politik hukum ham di indonesia

Download Politik Hukum HAM Di Indonesia

If you can't read please download the document

Upload: chandra-agus-salim

Post on 13-Aug-2015

138 views

Category:

Documents


75 download

DESCRIPTION

Makalah

TRANSCRIPT

PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Otober 2011 MAKALAH Politi Huum HAM Di Indonesia Oleh: Dr. Suparman Marzui, S.H., M.Si (Komisi Yudisial RI)1 POLITIK HUKUM HAM DI INDONESIA Oleh: Suparman Marzui Politi huum HAM adalah ebijaan huum HAM (human rights legal policy) tentang penghormatan (to respect), pemenuhan (to fulfill) dan perlindungan HAM (to prote ct). Kebijaan ini bisa dalam bentu pembuatan, perubahan, pemuatan pasal-pasal tertentu, atau pencabutan peraturan perundang-undangan. Dalam pandangan Moh. Mahfud, implementa si politi huum dapat berupa1: (a) pembuatan huum dan pembaruan terhadap bahan-ba han huum yang dianggap asing atau tida sesuai dengan ebutuhan dengan penciptaan h uum yang diperluan; (b) pelasanaan etentuan huum yang telah ada, termasu penega san fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penega huum. Politi huum HAM pada aspe penghormatan adalah ebijaan yang mengharusan negara untu tida mengambil langah-langah yang aan mengaibata n individu atau elompo gagal meraih atau memenuhi ha-hanya. Sementara pemenuha n adalah negara harus mengambil tindaan legislatif, administratif, anggaran, yudi sial atau langah-langah lain untu memastian terealisasinya pemenuhan ha-ha. Sedanga n perlindungan adalah bagaimana negara melauan ebijaan guna mencegah dan menanggulangi dilauannya pelanggaran sengaja atau pembiaran. Bagaimana politi huum HAM di Indonesia? Aan ditelurusi bagaimana politi huum HAM pemerintah semenja awal emerdeaan, era Orde Lama, Orde Baru, dan pasa Orde Baru. Penelusuran ini diperluan untu melihat benang merah omitmen negara terhadap HAM. a. Perdebatan Dalam BPUPKI Perdebatan tajam tentang perlu tidanya HAM dicantuman dalam UUD dalam rapat besar Douritu Zyunbi Tyoosaai (Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdeaan Indonesia atau BPUPKI) tanggal 15 juli 1945 telah menjadi bagian dari sejarah te ntang adanya perbedaan pandangan antara politi huum HAM Soearno dan Supomo di satu sisi serta M. Yamin dan M. Hatta di sisi yang lain. Inti perbedaan pandangan mer ea adalah menyangut substansi HAM dan esistensi negara yang oleh masing-masing piha dionstrusian diantara paham individualisme, yang notabene dinilai sebag ai 1 Moh. Mahfud, Disertasi .opc.cit,. hlm. 74. Abdul Haim Garuda Nusantara, Politi Huum Nasional , Maalah, September 1985; baca juga Nurhadiantomo, Konfli-Konfli Sosial Pri dan Non Pri dan Huum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, Suraarta, 200 4, hlm. 53-54.2 arater yang bersifat Barat dan oletivitas yang dinilai sebagai arater yang bersifat Timur. Bagi Supomo, negara tida perlu menjamin HAM arena menurutnya: (i) HAM dianggap berlebihan; (ii) dibayangan berdampa negatif; dan (iii) sebagai ha-h a perorangan, selalu berada di bawah epentingan bersama. HAM, ata Supomo tida membutuhan jaminan Grund-und Freiheitsrechthe dari individu contra staat, oleh arena individu tida lain ialah bagian organi dari staat yang menyelenggaraan emuli aan staat, dan sebalinya oleh politi yang berdiri di luar lingungan suasana emerdeaan seseorang.2 Menurut pengertian negara yang integralisti, sebagai bangsa yang teratur, sebagai persatuan rayat yang tersusun, maa pada dasarnya tida aan ada dualis me staat dan individu, tida aan ada pertentangan antara susunan staat dan susunan huum individu, tida aan ada dualisme staat und staatfreier Gesellschaft (negara dan masyaraat bebas dari campur tangan negara). Negara ata Supomo adalah susunan masyaraat yang integral, anggota-anggota dan bagian-bagiannya merupaan persatu an masyaraat yang organis, persatuan yang tida mementingan perseorangan dan mengatasi semua golongan, persatuan hidup berdasaran eeluargaan.3 Senada dengan Supomo, Soearno juga menganggap HAM aan berdampa negatif arena memilii aitan dengan individualisme. Memberian ha-ha epada warga negara, bertentangan dengan ebebasan negara yang berdaulat. Soearno bahan dengan meyainan menyataan bahwa jia negara ini dibangun dengan filsafat individualisme-liberalisme, maa yainlah bahwa it a aan penuh dengan onfli. Lebih jauh Soearno menegasan: Tuan-tuan yang terhorma! Kita menghendai eadilan sosial. Buat apa grondwet menulisan, bahwa manusia buan saja mempunyai ha emerdeaan suara, mengadaan persidangan dan berapat, jialau misalnya tida ada sociale rechtvaardigheid yang demiian itu? Buat apa ita membiin grondwet, apa guna grondwet itu alau ia tida dapat mengisi perut orang yang henda mati elaparan. Grondwet yang berisi droit de I homme et du citoyen itu, tida bisa menghilangan elaparannya orang yang misin yang henda mati elaparan. Maa oleh arena itu, jialau ita betul-betul henda mendasaran negara ita epada paham eeluargaan, paham 2 Muhammad Yamin, Nasah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (jilid I), Yayasan P rapanca, 1959, hlm. 114. 