plagiat merupakan tindakan tidak terpuji - core.ac.uk · bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM
MATRIKS IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN APLIKASINYA
PADA ASESMEN RESIKO DELTAMETRIN MELALUI ASUPAN IKAN
NILA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja
NIM : 098114032
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM
MATRIKS IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN APLIKASINYA
PADA ASESMEN RESIKO DELTAMETRIN MELALUI ASUPAN IKAN
NILA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja
NIM : 098114032
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
An Umbrella cannot stop the rain
but it allows us to stand in the rain.
Just like faith in God,
it may not remove our trials but it gives us
God’s strength to overcome them.
Karya ini kupersembahkan untuk:
Papa dan Mama serta adik-adikku sebagai rasa syukur atas
kasih sayang yang berlimpah, perhatian, semangat, dan
dukungannya
Teman - teman
Almamaterku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
INTISARI
Pestisida merupakan substansi kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan hama. Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid.
Deltametrin bersifat non polar dan memiliki nilai log Kow 4,6. Senyawa yang
memiliki nilai log Kow lebih besar dari 3 memiliki kemungkinan terjadinya
bioakumulasi pada organisme. Bioakumulasi deltametrin dapat terjadi dalam ikan
nila (Oreochromis niloticus) apabila deltametrin dipaparkan pada ikan nila. Ikan
nila merupakan ikan yang sering dikonsumsi manusia. Manusia yang
mengkonsumsi ikan nila yang mengandung deltametrin dapat menyebabkan
dampak buruk bagi kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kondisi optimum proses clean-up, mengetahui validitas dari metode kromatografi
gas – detektor penangkap elektron (Gas Chromatography – Electron Capture
Detector/GC-ECD)sehingga dapat digunakan dalam penetapan kadar deltametrin
dalam ikan nila, dan untuk mengetahui laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan
nila.
Metode yang digunakan meliputi ekstraksi dan clean-up. Instrumen yang
digunakan adalah kromatografi gas – detektor penangkap elektron menggunakan
fase diam Cp-Sil 5. Dari hasil penelitian dengan clean-up dan GC-ECD yang
optimal didapatkan hasil validitas yang baik. Hasil validasi menunjukkan
sensitivitas dengan nilai LOD 17,81 ng/mL dan LOQ 1,30 ng/g; korelasi antara
konsentrasi dan respon yang linear pada rentang 5,3 ng/g – 70,5 ng/g dengan nilai
r 0,999; akurasi dinyatakan dengan nilai recovery sebesar 82,74 – 110,46 %;
presisi dinyatakan dengan nilai % RSD sebesar 0,3 – 3,4 %; dan matriks ikan nila
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap metode analisis
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hingga hari ke-14 terjadi
bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila dengan laju bioakumulasi untuk
konsentrasi deltametrin 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L berturut-turut adalah 0,07 ng/hari
dan 0,15 ng/hari. Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila
menunjukkan bahwa bila manusia Indonesia menkonsumsi ikan nila dengan berat
200 gram per hari dikatakan aman karena jumlah deltametrin yang terpejan adalah
374,46 ng dan 1159,61 ng. Jumlah ini jauh lebih kecil (0,062 dan 0,19 % dari
ADI) bila dibandingkan dengan ADI deltametrin (0,01 mg/kg BB).
Kata kunci: ikan nila (Orechromis niloticus), deltametrin, validasi metode,
bioakumulasi, karakterisasi resiko, GC-ECD
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
ABSTRACT
Pesticides are chemical substances used to kill or control pests.
Deltamethrin is a pyrethroid class of pesticides. Deltamethrin is non-polar and has
a log Kow value 4.6. Compounds that have log Kow values greater than 3 have the
possibility of bioaccumulation in organisms. Deltamethrin bioaccumulation may
occur in Nile tilapia (Oreochromis niloticus) exposed deltamethrin. Nile tilapia is
a fish that is commonly consumed. Humans who consume tilapia containing
deltamethrin can cause harms to health. The purpose of this study was to
determine the optimum conditions of clean-up process, determine the validity of
gas chromatography - electron capture detector (GC-ECD) method that can be
used in the determination of deltamethrin levels in Nile tilapia, and to determine
the rate of deltamethrin bioaccumulation in Nile tilapia
The method which used in this study was extraction and clean-up. The
instrument used is gas chromatography - electron capture detector using CP-Sil 5
as a stationary phase. The results using clean-up and GC-ECD in optimum
condition obtained a good validity with high selectivity; linearity with r 0.999; %
recovery 82.74 - 100.46%; % RSD 0.3 – 3.4 % ; range 5.3 ng / g - 70.5 ng / g;
LOD 17.81 ng/mL; LOQ 1.30 ng/g, and the matrix that used do not significantly
affect analytical procedures.
The results of this study showed that up to day 14 occurred deltamehtrin
bioaccumulation in Nile tilapia with rate of bioaccumulation for the concentration
deltamethrin 0.17 µg/L and 0.34 µg/L are respectively 0.07 ng/day and 0.15
ng/day. Risk characterization of deltamethrin through Nile tilapia intake showed
that when humans consume 200 g of Nile tilapia per day is safe because the
amount of consumed deltamethrin was 374.46 ng and 1159.61 ng/g. This results is
much smaller (0.062 and 0.19 % of the ADI) than the ADI of deltamethrin (0.01
mg/kg BW).
Keywords: deltamethrin, nile tilapia, Orechromis niloticus, method validation,
bioaccumulation, risk characterization, GC-ECD
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus berkat kasih karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi
yang berjudul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan
Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen Resiko Deltametrin
Melalui Asupan Ikan Nila” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah
satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis
banyak mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
2. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Ketua Program Studi Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang turut memberikan saran
dan masukan untuk penulis selama tahap penelitian.
3. Prof. Dr. Sri Noegrohati Apt, selaku Dosen pembimbing utama yang telah
memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal
penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.
4. Sanjayadi, M.Si., selaku Dosen pembimbing pendamping yang telah
memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal
penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
5. Jeffry Julianus, M.Si. dan Enade Perdana I., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji
atas segala masukan dan bimbingannya.
6. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. atas dukungan dan segala bantuan dalam perijinan
penggunaan lab.
7. Segenap dosen yang telah berkenan membagikan ilmu kepada penulis selama
belajar di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
8. Teman seperjuangan skripsi: Kristina Nety Indriati, untuk kesabaran,
kebersamaan dan suka dukanya selama menyelesaikan penelitian ini.
9. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Kethul Ismadi, Mas Ottok dan seluruh
staff laboratorium Fakultas Farmasi serta staff keamanan dan kebersihan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya.
10. Teman seperjuangan di laboratorium Kimia Analisis Instrumentasi : Jimmy,
Rachel, Gunggek, Leo, Topan, Ina, Shinta, Sasya, Metri, Victor, Agnes, Novia,
Teti, Febrin, Wisnu dan Ozy atas kebersamaan, suka duka, dan canda tawanya.
11. Is, Fendy, Felix atas keluangan waktu untuk bersama pergi sejenak dari
penatnya skripsi dan yang selalu memberikan dukungan dan masukan.
12. Teman-teman FST A 2009 dan seluruh angkatan 2009 atas dukungan dan suka
duka yang diberikan, Semoga pengalaman yang telah kita lalui bersama bisa
menjadi bekal untuk perjuangan hidup kita kelak.
13. Seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas yang telah
membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis, sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
sangat diharapkan adanya masukan dan saran yang membangun untuk penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi dunia ilmu
pengetahuan.
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………................ ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………….. v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA…………………………... vi
INTISARI..…………………………………………………………….............. vii
ABSTRACT...…………………………………………………………………... viii
PRAKATA……...……………………………………………………………... ix
DAFTAR ISI……….………………………………………………………….. xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xix
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………... xxi
DAFTAR LAMPIRAN.……………………………………………………….. xxiii
BAB I. PENGANTAR
A. Latar Belakang………………………………………………………… 1
1. Perumusan Masalah ……………………………………………….. 5
2. Keaslian Penelitian …………………………………………………. 5
3. Manfaat Penelitian ………………………………………………..... 5
B. Tujuan Penelitian ……………………………………………………... 6
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pestisida…………..………………………………………..…………...
1. Pengertian…………………………………………………………..
8
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2. Residu……………………………………………………………… 10
3. Golongan……………. .…..……………………………...………… 10
4. Jalur Masuk Tubuh……..…...…………………………………...… 10
5. Efek Terhadap Kesehatan dan Lingkungan...………………..…….. 11
B. Deltametrin………………..…………………………………………… 12
1. Pengertian…………………...……………………………………...
2. Disipasi..……...…………………………………………………….
3. Efek Toksik….………………...……………………………………
a. Toksisitas Akut..………………………………………………..
b. Toksisitas Jangka Pendek………………………………………
c. Toksisitas Jangka Panjang dan Karsinogenisitas……………….
d. Ekotoksikologi….………………………………………………
4. Mekanisme Aksi……………………………………………………
5. Metabolisme………………………………………………………..
6. Akumulasi………….……………………………………………….
13
15
18
19
19
19
19
20
21
23
C. Biota Percobaan……….…………….………………………………….
1. Ikan Nila………….……..………………………………………….
2. Habitat…………...………………………………………………….
3. Makanan…………...……………………………………………….
4. Perkembangbiakan………………………………………………….
5. Uptake pada ikan…………………………………………………..
D. Bioakumulasi……………………………………………………...........
E. Analisis Kelumit..……………………………………………...........
24
24
25
26
27
28
29
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
F. Ekstraksi..………………………………………………………………
G. Kromatografi Gas………………………………………………………
1. Pengertian.……...…………………………………………………..
2. Prinsip…..………………………………………………………..…
3. Skema Alat.…………………………………………………………
a. Gas Pembawa….………………………………………………...
b. Ruang Suntik Sampel...………………………………………….
c. Kolom…………………................................................................
d. Pemilihan Temperatur Kolom …………………………………..
e. Detektor Penangkap Elektron…………………………………...
4. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif ………………………………....
H. Validasi Metode Analisis..……………………………………………...
1. Selektivitas…...……………………………………………………..
2. Linearitas dan Rentang……………………………………………..
3. Akurasi...……………………………………………………………
4. Presisi……………………………………………………………….
a. Repeatability……………………………………………………
b. Intermediate Precision………………………………………….
c. Reproducibility…………………………………………………
5. LOD dan LOQ……………………………………………………...
I. Landasan Teori…………………………………………………………
J. Hipotesis………………………………………………………………..
K. Rancangan Penelitian…………………………………………………...
31
34
34
35
35
36
37
38
40
42
45
45
47
47
48
48
48
48
48
49
49
53
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………...……………………………... 56
B. Variabel Penelitian……………………...………………………………
1. Variabel Bebas……………………………………………………...
2. Variabel Tergantung………………………………………………..
3. Variabel Pengacau Tak Terkendali…………………………………
56
56
56
56
C. Definisi Operasional…………………………………………………… 57
D. Alat Penelitian ……………………..………………………………….. 57
E. Bahan Penelitian…..…………………………………………………… 58
F. Tatacara Penelitian ……………………………………………………..
1. Optimasi Kromatografi Gas…...…………………………………….
2. Validasi Metode Pengukuran…...…………………………………...
a. Kestabilan Alat…………………………………………………..
b. Pembuatan Larutan Stok Deltametrin…..…………………….....
c. Pembuatan Larutan Intermediet Deltametrin.…………………...
d. Linearitas dan Sensitivitas Metode Pengukuran Deltametrin
dengan GC-ECD......………….…………………………………
3. Optimasi Fase Diam dan Fase Gerak untuk Clean-up….……...…...
a. Ekstraksi ikan…………………………………………………...
b. Clean-up dengan Fase Diam Alumina……….…………….…...
c. Clean-up dengan Karbon Aktif dan Karbon Nonaktif…………
4. Validasi Metode Analisis Deltametrin……..……………………….
a. Ekstraksi Deltametrin dalam Sampel Ikan Nila.………………..
58
59
59
59
59
59
60
60
61
61
62
62
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
b. Clean-up………….…………………………………………….
c. Perolehan Kembali, Pengaruh Matriks, Penentuan LOD,
Presisi, Akurasi…………………………………………………
5. Penentuan Deltametrin dalam Ekstrak Ikan Nila.…………………...
a. Perlakuan Ikan Nila….…………………………………………
b. Waktu Pengambilan Sampel……………………………………
c. Ekstraksi Deltametrin dalam Sampel Ikan Nila………………...
d. Clean-up dan Determinasi……………………………………...
63
63
63
63
63
64
G. Analisis Hasil Penelitian....……………………………………………..
1. Optimasi Kromatografi Gas…….…….……………………………..
2. Optimasi Jenis Fase Diam dan Fase Gerak untuk Clean-up………..
3. Kestabilan Alat...…………………………………………………...
4. Perhitungan Linearitas, Sensitivitas, dan Batas Deteksi……………
5. Penentuan Perolehan Kembali dan Batas Kuantitasi……………….
6. Perhitungan Kadar………..………………………………………...
7. Pengaruh Prosedur Analisis..……………………………………….
8. Penentuan Laju Bioakumulasi……………………………………...
64
64
64
64
64
65
66
66
66
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Metode Analisis...………………………………………………………
1. Uji Kesesuaian Sistem..…………………………………………….
a. Optimasi GC-ECD……………………………………………...
b. Presisi GC-ECD..……………………………………………….
c. Sensitivitas……………………………………………………...
68
68
68
69
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
c.1. Kurva Baku dan Linearitas………………………………...
c.2. LOD………………………………………………………..
2. Preparasi Sampel Ikan Nila..……………………………………….
a. Ekstraksi Deltametrin dalam Ikan Nila..………………………...
b. Optimasi Jenis Fase Diam Dan Fase Gerak untuk Clean-up……
b.1. Optimasi Fase Diam untuk Clean-up Ekstrak Ikan Nila..….
b.2. Optimasi Fase Gerak untuk Clean-up Ekstrak Ikan Nila.…..
3. Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila...………….
a. Selektivitas...…………………………………………………….
b. Akurasi………………..…………………………………………
c. Presisi……….…….……………………………………………..
d. Rentang Linearitas..……………………………………………..
e. LOQ………………………....…………………………………...
f. Pengaruh Prosedur Analisis………..……………………………
B. Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila..…………………………..
1. Aklimatisasi dan penanganan ikan nila untuk uji bioakumulasi
deltametrin dalam ikan nila…….…………………………………..
2. Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila………………………
C. Karakterisasi Resiko Asupan Deltametrin Melalui Ikan Nila………….
70
73
75
75
75
76
79
82
82
83
85
87
87
88
89
90
92
98
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.…………………………………………………………….
B. Saran …………………………………………………………………...
100
101
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
LAMPIRAN …………………………………………………………………... 106
BIOGRAFI PENULIS ………………………………………………………… 111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I Sifat fisika kimia deltametrin.………………………………… 15
Tabel II Toksisitas deltametrin pada organisme akuatik ..…………….. 20
Tabel III Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi
analit dalam sampel...........................………………………….
30
Tabel IV Parameter validasi untuk setiap kategori uji.………………….. 47
Tabel V Hasil optimasi GC-ECD…………...………………………….. 69
Tabel VI Hasil rata-rata Tr dan CV DCB...……………………………... 69
Tabel VII Hasil rata-rata luas puncak dan CV DCB..……………………. 70
Tabel VIII Persamaan regresi linier baku deltametrin….………………… 71
Tabel IX Persamaan regresi linier baku deltametrin…..………………... 72
Tabel X Hasil perolehan kembali……………………….……………… 84
Tabel XI Persen perolehan kembali yang dapat diterima pada beberapa
tingkat konsentrasi analit………………………………………
84
Tabel XII Persen koefisien variasi dari metode penambahan baku……… 86
Tabel XIII Persen koefisien variasi yang diterima pada beberapa tingkat
konsentrasi analit………………………………………………
86
Tabel XIV Hasil uji F standar deviasi kurva baku dan kurva adisi……….. 89
Tabel XV Hasil uji t slope kurva baku dan kurva adisi………………….. 89
Tabel XVI Hasil uji t slope konsentrasi 0,17 µg/L………………………. 98
Tabel XVII Hasil uji t slope konsentrasi 0,34 µg/L………………………. 99
Tabel XVIII Karaktersisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila…... 99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur deltametrin…………………...……………………… 14
Gambar 2. Kanal sodium……………….………………………………… 21
Gambar 3. Ikan nila……………..………………………………………... 24
Gambar 4. Struktur insang ikan…………………………………………... 28
Gambar 5. Diagram skematik kromatografi gas………………………......... 36
Gambar 6. Gas yang digunakan dalam kromatografi gas….…………...... 37
Gambar 7 Diagram split injection…...…………………………………… 38
Gambar 8. Tipe kolom kapiler kromatografi gas...………………………. 40
Gambar 9. Jenis pemrograman suhu..……………………………………. 43
Gambar 10. Perbandingan detektor pada gas kromatografi..……………… 43
Gambar 11. Diagram skematik detektor penangkap elektron.…………….. 45
Gambar 12. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC
deltametrin/DCB………………………………………………
71
Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC
deltametrin/DCB……………………………………………….
72
Gambar 14. Ilustrasi pencarian LOD…………………………….………… 73
Gambar 15. Overlapping kurva LOD……………………………………… 73
Gambar 16 Perbandingan hasil recovery deltametrin menggunakan karbon
aktif (250 mg) dan karbon nonaktif (250 mg)……………....…
78
Gambar 17 Hasil recovery adisi baku deltametrin sebelum clean-up dan
sebelum ekstraksi menggunakan fase diam karbon : natrium
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxi
sulfat 0,4 g…………………………………………………….. 80
Gambar 18 Perbandingan kromatogram (1) = standar baku deltametrin,
(2) = deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui
proses ekstraksi dan clean-up…………………………………
81
Gambar 19 Gabungan kurva baku dan kurva adisi……………………….. 88
Gambar 20 Kurva bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila…………….. 95
Gambar 21 Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
konsentrasi 0,17 µg/L………………………………………...
96
Gambar 22 Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
konsentrasi 0,34 µg/L………………………………………...
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pembuatan larutan stok deltametrin …………….……….. 108
Lampiran 2. Pembuatan larutan intermediet deltametrin…..…………... 108
Lampiran 3. Pembuatan larutan kerja….................................................. 108
Lampiran 4. Data optimasi kromatografi gas……………….…………. 109
Lampiran 5. Data hasil rata-rata Tr dan CV DCB….………………….. 109
Lampiran 6. Data hasil rata-rata AUC dan CV DCB………………….. 110
Lampiran 7. Data rasio AUC Deltametrin/DCB vs konsentrasi baku…. 110
Lampiran 8. Grafik kurva baku………………………………………… 111
Lampiran 9. Perhitungan sensitifitas alat………………………………. 112
Lampiran 10. Perbandingan hasil recovery standar deltametrin yang
diperoleh antara karbon yang diaktifkan dan karbon yang
tidak diaktifkan……………………………………………
113
Lampiran 11. Hasil recovery adisi standar deltametrin sebelum clean-up
dan sebelum ekstraksi……………………..………………
114
Lampiran 12. Data hasil perolehan kembali.………….………………… 115
Lampiran 13. Data hasil persen koefisen variasi…..……………………. 116
Lampiran 14. Data LOQ………………………………………………… 116
Lampiran 15. Pengaruh prosedur analisis………………………………. 118
Lampiran 16. Data penetapan kadar bioakumulasi)……………………. 120
Lampiran 17. Data laju bioakumulasi…………………………………… 125
Lampiran 18. Uji t slope untuk melihat apakah telah mencapai kondisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxiii
steady-state……………………………………………….. 126
Lampiran 19. Karaterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila… 128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris, dimana sektor pertanian memegang
peranan yang penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Pertanian tidak
lepas dari masalah hama yang dapat menurunkan produksi pertanian. Pengendalian
hama dan penyakit dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh alami
(predator) dan menggunakan senyawa kimiawi, misalnya pestisida. Pengendalian
hama dengan cara menyebarkan hewan yang menjadi musuh alami (predator) hama
ke areal pertanian dinilai kurang efisien dan kurang praktis. Pengendalian hama
yang paling cepat dan efektif adalah menggunakan pestisida (Cahyono, 2005).
Oleh karena itu penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi. Saat ini,
hampir semua kegiatan pertanian di seluruh dunia menggunakan pestisida untuk
mengendalikan hama, termasuk Indonesia. Jenis pestisida yang banyak digunakan
di Indonesia adalah insektisida, dimana penggunaannya mencapai 70% (Sutanto,
2002). Data survei tahun 2011 dari Yayasan FIELD pada 306 petani padi di Klaten
menunjukkan penggunaan pestisida rata-rata 5,7 kali per musim tanam, suatu
jumlah penggunaan pestisida yang sangat tinggi (Wienarto dan Hakim, 2012).
Penyebaran dan distribusi pestisida di daerah hingga ke tingkat perdesaan
tidak terkontrol sama sekali, kios-kios makanan di desa-desa juga menjual
pestisida. Tidak ada mekanisme yang mengendalikan penggunaan agar sesuai
dengan standar internasional menurut FAO. Penggunaan pestisida secara aman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
hanya terjadi di tempat latihan (hanya skala kecil) yang diselenggarakan oleh
pemerintah dengan dukungan perusahaan pestisida. Studi FAO tahun 1993
menemukan dari 800 petani penyemprot di Tegal dan Brebes sekitar 21% terbukti
keracunan secara langsung dari kegiatan penyemprotan pestisida (Wienarto dan
Hakim, 2012).
Imidakloprin, profenolos, dan deltametrin merupakan contoh pestisida
yang sering digunakan petani (Zein, Munaf, Nurhamidah, dan Suyani, 2002).
Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid yang dapat membunuh
serangga melalui kontak langsung ataupun sistemik. Deltametrin bersifat toksik
bagi ikan, toksisitas akut deltametrin bagi ikan Onchorhynchus mykiss selama 96
jam adalah 0,26 µg/L, sedangkan toksisitas jangka panjang selama 28 hari terhadap
Onchorhynchus mykiss adalah <0,032 µg/L (European Commission, 2002). Potensi
bioakumulasi pada ikan Oncorhynchus mykiss (rainbow trout) pada hari ke-4
adalah 0,0599 µg/L dengan bioconcentration factor (BCF) sebesar 817 (Anonima,
2012).
