

perbankan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Al-Qur’ân sebagai kita suci umat Islam dan as-Sunnah sebagai

penjelasnya belum dijadikan sebagai pedoman hidup, dipahami dan

diintergrasikan dalam kehidupan bermuamalat sehari-hari

b. Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai haramnya bunga bank.

c. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah dengan menjalankan prinsip hukum Islam

yang dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan

oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa dalam

bidang syariah.

d. Mengapa pemerintah belum optimal menunjukan keberpihakannya secara

signifikan terhadap ekonomi syariah, padahal telah mengetahui bahwa

bank syariah telah diakui oleh seluruh dunia mengenai keunggulan

dibanding dengan bank konvensional.

e. Mengapa umat Islam belum mau meninggalkan bank konvensional yang

jelas-jelas berbasis bunga dan dilarang oleh agama.

f. Pentingnya mendefinisikan kembali pemahaman agama Islam terhadap

bunga bank yang selama ini masih terdapat dalam perbankan syariah,

Page 50: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

15

dimana dalam praktek prinsip murabahah masih mendapatkan kritik yang

dianggap masih belum lepas dari sistem bunga.

g. Disamping masalah-masalah tersebut, masih terdapat banyak persoalan

lain, seperti, bagaimana prospek ekonomi syariah di Indonesia setelah

diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

2008 Tentang Perbankan Syariah.

2. Pembatasan Masalah

Dalam pembatasan masalah yang terkait dengan politik hukum

nasional perbankan syariah, secara khusus belum dibahas orang. Agar

permasalahan dalam penelitian tidak melebar kemana-mana, maka

permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi seputar politik hukum

nasional perbankan syariah di Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka

permasalahan dalam penulisan ini dapat dirumuskan dalam sebuah

pertanyaan:

a. Faktor apa saja yang mempengaruhi politik hukum nasional

perbankan syariah?

b. Bagaimana politik hukum nasional terhadap pembentukan hukum

perbankan syariah di Indonesia?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain meliputi tujuan umum dan tujuan

khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengelaborasi bagaimana

kebijakan pemerintah terhadap perkembangan perbankan syariah dapat

terealisir dengan baik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. menganalisis dan mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi

politik hukum perbankan syariah.

2. menganalisis dan mengetahui bagaimana politik hukum nasional

terhadap pembentukan hukum perbankan syariah di Indonesia.

Page 51: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

16

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun praktis. Secara teoritis, bermanfaat akan menambah khazanah

ilmiah bagi dunia akademik dan memberikan kontribusi dalam

mengembangkan ilmu-ilmu ekonomi syariah, khususnya yang berkaitan

dengan politik hukum nasional mengenai perbankan syariah dan dalam aspek

aksiologi keilmuan Ekonomi Islam di Indonesia. Sedangkan secara praktis

bermanfaat untuk menjadi bahan masukan bagi pemerintah mengenai

pentingnya politik hukum nasional dalam merumuskan hukum nasional yang

lebih demokratis tentang hukum perbankan syariah yang berbasis al-Quran

dan as-Sunnah agar dapat operasi sesuai dengan tuntunan Islam.

Secara praktis, hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi petunjuk praktis

bagi: pertama, perbankan syariah dalam melakukan transaksi ekonomi di

tengah masyarakat; kedua, lembaga-lembaga keuangan non bank dalam

menetapkan strategi pemasaran; ketiga, pemerintah dalam merumuskan

program pembangunan di bidang sosial ekonomi.

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Pembahasan dan penelitian tentang politik ekonomi Islam sudah

banyak dilakukan oleh orang, namun yang secara khusus membahas mengenai

politik hukum nasional terhadap perbankan syariah secara komprehensip,

khususnya yang berkaitan undang-undang, belum ada. Untuk memperoleh

rujukan awal terkait dengan permasalahan di atas, diantaranya adalah:

1. Politik Hukum di Indonesia, karya Moh. Mahfud MD. Buku ini

menjelaskan legal policy (garis resmi) tentang bagaimana pengaruh politik

terhadap hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum

baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai

tujuan Negara. Disamping itu juga beliau menguraikan mengenai

konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter. Dan ia mengelompokkan

Indoensia sebagai konfigurasi politik hukum demokratis.

Page 52: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

17

2. Membangun dan merombak hukum Indonesia, karya Satjipto

Rahardjo. Di dalam buku ini diuraikan tentang pembangunan hukum yang

sangat terkait dengan pembangunan bidang-bidang kehidupan lain sebagai

bagian dari transformasi social yang lebih besar, sehingga dibebankan

untuk memberikan dukungan konseptual serta structural terhadap

perubahan dalam masyarakat. Di samping itu juga mengakaji hubungan

hukum dengan ekonomi, bagaimana suatu ekonomi bangsa akan tercermin

dalam hukumnya. Peranan ekonomi yang dijalankan oleh system hukum

dan politi ekonomi membutuhkan hukum untuk mewujudkannya.

3. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah

di Indonesia, karya Gemala Dewi,46 buku ini memuat tentang sejarah

perkembangan syariah, tinjauan operasional perbankan syariah di

Indonesia, perbedaan bank konvensional dan bank syariah, tinjuan hukum

perbankan Indonesia menurut hukum Islam.

4. Al-Bunûk al-Islâmiyah, karya al-khadiri. Ia sangat konsisten

berpedoman pada kaedah-kaedah Syariah (al-iltizâm bi al-Qawâ’id al-

Mustaqirrah li al-Sharî’ah al-Islâmiyah) Kaidah-kaidah utama syariah ini

antara lain: operasi perbankan selalu pada sesuatu yang halal dan

menjauhkan setiap yang haram dan subhat (masih diragukan); tidak

melakukan riba; selektif dalam menempatkan petugas keuangan; tidak

memakan harta orang lain secara bathil (tidak sah); transaksi yang

transparan; jujur dan objektif; tidak memonopoli terhadap regulasi harta;

pelayanan perbankan berkhidmat untuk meningkatkan Islam secara

internal dan eksternal; menunaikan zakat atas modal dan hasil yang

dicapai; serta realisasi keseimbangan diberbagai bentuk pelayanan dan

produk perbankan. 47

5. Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, karya Bismar

Nasution. Menurutnya, penerapan atau pengadopsian ekonomi syariah ke

46Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. Ke. 1, 128. 47Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 18-28.

Page 53: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

18

dalam tatanan hukum nasional harusnya dilihat dalam kerangka yang luas.

Untuk keberhasilan transisi ini, haruslah terbentuk suatu sistem hukum

syariah di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk

mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam sistem hukum di

Indonesia.

G. Kerangka Teori

1. Van den Berg dalam sebuah teori receptio in complexu menyatakan

bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-

pemeluknya. Jadi, jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka

hukum yang berlaku harus hukum Islam.

2. Kemudian pendapat ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck

Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan

bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan

dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini,

untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu

oleh hukum adat. Teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck

Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat

memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat

memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh

peradaban Barat. Atas dasar itulah ia memberikan nasihat kepada

Pemerintah hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia dengan

berusaha menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih mendekat kepada

kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda.48 Eksistensi teori

receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S. yang menyatakan

bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan

Hukum Islam, selama hukum itu telah diterima di masyarakat Hukum

Adat.

48Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 & Legislasi

Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47.

Page 54: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

19

3. Seorang ahli hukum dari Austria, Eugen Ehrlich, bahwa pengaruh hukum

di dalam masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan hukum yang

hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, “Hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam

masyarakat”. Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif

dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan

dalam hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum

yang hidup dalam masyarakat, yang dalam istilah antropologi dikenal

dengan pola-pola kebudayaan (culture patterns).49

Eugen Ehrlich menganjurkan untuk mengadakan pembaruan hukum

melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan

kenyataan yang hidup dalam masyarakat Kenyataan-kenyataan tersebut

dinamakan “living dan just law” yang merupakan “inner order” dari pada

masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin

diadakan perubahan hukum atau membuat suatu Undang-Undang agar hukum

atau Undang-Undang yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif

di dalam kehidupan masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan

adalah hukum yang hidup dalam masyarakat itu. 50 Jika hal itu tidak mendapat

perhatian, maka akibatnya hukum tidak bisa berlaku efektif bahkan akan

mendapat tantangan (rigid).51

4. Lawrence M. Friedman dalam bukunya “The legal System”: A Social

Science Perspective”, melihat hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri

dari tiga komponen: pertama, legal substance yakni subtansi hukum yang

berisikan aturan-aturan atau norma-norma; kedua, legal structure

(institusi atau penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara);

49Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum (Jakarta: Rajawali, 1991), 36. 50W. Fridman, Legal Theory, Edisi ke 3 (Steven and Sons Limited), 52. 51R. Otje Salman , Ikhtisar Filsafat Hukum (Bandung: Armico 1999),52.

Page 55: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

20

dan ketiga, legal culture (budaya hukum yang meliputi agama dan

kepercayaan, ide-ide, sikap, dan pandangan tentang hukum.52

5. Muchtar Kusumaatmadja, juga menegaskan agar hukum dapat berfungsi

secara efektif, selain harus memperhatikan kesadaran hukum yang tumbuh

di dalam masyarakat, hendaknya hukum itu juga dilegalisasi oleh

kekuasaan secara tertulis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku, karena hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan

kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.53

Pentingnya aspek budaya hukum itu tidak hanya terkait dengan

masalah sikap dan prilaku para anggota masyarakat, akan tetapi lebih dari itu

sikap dan prilaku anggota-anggota atau individu-individu yang terlibat bekerja

dalam lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara justru itu yang lebih

penting, karena mereka akan menjadi contoh dan suri tauladan masarakat. Jika

sikap, cara berfikir dan prilaku para nggota lembaga tinggi negara54 tidak

mendukung niscaya akan sulit bagi kita untuk melihat suksesnya agenda

reformasi menyeluruh dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan. Dalam hal ini, partispasi anggota masyarakat merupakan unsur

penting bagi terbentuknya hukum atau undang-undang, karena mereka yang

akan menjadi pengguna sasaran pengaturan hukum. Segala sesuatu yang akan

menjadi hukum di dalam masyarakat akan ditentukan oleh sikap pandangan

dan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat yang bersangkutan.55 Oleh

karena itu betapa eratnya hubungan antara hukum dengan masyarakat.

52Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York:

Rusel Sage Foundation), 1975, 15 53Muchtar Kusumatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum (Bandung Bina

Cipta, 1976), 31 54Para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Para pejabat di lingkungan pemerintahan pusat maupun daerah, para anggota mahkamah agung dan badan peradilan di bawahnya dan para anggota lembaga-lembaga tinggi negaralainny. Begitu juga pihak-pihak kepolisian, pengacara dan lain sebagainyayang bekerja dalm lingkungan penegak hukum.

55Jimly Ashshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, 30

Page 56: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

21

6. Menurut Thomas Aquinas, pada hakikatnya manusia diciptakan oleh

Tuhan Yang Maha Esa dengan kelebihan dan kesempurnaan yang tidak

dimiliki oleh makhluk-makhluk lain, perbedaan tersebut ditandai dengan

adanya norma-norma atau aturan-aturan yang didalamnya memuat unsur

tatanan, moral, etika, perikemanusiaan dan perikeadilan,56 sebagaimana

hukum alam juga mempunyai arti sikap saling menghargai dan berbuat

adil,57 bersusila serta berbuat seirama dengan peraturan, misalnya, tatanan

masyarakat dan tatanan sebuah negara.58 Sebagaimana penjelasan yang

dimunculkan oleh Thomas Aquinas bahwa “dunia ini diatur oleh tatanan

ke-Tuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ke-Tuhanan,

hukum ke-Tuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas menilai

adanya hubungan Tuhan dan manusia secara alamiah, dan ia berhasil

menyimpulkan empat pembagian yang digandengkan dengan pengertian

hukum alam, yakni: lex aeterna, lex naturalis, lex devina dan lex humana

atau lex positif.59

Dengan demikian, Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama

56Menurut W.A.M. Luypen (1922-1980), Apa artinya keadilan itu?, tafsiran Luypen

tentang keadilan ialah: memperhatikan tugas dan kewajiban untuk mempertahankan dan memperkembangkan perikemanusiaan, segala yang memajukan perikemanusiaan adalah adil dan yang menentangnya adalah tidak adil, akan tetapi isi perikemanusiaan tidak pernah dapat ditetapkan sebagai sesuatu yang kekal dan tidak ada norma-norma hukum yang alam yang tetap, berkembang dengan berputarnya sejarah. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Kanisius, 1982), Cet. Ke-15, 263.

57Pandangan ini ditentang oleh beberapa pemikir, terutama pemikir yang beragama Kristen yang beraliran Protestan, menurut mereka teori-teori hukum alam tidak menjamin keadilan, oleh karena belum tentu apa yang disebut hukum alam mengandung prinsip-prinsip keadilan. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, 264.

58Calvin (1509-1564), ia penganut aliran Protestantisme yang menolak adanya suatu hukum alam dalam arti yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang terikat pada aturan alam dan mencerminkan rencana abadi dari Tuhan, ia menambahkan bahwa Tuhan menciptakan dalam hati manusia suatu rasa keadilan; inilah hukum alam baru, setiap pribadi mempunyai keyakinan dan hak tertentu yang tidak boleh dirongrong oleh negara dan ia menolak absolutisme negara. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, 54.

59Lex Aeterna adalah akal ke-ilahian yang menuntun seluruh gerakan semesta alam, cakupannya luas dan sulit untuk dipahami, manusia hanya dapat memahami sebagaian saja akal ke-ilahian itu yaitu disebut Lex Naturalis. Lex Naturalis memberikan pedoman atau pandangan kepada manusia melalui petunjuk umum yaitu tentang persoalan baik dan buruk. Dalam filsafat Aquinas, Lex Aeterna yang pada prinsipnya mengandung asas-asas yang abstrak itu dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk khusus yang berasal dari tuhan tentang bagaimana manusia harus menjalani hidupnya, fungsi ini dijalankan oleh Lex Devina. Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, cet. 1 (Bandung: Refika Aditama, 2004), 158.

Page 57: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

22

Islam, tentunya hukum yang paling relevan dan laik dengan jiwa bangsa

adalah hukum positif yang sesuai dengan agama yang dianut, yakni hukum

yang sesuai dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. Kepatuhan atau loyalitas

terhadap sistem ekonomi syariah sesuai dengan teori receptio in complexu

yang dikemukakan oleh Lodewijk William Christian van den Berg yang pada

intinya mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut oleh

seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang

berlaku baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di Indonesia telah

melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan.60

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Data ini bersifat kualitatif dan historis. Data kualitatif ini didasarkan

pada isi atau mutu suatu fakta, seperti data-data dan penjelasan secara terurai

yang berdasarkan buku-buku, koran serta artikel yang dikumpulkan penulis

yang berhubungan dengan politik hukum perbankan syariah yang kemudian

dianalisa supaya bisa menjawab permasalahan yang ada.

Sedangkan data historis didasarkan pada pengalaman masa lalu yang

menggambarkan secara utuh seluruh kebenaran kejadian atau fakta yang

bertumpu pada kegiatan mengevaluasi suatu objek seperti peristiwa atau tokoh

masa lampau dipandang dari sudut standar dan kebudayaan dewasa ini.61

Yang dimaksud dengan data historis disini adalah data-data yang berhubungan

dengan perkembangan hukum Bank Syariah di negara Indonesia.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer pada penelitian ini ada dua macam, yakni sumber

data primer dan skunder. Sumber data primer adalah: (i) UUD ’45

60Mohamad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2002), 225. 61Husein umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis, Jakarta: P.T. Raja

Grafindo Persada. 2003), 22. lihat juga lexy J. Maleong, Metode Penelitian kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 18

Page 58: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

23

Pasal ; (ii) UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU No. 10

Tahun 1998 Tentang Perbankan; UU No. 21 Tahun 1992 Tentang

Perbankan Syariah; UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesi;

Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; (iii) PP,

PBI, SK Direksi Surat Edaran BI, dan Fatwa-fatwa DSN-MUI tentang

Perbankan Syariah.

b. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data

yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Data ini bersumber dari UUD ’45, UU, PP, PBI, SK Direksi Surat

Edaran BI, dan Fatwa-fatwa DSN-MUI yang berkenaan dengan Perbankan

Syariah, surat kabar, majalah, jurnal, artikel maupun penelitian atau

tulisan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas

pada disertasi ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara

mendalam (deep inteview)62 .

4. Teknis Analisis Data

Untuk menganalisa data yang telah terkumpul maka penulis memakai

metode sebagai berikut:

a. Contents Analisis (riset dokumentasi), karena pengumpulan data dan

informasi akan dilakukan pengujian arsip dan dokumen. Dalam hal ini

penulis menelaah dan menganalisa isi dari bab II (dua), III (tiga),

IV(empat), V (lima) dan VI (enam) baik dari segi gaya bahasa, teknik

penulisan, sumber yang didapat serta maksud dan tujuan dari setiap

bab tersebut.

b. Descriptive analysis, penulis melakukan analisa pada setiap uraian

dari data yang dikutip oleh penulis. Data-data yang diperoleh dianalisa

62Lihat Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods: An

Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches (California, Sage Publications, 2000), 57.

Page 59: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

24

melalui deskripsi data, direduksi, dipetakan dan dilakukan pemilahan

sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perspektif sosiologis antropologis

dengan metode penelitian telaah dokumen Undang-undang dan pada

tahap kesimpulan akhir dilakukan interpretasi data, menghubungkan

yang satu dengan yang lain. Dengan menganalisa secara deskriptif ini

diharapkan setiap fakta yang ada bisa terima secara logis dan secara

ilmiah.

6. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan skripsi ini, menggunakan buku ”Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) CeQDA (Center for

Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, UIN Press, 2007”

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penyusunan tulisan ini akan dibagi

menjadi 6 bab yang masing-masing mempunyai korelasi dan relevansi dengan

sub bab lainnya sebagai suatu pembahasan yang utuh dan sistemik. Adapun

sistematika penulisan desertasi terdiri atas:

Bab I, Bab ini menguraikan tentang pengantar tulisan yang mutlak harus

dipahami dengan tepat dan benar, karena pembahasan bab-bab selanjutnya

berdasarkan pada bab pendahuluan. Dalam bab ini meliputi: latar belakang

masalah; pembatasan dan perumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian;

penelitian terdahulu yang relevan; kerangka teori, metodologi penelitian; dan

sistematika penulisan.

Bab II, Bab ini merupakan bab yang bertujuan untuk mencari dan

menemukan grounded theory atau grounded concept politik hukum nasional

tentang Perbankan Syariah. Dalam bab ini dibahas tentang; Politik Hukum

Nasional dengan pembahasannya meliputi: Definisi Politik Hukum, Politik

dan Hukum, Konfigurasi Politik Hukum, Politik Hukum Nasional, dan Politik

Page 60: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

25

Hukum Islam di Indoensia, Dinamika Pemikiran Politik Islam dan

transformasi hukum Islam menjadi hukum positif

Bab III, Bab ini membahas tentang hukum pebankan syariah; meliputi

tentang Sumber hokum perbankan syariah, landasan hokum perbankan

syariah, dan perkembangan hokum perbankan syariah.

Bab IV, Pada bab ini berbicara tentang: fungsi lembaga-lembaga

negara, dan peran partai politik dalam pembentukan regulasi.

Bab V Pada bab ini menjelaskan tentang: politik hukum perbankan

syariah pada masa orde baru, pada masa reformasi, dan faktor yang

mempengaruhi politik hukum perbankan syariah.

Bab VI, yaitu penutup yang bersisikan: kesimpulan, saran dan

rekomendasi, sekaligus merupakan inti atau garis besar dari uraian-uraian

yang dianggap signifikan serta bermanfaat bagi para akademisi maupun

praktisi ekonomi syariah khususnya yang berhubungan dengan lembaga

keuangan syariah yakni perbankan syariah.

Page 61: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB II

DISKURSUS POLITIK HUKUM NASIONAL

A. Definisi Politik Hukum

Definisi atau batasan politik hukum sulit dirumuskan secara akurat,

karena ilmu politik hukum merupakan disiplin ilmu yang hidup dan dinamis

bergantung pada dimana ia lahir, kapan ia lahir dan mengapa ia lahir, jika

diberikan batasan atau definisi, ilmu itu akan mati dan kaku tidak hidup lagi.1

Memang banyak definisi mengenai politik hukum yang diberikan oleh para ahli

hukum dari berbagai literatur. Mahfud MD, tidak memberikan definisi tentang

politik hukum, namun ia dengan secara eksplisit mengutarakan subtansi yang

ternyata sama menurutnya bahwa politik hukum adalah “legal atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan pembuatan

hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai

tujuan negara.” 2 Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang

hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum

yang akan dicabut atau tidak diberlakukan. Kesemuanya dimaksudkan untuk

mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945.

1. Etimologi

Politik Hukum terdiri dari dua kata, pertama “politik”, kedua”hukum”.

Politik dalam bahasa arab disebut “siyâsah”3 yang kemudian dimaknakan siasat

1Abdul Gani Abullah, Catatan Kuliah Politik Hukum (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), 14 April 2010 2 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 1. 3Adalah mengatur. Jika dihubungkan dengan syar’iyyah (ketentuan dari Allâh SWT. dan

Rasulnya) menyangkut masalah-maslah kekuasaan, fungsi dan tugas penguasa dalam pemerintahan Islam, serta hubungannya dengan kepentingan rakyat. Ahli Fiqih mengemukakan definisi siyasah syari’yyah sebagai wewenang penguasa dalam mengatur kepentingan umum dalam Negara Islam, sehingga terjamin kemaslahatan dan terhindar dari segala kemudaratan dalam batas yang ditentukan

26

Page 62: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

27

(muslihat, taktik, tindakan, kebijakan, akal) untuk mencapai suatu tujuan atau

maksud.4 dalam bahasa Indonesia. Politik juga biasa diartikan cerdik atau

bijaksana dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan sebagai

suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik

mengakui menghadapi kesulitan didalam mendefinisikan politik.5 Asal mula kata

politik itu sendiri berasal dari kata “polis” yang berarti “negara kota”. Politik ada

hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama. Dalam hubungan tersebut

timbul hubungan aturan (hukum), kewenangan, kelakuan pejabat; legalitas

keabsahan dan akhirnya kekuasaan.6 Aktifitas politik bukan pertama-tama karena

kodrat social mansuia, melainkan sesuatu yang diusahakan. Seperti dikatakan

Hannah Arendt,7 politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia.

Dalam Kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata “politiek”

mengandung arti “beleid”. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia

mempunyai arti kebijakan (policy). Dengan demikian bahwa politik hukum

artinya kebijakan hukum yang disampaikan oleh yang berwenang atau berkuasa

syara’ dan kaidah umum yang berlaku, sekalipun upaya ini tidak sejalan dengan ijtihad ulama. Kepentingan umum yang dimaksud adalah segala peraturan dan perundang-undangan Negara, baik yang berkaitan dengan hubungan Negara dengan Negara mapun Negara dengan rakyat. Dalam siyasah syar’iyyah, pihak penguasa berhak untuk mengatur segala persoalan Negara Islam dengan sejalan dengan prinsip-prinsip pokok yang ada dalam agama, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtisar Baru, 2001), cet. Kelima, Qan-tas. 5, 1626.

4Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Keempat, 935.

5Politik mempunyai ruang lingkup Negara, berbicara politik berarti berbicara tentang negara, karena teori politik menyelidiki Negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi Negara dalam keadaan bergerak. Politik menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan Negara, hakikat Negara serta bentuk dan tujuan Negara. Selain dari pada itu juga politik menyelidiki kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok elit, pendapat umum, pranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum. Jadi politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi juga seni, karena banyak politikus yang tanpa pendidikan politi mampu berkiat memiliki baka yang dibawa sejak lahir, sehingga dengan kharismatik menjalankan roda politik praktis. Lihat Inu Kencana Syafiie, Azhari, Sistim Politik Indonesia, Era Soekarno, Hatta, Syahrir, Aidit, Syarifuddin, Era Soeharto. Beni Moerdani, Wiranto, Harmoko, Habibie, Era Gus dur, Megawati, Amin rais, Hamzah Haz, Era SBY, Kalla, Baasyir (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), 6-7

6Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1985) Cet. Pertama, 10.

7Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), Cet. Kedua, 2.

Page 63: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

28

untuk itu. Kata “kebijakan” berasal dari kata “bijak” yang berarti selalu

menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Sementara “kebijakan” artinya

kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, garis haluan atau rangkaian konsep dan

azas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu

pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak tentang pemerintahan organsasi dan

sebagainya khususnya dalam bidang hukum.8

Istilah kebijakan (policy ini ternyata memiliki keragaman artiyang

berbeda-beda. Hal itu dapat kita lihat dari pandangan beberapa tokoh yang

mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya kebijakan (policy) itu. Klein

misalnya, menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan

sistematis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan

politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah9.

Hampir senada dengan Klein, Kuypers menjelaska, kebijakan itu adalah suatu

susunan dari (1) tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik

untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan kelompok; (2) jalan-

jalan dan sarana-sarana yang dipilih olehnya; dan (3) saat-saat yang mereka pilih.

Adapun Friend memahami bahwa kebijakan pada hakikatnya adalah suatu posisi

yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan

yang akan dibuat di masa datang.10

Carl J. Friedrick menguraikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan

yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan

tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan

terhadap pelaksana usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan

8Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989), 115 9A. Hoogerwef, Isi dan Corak-corak Kebijakan, dalam A. Hoogerwerf (ed), Overheidsbeleid,

diterjemahkan oleh R.L.L. Tobing (Jakarta: Erlangga, 1983), 7 10J.K. Friend, J.M. Power dan C.J.L. Yewlett, Public Planning: The Inter Corporate

Dimention (London: Tavistock, 1974), 40

Page 64: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

29

tertentu.11 Dan, James E Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah

serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan

dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan

suatu masalah tertentu.12 Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh

beberapa ahli di atas, maka kita dapat mengemukakan beberapa hal sebagai

berikut:

a. Bahwa konsep kebijakan itu sulit untuk dirumuskan dan diberikan makna

yang tunggal, atau perkataan lain, sulit bagi kita untuk memperlakukan

konsep kebijakan tersebut sebagai sebuah gejala yang khas dan konkrit,

terutama bila kebijakan itu kita lihat sebagai suatu proses yang terus

berkembang dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatan sampai

implementasinya. perbedaan pendapat di kalangan para ahli tentang

pengertian kebijakan jelasnya tidak dapat dihindari. Namun demikian juga

bukan bertentangan satu sama lain.

b. Ada perbedaan “penekanan” tentang kebijakasanaan diantara para ahli.

Sebagian dari mereka melihat kebijakan sebagai suatu perbuatan, sedangkan

yang lain melihat sebagai suatu sikap yang direncanakan (suatu rencana), atau

bahkan suatu rencana dan juga suatu tindakan.

c. Para ahli juga berpendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang

berpendapat, bahwa kebijakan meliputi tujuan dan sarana, bahka ada yang

tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana13

Dari uraian diatas, perlu dijelaskan di sini bahwa, ada satu istilah dalam

bahasa Indonesia yang kerap dipakai secara bergantian dalam pengertian yang

hampir serupa dengan istilah dengan kebijakan, yaitu kebijakan. Berkaitan dengan

11Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: McGraw Hill, 1963), 79 12James E. Anderson, Publick Policy Making (New York: Praeger Publishers, 1979), 3 13Penjelasan lebih jauh, lihat Bambang Sugono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik (Jakarta:

Sinar Grafika, 1994), Cet. I ,14-15

Page 65: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

30

istilah diatas Giridro Prigodigdo14 memberikan penjelasan yang menarik. Ia

membedakan pengertian antara istilah kebijaksanaan (policy; beleid) dan

kebijakan (wisdom; wijsheid). Menurut Pringgodigdo, kebijaksanaan adalah

serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan di bidang hukum untuk

mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan

dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan adalah

tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta

situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum

yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan,

yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi (discretionary

power/freies ermessen).

Dari pengertian kedua istilah di atas pada tataran konseptual dengan

sendirinya akan berimbas pada aktualisasi konsep itu pada tataran praksis.

Namun, meskipun terdapat perbedaan pengertian, kedua istilah ini kerap dipakai

dalam pengertian yang sama, yaitu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis

besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan

cara bertindak. Dengan demikian, secara etimologis, politik hukum secara singkat

berarti kebijaksanaan hukum.15

Sedangkan kata hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia

berasal dari kata Arab “hukm” tanpa kata “u” yang berarti norma atau kaidah

yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai

tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.16 Dalam The New Book of

Knowledge, memberikan definisi bahwa hukum adalah aturan-aturan yang

14R.M. Girindro Pringgodigdo, Kebijaksanaa, Hierarki Perundang-undangan dan Kebijakan

dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 16 November 1994

15Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari , Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Pertama, 25

16Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), cet. Pertama, 40.

Page 66: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

31

membatasi dan menjelaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat.17

Maka ketika kita gabungkan kedua kata tersebut akan diperoleh batasan sebagai

berikut yakni: taktik, siasat atau kebijakan untuk mengatur dan membatasi hak

dan kewajiban masyarakat dalam kehidungan berbangsa dan bernegara, hal ini

dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara.

Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat

berarti kebijakan hukum. Pengertian politik Hukum sendiri sangat bervariasi.18

Berbagai pengertian mengenai politik hukum meliputi: pertama, pembangunan

hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi

hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan: kedua, pelaksanaan ketentuan hukum

yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak

hukum.19 Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses

pembuatan dan pelakasaan yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana

hukum akan dibangun dan ditegakkan. Menurut Padmo Wahjono dalam bukunya

“Negara Indonesia berdasarkan atas hukum” mendefifinisikan politik hukum

sebagai kebijakan dasar yang menntukan arah, bentuk atau isi hukum yang akan

dibentuk.20 Definisi ini kemudian disempurnakan dalam majalah Froum Keadilan,

Padmo Wahjono,21 mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan

penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan

sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan pembentukan

hukum, penerapan hukum dan penegakkannya sendiri.

17Grolier Publishing Company, The New Book of Knowledge (Jakarta: Grolier Pub. Co.,

2003), 760 18Defini politik hukum sangatlah rumit didefinikan untuk memperoleh pengertian yang utuh

tentang apa yang akan dirumuskan. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 1

19Artidjo Alkosta, (editor) Pembangunan Hukum Nasinal salam Perspektif Kebijakan dalam Identitas Hukum Nasional (Yogyakarta: FH-UII, 1997), 37

20Padmo Wahyono, Indonesia, Negara Berdasarkan atas Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Pertama, 160.

21Padmo Wahyono, Menyelidik Proses terbentuknya Perundang-undangan (Forum Keadilan: Jakarta: 1991) No. 29, 65

Page 67: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

32

2. Terminologi

Seperti telah diutarakan di atas bahwa tidaklah mudah untuk memberikan

batasan atau pengertian mengenai politik hukum. Namun demikian, karena

banyak hal dapat membingungkan tentang pemahaman apa itu politik hukum, ada

beberapa definisi yang akan dapat dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang

konsern terhadap ilmu ini: Sunaryati Hartono, misalnya, memberikan definisi

bukan berarti bahwa ia tidak memperdulikan keberadaan politik hukum dalam sis

praktisnya. Tapiia melihat politik hukum sebagai alat atau sarana dan langkah

yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional

yang dikehendaki dan dengan sistem nasional itu akan diwujudkan cita-cita

bangsa. 22 pernyataan menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki

mengisyaratkan bahwa kerangka kerja politik hukum menurutnya lebih menitik

beratkan pada dimensi hukum yang berlaku di masa yang akan mendatang, atau

ius constituendum pendapat lain memberikan definisi bahwa politik hukum

nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (Legal Policy)

yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu

pemerintahan negara tertentu. Dengan demikian politik hukum nasional bisa

berarti; Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten,

pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum

yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru

yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam

masyarakat, penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan

pembinaan anggotanya, dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut

persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.

Apabila kita perhatikan, definisi politik hukum dari Garuda Nusantara

merupakan definisi politik hukum yang paling komprehensif di antara definisi-

22Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni,

1991), 1.

Page 68: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

33

definisi politik hukum yang dipaparkan sebelumnya. Ini disebabkan karena ia

menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang meliputi;

pertama, teritorial berlakunya politik hukum dan kedua, proses pembaruan dan

pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang

berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius

constituendum. Lebih dari itu, ia menekankan pula pada pentingnya penegasan

fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak

disinggung oleh para ahli sebelumnya.

Hasil dari elaborasi ragam definisi politik hukum yang telah dikemukakan

di atas, penulis menyimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar

penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku,

yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dan hidup di masyarakat untuk

mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan di sini berkaitan

dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam merumuskan

dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum

menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap

memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu

diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.23

Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai

yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu

merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat

berlaku dalam masyarakat.24 Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu

mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan

23Menurut Frans Magnis-Suseno tujuan negara adalah memajukan kepentingan masyarakat

dalam kerangka keadilan, kebebasan, dan solidaritas bangsa. Apabila kita bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan yang sejahtera, di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 310-314

24Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Edisi, I, Cet. IX, 14

Page 69: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

34

berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal yang sama terjadi

juga dalam politik hukum.

Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang

lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang

kesejarahan, pandangan dunia (word-view), sosio-kultural (nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat), dan political will dari masing-masing pemerintah. Dengan

kata lain, politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya berlaku dari dan

untuk negara tertentu saja), bukan universal (berlaku seluruh dunia). Namun, ini

bukan berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan realitas dan politik

hukum internasional. Mengutip Sunaryati Hartono, faktor-faktor yang akan

menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-

citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para

teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta

perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum

internasional.

Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah

yang kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan politik hukum nasional.

Penjelasan lebih rinci mengenai pengertian istilah tersebut, ruang lingkup

pembahasannya, sifatnya strategi, latar belakang dan proses pembentukan suatu

produk hukum.

B. Politik dan Hukum

Tidaklah mengherankan, ketika mengkomunikasikan kata politik dan

hukum, maka diantara keduanya pasti akan ada yang tersisihkan pada saat

disandingkan. Ketika politik menjadi sebagai initial, maka yang akan dipengaruhi

adalah kata hukum. Hukum mejadi tersisihkan, dan memiliki kedudukan sebagai

subordinat. Tetapi ketika hukum yang menjadi initial dan politik yang sebagai

Page 70: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

35

subordinate, maka politiklah yang akan terwarnai. Namum dalam bahasan disini

politik yang akan mempengaruhi hukum dan hukum sebagai subordinate.

Politik bertujuan menggalang kekuatan masyarakat untuk mencapai

tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan hukum adalah

aturan-aturan tentang hak dan kewajiban masyarakat yang harus dipatuhi. Oleh

karenanya hukum itu akan menjadi alat yang siap untuk dimanipulasikan, siap

untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan memenangkan kepatuhan warga

negara.25 Demikian pula dengan politik diman, poliik mempunyai kedudukan

yang lebih rendah atau menjadi objek ketika didahului dengan kata hukum.

Kemudian coba kita perhatikan bagaimana hubungan antara subsistem

politik dan subsistem hukum. Suatu aspek yang menarik dari hubungan tersebut

disebabkan oleh adanya perbedaan dalam konsentrasi energi (atau informasi)

antara keduanya. Subsistem politik ternyata memiliki konsentrasi energi lebih

besar daripada subsistem hukum yang mengakibatkan apabila hukum harus

berhadapan dengan politik, maka hukum berada pada kedudukan lebih lemah.26

Hubungan itu disebut sebagai hubungan yang mengkondisikan. Politik merupakan

kondisi bagi dijalankannya hukum.

Adalah benar jika dikatakan bahwa hukum tidak steril dari subsitem

kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan

dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang

subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih

suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifikpun dapat

mengemuka seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik

25Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak hukum Hukum Indonesia Sebuah

Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakata: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 112 26Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak hukum Hukum Indonesia Sebuah

Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakata: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 130

Page 71: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

36

banyka mengintervensi hukum, sistem politik yang bagaimana yang dapat

melahirkan produk hukum.27

Keadaan seperti di atas dapat ditemukan dengan baik pada tulisan Daniel

S. Lev, yang mengatakan: Untuk memahami sistem-sistem hukum di tengah-

tengah trasnformasi politik, kita harus mengamatinya mulai dari bawah, untuk

mengetahui macam peran sosial dan politik apakah yang diberikan orang

kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh dilakukannya, yang didorong untuk

dilakukannya, dan yang dilarang untuk dijalankannya. 28

Dalam pandangan para perencana sistem tanam paksa, pengalaman masa

lalu menunjukkan bahwa rakyat belum siap untuk memasuki masa kemerdekaan29

yang diberikan kepada mereka.. Untuk menyegarkan ingatan kita, maka sistem

yang disebut landelijk stelsel bertujuan untuk membebaskan rakyat dari beban

feodalisme seperti tersebut di atas, dan diharapkan rakyat bisa lebih bergairah

untuk bekerja bagi kepentingan mereka sendiri. Atas penglihatan dan

pertimbangan tersebut, maka merombak struktur feodal yang ada, pemerintah

Belanda malahan mengukuhkannya demi memperoleh apa yang mereka inginkan,

yaitu keuntungan dalam produksi pertanian.

Berkenaan dengan politik pemerintah Belanda untuk tetap memanfaatkan

struktur feodal dan desa bagi kepentingannya sendiri, maka dengan sendirinya

kedudukan dan fungsi kepala desa (yang lama) harus dipertahankan, dalam suatu

struktur pemerintahan berhadap-hadapan dengan rakyat desa. Bertalian dengan

langkah-langkah tersebut, mudah untuk dimengerti mengapa Belanda juga

berusaha untuk mengukuhkan berlakunya hukum adat. Dengan demikian, maka

pikiran yang diajukan oleh Lev di atas memperoleh verifikasi empirisnya, oleh

27Mo Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, Rajawali Press, 2009), 9 28Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia (Berkeley, LA: University of California Press,

1972), 2 29Berupa pembebesan dari tugas untuk bekerja bagi kepentingan para bangsawan, Lihat

Satjipto Rahardjo, Membangun dan merombak Hukum Indonesia sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yougyakarta: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 104

Page 72: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

37

karena berdasarkan logika pemikiran di atas, Belanda hanya mengukuhkan

hukum adat disebabkan oleh kepentingan politik mereka.

Penulis lain, Hoogvelt, juga mempunyai pendapat yang sama, seperti

dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya, Membangun dan Merombak

Hukum Indonesia sebagai berikut:

“... Singkat kata, dualisme yang menyeluruh pada struktur sosial yang kita

bicarakan terdahulu dilengkapi oleh dualisme dalam struktur politik. Lebih lanjut

lagi, keseluruhan proses tersebut diperkuat dengan dibelah duanya sistem hukum.

Untuk kepentingan mengukuhkan kedudukan dari para kepala, pemerintah

kolonial merasa perlu untuk menegakkan kembali hukum rakyat, yang menurut

pikiran mereka, menjadi landasan kekuasaan para kepala tersebut. Sering terjadi

bahwa politik tersebut diikuti oleh kodifikasi dari kebiasaan rakyat.”

Mengikuti proses bagaimana hukum adat dimasukkan sebagai bagian dari

hukum positif Hindia Belanda pada waktu itu, dapat dilihat kebenaran dari kata-

kata Lev, yaitu tempat dan peranan apa yang dilakukan oleh hukum dalam

masyarakat, ditentukan oleh politik.30

Praktek yang menyampingkan hukum adat apabila tidak bersesuaian

dengan politik pemerintah pada waktu itu. Politik hukum Daendels, misalnya

mengatakan:31

Peradilan yang berlaku untuk orang pribumi hendaknya tetap dijalankan

menurut undang-undang dan kebiasaan mereka sendiri. Pemerintah Hindia,

dengan menggunakan cara-cara yang sesuai untuk itu, menjaga agar dalam

wilayah kekuasaanya tidak kemasukan praktek-praktek tercela, yang bertentangan

30Sebagai contoh, mengapa penerimaan hukum adat oleh pemerintah Belanda dilakukan

secara setengah-setengah, seperti melalui lembaga penundukan kepada hukum perdata Eropa (K.B. 15 September 1916 No. 26: S. 1917 No. 12). Lihat Satjipto Rahardjo, 106

31Berdasarkan atas pikiran yang tercantum dalam Charter voor de Aziatische bezittingen van de Bataafsche Republick, yang disahkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 27 September 1804, pasal 86. Lihat Satjipto Rahardjo, 107.

Page 73: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

38

dengan peraturan perundang-undangan atau kebiasaan rakyat, dan untuk

mencapai peradilan yang cepat dan baik).

Dalam kenyataannya, pikiran-pikiran yang tercantum dalam peraturan

tersebut ditaati, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang oleh pemerintah

dianggap harus dilindungi. Politik Daendels tersebut tercermin pada

penolakannya terhadap penerapan hukum adat, apabila hal itu berlawanan dengan

perintah-perintah pemerintah pusat serta bertentangan dengan dasar-dasar asasi

keadilan dan kepatutan ataupun apabila oleh karenanya, dalam hal

penyelenggaraan hukuman jasmani, kepentingan keamanan umum tidak terjamin.

Diskusi mengenai hukum pada negara-negara sedang berkembang,

dirasakan perlunya membicarakan hubungan antara hukum dan politik. Tentu

tidak akan dikatakan pembahasan mengenai hubungan antara dua subsistem

tersebut tidak penting untuk negara-negara yang sudah disebut maju. Pernyataan

tersebut hanya hendak mengatakan pada negara-negara yang sedang mengalami

suatu transformasi politik yang berat, pembicaraan tersebut lebih-lebih dirasakan

keperluannya.

Perhatian Nonet dan Selznick pertama-tama tertarik kepada hubungan

antara hukum atau tata hukum dengan penindasan. Setiap tata hukum senantiasa

mempunyai potensi untuk melakukan penindasan. Hukum dan kekuasaan

berhubungan sangat erat, karena bagaimanapun, tata hukum senantiasa terikat

kepada suatu status quo. Tata hukum tidak mungkin ada apabila ia tidak terikat

kepada suatu tata tertentu, atau mempertahankan suatu tata tertentu, terlepas dari

penilaian kita mengenai kualitas tata tersebut. Dengan mengikatkan diri dan

mempertahankan suatu tata tertentu tersebut, hukum pun telah mengefektifkan

kekuasaan. Sejak saat itu, maka pihak yang berkuasa, dengan menggunakan baju

otoritas, mempunyai kewenangan (yang sah) untuk menuntut warga negara

mematuhi kekuasaan yang bertahta.

Page 74: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

39

Tentunya akan timbul pertanyaan, bagaimana hukum dengan begitu saja

bisa disamakan dengan penindasan? Memang, hukum dan penindasan dalam

konteks pembicaraan kita disamakan, karena kita akan membicarakan suatu

ikhwal kehidupan hukum pada peringkat tertentu. Kekuasaan yang memerintah

bersifat menindas, apabila menyampingkan kepentingan-kepentingan dari mereka

yang diperintah, yaitu tidak mau mengakui keabsahan dari kepentingan-

kepentingan tersebut. Dalam keadaan demikian, maka kedudukan warga negara

lemah dan mudah menjadi bulan-bulanan dari kekuasaan yang memerintah.

Potensi untuk melakukan penindasan pada suatu ketika bisa diperbesar,

yaitu pada saat pemerintah dihadapkan kepada munculnya pengharapan-

pengharapan dan kepentingan-kepentingan baru di kalangan rakyat. Munculnya

hal-hal yang baru tersebut bisa menyebabkan pemerintah mengambil keputusan

untuk menolaknya dan yang akan dirasakan oleh warga negara sebagai suatu

kerugian besar dan oleh karenanya akan dirasakan sebgai suatu efek yang

menindas. Namun demikian, dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti keadaan

darurat, pengabaian terhadap suatu tuntutan tidak dirasakan sebagai suatu

penindasan, melainkan sesuatu hal darurat yang bisa dimengerti.

Sikap otoriter yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat terbatas,

apabila tidak digunakan secara umum, melainkan secara diskriminatif, yaitu untuk

menghadapi suatu ancaman tertentu; juga apabila kepada rakyat diberikan

kemungkinan untuk mengajukan permintaan guna mendapatkan perlindungan

bagi kepentingan-kepentingannya. Dengan singkat, kekuasaan tidak bersifat

menindas, apabila integritas seseorang tetap dijaga, sekalipun terhadapnya

digunakan kekerasan. Penggunaan kekuasaan juga tidak bersifat menindas,

apabila rakyat memang mempunyai kebiasaan untuk mematuhi kekuasaan. Dalam

ikhwal tersebut, paksaan pun terdorong kebelakang sebagai suatu upaya yang

tidak diperlukan.

Page 75: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

40

Politik memberikan nuansa yang sangat signifikan terhadap hukum.

Derap dan langkah hukum sering terhambat jalannya menuju yang dicita-citakan

hukum. Oleh karena itu, hukum terwarnai oleh politik dan kedudukan hukum

tentu saja menjadi lemah dibandingkan dengan politik. Politik hukum secara

sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan32 hukum (legal policy) yang akan

atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula

pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat

konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum

tersebut.33 Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat

imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus

dipandang sebagai subsistem yang dalam pernyataan (das sein) bukan tidak

mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-

pasalnya maupun dalam implementasi penegakannya.

Dengan menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik

maka dalam menjawab hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai

dependent variable (variable terpengaruh) sedangkan, politik diletakkan sebagai

independent variable (variable berpengaruh). Peletakkan hukum sebagai variable

yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah

dipahami dengan melihat realitas bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian

sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan

kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing.

32Kebijakan disepadankan dengan kata bahsa Inggris yaitu policy yang berbeda dengan kata

wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Istilah policy (kebijakan sering penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan, program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar. Menurut Perserikatan Bangsa-Bngsa, kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau amat kompleks, bersifat umum atau khusus, luar atau sempet, kabur atau jelas, longgar atau terperinci berifat kualitatif atau kuwantitatif, public atau privat. Kebijakan dalam makna seperti ini dapat disimpulkan sebagai suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah atau tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana. Lihat Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaandari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. Ke-6, 2.

33M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 9.

Page 76: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

41

Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang (UU)

sebagai produk huku pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar

kepentingan dan aspirasi terakomodir di dalam keputusan poltik dan menjadi

Undang-undang dan UU tersebut terlahir atas dasar keputusan bersama dan

dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu.34

Dalam merespon pertanyaan tentang politik yang bagaimana yang

melahirkan produk hukum macam apa, jawabannya menggunakan dua konsep

yang dichotomis baik untuk variable politik maupun untuk variable hukumnya.

Variable politik dipecah atas konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi

politik otoriter sedangkan produk hukum dibedakan atas produk hukum yang

berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter ortodoks. Indikator

yang dipergunakan pada variable konfigurasi politik adalah peranan lembaga

perwakilan rakyat, peranan pers dan peranan ekskutif, sedangkan indikator bagi

produk hukum adalah proses pembuatannya, pemberian fungsinya dan peluang

untuk menafsirkannya. Pada konfigurasi politik yang demokratis, lembaga

perwakilan rakyat (parlemen) sangat berperan dalam menentukan arah, kebijakan

dan program politik nasional, sehingga parlemen dapat benar-benar dipandang

sebagai representasi rakyat yang diwakilinya, pers memiliki kebebasan yang

relatif tinggi, sedangkan pemerintah melaksanakan keputusan-keputusan lembaga

perwakilan rakyat dan menghormatinya sebagai representasi rakyat.

Pada konfigurasi politik yang otoriter, terjadi keadaan yang sebaliknya.

Sementara itu pada produk hukum yang berkarakter responsif akan terlihat bahwa

proses pembuatannya bersifat partisipatif, dalam arti menyerap partisipasi

kelompok sosial maupun individu-individu di dalam masyarakat, menyerap

aspirasi masyarakat secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan berbagai

kehendak masyarkat yang saling bersaingan, dan membatasi space bagi

pemerintah untuk membuat tafsiran-tafsiran (interpretasi) yang terlalu banyak

34M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 10.

Page 77: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

42

ditentukan oleh fisi dan kekuasaan politiknya sendiri. Sedangkan pada produk

hukum yang konservatif, terjadi hal yang sebaliknya. Sehingga konfigurasi politik

yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif sedangkan

konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang

konservatif. Demokrasi dan otoriter adalah istilah-istilah yang mengandung

pengertian yang ambigu. Dalam berbagai literatur, banyak ditemui perbedaan

antara demokrasi normatif dan demokrasi empiris yang belum tentu berjalan

seiring. Apa yang secara normatif konstitusional demokratis belum tentu

demokratis pula dalam kenyataan empirisnya. Seperti apa yang diutarakan oleh

Mahfud MD, bahwa menurut Amien Rais bahwa para ilmuwan politik telah lama

mengiingatkan adanya perbedaaan antara format dan subtansi demokrasi yang

harus dilihat secara jeli agar kita tidak terkecoh oleh penampilan. Tampilan suatu

sistem politik dapat saja kelihatan demokratis tetapi justru esensinya otoriter.

Bahkan negara yang sangat otoriter pun dapat mengklain dirinya sebagai negara

demokrasi karena pemerintahannya yang otoriter justru dibangun untuk

melindungi kepentingan rakyat.Di sinilah demokrasi tidak diartikan sebagai

pemerintahan yang dari, oleh dan untuk rakyat.35 Inilah yang menurut pendapat

penulis sebagai kekuasaan otoriter yang amanah. Artinya sikap, pebuatannya

hanya diperuntukkan untuk membangun dan membela kepentingan.

1. Konfigurasi Politik Hukum dan Produk Hukum

Kata konfigurasi atau configuration adalah kata yang berasal dari bahasa

Inggris yang berarti “bentuk” atau “susunan”. Dalam Kamu Besar Bahasa

Indonesia, edisi kedua, konfigurasi adalah “bentuk”, “wujud” untuk

menggambarkan orang atau benda. Artinya bahwa ketika hal itu dikaitkan

dengan Konfigurasi Politik Hukum, maka akan mempunyai makna; suatu bentuk

atau wujud politik hukum dalam suatu negara tentang bagaimana hukum itu

35M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 11

Page 78: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

43

diwujudkan atau dibentuk sesuai dengan keinginan si penguasa dengan

memperhatikan socio-kultural dan yang berkembang di da lam masyarakat.

Konfigurasi ialah suatu pola yang unsur-unsur atau bagian-bagianya

semua saling berkaitan. Dalam menelaah suatu konfigurasi, maka setiap unsur

atau bagiannya diamati dan dianalisa dalam kaitannya satu dengan lain, dalam arti

bukan sebagai unsur atau bagian yang tidak berhubungan atau berdiri sendiri.36

Selanjutnya tinjauan dilakukan dengan memperhatikan keseluruhan susunan

konfigurasi karena sesuatu itu memiliki sifat menyeluruh atau kesatuan bentuk

(Geltalt) yang unik serta tidak mungkin diperhatikan menurut unsur demi unsur

secara terpisah-pisah.

Sementara itu, frame work politik hukum adalah kebijakan pemerintah

yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia

meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan

pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan

bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang

dapat menujukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibagun dan ditegakkan.37

Definisi lain diutarakan oleh Moh. Mahfud MD38 yang mengartikan

konfigurasi politik sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara

dikotomis. Menurut Bambang39 sebenarnya bahasa konfigurasi politik tidak lebih

dari bahasa trend yang digunakan oleh media masa, sebenarnya pengertian

konfigurasi politik lebih dekat dengan pengertian peta kekuatan politik (dinamika

politik).

36Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), Cet. Pertama, 12

37Satria Effendi M. Zein, Aliran-Aliran Pemikiran Hukum Islam, Diktat Pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 9

38M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, LP3ES 1998), 24 39Bambang Eka CW, Makalah Bahan Kuliah Ilmu Pemerintahan (Yogyakarta: UMY, 2003),

tanpa halaman

Page 79: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

44

Bintan Ragen Saragih40 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai

suatu kekuatan-kekuatan politik yang riil (nyata) dan eksis dalam suatu sistem

politik. Konfigurasi politik ini biasanya tergambarkan dalam wujud partai-partai

politik. Bila partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang

berlaku dalam mengambil kebijakan (keputusan) seperti pembentukan hukum

atau kebijakan lainnya maka disebutkan bahwa konfigurasi politik itu adalah

konfigurasi politik yang demokrasi, sedangkan bila partai-partai politik yang ada

itu tidak berperan dalam pengambilan keputusan atau mengambil kebijakan dalam

sistem politik itu maka dikatakan bahwa konfigurasi politik yang ada itu adalah

konfigurasi politik yang otoriter. Dikatakan tergambar dalam partai-partai politik,

karena ada kalanya disebutkan juga kekuatan-kekuatan politik tidak hanya

tergambarkan melalui partai politik tetapi juga tokoh-tokoh berpengaruh,

organisasi kepentingan dan sebagainya.

Studi tentang politik hukum tidak hanya dilihat dari perspektif formal

yang memandang kebijakan-kebijakan hukum dan rumusan-rumusan resmi

sebagai produk saja, melainkan dapat dilihat dari latar belakang dan proses

keluarnya legal policy tersebut. Dapat dipertanyakan misalnya, mengapa dan

bagaimana perspektif formal itu lahir serta apa akibatnya bagi perkembangan

hukum nasional umumnya, pada hukum Islam khususnya.

Dalam perspektif ini terlihat bahwa dalam hubungan tolak angsur antara

politik dan hukum, maka hukum yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem

politik memiliki konsetrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Jika pun

berhadapan hukum berada dalam pihak yang lemah.41 Politik sering

mengintervensi hukum, tak terkecuali hukum Islam. Politik mana yang lebih

dominan, maka aspirasi hukumnya yang akan tersalurkan. Bila saja energi politik

40Bintan Ragen Saragih, Politik Hukum (Bandung: CV Utomo, 2006), 33 41Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin dalam

Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Sinar Baru, 1985), 79

Page 80: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

45

Islam yang dominan, ini berarti hukum Islam mempunyai peluang yang besar

dalam legislasi hukum Islam.

Diskriminasi politik terhadap hukum ternyata bermuara pada tujuan;

sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah; sebagai sarana untuk

menfasilitasi pertumbuhan ekonomi; sebagai sarana untuk menfasilitasi proses

rekayasa sosial; karena lebih kuat konsentrasi energi politik, maka menjadi

beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini

diintervensi politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga

implementasinya.

Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik, maka hukum adalah

kekuasaan. Bahkan menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Moh. Mahfud,

misalnya mencatat, adanya beberapa pengikut paham bahwa hukum adalah

kekuasaan. Pertama, kaum Sophis di Yunani yang menyatakan keadilan adalah

apa yang berfaedah bagi orang yang kuat. Kedua, Lassalle mengatakan konstitusi

suatu negara bukan undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan

secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata di dalam

suatu negara. Ketiga, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukan

yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh

pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya. Keempat, sebagian

pengikut aliran positivisme juga mengatakan kepatuhan kepada hukum tidak lain

dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga

hukum hanya merupakan hak orang yang kuat.42

Untuk melihat hukum Islam dalam tataran politik hukum, maka beberapa

unsur penting yang saling berhubungan adalah; (1) landasan konstitusional yakni

Pancasila dan dioperasionalisasikan secara struktural dalam Undang-undang

Dasar 1945, (2) diimplementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum

nasional yang dirumuskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

42M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 13-14

Page 81: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

46

yaitu GBHN. Ia diarahkan pada perubahan tatanan hukum untuk

menyelenggarakan negara hukum, (3) perubahan masyarakat, watak alami dan

abadi dalam suatu masyarakat ialah mengalami perubahan, baik struktur maupun

pola budayanya, (4) perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional,

disengaja, berencana, dan berjangka, yang secara konkrit dirumuskan dalam

rencana pembangunan nasional di bidang hukum. Ia berhubungan dengan

berbagai faktor perubahan dan kesinambungan hukum Islam, (5) perubahan itu

sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang majemuk,

yaitu kalangan elite, untuk mewujudkan norma-norma dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan (6) Sejarah dan subtansi Hukum

Islam yang terkait dengan penguasa “langit”. Keenam unsur ini memiliki variasi

hubungan fungsional (simetric), hubungan searah (assimetric), dan hubungan

timbal balik (reciprocal).

Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik,

maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga kajian ini memposisikan

politik sebagai variabel bebas dan hukum (hukum Islam) sebagai variabel

terpengaruh.

Kajian ini berangkat dari perspektif bahwa dalam hubungan antara politik

dan hukum, maka hukum yang terpengaruh oleh politik, karena sub sistem politik

mempunyai energi yang paling kuat daripada hukum. Maka untuk melihat hukum

dan lembaganya menurut Daniel S. Lev harus diamati dari bawah dan melihat

peran sosial politik apa yang diberikan kepadanya.43 Karena lebih kuatnya energi

politik dan intervensi politik terhadap hukum, maka kerapkali otonomi hukum di

bawah tekanan politik, bukan saja proses pembuatannya, tetapi juga implementasi

hukum. Sri Soemantri mengkonstatasikan hubungan antara hukum dan politik di

Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika

43Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, aliha Bahasa Zaini Ahmad Noeh dari

judul asli, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, Jakarta: Intermasa, 1986, 2

Page 82: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

47

hukum diibaratkan sebagai rel, maka politik sebagai lokomotifnya, maka sering

terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang semestinya dilaluinya.44

Konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai susunan atau

konstelasi kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagai atas dua konsep, yaitu

konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara konseptual

dan indikator-indikator variabel bebas in adalah45;

a. Konfigurasi Demokrasi

Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang

membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut

aktif menentukan kebijakasanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar

jumlah mayoritas wakil-wakil rakyat dan didasarkan atas kesamaan politik serta

diselenggarakan atas kebebasan politik. Dilihat dari hubungan pemerintah dengan

wakil rakyat, dalam konfigurasi politik demokratis terdapat kebebasan rakyat

untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah.46

Dari sejarah konfigurasi politik di Indonesia kita dapat melihat bagaimana

konfigurasi itu sendiri, pada masa liberal contohnya konfigurasi politiknya

demokrasi. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 pemerintah

mengumumkan bahwa:47

1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan

adanya partai-partai politik istilah depan dipimpin ke jalan yang teratur

segala aliran paham yang ada dalam masyarkat.

2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum

dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat.

44Sri Soemantri Martossuwignyo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif, Makalah

disampaikan pada seminar Identitas Hukum Nasional di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 19-21 Oktober 1987, 6, Lihat juga Mo Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, 13

45Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 16 46M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 24 47Ma’sum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-undang

Dasar 1945 (Yogyakarta: Total Media, 2009), Cet. I, 37

Page 83: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

48

Sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut maka berdirilah

sejumlah partai-partai politik, partai-partai tersebut berperan penting dalam

Komite Nasional Indonesia Pusat. Meskipun peran politik agak menurun pada

masa RIS (Republik Indonesia Serikat) itu disebabkan kekuasaan negara saat itu

berbagi antara pusat negara-negara bagian dan pemerintahan daerah yang berdiri

sendiri. Begitu kuatnya peranan partai-partai tersebut sehingga dapat disebut (saat

berlakunya UUDS 1950) masa itu adalah masa pemerintahan partai-partai politik,

konfigurasi politik pada saat itu sangat demokratis, sehingga hukum diciptakan

benar-benar sesuai dengan realitas masyarakat, dan jumlah hukum yang

diciptakan begitu banyak. Tetapi dipihak lain, karena tidak ada satupun partai

politik yang dominan maka kabinetpun jatuh. Masa liberal inipun dapat disebut

sebagai masa jatuh bangunnya kabinet, atau kabinet yang dibentuk selalu labil. 48

Alfian49 mengatakan UUDS 1940 yang mencerminkan demokrasi liberal

seperti yang terdapat di beberapa negara barat memberikan peranan yang sangat

penting kepada Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (parlemen) karena ia yang

menentukan hidup matinya kabinet, karena parlemen terdiri dari wakil-wakil

partai, maka kekuasaan yang begitu besar langsung mencerminkan dominan

parlemen berarti sama atau sejalan dengan peranan utama partai-partai politik di

dalam sistem politik yang berlaku.