3 Ibid.3 tolong menolong, paham gotong royong dan eadilan sosial, enyahanlah tiap-tiap piiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya. :4 Pandangan dan pendirian Soearno dan Supomo terhadap HAM tida dapat menyembunyian entalnya sentimen ideologis anti Barat pada di satu sisi, serta ecenderungan paham oletivisme ebudayaan di sisi lain, dan dengan argumen itu, secara pragmatis, Soearno lalu menaar dan mempertentangan arti penting gagasan HAM dengan dapat tidanya gagasan itu mengatasi elaparan; suatu argumen yang sangat dipasaan dan berbahaya sebab sama artinya menempatan manusia tida berbeda jauh dengan hewan, yang penting enyang mesipun dirampas emerdeaannya. Pandangan Soearno dan Supomo yang tida hawatir negara aan menyalahgunaan euasaannya, atau paling tida, tida selalu aan menggunaan euasannya dengan bijasana, berangat dari anggapan bahwa para pejabat negara dianggap sebagai manusia yang bai dan bijasana yang dengan sungguh-sungguh memiiran epentingan rayat sebagai eseluruhan, tida pernah memperhatian epentingan sendiri, dan arena itu tida perlu UUD membatasi euasaan negara dan mengatur dan menjamin ha-ha perseorangan. Berbeda dengan Soearno, Hatta berpendapat sebalinya, dengan menyataan: Padua Tuan Ketua, sidang yang terhormat! Poo-poo yang diemuaan oleh Syusa Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar setuju. Memang ita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh diataan lebih dari 20 tahun berjuang untu menentang individualisme. Kita mendirian negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang saya uatiran, alau tida ada satu eyainan atau satu pertanggungan epada rayat dalam Undang-Undang Dasar yang mengenai ha untu mengeluaran suara, yaitu bahwa nanti di atas Undang-Undang Dasar yang ita susun searang ini, mungin terjadi suatu bentuan negara yang ita tida setujui....Kita menghendai negara pengurus, ita membangunan masyaraat baru yang berdasar epada gotong-royong, usaha bersama; tujuan ita ialah membaharui masyaraat. Tetapi di sebelah itu janganlah ita memberian 4 Ibid., hlm. 296-297. Lihat juga Satya Arinanto, Ha Asasi Manusia dalam Transi si Politi di Indonesia, Pusat Studi Huum Tata Negara Faultas Huum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 8 .4 euasaan yang tida terbatas epada negara untu menjadian di atas negara baru itu suatu negara euasaan.5 Pada bagian lain dari penjelasannya, Hatta menyataan:6 Tetapi satu hal yang saya uatiran alau tida ada satu eyainan atau satu pertanggungan epada rayat dalam huum dasar yang mengenai hanya untu mengeluaran suara, saya uatir menghianati di atas UndangUndang Dasar yang ita susun searang ini, mungin terjadi satu bentuan negara yang tida ita setujui . Sebab itu ada bainya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutan di sebelah ha yang sudah diberian juga epada misalnya tiap-tiap warga negara rayat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan taut mengeluaran suaranya. Yang perlu disebut disini ha buat berumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untu menjaga supaya negara ita tida menjadi negara euasaan, sebab ita dasaran negara ita epada edaulatan rayat . Hal yang sama disampaian oleh Moh. Yamin yang menola eras argumenargumen yang membela tida dicantumannya ha warga negara dalam Undang-Undang Dasar. Dalam pidatonya di sidang BPUPKI, Yamin menegasan bahwa:7 Supaya aturan emerdeaan warga negara dimasuan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menola segala alasan-alasan yang dimajuan untu tida memasuannya. Aturan dasar tidalah berhubungan dengan liberalisme, melainan semata-mata satu esemestian perlindungan emerdeaan, yang harus diaui dalam Undang-undang Dasar. Pendapat edua pendiri bangsa ini diduung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulan perlunya dimasuan ha emerdeaan buat drupers, onschendbaarheid van woorden (pers ceta, ebebasan mengeluaran piir an dengan lisan).8 Merea sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang merea lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau didir ian itu tida diberian jaminan terhadap ha warga negara. 5 Ibid., hlm. 209. 6 Diutip dari pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasaran nasah y ang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Faultas Huum Universitas Indonesia, Jaarta , 2004, hlm. 345-355. 7 Diutip dari pidato Muhammad Yamin tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasaran nasah yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 380. 