Pestisida merupakan bahan beracun yang berbahaya, terutama jika
penggunaanya berlebihan. Beberapa jurnal penelitian dan ahli lingkungan
melaporkan bahwa pestisida dapat menimbulkan retensi hama, ledakan hama,
timbulnya hama sekunder, akumulasi pada produk pertanian, mencemari
lingkungan seperti tanah dan perairan. Residu pestisida dapat terbawa aliran air dan
dapat mencemari tanah serta organisme akuatik yang hidup di air (ikan, amfibi,
makroinvertebrata, mikroinvertebrata) (Natawigena dan Satari, 1981).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami
oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Manusia yang keracunan
deltametrin mengalami pusing, muntah, mual, mata berair, kulit terasa gatal-gatal
dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan
kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas
keselamatan kerja dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.
Selain keracunan langsung, dampak negatif deltametrin bisa mempengaruhi
kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak
berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa
residu pestisida yang ada didalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia.
Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah terpejan
pestisida melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari (Natawigena dan Satari,
1981).
Organisme aquatik sangat rentan terhadap keracunan pestisida. Pestisida
tertentu telah terbukti dapat mencemari lingkungan perairan dari sisa pemberian di
lingkungan pertanian atau melayang di udara akibat penyemprotan, dapat
menimbulkan ancaman serius bagi populasi ikan yang terkena paparan langsung,
terutama ikan muda yang cenderung kurang toleran terhadap pestisida. Konsentrasi
pestisida yang tinggi di dalam air dapat membunuh organisme air diantaranya ikan.
Sementara pestisida dengan konsentrasi rendah dapat terakumulasi pada tubuh ikan.
Tentu akan berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh manusia. Maka perlu
dilakukan penelitian mengenai bioakumulasi deltametrin dalam ikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Untuk menjaga kemanan konsumsi ikan, batas maksimal residu
deltametrin yang diperbolehkan dalam ikan bersirip (fin fish) dalam Annex III of
Council Regulation (EEC) No. 2377/90 adalah 10 µg/kg (Committee for Veterinary
Medicinal Products, 2000).
Salah satu ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah ikan nila
karena pembudidayaannya yang mudah. Permintaan yang besar terhadap ikan nila
mengakibatkan budidaya ikan nila termasuk komoditas unggulan dalam bisnis
perikanan air tawar. Ikan nila banyak dikonsumsi manusia karena dagingnya yang
empuk, lembut, enak, dan tebal (Sutanto, 2012). Ikan nila mengandung nutrisi yang
cukup baik (Suloma, Ogata, Garibay, Chavez, and El-Haroun, 2008).
Bila lingkungan tempat pembudidayaan ikan nila tercemar residu
deltametrin, maka ada kemungkinan deltametrin dapat terakumulasi dalam ikan
nila. Dan bila ikan nila tersebut dikonsumsi oleh manusia, deltametrin dapat
terakumulasi dalam tubuh manusia dan dapat berbahaya bagi kesehatan. Oleh
karena itu perlu menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi dengan melalukan
karakterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila.
Diperlukan pengembangan metode yang selektif dan sensitif untuk
menetapkan kadar residu deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) dan
penelitian tentang kemungkinan terjadinya bioakumulasi deltametrin dalam ikan
nila (Oreochromis niloticus). Metode yang dapat digunakan untuk menganalisis
deltametrin adalah menggunakan metode kromatografi gas dengan detektor
penangkap elektron (electron capture detector/ECD).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1. Perumusan masalah
Dari uraian masalah di atas, dapat disampaikan perumusan masalah:
1. a. Bagaimana optimasi proses ekstraksi dan clean up residu deltametrin
dalam sampel ikan?
b. Apakah lemak ikan nila dan deltametrin dapat dipisahkan menggunakan
penjerap karbon?
2. Apakah proses ekstraksi dan clean up menggunakan fase diam dan fase
gerak yang optimal dapat memberikan data dengan validitas yang baik saat
dilakukan determinasi menggunakan GC-ECD?
3. Apakah terjadi bioakumulasi deltametrin dalam sampel ikan nila
(Oreochromis niloticus)?
4. Apakah asupan deltametrin pada manusia melalui ikan nila melebihi ADI?
2. Keaslian penelitian
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai “Validasi Metode Analisis
Deltametrin dalam Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya Pada
Penetapan Laju Bioakumulasi Deltametrin Menggunakan Model Lingkungan
Perairan”. Penelitian ini perlu dilakukan sebagai acuan dalam menentukan
bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat metodologis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan alternatif metode dengan validitas yang baik untuk penetapan kadar
residu pestisida deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus), yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
menggunakan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap
elektron.
b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dan menjadi acuan baik untuk pemerintah maupun peneliti lingkungan
dalam penetapan kadar residu deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus)
yang valid, reliabel, dan memenuhi jaminan kualitas.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode analisis
residu deltametrin dalam sampel ikan nila (Oreochromis niloticus) sehingga
memperoleh data yang valid, reliabel, serta memenuhi jaminan kualitas sehingga
dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dan dapat menjadi pedoman teknik analisis
pestisida yang tepat dan memenuhi quality assurance. Juga untuk mengetahui
bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan komposisi fase diam dan fase gerak optimal pada proses
pembersihan ko-ekstraktan, sehingga residu deltametrin dapat terpisah dari
ko-ekstraktan.
2. Mendapatkan kondisi yang optimal untuk determinasi residu deltametrin
menggunakan instrument kromatrografi gas detektor penangkap elektron
(Gas Chromatography-Electron Capture Detector/GC-ECD) sehingga
diperoleh data dengan validitas yang baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
3. Mengetahui bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis
niloticus)
4. Mengetahui resiko konsumsi ikan nila yang terapar deltametrin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pestisida
1. Pengertian pestisida
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest, yang berarti
hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan
sebagai pembunuh hama. Yang dimaksud hama bagi petani adalah tungau,
tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur),
bakteria dan virus, kemudian nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus,
burung, dan hewan lain yang dianggap merugikan (Sudarmo, 1991).
Menurut European Pharmacopoeia (EP), pestisida adalah suatu zat atau
campuran zat yang digunakan untuk mencegah, membunuh, atau mengontrol hama
tumbuhan atau hewan yang tidak diinginkan. Federal Environmental Pesticide
Control Act (FEPCA) mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang
dimaksudkan untuk mencegah, membunuh, mengusir atau mengurangi
hama/serangga, hewan pengerat, nematoda, jamur, rumput (Nollet and Rathore,
2010).
Menurut Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1973 tentang pengawasan,
peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, pestisida didefinisikan sebagai
semua zat kimia dan bahan lain, serta jasad renik, dan virus yang digunakan untuk:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
a. Memberantas atau mencegah hama penyakit yang merusak tanaman, bagian-
bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian.
b. Memberantas rerumputan.
c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman
tidak termasuk pupuk.
e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan dan
ternak.
f. Memberantas atau mencegah hama-hama air.
g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan, alat-alat angkutan, alat-alat pertanian dan gudang.
h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan
pada tanaman, air, dan tanah (Anonim, 1998).
Menurut (Wardojo, 1977), pestisida dapat memberikan dampak
pencemaran lingkungan karena dapat mengendap (terdeposit) dalam tumbuhan
ataupun lahan pertanian selama bertahun-tahun sesuai dengan mekanisme
degradasinya. Umumnya degradasi pestisida di lingkungan mengikuti hukum
kinetika reaksi pertama, yaitu bahwa derajat/kecepatan degradasi berhubungan
dengan dosis pengaplikasiannya. Reaksi ini berlangsung dalam dua tahap, yaitu
disipasi (residu menghilang dengan cepat) dan persistensi (residu menghilang
dengan lambat). Terjadinya dua tahap reaksi ini karena deposit insektisida dapat
diabsorbsi dan ditranslokasikan ke tempat lain. Disipasi dapat disebabkan karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
fotodegradasi (rusaknya pestisida karena cahaya), sedangkan persistensi dapat
disebabkan karena absorpsi pestisida ke dalam tanah.
2. Residu pestisida
Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil
pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan
pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat
pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (Anonim, 2006).
3. Golongan pestisida
Pestisida dapat digolongkan menjadi:
a. Organoklorin (seperti DDT, lindan, aldrin, klordan, endosulfan)
b. Organofosfat (seperti etion, malation, diklorovos)
c. Karbamat (seperti karbaril, karbofuran, karbanolat, propoksur)
d. Piretroid sintetik (seperti sipermetrin, deltametrin, fenvalerat, fluvalinat)
e. Pestisida urea (seperti sulkouron, fikofuron, diafenthiurun) (Nollet and
Rathore, 2010)
4. Jalur masuk ke tubuh
Tubuh dapat terpapar pestisida melalui 4 cara, yaitu:
a. Pemejanan secara oral sering disebabkan karena tidak mencuci tangan sebelum
makan, minum, merokok, tidak sengaja memaparkan pestisida ke makanan,
atau tidak sengaja memaparkan pestisida ke dalam mulut.
b. Pemejanan secara inhalasi sering disebabkan karena kontak yang lama dengan
pestisida akibat berada dalam ruangan tertutup atau ruangan yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
ventilasi udara yang buruk, menangani pestisida tanpa menggunakan alat
pelindung, menghirup udara sesaat setelah pestisida diaplikasikan,
menggunakan respirator yang buruk atau filter yang lama yang tidak diganti.
c. Pemejanan melalui mata disebabkan karena percikan atau semprotan pestisida
yang mengenai mata, mengaplikasikan pestisida saat cuaca berangin tanpa
menggunakan pelindung mata, mengusap mata dengan sarung tangan atau
tangan yang telah terkontaminasi, menuang formula dalam bentuk granul,
serbuk tanpa pelindung mata.
d. Pemejanan melalui kulit sering disebabkan karena tidak mencuci tangan
setelah menangani pestisida atau wadahnya, tidak sengaja mengenai kulit atau
mata yang tidak menggunakan alat pelindung, menggunakan pakaian yang
terkontaminasi pestisida (termasuk sepatu dan sarung tangan),
mengaplikasikan pestisida saat cuaca berangin, memegang permukaan yang
telah diaplikasikan pestisida (Nollet and Rathore, 2010).
5. Efek terhadap kesehatan dan lingkungan
Pestisida dapat menyebabkan 4 macam efek akut pada tubuh, yaitu:
a. Efek akut oral: Beberapa pestisida dapat menyebabkan rasa terbakar pada
mulut, tenggorokan, dan perut. Pestisida lain bila tertelan tidak menyebabkan
rasa terbakar pada sistem pencernaan, tetapi akan terabsorbsi dan terbawa
dalam aliran darah dan dapat membahayakan dalam berbagai cara.
b. Efek inhalasi akut: Beberapa pestisida, membuat seseorang menjadi sulit
bernafas, dapat menyebabkan rasa terbakar pada sistem pernafasan. Pestisida
lainnya ketika terhirup mungkin tidak membahayakan sistem pernafasan, tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
terbawa dengan cepat dalam aliran darah dan dapat membahayakan dalam
berbagai cara.
c. Efek dermal akut: Kontak dengan beberapa pestisida dapat membahayakan
kulit. Pestisida mungkin dapat menyebabkan kulit menjadi gatal, melepuh,
pecah-pecah, atau berubah warna. Pestisida lain dapat melewati kulit dan mata
dan masuk ke dalam tubuh.
d. Efek akut pada mata: Mata yang terkena pestisida dapat menjadi buta
sementara atau permanen atau iritasi yang parah. Pestisida lainnya mungkin
tidak mengiritasi mata, namun dapat melewati mata dan masuk ke dalam tubuh.
e. Efek alergi: Ini adalah efek berbahaya ketika pada beberapa orang dapat
menimbulkan reaksi terhadap senyawa yang tidak menyebabkan reaksi yang
sama pada kebanyakan orang. Efek alergi meliputi: Efek sistemik seperti asma;
iritasi kulit seperti ruam, melepuh, atau luka terbuka; iritasi pada mata dan
hidung seperti gatal, mata berair, dan bersin (Nollet and Rathore, 2010).
B. Deltametrin
Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang
merupakan tiruan analog dari piretrin. Piretrin merupakan suatu senyawa kimia
yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang
diekstrak dari bunga krisan (Chrysanthemum spp.). Piretrum alami sudah jarang
digunakan dalam dunia pertanian dikarenakan harga yang mahal dan tidak stabil
bila terkena sinar matahari. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada
bahan aktif masing-masing. Banyak piretroid yang memiliki efek sebagai racun
kontak yang sangat kuat. Semua piretroid merupakan racun yang mempengaruhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam kerja pada susunan saraf
sentral. Hingga saat ini, telah dikembangkan 4 generasi piretroid, yaitu generasi I
(alletrin); generasi II (resmetrin); generasi III (fenvalerat, permetrin); serta generasi
IV (deltametrin, fluvalinat, dan sipermetrin) (Djojosumarto, 2008).
Meskipun lebih stabil daripada piretrin, piretroid mudah terbiodegradasi
dan tidak memiliki waktu paruh dalam tubuh yang panjang. Piretroid dapat
berikatan dengan partikel di tanah dan sedimen dan menunjukkan beberapa
persitensi di lokasi tersebut. Dengan kelarutannya yang rendah dalam air, piretroid
tidak menunjukkan sifat sistemik yang signifikan dan tidak digunakan sebagai
insektisida sistemik. Masalah utama terhadap lingkungan terkait dengan toksisitas
piretroid pada ikan dan invertebrata lainnya. Piretroid umumnya diformulasikan
menjadi emulsi yang digunakan dengan cara disemprotkan. Piretroid digunakan
untuk mengontrol berbagai macam hama serangga pada lahan pertanian dan
tanaman hortikultura di seluruh dunia dan sekarang digunakan secara luas untuk
mengendalikan serangga vektor penyakit (misalnya lalat tsetse di beberapa bagian
Afrika) (Walker, 2001).
Piretroid sintetik generasi pertama memiliki sifat sangat sensitif terhadap
cahaya, udara, dan temperatur. Oleh sebab itu, piretroid jenis ini digunakan untuk
mengontrol hama dalam ruangan. Sementara piretroid generasi kedua memiliki
stabilitas yang baik pada kondisi di luar ruangan oleh sebab itu, piretroid generasi
kedua digunakan diseluruh dunia untuk mengatasi hama pertanian (Krieger, 2010).
1. Pengertian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Deltametrin ((S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 3R)-3-(2,2-
dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate) merupakan insektisida
golongan piretroid yang memiliki struktur seperti Gambar 1.
Gambar 1. Struktur deltametrin (World Health Organization, 2012)
Deltametrin di sintesis pada tahun 1974, dan pertama kali dipasarkan pada
tahun 1977. Penggunaan deltametrin di dunia mencapai 250 ton per tahun pada
1987. Umumnya digunakan pada kapas (45% dari konsumsi total), dan pada lahan
kopi, jagung, sereal, buah, sayuran, dan produk-produk yang dipasarkan.
Deltametrin diformulasikan dalam bentuk emulsi konsentrat, suspensi konsentrat,
serbuk, atau dikombinasikan dengan pestisida lainnya (World Health Organization,
1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Tabel I. Sifat fisika kimia deltametrin (European Commision, 2002)
2. Disipasi deltametrin
Proses disipasi pestisida memegang peranan penting dalam penentuan
keberadaan di lingkungan. Disipasi pestisida terkait erat dengan struktur
fisikokimia senyawa pestisida yang dipelajari. Jalur disipasi pestisida di lingkungan
Nama umum Deltametrin
Nama kimia
(IUPAC)
(S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 3R)-3-(2,2-
dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate
Nama kimia (CA)
1R-[1α(S*),3α]]-3-(2,2-dibromoethenyl)-2,2-
dimethyl-cyclopropanecarboxylic acid, cyano (3-
phenoxyphenyl) methyl ester
Rumus molekul C22H19Br2NO3
Bobot molekul 505,2
titik lebur 100-102°C (373-375°K)
titik didih terdekomposisi pada suhu diatas 300°C
Pemerian Serbuk kristal, tidak berwarna dan tidak berbau
Kerapatan relatif 0,550 g/cm3
Tekanan uap 1,24 x 10-8 Pa pada 25°C
Konstanta Henry 3,1 x 10-2 Pa.m3/mol pada 25°C
Kelarutan dalam air 0,0002 mg/L pada 25°C, kelarutan tidak tergantung
pH (dilakukan pada pH 7,49-7,85)
Kelarutan dalam
pelarut organik
memiliki kelarutan tinggi pada kebanyakan pelarut
ogranik pada temperatur ruangan
1,2-dichloroethane > 600 g/L, 20°C
acetone 300-600 g/L, 20°C
dimethylsulfoxide 200-300 g/L, 20°C
ethyl acetate 200-300 g/L, 20°C
p-xylene 150-200 g/L, 20°C
xylene 175 g/L, 20°C
acetonitrile 60-75 g/L, 20°C
methanol 8,15 g/L, 20°C
n-heptane 2,47 g/L, 20°C
Koefisien partisi (log
Pow)
4,6 (25°C, pH 7,6) tidak tergantung pH, ada
kemungkinan terjadi bioakumulasi
Stabilitas fotolitik
dalam air (Dt50)
fototransformasi langsung t1/2 = 48 hari
fototransformasi tidak langsung t1/2 = 4 hari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
meliputi translokasi dan degradasi. Deltametrin di tanah dapat hilang/terdegradasi
melalui proses fisika, kimia, dan mikrobiologis. Proses fisika meliputi: penyerapan,
penguapan, pelindihan, dan diserap tanaman. Proses kimia meliputi proses
fotokimia dan mikrobiologis. Deltametrin kemungkinan tidak terjerap secara kuat
pada bagian dedaunan dari tanaman, dan penguapan dari permukaan ini juga lebih
tinggi dibandingkan dengan tanah. Pada salah satu penelitian di lapangan, 12-72%
deltametrin menguap dari permukaan tanaman pada 24 jam setelah aplikasi
(Anonima, 2009).
Deltametrin diinkubasi pada pasir dan tanah organik pada suhu 28 °C
dalam kondisi laboratorium, setelah 8 minggu perlakuan sekitar 52% dan 74%
deltametrin yang diaplikasikan diperoleh kembali dari pasir dan tanah organik
(World Health Organization, 1990).
Degradasi dari deltametrin diteliti oleh Zhang et al. (1984) pada tanah
organik selama periode 180 hari. Waktu paruh deltametrin yang diperoleh adalah
72 hari, mengindikasikan bahwa deltametrin kemungkinan besar lebih kurang
rentan terdegradasi dalam tanah organik daripada tanah mineral. Degradasi
deltametrin juga diteliti oleh Thier and Schmidt (1977) pada 2 jenis tanah di Jerman.
Waktu paruh untuk tanah berpasir dan tanah liat berpasir berturut-turut adalah 35
dan 60 hari. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa deltametrin cepat
terdegradasi dalam tanah. Waktu paruh deltametrin tergantung pada kondisi tanah
dan temperatur. Secara umum waktu paruhnya berkisar antara 11-72 hari, pada
kondisi aerob. Degradasi deltametrin lebih lambat pada kondisi anaerob atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
kondisi steril, mengindikasikan bahwa mikroorganisme dan proses biologis yang
lain memegang peranan yang sangat penting (World Health Organization, 1990).
Hidrolisis deltametrin tidak signifikan pada pH 5 dan 7. Pada pH 9,
hidrolisis signifikan dengan waktu paruh 2,5 hari (25 ºC) hingga 7 hari (12 ºC).
pada pH 8, waktu paruhnya 31 hari (23 ºC) hingga 75 hari (12 ºC) (Standing
Committee on Biocidal Products, 2011).
Pada lingkungan akuatik, deltametrin akan sangat cepat terpartisi ke
sedimen, dan biota. Pada laboratorium, 60% dari radioaktivitas yang diaplikasikan
ditemukan pada sedimen sesaat setelah diaplikasikan. Dalam sistem air/sedimen,
degradasi DT50 sekitar 45 dan 141 hari pada 2 sistem yang berbeda pada 20 ºC (104
dan 253 hari pada suhu 12 ºC). pH fase air pada sistem adalah 8,0-9,1 dan hidrolisis
mungkin mempunyai pengaruh terhadap degradasi. Di tanah, nilai DT50 orde 1
adalah 11-27 hari. Pada suhu 12 ºC, DT50 adalah 31-74 hari. pH dari 4 macam tanah
yang digunakan masing-masing adalah 5,8, 5,9, 7,5, dan 8,1 dan hidrolisis mungkin
adalah rute degradasi yang tidak signifikan pada tanah. Metabolit utama
deltametrin, Br2CA telah dihitung sekitar 0,7-11,6 hari (Standing Committee on
Biocidal Products, 2011).
Degradasi abiotik: stabil pada pH 5 dan 7 (25°C), pH 8 31 hari, pH 9 2,5
hari. Metabolit terbanyak: mPaldehyde (utama), Br2CA (trace). Degradasi fotolisis:
fototransformasi langsung yang tidak signifikan (DT50 ≥ 48 hari), fototransformasi
tidak langsung DT50 4 hari (European Commision, 2002).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
3. Efek toksik deltametrin
Deltametrin sangat toksik terhadap ikan, 96 jam LC50 berkisar antara 0,4
– 2,0 µg/L. deltametrin juga sangat toksik untuk invertebrata akuatik, 48 jam LC50
untuk Daphnia magna adalah 5 µg/L (World Health Organization, 1990).
Pada beberapa kasus yang tidak fatal terpejannya deltametrin pada
manusia karena kelalaian, efek yang ditimbulkan adalah mati rasa, gatal, perasaan
geli, dan terbakar pada kulit dan vertigo adalah efek yang sering dilaporkan.
Kebanyakan efek ini hanya sementara dan menghilang setelah 5-7 hari. Tidak ada
efek samping jangka panjang yang pernah dilaporkan (World Health Organization,
1990).