Pada periode ini pernah berlaku tiga macam konstitusi, yaitu UUD 1945,

konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, tetapi konfigurasi politik yang ditampilkan

dapat diberi kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokrasi.

Indikator pertama adalah, dominannya partai-partai politik, kedua, kedudukan

pemerintah sangat lemah dan mudah dijatuhkan melalui “mosi” dilembaga

48Bintan Ragen Saragih, Politik Hukum, 57 49Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1978, 249-250

dalam Bintan Regen Siragih, Politik Hukum, 57

Page 84: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

49

perwakilan (parlement), ketiga, kehidupan pers cukup mendapatkan kebebasan

untuk mengekpresikan temuan, opini, dan kritik-kritiknya.50

Konfigurasi politik yang demokratis51 mempunyai kelebihan dan

kelemahannya, antara lain yaitu; Pertama, terciptanya suasana politik yang “fair”,

kesempatan politik yang besar bagi rakyat untuk bermain secara langsung. Kedua,

mendorong terbentuknya kompetisi yang sehat dalam aspek sosial, ekonomi, yang

berujung kepada pembangunan ekonomi mikro yang stabil dan pasar yang

kualitatif. Ketiga, penegakan hukum dipandang sebagai sebuah solusi, sedangkan

kelemahannya adalah; Pertama, mahal dan kompleknya dalam mencapai suatu

kebijakan terhadap publik. Kedua, kompetensi yang berlarut berimbas negatif

kepada stabilitas yang bisa memburuk.

b. Konfigurasi Otoriter

Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih

memungkinkan negara yang berperan aktif serta mengambil inisiatif hampir

semua kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan

untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan

negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik

oleh elit politik yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang

membenarkan konsentrasi kekuasaan.52

Artinya konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi

yang sangat dominan dengan sifat yang intervensional dalam penentuan dan

pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak

50M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 374 51Demokrasi merupakan pengejawantahan dari nilai demokrasi dalam masyarakat. Demokrasi

dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua, disatu sisi dapat menimbulkan masalah tetapi disisi lain mampu memberikan solusi. Tidak sedikit proses demokratisasi membawa perpecahan sebuah Negara seperti terjadi di Negara Balkan dan Uni Soviet. Hal ini dapat terjadi karena univikasi idiologi tidak mampu secara proposional menampung kepentingan atau keinginan kelompok dalam suatu populasi. Dalam Agus Suratan dan Tuhana Taufiq A, Runtuhnya Negara Bangsa, UPN Veteran, Yogyakarta, 2002, 185

52M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 24

Page 85: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

50

teragregasi dan teraktualisasi secara proposional bahkan, dengan peran

pemerintahan yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik

tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi atas kehendak

pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki kebebasan senantiasa berada dibawah

kontrol pemerintah itu sendiri. Konfigurasi politik otoriter dapat dilihat peralihan

dari masa liberal kemasa terpimpin. Masa demokrasi terpimpin ini oleh penguasa

disebut sebagai masa Orde Lama. Masa demokrasi terpimpin dimulai dengan

dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959,53 kehidupan demokrasi setelah

dikeluarkan dekrit 5 Juli 1959 sangat merosot dan yang muncul adalah sistem

politik otoriter dengan Soekarno sebagai aktor utama. Tampilnya sistem otoriter

ini dipilih sebagai jawaban atas kegagalan periode sebelumnya dalam

membangun stabilitas politik dan pembangunan.54

Konfigurasi politik yang otoriter mempunyai kelebihan yaitu; Pertama,

corak yang otoritarian, cenderung menciptakan dominasi dalam berbagai aspek.

Hal itu, tentu saja memudahkan negara dalam melakukan penyeragaman

(uniform) dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Misalnya; penyeragaman

hukum nasional, penyeragaman budaya, penyeragaman sistem politik. Kedua,

karena corak yang otoritarian memiliki kekuatan yang dominan akan sangat

mudah bagi negara untuk melakukan berbagai penyederhanaan dalam berbagai

aspek kehidupan negara.

53Salah satu pertimbangan dikeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya

konstituente melaksanakan tugasnya hal ini dapat dilihat dari salah satu konsiferans dekrit tersebut berbunyi “bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota siding pembuat undang-undang dasar untuk tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia kepadanya”. Dalam Jueniarto, Sejarah Ketatanegaraan, RI, 1990. lahirnya dekrit 5 Juli 1959 sebetulnya tidak semata-mata karena gagalnya konstituente menetapkan UUD yang baru sebagaimana yang sering dikemukakan dan ditulis dalam banyak buku sejarah ketatanegaraan Indonesia. Tetapi lahirnya dekrit tersebut terutama karena kuatnya desakan militer dan Presiden Soekarno karena keduanya sama-sama berkepentingan untuk kembali ke UUD 1945. dan kekuatan ini lebih eksis di bawah UUD 1945. Benny K. Harman. Konfigurasi Politik, 103

54M. Mahfud MD., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), 77

Page 86: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

51

Sementara kelemahannya adalah; Pertama, tentu saja corak ini tidak

demokratis. Secara politik, sosial dan ekonomi, sistem yang terbentuk tidak

mungkin menciptakan suasana yang konpetitif, karena hanya didominasi saja.

Sehingga tidak menciptakan persaingan yang sehat. Akibatnya adalah terjadinya

kesenjangan dalam bidang sosial dan ekonomi yang tinggi. Kedua, sistem politik

otoriter yang dibangun oleh pemerintah melalui akumulasi kekuasaan secara terus

menerus dengan menggunakan konstitusi yang berlaku dapat pula melemahkan

supremasi hukum karena hukum tidaklah lagi menjadi “supreme”. Supreme

adalah kekuasaan yang dalam prakteknya sangat menentukan karakter isi dan

penegakan hukum.

Konfigurasi yang demokrasi terdapat sistem politik yang demokrasi, dan

sebaliknya yang otoriter terdapat pada sistem politik yang otoriter. Karena itu

politik hukum dalam konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk

menciptakan hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realita sosial,

sedangkan pada konfigurasi politik yang otoriter umumnya menciptakan hukum

untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata

hukum dengan realita sosial. Tetapi adakalanya pada konfigurasi politik yang

otoriter dapat juga tercipta hukum yang mendekatkan tata hukum itu dengan

realita sosial.

Pada suatu pemerintahan yang otoriter, adakalanya politik hukumnya

dicantumkan dalam program kabinet yang ada, adakalanya juga tidak. Tetapi

politik hukum dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini dapat

dilihat dari produk perundang-undangan yang dibuat, hingga bentuk yang

tampaknya demokratis dengan membentuk parlemen melalui pemilihan umum

yang telah direkayasa dalam pemilihan umum tersebut untuk selalu memberikan

persetujuannya dalam pembentukan undang-undang.

Walaupun pada demokrasi terpimpin dan Orde Baru sistem politik yang

dibangun adalah autokrasi atau oligarki pembangunan, tetapi keberadaan

Page 87: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

52

lembaga-lembaga politik dan kekuasaan kehakiman tetap dipertahankan, bukan

dihilangkan. Hanya fungsinya yang diamputasi dan arahnya untuk mendukung

kebijakan rezim yang berkuasa.

Lahirnya konfigurasi politik tidaklah mutlak tergantung pada konstitusi55

atau undang-undang dasar yang berlaku. Berlakunya undang-undang dasar dapat

memperlihatkan konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang

berbeda pula. Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku tahun 1945-1955 ternyata

melahirkan konfigurasi politik demokrasi. Sedangkan setelah tahun 1966, UUD

1945 melahirkan konfigurasi politik yang otoriter. Terbukti juga bahwa meskipun

pernah berlaku tiga konstitusi yang berbeda yaitu UUD 1945 tetapi konfigurasi

RIS, Undang-undang Dasar Sementara 1945 tetapi konfigurasi politik yang

dilahirkan adalah sama yakni konfigurasi politik yang demokratis. Disini yang

berlaku ditekankan adalah perlunya sinergi antara orang dan sistem yang sama-

sama baik. Sistem yang baik bisa jelek dibawah orang yang jelek. Tetapi juga

orang yang baik bisa menjadi jelek dibawah sistem yang jelek. Artinya sistem

sangat berperan penting dalam suatu perubahan yang demokratis.

Dalam menentukan karakter produk hukum di Indonesia yang dijadikan

sebagai studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang digunakan oleh Moh.

Mahfud. Ada dua karakter produk hukum; 56

55Konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis, Undang-undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi tertulis. Konstitusi dalam praktiknya dapat berarti lebih luas dari pada undang-undang dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-undang Dasar. Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan undang-undang dasar, sebenarnya sudah mulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan undang-undang dasar itu sebagai istrumen of govermment, yaitu bahwa undang-undang dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan disinilah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan undang-undang dasar. Konstitusi itu sendiri sebenarnya merupakan alat untuk membentuk system politik dan sistem hukum dalam suatu Negara itu sendiri. Dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi ( Yogyakarta: Rajawali Press,. 2006), 45.

56Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 18

Page 88: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

53

1) Produk Hukum Responsif/Populistik

Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses

pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-

kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif

terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.

2) Produk Hukum Konservatif/ortodok/elitis

Adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit

politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis

instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara.

Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap

tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam

pembuatannya peranan dan pastisipasi relatif kecil.

Untuk mengkualifisir apakah produk hukum itu responsif atau konservatif,

indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat, fungsi hukum dan

kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum. Semakin banyak partisipasi

masyarakat semakin mendekati hukum yang responsif dan sebaliknya semakin

kecil partisipasi kelompok masyarakat, semakin jauh pula hukum itu dari karakter

hukum responsif. Maka untuk karakter produk hukum ini disebut, konservatif atau

ortodoks / elitis.

C. Politik Hukum Nasional

Jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan

tujuan cita-cita ideal negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan

Pancasila sebagai dasar Falsafah negara Republik Indonesia. Dalam politik

hukum nasional memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai. Tujuan tersebut

antara lain meliputi dua aspek yang saling berkaitan:

Page 89: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

54

1. Tujuan Politik Hukum Nasional

a. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan

oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang

dikehendaki; Mahfud MD. mengutarakan bahwa politik hukum adalah

merupakan legal policy tentang hukum yang akan dibelakukan untuk

mencapai tujuan negara. Disini posisi hukum diposisikan sebagai alat

untuk mencapai tujuan negara.57 Terkait dengan ini Sunaryati Hartono

mengemukakan “Hukum sebagai Alat”, sehingga secara praktis politik

hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat

digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional

guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. 58

b. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa

Indonesia yang lebih besar.59 Sistem hukum nasional terdiri dari dua

istilah sistem dan hukum. Sistem berarti suatu keseluruhan yang tersusun

dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts)60 atau

hunungan yang langsung antara satuan-satuan atau komponen-komponen

secara teratur (an organized, functioning relaionship among units or

components).61 Dengan kata lain, bahwa sistem adalah sekumpulan bagian

atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan

satu keseluruhan.62 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, sistem adalah

57M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, 2 58C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju satu sitem Hukum Nasional (Bandung:

Alumni, 1991), 1. 59Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004), Cet. Pertama, 59 60Willian A. Shrode dan Dan Voich, Organization and Management: Basic System Concept

(Malaysia: Irwin Book Co., 1974), 115 61Elias M. Awad, System Analysis and Design (Homewood, Illiois Richard D. Irwin, 1979),

4. 62Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: rajawali Press, 1996, 1.

Page 90: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

55

suatu kesatuan yang bersifat komplek, terdiri dari bagian-bagian yang

berhubungan dan berkerja secara aktif unuk mencapai tujuan. 63

Sedangkan makna hukum nasional adalah hukum atau aturan perundang-

undangan yang tertera dalam landasan ideologi negara yakni Pancasila dan

Undang-Undang Dasar ’45 atau huku yang dibangun atas kreatifitas atau prakarsa

bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian berarti hukum nasional adalah sistem

hukum yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang sudah lama ada

dan berkembang sampai sekarang.

2. Ruang lingkup Politik Hukum Nasional

Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum adalah

meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum lembaga kenegaraan

pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal)

yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara. Tiga

permasalahan itu baru sebatas membahas proses pembentukan politik hukum,

belum berbicara pada tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan produk hukum

yang merupakan konsekuensi politis dari sebuah politik hukum.

Politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada

pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menetapkan

undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan

pengadilan.64

Permasalahannya sekarang, ketika kita berbicara tentang wilayah kajian

(domain) sebuah disiplin ilmu yang akan dipergunakan para mahasiswa hukum,

politik hukum dalam perspektif akademis tidak hanya berbicara sebatas

pengertian di atas an sich tetapi mengkritisi juga produk-produk hukum yang

63Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Jakarta: Citra Aditya Bhakti 1991), cet. Ketiga, 48. 64M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 13

Page 91: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

56

telah dibentuk. Dengan demikian, politik hukum menganut prinsip double

movement, yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam

bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang, ia

juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan

berdasarkan legal policy di atas. Berdasarkan uraian tersebut, ruang lingkup atau

wilayah kajian politik hukum sebagai berikut:

a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam

masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan

politik hukum;

b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke

dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh

penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum;

c. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan

politik hukum;

d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum;

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum,

baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;

f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan

implementasi dari politik hukum suatu negara

Keenam hal tersebut di atas itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah

telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat

untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah

kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan

dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah kajian itu tentu saja bersifat

integral65 satu sama lain.

65Kata integral berasal dari bahasa Belanda Integraal atau bahasa Inggri integral yang berarti

mengenai keseluruhan; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadi lengkap, utuh, bulat dan

Page 92: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

57

Ruang lingkup pertama merupakan tahap awal dari kajian politik hukum.

Pada tahap ini kita ingin mengetahui apakah nilai-nilai (values) dan aspirasi yang

berkembang dalam masyarakat telah diakomodasi oleh penyelenggara negara

yang merumuskan politik hukum atau bahkan mungkin sebaliknya. Kajian

terhadap bidang ini penting untuk dilakukan karena secara substansial, hukum

tidak pernah lepas dari struktur rohaniah masyarakat yang bersangkutan, atau

masyarakat yang mendukung hukum tersebut. Itu artinya bila hukum itu dibangun

diatas landasan yang tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa

dipastikan resistensi masyarakat terhadap hukum itu sangat kuat. Bila itu

dikaitkan dengan teori keberlakuan hukum, hukum yang baik harus memenuhi

syarat sosiologis, filosofis dan yuridis.66

Agar resistensi masyarakat itu tidak terjadi dan syarat keberlakuan hukum

terpenuhi, para penyelenggara negara yang berwenang menarik dan merumuskan

nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis harus peka terhadap kedua hal

tersebut. Namun, disinila letak permasalahannya, lembaga kenegaraan yang

berwenang menentukan politik hukum atau legal framework yaitu sebuah

kerangka umum yang memberikan bentuk dan isi dari hukum suatu negara67,

bukan lembaga yang genuine dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga-

sempurna. Katon Y. Stefanus, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik di Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1998), 18

66Dalam khazanah ilmu hukum suatu peraturan perundang-undangan dapat diakui eksistensinya bila ia mempunyai keabsahan dari sisi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologisnya. (1) Keabsahan secara yuridis (juritische geltung) adalah apabila ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi; (2) Keabsahan sosiologis (Seziologische geltung) adalah apabila berlakunya tidak hanya karena paksaan penguasa tetapi juga karena diterima masyarakat; (3) Keabsahan filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dalam UUD 1945 nilai-nilai tersebut tercermin dalam apa yang disebutdengan Cita Hukum (rechtsidee). Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992), 13-16; Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II (Jakarta: Gunung Agung, 2002), 114-115; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Edisi III, Cet. I (Yogyakarta: Leberty, 1991), 74-76

67Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan dalam Artidjo Alkostar (ed), Identitas Hukum Nasional (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), 211

Page 93: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

58

lembaga itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih

mementingkan aspirasi kelompoknya dari pada aspirasi masyarakat secara umum.

Dari asumsi dasar ini penulis hendak mengatakan bahwa hukum tidak

boleh diterima begitu saja secara apa adanya (taken for granted) tanpa

mempertimbangkan latar belakang yang bersifat non-hukum yang kemudian

sangat determinan dalam mempengaruhi bentuk dan isi suatu produk hukum

tertentu. 68Bagian ini menjadi wilayah kajian kedua, ketiga, dan kelima dari

disiplin politik hukum. Adapun wilayah kajian yang keempat merupakan

konsekuensi logis dari wilayah kajian politik hukum kedua dan ketiga. Pada

wilayah kajian keempat kita akan mengetahui pada tataran peraturan perundang-

undangan yang mana suatu kebijakan hukum sebuah negara dapat ditemukan.

Mengetahui hal ini akan bermanfaat bagi mahasiswa hukum untuk menentukan

penghierarkian peraturan perundang-undangan, sehingga antara peraturan

perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak saling bertentangan.

3. Aspek Politik Hukum Nasional

Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-

cita ideal negara Republik Indonesia tujuan itu meliputi dua aspek yang saling

berkaitan (1) yaitu sebagai suatu alat (tool atau sarana dan langkah yang dapat

digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum yang

dikehendaki, (2) dengan sistem hukum nasional akan diwujudkan cita-cita bangsa

Indonesia yang lebih besar. Sistem hukum nasional diadaptasi dari istilah bahasa

Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak

bagian (whole coumpounded of several parts), atau hubungan yang berlangsung

diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an organized,

functioning realitionship amoung units or components).

68Penghierarkian peraturan perundang-undangan mengingatkan pada gagasan pertingkatan hukum Kelsen. Kelses mengatakan, hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 81-82

Page 94: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

59

Hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang

didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu pancasila

dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun diatas kreativitas atau aktivitas yang

di dasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu,

maka hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber

dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang.

Dengan kata lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai

buah usaha budaya rakyat indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem

hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.

Perlu ditekankan bahwa hukum nasional tidak bisa dilepaskan dari

konteks sejarah, sebagaimana di ketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum

memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih

memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial

belanda, kemudian atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan

perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian

nama: Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi

dari Wetboek van Straafrechts, Kitab Undang- undang Hukum Perdata dari

Burgelijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dari Wetboek van

Koophandel,. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak lagi sesuai

dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religius turut pula

diganti dan ditambahkan yang baru.69 Pendekatan seperti di atas dalam jangka

pendek sangat bermanfaat karena dapat menghindarkan terjadinya kekosongan

hukum (reshtsvacuum).

69Proses ini disebut Jaspan sebagai penggantian atau penambahan peraturan hukum ad hoc

satu persatu pada hukum colonial. M. A. Jaspan ‘mencari hukum baru : sinkritisme hukum di Indonesia yang membingungkan’ dalam Mulyan W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), 250-251

Page 95: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

60

1. Hierarki Hukum Nasional

Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan

peraturan perundang-undang, hierarki hukum di Indonesia adalah (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD), (2) Undang-

Undang (UU), (3) Peraturan Pemerintah Pengganti UU (perpu), (4) Peraturan

Pemerintah (PP), (5) Peraturan Presiden (Perpres), dan (6) Peraturan Daerah

(Perda).70

Peraturan perundang-undangan yang berada di urutan teratas adalah

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari yang berada di bawahnya.

Karena itu, peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya

(Penjelasan Pasal 7 ayat 5 UU No. 10 Tahun 2004).

Dengan adanya penentuan hierarki hukum di atas, maka sumber hukum

lain, seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tidak

berlaku lagi. Selanjutnya, TAP MPR yang sudah diterbitkan dan bersifat

mengatur ke luar harus diproses menjadi UU. Dengan demikian, pasca

amandemen UUD, kekuasaan MPR di bidang peraturan perundang-undangan

hanya mengubah dan menetapkan UUD yang berada dalam urutan teratas dalam

hierarki hukum Indonesia.

UU sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh DPR sebagai

lembaga pembentuk undang-undang (Pasal 20 ayat [1] UUD 1945) bersama

presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di lembaga eksekutif. Pasal 20

ayat (2) sampai (5) UUD menyatakan bahwa: (2) setiap rancangan UU dibahas

oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; (3) jika

rancangan UU tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan UU itu tidak

70UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan dikutip dari Lembaran

Negara Tahun 2004 No.53 sebagaimana dimuat dalam http://www. parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004.pdf.

Page 96: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

61

boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) presiden mengesahkan

rancangan UU yang telah disetujui bersama; (5) jika presiden tidak mengesahkan

rancangan UU yang telah disetujui bersama dalam 30 hari semenjak

pengesahannya, rancangan UU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan.71

Ketentuan di atas mengisyaratkan bahwa dalam pembentukan UU, DPR dan

presiden harus mengutamakan kebersamaan, karena kalau salah satu pihak tidak

menyetujui pasal-pasal dalam rancangan UU, maka rancangan UU tadi tidak bisa

disahkan menjadi UU. Nah, UU Perbankan Syariah ini sudah mendapatkan

persetujuan bersama dari DPR dan presiden sehingga dapat disahkan dan

diundangkan menjadi UU.

Di bawah UU ada, Perpu. Penerbitan Perpu merupakan kewenangan

presiden. Pasal 22 ayat 1-3 UUD menyatakan bahwa (1) Dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perpu; (2) Perpu itu

harus mendapat persetujuan DPR; (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka

Perpu itu harus dicabut. Jadi, syarat penerbitan Perpu ada dua, yaitu: (1) adanya

kegentingan yang memaksa dan (2) mendapatkan persetujuan DPR. Istilah

kegentingan yang memaksa sangat luas pengertiannya sehingga memberikan

ruang yang cukup bagi Presiden untuk menafsirkannya. Kegentingan memaksa ini

sudah diterjemahkan dalam berbagai makna, mulai dari adanya konflik dan

bencana alam atau upaya mencegah terjadinya kerugian ekonomi (mencegah

hengkangnya investasi asing) di masa mendatang.72 Ketika DPR bersama

presiden sagat lamban dalam memberikan persetujuan bersama terhadap

rancangan UU Perbankan Syariah, muncul suara agar Presiden menerbitkan Perpu

Perbankan Syariah. Kepentingan memaksa yang menjadi alasan adalah Perbankan

71Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikutip

dari, MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), 67.

72Contoh dari yang menjadikan ancaman kerugian ekonomi di masa mendatang sebagai hal ihwal kepentingan memaksa adalah perpu No. 1Tahun 2007 tentang prubahan UU No. 36 Tahun 2000 Tentang Pelabuhan Dan Perdagangan Bebas.

Page 97: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

62

Syariah belum mempunyai kepastian hukum sehingga kesulitan mengembangkan

diri padahal masyarakat Indonesia menantikan kemajuan dan perkembangannya,

karena sangat cocok secara ideologis maupun secara ekonomis. Namun, rupanya

Presiden tidak menerbitkan Perpu tadi dan lebih memilih menyelesaikan UU

Perbankan Syariah secara normal.

Di bawah Perpu ada PP dan Perpres. Kedua produk hukum ini merupakan

kewenangan presiden. Hanya saja, PP diterbitkan presiden untuk melaksanakan

UU dan berdasarkan perintah dari UU, seperti pasal yang berbunyi: "Ketentuan

lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur lebih lanjut dalam PP." Sementara itu,

Perpres bisa diperintahkan oleh UU sebagaimana juga bisa sebagai inisiatif

presiden untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Yang penting, Perpres itu tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di

atasnya.

Di bawah Perpres ada Perda. Perda terbagi ke dalam tiga macam, seperti

diulas dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004, yaitu Perda provinsi yang

dibuat oleh DPRD provinsi bersama gubernur, Perda kabupaten/kota yang dibuat

DPRD kabupaten kota/ bersama gubernur bupati/walikota, serta Peraturan

Desa/peraturan atau yang setingkat yang yang dibuat oleh badan perwakilan desa

atau nama lainnya bersama kepala desa atau nama lainnya.Walaupun Perda

merupakan hasil dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah, Perda

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di

atasnya. Jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undanganyang

ada di atasnya, maka Perda bisa dibatalkan oleh pemerintah melalui Perpres, 60

hari sejak disahkannya. Walau begitu, Pemda masih mempunyai ruang untuk

mempertahankan Perda dengan mengajukan perkara ke Mahkamah Agung untuk

meninjau kembali Perpres itu. Selanjutnya, pemberlakukan Perda itu tergantung

Page 98: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

63

pada putusan Mahkamah Agung (Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah).73

Dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum

dan tata urutan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa tata urut

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia secara hirarkis di Indonesia

adalah:74

UUD 1945

TAP MPR

UU

PERPU

PP

KEPRES

PERDA

Gambar 1

Hirarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Pada gambar di atas tampak bahwa UUD 1945 menempati posisi tertinggi

dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan kemudian disusul di

bawahnya secara berurutan: TAP MPR, UU, PERPU, PP, KEPRES dan terakhir

73UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikutip dari lembaran Negara Tahun

2004 No. 125 dan Tambahan Lembaran Negara NO. 4437. 74Republik Indonesia, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR tentang

sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, Jakarta: Sekretariat Jendreal MPR RI, 2000), sebagaimana diketahui, ketetapan ini mencabut dan mengganti sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor: XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR dan sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2000).

Page 99: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

64

PERDA, namun perlu diketahui bahwa kendati bersifat hirarkis seperti itu, bukan

berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan

selalu bersumber atau merupakan perincian teknis dari peraturan perundang-

undangan yang berada persis di atasnya seperti PERDA berasal dari KEPRES,

PP, dari PERPU atau lainnya. Penyusunan hirarki atau tata urutan peraturan

perundang-undangan itu semata-mata dalam rangka menyingkronkan atau

menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundang-

undangan dengan peraturan perundangan lainnya. Dengan demikian sebuah atau

lebih peraturan perundang-undangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan

tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut.

4. Karakteristik Politik Hukum Nasional

Karakteristik yang dimaksud adalah kebijakan atau arah yang akan dituju

oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional,

sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat. Untuk itu kita perlu

untuk menengok kembali rumusan politik hukum nasional yakni: Menata sistem

hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan

menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-

undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk

ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui

program legislasi. 75

Berdasarkan kutipan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat kita

tarik: (1) sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh

dan terpadu; (2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan

menghormati eksistensi hukum agama dna hukum adat; (3) melakukan

75GBHN. pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan

Negara mengenai Arah Kebijakan bidang hukum.

Page 100: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

65

pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang

diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.76

Bila kita perhatikan rumusan politik hukum nasional yang berbunyi:

Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan antara lain

mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang

tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

D. Lembaga-Lembaga Pembentuk Hukum

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945) Negara Republik Indonesia,

perubahan ke-III (tiga) pada 9 November 2001 yang berbunyi; Indonesia adalah

negara hukum (rechtstaat), sebagai pasal yang sudah di amandemen,“Negara

Indonesia adalah negara yang berbentuk republik. Dalam kaitannya dengan pasal

tersebut negara hukum sangat menjunjung tinggi dan mengayomi lembaga-

lembaga dengan payung hukum yang jelas, baik dalam ranah legislatif, eksekutif

maupun yudikatif, berikut ini pembagian kekuasaan yang sudah dipisahkan

kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD)77, yakni:

1. Lembaga Legislatif

Dalam penelitian ini, bahasan pembuat undang-undang, pelaksana

undang-undang, dan kekuasaan untuk mengadili akan peneliti uraikan

sehubungan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menjalankan serta

menyelenggarakan roda pemerintahan. Keberadaan lembaga (organ) ini masing-

masing mempunyai dasar hukum yang kuat yakni ada yang diatur langsung oleh

Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan undang-undang yang khusus

76 TAP MPR No. IV/MPR/1999 berbeda radaksinya dengan TAP-TAP MPR sebelumnya,

seperti, TAP MPR No. IV/MPR/1978 butir (c) 77Lembaga negara yang dibentuk/disebut/atau diberikan wewenang oleh UUD 1945, salah

satunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diatur dalam Pasal 19-22B UUD 1945. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Ahmad Roestandi (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cetakan ke1, 112.

Page 101: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

66

meligitimasi keberadaannya.78 Baik dalam bingkai legislatif, ekskutif, maupun

yudiktif. .

Perjalanan panjang dalam mewariskan peradaban baru dalam dunia ini

selalu dibarengi dengan proses dan peristiwa, dari proses otoriter menjadi sistem

yang demokrasi, dan peneliti menelusuri dari proses awal mula terjadinya

pemisahan kekuasaan, yakni dimulai dari demokrasi itu digulirkan. Kekuasaaan

legislatif yang dimanifestasikan sebagai wakil rakyat, ialah:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi

negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi

keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem

bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme),

perubahan-perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu

memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut.

a. Susunan Keanggotaan MPR

Susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena

dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip

perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR.

Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political

78Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau

lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisani Non Pemerintah yang dalam Bahasa Inggris disebut Non-Goverenment Organization atau Non-Goverenmental Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu lembaga apasaja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, ekskutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam Bahasa Belanda disebut staatsorgaan. Dalam Bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), cetakan ke-2, 31.

Page 102: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

67

representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang

mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif).

b. Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat

Bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi

MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional).79 Majelis ini

tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi

dan tanpa kontrol, akan tetapi kewenangannya berubah menjadi:

1) menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan/atau Perubahan UUD 1945;

2) melantik Presiden dan Wakil Presiden;

3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan

4) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai

terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.

Dengan mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)

secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat

(1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas

lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945.

Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan

membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai

kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu

rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi

menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem

79Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan keempat UUD tahun

1945, Jimly asshiddiqie, Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Tema Penegakan hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Page 103: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

68

pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke

lembaga-lembaga negara di bawahnya.80

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung

oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang

sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem

pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung

oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi

dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada

rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan

pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu,

sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua

kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan

Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung

oleh rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga

tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan

rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama kedudukannya sederajat dengan

Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi. Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya

menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri

disamping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan

UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah

ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan

pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.

80Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta:

KonPress, 2005), cet. Pertama, 95.

Page 104: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

69

Pasal 8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil

presiden, selambat lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk

memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan

ayat (3) nya menyatakan bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan

wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu,

MPR bersidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon

presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang

pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara (pen:‘yang’) terbanyak

pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya.

Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3), pasal 7A dan 7B, MPR juga

berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud oleh

pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945, dengan adanya kewenangan yang

demikian itu maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri

sendiri disamping DPR dan DPD. Dengan demikian, meskipun didunia hanya

dikenal adanya struktur parlemen unicameral dan bicameral, UUD 1945

memperkenalkan sistem ketiga, yaitu parlemen trikameral atau trikameralisme.

2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)81 menurut ketentuan UUD

1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain

18 sebagai kamar kedua parlemen (bikameralisme) Indonesia di masa depan.

Akan tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila

kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif

sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak

mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan

pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah

81Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta:

Kon. Press, 2005), cet. Pertama, 28.

Page 105: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

70

DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat

disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim.

Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang

legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’,

tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi,

dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa

struktur yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang

kedudukan keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut

sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun. DPD, menurut ketentuan pasal 22 D (a)

dapat mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut

membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada

DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat

melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3).

Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang

memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan

Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan

kepada DPR. Ironisnya, mekanisnme pengisian jabatan keanggotaan DPD ini

lebih berat bila dibandingkan dengan mekanisme pengisian keanggotaan DPR.

Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota DPD adalah perorangan,

sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai politik. Artinya, dapat terjadi

tokoh perorangan yang akan tampil sebagai calon anggota DPD menghadapi

kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan bagi dirinya, sedangkan calon

anggota DPR cukup memanfaatkan struktur partai politiknya sebagai mesin

penghimpun dukungan suara dalam pemilihan umum.

Dengan perkataan lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota perwakilan

ditingkat pusat, setelah berhasil, kewenangannya sangat terbatas. Karena itu,

banyak orang yang pesimis dengan pola pengaturan DPD yang demikian. Tentu

ada juga argumen sebaliknya yang cenderung lebih optimis. Justru karena

Page 106: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

71

kewenangannya yang terbatas itu menyebabkan DPD dapat terhindar dari sasaran

kritik dari masyarakat madani (civil society), asalkan para anggota DPD dapat

terbuka. Karena pusat kewenangan untuk memutuskan atas nama rakyat dan

untuk kepentingan dan aspirasi rakyat ada di DPR, maka DPR-lah yang akan

menjadi pusat hujatan dan kemarahan apabila aspirasi rakyat tidak sungguh-

sungguh disalurkan.

Dengan demikian, para anggota DPD dapat bermain ditengah gelombang

aspirasi rakyat secara lebih terbuka dan memihak kepada rakyat didaerah-daerah.

Karena itu, bagi para politisi muda, DPD dapat menjadi wadah baru untuk

aktualisasi diri dan forum pelatihan kepemimpinan politik yang efektif untuk

masa depan. Oleh karena itu, ditengah kritik dan kekecewaan atas pengaturan

yang sangat mengecil arti lembaga perwakilan daerah ini, masih tersisa optimisme

yang cukup menjanjikan untuk penataan sistem politik nasional ke depan.

3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bab VII Pasal 19 sampai

dengan 22B. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan

Kedudukan. Pasal 20 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang

kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk undang-undang

dengan persetujuan bersama Pemerintah.82 Adapun beberapa fungsinya juga

diatur oleh pasal 20 A ayat 1 yang antara lain;

a. Fungsi Pengaturan (legislasi)

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan

kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur

82Lembaga negara yang dibentuk/disebut atau diberikan wewenang oleh UUD

1945, antara lain; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diatur dalam Pasal 19-22B UUD 1945. Ahmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cet. 1, 112.

Page 107: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

72

kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu

pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen

atau lembaga legislatif.83

Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui

parlemen, yaitu:

1) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara;

2) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara; dan

3) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara

negara.84

Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas

persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil

mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, yang

biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi

legislasi atau pengaturan.

Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan

untuk menentukan peraturan yang menghikat warga negara dengan norma-norma

hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga, kewenangan ini utamanya

hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan

norma hukum yang dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak

mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang

83Selain itu, fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai

berikut :Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval); Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

84Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), jilid II, cet, ke-1, 33.

Page 108: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

73

paling tinggi dibawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh

parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.

Selanjutnya, kewenangan pengaturan lebih operasional itu dianggap

berasal dari delegasi kewenangan legislatif dari lembaga perwakilan rakyat

(khususnya DPR) yang didalamnya ada alat kelengkapan dalam menjalankan

fungsi dan kewenangannya, adapun alat kewenangannya terdiri dari; Pimpinan

DPR (Leadership of DPR), Badan Musyawarah (Steering Committee), Komisi

(Commissions),85 Badan Legislasi (Legislation Council), Panitia Anggaran

(Budget Committee), Badan Urusan Rumah Tangga (Household Committee),

Badan Kerja Sama AntarParlemen (Committee for Inter-parliamentary

Cooperation), Badan Kehormatan (Conduct Council), dan Panitia Khusus, Badan

Akuntabilitas Keuangan Negara, (Accountability Committee of State Treasury

News).86

Pengecualian terhadap doktrin pendelegasian kewenangan pengaturan

yang demikian itu hanya dapat diterima berdasarkan prinsip frijsermessen yang

dikenal dalam hukum administrasi negara, dimana pemerintah dengan sendirinya

dianggap memiliki keleluasaan untuk bertindak atau bergerak dalam rangka

penyelengaraan administrasi pemerintahan untuk kepentingan umum. Dalam hal

yang terakhir ini, tanpa delegasipun pemerintah dianggap berwenang menetapkan

peraturan dibawah undang-undang secara mandiri atau otonomi, meskipun tidak

diperintah oleh undang-undang.87

85Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan

dengan fungsi-fungsi DPR-RI, substansinya dikerjakan di dalam Komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan Komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh Komisi. http://id.wikipedia.org/wiki/DPR#Badan_Kehormatan Tugas dan Wewenang. Diakses pada, Sabtu, 1 Mei 2010.

86 http//www.dprri.go.id. Diakses pada 10 April 2010. 87Penggunaan huruf besar “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan undang-

undang yang sudah tertentu (definite), misalnya undang-undang nomor dan nama tertentu, jika penggunaan huruf kecil “undang-undang” maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu atau belum terkait dengan nomor dan judul tertentu. Dengan kata lain

Page 109: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

74

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, fungsi

legislasi ini biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, lembaga

parlemen atau lembaga perwakilan biasa dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu: (a)

fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Pembedaan ini

misalnya, dapat dilihat dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan

anggota MPR, DPR, dan DPRD.88

Dalam praktiknya di Indonesia, fungsi legilasilah yang dianggap utama,

sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi yang kedua dan

ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang. Padahal,

ketiga-tiganya sama-sama penting. Bahkan dewasa ini, di seluruh penjuru dunia,

yang lebih diutamakan justru adalah fungsi pengawasan daripada fungsi legislasi.

Hal ini terjadi karena sistem hukum diberbagai negara maju sudah dianggap

cukup untuk menjadi pedoman penyelenggaraan negara yang demokratis dan

sejahtera, sehingga tidak banyak lagi produk hukum baru yang diperlukan.89

Di samping itu, perlu ditelaah secara kritis pula mengenai fungsi

penganggaran (Budgeting), apakah tepat disebut sebagai fungsi tersendiri.

Masalahnya, anggaran pendapatan dan belanja negara itu dituangkan dalam baju

hukum undang-undang, sehingga penyusunan anggaran dan belanja negara itu

identik dengan pembentukan undang-undang tentang APBN, meskipun

rancangannya selalu harus datang dari Presiden.

Sementara itu, pelaksanaan APBN itu sendiri harus pula diawasi oleh

DPR, dan pengawasan itu sendiri termasuk kategori fungsi pengawasan oleh

parlemen. Oleh karena itu, sebenarnya, lebih tepat untuk mengelompkkan fungsi-

“undang-undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah perkataan yang terkait dengan undang-undang yang tertentu dan dikaitkan dengan nama tertentu. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Pdf, 31, diakses pada Ahad, 7 Februari 2010.

88Indonesia, Undang-undang tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan.

89Jimly Asshiddiqie, Pergumulan peran pemerintah dan parlemen dalam sejarah (Jakarta: UI press, 1966).

Page 110: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

75

fungsi parlemen itu menjadi tiga, yaitu: (i) pengawasan, (ii) legislasi, dan (iii)

representasi.

b. Fungsi Pengawasan (Control)

Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses

perumusan dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan

dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen

bersama dengan pemerintah.

Pada intinya, Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang serta Peraturan

Perundang-undangan pelaksanaan lainnya mencerminkan norma-norma hukum

yang berisi kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam bentuk hukum

tertentu yang tidak boleh bertentangan dengan state policy yang tertuang dalam

bentuk hukum yang lebuh tinggi. Setiap kebijakan yang dimaksud, baik

menyangkut bentuk penuangannya, isinya, maupun pelaksanaannya haruslah

dikontrol dengan seksama oleh lembaga perwakilan rakyat.

Pengawasan oleh parlemen juga berkaitan dengan pengangkatan dan

pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang memerlukan sentuhan

pertimbangan yang bersifat politik. Semua pejabat yang dipilih secara tidak

langsung oleh rakyat, maka pemilihannya dilakukan oleh lembaga perwakilan

rakyat. Demikian pula pejabat publik lainnya yang perlu diangkat dengan

pertimbangan politik tertentu, maka pengangkatannya ditentukan harus dengan

pertimbangan atau bahkan dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.

Misalnya, pengangkatan para Hakim Agung di pilih oleh Dewan

Perwakilan Rakyat untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan

keputusan Presiden.90 Tiga orang Hakim Konstitusi, dipilih oleh DPR untuk

selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Duta besar, diangkat oleh

90Pasal 24A UUD 1945, Pasal 8 UU No 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 4

Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.Calon Hakim Agung yang akan dipilih oleh DPR adalah Calon Hakim Agung yang diusulkan dari Komisi Yudisial.

Page 111: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

76

Presiden dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pimpinan atau Dewan

Gubernur Bank Sentral dipilih oleh DPR91 untuk selanjutnya ditetapkan dengan

keputusan Presiden. Panglima TNI dan Kepala POLRI diangkat oleh Presiden

dengan persetujuan DPR, dan lain sebagainya.

Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk

memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini disebut

juga sebagai hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Hak

untuk konfirmasi (right to confirm) ini khusus diberikan dalam rangka

pengangkatan pejabat publik melalui pengangkatan politis (political

appointment). Dengan adanya hal ini, anggota perwakilan rakyat dalam parlemen

turut aktif membangun negara dan tetap mengawasi pemerintah,92 sebagaimana

fungsinya yakni mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat publik

dimaksud dalam menjalankan tugas dan kewenagannya masing-masing agar

sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Sehingga, fungsi kontrol inilah yang sebenarnya lebih utama daripada

fungsi legislasi. Fungsi kontrol inilah tidak saja berkenaan denagn kinerja

pemerintah dalam melaksankan ketentuan undang-undang ataupun kebijakan

yang telah ditentukan, melainkan juga berkaitan dengan penentuan anggaran dan

pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang telah ditetapkan. Oleh

sebab itu, dalam fungsi pengawasan sudah terkandung pula pengertian fungsi

91Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 13, perubahan pertama.

92Dalam praktek, sebenarnya fungsi kontrol atau pengawasan inilah yang harus diutamakan. Apalagi pada hakikatnya, asal mula munculnya konsep parlemen sebagai lembaga perwakilan itu sendiri dalam sejarah berkaitan erat dengan kata le Parle yang berarti to speak yang berarti “berbicara”. Artinya, wakil rakyat itu adalah juru bicara rakyat, yaitu menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat. Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak ubahnya merupakan wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan untuk materi kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya diwakili.Tugas utama Parlemen adalah memilih dan mengawasi pemerintahan serta mengadakan undang-undang negara, A.Heuken SJ dkk, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1984), jilid IV, cet, ke-5, 15.

Page 112: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

77

anggaran (budgeting) yang di Indonesia di sebut sebagai fungsi tersendiri.

Sesungguhnya, fungsi anggaran itu sendiri merupakan salah satu manifestasi

fungsi pengawasan, yaitu pengawasan fiskal. Dengan demikian yang terpenting.

Dengan demikian, yang penting disebut tersendiri sebagai fungsi parlemen itu

sebenarnya adalah fungsi legislasi, fungsi pengawasan (control), dan fungsi

representasi (representation).

c. Fungsi Perwakilan (Representasi)

Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok

sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga

perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam

hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan

representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan

yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan

yang kedua bersifat substantif, yaitu keterwakilan atas dasar aspirasi atau idea.93

Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada

apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga

perwakilah rakyat. Akan tetapi secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri

baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat

rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian

dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang

bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar

diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan

oleh parlemen.

93Pada 10 Agustus 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI telah menetapkan perubahan

keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya mengenai Pasal 2 yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ismail Sunny, Kumpulan seminar “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional” (Jakarta: Departemen Hukum dan Ham RI BPHN, 2006).

Page 113: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

78

Untuk menjamin keterwakilan substantif itu, prinsip perwakilan dianggap

tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat rakyat sudah disampaikan secara

resmi ke lembaga perwakilan rakyat. Untuk menjamin hal itu, masih diperlukan

kemerdekaan pers, kebebasan untuk berdemo atau berunjuk rasa, dan bahkan hak

mogok bagi buruh, dan sebagainya, sehingga keterwakilan formal di parlemen itu

dapat dilengkapi secara substantif. Dengan demikian, perwakilan formal memang

dapat dianggap penting, tetapi tetap tidak mencukupi (it’s necessary, but not

sufficient) untuk menjamin keterwakilan rakyat secara sejati dalam sistem

demokrasi perwakilan yang dikembangkan dalam praktik.

Dalam rangka pelembagaan fungsi legislasi representasi itu, dikenal pula

adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi.

Ketiga fungsi itu adalah :

1) Sistem perwakilan politik (political representation);

2) Sistem perwakilan teritorial (territorial and regional representation);

3) Sistem perwakilan fungsional (functional reprecentation).

Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik (political

representatives), sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah

(regional representative and territorial representatives). Sedangkan, sistem

perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional (functional

representatives). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang

berasal dari partai politik merupakan contoh dari perwakilan politik, sedangkan

angggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berasal dari tiap-tiap daerah

provinsi adalah contoh dari perwakilan teritorial atau regional representation.

Sedangkan anggota utusan golongan dalam sistem keanggotaan MPR di masa

Orde Baru (sebelum perubahan UUD 1945) adalah contoh dari sistem perwakilan

fungsional (functional representatives).

Dianutnya ketiga sistem perwakilan politik (political representation),

perwakilan teritorial (territorial representation), dan perwakilan fungsional

Page 114: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

79

(functional representation) menentukan bentuk dan struktur pelembagaan sistem

perwakilan itu di setiap negara. Pilihan sistem perwakilan itu selalu tercermin

dalam struktur kelembagaan parlemen yang dianut suatu negara.

Pada umumnya di suatu negara, dianut salah satu atau paling banyak dua

dari ketiga sistem itu secara bersamaan. Dalam hal negara yang bersangkutan

menganut salah satu dari ketiganya, maka pelembagaannya tercermin dalam

struktur parlemen satu kamar. Artinya, struktur lembaga perwakilan rakyat yang

dipraktekkan oleh negara itu mestilah parlemen satu kamar (unicameral

parliament).

Jika sistem yang dianut itu mencakup dua fungsi, maka kedua fungsi itu

selalu dilembagakan dalam struktur parlemen dua kamar (bicameral parliament).

Sebagai pelaksana fungsi perwakilan, Parlemen Indonesia di dalamnya terdapat

tiga unsur anggota, yaitu (i) anggota DPR sebagai perwakilan politik (political

representatives), (ii) utusan daerah dari daerah provinsi (regional

representatives), dan (iii) Utusan golongan yang berasal dari golongan fungsional

(functional representatives).

2. Lembaga Eksekutif

1. Sistem Pemerintahan

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang memegang kewenangan

administrasi pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia

dikenal adanya 3 (tiga) sistem pemerintahan negara, yaitu (i) sistem pemerintahan

presidential, (ii) sistem parlementer atau sistem kabinet, dan (iii) sistem

pemerintahan campuran. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat parlementer

apabila (a) sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan

kepala pemeritahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan (b) jika sistem

pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga

dengan demikian (c) kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan

Page 115: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

80

parlemen, dan sebaliknya (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh pemerintah,

apabila dianggap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah.

Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat presidential apabila (a)

kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b)

kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan langsung

bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga

tidak berwenang membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya bertanggung

jawab kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atau

sebagai administrator tertinggi. Dalam sistem presidential, tidak dibedakan

apakah presiden adalah kepala negara atau kepala pemerintahan tetapi yang ada

hanya presiden dan wakil presiden saja dengan segala hak dan kewajibannya atau

tugas dan kewenangannya masing-masing.

Sementara itu, dalam sistem campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan

ciri-ciri parlementer secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang

diterapkan. Sistem campuran ini biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan

kebiasaan yang diterapkan oleh masing-masing negara. Misalnya, sistem yang

diterapkan di Perancis biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid

sistem. Kedudukan sebagai kepala negara dipegang oleh presiden yang dipilih

langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh

seorang perdana menteri yang didukung oleh parlemen, seperti dalam sistem

parlementer yang biasa, oleh karena itu, sistem Prancis ini, dapat pula kita sebut

sebagai sistem quasi-parlementer.

2. Kementerian Negara

Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parlementer, menteri tunduk atau

bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan dalam sistem presidential, para

Page 116: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

81

menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.94 Dalam sistem

parlementer jelas sekali bahwa, kedudukan menteri adalah bersifat sentral.

Perdana menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang

memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu

yang memimpin pelaksanaan tugas–tugas pemerintahan secara operasional

seharai-hari.

Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang

dipimpin oleh seorang perdana menteri itu. Dikarenakan sangat kuatnya,

kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarakan oleh mereka.

Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi

tidak percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan kekuatan diantara kabinet

dan parlemen dalpam sistem sistem pemerintahan parlementer.

Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, maka dalam sistem

presidential kedudukan menteri sepenuhnya tergantung kepada presiden, para

menteri diangkat dan diberhentikan secara bertanggung jawab kepada presiden.

Meskipun demikian, dalam pelaksanaan tugasnya tentu saja para menteri itu

membutuhkan parlemen agar tidak setiap kebijakannya “dijegal” atau “diboikot”

oleh parlemen. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa para

menteri dalam sistem pemerintahan presidential itu mempersyaratkan kualifikasi

yang lebih teknis, professional dari pada politis seperti dalam sistem parlementer.

Dalam sistem presidential, yang bertanggung jawab adalah presiden,

bukan menteri, sehingga sudah seharusnya nuansa pekerjaan para menteri dalam

sistem presidential itu bersifat lebih professional daripada politis. Oleh sebab itu,

untuk diangkat menjadi menteri, seharusnya seseorang, benar-benar memiliki

kualifikasi teknis dan professional untuk memimpin pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan berdasarkan prinsip meritokrasi.

94Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), jilid III, cet, ke-5, 157. Dalam bahasa Sansekerta seorang mantriN adalah a man who knows the sacred text and formulas, a wise man, a minister or counselor of a king.

Page 117: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

82

Sistem pemerintahan presidential lebih menuntut kabinetnya sebagai

zaken kabinet dari pada cabinet dalam sistem parlementer yang lebih menonjol

sifat politisnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang diangkat menjadi

menteri, sudah seharusnya presiden dan wakil presiden lebih mengutamakan

persyaratan teknis kepemimpinan dari pada persyaratan dukungan politis.

Hal itu dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa dalam sistem pemerintahan

presidentil, menteri itu sendiri adalah pemimpin yang tertinggi dalam kegiatan

pemerintahan di bidangnya masing-masing. Oleh karena dalam jabatan presiden

dan wakil presiden tergabung fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan

sekaligus, maka tentunya presiden dan wakil presiden tidak mungkin terlibat

terlalu mendetil dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari.

Bahkan untuk kepentingan koordinasi, terbukti pula diperlukan adanya

jabatan menteri senior, seperti para menteri koordinator. Artinya, untuk

melakukan fungsi koordinasi teknis saja, presiden dan wakil presiden sudah tidak

dapat lagi terlalu diharapkan efektif. Oleh karena itu, jabatan menteri untuk

masing-masing bidang pemerintahan tersebut memang seharusnya dipercayakan

penuh kepada para menteri yang kompeten di bidangnya masing-masing. Itulah

sebabnya, dalam penjelasan UUD 1945 yang diberlakukan sebagai bagian yang

tidak terpisahkan dari UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959,

dinyatakan bahwa menteri itu bukanlah pejabat tinggi negara yang biasa.

Menteri itu adalah pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya dalam

bidangnya masing-masing. Oleh karena jabatan presiden jabatan presiden dan

wakil presiden adalah jabatan simbolik, maka fungsi kepemimpinan dalam arti

teknis memang seharusnya berada di pundak para menteri.

Oleh sebab itu, di katakana bahwa para menterilah yang sesungguhnya

merupakan pemimpin pemerintahan yang riil dan operasional dalam pengertian

sehari-hari. Bahkan, dapat diidealkan bahwa perbedaan kualitas antar sifat-sifat

kepemimpinan presiden dan para menteri dalam proses pemerintahan adalah

Page 118: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

83

bahwa presiden dan wakil presiden adalah pemimpin pemerintahan dalam arti

politik. Sedangkan, para menteri merupakan pemimpin pemerintahan dalam arti

teknis.

Siapa yang akan diangkat menjadi menteri, tentu merupakan sepenuhnya

merupakan kewenangan Presiden untuk menentukannya. Pasal 17 ayat (1), (2),

dan (3) UUD 1945 menyatakan,

“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, “Menteri-menteri itu

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, “Setiap menteri membidangi

urusan tertentu dalam pemerintahan”. Akan tetapi, pasal 17 ayat (4)

menentukan pula bahwa “pembentukan, pengubahan dan pembubaran

kementrian negara diatur dalam undang-undang”.

Maksudnya ialah meskipun mengenai orangnya merupakan kewenangan

mutlak presiden, tetapi mengenai struktur organisasinya harus diatur dalam

undang-undang.dengan deikian, organisasi kementrian negara itu tidak dapat

seenaknya diadakan, diubah, atau dibubarkan hanya oleh pertimbangan keinginan

atau kehendak pribadi seorang presiden belaka. Semua hal yang berkenaan

dengan organisasi kementrian negara itu haruslah diatur dalam undang-undang.

Artinya perubahan, pembentukan, atau pembubaran organisasi kementrian negara

harus diatur bersama oleh presiden bersama-sama para wakil rakyat yang duduk

di lembaga Dewan perwakilan rakyat. Itulah esensi dari ketentuan bahwa hal

tersebut harus diatur dalam undang-undang.

3. Lembaga Yudikatif

Reformasi mengantarkan bangsa ini mengenal peradaban yang modern,

yakni menjamin hak-hak rakyat seutuhnya, hal ini terbukti dengan berdirinya

lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi,

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Yudisial dan lain-lain yang

merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Lembaga-lembaga tersebut diatas

secara tidak langsung juga diawasi oleh rakyat, disamping ada pengawasan yang

Page 119: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

84

khusus berasal dari fungsi kekuasaan legislatif atau yang kita kenal dengan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga ini mempunyai alat kelengkapan

yang bernama komisi, komisi-komisi yang merupakan bentukan dari partai

politik ini memantau berbagai lembaga negara yang berada dalam ranah fungsi

kekuasaan ekskutif dan yudikatif. Komisi-komisi tersebut merupakan

pengejawantahan dari partai politik yang mempunyai peranan penting di dalam

pembentukan undang-undang.

Prinsip yang harus dipegang oleh badan yudikatif dalam setiap negara

hukum adalah, badan ini haruslah terbebas dari intervensi oleh eksekutif dan

badan-badan yang lain, ini dimaksudkan agar badan ini dapat berfungsi

sebagaimana mestinya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjunjung

tinggi nilai-nilai humanisme. Asas kebebasan badan ini diharapkan dapat

melahirkan hakim yang memutuskan perkara tidak berat sebelah, adil, tidak

memihak dan tetap berpedoman pada norma-norma hukum serta murni dari hati

nurani hakim.

Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa

dipandang sangat pokok dalalam sistem peradilan, yaitu (i) the principle of

judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua

prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut

hukum modern atau “modern constitutional state.

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap

para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di

samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir,

sistem penggajian dan pemberhentian para hakim.

Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip

ketidakberpihakan (the principle of imperiality). Bahkan oleh O. Hood Philips

dan kawan-kawan dikatakan, “the impartiality of the judiciary is recognized as an

Page 120: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

85

important, if not the most important element, in the administration of justice.”95

Dalam praktek, ketidakberpihakan atau imperiality itu sendiri mengandung makna

dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial),

tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial).96

Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim itu

sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga

dianggap penting. Misalnya, dalam forum Internasional Judicial Conferency di

Bangalore, India, 2001, yang kemudian disebut the Bangalore draft. Selanjutnya,

setelah akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai

pedoman bersama dengan sebutan resmi the Bangalore Principles of Judicial

conduct.

Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya enam prinsip

penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-

prinsip independency, imperiality, integrity, propriety, equality, competency and

diligency.97

1. Mandiri (Independency)

Independensi hakim merupakan jaminan bagi terwujudnya hukum dan

keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi

melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan

pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi

pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.

Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan

95O. Hold Philips dkk., Constitutional and Administrative Law (London: Sweet & Maxwell, 2001), 437.

96Ofer Raban. Modern Legal Theory and Judicial Impartiality (T.tt. Glass House Press, 2003), 1.

97Tentang prinsip-prinsip independensi peradilan dan hakim, selain terdapat dalam The Bangalore Principles, juga bisa dilihat dalam prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Independensi Lembaga Peradilan. Untuk lengkapnya lihat dalam. “Penguatan Integritas dan Kapasitas Sektor Peradilan di Indonesia” Kumpulan Dokumen Lokakarya Pertama Tingkat Propinsi untuk Sistem Peradilan di Sulawesi Tenggara (Jakarta: Mahkamah Agung RI dan BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), 117-129.

Page 121: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

86

kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai

pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat

mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan atau balasan

karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan

politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan imbalan atau janji

imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntunngan ekonomi, atau bentuk lainnya.

2. Ketidakberpihakan (Impartiality)

Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi

hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap

perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral,

menjaga jarak yang sama dengan semua pihak manapun, disertai penghayatan

mandalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan

perkara.

3. Integritas (Integrity)

Intregritas Hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan

dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat

negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup

sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalitasnya, disertai

ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan,

kekayaan, popularitas ataupun godaan–godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan

kepribadian mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik,

serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan

kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

4. Kepatutan dan Sopan Santun (Propriety)

Kepantasan dan Kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan

kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam menjalankan tugas profesionalnya,

yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan dan kepercayaan. Kepantasan

tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan

Page 122: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

87

kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata

busana, tata suara atau kegiatan tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam

perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antarpribadi,

baik dalam tutur kata lisan, tulisan atau bahasa tubuh; dalam bertindak, bekerja

dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan atau

pegawai pengdilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan atau

pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.

5. Kesetaraan (Equality)

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama

terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa

membedakan satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis

kelamin, status perkawinan kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan

politik, atau alasan-alasan lain yang serupa. Prinsip kesetaraan ini secara

essesnsial melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa memperlakukan

semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukanya masing-

masing dalam proses peradilan.

6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and diligency)

Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam

pelaksanaan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan

professional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan/atau

pengalaman dalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap

pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian dan

kesungguhan dalam melaksanakan tugas professional hakim.

Demikian enam prinsip yang berkaitan dengan dengan etika hakim dalam

memerankan dirinya sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman dalam hal

ini adalah lembaga yudikatif mempunyai beberapa bagian besar dalam republik

ini, dan tugas kewenangannya juga berbeda-beda sebagaimana gambaran yang

ada dibawah ini, yakni;

Page 123: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

88

a. Mahkamah Agung

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung berserta

badan-badan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi.

Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan

peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer

dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan di samping Mahkmah Agung,

terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi tersendiri

dengan kedudukan yang berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung.

Hampir semua negara demokrasi yang menganut sistem seperti yang diterapkan

di Amerika Serikat, fungsi peradilan konstitusi seperti yang dijalankan oleh

Mahkamah Konstitusi, tidak dilembagakan tersendiri, tetapi terintegrasi dalam

fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung.98 Karena itu, dalam sistem yang

berlaku di Amerika Serikat dan di berbagai negara yang mengikuti sistem

Amerika Serikat, yang disebut sebagai the Guardian of The Contitution adalah

Mahkamah Agung. Atas dasar inilah Mahkmah Agung Amerika Serikat biasa

disebut sebagai The Guardian of American Constitution.99

Namun, negara-negara demokrasi aliaran Eropa Kontinental yang

menerima prinsip-prinsip negara hukum modern, pada umumnya, memisahkan

fungsi peradilan Konstitusi (constitutional adjudication) itu secara tersendiri di

luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Semua negara jenis ini mengikuti

jejak Austria sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga

peradilan yang tersendiri dengan nama Verfassungsgerichtshof atau Mahkamah

Konstitusi. Ada juga variasi yang berbeda seperti dikembangkan oleh Prancis,

yaitu dengan membentuk dewan konstitusi (Conseil Constitutionnel), bukan

98Robert G. McCloskey. The American Supreme Court (Chicago: The University of

Chicago Press, 2005) 4 th edition. 99Alfred Kelly, Winfred A. Harbison, and Herman Belz, The American Constitution.

(1991) 7 t William M. Wiecek. Liberty under Law: The Supreme Court in Amerika Life. (1988).