8 Lihat RM A.B. Kusuma, op.cit., hlm. 392.5 Hatta dan Yamin pada ahirnya memang berhasil mendesaan beberapa pasal mengenai perlidungan ha-ha sipil dalam batang tubuh UUD 1945,9 tetapi perdebatan yang berahir dengan ompromi itu menorehan tiga catatan sejarah penting tentang politi huum HAM yang digarisan BPUPKI. Pertama, HAM yang masu dalam UUD 1945 adalah HAM yang dicurigai atau diprasangai sebagai Barat yang individualisti, dan arena itu harus diwaspadai. Kedua, pencantuman HAM dalam UUD 1945 bersifat terbatas. Keterbatasan itu buan hanya dalam arti bahwa ha-ha tersebut lebih lanjut aan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti onseptual.10 Konsep yang digunaan adalah Ha Warga Negara (rights of the citizens) buan Ha Asasi Manusia (human rights). Penggunaan onsep Ha Warga Negara itu berarti bahwa secara implisit tida diaui paham natural rights yang menyataan bahwa HAM adalah ha yang dimilii oleh manusia arena ia lahir sebagai manusia. Sebagai onseuensi dari onsep itu, maa negara ditempatan sebagai regulator of rights , buan sebagai guardian of human rights sebagaimana ditempatan oleh sistem Perlindungan Internasional HAM. Ketiga, Soearno, yang emudian menjadi Presiden Indonesia pertama, seja awal memang urang memilii omitmen dasar yang jelas dan tegas untu memenuhi, menghormati dan melindungi HAM, termasu ha-ha warga negara, dan terbuti di era euasaannya, terutama setelah Demorasi Terpimpin, Soearno melauan pelbagai prate pelanggaran HAM, hususnya ha berorganisasi, berpendapat dan bereseperesi. Pada bagian ini patut dietengahan pandangan lain yang menilai bahwa perbedaan pandangan para pendiri bangsa itu sesungguhnya hanya pada bagian tertentu saja dari HAM. Menurut hasil penelitian Tim dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, perdebatan antara Soearno dan Supomo dengan Hatta dan Yamin tida sebagaimana digambaran selama ini.11 Dari semua 9 Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, dan Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 dan 31. 10 Lihat T. Mulya Lubis, In Search of Human Rights Legal Political Dilemmas of I ndonesia,s New Order, 19661990, Gramedia, Jaarta, 1993. 11 Tim Unpad, Konsepsi Bangsa Indonesia tentang Ha Asasi Manusia ditinjau dari S egi Huum , Maalah, 1993, hlm. 4.6 etentuan yang diatur dalam nasaah UUD 1945, hanya ada satu etentuan yang tida tercantum yang emudian dimasuan dalam UUD 1945 yaitu: ha berseriat, berumpul, dan mengeluaran piiran dengan lisan dan tulisan yang notabene dimuat dalam Pasal 28 UUD 1945. Jadi tida tepat alau Supomo tida menghendai dicantumannya HAM dalam UUD. Yang ditola Supomo terleta pada onsepsi HAM yang hanya semata-mata mencerminan pandangan liberalisme-individualisme.12 Inti perbedaan pandangan merea terleta pada pemahaman Supomo bahwa usul Hatta dan Yamin untu mencantuman ha berseriat, berumpul dan mengeluaran piiran cermin dari paham liberalismeindi vidualisme; yang sebenarnya juga ditola oleh Hatta dan Yamin yang ruhnya terdapat dalam droit de I,homme de du citoyen.13 Dalam risalah sidang BPUPKI tanggal 13 Juli disebutan bahwa panitia ecil yang notabene dietuai oleh Supomo telah dimuat pasal-pasal tentang HAM yang mencaup ha persamaan eduduan di mua huum, ha atas peerjaan dan penghidupan yang laya, ha untu memelu agama dan epercayaan dan lain-lain yang mencaup ha sipil dan ha politi.14 Lepas dari ontroversi sejarah perdebatan dalam BPUPKI, yang dapat diream adalah bahwa proses legalisasi HAM dalam Konstitusi Indonesia terdapat tari menari pandangan, serta terjadi pasang surut pengaturan yang tida bisa dibantah. Konstitusi Republi Indonesia Seriat (RIS) 1949 dan UUDS 1950 yang pernah berlau selama seitar 10 tahun (1949-1959) memuat pasalpasal tentang HAM yang lebih banya dan lebih lengap dibandingan dengan UUD 1945. Bahan edua UUD tersebut mendasaran etentuan tentang HAM pada delarasi universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) 1948.15 Tetapi sejarah bergera mundur. Melalui Keppres No. 150 Tahun 1959 tanggal 5 Juli 1959, Soearno menyataan UUD 1945 berlau embali, yang berarti memberlauan etentuan tentang HAM yang berlau di dalamnya. 12 Ibid., hlm. 6. 13 Ibid., hlm. 8. 14 Seretariat Negara Republi Indonesia, Risalah Sidang Badan dan Panitia Persi apan Kemerdeaan Indonesia (PPKI), Seretariat Negara, Jaarta, 1998, hlm. 246-256. 15 Satya....., op.cit., hlm. 11.7 Perdebatan tentang perlu tidanya HAM dimuat dalam UUD (1945), yang emudian berahir dengan ompromi menjadi buti sejarah bahwa usaha menjamin perlindungan HAM dalam sistem huum Indonesia memilii jeja sejarah esulitan yang siqnifian. Konsep universalitas dan partiularisti deng an pelbagai variasi argumen di dalamnya masih terus muncul sebagai pangal perdebatan setiap ali ada gagasan yang berbau HAM dalam undang-undang. Ahir dari debat yang panjang itu adalah ompromi, dan rumusan undangundang hasil ompromi dipastian mengabaian substansi. c. Era Orde Lama Pada periode 1945 hingga 1950-an euasaan Soearno berada dalam jalur euasaan yang demoratis dan menghormati HAM. Malumat-malumat yang ia eluaran sebagai jawaban terhadap tudingan Belanda aan esistensi pemerintahan Indonesia merdea sebagai pemerintahan yang tida demoratis dan bonea Jepang, di dalamnya memuat ebijaan yang demoratis dan penghormatan pada HAM. Tiga langah yang merupaan paradigma baru di bidang etatanegaraan yang diambil oleh pemerintahan Soearno, yaitu: 16 Pertama, mengeluaran malumat politi pemerintah