Tanda keracunan pada manusia adalah paresthesia yang paling sering
dilaporkan. Selain itu juga rasa geli, gatal, rasa terbakar, dan mati rasa setelah
pemejanan pada kulit. Paresthesia dilaporkan bersifat reversible kadang hingga 48
jam. paresthesia terjadi hanya pada tempat pemejanan pada kulit. Seorang wanita
berusia 25 tahun yang mengalami keracunan cukup hebat setelah menyemprotkan
deltametrin pada ladang kapas mengeluh pusing, nausea, rasa lelah, pandangan
menjadi kabur, kehilangan nafsu makan, rasa terbakar dan geli pada wajah, mual,
vertigo, gangguan tidur, dan hilangnya kesadaran. Seorang pria berusia 31 tahun
dengan gejala keracunan ringan setelah menyemprotkan deltametrin pada ladang
kapas mengalami pusing, nausea, rasa lelah, pandangan menjadi kabur, kehilangan
nafsu makan, sensasi terbakar dan gatal pada muka dan dada (National Pesticide
Information Center, 2010).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
a. Toksisitas akut: Pada tikus LD50 oral 87 mg/kg BB, LD50 dermal >2000
mg/kg BB, LC50 inhalasi 0,6 mg/L (6 jam pemejanan seluruh tubuh, aerosol), iritasi
kulit: Tidak iritasi, iritasi mata: Tidak iritasi (European Commision, 2002).
Toksisitas oral akut deltametrin pada tikus menunjukkan gejala seperti:
muncul warna pada bulu, grooming berlebihan, pengeluaran air liur, diare,
mengantuk, menjadi lemah, dyspnea, piloerection, ptosis, kesulitan berjalan,
inkordinasi gerakan, hipotonia, kematian (World Health Organization, 1990).
b. Toksisitas jangka pendek: Target: Sistem saraf (efek neurologi),
NOAEL/NOEL oral terendah: NOAEL 1 mg/kg bw/d ( uji oral selama 90 hari pada
tikus, dan studi 1 tahun pada anjing), NOAEL/NOEL dermal terendah: NOAEL
1000 mg/kg bw/d (berdasarkan pada uji dermal selama 21 hari pada tikus),
NOAEL/NOEL inhalasi terendah: NOAEL < 3 mg/L (berdasarkan pada studi pada
tikus selama 14 hari) (European Commision, 2002).
c. Toksisitas jangka panjang dan karsinogenisitas: Target: Sistem saraf (efek
neurologi), NOAEL 25 ppm atau 1 mg/kg bw/d (2 tahun pada tikus),
karsinogenisitas: Tidak ada potensi karsinogenik (European Commision, 2002).
d. Ekotoksikologi: Vertebrata terestrial: Toksisitas akut pada mamalia: LD50
87 mg/kg BB (tikus), toksisitas akut pada burung: LD50 > 2250 mg/kg BB (Colinus
virginianus), LD50 > 4640 mg/kg BB (Anas platyrhynchus), toksisitas oral jangka
pendek pada mamalia: NOEL 2,5 mg/ kg bw/d (studi oral pada anjing selama 13
minggu) (European Commision, 2002).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Tabel II. Toksisitas deltametrin pada organisme akuatik (European Commision,
2002)
Spesies
Skala
waktu
Toksisitas
(µg a.s./l)
Hasil
akhir
Toksisitas akut ikan O. mykiss 96 h1 0,26 LC50
Toksisitas akut ikan
jangka panjang O. mykiss 28 d1 <0,032 NOEC
Bioakumulasi pada
ikan 1400 28 d1 - BCF
Toksisitas akut pada
invertebrata
Deltametrin:
D. magna
24 h1
48 h1
> 1,3
0,56
EC50
EC50
D. magna
24 h2
48 h2
0,25
0,11
EC50
EC50
Decis EC:
Gammarus
fasciatus
96 h1
96 h1
96 h4
0,00031
0,0032
> 0,043
LC50
LC50
LC50
A. aquaticus 96 h2 0,00051 LC50
Toksisitas kronik
invertebrata
Deltametrin: D.
magna 21d1 0,0041 NOEC
Keterangan: 1flow trough, 2semi static, 4 one pulse exposure, followed by flow-through of
clean water, sediment/water system
4. Mekanisme aksi
Deltametrin termasuk piretroid tipe II, tanda keracunan meliputi tremor,
pengeluaran air liur, dan konvulsi. Onsetnya cepat dan kemudian akan hilang
setelah beberapa hari pada yang selamat (World Health Organization, 1990).
Deltametrin efektif melawan serangga melalui saluran pencernaan dan
kontak langsung. Piretroid secara umum mengganggu produksi normal sinyal saraf
dalam sistem saraf. Piretroid bekerja pada membrane saraf dengan menunda
menutupnya gerbang sodium ion channel. Piretroid tipe II, termasuk deltametrin
mempunyai gugus α-cyano yang menginduksi long lasting inhibiton dari sodium
channel activation gate. Hasilnya adalah memperpanjang permeabilitas dari saraf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
ke sodium dan menghasilkan sinyal saraf berulang pada sensory organ, sensory
nerves, dan otot (National Pesticide Information Center, 2010). Ciri dari keracunan
yang terlihat adalah terjadinya tremor otot yang tidak terkoordinasi (Walker,
Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001).
Gambar 2. Kanal Sodium (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001)
Membran sel saraf memiliki muatan spesifik. Dengan berubahnya jumlah
ion (charged atoms) melewati kanal ion menyebabkan depolarisasi membran yang
menyebabkan dilepaskannya neurotransmiter. Neurotransmiter membantu
komunikasi sel saraf. Pesan elektrikal yang dikirim diantara sel saraf menyebabkan
mereka menghasilkan respon seperti gerakan pada hewan atau serangga. Piretroid
bekerja sebagai racun kontak yang mempengaruhi sistem saraf serangga. Meskipun
piretroid adalah racun saraf, tetapi piretroid tidak menghambat kolinesterase seperti
insektisida organofosfat atau karbamat (National Pesticide Telecommunications
Network, 1998).
5. Metabolisme deltametrin
Kecepatan absorbsi deltametrin secara oral sekitar 75%, berdasarkan data
ekskresi dari urin pada tikus. Deltametrin akan segera diabsorbsi ketika
diadministrasikan secara oral pada tikus (mayoritas radioaktivitas dieliminasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
selama 24 jam setelah pemejanan, 19-47% di urin, 32-55% di feses) dan
distribusikan pada jaringan. Residu pada jaringan relatif rendah, residu terbanyak
ditemukan pada lemak. Tidak ada indikasi akumulasi, meskipun residu deltametrin
pada jaringan adipose dieliminasi dengan waktu paruh > 24 jam. deltametrin
dengan cepat diekskresikan melalui urin dan feses (Standing Committee on
Biocidal Products, 2011).
Deltametrin diabsorbsi melalui rute oral, dan sedikit melalui rute dermal,
kecepatan absorbsinya sangat tergantung dari pembawa atau solven. Deltametrin
yang telah diabsorbsi kemudian akan dimetabolisme dan diekskresikan (World
Health Organization, 1990).
Metabolit terbanyak adalah Br2CA (Decamethrinic acid) bebas dan
terkonjugasi, trans-hydroxymethyl-Br2CA, dan 3-(4-hydroxyphenoxy) benzoic
acid yang dibentuk dari esterifikasi, oksidasi, dan konjugasi (World Health
Organization, 1990).
Reaksi metabolisme yang utama adalah oksidasi, pemecahan ikatan ester,
dan konversi bagian siano menjadi tiosianat dan 2-iminothiazolidine-4-carboxylic
acid (ITCA). Asam karboksilat dan derivat fenol dikonjugasikan dengan asam
sulfur, glisin, dan/atau asam glukoloronik (World Health Organization, 1990).
Metabolisme deltametrin pada manusia. Tiga pria muda menerima dosis
tunggal 3 mg deltametrin yang dikombinasikan dengan 1 gram glukosa dan
dilarutkan terlebih dahulu dalam 10 mL PEG 300 dan kemudian dalam 150 mL air.
Radioaktivitas total adalah 1,8 ± mBq. Sampel darah, urin, air liur, dan feses
diambil pada interval selama 5 hari. Pemeriksaan klinis dan biologis dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
setiap 12 jam selama perlakuan dan 1 minggu setelah perlakuan berakhir.
Pemeriksaan klinis dan biologis tidak mendeteksi adanya kelainan. Tidak ada tanda
efek samping atau intolerance reaction, baik selama atau setelah masa percobaan.
Radioaktivitas maksimal plasma muncul antara 1-2 jam setelah administrasi. Waktu
paruh eliminasi yang diperoleh antara 10,0 dan 11,5 jam. Radioaktivitas pada sel
darah, juga air liur sangat rendah. Ekskresi urin menunjukkan 90% radioaktivitas
diekskresikan selama 24 jam setelah absorbsi. Waktu paruh ekskresi urin yang
tampak adalah 10,0 – 13,5 jam dimana hasil ini konsisten dengan data plasma.
Eliminasi feses pada akhir periode observasi menunjukkan 10 – 26% dari dosis.
Total eliminasi feses dan urin sekitar 64-77% dari dosis awal yang diberikan setelah
96 jam (World Health Organization, 1990).
Mamalia umumnya memetabolisme piretroid melalui hidrolisis ester,
oksidasi, dan konjugasi. Pemutusan ester adalah rute utama degradasi dalam tubuh.
Tiosianat adalah metabolit utama setelah tikus diberikan deltametrin secara oral dan
intraperitonial. Metabolit yang lainnya meliputi PBA (3-phenoxybenzoic acid), 4’-
OH-PB acid sulfate (4’-hydroxy-3-phenoxybenzoic acid sulfate), Br2CA (3-(2,2-
dibromoethenyl)-2,2-dimethylcyclopropanecarboxylic acid) dan konjugat
glukoronat (National Pesticide Information Center, 2010).
6. Akumulasi deltametrin
Bioakumulasi deltametrin diteliti pada bluegill sunfish (Lepomis
machrochirus). Nilai biokonsentrasi (BCF) yang diperoleh adalah 310, 2800, dan
1400 untuk edible, non-edible dan seluruh jaringan tubuh. Setelah 14 hari periode
depurasi 70, 75 dan 76% yang dieliminasi dari edible, non-edible, dan seluruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
jaringan tubuh. Waktu paruh biologis adalah 4,3 hari pada seluruh jaringan tubuh
(Standing Committee on Biocidal Products, 2011).
Biokonsentrasi deltametrin pada cacing tanah adalah 483 menggunakan
Kow 40 200 untuk deltametrin (Standing Committee on Biocidal Products, 2011).
C. Biota Percobaan
1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Klasifikasi ikan nila menurut Myers, Espinosa, Parr, Jones, Hammond,
and Dewey (2013):
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata
Kelas: Actinopterygii
Ordo: Perciformes
Famili: Ciclidae
Genus: Oreochromis
Spesies: Oreochromis niloticus
Gambar 3. Ikan nila (Ueberschaer, 2000)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Ikan nila hidup di perairan air tawar hampir di seluruh Indonesia. Jenis
ikan ini sebenarnya bukan ikan asli Indonesia. Habitat asli ikan nila adalah di
Sungai Nil dan daerah perairan di sekitarnya. Menurut sejarahnya, ikan nila masuk
ke Indonesia pada tahun 1969. Ikan nila didatangkan oleh Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar (BPAT) Bogor dari Taiwan. Setelah diteliti dan dilakukan
adaptasi, ikan ini mulai disebarkan ke beberapa daerah di Indonesia. Nila adalah
nama khas Indonesia yang diberikan pemerintah melalui Direktur Jenderal
Perikanan. Nama tersebut diambil dari nama spesies ikan ini, yakni nilotica yang
kemudian diadaptasi menjadi nila (Sutanto, 2012).
Ikan nila merupakan ikan air tawar yang cukup dikenal luas masyarakat
Indonesia. Secara deskripsi dan bentuk ikan nila mirip dengan ikan mujair, tetapi
memiliki ukuran yang lebih besar. Ikan nila termasuk jenis ikan yang mudah
dibudidyakan, oleh karena itu ikan nila termasuk komoditas unggulan dalam bisnis
perikanan air tawar. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan
budidaya ikan nila semakin berkembang dan menjadi ladang bisnis yang
menjanjikan. Perkembangan budidaya ikan nila ini juga sehingga sekarang banyak
dihasilkan jenis ikan nila unggulan (Sutanto, 2012).
Ikan nila mengandung 77-79% air, 17-18% protein, 1,5-3,2 % lemak, dan
1,1-15% mineral (Muchiri, 2006).
2. Habitat ikan nila
Habitat nila adalah perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan rawa-
rawa, teteapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas (euryhaline), dapat
pula hidup dengan baik di air payau dan laut. Salinitas yang cocok untuk nila adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
0-35 ppt (part per thousand) dengan pH 6-8,5. Nila dapat hidup pada perairan
dengan kandungan oksigen minim, kurang dari 3 ppm (part per million) (Kordi,
2010).
Hal yang paling berpengaruh dengan pertumbuhan ikan nila adalah
salinitas atau kadar garam. Jumlah 0-29% adalah kadar maksimal untuk ikan nila
agar tumbuh dengan baik. Meski ikan nila dapat hidup di kadar garam sampai 35%,
tetapi di lingkungan seperti itu ikan nila tidak dapat berkembang dengan baik
(Sutanto, 2012).
Ikan nila hanya dapat berkembang pada suhu air yang hangat dan tidak
dapat hidup pada air yang dingin. Ikan nila juga dikenal dengan sebutan ikan tropis
karena memang hanya ada di daerah tropis dengan suhu di antara 23-32 ºC. maka
tidak heran, ikan nila tidak sulit ditemukan di daerah-daerah seluruh Indonesia
(Sutanto, 2012).
Keasaman air yang cocok adalah 6 – 8,5, namun pertumbuhan optimal
terjadi pada pH 7 – 8. pH yang masih ditoleransi nila adalah 5-11. Suhu optimal
untuk pertumbuhan nila antara 25 – 30 °C. Pada suhu 22 °C nila masih dapat
memijah, begitu pula pada suhu 37 °C. pada suhu di bawah 14 °C atau lebih 38 °C
nila mulai tergannggu. Sedangkan suhu mematikan adalah 6 °C dan 42 °C (Kordi,
2010).
3. Makanan ikan nila
Ikan nila termasuk omnivora atau pemakan segala. Ikan ini dapat
berkembang biak dengan berbagai macam makanan, baik yang berasal dari hewani
maupun nabati. Kebiasaan memakan makanan hewani dan nabati tergantung umur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
ikan nila. Pada saat larva, setelah habis kuning telur, ikan nila suka dengan
phytoplankton. Setelah ukuran badannya menjadi sedikit lebih besar, benih ikan
nila sangat suka dengan zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia
sp, Moina sp, dan Cladocera sp. Setelah dewasa, ikan nila sangat suka dengan
cacing, seperti cacing tanah, cacing darah, dan tubifex. Selain itu, bahan makanan
nabati berupa daun talas adalah makanan kesukaan ikan nila (Sutanto, 2012).
Untuk pemeliharaan nila diberi pakan buatan (pelet) yang mengandung
protein antara 20-25%. Menurut penelitian, nila yang diberi pelet yang mengandung
protein 25% tumbuh optimal. Namun nila peliharaan yang diberi makanan berupa
dedak halus, tepung bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya, juga dapat
tumbuh dengan baik. Untuk memacu pertumbuhan ikan nila, pakan yang diberikan
harus mengandung protein 25-35% (Kordi, 2010).
4. Perkembangbiakan ikan nila
Ikan nila dikatakan dewasa jika sudah berumur 4-5 bulan. Pertumbuhan
maksimal ikan nila untuk melakukan perkembangbiakan adalah sekitar 1,5-2 tahun.
Ikan nila yang sudah berumur lebih dari 1 tahun beratnya mencapai 800 gram. Ikan
nila dapat mengeluarkan 1200-1500 larva setiap kali memijah. Pemijahan dapat
berlangsung 6-7 kali dalam setahun (Sutanto, 2012).
Siklus hidup ikan nila dapat dibagi menjadi lima fase yaitu telur, larva,
benih, konsumsi, dan induk. Bentuk, ukuran tubuh, dan sifat ikan nila selalu
berubah dalam setiap fase. Semua fase dilewati dalam waktu yang berbeda-beda
(Sutanto, 2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
5. Uptake pada ikan
Pada organisme akuatik seperti ikan, proses uptake dapat terjadi melalui
isang, dari makanan yang kemudian akan masuk ke dalam saluran pencernaan,
maupun dari permukaan tubuh organisme tersebut. Tetapi insang merupakan organ
uptake utama pada ikan. Rute uptake dapat berbeda pada tiap organisme, tergantung
senyawa, dan tergantung pada kondisi lingkungan (Walker, Hopkin, Sibly, and
Peakal, 2001).
Gambar 4. Struktur insang ikan (Evans, Piermarini, and Choe, 2005)
Insang merupakan respirasi organisme akuatik yang berfungsi
mengekstrak oksigen dari air, dan juga dapat mengambil senyawa yang larut dalam
air. Insang seringkali memiliki area permukaan total yang jauh lebih besar daripada
area permukaan tubuh yang lain. Pergerakan media respirasi melintasi permukaan
respirasi, proses yang disebut ventilasi, mempertahankan gradient tekanan parsial
O2 dan CO2 melintasi insang yang diperlukan untuk pertukaran gas. Untuk
mendorong ventilasi, sebagian besar hewan yang memiliki insan menggerakkan
insangnya melintasi air atau menggerakkan air melintasi isangnya. Ikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
menggunakan gerakan berenang atau gerakan yang terkoordinasi dari mulut dan
penutup insang untuk memventilasi insangnya. Arus air akan memasuki mulut,
melewati celah-celah di faring, mengalir melintasi insang, dan kemudian keluar dari
tubuh (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, et. al, 2010).
Susunan kapiler-kapiler di dalam insang memungkinkan pertukaran
melawan arus, pertukaran zat-zat atau panas di antara dua cairan yang mengalir
kearah yang berlawanan (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, et.
al, 2010).
D. Bioakumulasi
Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada
biota, misalnya ikan. Proses akumulasi dari senyawa pada berbagai organisme
melalui fase akuatik umumnya diklasifikasikan menjadi 2 tipe: bioconcentration
dan biomagnification. Bioconcentration adalah akumulasi dari senyawa yang
terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh
secara langsung. Bioconcentration factor (BCF) didefinisikan sebagai rasio
konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi
setimbang (steady-state). Pengukuran BCF dilakukan dengan konsentrasi rata-rata
dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran
pencernaan ikan. Kadang BCF diperkirakan terhadap kadar lemak ikan. (Krieger,
2010).
E. Analisis Kelumit (Trace Analysis)
Analisis kelumit (trace analysis) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan penerapan kimia analitik (pengukuran jumlah suatu zat) dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
keadaan dimana jumlah analit sangat kecil. Analisis kelumit umumnya dilakukan
pada kisaran di bawah bagian per juta (part per million / ppm) misalnya 1 ppm =
1µg/g = 0,0001% atau 1 mg/L untuk cairan. Analis lain medefinisikan secara lebih
umum bahwa analisis kelumit adalah analisis dimana konsentrasi analit cukup kecil
yang menyebabkan kesulitan dalam memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Selain
disebabkan karena rendahnya konsentrasi analit dalam matriks, ada beberapa faktor
yang mungkin dapat mempengaruhi kesulitan yang dirasakan oleh analis pada
konsentrasi rendah, seperti kehilangan analit, kontaminasi, atau interferensi
(Prichard, MacKay, Points, 1996).
Tabel III. Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi analit
dalam sampel menurut Namiesnik (2002)
Beberapa masalah yang sering terjadi dalam analisis kelumit adalah:
a. Konsentrasi analit yang akan ditentukan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan konstituen lain yang ada dalam matriks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
b. Adanya kontaminasi dari reagen, alat, atau lingkungan laboratorium yang dapat
menghasilkan false results
c. Hilangnya analit akibat adsorpsi, degradasi, atau selama proses analisis
d. Konstituen matriks dapat mengganggu sistem deteksi yang digunakan,
menyebabkan nilai palsu menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan pemurnian
yang lebih baik dan atau detektor yang lebih selektif.
e. Hasil yang diperoleh dengan teknik instrumen yang umum digunakan kurang
tepat dibandingkan dengan menggunakan prosedur klasik
f. Secara umum, sulit untuk memastikan keandalan metode karena material
referensi yang tersedia untuk berbagai aplikasi analisis kelumit cukup sedikit
(Prichard, MacKay, Points, 1996).
F. Ekstraksi
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau
clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen
matriks yang mungkin mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di
samping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada
dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan
untuk deteksi atau kuantifikasinya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dalam bentuk paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan
pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-
cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat
non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzen, atau diklorometan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Meskipun demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non
polar ke dalam air) juga mungkin terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah
molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang
bersifat non polar atau agak polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan
senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang
menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan
terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak
campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase
disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan dirumuskan
sebagai berikut:
KD = [𝑆]𝑜𝑟𝑔
[𝑆]𝑎𝑞
Keterangan:
KD = koefisien partisi
[S]org = konsentrasi analit dalam fase organik
[S]aq = konsentrasi analit dalam fase air
Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang
berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau
polimerasi karenanya ekspreksi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau
rasio partisi (D). Persamaannya adalah sebagai berikut:
D = (𝐶𝑠)𝑜𝑟𝑔
(𝐶𝑠)𝑎𝑞
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Keterangan:
D = rasio partisi
(Cs)org = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik
(Cs)aq = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase air
Analit yang mempunyai rasio distribusi besar (104 atau lebih) akan mudah
terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berarti
100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi (Gandjar dan Rohman,
2007).
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah
dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan
rasio distribusi yang kecil (< 1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan
pelarut baru pada larutan sampel secara terus menerus (Gandjar dan Rohman,
2007).