Page 124: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

89

Mahkamah Konstitusi (Court Constitutionnel). Namun, kedudukannya tetap

bersifat tersendiri, berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung.100

Berbeda dari Mahkamah Konstitusi yang hanya ada di Jakarta sebagai Ibu

Kota Negara, Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan pengadilan

negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan tersebut. Karena itu,

jangkauan organisasinya sangat luas ke seluruh wilayah negara. Karena itu dapat

dikatakan bahwa, organisasi Mahkamah Agung inilah yang menjadi organisasi

terbesar dan terluas jangkauan kegiatannya dewasa ini. Presiden sebagai kepala

pemerintahan eksekutif tidak lagi memiliki kekuasaan mutlak untuk mengangkat

atau memberhentikan gubernur, bupati atau walikota. Karena itu, seperti halnya

presiden dan wakil presiden, sekarang ketiganya beserta wakilnya masing-masing

telah dipilih langsung oleh rakyat di daerah.

b. Komisi Yudisial

Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan

Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan

dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang

berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan

tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil

dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang

semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang

tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-

cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional

dapat tercapai.

100Baca Jimly Ashidiqie. Model-model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara (Jakarta:

Konstitusi Press, 2005) dan Jimly Ashidiqie dan Achmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).

Page 125: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

90

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR

tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan

pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya

Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga

itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.

Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan

sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden

tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh

anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal

memulai masa tugasnya.

c. Mahkamah Konstitusi: Pengawal Konstitusi

Dalam Sejarah berdirinya lembaga (MK) diawali dengan diadopsinya ide

Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang

dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001

sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal

7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9

Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan

pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka

menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), MPR menetapkan

Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk

sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil

Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan

Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan

Page 126: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

91

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan

oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus

2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim

konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah

jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus

2003.Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi (MK) selanjutnya adalah

pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi

(MK), pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya

kegiatan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu cabang kekuasaan

kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi, bukanlah bagian dari Mahkamah Agung dalam

makna perkaitan struktur unity jurisdiction, seperti halnya dalam sistem Anglo

Saxson, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality

of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah

Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman.101

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dengan adanya perubahan UUD 1945,

maka selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksanaan kekuasaan

kehakiman di lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat

Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan Mahkamah

Agung. Kedua lembaga tersebut, memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yurisdiksi atau kompetensinya.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

101Laica Marzuki. “Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complain) Sebuah Gagasan

Cita Hukum”. Dalam buku Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), cet. Ke-1. 83.

Page 127: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

92

melakukan tugas di bidang kekuasaaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi

berkedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Selain kewenangan seperti

dijelaskan di atas, Mahkamah Konstitusi wajib memberhentikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan tehadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,

dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagi Presiden dan atau Wakil Presiden.

Diperolehnya kewenangan ini, mengingat Mahkamah Konstitusi karena lembaga

ini yang memiliki tugas khusus yakni forum previlegiatum.102

Di samping ketiga lembaga tersebut mempunyai peranan pembentuk

undang-undang, ada lembaga-lembaga non pemerintah seperti partai politik juga

turut serta dalam pembentukan undang-undang di Indonesia juga merujuk kepada

lembaga yang berwenang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pemegang

kekuasaan legislatif, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif, dan para

hakim yang memegang kekuasan yudikatif sebagai penegak undang-undang.

Ketiga lembaga tinggi negara tersebut merupakan wakil dari unsur partai-partai

politik yang memiliki tujuan untuk membangun negara berdasarkan konstitusi.

Artinya bahwa orang-orang yang duduk dalam sebuah kabinet merupakan

pengejewantahan orang-orang partai yang diutus untuk itu. Dengan demikian

bahwa partai politik memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting dalam

penbentukan undang-undang dan sebagai pemegang amanah konstitusi, dalam

hal ini undang-undang dasar suatu negara atau udang-undang dasar 1945 untuk di

Indonesia.

102 Forum Previlegiatum adalah peradilan yang khusus untuk memeutus pendapat DPR bahwa

Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan dalam UUD sehingga dapat diproses untuk diberhentikan. Mahfud MD. Perdebatan... 115.

Page 128: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

93

Dengan demikian bila kita perhatikan bahwa partai politik merupakan

kepanjangan tangan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dimana

ruang operasionalnya berada pada masyarakat di wilayah sekitarnya. Demikian

pula sebaliknya bahwa lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif

merupakan bagian pula dari kelompok anggota partai politik yang berada dalam

pemerintahan negara baik sebagai pembuat, pelaksana, dan atau penegak undang-

undang untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang citap-

citakan berdasarkan konstitusi dan tujuan partai politik dari masing-masing yang

sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik.

Tugas partai politik adalah mencari dan atau menerima aspirasi yang

berkembang dalam masyarakat untuk bangsa yang kemudian disampaikan badan

pelaksana negara melalui parelemen untuk diwujudkan dalam bentuk yang real

melalui undang-undang. Jadi peranan partai politik adalah sama dengan peranan

dan kedudukan anggota badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang duduk

menjadi perwakilan partai politik seprti yang telah peneliti uraikan di atas.

Page 129: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB III

POLITIK HUKUM ISLAM

A. Politik Hukum Islam di Indonesia

Dalam pengamatan sarjana Barat, Islam di Nusantara di sebarkan oleh

para pedagang. Para pedagang ini, di samping menjalankan aktivitas utamanya,

yakni berdagang, mereka juga melakukan perkawinan dengan wanita setempat.

Pendapat lain justru mengatakan “adalah suatu hal yang sulit dipercaya jika para

pedagang ini juga melakukan penyebaran agama Islam” hal ini didasarkan pada

kenyataan bahwa sebelum abad XII M., Islam belum tampak sebagai satu agama

yang dianut oleh para penduduk, padahal mereka sudah hadir sejak abad VII M.

Dengan kata lain, walaupun saat itu sudah terjadi interaksi dengan pedagang

muslim, namun belum tampak ada tanda-tanda bagi proses Islamisasi di

Nusantara. Berdasarkan hal tersebut, A. H. Jhons dalam Sufisme as a Category in

Indonesia Literature and History, sebagaimana dikutip oleh Azra,1 mengajukan

teori bahwa pergerakan para sufi pengembara, berkat otoritas dan kekuatan magis

yang mereka miliki, telah mampu melakukan penyebaran Islam di Nusantara dan

berhasil mengislamkan penduduk Nusantara dalam jumlah besar sejak abad XII

H.2 Mereka telah mentransplantasi, meramu, dan menghadirkan satu sentuhan

yang harmonis dari unsur budaya lokal ke dalam ajaran Islam sehingga mampu

menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang dianut

1Teori Johns ini dikritik oleh Drewes. Dalam New Light of the Coming of Islam to Indonesia,

sebagaiman dikutip oleh Alwi Shihab, Drewes mengatakan bahwa walaupun para sufi memiliki peran yang cukup besar dalam penyebaran Islam, namun awal kedatangan Islam tidak terikat sama sekali dengan lembaga terakat dan persaudaraan sufi. Namun demikian, dalam hal ini Jhons tidak memberikan data baru yang dapat memperkuat hipotesisnya. Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik…, 6

2Saat jatuhnya Baghdad pada 1258 M fenomena sufisme menjadi gerakan missal di dunia Islam. Tarekat dan persaudaraan sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung : Mizan, 1999)

94

Page 130: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

95

masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk

mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik.3

Mengikuti teori yang memaparkan dominasi kaum sufi dalam penyebaran

Islam di Nusantara maka wajar kiranya jika secara sirkumtasial ia telah

membentuk karakteristik Islam Indonesia denga corak sufi, dima watak

intelektualis-filosofis redup di dalamnya. Wacana intelektualisme Islam lebih

menampakkan nuansa sufistik-sinkretik.4 Keadaan yang tidak menguntungkan ini

masih diperparah dengan kenyataan bahwa Islam pertama yang datang ke

Indonesia adalah Islam yang berada dlam anti klimaks sejarah peradaban dunia

Islam dan adanya slogan bahwa pintu ijtihad sudah dinyatakan tertutup oleh

rumor sejarah. Dengan sendirinya, situasi stagnasi pemikiran dan taklid yang

menjadi trade mark dunia Islam saat itu, memberikan pengaruh yang juga kurang

positif bagi pemikiran keislaman di Indonesia.

Kenyataan ini telah membuat Islam Indonesia kurang memiliki

memontum dan kemampuan yang adekuat untuk mengembangkan diri secara

mandiri dalam segala bidang, termasuk di dalamnya pemikiran hukum Islam.

Umat Islam lebih enjoi menikmati mistisme Islam ala Ghazalian, yakni satu

tradisi yang lebih menekankan asketisme dan menafikkan masalah-masalah

duniawi. Bigitu kuatnya pengaruh dari tradisi ini maka pemikiran-pemikiran

hukum Islam yang ada menjadi terjebak dalam pararelisme epistemologi tasawuf.

Secara umum, gerakan fikih sebenarnya merupakan kelanjutan dari bertumpu

pada orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat mengakar dalam kesadaran

keilmuan umat Islam. Titik tolak kehidupan yang cenderung bersifat teologis dan

tasawuf oriented menjadi tidak sebanding dengan diksi-diksi ilmiah yang

3Lihat misalnya penelitian Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka

Jaya, 1980); Clifford Geertz. Abangan Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981); Howard M Fiderspiel. Persatuan Islam, Pembaruan Islam Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1996), 1-3

4Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), 111

Page 131: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

96

ditawarkan hukum Islam (Fiqh), yang biasanya formalistik. Dengan demikian

bisa dibayangkan bahwa kreatifitas dan improvisasi pemikiran hukum Islam akan

menjadi mental dan tereliminir oleh tradisi tersebut.

Di samping dominasi tasawuf faktor mazhab syafi’i yang dianut oleh para

pembawa Islam pertama di Nusantara juga memberikan andil yang cukup besar

bagi terbentuknya karakter pemikiran hukum Islam di Indonesia, eksistensi

mazhab Syafi’i yang dianggap sebagai sintesis ahli ar-ra’yu dan ahli Al-Hadith

sesuai dengan sifatnya yang adaptif, adoptif, dan kompromis dalam banyak hal

bisa dikatakan selaras dengan orientasi pemikiran tasawuf oleh karena itu,

walaupun dianggap telah terjadi keseimbangan baru antara tasawuf dan fiqih5

namun keadaannya hanya merupakan keseimbangan yang paling mungkin, wajar

dan dalam batas yang paling vulgar, yakni karena adanya kesamaan dan

kedekatan orientasi dan juga epistemologi antara ajaran tasawuf dan mazhab

syafi’i, yang memungkinkan keduanya bertemu dalam satu titik kepentingan dan

pengembangan. Implikasi yang terjadi mungkin akan menjadi kontras jika

mazhab hukum pertama yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Hanbali,

Maliki, Hanafi, ataupun Syiah.6 Sebab, madzhab-madzhab ini mempunyai cara

pandang dan cara baca yang berbeda atas fenomena tasawuf. Walaupun masih

perlu bukti-bukti pendukung yang lebih konkrit, dan karenanya diperlukan

5Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di

Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 113 6Tahir Mahmood telah membuat studi dan analisis yang cerdas dalam memotret peran dan

dampak madzhab hukum Islam klasik terhadap sifat reformasi konstitusi hukum keluarga Islam di beberapa Negara Islam. Beberapa Negara Islam yang penduduknya bermadzhab Hanafi biasanya menganut pola pikir yang sangat rasional dalam merumuskan konstitusinya. Negara-negara Islam yang penduduknya bermadzhab Hambali dan Maliki sangat puritan, merujuk pada tekstualitas Al-Qur’ân dan Hadits. Sedangkan yang bermadzhab Syafi’I bersifat kompromis. “gado-gado” dan mengambil jalan tenga Adapun yang Negara-negara yang penduduknya bermadzhab Syi’ah, menampakkan sesuatu yang unik bagi konstitusi negaranya. Lihat lebih lanjut pada Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N. M. Tripathi, Pvt. Ltd, 1972), 112; Bandingkan dengan analisis serupa dari S. Amin, Islamic Law and Its Implication for Modern World (Scotland: Royston Ltd, 1989), 19-51

Page 132: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

97

penelitian tersendiri, namun indikasi awal ini menjadi cukup valid untuk

melahirkan prakonsepsi di atas.

1. Dinamika Pemikiran Hukum Islam

Hukum adalah sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan

manusia, dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Oleh karena itu sektor

hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat dalam artian

bahwa suatu masyarakat yang modern maka harus memiliki hukum yang moderen

pula. Jadi pemahaman yang sangat keliru ketika berbicara tentang konsep hakikat

hukum Islam itu adalah statis, immobile, tidak dinamis dan tidak akan mampu

mengikuti perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang sudah maju.

Pandangan Noel J. Coulson mencerminkan suatu miskonsep terhadap

pemahaman hukum Islam dengan mengatakan bahwa “Hukum Islam mendahului

dan membentuk masyarakat “.7 Coulson tidak mencerminkan sejarah bahwa

dalam sejarah Islam ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah dan dipilih

sebagai kepala Negara Madinah, diamana masyarakat Islam yang terdiri dari

kaum Anshar dan Muhajirin secara factual telah terbentuk8. Kemudian proses

pembentukan hukum Islam terjadi secara evolusi bersama proses kristalisasi

ummat atau komunitas dalam Negara Madinah.9 Sebagai contoh ketika agama

Islam belum disempurnakan oleh Allâh, maka aturan-aturan yang akan mengatur

masyarakat diturunkan secara incremental, dalam rentang waktu 22 tahun dari

tahun 610 sampai 632, tahun kematian Rasulullah. Ini sebagai indikator bahwa

Islam akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman.

Secara historis, dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia setidaknya

menunjukan satu fenomena transformatif dan remedialis, kendati masih nampak

7Noel J. Coulson, Hukum Islam dalalam Perspektif Sejarah (Jakarta: P3M, 1987, 1-2. 8Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Terjemahan Ali Audah (Jakarta:

Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), 112 9Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat

dari Segi Hukum Islam. Omplementasiny pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulam Bintang, 1992), Cet. Pertama, 44

Page 133: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

98

nuansa paralelisme yang berulang-ulang tanpa ada kejelasan. Pemikiran ini

bukan tambal sulam ide, namun seperti bola salju yang terus menggelinding dan

melaju, membangun berbagai konstruksi berbagai tipe dan karakter baru.10

Dalam suatu pembangunan hukum, pada tahun 1975, Abdurrahman

Wahid, memperkenalkan sebuah pemikiran bahwa, Hukum Islam sebagai

penunjang pembangunan,11 yang secara umum mengarahkan pembicaraannya

pada peran dan fungsi hukum Islam untuk menunjang perkembangan tata hukum

positif di Indonesia. Munawir Sadzali melontarkan gagasan, Reaktualisasi Ajaran

Islam. Denga mengambil isu-isu pembicaraan mengenai hukum waris,

perbudakan dan bunga bank.12

Disinilah sebetulnya para ahli hukum Islam (fuqaha/ulama) untuk

merumuskan kembali ajaran agama (hukum Islam) agar mampu mengadop

budaya masyarakat (socio-cultural) yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas

yang ada sehingga sikap mendua dalam praktik beragama tidak lagi terjadi.

Sebagai missal, ironis jika umat Islam yang tekun beribadah, namun

kesehariannya melakukan transaksi melalui bank konvensional. Kendati masih

terdapat pro dan kontra terhadap hukum mengenai haramnya bunga bank. Paling

tidak seharusnya meninggalkan sesuatu ketentuan yang masih tanda kutip. Karena

tanda kutip menunjukkan adanya indikator kesubhatan dan subhat harus dijauhi

atau ditinggalkan.

2. Potret Politik Hukum Islam di Indonesia

Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam ilmu

ushul fiqih, hukum didfiniskan sebagai “perintah Allâh yang berhubungan dengan

10Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005) cet. 1, 2 11Lihat artikel Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam

prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya Eddi Rudiana Arief (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, 199, 124.

12Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina 1997), 6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 11.

Page 134: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

99

perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu yang

berarti perontah yang wajib dikerjakan atau tuntunan untk meninggalkan sesuatu

yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal

yng mubah (fakultatif), yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan,

maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satunya

menjadi sebab atau syarat atau rintangan terhadap yang lain.13

Musthafa Ahmad al-Zarqa menyebutkan cakupan hukum Islam meliputi

hukum akidah, ibadah, keluarga, muamalah, jinayah, tatanegara, hukum antar

negara dan adab sopan santun. Untuk membatasi masalah yang dibahas maka

tulisan ini tidak menyinggung masalah akidah, ibadah dan adab sopan santun.14

Menurut Ahmad Azhar Bashir seorang pemikir yang mempunyai

karakteristik tersendiri dalam memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam, ia

menyatakan bahwa hukum Islam dapat ditelusuri melalui dua pendekatan, yakni :

pertama, pendekatan qauli (menekankan fiqh sisi hasil pemikiran semata (fiqh),

kedua, pendekatan manhaji (menekankan pemdekatan dari segi metodologi (us ul

Fiqh).15

Al-Jabiri pernah mengatakan bahwa kebudayaan Islam adalah

“Kebudayaan fiqh”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung16 adalah

sama sahihnya dengan kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah

“kebudayaan filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”.

Eksistensinya sebagai sebuah sistem pengetahuan (niz am al-ma’rifi) dan

kodifikasi ajaran agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap muslim

yang pernah belajar dan bisa membaca al-Qur’ân niscaya juga membaca dan

13Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Daar al-Fikr al’arabi), 1958), 21. 14Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islâmi fi Thaubibi al-Jadîd (Damaskus Lathba’ah

Jami’ah, 1959), 29. 15Abdul Aziz Dahlan, et. Al, (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van

Hoeve, 1999), Jilid, 1, 156. 16Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib dipelihara, Lihat Tim

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989),

Page 135: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

100

menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqh. Pandangan yang paralel dengan banyak

pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqh merupakan dimensi ajaran agama yang

paling mapan dalam belahan masyarakat muslim mana pun. Dari sini, ide untuk

melegalformalkan hukum Islam melalui istitusi negara dianggap, oleh sebagian

orang, sebagai suatu hal yang penting.17

Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan

yang selama ini dijalankan oleh lembaga tahkim dipindahkan dan diberikan

kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa

ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas

keulamaan dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat.18 Dari situ,

maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, di

antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan

Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak

hanya menuntaskan persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga

manangani persoalan pidana.

Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan

raja (sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori

kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang

sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum

Islam ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah

mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan teori otoritas hukum

Islam, sebagaimana digagas oleh H.A.R Gibb, bahwa orang yang telah menerima

Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas

dirinya.19 Begitulah keberadaan hukum Islam di Indonesia ketika itu. Sebagai

17Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris

(Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), Cet. Pertama, 48 18Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 78 19A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun Husein (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1993), 145-146

Page 136: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

101

sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh

pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama

yang diyakini.

Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa

prakemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada

posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu

juga disebabkan karena dalam wilayah ini tidak ada satu pun sistem hukum yang

mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem

hukum Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif,

dan ternyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam

lama di Nusantara yang penyusunannya belum terkonstruk dengan baik.

Kenyataan ini menyebabkan hukum Islam menjadi gagap ketika harus berhadapan

dengan sistem hukum yang relatif lebih maju (Belanda) dan juga sistem hukum

adat. Belum sempurnanya proses transplantasi dengan hukum adat, di samping

juga karena nuansa politik dalam proses eklektisisme dengan hukum Barat

(Belanda) ini begitu kental, telah membuat semuanya berjalan dengan tidak wajar.

Menilik pada catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan,

kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin

meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada

tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di

masyarkat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan

legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum

nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.

Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya

Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi:

“Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi

Pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup

setelah pada 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu

Page 137: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

102

mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara.

Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka menjadi sangat sulit bagi siapa pun

untuk melegal-positifkan hukum Islam (Syari’ah) dalam bingkai konstitusi

negara, termasuk di era reformasi sekarang ini. Sebuah problem bersama yang

entah kapan akan berakhir.

Setelah lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan nasih

legalisasi hukum Islam di atas, pada tahun 1989, lahir UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga Peradilan yang khusus diperuntukkan

bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaanya telah

memancing lahirnya peraturan-peraturan bagu sebagai pelengkap. Oleh karenaya,

adalah wajar jika pada tahun 1999 Presiden RI. Mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun

1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI sendiri

disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam

memutus perkara dalam lingkup Peradilan Agama. Terlepas dari segala

kontroversi latar belakang kelahiran dan materi dari pasal-pasal yang ada di

dalamnya, fenomena mutakhir mengisyaratkan bahwa keberadaan KHI mulai

diproyeksikan sebagai undang-undang resmi negara yang digunakan dalam

lingkungan peradilan agama.20

Selain beberapa legislasi di atas masih ada beberapa peraturan perundang-

undangan lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di

Indonesia, di antaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU

No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.21

20Studi tuntas mengenai kontroversi kelahiran KHI dapat dilihat pada Marzuki Wahid dan

Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001); Ahmad Imam Mawardi, Socio-Political Backgraud of the Enactment Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Thesis, Faculty of Graduatu Studies and Research, Institute of Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal Canada, Monreal Canada. (1998). Tidak diterbitkan: Cik Hasan Basri (ed), Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum Nasional (Jakarta: Logos, 1999)

21Budi Budiman, Potensi Dana Zis Sebagai Instrumen Ekonomi Islam, makalah pada Simposium Nasional Ekonomi Islam oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 13-14 Maret 2002, 2; Rohani Budi Prihatin, Mencermati Undang-undang Zakat, dalam Republika 25 Agustus 1999, 14

Page 138: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

103

Secara umum, perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia dewasa

ini telah sampai pada tingkat yang cukup memuaskan. Sejumlah dimensi ajaran

agama yang selama ini belum tuntas diperjuangkan, mulai menampakkan tanda-

tanda akan diterima. Memang terdapat ajaran hukum Islam yang mempunyai

kendala untuk dilegalkan, dengan alasan substansinya tidak sesuai dan

bertabrakan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Untuk kasus seperti ini, upaya

legalisasi berbagai elemen hukum bisa jadi mustahil akan berhasil. Karena

bersifat umum, eksistensi peraturan yang lebih dahulu ada ini biasanya

diperuntukkan bagi semua golongan, dan bersifat universal. Jika di paksakan

untuk diganti, kemungkinan besar akan menimbulkan gejolak sosial, yang cost-

nya sangat mahal. Dengan demikian pemilahan dan penentuan skala prioritas

materi hukum Islam yang dicitakan legalisasinya menjadi langkah awal yang

harus ditempuh. Bukankah melegalkan status peraturan atau ketentuan hukum

yang secara sosiologis telah hidup dalam masyarakat terasa lebih mudah

dibandingkan dengan memaksakan hukum ideal yang terdapat dalam kitab-kitab

hukum, begitu juga tentunya dengan legalisasi hukum Islam.

3. Lahirnya Politik Hukum Islam

Pembahasan mengenai politik, atau yang biasa di sebut ilmu politik lahir

ketika manusia mulai memikirkan bagaimana mereka dan nenek moyang mereka

diperintah. Persoalannya ialah apakah peraturan ini perlu diterima atau tidak dan

mengapa sebagian masyarakat memilih peraturan yang berbeda dari masyarakat

lain.22 Dengan kata lain, pemisahan dalam pengertian aktivitas memelihara

ketentraman, yang berarti pengaturan hubungan antara manusia dalam pengertian

luas.23

22Sebenarnya Praktik politik sama tuanya dengan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,

manusia dalam sebuah komunitas harus menerima peraturan tingkah laku tertentu, walaupun peraturan tersebut hanya bertujuan melindungi keberadaan komunitas dan mencegah para anggotanya untuk saling membunuh satu sama lain. Lihat Simamora, Ilmu Politik (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), 1.

23Kartono, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997), Cet. Ke-6, 4.

Page 139: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

104

Dalam hubungan dengan politik Islam, al- Qorodwiy menyebut dengan

istilah As- siyâsah Ash-shar’iyah. Sebab makna Ash- Shar’iyah dalam konteks ini

adalah yang menjadi pangkal tolak dan sumber bagi As- siyâsah (politik) dan

menjadikannya tujuan bagi As- siyâsah.24 Pengertian ini berkaitan dengan

pandangan ulama dahulu yang mengartikan politik pada dua makna: Pertama,

makna umum, yaitu menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia

mereka berdasarkan syariat agama.25 Oleh karena itu mereka mengenal istilah

khilafah, yang berarti perwakilan dari Rasulullah SAW. untuk menjaga agama

dan mengatur dunia. Kedua, makna khusus, yaitu pendapat yang dinyatakan

pemimpin, hukum dan ketetapan-ketetapan yang dikeluarkannya untuk

menangkal kerusakan yang akan terjadi membasmi kerusakan yang sudah terjadi,

atau memecahkan masalah khusus.

Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Keduanya

secara organis berhubungan, bahkan juga integral dengan struktur ekonomi suatu

negara Islam. Baik al-Qur’ân, Hadith maupun sejarah Islam membuktikan hal itu.

Agama dan politik saling terkait, bahkan saling membutuhkan. Pada saat awal

kehadiran Islam, masalah pertama yang dihadapinya adalah politik. Sebab tanpa

peranan politik, Islam tidak tidak akan mampu hidup. Islam harus memiliki

kekuasaan demi kelancaran mekanisme pengembangan agama. Di sini pula dapat

terbukti bahawa berkembanganya suati agama sangat bergantung pada kondisi

politik tertentu. Apabila kondisi politik itu memungkinkan untuk melancarkan

manuver politik keagamaan, besar kemungkinan agama itu dapat berkembang,

begitu pula sebaliknya.26 Dengan demikian, yang di maksud dengan politik Islam

24Yusuf Al- Qorodwiy, As Siyâsah Ash- Shar’iyyyah, terjemahan Kathur suhardi, Pedoman

Bernegara dalam persfektif Islam (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1999), 34-35. 25Oleh karena itu Abul A’la Al-Maududi menyatakan bahwa Islam merupakan tatanan yang

sempurna, keseluruhan yang bulat, yang berdasarkan diri pada himpunan postulat jelas yang pasti. 26Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver politik

pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan potensial untuk

Page 140: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

105

adalah politik yang didasarkan atas syari’at yang berasal dari al- Quran dan As-

Sunnah.

Istilah yang didasarkan diatas, mengandung pengertian interpretasi nas-

nas al-Qur’ân dan As-sunnah tentang prinsip-prinsip politik dalam Islam. Di

dalamnya di yakini milik prinsip-prinsip itu, sebagaimana telah dicontohkan oleh

Rasulullah SAW, bahwa Islam pertama-tama tampil sebagai agama yang

tercermin dalam ajaran tentang ketuhanan dan kehidupan yang baik, kemudian

membentuk wilayah (negara) sebagai alat untuk memberikan perlindungan

terhadap umat dan meningkatkan kehidupan yang baik, dan akhirnya menjadi

budaya yang memadukan peradaban luhur yang telah dihasilkan manusia selama

ribuan tahun dan melenyapkan peradaban lain yang tidak sejalan dengan kerangka

tujuan budaya islam. Oleh karena itu, islam telah meletakkan sistem kekuasaan

yang bukan sistem aristokrasi maupun teokrasi27, sehingga prinsip-prinsip

kekuasaan dalam Islam harus menjadi landasan utama dalam politik Islam.

Kekuasaan yang dicari dalam Islam, bukanlah untuk kekuasaa itu sendiri, bukan

pula perluasan kekuasaan pribadi atau kolektif. Islam menempatkan kekuasaan

dalam kerangka morala yang aktif. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana

untuk mengabdi kepada SWT. Kekuasaan adalah alat untuk mencari kehidupan

abadi yang bahagia dan merupakan sumber rahmat dan keadailan bagi ummat

manusia. Dengan demikian, politik Islam bermakana pengaturan, pengurusan, dan

pemeliharaan berbagai urusan masyarakat dengan tatanan yang sesuai dengan

Islam.

Tidak dapat dipungkiri bagi kaum muslimin dewasa ini bahwa Islam

merupakan jalan hidup yang meliputi aspek-aspek fisik, politik, dan spiritual.

pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), 3.

27Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan Muhammad Tohir, Islam Dari

Masa Ke Masa (Bandung, Rosda, 1987), 59.

Page 141: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

106

Sha’riah atau jalan hidup Islam meliputi perundang-undangan hukum, politik,

upacara keagamaan serta moral. Hukum Islam atau fikih tidak terbatas hanya

pada masalah-masalah sipil dan kriminal, melainkan juga mengatur berbagai

urusan politik, ekonomi, sosial, nasional, Islam tidak memisahkan agama dari

politik.28

Menurut A. Ezzati29 sama halnya dengan sumber-sumber hukum sipil dan

hukum pribadi, ada empat sumber politik Islam, yakni sebagai berikut :

a. Al-Qur’ân sebagai kumpulan wahyu Illahi yang bertalian secara langsung

maupun tidak langsung dengan sasaran politik dan konstitusi, yakni yang

menyatakan dengan jelas bahwa kedaulatan atau otoritas adalah tetap pada

semata. Oleh karena itu, Al-Qur’ân secara tegas mengutuk kekacauan dan

anarki.

b. Sunnah; Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan mendirikan negara

muslim pertama yang dijelaskan dengan perkataan, perbuatan serta

persetujuan politik, prinsip-prinsip konstitusi serta perundang-

undangannya. Nabi SAW, menekankan perlunya tatanan, organisasi, dan

otoritas dalam masyarakatmuslim.

c. Ijma’ atau konsensus masyarakat Muslim dan fuqaha telah

direkomendasikan sebagai salah satu hukum utama oleh Al-Qur’ân dan

As-Sunnah. Rasulullah SAW. bersabda, “Umatku tidak akan pernah

bersepakat dalam kesalahan, karena itu Ijma’ juga dibutuhkan untuk

pemerintahan Islam”.

d. Qiyas (analogi), menurut mazhab Sunni dan ‘aql (akal manusia) menurut

Syi’ah juga diterima sebagai salah satu dari empat sumber utama hukum

Islam (Fiqh) yang umumnya meliputi politik dan hukum konstitusi.

28Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren,

No. 2, 1988, P3M, Jakarta, 3. 29A. Ezzati, The Revolutionary Islam, Terjemahan agung Sulistiadi, Gerakan Islam, Sebuah

Analisis (Jakarta :Pustaka Hidayah), Hal. 3

Page 142: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

107

Selain itu, ada beberapa sumber tambahan untuk politik dan spekulasi

konstitusi, yakni:

1. Praktik yang dicurahkan para khalifah dan penguasa Muslim;

2. Karya-karya tentang politik dan konstitusi yang dapat dijadikan sebagai

teladan;

3. Pemakaian, praktik dan adat istiadat yang dilakukan masyarakat Muslim;

4. Karya-karya tentang politik, konstitusi, ilmu pengetahuan sosial, dan

berbagai disiplin lain yang relevan;

5. Karya- karya tentang bidang administratif, fiskal, militer dan subjek-

subjek yang tergabung;

6. Karya-karya tentang hukum internasional yang umum;

7. Leteratur mengenai politik dan topik-topik yang relevan;

8. Karya-karya tentang hukum Islam pada umumnya;

9. Karya-karya tentang Ilmu agama Islam, terutama karya-karya mengenai

nilai-nilai teopolitik;

10. Karya-karya mengenai sejarah Islam dan filsafat.

Prinsip yang paling mendasar dan terpenting yang harus ditegakkan dalam

dasar-dasar politik islam adalah berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, yakni

ajaran Tauhid, monoteisme dalam pengertiannya yang paling tegas, tauhid bukan

sekedar suatu prinsip teologi, tetapi juga merupakan landasan utama dalam

epistimologi Islam dan prinsip yang mendasar dari metodologi Islam serta semua

studi mengenai Islam. Sesuai dengan prinsip otoritas ini, kedaulatan, keputusan,

dan kekuasaan serta hak memberi perintah adalah semata-mata milik SWT. Al-

quran menyatakan semua itu sebagai postulat dasar. Seseorang yang memiliki

keyakinan seperti ini sampai ke lubuk hati dan jiwanya, dan tidak sekedar

pengakuan di lisan, maka seseorang tersebut telah menemukan kebenaran dan

kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, prinsip

Page 143: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

108

ini harus menjadi dasar dalam konstitusi Islam dalam sebuah pemerintahan

negara.

Prinsip dasar tauhid dalam politik memberikan pembenaran atas segala

usaha untuk mendirikan suatu tatanan Illahi, suatu pemerintahan dan sistem

politik yang adil serta tidak mengenal imperialisme, kediktatoran, kolonialisme,

keajaiban, penindasan, tirani, politik kekuasaan serta segala bentuk model dan

jenis peraturan yang bertentangan dengan ajaran tauhid jadi masyarakat muslim

muwâhid yang baik dengan sistem sosio-politik Islam adalah masyarakat dengan

sistem tauhid yang benar.

Dengan demikian, pada dasarnya prinsip utama dalam politik Islam adalah

iman terhadap keesaan dan kekuasaan SWT, dan ini merupakan landasan sistem

sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul, kedaulatan ada di tangan

sehingga sendirilah yang merupakan pemberi hukum

Tata aturan yang Rasulullah SAW. tegakkan bersama-sama para kaum

mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan

dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa,

tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan

untuk kita menyatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita

lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya.30

Jika demikian, dapatlah kita mengatakan, bahwa tata aturan Islam itu

adalah tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu adalah karena

hakikat Islam meliputi segi-segi kebendaan (mâlliyah) dan segi-segi kejiwaan

(rûhiyah) dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan

ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah yang mencampurkan antra

urusan dunia dengan urusan akhirat yang saling menjalin yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu, kedua segi itu menyusun suatu

30Teungku Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Islam dan Politik Bernegara (Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra, 2002) Cet. Kedua, 5.

Page 144: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

109

kesatuan yang harmonis. Inilah hakikat tabiat Islam yang dikuatkan dengan bukti-

bukti sejarah dan inilah yang menjadikan akidah bagi umat Islam. Kebanyakan

orientalis (ahli masalah Islam) telah menemukan hakikat-hakikat ini. Dalam pada

itu, ada segelintir putra Islam yang mengakui dirinya sebagai jamaah

pembaharuan, menolak hakikat ini. Mereka berpendapat, bahwa hakikat Islam

hanyalah: dakwah diniyah, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan

Tuhannya. Tidak ada hubungan apa-apa dengan masalah keduniaan, seperti

peperangan, urusan-urusan politik. Mereka berkata: “Inna al-dîna shai-un wa al-

siyâsatu shay-un âkhar agama adalah suatu hal dan politik adalah suatu hal yang

lain”.

B. Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional

Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allâh

SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim31, dan meliputi

materi-materi-materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual

keagamaan.32 Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut

Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam

yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.33

Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Mekkah, hukum Islam

dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di

dalam masyarakat. Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh

Muhammad Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’ân) dan

sunnah Nabi Muhammad saw, sistem hukum yang telah menjadi kebiasaan pada

masyarakat Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama

31 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964),

cet. II , 1. 32S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The

Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960), 23. 33Schacht, An Introduction, 1.

Page 145: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

110

sekali dengan sistem hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua

puluh tiga tahun.34

Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) sosial, hukum

Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah.35

Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benar-

benar membuat sikap kontra terhadap sistem hukum Jahiliyyah dalam perilaku

dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari

para tokoh penegak sistem hukum Jahiliyyah. 36Dan bahkan kemudian,

pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok

yang 'terpinggirkan' dalam stratifikasi sosial untuk membawa ajaran Islam di

masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.

Secara jelas, al-Qur’ân menolak penggunaan hukum Jahiliyyah yang

dinilai penuh dengan pertimbangan hawa nafsu dan pemihakan terhadap

kelompok tertentu yang berkuasa di dalam masyarakat. Selanjutnya ditegaskan

bahwa hukum Islam merupakan satu-satunya hukum yang harus dipatuhi oleh

manusia karena berasal dari Allâh SWT dan membawa prinsip keadilan dan

kesetaraan sosial.37

Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam

secara universal kepada seluruh manusia, di bawah bimbingan wahyu Allâh SWT.

W.M. Watt merinci ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada

periode awal Islam tersebut ke dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan

kekuasaan Tuhan (God's Goodness and Power), pengadilan Tuhan di akhirat (the

Return to God for Judgement), respon manusia untuk bersyukur dan menyembah

34Muhammad Hamidullah, The Emergence of Islam, Afzal Iqbal (translator and editor) (Islamabad: Islamic Research Institut, 1993), cet. I , 64.

35Andrew Rippin, Muslims; Their Beliefs and Practices, vol. I The Formative Period (London: Routledge, 1990), cet. I, 10.

36Lihat Marsh G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 174 37Ayat al-Qur’ân surat Al-Ma'idah ayat 50. Ayat ini didahului dengan ayat yang menerangkan

perintah Allâh SWT untuk memerangi dan menggunakan hukum Islam yang telah diturunkan oleh Allâh SWT, lihat surat Al-Ma'idah ayat 48-49.

Page 146: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

111

Tuhan (Man's Response gratitude and worship), respon manusia di hadapan

Tuhan untuk seorang dermawan (Man Response to God –Generosity) dan risalah

kenabian Muhammad saw (Muhammad's Own Vocation).38

Inti ajaran awal Nabi Muhammad saw adalah ajaran tawhid yaitu ajaran

untuk beriman kepada Allâh yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Pencipta alam

semesta dan Penguasa alam akhirat yang mengadili pertanggungjawaban seluruh

makhluk-Nya (termasuk manusia) atas semua perbuatannya.39 Konsekuensi logis

dari ajaran ini adalah adanya kewajiban untuk menyembah dan bersyukur kepada

Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling menyayangi antar

sesama makhluk, terutama sesama manusia.40 Sementara itu, secara singkat bisa

dikatakan bahwa dasar ajaran pada periode awal tersebut adalah kesalihan

keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat, seperti dikemukakan oleh Lapidus

bahwa eschatological piety, ethical nobility and prayer formed the basis of early

Islam.41

Secara umum, hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip yang harus

dipertahankan secara absolut dan universal. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana

dikemukakan oleh Masdar F. Mas'udi, adalah ajaran yang qat 'i dan menjadi tolok

ukur pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan.42 Prinsip-

prinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain adalah prinsip

kebebasan dan pertanggungjawaban individu,43 prinsip kesetaraan derajat

manusia di hadapan Allâh,44 prinsip keadilan,45 prinsip persamaan manusia di

38W.M. Watt, Muhammad; Prophet and Statesman (reprint) (Oxford: Oxford University

Press, 1969), cet. II , 23-24. 39Marshall G.S. Hodgson, The Venture, I:163. 40Ira M. Lapidus, 24. 41Ira M. Lapidus, 25. 42Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh

Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), cet. II , 29-30. 43Surat al-Zalzalah/99 ayat 7-8. 44Surat al-Hujurat/49 ayat 13. 45Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8.

Page 147: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

112

hadapan hukum,46 prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain,47 prinsip

kritik dan kontrol sosial,48 prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi

kesepakatan,49 prinsip tolong menolong untuk kebaikan,50 prinsip yang kuat

melindungi yang lemah,51 prinsip musyawarah dalam urusan bersama,52 prinsip

kesetaraan suami-istri dalam keluarga,53 dan prinsip saling memperlakukan

dengan ma'ruf antara suami dan istri.54

Berkenaan dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat:49 ayat 13

menegaskan bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allâh SWT adalah orang

yang paling bertaqwa, bukan orang yang paling kaya, paling pandai atau paling

berkuasa, entah itu laki-laki atau perempuan dan entah berasal dari suku bangsa

apapun. Disebutkan di permulaan ayat bahwa manusia itu tercipta dari asal

muasal yang sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

kemudian tersebar ke berbagai kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula

bahwa antar sesama manusia perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal

balik. Ayat tersebut diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa,

antara lain peristiwa yang terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa

Bilal bin Rabah mengumandangkan seruan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin

Hisyam tidak pantas karena Bilal adalah seorang "bekas" budak yang berkulit

hitam. Suhayl bin Amru merespon penilaian tersebut dengan menyatakan bahwa

jika perbuatan Bilal itu salah, tentu Allâh SWT akan mengubahnya dan turunlah

ayat tersebut.55

46Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8.. 47Surat al-Baqarah/2 ayat 279. 48Surat al-'Ashr/103 ayat 1-3. 49Surat al-Isra'/17 ayat 34. 50Surat al-Ma'idah/5 ayat 2. 51Surat al-Nisa'/4 ayat 75. . 52Surat al-Syura/42 ayat 38. 53Surat al-Baqarah/2 ayat 187. 54Surat al-Nisa'/4 ayat 19. 55Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl, Abu al-Qasim Hibatullah ibn

Salamah Abu Nashr (pentahqiq) (Kairo: Maktabah al-Dakwah, t.t.), 295.

Page 148: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

113

Jika kemudian ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya

tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan

tersebut harus dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya

dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan

hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Sebagai contoh hukum

waris yang membagi harta warisan pada laki-laki dan perempuan dengan bagian

satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’ân, menurut

pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar misalnya,

harus dipahami dengan memperhatikan dua hal yang penting. Pertama, dengan

memberi bagian warisan kepada perempuan serta mendudukkan laki-laki dan

perempuan sama-sama sebagai subyek penerima warisan, maka berarti hukum

Islam telah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap

hukum Jahiliyyah yang telah ada sebelumnya, yaitu tidak menjadikan perempuan

sebagai subyek penerima harta warisan dan bahkan bisa menjadi harta warisan itu

sendiri. Kedua, setting sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga pada masa

munculnya aturan hukum tersebut adalah beban nafkah keluarga ditanggung oleh

laki-laki, sehingga pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bagian

warisan yang lebih besar daripada bagian warisan perempuan merupakan

pembagian yang adil.56 Dengan begitu, maka aturan-aturan hukum Islam adalah

aturan hukum yang memiliki karakter egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak

patriarkhal.

1. Peranan Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren)

Tanggung jawab lain yang mesti diemban pesantren, bahwa salah satu

misi awal didirikannya untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang

universalitas Islam yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan,

budaya maupun kondisi social masyarakat.Hal ini nampak, dimana dengan

institusi pesantren, para wali, ulama dan pemuka agama Islam terdahulu berhasil

56Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi, 52-53.

Page 149: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

114

menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat. Idealisasi

bentuk dari masyarakat yang diinginkan tersebut adalah masyarakat muslim yang

inklusif, egaliter, patriotic, luwes serta memiliki gairah terhadap upaya-upaya

transformatif. Misi kedua ini lebih menggambarkan peran pesantren sebagai

sebuah institusi pendidikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, institusi pesantren dengan dua misi

besar di atas setelah dalam perjalanannya banyak bersinggungan dan bersentuhan

dengan berbagai kenyataan global dalam masyarakat dan dunia, maka disadari

bahwa dalam perkembangannya kemudian melahirkan berbagai persoalan krusial

dan dilematis. Di satu sisi dia berperan sebagai penterjemah57 dan penyebar

ajaran-ajara Islam dalam masyarakat, di sisi lain untuk mempertahankan jati

dirinya sebagai lembaga atau institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren

harus melakukan seleksi ketat dalam pegaulannya dengan masyarakat luar, atau

kenyataan luar yang tidak jarang menawarkan nilai-nilai yang bertentangan

dengan nilai-nilai yang dianut dan digariskan oleh pesantren. Akibatnya terjadi

semacam tarik menarik dua kekuatan, memilih salah satu sisi, berarti dia harus

meninggalkan keutuhan missinya, terlebih lagi jika harus meninggalkan kedua

sisi tersebut secara bersamaan.

Kondisi inilah yang kemudian memposisikan pesantren pada situasi

dilematis, yang kemudian melahirkan sebuah kenyataan yang menggambarkan

ketidak mampuannya lagi untuk memberikan kontribusi bagi masyarakatnya

dalam melakukan transformasi sosial, bahkan kemudian menjadikan pesantren

“jauh” dari masyarakatnya. Pesantren seolah-olah telah membentuk “komunitas

eksklusif”, yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat sekitarnya.

Situasi lain yang juga memiliki andil dalam menciptakan kondisi

pesantren seperti di atas, adalah adanya berbagai kebijakan formal dalam

57Yang dimaksud dengan penterjemah bahwa pesantren dan para kiyainya memberikan penjelasan dan pemahaman atau penafsir terhadap kandungan al-Qur’ân dan Al-Hadith sebagai sumber hukum yang harus ditaati.

Page 150: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

115

masyarakat, baik yang dibuat secara sadar maupun tidak, telah menjadikan

institusi pesantren menjadi sebuah institusi yang kehilangan sikap kemandirian

dan elan vital yang dimilikinya. Kondisi ini kemudian menjadikan pesantren,

disamping sulit mengemban peran dan fungsi (role and place) seperti yang

dikemukakan di atas, juga membuat “hidupnya” diisi dengan mental

ketergantungan.

Berangkat dari kondisi ideal yang dicita-citakan serta realitas yang terjadi

dan dirasakan oleh institusi pesantren, maka ikhtiar yang mungkin dapat

dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran pesantren sebagai institusi yang

diharapkan dapat berperan dalam upaya perubahan social (agent of social

change), serta institusi kelimuan yang diharapkan dapat berperan dalam

transformasi keilmuan baik untuk kalangan komunitas warga pesantren, maupun

untuk masyarakat pada umumnya, adalah dengan mencoba mengkaji ulang secara

kritis menggugat kemapanan pesantren yang selama ini selalu dibanggakan

sebagai institusi yang dinilai “paling orsinil” milik masyarakat Indonesia dengan

segala macam predikat baik lainnya.

Meskipun pesantren memiliki kecanggihan dan kemampuan menginstal

para ulama dan cenkiawan, namun daya tahan ekonominya sangat lemah,

sehingga tidak berdaya menepis godaan politik dan kekuasaan.58 Godaan politik

dan kekuasaan inilah yang memberikan iming-iming agar pesantren ditinggalkan.

Upaya untuk membangun kembali atau mengembalikan fungsi dan peran

pesantren pada misi awal yang diembannya, sebagai institusi yang diharapkan

dapat menjadi agent transformasi keilmuan dalam berbagai bidang trutama dalam

hulum Islam dan pencerdasan masyarakat menuju terciptanya perubahan sosial ke

arah yang lebih baik, merupakan kondisi dan instrumen penting dalam upaya

penguatan masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang secara sederhana

58Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e

dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, xviii

Page 151: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

116

dapat difahami, sebagai bentuk masyarakat yang sadar akan hak dan

kewajibannya, serta memiliki kepedulian dan kemampuan untuk

memperjuangkan hak-haknya, serta menunaikan kewajibannya.59

Dalam hal ini bahwa peranan pondok pesantren sangat besar dalam

transformasi hukum. Para kiyai dengan ilmunya yang diajarkan kepada santri

kemudian para santri mengamalkan ilmu yang diturunkan oleh ustadnya yang

selanjutnya di suri tauladan atau ditiru oleh masyarakat, maka dari masyarkat

itulah masuk ke dalam Negara atau yang kemudian menjadi hukum positip.

Begitu pula halnya dngan pendidikan perguruan tinggi Islam

2. Peranan Perguruan Tinggi

Di sinilah kemudian peranan sivitas akademik dalam membantu

pemerintah menyiapkan blue print pengembangan Ilmu hukum yang lebih luas

menjadi penting. Dengan penguatan dan pemanfaatan nilai-nilai Islam yang

tercakup dalam ekonomi Islam pada berbagai aspek kehidupan, maka potensi

ekonomi Islam dalam mendukung ekonomi nasional akan makin terbuka. Sivitas

akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah

akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga

melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek kemanfaatan (mas lahat) yang

terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian menterjemahkannya dalam

kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk

pemerintah.60

Perkembangan dan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sejauh

mana sumber daya manusia menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan

kepatuhan terhadap hukum untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan

kemakmuran bangsa. Suatu lembaga yang relevan dan bertanggung jawab untuk

59Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e

dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, 175. 60Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Umum Ekonomi Islam dan Pendidikan Islam Tahun

Akademik 2008/2009 Magister Studi Islam (MSI) UII, Sabtu, 13 September 2008.

Page 152: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

117

menghasilkan sumber daya manusia unggul dan berkualitas yang menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi adalah perguruan tinggi. Perguruan tinggi sebagai

centre of excellence hendaknya mampu mencetak sumber daya manusia yang

berkualitas untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan

persaingan mutu atau kualitas. Tingkat kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh

kemajuan dan perkembangan perguruan tingginya.

Perguruan tinggi agama Islam memiliki tantangan tidak ringan yang

seharusnya sudah dikuasai, tetapi sampai sekarang belum dilakukan dan dikuasai.

Tantangan itu adalah pengembangan sumber daya insani, sains, dan teknologi.

Apalagi sedikit sekali produk-produk atau ilmu-ilmu sains dan teknologi yang

cukup signifikan yang dikuasai oleh orang-orang dari perguruan tinggi agama

Islam. Tantangan yang dihadapi perguruan tinggi berkaitan dengan fungsi dan

tugas perguruan tinggi sebagai transformer dalam bidang hukum.

Suatu masyarakat moderen tidak akan terpikirkan tanpa adanya

universitas. A modern society is unthinkable without the university.61 Kalimat ini

kutipan Jaroslave Pelikan, presiden American Academy of Arts and Siences. Bagi

setiap bangsa yang ingin maju, mau moderen dan berkembang, harus memiliki

perguruan tinggi yang bukan saja melestarikan tetapi yang lebih penting

mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Lembaga pendidikan tinggi

diharapkan meneliti, menggodok dan memasyarakatkan nilai. Meto dan ide baru

serta memantau dn memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi

masyarakatnya.62

Besarnya peran dan pentingnya fungsi perguruan tinggi tidak menutupi

kenyataan bahwa lembaga ini tidak terlepas sasaran kritik dan tumpuan kecaman.

Ada tiga fungsi perguruan tinggi yang disebut tridarma atau tiga pengabdian

61Kutipan Jaroslave Pelikan, The Idea of University: A Reexamination (New Haven: Yale

University Press, 1992), 13. 62Edward Shills, Modernizarion and Higher Education, dalam Myrom Weiner (ed)

Modernization: The Dynamics of Growth (New York Basic Books, 1966), 87-88.

Page 153: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

118

perguruan tinggi yang ketiganya saling terpadu, yaitu darma pendidikan dan

pengajaran (teaching and learning), darma penelitian, dan darma pengabdian.

Perbedaan fungsi dan darma, adalah fungsi berkaitan dengan tugas dan darma

berkaitan dengan peran.

Darma pertama perguruan tinggi adalah pendidikan dan pengajaran

(teaching and learning). Darma ini menjadi pondasi dalam pelaksanaan

perguruan tinggi karena lebih banyak diarahkan untuk pengembangan sumber

daya insani. Indikator berkualitasnya pendidikan dan pengajaran salah satu

normanya adalah berkaitan dengan satuan kredit semester (SKS). SKS itu bobot

yang diberikan kepada tiap mata kuliah yang menunjukkan berapa banyak

pertemuan itu dilaksanakan, berapa banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan

oleh peserta didik maupun dosen, berapa banyak pula upaya-upaya yang

dilakukan oleh peserta didik dan dosen dalam meningkatkan diri melalui kegiatan

mandiri belajar bebas. Misalnya, satu mata kuliah bobotnya 3 SKS dengan satuan

waktu 50 menit. Artinya bagi peserta didik harus mengikuti kuliah 3 kali 50 menit

kali 14 kali pertemuan (12 kali perkuliahan, 1 kali Ujian Tengah Semester (UTS)

dan 1 kali Ujian Akhir Semester (UAS) dalam satu semester. Ditambah 3 kali 50

menit mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Ditambah lagi 3 kali 50 menit

mengerjakan tugas atau belajar mandiri. Jika peserta didik melaksanakan SKS itu

dengan baik, maka akan dihasilkan peserta didik dengan hasil belajar yang

berkualitas. Namun, keberhasilan itu akan dicapai jika dosen pun melakukan

tugasnya dengan baik. Dosen harus datang ke kelas 3 kali 50 menit kali 14 kali

pertemuan untuk berinteraksi dengan peserta didik. Dosen pun perlu persiapan-

persiapan yang matang untuk memberikan pengajarannya. Kemudian dosen pun

harus memeriksa semua tugas peserta didik dan mengembalikannya kepada

peserta didik, sehingga diketahui benar atau salahnya pekerjaan yang dilakukan

peserta didik tersebut. Selain itu, dosen pun dituntut untuk selalu membaca

Page 154: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

119

sekurang-kurangnya 3 kali 50 menit. Dengan demikian bahan-bahan kuliah yang

akan diajarkan kepada peserta didik akan selalu up date.63

Darma kedua perguruan tinggi yaitu penelitian yang muatannya lebih

banyak berkaitan dengan pengembangan sains dan teknologi. Penelitian ini yang

dianggap sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pendidikan dan penelitian yang dilakukan dosen dan peserta didik diarahkan

untuk mengembangkan kemampuan kerja sama, cara berpikir dan berkarya secara

aktif dan kreatif, sustainable agar memiliki kontribusi dalam perubahan yang

terjadi di masyarakat ke arah yang lebih baik dengan dilandasi nilai-nilai

keimanan.

Darma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian, yaitu kegiatan yang

dilakukan oleh civitas akademika seperti dosen dan peserta didik dalam

pengembangan masyarakat agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik (agent

of change), baik untuk jangka pendek, menengah, atau jangka panjang

berdasarkan dari ilmu yang diperoleh dari pendidikan dan pengajaran serta hasil-

hasil penelitian. Untuk itu maka diterapkan suatu prinsip yang dikenal dengan

community development, atau rekayasa sosial yang dapat memberdayakan

masyarakat64 agar mampu berdiri sendiri yang difasilitasi oleh perguruan tinggi.

Perguruan tinggi harus benar-benar menunjukkan perannya secara aktif dengan

melakukan kegiatan membina masyarakat supaya baik. Untuk perguruan tinggi

yang berkecimpung di bidang agama adalah membina masyarakat berkaitan

dengan agama Islam. Inilah yang disebut dengan dakwah. Bisa pula melakukan

pembinaan berkaitan dengan bidang lainnya seperti melaksanakan

entrepreneurship atau kewirausahaan, agar masyarakat bisa hidup mandiri.

63Departemen Agama, Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

(Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009), 15. 64Pemberdayaan dalam tahap emansipatif yaitu dari orang Islam, oleh orang Islam, untuk

orang Islamdan didukung oleh masyarakat global. Bukan hanya pada tahap initial, dari masyarakat global, oleh masyarakat global, untu umat Islam, Lihat Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Sumatera Utara: IAIN Sumaetra Utara dan Tiara Wacana Yogya, 1998), Cet-1, x.

Page 155: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

120

Ketiga fungsi dan peran perguruan tinggi itu saling berkaitan. Jika satu

fungsi atau peran pincang, apalagi ketiga-tiganya, maka sulit dikatakan perguruan

tinggi itu berkualitas. Fungsi dan peran perguruan tinggi ini dikaitkan dengan

keberadaan pendidikan yang lebih besar lagi. Semua orang yang terlibat dalam

penyelenggaraan perguruan tinggi mulai pimpinan, dosen sampai staf

administrasi, di dalam benaknya diarahkan untuk meningkatkan kualitas

pendidikan.

Fungsi dan peran perguruan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan

harus dapat memberikan jaminan bahwa layanan yang bermutu kepada peserta

didiknya.65 Perguruan tinggi atau dosen dalam memberikan layanannya agar tetap

bermutu memerlukan audit terhadap kinerja yang dilakukannya, termasuk

penilaian ynag dilakukan oleh peserta didik terhadap kualitas dosennya dalam

menyampaikan pengajaran. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui

kekurangan atau kelemahan dalam memberikan bahan kuliah untuk dijadikan

bahan memperbaiki dan mengembangkan kemampuan yang lebih baik dengan

bahan kuliah yang selalu up date. Penilaian dari peserta didik ini biasanya objektif

karena mereka mengalami langsung pembelajaran dari dosennya, apakah

memuaskan atau tidak memuaskan.

Dilihat dari konteksnya, fungsi dan peran perguruan tinggi berlaku dalam

tataran yang bersifat umum atau universal yang berlaku di mana pun. Siapa saja

baik perorangan, masyarakat, maupun negara dalam menyelenggarakan perguruan

tinggi harus menyadari fungsi perguruan tinggi itu. Yang paling mendasar pada

prinsipnya bahwa perguruan tinggi sebagai penyambung transformer hukum yang

selam ini terjadi stagnasi.

65Layanan bermutu adalah layanan yang memberikan kepuasan kepada pemangku kepentingan (stake holder). Kepuasan itu tidak hanya dirasakan oleh peserta didik saja, melainkan juga orang tua atau masyarakat yang merasakan peserta didik sebagai sumber daya yang berkualitas. Lihat Departemen Agama.. Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009), 56

Page 156: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

121

3. Peranan Majelis Ulama Terhadap Tranformasi Hukum

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat

yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk

membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia,

MUI berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan

tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah

para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air,

antara lain: meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di

Indonesia pada waktu itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-

ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al

Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang

ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut

dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk

membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan

cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,”

yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut

Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah

berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi

bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang

peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama

dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para

ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: 66

66"http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal 2 Februari

2010)

Page 157: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

122

1) memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam

mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allâh

Subhanahu wa Ta’ala;

2) memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan

kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat

beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;

3) menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan

penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan

pembangunan nasional;

4) meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam

dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan

kepada masyarakat khususnya umat Islam.

Majelis ulama Indonesia mempunyai lima fungsi utama,67 yaitu :

a) Sebagai Pewaris Tugas-Tugas Para Nabi (Waratsatu al-Anbiyâ)

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai ahli waris tugas-tugas para

Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu

kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Sebagai

waratsatu al-anbiyâ (ahli waris tugas-tugas para nabi), Majelis Ulama Indonesia

menjalankan fungsi kenabian (an-nubuwwah) yakni memperjuangkan perubahan

kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan

menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan

dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia.

b) Sebagai Pemberi Fatwa (Mufti)

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam

baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis

67"http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal, 25 Maret 1010)

Page 158: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

123

Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia

yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya.

Dalam bidang ekonomi Syariah MUI telah mengeluarkan fatwa Dewan Syariah

Nasional (DSN) yang khusus menangi perekonomian secara Islam sebanyak 75

fatwa sampat pada tahun 2010.

c) Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ra'iy wa Khadim al

Ummah)

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim al-

ummah), yaitu melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan

tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar

memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak langsung, akan

bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis Ulama Indonesia berusaha

selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan

bangsa dalam hubungannya dengan pemerintah.

d) Sebagai Penegak Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar

makruf nahyi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran

dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah. Dengan

demikian, Majelis Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan bagi

pejuang dakwah (mujahid dakwah) yang senantiasa berusaha merubah dan

memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan

dengan ajaran Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu

ummah)

e) Sebagai Pelopor Gerakan Pembaharuan (al-Tajdîd)

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor tajdid yaitu gerakan

pembaruan pemikiran Islam. Disamping itu juga sebagai pelopor gerakam ishlah

menjadi juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila

terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama

Page 159: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

124

Indonesia dapat menempuh jalan al-jam'u wa al-tawfîq (kompromi dan

persesuaian) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian

diharapkan tetap terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di kalangan

umat Islam Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi

kemasyarakatan68 lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom

dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam

kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak

lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan

mengambil keputusan atas nama organisasi.

Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya

untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam

negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi

masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama

Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama

Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang

sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup

berdampingan dan bekerjasama antar komponen bangsa untuk kebaikan dan

kemajuan bangsa. Sikap MUI ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam

sebagai Rahmatan li al-‘Alamîn (Rahmat bagi Seluruh Alam)69

Peranan MUI dalam transformasi hukum Islam menjadi hukum positif

sangatlah besar, tidak hanya hukum yang berkaitan hukum keluarga tetapi juga

68Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis

Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/ Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal, 25 April 2010)

69http://www.mui.or.id/index.php?option=com.content&view=article&id=49&Itemid=53 (Diakses pada tanggal, 25 Mare 2010)

Page 160: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

125

yang berhubungan dengan hukum bisnis. Banyaknya fatwa-fatwa MUI yang

digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan ekonomi atau perbankan.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa fatwa-fatwa MUI telah menjadi hukum positif

yang mempunyai keuatan hukum yang pasti.

4. Peran Ormas-Ormas Islam

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur

paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia

bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul

dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk

memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas

Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh

pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum

Islam di Tanah Air, misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum

Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.

Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga

dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk

menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan

“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam

yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga

dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang

diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi

bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa

proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat

menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di

Tanah air, namun setidaknya apa yang telah penulis paparkan di sini dapat

memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan

agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.

Page 161: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

126

Baru-baru ini, hukum Islam hanya bicara soal hukum yang berkaitan

keluarga, kini telah merambah pada tataran hukum bisnis atau ekonomi. Hal ini

terjadi disebabkan oleh banyaknya peran ulama dalam pengembangan ekonmi

yang dikenal dengan ekonomi syariah. Sebelumnya peran ulama masih berkisar

pada sebagai pemuka agama yang berorientasi pada masalah-masalah ibadah

semata. Seiring dengan berjalannya waktu peran ulama bergeser pada tataran

penting dalam dunia politik, social, budaya bahkan ekonomi. Jelas bahwa peranan

dan kontribusi ormas-ormas mempunyai pengaruh yang besar terhadap

pembnetukan dan transformasi hukum Islam menjadi hukum positif.

5. Peran Masyarakat Islam dalam Transformasi Hukum Islam

Hampir di seluruh kampus, sekolah-sekolah umum di kota-kota besar di

Indonesia, terdapat maraknya kajian dan dakwah mengenai Islam dalam satu

decade terakhir ini, Di masjid, mushalla, surau, rumah bahkan kadang-kadang

lapangan digunakan untuk dakwah menyebarkan syiar Islam. Hal tersebut patut

menggembirakan dengan adanya semangat umat Islam dan kesadarannya tumbuh

sedemikian besar. Tidaklah mengherankan ketika mendengar alunan suara merdu

yang membaca al-Qur’ân. Ini bisa disebut sebagai kebangkitan umat islam dari

tidurnya.

Kesadaran Islam tidak hanya terbatas di kalangan orang-orang yang sudah

lanjut usia, sebagaimana yang biasa kelihatan pada dekade-dekade yang lalu.

Pada zaman sekarang, kaum profesional berdasi tidak sungkan mendiskusikan

masalah-masalah Islam. Bahkan, ada kegiatan pesantren kilat untuk kalangan

eksekutif pada bulan-bulan tertentu. Selain itu, ada pula pengajian tetap mereka di

kantornya masing-masing.70

Jika kita ingat-ingat bahwa dulu, mungkin ada kesan bahwa rajin ke

masjid itu kalau kepala sudah beruban. Barangkali juga, dahulu, sangat sulit

70Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pascakeyatuhan Soeharto, 108.

Page 162: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

127

menemukan orang berpendidikan umum rajin datang ke masjid atau menghadiri

pengajian.. Akan tetapi, itu bukan pemandangan aneh pada zaman ini. Masjid-

masjid kampus penuh sesak dengan mahasiswa teknik, kedokteran, MIPA,

ekonomi, dan sebagainya. Mereka sangat bergairah mendiskusikan masalah-

masalah dakwah dan pengamalan ajaran Islam.

Dulu, sealim-alim mahasiswa di kampus umum, paling ia hanya aktif di

organisasi kemahasiswaan Islam, yang jika disorot dari segi pengamalan Islam

dan konsistensi pada ajarannya, tidak terlalu menonjol, apalagi jika ditinjau dari

segi akhlak Islamiyah. Mereka biasa mengadakan training dan diskusi Islam,

tetapi duduk bersebelahan, bahkan bersenderan antara laki-laki dan perempuan.

Ketika mau pulang, mahasiswinya diantar dan dibonceng oleh teman laki-lakinya.

Alasannya untuk lebih menjamin "keamanan" si wanita. Mereka juga

menganggap berpacaran itu suatu hal yang biasa dan terlalu alim (fanatis) jika ada

di antara mereka yang tidak berpacaran.71

Akan tetapi, dalam lima belas tahun terakhir ini, ada fenomena lain yang

berubah jauh dibanding fakta-fakta tersebut, terutama berkaitan dengan tingkat

pemahaman keagamaan. Trend baru itu, yang kebanyakan justru tumbuh subur di

kampus-kampus umum, adalah kekentalan dalam mengamalkan Islam. Jika kita

menemukan aktivis wanitanya, jangan harap ia mau diajak berjabat tangan. Tidak

hanya itu, ketika berbicara dengan lawan jenisnya pun, mereka tidak mau

menantang bola mata lawan bicaranya.

Jika diukur dengan pola beragama aktivis dekade sebelumnya, fenomena

ini bisa saja mereka sebut sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Akan

tetapi, dalam pandangan aktivis baru itu, hal-hal tersebut merupakan sikap yang

memang seharusnya ditampilkan oleh setiap Muslim. Alasan mereka begitulah

71Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syaria’t Islam

Pascakeyatuhan Soeharto, 109.

Page 163: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

128

generasi awal Islam dahulu memegang Islam dengan sepenuhnya tidak separo-

separo.

Bila terjadi pernikahan di antara sesama aktivis di antara mereka, pesta

nya bisa dianggap sebagai sesuatu yang asing oleh orang awam. Pasalnya mereka

tidak mau mencampurkan antara undangan pria dan wanita. Sang pengantin juga

tidak mau disandingkan di depan orang seperti pajangan Jadi, intinya mereka

memang ingin menjalankan dengan sungguh-sunggul apa yang mereka baca dan

ketahui tentang Islam dari pendahulu-pendahuh umat ini (sahabat Nabi, tabi'in,

dan generasi-generasi sesudah mereka).

Selain itu, di kalangan masyarakat Muslim, semangat Islam itu jelas

terlihat Sebagai contoh, jumlah jama'ah haji terus meningkat dari tahun ke tahun.

Begitu pula orang-orang yang pergi umrah. Bahkan, banyak di antan mereka yang

melangsungkan Akad Nikah di Masjid. Di ibukota Jakarta, hal seperti ini sudah

menjadi fenomena baru, termasuk orang-orang berdasi yang banyak memenuhi

masjid.

Ini merupakan peluang yang sangat strategis bagi umat Islam bahwa

kemauan politik (political will) dari pemerintah, untuk menjadikan syariat Islam

menjadi hukum nasional menjadi nyata dan perubahan dengan mudah dapat

dilakukan. Akan tetapi, bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apa pun

terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang

perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan

adanya perubahan, kecuali dengan menggunakan kekerasan (revolusi). Iklim

seperti ini pernah kita rasakan selama periode kekuasaan Orde Lama dan Orde

Baru. Kekuasaan terpusat di tangan orang yang bergelar presiden. Suara-suara

rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan Presiden dianggap sebagai penentang

yang akan menggulingkan kekuasaan yang "sah" (subversi).

Pada masa Orde Baru, isu syariat tidak lagi muncul kecuali dengan

nuansa negatif. Isu "Piagam Jakarta" digambarkan sebagai momok yang

Page 164: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

129

menakutkan, sehingga semua golongan bangsa sama-sama mengantisipasinya

untuk tidak berlaku. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali

"Piagam Jakarta" dianggap sebagai orang-orang berbahaya atau lebih populer

dengan sebutan "ekstrim kanan". Akhirnya, betapa rakyat Indonesia yang Muslim

ingin menerapkan syariat Islam, hal tersebut selalu mengalami jalan buntu.

Sungguhpun demikian, agaknya umat Islam masih belum berputus asa atau

berhenti memperjuangkan berlakunya syari’at Islam menjadi hukum positif.72

Dengan runtuhnya rezim Orde Baru, tuntutan menerapkan kembali

"Piagam Jakarta" dan syariat Islam mengemuka,73 terlebih ketika otonomi khusus

diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh. Untuk itu, yang dibutuhkan sekarang

dalam konteks perjuangan penerapan syariat di Aceh adalah sebagai berikut.

a. Sosialisasi syariat sebagai sistem hukum yang ideal. Masyarakat harus sadar

betul bahwa persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan syariat.

b. Meningkatkan wawasan masyarakat Aceh tentang syariat. Dalam hal ini,

seharusnya syariat dipandang sebagai sistem hukum yang utuh. Syariat

hendaknya tidak dikesankan hanya sebatas jilbab, libur hari Jumat, berdirinya

bank syariat, pakaian laki-lakinya jubah dan peci haji.

c. Mempersiapkan perangkat perundang-undangan syariat dalam berbagai

cabang hukum, seperti pidana, perdata, dagang, acara, perburuhan, pembagian

hasil alam yang dimiliki daerah, dan lain-lain.

Lebih dari itu, sesungguhnya, penerapan syariat tidak terbatas hanya di

wilayah Aceh saja. Opsi tersebut sejatinya di seluruh wilayah nusantara yang

dikuasai Islam. Pasalnya, jika kembali kepada prinsip akidah Islam, setiap

Muslim mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan Hukum Allâh di muka

72Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang

Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi ke-3 (Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007), xii

73Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, xiii

Page 165: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

130

bumi dan kondisi masyarakat di wilayah-wilayah Nusantara tidak jauh berbeda

dengan Aceh.

Masyarakat Sumatera adalah masyarakat Melayu yang dalam pergaulan

sehari-hari identik dengan Islam. Orang non-Muslim yang masuk Islam disebut

"masuk Melayu". Adat istiadat Melayu hampir identik dengan ajaran Islam.

Apalagi dengan masyarakat Minangkabau yang dikenal sangat kental dengan

ajaran Islam. Di Minang, ada sebuah pepatah yang sangat terkenal: "Adat basandi

syara, Syara basandi Kitabullah". Pepatah Minang ini menggambarkan, betapa

melekatnya syariat Islam dengan adat Minangkabau.

Dengan adanya peraturan tentang otonomi daerah yang disahkan oleh

DPR pada tahun 1999 lalu, daerah-daerah di Indonesia berpeluang untuk

melaksanakan peraturan atau norma yang menjadi tuntutan masyarakat setempat.

Bila aturan itu disetujui oleh DPRD setempat, aturan itu sudah mempunyai

kekuatan hukum. Sebagai masyarakat Melayu yang identik dengan Islam,

masyarakat di Sumatera sudah tentu menginginkan bahwa hukum yang mengatur

kehidupan mereka adalah hukum syariat yang bersumber dari agama mereka.

Mereka merasakan bahwa syariat merupakan hukum yang paling adil dalam

memandang manusia.

Hal itu tentu beralasan karena syariat adalah hukum yang bersumber dari

wahyu Allâh Swt., Sang Pencipta manusia. Sudah tentu, hukum yang berasal dari

Allâh adalah hukum yang paling adil. Hal itu berbeda dengan hukum yang dibuat

manusia, yang pasti mengandung unsur ketidakadilan, kecurangan, dan

keberpihakan kepada kelompok tertentu.

Perjalanan panjang bangsa ini dengan produk hukum penjajah dengan segala

ekses yang ditimbulkannya-seperti kezaliman, hilangnya rasa kema-nusiaan,

mempertuhan materi dan hawa nafsu, tidak adanya keadilan- semakin

memperkuat kerinduan kita, masyarakat Melayu, agar hukum syariat dapat

diterapkan di daerah-daerah Melayu.

Page 166: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

131

C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia

Pada hakikatnya bahwa Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh

sebelum penjajah datang ke Indonesia, waktu penjajah Belanda datang ke

Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia

Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu hukum agama yang dianut oleh

penduduk Hindia Belanda seperti Islam, Hindu, Budha, dan Nasrani, disamping

hukum adat Indonesia (adatrecht), juga berlakunya hukum Islam yang sebagian

besar penduduk Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan Islam

setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518M. Menurut

Christian Snouck Hurgronje sendiri bahwa pada abad ke-16 di Hindia Belanda

sudah muncul kerajaan Islam seperti Mataram, Banten dan Cirebon yang

berangsur-angsur mengislamkan semua penduduknya.74

Kendatipun pada mulanya kedatangan Belanda yang beragam Kristen

Protestan ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah hukum agama,

namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah,

akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah

hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi (Inlander) sehubungan dengan

berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan Hukum agama bagi masing-

masing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang dikenal dengan teori receptio

in complexu, teori receptie (resepsi), teori receptie exit dan teori receptio a

contrario, dan teori eksistensi. Dua teori yang pertama muncul pada masa

sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dan tiga teori terakhir muncul setelah

Indonesia merdeka.

1. Politik Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli

sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan

74Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 143

Page 167: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

132

kedelapan masehi.75 Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara,

kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal

gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu

kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.

Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh

berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan

ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.76

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah

nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul

berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri

Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan

Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan

Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana

tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai

hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di

setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang

telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini

dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama

nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.77 Dan kondisi terus berlangsung hingga

para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Hukum Islam pada Masa

Penjajahan Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara

dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia

75Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam

Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Mei 2005), 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Li Bahtiar Effendy, Islam dan Negara;Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, Oktober 1998, 21.

76Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 61. 77Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 61-62.

Page 168: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

133

Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang,

VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat

dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC

sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu, disamping

menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam

menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan

hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum

Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat

menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun

membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah

mereka jalankan.78 Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa

“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

1) Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,

dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk

agama Islam.

2) Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di

tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini

kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

3) Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di

Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil

kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-

Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan disbanding

Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum

pidana Islam.79

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga

menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda

78Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 63-64. 79Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 64-66.

Page 169: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

134

kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5

tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah

Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras

mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu

menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan

rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dâr al-Islâm dan

dâr al-harb.

Menurut Masykuri Abdillah ajaran-ajaran agama Islam sebagian besar

telah dipraktekkan dalam kehidupan pribadi, sosial dan politik sejak peride nadi

sampai kedatangan koonialisme Barat. Hukum Islam menjadi hukum positif

dalam kekhalifahan kesultanan dan kerajaan Islam,80 seperti kerajaan Mataram

dengan istilah natagama. Datangnya kolonialisme Barat ke negara-negara Muslim

mengakibatkan berkurang eksistensi hukum Islam di kalangan para

pemeluknya.81 Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan berbagai cara

untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya melalui:

1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi; dan

2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah

(spiritual) saja.82

Politik perkembangan hukum Islam yang sangat pesat, penasihat

pemerintah Belanda yang juga ahli hukum Islam, Prof Christian Snouck

Hurgronje (1857-1936) memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya,

hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam

80Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Jauhar

Journal Pemikiran Islam Kontektual, Vol. 1, No. 1, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, 51

81 Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona, 51 82Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 67-68.

Page 170: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

135

dan menarik rakyat pribumi agar lebih dekat dengan tradisi dan budaya

pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya.83

Kebijakan tersebut akhirnya dirinci oleh Snouck Hurgronje menjadi teori

Receptie seperti yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische Straaftregeling

(IS) di mana hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum apabila telah

dilaksanakan oleh masyarakat adat. Artinya tidak ada hukum Islam kecuali yang

diterima sebagai hukum adat.

Dengan kebijakan tersebut, arah hukum yang berlaku bagi masyarakat

Indonesia pribumi pada saat itu bergerak menuju hukum adat dan menggeser

peran hukum Islam. Tidak kurang dari 19 wilayah di Indonesia mulai

mengembangkan hukum adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai dibatasi

oleh sebuah komisi bentukan pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Bertrand

ter Haar Barn (1892-1941). Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan

Kalimantan Selatan untuk memutus soal-soal kewarisan mulai ditanggalkan dan

diserahkan ke Landraad.

Setelah kebijakan Snouck Hurgronje ini, arah kebijakan hukum

pemerintah kolonial yang diberlakukan bagi golongan pribumi mengutamakan

hukum adat. Sehingga muncullah selanjutnya kajian-kajian hukum adat ini oleh

para ahli hukum Belanda seperti Cornellis van Vollenhoven (1874-1933) dengan

karyanya Het adatrech van Nederlandsch-Indie (Kitab Hukum Adat Hindia

Belanda) yang berisi tradisi adat dari 19 wilayah yang berbeda dan tradisi adat

dari kaum pendatang seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain sebagainya.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai teori yang

pada intinya menentang teori Snouck Hurgronje yang mengesampingkan hukum

Islam sebagai hukum yang hidup dan diakui yang dikemukakan oleh para ahli

hukum Indonesia seperti antara lain Prof. Hazairin (1905-1975) dan Sayuti Thalib

yang pada initinya mengemukakan bahwa berdasarkan kenyataan kebutuhan dan

83 MS. Kaban, Mengawal Syari’ah (Jakarta: Pustaka ar-Rayhan, 2007), Cet. Kedua, 18-23.

Page 171: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

136

konsumsi hukum masyarakat Indonesia yang kebanyakan Islam adalah bahwa

toeri Receptie yang mendahulukan adat adalah terbalik/bertentangan (Contratio)

dengan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum

Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:

1) Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan

Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin

menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan

hukum Belanda.84

2) Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,

Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang

agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan

yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas

kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian

menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.85

3) Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk

komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam

memeriksa kasuskasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh

hukum adat setempat).86

4) Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische

Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),

yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan

hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak

ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.87 Lemahnya posisi hukum Islam ini

84Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 68. 85Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 68-70. 86Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia,70. 87Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 72.

Page 172: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

137

terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di

wilayah Indonesia pada tahun 1942.

2. Politik Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada

panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942,

segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu

diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan

bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya

dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja

berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi

terakhirnya di masa pendudukan Belanda.88

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan

berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat

Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

a) Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam

sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

b) Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin

oleh bangsa Indonesia sendiri.

c) Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

d) Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)

pada bulan oktober 1943.89

e) Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang

mendampingi berdirinya PETA.

Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan

kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat,

88Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 76. 89Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari.

Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 93, catatan kaki no. 105.

Page 173: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

138

Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.

Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan

kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.90

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum

Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga,

masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya

pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah

keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah

Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di

bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam.

Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika

pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang

memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia,

namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang

memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan

untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya.

Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh

nasionalis Indonesia.

Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis

untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa

badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI

(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis.

Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11

diantaranya yang mewakili kelompok Islam.91 Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat

90Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 76-79. 91 Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, 34, sebagaimana dinukil dari Bakhtiar Effendy,

Islam dan Negara, 83.

Page 174: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

139

menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan

yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar

anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam

masyarakat Indonesia”.92

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir

dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi

paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia

merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.93

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang

mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat

Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu

akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh

PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi

mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan

Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut

dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945.

Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui

Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru

Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu

dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh

92 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo,

Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I dan II (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, (jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959), 35.

93Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan beragama Islam.

Page 175: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

140

Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu

saat sidang BPUPKI.94

Perjuangan formalisasi syariat Islam ternyata tidak berhenti sampai di

situ. Umat Islam terus berlanjut memperjuangkannya dan memuncaknya dalam

Sidang Konstituante 1959. Dalam forum itu seluruh partai Islam justru

memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara yang artinya syariat berlaku tidak

hanya pada umat Islam, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan ini pun

menjadi kandas, karena suara pendukung Islam sebagai dasar Negara masih lebih

kecil dari suara yang menolaknya, wlaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas

di Indonesia.

3. Politik Hukum Islam di Era Orde Lama

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar.

Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat

Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu

politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.95 Hukum Islam pada Masa

Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950

Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki

masa-masa revolusi (1945-1950).

Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin

kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda

berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan

negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.

Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak

lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia

Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS

tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik

94Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 92-93 95Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun,

325, sebagaimana dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 91.

Page 176: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

141

Indonesia–yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia

Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai

konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini

misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana

rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI.

Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh

faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan

Deklarasi HAM versi PBB.96 Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun

1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara

Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,

mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai

upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19

Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS

dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi,

jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak

yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam

Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34

yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar

Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap

penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang

menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.97 “Kelebihan”

lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan

hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang.

Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.98

Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat

96Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 103. 97Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 110-111. 98Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 112.

Page 177: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

142

mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada

tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum

nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan

Nasional.99 Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi

memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka

tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-

undang yang bersifat tetap.100

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam

Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir

tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh

Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas

akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang

dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam

dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa

“Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu

kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan

memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono

lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.101

Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik

adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini

hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang

kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya

beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini.

Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo

dari Jawa Barat.

99Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 113. 100Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 115. 101Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 131-133.

Page 178: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

143

Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya

pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan

Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk

kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI

terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah

diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun

memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun

pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas

itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan

Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri

dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka

sebut dengan “kesadaran teologis politis”nya.102

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah

eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu

sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang

mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal

15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat

pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian

menerima Manipol Usdek-nya Soekarno103- bersama dengan PKI dan PNI104

kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yangberjiwa Nasakom.

Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan;

salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan

kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.105

102Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, 10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 96-97.

103Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 110. 104Masing-masing diwakili oleh Idham Cholid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan K. Suwirjo (PNI). 105Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 140-141.

Page 179: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

144

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama

ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang

untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi

ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran

hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

4. Politik Hukum Islam di Era Orde Baru

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru,

banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam

upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan

politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan

bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun

segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD

1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan

menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.106 Lalu bagaimana

dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum

nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk

mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad

Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan

Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat

fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan

dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan

di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan

lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu

badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan

106Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 111-112.

Page 180: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

145

sendirinya menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai

hukum yang berdiri sendiri.107

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no.

14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.108 Hal ini kemudian disusul

dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di

bidangbidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari

1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan

menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.109

Munculnya Orde Baru, mengandung harapan bagi para pemimpin politik

Islam tentang kemungkinan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional,

terutama harapan untuk tampilnya kembali partai politik Islam Masyumi, yang

oleh penguasa lama dibubarkan. Sayangnya, harapan itu tak pernah menjadi

kenyataan, karena partai Masyumi tidak direhabilitasi.110 Bakha, kecendrungan

Orde Baru dalam kebijakan-kebijakan politisnya lebih merugikan umat Islam.

Misalnya pada periode 1970-1973, ada ketegangan antara kelompok-kelompok

politik yang berorientasi agama Islam dan penguasa berkaitan dengan rencana

fungsi partai-partai politik Islam. Penyederhanaan itu ditempuh dengan

pengelompokan partai menjadi tiga golongan utama yaitu: golongan karya, partai-

partai yang berdasarkan nasionalisme dan partai-partai yang berdasarkan agama.

Akhirnya, pada tanggal 1973, IPKI, partai katolik, parkindo, murba, dan PNI

berfungsi menjadi demokrasi Indonesia (PDI), dan partai NU, Parmusi, PSII, dan

Perti tergabung dalam partai persatuan pembangunan (PPP).111 Tidak

dicantumkannya kata Islam dalam partai yang baru dibentuk (PPP) dan

menggantinya dengan kata pembangunan tentu mengurangi identitas politik

107Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 149-150, dan 153. 108Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 163-164. 109Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 156-157. 110Sebagai gantinya, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan, tetapi dengan control

cukup ketat oleh pemerintah, bahkah unsure pimpinan Masyumi tidak dilibatkan, lihat, Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik, Pustaka Antara, 108

111UU No. 3 Tahun 1975

Page 181: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

146

Islam, kecurigaan umat Islam semakin kuat ketika kebijakan Orde Baru

sebenarnya sedang menyingkirkan Islam dari gelanggang politik dengan lahirnya

RUU Perkawinan Tahun 1974 perubahan lambang PPP dari Kabah menjadi

bintang, peristiwa tanjung priok, asas tunggal pancasila, isu komando jihad, UU

Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama.

Trend yang berkembang pada masa Orde Baru dalam kehidupan politik

adalah peranan militer dalam kehidupan politik yang sangat kuat dan dominan.

Civic mision telah semakin sempurna menjadi dwi fungsi. Kaum militer telah

menunjukkan peran pentingnya dalam usaha konsolidasi. Dalam masalah ini,

hubungan militer dengan Islam sebagai bagian dari kekuatan sipil sangat

ditentukan oleh pandangan keduannya. Pada masa ini pula, trend yang

berkembang kuat adalah penerimaan pancasila dengan satu-satunya asas.112

Menurut Mohammad Natsir,113 salah satu wujud akomodasi bagi gagasan

pelaksanaan syariat Islam dibentuknya Departemen Agama Republik Indonesia

yang dimaksudkan agar umat Islam masih terus bisa memperjuangkan berlakunya

syariat Islam bagi para pemeluknya, melalui legislasi di parlemen dengan

dukungan partai-partai Islam. Kerjasama Departemen Agama dengan partai-partai

Islam dan unsur-unsur simpatisan Islam di partai sekuler seperti Golkar telah

terjadi penyusunan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam, misalnya

tercermin dalam UU Nomor 14 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor

1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama, UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 17 tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Haji.

Perkembangan politik Islam pada sepuluh tahun pertama masa orde baru

tidaklah menguntungkan. Hubungan antara negara dan Islam penuh ketegangan.

Apapun yang datangnya dari Islam selalu ditanggapi pemerintah dengan

112Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Cet. Pertama, 126

113Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, xiv

Page 182: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

147

pendiskreditan. Sebagai akibatnya pihak Islam bermunculan kelompok

fundamentalis yang menentang hampir semua kebijakan pemerintah. Kesan

bahwa Islam itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan, dan bahkan

anti pancasila telah menyebabkan umat Islam terkena proses marginalisasi dalam

modernisasi dan pembangunan nasional. Munculnya gerakan pemikiran baru

Islam dikalangan intelektual muda Islam pada tahun 1970 an merupakan salah

satu bentuk penyikapan agar eksistensi umat Islam diperhitungkan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara114.

Gagasan pemikiran baru Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika

Nurcholis Maddjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah

berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.

Inti yang dikemukakan oleh Nurcholish berkenaan dengan kondisi umat Islam

yang kurang dikesani menguntungkan. Oleh karena itu, umat Islam yang kurang

dikesani pilihan antara keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap

tradisionalistik. Keduanya memiliki konsekuensi tertentu. Pilihan pertama

tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat,

sementara pilihan kedua berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual

umat Islam.

5. Politik Hukum Islam di Era Reformasi

Tumbangnya Soeharto menandai kemunculan reformasi. Istilah ini

menjadi sangat dikenal oleh seluruh masyarakat yang dianggap sebagai

penyelamat kehidupan mereka, bahkan dianggap segala-galanya. Ia muncul

sebagai akibat dari keterpurukan ekonomi yang berdampak pada semakin

114Istilah Pemikiran baru adalah untuk menyederhanakan istilah pembaruan pemikiran yang

secara terminologis masih belum jelas dan banyak dipersoalkan. Paling tidak, istilah itu menunjukkan adanya perbedaan gagasan dengan tokoh Islam sebelumnya, seperti M. Natsir, HM Rasyidi, Deliar Noer, dan sebagainya. Sedangkan pemikiran baru lebih bersifat empirik, tetapi tidak apologetic dalam meyikapi gagasan modernisasi pemerintah Orde Baru. Lihat, Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik, 122-123

Page 183: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

148

beratnya beban hidup masyarakat.115 Reformasi, boleh dikatakan merupakan hasil

usaha bersama antara kelompok nasionalis (abangan) dan Islam (santri) dengan

tema sentral KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Setelah itu, fenomena

konflik abangan-santri mulai muncul. Ada forkot, Famred, dan Promeg (Pro

Megawati) sebagai simbol abangan, yang sejak pagi mengajukan sidang istimewa

MPR. Ketika Habibie disahkan sebagai Presiden menggantikan Soeharto, mereka

ramai-ramai menolaknya dan menganggapnya tidak konstitusional. Padahal,

penyebab sebenarnya adalah karena mereka tidak suka apabila elit santri dalam

ICMI mengisi kekosongan pemerintahan pasca-Soeharto. Tampaknya, sesudah

masa Soeharto (Orba), Islam masih mencari jati dirinya, terutama dalam politik.

Masa Soeharto memang telah menyingkirkan kalangan Islam dari perpolitikan

resmi.

Munculnya Orde Reformasi merupakan bagian dari proses sejarah

kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Orde Reformasi ini diyakini akan lebih

baik dibandingkan orde sebelumnya.116 Apalagi sudah didengungkan bahwa orde

ini berorientasi pada penciptaan Masyarakat Madani, suatu masyarakat terbuka,

demokratis, dan transparan. Pemerintahan sipil (civilian government)

sebagaimana ditulis oleh filosof Inggris John Locke dalam buku Civilian

Government pada 1690, dan dipandang sebagai orang yang pertama kali

membicarakan ide ini bahwa pembentukan pemerintahan sipil adalah membangun

pemikiran otoritas umat untuk merealisasikan kekayaan. Dalam hal ini dapat

direalisasikan melalui demokrasi parlementer, sebagai wakil rakyat dan pengganti

otoritas raja.

115Seperti diketahui, tahun 1997 agenda utama reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dan elit politik adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), penegakan hukum, pengadilan mantan Presiden Soeharto serta keluarga dan kroninya, serta penghapusan peran politik dan Polri. Lihat, Muhammad Said Didu, Mereformasi Agenda Reformasi, bagian pertama dari dua tulisan, salah artikel yang dimuat dalam Republika, tanggal 9 Mei 200, 4

116Sebenarnya, agenda reformasi hanya dapat dilaksanakan pada suasana masyarakat yang tertib, landasan yang kuat, serta suasana negara yang mandiri dalam mengambil keputusan. Dalam kondisi ancaman kebangkrutan perekonomian serta ancaman disintegrasi bangsa, yang diperlukan hanyalah agenda penyelamatan bangsa. Lihat, Muhammad Said, 143.

Page 184: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

149

Masa Reformasi telah terjadi kebangkitan politik Islam, yang ditandai oleh

beberapa gejala. Pertama, lahirnya sejumlah partai-partai Islam, yaitu partai-

partai yang mendasarkan diri pada Islam sebagai idiologi politik. Kedua, lahirnya

sejumlah organisasi berhaluan radikal fundamentalis yang secara lebih fokus dan

tegas menginginkan ditegakkannya syari’at Islam, dengan metode jihad. Ketiga,

tuntutan atau rencana sejumlah daerah propinsi, khususnya Nanggroe Aceh

Darsussalam (NAD) dan kabupaten baik di Jawa maupun luar Jawa, untuk

menerapkan syari’at Islam, melalui legislasi di daerah dalam rangka otonomi

daerah.

Perkembangan itu menunjukkan, bahwa di samping kegagalan dalam

memperjuangkan formalisasi syari’at Islam di tingkat nasional, tampak telah

terjadi kemajuan penerapan syari’at Islam secara inkremental, dalam dimensi

institusional, sektoral maupun ragional. Dalam masa reformasi telah timbul lagi

perjuangan formalisasi syari’at Islam, dengan timbulnya tuntutan dari sejumlah

organisasi Islam radikal dan beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan (PK) agar ST MPR, Agustus 2002,

memulihkan kembali gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29

ayat 1 UUD 1945 tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk

ditambah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan

itu tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan

dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah,

ternyata menolak usul amandemen tersebut.

Belum adanya kesamaan sikap di antara para tokoh Islam, terutama dalam

hubungannya dengan politik, tampaknya akan terus berlangsung sejalan dengan

dinamika kahidupan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Namun

demikian, paling tidak dua spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda117

117Pandangan ini berusaha untuk membandingkan atau memahami politik Islam dalam

konteks politik modern, lihat Bahtiar Efendy, 12-13

Page 185: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

150

dapat diidentifikasi. Kedua spektrum itu sama-sama mengakui pentingnya

prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan dan keduanya mempunyai

penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuainnya dengan

kehidupan modern. Oleh karena itu, bagi sebagian kalangan muslim, ajaran-ajaran

itu harus lebih ditafsirkan kembali melampaui makna tekstualnya dan aplikasinya

dalam kehidupan nyata. Pertama, beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa

Islam harus menjadi dasar negara, yaitu Syari’ah harus diterima sebagai konstitusi

negara; kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; gagasan tentang negara bangsa

(nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak

mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan sementara mengakui prinsip

syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan demokrasi yang dikenal

dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, konteks sistem

politik modern, dengan banyaknya negara Islam yang baru merdeka telah

mendasarkan bangunan politiknya, diletakkan dalam posisi yang berlawanan

dengan ajaran-ajaran Islam. Kedua, beberapa kalangan Muslim lainnya

berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara

(atau sistem politik) yang harus dijalankan oleh ummah. Menurut aliran pemikiran

ini, istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’ân yang

merujuk atau seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, tetapi

ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi

teori politik. Yang jelas, bagi mereka, al-Qur’ân bukanlah buku tentang ilmu

politik.

Gegap gempita demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok

Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum

Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan

MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang

yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan

Page 186: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

151

ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu

daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya

suatu peraturan yang bersifat umum.118

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit

merealisasikan hukum Islam dalam wujud Undang-undang dan peraturan telah

membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam

tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.119

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi

sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia.

Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan

hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, yang diadop

berdasarkan Al-Qurân dan al-sunnah untuk kemudian dijadikan sebagai norma

hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

6. Amanat Reformasi Hukum Islam

Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, tidaklah berlebihan apabila

dikatakan pada masa reformasi inilah wakil umat Islam mendapatkan posisi yang

lebih baik dalam pentas kekuasaan. Tokoh Muhammadiyah menjadi ketua MPR.

Tokoh NU menjadi Presiden. Tokoh HMI menjadi ketua DPR. Sepanjang sejarah

hukum di Indonesia, baru kali ini juga seorang aktivis Islam menjadi menteri

kehakiman. Padahal, dalam rezim-rezim sebelumnya, aktivis-aktivis Islam hanya

berada dalam posisi pinggiran dan tidak strategis. Bahkan, sering gara-gara

keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan Islam, mereka kehilangan posisi.

118Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional (Jakarta: makalah

Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, 27 September 2000), 5

119 Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional (Jakarta: makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, 27 September 2000), 7.

Page 187: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

152

Terlepas dari kritikan tajam yang diarahkan kepada mereka, yang pasti, peluang

menduduki jabatan-jabatan strategis itu baru terbuka sesudah adanya reformasi.120

Sebenarnya, sekarang tinggal bagaimana bergantung pada para tokoh-

tokoh umat itu mampu memanfaatkan posisi yang Allâh amanahkan kepada

mereka atau tidak, terutama untuk merancang penerapan syariat. Dengan

memberdayakan sarjana-sarjana syariat dan sarjana hukum yang ada di berbagai

wilayah, adalah sangat memungkinkan untuk merancang rumusan undang-undang

yang bernafaskan syariat di wilayah masing-masing. Paling tidak, pekerjaan besar

ini sudah bisa dicicil dari sekarang.

7. Peluang dan Aspirasi Penerapan Syaria’t Islam

Ketika Negara Republik Indonesia akan diproklamasikan dibentuklah

sebuah Badan Perancang Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Dalam sidang-sidang BPUPKI yang akan menentukan dasar Negara itu, dimana

anggota-anggotanya terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan dasar Negara

tersebut. Pihak Islam yang megusulkan agar Negara ini menjadi Negara Islam dan

pihak nasionalis yang mengingnkan pemsiahan urusaha kenegaraaan dengan

urusan keagamaan.121 Kedua usul ini sama kuat, namun pada akhirnya terjadilah

kompromi antara kedua pihak dimana pada akhirnya empat pemimpin Islam

berhasil murumuskan piagam Jakarta yang akan dijadikan Mukaddimah UUD

1945 dan telah dipersiapkan oleh BPUPKI/PPKI. Dalam piagam itu, dicantumkan

lima sila yang menjadi dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan

Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi

pemeluknya”. 122

120Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat

Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 110. 121Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pascakeyatuhan Soeharto (Bandung: Syamsul Cipta Media, 2006), Cet. Pertama, 109 122Dawam Rahardjo, Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, Dalam sebuah

Buku, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ditulis oleh Adiwarman Karim (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), Cet. Prtama, xiii.

Page 188: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

153

Apa yang terjadi setelah Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17

Agustus 1945 disore harinya adalah bahwa rumusan kompromis itu dihapus pada

sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari sesudah

proklamasi. Aktor intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri.

Ia mengklaim didatangi salah seorang opsir angkatan laut Jepang yang mengaku

sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur.123

Kendatipun demikian, umat Islam yang committed tetap mempertahankan

aspirasi mereka untuk menerapkan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara. Pada era reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie dan

Abdurrahman Wahid memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk kembali

menyampaikan aspirasi mereka secara terbuka, termasuk aspirasi untuk

memperjuangkan legislasi hukum Islam sebagai hukum nasional atau

pembelakuan piagam Jakarta.124

Aspirasi umat Islam untuk menerapkan hukum Islam tidak dapat

dipisahkan dari proses tranformasi sosial dan politik Ada dua kontek pendekatan,

pertama, kontek pendekatan struktural yang menekankan tranformasi dalam

tatanan sosial dan politik agar mempengaruhi transformasi prilaku sosial sehingga

lebih Islami; kedua, pendekatan kultural menekankan transformasi dalam prilaku

sosial yang diharapkan dapat mempengaruhi institusi-intitusi sosial dan politik

menjadi Islami. Hubungan timbal balik antar kedunya sangatlah dekat.

Sebaliknya, pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, yang berupa

partai-partai politik, lobi-lobi atau melakukan sosilisasi ide-ide Islami yang dapat

mendorong produk pembuatan kebijakan umum. Sebaliknya, pedekatan kultural

hanya mensyaratkan sosilisai dan internalisasi ajaran Islam oleh umat Islam tanpa

dukungan langsung prioritas politik125

123Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pasca Kejatuhan Soeharto, 110. 124Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, 52 125 Masykuri Abdillah, 53.

Page 189: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

154

Sejatinya yang pertamalah yang harus dilakukan, karena ajaran Islam itu

sebetulmya bersifat otoriter bagi para pemeluknya. Namun umat Islam hanya

memahami ajaran agama secara parsial tidak secara komprehensif. Islam tidak

hanya mengenalkan diri sebagai suatu sistem spiritual atau mengenai hubungan

vertikal makhluk dengan Khaliknya saja seperti ibadah mahdhah. Islam

mengharuskan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan secara utuh sehingga

menghasilkan perubahan total dalam kehidupan masyarakat; mulai dari perubahan

ideologis, perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, hingga kepada penerapak

syariat Islam sebagai aspek hukum dalam Islam.126 Ini yang dimaksudkan dengan

ayat Al-Qur’ân, Q:S. 2:208, “Masuk Islamlah kamu secara keseluruhan”. Dalam

pandangan Islam, hidup manusia itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh.

Tidak ada perbedaan antara masalah shalat sebagai ibadah mah dah dan

muamalah sebagai ibadah ghairu mah dah dalam kewajiban untuk tunduk kepada

syariat. Sebagaimana wajibnya kita melaksanakan shalat.

126Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pascakeyatuhan Soeharto, 107.

Page 190: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB IV

HUKUM PERBANKAN SYARIAH

DALAM SUATU TINJAUAN

A. Epistemologi

1. Hukum Perbankan Syariah

Hukum perbankan syariah terdiri dari tiga suku kata, yakni hukum,

perbankan, dan syariah. seperti yang telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa

pengertian hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap

mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.1 Sedangkan

kata hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab

“hukm” tanpa huruf “u” yang berarti norma atau kaidah yakni ukuran, tolok

ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai tingkah laku atau

perbuatan manusia dan benda.2 Dalam buku The New Book of Knowledge,

didefinisikan ”laws  are  rules  that  define  people’s  rights  and  responsibilities 

toward society. Laws are agreed on by society and made official by governments”.

Hukum adalah aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban orang-orang

terhadap masyarakat, disepakati oleh masyarakat dan dibuat pegawai

pemeri

ntah.3

Perbankan adalah bentuk kata benda berasal dari kata “bank”. Kata “bank”

terambil dari bahasa Itali, yakni banco yang berarti meja. Artinya bahwa mejalah

yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses kerja bank sejak dahulu sampai

155

1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Keempat , 350

2Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), cet. Pertama, 40.

3Grolier Publishing Company, The New Book of Knowledge (Jakarta: Grolier Pub. Co., 2003), 760

Page 191: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

156

sekarang masih, dan mungkin sampai yang akan datang secara administrati, tetap

dilaksanakan di atas meja. Dalam bahasa Arab bank disebut dengan kata mas rif,

yang berarti tempat berlangsungnya saling, baik dengan cara mengambil ataupun

menyim

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan

proses

pan, atau selainnya untuk melakukan muamalah.4

Dalam bahasa Indonesia kata bank berarti lembaga keuangan yang usaha

pokoknya memberikan kredit dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran

uang.5 Menurut UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

syariah, pada ketentuan umum, pasal 1 ayat (2) Bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan kata “perbankan” itu sendiri yang

merupakan bentuk kata benda “abstrak” mempunyai segala sesuatu yang

berkenaan dengan bank, mencakup

melaksanakan kegiatannya.6

Selanjutnya, kata “syariah”, menurut Hussain Hamid Hassan dalam

bukunya Lectures on Islamic Economics menyebutkan bahwa hukum Islam

adalah pemahaman manusia mengenai syariah. Pemahaman ini bisa benar dan

bisa salah dan itulah fitrahnya fiqih. Sebaliknya bahwa syariah tidah pernah akan

salah, karena syariah wahyu Allâh melalui nabi Muhammad saw. Jadi syariah itu

permanen tidak berubah dan tidak bisa diragukan, sebab syariah adalah al-Qur’ân

itu sendiri.7 Muhammad Said al-Ashmawi, mengutarakan bahwa kata syariah

dalam arti yang sebenarnya adalah “jalan, metode, atau cara”. Kata syariah pada

mulanya digunakan oleh generasi muslim untuk arti yang tepat, kemudian di

4Muhammad Sayyid Thanthawi, Mu’amalah al-Bunûk wa Ahkâmuha al-Shar’iyyah (Mesir

Daar Nahd ah, 1997), 50. 5Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 90. 6Hermansyah, Hukum Perbakan Nasional Indonsia (Jakarta: Prenada Media Group, 2008,

Cet. Keempat, 39. 7Hussain Hamid Hassan, Lectures on Islamic Economic (New York: Cambridge University

Press, 2000), 759

Page 192: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

157

perluas meliputi aturan-aturan hukum baik yang ada dalam al-Qur’ân maupun al-

Hadith. Akhirnya istilah syariah masuk dalam ranah aturan-aturan hukum yang

sah. Ki

embaga yang memiliki

kewena

lu

dikemu

hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala

ni, hukum Islam atau syariah merujuk pada yurisprudensi Islam.8

Sementara kata “syariah“ dalam versi bank syariah di Indonesia adalah

aturan perjanjian yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk

penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya

sesuai dengan hukum Islam.9 Sedangkan kata syariah secara harfiah adalah jalan

menuju sumber air dan dalam pengertian teknis, kata ini berarti sistem hukum dan

aturan perilaku yang sesuai dengan ajaran al-Qur’ân dan hadith. Karenanya kaum

muslimin tak dapat memilah perilaku mereka kedalam dimensi religius dan

dimensi sekuler. Selain itu tindakan mereka harus selalu mengikuti syariah.10

Sementara itu hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang berkaitan dengan

pemahaman manusia tentang ketentuan-ketentuan hukum syariah.11 Prinsip

syariah menurut Undang-undang adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan

perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh l

ngan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.12

Untuk memeperoleh pengertian tentang hukum perbankan per

kakan berbagai pengertian dari para ahli hukum perbankan antara lain:

Menurut Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan

8Hal ini terjadi dengan kata syariah juga terjadi pada kata Taurat dalam Yahudi. Taurat berarti

“way of Guidance” .yang kemudian dimaknakan legal rules (aturan-aturan yang sah atau resmi)di dalam Taurat, khususnya dalam buku perjanjian lama . Lihat Muhammad Said al-Ashmawi, Islamic Law and Contemporary Politic and Sociaty, 97-98.

9Zainuddin Ali, Hukum Perbankan syariah (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), Cet. 1. 1 10Mervyn K.Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah prinsip, praktik dan Prospek

terj.(Jakarta: Serambi Ilmu, 2001), 27. 11Pemahaman manusia mengenai syariah itu disebut hukum Islam Syariah tidak akan pernah

salah, karena adalah wahyu Allâh melalui nabi SAW dan syariah itu adalah permanent (tetap). Jadi syariah itu tidak diragukan lagi kebenarannya,oleh karenanya yang selalu berubah adalah pemahaman manusianya yang beruba Lihat Hussain Hamid Hassan, Lectures Islamics Economics (New York: Cambridge University Press, 2000), 760

12Departemen Keuangan RI, Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2008), 4

Page 193: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

158

aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan

bidang kehidupan yang lain.13

Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah

hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudesi, doktrin, dan

lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai

lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi

oleh suatu bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung

jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan

tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang

berkenan dengan dunia perbankan.

Hermansyah mengemukakan bahwa hukum perbankan adalah keseluruhan

norma-norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang

bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

melaksanakan kegiatannya.

Dengan demikian, menurut pendapat penulis bahwa yang dimaksud

dengan hukum perbankan syariah adalah keseluruhan norma, kaidah, aturan yang

mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan, yang dalam

bentuk operasionalnya berdasarkan al-Qur’ân dan al-Hadith yang

diimplementasikan dalam bentuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh

karena itu, ketika bank yang kegiatan operasionalnya tidak didasarkan pada fatwa

MUI, maka bank tersebut tidak termasuk sebagai bank syariah.

2. Perbankan Syariah

Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta

cara dan proses dalam emlaksanakan kegiatan usahanya.14 Perbankan Syariah

13Hermansyah, Hukum Perbakan Nasional Indonsia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008,

Cet. Keempat, 39 14Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,

Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1)

Page 194: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

159

adalah lembaga keuangan yang bekerja untuk menarik (mengumpulkan) sumber-

sumber keuangan yang berasal dari individu-individu masyarakat, dan

melaksanakan fungsinya dalam menjamin kebesaran dan pertumbuhan keuangan

berdasarkan kaidah-kaidah syariat Islam, serta peran pelayanan umat dan upaya

peningkatan ekonomi mereka. 15

Singkatnya tujuan bank syariah/Islam bukanlah sekedar untuk

mengumpulkan harta kaum muslimin an sich namun tujuan dasarnya adalah

untuk melaksankan tugas operatifnya bagi peningkatan produktifitas

nasionalisme, penyediaan modal bagi masyarak dan pemenuhan kebutuhan

mereka, serta tujuan untuk mencapai keuntungan bagi setiap nasabah, bank dan

masyarakat.16

Secara umum, tahap pengintegrasian pinsip syariah telah dilakukan oleh

Indonesia, seperti adanya pengakuan sistem perbankan berbasiskan syariah

dalam UU perbankan. Namun, yang perlu diperhatikan adalan bahwa UU ini

perlu didukung oleh perangkat perudang-undangan yang lainnya agar dapat

berjalan secara maksimal.

Menurut Nasution, pengintegrasian ekonomi syariah agar dapat dilakukan

adalah melalui pengakuan dan pengadopsian prinsip hukum ekonomi syariah

seperti yang terdapat dalam KHI ke dalam regulasi nasional kita. Hal ini dapat

dilakukan melalui pembentukan regulasi khusus yang mengatur tentang ekonomi

syariah maupun melalui amandemen regulasi yang ada.

Disamping itu, juga harus dilakukan penguatan infrastruktur pelaksana

hukum ekonomi syariah agar dapat diimplementasikan di tingkat lapangan.

Pembentukan budaya hukum masyarakat yang menerima dan melaksanakan

prinsip ekonomi syaria juga merupakan hal penting untuk menjamin suksesnya

pengintegrasian hukum ekonomi syariah dalam hukum nasional. Selain itu aksi

15Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 17. 16Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 31.

Page 195: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

160

nyata yang harus dilakukan adalah pembaruan produk-produk huku ekonomi yang

lebih efektif untuk mendukung perkembangan dan implementasi ekonomi syariah.

Pembangunan hukum (law making) harus dilakukan sebagai suatu usaha dalam

memperbarui hukum positif hukum di Indonesia.17

Menurutnya bahwa tujuan utama bank Islam antara lain: peningkatan bank

Islam; penanaman modal; tujuan sosial, peningkatan kwalitas hidup manusia;

tujuan pencapaian predikat tinggi; penyebaran budaya dan pengetahuan

perbankan Islam; menghidupkan dan membangkitkan tradisi dalam berbagai

transaksi finansial; niaga dan pertukaran uang.

Bank syariah muncul di Indonesia disebabkan oleh dorongan keinginan

masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam, yang berpandangan bahwa

bunga bank merupakan riba sehingga dilarang oleh Islam. Namun tidak semua

umat Islam berpendapat bahwa bunga bank itu adalah haram. Pro dan kontra

inilah menyebabkan lahir dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia

sangat lambat. Dilihat dari aspek hukum, adanya bank syariah di Indonesia adalah

undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan

sebagai bank prinsip bagi hasil.18

Tahun 1992 Undang-undang perbankan Indonesia telah mengakomodir

sistem perbankan yang menjalankan operasinya berdasarkan prinsip bagi hasil,

yakni perbankan syariah. Hal ini secara nyata diwujudkan dalam revisi UU Pokok

Perbankan No. 14/1967 menjadi UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan yang

telah memasukkan ketentuan tentang pelaksanaan kegiatan perbankan dengan

sistem bagi hasil yang selanjutnya diatur secara lebih rinci dalam PP No. 72 tahun

1992 tentang Bank dengan Prinsip Bagi hasil. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992

itu, bank syariah dipahami sebagian bank bagi hasil, selebihnya bank syariah

harus tunduk pada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Oleh

17Nasution, Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, 19-20 18Muhammad Sholahuddin dan Lukman Hakim, Lembaga Ekonomi dan Keuangan syariah

Kontemporer, 76.

Page 196: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

161

karena itu manajemen bank syariah mengadopsi produk-produk bank

konvensional.yang disyariahkan dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya

tidak semua kebutuhan masyarakat terakomodir dan produk yang ada tidak

kompetitif terhadap semua produk bank Konvensional. Sementara itu, PP. No. 72

Tahun 1992 (Pasal 6) merupakan salah satu pelaksanaan peraturan dari UU No.7

Tahun 1992.19

Berdasarkan identifikasi terhadap sejumlah kendala tersebut maka UU

No.7 tahun 1992 tentang Perbankan diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun

1998, sehingga landasan hukum syariah menjadi lebih jelas dan kuat, baik dari

segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dengan demikian

pengembangan bank Syariah merupakan amanah UU No. 10 tahun 1998 yang

harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia karena UU tersebut mengakui

keberadaan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan atau lebih

dikenal dengan dual banking system . Berdasarkan UU tersebut bank umum

maupun BPR dapat beroperasi berdasarkan prinsip syariah dan bank umum

konvensional melalui suatu mekanisme perizinan tertentu dari Bank Indonesia

dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dengan membuka kantor

cabang syariah. Guna menindak lanjuti UU No. 10 tahun 1998 pada tahun 1999

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai kelembagaan dan jaringan

kantor bagi Bank Umum Syariah (BUS), Bank Umum Konvensional (BUK) yang

membuka Unit Usaha Syariah (UUS) dan Kantor Cabang Syariah (KCS) dan

ketentuan BPR Syariah (BPRS).

19Undang-undang tersebut menentukan bahwa: Bank Umum atau Bank Perkriditan Rakyat

yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Lihat Tim Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, Perbankan Syariah Nasional: Arah dan Kebijakan dan Perkembangan (Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia,2003) 4

Page 197: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

162

Selanjutnya Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang perubahan UU

No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa dalam rangka mencapai dan

memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia diantaranya mempunyai tugas

pokok mengatur dan mengawasi bank (pasal 8), termasuk bank umum dan BPRS.

Tugas pokok tersebut mempertegas bahwa Bank Indonesia berkewajiban

mengembangkan Bank Syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan

infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank syariah.

Disamping itu, pasal 10 point 2 UU No. 23 Tahun 1999 menegaskan

bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan

prinsip-prinsip syariah. Pada tahun 2000, sebagai tindak lanjut dari UU No. 23

Tahun 1999, dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur kliring,

pembukaan rekening Giro pada Bank Indonesia bagi UUS, Giro Wajib Minimum

(GWM) bagi bank umum syariah, Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip

syariah (PUAS), fasilitas pembiayaan jangka pendek bank Syariah, Kualitas

Aktiva Produktif Bank Syariah, Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank

Syariah dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).20 Jadi bank Indonesia

tidak hanya melakukan pengendalikan pada bank konvensional saja tetapi juga

pada bank yang berdasarlan prinsip syariah.

B. Sumber Hukum Perbankan Syariah

Islam mengatur umatnya dalam segala hal, diantaranya adalah mengatur

hubungan antara makhluk dengan Tuhannya serta hubungan makhluk dengan

makhluk seperti hubungan antar sesama manusia.21 Hubungan makhluk dengan

Tuhan diwujudkan dalam ibadah yang kemudian diatur dengan fiqh ibadah. Dan

hubungan makhluk dengan makhluk diatur dengan fiqh muamalat. Salah satu

20Bank Indonesia, Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Agustus1999-Januari

2005 (Jakarta: BI, 2005) 21Sauqi Ahmad Dunya, Sistem Ekonomi Islam sebuah alternatif (Jakarta: Fikahati Aneska,

1994), Cet. 1, 120

Page 198: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

163

pembahasan dalam fiqh muamalat adalah ekonomi Islam.22 Kemudian dalam

ekonomi Islam terdapat pembahasan tentang perbankan syariah.

Adapun landasan yang digunakan dalam perbankan syariah adalah Al-

Qur’ân (wahyu Allâh yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui

malaikat jibril) dan Sunah Rasulullah (ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah

saw.) Yang kemudian ijma dan Qiyâs yang di ijtihatkan oleh Dewan Syariah

Nasional. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’ân

Al-Qur’ân adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi Islam, oleh

karena itu Al-Qur’ân23 adalah sebagai dasar hukum dalam perbankan syariah

yang didalamnya terdapat hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga

terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan

diperbolehkannya jual beli, orang yang memakan riba tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, sebagaimana yang

dijelaskan surat Al-Baqarah ayat 275.

Contoh lain di dalam al-Qur’ân adanya perintah mencatat atau

membukukan yang baik dalam hal utang-piutang, di dalam surat Al-Baqarah ayat

282 yang artinya:

22Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam (Jakarta:Kencana, 2006), ed.

I., Cet-2, 12 23Tujuan diturunkannya Al-Qur’ân adalah a) sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan

umat manusia; b) Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allâh dalam bentuk kasih sayangnya; c) sebagai furqan yaitu pembela dari yang baik dan buruk; d) sebagai mau’izhah atau pepengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat; e) sebagai bushra atau berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allâh dan sesama manusia; f) sebagai tibyan atau mubîn yang berarti penjelasan atau yang menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allâh; g) sebagai musaddiq atau pembenar terhadap kitab kitab yang datang sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil); h) sebagai nur atau cahaya yang akan memerangi kehidupan manusia; i) sebagai tafsil yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang di kehendaki Allâh; ) sebagai shifâ as sudur atau obat rohani yang sakit; k) sebagai hakim atau sumber kebijaksanaan/hikma(Drs. Mohammad Hidayat, Pengantar Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2009), 10)

Page 199: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

164

Selain itu ada perintah Allâh kepada orang-orang yang beriman agar

menepati dan menghormati janjinya, baik sesama muslim maupun non muslim.

Ini dijelaskan dalam surat Al-Maidah. (QS: 5:1)

2. Sunnah An-Nabawiyah

As-Sunnah adalah sumber kedua dalam perundang-undangan Islam. As-

Sunnah sekaligus merupakan alat untuk menginterpretaskan al-Qur’ân. Di

dalamnya dapat kita jumpai aturanaturan yang terkait dengan perekonomian

Islam. Diantaranya seperti sebuah hadith yang isinya larangan terhadap jual beli

gharar (akad jual beli tipuan yang menyodorkan barang yang tidak jelas)

ââdisebutkan dalah hadith Abu Hurairah dalah Shahih bahwa ia menceritakan:

“Rasulullah Saw. Melarang menjual dengan sistem hashat (melempar batu

dalam menjual tanah untuk mengukur luasnya) dan jual beli gharar.”24

Contoh lain, As-Sunnah juga menjelaskan tentang riba. Riba adalah

tergolong dalam hal yang membinasakan, hal ini disebutkan dalam hadis Abu

Hurairah, dari Nabi Saw. Diriwayatkan bahwa Beliau bersabda:

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,

“Apakah Tujuh hal yang membinasakan itu wahai Rasulullah?” Beliau

menjawab, ‘Perbuatan syirik kepada Allâh, sihir, membunuh orang yang

diharamkan oleh Allâh untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang haq,

memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, dan menuduh

wanita suci yang sudah menikah dan beriman bahwa mereka berzina.’25

Contoh terakhir adalah hadis yang menerangkan larangan menipu

“Barang siapa menipu kami, maka tidak termasuk golongan kami”. (HR.Muslim).

Dari beberapa contoh tersebut diatas adalah sebagian dari dasar hukum

yang digunakan dalam konsep perbankan syariah.

24Muslim, Al-Iman, Bab Qauluhu Saw. Man Ghasysyana fa laisa minna, no.102 25Al-Bukhori, al-Washaya, no. 2766

Page 200: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

165

3. Ijma’ dan Qiyâs

Untuk Ijma’ dan Qiyâs disini adalah ijma’ dan Qiyâs yang dilakukan oleh

para salafus shalihin. Ijma dan Qiyâs perbankan syariah merujuk pada kitab-kitab

fiqih umum dan kitab fiqih khusus.

Kitab-kitab fiqih umum ini menjelaskan ibadah dan muamalah. Dalam

muamalah terdapat pembahasan tentang ekonomi yang dikenal dengan Al-

Muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil Ijtihat ulama terutama dalam

mengeluarkan hukum-hukum dari dalil Al-Qur’ân dan Hadis yang shahih.

Pembahasan yang dimaksud disini (dalam kitab-kitab fiqih umum) yang berkaitan

dengan ekonomi Islam adalah Zakat, Sedekah sunah, Fidyah, Zakat Fitrah, Jual

Beli, riba, dan lain sebagainya.

Kitab fiqih khusus (Al-Mâlu Wal-Iqtisâdi). Kitab ini secara khusus

membahas masalah yang berkaitan dengan uang, harta lainnya dan jual beli.26

Yang dimaksud dengan Fiqih atau hukum Islam adalah pemahaman manusia

mengenai al-Qur’ân dan Al-Sunnah yang kemudian impelementasikan dalam

fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Di Indonesia terdapat sebuah lembaga yang bernama Majelis Ulama

Indonesia, yang di dalamnya merupakan kumpulan para ulama dari berbagai

golongan atau organisasi umat Islam di Indonesia. Walaupun Majelis Ulama

bukan merupakan supra struktur dari ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia,

akan tetapi Majelis Ulama Indonesia bisa dipahami sebagai sebuah wadah yang

merepresentasikan umat Islam Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena

pengurus majelis ulama Indonesia merupakan fungsionaris atau pimpinan ormas

Islam, bahkan Majelis Ulama Indonesia mengakomodir tokoh-tokoh lain yang

tidak berasal dari oramas Islam yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas,

26Ahmad Izzan, dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’ân Yang

Berdimensi Ekonomi (Bandung: Rosda karya, 2006), Cet.1, 33

Page 201: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

166

misalnya Perguruan Tinggi Islam dan dari pesantren serta dari Institusi keislaman

lainnya.

Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah perkhidmatan terhadap umat

Islam di Indonesia mempunyai berbagai fungsi dan tugas yang harus diembannya,

salah satu fungsi dan tugasnya adalah sebagai pemberi fatwa keagamaan di

Indonesia.27

Fatwa yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia dapat

dikelompokkan kedalam tiga kategori utama: kategori pertama adalah fatwa

tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika, kategori kedua

adalah fatwa yang bekaitan dengan perekonomian Islam, dan kategori ketiga

adalah; pertama. fatwa tentang masalah sosial keagamaan; kedua; sosial

kemasyarakatan; ketiga, kesehatan dan lain sebagainya.28

Karena perbankan syariah berdasarkan syariah Islam maka semua akad

yang ada dalam perbankan syariah harus sesuai dengan fatwa Majelis Ulama

Indonesia, yang dalam istilah ekonomi syariah lebih tepat Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Jadi, salah satu sumber rujukan hukum tentang Perbankan Syariah adalah

Fatwa MUI yang biasanya digodok dan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional

MUI (DSN MUI). Sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam

yang ada di Indonesia, Fatwa MUI dapat menjadi rujukan semua masyarakat

muslim di Indonesia. Hal ini berbeda dengan Fatwa Muhammadiyah atau Fatwa

Nahdlatul Ulama, misalnya, yang mempunyai lingkup yang lebih kecil. Sampai

Juli 2007, DSN MUI telah mengeluarkan 61 fatwa terkait produk keuangan

syariah,18 seperti fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah, Sertifikat Investasi

Mud arabah Antar-bank, Syariah Charge Card, dan lain sebagainya.19

27Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah (Jakarta: Lekas, 2007), Cet. 1, 253 28 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah (Jakarta: Lekas, 2007), Cet. 1, 254

Page 202: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

167

Walau begitu, Fatwa MUI sebagaimana juga fatwa organisasi massa Islam

lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukan merupakan hukum positif

sehingga hanya mengikat masyarakat muslim secara personal saja. Selain itu,

negara tidak berhak mengeluarkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar

fatwa tadi. Memang, dalam beberapa FBI disebutkan keharusan untuk

memperhatikan fatwa DSN-MUI seperti pasal 20 ayat 3 PBI No. 8/21/PBI/2006,

tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan

Usaha berdasarkan prinsip Syariah29. Bahwa: “Ketentuan lebih lanut yang

berkaitan dengan penyertaan modal mengacu pada PBI yang mengatur mengenai

prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal dan fawa kehati-hatiann Dewan

Syariah Nasional yang berlaku.

Sebenarnya ketentuan dalam PBI di atas bisa digugat dalam sistem

ketatanegaraan Nasional, karena UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

memerintahkan hanya kepada Bank Indonesia untuk mengatur legih lanjut tentang

perbankan, termasuk Perbankan Syariah. Lalu kenapa Bank Indonesia

melimpahkan lagi kewenangannyakepada DSN-MUI?

Namun dengan adanya UU Perbankan Syariah, maka fatwa MUI juga

mempunyai pijakan. Hal ini terjadi karena UU Perbankan Syariah menentukan

bahwa perincian mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian

diupayakan menjadi PBI melalui penggodokan di Komite Perbankan Syariah

yang dibentuk oleh Bank Indonesia, seperti terlihat dalam pasal 26 UU Perbankan

Syariah bahwa: (1) kegiatan usaha perbankan syariah dan/atau produk dan jasa

syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah; (2) Prinsip Syriah itu difatwakan

oleh MUI ; (3) Watwa MUI dituangkan dalam PBI; (4) Dalam rangka penyusunan

PBI, Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.

29PBI No. 8/21/PBI/2006, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan

Kegiatan Usaha berdasarkan prinsip Syariah dalam Lembaran Negara Tahu 2006 No. 78.

Page 203: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

168

Dengan ketentuan di atas, maka kelak Fatwa MUI tenatng Pebankan

Syariah akan lebih berdaya guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri.

Akhirnya, Fatwa MUI dapat menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kususnya fatwa MUI yang berhubungan

dengan dengan bank syariah saja.

a) Kedudukan Majelis Ulama dalam Perbankan syariah

Peran MUI yang pokok adalah menjalankan dan memfungsikan DSN dan

DPS sesuai dengan SOP dari kedua lembaga tersebut. DSN mengeluarkan fatwa-

fatwa syariah sesuai dengan perkembangan produk-produk yang dikeluarkan oleh

bank-bank syariah. Sedangkan DPS merupakan pelaksana dari fatwa-fatwa DSN

dan mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di dalam internal masing-masing

bank syariah. Tentu saja tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan dengan

memperhatikan undang-undang perbankan syariah dan peraturan BI yang

merupakan regulasi dari teknis banknya.

Terkait dengan kebijakan pencanangan pangsa syariah 5% untuk tahun

2008 MUI dan ulama pada umumnya diharapkan bekerjasama dan melakukan

perang strategis sebagai berikut :

1) Sebagai supervisor yaitu melaksanakan fungsi dan tugas pengawasan

langsung kepatuhan syariah dan implementasi fatwa DSN pada

operasional LKS/bank syariah.

2) Sebagai advisor memberikan nasehat, inspirasi, pemikiran, saran-

saran konsultansi untuk perkembangan produk dan jasa yang inovatif

untuk persaingan global.

3) Sebagai marketer yaitu menjadi mitra strategis untuk peningkatan

kuantitas dan kualitas industri LKS melalui komunikasi massa untuk

memberikan motivasi penjelasan dan ejukasi publik sebagai penyiapan

SDM, sosialisasi, community & networking building dan peran-peran

lainnya dalam bentuk hubungan bermasyarakat public relationship.

Page 204: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

169

b) Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah

Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah Unsur yang membedakan bank

syariah dan bank konvensional. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas

mengawasi operasional bank dan produk-produk agar sesuai dengan ketentuan

syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat

Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap

opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena Itu, penetapan

anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) biasanya dilakukan oleh rapat umum

pemegang saham (RUPS), setelah para anggota DPS itu mendapatkan

rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN adalah badan otonom

MUI yang diketahui secara ex-officio oleh Ketua MUI, sedangkan kegiatan

sehari-hari DSN dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Harian DSN.30

Bagi perusahaan yang akan membuka bank syariah dan konvensional atau

cabang syariah atau lembaga keuangan syariah yang lainnya harus mengajukan

rekomendasi anggota DPS kepada DSN. Berdasarkan Laporan dari DPS pada

masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika

lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah

ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang

diberikan, DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki

otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan

sangsi.

Adapun Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah berikut:

a) Mengawasi jalannya operasionalisasi bank sehari-hari, agar sesuai

dengan ketentuan syariah;

b) Membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank

yang di awasi telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah;

30Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Ekonnisia: Jakarta, 2007), Ed. 2,

cet. 4, 42

Page 205: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

170

c) Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang

diawasinya.

Sedangkan fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebagai:31

a) Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai

dengan syariah;

b) Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang

dikembangkan lembaga keuangan syariah;

c) Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai

Dewan Syariah Nasional pada suatu Lembaga Keuangan Syariah;

d) Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga

yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah

ditetapkan.

C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan Syariah

Kini perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat yang

secara spesifik mengelaborasi kekhususan Perbankan Syariah. Jika dihitung,

rentang waktu antara pendirian Perbankan Syariah (Tahun 1980) dengan

pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah membutuhkan

waktu sekitar 28 tahun. Jadi, pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17

Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16

Juli 2008,32 dapat dikatakan sangat telat. Sebab, di zaman penjajahan saja,

pemerintahan kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi

masyarakat muslim dalam bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari

ordonansi riba tahun 1938. Ordonansi riba ini dikeluarkan untuk mencegah

31 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Ekonnisia: Jakarta, 2007), Ed. 2,

cet. 4, 43 32UURI No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di muat dalam lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 No.94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867

Page 206: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

171

praktik riba di kalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan

kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah

satu pihak atau memperingan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2

ayat-14 Ordonansi Riba 1938).33

Pengesahan UU Perbankan Syariah telah melahirkan secercah harapan

dalam sejarah perbankan di Indonesia. Dengan UU Perbankan Syariah, eksistensi

Perbankan Syariah sebagai pelaku ekonomi nasional mendapatkan pijakan yang

sangat kuat. Selama ini, secara hukum, keberadaan Perbankan Syariah cukup

sumir, karena pengoperasiannya tidak berpijak pada UU yang secara khusus

mengatur Perbankan Syariah.

1. Perbankan Syariah dalam UUD 1945

Perbankan Syariah dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD yang

berbunyi: "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Institusi ekonomi yang paling tepat

untuk menerjemahkan hal di atas adalah Perbankan Syariah, karena (1) sesuai

dengan aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang

sebagian besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (asas demokrasi

ekonomi), (2) Perbankan Syariah mengutamakan kemajuan bersama daripada

kemajuan individu (asas kebersamaan), (3) Perbankan Syariah sangat cocok

sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat

menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri (asas keadilan dan

kemandirian), (4) Perbankan Syariah tidak boleh mendukung atau bermitra

dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan

(asas keberlanjutan dan lingkungan), (5) Perbankan Syariah menggabungkan

33Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia, Addenda & Corrigeada

(Jakrata PT Ichtiar Baru Van Hoeve), Halaman 1.

Page 207: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

172

antara tuntutan duniawi dengan tuntutan ukhrawi (asas keseimbangan), serta (6)

Perbankan Syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok

dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya

manusia (asas kesatuan ekonomi nasional).

Dengan penjelasan di atas, maka kritik dari sebagian kecil kalangan bahwa

Perbankan Syariah tidak mempunyai landasan konstitusional serta bertentangan

dengan watak dasar bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila menjadi tidak

beralasan lagi.

Dengan dukungan konstitusi di atas, maka seharusnya bangsa Indonesia

sudah jauh-jauh hari mengesahkan dan mengundangkan UU Perbankan Syariah.

Negara kepulauan ini dapat dikatakan terlambat dalam mengadopsi UU

Perbankan Syariah. Barangkali hal inilah yang menjadi salah satu penyebab

kenapa perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia masih lamban dan

tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang merupakan

negara Islam.

2. Perbankan Syariah dalam UU

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Namun, dalam UU ini ketentuan

tentang Perbankan Syariah sangat minim sehingga tidak bisa menjadi jawaban

terhadap keunikan dan kekhususan Perbankan Syariah. Menurut Pakar Hukum

Perbankan, Sutan Remy Sjahdeini, UU tersebut hanya secara samar-samar

memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas

perbankan berdasarkan bagi hasil.34

Pasal 6 huruf m UU No.7 tahun hanya menyebutakan bahwa bank umum

dapat (m). menyediakan pembiayaan agi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Dengn

34Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan

Indonesia (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1999), 122.

Page 208: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

173

begitu, ketentun di atas hanya memberikan kepada Bank Umum menyediakan

pembiayaan berdasarkan bagi hasil, serta belu mendorong agar Bank Umum

menjadi Bank Syariah.

Dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan tentang

perbankan syariah dinyatakan lebih tegas lagi, seperti terlihat pada pasal 1 angka

3 dan 4 bahwa (3) bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha

secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya

memerikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;(4) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

adalah Bnak yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 13 UU No. 10 tahun

berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk kegiatan lainnya yang

dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip

bagi hasil (mudorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal

(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan

(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni

tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas

barang yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijârah wa iqtinâ).

Namun, kelemahan dari UU No. 10 Tahun 1998 dalam perspektif

Perbankan Syariah adalah UU ini mengatur ketentuan yang berlaku untuk semua

bank, baik bank konvensional maupun Bank Syariah, sebagaimana terlihat dari

pendefinisian Bank Umum dan BPRS tadi. Karena itu, UU No. 10 Tahun 1998

telah merancukan batasan antara bank konvensional dengan Bank Syariah

sehingga seakan-akan semua ketentuan yang mengatur Bank Umum dan BPR

dapat mengatur pula Perbankan Syariah. Kerancuan di atas semakin terlihat,

karena hal yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah sangat

minim. Dari 59 Pasal yang ada dalam UU No. 10 Tahun 1998, hanya ada 8 Pasal

yang mengulas Perbankan Syariah, yaitu Pasal l^angka (12), Pasal 6 huruf (n),

Page 209: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

174

Pasal 7 huruf (c), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (1) dan (4a), Pasal 13,

Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf (c). Dengan penjelasan di atas, maka

UU No. 10 Tahun 1998 belum menjelaskan kekhususan dari Perbankan Syariah

dan bagaimana mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Rancangan UU Perbankan Syariah sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu

dibahas di DPR, namun baru disahkan pada 17 Juni 2008 lain. Ini berarti

pembahasan Rancangan UU Perbankan Syariah memakan waktu yang sangat

lama. Padahal, sebagai penduduk yang mayoritas muslim, seharusnya Indonesia

bisa lebih cepat mengundangkan UU Perbankan Syariah, apalagi Perbankan

Syariah selama krisis ekonomi tidak membebani keuangan negara sedikit pun

sebagaimana terjadi pada perbankan konvensional yang memerlukan suntikan

pendanan dari pemerintah dalam jumlah ratusan triliun.

Dalam UU Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan

pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank

Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional.

Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih

meragukan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang

tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

Sebagai UU yang khusus mengatur Perbankan Syariah, dalam UU ini

diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang

kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk

pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti

implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam PBI, di dalam internal Bank

Indonesia dibentuk Komite Perbankan Syariah, yang keanggotaan-nya terdiri atas

perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang

komposisinya berimbang.

Page 210: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

175

Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada

Perbankan Syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan

Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui

musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di

lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.

Untuk menerapkan substansi UU Perbankan Syariah ini, maka pengaturan

terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan

Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan

jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum

Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan PBI.

3. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Pemerintah

Setidak-tidaknya ada empat peraturan pemerintah yang mengatur tentang

perbankan syariah, yaitu:

Pertama, PP No.70 tahun 1992 tentang Bank Umum dan Perubahan-

Perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah,

sebagaimana tertera dalam fasal 2 PP No. 38 Tahun tentang perubahan atas PP.

No. 1992, adalah tentang modal disetor untuk mendirikan Bank Umum dan Bank

Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp3 triliun.

Kedua, PP No. 71 tahun 1992 tentang BPR dalam PP ini, ketentuan

tentang BPR hanya terdapat dalam pasal 6 ayat (2) bahwa Bank berkreditan

rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus

secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan

prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.

Penjelasan dari pasal di atas adalah : yang di maksud dengan bank perkreditan

rakyat yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana di maksud

dalam peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi

hasil.

Page 211: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

176

Ketiga, PP No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi

Hasil. Inti dari PP No. 72 tahun 1992 ini adalah bahwa bank yang melaksanakan

prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip syaria (pasal 2) dan

kesepakatan yang di tuangkan dalam perjanjian tertulis antara (para pihak pasal

3). Selain itu, bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memiliki dewan

syariat (pasal 5). Bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil (pasal 6). Dengan

demikian, meskipun PP No. 72 tahun 1972 yang hanya terdiri dari 9 pasal ini

serta PP lainnya belum cukup untuk mengeksplorasi kekhususan perbankan

syariah, karena hanya mengatur bagian yang sangat kecl tentang perbankan

syariah.

Keempat, PP terakhir yang membahas tentang perbankan syariah adalah

PP No. 30 Tahun 1999 Tentang pencabutan PP No. 70 Tahun 1992 Tentang Bank

Umum sebagaimana telah bebrapa kali di ubah terakhir dengan PP No.73 Tahun

1998, PP No. 71 Tahun 1992 tentang BPR, dan PP No.72 Tahun 1992 tentang

Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Alasan dari adanya PP ini adalah karena

dengan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, maka ketentuan

pelaksanaan mengenai Bank Umum dan BPR, termasuk yang melaksanakan

prinsip bagi hasil, menjadi wewenang Bank Indonesia,bukan pemerintah. Walau

begitu PP yang di cabut tapi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

UU serta tidak di cabut atau di perbarui.

Dengan adanya PP No. 30 Tahun 1999, maka semua regulasi yang

mengatur perbankan secara umum dan Perbankan Syariah secara khusus tidak

lagi melalui PP, melainkan melalui PBI. Kekuasaaan untuk membina dan

mengawasi bank selanjutnya beralih dari pemerintah melalui Departemen

Keuangan ke Bank Indonesia.

4. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Bank Indonesia

Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang di keluarkan oleh

Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua Bank yang berbadan

Page 212: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

177

hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia. Pasti timbul pertanyaan : di

manakah posisi PBI dalam hierarki hukum nasional yang terdiri dari UUD,

UU,Perpu, PP, Perpres, dan Perda.? Dengan tidak termasuknya PBI dalam salah

satu hierarki hukum nasional seperti yang dilansir UU No. 10 Tahun 2004,

apakah PBI ilegal, alias tidak mengikat?

Dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa

peraturan yang dikeluarkan lembaga negara lain, seperti Bank Indonesia, yang

bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, PP,

dan Perpres. Dengan begitu, maka peraturan lembaga negara, seperti PBI, tidak

boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah dari

salah satu hierarki hukum di atas.

Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 memberikan pengecualian bahwa

ketentuan yang bersifat mengatur yang dikeluarkan oleh pejabat negara sebelum

pemberlakuan UU No. 10 Tahun 2004, 1 November 2004, tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan UU di atas (Pasal 56 UU No. 10 Tahun

2004). UU No. 10 Tahun 2004 mulai berlaku pada 1 November 2004 (Pasal 58

UU No. 10 Tahun 2004).

Dengan ketentuan di atas, PBI yang lahir sebelum 1 November 2004 tetap

mempunyai kekuatan hukum. Namun, untuk PBI yang lahir setelah 1 November

2004 harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004.

Karena PBI tidak ter-masuk dalam hierarki hukum nasional, maka proses

kelahiran PBI harus ada perintah dari peraturan perundang-undangan yang

disebutkan dalam Pasal 7, yaitu UUD, Perpu, UU, PP, dan Perpres (Pasal 7 ayat 4

UU No. 10 Tahun 2004). Jadi, dalam UU (misalnya) ada pasal yang berbunyi:

"Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI."

UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. l0 Tahun

1998 tentang Perbankan, yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia

Page 213: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

178

untuk mengatur hal-hal tertentu terkait dengan Bank Umum dan BPR, termasuk

yang melaksanakan Prinsip Syariah, sebenarnya telah memberikan pijakan yang

kuat kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan di bidang perbankan

melalui PBI. Persoalannya, UU No. 7 Tahun 1992, sebagaimana diubah dengan

UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum spesifik mengeksplorasi

kekhususan Perbankan Syariah sehingga PBI yang dikeluarkan berdasarkan

perintahnya "terkerangkeng" dalam sebuah penjara yang tidak memungkinkannya

mengeksplorasi kekhususan Perbankan Syariah.

Namun, dengan pengesahan UU Perbankan Syariah, keberadaan PBI yang

mengatur Perbankan Syariah juga semakin kuat, karena diperintahkan oleh UU

yang secara khusus mengacu Perbankan Syariah, bukan diperintahkan oleh UU

yang mengatur perbankan secara umum sebagaiman terjadi sebelumnya.

Dalam UU Perbankan Syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan

"ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu di atur dalam FBI." Setidak-

tidaknya terdapat 21 ketentuan dalam Perbankan Syariah yang memerintahkan

pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam FBI, yaitu: (1) FBI tentang tugas

manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban

tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan, laba, dan hal-hal

lainnya; (2) FBI tentang jumlah maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah

oleh warga negara asing dan/ atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan

Bank Indonesi, (3) FBI tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasa

serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah; (4) FBI tentan besarnya modal

disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah; (5) FBI tentang Izin perubahan

UUS menjadi Bank Umum Syariah(6) FBI tentang tata cara pembentukan,

keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah; (7) FBI tentang uji

kemampuan dan kepatutan pemegang saham pengendali; (8) FBI tentang syarat,

jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal Jain yang menyangkut

dewan komisaris dan direksi Bank Syariah; (9) FBI untuk memastikan kepatuhan

Page 214: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

179

Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan

perundang-undangan lainnya; (10) FBI tentang uji kemampuan dan kepatutan

dewan komisaris dan direksi; (11) FBI tentang pengangkatan pejabat eksekutif

Bank Syariah; (12) FBI tentang pembentukan Dewan Pengawas Syariah ; (13)

PBI tentang tata kelola Perbankan Syariah yang baik; (14) FBI tentang

pelaksanaan dan pelaporran batas maksimum penyaluran dana; (15) FBI tentang

pengelolaan risiko; (16) FBI tentang pembelian bagunan oleh Perbankan Syariah;

(17) FBI tentang tukar-menukar informasi antar bank; (18) FBI tentang tingkat

kesehatan Perbankan Syariah; (19) FBI tentang persyaratan dan tata cara

pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada Perbankan Syariah oleh

Akuntan Publik atau pihak lain; (20) FBI tentang pelaksanaan sanksi

administratif; dan (21) FBI tentang persyaratan dan tata cara pencabutan izin

usaha Bank Syariah.

5. Perkembangan Hukum Perbankan Syariah

Sejak berdiri perbankan syariah pada tahun 1992 hingga pertengahan

tahun 1997 perbankan syariah memang terus tumbuh dan berkembang. Akan

tetapi pertumbuhan yang spektakuler justru terjadi sejak masa krisis ekonomi

tahun 1997. hal ini diantaranya karena kemampuan perbankan Islam dalam

menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tigkat bunga yang sangat tinggi,

sementara perbankan syariah terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis

pada bunga.35

Selain itu perkembangan bank syariah di Indonesia, tidak bisa dilepaskan

dari perkembangan perundang-undangan yang menjadi dasar atau landasar hukum

operasionalilasinya. Sejak tahun 1992 Undang-undang perbankan Indonesia telah

mengakomodir sistem perbankan yang menjalankan operasinya berdasarkan

prinsip bagi hasil, yakni perbankan syariah. Hal ini secara nyata diwujudkan

35Zainal Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, peluang, Tantangan dan Prospek

(Jakarta: Alvabelt, 2000)cet. III, ix

Page 215: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

180

dalam revisi Undang-undang pokok perbankan No.14/1967 menjadi UU No. 7

tahun 1992 tentang perbankan yang telah memasukkan ketentuan tentang

pelaksanaan kegiatan perbankan dengan sistem bagi hasil yang selanjutnya diatur

secara lebih rinci dalam PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank dengan prinsip bagi

hasil. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 itu, Bank syariah bank syariah di pahami

sebagai bank bagi hasil, selebihnya bank syariah harus tunduk pada peraturan

perbanakan umum yang berbasis konvensional.36 Oleh karena itu manajemen

bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional

yang disyariahkan dengan variasi yang terbatas. Akibatnya tidak semua

kebutuhan mesyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif

terhadap semua produk Bank Konvensinal.

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992

Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992, tidak secara

eksplisit menjelaskan mengenai perbankan syariah. Namun dalam undang-undang

tersebut secara implisit merujuk kepada sistem ekonomi yang dilaksanakan secara

islami. Sistem bagi hasil merupakan bentuk dari sistem ekonomi yang diterapkan

berdasarkan hukum adat yang diadopsi dari hukum Islam.

Seperti diuraikan di atas bahwa sejak tahun 1991, ketika perbankan

syariah pertama kali berdiri hingga tahun 2008, basis hukum dari perbankan

syariah belumlah kondusif. Basis hukum Perbankan syariah baru memiliki

kekuatan hukum setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah pada

tahun 2008. Memang benar bahwa secara teoritis Bank Syariah sudah dirintis

sejak tahun 1940-an dan secara institusi baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an.

Sedangkan di Indonesia pada kenyataannya baik secara teoritis maupun secara

institusi, perkembangan Bank Syariah jauh lebih kemudian. Janin eksistensi bank

Syariah masih dalam ranah hukum positif masuk melalui pintu pasal 6 huruf m,

36 Bank Indonesia, Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Agustus 1999-Januari

2005 (Jakarta: BI, 2005)

Page 216: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

181

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal tersebut

sama sekali tidak dijelaskan istilah Bank Syariah seperti dipergunakan kemudian

yang secara resmi dipergunakan dalam Undang-Undang Perbankan Islam (UUPI),

namun hanya menyebutkan sebagai berikut: Pasal 6 bagian huruf (m)

“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.

Di dalam pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun

hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi

hasil” dan dalam penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”.

Begitu puladalam pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank

Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perdkreditan Rakyat yang

akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam

penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.

Kesimpulan bahwa “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan

istilah bagi Bank Islam atau bank Syariah baru dapat ditarik dari penjelasan pasal

1 ayat (1) PP. No. 72 Tahun 1992 Tentang “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi

Hasil”. Dalam penjelasan ayat tersebut ayat tersebut ditetapkan bahwa yang

dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syari’at

dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuanyang ada

dalam PP. No. 72 Tahun 1992, keleluasan untuk mempraktekkan gagasan

perbankan berdasarkan syaria’t Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan

dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam

hal:

1) Larangan atas melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip

bagi hasil (artinya bahwa kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga)

bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya

semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank umum atau

Page 217: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

182

BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang

melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.

2) Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan

pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar

berjalan sesuai dengan prinsip syariah, dimana pembentukannya dilakukan

oleh bank berdasarkan hasil konsultasi denagn Majelis Ulama Indonesia

(MUI)

Pada saat berlakunya UU. No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP. tersebut di

atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan bank Islam.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui

secara hukum positif di Indonesia, belum mendapat dukungan secara wajar

berkenaan dengan praktek transkasionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari

tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan

penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk

mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun

untuk menyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrument

investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik

instrument investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar Bank. Tidaklah

mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat

ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai

“Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang

bersifat perbankan konvensional.

Hal perkembangan yang patut dicatat, berkaitan dengan perbankan syariah

pada saat berlakunya UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya

Badan Arbitrasi Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI bediri secara resmi

tanggal, 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelsaikan

kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan,

industri, keuangan jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan

Page 218: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

183

demikian, dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan

syariah, lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para

pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi

dalam pelaksanaan transkasi atau perjanjian tersebut. Perkemabangan kemudian

berkenaan dengan BAMUI, melalaui surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia

No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003, menetapkan diantaranya

perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrasi Syariah Nasional

(BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan

‘Yayasan’ menjadi ‘Badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan pernagkat

organisasi MUI.

Meskipun pada saat berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana

disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrul Zaman, SH.37 merupakan salah

satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya dalam kehidupan umat Islam

dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional.38 Dalam makalahnya

beliau mengatakan:

“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun1992, membawa era baru

dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-

Undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal

dalam undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967.

Dengan adanya system bagi hasil itu maka perbankan dapat melepaskan

diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.

….Jika selama ini peranan hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada

bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan hukum Islam

sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis)”

37Mariam Darus Badrul Zaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional,

Makalah Dalam seminar Hukum Nasional, 2006. 38http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-Indonesia, 23-10-2008

(Diakses pada tanggal 12 Maret 2010)

Page 219: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

184

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak tahun 1992, telah

memiliki undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dalam

bidang ekonomi.

b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998

Lahirnya UU No.10 Tahun 1998 yang merupakan amandemen atas UU

No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka di Indonesia dikenal dua sistem

perbankan (dual system banking) yaitu sistem bank konvensional dan sistem bank

syariah. Sistem operasional Bank Syariah adalah berbeda dengan bank umum

lainnya (konvensional). Bank Konvensional lebih kental aromanya dalam

mengejar keuntungan materiil semata (kapitalistik) dengan sistem bunganya,

sehingga tidak mengenal adanya kerugian pihak lain, sedangkan Bank Syariah

menekankan adanya sifat ta’awun (tolong menolong dalam suka dan duka /

kemitraan), sehingga ada prinsip bagi bagi hasil yang dikenal dengan nama

“profit and loss sharing” atau “ mud arabah “ dan juga ada pinjaman kebajikan

(social) bagi nasabah yang sangat lemah dengan skim (bentuk pembiayaan)

“qord ul hasan” yaitu pinjaman dimana nasabah tidak dibebani sesuatu apapun

kecuali hanya mengembalikan pokoknya.39

Khusus dibidang perbankan, setelah lahirnya UU No.10 Tahun 1998 yang

secara tegas mengakui sistem perbankan syariah disamping perbankan

konvensional, maka keberadaan Bank Muamalat Indonesia dan bank Umum

Syariah lainnya serta lembaga keuangan syari’ah pada umumnya semakin kokoh

dan kuat karena terdapat pijakan hukum yang pasti. Adanya landasan hukum yang

pasti tersebut maka sampai tahun 2004 telah lahir 3 Bank Umum Syariah, 11

Unit Usaha Syariah (windows) dari Bank Konvensional, 88 Bank Perkreditan

Syariah dengan jaringan 102 Kantor Pusat dan 137 Kantor Cabang dan ratusan

39http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam-

perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini/ (Dikases pada tanggal, 24 Februari 2010)

Page 220: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

185

kantor cabang pembantu, disamping itu lahir pula ribuan Baitul Mal Wat Tamwil

(BMT) di seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia.40

Tentu saja pada tahun 1998, eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan

dengan di keluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-

undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1

undang-undang No. 10 Tahun 1998, menyebutkan terhadap entitas perbankan

Islam secara eksplisit diberikan dengan istilah Bank Syariah atau Bank

Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia

mengeluarkan 3 (tiga) buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut

Bank Syariah yang telah dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun

1998, yakni:

a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/Kep/DIR tentang

Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan

Pembukaan Kantor Cabang Syariah;

b. Surat Kepuusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/DIR tentang Bank

Umum Berdasarkan Prinsip Syariah;

c. Surat Kepuusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/DIR tentang Bank

Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrument yang dapat

dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia

secara sekaligus mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Bank Indonesia, yakni:

a. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000, tentang Giro Wajib

Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang

Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur

40http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam-

perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini/ (Dikases pada tanggal, 24 Februari 2010)

Page 221: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

186

mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang

melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

b. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000, tentang Pasar Uang Antar

Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka

menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antar bank

berdasarkan prinsip syariah; dan

c. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000, tentang Sertifikat Wadiah

Bank Indonesia (SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia

sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah

yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter

semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan

konvensional.

Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, dalam hal

ini relevan dikemukakan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana

disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

(UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank

Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam

melakukan pengendalian moneter. Kemudian pasal 11 ayat (1) UUBI juga

memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan

pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan membeikan pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)

hari. Dipandang dari sudut lain, denagn demikian UUBI sebagai undang-undang

Bank Sentral yang baru sedara hukum positif telah mengakui dan memberikan

tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam

melakukan tugas dan kewenangan.

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk

dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa

Page 222: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

187

Dewan Syariah nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai

kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa

keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-

lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan

sebanyak 75 yang melingkupi fatqwa mengenai produk perbankan syariah,

lembaga keuangan non bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai

fatwa penunjang transkasi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai

terlampir.

Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir

disebut sebagai Bank Syariah di Indoonesia telah diakui sejak diberlakukannya

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan

dengan diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi

Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan

transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberpa

Pertauran Bank Idonesia dan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008

Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi

Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan

perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19

Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah

meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema

pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang

memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur

Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21 Tahun 2008

yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah

dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh

Page 223: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

188

pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan

sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan

perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan

masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung.

1) Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2008

Perlu kita ketahui bahwa terhadap pengertian penitipan adalah suatu

penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah (UUS) dan

penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah (UUS) yang bersangkutan tidak

mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut dan terdapatnya wali amanat

adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga

berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan

pemegang surat berharga tersebut.(hal ini didalam realisasi transaksi perbankan

syari’ah).

Didalam kegiatan perbankan, mungkin saja akan terjadi didalam

penyehatan suatu bank yaitu dengan cara melakukan penggabungan yaitu suatu

perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank/lebih untuk menggabungkan diri

dengan Bank lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari

Bank yang menggabungkan diri akan beralih kepada hukum Bank yang menerima

penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan

diri tersebut akan berakhir karena hukum.

Sedangkan mengenai suatu upaya peleburan adalah suatu perbuatan

hukum yang dilakukan oleh dua Bank/lebih untuk meleburkan diri dengan cara

mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva

dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan

diri berakhir karena hukum.41

Begitu pula dengan istilah pengambil alihan adalah perbuatan hukum yang

dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih

41Sukrisno, Perencanaan Strategis Bank (Jakarta: LPPI, 1992), 46

Page 224: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

189

saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut dan

pegitupula mengenai hal pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank

menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Segala tindakan tersebut diataur oleh Undang Undang No. 21 Tahun 2008

tentang perbankan syari’ah, yang merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan

yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan Bank Indonesia, yang

merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur dan mengawasi segala

kegiatan perbankan di Indonesia.

Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari

Perbankan Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan

Prinsip Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan

bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu:

1) Untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,

2) Untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu

menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana

sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat,

3) Untuk menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan

menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak

pemberi wakaf (wakil) dan

4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.42

Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan

kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat

42Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Prakltik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 43

Page 225: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

190

1) Menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank

Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai

Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia,

2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan

sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan,

b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

e. kelayakan usaha),

3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Bank Indonesia,

4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan

nama banknya,

5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas

frase "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang

bersangkutan,

6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan

Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia,

7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum

Konvensional,

8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank

Perkreditan Rakyat dan

9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank

dengan izin Bank Indonesia.43

43Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah

Page 226: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

191

Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana

terhadap pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya ,

begitu pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-

jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum

Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank

Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang,

wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan

dari Bank Indonesia.

Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan

untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di

luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas

oleh Undang-Undang Bank Indonesia.

Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas

(diatur dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain

memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : a. pengangkatan

anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, b.

Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas

manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban

tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-

hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).

Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus

memenuhi syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh a.

warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, b. warga negara

Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau

badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah.(ayat 1),

sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau

dimiliki oleh: a). warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang

Page 227: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

192

seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua

pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan

untuk kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan

hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9).

Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran

dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d

Pasal 9) dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank

Syari’ah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11).

Terhadap kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk

saham atas nama, dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran

umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah/Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar

modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan

dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus

selaras dengan ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.

Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan

penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18

sampai dengan Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham

pengendalian, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga

Kerja Asing diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan

Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah

diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur

secara jelas dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut.

Kerahasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah

investor, investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana

perpajakan, pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan

peradilan dalam perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).

Page 228: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

193

2) Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Bank Syariah

Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank

Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-

kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas,

solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek

keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami,

serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana

kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah

(UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank

Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala

keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut

tata cara yang telah ditetapkan.44

Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : a. memeriksa dan mengambil

data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, b. memeriksa dan

mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut

penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan c.

memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening

simpanan maupun rekening Pembiayaan.

Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya

untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara

pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank

Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila

mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka

tindak lanjut melakukan pengawasan antara lain: a.membatasi kewenangan Rapat

Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, b. meminta

44Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tentang Bank Indonesia

Page 229: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

194

pemegang saham menambah modal, c. meminta pemegang saham mengganti

anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, d. meminta Bank

Syariah menghapus pembukuaan penyaluran dana yang macet dan

memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, e. meminta Bank

Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, f.

meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih

seluruh kewajibannya, g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan

seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan h. meminta

Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank

Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).

Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat

sengketa terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah

dapat dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama, apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat

dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip

Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55).

Bank Indonesia yang merupakan sebagai Bank Sentral di Indonesia,

berkewajiban melakukan pemeriksanaan maupun pengawasan terhadap Bank

Syari’ah, apabila dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi

kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, dan pengenaan

sanksi administratif dan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari

pelanggaran kerahasiaan bank tersebut. 45

Landasan hukum berdasarkan kebijakan dasar tersebut adalah

membuktikan bahwa perbankan syari’ah terlihat siap ikut melaksankan dan

45Teguh Pudjo Muljono, Analisis Laporan Keuangan Untuk Perbankan (Jakarta: Penerbit

Djembatan, 1999)

Page 230: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

195

membantu perekonomian Indonesia, khususny perekonomian yang berdasarkan

prinsip kesyari’ahan. secara faktor eksternal, adalah untuk membuktikan kapada

dunia internasional bahwa perbankan syari’ah dapat melaksanakan kegiatan-

kegiatan perekonomian baik secara nasional maupun internasional, serta untuk

menarik para investor asing terutama para investor negara-negara Islam (misalnya

negara arab saudi, Quaid dan lain-lainya) agar mau menginvestasikan modalnya

di negara Indonesia dengan prinsip-prinsip kesyari’ahan.46

Faktor eksternal inilah yang berperan sangat penting didalam

perkembangan perbankan syari’ah, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan

ceapt, yang nantinya dapat diharapkan membantu perekonomian Indonesia.baik

secara faktor internal maupun secara faktor eksternal, dimana terlihat baik

mengenai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuannya telah selaras dan

harmonis, hanya didalam realisasi harus diatur dengan secara tegas berdasarkan

prinsip syari’ah yang bersifat nasional maupun internasional, hal ini untuk

mengantisipasi apabila terjadi sengketa baik dengan para nasabah/investor baik

secara nasional maupun internasional. Hal ini harus diperhitungkan secara

mendalam bagaimana untuk menangani sengketa tersebut? apalagi jika

melibatkan wilayah hukum dua negara atau lebih.

46Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,

2001), 51

Page 231: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB V

POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH

A. Politik Hukum Pebankan Syariah

Ketika kita berbicara mengenai politik hukum perbankan syariah, maka

akan terbayang dalam benak kita bahwa hukum adalah sesuatu yang lemah.

Artinya bahwa hukum dalam posisi sebagai objek dari politik, dan politik sebagai

subjek yang memberikan pengaruh kepada hukum.1 Hal ini menunjukkan bahwa

hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum

cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh

sistem politik terhadap pembangunan hukum menuju perubahan iklim politik

yang membawa tatanan pemerintahan kearah yang lebih baik, seperti halnya

bangsa Indonesia ini yang semakin tumbuh dewasa dalam penerapan hukum2 dan

demokrasi.3 baik penegakan hukum, persamaan hukum,4 hak asasi manusia,5

196

1Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), cetakan pertama, 9.

2Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003, 74.

3Esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat (negara), atau sebelumnya Nurcholis Madjid, Demokrsi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi (Jakarta: Paramadina, 1994), cetakan pertama, 203.

4Persamaan di depan hukum bagi seluruh warga, ini berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu. Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), (Jakarta: Pustaka Antara, 1990), cetakan pertama, 114.

Page 232: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

197

pemerataan sosial dan sebagainya. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu

proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum

yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam

kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan

publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the

government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai

pembangunan hukum.6

Mahfud MD., memberikan uraian bahwa hukum atau sistem legal nasional

harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara

sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum.7

Pandangan ini menurut pengamatan penulis cukup berbeda dari pandangan

kebanyakan para pengasuh pendidikan hukum, yang memandang hukum dalam

perspektif yang terbatas dan mencakup hanya lembaga penegak hukum serta

hukum positif sebagai produk utamanya.

Hukum itu memiliki inherenitas yang besar dengan berbagai aspek

kehidupan, yakni sistem ideologi Negara, sistem sosial, sistem politik dan sistem

ekonomi, sistem hukum, dan sistem budaya baik budaya local maupun regional

bahkan global. Karena adanya inherenitas tadi sehingga banyak faktor-faktor

5Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin olehPancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dandasar konstitusional bagi Negara Kesatuan RI. Walaupun perwujudan secara materiildan formil baru ada setelah dikeluarkannya undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai salah satu rangkaian rencana aksinasional hak asasi manusia berdasarkan Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998.Sebagaimana diketahui, keluarnya undang-undang tersebut setelah berbagai peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti kasus Tanjung Priok, Tim-Tim, Semanggi dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian. Paling tidak ada dua endala utama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu, yaitu kendala eknis prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum dan kendala politis yang ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upayapenyelesaian melalui pengadilan. Mo Mahfud MD, Politik Hukum Hak Azasi Manusia di Indonesia”, Pidato Pengukuhan dalam jabatan Guru Besar, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 23 September 2000.

6Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003, 74.

7M. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), Cet. Pertama, 12.

Page 233: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

198

yang mempengaruhi terjadinya pembentukan hukum sangat dominan. Ketika akan

sedang bahkan sesudah dibentuk hukum perbankan syariah terdapat pro dan

kontra di dalam masyarakat, ada yang menghendaki pentingnya dibentuk hukum

perbankan syariah dan ada pula yang megatakan tidak penting dengan adanya

hukum perbankan syariah. Juru bicara partai Fraksi PDS Retna Rosmanita

Situmorang mengatakan bahwa “Hal-hal yang berkaitan dengan perbankan

syariah telah diatur dalam UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998, sehingga

tidak perlu lagi dibuatkan UU khusus yang mengatur mengenai kegiatan

perbankan syariah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebuah UU yang berlaku

umum tidak memasukkan prinsip-prinsip kelompok tertentu saja ke dalam sistem

hukum nasional, sehingga akan berimplikasi dualisme hukum, agar tidak

bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”.8

Konfigurasi kepentingan dan kekuatan serta intervensi-intervensi baik dari

dalam maupun dari luar dalam badan pembentukan dan penegakkan undang-

undang, tidaklah mungkin dapat diabaikan. Intervensi tersebut dilakukan terutama

oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik

maupun ekonomi.9 Di Indonesia, misalnya, intervensi pemerintah dalam bidang

politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak

zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam

mewarnai politik hukum di Indonesia.10

Politik hukum, menurut Mahfud MD, juga mencakup pengertian tentang

bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi

kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.11 Juga

mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok

8Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum

Islam), 76. 9Jazuli, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, 9-10. 10Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,

Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993, 56. 11M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta, LP3ES, 1998), 1-2.

Page 234: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

199

tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan,

karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam

suatu masyarakat.

Seiring dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan

produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok

dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam

interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun

memiliki peluang yang sangat besar.12 Begitu pula sebaliknya ketika menengok

sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan.

Hukum Islam hanya dipandang sebagai hukum apabila diresepsi ke dalam hukum

adat, itu pun dalam strata ketiga setelah hukum Eropah dan hukum Adat orang

timur asing (Arab, China dan India).13 Indonesia yang merupakan negara jajahan

Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses

perkembangan sistem hukum asing ke dalam hukum masyarakat pribumi.14 Jadi,

bahwa dalam pembentukan hukum perbankan syariah dikelilingi oleh banyak

faktor adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi.

Van den Berg dalam sebuah teori receptio in complexu menyatakan

bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Jadi

jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka hukum yang berlaku harus

hukum Islam pula. Kemudian pendapat ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan

Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang

menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak

bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori

ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh

12Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal

Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII (Jakarta,Al-Hikmah, 2002), 31. 13Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, 2002), 32 14Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi

Hukum Islam (KHI), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV (Jakarta: Al-Hikmah, 2003), Januari-Maret, 80

Page 235: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

200

hukum adat. Teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar

orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam,

sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum

Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Atas dasar itulah ia

memberikan nasihat kepada Pemerintah hindia Belanda untuk mengurus Islam di

Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih

mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda.15 Eksistensi

teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S. yang menyatakan

bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum

Islam, selama hukum itu telah diterima di masyarakat Hukum Adat. Hal ini telah

terbukti di dalam hukum perbankan syariah, dimana istilah bagi hasil ini telah

dilakukan oleh nenek moyang kita sebelumnya, seperti bagiro/paroan (bagi dua),

pertelu (bagi tiga)

Memang benar, pada awalnya, politik hukum Indonesia dalam hal

pembangunan hukum nasional, masih dipengaruhi oleh teori receptie yang

dikembangkan oleh Snock Horgronye, namun pada akhir masa pemerintahan orde

baru teori receptie mulai berkurang pengaruhnya dan bahkan mengalami sakarotul

maut, dan selanjutnya dipandang telah mati pada masa reformasi saat ini, terbukti

dengan telah diterimanya hukum Islam ( perdata dan muamalat ) secara bulat

sebagai hukum positif, yaitu dengan dimasukkannya Peradilan Agama dalam

kekuasaan yudikatif, dihapusnya fiat eksekusi atas putusan Peradilan Agama,

tidak adanya lagi hak opsi dalam kewarisan Islam dan diterapkannya hukum

ekonomi Islam serta diperluasnya kewenangan Peradilan Agama, namun

demikian masih ada sebagian elit politik yang phobia terhadap pemberlakuan

Hukum Islam.16

15Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 & Legislasi

Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47. 16http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam

perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini (Diakses pada tanggal, 12 Maret 2010)

Page 236: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

201

Seorang ahli hukum dari Austria, Eugen Ehrlich, mengemukakan bahwa

pengaruh hukum di dalam masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan hukum

yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, “Hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”.

Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang

hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan dalam hukum positif hanya

akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang

dalam istilah antropologi dikenal dengan pola-pola kebudayaan (culture

patterns).17

Eugen Ehrlich menganjurkan untuk mengadakan pembaruan hukum

melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan

yang hidup dalam masyarakat Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan “living

dan just law” yang merupakan “inner order” dari pada masyarakat

mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan

hukum atau membuat suatu Undang-Undang agar hukum atau Undang-Undang

yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif di dalam kehidupan

masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan adalah hukum yang hidup

dalam masyarakat itu. 18 Jika hal itu tidak mendapat perhatian, maka akibatnya

hukum tidak bisa berlaku efektif bahkan akan mendapat tantangan (rigid).19

1. Embrio Politik Hukum Perbankan Syariah

Perjuangan politik hukum perbankan syariah merupakan bagian usaha

penegakkan dalam penerapan syariat Islam di Indonesia yang dilakukan oleh

bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Usaha-usaha ini sebetulnya telah lama

diformat melalui piagam Jakarta yang cukup representatif, namun selalu

mengalami kegagalan untuk diaplikasikan. Padahal telah dipersiapkan oleh Badan

Perancang Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) atau Panitia Persiapan

17Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum, Jakarta: Rajawali, 1991), 36. 18W. Fridman, Legal Theory, Edisi ke 3 (Steven and Sons Limited), 52. 19R. Otje Salman , Ikhtisar Filsafat Hukum (Bandung: Armico 1999),52.

Page 237: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

202

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan akan dijadikan Mukaddimah dalam UUD

’45. Isi piagam yang rencananya akan dimasukkan kedalam lima dasar dalam sila

pertamayang berbunyi sebagai berikut: “ketuhanan Yang Maha Esa dengan

kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.” Ini disetujui bersama

oleh wakil-wakil Islam, Nasionalis dan Kristen.20 Dengan isi piagam Jakarta itu,

keinginan kedua belah pihak tercapai.

Sebenarnya misi gerakan Islam untuk merealisasikan syari’at dalam

kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara masih terus dilaksanakan.

Ada dua pola realisasi. Pertama, melaksanakan syari’at Islam sebagai hukum

voluntir (voluntary law), seperti pernah dikemukakan oleh Sjafruddin

Prawiranegara, yaitu dilaksanakan oleh dan dalam kerangka civil society yang

relatif independen dari negara. Kedua, formalisasi syari’at Islam menjadi hukum

positif, sebagai suatu jalan pintas. Kedua-dua pola itu sebenarnya telah berjalan di

Indonesia, tanpa formalisasi Piagam Jakarta.21

Usaha-usaha formalisasi syariat Islam ternyata tidak berhenti sampai di

situ. Umat Islam terus berlanjut memperjuangkannya dan memuncaknya dalam

Sidang Konstituante 1959. Dalam forum itu seluruh partai Islam memperjuangkan

Islam sebagai dasar Negara yang artinya syariat Islam berlaku tidak hanya pada

umat Islam, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan ini pun menjadi kandas,

karena suara pendukung Islam sebagai dasar Negara masih lebih kecil dari suara

yang menolaknya, walaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas di Indonesia.22

Memperhatikan politik Islam, apalagi jika dihubungkan dengan kontek

kekinian, saat-saat sebagian besar Negara-negara Islam lebih diwarnai oleh

sistem Barat beserta instrument-instrumennya. Padahal Islam memiliki sistem dan

corak tersendiri dalam menata pemerintahan. Interaksi peradaban yang besar

20Deliar Noer, Syariat Islam Republika, 4 September, 200-. 21M. Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia),

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 72. 22M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis

Fiqih dan Keuangan, xiii

Page 238: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

203

antara Barat dan Islam memberikan pengaruh kepada sejumlah intelektual muslim

untuk menerima alternatif yang ditawarkan oleh Barat dalam politik, ketimbang

memepertahankan sistem yang sudah ada. Kendatipun konsep itu telah teruji

kebenaran dan keampuhannya.23

Kekhawatiran penguasa-penguasa Barat terhadap berdirinya Negara yang

berdasarkan syariat Islam adalah bahwa berdirinya kekhalifahan Islam (The

Caliphate of Islam) yang megah selama belasan abad, membentang dari ujung

Barat di Andalusia (Spanyol) dan kawasan Balkan di Eropa Timur hingga ke

Indonesia dan Philipina di Timur. Image mereka tentang gambaran pemerintahan

Islam adalah potret sejarah Perang Salib yang memakan waktu sangat panjang.

Peperangan ini juga tandai dengan kalah dan menangnya silih berganti di kedua

belah pihak, yang akhirnya kekalahan tragis itu ada pada kaum Salib Eropa,

ketika komandan perangnya Louis IX dari Peancis, tertangkap oleh pasukan

Shalahuddin Al-Ayyubi di Manshurah, Mesir. Hal ini kemudian menjadi dendam

kesumat sejarah yang tak kunjung padam di benak setiap insan Eropa. Akhirnya

kisah perang Salib ini, hingga sekarang diabadaikan melalui kurikulum sekolah

sejak dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Perang Salib ini

menampakkan corak politik dan keserakahan Barat ketimbang perang karena

motivasi agama. Alasannya kaum Nasrani di Timur tidak memihak kepada tentara

Salib dari Eropa, tetapi justru berada di belakang pasukan Shalahuddin.

Umpamanya, sikap Kristen Koptik di Mesir justru memihak kepada tentara Islam

bukan tentara Salib.24

Negara-negara Barat saat ini, selalu dihantui oleh tidak hanya berdirinya

kekhalifahan Islam, tetapi juga dihantui oleh sebuah negara yang berdasarkan

Islam sebagai azas ideologi. Mereka berusaha sekuat tenaga menghalang-halangi

23Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pasca Kejatuhan Soeharto (Bandung, Syaamil, 2006), Cet. Pertama, 82 24Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pasca Kejatuhan Soeharto, 83.

Page 239: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

204

dan menekan negara Islam yang sudah berdiri, dikhawatirkan pula akan menular

terbentuknya negara baru yang berdasarkan Islam sebagai azas ideologi.

Memahami bahwa kekhalifahan merupakan gabungan dari negara-negara bagian

Islam. Seandainya negara Islam dapat berdiri tanpa hambatan, itu merupakan

motivasi bagi bagi negeri lain untuk ikut mendirikan negara Islam, Jika negara

Islam semakin banyak, maka akan berdiri pula Khilafah Islamiyah yang amat

ditakuti oleh Barat. 25

Untuk itu, Barat mempunyai kepentingan menolak konsep Negara Islam

melalui ide dan pemikiran yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh umat Islam sendiri

yang telah terkontaminasi oleh pendidikan dan pemikiran Barat. Dalam tataran

pemikiran, Barat telah berhasil mencetak kaum interlektual yang telah siap

mengamini dan menjadi juru bicara Barat sengaja maupun tidak, untuk tidak

menerima pendirian Negara Islam dengan alasan apapun. Mereka memang lebih

akrab dengan pemikiran Barat yang liberalis dari pada metode al-Qur’ân dan Al-

Hadith. Bagi mereka mempunyai kemudahan dalam menggulir pemikirannya,

karena disamping, mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim juga

banyak yang memegang posisi strategis dalam pemerintahan baik sebagai praktisi

maupun akademisi. Bagi Barat merasa kesulitan jika pemikiran itu, lahir dari

orientalis, karena sudah pasti memperoleh tantangan yang besar dari umat Islam

di Dunia.

Abdullah Ahmad an-Na’im, seorang cendikiawan Muslim asal Sudan

yang kini bermukim di AS, dalam ceramahnya di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta berpendapat, bahwa formalisasi syari’at Islam dalam konteks

negara-negara (nation-state), dianggap tidak saja tidak mungkin, tetapi juga tidak

perlu. Sebab, negara modern itu bersifat netral dan karena itu tidak boleh

didominasi oleh satu golongan pun, baik Muslim maupun non-Muslim. Demikian

pula formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif tidak diperlukan, karena

25Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan., 84.

Page 240: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

205

dalam formalisasi itu, negara harus memilih suatu mazhab tertentu, yang berarti

akan menyingkirkan mazhab-mazhab yang lain. Karena itulah, pilihan umat Islam

adalah mengembalikan Islam kepada masyarakat dalam suatu civil society.

Nurcholis Madjid menyampaikan gagasan dalam menyikapi persoalan

yang berkembang di masyarakat tentang “Keharusan Pemikiran Islam dan

Masalah Integrasi Umat”. Munculnya pemikiran tersebut tidak terlepas dari

kondisi umat Islam Indonesia ketika itu yang tengah mengalami kestatisan dalam

pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological

striking force dalam perjuangannya. 26

Ajaran-ajaran agama, yang mampu memberikan landasan nilai dan moral

universal, merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat bangsa Indonesia

yang sedang mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang, baik sosial,

politik, budaya maupun ekonomi. Nurcholish Madjid yang memiliki komitmen

tinggi terhadap Islam melontarkan gagasan “Islam, Yes”; Partai Islam, No”,

merupakan sebuah refleksi untuk mengkounter banyaknya kemunculan partai-

partai Islam saat itu. Disamping itu juga berangkat dari kekecewaan atas partai

Islam yang tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan

sebaliknya.27 Dengan kata lain, penolakan terhadap institusi kepartaian politik

Islam haruslah difahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya tetapi

penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang terlibat dalam

kehidupan partai Islam. Tingkah laku politik dan pemanfaatan Islam seperti itu

pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya.28

Namun di pihak lain, pemikiran Nurcholis Madjid tentang, “Islam, Yes”;

Partai Islam, No” menunjukkan bahwa umat Islam tidak patut mendirikan Negara

Islam dengan menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya. Dan jargon inilah

26Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuat Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan dan keomderenan (Jakarta: Paramadina, 1992), Cet. Ke-2, xviii.

27Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-8, 204.

28Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesiaan, 205

Page 241: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

206

yang kemudian dijadikan oleh pemerintah sebagai alat untuk memberanguskan

politik Islam. Sebenarnya, pemikiran ini telah terkontaminasi29 oleh rezim Orde

Baru yang tidak akomodatif dengan politik Islam, disamping merupakan refleksi

keinginan penguasa30 pada saat itu. dan bukan desebabkan oleh bangsa Indonesia

yang sangat majemuk, baik dari suku, bangsa dan agama. Pemikiran ini ada

benarnya

Gagasan lain yang diutarakan oleh Nurcholish Madjid mengenai

skularisasi di era 1970 an, ini berdampak pada kebebasan berfikir dan munculnya

sikap keterbukaan di kalangan umat Islam Indonesia untuk tidak mensakralkan

segala sesuatu yang berifat material dunia, dan telah membuat masyarakat muslim

menyadari hakikat nilai pluralisme, toleransi dan penilaian yang serba tidak

absolute.31

Sekularisasi yang diluncurkan Nurcholis Madjid, sebuah proses

pembebasan, yaitu untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya

bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk

mengukhrawikannya. Proses pembebasan ini untuk lebih memantapkan tugas

manusia sebagai “khalifah Allâh di Bumi”.32 Ternyata sekularisasi yang

diluncurkan Nurchalis Madjid juga sama dengan sekularisme, yang memisahkan

urusan dunia dengan ukhrawi. Oleh karena itu pendapat Nurkholis Madjid

tidaklah jauh dengan pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan

29Yaitu kekhawatiran akan timbulnya keruncingan yang berbau SARA. Padahl istila SARA

itu sendiri adalah terminologi yang diciptakan rezim waktu itu unuk menghajar kekuatan politik umat Islam. Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 72

30Indikasi lain, pemerintah juga melakukan pengkebirian atau pembelengguan partai politik. Puncaknya adalah ketika semua parpol, bahkan ormas dipaksa untuk mengubah masing-masing azasnya menjadi azas Pancasila sebagai satu-satunya azas. Ali Murtopo, antek politik orde baru, melalui lembaga CSIS-nya, berusaha utuk membumihanguskan poliik, sasaran tembakyang paling utama adalah “politik Islam”. Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 74

31Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1, 30

32Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, 31

Page 242: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

207

bahwa formalisasi syari’at Islam dalam konteks negara-negara (nation-state),

adalah tidak penting. Umat Islam harus mengembalikan Islam kepada masyarakat

dalam suatu civil society

Banyak kalangan menolak terhadap gagasan sekularisasi yang dilontarkan

Nurcholis Madjid, termasuk penolakan, Harun Nasution, tokoh modernis

kontemporer yang berpendidikan Barat, tidak menerima dengan gagasan

sekularisasi yang telah sampai ke tingkah pemisahan dunia dan akhirat. Antara

kedua bentuk ini terdapat garis pemisah yang jelas.33

Begitu juga dikatakan Nurcholis Madjid, bahwa umat Islam tidak patut

untuk mendirikan Negara Islam, karena tidak memiliki alasan yang mendasar.

Nurcholis Madjid mempunyai pandangan yang sangat keliru. Ia hanya hanya

mengikuti pemerintah orde baru yang tidak akomodatif terhadap Islam. Rasa

ketakutan dan ketidakmampuan Nurkholis Madjid untuk melontarkan gagasan

mendirikan Negara Islam, dan disamping pemikirannya telah terkontaminasi

dengan alur pemikiran barat.

Khalid Muhammad Khalid dikenal sebagai seorang intelektual Mesir yang

berhaluan sekulerisme, dengan tegas menolak gagasan pendirian “Negara Islam”.

Ia menganggap pemikiran itu merupakan keterbelakangan. Ia mengajak umat

Islam agar memisahkan urusan agama dengan masalah politik dan pemerintahan,

karena dalam pandangannya, Negara-negara maju di Barat yang menganut

sekularisme. Kemajuan mereka setelah berhasil memisahkan peran gereja dengan

persoalan politik dan kenegaraan . Jadi mengambilan kesimpulan bahwa, jika

umat Islam ingin maju, urusan agama harus dipisahkan dari Negara. Tetapi di

penghujung penghidupan atau pada kematangan berfikir, Khalid Muhammad

33Harusn Nasution, Islam Rasional (Bandung : Mizan 1996), cet. ke-4, 193.

Page 243: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

208

Khalid, mengakui dan menganulir/meralat ide-idenya yang dikatakan di atas

adalah menganggapnya sebagai suatu kesalahan besar.34

Sejatinya, seorang ilmuwan, harus bertanya apakah hipotesa ilmuwan

Barat sudah menjadi aksioma atau hanya sekadar asusmsi? Jika sarjana-sarjana di

Barat mengatakan,”Kami maju karena meninggalkan agama”. Seorang muslim

yang sejati akan mengatakan, “Itu akan hanya berlaku bagi agama yang selama ini

dianut oleh orang-orang Eropa, tapi tidak untuk agama Islam yang sempurna dan

universal”.