tanggal 1 November 1945 antara lain menyataan: ....sediit hari lagi ita aan mengadaan pemilihan umum sebagai buti bahwa cita-cita ita dan dasar erayatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyaraat dan negara ita. Mungin sebagai aibat pemilihan itu pemerintah aan berganti dan UUD ita aan disempurnaan menurut ehenda rayat ita yang terbanya. Kedua, mengeluaran malumat pemerintah 3 November 1945 yang berisi antara lain menegasan bahwa pemerintah menyuai timbulnya partai-prati politi, arena dengan adanya partai politi itulah dapat dipimpin e jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyaraat, dan partai-partai itu tel ah tersusun sebelum dilangsungan pemilihan anggota badan-badan perwailan rayat pada bulan Januari 1946. 16 Bagir Manan, Perembangan Pemiiran dan Pengaturan Ha Asasi Manusia di Indon esia, Yayasan Ha Asasi Manusia, Demorasi dan Supremasi Huum, Bandung, 2001, hlm. xiii-xiv.8 Ketiga, melauan perubahan mendasar dan siqnifian terhadap sistem pemerintahan yang semula presidensil menjadi parlementer, sebagaimana tertuang dalam malumat pemerintah 14 November 1945, yang isinya antara lain berbunyi: Pemerintah Republi Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang etat dengan selamat, dalam tingatan pertama dari usahanya menegaan diri, merasa bahwa saat searang sudah tepat untu menjalanan macammacam tindaan darurat guna menyempurnaan tata negara epada susunan demorasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan abinet baru itu ialah tanggungjawab adalah di dalam tangan mentri . Dengan eluarnya malumat pemerintah 3 November 1945 itu, maa anjuran pembentuan partai-partai politi menjadi lebih jelas dan bermana. Bahan edua malumat pemerintah tersebut yang sama-sama meletaan ebebasan ataupun eleluasaan, menjadi pangal tola tumbuh dan berembangnya demorasi liberal atau demorasi parlementer selama seitar 10 tahun pertama euasaan Presiden Soearno. Perembangan politi pada tahun-tahun beriutnya, terutama setelah derit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai demorasi terpimpinnya Soearno, pemerintahan Orde Lama mengalami degradasi politi yang luar biasa, derita rayat tida saja pada aspe etidamerataan eonomi dan emisinan, tetapi juga pengeangan pada ebebasan ha sipil dan ha politi. Seitar 7 (tujuh) tahun, antara tahun 1959-1966, sistem politi dan bangunan negara huum Indonesia yang berdiri di atas pondasi UUD 1945 yang rapuh dan sangat minim menjamin HAM, terbuti menjadi sebab utama terjadinya esewenang-wenangan euasaan. Partai-partai politi yang mara pada era demorasi liberal, secara perlahan melemah dan tida berdaya ecuali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memperluas pengaruhnya dengan berlindung di bawah euasaan Soearno; sementara Angatan Darat dapat memperluas peran dan euasaan politinya,17 dan dari sana militer terus menerus memperlemah euatan Partai Politi (Parpol) sehingga eberadaan Parpol tida berfungsi sebagaimana mestinya 17 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, New Yor, 1962, hlm. 583-584.9 ecuali memberi duungan epada Soearno.18 Partai-partai yang tida menduung Soearno dibubaran tanpa alasan yang jelas, dan bahan mengadaada, sebagaimana alasan pembubaran Partai Masyumi yang disebut Soearno arena pimpinan partai itu terlibat pemberontaan PRRI; suatu alasan yang oleh Syafii Maarif disebut tida diduung oleh doumen otenti.19 Alih-alih mau menegaan demorasi, dalam Demorasi Terpimpin Soearno justru hilangnya demorasi, dan yang tinggal terpimpinnya saja.20 Sifat anti riti Soearno diwujudan dalam bentu tindaan penangapan dan penahanan tanpa proses huum terhadap pimpinan media masa ceta, seperti Mochtar Lubis, serta pembredelan Pers yang mencapai 184 asus, dan jia ditambah dengan siap anti Pers lainnya berjumlah 244 tindaan21 . Dengan mengutif Edward C. Smith, tindaan anti Pers selama urun watu 1957-1965, digolongan oleh Moh. Mahfud MD edalam tiga bentu, yaitu penahanan berjumlah 30 asus; pemenjaraan sebanya 30 asus, dan pembredelan berjumlah 184 asus.22 Pelanggaran-pelanggaran ha sipil dan ha politi dalam bentu pembatasan dan bahan pelarangan implementasi ebebasan berorganisasi, beresperesi dan berpendapat melalui pelbagai eputusan Presiden23 di era Presiden Soearno memang sangat menonjol. Pers yang terena tindaan anti pers pada umumnya adalah Pers-Pers yang independen dan tida menyataan diri sebagai aliran atau pembawa politi yang diperenanan oleh pemerintah.24 Motif dari ebijaan politi huum demiian itu jelas diorientasian pada penaluan Pers untu menjadi bagian dari euatan euasaan Soearno dalam memasyaratan gagasan manifesto politi dan Demorasi Terpimpin yang ia gagas. 18 Mochtar Mas oed, Eonomi dan Strutur Politi Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jaar ta, 1989, hlm. 43-44. 19 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jaarta, 1985, hlm. 187-191. 20 Deliar Noer, Islam dan Politi Mayoritas atau Minoritas , dalam Prisma Nomor 5 T ahun 1988, hlm. 13. 