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang
mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga
memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan
mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi
sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi
pelarut yaitu: Terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit
terserap oleh partikulat yang mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang
mempunyai berat molekul tinggi, dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama
dalam kedua fase. Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling sering dijumpai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Oleh karena itu, jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang
diperoleh kurang baik. Emulsi dapat dipecah dengan cara:
i. Penambahan garam ke dalam fase air
ii. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan
iii. Penyaringan melalui glass-wool
iv. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
v. Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
vi. Sentrifugasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
G. Kromatografi Gas
1. Pengertian
Kromatografi gas merupakan metode dinamis untuk pemisahan dan
deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.
Kromatografi gas diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950 dan saat ini
merupakan alat utama yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan analisis.
Perkembangan teknologi yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan
kolom telah menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta identifikasi
senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik analisis dengan resolusi yang
meningkat (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi gas merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam
bidang-bidang: industri, lingkungan, farmasi, kimia, klinik, forensik, makanan, dan
lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi gas dapat diotomasisasi untuk analisis sampel-sampel padat,
cair, dan gas. Sampel padat dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam suatu pelarut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
sehingga dapat diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi gas, demikian juga
sampel gas dapat langsung diambil dengan syringe yang kedap terhadap gas
(Gandjar dan Rohman, 2007).
2. Prinsip Gas kromatografi
Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut
yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik
didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam.
Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa
dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase
diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu
menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada
kisaran 50 – 350 ºC) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan
karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Terdapat 2 jenis kromatografi gas:
a. Kromatografi gas-cair (KGC). Pada KGC, fase diam yang digunakan adalah
cairan yang dilarutkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut
dalam fase diam. Mekanisme sorpsi nya adalah partisi.
b. Kromatografi gas-padat (KGP). Pada KGP, digunakan fase diam padatan.
Mekanisme sorpsi nya adalah adsorpsi (Gandjar dan Rohman, 2007).
3. Skema alat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Diagram skematik peralatan kromatografi gas ditunjukkan oleh Gambar 5.
dengan komponen adalah kontrol dan penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel,
kolom yang diletakkan di dalam oven yang dikontrol secara termostatik, sistem
deteksi dan pencatat, serta komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah
data (Dean, 2003).
Gambar 5. Diagram skematik kromatografi gas (Dean, 2003)
a. Gas pembawa. Fase gerak dalam kromatografi gas disebut gas
pembawa dan harus murni dan inert secara kimia. Gas pembawa yang umumnya
digunakan adalah helium, nitrogen, argon, dan hidrogen (Skoog, West, Holler,
and Crouch, 2004).
Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis
detektor yang digunakan. Untuk setiap pemisahan dengan kromatografi gas
terdapat kecepatan optimum gas pembawa yang tergantung pada diameter kolom.
Kolom kapiler menggunakan kecepatan alir gas yang rendah, yakni antara 0,2 – 2
mL/menit. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler sangat rendah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
maka pada kebanyakan detektor ditambah gas tambahan yang ditambahkan ke
dalam efluen setelah keluar dari kolom tetapi belum mencapai detektor. Gas
tambahan umumnya sama dengan gas pembawa, meskipun kadangkala digunakan
helium. Gas pembawa bekerja paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas
nitrogen akan efisien jika digunakan dengan kecepatan alir ± 10 mL/menit,
sementara helium akan efisien pada kecepatan alir 40 mL/menit (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Gambar 6. Gas yang digunakan dalam kromatografi gas (Grob, 2004)
b. Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk
menghantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan
dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang
biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang
suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan umumnya 10 – 15 ºC
lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel akan menguap
segera setelah sampel disuntikkan (Gandjar dan Rohman, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai
0,01 µL, karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1 – 100 µL
sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang
disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk
mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan (split injection). Dengan
menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang banyaknya diketahui,
disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa dan sebelum masuk ke kolom, gas
pembawa ini dibagi menjadi 2 aliran. Satu aliran masuk ke dalam kolom dan
satunya lagi akan dibuang. Aliran relatif dalam kedua aliran ini dikendalikan
dengan sejenis penghambat seperti katup jarum pada aliran yang dibuang. Laju alir
di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan nisbah (rasio) pemecahannya. Jika 1
µL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang mempunyai nisbah
pemecahan 1:100, maka sebanyak 0,01 µL sampel masuk ke dalam kolom dan
sisanya akan dibuang (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gambar 7. Diagram Split Injection (Harris, 2010)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan
karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan
komponen sentral pada kromatografi gas. Terdapat 2 jenis tipe kolom yang
digunakan dalam gas kromatografi, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler atau
sering disebut open tubular columns. Pada masa lalu, lebih banyak digunakan
kolom kemas untuk melakukan analisis menggunakan gas kromatografi. Untuk
aplikasi masa kini, kolom kemas digantikan dengan kolom kapiler karena lebih
efisien dan lebih cepat (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004).
Semakin sempit diameter kolom, maka efisiensi pemisahan kolom
semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada
umumnya, seorang analis akan memilih kolom dengan diameter 0,2 mm atau yang
lebih kecil ketika menganalisis sampel dengan konsentrasi sekelumit atau ketika
seorang analis akan memisahkan komponen yang sangat kompleks (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Kolom kapiler terbuat dari silica (SiO2) dan dilapisi dengan polymide
(plastik yang mampu menahan suhu 350 ºC). Pada bagian dalam terdapat rongga
yang menyerupai pipa, oleh karena itu kolom kapiler juga disebut Open Tubular
Columns. Fase diam melekat mengelilingi dinding dalam kolom. Terdapat 4 macam
jenis lapisan pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT (Wall Coated Open Tubular
Column), SCOT (Support Coated Open Tubular Column), PLOT (Porous Layer
Open Tubular Column), dan FSOT (Fused Silica Open Tubular Column). WCOT
(Wall Coated Open Tubular Column) memiliki 0,1 – 5 µm lapisan tipis fase diam
cair yang terdapat pada dinding bagian dalam kolom. SCOT (Support Coated Open
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Tubular Column) memiliki partikel solid yang dilapisi dengan fase diam cair yang
terdapat pada bagian dalam dinding. Pada PLOT (Porous Layer Open Tubular
Column) partikel padat sebagai fase diam aktif. Dengan besarnya luas area yang
dimiliki, SCOT dapat menampung sampel lebih besar daripada WCOT. Performa
SCOT berada diantara WCOT dan kolom kemas. Diameter dalam kolom kapiler
memiliki ukuran 0,10 – 0,53 mm dengan panjang 15 sampai 100 m, umumnya
adalah 30 m (Harris, 2010).
Menurut Moffat, Osselton, and Widdop (2011) kolom kapiler
menghasilkan resolusi, sensitivitas, daya tahan yang lebih baik daripada kolom
kemas.
Gambar 8. Tipe kolom kapiler kromatografi gas (Harris, 2010)
Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih disukai oleh para
ilmuwan. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan kolom kapiler memberikan
harga jumlah plat teori yang sangat besar (> 300.000 pelat). Fase diam yang dipakai
pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar, atau semi polar. Fase diam non
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; SE-
30; CPSIL-5) dan fenil 5% - metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL-
8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50% - metilpolisiloksan 50% (HP-17;
DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti polietilen
glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase diam akan
menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran. Seorang analis
harus memilih fase diam yang mampu memisahkan komponen-komponen dalam
sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kolom kemas mengandung partikel padat berukuran halus yang dilapisi
dengan fase diam cair yang dapat menguap. Dibandingkan dengan kolom kapiler,
kolom kemas memiliki kapasistas sampel yang lebih besar tetapi menghasilkan
puncak lebih lebar, waktu retensi lebih lama, dan resolusi yang lebih buruk. Kolom
kemas umumya dibuat dari logam tahan karat atau gelas dengan diameter dalam 3
– 6 mm dan panjang 1 – 5 m (Harris, 2010). Efisiensi kolom akan meningkat dengan
semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini. Semakin kecil diameter partikel
fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya
berkisar antara 60 – 80 mesh (250 – 170 µm) (Gandjar dan Rohman, 2007).
d. Pemilihan temperatur kolom. Pemilihan temperatur pada
kromatografi gas tergantung pada beberapa faktor. Temperatur injeksi harus relatif
tinggi yang memberikan kecepetan penguapan yang paling tinggi sehingga
memberikan resolusi yang baik. Temperatur injeksi terlalu tinggi dapat
menyebabkan karet septum menjadi rusak dan menyebabkan tempat injeksi
menjadi kotor. Temperatur kolom berhubungan dengan kecepatan, sensitivitas, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
resolusi. Pada temperatur kolom yang tinggi, komponen sampel lebih banyak
berada pada fase gas sehingga akan cepat terleusi tetapi resolusi nya menjadi buruk.
Pada temperatur rendah, komponen sampel akan memiliki lebih banyak waktu
untuk berada pada fase diam dan terelusi secara perlahan, resolusi menjadi
meningkat tetapi sensitivitas menurun karena puncak yang dihasilkan akan
melebar. Temperatur detektor harus cukup tinggi untuk mencegah kondensasi
sampel (Christian, 2004).
Kromatografi gas didasarkan pada 2 sifat senyawa yang dipisahkan yakni
kelarutan senyawa dalam cairan tertentu dan tekanan uapnya. Karena tekanan uap
berbanding langsung dengan suhu, maka temperatur merupakan faktor yang utama
pada kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pemisahan pada kromatografi gas dapat dilakukan pada suhu tetap yang
biasanya disebut dengan pemisahan isotermal dan dapat dilakukan dengan
menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut dengan suhu
terprogram. Pemisahan isotermal paling baik digunakan pada analisis rutin atau jika
kita mengetahui sifat sampel yang akan dipisahkan dengan baik. Pemisahan dengan
temperatur terprogram mempunyai keuntungan yakni mampu meningkatkan
resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran yang mempunyai titik didih
pada kisaran yang luas. Selain itu, juga mampu mempercepat waktu analisis karena
senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi akan terelusi dengan cepat.
Pemrograman suhu dilakukan dengan menaikkan suhu dari suhu tertentu ke suhu
tertentu yang lain dengan laju yang diketahui dan terkendali dalam waktu tertentu
(Gandjar dan Rohman, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Gambar 9. Jenis pemrograman suhu (Grob, 2004)
e. Detektor penangkap electron (Electron capture detector/ECD).
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar
fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor
pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal
gas pembawa gan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Jenis detektor Jenis sampel Batas deteksi
Hantar panas Senyawa umum 5 - 100 ng, 10 ppm -
100%
Ionisasi nyala Semua senyawa organik, baik
untuk hidrokarbon
10 - 100 pg, 100 ppb
- 99 %
Fotometrin
nyala
Senyawa sulfur (393 nm), senyawa
fosfor (526 nm)
10 pg (sulfur), 1 pg
(fosfor)
Nitrogen -
fosfor
Senyawa nitrogen organik dan
fosfat organik
0,1 - 10 pg, 100 ppt -
0,1 %
Ionisasi argon
(sinar β)
Semua senyawa organik, dengan
gas pembawa He ultrapure, juga
untuk anorganik dan gas permanen
0,1 - 100 ng, 0,1 -
100 ppm
Penangkap
elektron
Semua senyawa yang mempunyai
kemampuan menangkap elektron,
halogen organik, pestisida
0,05 - 1 pg, 50 ppt -
1 ppm
Spektroskopi
masa
semua senyawa. Tergantung pada
metode ionisasi Baik
Gambar 10. Perbandingan detektor pada gas kromatografi (Christian, 2004)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector/ECD)
menggunakan sumber radioaktif yaitu tritium (3H) atau nikel (63Ni) yang
ditempatkan diantara dua elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara katoda
dan anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt. Dasar kerja detektor ini adalah:
penangkapan elektron oleh senyawa yang memiliki afinitas terhadap elektron
bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar β
akan mengionisasi molekul N2 menjadi ion dan menghasilkan elektron bebas yang
akan bergerak ke anoda dengan lambat. Dengan demikian, di dalam ruangan
detektor terdapat semacam awan elektron bebas yang dengan lambat menuju anoda.
Elektron-elektron yang terkumpul pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar
(baseline current) yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila
komponen sampel (senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk
ke dalam ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan
menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini
akan dibawa oleh fase gerak (carrier gas). Akibatnya setiap partikel negatif dibawa
keluar detektor, berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem sehingga arus
listrik yang steady akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder
sebagai puncak pada kromatogram (Gandjar dan Rohman, 2007).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Gambar 11. Diagram skematik detektor penangkap elekron (Harvey,
2000)
4. Analisis kualitatif dan kuantitatif
Analisis Kualitatif GC-ECD berupa pengamatan waktu retensi (tR)
senyawa baku dan senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara
kromatografi secara berurutan dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan
pengoperasian antar keduanya sekecil mungkin (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analisis Kuantitatif GC-ECD dapat dilakukan dengan mengukur tinggi
puncak atau luas puncak. Tinggi puncak diukur sebagai jarak dari garis dasar ke
puncak maksimum. Sedangkan luas puncak diukur sebagai hasil kali tinggi puncak
dan lebar pada setengah tinggi (W1/2) (Gandjar dan Rohman, 2007).
H. Validasi Metode Analisis
Validasi metode adalah proses untuk membuktikan bahwa prosedur uji
yang dilakukan memenuhi standar penerimaan dari segi keandalan, akurasi, dan
presisi untuk tujuan yang dimaksud (Ahuja and Dong, 2005).
Suatu metode perlu divalidasi saat sebelum metode tersebut digunakan
secara rutin; metode dilakukan pada kondisi yang berbeda (misalnya dilakukan
pada alat yang karakteristiknya berbeda); ada perubahan pada metode dimana
perubahan itu di luar jangkauan metode semula; kontrol kualitas menunjukkan
metode tersebut berubah seiring dengan berjalannya waktu; dan untuk menujukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
ekivalensi antara dua metode (misalnya metode baru dengan metode standar)
(Ahuja and Rasmussen, 2007).
United States Pharmacopoeia (USP) mengatakan bahwa tidak selalu
diperlukan untuk mengevaluasi setiap karakteristik analitik untuk setiap metode uji.
USP dan ICH membagi metode uji menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Kategori 1, merupakan metode analisis yang digunakan untuk mengukur
komponen utama (termasuk pengawet) atau bahan aktif obat dari suatu sediaan.
Untuk kategori ini tidak diperlukan evaluasi LOD dan LLOQ karena
komponen utama atau bahan aktif yang diukur umumnya memiliki konsentrasi
yang tinggi.
2. Kategori 2, metode analisis untuk menentukan pengotor atau produk degradasi.
Metode ini dibagi menjadi dua subkategori: kuantitatif dan uji batas.
3. Kategori 3, metode analisis untuk menentukan karakteristik yang harus
didokumentasikan untuk metode uji (contohnya uji disolusi).
4. Kategori 4, merupakan uji identifikasi secara kualitatif, jadi hanya spesivisitas
yang diperlukan (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010).
Untuk setiap kategori uji, memiliki persyaratan validasi yang berbeda.
Tabel IV menunjukkan parameter validasi yang diperlukan pada setiap kategori uji.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Tabel IV. Parameter validasi untuk setiap kategori uji (Snyder, Kirkland,
and Galjh, 2010)
Parameter
Validasi Kategori 1
Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4
Kuantitatif Uji batas
Akurasi Ya Ya * * Tidak
Presisi Ya Ya Tidak Ya Tidak
Spesivisitas Ya Ya Ya * Ya
LOD Tidak Tidak Ya * Tidak
LOQ Tidak Ya Tidak * Tidak
Linearitas Ya Ya Tidak * Tidak
Rentang Ya Ya Tidak * Tidak
*Mungkin diperlukan, tergantung tipe dari uji. Misalnya, meskipun uji disolusi termasuk
kategori 3, untuk uji kuantitatif, pengukuran yang digunakan seperti kategori 1 (dengan
beberapa pengecualian)
Validasi metode analisis merupakan suatu proses tindakan penilaian
terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan yang dilakukan di laboratorium
untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk
penggunaannya. Parameter-parameter tersebut adalah:
1. Selektivitas atau spesivisitas
Selektivitas atau spesivisitas merupakan kemampuan suatu metode
analisis untuk mengukur analit yang diinginkan dalam matriks tanpa mengalami
gangguan dari matriks (termasuk analit lain) (Christian, 2004).
2. Linearitas dan rentang
Linearitas prosedur analisis adalah kemampuan suatu metode (pada
rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional
dengan konsentrasi (jumlah) analit dalam sampel (Ahuja and Scypinski, 2001).
Rentang adalah interval (jarak) antara konsentrasi paling bawah dan paling
atas dari analit dalam sampel yang menujukkan bahwa prosedur analisis memenuhi
presisi, akurasi, dan linearitas (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
3. Akurasi
Akurasi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan antara hasil uji
yang diperoleh dengan nilai yang sebenarnya (Ahuja and Scypinski, 2001). Untuk
kuantifikasi pengotor (impurities), akurasi ditentukan dengan menganalisis sampel
yang ditambahkan dengan pengotor (impurities) dalam jumlah yang telah diketahui.
Akurasi dihitung sebagai % recovery dari jumlah yang ditambahkan (Snyder,
Kirkland, and Galjh, 2010).
4. Presisi
Presisi menunjukkan derajat keterulangan hasil uji ketika metode
dilakukan secara berulang pada sampel yang homogen dengan beberapa kali
pengambilan sampel. Presisi umumnya dilihat dari tiga level: repeatability,
intermediate precision, dan reproducibility (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004).
a. Repeatability (presisi). adalah perhitungan presisi pada kondisi peralatan dan
analis yang sama dalam interval waktu yang pendek (Chan, Lam, Lee, and
Zhang, 2004).
b. Intermediate precision. Intermediate precision adalah variasi yang muncul
dalam laboratorium yang sama. Parameter yang dilihat adalah pada kondisi
penelitian dengan variasi dari analis, variasi dari alat serta variasi yang
dilakukan hari demi hari (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004).
c. Reproducibility. Reproducibility mengukur presisi antar laboratorium seperti
pada penelitian kolaboratif (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
5. LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantitation)
LOD merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat terdeteksi
dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko (Ermer and
Miller, 2005).
LOQ merupakan konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat
dikuantifikasi dengan akurasi dan presisi yang sesuai pada metode yang digunakan.
Parameter ini diukur dalam matriks (Grob and Barry, 2004).
I. Landasan Teori
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama (Sudarmo, 1991). Deltametrin merupakan
insektisida sintetik golongan piretroid yang merupakan tiruan analog dari piretrin
(Djojosumarto, 2008).
Pestisida dapat berdampak buruk bagi lingkungan, contohnya deltametrin
mempunyai sifat sangat toksik untuk ikan. Tanda keracunan deltametrin pada
manusia adalah munculnya rasa geli, gatal, terbakar, mati rasa, dan paresthesia.
Senyawa yang mempunyai nilai log Kow lebih dari 3 memiliki kemungkinan dapat
mengalami akumulasi. Deltametrin mempunyai sifat non polar (log Kow = 4,6), oleh
karena itu dapat terakumulasi pada sedimen dan mengalami bioakumulasi pada
biota perairan. Oleh karena itu harus diketahui kadarnya dalam makanan. Salah satu
jenis ikan yang banyak dikonsumsi manusia adalah ikan nila.
Ikan nila merupakan ikan air tawar yang hidup di lingkungan tropis. Ikan
ini memiliki daya toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Di Indonesia, ikan
nila cukup dikenal luas dan termasuk komoditas unggulan dalam bisnis perikanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
air tawar. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan budidaya ikan
nila semakin berkembang. Ikan nila banyak disukai karena dagingnya yang lembut,
enak, dan tebal (Sutanto, 2012).
Ikan nila banyak dikonsumsi karena mempunyai kandungan gizi yang
cukup baik. Kandungan lemak ikan nila adalah 2,54 % dengan jumlah lemak netral
24,50 % dan lemak polar 75,50 % (Suloma, Ogata, Garibay, Chaves, and El-
Haroun, 2008). Menurut Henderson and Tocher (1987) lemak dibagi menjadi dua
kelas utama, yaitu lemak netral dan lemak polar. Lemak netral merupakan deposit
lipid yang digunakan sebagai sumber energi, sedangkan lemak polar merupakan
konstituen utama dari membran sel.
Deltametrin jika dipaparkan selama waktu tertentu pada ikan nila dapat
terakumulasi pada jaringan lemak ikan nila. Karena lemak merupakan tempat
akumulasi senyawa kimia organik non polar setelah senyawa tersebut masuk ke
dalam organisme berdasarkan prinsip like dissolve like. Deltametrin mempunyai
nilai log Kow 4,6 dan lemak ikan nila memiliki rentang log Kow 4,6 – 10,89 (Anonim,
2008b; Anonim, 2009). Berdasarkan prinsip like dissolve like, kemungkinan
deltametrin dapat mengalami bioakumulasi dalam lemak ikan nila.
Ekstraksi dilakukan untuk mengambil analit dan memisahkan analit dari
matriks. Menurut Abuzar et. al (2012) ekstraksi deltametrin dalam matriks tomat
dilakukan menggunakan pelarut asetonitril dan dilanjutkan dengan clean-up
menggunakan fase diam florisil dengan fase gerak asetonitril. Matriks ikan bersifat
non polar sehingga perlu dilakukan pengembangan metode ekstraksi dan clean-up
deltametrin dalam matriks ikan nila. Ekstraksi deltametrin dari ikan nila dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
menggunakan metode ekstraksi cair-cair. Prinsip ekstraksi cair-cair adalah
menggunakan 2 pelarut yang tidak saling campur, dimana deltametrin memiliki
kelarutan yang tinggi pada salah satu pelarut. Menurut Noegrohati (1991) ekstraksi
deltametrin dari jaringan lemak ikan nila dilakukan menggunakan campuran heksan
: aseton (1:1). Ko-ekstraktan dibersihkan menggunakan kolom kromatografi
dengan fase diam dan fase gerak hasil optimasi.