Islam memandang kehidupan duniawi dan ukhrawi secara seimbang:

artinya tidak ada salah satunya dikorbankan untuk memenangkan sisi yang lain

Bila politik tidak dikendalikan, ia akan menajdi liar dan menjadikan manusia

lainnya sebagai mangsanya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ibnu Taimiyah mengatakan

bahwa mendirikan negara, bukan perintah dari syariah, tapi menegakkan syariat

Islam adalah perintah atau kewajiban. Kekuasaan harus dijalankan dengan syura

dan hukum harus ditegakkan dengan adil. Kaidah ushul Fiqh menyebutkan

bahwa, “Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihî, fahuwa wâjibun” Sesuatu yang wajib

untuk dijalankan dan kewajiban itu tidak mungkin ditegakkan kecuali adanya alat

untuk sesuatu kewajiban itu. Maksudnya adalah menegakkan syariat Islam suatu

kewajiban35 haruslah secara utuh dan menyeluruh, tidak beribadah secara

sempalan atau parsial, dan untuk menegakkan syariah haruslah ada sarana/alat

yakni negara. Nah, sekarang negara sudah ada, memberikan nama negara Islam

atau tidak negara Islam bukan merupakan suatu hal yang pokok. Yang pokok

34Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pasca Kejatuhan Soeharto, 85-86 35Kewajiban adalah sesuatu yang haris dijalankan dalam Islam. Syariah adalah keseluruhan

dari ajaran-ajaran itu sendiri. Dalam terminologi hukum pemahaman terhadap syariah baik di dalam al-Qur’ân maupun yang terkandung di Hadits Rasulullah saw. Mengandung sutu norma hukum sesuia yang mengalami perkebangan. Lihat Kata Pengantar Yusril Ihza Mahendra dalam, Mengawal Syariah, tulisan MS. Kaban (Jakarta: Pustaka Ar-Raihan, 2007), v

Page 244: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

209

adalah melaksanakan al-amru bi al-ma’rûf wa al-nnahyu ‘ani al-munkar,

menciptakan kemakmuran dan perdamaian.36

Tetapi menurut hemat penulis, ketika tidak bisa menegakkan syariat

Islam di dalam negara tersebut, maka mendirikan negara Islam dan/atau

menjadikan negara Islam menjadi wajib hukumnya atau mutlaq harus dilakukan

dan bila tidak dilakukan pastilah Allâh tidak menurunkan kehidupan yang berkah,

bahkan siksa Allâh yang amat pedih pasti turun.37

Dawam Rahardjo mengutarkan bahwa, gerakan Islam itu sendiri secara

keseluruhan dapat dibedakan menjadi dua pola. Pertama, pola “Islam Politik”

yang menempuh jalan mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan

syari’at Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang memilih jalur budaya dan

kemasyarakatan. Yang pertama bertujuan menegakkan Negara Islam atau

kekuasaan Islam, sedangkan yang kedua, bertujuan untuk menciptakan

masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat madani, paling tidak ikut

serta dalam civil society.38

Sebagai reaksi terhadap gejala Islam fundamentalis dan Islam Radikal,

telah timbul kelompok Islam Liberal yang mengkampanyekan sekularisme.39

Pandangan sekularisme ini menurut penulis, sebagai suatu kesalahan besar yang

dilakukan oleh umat Islam, jika dilihat dari kacamata Islam seharusnya adalah

menempuh jalan “Islam struktural” untuk mencapai kekuasaan sebagai alat untuk

36Yusril Ihza Mahendra dalam, Mengawal Syariah, tulisan MS. Kaban (Jakarta: Pustaka Ar-

Raihan, 2007), viii 37Q:S., Al-A’raf, 7:96. 38M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis

Fiqih dan Keuangan, xiv 39Menurut kelompok ini, gerakan Islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam

wacana publik. Selain itu, dalam menanggapi persoalan publik, pendekatan agama tidak perlu dipakai dan diganti dengan ilmu pengetahuan. Gagasan kelompok liberal ini agaknya sulit atau tidak bisa diterima, tidak saja oleh kelompok radikal dan fundamentalisme, tetapi juga oleh kalangan mainstream yang berpandangan moderat. Lihat M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, xv

Page 245: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

210

menegakkan syari’at Islam. Mengapa berpendapat demikian? Jawabannya adalah

Islam adalah agama yang sempurna40.

Untuk itu, membangun partai politik Islam - bukan pemanfaatan Islam

untuk mencari kekuasaan dan kekayaan yang pada gilirannya justru menjatuhkan

nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya - guna menegakkan syariat Islam

dan/atau mendirikan Negara Islam yang berazaskan kepada al- Qur’an, adalah

merupakan keniscayaan dan kewajiban muthlak untuk umat Islam, yang apabila

tidak dilaksankan sama halnya dengan tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang

lainnya. Disinilah sebetulnya akan terjadi penciptaan suatu masyarakat madani.

Dengan demikian, meraih kekuasaan untuk penerapan syariat Islam akan

lebih mudah. Penerapan syariat Islam harus dipaksakan kepada masyarakat.

Masyarakat tunduk kepada hukum Tuhan, karena hukum Tuhan (Syariat Islam)

bersifat memaksa (authoritarian), sedangkan hukum duniawi tunduk kepada

manusia. Dengan sifat otoriter itu, juga sama dilakukan dengan penerapan shalat

lima waktu dan ibadah-ibadah lainnya agar masyarakat menjadi terbiasa. Karena

manusia lebih banyak mengikuti hawa nafsunya yang buruk ketimbang mengikuti

perintah Tuhannya. Di sinilah, sebetulnya bahwa mengapa pendirian dan

penegakkan negara Islam41 di Indonesia menjadi sangat penting kendatipun hal

ini dianggap sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk dperjuangkan. Untuk

40Q:S. 3:83 41Mendirikan negara Islam itu berawal dari sebuah wacana politik Islam. Barat sangat

berkepentingan jika yang menolak konsep tentang Negara Islam itu berasal dari kalangan umat Islam sendiri, apalagi jika ide itu dilontarkan oleh seorang tokoh Islam. Pasalnya, jika disampaikan oleh seorang orientalis, misalnya, tentu saja ide yang sama akan mendapat penolakan secara total dari masyarakat muslim. Dalam tataran pemikiran, barat telah berhasil mencetak serombongan kaum intelektual yang siap mengamin agenda damn pola berfikir barat, sengaja atau tidak sengaja. Mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim dan tidak sedikit diantara mereka yangmemegang posisi strategis dalam pemerintahan, baik sebagai praktisi maupun akademisi. Mereka memamng lebih akrab dengan metode berfikir barat yang liberalis, ketimbang metode Qur’an dan Hadits Mereka lebioh percaya denga fenomena yang terjadi di Barat saat ini daripada melihat sejarah kegilangan umat Islam dimasa lampau. Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 85

Page 246: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

211

itu, menurut pendapat penulis mendirikan negara Islam sebuah keniscayaan, yang

harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam.

Nah, mendirikan partai Islam untuk menegakkan syariat Islam

dan/mendirikan negara Islam adalah juga wajib hukumnya. Berangkat dari sinilah

sebetulnya urgensitas perubahan sistem politik masa lalu, sebagai tuntutan utama

reformasi. Rakyat menyadari bahwa pemerintah masa lalu telah memperlakukan

Islam kurang harmonis atau tidak baik. Namun kemudian, baru saja reformasi

muncul dan iklim demokrasi pintunya terbuka, tiba-tiba Nurcholis Madjid

mengatakan bahwa mendirikan partai agama tidak perlu. Ungkapan yang

disampaikan sehari setelah mundurnya Soeharto dan masih sedang hangat-

hangatnya iklim reformasi ini, terasa sebagai hal yang bertentangan dengan

reformasi dan memukul hati sanubari umat Islam Indonesia. Padahal salah satu

isu reformasi menghapuskan UU yang membatasi ruang gerak parpol.42

Beberapa kendala yang ada terhadap pendirian negara Islam di Indonesia

antara lain: disebabkan ada tiga kelompok besar yang selalu berbeda pandangan

mengenai penegakkan syariat Islam dan/atau mendirikan negara Islam di

Indonesia. Masih banyaknya masyarakat Islam yang tidak perduli terhadap ajaran

agama Islam karena ketidak fahamannya terhadap Islam yang sebenarnya.

Ketiga kelompok tersebut yakni: Pertama, kelompok Islam fundamentalis

dan Islam Radikal yang menghendaki menjadikan negara Islam atau negara

masuk ke dalam Islam secara kaffah dengan menggunakan azas berdasarkan al-

Qur’ân dan Al-Hadith, yang dikenal dengan istilah “Islam Struktural”,

sayangnya kelompok ini juga tidak memiliki figur pimpinan yang dapat dipercaya

atau diakui reputasinya oleh semua golongan, baik secara nasional maupu

Internasional; kedua, kelompok Islam moderat yang mengiginkan Islam

terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara artinya dalam

42 Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam

Pasca Kejatuhan Soeharto, 85-86

Page 247: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

212

kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak mesti membentuk negara Islam, atau

dikenal dengan istilah “Islam kultural”. Ini sebetulnya dapat dilakukan ketika al-

Qur’ân Al-Hadith belum ada (tidak sempurna); sedangkan yang ketiga, adalah

kelompok Islam liberal yang menghendaki bahwa gerakan Islam tidak perlu

membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Dan yang ketiga ini dikenal

dengan istilah sekularisme.43

Hanya saja, nampaknya masih terjadi perbedaan pendapat mengenai apa

itu yang disebut dengan syari’at Islam atau Hukum Allâh. Ada dua pandangan

baru mengenai apa yang dimaksud dengan syariat Islam. Pertama, syari’at Islam

sebagai sebuah prinsip-prinsip umum yang sifatnya universal, yang merupakan

petunjuk Tuhan (al-huda) atau al-Qur’ân dan Sunnah Rasul. Prinsip-prinsip

umum itu kini telah dirumuskan menjadi al-maqâsid al-sharî’ah, sebagaimana

telah dirumuskan oleh Imam al Syatibi dan Imam al-Ghazali. Konsekuensi dari

pemahaman ini adalah, bahwa penerapan syari’at Islam memerlukan penafsiran

yang pasti akan sangat beragam dan berubah dari waktu ke waktu sebagaimana

yang telah terjadi dalam Islam historis. Kedua, yang dimaksud dengan syari’at

Islam itu adalah hukum fiqih yang telah dirumuskan oleh para ulama. Jika itu

yang dimaksud, maka sebenarnya syari’at Islam itu tidak identik dengan hukum

Tuhan, melainkan merupakan penafsiran para ahli mengenai wahyu Allâh dan

Sunnah Nabi SAW. Syari’at Islam seperti ini masih memerlukan kajian ilmiah

untuk bisa diperjuangkan menjadi hukum positif. 44

Menurut Mohammad Natsir,45 salah satu wujud akomodasi bagi gagasan

pelaksanaan penegakkan syariat Islam dibentuknya Departemen Agama Republik

Indonesia yang dimaksudkan agar umat Islam masih terus bisa memperjuangkan

berlakunya syariat Islam bagi para pemeluknya, melalui legislasi di parlemen

dengan dukungan partai-partai Islam. Kerjasama Departemen Agama dengan

43M. Dawam Rahardjo, xv. 44M. Dawam Rahardjo, xvi 45M. Dawam Rahardjo, xvi

Page 248: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

213

partai-partai Islam dan unsur-unsur simpatisan Islam di partai sekuler seperti

Golkar telah terjadi penyusunan hukum positif yang mengakomodasi syariat

Islam, misalnya tercermin dalam UU Nomor 14 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama, UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan

zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan Undang-

Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang sedang penulis

bahas ini.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengaruh Politik Hukum

Pembentukan UU perbankan syariah banyak dipengaruhi oleh berbagai

faktor. Dan perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah. Ekonomi

syariah adalah bentuk aktifitas yang operasionalnya dikemas dan dibingkai oleh

Islam. Islam dan politik merupakan dua aspek penting yang menjadi satu kesatuan

yang tak dapat terpisahkan satu sama lain. Di satu sisi pembangunan ekonomi

Islam dipengaruhi oleh faktor politik, di sisi lain politiknya juga dipengaruhi oleh

Islam. Realitas interdependensi dua hal tersebut telah melahirkan suatu kajian

yang dikenal dengan politik ekonomi.

Secara konkret realitas interdependensi ekonomi Islam dan politik

tersebut, bisa dibaca pada gagasan umat Islam Indonesia untuk mendirikan bank

Islam, yang sangat sarat dengan muatan politis. Pada mulanya, hubungan umat

Islam dan Orde Baru masih diliputi kecurigaan dan prasangka. Para penguasa

Orde Baru pada tahun 1970-an masih mencurigai gagasan tersebut sebagai salah

satu wujud dari gerakan pendirian negara Islam atau realisasi Piagam Jakarta.

Oleh karenanya pemerintah tidak mengizinkan pendirian lembaga tersebut.46

46Alasan resmi yang dikemukakan oleh Pemerintah mengenai tidak diizinkannya pendirian

bank Islam adalah karena cara operasi bank Islam, yang menuntut pemerataan lebih adil dengan sistem bagi hasil, tidak sejalan dengan Undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang No. 14 Tahun 1967, BAB I Pasal 1, yang tidak mengizinkan beroperasinya bank tanpa bunga kredit. Lihat M.

Page 249: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

214

Namun, pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, ternyata bank

syariah mengalami kemajuan yang sangat berarti, bahkan banyak bank

konvensional yang membuka divisi syariah. Melihat berbagai perubahan yang

cukup pesat dari perkembangan sistem ekonomi Islam yang dimanifestasikan

dalam wujud perbankan syariah dan adanya akomodasi dari regulasi perbankan,

yang kemudian memunculkan pertanyaan besar, mengapa semua itu bisa terjadi

dengan cepat? Dengan adanya asumsi bahwa antara ekonomi dan politik terjadi

hubungan interdepedensi yang sangat erat, maka pertanyaan: peristiwa politik

apakah yang memungkinkan itu semua bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pembentukan hukum perbankan syariah yakni:

a. Faktor Internal

1) Ideologi

Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia menjamin

kehidupan bernegara dan berbangsa. Jaminan UUD 1945 Pasal 29 yakni,

kebebasan berkeyakinan beserta pelaksanaannya harus dipandang sebagai adanya

kebebasan bagi masyarakat Islam untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai

dengan konsep hukum Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. Dalam

penerapan pasal inipun mengalami banyak interpretasi. Bagi Indonesia yang

mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu dalam pencapaian yang

diinginkan oleh Islam formalis adalah harus dengan penetapan ketentuan-

ketentuan syariah dalam ketetapan hukumnya (hukum formil), yang terkadang

tanpa tersadar bahwa terbentuknya Indonesia atas dasar kontrak sosial. Dimana

Indonesia tetap berpegang pada kemajemukan penduduk meskipun Islam sebagai

agama mayoritas.47 Lahirnya UU perbankan syariah sebetulnya merupakan

tuntutan ideology Negara, dimana Negara yang penduduknya menganut agama Dawam Rahardjo, “Bank Islam”, dalam Ensiklopedi Islam Tematis (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002), 399.

47http://www.nggersik.com/tinjauan-politik-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia.htm,

17/02/10(Diakses pada tanggal 25 Maret 2010)

Page 250: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

215

Islam, maka kebutuhan undang-undang yang mengatur ekonomi yang berbasis

ajaran agama juga merupakan keniscayaan.

Garansi negara tentang hak kebebasan beragama tersebut menempatkan

posisi negara sebagai fasilitator. Dalam ketetapan pencapaiannya dikembalikan

kepada mekanisme penetapan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Jika berbentuk undang-undang, maka harus melalui lembaga legislatif, yang

diperoleh dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Oleh karena Indonesia menganut

sistem politik demokrasi, maka hal ini juga harus terpenuhi dalam segala langkah

upaya melalui jalur politik. Sehingga apapun yang terlahir, baik undang-undang

maupun keputusan kenegaraan tidak mengarah pada pembelaan atau pertentangan

negara terhadap satu kelompok tertentu. Berikut DPS-DSN juga harus

melepaskan seragam partai, menjaga jarak dan tidak terintegrasi dengan

pemerintah atau lembaga perbankan untuk menghindari politisasi fatwa.

Demikian juga yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku industri

perbankan syariah. Melalui jalur politik dalam penetapan hukumnya akan

membuat tujuan pencapaian perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan

semakin terbuka lebar.

2) Agama

Indonesia, Negara yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam

tentu saja ajaran-ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai pedoman

kehidupan (way of life) keseharian baik ibadah secara vertikal maupun secara

horizontal, termasuk pemikiran dasar mengenai sistem keuangan didasarkan atas

skema bagi hasil (profit and loss sharing). Islam telah memperkenalkan sistem

ekonominya, sebagai solusi terhadap perekonomian dunia yang selama ini

mengalami keterpurukan yang disebabkan oleh bisnis ribawi.

Islam tidak menawarkan sistem bunga (interest). Islam mengajak para

deposan untuk berpartisipasi dalam suatu usaha. Deposan akan mendapat bagian

dari keuntungan usaha (bank) sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan

Page 251: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

216

sebelumnya. Dengan demikian terjalin hubungan kemitraan antara bank dan

deposan di pihak lain. Dan di pihak lain antara bank dan nasabah investasi yang

mengelola simpanan deposan dalam berbagai usaha produktif. 48

1) Sistem bunga yang dimaksud adalah tambahan pembayaran atas uang pokok

pinjaman. Penerapan sistem bunga ternyata berimplikasi negatif terhadap

kehidupan.49 Disamping itu

2) Sistem perbankan yang ada sekarang memiliki kecenderungan terjadinya

konsentrasi kekuatan ekonomi ditangan kelompok elit, para bankir dan

pemilik modal.50

3) Sistem perbankan yang menerapkan bunga menimbulkan laju inflasi semakin

tinggi, karena ada kecenderungan bank-bank untuk memberikan kredit secara

berlebih-lebihan.51

4) Sistem perbankan yang menerapkan bunga sekarang dirasakan sangat tidak

berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan dan memeratakan

pendapatan baik di tingkat nasional maupun global.52

Di dalam era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini peranan

lembaga perbankan sangat besar dan menentukan. Bank yang berdasarkan prinsip

syariat Islam, diharapkan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terwujudnya

suatu sistem ekonomi Islam yang menjadi keinginan bagi setiap negara Islam atau

negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Jadi sistem ekonomi Islam akan terus berkembang melalui kerja ijtihad.

Bahkan sistem ekonomi Islam bukan hanya teoritis, ia merupakan hasil suatu

48Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Islamic Banking , Terjemahan oleh Burhan Subrata

Perbankan Syariah Prinsip, Praktek dan Prospek (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. !, 9-10

49Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 14

50Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, 15 51Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, 16 52Warkum Sumitro,Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI,

Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 15

Page 252: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

217

proses tranformasi nilai-nilai Islam yang membentuk kerangka serta perangkat

kelembagaan dan pranata ekonomi yang hidup dan berproses dalam kehidupan

masyarakat.

3) Politik Kekuasaan

Dalam menghadapi berbagai kecaman dan kritikan atas beragam

kebijakan yang dijalankannya serta akibat dari padanya, Soeharto kemudian

membangun aliansi dengan partai politik, dengan harapan dapat mengerahkan

dukungan rakyat terhadapnya. Ada dua partai politik yang dapat memberikan

dukungan terhadapnya, yaitu partai NU dan PNI. NU dominan di kalangan santri

di kawasan pedesaan maupun di kalangan wiraswasta muslim yang merupakan

mayoritas masyarakat bisnis pribumi Indonesia, serta memiliki kepemimpinan

yang relatif bersatu. Di pihak lain PNI terkenal di kalangan abangan dan di

kalangan pamong praja, birokrasi negara yang terpenting.53

Akhirnya, diciptakanlah ketertiban politik: pertama, menjadikan “dwi

fungsi” ABRI sebagai alat untuk mendistribusikan ganjaran kepada para perwira

yang setia kepada pemimpin yang tertinggi dengan menugaskan mereka ke dalam

posisi-posisi ekonomi dan politik yang berpengaruh. Kedua, penugasan para

perwira militer di posisi-posisi birokrasi dan politik untuk menjamin

terpeliharanya politik yang tertib dan terkendali dengan mengendalikan konflik

faksifaksi di antara perwira AD sendiri dan persaingan antar angkatan dalam

tubuh ABRI serta penyederhanaan politik kepartaian.54

53Santri dan Abangan adalah dua istilah sosiologis yang sudah akrab di kalangan umat Islam

Jawa. Secara kultural, santri digunakan untuk menyebut kelompok muslim yang taat dalam menjalankan agama. Sedangkan abangan sebaliknya, yakni sebutan untuk muslim yang tidak taat dalam menjalankan agama, terutama dalam wilayah ubudiya Dalam sosiologi Jawa masing-masing kelompok itu merupakan paguyuban yang seolah-olah saling membuat batas wilayah pergaulan sosiologisnya secara eksklusif. Masing-masing mempunyai budaya dan pola hubungan sosial sendiri-sendiri, sehingga nampak eksklusif. Paparan terkenal untuk pembagian dikotomi ini. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), 6.

54Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), 201.

Page 253: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

218

Diangkatnya Ali Murtopo, yang merupakan salah satu dari dua belas

perwira staf pribadi Soeharto, sebagai pembantu politik kepercayaannya memang

menunjukkan bahwa Soeharto tidak menyukai radikalisme Islam. Ali Murtopo

yang Islam phobia ini bersekutu dengan kelompok Katolik dan tokoh Jawa.55

Tidak mengherankan jika kebijaksanaan politik pada awal pemerintahan Orde

Baru banyak merugikan kaum muslimin, karena kelompok Ali Murtopo yang

memegang kendali pemerintahan didominasi orang-orang yang cenderung

memusuhi Islam. Dalam pikiran kelompok ini, Islam merupakan potensi yang

amat membahayakan apabila diberi kesempatan. Bagi mereka Islam itu identik

dengan “Darul Islam” sehingga mereka cenderung untuk menghancurkannya.56

Puncak kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah dalam

pemerintahan adalah ketika pemilu pertama Orde Baru pada 1971 yang membawa

kemenangan mutlak kepada Golkar yang mengantongi 62,80% suara atau 392

kursi. ABRI sebanyak 230 kursi, Utusan Daerah dan Golongan 130 kursi, Partai

Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) sebanyak 126 kursi dan partai lain (PNI,

Parkindo, Parkat, IPKI dan Murba) memperoleh 42 kursi.57 Dengan hanya

memperoleh jumlah wakil yang kecil, ruang gerak politik Islam sangat terbatas.

Sebaliknya kedudukan pemerintah relatif aman untuk menggolkan agenda

politiknya di parlemen. Kemenangan mutlak Golkar juga memberikan legitimasi

bagi pemerintah dan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan politis.

Kontrol ini kemudian direalisasikan dalam program pengembangan sistem

politik hegemonis. Pada Januari 1973, pemerintah memutuskan untuk melakukan

restrukturalisasi sistem kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh

partai, kecuali Golkar, harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai

55Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah

Runtuhnya Rezim Soeharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 75. 56Afan Gaffar, “Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional” dalam Ahmad

Zaini Abas, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 199, 22. 57Jamhari, “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 6, Jakarta: PT

Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 359.

Page 254: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

219

Islam-NU, Parmusi, PSII dan Perti-digabung dalam PPP (Partai Persatuan

Pembangunan).58 Sedangkan lima partai lain yang berlatarbelakang nasionalis

(PNI, IPKI dan Murba), Kristen Protestan (Parkindo) dan Katolik (Parkat)

digabung dalam PDI.59

Selain melakukan pengerucutan jumlah partai-partai, pemerintah juga

(dalam hal ini golongan mayoritas anggota parlemen adalah Golkar, wakil ABRI,

utusan daerah dan golongan) mengusulkan untuk menyejajarkan aliran kebatinan

dengan lima agama yang ada Indonesia, dan dengan mudah mendapat

persetujuan. Peminggiran keterlibatan umat Islam kembali dilakukan dengan

diberlakukannya asas tunggal.60 Sosialisasi Pancasila dengan program P4

(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dilakukan untuk menghindari

terjadinya pertentangan ideologi. Lebih dari itu, menurut pemerintah sikap

fanatisme terhadap ideologi akan mudah memancing terjadinya kerawanan dan

konflik sosial, seperti yang pernah terjadi di Lapangan Banteng Jakarta ketika

terjadi bentrokan antar massa PPP dengan Golkar pada 1982.

Walaupun reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah ini masih tampak,

seperti dalam peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984, namun umat

Islam menyadari bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan berhasil. Untuk ini,

kalangan cendikiawan muda melakukan reorientasi terhadap makna politik Islam

yang selama ini dielaborasi dalam corak legalitas dan formalitas. Orientasi poltik

baru tersebut lebih mengarah kepada politik substantif dan integratif. Artinya

pendekatan baru tersebut lebih mengutamakan kepada aspek kandungan nilai

58Sebuah nama partai yang sama sekali tidak menunjukkan adanya unsur-unsur Islami. Lihat

Francois Raillon, “The New Order and Islam: or the Imbrioglio of Faith and Politics” dalam Indonesia (Cornell Southeast Asia Program, 1993), 202.

59Jamhari, “Islam di Indonesia”, 359. 60Setelah penerapan asas tunggal ini, semua kekuatatan politik (partai) dan semua organisasi

sosial harus menjadikannya sebagai landasan ideologi partai atau organisasi. Lihat Francois Raillon, “The New Order”, 204.

Page 255: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

220

Islam sebagai sumber inspiratif bagi kekuatan politis serta sikap saling menerima

dan menyesuaikan antara umat Islam dan negara.61

Pada periode 1982-1985, hubungan yang baik antara Islam dan negara

mulai terwujud, walaupun belum sampai pada taraf yang ideal. Adanya Munas

ketiga Golkar pada Oktober 1983, menandai awal era baru peranan politik elit

Islam di dalam tubuh partai negara Orde Baru. Akbar Tanjung yang

berlatarbelakang Ketua Umum HMI bersaing dengan Sarwono Kusumaatmadja,

aktivis mahasiswa “Kelompok Bandung” yang mempunyai hubungan patronase

dengan Jendral L.B. Moerdani. Keduanya bertarung untuk memperebutkan posisi

sebagai Sekjend Golkar. Akbar yang memiliki latarbelakang HMI tentu saja

memiliki visi lebih Islam ketimbang Sarwono yang lebih berorientasi sosialis.

Kendati dalam pertarungan tersebut Akbar kalah, namun hal tersebut tetap

memberikan makna baru bagi perkembangan Golkar ke depan. Golkar yang pada

dua dekade pertama Orde Baru lebih dikuasai abangan yang anti Islam, semenjak

tampilnya Akbar sebagai kandidat Sekjen, telah memberikan harapan lebih baik

bagi tokoh-tokoh gerakan Islam untuk bisa memainkan peranan lebih baik dalam

tubuh Golkar di masa berikutnya.62

Sementara itu dalam komposisi kepengurusan hasil Munas II Golkar itu,

pengaruh dan peranan Ali Murtopo merosot. Jika dalam hasil Munas Golkar 1978

orang-orang dari kelompok ini banyak memegang posisi kunci seperti Sekretaris

Jendral, Wakil Ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Golkar 1983,

kelompok Ali Murtopo hanya terwakili dua orang dan itu pun tidak menduduki

kedudukan yang strategis.

Kemerosotan politik kubu Ali Murtopo ini sangat terkait dengan

kesenjangan politik Ali sendiri dengan Soeharto. Ada dua hal yang menyebabkan

gap Ali dengan Soeharto yang menyebabkan terpinggirkannya kubu Ali dalam

61Jamhari, “Islam di Indonesia”, 360. 62Leo Suryadinata, Golkar dan Militer (Jakarta: LP3ES, 1992), 21.

Page 256: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

221

percaturan politik nasional dan di DPD Golkar, khususnya dalam kurun waktu

tersebut. Pertama, pada dekade 1970-an Ali Murtopo telah dapat mengerahkan

sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kedudukan

Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik pada bulan Januari

1974 (Peristiwa Malari) adalah persaingan antara Ali Murtopo dengan Jendral

Soemitro. Berangkat dari kenyataan tersebut, Soeharto di penghujung dekade

1970-an hingga 1980-an secara perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan

politik Ali Murtopo dan mulai menoleh kepada Soedarmono yang berhasil

mengelola sekretariat negara, selanjutnya secara resmi diangkat sebagai Wakil

Presiden.63

4) Ekonomi

Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sudah terpuruk, rezim Orde

Baru tampil dengan mengusung perlunya stabilisasi, rehabilitasi yang berorientasi

pada pembangunan ekonomi. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat rakyat

Indonesia sudah berkali-kali kecewa akibat krisis-krisis ekonomi pada era Orde

Lama.64

63 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, 179. 64Kelahiran Orde Baru dilatarbelakangi oleh kondisi politik dan ekonomi yang sudah

terpuruk. Gagalnya percobaan kudeta G 30 S 1965 berikut perlawanannya telah membawa korban hampir setengah juta jiwa. Kondisi perekonomian saat itu hampir-hampir macet. Sebagaimana yang ditulis oleh Harold Crouch, pada 1965 inflasi di Indonesia mencapai 500% dan harga beras naik 900%. Defisit anggaran belanja pada tahun itu mencapai 300% dari pemasukan dan defisit triwulan pertama tahun 1966 hampir sebesar jumlah defisit keseluruhan tahun 1965. Potret buram ekonomi juga terlihat dalam data tentang perdagangan dan pembayaran internasional. Nilai total ekspor 1956 sebesar $924,4 juta dan turun menjadi $790,7 juta pada 1958 dan pada tahun 1965 angka itu menjadi $705,9 juta. Defisit neraca pembayaran juga meningkat antara 1960-1967. Defisit neraca pembayaran juga meningkat antara 1960-1967. Defisit dalam neraca berjalan adalah $84 juta tahun 1960 dan meningkat secara tajam menjadi $523 juta, ketika arus bantuan militer dari Uni Soviet melimpa Pada tahun 1965, defisit itu berjumlah $248 juta dan bersamaan dengan itu cadangan valuta asing merosot dari $313 juta tahun 1960 menjadi $8 juta pada April 1966. Padahal pada akhir 1965 Indonesia harus membiayai kebutuhan impor, minimum berjumlah lebih dari $600 juta. Kemudian masih ada lagi masalah hutang luar negeri. Demokrasi terpimpin menciptakan hutang berjumlah $2.358 juta, 42% kepada Uni Soviet, 10% kepada Jepang dan 7,5% kepada Amerika Serikat. Pembayaan hutang ini dijadwalkan selama 7 tahun dimulai pada tahun 1966. Masalah keuangan tersebut menimbulkan dampak yang berat hampir di semua sektor. Tidak adanya mesin suku cadang dan bahan mentah impor, telah menyebabkan produksi industri merosot menjadi kurang dari 20% dari kapasitasnya. Kurangnya biaya pemeliharaan juga menyebabkan rusaknya infrastruktur, terutama transformasi dan komunikasi. Hal ini diperparah

Page 257: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

222

Jenderal Soeharto, yang pada saat itu sudah menjabat sebagai presiden

cukup menyadari bahwa tugas dari kaum militer bukanlah untuk membuat

kebijakan-kebijakan perekonomian. Dia mempercayakan pembuatan kebijakan

ekonomi tersebut kepada orang-orang sipil, khususnya kepada sekelompok ahli

ekonomi dari Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Profesor Widjojo

Nitisastro, kemudian beberapa anggota dari kelompok ini dikirim ke Universitas

California-Berkeley untuk mengadakan pelatihan berkenaan dengan upaya

stabilitas ekonomi dalam negeri,65 di samping bantuan dari sebuah perutusan dana

moneter internasional yang dikirim ke Jakarta untuk pertama kalinya memperjelas

posisi hutang luar negeri Indonesia.66

Langkah penting pertama untuk menanggulangi inflasi adalah

memperbaiki beberapa aturan dalam urusan keuangan pemerintah. Proyek-proyek

khusus Presiden Soekarno yang boros dihentikan dan hampir semua proyek

pembangunan ditunda. Berbagai upaya dibuat untuk memperbaiki pengawasan

atas pengeluaran pemerintah. Untuk pertama kali selama beberapa tahun, sebuah

anggaran belanja disusun pada tahun 1967. Dengan pemotongan-pemotongan

secara ketat dalam pengalokasiannya, tidak terkecuali untuk angkatan bersenjata,

anggaran belanja dibuat seimbang pada tahun tiap kuartalnya dan beberapa orang

pejabat tinggi Angkatan Darat dilibatkan pada seksi-seksi yang bertanggung

jawab pada kementerian keuangan untuk mengawasi anggaran ini. Tindakan-

tindakan fiskal diperketat oleh pembatasan-pembatasan yang ketat atas kredit

lagi dengan kondisi hubungan Indonesia dengan luar negeri, terutama setelah dikeluarkannya Indonesia dari keanggotaan PBB dan IMF pada tahun 1965. Pada saat Indonesia harus bersiap-siap membayar kembali hutang luar negerinya yang menumpuk serta memperoleh kredit-kredit baru, negara ini sulit memperoleh status layak kredit. Lihat Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966- 1967, (Jakarta: LP3ES, 1989), 51.

65R. William Liddle, “Regime: The New Order”, dalam Donald K. Emmerson (ed), 2001, Indonesia Beyond Suharto Policy Economy Society Transition, New York: M.E. Sharpe, 50.

66W. Arndt, 1994, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga (Yogyakarta: Gadjah Mada Press), 87.

Page 258: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

223

perbankan dan dengan menaikkan tingkat suku bunga bank yang lebih mendekati

tingkat 15-20% perbulan.67

Melalui tindakan debirokrasi dan deetalisasi ini pemerintah berjanji

meninggalkan ekonomi komando versi Orde Lama dan membiarkan kekuatan-

kekuatan pasar sebanyak mungkin menentukan keputusan-keputusan ekonomi.

Karena itu, peraturan pemerintah dan perizinan akan dihapuskan dan badan-badan

pemerintah hendak dibuat jadi lebih rasional dan efisien. Kehadiran perusahaan-

perusahaan negara akan ditinjau kembali.68

Keputusan-keputusan tersebut dipandang oleh pimpinan baru sangat

penting guna menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para

kreditor dan investor asing. Sebagai penegasan tentang pendekatan baru atas

kebijakan luar negeri (yang telah ditunjukkan dengan mengakhiri konfrontasi dan

bergabung kembali kepada PBB) dan sebagai langkah pertama menuju

pembaharuan pembangunan ekonomi, sebuah undang-undang penanaman modal

asing diundangkan pada tahun 1967. Undang-undang ini memberikan dorongan

dan jaminan finansial untuk penanaman modal langsung dari modal asing di

Indonesia, baik yang berdiri sendiri maupun berupa perusahaan patungan dengan

perusahan-perusahaan Indonesia.69

Setelah berhasil menjalin kembali hubungan dengan luar negeri,

pemerintah baru ini berusaha untuk mencapai persetujuan untuk penjadwalan

kembali dengan para kreditor luar negeri Indonesia di mana beban utang

ditangguhkan, dan setiap tahun dirundingkan lagi sampai tahun 1969. Negara-

negara Barat dan Komunis dibujuk untuk menerima sebuah penyelesaian jangka

panjang dari utang-utang Soekarno. Hal ini menyangkut pembayaran kembali

untuk jangka 30 tahun yang dimulai tahun 1970 dengan satu periode yang

67W. Arndt, 1994, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga, 88. 68Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, 94 69W. Arndt, Pembangunan Ekonomi., 89.

Page 259: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

224

sifatnya fakultatif bagi sebagian pembayaran modal dan bunga yang tertunda 15

tahun yang terakhir yaitu antara tahun 1985-1999.70

Program stabilisasi berhasil di luar dugaan. Sebagai sasaran pertama untuk

memperlambat dan menghentikan laju inflasi, di samping perusahaan-perusahaan

dalam maupun luar negeri sudah mulai menginvestasikan modalnya secara

perlahan. Menurut William Liddle, tanpa langkah-langkah tersebut dapat

dipastikan rezim Orde Baru tidak akan mampu bertahan.71

Sedangkan untuk mencermati motif-motif ekonomi politik negara

(Presiden Soeharto) mendukung kepentingan kaum Muslimin bisa ditilik dari

tantangan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi pemerintah memasuki dasawarsa

1980-an. Paling tidak sejak 1982 potret perekonomian Indonesia banyak diwarnai

kesuraman, terutama akibat makin langkanya dana investasi pembangunan, baik

yang datang dari APBN maupun dari penanaman modal domestik dan luar negeri

. sifat perekonomian negara Orde baru yang terbuka, dimana sektor ekspor dan

impor berperan besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB), menjadikan APBN

Indonesia menjadi rentan terhadap guncangan perekonomian dunia.72

Resesi dunia yang berkepanjangan telah mengakibatkan kemerosotan

sekaligus pendapatan ekspor dan arus penanaman modal asing. Padahal ekspor

minyak dan penanaman modal asing bersama dengan bantuan asing menurut

Sumarlin merupakan tiga sumber “Rezeki Nomplok”. Sementara untuk

menghadapi masalah baru itu beberapa masalah lama belum juga bisa

diselesaikan, terutamapengangguran penduduk usia kerja yang diperkirakan tiap

tahun bertambah kira-kira 2 juta orang. Dalam menghadapi tantangan tersebut

pemerintah telah melakukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan melakukan

penghematan dan pengurangan anggaran belanja, reformasi perpajakan,

70W. Arndt, Pembangunan Ekonomi, 90. 71R. William Liddle, “Regime: The New Order”, 50. 72Mohtar Mas’oed, “Prospek Pembiayaan Pembangunan dan Penyasuaian Birokrasi”, Prima,

No.2/1985 Tahun XIV, 14-15

Page 260: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

225

reorganisani bea cukai, reformasi fiskal, moneter, dan administrasi pemerintahan

dengan semangat dengan semangat “deregulasi dan debirokratisasi”.73

Kehadiran BMI dalam konteks ini, diharapkan bisa membantu menjawab

problem ekonomi yang di hadapi pemerintah, krisis ekonomi yang cukup

berkepanjangan akibat kelangkaan sumber pendanaan pembangunan pasca oil

boom juga mendorong negara orde baru untuk menggunakan fasilitas bantuan

keuangan dan kredit dari Islamic Development Bank (IDB). IDB yang didirikan

Organisasi Konverensi Islam (OKI) pada 23 April 1975 memang bertujuan

mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial

negara-negara anggotanya yang terdiri dari 44 negara muslim di mana Indonesia

termasuk didalamnya. IDB yang dimaksudkan berfungsi seperti halnya Bank

Dunia, dana moneter Internasional (IMF) dan bak Pembangunan Asia (ADB)

dalam usaha mencapai tujuannya mendorong pertumbuhuhan ekonomi negara

muslim dengan menggalang iuran pembelian saham bank negara anggotanya dan

kemudian menyalurkan bantuan atau fasilitas kepada anggotanya. Fasilitas atau

bantuan yang diberikan sangat bervariasi, namun secara umum berupa penyertaan

modal, pinjaman tidak mengikat dan atau bunga, baik swasta maupun

pemerintah.74

5) Sosial

Menurut Effendy ada dua alasan utama mengapa Orde Baru merekrut

kaum muslimin, dalam hal ini para aktivis dan cendekiawan muslim. Pertama,

dari sudut sosiologis, sejak terbukanya akses pada pendidikan dan aktivitas

ekonomi, yang memberikan para cendekiawan banyak kesempatan untuk

menempuh pendidikan di luar negeri. Pulangnya mereka dari menuntut ilmu

disertai dengan mobilitas sosial menjadikan nilai tawar umat Islam semakin tinggi

sehingga mereka harus diakomodasi ke dalam struktur negara. Kedua,

73Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta:LP#ES, 1989, 214 74Hubungan IDB dan BAPINDO, Infobank, No. 53/1984, 16-17

Page 261: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

226

peningkatan kualitas pendidikan umat Islam serta kemampuan cendekiawan Islam

dalam melontarkan gagasan pemikiran Islam sehingga membuat pemerintah tidak

mungkin mengabaikan keberadaan mereka, apalagi karena pemikiran-pemikiran

tersebut dalam beberapa hal sesuai dengan arah dan kebijakan politik yang

dikembangkan Orde Baru.75

Selanjutnya, bentuk akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap Islam ada

empat macam, yaitu akomodasi struktural, akomodasi legislatif, akomodasi

infrastruktural dan akomodasi kultural. Yang dimaksud dengan akomodasi

struktural adalah diakomodasinya atau direkrutnya para tokoh muslim pada

lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan lembaga-lembaga legislatif negara.

Mengenai akomodasi secara struktural ini baru terlihat dengan jelas ketika

Presiden Soeharto menyetujui didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia) pada 1990. Sedangkan akomodasi legislatif berkaitan dengan

dikeluarkannya undang-undang atau peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

Islam sebagai aturan yang mandiri dan sah. Di antara kebijakan akomodasi ini

adalah pengesahan UU Pendidikan Nasional tahun 1989, pemberlakuan undang-

undang peradilan agama, diperbolehkannya pemakaian jilbab pada tahun 1991

serta disahkannya undang-undang yang berkaitan dengan perbankan syariah di

Indonesia pada tahun 1992.

Adapun akomodasi infrastruktural adalah penyediaan infrastruktur yang

diperlukan umat Islam untuk melakukan kewajiban-kewajban agama mereka.

Salah satu bentuk dari akomodasi ini adalah kesediaan pemerintah, bukan hanya

mengizinkan, tapi juga membantu pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI)

pada 1991. Sementara itu akomodasi kultural adalah diperbolehkannya secara

luas berbagai ekspresi kebudayaan yang dipahami sebagai Islam.76

75Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di

Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 37-38. 76 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di

Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 40-45.

Page 262: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

227

Pembentukan ICMI pada 7 Desember 1990 di Kampus Universitas

Brawijaya, Malang, dianggap sebagai momentum sejarah penting bagi umat

Islam. Perkembangan itu tidak saja berarti mulai mencairnya hubungan Islam dan

negara melainkan juga telah ditemukannya rumusan mengenai hubungan Islam

dengan negara yang integral dan sesuai dengan kultur Indonesia.77 ICMI

menandai era baru umat Islam setelah periode lama yang dicirikan oleh adanya

kendala ideologis dan psikologis antara umat Islam dan negara. Dengan demikian

ICMI mempunyai dwi makna politis: pertama, dari sudut pemerintah, hal ini

berarti bertambahnya dukungan politis. Kedua berarti pula terbukanya peluang

lebih besar bagi umat Islam untuk turut berpartisipasi dalam perpolitikan negara.

Sikap pro dan kontra terhadap keberadaan ICMI di kancah perpolitikan

Indonesia menunjukkan betapa organisasi ini mempunyai bobot politis yang

tinggi. Walaupun secara tegas Ketua ICMI, Prof. Dr. B. J. Habibie, pada tanggal

10 September 1993 menyatakan bahwa ICMI bukanlah sebuah kekuatan politik

dan tentu saja bukan merupakan sebuah partai politik baru. ICMI merupakan

sebuah organisasi intelektual yang berusaha untuk mengembangkan sumber daya

manusia Indonesia.78 Hal ini juga disebabkan karena ICMI menjadi wadah

peleburan berbagai kelompok dan aliran di kalangan umat Islam, seperti NU,

Muhammadiyah, DDII, dan Persatuan Islam (Persis).

6) Budaya

Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia yang memiliki budaya hidup

kebersamaan dan kegotong royongan, sesuai dengan motivasi konstitusi terhadap

Perbankan Syariah, itu dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD yang berbunyi:

"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

77Jamhari, “Islam di Indonesia”, 362. 78Darul Aqsha, et.al., Islam in Indonesia: A Survey of Events and Development From 1988 to

March 1993, Jakarta: INIS, 1995), 275.

Page 263: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

228

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional." Institusi ekonomi yang paling tepat untuk

menerjemahkan hal di atas adalah Perbankan Syariah, karena (1) sesuai dengan

aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang sebagian

besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (asas demokrasi

ekonomi), (2) Perbankan Syariah mengutamakan kemajuan bersama daripada

kemajuan individu (asas kebersamaan), (3) Perbankan Syariah sangat cocok

sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat

menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri (asas keadilan dan

kemandirian), (4) Perbankan Syariah tidak boleh mendukung atau bermitra

dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan

(asas keberlanjutan dan lingkungan), (5) Perbankan Syariah menggabungkan

antara tuntutan duniawi dengan tuntutan ukhrawi (asas keseimbangan), serta (6)

Perbankan Syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok

dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya

manusia (asas kesatuan ekonomi nasional dan kegotong royongan).79

Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai

terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu

dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan,

kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Perbankan Syariah merupakan satu-

satunya institusi yang paling tepat untuk menerjemahkan tujuan pembangunan

nasional di atas dalam kehidupan nyata.

Disamping itu, kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa Perbankan

Syariah semakin meningkat, seiring dengan kesadaran masyarakat muslim dan

bahkan non-muslim bahwa jasa-jasa Perbankan Syariah lebih sesuai dengan

kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan masyarakat terhadap Perbankan Syariah

semakin meningkat manakala kita melihat bahwa sebagian besar dari mereka

79Zubaisri Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 11-12.

Page 264: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

229

adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nah, sistem yang

cocok untuk mengembangkan UMKM adalah sistem bagi hasil dan bagi risiko

yang biasa dilaksanakan oleh Perbankan Syariah.

b. Faktor Eksternal

Pada awalnya bertepatan dengan surplus neraca pembayaran yang sangat

besar pada negara-negara muslim pengekspor minyak, yang dikenal sebagai “oil

booming” pada dekade 70-an. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-

faktor yang lain, seperti keinginan perubahan terhadap system sosio-politik dan

ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan kepribadian Islam yang

lebih kuat. Sekaligus sebagai upaya reformasi makro ekonomi dan reformasi

struktural dalam sistem keuangan negara-negara muslim.80

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret

1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli

1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu

di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank

tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada

pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di

Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development

Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara

anggota OKI .

Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam

bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia,

Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam

yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank

Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir

dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for

80M. Umer Capra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press & TazkiaCendekia,

2000), Edisi terjemah, 2.

Page 265: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

230

Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for

Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international

holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment

Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic

Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan

Islamic Investment House (Amman).81

Bank Myt Ghamr maupun Bank Sosial Nasr itu ternyata memberikan

inspirasi umat di Dunia Islam. Lalu pada tahun 1973, justru lahir Bank Amanah di

Philipina, yang lahir juga di sebuah negara sekuler yang sebagian besar

penduduknya beragama Kristen Katholik. Tapi pemrakarsanya adalah masyarakat

cendekiawan dan profesional. Bank ini ternyata tidak “diganggu” oleh pemerintah

dalam suatu negara sekuler. Kemudian di Pakistan, sebuah negara Islam,

pemerintah pada tahun 1979, menghapuskan sistem tiga lembaga keuangan non-

bank, yaitu National Investment, House Building Finance Corporation dan

Mutual Funds of the Investment Corporation untuk diganti dengan sistem non-

ribawi. Kebijaksanaan ini dilanjutkan dengan dikeluarkannya UU perusahaan

Mud arabah dan Murabah ah pada tahun 1981, yang memungkinkan

beroperasinya 7.000 cabang bank komersial di seluruh Pakistan berdasarkan

syari’ah. Ini juga sebuah contoh pelaksanaan syari’at Islam yang cepat meluas

karena campur tangan pemerintah. Dengan demikian, memang ada alasannya bagi

gerakan Islam untuk “mengislamkan” negara atau pemerintah, walaupun secara

parsial atau gradual.

Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya

Islamic Develompmen Bank (IDB) pada tahun 1975, yang berpusat di Jedah.

Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (The World Bank) dan Bank

Pembangunan Asia (ADB, Asian Development Bank) ini dibentuk oleh organisasi

Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam,

81M. Dawam Rahardjo, xvi

Page 266: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

231

termasuk Indonesia. Ini adalah juga sebuah kasus di mana negara berperan

instrumental dalam pembentukan bank pembangunan Islam dengan modal yang

cukup besar, pemerintah Indonesia termasuk salah satu pemegang saham dan

Menteri Keuangan mendapat kedudukan di jajaran Dewan Gubernur. Proyek

semacam ini malahan tidak mungkin dilaksanakan oleh sektor swasta, apalagi

civil society, yang merupakan sektor ketiga (the third sector).

Berdirinya IDB ini kemudian memicu berdirinya bank-bank Islam di

seluruh dunia, termasuk di kawasan Eropa. Di Timur Tengah, bank-bank Islam

bermunculan pada belahan kedua dasawarsa ’70-an, Misalnya Dubai Islamic

Bank (1975) Kuwait Finance House (1977). Di Iran, Islamisasi sistem perbankan

dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran. Di Asia

Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal dasawarsa ’80-an,

dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983, yang

menjelang tahun 2000, telah mengembangkan 70 cabang di seluruh Malaysia.

BIMB sekses terutama berkat kerjasama dengan lembaga urusan dan Tabung

Haji. Sukses BIMB itu mendorong lahirnya bank-bank Islam yang serupa.82

Di Indonesia, bank Islam pertama, bank Mu’amalat Indonesia (BMI) baru

bisa didirikan pada tahun 1991, padahal pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi

sejak dasawarsa ’70-an. Penghalangnya adalah faktor politik, yaitu bahwa

pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan negara

Islam. Berdirinya BMI juga karena faktor politik, yaitu setelah kelahiran ICMI

yang kemudian merangkul Majelis Ulama Indonesia (MUI). Semula tidak

disetujui pendirian bank Islam adalah karena di dasarkan pada UU yang tidak

mengenal sistem perbankan tanpa bunga. Tapi, karena sikap pemerintah, terutama

setelah mendapat persetujuan Presiden Soeharto pada waktu itu, maka BMI dapat

berdiri. Bahkan Presiden Soeharto sendiri ikut serta mengumpulkan modal

82 A. Riawan Amin, Manata Perbankan Syariah di Indondsia, 87

Page 267: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

232

awalnya. Peranan Pemerintah dalam permodalan sangat penting, antara lain

dengan meminta BUMN ikut serta menjadi pemegang saham.83

1) Politik

Faktor pendorong berdirinya perbankan syariah ini dari kenyataan bahwa

negara-negara muslim khususnya, dan negara sekuler umumnya telah membuka

dan mengopersikan bank prinsip bagi hasil. Untuk itu Indonesia sebagai negara

muslim terbesar kedua di dunia merasa tergugah hatinya dan terbuka

pandangannya bahwa Indonesia telah banyak memperoleh bantuan dari bank

Islam di dunia.

Setelah didirikannya bank syariah di Indonesia, IDB memberikan bantuan

keterampilan teknis kepada calon pengelola Bank Muamalat Indonesia, juga

mensponsori kajian-kajian/seminar yang dibutuhkan untuk pendirian bank syariah

di Indonesia. Khusus bantuan-bantuan yang diberikan IDB yang tertuang dalam

anggaran dasarnya, Article 2 ayat (xi) pada butir 103 berbunyi IDB memberikan

bantuan teknis, baik dalam bentuk penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi

dan perbankan syariah seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk

tenaga perbankan yang belajar di bank syariah serta tenaga ahli bank syariah yang

baru berdiri.84

Bantuan IDB kepada Indonesia sampai akhir 1991 berjumlah ID 50,74

juta (US$ 64,05 juta). Kendatipun bantuan dan fasilitas yang diberikan IDB tidak

sebesar lembaga moneter internasional lain seperti IMF namun bantuan itu

menjadi cukup penting karena tiga faktor. Pertama, IDB dalam memberikan

bantuan pinjaman terhadap negara anggotanya, termasuk Indonesia, boleh

dikatakan tidak memungut bunga pinjaman, dan kalaupun ada beban tambahan

tak lebih dari ongkos administrasi yang tidak besar dibandingkan bunga pinjaman

lembaga moneter multiiteral lain. Kedua, bila bantuan moneter internasional yang

83A. Riawan Amin, 88 84Karnaen Perwataatmaja dan Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, 67.

Page 268: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

233

didominasi barat acap kali mengaitkan bantuan dan pinjaman dengan isu Hak

Asasi Manusia (HAM) dan sejenisnya, tidak demikian halnya bagi IDB yang

nyaris tidak tepengaruh oleh persoalan isu HAM di Indonesia. Malahan barang

kali IDB lebih sensitif terhadap persoalan umat Islam di negara anggotanya.

Ketiga: dengan mulai masuknya Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru

dikawasan Asia jelas membuat Negara RI tidak lagi mudah mendapatkan bantuan

internasional berupa hibah atau pinjaman lunak sebagaimana telah diperolehnya

ketika awal pemerintahan orde baru ketika menghadapi perekonomian yang porak

poranda. Bagaimanapun strategi pemerintah orde baru yang mengabdikan politik

bagi pertumbuhan ekonomi selama empat dekade telah mengakibatkan

transformasi ekonomi sosial yang fundamental dibandingkan awal kemunculan

pemerintahan Soeharto. Bila pada 1967 GDP Indonesia perkapita hanya US$ 70

dengan rate inflasi tiga digit (650%), pada dekade 1990-an GNP perkapita

mencapai US$ 645. prestasi Indonesia menjadi young economic tiger (macan

ekonomi muda) atau new-NIC ( negara industri baru) di kawasan Asia.85

Kendati kucuran IDB ke Indonesia tidak begitu besar, tetapi menjadi

cukup berarti ditengah kesuraman sumber ekonominya, ibarat mata air yang

menyejukkan dimusim kemarau yang panjang. Ditambah lagi dengan kelangkaan

sumber-sumber pembiayaan pembangunan di Indonesia akibat kemerosotan harga

minyak di pasar internasional dekade 1980-an dan sesudahnya.

2) Ekonomi

Masyarakat dunia Islam menginginkan keluar dari jeratan pengaruh yang

mencengkeram dari sistem kapitalisme. Serangkaian krisis bertubi-tubi yang

dialami sistem keuangan internasional sepanjang dua dekade terakhir –yang telah

memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem

keuangan- juga telah memberikan angin segar bagi pengembangan sistem

keuangan Islami. Sistem keuangan Islami diharapkan mampu menyuntikan

85A. Riawan Amin, 91.

Page 269: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

234

disiplin sekaligus mendorong untuk terpenuhinya regulasi dan supervise yang

prudensial pada industri keuangan. Fenomena-fenomena ini setidaknya yang

kemudian juga mendorong Bank-bank Islami dalam jumlah yang banyak

bermunculan di seluruh penjuru dunia sepanjang 30 tahun terakhir.86

Faktor hubungan ekonomi dengan negara-negara di dunia, khususnya

peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan finansial,

berupa petro-dolar pada negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika

Utara, termasuk Indonesia, Malaysia dan Brunei di Asia Tenggara. Melihat gejala

itu timbul pemikiran untuk “memutar” dana petro-dolar tersebut melalui lembaga

keuangan syari’ah.87

Sebelum berdirinya BMI, Indonesia telah lama memanfaatkan bantuan

dari IDB itu. Misalnya pada tahun 1982 Indonesia mulai berusaha

mengoptimalakan bantuan dana IDB dan dalam bentuk Line of Equity dan Line of

Instaltment Sale melalui Bank pembangunan Indonesia (BAPINDO). Line of

Equity adalah penyertaan modal melalui Bank/Lembaga Keuangan nasional di

Negara anggota yang disebut sebagai National Development Financial Institution

(NDFI). Cukup menarik, penggunaan fasilitas IDB itu nampak dijalin bersamaan

dengan adanya gejala menurunnya harga minyak di pasaran yang menyusutkan

penghasilan Indonesia sebesar RP. 1,5 Trilyun. Dalam kesepakatan tersebut

Bapindo ditunjuk untuk menyalurkan fasilitas IDB dalam bentuk Line of Equity

dan Line Instalment sale sebesar US$ 5 juta untuk pengusaha lemah berupa

penyertaan modal paling rendah US$ 100.000 dan paling tinggi US$ 2 juta.

Pada Desember 1988, Indonesia juga memperoleh Fasilitas dan bantuan

IDB dalam Usaha meningkatkan ekspor non migas terutama ke negara-negara

anggota IDB. Fasilitas yang diberikan berupa longer Term Trade Financing

schema (LTTFS), memberikan fasilitas, yaitu suatu fasilitas untuk mendorong

86M. Umer Chapra & Habib Ahmed, Corporate Governance in Islamic Financial Institution (Jeddah: Ocasional Paper IDB, 2002), 1

87M. Dawam Rahardjo, xvi

Page 270: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

235

ekspor negara anggota dengan cara memberikan fasilitas pembiayaan ekspor ke

negara-negara anggota OKI dengan jangka waktu 2 sampai 5 tahun. Rentang

waktu itu dapat dimanfaatkan eksportir dalam negeri untuk menutup kontrak

jangka panjang.88

Selain itu, ada fasilitas atau bantuan lain dari IDB yang dimanfaatkan

Indonesia, antara lain penyertaan modal langsung untuk proyek-proyek investasi

bernilai diatas US$ 2 juta. Contohnya PT. Semen Andalas di Aceh sebesar ID

8.34 juta dan PT.Sumatera Subur Tekstil (Sumatex Subur) ID 3,50 juta – 1

Islamic Dollar (ID) setara dengan satu SDR Special Drawing Right. Dalam

hubungannya dengan perbankan di Indonesia, IDB telah menunjuk bank milik

Bapindo untuk menjadi agent line of instalment sale untuk proyek-proyek

investasi di atas US $100.000. jumlah dana dari IDB yang disalurkan pada

Bapindo baru saja mengalami guncangan hebat akibat mega skandal Eddy Tanzil

senilai RP 1,3 Trilyun yang melibatkan JB. Sumarlin dan Sudomo. Tambahan

suntikan dana dari IDB yang diharapkan bisa membantu memulihkan kredibilitas

Bapindo itu nampaknya tidak terlepas dari peran yang dimainkan Mar’ie

Muhammad yang baru saja diangkat sebagai Menteri Keuangan RI yang juga

memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Gubernur IDB.

IDB membiayai pula proyek-proyek pembangunan prasarana ekonomi,

seperti irigasi, bendungan, jalan dengan fasilitas dari IDB yang lebih lunak

dibanding lembaga moneter Internasional lain. Untuk proyek prasarana perikanan,

IDB meminjamkan dana senilai 700 juta ID, proyek transmigrasi Sulawesi

Selatan sebesar 800 juta ID, dan beberapa pinjaman dan bantuan yang lain. IDB

juga telah menyetujui pemberian fasilitas Instalment sale atau kredit pengadaan

barang modal dengan pembayaran cicilan setiap 6 bulan untuk waktu 7 sampai 10

tahun kepada gabungan koperasi Batik Indonesia (GKBI) sebesar US$ 10 Juta.

88A. Riawan Amin, 90

Page 271: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

236

B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah

Dalam proses pembuatan undang-undang haruslah sesuai dengan

semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan aspirasi rakyat. Sedangkan lembaga

negara pembuat hukum dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yakni, lembaga

legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga pembuat hukum, dengan akses

informasi lengkap didukung oleh pakar dimana undang-undang tersebut dibuat

tetap berkoordinasi dengan parlemen. Selanjutnya, selain mitra presiden dalam

membuat undang-undang, parlemen juga mempunyai pengawasan. Sedangkan

pengadilan ada pembuat hukum yakni hakim, institusi negara ini juga aktif dan

produktif dalam membuat hukum dengan keputusan-keputusan hakim yang

dianggap mempunyai dasar hukum yang kuat.

Selain institusi negara diatas pembuat hukum juga berasal dari institusi

masyarakat, diantaranya; institusi masyarakat adat, institusi hukum dalam

praktek, serta lembaga riset hukum dan perguruan tinggi. Proses pembuatan

hukum ini dapat berlangsung dan diawali dengan pembentukan hukum

perundang-undangan, pembentukan hukum yurisprudensi, pembentukan hukum

adat, dan lain sebagainya. Menurut George Jellinek (1851-1911) berdasarkan

penggolongannya lembaga dibedakan menjadi 2 (dua) anatara lain; lembaga

negara utama atau lembaga negara primer, yaitu lembaga negara yang dibentuk

untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,

yudikatif), dan lembaga negara sekunder yaitu lembaga negara yang dibentuk

untuk memperkuat lembaga negara utama dalam menjalankan kekuasaannya.

Sehubungan dengan kewenangan DPR yang identik dengan pembuat

undang-undang, maka penyusunan undang-undang di era reformasi ini diatur

sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan, oleh karena itu Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan pembaruan sejarah dengan melakukan

amandemen yang berkaitan dengan konstitusi yang selama ini dianggap sakral,

agar ada dasar hukum yang tepat bagi DPR dalam menyusun undang-undang,

Page 272: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

237

pembuatan dan penyusunan Undang-undang sebelum perubahan Undang-Undang

Dasar 1945 berbeda dengan setelah perubahannya. Untuk lebih hematnya, peneliti

hanya menjelaskan mekanisme pembuatan Undang-undang setelah perubahan

Undang-Undang Dasar 1945, Pembuatan Undang-undang setelah perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 memiliki empat tahap, yakni;

a. Pengajuan dan Pemabahasan Rancangan Undang-Undang (RUU)89

Pemabahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari Presiden

dan DPR. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan perubahan

memberikan hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang

tidak dinyatakan secara eksplisit dalam rumusan pasal. Hak mengajukan RUU ini

timbul dari kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-

undang. Karena DPR adalah sebuah lembaga perwakilan tentunya kekuasaan

untuk membuat undang-undang tersebut juga tercerminkan dalam hak-hak yang

dimiliki oleh anggota DPR,90 dan untuk itu Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945

hasil perubahan memberikan hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan

undang-undang. Sebagai sebuah usul tentunya rancangan undang-undang yang

datang dari anggota tersebut haruslah dibahas oleh DPR untuk disetujui sebagai

rancangan DPR.

Pada masa sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945,

hak untuk mengajukan RUU oleh DPR disebut sebagai hak inisiatif. Tentunya hal

ini tepat, karena kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan Presiden.

Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 penggunaan hak inisiatif

sebagai hak DPR tidaklah tepat lagi karena memang fungsi utama DPR adalah

89Selanjutnya istilah Rancangan Undang-Undang penulis singkat RUU. 90Perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi

dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui Pemilihan Umum, sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur (regulasi) itu dari produk legislasi yang bersangkutan. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Jakarta: Konspres, 2006), cet, ke-1, 27.

Page 273: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

238

hak legislasi. Hak inisiatif seharusnya dimaknai sebagai hak anggota DPR untuk

mengajukan usul RUU,91 atau hak Presiden untuk mengajukan RUU.

Pembahasan bersama suatu RUU antara Presiden dan DPR adalah

ketentuan konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh pasal 20 ayat (2). Oleh karena

itu pembahasan bersama menjadi syarat formal bagi sahnya sebuah undang-

undang. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum perubahan dimana

pembahasan bersama tidaklah merupakan syarat syarat konstitusionalitas sebuah

undang-undang. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum

perubahan menyatakan” Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh

dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.

Ketentuan ini jelas mengatur perihal persetujuan DPR terhadap sebuah

rancangan undang-undang, sehingga forum untuk memberikan persetujuan ini

adalah forum internal DPR, bukan merupakan forum DPR bersama Presiden

untuk melakukan pembahasan RUU. Dengan ketentuan Undang-Undang Dasar

1945 sebelum perubahan tersebut DPR dapat melakukan sidang sendiri tanpa

melibatkan Presiden untuk satu agenda saja yaitu membahas RUU yang diajukan

Presiden dan mengambil putusan guna menolak atau menyetujui RUU yang

diajukan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 21 ayat(2) Undang-Undang Dasar 1945

sebelum perubahanpun menyiratkan bahwa sebuah forum pembahasan bersama

antara Presiden dan DPR bukan merupakan syarat konstitusional bagi syahnya

undang-undang. Ketentuan tersebut berbunyi” jika rancangan itu, meskipun

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh Presiden, maka

rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan

91Seperti ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam peaturan tata tertib. Seperti halnya Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang, para anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri itu mencukupi jumlah persyaratan minimal yang ditentukan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), cet, ke-2, 135.

Page 274: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

239

Rakyat masa itu”. Dengan adanya ketentuan ini maka Presiden secara sepihak

tanpa pembahasan bersama dengan DPR dapat langsung mengesahkan atau tidak

mengesahkan RUU yang diajukan DPR kepada Presiden.

b. Tahap Persetujuan Bersama terhadap RUU

Sebuah forum untuk melakukan pembahasan bersama terhadap RUU yang

dilakukan oleh Presiden dan DPR dengan demikian adalah sangat penting dan

bahkan menjadi syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Syarat

berikutnya adalah bahwa dalam pembahasan bersama tersebut dicapai persetujuan

bersama. Persetujuan bersama tersebut seharusnya menyangkut dua hal yaitu (i)

aspek formal dan (ii) aspek substansi yang saling berkait. Dari aspek formal

harusnya pembahasan tersebut menghasilkan sebuah naskah kesepakatan terhadap

hal-hal yang telah disetujui bersama dimanakedua belah pihak membubuhkan

tanda persetujuannya. Sedangkan dari aspek substansi, menampung hal-hal yang

dituangkan dalam naskah kesepakatan yang merupakan substansi hasil

pembahasan bersama. Dalam hal pembahasan bersama,tujuan tersebut belum atau

tidak dapat menghasilkan kesepakatan bersama terhadap RUU yang diajukan,

tentunya naskah kesepakatan atau persetujuan tersebut belum atau tidak dapat

dirumuskan. Naskah inisangat penting karena proses pembuatan undang-undang

secara konstitusional akan terkait dengan hasil persetujuan bersama Presiden dan

DPR yang telah tertuang dalam naskah tersebut sebagaimana tercermin dalam

tahapan ini. Apabila ternyata antara Presiden dan DPR tidak berhasil mencapai

persetujuan bersama terhadap materi RUU yang dibahas dalam suatu kurun masa

persidangan, maka ketentuan Pasal 20 ayat (3) melarang RUU tersebut diajukan

kembali dalam persidangan DPR masa itu.

c. Pengesahan RUU Perbankan Syariah Menjadi Undang-Undang

Page 275: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

240

Proses konstitusional yang disyaratkan agar RUU sah menjadi undang-

undang, pengaturan hukumnya terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD

1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 setelah

perubahan. Pasal 20 ayat (4) menyatakan“ Presiden mengesahkan rancangan

undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.

Dengan adanya ketentuan ini, berubahnya rancangan undang-undang menjadi

undang-undang adalah karena adanya perbuatan Presiden untuk mengesahkan

undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang. Di

pihak lain, UUD 1945 memberikan alternatif kapan sebuah RUU yang telah

disetujui bersama Presiden dan DPR berubah statusnya secara sah menjadi

undang-undang. Waktu itu adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20

ayat (5) yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah

disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari

semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang

tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

Dari dua ketentuan tersebut ternyata RUU yang disetujui bersama oleh

Presiden dan DPR sangatlah penting, karena dari RUU ini undang-undang lahir

baik karena adanya pengesahan Presiden maupun karena lewat waktu 30 (tiga

puluh) hari sejak adanya persetujuan. Sebuah RUU yang sah menjadi undang-

undang karena lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui

bersama, tidak memerlukan perbuatan Presiden lagi atau dapat dikatakan RUU

tersebut demi hukum telah berubah menjadi undang-undang.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-

Undang Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang

dipimpin oleh ketua DPR, Agung Laksono di ruang Rapat Paripurna, Gedung

Nusantara II, Selasa 17 Juni 2008. Beberapa fraksi dalam pandangannya menilai

perbankan syariah dapat memberi kontribusi dalam perekonomian nasional. 92

92dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 1

Page 276: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

241

Juru bicara F. PAN, Nurul Falah, mengutarakan pendapatnya bahwa “pada

saat ini perbankan syariah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam

upaya menumbuh kembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai

keadilan. Disamping itu, ia menilai bahwa keberadaan perbankan syariah

memberikan sumbangsih yang cukup sidnifikan pula untuk menggerakkan

berbagai sektor perekonomian Indonesia terutama sektor usaha menengah, kecil

dan mikro”.

Sedangkan juru bicara F-PKB, Arsa Suthisna menilai bahwa ‘perbankan

syariah yang masih berusia muda masih mempunyai kelemahan terutama pada

keterbatasan kuwalitas dan kwantitas sumber daya mansuia. Untuk itu perbankan

syariah harus mempersiapkan sumber daya yang mumpuni yang memmiliki

integritas, moralitas serta komitmen yang tinggi. Selanjutnya ia meminta agar

dilakukan sosialisasi terhadap perbankan syariah, karena pemahaman masyarakat

masih sangat rendah terhadap produk maupun perbedaannya dengan perbankan

konvensional.”

Tukijo, juru bicara F-PDIP, menilai bahwa ‘perbankan syariah mengalami

peningkatan yang pesat dan mendapat respon yang positif dari pihak industri jasa

perbankan. Untuk itu pernakna syariah tidak boleh berdiri secara eksklusif

membatasi pihak yang akan terkait dengan penggunaan jasa perbankan syariah,

melainkan harus terbuka untuk kepentingan semua lapisan masyarakat”.

F-PG, melalui juru bicaranya, Harry Azhar Aziz menjelaskan bahwa

“orientasi dalam UU perbankan syariah adalah pada stabilitas sistem dengan

mengadopsi 25 Based Core Priciples for Effective Banking Suoervision terutama

terkait dengan perizinan, prudential, kewajiban pengelolaan resiko, pembinaan

dan pengawasan, dan jejaring pengaman sistem perbankan syariah. Fraksi ini juga

menilai dengan adanya prinsip tersebut maka RUU perbankan syariah akan

memiliki aspek kepatuhan syaria, perlindungan konsumen, kenyamanan iklim

investasi dan kepastian usaha serta stabilitas perbankan secara keseluruhan”.

Page 277: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

242

Menurut F-PPP, dengan juru bicaranya Sofyan Usman keberadaan UU

Perbankan Syariah sudah sangan mendesak dan telah lama dinanti-nanti berbagai

kalangan karena perbankaan syariah di Indonesia sudah cukup lama beroperasi

dan megalami perkembangan yang sangat pesat. Ini menunjukkan adanya minat

berbagai kalangandalam memnggunakan jasa perbankan syariah sehingga harus

dijawan dengan memberikan ruang yang semakin terbukadan berkembang”.

Tata Zainul Muttaqin dari F-PD menilai bahwa perbankan syariah

merupakan salah satu wujud untuk memulihkan perekonomian nasional melalui

investasi dalam dunia perbankan syariah khususnya investasi dari luar negeri

terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah. Oleh karena itu perlu

pengaturan yang lebih rinci dan lebih jelas lagi tentang perbankan syariah”.93

F-FBR dengan juru bicara, Zainul Abidin menjelaskan bahwa siapa saja

dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah. Ketika krisis moneter melanda

Indonesia pada pertengahan 1997, sisten syariah telah meberikan manfaat bagi

banyak kalangan. Ini menjadi salah satu fakta bahwa bank syariah di Indonesia

memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan dan pertumbuhan

perekonomian negara”.

Sedangkan, F-PKS melalui juru bicara Mustafa Kamal berharap dalam

pelaksanaan perbankan syariah harus diikut dengan keberpihakan yang lebih

besar dan nyata dalam hal penyaluran dana bagi usaha kecil dan menengah sera

kemudahan akses dana bantuan bagi UMKM. Sehingga mampu menggerakkan

sektor riil dan meiliki manfaat yang lebi besarbagi terciptanya kemakmurandan

kesejahteraan rakyat”.

Lebih sederhana lagi pandangan dari F-BPD menyatakan setuju RUU ini

disahkan menjadi Undang-Undang.

Namun demikian, tidak semua Fraksi menyetujui UU perbankan syariah

disahkan menjadi UU. Dari 10 fraksi yang ada di DPR, satu diantaranya F-PDS

93dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 2 (Diakses Tanggal 21 Februari 2010)

Page 278: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

243

menolak RUU Perbankan Syariah disahkan, dengan alasan bahwa perbankan

syariah tidak sesuai dengan hukum dasar Indonesia yaitu Pancasila dan UUD

1045. Fraksi tersebut melalui juru bicaranya, Retna Rosmanita Situmorang,

menyampaikan bahwa “informasi di beberapa negara yang ia ketahui, terbukti

bahwa produk perbankan syariah tidak dalam bentuk Undang-undang, hany

merupakan turunan dari undng-undang perbankan yang ada, bukan dalam

undang-undang yang khusus.”94

Dari pihak Pemerintah, Menteri Agama , Maftuh Basyuni, “berharap

dengan disahkannya UU Perbankan Syariah dapat mendorong industri perbankan

dalam negeri untuh tumbuh dan berkembang lebih baik. Kami berharap segera

disusun aturan pelaksanaan UU ini oleh Bank Indonesia.”

Kini payung hukum perbankan syariah yang diharapkan oleh masyarakat,

khusunya umat Islam telah hadir dihadapan bangsa Indonesia. Eksistensi

perbankan syariah telah menjadi kuat. Penantian yang panjang itu pun telah

berakhir. Setelah enam tahun, DPR bersama Pemerintah bersepakat mengesahkan

RUU perbankan Syariah menjadi undang-undang perbankan syariah. Lamanya

penantian ini membuat kalangan praktisi sempat tidak terlalu memikirkan

Undang-undang itu, karena seperti diketahui bahwa tanpa Undang-Undang pun,

perbankan syariah sudah eksis.95

PERJALANAN USUL UU INISIATIF PERBANKAN SYARIAH

94dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 3. , 2 (Diakses Tanggal 21 Februari 2010) 95http://www.pk-sejahtera.org/v2/indek.php?op=isi&id=5197. (Diakses Tgl, 21 Februari

Page 279: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

244

DPR (13 September 2005)

RUU beserta Penjelasan dan Naskah Akademik 1 2

Naskah akademik dibuat oleh DPR Bamus (27 Oktober

2005) 3

d. Tahap Pengundangan

Paripurna Pendapat Fraksi-fraksi

(27 September 2005) 4 5

Diserahkan kepada Komisi XI

6

Rapat Kerja (21 Maret 2008) 8

Pemerintah (5 Januari 2007) 7

DIM Pemerintah 10

Raker Menteri Keuangan, Menteri Agama dan Menteri

Hukum dan HAM

Penjelasan DPR dan Tanggapan Pemerintah

9

Penyisipan DIM Pemerintah 11

FDS Menolak RUU 12

Panga (11 Februari 2008)

13

Timus / Timsin 14

Pendapat Pemerintah 15

Pendapat Mini Fraksi-fraksi (6 Juni 2008)

16

Bamus (5 Juni 2008) 17

FDS tetap menolak RUU

Paripurna (17 Juni 2008) 18

PA Pemerintah

19

PA Fraksi-fraksi

19

Pengesahan Menjadi UU 20

Page 280: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

245

Ketentuan tentang pengundangan Undang-undang dalam UUD 1945

disinggung dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur tentang RUU yang

tidak disahkan oleh Presiden dengan menyatakan ”wajib diundangkan”. Hal

demikian tentulah tidak dimaksudkan bahwa yang wajib diundangkan hanya

RUU yang menjadi undang-undang karena berdasarkan Pasal 20 ayat (5) saja.

RUU yang menjadi UU karena pengesahan Presiden pun wajib untuk

diundangkan. UUD 1945 menentukan aturan yang khusus tentang pengundangan

dan dengan adanya Pasal 22A UUD yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih

lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-

undang”.96 Dengan demikian maka tata cara pengundangan dapat diatur dalam

undang-undang yang melaksanakan Pasal 22A tersebut.

Dasar hukum dalam keempat tahap tersebut diatas diatur dalam Undang-

undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Naskah RUU yang disetujui bersama tersebut seharusnya memuat

didalamnya: (1) Subtansi undang-undang yang tertuang dalam rumusan ketentuan

yang telah disepakati antara Presiden dan DPR. Hal ini diperlukan untuk menjadi

bukti otentik tentang hal-hal yang telah disetujui. (2) Bukti DPR dan Presiden

bahwa telah menyutujui bersama subtansi undang-undang dengan cara

pembubuhan tandatangan Presiden dan Ketua DPR sebagai institusi. (3)

Momentum atau waktu kapan persetujuan tersebut dicapai yaitu saat

ditandatangani oleh Presiden dan Ketua DPR.

C. Perspektif Hukum Islam

Hukum yang dibuat atau dirancang oleh manusia (man-made) hanya

ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, tidak

sebagai individu, disebut hukum duniawi. Dalam tata aturan hukum duniawi,

96Lihat Harjono dalam Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer; Pembuatan Undang-undang Menurut Undang-Undang Dasar (Jakarta: The Biography Institute, 2007), cet, ke-1, 135.

Page 281: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

246

aturan yang berkaitan dengan pribadi tidak dinamakan hukum melainkan norma

“moral”, “budi pekerti” atau “susila”. Dalam hal ini, hukum yang bersifat

duniawi adalah hukum sebagai hasil proses kehidupan manusia dalam

bermasyarakat, seperti diutarakan oleh Cicero bahwa “dimana ada masyarkat di

sana ada hukum” (Ubi societies ibi ius).97

Berbeda halnya dengan hukum Islam yang dibangun berdasarkan

pemahaman manusia terhadap Al-Qur’ân al-Karim dan al-Sunnah. Al-Qur’ân

diturunkan kepada manusia sebagai syari’at Islam untuk mengatur kehidupan

manusia, baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat, relevan

untuk setiap tempat dan waktu (fî kulli makânin wa zamânin). Hal itu bergantung

kepada kemampuan manusia dalam memberikan interpretasi akan kekayaan

makna kandungan al-Qur’ân itu sendiri.

Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam yang berlaku bagi orang

Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya. Sedangkan hukum nasional

adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu, di suatu Negara nasional

tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum

yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi

penduduk Indonesia terutama warga Negara republik Indonesia, sebagai

pengganti hukum kolonial dahulu. Jadi, hukum Islam yang

Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlakukan politik

hukum tertentu. Politik hukum nasional Indonesia, pokok-pokoknya ditetapkan

dalan garis Besar haluan Negara, dirinci lebih lanjut oleh menteri kehakiman

Republik Indonesia untuk melaksanakannya, telah didirikan satu lembaga yang

(kini) bernama badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) atau Babinkumnas.

97Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), Cetakan kedua, 65.

Page 282: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

247

Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan, dimasa yang akan

datang akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.98

Setelah disahkan dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang

Hukum Perbankan Syariah, kini hukum Islam telah menjadi bagian dari hukum

positif yang berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia dengan tidak

memandang agama apa yang ia anut. Hukum ini digali didasarkan atas pemikiran

dan interpretasi para ulama dari yang terkandung di dalam al-Qur’ân dan al-

Sunnah yang dijadikan sebagai pedoman dengan memperhatikan unsur-unsur

budaya Islam yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Dalam perjalanan pembentukan hukum perbankan syariah ketika akan

dijadikan hukum nasional, banyak terjadi benturan-benturan politik yang

mengitari. Politik hukum nasional perbankan syariah adalah sebuah bentuk

produk kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap pembentukan hukum

perbankan syariah di Indonesia. Kemunculan poitik hukum perbankan syariah ini

banyak dipengaruhi oleh berbagai tuntutan, seperti yang diurai di atas, yang

antara lain:

1. Tuntutan Ideologi

Indonesia dengan dasar falsafahnya Pancasila dan pada sila yang pertama

disebutkan, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan bahwa Negara ini adalah

Negara yang didasarkan pada agama. Faktor inilah yang menandakan adanya

keterkaitan dengan agama khususnya adalah Islam. Untuk itu Islam mengajarkan

kepada umatnya agar senantiasa mengabdi dan hanya menyembah kepada Tuhan

yang Maha Esa yang telah menciptakan manusia.

Faktor tuntutan ideologi inilah yang menuntut perlu dibentuk sebuah

undang-undang yang mengatur kehidupan mengenai hukum perbankan yang

sesuai dengan nilai-nilai Islam.

98Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam di Indonesia

(Jakarta: PT. Rajgrafinda Persada, 2009), 266-267

Page 283: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

248

Al-Qur’ân, Q:S. 56:51, menunjukkan bahwa semua aktifitas yang

dilakukan oleh manusia dan jin harus didasarkan pada perintah Allâh, dan semata-

mata untuk beribadah kepada-Nya, termasuk ibadah yang mahd ah maupun ghairu

mahdah atau bermuamalat. Kegiatan-kegiatan itu harus diatur dengan sebuah

peraturan yang dituangkan dalam sebuah undang-undang atau hukum. Hal ini

dimaksudkan agar manusia tidak keluar dari tambatan atau ikatan yang telah

ditetapkan Allâh.

Kemudian ayat lain yang mengajak manusia agar semua kita menyembah

Tuhan yang telah menciptakannya sebagai kepentingan manusia bukan

kepentingan Tuhan agar mereka menjadi orang menikmati kehidupan dalam

ketenteraman dan kebahagiaan. (Q:S, 2:21)

2. Tuntutan Agama

Umat Islam berkewajiban mutlak untuk menegakkan hukum-hukum

Allâh yang turunkan di dalam al-Qur’ân melalui Nabi Muhammad saw.

Kewajiban menegakkan hukum Allâh ini tak lain bertujuan untuk menjadikan

kehidupan manusia yang bahagia, baik dalam kehidupan di dunia maupun di

akhirat. Bentuk penegakkan syariat Islam seperti yang contohkan Nabi Ibrahim

kepada anaknya (Isma’il) di dalam al-Qur’ân dengan tidak melihat siapa, ketika

itu meruakan perntah Allâh wajiblah dilaksanakan(Q:S. 37:102).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam menegakkam syariat

sebagai kewajiban tidak pernah memandang pangkat, hubungan keluarga atau

siapapun dia. Jika itu merupakan perintah dari Allâh, maka harus segera

dilaksanakan atau ditegakkan sesuai ketentuan dan aturan.

Negara-negara Islam, dengan berbagai latar belakang sedang menjalankan

langkah-langkah reformasi atas sistem perbankan dan keuangan mereka agar

sesuai dengan ajaran Islam. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim

saat ini adalah bagaimana mendisain dan menjalankan secara berkelanjutan sistem

perbankan dankeuangan yang sejalan dengan hakekat ideologi Islam,

Page 284: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

249

penghapusan riba, dan membantu mewujudkan tujuan sosial ekonomi Islam.

Disisi lain lembaga kredit yang merupakan sistem perbankan dan keuangan

kapitalis yang berdasarkan bunga, yang telah relatif kokoh diterapkan oleh

negara-negara Muslim selama dua abad terakhir dibawah pengaruh kolonialisme

telah berimplikasi buruk pada pembangunan. Hal inilah diantaranya yang

mendorong upaya untuk kembali membangun sistem keuangan dan perbankan

yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu eksistensi perbankan dan keuangan

syariah merupakan respon atas kerentanan system perekonomian, keuangan dan

perbankan dunia dewasa ini. Sistem ekonomi saat ini membutuhkan arsitektur

sistem perbankan dan keuangan yang kokoh dan tangguh.

Islam menyatakan dengan tegas mengenai larangan praktek riba. Kata

“riba” dalam al-Qur’ân disebut delapan kali dalam empat surat yang berbeda:

(Q:S. 2:275-276, 278). 275 terdiri dari 3 kata, 276 dan 278 masing-masing kata,

jadi 5 kata; Ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang makan (mengambil) riba

tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

lantaran (tekanan) penyakit gila, padahal Allâh Telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba.

a. (Q:S. 3:130), ayat ini menjelaskan kepada orang-orang yang beriman agar

tidak memakan riba yang berlipat ganda dan bagi orang yang telah

memakannya agar segera bertakwa kepada Allâh supaya mendapat

keberuntungan.

b. (Q:S. 4:161). Surat ini terdiri dari 1 kata, menjelaskan bahwa mereka

memakan riba, memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.

diantara mereka itu pasti akan mendapatkan siksa yang pedih.

c. (Q:S. 30:39). Surat ini terdiri dari 1 kata, yang mengutarakan bahwa

Allâh memberikan perbandingan antara riba dan zakat dimana riba itu

tidak akan menambahkan kepada harta orang yang melakukan riba,

Page 285: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

250

sedangkan zakat akan memberikan tambahan yang melimpah, disamping

pahala dan keridoan dari Allâh.

Begitu juga dalam Al-Hadith pelarangan dengan tegas mengenai riba:99

Dari Abu Sa`ad r.a., diceritakan : Pada suatu ketika, Bilal datang kepada

Rasulullah Saw. Membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw bertanya

kepadanya,” Kurma dari mana ini? Jawab Bilal, Kurma kita rendah mutunya

karena itu ku tukar dua gantung dengan satu gantung kurma ini untuk pangan

Nabi Saw”. Maka bersabda Rasulullah SAW. “Inilah yang disebut riba. Jangan

sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang

bagus), jual lebih dulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan

uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.”(H.R. Muslim)

Dari Jabir r.a., dikatakan : Rasulullah Saw. Mengutuk pemakan riba, yang

menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya.

Menurut beliau: Mereka itu sama saja (dosanya)

Setelah dilakukan pengkajian terhadap riba, ternyata, disamping berdosa

karena melanggar larangan atau ketentuan Allâh, juga pengaruhnya tehadap

perekonomian membawa implikasi yang besar pada kehidupan manusia.

Implikasinya antara lain:

1) Masyarakat sebagai nasabah menghadapi suatu ketidak pastian, bahwa

hasil perusahaan dari kredit yang diambilnya tidak dapat diramalkan

secara pasti. Sementara itu dia tetap wajib membayar persentase berupa

pangambilan sejumlah uang tertentu yang tetap berada diatas jumlah

pokok pinjaman. Selain itu hal ini akan semakin memberatkan nasabah

karena dengan penetapan persentase jumlah bunga akan menjadi kelipatan

perseratus dari sisa pinjaman dikalikan jangka waktu pinjaman. Sehingga

99 Shahih Muslim oleh Ma’mun Daud Jilid III, Bab Riba dalam buku Warkum Sumitro, Asas-

Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syari’ah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 11.

Page 286: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

251

dalam jangka waktu tertentu bisa terjadi suatu saat jumlah yang harus

dikembalikan nasabah berlipat ganda dari pokok pinjaman.100

Keadaan ini bertentangan dengan ketentuan Allâh, yang intinya bahwa

hanya Allâh yang dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi dimasa datang,

sedangkan manusia tidak akan bisa meramalnya. (Q:S, 31:34)

Maksudnya, manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang

akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka

diwajibkan berusaha.

2) Penerapan sistim bunga mengakibatkan eksploitasi (pemerasan) oleh

orang kaya terhadap orang miskin. Uang/modal besar yang dikuasai orang

kaya tidak disalurkan kedalam usaha-usaha produktif yang dapat

menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi modal besar itu justru

untuk kredit berbunga yang tidak produktif. Selain itu penerapan sistem

bunga akan mengakibatkan kebangkrutan usaha, dan pada gilirannya bisa

mengakibatkan keretakan kehidupan rumah tangga, jika peminjam tidak

mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.101 Al-Qur’ân

menerangkan bahwa hendaknya harta kekayaan itu tidak hanya berputar

pada orang-orang yang kaya saja, tetapi harus beredar untuk seluruh umat

manusia di bumi ini.

3) Sistem bunga tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan, karena bank

dengan perangkat bunganya kurang memberi peluang kepada kelompok

masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya yang lebih mandiri di

bidang ekonomi. Tetapi sebaliknya orang-orang miskin sebagai nasabah

semakin berjiwa konsumtif dan ketergantungannya semakin tinggi kepada

bank. Jika kreditnya habis untuk kepentingan-kepentingan konsumtif,

100Warkum Sumitro, Asas-Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan

Pasar Modal Syari’ah, 14. 101Warkum Sumitro, Asas-Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan

Pasar Modal Syari’ah, 14.

Page 287: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

252

langsung mengambil kredit lagi secara terus menerus. Bahkan

pengambilan kredit dilakukan diberbagai bank sehingga pada akhirnya

mereka akan terlilit utang bunga yang semakin besar. Bank-bank yang ada

sekarang dikatakan tidak berhasil didalam upaya pemerataan pendapatan,

karena pranata pembayaran bunga tetap menjamin arus sumber dari

debitur secara terus menerus kearah kreditur. Politik ekonomi Islam harus

menjamin adanya pekerjaan setiap individu. Dan sesungguhnya orang-

orang Islam bukan menrima sedekah (Mustahiqa) tapi yang seharusnya

menjadi pemberi sedekah atau zakat (Muzakki). Dalam al-Qur’ân,

ditegaskan mengenai pemabagian harta zakat untuk menjamin kehidupan

fakir miskin: Q:S. 09:60

Dari Abi Hurairah, dia berkata, Berkata Nabi saw. ”Sebaik-baiknya

sedekah adalah apa yang ditinggalkan orang kaya. Tangan yang di atas itu lebih

baik dari tangan yang di atas. Mulailah (memberi sedekah) dari orang yang

menjadi tanggunganmu.” Seorang wanita berkata: ”jika engkau memberi makan

aku, dan jika engkau menceraikan aku”. Seorang hamba berkata: ”berilah aku

makan dan suruhlah aku bekerja”. Dan seorang anak berkata: ”Berilah akau

makan hingga (tiada) seorangpun yang sedih (karena) aku”.102

Seperti diuraikan di atas bahwa sistem bunga tidak mampu memberantas

kemiskinan. Akhirnya bangsa Indonesia akan selalu bergantung kepada negara.

Sementara negara tidak memiliki kemampuan untuk menjaga dan memelihara

rakyatnya dari kemiskinan, dikarenakan pengelolaan bank atau sistem ekonomi

yang dilakukan oleh negara menggunakan sistem bunga, bukan sistem bagi hasil.

Islam menjamin atas segala usaha dan kebutuhan nafkah manusia. Al-Qur’ân

menjelaskan tentang itu. Q:S. 11:6, 67:11.

102 HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisya

Page 288: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

253

3. Tuntutan Politik Kekuasaan/Konflik Kepentingan

Jenderal Soeharto adalah seorang muslim yang baik, namun dia tidak

setuju dengan politik berdasarkan pada agama seperti yang diperjuangkan oleh

politisi santri NU.103 Akan tetapi karena berbagai pertimbangan, salah satunya

adalah karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, kiranya memang

tidak mudah baginya untuk menolak begitu saja terhadap NU. Disamping, karena

kepentingan ini dianggap sebagai kepentingan umat Islam, maka apapun

alasannya untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara kesatuan dan persatuan,

maka persaudaraan harus diutamakan, sebagaimana al-Qur’ân menerangkan

bahwa sesama umat Islam adalah bersaudara. Q:S. 49:10

Selanjutnya bahwa umat Islam harus bersikap lemah lembut, sesuai

dengan tuntunan dan harapan al-Qur’ân bahwa urusan peperangan dan hal-hal

duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-

lainnya.Q:S. 3:159.

4. Tuntutan Politik Ekonomi

Al-Qur’ân menerangkan bahwa, pada mulanya merupakan nasihat

terhadap kaum kapitalis-materialistis yakni Qarun yang hidup di zaman nabi

Musa as. dimana pada ayat sebelumnya diceritakan bahwa Qarun menimbun harta

kekayaan yang bergudang-gudang, sehinga untuk mengangkut anak kunci

gudangnya saja diperlukan tenaga orang yang kuat. Berulang kali kaumnya

memberikan ancaman agar tidak menyombongkan diri. Namun, Qarun menjawab

dengan congkak, mengatakan bahwa kekayaan itu diperoleh dari ilmu

pengetahuannya. Dia lupa bahwa Allâh mnghukum orang-orang yang menimbun

harta kekayaannya. Kemudian diceritakan bahwa Qarun memakai pakaian

kemgahan yang menggoda iman orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh

kemewahan duniawi. Pada ayat berikutnya, disebutkan bahwa orang yang

berpengetahuan luas adalah lebih menghormati budi pekerti dari pada keganasan

103 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik…, 130.

Page 289: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

254

dan material dan lebih mengutamakan ketuhanan dari pada tipuan duniawi.104

Q:S. 28:77.

5. Tuntutan Sosial dan budaya

Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai

terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu

dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan nilai keadilan, kebersamaan,

pemerataan dan pemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Al-Qur’ân telah

mengajarkan bahwa system ekonomi Islam harus berlandaskan pada nilai

keadilan dan kebersamaan.Q:S. 49:13.

Kemudian Al-Qur’ân memberikan akan pentingnya hidup bersama dengan

saling tolong menolong, tidak mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang

dari kebenaran. dan memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,

Q:S. 5:2, Q:S. 4:135.

D. Analisa

Pada bagian akan dianalisa mengenai bagaimana politik hukum nasional

mempengaruhi pembentukan hukum perbankan syariah. Sebagaimana telah

dipaparkan pada uraian terdahulu bahwa politik hukum dikaitkan dengan

kebijakan publik (public policy) tentang apa yang akan dan atau yang tidak akan

dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan hukum.

Uraian bahwa hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai

sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik

dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. Hukum itu memiliki inherenitas yang

lengket dengan berbagai aspek kehidupan, yakni sistem ideologi Negara, sistem

sosial, sistem politik dan sistem ekonomi, sistem hukum, dan sistem budaya baik

budaya lokal maupun regional bahkan global.

104 Q:S. 28:77-82

Page 290: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

255

Karena adanya inherenitas tadi sehingga banyak faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya pembentukan hukum sangat dominan. Ketika akan

sedang bahkan sesudah dibentuk hukum perbankan syariah terdapat politik pro

dan kontra di dalam masyarakat, ada yang menghendaki pentingnya dibentuk

hukum perbankan syariah dan ada pula yang megatakan tidak penting dengan

adanya hukum perbankan syariah.

Konfigurasi kepentingan dan kekuatan serta intervensi-intervensi baik dari

dalam maupun dari luar dalam badan pembentukan dan penegakkan undang-

undang, tidaklah mungkin dapat diabaikan. Intervensi pemerintah dalam bidang

politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Di

Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat

dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.

Politik hukum, juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik

mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di

belakang pembuatan dan penegakan hukum.105 Juga mempertimbangkan etik

hukum, baik buruknya, adil tidaknya, cocok atau tidaknya (match or mismatch)

ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu

ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.

1. Analisa Politik Hukum Pada masa Orde Baru

Pendirian bank Islam di Indonesia, pada awalnya, tidak disetujui, karena

dianggap punya kaitan dengan gerakan kaum fundamentalis yang akan

mendirikan negara Islam. Disamping itu, undang-undang perbankan Indonesia

(UUPI) tidak mengenal sistem atau tidak memberikan ruang bagi beroperasinya

bank tanpa bunga. Undang-undang tersebut adalah UU Pokok Perbankan No.

14/1967 Bab I, yang mengharuskan setiap transaksi kredit disertai dengan

bunga.106 Faktor politik 107yang dominan itu sangat mempengaruhi politik

105M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta, LP3ES, 1998), 1-2. 106M. Dawam Rahardjo, 399-400.

Page 291: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

256

pendirian bank Islam. Namun atas insiatif Majelis Ulama Indonesia (MUI),

Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan para tokoh muslim

Indonesia serta tuntutan masyarakat baik dari dunia akademisi maupun praktisi

mampu merangkul pemerintah. sehingga pendirian Bank Muamalat Indonesia

dapat dilakukan pada tahun 1991, yang kemudian diikuti oleh institusi syariah

lain. Sungguh amat terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara lain di

dunia, padahal pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak tahun ’70-an.

Adanya kekhawatiran datangnya acaman dari orang yang merasa terusik

kenikmatan mengeruk kekayaan rakyat yang sebagian besar beragama Islam

melalui sistem perbankan yang ada. Munculnya Bank Syariah yang menuntut

pemerataan yang lebih adil akan dirasakan sebagai ancaman terhadap status quo

yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Mereka mungkin akan

menghambat pendirian Bank Syariah dengan membenturkan pada perangkat

perundangan perbankan yang pada saat itu memang boleh disebut tidak

memberikan ruang beroperasinya bank tanpa bunga sesuai dengan syariat Islam.

Setelah tim perbankan syariah mengadakan pendekatan kepada Munawir

Sadzali, menteri Agama; Dirjend Moneter Oskar Surjaatmajda, Menmud

Keuangan Nasrudin Sumintapura, dan Menteri Perdagangan Arifin Siregar Serta

Mensesneg Moerdiono. Bahkan setelah berkonsultasi ke BJ. Habibi, Pada awal

tahun 1991 Ketua umum ICMI tersebut membentuk Tim mobilisasi dana diketuai

Emil Salim.108

Silaturrahim tim perbankan MUI dengan Menmud Keuangan Nasrudin

Sumintapura dan Mensesneg Moerdiono membuahkan kekuatan kepastian hukum

bank tanpa bunga dengan disiapkannya RUU perbankan baru pasal 1 ayat 17 yang

menyebutkan pelunasan utang setelah jangka waktu yang tertentu dapat disertai

107Nampaknya alergi politik terhadap gerakan kaum fundamentalis Islam membekas dalam jiwa bangsa Indonesia sehingga pendirian bank syariah dianggap masih memiliki rentetan dengan perjuangan kaum radikalis yang membangun negara Islam.

108Karnaen. A. Perwataatmadja, Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat Indonesia dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), 148

Page 292: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

257

dengan bunga atau pembagian hasil keuntungan. Artinya, RUU perbankan baru

itu yang kemudian disetujui oleh rapat Pleno DPR RI pada bulan Fabruari 1992

semakin mengabsahkan bank tanpa bunga dalam ekonomi Indonesia.109

Mensesneg Moerdiono kemudian membawa tim ini ke Presiden Soeharto.

Dalam pertemuan tim pendirian bank syariah dengan Presiden Soeharto

melaporkan bahwa kepala negara menyambut antusias dan bersedia dicantumkan

sebagai pemrakarsa Bank Syariah sekaligus memberikan dana RP 3 Miliyar dari

kas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tanpa bunga dan tanpa batas waktu

pinjaman. Lebih lanjut Presiden berjanji membantu kekurangan modal awal yang

diperlukan bagi pendirian bank syariah dengan menggelar saresehan ala tapos di

Istana Bogor pada 3 November 1991. mereka yang diundang dalam acara di

Istana Bogor adalah para pengusaha Muslim dan warga Jawa Barat.

Perhatian yang besar dari Presiden kepada persoalan yang dihadapi para

pendiri bank syariah itu sangat dimungkinkan oleh peran para pendiri bank

syariah yang melaporkan secara terpisah mengenai urusan bank syariah yang

hendak didirikan. Dalam pertemuan dengan para perintis pendirian bank tanpa

bunga itu juga menyarankan bank syariah itu dengan nama Bank Muamalat

Indonesia.110

Betapapun telah mendapat uluran dan komitmen dari Presiden Soeharto,

kekwatiran kekurangan dana RP 7 Milyar tidak terpenuhi padahal mereka sudah

mencatut nama Presiden. Dengan kecemasan semacam itu tidak mengherankan

setelah Presiden Soeharto menyatakan akan mengadakan silaturrahmi di Istana

Bogor, tim pendirian Bank Syariah tersebut dengan tangkas bekerja melobi

kelompok-kelompok masing-masing target group dengan fokus kesuksesan

silaturrahmi yang akan diadakan.

109Kliping koran PELITA, MUI Optimis Bank Tanpa Bunga Akan Hidup, 22 Pebruari 1991. 110Majalah PROSPEK, Mengapa Baru Sekarang BMI Berdiri?, tanggal 2 November 1991.

Page 293: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

258

Bayang-bayang kesulitan modal keuangan yang diperlukan bagi

berdirinya bank Syariah tersebut sirna setelah menteri-menteri bersimpati

terhadap rencara berdirinya bank itu terjun langsung memobilisasi pengusaha-

pengusaha yang diperkirakan bisa diajak bekerja sama. Pada 11 Oktober 1991 dan

13 Oktober 1991 Menteri Ginanjar Kartasasmita mengambil inisiatif untuk

mengadakan pertemuan dengan para pengusaha muslim di kediamannya dan di

Syahid Jaya Hotel. Dalam pertemuan atau silaturrahmi yang dihadiri oleh 87

pejabat tinngi dan pangusaha itu terdapat dinama-nama pengusaha besar antara

lain, Fadel Muhammad, Abu Rizal Bakrie, Bob Hasan , Sukamdani Sahid

Gitosarjono, dan Pontjo Sutowo. Pada kesempatan itu terkumpul komitmen

dengan besaran Rp. 55 Milyar.

Dalam minggu berikutnya, Habibie menggalang dana pensiun dari tiga

industri strategis yang berada lam kendalinya sehingga dana yang terkumpul

menjadi 63 Milyar. Jumlah uang sebesar itu terus bergulir dan membesar ketika

tim perbankan MUI di panggil menteri perindustrian untuk diberikan tambahan

komitmen dana, sehingga seluruhnya waktu itu telah terkumpul Rp.

84.473.000.000. Jumlah sebanyak itu sudah termasuk beberapa perusahaan yang

mayoritas kepemilikannya adalah bukan orang Islam, termasuk Salim Grup

perusahaan ini telah menalangi lebih dulu membeli saham untuk karyawannya

yang beragama Islam.111

Selain melakukan pendekatan-pendekatan kepada pejabat dan pengusaha-

pengusaha besar, para perintis bank syariah juga melakukan persiapan manajerial

dan penjajakan kerja sama dengan lembaga bisnis (keuangan) yang

memungkinkan. Persiapan manajemen bank syariah yang dilakukan mulai dari

penyusunan berdirinya bank syariah, penandatanganan akte notarishingga

menyelenggarakan training calon staf BMI melalui Manajement Development

Program (MDP). Yang menarik dalam training MDP pada 29 Maret 1991 itu

111M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, 120

Page 294: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

259

langsung dibuka oleh Menmud Keuangan, yang juga berusaha meyakinkan

beberapa pengusaha muslim untuk menjadi pemegang saham. Penjajakan

kerjasama bidang manajemen dan perangkat lunak lainnya juga dilakukan dengan

Islamic Development Bank (IDB), kelompok bisnis raksasa Arab Saudi, al-

Barakah Grup dan Bank Syariah Madilaksanakannya mobilisasi laysia Berhad.

Menjelang dilaksanakannya mobilisasi dana Bank Muamalat, pada tanggal

1 November 1991 diadakan penandatangan akata pendirian PT BMI yang

dilakukan oleh 145 orang pendiri BMI di hadapan notaris Yudo paripurno SH.

Izin menteri kehakiman No. C 2.2413..HT. 01. penandatanganan akta pendirian

itu sempat tertunda karena adanya perbedaan pendapat tentang perlu tiaknya

pencantuman kata “bahwa pemegang saham pendiri BMI warga Indonesia yang

beragama Islam”. Setelah berdialog selama 15 menit akhirnya disepakati kalimat

itu tetap dicantumkan.112

Puncak mobilisasi dana bank Muamalat berlangsung di Istana Bogor pada

3 November 1991 yang di hadiri sekitar 4.600 undangan. Para undangan yang

hadir dalam acara yang diprakarsai Presiden Soeharto itu sangat beragam, mulai

dari para pedagang kaki lima hingga para menteri, tak terkecuali pejabat Menkeu

JB Sumarlin, Gubernur bank Indonesia Adrianus Mooy, dan deretan nama-nama

pengusaha besar. Saham yang dijual seharga 1.000 rupiyah perlembar di Istana

Bogor terseut hanya dalam waktu 2 jam berhasil menyedot dana masyarakat

sebaesar RP. 24 hingga 26 Milliyar. Jumlah sebesar itu termasuk tambahan dari

yayasan Dakap, Supersemar, Dharmais, yang dibawah naungan Soeharto,

Masing-masing Rp 1 Milyar. Secara pribadi kepala negara juga membeli saham

BMI senilai 50 Juta rupiah. Denga bertambahnya keuangan yang terkumpul dari

112Koran PELITA, PT Bank Mumalat Indonesia Resmi di Bentuk dengan Modal Rp. 500

Milyar, tanggal 2 November 1991. Karnaen Perwataatmadja dan syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyaakarta: Dana Abadi Wakaf, 1992), 84

Page 295: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

260

penjualan saham di Istana Bogor itu, modal awla telah melewati angka Rp. 110

Milyar.113

Angka itu tercatat sebagai modal terbesar dalam sejarah perbankan setelah

dikeluarkannya Pakto 88 oleh pemerintah dan diberlakukannya beleid uang ketat

(tight money policy). Sukamdani Sahid Gitosarjono, pengusaha perhotelan,

menyatakan, “pengumpulan dana BMI adalah salah satu rekor pengumpulan

modal tercepat”.

Dukungan dan kepercayaan yang besar kaum muslimin seperti terlihat dari

begitu banyaknya jumlah dana yang terserap dari masyarakat itu, di satu sisi

merupakan perkembangan yang menggembirakan namun disisi lain merupakan

beban moral yang berat bagi pengelola BMI. Kehadiran bank syariah itu juga

berarti taruhan politik umat Islam, jika pengelolaan bank syariah itu kemudian

mengecewakan atau gagal akan sulit menanamkan kepercayaan pada masa

berikutnya.

Dengan terkumpulnya modal awwal tersebut dan setelah mendapatkan

izin prinsip, surat kepautusan menteri keuangan RI No. 1223/MK.013/1991

tanggal 5 Nopember 1991, dan izin Usaha keputusan menteri keuangan RI No.

430/KMK:013/1992 tanggal24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 Bank

Muamalat Indonesia (BMI) secara resmi mulai beroperasi di pusat bisnis jalan

sudirman Jakarta.114

Dari paparan sejarah berdirinya bank syariah diatas jelas bahwa Soeharto

dan para menterinya terlibat begitu serius mensponsori pendirian bank

berdasarkan pada syariat Islam. Keterlibatan pemerintah tak hanya sekedar

memberiakan dorongan moril, melainkan juga membantu sepenuhnya dalam

memobilisasi dana besar-besaran di Istana Bogor. Hingga akhirnya dana yang

113Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani

Press) 25 114Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa Dan Bgaiman bank Islam, 85

Page 296: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

261

berhasil dikumpulkan sebagai modal awal melebihi target semula yang

direncanakan.

Dalam hal ini peranan negara terutama pengaruh presiden soeharto adalah

sangat menentukan. Ada dua hal yang membuat pengaruh presiden soeharto

dalam proses penndirian bank Muamalat menjadi vital.

Pertama: ide mendirikan bank yang berdasarkan syariat Islam (tanpa

bunga) kemungkinan besar mengalami kesulitan permodalan, karena banyak

pengusaha besar yang lebih tertarik menanam investasinya pada bank

konvensionalyang lebih menjanjikan prospeknya pada bank tanpa bunga yang

harus menerapkan azas kehati-hatian extra tinggi. Apalagi hingga awal dekade

1990-an konglomerat-konglomerat atau pengusaha raksasa yang hampir

seluruhnya “pengusaha klien” didominasi kelompok non-pri dan non-muslim.

Kedua: berbagai pejabat perbankan dan moneter kabinet pembangnan IV

ketika itu yang masih didominasi kelompok non-muslim jelas merupakan faktor

kondisi subjektif yang memilik potensi menjadi trouble maker. Indikasi dari

dominannya kelompok non muslim dalam kebijakan perekonomian dan keuangan

waktu itu bisa dilihat dari merebaknya istilah trio RMS (Radius, Moy dan

Sumarlin), tiga pejabat tinggi negara yang terkait dengan ekonomi, perbankan dan

keuangan.

Oleh karena itu berdirinya bank syariah yang lancar bagaikan jalan tol di

atas merupakan hal spektakuler, mengejutkan dan istimewa. Bila dalam dua

dekade pertama kepemimpinan orde baru, segala pendirian institusi yang

memiliki muatan syariah Islam menjadi sumber kecurigaan pemerintah terhadap

Islam, dalam kasus berdirinya BMI negara memberikan dukungan sepenuh hati.

Pemegang sahamnya saja selain presiden dan wakil presiden juga terdapat tak

kurang dari 10 menteri dan pengusaha-pengusaha besar yang diantaranya terdapat

“pengusaha Klien” negara.

Page 297: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

262

Pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.

Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini

belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan

nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syari’ah

masih lemah, tidak diatur secara rinci dan hanya petikan kecil dari UU No. 7

tahun 1992 yang memberikan sinyalemen kemungkinan beroperasinya bank

dengan sistem bagi hasil. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak

mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana

dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam Undang-undang Perbankan

Indonesia, namun hanya menyebutkan:“menyediakan pembiayaan bagi nasabah

berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah." 115

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah

pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI

berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan

tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam

hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat

Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-

perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu

choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa

yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut.

1. Analisa Politik Hukum Pada Masa Reformasi

Rentang waktu antara pendirian Perbankan Syariah (Tahun 1980) dengan

pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah membutuhkan

waktu sekitar 28 tahun. Jadi, pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17

Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16

115 Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Page 298: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

263

Juli 2008,116 dapat dikatakan sangat telat. Sebab, di zaman penjajahan saja,

pemerintahan kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi

masyarakat muslim dalam bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari

ordonansi riba tahun 1938. Ordonansi riba ini dikeluarkan untuk mencegah

praktik riba di kalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan

kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah

satu pihak atau memperingan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2

ayat-14 Ordonansi Riba 1938).117

Pengesahan undang-undang No 21 tahun 2008 yang dilakukan oleh

pemerintah (presiden) menghabiskan waktu selama 3 tahun. Ini mengindikasikan

bahwa pemerintah kurang responsif terhadap aspirasi rakyat yang mayoritas

beragama Islam. Padahal, seperti diketahui selama terjadinya krisis moneter,

perbankan syariah juga tidak membutuhkan bantuan atau memguras keuangan

Negara, seperti halnya bank konvensional.

Seiring dengan tuntutan kebutuhan terhadap perbankan syari’ah dan

perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam yang memiliki kesadaran untuk

melakukan aktifitas perbankan secara Islami, lahir Undang-undang No. 10 Tahun

1998. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan ketentuan yang

memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem

perbankan syari’ah di Indonesia. Terdapat perubahan yang signifikan dalam

pengakuan terhadap eksistensi perbankan syari’ah. Dalam Undang-undang

sebelumnya (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992) istilah perbankan syari’ah

masih belum dinyatakan secara eksplisit, pengertian bank dengan prinsip bagi

hasil yang dimaksud dalam undang-undang tersebut belum mencakup secara tetap

pengertian Bank Syari’ah atau Islamic Bank yang memiliki cakupan yang lebih

116UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di muat dalam lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 No.94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867 117Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia, Addenda & Corrigeada

(Jakrata PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 1.

Page 299: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

264

luas dari bagi hasil, meskipun undang-undang tersebut telah memungkinkan

dijadikan dasar untuk berdirinya bank umum syari’ah pertama di Indonesia.

Demikian pula peraturan pelaksanaan yang ada pada masa itu dirasakan belum

banyak membuka ruang gerak bagi operasional perbankan syari’ah Indonesia.118

Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang

merupakan amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

serta peraturan-peraturan pelaksanaannya ini, Indonesia telah memasuki priode

baru yaitu priode perkembangan sistem perbankan syari’ah yang ditandai dengan

bermunculannya bank-bank syari’ah baru.

Berdasarkan Undang-undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan

di Indonesia terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syari’ah

(atau digunakan istilah sebagai Dual Banking Sistem). Salah satu prinsip yang

dipegang dalam pengaturan tentang Bank Syari’ah dalam Undang-undang Nomor

10 Tahun 1998 adalah prinsip syari’ah merupakan suatu prinsip dalam

menajalankan kegiatan usaha bank. Jadi sifatnya bukan merupakan jenis

kelembagaan melainkan cara menjalankan kegiatan usaha bank. Sejalan dengan

itu, istilah Bank Syari’ah tidak didefinisikan sebagai bank tersendiri, sehingga

jenis bank di Indonesia tetap hanya dua, yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat. Adapun dari segi kegiatan usahanya Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat tersebut dapat menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syari’ah (menjadi Bank Umum Syari’ah dan BPR

Syari’ah).119

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini juga membuka kesempatan

bagi pengembangan bank syari’ah melalui pendirian bank syari’ah baru,

118Subarjo Joyosumarto, Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Bank Syariah, paper disampaikan pada Seminar Aspek Hukum dan Bisnis Perbankan Syari’ah, 23 Mei 2000 di Jakarta.

119Lihat Sis Abadi, Beberapa Permasalahan dalam Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Makalah dalam seminar “Sosialisasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998”, 13-14 Juli 1999. Lihat pula ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Page 300: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

265

perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syari’ah dan

pelaksanaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syari’ah oleh bank

konvensional. Khusus bagi bank umum yang selama ini menjalankan kegiatan

usaha secara konvensional, dapat melakukan kegiatan usaha secara prinsip

syari’ah, dengan cara membuka kantor cabang baru yang semata-mata

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, atau mengubah kantor

cabang yang telah ada menjadi kantor cabang yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syari’ah.120 Jika suatu bank menjalankan kegiatan usahanya

baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syari’ah, bank yang

bersangkutan harus menatausahkan pembukuannya secara terpisah mengingat

perbedaan prinsip yang digunakan.

a. Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syari’ah

Dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

perkembangan bank syariah ke depan akan mempunyai peluang usaha yang lebih

besar di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan

syariah sesuai UU tersebut adalah: Pertama, Bank Umum Syariah dan Bank

Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional,

sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5

ayat 7); Kedua; Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank

Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);

Ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS)

harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): UUS mencapai

asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak

berlakunya UU Perbankan Syariah.

Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih

cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing

yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk

120Lihat Penjelasan Ketentuan Pasal 6 huruf m Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Page 301: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

266

mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b).

Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung

melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian,

banyak faktor-faktor pendorong yang terdapat pada UU Perbankan Syariah dalam

menuju akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan.121

UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank

syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional.

Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan

tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (vide Pasal 19 s.d 21). Dengan

demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang

ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan

suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company,

dan merchant bank.122

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah

(BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah

bank konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat

dilakukan oleh UUS.

Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi

sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari

zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada

organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari

wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai

kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).

UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih

beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan

121Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah Pasca Undang-undang Perbankan

Syari’ah, http://id.wordpress.com/tag/pengesahan-uu-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal, 29 Maret 2010)

122Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah,

Page 302: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

267

perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih

tajam. Tantangan utama bagi pelaku bank syari’ah nasional dengan lahirnya UU

Perbankan Syariah adalah adanya pembebasan pemilikan bank umum syariah

oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum

asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek

merupakan tantangan yang sangat besar ke depan bagi warganegara dan badan

hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan. Demikian pula

pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat merupakan

tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di

perbankan Syariah.123

Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa

perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite

Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini

dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di

Indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan

syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia.

b. Urgensi Kompilasi Hukum Perbankan Syari’ah

Hadirnya hukum perbankan syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional

merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran

untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai

sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana

modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa

sosial).124 Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi

dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus

Mie

), 70.

123 rza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah 124Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan (Bandung:

Mandar Maju, 2002

Page 303: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

268

perkara.125 Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang

ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan

oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.126

Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis

syari’ah perlu payung hukum yang cukup memadai dalam mengatur perilaku

bisnis yang berlandaskan syari’ah, tidak cukup hanya berbekal pada doktrin

hukum (fikih) semata. Sebab sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, kendatipun Pengadilan Agama telah

lama diakui eksistensinya127 namun hakimnya masih belum memiliki buku

standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama layaknya KUHP, apalagi

kewenangan di bidang ekonomi syari’ah adalah kewenangan yang baru, praktis

Hakim Pengadilan Agama masih mengandalkan kitab-kitab fikih produk ijtihad

para Imam Madzhab sebagai bahan rujukan utama. Padahal menurut Joseph

Schacht128 kitab-kitab fikih madzhab yang diakui mempunyai otoritas yang

mapan bukan merupakan kitab hukum, cakupan hukum Islam di situ bukan

menjadikan kitab fikih tersebut menjadi undang-undang (a corpus of legislation),

tetapi merupakan hasil yang hidup dari ilmu hukum.

Tanpa suatu standarisasi atau keseragaman landasan hakim dalam

menyelesaikan sengketa, akibatnya banyak putusan yang berbeda dari kasus yang

sama dari masing-masing hakim antar Pengadilan Agama, sehingga muncul

ungkapan “different judge different sentence” (lain hakim lain pendapat dan

125M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi

Hukum Islam, Mimbar Hukum edisi No. 5 Thn III, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1992, 26.

126Hartono Mardjono, Prospek Berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia (Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S) (Jakarta: PP-IKAHA, 1994), 336.

127Lembaga ini dibentuk sejak tahun 1882 ditempat-tempat yang ada landraad (Pengadilan Negeri-nya), bahkan sebelum secara formil diakui oleh pemerintah pada tahun 1882 tersebut, Pengadilan Agama telah diterapkan secara riil. Begitu juga pada tahun 1760 telah diterbitkan compendium freijer yang menghimpun materi hukum perkawinan dan waris Islam yang dijadikan pedoman menyelesaikan sengketa antar orang-orang Islam.

128Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (edisi terjemahan Pengantar Hukum Islam) (Yogjakarta: Islamika, 2003), 106.

Page 304: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

269

putusannya). Dari sudut teori hukum berarti produkproduk putusan Pengadilan

Agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.129 apabila putusan

Pengadilan Agama selalu didasarkan pada doktrin fikih, maka para pihak yang

berperkara dalam kesempatan yang diberikan oleh Majelis Hakim bisa saja

mengajukan dalih dan dalil ikhtilâfi dan mereka menuntut hakim untuk mengadili

menuru

dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum

Islam.1

ma,

-putusan hukum yang berdisparitas tinggi dan bercorak

ara

hukum dan supremasi “ rule of law” yakni keunggulan kekuasaan hukum.

t pendapat dan doktrin madzhab tertentu yang diikutinya.

Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum

subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan

Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih

tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi

syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,130 sehingga gagasan legislasi fikih

muamalah31

Kedudukan undang-undang tentang ekonomi syari’ah nantinya adalah

sebagai norma ukuran, kaidah hukum resmi dan baku bagi Pengadilan Aga

maupun masyarakat muslim dan para pencari keadilan sehingga terwujud: 132

1. Kesatuan landasan hukum (unified legal frame work) dan keseragaman

pandangan hukum (unified legal opinion) sehingga dapat dihindarkan dan

diperkecil putusan

“ketidakpastian”.

2. Membina kepastian penegakan hukum, agar dapat direalisir kehidupan neg

129Munawir Sadzali, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Dalam Peradilan

Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta,UII Press, 1993), 2.

130M. Yahya Harahap, Informasi Materi, 436. 131M. Yahya Harahap, Informasi Materi, 432 132Matardi, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan di Pengadilan Agama, Mimbar

Hukum edisi no. 24 tahun VII (Jakarta, Al-Hikmah ,1996), 31.

Page 305: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

270

3. Memberi perlakuan yang sama (equal treatment ini smilar cases) sehingga

undang-undang ekonomi syari’ah dapat dan mampu berperan menegakkan

prinsip “Predictable” yakni dapat diperkirakan kebenaran putusan yang akan

diberikan oleh hakim Pengadilan Agama.

Dari beberapa uraian di atas tergambar betapa pentingnya legislasi fikih

muamalah yang mengatur tentang ekonomi Islam pasca amandemen Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa untuk memutus suatu perkara di pengadilan

tidak cukup hanya berlandaskan fatwa ulama, pendapat para ahli fikih maupun

kitab-kitab klasik yang berisi pendapat hukum para imam madzhab sekitar 13

abad yang lalu. Oleh karena itu legislasi fikih muamalah adalah sebagai upaya

mempositifkan “nilai-nilai” hukum Islam yang berkenaan dengan ekonomi

syari’ah secara terumus dan sistematis dalam “kitab hukum” atau positivisasi

hukum Islam.133 Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur

kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena

kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi

lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan

Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan

intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan

dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.

Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah tentu sangat penting. Bagi

kalangan praktisi, UU Perbankan Syariah menjadi legitimasi paling akurat untuk

menjalankan praktik perbankan syariah, Selain itu, adanya daya dorong kepada

pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan

berbasis syariah.

Di sisi lain, kehadiran Undang-undang Perbankan Syari’ah yang tidak

matang akan memunculkan masalah baru bagi perkembangan perbankan syari’ah

di Indonesia.

133Matardi, Kompilasi Hukum Islam, 434.

Page 306: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB V Secara historis, embrio tentang pemisahan kekuasaan lembaga negara dapat dilacak sejak zaman Yunani Kuno, karena pada saat itu sudah ada istilah konstitusi yang bersifat materiil. Distingsi antara politea dan nomoi sudah terdengar sejak zaman Aristoteles, peran kedua aturan ini bertingkat, yakni, politea itu mempunyai kekuasaan membentuk dan posisinya lebih tinggi dari pada nomoi atau undang-undang biasa.1 Dari kesimpulan diatas dapat ditelusuri melalui tahapan periode sebagai pembagian sejarah tumbuh kembangnya lembaga negara dalam mengawal tugas-tugas pemerintahan, periode itu antara lain; Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-4 SM sampai abad ke-6 M. Pada masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan tidak didiskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara.2 Praktik demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negara- kota (city-state) Athena,Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-kota Athena dari Sparta. Yaitu, terbentuknya negara kesejahteraaan (walfare state), yang digagas oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius Cicera (106-43 SM), dan lainya. Periode kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan, Gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalaui Magna Charter (Piagam Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai imbalan bagi penyerahan dana pada kerajaan untuk membiayai kebutuhannya. Selain itu, piagam ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama,

1Aristoteles melanjutkan karangan Plato (429-347 sM), karangan tersebut adalah: (1) Politeia (the Republic), yang ditulis ketika ia masih muda;(2) Politicos (the Statesman); dan(3) Nomoi (the Law). Buku pertama – Politea – ditulis ketika Plato merasa sangat prihatin melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang-orang yang haus akan harta, kekuasaan, dan gila hormat. Pemerintahan yang sewenang-wenang yang tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya telah menggugah Plato untuk menulis buku ini, dimana ia mengangankan eksistensi suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya; suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Satya Arinanto, Hak Azasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum- Universitas Indonesia, 2005), cet. Ke-2, 70. 2Mo Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesi, (Jakarta: Univ. Atmajaya, 2000), cet. Ke- 2, 58.

1

Page 307: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

2

adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan negara. Periode ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M). Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat yang berkembang menjadi asas-asas protestanisme, seperti perjuangan menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi kekuasaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragam, kebebesan berfikir, kebebasan mengemukakan pendapat. Singkatnya, setelah (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M) Montesquieu (1689-1755) memunculkan pemikirannya bahwa kekuasaan pemerintah yang tidak dibatasi akan terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan, hukum yang adil dapat menjadi sebaliknya, buruk dan bahkan keluar dari tujuannya, hal ini disebabkan oleh terpusatnya kekuasaan pada satu orang atau satu lembaga saja. Pendapat tersebut dituangkan Montisquieu dalam teori pemisahan kekuasaan atau the separation of power dalam bukunya.3 Kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan ke dalam tiga fungsi, pertama, fungsi legislatif (the legeslative function) agar tidak terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu lembaga, sehingga dapat menimalisir penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang oleh lembaga yang menaungi kekuasaan tersebut,4 kedua, fungsi eksekutif (the executive or administratif function) dan yudisial (the judicial function).5 Fungsi legislatif dikaitkan dengan peran kekuasaan parlemen

3L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws) sebagai solusi yang nyata terhadap sejarah peradaban manusia dalam memimpin sebuah pemerintahan, khususnya dalam dunia hukum dan politik. Teori ini sebelumnya sudah dirumuskan oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690). Two Treatises on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorius Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen Inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), cet, ke-XIII, 151. 4Produk legislatif adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat, baik sebagai legislator ataupun co-legislator, Dalam sistem hukum Indonesia dewasa ini, pada tingkat nasional yang dapat disebut sebagai lembaga legislator utama atau legislatif utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perkataan legislator utama itu penting untuk membedakan dengan lembaga legislatif yang bersifat penunjang atau yang disebut co-legislator belaka. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya, karena kedudukannya yang tidak setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-tidak dapat disebut sebagai legislator utama. Sifat kelembagaannya hanya menunjang sebagai auxiliary organ terhadap fungsi legislatif oleh DPR. Namun terlepas dari hal itu, produk pengaturan yang ditetapkan oleh legislator utama itulah yang disebut sebagai legislative act yang dalam sistem hukum Indonesia disebut undang-undang atau dalam istilah Belanda disebut wet. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta; Konpress, 2006), cet. Ke-3, 30. 5 O.Hood Phillips, Paul Jackson. Constitutional and Administrative Law. (London: Sweet and Maxwell, 2001), 10.

Page 308: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

3

atau legislature, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi yudisial dengan kekuasaan kehakiman.6 Ide Montesquieu mempunyai kesamaan argumen dengan Immanuel Kant tentang tujuan negara yaitu memelihara hal dan kemerdekaan warga negara dengan membentuk serta memelihara hukum, pemisahan kekuasaan yang juga digunakan untuk menjamin hak-hak asasi, ia menyebutkan tiga pemisahan itu dengan kekuasaan-kekuasaan, antara lain; potestas-legislatora, potestas-rectoria, potestas-indiciaria.7 Selain dibentuk oleh lembaga yang berwenang, hukum juga dapat berangkat dari hal yang terjadi dalam masyarakat, kemudian menjadi aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan masyarakat dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan normatif seperti itu tumbuh sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja dibuat menurut prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam suatu negara. Peraturan itu telah menjadi pembatas bagi berkembangnya bank syariah karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah hanya melalui perluasan kantor bank syariah yang telah atau pembukaan bank baru yang relatif besar investasinya. Situasi demikian membuat Bank Muamalat Indonesia (BMI) menjadi pemain tunggal di pasar dengan sejumlah problem terutama berkaitan dengan masalah pengelolaan likuiditas dan mitra kerjasama. Sementara itu kebutuhan masyarakat terhadap perbankan syariah telah dirasakan meningkat pada saat itu. Maka untuk mengakomodir kebutuhan tersebut sejumlah investor telah mendirikan BPR yang beroperasi dengan prinsip syariah. Hingga tahun 1998 telah berdiri 76 BPR Syariah di berbagai kota di Indonesia. Gagasan pemikiran Bank Islam, sebetulnya, telah muncul sejak lama.8 Salah satu upaya adalah aplikasi lembaga keuangan syariah yang didasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Rintisan aplikasi sistem profit and loss sharing, sebagai inti bisnis lembaga keuangan syariah tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana jemaah haji secara non-konvensional di Pakistan dan Malaysia.9 Kemudian perkembangan berikutnya yang merupakan tonggak sejarah pebankan syariah adalah Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr. 10

6 Montesquieu, The Spirit of the Laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G.Bell dan Sons, Ltd, 1914), Part VI, Chapter, 67. 7C.S.T. Cansil. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia). (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), cet. ke-2, 57. 8 Ditandai banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaaan bank Islam, misalnya Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Lihat Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia-FE UII, 2003), h. 9. 9 Faturrahman Jamil, “Urgensi Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, (Agustus 2002), h. 39. 10 Bank ini didirikan oleh Ahmed el-Najar yang permodalannya dibantu oleh Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir kemdatipun yang pada akhirnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt.

Page 309: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

4

Mengenai unsur primsip perbankan Islam, 8. Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam, karya Mustafa Edwin Nasution dkk.,11 Buku ini memberikan informasi tentang ekonomi Islam yang cukup memadai. Tema ekonomi Islam dibahas dalam 12 bab dan terpisah dalam bagian utama. Bagian pertama menjelaskan pandangan Islam tentang segala kegiatan ekonomi yang kemudian bermuara pada pembentukan definisi ekonomi Islam. Pandangan dan koreksi terhadap berbagai aspek ekonomi menjadi fokus pada pembahasan bagian kedua. Sedangkan perkembangan ekonomi Islam dalam tataran praktis, yakni terbentuknya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan berbasis Islam dibahas dalam bagian ketiga. Ekonomi dalam Islam itu sesungguhnya bermuara kepada akidah Islam, yang bersumber dari syariatnya.. Ini baru dari satu sisi. Sedangkan dari sisi yang lain ekonomi Islam bermuara kepada al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah yang berbahasa Arab. Ekonomi Islam juga dipahami sebagai sebuah ilmu.12 Ada banyak beberapa definisi yang kemukakan oleh para pakar ekonomi Islam dalam buku ini. Pada bagian akhir pada bab 12 secara khusus dibahas tentang lembaga keuangan Islam di Indonesia. Bahasan ini meliputi perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS); Perbankan Syariah; Asuransi Syariah; pasar modal syariah yang mencakup produk-produknya, seperti obligasi syariah atau sukuk; saham syariah; reksadana syariah; pegadaian syariah (rahn) dana pensiuna dan Lembaga Keuangan Syariah Internasional (LKSI). Dengan demikian buku ini dapat dijadikan rujukan awal yang informative tentang ekonomi Islam. Akan tetapi permasalah tentang ekonomi Syariah, yang menjadi fokus penelitian ini tidaklah dibahas dalam buku ini. Ada sedikit ilustrasi tentang bagaimana kebijakan pemerintah dalam ekonomi Islam, namu tidak membicarakan tentang perundang-undang atau payung hukum mengenai ekonomi Islam. Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, karya Bambang Iswanto Dosen STAIN Samarinda, menguraikan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia cukup pesat. Dalam kesimpulannya bahwa jika di Malaysia pertumbuhan perbankan syariah didukubf oleh regulasi dan insentif dari pemerintah, sementara pertumbuhan bank berbasis syariah di indonesia legih banyak didukung oleh apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Pertumbuhan perbankan syariah bisa dibilang bottom up. Sejak 1991, ketika perbankan sayariah pertama kali berdiri hingga tahun 2008basis hukum dari perbankan syariah tidak

11 Mustafa Edwin Nasution et al, Pengenalan eklusif ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007). 12 Nasution, et al, Pengenalan ekslkusif, h. 16.

Page 310: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

5

memadai. Basis hukum perbankan syariah baru kuat setelah disahkannya Undang-undang Perbankan Syariah Tahun 2008 ini. Riawan 5. Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Karya A. Riawan Amin.13 Buku ini disampaikan pada acara pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) bidang Penbankan Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 11 Juli 2009. Dalam pidatonya disampaikan bahwa kegiatan pemikiran ekonomi di dunia Islam setidaknya mengambil dua pola. Pertama; pola ideal, yakni sistem ekonomi Islam yang lebih komprehensif dan holistik sebagai agenda jangka panjang, dan hal ini diupayakan secara terus menerus. Kedua; pola pragmatis, yaitu mengembangkan sistem yang bersifat parsial dan satu aspek saja, yang menjadi focus pemikiran adalah lembaga keuangan syariah yang diawali dengan tumbuh kembangnya sistem perbankan syariah. Di Indonesia mengambil pola yang kedua, sehingga tidak heran jika perkembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dari pengkajian secara teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif.14 Perkembangan perbankan syariah yang begitu cepat dan signifikan disebabkan adanya dukungan dari senua stakeholder dan semakin terasa dengan disahkannya UU Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008dan UU Surat BNerharga Syariah Negara No 19 Tahun 2008. Dengan adanya regulasi yang mandiri tersebut, eksistensi perbankan syariah di Indonesia semakin kuat.15 Lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun share perbankan syariah baru sekitar 2,05 persen per November atau masih terlalu kecila bila dibandingkan asset perbankan nasional, namun dukungan pemerintah menyiratkan dan sekaligus memberi pengakuan bahwa industri baru ini tidak bisa diremehkan perannya dalam membangun ekonomi nasional. Bahkan perbankan syariah bukan lagi alternatif tetapi solusi untuk mengokohkan ekonomi nasional aserta membawa kembali harkat dan martabat bangsa.16 6. Islam dan Pembangunan Ekonomi, Karya M. Umer Chapra, Penerjemah Ikhwan Abidin E.17 Ada lima bab yang amat terkait dengan permasalahan dibahas, antara lain: stabilitas dan tujuan-tujuan sosio-ekonomi, di dalamnya mmenguraikan tentang tujuan, pandangan dunia dan pentingnya strategi baru dan pandangan hidup Islam. Ia mengatakan bahwa tujuan dari sebuah system ekonomi pada prinsipnya ditentukan makna dari tujuan hidup manusia serta hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan amanusia dengan alam sekitarnya, maka tentu saja tidak bertanggung jawab kepada siapapun. Akan tetapi jika mansuia merasa apa yang dimiliki adalah ciptaan Tuhan dan mereka bertanggung jawab

13 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009) 14 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, h. 41. 15 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, h. 43 16 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, 44. 17 M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),

Page 311: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

6

kepada-Nya, maka tidak mungkin menganggap dirinya bebas mutlak dan berperilaku semaunya.18 Pendekatan Islam yang berdimensi empat19 harus dapat membuktikan lebih efektif dalam menjamin kesejahteraaan semua anggota masyarakat dari pada pendekatan kapitalis dan sosialis yang berdimensi tunggal dan hanya mengandalkan kepentngan diri sendiri. Dan kekuatan pasar yang hanya mengandalkan kolektifitas dan perencanaan pusat. Dalam melakukan kebijakan harus ada dua kriteria. Pertama tindakan kebijakan harus mampu memberikan kontribusi terhadap realisasi tujuan syariat (maqashid). Kedua, tidak boleh melakukan kerangka kerja optimalitas Pareto.20 Menurut Chapra, ada lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi pembangunan yang disertai dengan keadilan dan stabilitas: memberikan kenyamanan kepada factor manusia; mereduksi konsentrasi kekayaan; melakukan restrukturisasi ekonomi, keuangan dan rencana kebijakan strategis. Tindakan-tindakan kebijakan ini sudah dikenal dalam literatur pembangunan. Namun yang terpenting adalah injeksi dimensi moral ke dalam parameter pembangunan material. Karena tanpa sebuah integrasi moral dan material seperti itu, tidak mungkin dapat diwujudkan adanya efisiensi dan pemerataan. 21 1. Economic Message of the Qur’an, Karya Akram Khan,22 dalam buku ini Akram khan menjelaskan pandangan Islam mengenai ekonomi, prinsip-prinsip dasar mengenai ekonomi Islam, masyarakat yang adil dan norma-norma tingkah laku ekonomi. Pandangannya tentang ekonomi bahwa dunia ini adalah milik Allah dan mansia di bumi sebagai makhluk Allah ditugasi menjadi khalifah untuk mengurus bumi dan alam beserta isinya guna kemakmuran hidupnya, memenuhi kebutuhannya dari lapar, tempat berteduh, tidur, dan seks dalam kehidupannya. Kesemuanya ini adalah berasal dari konsep Tauhid atau kesaan Tuhan. 23 Menurutnya, bahwa tujuan ekonomi Islam untuk membangun dan menopang masyarakat manusia memperoleh kebahagiaan. Dalam istilah al-Qur’an disebut

18 Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan

Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 4. 19 Pertama; melengkapi mekanisme pasar dengan filter moral; kedua, memotivasi

individu ikut menanggung kepentingan social; ketiga, merestrukturisasi sosio-ekonomi; dan kempat peranan pemerintah. Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 84.

20 Suatu strategi yang memandang bahwa meningkatkan sumber-sumber daya untuk tujuan-tujuan yang lain hanya akan mengarah kepada kegagalan dan ketidakseimbangan. Kebijakan-kebijakan harus dites melalui filter-filter Islam. Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 85.

21 Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 85

22 Muhammad Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), First Puliblished.

23 Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 9.

Page 312: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

7

dengan al-falah, yang memiliki arti dan menunjukan kepada kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual, budaya, politik, masyarakat dan ekonomi dalam dunia serta rahmat dan kasih sayang dari Tuhan.24 Yang termasuk dalam prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, menurut Akram Khan, adalah yang berkaitan dengan hak milik, faktor-faktor produksi, mekanisme pasar, keuangan umum dan peranan negara dalam ekonomi. Dikatakan bahwa negara memiliki peanan yang positif dalam ekonomi.25 Sikap Islam yaitu bahwa negara harus bertanggung jawab untuk memaksa sikap yang sesuai dengan semua agen ekonomi dan mencegah tingkah laku yang tidak sesuai dengan mereka. Itu harus menjamin keadilan ekonomi sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk mencapai falah dan memiliki tanggung jawab untuk membangun sebuah lembaga yang membantu tercapainya masyarakat Islam. 26 2. Prospek Cerah Perbankan Syariah, karya K.H.. Ma’ruf Amin,27 buku ini memberikan informasi antara lain: prospek perbankan syariah di Indonesia, perkembangan kebijakan dan tantangan industri keuangan syariah di Indonesia, tantangan dan prospek cerah perbankan syariah di Indonesia, kebijakan strategis pengembangan perbankan syariah di Indonesia, peranan dan nilai moral dalam perekonomian Islam, fungsi, peran dan mekanisme kerja dewan syariah nasional MUI di perbankan syariah dan system dan prosedur fatwa tentang ekonomi Islam dan produk halal. Dalamnya dikatakan bahwa pentingnya sebuah regulasi yang lebih komprehensip dalam penerapan prinsip syariah, karena kepercayaaan masyarakat terhadap perbankan syariah semakin hari semakin berkembang. 28 Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) mengawasi pelaksanaan aspek-aspek perbankan syariah di lembaga-lembaga keuangan syariah juga memberikan rekomendasi agar secara periodik melakukan pengawasan terhadap aspek-aspek syariah pada suatu LKS dan melaporkannya kepada DSN. 29 Sedangkan mengenai tantangan dan prospek perbankan syariah menurutnya adalah bahwa perlunya ada penguatan struktur dengan penyediaan modal yang kuat, modal yang kuat akan membentuk suatu manajemen yang professional dan memperkuat daya tahan bank terhadap resiko usaha, kendatipun resiko tersebut

24 Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers,

1996), h. 10. 25 Jika terjadi kerusakan pasar seperti ketentuan-ketentuan mengenai infrastruktur atau

mendirikan sebuah industri yang dibutuhkan atau menyiapkan jasa seperti pelayanan kesehatan; harus mencegah monopoli dala sector pribadi; dan pentingnya mendistribusikan kembali inkam dan kekayaan. Lihat Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 72-73.

26 Lihat Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 73.

27 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah,, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2007), Cet. 1

28 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah,, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2007), Cet. 1, h. 5

29 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah, h. 15

Page 313: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

8

telah dibagai antara antara investor (shahibul mal) dan bank sebagai pengelola (mudarib) yang berbasis bagi hasil.30 Dalam buku ini diuraikan bahwa gagasan berdirinya bank syariah secara Internasional yang muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia yang diikuti oleh 19 negara peserta menghasilkan antara lain: tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak termasuk riba dan riba sedikit atau banyak haram hukumnya. Oleh karenanya agar dibentuk sebuah bank syariah yang bersih dari sistem secepat mungkin. Sedangkan untuk menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga boleh beroperasi sebagai tindakan darurat. 31 Lembaga keuangan yang ada di Indonesia hampir semua telah memiliki konsep berdasarkan ketentuan hukum Islam dalam prakteknya. Konsep tersebut tidak lepas dari keinginan umat Islam untuk mengekpresikan kepatuhannya kepada agama dalam bidang muamalah seperti halnya lembaga keuangan syariah, yakni: perbankan syariah, asuransi syariah, modal ventura syariah, pegadaian syarian leasing syariah, dan yang baru dikembangkan sejak maret 2003 yaitu pasar modal sayariah.32 Gemala Dewi memberikan perbandingan antara bank konvensional dan bank syariah dimana perbedaananya tidak hanya terletak pada bunga dan bagi hasil tapi juga penekanannya pada aspek legalitas atau akad. Bahwa aikad dalam bank syariah itu memiliki unsure yang berbeda. Azas-azas yang paling memonjol adalah azas harus saling menguntungkan.33 4. Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek, karya karya Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud, penterjemah Burhan Subrata,34 buku ini banyak memberikan informasi tentang sistem keuangan, sistem perbankan Islam, perbankan Islam dalam sistem campuran syariah, sikap Islam dan Kristen terhadap riba. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang peranan agama bahwa Ciri khas dari perbankan Islam adalah harus tunduk kepada hukum Islam (syariah) yakni: pelarangan riba dalam semua transaksi; semua aktifitas bisnis harus dijalankan dengan ketentuan syariah (halal); transaksi harus bebas dari unsur gharar (spekulasi yang tidak pasti dan tidak masuk akal); bank harus membayar zakat; dan semua aktifitas harus dengan prinsip-prinsip Islam.35 Lebih lanjut mengatakan bahwa fondasi keuangan dan ekonomi Islam yang bersifat filosofis dan religius terutama difokuskan pada bagaimana menerapkan

30 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah, h. 59. 31 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 53-54 32 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, h. 161. 33 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, h. 100. 34 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan

Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. Ke 1. 35 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan

Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, h. 50.

Page 314: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

9

hukum Islam dalam suatu aktifitas ekonomi dan keuangan. Bisnis perbankan harus dilaksanakan berdasarkan hukum Islam, yang meliputi masalah-masalah penggunaan investasi yang produktif bukan investasi moneter yang menarik bunga atau riba. 36 b. Kesempurnaan Pedoman (Syumuliyah Al Minhaj) Islam sebagai minhaj yang sempurna didasari kepada asas Aqidah, dibina dari akhlak dan ibadah kemudian didukung oleh da’wah dan jihad. Asas dari Islam adalah aqidah. Tanpa aqidah maka tidak akan kuat bangunan Islam karena ibarat rumah aqidah adalah pondasinya, kekuatan rumah dan bangunan dipengaruhi oleh kekuatan pondasi itu sendiri. Pada sebuah rumah bila aqidah diibaratkan sebagai pondasinya maka akhlaq dan ibadah sebagai bangunan yang akan mengokohkan dengan membentuk bagaimana rupa rumah tersebut, semakin bagus ibadah dan akhlaknya semakin bagus bentuk dan rupa rumah tersebut. untuk memperindah rumah tersebut perlu ada hiasan di rumah tersebut dengan da’wah dan jihad melalui dukungan da’wah dan jihad, maka pondasi tetap kuat dan kukuh, bangunan terpelihara dengan baik, hiasan rumah yang utama adalah atapnya dengan atap maka rumah yang dibangun akan berfungsi dengan baik. Tanpa atap, sebagus apapun bentuk bangunannya tidak akan dapat berfungsi dengan baik.37 c. Kesempurnaan Tempat dimanapun (Syumuliyah Al Makan) Seluruh tempat di muka bumi ini adalah tempat yang sesuai dengan Islam. Demikian pula siapa pun orangnya dan darimana pun asalnya, tetap di bawah naungan Islam. Semua itu diciptakan oleh Allah. Karena hanya Allah penciptanya maka seluruh makhluk dan alam dimana pun sama, sama-sama diciptakan Allah sehingga Islam yang dijadikan sebagai pedoman hidup maka Islam berlaku bagi seluruh makhluknya dimana pun mereka berada.38 3. Sistem Yang Terkandung dalam Islam Sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia dulu, kini dan yang kan datang, Islam memiliki kesempurnaan sehingga fleksibel di segala jaman dan lengkap sehingga dapat dipergunakan di segala jaman pula, diantara sistem yang terkandung di dalam Islam ialah: Islam Sebagai Akhlaq Islam sebagai diin tidak hanya berisi tentang cara peribadatan namun Islam mempunyai sistem akhlaq yang membedakannya dengan sistem moral/tingkah laku buatan manusia. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang berpandukan kepada Al Qur’an. Islam mengajarkan hubungan Allah sebagai khalik dan manusia sebagai makhluk. Maksudnya, akhlaq adalah tingkah laku makhluk yang diridhai Khalik.

36 Lihat 36 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip,

Paraktik dan Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, h. 313. 37

QS. Ali Imran (5) : 104

38

QS. Al Baqarah (2) : 163-164.

Page 315: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

10

Sistem akhlaq dalam pandangan Islam mencakup seluruh kehidupan alam dan manusia dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip dasar alam dan manusia. Manhaj yang bersesuaian dengan tashawur umum ini bersumber dari Allah SWT, oleh karena itu Islam dapat melahirkan perilaku amal saleh dan akhlaq yang mulia. Namun amat disayangkan hal yang tragis terjadi sekarang adalah seorang muslim bekerjasama dengan orang yang memusuhi Islam dan mengesampingkan kaum muslimin karena terikat oleh satu ide atau ikatan. Hal ini terjadi karena aqidah mu’min belum mantap di hati mu’min tersebut. ia belum pernah mendapat pendidikan Islam yang benar dan belum mendapat kesempatan hidup di lingkungan Islami yang membudayakan akhlaq Islami, berarti ia masih memiliki hati nurani dan fitrah yang benar. Secara umum bentuk-bentuk akhlaq itu dibagi menjadi lima, yaitu: Akhlaq kepada Allah, QS. Al Baqarah (2) : 186 Akhlaq kepada Rasul, QS. An Nisaa’ (4) : 80 Akhlaq kepada diri sendiri, QS. Al Baqarah (2) : 43-44 Akhlaq kepada sesama, QS. Al Baqarah (2) : 83 Akhlaq kepada alam, QS. Al Baqarah (2) : 30 Dengan kelima akhlaq di atas, maka seorang mu’min akan meninggalkan perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan mulia. b. Islam Sebagai Pedoman Hidup Konsep keyakinan, QS. Al baqarah (2) : 255 Konsep moral (akhlaq), QS. Al A’raf (7) : 96 Konsep tingkah laku, QS. Al Baqarah (2) : 138 Syu’ur (perasaan), QS. Ar Rum (30) : 30 Konsep pendidikan (tarbawi), QS. Al Baqarah (2) : 151, Hadits “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga akhir hayat” (HR. Muslim) Konsep sosial (ijtima’i), QS. Ar Rum (30) : 22, An Nur (24) : 2-10 Konsep politik (as siyasi), QS. Yusuf (12) : 40 Konsep ekonomi (Iqtishadi), QS. Al Baqarah (2) : 275-276 Konsep kemiliteran (Al Asykaari), QS. Al Anfaal (8) : 60 Konsep hukum/peradilan (Al Jinaa’i), QS. An Nisaa’ (4) : 65 Islam sebagai agama yang dipeluk oleh manusia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup pemeluknya. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Islam merupakan perwujudan aturan hidup yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada manusia. Oleh karena itu Islam disebut juga Diinullah. Diin memiliki makna yang berbeda dari agama (milah). Islam memiliki ciri dan sifat tertentu yang menggambarkan kehidupan manusia secara keseluruhan. Pemahaman Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya adalah Islam yang bersifat integral, lengkap, sempurna dan komprehensif berdasarkan Al Qur’an dan yang dicontohkan Rasulullah SAW melalui sunnahnya. Islam juga merupakan agama para Nabi mulai dari Adam AS sampai Nabi yang terakhir yaitu Nabi

Page 316: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

11

Muhammad SAW. Ia memiliki beberapa makna yang menggambarkan sifat Islam itu sendiri, antara lain : Islam Diil Al-Anbiya Wal Mursalin, Islam Minhajul Hayah (pedoman hidup), Ahkamullah fi kitabihi wa sunnah rasulihi (hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As Sunnah), Ash-shirath al mustaqim (jalan yang lurus) dan Salamah dunia wal akhirat (selamat dunia dan akhirat). Diharapkan setelah memahami Islam secara menyeluruh kita dapat memperbaiki amal ibadah kita di dunia sebagai wujud pelaksanaan tujuan kita diciptakan di bumi ini.39 1. Makna Islam a. Makna Islam secara bahasa berarti : Al Wajh (menundukan wajah), QS. An Nisaa’ (4) : 125 Al Istislam (berserah diri), QS. Ali Imran (3) : 83 As Salaamah (suci, bersih), QS. As Syuara (26) : 89 As Salaam (selamat/sejahtera), QS. Al An’am (6) : 54 As Salm (perdamaian), QS. Muhammad (47) : 35 b. Secara istilah Islam berarti Islam dalam Al-Qur’an disebut Ad Diin mengandung arti sistem kehidupan yang menyeluruh termasuk ibadah, kemasyarakatan, politik dan jihad. Islam mencakup keseluruhan hidup. Islam secara lengkap menyediakan keperluan manusia untuk mengatur kehidupan oleh karena itu Islam itu tinggi dan tiada yang menandinginya.40 Islam bagaikan sebuah bangunan yang sempurna dengan pondasi aqidah yang kuat dan sendi tiang berupa ibadah kepada Allah dan diperindah dengan akhlak yang mulia. Peraturan dalam syariat Allah adalah yang memperkuat bangunan tersebut, manakala da’wah dan jihad merupakan pagar-pagar yang menjaga dari kerusakan musuh-musuh Islam. Islam juga memperhatikan suatu keseimbangan dimana Islam sebagai diin tidak hanya mengejar kepentingan akhirat tapi juga kepentingan dunia. Islam menggambarkan suatu keutuhan dan kesatuan dengan berbagai aspek kesempurnaan. Dengan demikian Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur semua yang ada di alam agar kembali kepada hukum Allah, pencipta alam ini. 2. Kesempurnaan Islam (Syumuliyah Al Islam) Setiap muslim diperintah oleh Allah SWT untuk masuk dan memeluk Islam secara keseluruhan agar kita memahami bahwa Islam itu sempurna maka kita pertama-tama harus menyadari dan memahami bahwa Islam itu sempurna dilihat dari berbagai aspek, yaitu : a. Kesempurnaan Sepanjang Zaman (Syumuliyah al Zaman) Islam sebagai aturan hidup sepanjang masa menunjukkan bahwa Islam diperuntukkan kepada semua alam semesta tidak terkecuali. Manusia sebagai khalifah bertugas menjaga, membangun dan memelihara melalui penutup nabi

39 QS. Adzariyat (51) : 56 40 QS. Ali Imran (3) : 19

Page 317: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

12

yaitu Muhammad SAW, beliau membawa risalah yang sama dengan nabi Adam AS sebagai khatam al anbiya (penutup nabi) maka seluruh risalah yang dibawa para nabi sebelumnya dilengkapi dan disempurnakan sehingga berlaku bagi seluruh manusia, tidak hanya untuk umat Rasulullah SAW pada saat itu saja, namun berlaku hingga akhir jaman.41 2. Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.42 Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh sistem sosial, terutama sistem hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah.43 Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh BUS adalah: Menjamin penerbitan surat berharga; Penitipan untuk kepentingan orang lain; Menjadi wali amanat; Penyertaan modal; Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.

41 QS. As Saba (34): 28. 42 Muhammad Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) hlm. 59. 43 Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), hlm. 174.

Page 318: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang memiliki

hubungan yang sinergi antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif

populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik,

ekonomi, sosial dan budaya. Kesimpulan ini menolak pendapat: Nurcholis Majid,

Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan bahwa

formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, tidak diperlukan, karena negara

harus bersifat netral tidak boleh didominasi oleh satu golonganpun, baik muslim

maupun non-muslim.

Disertasi ini juga memperkuat pendapat gerakan Islam Politik yang

mengutarakan bahwa penegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan

kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, gerakan ini menempuh strategi gradualis dan

demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin,

Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Amin Suma,

Sri-Edi Swasono, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, dan Riawan Amin.

Indikator yang menunjukkan kebenaran kesimpulan disertasi ini dapat

diketahui bahwa: pembentukan bank Islam di dunia; seperti, pertama Mesir Bank Mit

Ghamr maupun Bank Sosial Nasr; Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial

Islamic International Bank for Investment and Development, ternyata melibatkan elit

politik pemerintah, peranan pemerintah sangat besar, baik dalam bentuk regulasi

maupun permodalan; kedua, Pakistan, menghapuskan sistem lembaga keuangan non-

bank, dengan sistem non-ribawi; ketiga, Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan

secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran; keempat bank Amanah

Philipina, Bank Islam Malaysia, juga melibatkan pemerintah.

271

Page 319: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

272

Disertasi ini juga memberikan kesimpulan bahwa politik hukum perbankan

syariah ini terbagi menjadi tiga fase: Pertama fase orde lama, dimana usaha-usaha

penegakkan syariat Islam diformat melalui piagam Jakarta, mengalami kegagalan,

walaupun telah dipersiapkan oleh BPUPK) atau PPKI; Kedua, fase orde baru yakni

berdirinya BMI yang kemudian ditetapkan UU No.7/1992 Tentang Perbankan,

dimana bank bagi hasil diakomodasikan. Hal ini didasarkan pada adanya sikap

akomodatif pemerintah terhadap aspirasi rakyat; Ketiga fase reformasi, berhasil

mengamandemen UU Nomor 7 Tahun 1992 dengan lahirnya UU Nomor 10 Tahun

1998 yang lebih memposisikan dengan jelas kedudukan perbankan Islam. Pada masa

ini pula lahir UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang disahkan

pada tanggal, 17 Juni 2008. Undang-Undang ini secara eksplisit menyebutkan tentang

Perbankan Syariah.

Jika kita tinjau dalam perspektif hukum Islam, penegakan Syari’at Islam di

Negara yang berpenduduk mayoritas muslim merupakan kewajiban sebagai fardu

kifâyah.

B. Rekomendasi

1. Masih banyaknya pebedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai bunga

bank, untuk itu perlu duduk bersama untuk redefinisi pemahaman agama Islam

terhadap bunga yang selama mebawa kemudharatan terhadap kehidupan bangsa;

2. Umaro dan ulama hendaknya bersanding lebih dekat dalam menyelesaikan

persoalan negara khusunya mengenai hukum dan menjawab tantangan serta

memberikan solusi mengenai perbankan syariah, dimana dalam praktek prinsip

murabahah masih mendapatkan kritikan yang dianggap masih belum lepas dari

sistem bunga;

3. Perlu adanya keseragaman pola fikir secara bersama mengakui bahwa perbankan

syariah sebagai satu-satunya bank yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam.

Page 320: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

273

Dengan demikian, bertransaksi melalui bank syariah berarti membangun dan

menjalankan syariah Islam sebagai perintah Allah;

4. Semestinya pemerintah menunjukan keberpihakannya secara signifikan terhadap

ekonomi syariah, sebagai aspirasi rakyat mayoritas. Padahal pemerintah secara

pasti telah mengetahui bahwa bank syariah telah diakui oleh seluruh dunia

internasional, disamping resisten terhadap krisis moneter 1997;

Page 321: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

DAFTAR PUSTAKA

A. Kitab Suci Al-Qur’an al-Karim

B. Buku-Buku Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf,

1995, Jilid 2.

Afzalurrahman, Islam: Ideology and The way of Life, London: The Muslim School Trust, 1980.

Ahmadi, Abu, dan Anshori Umak Sitanggal, Sistim Ekonomi Islam Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

Allouche, Adel, Maluk Ekonomics: A study and Translation of al-Maqrizi’s Ighathah (Salt Lake City: University of Utah Press, 1994)

Amin, Ma' ruf, Fatwa Dalam Hukum Sistem Islam, Jakarta: Elsas, Cet. Ke- 1. 2008.

Amin, A. Riawan, Menata Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: UIN Press, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009.

Amin, Hammad Al-Bashir Muhammad, Istisna (Manufacturing Contract) in Islamic Banking and Finance, Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd., Second Print, 2006.

Amin, Ma'ruf, Prospek Cerah Perbankan Syariah, Jakarta: LeKAS, 2007, Cet. Ke-1

An-Na'im, Abdullah Ahmed, Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties Human Right and International Law, Terjemahan, oleh Ahmad Suaidy dkk, Jogjakarta LKIS, 1994.

Anshori, Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007.

Arifin, Zainul, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan prospek, Jakarta: Alvabert, 1999, Cet. Ke-1

Ash-Shadr, Syahid Muhammad Baqir, Keunggulan Ekonomi Islam, Penerjemah M. Hashem, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.

Audi, Al-, Rifa’at Min al-Turâts: al Iqtisâd li al-Muslimîn (Mekah: Râbithah ‘alam Islâmi, 1985).

274

Page 322: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

275

Azra, Azyumardi, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam II, Jakarta: Intermasa, 1996, Cet. Ke- 1

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta, Penerbit Kalimah, 2001.

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I

Beatty, Andrew, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, Cambridge University Press, Cambridge, 1999.

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. Ke- 1, 2006.

Borgatta, Edgar.F. (ed), Encyclopedia of Sociology, V.1., Macmillan Publishing Company, New York, 1992.

Boulakia, Jean David C., Ibnu Khaldun, Fourteenth Century Economist, dalam Journal of Political Economy (Chicago: Chicago University, 1971, Vol. 79.

Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, M. Ag., Jakarta: Gema Insani Press,2000, Cet. Pertama

Chapra, M. Umer, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Chapra, M. Umer, The Future of Economics: An Islamic Perspective, pent. A diar Amir…(et. al.) (Jakarta: SEBI, 2001)

Chatamarrasyid, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencaba Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke- 5

Choudhury, Masudul Alam, Contributions to Islamic Economic Theory, New York: Martin's Press, 1986. t.

Choudhury, Masudul Alam, Studies in Islamic Social Science, Britain: Macmillan Press, 1998.

Crave, David W., Pemasaran Strategis, Penerjemag Lina Salim, Jakarta: Erlangga. 1991, Edisi4, Cet. Ke-3 Jilid 1 & II.

Dahlan, Abdul Aziz, (ed), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977, Jilid 2.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtra Baru Van Hoeve, 1997), Jilid 5, Cet. 1

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Rahawali Press, 1995)

Departemen Agama, Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009.

Page 323: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

276

Departemen Agama.. Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama Nomor 110 Tahun 1982 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). 1982

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Jakarta: Balai Pustaka , 1996, Cet. Ke 7.

Devi, Laxmi., (ed), Encyclopedia of Social Research, V.2., , New Delhi, Anmol Publications PVT.LTD, 1997

Dewan Asuransi Indonesia, Undang-undang RI nomor 2 Th 1992 dan Peraturan Pelaksana Tentang Usaha Perasuransian, DAI, 2003, ed 1.

Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Himpunan Fatwah dewan Syari’ah Nasional, Jakarta : DSN-MUI dan BI, 2003.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi, Jakarta: CV. Gaung Persada, 2006, Cet. Ke- 3

Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-3..

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, , Jakarta: LP3ES, 1985

Engineer, Asghar Ali, “Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999)

Esposito, John (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, V.3, New York, Oxford, Oxford University Press, 1995.

Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Rusel Sage Foundation), 1975, h. 15

Ghazanfhar, S.M., dan Abdul Azim Islahi, Economic Thought of am Arab Scholatic: Abu Hamid Al-Ghazali, dalam History of Political Economy, Durham: Duke University Press.,1990, Vol. 2 No. 22.

Gie, Kwik Kian, Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, Cet. Ke-2, 1999.

Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Bandung: CV. Diponegoro,1996.

Hallaq, Wael B. Authorrity, Continuity and Change in Islamic Law, New York: Cambridge University Press, 2001.

Hanafi, Hassan, Al-Us ûliyah al-Islâmiyyah dalam al-Dîn wa as -S awrah fi Misr 1952-1981, Terjemahan Kamran As’ad Irsyadi, Mufliha Wijayanti

Page 324: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

277

Hanef, M. Assalam, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis (Kuala Lumpur: 1995)

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Hasjimi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)

Hosen, Nadratuzzaman, Ali, Hasan, Muchtashib, Menjawab keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah, Jakarta: PKES, 2007.

Hoyle, Mark S.W., Dr., Arab and Islamic Laws Series, Canada: Kluwer Law International, 1198.

Ibnu Hazm, Risâlah an-Naql al-Arus fi Tawârikh al-Khulafâ (Beirut: Muassasat al-Arabiyah, 1987)

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, edisi Indonesia, pent. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).

Issawi, Charless, Ibnu Khaldun’s Analysis of Economic Issues; Reading in Islamic Thought (Malaysia: Longman, 1992)

Jalaluddin, Abul Khair Muhd., The Role of the Government in an Islamic Economy, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1991.

Janidal, Hammad, Al- bin Abdurrahman, Manâhij al-Bahitsin fi al-Iqtisâ al-Islâmi (Riyadh: Syirkah al-Ubaikan li al-Thaba’ah wa-al Nasyir, 1406 H), Jilid 2.

Kaaf, Abdullah Zakiy, Al-, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, Cet. Ke-1

Kahf, Monzer, A Contribution to the Theory of Consumerin an Islamic Siciety, dalam Khursyid Ahmad (Ed.) in Islamics Economics (United Kingdom: The Islamic Foundation & IRTI-IDB, 1981).

Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.

Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke- 1.

Karim, Adiwarman A, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, Cet. Ke- 3.

Karim, Adiwarman A, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 3

Karim, Adiwarman A., Islamic Banking: Fiqh and financial Analysis, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Ed. 2005.

Page 325: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

278

Karim, Adiwarman Azwar, Pemikiran Ekonomi Seorang Skolastik Arab: Abu Hamid Al-Ghazali (Jakarta:Tim IIIT IAIN Jakarta, 2002)

Kasmir, Bank Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-6.

Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Khan, Muhammad Akram, Economic Message of The Quran, Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996.

Khudairi, Zaenab al-, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995)

Kusumatmadja, Muchtar, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum, (Bandung Bina Cipta, 1976), h. 31

Lewis, Mervyn K. & Algaud, Latifa M., Terjemahan Burhan Subrata, Perbankan Syariah: Prinsip Teori, Praktik dan Prospek, Jakarta: Pt. Serambi Ilmu Semesta, 2001, Cet. Ke-1.

Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics: From Antruism to Cooperation to Equity, London: MacMillan Press, 1977.

Lupioadi, Rambat, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta: 1996).

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, et. Al, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilemma Piagam Jakartadalam AmandemenUUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001.

Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999, Cetakan I

Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dal Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. I.

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1998, Cet, XI

Makruf, Jamhari., Radikalisme Melawan Modernisme?, Tempo, 29 Desember 2002.

Maliki, Abdurrahman, Al-, Politik Ekonomi Islam, Penerjemah: Ibnu Sholah, Bangil Jatim: Al-Izzah, 2001, Cet. Pertama.

Mannan, Moh. Abdul, Ekonomi Islam; Teori dan Praktek, Jakarta: Inter masa,1992.

Page 326: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

279

Mannan, Moh. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Maqrizi, Al-, Al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, dalam al-Abbal-insitas al-Karmali (ed) Kitab an-Nuqud al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah wa ‘Ilm an-Namyat (Kairo: Maktabah al-Tsaqofah al-Diniyah, 1986)

Marthon, Said Sa’ad, Al-Madkhal li al-fikr al-iqtishad fi al-Islam: Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin, Jakarta: Zikru Hakim, 2007.

Martinsion, Paul Varo, Islam an Introduction for Christian, United State of America, Augsburg, 1994.

Mishri, Al-, Abdul Sami', Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Penterjemah Dimyauddin Djuaini, Yogyakarta:, Maktabah Wahbah 14, Cet. Ke- 1, 2006.

Mufti, Aris, Bunga Bank: Maslahat atau Muslihat, Jakarta: PT. Quantum Prima, 2004.

Mughni, Al-, Syafiq, Sejarah Kebudayaan di Turki (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Muhammad, Abdul Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, Semarang:Dina Utama Semarang, t. th.

Muhammad, Bank Sayariah: Analisis Kekuatan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, Cet. Ke- 3.

Muhammad, Bank Syariah: Problem dan prospek Perkembangan di Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu, 2005.

Muhammad, Qutb Ibrahim , Kebijakan Ekonomi Umar Ibnu Khathab, Penerjemah Ahmad Syarifuddin Sholeh, Jakarta: Graha Ilmu, Cet. Ke-1. 2002.

Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke-3.

Nabhani, Taqiyuddin, An., Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Nasution, Mustafa Edwin, et al, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana , Cet. Ke 2, 2007.

Nyazee, Imran Ihsan Khan, Theories of Islamic Law, Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1966, First Edition.

Perwataatmadja, Karnaen, dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999, Cet. Ke- 3.

Page 327: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

280

Perwataatmaja, Karnaen, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Diktat Kuliah pada Fakultas Syariah, 2000/2001.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Qureisyi, Anwar Iqbal, Islam and The Theory of Interest (Lahore: S.M. Ashraf Publishers, 1946)

Ra’ana, Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-Khattab (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Cet. Ketiga.

Rajagukguk, Erman, Perubahan Hukum di Indonesia Persatuan Bangsa, Perubahan ekonomi dan kesejahteraan sosial (1998-2004). Makalah disampaikan dalam seminar Huklum di Indonesia, dilaksanakan di Fakultas Hukum Unibersita Indonesia pada tanggal 17 Desember 2004 di Jakarta.

Sachiko Murata and William C. Chittick, The vision of Islam, USA: Paragon House, 1994.

Sadeq, Abdul Hasan M. dan Ghazali, Aidit (ed), Reading in Islamic Thought (Malaysia: Longman, 1992)

Salabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994)

Shawi , Shalah, As- & Al-Mushlish, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah Umar Ibnu Basyir, Jakarta: Daarul Haq, 2008, Cet. Ke- 2

Sholahuddin, Muhammad, SE., M.Si., dan Lukaman Hakim, SE. M.Si., Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah kontemporer, Surakarta: Muhammadiyah University Press., 2008.

Siddiqi, M. Nejatullah, Role of The State in the Economiy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundtion, United Kingdom: 1996.

Sidiqi, M. Nejjatullah , Kegiatan Ekonomi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996)

Sidiqi, M. Nejjatullah, The History of Islamic Economic Thought, dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awan , Lectures on Islamic Economics (Jeddah: IRTI, IDB, 1992).

Singelton, R.A. dan Straits, B. C., Approaches to Social Research, New York: OUP,1999.

Soekanto, Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali, 1991.

Swasono, Sri-Edi, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional, Jakarta: Pustep-UGM, 2010.

Page 328: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

281

Swasono, Sri-Edi, Indonesia dan Doktrin Kesejateraan Sosial: Dari Klasikal dan Neo Klasikal Sampai Ke The End Laissez Faire, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010

Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: EKONISIA, Kampus FE UII, Edisi, 2, 2004.

Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2005, Cet. Ke- 3.

Sudarsono, Heri,, Menggali Akar dan Mengurai Serat Ekonomi & Keuangan Islam, Jakarta: Kholam Publishing, 2008, Cet. Pertama.

Sumitro, Warkum, SH., MH., Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 4.

Syafi'i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendikiawan, Jakarta:, 1999 Cet. Ke-1.

Syafi'i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Bagi Bankir dan praktisi Keuangan, Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institut, 1999, Cet. Ke-1.

Vogel, Frank E. and Hayes, Samuel L., Islamic Law and Finance; Religion, Risk, and Return, Kluwer Law International, 1998.

Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat Hidup dan Karyanya, pent. Ahmad Toha (Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Wahid, Abdurrahman., Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta:LkiS, 2001.

Watt, William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003, Cet. I

Yasni, Muhammad Gunawan, Ekonomi Sufistik, Mizan, 2007, Cet. Ke-1

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992, Cet. Kedua.

Yusuf Al, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke- 1.

Yusuf Al, Islamic Banking and Interest: A study of the Prohibition of riba and its Contemporary Interpretation, Nederlands: 1996.

Yusuf Al-, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah, Zainal Arifin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet. Ke- 1.

Zadjuli, Suroso Imam, Siz Model AnalisiPembangunan Kemiskinan di Indonesia, Surabaya, PSIE-I-PRESS, 2008.

Page 329: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

282

Zarqa, Anas, Islamic Economics: An Approach to Human Welfare, dalam Khursid Ahmad (ed.) Studies in Islamic Economics, Leicester: The Islamic Foundation, 1980.

Zarqa, Mustafa Anas, Islamics: an Approach to Human Welfare, dalam Aidit Ghazali dan Syed omar (ed.), Reading in the Concept and Methodology of Islamics Economics (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989.

Ziemek, Manfred., Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: 1986.

Zuhaily, Wahbah, Al-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsik: Dar al-Fikri, 1978.

Zuhairini, dll., Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1997.

C. UU, Perpem, Peraturan BI, SK Direksi BI, Surat Edaran BI, dan Fatwa-Fatwa DSN-MUI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilam Agama untuk Ekonomi Syariah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun1967 tentang Pokok Perbankan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1992 tentang Perabankan

Peraturan Pemerintah Repulblik Indonesia Nomor 72/1992 tanggal 30 Oktober tentang Bank Bedasarkan Prinsip Bagi Hasil

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39/2005 tentang Penjaminan Simpan Nasabah Bank Bedasarkan Prinsip Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang System Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Bedasarkan Prinsip Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antar Bank Bedasarkan Prinsip Syariah.

Page 330: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

283

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/7/PBI/2003 tentang Kwalitas Aktiva Produktif bagi Bank Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004Tentang Serfikat Wadiah Bank Indonesia

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perbahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/1999 Tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip bagi Hasil

Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tenatng Beberap Produk dan Ekonomi Syariah.

D. Jurnal/Koran/Websit Abdillah, Masykuri, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,

dalam Jauhar Journal Pemikiran Islam Kontektual, Vol. 1, No. 1, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.

Djamil, Fahurrahman, The Muhammadiyah and the Theory of Maqashud Al-Syariah, Studi Islamika, Volume 2, Nomor 1, 1995.

E. Referensi yang tidak dipublikasikan Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Ekonomi Syariah,

Makalah pada rapat Kerja Kelompok Kerja Perdata Agama MA. RI, di Cisarua Bogor, Pada 16-17 Maret 2007.

Abullah, Abdul Gani,Catatan Kuliah Politik Hukum, (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), 14 April 2010

Bismar Nasution, Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, Kerjasama Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan Mahkamah Agung RI, di Medan, 27 Oktober 2007, h. 14-15.

Nuruddin, Amir, Peran Fakultas Syariah dalam Pembinaan dan Pengembangan Hukum Ekonomi Syariah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional

Page 331: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

284

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, kerjasama fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan MA RI, Medan 27 Oktober 2007.

Suma, Muhammad Amin, "Potensi Lembaga Keuangan Sosial Dalam Sistem Keuangan Syariah di Indonesia", , Seminar yanmg dilaksanakan pada fakultas syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 17 Januari 2007.

Wisakseno, Budi, Peranan Perbankan Syariah di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh fakultas ekonomi Unuiversitas Trisakti pada tanggal 01 Desember 2994, bertempat di Kampus A. Trisakti Grogol, Jakarta.

Page 332: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi dari Arab ke Latin yang dipergunakan dalam penulisan

desetasi ini adalah mengacu kepada “Pedoman Transliterasi Turabian”, yang diunggah pada tanggal, 22 Juni 2010, berdasarkan arsip tanggal, 9 Januari 2008, 6:29 am. Pedomna transliterasi tersebut adalah sebagai berikut:

dh ض a أ th ط b ب

zh ظ t ت

‘a ع ts ث

gh غ j ج

f ف ĥ ح

q ق kh خ

k ك d د

l ل dz ذ

m م r ر

n ن z ز

h ه s س

w و sy ش

y ي sh ص

● Bacaan yang panjangnya dua harakat diberi tanda dengan garis bawah, atau ditulis dengan huruf yang dobel. ● Hamzah ( ء) yang dimatikan/disukun diberi tanda ( ` ). Contoh:

1. An-Nisa`, atau An-Nisaa` ( النساء ) 2. Al-Fatiĥah ( الفاتحة ) 3. Ar-Ra’du ( الرعد ) 4. Al-Ma-idah, atau Al-Maa-idah ( المائدة )

Page 333: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

CURRICULUM VITAE

A. Identitas Nama : Dr. Djawahir Hejazziey, Drs., SH., MA NIP : 130 789 745 Tempat/Tgl.Lahir : Banten, 15 Oktober 1955 Pekerjaan : Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta Pangkat/Gol. : Lektor Kepala/IV/a Jenis Kelamin : Laki-Laki Jabatan : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Alamat : Jl. Abd. Wahab, Swadaya I/58, RT.03/006 Sawangan-Depok Telp/Hp :(021)7424454/08989874999 Email : [email protected] Keluarga Ayah : H. Sayyid Djamhari al-‘Aroziey (wafat 1997) Ibu : Siti Mashitoh (Wafat 1957) Istri : Ana Susanti Putra : - Wihda Hejazziey : - Sayyid Fahd Mohammed Hejazziey : - Siti Nabilah Hejazziey : - Ezzet Al- A’laa Hejazziey : - Ratu Fedhlia Wednina Okta Hejazziey : - Maula Ikfina Qonita Hejazziey B. Pendidikan

1. SD 6 Tahun Pekalongan, Cilegon Banten (1968) 2. Madrasah Ibtidaiyah Pekalongan, Cilegon Banten (1968) 3. PGAN 4 Tahun Pahoman, Lampung (1972) 4. PGAN 2 Tahun Serang, Banten (1975) 5. Sarjana Muda (BA) Tadris B. Inggris Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta (1978) 6. Sarjana Muda Hukum (Sm.HK) Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta

(UID) (1986) 7. Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas IKIP Jakarta (1979) 8. Sarjana (Drs.) Bahasa Inggris IAIN Jakarta (1987) 9. Sarjana Hukum (SH) Hukum Perdata Internasional UID (1988) 10. Magister (MA) Pascasarjana IIQ Jakarta (2004) 11. Program S3 Ekonomi Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (2010)

Page 334: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

C. Pengalaman/Riwayat Kerja 1. Guru SMAN 24 Jakarta (1979-1986) 2. Guru SMAN 82 Jakarta (1986-1996) 3. Pengacara bersama Syamsuddin & Partners (1990-1994) 4. Guru SMAN 108 Jakarta 1996-2001) 5. Pembina OSIS SMA 82 Jakarta (1986-1992) 6. Staf Kepala Sekolah (1992-1995) 7. Wakil Kepala Sekolah SMAN 108 (1997-2000) 8. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Maulana Hasanuddin Banten

(1998-2006) 9. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Syariah IIQ Jakarta (2005-2008) 10. Dosen Terbang pada Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (2004-

2005) 11. Ketua Koordinator Teknis Program Non Reguler FSH UIN Jakarta (2005-

Sekarang) 12. Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(2001-Sekarang) D. Seminar dan Workshop

1. Peserta Seminar Internasional “ Islamic Law in Southest Asia Opportunity(2007)

2. Peserta Seminar “Potret Kerawanan Sosial DKI Jakarta, Sebuah Evaluasi Kritis” di Jakarta (2007)

3. Peserta Workshop Nasional “Menggagas Konsentrasi Manajemen Zakat dan Wakaf” (2007)

4. Peserta Seminar Nasional “Politik Perempuan dan Perumusan Hukum Islam di Jakarta (2007)

5. Peserta Talk show “Perencanaan Keuangan Keluarga dan Investasi dalam perspektif Ekonomi Syariah” di Jakarta (2006)

6. Peserta Workshop Nasional “Menggagas Program Studi Hukum Bisnis Syari’ah di Fakultas Syari’ah” di jakarta (2005)

7. Peserta Workshop “Mencegah Radikalisme Agama Melalui Lembaga-Lembaga Penyiaran Agama” di Jakarta (2004)

E. Penelitian a. Individual Analisa terhadap Peraturan Perundang-Undangan Islam Di Indonesia, 2008. b. Kolektif

1. Dinamika Belajar di Program Non-Reguler, 2009 2. Respon Mahasiswa Non-Reguler Terhadap Kehadiran Bank Konvensional di

Kampus UIN Jakarta. 2010

Page 335: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

F. Karya Ilmiah : 1. Idiomatic Phrase for Senior High School, Diktat, 1980. 2. Dampak Testamen terhadap Hukum Kewarisan menurut BW dan Islam,

Paper, Universitas Islam Jakarta: 1986. 3. Teaching Adjective in the Senior High School 24 KJ Jakarta, Paper, 1987 4. Special Readers English for Islamic Studies, Banten: IAIN Suhada Press,

2005. 5. English Competency in Reading Comprehension: For University Students

Faculty of Sharia and and Law, State Islamic University, Jakarta: 2004. 6. Aspek Ketertiban Umum sebagai Filter Hukum Asing dalam Hukum Perdata

Internasional, Skripsi, Uiversitas Islam Jakarta (UID), 1988. 7. Studi Anak Yatim dalam Perspektif Al-Qur’an, Tesis, 2004. 8. Politik Hukum Nasional tentang Perbankan Syariah di Indonesia

Kampus UIN “Syahida” Jakarta, 17 September 2010. Djawahir Hejazziey

NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 NIP.: 130 789 746

Page 336: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

Lampiran:

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA

NO. NOMOR FATWA Tentang

1. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro 2. 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan 3. 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito 4. 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah 5. 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam 6. 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istisna 7. 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) 8. 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah 9. 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah 10. 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah 11. 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah 12. 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah 13. 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka Dalam Murabahah 14. 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS 15. 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS 16. 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon Dalam Murabahah 17. 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-

Nunda Pembayaran 18. 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif

Dalam LKS 19. 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh 20. 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa

Dana Syariah 21. 21/DSN-MUI/X/2001 Pedomana Umum Asuransi Syariah 22. 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishnah Paralel 23. 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah 24. 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box 25. 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn 26. 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas 27. 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Mumtahiya Bi al-Tamlik 28. 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) 29. 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 30. 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syariah

Page 337: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

31. 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Hutang 32. 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syariah 33. 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syariah Mudharabah 34. 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syariah 35. 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syariah 36. 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia 37. 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antar Bank Berdasarkan Prinsip

Syariah 38. 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank

(Sertifikat IMA) 39. 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji 40. 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan

Prinsip Syariah Dibidang Pasar Modal 41. 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah 42. 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card 43. 43/DSN-

MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta’widh)

44. 44/DSN-MUI/VII/2004 Pembiayaan Multi Jasa 45.. 45/DSN-MUI/II/2005 Line facility ( at-Tashilat) 46. 46/DSN-MUI/II/2005 Potongan Tagihan Murabahah 47. 47/DSN-MUI/II/2005 Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah

Tak mampu bayar 48. 48/DSN-MUI/II/2005 Penjadwalan Kemabli tagihan Murabahah 49. 49/DSN-MUI/II/2005 Konversi Akad Murabahah 50. 50/DSN-MUI/III/2006 Akad Murabahah Musytarakah 51. 51/DSN-MUI/III/2006 Akad Murabahah Musytarakah pada Asuransi

Syariah 52. 52/DSN-MUI/III/2006 Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Dan

Reasuransi Syariah 53. 53/DSN-MUI/III/2006 Akad Tabarru’ Pada Asuransi Dan Reasuransi

Syariah 54. 54/DSN-MUI/X/2006

Syariah Card

55. 55/DSN-MUI/V/2007

Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah Musyarakah

56. 56/DSN-MUI/V/2007

Ketentuan Review Ujrah Pada Lembaga Keuangan Syariah

57. 57/DSN-MUI/V/2007 Letter Of Credit (L/C) Dengan Akad Kafalah Bil Ujrah

Page 338: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

58. 58/DSN-MUI/V/2007 Hawalah Bil Ujrah 59. 59/DSN-MUI/V/2007 Obligasi Syariah Mudharabah Konversi 60. 60/DSN-MUI/V/2007 Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor 61. 61/DSN-MUI/V/2007 Penyelesaian Utang Dalam Impor

62. 62/DSN-MUI/XII/2007 Ju’alah 63. 63/DSN-MUI/XII/2007 SBSI 64. 64/DSN-MUI/XII/2007 Sertifikat Bank Indonesia 65. 65/DSN-MUI/III/2008 Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Hmetd)

Syariah 66. 66/DSN-MUI/III/2008 Waran Syariah 67. 67/DSN-MUI/III/2008 Anjak Piutang Syariah 68. 68/DSN-MUI/III2008 Rahn Tasjily 69. 69/DSN-MUI/VI/2008 Surat Berharga Syariah Negara 70. 70/DSN-MUI/VI/2008 Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah

Negara 71. 71/DSN-MUI/VI/2008 Sale And Lease Back 72. 72/DSN-MUI/VI/2008 Surat Berharga Syariah Negara

Ijarah Sale And Lease Back 73. 73/DSN-MUI/XI/2008 Musyarakah Mutanaqisah 74. 74/DSN-MUI/I/2009 Penjaminan Syariah 75. 75/DSN MUI/VII/2009 Pedoman

Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)

Page 339: POLITIK HUKUM NASIONAL - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6930/1/DJAWAHIR... · Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan

Translation Departing from previous exposure, a record that can be argued that the political economy of Indonesia's Islamic sharia law before the birth of Indonesia has played a significant role. As a result of the rise of the 'elite students', then the bargaining power of Muslims vis-à-vis the higher authorities. Moreover, ruler (Suharto) at that desperately need support from Muslims, as the balance from the start reduced military support. Can be said to have occurred 'honeymoon' between the Muslim community with the ruling, which allows accommodation of the interests of Muslims, including the establishment of Islamic banking problems. Islamic banking own existence by chance is benefited by the economic crisis, which has made a lot of conventional banking collapse, while the Islamic banking instead shows the toughness and satisfactory performance. Sharia law is the political will of the notice of the Indonesian nation whose inhabitants are predominantly Muslim. The birth of Islamic banking law is the Muslims who hold very long. Islamic banking national legal materials adopted from the understanding and the thinking of scholars and umaro and Indonesian Muslim scholars of the Koran and al-Sunnah that accumulated, then poured into Islamic banking laws of Indonesia. However that sharia law not only applies to Muslims only, but applies to the entire Indonesian nation. The efforts of Muslims in Indonesia, have now successfully menhantarkan Islamic shari'ah became positive law, with the birth of a number of laws to accommodate Islamic shari'ah, both at national and regional level. Even the formalization of Islamic shari'ah model Jakarta Charter was approved in NAD and may be followed in other areas, both at provincial and district levels. Thus, that sharia banking law to bring a new era in the history of legal developments in the Indonesian economy that introduce profit-sharing system that is not known in the Basic Law on Banking No. 14 Year in 1967. Given that sharing system, the Bank can detach from businesses that use the system of interest. In previous level Indonesian Islamic law is limited to the field of family law, but since 1992, the role of Islamic law the world has entered the area of economic law (business)