21 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politi dan Huum di Indonesia, Gama Media, Yogya arta, 1999, hlm. 170. Baca juga Rumana Amanwinata, emerdeaan Mengeluaran Piiran Dengan Tulisa n Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Tesis pada Faultas Pasca Sarjana Unpad, Band ung, 1988, hlm. 171-172. 22 Baca Moh. Mahfud MD, Perembangan .....disertasi. op. cit., hlm. 287. 23 Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 yang mengatur te ntang pembubaran partai politi; Kepres No. 200 Tahun 1960 tentang pembubaran Masyumi dan PSI. 24 Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Patah Tumbuh Hilang Berganti (cet.1), PT . Karya Unipress, Jaarta, 1983, hlm. 44.10 d. Era Orde Baru Pada era Orde Baru, eadaan HAM di Indonesia jauh lebih buru dibanding era Soearno. Di era ini, Soeharto menerapan tiga ebijaan sealigus. Pertama, mengeang ha berseriat, beresepresi dan berpendapat. Kedua, melauan eliminasi dan ebijaan redusionis onsep-terhadap onsep HAM, dan etiga, melauan pembunuhan dan penghilangan orang secara pasa tanpa alasan huum. Ketiga hal tersebut merupaan satu esatuan tindaan pelanggaran HAM, sebagai bagian dari politi mempertahanan euasaan. Semenja deade awal hingga ahir 1970-an, pemerintahan Soeharto mulai melauan langah-langah politi depolitisasi dengan pertama-tama mengeang ebebasan berorganisasi dengan melauan ebijaan penyederhanaan Partai Politi , yaitu melebur sejumlah Partai e dalam dua Partai dan satu Golongan Karya (Gola r).25 Partai-Partai Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai-P artai Nasionalis Seuler dilebur menjadi Partai Demorasi Indonesia (PDI). Pada Pemilu tahun 1971, Golar yang untu pertama alinya iut Pemilu menang dengan anga mengejutan, yaitu 62,8%. Begitu seterusnya hingga Pemilu 19 97, Golar selalu memenangan Pemilu di atas 60 %. Kemenangan yang dicapai Golar tentu saja buan emenangan pemilu dalam pengertian dan substansi pemilu sesungguhnya, tetapi emenangan yang telah disiapan sebagai bagian dari politi stabilitas elangsungan euasaan di satu sisi, dan politi pemberangusan suara berbeda (ritis) di sisi lain. Pemilu era Orde Baru tida lebih sebagai ritual lima tahunan untu mengisi formal demorasi serta proye legalisasi de-demoratisasi. Dengan sistem un-pred ictable procedures serta predictable result, emenangan Golar sudah bisa dipastian jau h sebelum pemilu dilauan, sebagaimana juga Soeharto sudah dapat dipastian aan menjadi Presiden lagi sebelum pemilu digelar. 25 Golar adalah nama baru dari Seretariat Bersama (Seber) Golar yang telah b erdiri pada tanggal 19 Otober 1964. Organisasi ini didirian sebagai federasi dari organisasi-organisa si fungsional yang tida bernanung di bawah partai tertentu. Golar yang sebenarnya tida disebut partai, walaupun peran dan fungsi yang dilauannya persis seperti partai, semenja awal Orde Baru sudah disiapan untu menjadi partai pemerintah yang diproyesian untu menjadi tangan sipil Angatan Darat (AD) yang dulu seca ra efetif berhasil mengimbangi PKI.11 Guna menduung proye eberlangsungan euasaan, dan atas nama stabilitas politi sebagai syarat pencapaian pertumbuhan eonomi, pemerintahan Soeharto jug a mengontrol secara etat media massa, ampus, mahasiswa, LSM, DPR dan lembaga yudisial. Siapa saja dari lembaga-lembaga atau orang dari lembaga tersebut mela uan tindaan ritis terhadap pemerintah, dipastian aan dihadapan pada persoalan. Jia yang melauannya lembaga, seperti LSM atau Pers misalnya, dipastian aan dibre del, atau dilarang atau dieang ativitasnya. Tetapi jia yang melauannya personal , maa bisa dipastian aan ditangap, ditahan, dipenjara, dihilangan atau minimal men galami ematian perdata, seperti yang diberlauan terhadap anggota Petisi 50, atau at ivis Lembaga Bantuan Huum (LBH). Politi huum HAM penguasa Orde Baru adalah melauan eliminasi dan redusi onsep-onsep HAM universal e dalam onsep HAM politis partiular. Poli ti partiular yang dimasud adalah: Pertama bahwa HAM Indonesia adalah apa yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Menyataan HAM yang eluar dari eranga Pancasila dan UUD 1945, merupaan tindaan penghianatan dan mengancam ideologi dan onstitusi. Kedua, HAM universal adalah Barat yang jahat, intervensionis, individidualisti yang juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan d ua cara pandang tersebut, tudingan piha luar mengenai pelanggaran HAM di suatu neg ara diriti sebagai campur tangan ideologis yang tida sah. Kalangan inteletual, Pers dan ativis LSM yang mengintrodusir onsep universal dalam forum ilmiah sealipun, dielompoan sebagai perongrong ideolog i negara yang membahayaan stabilitas politi nasional dengan bungus tida sesuai dengan budaya bangsa dan Pancasila. Cara pandang Orde Baru itu dapat diatagori an sebagai pandangan yang oleh Jac Donnelly disebutnya pendirian relativisme buday a radial yang menegasan bahwa budaya adalah satu-satunya sumber esahihan ha moral atau euasaan.26 Penguasa Asia yang otoriter, termasu rezim Orde Baru se lalu mengajuan argumen bahwa negara dan masyaraat yang ia pimpin memilii onsepsep i HAM tersendiri; suatu pandangan yang sama dengan penganut absolutisme budaya bahwa HAM pada masyaraat yang berbeda memilii onsep HAM yang berbda pula.27 26 Jac Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell Univers ity Press, N.Y. Ithaca, 1989, hlm. 109. 27 Baca Rhoda W. Howard, Dignity, Community and Human Rights , dalam Abdullah Ahmed AnNaim (Ed), Human Rights in Cross Cultural Perspective: A Quest for Consensus, Un iversity of Pennsylvania Press, Philadelphia, 1992, hlm. 81-101.12 Atas dasar pandangan politis partiular itu, pemerintahan Soeharto melauan hegemonisasi dan dominsasi paham melalui pendidian formal dan informal. Materi mata pelajaran Pancasila, Kewiraan, Sejarah, Kewarganegaraan untu Seolah Dasar (SD), Seolah Menengah Pertama (SMP), Seolah Menengah Umum (SMU), dan Perguruan Tinggi diisi dengan dotrin-dotrin yang mengarahan peserta didi men jauhi pengetahuan, pemahaman dan esadaran HAM universal, serta menanaman pahampaham HAM politis partiular. Di luar pendidian formal, dilauannya juga penataran P4 yang sejatinya dotrinasi secara meluas dan sistematis. Dengan dua cara itulah Orde Baru melau an pembelengguan ebebasan berpiir sebagai salah satu ha sipil yang penting, sert a pada saat yang sama membangunan pemahaman dan esadaran tentang onsep HAM redusionis, yang diorientasian pada penumpulan daya ritis masyaraat. Di sampiang dua ebijaan politi di atas, pelanggaran HAM era Orde Baru pada ahirnya mewujud dalam bentu nyata, berupa pelanggaran HAM melalui acts of commission maupun act of ommision arena egagalan negara dan/atau pemerintah memenuhi ewajibannya sebagaimana yang disebutan di dalam undang-undang.28 Pelanggaran terhadap ewajiban untu menghomati HAM berupa tindaan (aparat) negara dalam hal: Pertama, Pembunuhan diluar huum sebagai pelanggran atas ewajiban menghormati ha untu hidup,29 seperti: (i) pembunuhan terhadap sejumlah besar orang yang dituduh PKI pada tahun-tahun awal Orde Baru, bai yang secara langsun g dilauan oleh aparat negara (acts of commission) maupun yang dilauan oleh pel au buan-negara, tetapi (aparat) negara tida mencegahnya (act of ommission); (ii) pembunuhan diluar huum sejumlah orang yang dituduh sebagai pelau ejahatan pad a paroh pertama tahun 1980-an, yang dienal sebagai petrus (penembaan misterius); ( iii) pembunuhan di luar huum dalam peristiwa Tanjung Prio, peristiwa Talangsari, pembunuhan yang terjadi dalam operasi militer di Aceh dan Papua seja awal tahun 28 Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 menyebutan: perlindungan, pemajuan, penegaan, dan pemenuhan ha asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah (ceta mi ring dan garis bawah oleh MMB). Lihat juga pasal 71: pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindun gi, menegaan, dan memajuan ha asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini dst ; dan pasal 72: ewajiban dan tangungjawab pemerintah ., meliputi langah implementasi yang efetif di bidang hu um, politi, eonomi, sosial, budaya, pertahanan eamanan negara, dan bidang lain . 29 Lihat Pasal 4; ha untu hidup..dst. adalah ha asasi manusia yang tida diu rangi dalam eadaan apapun, dan Pasal 9 ayat (1) UU. 39 Tahun 1999; setiap orang berha untu hidup, m empertahanan hidup dan meningatan taraf ehidupannya . Pasal 33 (1): setiap orang berha untu bebas dar i penghilangan nyawa .13 1990-an; serta (iv) pembunuhan dalam peristiwa Trisati dan Semanggi pada paroh terahir tahun 1990-an. Kedua, Penghilangan secara pasa (enforced disappearence) atau penculian30 (pelanggaran atas ewajiban untu menghormati ha hidup)31 sejumlah ativitas mahasiswa demorasi oleh apa yang disebut sebagai team Mawar Kopassus pada paroh edua tahun 1990-an. Ketiga, Penyisaan dan penganiayaan (pelanggaran atas ha untu tida disisa)32 yang dilauan oleh (aparat) negara (satuan polisi/Brimob) terhadap sejumlah at ivis mahasiswa dalam asus penculian oleh Team Mawar Kopassus. e. Pasa Orde Baru Berhentinya Soeharto sebagai Presiden Republi Indonesia pada 21 Mei 1998 menandai berhentinya secara formal rezim Orde Baru, sealigus terbuanya harapan aan ehidupan huum dan politi demoratis di Indonesia. B.J. Habibie yang menggantian Soeharto di tengah-tengah etidapastian politi yang mencemasan, mengambil langah cepat dengan mengumuman sealigus menyebut abinetnya dengan nama Kabinet Reformasi Pembangunan . Sebutan Kabinet Reformasi sudah merupaan respon positif B.J. Habibie terhadap geraan sejumlah tooh, antara la in Amin Rais dan mahasiswa yang mengusung isu reformasi sebagai pengiat semua elemen geraan untu mengoresi dan bahan ahirnya menuntut Soeharto turun dar i jabatannya. Konsisten dengan nama abinet yang ia bentu, dan untu memenuhi tuntutan reformasi, Presiden B.J. Habibie melauan langah awal yang strategis dalam ben tu membua sistem politi yang selama ini tertutup, menunjuan emauan politi yan g uat untu menjamin perlindungan HAM, menghentian orupsi, olusi dan nepotisme , menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadaan pemilu secepatnya, dan sebagainya. 30 Lihat Pasal 33 ayat (2) UU.No. 39 Tahun 1999. setiap orang berha untu bebas dari penghilangan pasa dan penghilangan nyawa. 31 Lihat pasal 4 dan pasal 9 (1), pasal 33 (2)UU No. 39 Tahun 1999. 32 Lihat pasal 4; ha untu .tida disisa dst, adalah ha asasi manusia yang tida dapat diurangi dalam eadaan apaun dan oleh siapapun , dan pasal 33 (1) UU No. 39 Tahun 1999; seti ap orang berha untu bebas dari penyisaan, penghuuman atau perlauan yang ejam, tida manusiawi, m erendahan derajat dan martabat emanusiaannya, dan pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999; setiap orang tida bole h ditangap, ditahan, disisa, diucilan, diasingan, atau dibuang secara sewenang-wenang .14 Masa-masa awal pemerintahan B.J. Habibie, isu tentang HAM sempat diwarnai oleh perdebatan mengenai onstitusionalitas perlindungan HAM. Perdebatannya tida saja beraitan dengan teori HAM, tetapi juga dasar huumnya, apaah ditetapan melalui TAP MPR atau dimasuan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam HAM yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul embali. Begitu pula gagasan unt u mencatumannya e dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul embali e dalam wacana perdebatan HAM etia itu. Karena uatnya tuntutan dari elompo-elompo reformasi, maa perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Isinya buan hanya memuat Piagam HAM, tetapi juga memuat amanat epada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untu memajuan perlindungan HAM, termasu mengamanatan untu meratifiasi instrumen-instrumen internasional HAM.33 Hasil Pemilu 1999 merubah peta euatan politi di MPR/DPR. Keuatan politi pro-reformasi mulai memasui gelanggang politi formal, yani MPR/DPR. Selain berhasil mengangat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai Presiden, merea juga berhasil mengguliran terus isu perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tet api perjuangan untu membuat eranga huum perlindungan HAM dalam UUD 1945 berjalan alot. Para penduung HAM memandang bahwa perlindungan yang lebih besar terhadap HAM sangat diperluan, untu mencegah terjadinya berbagai pelanggaran seperti yang pernah terjadi pada zaman pemerintahan otoriter Soeharto.34 Menurut Harianto, endati MPR sudah mengundangan Tap MPR No. XXVII Tahun 1998 tentang HAM dan pemerintahan B.J. Habibie sudah mengeluaran UU No. 39 Tahun 1999 juga tentang HAM, perlindungan oleh Konstitusi masih tetap diperluan.35 Kelompo penentang berpendapat, bahwa orang tida perlu mengadopsi aturan tentang HAM. Muhammad Ali (PDIP) beranggapan bahwa undang-undang dan Tap MPR tentang HAM sudah lebih dari cuup. Mengamini Muhammad Ali, Siti Hartati Murdaya dari FUG mengataan bahwa usulan omprehensif tentang HAM aan 33 Presiden B.J. Habibie membuat Rencana Asi Nasional Ha Asasi Manusia (RAN-HA M) 1998-2003, yang memuat agenda pemerintahannya dalam penegaan HAM, meliputi pendidian dan sosialisasi HAM serta program ratifiasi instrumen internasional HAM. 34 Denny, Amanademen ..op.cit., hlm 232. 35 Ibid.15 menghancuran arater husus dan semangat 1945 emerdeaan Indonesia tanpa merinci apa yang dimasud dengan arater dan semangat itu.36 Mesipun perdebatan berlangsung alot, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untu memasuan perlindungan HAM e dalam Undang-Undang Dasar ahirnya berhasil dicapai. MPR sepaat memasuan HAM e dalam Bab XA, yang beris i 10 Pasal HAM (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua UUD 1945 yang ditetapan pada 18 Agustus 2000, yang melengapi dan memperluas Pasal 28. Tola tari epentingan antar elite di MPR/DPR mengenai luas lingup perubahan UUD 1945, termasu substansi HAM yang harus dimuat di dalamnya tida saja dilatarbelaangi oleh perbedaan persepsi tentang onsep HAM di antara para elite politi di parlemen, yang nyaris menyerupai perdebatan para pendiri bangsa di BP UPKI, tetapi juga epentingan politi penduung status quo Orde Baru yang cemas aan uatnya desaan untu menyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi dan dilauan oleh penguasa Orde Baru. Kuatnya tari menari itu, memasa politi huum HAM pada er a reformasi terpasa dinegosiasian, dan hasilnya memperlihatan arater politi huum HAM ompromisti yang tercermin dalam substantif undang-undang; bai yang terdapat dalam UUD 1945 perubahan e-II, hususnya pasal yang mengatur HAM; UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Politi huum HAM di era reformasi, yang notabene adalah era awal demorasi ditandai juga oleh pembentuan dan penguatan institusi-institusi perlindungan HA M, seperti penguatan Komnas HAM, pembentuan Mahamah Konstitusi (MK), Komnas Perempuan, Komnas HAM Ana, dan Lembaga Perlindungan Sasi dan orban. Pembentuan dan penguatan institusi-institusi tersebut ditujuan agar penghormat an, perlindungan dan penegaan terhadap HAM dapat dilauan lebih uat dan lebih bai , terutama mencegah negara mengulangi esalahan melauan pelanggaran HAM sebagaimana terjadi pada era euasaan sebelumnya. Ketentuan mengenai jaminan HAM dalam onstitusi, hanya mungin dilauan dalam sistem politi yang demoratis, arena demorasilah yang memberian landas an dan meanisme euasaan berdasaran prinsip persamaan dan esederajatan manusia. 36 Ibid.16 Demorasi menempatan manusia sebagai pemili edaulatan yang emudian dienal dengan prinsip edaulatan rayat.37 Berdasaran teori ontra sosial,38 untu memenuhi ha-ha setiap manusia tida mungin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus b ersamasama. Maa dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas ha individual, dan siapa yang bertanggungjawab untu penca paian tujuan tersebut dan menjalanan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasn ya. Perjanjian tersebut diwujudan dalam bentu onstitusi sebagai huum tertinggi d i suatu negara (the supreme law of the land), yang emudian dielaborasi secara onsisten dalam huum dan ebijaan negara. Proses demorasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untu memilih wail rayat dan pejabat publi lainnya. Prinsip demorasi atau edaulatan rayat dapat menjamin peran serta masyaraat dalam proses pengambilan eputusan, sehingga setiap peraturan perunda ngundangan yang diterapan dan ditegaan benar-benar mencerminan perasaan eadilan masyaraat. Peraturan perundang-undangan yang berlau tida boleh ditetapan dan diterapan secara sepiha oleh dan atau hanya untu epentingan penguasa. Huum tida dimasudan untu hanya menjamin epentingan yang beruasa, melainan epentingan eadilan bagi semua orang (justice for all). Dengan demiian negara huum yang diembangan buan absolute rechtsstaat, melainan democratische rechtsstaa t.39 Politi huum HAM dalam negara huum demoratis harus bersifat promotif, protetif dan implementatif terhadap HAM guna mencegah penyalahgunaan euasaan dalam bentu pelanggaran HAM. Promotif, berarti undang-undang yang dibuat memili i euatan moral dan huum yang memunginan setiap ebijaan, setiap orang dan euasaan menghormati dan menghargai HAM. Protetif, berarti undang-undang yang dibuat memilii daya cegah terhadap pelbagai emunginan terjadinya pelanggaran HAM, sementara implementatif, berarti undang-undang yang dibuat harus bisa dilasanaan atau diterapan jia terjadi pelanggaran, dan buan undang-undang y ang 37 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan etiga menegasan bahwa Kedaulatan berada di tangan rayat dan dilasanaan menurut Undang-Undang Dasar . Sebelum perubahan, Pasal ini berbunyi, edaulatan berada di tangan rayat dan dilasanaan sepenuhnya oleh MPR . Mana perubahan itu menegasan eduduan undang-undang sebagai penjamin, sealigus penjaga edaulatan rayat. 38 Harus diingat bahwa paling tida terdapat tiga macam teori ontra sosial mas ing-masing diemuaan oleh John Loce, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahiran onsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, New Yor-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961, hlm. 517 596. 39 Ibid.17 tida bisa dilasanaan, bai arena rumusan pasalnya yang abur, tida jelas, d upliasi atau multi tafsir, maupun arena pelasana undang-undang tida independen. Dalam ontes Indonesia pasa Orde Baru, pemerintahan telah dibuat pelbagai produ aturan huum, bai berupa perubahan UUD, pembuatan UU, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden. Di samping itu, pemerintah juga telah merati fiasi sejumlah onvensi HAM internasional. Dari pelbagai aturan huum yang telah dibuat, pengaturan HAM dalam UUD 1945, hasil perubahan pertama, edua, etiga dan eempat merupaan produ huum paling penting dan mendasar.40 Penting arena substansi teream lebih lengap da n terperinci. Mendasar arena diatur di dalam huum dasar (Konstitusi) pada semua aspe etatanegaraan dalam negara huum modern sehingga memilii jangauan luas41, ter ait dan tida terpisah satu sama lain.42 Politi huum HAM di pasa Orde Baru juga ditandai oleh ebijaan huum penguatan dan pembuatan pelbagai institusi perlindungan HAM sebagai upaya memperuat institusi penghormatan, perindungan dan pemenuhan HAM. 40 Ha Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28, 28A-28J telah terlebih dahulu d iatur dalam UU No. 39 Tahun 1999, yaitu antara lain: ha hidup, ha bereluarga dan melanjutan et urunan, ha untu mengembangan diri, ha untu mendapatan eadilan, ha atas ebebasan pribadi ( al: ha untu tida diperbuda, bebas memelu agama, bebas memilih dan dipilih, ha untu berumpul dan berseriat, ha untu menyampaian pendapat); ha atas rasa aman, ha atas esejahteraan, ha untu tu rut serta dalam pemerintahan). 41 Penghormatan dan perlindungan HAM telah diatur formal dan teream secara subs tansial pada hampir semua Pasal dalam perubahan pertama, edua, etiga dan eempat. 42 Pembatasan jabatan Presiden hasil perubahan pertama misalnya sudah merupaan pemanaan terhadap arti pentingnya pembatasan euasaan bagi ha asasi manusia, arena e uasaan yang tida terbatas telah terbuti menimbulan penyalahgunaan euasaan (abuse of power); salah satu wujudnya pelanggaran ha asasi manusia.