Keberhasilan analisis deltametrin dalam matriks ikan nila ditentukan oleh
prosedur clean-up ekstrak lemak ikan nila yang mengandung deltametrin. Karena
deltametrin bersifat non polar maka pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi
bersifat non polar akibatnya lemak dalam matriks ikan nila ikut terekstraksi. Karena
keduanya bersifat non polar maka pemisahan menggunakan dasar perbedaan
polaritas diduga tidak memberikan hasil yang optimal, oleh karena itu digunakan
kromatografi adsorbsi yang proses pemisahannya berdasarkan interaksi analit
dengan situs aktif pada karbon. Agar deltametrin terikat kuat pada fase diam maka
digunakan karbon aktif.
Menurut Anonim (2007) alumina dapat digunakan sebagai fase diam untuk
proses clean-up. Menurut Hassan, Youssef, and Priecel (2013) karbon aktif juga
dapat digunakan sebagai fase diam untuk proses clean-up. Petroleum eter dan
aseton biasanya digunakan dalam proses clean-up dengan fase diam alumina.
Berdasarkan Anonima (2012) kekuatan pelarut (ε0) pada alumina (Al2O3) untuk
petroleum eter adalah 0,01 sedangkan aseton adalah 0,58.
Kandungan lemak ikan nila sebagian besar adalah lemak polar, apabila
digunakan fase diam karbon yang bersifat non polar maka lemak ikan nila akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
keluar bersama dengan petroleum eter. Deltametrin akan tetap terikat pada karbon
karena ada proses adsorbsi. Deltametrin dapat keluar bersama aseton karena
interaksi deltametrin dengan aseton lebih kuat daripada dengan karbon. Lemak ikan
nila dan deltametrin dapat dipisahkan karena terjadi perbedaan kekutatan ikatan
antara lemak dengan karbon dan deltametrin dengan karbon.
Determinasi deltametrin dilakukan menggunakan kromatografi gas
detektor penangkap elektron (Gas Chromatography – Electron Capture Detector/
GC-ECD). GC-ECD digunakan karena memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 0,05
– 1 pg (Christian, 2004) . Digunakan detektor penangkap elektron karena
deltametrin memiliki gugus Br yang bersifat elekronegatif yang dapat menarik
elektron.
Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada
biota, misalnya ikan nila. Laju bioakumulasi dilihat dari nilai slope pada kurva hari
vs konsentrasi deltametrin. Biokonsentrasi adalah akumulasi dari senyawa yang
terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh
secara langsung. Bioconcentration factor (BCF) didefinisikan sebagai rasio
konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi
setimbang (steady-state). Pengukuran BCF dilakukan dengan konsentrasi rata-rata
dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran
pencernaan ikan. Kadang BCF diperkirakan terhadap kadar lemak ikan (Krieger,
2010).
Karakterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila perlu dilakukan
karena deltametrin dapat menimbulkan dampak yang buruk pada manusia sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
perlu ditetapkan kadarnya dalam makanan, contohnya adalah ikan nila yang sering
dikonsumsi oleh manusia. Acceptance Daily Intake (ADI) deltametrin adalah 0,01
mg/kg BB (Anonim, 2013). Akumulasi deltametrin dalam ikan nila dikhawatirkan
mengakibatkan tingkat asupan deltametrin pada manusia yang mengkonsumsi ikan
nila yang terpapar deltametrin setiap hari selama masa hidup (80 tahun) melebihi
ADI.
J. Hipotesis
Hipotesis 1: “pada proses clean-up deltametrin teradsorbsi kuat pada permukaan
karbon sehingga tidak terelusi bersama petroleum eter, tetapi akan terelusi bersama
aseton”
Hipotesis 2: “dengan menggunakan metode ekstraksi dan clean-up yang optimal
akan diperoleh data dengan validitas yang baik saat dilakukan determinasi dengan
GC-ECD”
Hipotesis 3: “terjadi bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila”
Hipotesis 4: “asupan deltametrin melalui ikan nila melebihi ADI (Acceptable Daily
Intake)”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
K. RANCANGAN PENELITIAN
Validasi Metode Analisis
Ikan nila
Ekstraksi
Ekstrak ikan +
adisi
deltametrin
Ekstrak bersih
Optimasi clean-up
Hipotesis 1
Determinasi
GC-ECD
Ikan nila + adisi deltametrin
Ekstrak
clean-up
Ekstrak bersih
Determinasi
GC-ECD
Diperoleh kesalahan
clean-up (B)
Diperoleh
kesalahan total (A)
Hipotesis 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Uji Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila
Deltametrin dengan konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L masing-masing
dimasukkan ke dalam akuarium yang berisi ikan nila
Sampling ikan nila pada hari ke- 0, 1, 2, 3, 5, 7, 14
Analisis hasil
Asesmen Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan Nila
Hipotesis 3
Hipotesis 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian dengan judul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin
dalam Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen
Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan Nila” merupakan penelitian
eksperimental dimana subyek uji (ikan nila) diberi perlakuan. Rancangan uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pola acak lengkap satu arah. Acak berarti
pengelompokkan ikan nila dilakukan secara acak (random). Lengkap berarti ada
dua kelompok uji dalam penelitian ini yaitu kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Pola satu arah berarti penelitian ini hanya meneliti pengaruh satu
variabel bebas saja yaitu besarnya kadar deltametrin yang terdapat pada ikan nila.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi pestisida deltametrin
yang ditambahkan dalam air
2. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar residu pestisida
deltametrin dalam sampel ikan nila (Oreochromis niloticus)
3. Variabel pengacau terkendali
Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
a. Hewan uji yang digunakan: jenis ikan, umur ikan, berat ikan. Untuk
mengatasinya menggunakan jenis ikan nila (Oreochromis niloticus), umur
3 bulan, berat 1-2 gram.
b. Jumlah ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah 10 ekor/aquarium dengan
berat rata-rata 1,46 g.
c. Suhu perlakuan dijaga agar tidak memiliki simpangan yang melebihi 2ºC.
suhu perlakuan yang digunakan adalah 25ºC.
d. Kemurnian pelarut yang digunakan. Untuk mengatasinya menggunakan
pelarut grade pro analysis yang memiliki kemurnian tinggi.
C. Definisi Operasional
1. Residu pestisida yang dianalisis adalah pestisida golongan piretroid, yaitu
deltametrin
2. Sistem kromatografi gas yang digunakan adalah seperangkat alat kromatografi
gas yang dilengkapi dengan detektor ECD
3. Parameter optimasi dan validasi metode analisis yang diamati dalam penelitian
ini adalah akurasi, presisi, linearitas, LOD, LOQ, dan pengaruh prosedur
analisis
D. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: akuarium serta
perlengkapannya, kromatografi gas HP 5890 series II yang dilengkapi dengan
detektor penangkap elektron (ECD) 63Ni, kolom Chrompack GC CP-sil 5, 25 m, i.d
0,2 mm, d.f 0,4 µm, neraca analitik (OHAUS Carat Series PAJ 1003, max 60/120
g, min 0,001 g, d = 0,01/0,1 mg, e = 1 mg), corong pisah, corong, hot plate, oven,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
termometer, kolom kromatografi, i.d. 0,7 cm, syringe, peralatan gelas, sendok,
pengaduk, mikropipet, blue tip, yellow tip.
E. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini, antara lain: standar deltametrin,
pestisida deltametrin (DECIS® 2,5 EC), gas nitrogen (gas pembawa dan make up
gas), senyawa standar deltametrin, standar dekaklorobifenil (DCB), alumina,
karbon, natrium klorida, natrium sulfat anhidrat, aseton, petroleum eter (titik didih
60 °C), diklorometana (titik didih 40 °C), n-heksana, etil asetat, dietil eter,
glaswool, aquadest dan aquabides (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental
Fakultas Farmasi USD). Kecuali dinyatakan lain, bahan yang digunakan merupakan
kualitas pro analisis (E. Merck). Bahan lain yang digunakan adalah ikan nila
(Oreochromis niloticus) yang diperoleh dari petani ikan di desa Berbah. Air sumur
diperoleh dari rumah Bapak Bambang yang berada di Jalan Mawar No 6A, RT
04/RW 04, Maguwoharjo, Depok, Sleman.
F. Tata Cara Penelitian
Secara keseluruhan penelitian dibagi menjadi optimasi kromatografi gas,
optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean up, validasi metode
pengukuran (determinasi), validasi analisis residu deltametrin dan aplikasi metode
analisis residu deltametrin pada ikan nila. Metode dikatakan valid ketika memenuhi
persyaratan validitas yaitu meliputi ketelitian, ketepatan, selektivitas, linearitas,
sensitivitas, batas deteksi dan batas kuantitasi. Bioakumulasi deltametrin pada ikan
nila ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah deltametrin dalam ikan nila
seiring dengan bertambahnya hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
1. Optimasi kromatografi gas untuk determinasi deltametrin
Optimasi dilakukan dengan menggunakan campuran larutan standar
deltametrin dan standar internal yang diinjeksikan dengan volume tertentu
kemudian ke dalam instrumen GC-ECD menggunakan temperatur terprogram
sedemikan rupa sehingga mendapatkan pemisahan yang optimum. Optimasi
meliputi kecepatan alir gas pembawa, suhu injektor, suhu kolom (oven), dan
suhu detektor. Pemilihan fase diam disesuaikan dengan senyawa deltametrin
yang bersifat non polar.
2. Validasi metode pengukuran deltametrin dengan GC-ECD
a. Kestabilan alat GC-ECD untuk penetapan kadar deltametrin.
Larutan standar DCB dengan kadar konstan diinjeksikan sebanyak 6 kali pada
sistem kromatografi gas yang telah dioptimasi. Kestabilan alat ditunjukkan dengan
keajegan waktu retensi dan luas dari standar internal DCB.
b. Pembuatan larutan stok deltametrin (2,575x10-1 μg/μL). Ditimbang
51,5 mg baku deltametrin, dilarutkan dalam 5 ml toluen. Kemudian diambil 25 μL,
dilarutkan dalam 1000 μL toluen sehingga didapatkan baku deltametrin dengan
konsentrasi 2,575x10-1 μg/μL
c. Pembuatan larutan intermediet deltametrin (intermediet A 2,575x10-
2 μg/μL dan intermediet B 2,575x10-3). Sepuluh dan satu mikroliter stok larutan
baku deltametrin 2,575x10-1 μg/μL, masing-masing diencerkan dengan toluene
sampai volume 100 μL sehingga diperoleh larutan intermediet dengan konsentrasi
2,575x10-2 μg/μL ( intermediet A) dan 2,575x10-3 μg/μL (intermediet B). Larutan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
ini kemudian digunakan sebagai larutan stok dalam pembuatan kurva baku dan
kurva baku adisi deltametrin.
d. Linearitas dan sensitivitas metode pengukuran deltametrin dengan
GC-ECD. Deltametrin dari stok B diambil volume 3 dan 5 µL, sedangkan dari stok
A diambil volume 1, 2, dan 4 µL, ditambahkan 7,5 µg DCB dan diencerkan dengan
toluen hingga volume 50 µL sehingga diperoleh larutan deltametrin dengan
konsentrasi berturut-turut 0,155 µg/mL, 0,258 µg/mL, 0,515 µg/mL, 1,030 µg/mL,
dan 2,060 µg/mL. Larutan tersebut diinjeksikan pada kromatografi gas (volume
injeksi 1 µl) yang telah dioptimasi sebelumnya. Dalam tahap ini diperoleh
hubungan antara kadar deltametrin dengan rasio luas puncak deltametrin terhadap
DCB. Selanjutnya dilakukan perhitungan menggunakan program statistik powerfit.
3. Optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean up
a. Ekstraksi deltametrin dari ikan nila. Sampel ikan ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker dan dihaluskan, ditambah aseton dan
Na2SO4 anhidrat. Wadah ditutup rapat, didiamkan selama satu malam.
Sampel ikan yang telah direndam 1 malam ditambah n-heksan, diaduk,
dituang ke dalam gelas bekker. Ampas diekstrak kembali menggunakan
diklorometan, ekstrak digabungkan dengan ekstrak n-heksan + aseton yang telah
diperoleh sebelumnya. Kedalam ekstrak ditambah 0,5 g NaCl, diaduk, didiamkan,
disaring menggunakan corong melewati natrium sulfat anhidrat.
Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan dengan gas nitrogen hingga
kering. Residu lemak kemudian ditambahkan standar deltametrin dengan
konsentrasi tertentu untuk selanjutnya dilakukan proses clean up.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
b. Clean-up ekstrak ikan nila dengan fase diam alumina. Kolom kaca
diisi dengan glaswool kemudian dialiri dengan aseton. Dimasukkan ke dalam
kolom berturut-turut 1 g Na2SO4 anhidrat, fase diam alumina 1 g, 0,5 g Na2SO4
dengan bantuan petroleum eter.
Sampel hasil ekstraksi kemudian dilarutkan dengan sedikit petroleum eter
lalu dimasukkan ke dalam kolom . Laju alir kolom dijaga agar tetap konstan.
Ekstrak lemak ikan dimasukkan ke dalam kolom, dielusi menggunakan beberapa
fase gerak: 10 mL heksan, 10 mL diklorometan, 10 mL etil asetat, 10 mL dietil eter,
10 mL aseton. Masing-masing eluat ditampung dalam flakon yang berbeda dan
diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering. Masing-masing residu ditambah 7,5
µg standar internal DCB, dilarutkan dengan toluen hingga volume 50 µl untuk
proses determinasi.
c. Clean-up ekstrak ikan nila dengan fase diam karbon aktif dan karbon
nonaktif. Kolom kaca diisi dengan glaswool kemudian dialiri dengan aseton.
Karbon aktif adalah karbon yang telah dipanaskan dalam oven dengan suhu 100 ºC
selama 2 jam. Dimasukkan ke dalam kolom berturut-turut 1 g Na2SO4 anhidrat, fase
diam karbon - Na2SO4 anhidrat 0,4 g dengan metode basah menggunakan
petroleum eter.
Sampel hasil ekstraksi kemudian dilarutkan dengan sedikit petroleum eter
lalu dimasukkan ke dalam kolom. Laju alir kolom dijaga agar tetap konstan. Ekstrak
lemak ikan dimasukkan ke dalam kolom, dielusi bertahap dengan menggunakan
petroleum eter sebagai fase gerak pertama dan aseton. Masing-masing eluat
ditampung dalam flakon yang berbeda dan diuapkan dengan gas nitrogen hingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
kering. Masing-masing residu ditambah 7,5 µg standar internal DCB, dilarutkan
dengan toluen hingga volume 50 µl untuk proses determinasi.
4. Validasi metode analisis deltametrin dalam matriks ikan nila
Pada validasi metode analisis, pestisida dianalisis bersama dengan matriks.
Proses kerjanya secara keseluruhan adalah ekstraksi pestisida dari matriks, clean up
matriks dan penginjeksian pestisida ke dalam kromatografi gas. Validasi metode
analisis yang ditentukan adalah perolehan kembali, pengaruh matriks, batas
kuantitasi dan presisi
a. Ekstraksi deltametrin dalam sampel ikan nila. Sampel ikan
ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker dan dihaluskan, ditambah
larutan standar deltametrin dengan konsentrasi 0,155 µg/mL, 0,258 µg/mL, 0,515
µg/mL, 1,030 µg/mL, dan 2,060 µg/mL, ditambah aseton dan Na2SO4 anhidrat.
Wadah ditutup rapat, dan didiamkan selama satu malam.
Sampel ikan yang telah direndam 1 malam ditambahkan n-heksan dan
diaduk, larutan dituang ke dalam gelas bekker. Ampas diekstrak lagi menggunakan
diklorometan, digabungkan dengan ekstrak n-heksan + aseton yang telah diperoleh
sebelumnya. Kedalam ekstrak ditambah 0,5 g NaCl sambil diaduk, didiamkan,
disaring menggunakan corong melewati natrium sulfat anhidrat. Filtrat yang
diperoleh kemudian diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering.
b. Pembershian ko-ekstraktan (clean-up) dan determinasi deltametrin.
Prosedur clean-up dan determinasi pada sampel ikan sesuai dengan hasil optimasi
langkah 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
c. Penentuan perolehan kembali, pengaruh matriks, penentuan batas
kuantitasi (LOQ), presisi, dan akurasi. Penentuan perolehan kembali, pengaruh
matriks, penentuan batas kuantitasi (LOQ), presisi, dan akurasi berdasarkan data
hasil tahap 4.a dan 4.b.
Untuk melihat pengaruh matriks dilakukan perbandingan antara kurva
baku deltametrin dengan kurva adisi. Batas kuantitasi diperoleh dari pengolahan
data secara statistik hasil kurva adisi. Sedangkan presisi ditentukan dari hasil
perhitungan simpangan baku (standard deviation) dan akurasi didapat dari hasil
perolehan kembali tiap seri kadar.
5. Uji bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
a. Perlakuan ikan nila. Sepuluh ikan nila dimasukkan ke dalam
aquarium yang berisi 40 L air sumur bebas deltametrin (kontrol) dan yang
mengandung deltametrin dalam bentuk formulasi EC dengan konsentrasi 0,17 μg/
L dan 0,34 μg/L. Proses ini dilakukan sebanyak dua kali replikasi.
b. Waktu pengambilan sampel. Sampel ikan nila diambil dengan
interval dari hari ke-0, 1, 2, 3, 5, 7, 14 dimana interval sampling berkorelasi dengan
kecepatan disipasi deltametrin dalam air. Sampel harus dipreparasi sesegera
mungkin untuk meminimalisasi kehilangan residu deltametrin.
c. Ekstraksi deltametrin dalam ikan nila. Sampel ikan ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker dan dihaluskan, ditambahkan aseton
dan Na2SO4 anhidrat. Wadah ditutup rapat dan didiamkan selama satu malam.
Sampel ikan yang telah direndam 1 malam ditambahkan n-heksan dan
diaduk, larutan dituang ke dalam gelas bekker. Ampas diekstrak kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
menggunakan diklorometan, digabungkan dengan ekstrak n-heksan + aseton yang
telah diperoleh sebelumnya. Ke dalam ekstrak ditambah 0,5 g NaCl diaduk,
didiamkan, disaring menggunakan corong melewati natrium sulfat anhidrat.
Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering.
d. Pembersihan ko-ekstraktan (clean-up) dan determinasi deltametrin.
Prosedur clean-up dan determinasi pada sampel ikan sesuai dengan hasil optimasi
tahap 3 dan 4.
G. Analisis Hasil Penelitian
a. Optimasi kromatografi gas detektor penangkap elektron (GC-ECD).
Optimasi metode kromatografi gas dilihat dengan kecepatan alir gas pembawa,
suhu injektor, temperatur kolom, dan temperatur oven yang menghasilkan puncak
yang optimum.
b. Optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean up ekstrak ikan
nila. Data kromatogram standar deltametrin yang diperoleh diamati sehingga dapat
diketahui jenis fase diam dan fase gerak yang memberikan hasil optimal.
c. Kestabilan alat GC-ECD. Data waktu retensi dan luas area standar
DCB diinjeksikan ke dalam GC-ECD sebanyak 6 kali, dan dilakukan perhitungan
simpangan baku dan diinterpretasikan secara statistik dengan progam Powerfit
(Utrech University Faculteit Scheikunde) untuk menyatakan keterulangan atau
reprodusibilitas pengukuran.
d. Perhitungan linearitas, sensitivitas, dan batas deteksi deltametrin.
Data standar deltametrin diplotkan dengan rasio luas area standar deltametrin
terhadap standar internal DCB untuk mendapatkan kurva baku yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
menggambarkan hubungan kadar dan rasio luas area. Nilai r menunjukkan linearitas
dari kurva baku yang diperoleh. Nilai r hitung ≥ r tabel dianggap memiliki korelasi
kadar dan rasio luas area yang baik.
Batas deteksi atau limit of detection diperoleh dengan mencari simpangan
baku dari intercept kurva baku kemudian diolah dengan persamaan matematis dan
diinterpretasikan secara statistik menggunakan progam Powerfit (Utrech University
Faculteit Scheikunde).
e. Penentuan perolehan kembali, penentuan batas kuantitasi (LOQ),
presisi, dan akurasi. Presisi diperoleh dari perhitungan secara matematis terhadap
besarnya simpangan baku data.
Kesalahan Acak (% CV) = 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢
ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎𝑥 100%
Batas kuantitasi diperoleh dengan menghitung simpangan baku dari
intercept kurva baku adisi dan diolah menggunakan persamaan matematis secara
statistik menggunakan progam Powerfit (Utrech University Faculteit Scheikunde).
Akurasi diperoleh dengan menghitung perolehan kembali (percent recovery) dari
deltametrin setelah mengalami perlakuan analisis. Akurasi dapat dihitung dengan
rumus:
Untuk menghitung nilai LOQ digunakan rumus:
LOQ = 3,3 𝑆𝑎
𝑏
Keterangan :
LOQ = batas kuantitasi
k = 3,3
Sa = standar deviasi dari intersep kurva baku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
b = slope
Perolehan kembali (recovery) = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖 x 100%
f. Perhitungan kadar deltametrin. Untuk kadar residu pestisida
deltametrin, analisis dilakukan dengan cara membandingkan rasio luas puncak
deltametrin sampel dengan luas puncak DCB dalam sampel yang di plotkan dalam
kurva baku untuk mendapatkan kadar deltametrin. Data antara rasio luas puncak
deltametrin terhadap rasio luas puncak DCB dalam sampel diintrapolasikan ke
dalam persamaan regresi linier kurva baku yang didapatkan. Kadar deltametrin
dihitung menggunakan persamaan:
y= Bx + A
keterangan:
y= rasio antara luas area sampel dengan standar internal
x= kadar deltametrin
sehingga kadar deltametrin dalam sampel adalah x= 𝑌−𝐴
𝐵 x volume akhir
g. Pengaruh matriks ikan nila terhadap metode analisis. Untuk
mengetahui pengaruh prosedur analisis terhadap hasil, maka dilakukan
perbandingan slope antara kurva baku deltametrin dengan kurva adisi.
h. Penentuan laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. Laju
bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila merupakan slope hubungan antara ln
konsentrasi vs hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. Untuk
mengukur kadar deltametrin dalam ikan nila dengan kisaran part per billion (ppb)
diperlukan metode yang sensitif yaitu dengan menggunakan Gas Chromatography
– Electron Capture Detector (GC-ECD). Ikan nila digunakan dalam penelitian ini
karena menurut Sutanto (2012) ikan nila merupakan ikan air tawar yang cukup
dikenal luas di Indonesia, mudah dibudidayakan, termasuk jenis ikan yang banyak
dibudidayakan dan dikonsumsi karena dagingnya yang empuk, tebal, lembut, enak,
ikan nila juga memiliki daya toleransi yang besar terhadap lingkungannya, toleransi
ikan ini terhadap salinitas sangat tinggi sehingga selain pada perairan tawar, nila
juga sering ditemukan hidup dan berkembang di perairan payau misalnya tambak,
selain itu ikan nila juga termasuk ikan karnivora atau pemakan segala.
Deltametrin memiliki nilai log Kow 4,6 sedangkan lemak ikan nila
mempunyai rentang log Kow 4,6 – 10,89 sehingga berdasarkan prinsip like dissolve
like deltametrin dapat terakumulasi dalam lemak. Oleh karena itu perlu dilakukan
proses ekstraksi yang dapat mengekstraksi lemak + deltametrin dan dilanjutkan
dengan proses clean-up sehingga diperoleh ekstrak deltametrin yang bersih dan
dapat dideterminasi menggunakan GC-ECD. Matriks ikan yang mengandung
lemak dapat menyebabkan masking pada kromatogram, maka perlu dilakukan
clean-up untuk membersihkan dan memisahkan deltametrin dari lemak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Selain itu juga dilakukan optimasi fase diam dan fase gerak untuk clean-
up, pembuatan kurva baku, pembuatan kurva adisi, perhitungan validasi metode,
dan penetapan kadar deltametrin dalam sampel ikan nila.
A. METODE ANALISIS
1. Uji kesesuaian sistem GC-ECD untuk determinasi deltametrin
Sebelum melakukan analisis, seorang analis harus memastikan bahwa
sistem dan prosedur yang digunakan harus mampu memberikan data yang dapat
diterima. Hal ini dapat dilakukan dengan percobaan kesesuaian sistem yang
didefinisikan sebagai serangkaian uji untuk menjamin bahwa metode tersebut dapat
menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima (Gandjar dan Rohman, 2007).
a. Optimasi kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron
(GC-ECD). Optimasi alat dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh kondisi
optimum alat untuk menetapkan kadar senyawa uij. Parameter yang dioptimasi
meliputi memilih kolom yang akan digunakan, tekanan gas/kecepatan alir gas
pembawa baik pada inlet kolom, kolom, detektor maupun auxiliary gas serta suhu
injektor, kolom, dan detektor.
Pada penelitian ini digunakan gas nitrogen dengan kualitas ultra high
purity (UHP) sebagai gas pembawa dan kolom kapiler Chrompack CP-Sil 5 yang
bersifat non polar. Berdasarkan optimasi GC-ECD yang dilakukan oleh Sanjayadi
(2013) diperoleh kondisi optimum peralatan GC-ECD pada penelitian ini yang
ditunjukkan pada Tabel V.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Tabel V. Hasil optimasi GC-ECD yang dilakukan oleh Sanjayadi (2013)
b. Presisi gas kromatografi. Pemisahan setiap senyawa yang dianalisis
menggunakan metode ini cukup baik dengan waktu retensi untuk DCB adalah
15,07±0,01 menit dengan CV sebesar 0,08% seperti yang ditunjukkan pada Tabel
VI.
Tabel VI. Hasil rata-rata Tr dan CV DCB
Konsentrasi
DCB (µg/µL)
Rata-rata
Tr DCB SD CV
0,15 15,07 0,013 0,08%
Sedangkan rata-rata luas DCB yang diperoleh adalah 1517±158,31
dengan CV sebesar 10,44% seperti yang ditunjukkan pada Tabel VII.
Parameter Hasil optimasi
1. Injektor (split)
Suhu injector 235°C
Volume injeksi 1 µL
2. Oven
Kolom Cp-Sil 5
Temperatur Terprogram: 180°C (3 menit), 15°C/menit,
260°C (15 menit), 30°C/menit, 265°C (7 menit)
Kecepatan alir gas pembawa 1 mL/menit
3. Detektor
ECD 63Ni
Suhu detektor 300 °C
4. Gas
N2 UHP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Tabel VII. Hasil rata-rata luas puncak dan CV DCB
Konsentrasi
DCB (µg/µL) Rata-rata AUC DCB SD CV
0,15 1517 158,31 10,44%
Menurut Anonim (2010) nilai CV untuk senyawa dengan kadar sekelumit
dapat diterima jika di bawah 35% saat melakukan uji kesesuaian sistem.
Berdasarkan hasil di atas, menunjukkan bahwa alat yang digunakan
reprodusibel karena baik CV waktu retensi maupun CV rata-rata luas puncak DCB
yang diperoleh di bawah 35% sehingga GC-ECD ini dapat digunakan untuk
menetapkan kadar senyawa uji (deltametrin).
c. Linearitas dan sensitivitas metode pengukuran deltametrin dengan GC-ECD.
c.1. Linearitas metode pengukuran deltametrin dengan GC-ECD.
Linearitas yang digunakan adalah linearitas dari kurva baku hubungan antara
konsentrasi dengan respon detektor yang digunakan. Kurva baku merupakan kurva
yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi deltametrin dan rasio luas puncak
senyawa uji/standar internal. Standar internal yang digunakan adalah DCB.
digunakan sebagai standar internal untuk mengurangi kesalahan dan fluktuasi data
yang terjadi pada saat determinasi dengan GC-ECD. DCB dipilih sebagai standar
internal karena dapat dideteksi menggunakan detektor penangkap elektron dan
mempunyai waktu retensi yang dekat dengan deltametrin.
Tujuan penggunaan kurva baku dalam analisis kuantitatif adalah untuk
mengetahui linearitas, sensitivitas, dan untuk menentukan konsentrasi suatu analit
dalam suatu sampel dengan memasukkan respon instrumen berupa luas puncak
sebagai nilai y ke dalam persamaan regresi linier y = bx + a sehingga akhirnya dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
diketahui konsentrasi analit dalam sampel tersebut. Kurva baku yang dihasilkan
dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel VIII dan IX.
Tabel VIII. Persamaan regresi linier baku deltametrin
Konsentrasi baku deltametrin (µg/mL) Rasio AUC deltametrin/DCB
0,155 0,23
0,206 0,31
0,258 0,40
0,515 0,70
1,03 1,45
2,06 2,80
5,15 6,76
Konsentrasi DCB = 0,15 µg/mL
A 0,057
Regresi B 1,304
R 0,999
y = 1,30 x + 0,057
Gambar 12. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasioAUC
deltametrin/DCB
y = 1.304 x + 0.057R = 0.999
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6
AU
C D
elta
met
rin
/DC
B
Konsentrasi (µg/mL)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Tabel IX. Persamaan regresi linier baku deltametrin
Konsentrasi baku deltametrin (µg/mL) Rasio AUC deltametrin/DCB
0,155 0,98
0,206 1,32
0,258 1,68
0,515 2,95
1,03 5,76
2,06 11,27
Konsentrasi DCB = 0,15 µg/mL
A 0,211
Regresi B 5,369
R 0,999
y = 5,369 x + 0,211
Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC
deltametrin/DCB
Linearitas suatu metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode
(pada rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung
proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit dalam sampel. Dari data penelitian
terlihat bahwa kurva baku tersebut menunjukkan hubungan yang linier pada rentang
0,15 µg/mL – 5,15 µg/mL dengan nilai r 0,999 setelah diplotkan menggunakan
program Powerfit (Utrecht University Faculteit Scheikunde), seperti yang
y = 5.369 x + 0.211R = 0.999
0
2
4
6
8
10
12
0 0.5 1 1.5 2 2.5
AU
C D
elta
met
rin
/DC
B
Konsentrasi (µg/mL)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13. Nilai r ini memenuhi persyaratan nilai r untuk
uji kategori impurity, yaitu ≥ 0,98 (Ahuja and Dong, 2005). Oleh karena itu metode
ini memiliki linearitas yang baik.
c.2. Limit of Detection (LOD) metode pengukuran deltametrin dengan GC-
ECD. Sensitivitas dari instrumen ditunjukkan dengan nilai Limit Of Detection
(LOD). LOD adalah konsentrasi atau jumlah terkecil dari analit yang berbeda
secara signifikan dari blanko yang dapat dideteksi oleh instrumen. LOD dihitung
dengan menggunakan kurva baku.
Gambar 14. Ilustrasi pencarian LOD
Gambar 15. Overlapping kurva LOD
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Blanko disini merupakan intersep (a) sumbu y dari regresi linear rentang
bawah. Setelah diketahui nilai intersep (a) maka dapat ditentukan batasan untuk
LOD dengan confidence limit 95 % yaitu LOD berjarak ± 6 σ (sigma) dari puncak
blanko. Dapat dituliskan dengan rumus y = x ± 6 σ atau y = a ± 6 σ, dengan catatan
bahwa nilai Sa = 2 δ dengan tarap kepercayan 95 % untuk regresi linear maka dapat
di substitusikan menjadi :
Saay
maka
Sa
ay
3
:
2
,6
(1)
(2)
(3)
Nilai ± diatas berarti bahwa nilai plus (+) dapat digunakan untuk mencari
nilai y yang berada diatas intersep blanko dan nilai minus (-) untuk y yang berada
dibawah blanko, dimana nilai y tersebut merupakan absorbansi. Pada penelitian ini
menggunakan nilai plus (+) atau y = a+3Sa dikarenakan absorbansi yang dicari
merupakan nilai yang berada diatas absorbansi blanko, sesuai dengan pemahaman
bahwa absorbansi LOD > blanko. Dari persamaan (3) diatas maka dapat
disubstitusikan dengan persamaan regresi linear (y = bx + a) dan eliminasi terhadap
variabel a menjadi :
b
SaLODatau
b
Sax
bxSa
Saa
substitusi
abxy
Saay
3_3
3
abx3
3
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Nilai x disini merupakan konsentrasi seperti tampak pada Gambar 14. Tingkat
kepercayaan yang digunakan untuk rumus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
b
SaLOD 3
adalah sebesar 95 %. Untuk meningkatkan nilai Confidence dari 95 % menjadi
100% maka dilakukan penambahan daerah overlapping (Gambar 15.) sebesar
0,3% kedalam rumus LOD menjadi :
𝐿𝑂𝐷 = 3,3 𝑥𝑆𝑎
𝑏
Nilai Sa (standar deviasi intercept kurva baku) diperoleh dengan
menggunakan program Powerfit (Utrech University Faculteit Scheikunde) dengan
memplotkan konsentrasi teoritis dengan rasio luas puncak deltametrin/DCB. Dari
hasil perhitungan diperoleh nilai LOD sebesar 6,70 ng/mL dan 17,81 ng/mL.
diperoleh dua nilai LOD karena saat validasi dan penetapan kadar menggunakan
gas pembawa (gas N2) dari tabung yang berbeda, yang ternyata mempengaruhi
sensitivitas instrumen GC.
Kesimpulan dari uji kesesuaian sistem berdasarkan hasil di atas adalah
bahwa GC-ECD dapat digunakan untuk analisis deltametrin dalam ikan nila.
2. Preparasi sampel ikan nila
a. Ekstraksi deltametrin dalam ikan nila. Berdasarkan Noegrohati
(1991) ekstraksi multi residu dalam jaringan lemak ikan dimaserasi dengan heksan
: aseton (1:1) dan didiamkan selama 1 malam agar lemak ikan dan deltametrin dapat
keluar dari jaringan ikan.
b. Optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean-up. Optimasi
clean-up yang dilakukan meliputi optimasi fase diam dan optimasi volume fase
gerak. Fase diam yang akan dioptimasi adalah alumina dan karbon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Pemilihan fase diam dan fase gerak dilakukan untuk mendapatkan sistem
yang dapat memisahkan deltametrin dengan ko-ekstraktan dengan baik. Ko-
ekstraktan adalah senyawa-senyawa selain analit yang ikut terekstraksi selama
proses ekstraksi. Ko-esktraktan perlu dipisahkan karena dapat mengganggu pada
saat determinasi analit.
b.1. Optimasi fase diam untuk clean-up ekstrak ikan nila.
Fase diam yang digunakan dalam optimasi pada penelitian ini adalah
alumina dan karbon. Menurut Anonim (1997), untuk clean up deltametrin
menggunakan fase diam alumina. Fase gerak yang digunakan adalah heksan,
petroleum eter, diklorometan, etil asetat, dan aseton. Sebelum digunakan, alumina
diaktifkan terlebih dengan memanaskannya di dalam oven selama 2 jam dengan
suhu 100°C. Saat menggunakan fase gerak heksan dan petroleum eter, baik lemak
ikan nila maupun deltametrin kemungkinan terikat dalam alumina hal ini ditandai
dengan eluen yang jernih dan pada alumina masih terlihat warna kekuningan dari
lemak ikan nila. Saat mengunakan fase gerak diklorometan, etil asetat, dan aseton
lemak ikan nila ikut terelusi dan kemungkinan terelusi bersama dengan deltametrin.
Hal ini menunjukkan bahwa alumina tidak dapat digunakan untuk proses clean up
karena alumina tidak dapat memisahkan matriks lemak ikan nila dengan
deltametrin karena lemak ikan nila dan deltametrin memiliki sifat yang mirip. Oleh
karena itu perlu menggunakan fase diam lain yang dapat memisahkan lemak ikan
nila dan deltametrin dengan baik.
Fase diam kedua yang digunakan adalah karbon. Karbon dapat digunakan
karena sifatnya non polar dan memiliki kemampuan mengadsorpsi yang kuat untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
senyawa-senyawa non polar dan deltametrin bersifat non polar sehingga karbon
dapat menjerap deltametrin dan tidak ikut terelusi pada saat mengelusi lemak ikan
nila menggunakan petroleum eter. Pada penelitian ini digunakan 2 macam karbon,
yaitu karbon yang diaktifkan dan karbon yang tidak diaktifkan.
Sebelum digunakan, karbon diaktifkan dengan cara dipanaskan di dalam
oven pada suhu 100°C selama 2 jam. Karbon harus diaktifkan terlebih dahulu
karena jika karbon terkena lembab maka dapat mengurangi kemampuannya untuk
menjerap analit. Oleh karena itu perlu adanya perbandingan kemampuan
memisahkan lemak dengan deltametrin pada karbon yang diaktifkan terhadap
karbon yang tidak diaktifkan. Fase diam yang digunakan adalah karbon:natrium
sulfat anhidrat. Dielusi bertahap dengan menggunakan petroleum eter sebagai fase
gerak pertama, aseton sebagai fase gerak kedua. Standar deltametrin langsung
dimasukkan ke dalam kolom, tanpa matriks lemak ikan nila karena ingin melihat
perbedaan antara karbon yang tidak diaktifkan dengan karbon yang telah diaktifkan.
Jumlah standar deltametrin yang dimasukkan ke dalam kolom adalah 257,5 ng
(diambil 10 µL dari standar stok A dengan C = 2,575 x 10-2 µg/µL).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Gambar 16. Perbandingan hasil recovery deltametrin menggunakan karbon aktif
(250 mg) dan karbon nonaktif (250 mg)
Dari hasil yang ditunjukkan pada Gambar 16. dapat dilihat bahwa baik
pada karbon yang diaktifkan maupun karbon yang tidak diaktifkan pada fraksi
petroleum eter 15 mL tidak terdapat puncak deltametrin, artinya deltametrin tetap
terjerap pada karbon. Petroleum eter digunakan untuk mengelusi lemak ikan nila
terlihat dari petroleum eter yang berwarna agak kekuningan dan ko-ekstraktan yang
dapat mengganggu determinasi deltametrin.
Pada saat menggunakan karbon yang telah diaktifkan, pada fraksi aseton
pertama, kedua, dan ketiga tidak terdapat puncak deltametrin, dan puncak
deltametrin baru terlihat pada fraksi aseton keempat, tetapi puncak yang terlihat
sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa menggunakan 45 mL aseton masih
banyak deltametrin yang terjerap pada karbon yang telah diaktifkan. Oleh karena
itu, untuk mengelusi deltametrin dari fase diam dibutuhkan volume aseton yang
lebih banyak lagi.
0 % 0 % 0 % 0 % 0 %
100 %
0 % 0 %
5,11 % 9,31 % 6,09 %
Bakudeltametrin
p.e 15 mL aseton 15mL
aseton + 10mL
aseton + 10mL
aseton + 10mL
Karbon aktif
Baku deltametrin
Karbon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Pada saat menggunakan karbon yang tidak diaktifkan, puncak deltametrin
tidak muncul pada fraksi aseton I, tetapi muncul pada fraksi aseton II, III, dan IV
seperti yang terlihat pada Gambar 16. Rasio AUC deltametrin/DCB pada fraksi
aseton kedua adalah 0,12, rasio AUC deltametrin/DCB pada fraksi aseton ketiga
adalah 0,21, dan rasio AUC deltametrin/DCB pada fraksi aseton keempat adalah
0,14. Sedangkan rasio AUC deltametrin/DCB standar deltametrin adalah 2,27.
Apabila hasil recovery dari fraksi aseton II, III, dan IV dibandingkan dengan
standar, diperoleh nilai recovery sebesar 20,51 % yang menunjukkan bahwa masih
ada deltametrin yang terjerap pada fase diam karbon yang tidak diaktifkan. Oleh
karena itu, untuk mengelusi deltametrin yang masih terjerap pada karbon yang tidak
diaktifkan volume aseton harus ditambah atau jumlah karbon yang digunakan
dikurangi. Karena penggunaan volume elusi dalam jumlah yang besar kurang
efisien, maka kapasitas fase diam perlu dikurangi dengan mengurangi berat fase
diam yang digunakan agar volume elusi yang dibutuhkan lebih sedikit.
b.2. Optimasi fase gerak untuk clean-up ekstrak ikan nila.
Optimasi dilanjutkan menggunkan fase diam yang lebih sedikit, yaitu:
karbon aktif : natrium sulfat anhidrat. Kolom dielusi bertahap dengan menggunakan
petroleum eter untuk mengelusi lemak ikan nila dan aseton sebagai fase gerak
kedua. Pada tahap ini dilakukan adisi, yaitu adisi baku deltametrin sebelum proses
clean-up, dan adisi baku deltametrin sebelum proses ekstraksi. Untuk mengetahui
efisiensi clean-up dilakukan dengan memasukkan standar deltametrin langsung ke
dalam kolom. Adisi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
ekstraksi dan clean up yang dilakukan sudah baik atau belum. Jumlah adisi baku
deltametrin adalah 257,5 ng.
Gambar 17. Hasil recovery adisi baku deltametrin 257,5 ng sebelum clean-up dan
sebelum ekstraksi menggunakan fase diam karbon : natrium sulfat 0,4 g
Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh Gambar 17. menunjukkan bahwa
baik pada adisi sebelum clean-up maupun adisi sebelum ekstraksi % recovery yang
didapatkan berturut-turut adalah 117,70 dan 110,29. Tetapi efisiensi ekstraksi tidak
dapat ditetapkan karena perbedaan recovery adisi sebelum clean-up dan sebelum
ekstraksi tidak dapat dibedakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses ekstraksi
dan clean-up yang dilakukan sudah cukup baik.
Pada fraksi aseton kedua (10 mL) tidak terdapat puncak deltametrin baik
pada adisi sebelum ekstraksi maupun adisi sebelum clean up sehingga dapat
disimpulkan bahwa fase gerak aseton yang digunakan cukup 15 mL.
Untuk mengetahui apakah proses ekstraksi dan clean-up yang dilakukan
sudah cukup baik, maka dilakukan perbandingan kromatogram standar baku
100 %
22,86 %
117,20 %
0 %
110,29 %
0 %
aseton 15 mL aseton + 10 mL aseton 15 mL aseton + 10 mL
Bakudeltametrin
Clean-up baku adisi sebelum clean up adisi sebelum ekstraksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
deltametrin dan kromatogram deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah
melalui proses ekstraksi dan clean-up.
(1)
(2)
Gambar 18. Perbandingan kromatogram (1) = standar baku deltametrin, (2) =
deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui
proses ekstraksi dan clean-up
Pada kromatogram yang ditunjukkan oleh Gambar 18 (1) dan (2). dapat
dilihat bahwa kromatogram deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui
Deltametrin DCB
Deltametrin DCB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
proses ekstraksi dan clean-up menghasilkan banyak puncak, tetapi puncak-puncak
tersebut tidak mengganggu puncak standar internal DCB dan puncak deltametrin
artinya proses clean-up yang dilakukan sudah cukup baik sehingga dapat
menghilangkan lemak ikan nila yang dapat mengganggu determinasi.
3. Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila
Validasi metode analisis merupakan suatu proses pembuktian bahwa suatu
metode analisis yang digunakan menghasilkan data yang dapat diterima dan
terpercaya sehingga dapat digunakan untuk tujuan analisis tertentu. Pada penelitian
ini, validasi metode yang dilakukan merupakan validasi metode kategori II, yaitu
metode analisis untuk menentukan pengotor atau produk degradasi, karena
deltametrin yang dianalisis merupakan pengotor (impurities). Parameter validasi
yang diuji pada penelitian ini adalah selektivitas, linearitas, akurasi, presisi, rentang,
Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) (Snyder, Kirkland, and
Galjh, 2010).
a. Selektivitas. Selektivitas merupakan kemampuan suatu metode
analisis untuk dapat mengukur analit yang diinginkan dalam matriks tanpa
mengalami gangguan dari matriks, termasuk analit lain (Christian, 2004). Dalam
penelitian ini matriks yang dimaksud adalah lemak ikan nila, dimana selektivitas
ditentukan dengan melihat puncak-puncak kromatogram yang bersebelahan
terpisah dengan baik atau tidak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada baku maupun sampel ikan
puncak kromatogram deltametrin maupun DCB yang terpisah dengan baik dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
senyawa-senyawa lain yang terdapat di dalam matriks, hal ini menunjukkan bahwa
metode ini memenuhi parameter selektivitas.
b. Akurasi. Akurasi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan
antara hasil uji yang diperoleh dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi berkaitan
dengan kesalahan sistematik atau kesalahan yang diketahui karena kesalahan ini
dapat ditentukan dan diperbaiki. Secara umum terdapat tiga kesalahan sistematik
dalam penelitian laboratorium yaitu kesalahan pada peralatan yang digunakan
misalnya alat yang tidak terkalibrasi, kesalahan pada operator dan kesalahan
prosedur. Metode yang digunakan adalah metode penambahan baku (standard
addition method). Metode ini biasanya dilakukan apabila matriks sampel tidak
dapat dibuat plasebonya, sehingga perlu dilakukan penyesuaian antara matriks
standar/baku dengan matriks sampel.
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah ikan nila yang
matriksnya tidak diketahui kandungan dan komposisi senyawa yang terdapat di
dalamnya, dan juga karena tidak dapat diperoleh plasebo ikan nila yang digunakan
sebagai sampel maka digunakan metode penambahan baku. Metode ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh prosedur analisis yang digunakan dalam menetapkan
deltametrin dalam sampel ikan nila (matriks lemak), berapa banyak analit yang
hilang selama proses preparasi. Lima konsentrasi bertingkat baku ditambahkan
pada sampel ikan nila dan dibuat satu sampel ikan nila tanpa penambahan baku
yang digunakan sebagai blanko, sehingga dapat diketahui berapa jumlah baku yang
hilang selama proses preparasi. Hasil penelitian ditunjukkan dalam Tabel X.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Tabel X. Hasil perolehan kembali (recovery)
Penambahan
(ng)
Rata-rata perolehan kembali (n = 3)
(%)
7,725 82,74 ± 0,84
12,875
96,48 ± 2,69
25,75
86,22 ± 2,94
51,5
100,46 ± 1,04
103
98,04 ± 0,31
Tabel XI. Persen Perolehan kembali (recovery) yang dapat diterima pada beberapa
tingkat konsentrasi analit menurut Gonzales and Herrador (2007)
Menurut Gonzales and Herrador (2007), untuk kadar analit dalam matriks
di bawah 100 ppb, persen perolehan kembali yang masih diterima adalah antara 80-
110%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua persen perolehan kembali
Analit Fraksi
analit Rentang Rentang
recovery (%)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
berada pada rentang 80-110%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis
ini memiliki akurasi yang baik.
c. Presisi. Presisi menunjukkan derajat keterulangan hasil uji ketika
metode dilakukan secara berulang dan biasanya digambarkan sebagai simpangan
baku relatif dari sejumlah sampel (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004). Presisi yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah ripitabilitas, dimana pengukuran presisi
dilakukan pada kondisi percobaan yang sama secara berulang, yaitu dengan analis,
operator, dan tempat yang sama dalam rentang waktu yang pendek. Presisi
dilaporkan dalam bentuk % RSD (Relative Standard Deviation) atau koefisien
variasi (CV). Presisi ini berkaitan dengan kesalahan acak (random error).
Kesalahan acak dalam analisis disebabkan oleh perubahan yang tidak dapat
diprediksi dan tidak diketahui penyebabnya. Hasil penelitian ditunjukkan pada
Tabel XII.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Tabel XII. Persen koefisien variasi dari metode penambahan baku
Penambahan
(ng)
Rata-rata
ditemukan (n = 3)
(ng)
% RSD
7,725 6,39 ± 0,07 1,0
12,875 12,42 ± 0,35 2,8
25,75 22,20 ± 0,76 3,4
51.5 51,74 ± 0,54 1,0
103 100,99 ± 0,32 0,3
Tabel XIII. Persen koefisien variasi yang diterima pada beberapa tingkat
konsentrasi analit berdasarkan AOAC PVM (cit., Gonzales and Herrador, 2007)
Dalam penelitian semua konsentrasi yang digunakan di bawah 100 ppb.
Menurut AOAC Peer Verified Method (PVM) (cit., Gonzales and Herrador, 2007),
persen koefisien variasi yang diterima untuk analit dengan konsentrasi di bawah
Analit
(%)
Unit Fraksi Analit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
100 ppb adalah di bawah 15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua analit
dengan konsentrasi di bawah 100 ppb memiliki persen koefisien variasi di bawah
15%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis ini memiliki ripitabilitas
yang baik.
d. Rentang linearitas kurva baku deltametrin. Rentang adalah interval
antara konsentrasi paling bawah dan paling atas dari analit dalam sampel yang
memenuhi presisi, akurasi, dan linearitas menggunakan metode analisis yang
dilakukan (Snyder, Kirkland, Galjh, 2010). Pada penelitian ini, rentang ditentukan
dari kurva adisi yang memenuhi kriteria linearitas, akurasi, dan presisi. Rentang
dari kurva adisi adalah 5,29 ng/g – 70,55 ng/g. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
rentang konsentrasi deltametrin yang memenuhi akurasi, presisi, dan linearitas
adalah 5,29 ng/g – 70,55 ng/g.
e. Limit of quantitation (LOQ) deltametrin dalam matriks ikan
nila. Limit of quantitation (LOQ) merupakan konsentrasi terendah analit dalam
sampel yang dapat dikuantifikasi dengan akurasi dan presisi yang sesuai pada
metode analisis yang digunakan (Grob and Barry, 2004). Dalam penelitian ini,
digunakan kurva adisi untuk menghitung nilai LOQ. Rumus untuk menghitung
nilai LOQ:
LOQ = 3,3 xSa
b
Sebagai faktor pengali dari Sa digunakan 3,3 bukan 10 karena kurva adisi
tersebut diperoleh dari sampel yang melalui serangkaian proses ekstraksi dan clean
up yang presisi dan akurasinya telah diterima. Nilai Sa (standar deviasi intercept
kurva adisi) diperoleh menggunakan program Powerfit (Utrech University Faculteit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Scheikunde). Pada penelitian ini diperoleh nilai LOQ deltametrin dalam sampel
ikan sebesar 1,30 ng/g.
f. Pengaruh matriks ikan nila terhadap metode analisis. Tujuan melihat
pengaruh matriks adalah untuk melihat apakah matriks ikan nila memberikan
pengaruh terhadap metode analisis.
Gambar 19. Gabungan kurva baku dan kurva adisi
Jika dilihat dari Gambar 19. terlihat adanya perbedaan dari kurva baku
dengan kurva adisi. Untuk mengetahui hal tersebut maka perlu dilakukan uji
signifikansi terhadap slope kurva baku dan kurva adisi. Uji signifikansi yang
dilakukan adalah uji t (t-test) untuk melihat apakah ada signifikansi antara kurva
baku dan kurva adisi.
Sebelum melakukan uji t perlu dilakukan uji signifikansi antara standar
deviasi slope kurva baku dan kurva adisi menggunakan uji F dan dilihat apakah
memberikan hasil yang signifikan atau tidak. Dari hasil perhitungan yang
ditunjukkan pada Tabel XIV. dapat disimpulkan bahwa standar deviasi slope kurva
adisi tidak berbeda signifikan dengan standar deviasi slope kurva baku.
Adisi
y = 1,300x + 0,022
Baku
y = 1,304x + 0,057
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6
Ras
io A
UC
Del
tam
etri
n/D
CB
Konsentrasi (µg/mL)
Adisi
Baku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Tabel XIV. Hasil uji F standar deviasi kurva baku dan kurva adisi
Fhitung α Ftabel Kesimpulan
0,268 0,05 3,501 Tidak berbeda signifikan
Setelah itu dilakukan uji t antara slope kurva baku dengan kurva adisi.
Hasil perhitungan uji t yang ditunjukkan dalam Tabel XV. menunjukkan bahwa
slope dari kurva adisi tidak berbeda signifikan dengan slope kurva baku. Hasil ini
menunjukkan bahwa proses preparasi sampel ikan yang mengandung deltametrin
yang dilakukan cukup sempurna.
Tabel XV. Hasil uji t slope kurva baku dan kurva adisi
thitung α ttabel Kesimpulan
0,63 0,05 2,09 Tidak berbeda signifikan
Pengaruh prosedur analisis yang digunakan dalam menetapkan senyawa
uji menunjukkan bahwa kadar yang ditemukan kembali lebih kecil dibandingkan
kadar teoritik yang seharusnya ditemukan. Namun demikian, prosedur ini cukup
baik karena hasil uji signifikansi (uji t) menunjukkan bahwa jumlah yang ditemukan
tidak berbeda bermakna dengan jumlah yang ditambahkan. Oleh karena itu,
prosedur ini cukup akurat untuk menetapkan jumlah deltametrin pada ikan nila.
B. Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila
Setelah metode yang akan digunakan telah tervalidasi maka dapat
dilanjutkan dengan melakukan penetapan kadar. Dalam penetapan kadar ini peneliti
ingin melihat terjadi akumulasi deltametrin dalam tubuh ikan nila dari air yang telah
ditambahkan deltametrin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
1. Aklimatisasi dan penanganan ikan nila untuk uji bioakumulasi
deltametrin dalam ikan nila
Perlakuan yang pertama adalah dengan melakukan aklimatisasi ikan nila
selama 2 minggu pada temperatur uji. Tujuan dilakukan aklimatisasi adalah agar
ikan nila dapat menyesuaikan diri dari kondisi kolam tanah ke akuarium percobaan
sehingga nantinya siap untuk diberi perlakuan.
Air yang digunakan untuk perlakuan adalah air sumur. Makanan untuk
ikan nila yang diberikan selama penelitian ini adalah pelet yang diketahui
kandungan lemak dan protein untuk menjaga agar ikan nila tetap sehat. Kandungan
gizi dalam pelet yang digunakan: 30% protein, 3% lemak, dan max. 4% serat.
Vitamin yang terkandung di dalamnya: vitamin A, D3, E, B1, B2, B6, B12, niacin,
biotin, panthothenic, choline, dan lainnya. Jumlah makanan yang diberikan untuk
tiap ikan nila adalah sebanyak 1-2% dari berat ikan nila. Makanan yang tidak
dimakan oleh ikan nila setelah 30 menit harus diambil untuk menjaga agar akuarium
tetap bersih. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar konsentrasi senyawa organik
serendah mungkin, karena dengan adanya karbon organik dapat membatasi
bioavailabilitas dari senyawa uji.
Aerator digunakan untuk menambah kadar oksigen dalam air. Variasi
temperatur air tidak boleh melebihi 2ºC karena jika simpangannya besar dapat
memberikan efek terhadap proses uptake ikan nila dan dapat menyebabkan ikan
nila menjadi stres. Selama perlakuan, ikan nila yang mati karena sakit atau terkena
efek samping pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak boleh melebihi
10% pada akhir uji. pH air selama perlakuan uji harus antara 6,0 – 8,5. Dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
siklus gelap terang selama 12 jam selama perlakuan agar sesuai dengan kondisi
lingkungan.
Ikan nila yang digunakan berukuran 4-6 cm karena secara umum dengan
menggunakan ikan dengan ukuran yang kecil akan memperpendek waktu untuk
steady-state. Ikan nila yang akan digunakan harus dalam kondisi yang sehat, tidak
cacad, dan tidak memiliki penyakit seperti jamur dan lainnya. Rata-rata berat ikan
ditentukan dengan cara mengambil beberapa ikan nila, ditimbang dan dihitung rata-
rata berat ikan nila. Pada penelitian ini rata-rata berat ikan yang digunakan adalah
1,46 gram.
Setiap akuarium diisi dengan 40 L air sumur dan 10 ekor ikan nila yang
telah melalui proses aklimatisasi dimasukkan ke dalamnya, ditambah decis®
(deltametrin teknis) dengan konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L. Pengambilan
sampel ikan nila dan air dilakukan pada hari ke-0, 1, 2, 3, 5, 7, dan 14. Sampel air
kemudian akan dianalisis oleh Indriati (2013). Selama perlakuan, aerasi dilakukan
dengan menggunakan aerator.
Salah satu kesulitan uji akuatik adalah menjaga agar konsentrasi senyawa
tetap konstan dalam air. Senyawa dapat hilang dalam air karena:
i. Absorpsi dan metabolisme oleh organisme uji
ii. Menguap, terdegradasi, dan teradsorpsi dari air.
Sistem yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem statik. Dengan
sistem statik, air tidak diganti selama melakukan uji. Selain metode statik, terdapat
metode semistatik. Dengan sistem semistatik, air diganti pada saat tertentu
(umumnya setiap 24 jam). Metode ini lebih baik, lebih kompleks, dan lebih mahal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
karena selalu memperbaharui larutan uji dengan sistem yang kontinyu. Dengan
menggunakan sistem ini, larutan uji selalu diperbaharui, sehingga konsentrasinya
selalu konstan, dan dapat mencegah kontaminasi dari feses, alga, mucus, dan
lainnya. Bila organisme terpapar senyawa untuk waktu yang cukup lama,
konsentrasi steady-state akan dicapai dalam jaringan. Karena metode semistatik
lebih kompleks dan lebih mahal maka dalam penelitian ini digunakan metode statis
(Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001).
2. Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila
Ikan nila yang diambil selama proses pengambilan sampel kemudian
ditimbang dan dibunuh kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker. Setelah itu
sampel ikan nila dihaluskan dan direndam menggunakan aseton + heksan untuk
menarik lemak agar keluar dari ikan nila. Penambahan Na2SO4 anhidrat adalah
untuk menarik air yang terkandung dalam sampel ikan nila agar tidak mengganggu
proses ekstraksi. Penggunaan aseton + heksan untuk menarik lemak dan
deltametrin. Kemudian sampel ikan nila diekstraksi lagi menggunakan
diklorometan untuk menarik deltametrin yang masih tertinggal di dalam sampel
tersebut. Penambahan NaCl bertujuan untuk mengurangi afinitas aseton terhadap
air, sehingga aseton dapat terpisah dari air dan bergabung dengan n-heksan dan
diklorometan. Hal ini perlu dilakukan karena diklorometan memiliki kelarutan yang
tinggi di dalam aseton, sehingga bila masih ada aseton yang terikat bersama air,
maka ada deltametrin yang tidak ikut terekstraksi. Tahap selanjutnya adalah
penyaringan melewati natrium sulfat anhidrat yang berguna untuk menghilangkan
partikel pengotor, sekaligus untuk mengurangi kandungan air dalam campuran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
pelarut n-heksan : aseton : diklorometan. Kandungan air harus dihilangkan karena
dapat mengganggu proses clean-up, dimana jika terdapat air, maka fase diam
karbon yang digunakan menjadi tidak aktif dan tidak dapat menjerap deltametrin.
Pembilasan bertujuan untuk mengeluarkan lemak maupun deltametrin maupun
lemak yang masih tertinggal di dalam corong. Filtrat yang didapat kemudian
diuapkan menggunakan bantuan gas nitrogen karena gas nitrogen bersifat inert.
Residu lemak yang diperoleh kemudian ditimbang sehingga diketahui berapa gram
lemak yang terkandung dalam tiap ikan nila.
Tahap selanjutnya adalah clean up. Tujuan clean up adalah untuk
mengurangi senyawa-senyawa selain analit yang ikut terekstraksi (ko-ekstraktan)
karena ko-ekstraktan dapat mengganggu proses determinasi analit, dalam hal ini
adalah deltametrin. Kolom kaca diisi glasswool untuk menahan fase diam, kolom
dialiri aseton untuk membersihkan dari pengotor yang bersifat polar maupun non
polar agar ketika digunakan sudah dalam keadaan bersih. Fase diam karbon dapat
menjerap deltametrin karena karbon cocok digunakan untuk menjerap senyawa non
polar selain itu karbon memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi yang kuat
sehingga dapat menahan senyawa agar tidak ikut terelusi keluar. Residu lemak
dilarutkan dalam sedikit petroleum eter karena residu lemak dapat larut dalam
petroleum eter. Petroleum eter digunakan sebagai fase gerak pertama untuk
mengelusi ko-ekstraktan termasuk lemak ikan nila sehingga saat deltametrin dielusi
keluar tidak banyak ko-ekstraktan yang mengganggu. Lemak harus dibersihkan
karena bila saat sampel disuntikkan ke dalam GC dan masih terdapat lemak ikan
nila, maka lemak tersebut dapat melapisi kolom Cp-sil 5 sehingga deltametrin tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
dapat terikat dengan baik di fase diam. Digunakan aseton untuk mengelusi
deltametrin keluar dari kolom karena deltametrin memiliki kelarutan yang tinggi di
dalam aseton. Aseton kemudian diuapkan dengan bantuan gas nitrogen.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, pada hari ke-0, 1, 2, dan 3 tidak terdapat
deltametrin dalam ikan nila yang dianalisis baik pada Decis® konsentrasi 1 (0,17
µg/L) maupun pada Decis® konsentrasi 2 (0,34 µg/L). Akumulasi deltametrin mulai
terlihat pada hari ke-5, 7, dan 14 untuk kedua konsentrasi seperti yang terlihat pada
Gambar 20. Dari hasil tersebut terlihat bahwa terjadi akumulasi deltametrin dalam
ikan nila, karena dari hari ke-5, 7, dan 14 terjadi peningkatan jumlah deltametrin
dalam ikan nila yang dianalisis.
Gambar 20. Kurva bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
Untuk mengetahui laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila, maka
diplotkan antara ln konsentrasi deltametrin vs hari. Hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut.
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
C d
elta
met
rin
ng/
g ik
an
Hari
Konsentrasi 1
Konsentrasi 2
Kontrol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Gambar 21. Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
konsentrasi 0,17 µg/L
Gambar 22. Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
konsentrasi 0,34 µg/L
Dari hasil di atas didapatkan laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
berturut-turut adalah 0,07 dan 0,15 ng/hari untuk konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34
µg/L. Karena kurva ln rata-rata kadar deltametrin vs hari terdiri dari 2 fase, maka
y = 0,073x - 0,505
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 2 4 6 8 10 12 14 16
ln r
ata-
rata
kad
ar d
elta
met
rin
(n
g/g
ikan
)
Hari
y = 0,147x - 0,173
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 2 4 6 8 10 12 14 16
ln r
ata-
rata
kad
ar d
elta
met
rin
(n
g/g
ikan
)
Hari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
yang digunakan untuk menentukan laju bioakumulasi adalah fase kedua yang
dimulai dari hari ke-3, 5, 7, dan 14.
Insang memegang peranan penting dalam proses uptake suatu senyawa
yang larut dalam air karena sebagian besar proses uptake yang dilakukan oleh ikan
terjadi melalui insang. Pada insang terdapat banyak pembuluh darah yang sangat
halus dan dialiri darah terus menerus sehingga memungkinkan proses uptake
senyawa melalui insang sangat efektif. Karakteristik ini sangat berguna dalam
proses pernafasan ikan maupun proses osmoregulasi serta kesetimbangan asam-
basa pada ikan (Evans et al.,2005).
Pada proses pernafasan ikan, oksigen yang larut dalam air akan difiltrasi
oleh insang dan masuk ke aliran darah dengan menembus suatu membran biologis.
Demikian juga deltametrin yang larut dalam air akan di uptake oleh isang sehingga
teradsorbsi pada insang serta mampu menembus membrane biologis sehingga
senyawa tersebut dapat masuk ke dalam aliran darah ikan dan terdistribusi dalam
tubuh ikan tersebut.
Selanjutnya, deltametrin yang telah berada dalam insang akan mengalami
difusi pasif menembus membran biologis yang membatasi insang dengan pembuluh
darah dalam insang sehingga masuk ke dalam aliran darah dan mengalami distribusi
lebih lanjut dalam tubuh ikan. Kemampuan suatu senyawa menembus membran
biologis dipengaruhi oleh nilai Kow, dimana semakin besar nilai Kow maka akan
semakin mudah menembus membran tersebut (Hodgson, 2004).
Deltametrin memiliki nilai log Kow 4,6 sedangkan lemak ikan nila
memiliki rentang log Kow 4,6 – 10,89 sehingga berdasarkan prinsip like dissolve
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
like deltametrin dapat terakumulasi dalam lemak ikan nila. Lemak merupakan
tempat akumulasi senyawa kimia organik, setelah senyawa tersebut masuk ke
dalam organisme. Besarnya akumulasi suatu senyawa organik dalam lemak
umumnya tergantung pada nilai Kow dan jumlah lemak dalam organisme tersebut
(Leeuwen dan Hermens, 1995).
Bioakumulasi didefiniskan sebagai proses akumulasi senyawa secara
langsung dari lingkungan abiotik (contohnya air, udara, tanah) dan dari sumber
makanan pada organisme. Tempat uptake senyawa yang utama adalah membrane
paru, insang, dan saluran cerna (Hodgson, 2004).
Kecepatan suatu senyawa dapat terakumulasi dari lingkungan ke dalam
organisme akuatik tergantung pada kandungan lemak organisme tersebut, dimana
lemak adalah tempat penyimpanan utama senyawa tersebut (Hodgson, 2004).
Menurut Muchiri (2006) kandungan lemak pada ikan nila berkisar antara
1,5-3% tergantung pada makanan yang dikonsumsi. Rata-rata berat ikan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1,46 gram dengan berat lemak rata-rata yang
diperoleh adalah 0,0315 gram sehingga % lemak pada ikan nila yang diperoleh
adalah 2,15%.
Menurut Organization for Economic Co-operation and Development
(2002) senyawa yang memiliki nilai log Kow lebih besar dari 3 mempunyai
kemungkinan terjadinya akumulasi. Deltametrin memiliki nilai log Kow sebesar 4,6.
Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi akumulasi
deltametrin dalam ikan nila. Laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila pada
konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L berturut-turut adalah 0,07 dan 0,15 ng/hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
C. Karakterisasi Resiko Asupan Deltametrin Melalui Ikan Nila
Perkiraan berat ikan nila yang dikonsumsi manusia adalah 200 gram.
Manusia kurang lebih mengkonsumsi 1 ikan nila selama 1 hari dengan berat 200
gram. Ikan nila yang umumnya dikonsumsi adalah ikan nila yang berusia 3 bulan.
Menurut Anonim (2013), Acceptance Daily Intake (ADI) deltametrin
adalah 0,01 mg/kg BB (1982, dikonfimasi tahun 2000). Maka untuk manusia
dengan berat 60 kg ADI nya sebesar 0,6 mg. ADI adalah perkiraan jumlah senyawa
(misalnya pestisida) dalam makanan yang bila termakan setiap hari seumur hidup
tidak menimbulkan resiko kesehatan pada manusia. ADI mencakup penilaian pada
data dasar mengenai kelengkapan dan relevansinya, penentuan kadar terlihat tanpa
efek (NOEL) dalam mg/kg BB dan pemilihan faktor pengaman yang tepat untuk
mengekstrapolasikannya pada asupan harian yang dapat diterima untuk manusia,
juga dalam mg/kg BB. ADI suatu pestisida tergantung pada pola makan
masyarakat.
Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila dihitung
menggunakan konsentrasi yang telah mencapai kondisi steady-state. Pada
konsentrasi 0,17 µg/L diperoleh persaman regresi y = -0,916 + 0,109 x, sedangkan
pada konsentrasi 0,34 µg/L diperoleh persamaan regresi y = 0,209 + 0,113 x. Untuk
mengetahui apakah kurva bioakumulasi yang didapat telah mencapai kondisi
steady-state maka slope diuji secara statistik menggunakan uji t. Hasil uji t untuk
konsentrasi 0,17 µg/L ditunjukkan pada Tabel XVI.
Tabel XVI. Hasil uji t slope konsentrasi 0,17 µg/L
α thitung tTabel Kesimpulan
0,05 15,77 4,30 Signifikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Sedangkan hasil uji t untuk konsentrasi 0,34 µg/L ditunjukkan pada Tabel XVII.
Tabel XVII. Hasil uji t slope konsentrasi 0,34 µg/L
Α thitung ttabel Kesimpulan
0,05 7,40 4,30 Signifikan
Hasil uji t slope diatas menunjukkan bahwa nilai slope berbeda bermakna dengan
nilai 0 artinya kurva bioakumulasi deltametrin yang diperoleh belum mencapai
kondisi steady-state. Maka untuk perhitungan karakterisasi resiko deltametrin
melalui asupan ikan nila digunakan rata-rata konsentrasi deltametrin pada hari ke-
14, karena data yang diperoleh hanya sampai hari ke-14. Hasil perhitungan
karaktersisasi resiko deltametrin ditunjukkan pada Tabel XVIII.
Tabel XVIII. Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila
Konsentrasi Deltametrin dalam
200 g ikan nila (ng)
ADI
(mg/kg BB) % dari ADI
0,17 µg/L 374,46 0,01
0,062
0,34 µg/L 1159,61 0,19
Dari hasi diatas dapat disimpulkan bahwa bila manusia mengkonsumsi
ikan nila dengan berat 200 gram per hari dikatakan aman karena jumlah deltametrin
yang terpejan jauh lebih kecil dibandingkan dengan ADI deltametrin.
Pada penelitian ini Bioconcentration Factor (BCF) tidak dapat dihitung
karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indriati (2013) kadar
deltametrin dalam air pada hari ke- 14 tidak terdeteksi sehingga tidak dapat
dilakukan perbandingan jumlah deltametrin dalam air dan dalam ikan nila pada
kondisi steady-state.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Efisiensi ekstraksi tidak dapat ditetapkan karena perbedaan recovery adisi
sebelum clean-up dan sebelum ekstraksi tidak dapat dibedakan. Lemak ikan
nila dan deltametrin dapat dipisahkan menggunakan penjerap karbon karena
memiliki kekuatan adsorbsi yang berbeda. Fase diam yang optimal adalah
karbon : natrium sulfat anhidrat 0,4 g. Fase gerak yang optimal adalah elusi
bertahap menggunakan petroleum eter dan aseton.
2. Dengan proses ekstraksi, clean-up, dan kondisi GC-ECD yang optimal, pada
kromatogram masih terlihat adanya tapak lemak ikan nila namun tidak
mengganggu puncak deltametrin dan DCB. Hasil validasi menunjukkan
sensitivitas dengan nilai LOD 17,81 ng/mL dan LOQ 1,30 ng/g; korelasi antara
konsentrasi dan respon yang linear pada rentang 5,3 ng/g – 70,5 ng/g dengan
nilai r 0,999; akurasi dinyatakan dengan nilai recovery sebesar 82,74 – 110,46
%; presisi dinyatakan dengan nilai % RSD sebesar 0,3 – 3,4 %, dan matriks
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap metode analisis.
3. Pada konsentrasi deltametrin 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L terjadi bioakumulasi
deltametrin dalam ikan nila dengan laju bioakumulasi berturut-turut adalah
0,07 dan 0,15 ng/hari.
4. Konsumsi ikan nila yang terpapar deltametrin dengan konsentrasi 0,17 µg/L
dan 0,34 µg/L selama 14 hari tidak memberikan resiko yang mebahayakan
kesehatan konsumen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
B. Saran
1. Perlu dilakukan penambahan replikasi dan pada konsentrasi yang berbeda
sehingga efisiensi ekstraksi dapat diketahui.
2. Perlu dilakukan penambahan interval waktu pengambilan sampel ikan nila
yang lebih panjang sehingga kondisi steady-state dapat tercapai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
DAFTAR PUSTAKA
Abuzar, E.A.E et. al, 2012, A Gas Chromatographic Method with Electron-Capture
Detector (GC-ECD) for Stimultaneous Determination of Fenfropathrin, λ-
Cyhalothrin, and Deltamethrin Residues in Tomato and Its Applications to
Kinetic Studies After Field Treatment, Food Anal. Methods, 1-7.
Ahuja, S., and Dong, M.W., 2005, Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC,
volume 6, Elsevier, Inc., USA, p. 192.
Ahuja, S., and Rasmussen, H., 2007, HPLC Method Developments for
Pharmaceuticals, Elsevier Academic Press, Italy, pp. 444.
Ahuja, S., and Scypinski, S., 2001, Handbook of Modern Pharmaceutical Analysis,
volume 3, Academic Press, San Diego, p. 419.
Anonim, 1997, Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, Komisi
Pestisida Departemen Pertanian, hal. 287.
Anonim, 1998, Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida Untuk Tanaman Pangan,
Komisi Pestisida Departemen Pertanian, Jakarta.
Anonim, 2006, Penggunaan Pestisida yang Baik dan Benar dengan Residu
Minimum, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Anonim, 2008, Noveric Acid, http://www.chemicalbook.com/ProductMSDSDetail
CB5304545_EN.htm, diakses tanggal 10 Desember 2013.
Anonima, 2009, Deltamethrin Technical Fact Sheet, NCIP, Oregon, p 7-8.
Anonim, 2009b, Lauric Acid, http://www.usp.org/pdf/EN/reference
Standards/msds/1356949.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2013.
Anonim, 2010, Guidelines on Good Laboratory Practice In Pesticide Residue
Analysis CAC/GL 40-1993, Codex Alimentarius Commission, Swiss, p. 24.
Anonima, 2012, Deltamethrin Safety Data Sheet, Sigma-Aldrich, Singapore.
Anonimb, 2012, Properties of Solvents on Various Sorbents,
http://www.sanderkok.com/techniques/hplc/eluotropic_series_extended.ht
ml, diakses tanggal 10 Desember 2013.
Anonim, 2013, Pesticide Residues in Food and Feed: Deltamethrin,
http://www.codexalimentarius.net/petres/data/pesticides/details.html?id=1
35, diakses tanggal 5 Desember 2013.
Cahyono, B., 2005, Bawang Daun, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 62-63.
Campbell, N.A., Reece, J.B., Urry L.A., Cain, M.L., Wasserman, S.A., Minorsky,
P.V., et. al., 2010, Biologi, edisi 8 jilid III, Erlangga, Jakarta, hal. 75-76.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Chan, C.C., Lam, H., Lee, Y.C., and Zhang X.M., 2004, Analytical Method
Validation and Instrument Performance Verification, John Wiley & Sons,
New Jersey, pp. 18-19.
Christian, G.D., 2004, Analytical Chemistry, 6th edition, John Wiley & Sons, Inc.,
USA, p. 128, 585-588.
Committee for Veterinary Medicinal Products, 2000, Deltamethrin, The Europan
Agency for The Evaluation of Medicinal Products, Veterinary Medicines
and Information Technology, London.
Dean, J.R., 2003, Methods for Environmental Trace Analysis, John Wiley & Sons,
Ltd., United Kingdom, pp. 186-188.
Ermer J., and Miller, J.H., 2005, Method Validation in Pharmaceutical Analysis,
Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, Germany, p. 101.
European Commision, 2002, Deltamethrin, Health and Consumer Protection
Directorate-General, Germany, pp. 7-18.
Evans, D.H., Piermarini, P.M., and Choe, K.P., 2005, The Multifunctional Fish
Gill: Dominant Site of Gas Exchange, Osmoregulation, Acid-Base
Regulation, and Excretion of Nitrogenous Waste, Physiol Rev., 85, 98.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Analisis Farmasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hal. 46-50, 419-438, 472.
González, A.G. and Herrador, M.A., 2007, A Pratical guide to Method Validation,
Including Measurement Uncertainty and Accuray Profiles, Trends in
Analytical Chemistry, pp. 231-234.
Grob, R.L., and Barry, E.F., 2004, Modern Practice of Gas Chromatography, 4th
edition, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, p. 980.
Hassan, A.F., Youssef, A.M., and Priecel, P., 2013, Removal of Deltamethrin
Insecticide Over Highly Porous Activated Carbon Prepared From
Pistachio Nutshells, Carbon Letters, 14 (4), 234 – 242.
Harris, D.C., 2010, Quantitative Chemical Analysis, 8th edition, W. H. Freeman and
Company, New York, pp. 566-567.
Harvey, D., 2000, Modern Analytical Chemistry, McGraw-Hill Companies, Inc.,
USA, p. 570.
Henderson, R.J., and Tocher, D.R., 1987, The Lipid Composition and Biochemistry
of Freshwater Fish, Progress Lipid Research, 26, 281 – 347.
Hodgson, E., 2004, A Textbook Modern Toxicology, John Wiley & Sons, Inc., New
Jersey, pp. 467-468.
Indriati, K.N., 2013, Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Air dan
Aplikasinya pada Penetapan Laju Disipasi Deltametrin Menggunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Model Lingkungan Perairan, Skripsi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
Kordi, M.G.H., 2010, Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di Kolam
Terpal, Lily Publisher, Yogyakarta, hal. 112-124.
Krieger, R., 2010, Haye’s Handbook of Pesticide Toxicology, 3rd edition, Elsevier,
Inc., USA, pp. 1243, 1597, 1643.
Leeuwen, C.J. and Hermens, J.L.M., 1995, Risk Assessment of Chemicals, an
introduction, Kluwer Academic Publisher, Netherlands, pp. 147-156.
Moffat A.C., Osselton M. D., and Widdop B., 2011, Clarke’s Analysis of Drug and
Poisons, 4th edition, Pharmaceutical Press, London, pp. 636-649.
Muchiri, M.N., 2006, A Comparison of Nutritional Value of Farmed and Wild Nile
Tilapia (Oreochromis niloticus), Egerton University, Kenya, p. 9.
Myers, P.R., Espinosa, C.S., Parr, T., Jones, G.S., Hammond, and Dewey, T.A.,
2013, The Animal Diversity Web, Museum of Zoology University Michigan,
http://animaldiversity.org, diakses tanggal 26 Juni 2013.
Namiesnik, J., 2002, Trace Analysis Challenges and Problems, Critical Reviews in
Analytical Chemistry, 32 (4), p. 272.
Natawigena, H. dan Satari, G., 1981, Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan
Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya
Terhadap Lingkungan, Universitas Padjajaran, Bandung.
National Pesticide Information Center, 2010, Deltamethrin Technical Fact Sheet,
Oregon State University, Corvallis, pp. 1-11.
National Pesticide Telecommunications Network, 1998, Pyrethrins and
Pyrethroids, Oregon State University, Corvallis, pp. 1-3.
Noegrohati, S., 1991, Cleanup By Solid-Phase Extraction and HPLC of
Organochlorine Insecticides and PCBs in Various Nonfatty And Fatty
Samples, Toxicological and Environmental Chemistry, (34), 219 – 235.
Nollet, L.M.L. and Rathrore, H.S., 2010, Handbook of Pesticides: Method of
Pesticide Residues Analysis, CRC Press, Boca Raton, pp. 53-54, 436.
Organization for Economic Co-operation and Development, 2002, Persistence,
Bioaccumulative, and Toxic Pesticides in OECD Member Countries, OECD
Environment, Health and Safety Publication, Paris, p. 19.
Organization for Economic Co-operation and Development, 2012, OECD 305
Guidelines for Testing of Chemicals, Bioaccumulation in Fish: Aqueous and
Dietary Exposure, OECD Environment, Health and Safety Publication,
Paris, pp. 1 – 20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Prichard, E., MacKay, G.M., and Points, J., 1996, Trace Analysis: A structured
approach to obtaining reliable results, Royal Society of Chemistry, United
Kingdom, pp. 1-11.
Sanjayadi, 2013, Wawancara Pribadi.
Skoog, D.A., West, D.M., Holler F.J., and Crouch S.R., 2004, Fundamental of
Analytical Chemistry, 8th edition, Thomson learning, Inc., USA, pp. 948-
950, 959.
Snyder, L.R., Kirkland, J.J., Dolan, J.W., 2010, Introduction to Modern Liquid
Chromatography, 3rd ed., John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
Standing Committee on Biocidal Products, 2011, Deltamethrin Assessment Report,
Commission Regulation, Sweden, pp. 7-49.
Sudarmo, S., 1991, Pestisida, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, p. 9
Suloma, A., Ogata H.Y, Garibay E.S., Chavez D.R., and El-Haroun E.R., 2008,
Fatty Acid Composition of Nile Tilapia Oreochromis niloticus Muscles: A
Comparison Study With Commercially Important Tropical Freshwater Fish
in Phillipines, International Symposium on Tilapia in Agriculture, 921 –
932.
Sutanto, D., 2012, Budi Daya Nila, Pustaka Baru Press, Yogyakarta, hal. 1-2, 9-12.
Ueberschaer, B., 2000, Oreochromis niloticus, http://www.fishbase.org/Photos
/PicturesSummary.php?StartRow=7&ID=2&what=species&TotRec=11,
diakses tanggal 26 Juni 2013
Walker, C.H., Hopkin S.P., Sibly R.M., and Peakall D.B., 2001, Principles of
Ecotoxicology, 2nd edition, Tailor & Francis, London, pp. 15, 107-108, 126.
Wardjojo, S., 1977, Aspek Pestisida di Indonesia. Hasil Simposium Peranan
Pestisida Dalam Pengelolaan Hama-Penyakit Tanaman dan Tumbuhan
Pengganggu. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, Bogor.
Wienarto, N. dan Hakim, A.L., 2012, Penanggulangan Wereng Batang Coklat di
Pertanaman Padi, Monash University, Indonesia.
World Health Organization, 1990, Deltamethtrin, International Programme on
Chemical Safety, Swiss.
World Health Organization, 2012, Deltamethrin, WHO Specifications and
Evaluations for Public Health Pesticides, Swiss, p. 7.
Zein, R., Munaf, E., Nurhamidah, dan Suyani, H., 2002, Penentuan Imidakloprid,
Profenofos, dan Deltametrin Sebagai Residu Pestisida Pada Buah Cabe
Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Jurnal Stigma, 10 (4), 352 –
356.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lampiran 1. Perhitungan Sensitivitas Alat
Sensitifitas alat ditentukan dengan menghitung LOD dari:
a. Kurva baku 1
Konsentrasi
Baku
Deltametrin
(µg/mL)
Rasio AUC
Deltametrin/DCB
0,155 0,2329
0,206 0,3141
0,258 0,4046
y = 1,66723 x - 0,02681
r = 0,99967
Menggunakan program powerfit didapatkan:
POLYNOMIAL is: F(x) = 1,66723 x - 0,02681
Coefficient Std Dev, Min, Limit Max, Limit
a0 -2,68051E-002 9,00928E-003 -1,41275E-001 8,76651E-002
a1 1,66723E+000 4,27843E-002 1,12362E+000 2,21084E+000
Dihitung menggunakan rumus: LOD = 3,3 𝑥 𝑆𝑎
𝑏
= 3,3 x 0,009
1,66723
= 0,017814 µg/mL
b. Kurva baku 2
c. Konsentrasi
Baku
Deltametrin
(µg/mL)
Rasio AUC
Deltametrin/DCB
0,155 0,9775
0,206 1,3185
0,258 1,6780
y = 6,80134 x - 0,07868
r = 0,99995
Menggunakan program powerfit didapatkan:
POLYNOMIAL is: F(x) = 6,80134 x - 0,07868
Coefficient Std Dev, Min, Limit Max, Limit
a0 -7,86762E-002 1,38084E-002 -2,54123E-001 9,67710E-002
a1 6,80134E+000 6,55750E-002 5,96816E+000 7,63452E+000
Dihitung menggunakan rumus: LOD = 3,3 𝑥 𝑆𝑎
𝑏
= 3,3 x 0,0138
6,80134
= 0,006696 µg/mL
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Lampiran 2. Kurva Adisi Deltametrin pada sampel ikan nila
Menggunakan powerfit maka diperoleh:
POLYNOMIAL is: F(x) = 0,02250 + 0,03796 x
Coefficient Std. Dev Min. Limit Max. Limit
a0 2,25047E-002 1,50047E-002 -9,90658E-003 5,49159E-002
a1 3,79603E-002 4,11805E-004 3,70708E-002 3,88498E-002
Dihitung menggunakan rumus: LOQ = 3,3 x 𝑆𝑎
𝑏
= 3,3 x 0,015
0,03796
= 1,3040 ng/g ikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Lampiran 3. Uji Signifikansi Perbedaan Slope Kurva Baku dan Kurva Adisi
Baku Deltametrin Adisi Deltametrin
b 1,30359 1,30001
SDb 0,0073 0,0141
n 7 15
- Uji signifikansi standar deviasi dengan uji F
F = 𝑆12
𝑆22 (S12 = standar deviasi slope baku; S2
2 = standar deviasi slope adisi
F = 0,00732
0,01412 = 0,2680
Perhitungan Degrees of freedom (df) = n1-1 dan n2-1
n1-1 = 7-1 = 6
n2-1 = 15-1 = 14
α F hitung F tabel Kesimpulan
0,05 0,2680 3,501 Tidak signifikan
Uji t untuk melihat signifikansi slope antara kurva baku dan kurva adisi
Dari hasil perhitungan uji F diatas dapat dilihat SD antara kurva baku dan kurva
adisi tidak berbeda signifikan, maka standar deviasi untuk uji t dihitung dengan
persamaan:
S2 = ((𝑛1−1)𝑆12+(𝑛2−1)𝑆22)
(𝑛1+𝑛2−2)
Adisi
y = 1.3x + 0.0225
R² = 0.9992
Baku
y = 1.3036x + 0.0569
R = 0.9999
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6
Ras
io A
UC
Del
tam
etri
n/D
CB
Konsentrasi (µg/mL)
Kurva Baku vs Kurva Adisi
Adisi
Baku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
S2 = ((7−1)0,00732+(15−1)0,01412)
(7+15−2)
S2 = 3,1974 𝑥 10−4+2,7833 𝑥 10−3
20
S2 = 1,55152 x 10-4
S = 0,0125
Perhitungan nilai t:
t = |𝑏1−𝑏2|
𝑆 √1
𝑛1+
1
𝑛2
t = |1,30359−1,30001|
0,0125 √1
7+
1
15
t = 3,58 𝑥 10−3
5,7217 𝑥 10−3
t = 0,6257
perhitungan df:
df = n1 + n2 -2
df = 7 + 15 -2
df = 20
α F hitung F tabel Kesimpulan
0,05 0,6257 2,09 Tidak signifikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi dengan judul “Pengembangan Metode
Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada
Asesmen Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan
Nila” ini memiliki nama lengkap Oei Johanes Darma
Hendra Sandjaja. Penulis dilahirkan di Semarang pada
tanggal 19 Juli 1991 sebagai anak pertama dari tiga
bersaudara, dari pasangan Oei Bharata Putra Sandjaja
dan Jeni. Pendidikan formal yang pernah ditempuh
penulis yaitu TK Pangudi Luhur Bernardus Semarang
(1995 – 1997). Sekolah Dasar (SD) Pangudi Luhur
Bernardus Semarang (1997 – 2000), Sekolah Dasar
(SD) Santo Yoseph 1 Denpasar (2000 – 2003) Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Tegaljaya Denpasar (2003 – 2006), Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4
Denpasar (2006 – 2009) dan pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan di Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif
dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan antara lain Panitia Kampanye Informasi
Obat (KIO) 2010 sebagai Perkap, Panitia Pharmacy Performance and Event Cup
(PPnEC) 2010 sebagai Perkap, Panitia Donor Darah JMKI 2010 sebagai Perkap,
Panitia Seminar Kanker Serviks dan Kanker Paru-paru sebagai Perkap, Panitia
Malam Keakraban JMKI sebagai Perkap, Panitia Inisiasi Tiga Hari Temu Akrab
Farmasi (TITRASI) 2011 sebagai Perkap, Panitia Paingan Festival 2011 sebagai
Keamanan, Panitia Pharmacy Performance (PP) 2011 sebagai Perkap, Panitia
Pharmacy Days 2012 sebagai tentor, Panitia Pharmacy Performance and Event Cup
(PPnEC) 2012 sebagai Ketua Eksternal, serta menjadi asisten praktikum
Mikrobiologi 2010, Farmakognosi Fitokimia I 2011, Mikrobiologi 2011, Analisis
Farmasi 2012, Validasi Metode Analisis 2012, Kimia Analisis 2013,
Pharmaceutical Analysis 2013, Anatanomi dan Fisiologi Manusia 2014,
Mikrobiologi 2014, Analisis Farmasi 2014, Validasi Metode Analisis 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI