pidato pengukuhan prof. dr. ir. a. toekidjan soejono

21
GULMA DALAM AGROEKOSISTEM: PERANAN, MASALAH, DAN PENGELOLAANNYA UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Dr. Ir. A. Toekidjan Soejono

Upload: tri-chanxoelz

Post on 02-Jan-2016

213 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

GULMA DALAM AGROEKOSISTEM: PERANAN, MASALAH, DAN PENGELOLAANNYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Dr. Ir. A. Toekidjan Soejono

Page 2: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

2

GULMA DALAM AGROEKOSISTEM: PERANAN, MASALAH, DAN PENGELOLAANNYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar

Universitas Gadjah Mada pada tanggal 5 Juni 2006

di Yogyakarta

Oleh: Prof. Dr. Ir. A. Toekidjan Soejono

Page 3: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

3

GULMA DALAM AGROEKOSISTEM: PERANAN, MASALAH, DAN PENGELOLAANNYA

Untuk mengawali pidato saya, lebih dulu akan saya sampaikan

pengertian atau batasan tentang agroekosistem dan gulma. Yang dimaksud agroekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisik yang telah dimodifikasi manusia guna menghasilkan makanan, serat, bahan bakar, dan produk lainnya untuk konsumsi dan pengolahan untuk kebutuhan umat manusia (Reijntjes et al., 1992). Dalam Kamus Pertanian Umum, agroekosistem ialah bentuk ekosistem binaan manusia yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan manusia (Anonim, 2001). Sebenarnya agroekosistem merupakan padanan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang dipakai pertama kali sekitar awal tahun 1980-an oleh pakar pertanian FAO (Food Agriculture Organization, 1989). Agroekosistem sendiri mengacu pada modifikasi ekosistem alami dengan campur tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia (Salikin, 2003). Pertanian berkelanjutan oleh Conway (1990) juga digunakan dengan konteks agroekosistem, yang berupaya memadukan antara produktivitas (productivity), stabilitas (stability), dan pemerataan (equity). Jadi pertanian berkelanjutan ialah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat, secara ekonomis layak, secara ekologis mantap, sesuai menurut budaya, dan adil secara sosial (Reijntjes. et al., 1992). Agroekosistem atau pertanian berkelanjutan merupakan jawaban bagi kegamangan dampak revolusi hijau (green revolution) yang ditengarai antara lain oleh semakin merosotnya produktivitas pertanian. Revolusi hijau memang sukses dengan produktivitas hasil panen biji-bijian yang menakjubkan (miracle seeds), tetapi kenyataannya juga memiliki sisi buruk misalnya erosi tanah besar, keanekaragaman hayati punah, bahaya residu pestisida kimia terhadap hasil pertanian, lingkungan dan kesehatan manusia, serta resistensi organisme pengganggu tanaman (OPT) meningkat (Goering, 1993).

Page 4: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

4

Istilah gulma bukanlah istilah ilmiah, melainkan istilah yang sederhana yang sudah merupakan milik masyarakat. Untuk menyebut suatu jenis tumbuhan adalah gulma, seseorang memerlukan praduga dan prasangka yang kuat bahwa tumbuhan itu memang benar-benar merugikan. Yang termasuk dalam kelompok gulma tidak saja tumbuhan yang merugikan manusia dalam beberapa hal, tetapi juga semua tumbuhan yang tidak bermanfaat atau belum diketahui manfaatnya. Setiap orang memiliki batasan atau definisi yang berbeda tentang gulma. Menurut King (1974) paling sedikit ada 30 definisi tentang gulma, beberapa di antaranya yang dimaksud gulma ialah tumbuhan yang salah tempat (a plant out of place); tumbuhan yang tumbuh liar dan berlebihan (wild and rank growth); tumbuhan yang tidak berguna (useless), tidak diinginkan (undesirable); dan tidak dikehendaki (unwanted). Umumnya semua definisi menjelaskan salah tempatnya suatu tumbuhan. Menurut Profesor Numata pada Konperensi Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIGI) yang pertama tahun 1971 bahwa gulma bukan konsep botani, tetapi sesuatu yang menyiratkan pandangan antroposentrik (Soerjani, 1986). Beliau berpendapat bahwa gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di tempat dan waktu yang salah, menurut kepentingan manusia merugikan atau berpotensi merugikan. Jagung yang tumbuh liar di antara kacang tanah, sebenarnya juga disebut gulma. Sebaliknya Lantana camara (L.) suatu jenis gulma di perkebunan bila ditanam di halaman rumah dan Eichhornia crassipes (Mart.) Solms suatu jenis gulma di perairan bila berada di kolam ikan, keduanya disebut tanaman hias. Demikian pula Limnocharis flava (L.) Buchenau dan Marsilea crenata Presl bila berada di Jawa Tengah merupakan gulma padi sawah tetapi di Bogor dan Banyuwangi kedua jenis tumbuhan tersebut dibudidayakan sebagai tanaman sayuran. Menurut Soerjani (1988), yang dimaksud gulma ialah tumbuhan yang peranan, potensi, dan hak kehadirannya belum sepenuhnya diketahui.

Dari aspek ekologi, yang dimaksud gulma adalah tumbuhan pioner atau perintis pada suksesi sekunder terutama pada lahan pertanian. Di luar Jawa seperti Sumatra dan Sulawesi, pada pertanian ladang setelah lahan ditinggalkan karena hasilnya tidak layak lagi maka tumbuhan yang muncul pertama kali adalah Imperata cylindrica (L.) Bauv. Tumbuhan tersebut disebut gulma karena mempunyai

Page 5: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

5

kemampuan khusus untuk menguasai lahan yang telah mengalami gangguan. Banyak jenis tumbuhan yang mempunyai sifat seperti itu, tetapi sampai saat ini belum menjadi gulma yang menimbulkan gangguan. Oleh karena itu lebih tepat bila gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktivitas manusia (Sastroutomo, 1990). Menurut Ronoprawiro (1991), tidak ada tumbuhan yang sama sekali tidak berguna maka gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang potensi perusakannya melebihi potensi kegunaannya.

Lebih dari 30.000 jenis tumbuhan telah diidentifikasi sebagai gulma, 250 jenis dinyatakan sebagai gulma penting dan 80 jenis telah diketahui menurunkan hasil tanaman budidaya (Sauerborn, 1999). Gulma sebagai tumbuhan yang tidak dikehendaki di suatu tempat, merupakan komponen integral dalam agroekosistem, membentuk komunitas bersama tanaman budidaya. Gulma memiliki sejumlah sifat fisiologis, agronomis dan reproduktif yang khas, yang membuatnya lebih berhasil dibanding tanaman budidaya (Cobb, 1992)

Gulma dalam agroekosistem mempunyai beberapa peranan penting yaitu sebagai pencegah erosi tanah, penyubur tanah, dan inang pengganti (alternate host) predator atau parasitoid serangga hama. Beberapa jenis gulma rumputan yang tumbuh tegak dan rapat seperti Imperata cylindrica (L.) Beauv., Saccharum spontaneum L., dan Anastrophus compressus Schlechtend. atau yang tumbuh menjalar seperti Paspalum conjugatum Berg., Axonopus compessus (Sw.) Beauv., Ischaemum timorense Kunth, dan Cynodon dactylon (L.) Pers., ternyata dapat menutup dan melindungi tanah terhadap ancaman erosi (Arsyad, 1989). Beberapa jenis tumbuhan menjalar yang termasuk kacangan seperti Centrosema pubencen Bth., Calopogonium mucunoides Desv., dan Pueraria phaseoloides Bth., di samping dapat mencegah erosi juga dapat menjaga lengas dan kesuburan tanah (Mangoensoekarjo, 1983; Reijntjes et al., 1992). Jenis-jenis gulma kacangan merambat yang daunnya cukup lebar seperti Pachyrrhizus erosus (L.) Urban. di Asia Tenggara dan Mucuna utilis Wall. di Afrika Barat digunakan untuk memperpendek masa bera pada pertanian ladang (Akobundu, 1983). Jenis gulma semak kacangan seperti Tephrosia vogelii Hook di Kamerun (Prinz, 1986), Sesbania

Page 6: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

6

rostrata di Asia Tenggara (IRRI, 1988), dan Mucuna pruriens L. di Honduras (Milton, 1989; Burnch, 1990) ditanam di antara tanaman pangan (jagung), pada musim kemarau dipangkas sebagai mulsa

Jenis-jenis gulma yang merupakan tumbuhan inang predator serangga hama ialah Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell sebagai inang Coccinella arquata dan Synedrella nodiflora (l.) Gaertn. sebagai inang Cytorhynus lividipenis. Kedua serangga tersebut adalah pemangsa Nilaparvata lugens (wereng coklat) yang menyerang padi. Jenis gulma Vernonia cinerea (L.) Less. adalah inang Diadegma eucerophaga yang merupakan parasitoid pada Plutella xylostella yang menyerang kubis, sedang jenis gulma Ageratum conyzoides L. adalah inang Platigaster oryzae yang merupakan parasitoid pada Orceolea oryzae yang merupakan hama ganjur pada padi (Soerjani, 1987; Notowigeno, 1990). Jenis gulma Trypsacum laxum adalah tumbuhan perangkap nematoda Platylenchus loosi yang menyerang akar teh dan Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray tumbuhan perangkap Regidoporus lignosus yang menyerang Flemingia congesta Roxb. Kedua jenis gulma itu lebih disukai nematoda untuk berkumpul sehingga memudahkan nematoda tersebut dibunuh. Sebaliknya jenis gulma Tagetes patula dapat berperanan sebagai tumbuhan antagonis nematoda Meloidogyne hapla, oleh karena itu tumbuhan tersebut sering ditanam sebagai pagar tanaman. Di samping semua itu banyak jenis gulma dapat digunakan untuk berbagai keperluan manusia seperti I. cylindrica (L.) Bauv. untuk pakan hewan ternak dan bahan atap rumah, Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak babi (Susiawaningrini et al., (1977), juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos (Ronoprawiro dan Soejono, 1977), media tanam jamur merang (Widyanto dan Setyawati, 1977), bahan baku kertas dan sumber selulosa (Suwardi, 1977), dan bahan baku industri kerajinan rakyat (Widyanto dan Soerjani, 1977). Di Kalimantan jenis gulma Scirpus grossus L.f. dan di Sumatra Scirpus mucronatus L. digunakan untuk pembuatan tikar dan tas (Soerjani et al., 1987).

Di samping itu banyak jenis gulma yang berkhasiat obat, di antaranya adalah: Achyranthes aspera L. (Sangketan (Jw) mengandung alkaloid akirantin, betain, okdisteron, triterpenoid, dan saponin) digunakan sebagai obat malaria dan radang paru-paru;

Page 7: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

7

Ageratum conyzoides L. (Bandotan (Jw) mengandung seskuiterpen, asam hidroksinat, steroid, alkaloid, kumarin, dan terpenoid) sebagai obat tumor rahim, asma, dan radang paru-paru; Alternanthera sessilis (L.) DC (Jeboran (Jw) mengandung saponin dan plavonoid) sebagai obat ambeien dan diare; Artemisia vulgaris L. (Lokat mala (Jw) mengandung santonin, artemisin, dan tauremisin) sebagai obat epilepsi, lemah syahwat dan memudahkan persalinan; Bidens pillosa L. (Ketulan (Jw) mengandung bidentin) sebagai obat hepatitis dan rematik; Blumea balsamifera (L.) DC (Sembung (Jw) mengandung borneol, sineol, limonen, dan dimetil eter khloroasetofenon) sebagai obat rematik, sakit jantung, dan nyeri haid; Centella asiatica (L.) Urb. (Pegagan (Idn.) mengandung glikosida triterpenoid, alkaloid hidrokotilin, steroid, dan tanin) sebagai obat hepatitis, wasir, dan ambeien; Clitoria ternate L. (Kembang teleng (Jw), mengandung saponin, flavonoid, dan alkaloid) sebagai obat bronkhitis dan pencuci darah; Cyclea barbata L. (Kepleng (Jw) mengandung siklein) sebagai obat demam dan hepatitis; Desmodium triquetrum (l.) DC (Gulu walang (Jw) mengandung asam silikat dan alkaloid) sebagai obat wasir dan pelancar air seni; Eclipta alba Hask (Orang-aring (Jw), mengandung alkaloid, nikotin, dan ekliptin) sebagi obat keputihan, diare, dan bronkhitis; Elephantopus scaber L. (Tapak liman (Jw) mengandung lupeol, stigmasterin, triakontanol, deoksi- elephantopin, isodeoksi-elephantopin, epifriedelinol, dan luteloin 7-glukosida) sebagai obat penyakit kuning, peluruh haid dan dahak; Euphorbia hirta L. (Krokot cina (Jw) mengandung marisil alkaloid, laraserol, hentriakontanol, dan komositin) sebagai obat eksem, herpes, dan dermatitis; Hedyotis corymbosa (L.) Lamk (Katepan (Jw) mengandung hentriakontan, stigmasterol, asam ursolat, asam oleonat, beta-sitosterol, p-asam kumarat, flavonoid, tanin, dan kumarin) sebagai obat kanker, nyeri buah zakar, dan tersiram air panas; Spilanthes acmela L. (Legetan (Jw) mengandung spilantol, spilantin, fitosterin, dan kholin) sebagai obat bronkhitis, tuberkolosis, dan asma; Hidrocotyle sibthorpioides Lamk. (Antanan lembut (Sd), mengandung kumarin dan heparin) sebagai obat asma, radang tenggorokan, dan sakit kuning; Lantana camara L. (Tembelek ayam (Jw) mengandung lantaden A, lantaden B, asam lantanolat, dan asam lantat) sebagai obat sakit gondong, asma, tuberkolosis, dan rematik; Leucas lavandulifolia

Page 8: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

8

Smith (Lenglengan (Jw) mengandung saponin, flavonoid, dan tanin) sebagai obat susah tidur, terlambat haid, dan jantung berdebar; Oxalis corniculata L. (Semanggi gunung (Jw) mengandung asam oksalat, b-karoten, viteksin, isoviteksin, dan viteksin 2-o-b-glukosida) sebagai obat hepatitis, hipertensi, dan peluruh haid; Peperomia pellucida Kth. (Seladaan (Jw) mengandung apiole, 2,4,5-trimetoksi stiren, kariofilen, akasetin, apigenin, pellusidatin, dan isoviteksin sebagai obat demam, sakit ginjal, dan luka terbakar; Phyllanthus niruri L. (Meniran (Jw) mengandung kuersitin, filantin, hipofilantin, pseudokhiratin, dan nirurin) sebagai obat sariawan dan pelancar air seni; Physalis minima L. (Ceplukan (Jw) mengandung fisalin, saponin, alkaloid, dan flavonoid) sebagai obat bronkhitis dan sakit buah pelir; Portulaca oleracea L. (Krokot (Jw) mengandung asam sikotinat, tanin, dan saponin) sebagai obat disentri, eksim, dan jantung berdebar; Sida rhombifolia L. (Sidagori (Jw) mengandung alkaloid, efedrin, tanin, flavonoid, leucoantosianidin, dan fitosterol) sebagai obat asma, rematik, dan tuberkolosis; Sonchus arvensis L (Tempuyung (Jw) mengandung flavanoid yaitu 7-o-glucosida dan apigenin-7-o-glukosida) untuk penggempur batu ginjal dan obat hipertensi; dan lainnya masih banyak. (Effendi, 1982; Soerjani et al., 1987; Tjitrosoepomo, 1994; Djauhariya dan Hernani, 2004).

Gulma dalam agroekosistem menimbulkan berbagai masalah yaitu berkompetisi dengan tanaman budidaya terhadap sumberdaya, mempersulit pemeliharaan tanaman, sebagai inang pengganti (alternate host) hama dan patogen penyebab penyakit tumbuhan, menurunkan kualitas dan kuantitas hasil tanaman sehingga mengakibatkan kerugian finansiil. Gulma agak lebih berbahaya dibandingkan insekta dan patogen, bersifat statis, menyusun komunitas bersama tanaman budidaya dan sering menjadi resisten terhadap herbisida (Kohli et al., 2001). Kehilangan hasil tanaman yang disebabkan oleh gulma sendiri hampir mencapai 12% dari total kehilangan hasil oleh organisme pengganggu tanaman (Anaya, 1999). Kehilangan hasil panen beberapa jenis tanaman pangan oleh gulma sangat bervariasi. Sebagai contoh penurunan hasil padi sawah oleh gulma antara 15-40%, padi gogo 47-87%, jagung 16-82%, kedelai 18-68%, dan ubikayu 6-62% (Sastroutomo, 1990). Di perkebunan penurunan produksi beberapa jenis tanaman oleh gulma juga

Page 9: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

9

bervariasi yaitu pada karet sebesar 5%, kakao 10%, kopi 15%, teh 9%, dan tebu 20%. Gangguan gulma secara langsung terhadap tanaman budidaya selain melalui kompetisi juga melalui alelopati. Beberapa jenis gulma yang menurunkan hasil tanaman melalui kompetisi dan alelopati di antaranya ialah Ageratum conyzoides L. (Kohli, 1997), Cyperus rotundus L.(Willianm and Warren, 1975), Datura stramonium L. (Levitt et al., 1984), Echinochloa crus-galli (L.) Beauv. (Bhowmik and Doll, 1979), dan Lantana camara L. (Singh et al., 1989; Arora and Kohli, 1993). Gulma juga dapat mengganggu tanaman budidaya secara tidak langsung yaitu menghambat irigasi, mengurangi persediaan air di waduk baik melalui transpirasi maupun sedimentasi, dan sebagai inang pengganti hama dan patogen penyebab penyakit tumbuhan. Beberapa contoh jenis gulma yang berperanan sebagai inang hama ialah Panicum repens L. sebagai inang serangga Leptocorica acuta dan jenis gulma Leersia hexandra Swartz. sebagai inang Orceolea oryzae yang menyerang padi, sedang jenis gulma Ageratum conyzoides L. sebagai inang virus Ruga tabaci yang menyerang tembakau, dan Eleusine indica L. sebagai inang jamur Pyricularia oryzae yang menyerang padi (Rukmana dan Saputra, 1999). Jadi jelas bahwa keberadaan gulma dalam agroekositem selain merugikan ada beberapa jenis yang berperanan menguntungkan. Sehubungan dengan itu pengelolaan gulma seharusnya dilakukan secara benar yaitu dalam melakukan pengendalian gulma hanya jenis-jenis yang benar-benar merugikan yang dibunuh sedang jenis-jenis yang berperanan positif harus dilestarikan.

Sejak diketahui bahwa keberadaan gulma dalam agroekosistem dapat menyebabkan penurunan hasil tanaman, maka manusia berusaha untuk mengendalikan gulma dengan berbagai cara. Dalam perkem-bangan teknologi, menurut Soerjani (1977) dan Mercado (1979), pengendalian gulma digolongkan menjadi dua kelompok yaitu pengendalian tanpa herbisida (non chemical methods) dan pengendalian dengan herbisida (chemical method). Pengendalian gulma tanpa herbisida meliputi cara pencegahan (prevention), cara mekanis (mechanical methods), cara hayati (biological method). dan cara kultur teknis (cultural methods). Cara pencegahan ialah suatu tindakan untuk menghalangi masuknya suatu jenis gulma ke suatu daerah atau lahan tertentu. Kegiatan karantina tumbuhan dengan

Page 10: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

10

tujuan untuk mencegah masuknya jenis-jenis tumbuhan dari negara lain yang kemudian berpotensi menjadi gulma berbahaya di Indonesia merupakan suatu cara yang tepat. Telah diketahui bahwa jenis-jenis gulma berbahaya di Indonesia banyak yang berasal dari negara lain seperti Alternanthera philoxeroides (Mart.) Griseb., Chromolaena odorata (L.) King & Robins, dan Paspalum conjugatum Berg. berasal dari Amerika Tropika, Celosia argentea L., Cleome rutidosperma DC. dan Paspalum commersonii Lamk. dari Afrika, Cyperus rotundus L., Hydrolea zeylanica (L.) Vahl., dan Echinochloa colonum (L.) Link dari India, Blumea tenella DC., Eleocharis philippinensis Svens. dan Melochia corchorifolia L. dari Malaysia, Mimosa invisa Mart.ex Colla, Polygala paniculata L., dan Eichhornia crassipes (Mart.) Solms dari Brazilia, Galinsoga parviflora Cav. dari Peru, Hyptis brevipes Poit. dari Mexico, Digitaria ciliaris (Retz.) Koel. dari Taiwan, dan masih banyak lagi (Soerjani et al., 1987). Dengan karantina tumbuhan, masuknya jenis gulma baru ke Indonesia dapat dicegah atau dikurangi. Suatu hal yang kurang disadari ialah peran pendidikan sebagai bagian penting dari cara pencegahan. Melalui pendidikan formal dan non formal dapat ditimbulkan pengertian yang benar tentang masalah gulma dan kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya memperhatikan gulma yang muncul di lahan pertanian.

Pengendalian gulma secara mekanis merupakan suatu tindakan merusak gulma secara fisik dengan alat-alat pertanian dari yang paling sederhana sampai modern (mempergunakan alat berat). Menurut Anderson (1977) pengendalian secara mekanis ini meliputi pembajakan (tillage), penyiangan (hand pulling), pendangiran (hoeing), pemotongan (mowing) atau pembabatan (slashing), dan pembakaran (burning) atau pelayuan (flaming). Penggunaan mulsa (mulching) untuk mengisolasi cahaya dan udara terhadap gulma termasuk juga dalam pengendalian mekanis. Pembajakan secara periodik dengan selang waktu 1-2 minggu dimaksudkan untuk membunuh kecambah gulma sehingga populasi biji gulma dalam tanah jauh berkurang. Lahan yang diolah intensif umumnya didominasi oleh jenis-jenis gulma semusim, sedang lahan yang dibiarkan terlantar dikuasai oleh jenis-jenis gulma tahunan. Penyiangan dan pendangiran hanya efektif untuk membunuh gulma

Page 11: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

11

semusim, sedang pembabatan gulma secara periodik selang 3-4 minggu biasa dilakukan di perkebunan ditujukan untuk menguras makanan cadangan yang disimpan dalam organ perbanyakan vegetatif dalam tanah. Dengan demikian gulma tahunan akan dihambat pertumbuhannya dan akhirnya mati. Cara pembakaran banyak dilakukan di lahan bukaan baru dalam rangka persiapan tanam. Biasanya didahului dengan pembabatan gulma kemudian dibiarkan berserakan, setelah kering baru dibakar. Pelayuan biasanya mempergunakan semburan api dengan alat flame gun dan bahan bakar propan, butan atau solar. Pada suhu 45o-50oC sel-sel gulma akan rusak dan mati karena protoplasmanya mengalami koagulasi. Kelemahan cara ini tidak mematikan organ perbanyakan gulma di dalam tanah. Pemberian mulsa di antara baris tanaman ditujukan untuk membunuh gulma secara fisik dan mencegah perkecambahan biji gulma karena tidak mendapatkan cahaya dan oksigen. Dengan demikian tanaman budidaya akan terhindar dari gangguan gulma.

Pengendalian hayati (biological control) pertama kali dikemukakan oleh Smith, 1919 cit. Sukman dan Yakup (1991), dalam arti sempit yang dimaksud pengendalian hayati ialah penggunaan musuh alami baik yang diintroduksi maupun yang sudah ada di suatu daerah kemudian dikelola agar penekanan terhadap populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) sasaran meningkat. Sebagai contoh pengendalian hayati untuk jenis gulma Lantana camara L. digunakan ulat Plusia verticillata, larva Crocidosema lantanae, dan lalat biji Agromyza lantanae. Jenis gulma Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. dikendalikan dengan jamur parasit Myrothecium roridum, Alternaria eichorniae, dan Rhizoctonia solani. Jenis serangga Orseoliella javanica untuk mengendalikan I. cylindrica (L.) Bauv., sedang Bactra trunculata dan B. verutana untuk mengendaliakan C. rotundus L. (Frick & Garcia, 1975; Sukman dan Yakup, 1991).

Dalam perkembangannya arti pengendalian hayati diperluas ialah penggunaan beberapa bentuk kehidupan untuk mengatasi bentuk kehidupan lain yang menimbulkan kerugian (Ordish, 1967). Atas dasar pengertian ini penggunaan tanaman kacangan penutup tanah atau Legume Cover Crops (LCC) di perkebunan sering dimasukkan ke dalam pengendalian hayati. Mengingat ketahanan tiap jenis tanaman

Page 12: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

12

kacangan penutup tanah terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim berbeda-beda, maka dalam praktek penanaman tanaman penutup tanah kacangan dilakukan secara campuran. Dengan demikian sepanjang daur hidup tanaman utama, lahan selalu tertutup tanaman kacangan sehingga gulma tidak diberi kesempatan untuk tumbuh. Sebagai contoh penanaman tanaman kacangan penutup tanah secara campuran pada karet digunakan C. pubescens, C. mucunoides dan P. javanica dengan perbandingan 2:2:1 (Anonim, 1992), sedang pada kelapa sawit, penanaman P. javanica, C. pubescens, dan Psophocarpus palustris dengan perbandingan 1:2:2 dibutuhkan benih 10 kg/ha (Setyamidjaja, 1991) atau P. javanica, Psophocarpus palustris, dan Centosema pubescens dengan perbandingan 1:8:12 digunakan benih 21 kg/ha (Sukman dan Yakup, 1991). Dalam arti sempit pengendalian hayati pada gulma menggunakan musuh alami berupa binatang mamalia, ikan (untuk gulma air), serangga, binatang lunak (molusca), tungau, dan jamur. Kesulitan pengendalian hayati ialah penelitian tentang jenis-jenis bio-agen yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma di Indonesia kemajuannya sangat lambat. Beberapa jenis patogen telah dikembangkan menjadi herbisida mikobial (mycoherbicide). Sebagai contoh Colletotrichum gloeosporioides sp. aeschynomene telah berhasil digunakan sebagai mikoherbisida dengan nama dagang College-TM untuk mengenda-likan jenis gulma kacangan Aeschynomene virginica yang merupakan gulma penting di Arkansa Timur. Strain jamur Phytophthora palmivora telah dikembangkan pula menjadi mikoherbisida dengan nama dagang Devine untuk mengendalikan jenis gulma Morrenia odorata pada kebun jeruk di Florida, (Sukman dan Yakup, 1991).

Pengendalian kultur teknis merupakan cara pengendalian dengan menggunakan praktek budidaya tanaman. Prinsip pengen-dalian secara kultur teknis ialah memodifikasi kondisi lingkungan agar memacu pertumbuhan tanaman tetapi menghambat pertumbuhan gulma. Dalam praktik, tanaman budidaya selalu mendapat perhatian yang utama, yaitu varietas tanaman dipilih yang unggul, benih disortasi, media tanam diolah bersih, jarak tanam diatur optimum, kebutuhan air dan hara dipenuhi, sedang gulma tidak pernah mendapatkan perlakuan yang baik. Dengan demikian tanaman akan tumbuh cepat dan tajuk daun relatif lebih cepat menguasai ruang

Page 13: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

13

tumbuh, akibatnya pertumbuhan gulma tertekan. Pengendalian kultur teknis ini disebut juga pengendalian secara ekologis karena menggunakan prinsip-prinsip ekologi untuk mengatur lingkungan sedemikian rupa sehingga mendukung pertumbuhan tanaman tetapi merugikan bagi pertumbuhan gulma. Cara pengendalian kultur teknis telah memiliki fasilitas cukup dan sumber daya alam memadai, sehingga memungkinkan petani melaksanakannya.

Pergiliran tanaman (crop rotation) dan bertanam secara tumpang gilir (multiple cropping) sebenarnya juga termasuk pengendalian gulma secara kultur teknis. Penanaman satu jenis tanaman secara beruntun (sequential cropping) mengakibatkan akumulasi gulma menjadi lebih banyak. Sebagai contoh pada padi sawah yang ditanam terus-menerus, jenis-jenis gulma yang menyukai genangan air akan semakin banyak. Berbeda dengan pergiliran tanaman, setelah padi sawah dipanen berikutnya ditanami kedelai, maka gulma yang semula mengganggu padi tidak akan mengganggu kedelai karena tidak tumbuh di lahan yang tidak tergenang air. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa jenis gulma dominan mempunyai kesamaan sifat dengan tanaman yang diikuti. Sebagai contoh jenis gulma dominan pada tebu adalah Cyperus rotundus L., keduanya termasuk tumbuhan yang mengikuti jalur fotosintesis C4, sedang jenis-jenis gulma dominan yang mengikuti tanaman kacangan seperti kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau adalah gulma daun lebar seperti Ageratum conyzoides L., Phyllanthus urinaria L., Cyanotis axillaris (L.) Sweet, Lindernia viscosa (Hornem.) Bold., Synedrella nudiflora (L.) Gaertn., dan Oldenlandia corymbosa L. yang semuanya merupakan gulma semusim (Soejono, 2005). Jenis-jenis tanaman kacangan dan jenis-jenis gulma daun lebar tersebut merupakan tumbuhan yang mengikuti jalur fotosintesis C3. Penanaman dua jenis tanaman yang berbeda secara tumpangsari (intercropping) selain dapat menekan pertumbuhan gulma juga dapat merubah komposisi jenis gulma, yaitu jenis gulma yang semula dominan pada pertanaman tunggal menjadi tidak dominan pada pertanaman tumpangsari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cyperus rotundus L. yang merupakan jenis gulma tahunan dan sulit dikendalikan ternyata tumbuh dominan pada tebu monokultur, tetapi menjadi tidak dominan pada tebu tumpangsari dengan tanaman kacangan. Jenis-jenis gulma yang

Page 14: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

14

tumbuh dominan pada tebu tumpangsari adalah gulma daun lebar semusim. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada pertanaman tumpangsari, tanaman kacangan di samping tidak menurunkan hasil tebu juga dapat merubah jenis gulma dominan tahunan yang sulit dikendalikan menjadi gulma daun lebar semusim yang mudah dikendalikan dengan penyiangan (Soejono, 2005).

Pengendalian gulma secara kimiawi dengan herbisida banyak diminati terutama pada lahan pertanian yang cukup luas karena lebih efektif dan efisien dibandingkan cara mekanis. Menurut Soerjani (1988) dampak pengendalian gulma dengan herbisida ada dua pendapat yang berbeda. Golongan pertama adalah yang berpandangan optimis yang jumlahnya sangat terbatas. Golongan ini berpendapat bahwa pestisida (baca: herbisida) umumnya bersifat sesaat dan setempat (Mc Ewen & Stephenson, 1979 cit. Soerjani, 1988). Keadaannya tidak cukup stabil untuk menyebar dalam biosfir tanpa batas dan dalam waktu lama. Bila ada dampak drastis yang ditimbulkan terhadap hama (baca: gulma) maka dampak itu sesaat dan lokal. Hal ini didukung oleh re-populasi hama (gulma) dalam waktu yang tidak cukup lama, sehingga perlakuan berikutnya diperlukan lagi (secara berulang-ulang). Ini tidak berarti dampak negatif pengendalian secara kimiawi diabaikan. Yang dianggap paling penting adalah DDT dan metabolitnya (DDE) serta dieldrin mengingat sifatnya yang persisten dan penyebarannya cukup luas baik dalam lingkungan fisik (air, udara, dan tanah) maupun lingkungan biotik. Golongan kedua adalah yang berpandangan pesimis (bahkan kadang-kadang skeptis) yang berpendapat sebaliknya. Menurut Freed dan Haque, 1975 cit. Soerjani (1988), walaupun pestisida (herbisida) mengalami degradasi tetapi derivatnya seringkali tidak diketahui secara tepat susunan kimianya dan peranan yang sebenarnya dalam lingkungan juga sangat sedikit diketahui. Di samping itu melalui tanah, air, dan udara serta komponen biotik, residu yang sedikit itu ternyata mampu menyebar jauh lewat udara, ada yang sampai ratusan kilometer dan dampak yang sesungguhnya belum diketahui secara pasti.

Dalam melakukan pengendalian gulma secara kimiawi, yang perlu dipertimbangkan ialah dampak terhadap organisme bukan sasaran seperti predator dan parasitoid hama serta jenis-jenis gulma yang digunakan sebagai tumbuhan inangnya. Cara ini dalam konsep

Page 15: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

15

pengendalian hama terpadu termasuk pendekatan terpadu horizontal yaitu merupakan integrasi disiplin lintas terhadap pendekatan pengelolaan hama dengan mempertimbangkan masalah hama dalam kaitan timbal baliknya dengan semua unsur dalam ekosistem (Soerjani & Motooka, 1975). Jadi pengendalian gulma secara terpadu horizontal merupakan penerapan suatu cara pengendalian gulma dengan memperhatikan lingkungan baik teknis, ekonomi, hayati maupun sosial budaya. Lingkungan teknis, bila dalam pengendalian gulma digunakan sprayer maka tenaga penyemprot harus tahu teknik aplikasinya. Lingkungan ekonomi, bila digunakan herbisida yang harganya mahal, jangan dianjurkan kepada petani kecil walaupun herbisida tersebut sangat efektif. Lingkungan hayati, dalam mengendalikan gulma seharusnya jenis-jenis yang berperanan sebagai tumbuhan inang musuh alami hama tidak dibunuh. Lingkungan sosial budaya, bila dalam pengendalian gulma secara hayati digunakan babi, jangan melepaskan binatang tersebut di sembarang tempat. Di samping terpadu horizontal juga dikenal pengendalian gulma secara terpadu vertikal yaitu memadukan beberapa cara pengendalian gulma agar hasilnya lebih baik daripada cara tunggal. Cara ini banyak dilakukan di perkebunan kelapa sawit dan karet. Di perkebunan karet dipadukan cara preventif (persiapan lahan secara bersih), cara mekanis (pengolahan tanah, pembabatan gulma secara periodik), kultur teknis (klon unggul dengan jarak tanam optimum), hayati (penanaman tanaman kacangan penutup tanah), bahkan sering dipadu dengan cara kimia dengan herbisida.

Pemberantasan (eradication) gulma secara total hendaknya dihindari. Gulma seharusnya dikelola secara benar, hanya jenis-jenis gulma yang berbahaya dan betul-betul merugikan (noxious weed) yang dibunuh, sedang jenis-jenis yang berperan positif (sebagai penyubur tanah, inang predator atau parasitoid hama) hendaknya dilestarikan. Jenis-jenis gulma lunak (solf weed) justru diperlukan peranannya dalam relung multidimensional, pengaruhnya terhadap pH, suhu, lengas, dan struktur tanah mungkin justru menguntungkan tanaman budidaya.

Pengaruh langsung herbisida terhadap manusia terjadi sejak proses pembuatan di pabrik yaitu terhadap pekerja dalam pengangkutan, penyimpanan sampai aplikasi di lapangan, bahkan

Page 16: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

16

melalui pencemaran hasil pertanian, air dan udara. Di Indonesia menurut data yang terkumpul kecelakaan terjadi karena kesalahan dalam aplikasi insektisida, hanya sedikit sekali yang disebabkan herbisida. Dalam upaya pengamanan terhadap penggunaan pestisida (herbisida) diperlukan informasi tentang toksisitas herbisida tehadap manusia, juga pengaruhnya terhadap binatang piaraan dan organisme yang bermanfaat. Dampak negatif penggunaan herbisida yang lain ialah timbul resistensi (ketahanan) gulma sasaran. Resistensi gulma terjadi bila respon gulma terhadap perlakuan herbisida menurun karena pengaruh perlakuan sebelumnya. Untuk membunuh jenis gulma resisten ini diperlukan dosis herbisida yang lebih tinggi, tetapi akan berakibat biayanya bertambah mahal dan risiko pencemaran menjadi lebih tinggi. Penggunaan herbisida non selektif yang dapat membunuh semua jenis tumbuhan sebaiknya dihindarkan, karena jenis-jenis gulma yang berperanan sebagai inang musuh alami hama terbunuh demikian pula jenis-jenis tumbuhan liar yang belum diketahui manfaatnya ikut terbunuh. Dengan demikian sumberdaya genetik yang sebenarnya sangat diperlukan hilang.

Sebagai akhir dari uraian saya, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan pengelolaan gulma ialah:1) Upaya pengendalian gulma perlu mendapat dukungan studi ilmiah dan pengembangan teknologi. Perlu ada kerjasama antarpakar ilmu gulma dan penyuluh lapangan agar penemuan ilmiah dapat dirumuskan secara sederhana sehingga mudah dilaksanakan oleh petani. 2) Herbisida terutama yang ramah lingkungan tetap merupakan sarana penting dalam pengelolaan gulma, asal digunakan menurut batas dan sesuai anjuran sehingga tidak mengkontaminasi makanan dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. 3) Perlu ada agenda penelitian ilmu gulma yang holistik yang disusun bersama dan diketahui oleh semua pakar ilmu gulma, guna mempertajam orientasi penelitian yang strategis, tidak tumpang tindih tanpa makna, tetapi efektif dan efisien. Perlu dikembangkan herbisida formulasi lepas-terkendali dengan formulasi karet serta lateks yang diradiasi sehingga penggunaan herbisida lebih efektif dan efisien (Soerjani, 1987). Perlu dilakukan eksplorasi dan evaluasi kemungkinan pengembangan herbisida mikrobial dan herbisida alelokhemikal untuk memperoleh herbisida yang lebih selektif. Efiksi, patogenitas, dan toksisitas herbisida

Page 17: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

17

mikrobial dapat ditingkatkan dengan menggunakan transformasi atau rekombinasi DNA. Upaya lain adalah memanfaatkan jenis-jenis gulma yang resisten terhadap perlakuan herbisida tertentu melalui rekombinasi DNA, kultur sel atau fusi sel dipindahkan sifat resistensinya ke tanaman budidaya. Dengan demikian akan diperoleh tanaman yang tahan terhadap herbisida. Demikianlah akhir dari uraian saya.

Page 18: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

18

DAFTAR PUSTAKA

Akobundu, I.O., 1983 No Tillage and Weed Control in the Tropics.

dalam No Tillage Crop Production in the Tropics. Anaya, A.L., 1999. Allelopathy as a Tool in the Management of Biotic

Resources. Critical Reviews in Plant Science 18: 697-739 Anderson, W.P., Weed Science: Principles. West Publishing Co.

USA. 598 p. Anonim, 2001. Kamus Pertanian Umum. PT. Balai Pustaka, Jakrta. Anonim, 1992. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000 Budidaya dan

Pengolahannya. Penebar Swadaya. 366 p. Arora, R.K. and R.K. Kohli, 1993. Autotoxic Impact of Essential Oils

Extracted from Lantana camara L. Biologia Plantarum 35: 293-297

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. 290 p. Bhowmik, P.C. and J.D. Doll, 1979. Evaluation of Allelopathic Effect

of Selected Weed Species on Corn and Soybeans. Proc. North Central Weed Control Conf. 34: 43-45

Burnch,1990. Low Input Soil Restoration in Honduras; the Cantarranas Farmer to Farmer Extention Programme. Gatekeeper Series 23 London Second Ed.

Cobb, A., 1992. Herbicides and Plant Physiology. London.: Chapman and Hall.

Conway, G.R. and E.B. Barbier, 1990. After Green Revolution, Sustainable Agriculture Development. Earthscan Publi- cation, London Chapman and Hall.

Djauhariya, E. dan Hernani, 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Penerbit Swadaya, Jakarta. 128 p.

Effendi, S., 1982. Ensiklopedi Tumbuh-tumbuhan Berkhasiat Obat yang Ada di Bumi Nusantara. Penerbit Karya Anda, Surabaya.

FAO, 1989. “Sustainable Agriculture Production: Implications for International Agriculture Research” dalam: FAO Research and Technology Paper 4, Rome, Italy.

Page 19: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

19

Frick, K.E. and C. Garcia Jr., 1975. Bactra verutana as biological control agent for purple nutsedge. Ann. Entomol. Sos. Am., 68 : 7-14.

IRRI, 1988. The Role of Green Manure Crops in Rice Farming Symtem. Green Manure in Rice Farming. Proc. of a Symposyum on Sustainable Agriculture. Los Banos, Philippines.

King, L.J., 1974. Weeds of the World, Biology and Control. First Wiley Eastern Reprint, 1974. Printed in India. 526

Kohli, R.K., 1997. Ageratum Caused Threat Plant Diversity. Project Report India.

Kohli, R.K., H.P. Singh, and D.R. Batish, 2001. Allelopathy in Agroecosystem. Journal Crop Production 4(2) The Haworth Press, Inc.

Mangoensoekarjo, 1983. Gulma dan Cara Pengendalian pada Budidaya Perkebunan. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Mercado, B.I., 1979. Introduction to Weed Science. SEARCA, College, Laguna, Philippines. 292 p.

Milton, F.B., 1989. Velvet bean: an alternative to Impofe small Farmers Agriculture. ILEIA Newsletter 5(2):8-9

Natawigena, H., 1990. Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Control). CV.Armico, Bandung. 144 p.

Prinz, D., 1986. Increasing the Productivity of Smallholder Farming System by Introduction panted fallows. Plant Research and Development 24: 31-56

Rukmana, H.R. dan U.S. Saputra, 1999. Gulma dan Teknik Pengendalian. Kanisius, Yogyakarta. 88 p.

Salikin, K.A., 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta. 126 p.

Sauerborn, J., 1999. Legumes Used for Weed Control in Agroecosystems in the Tropics. Plant Research and Development. 50: 74-82

Singh M., R.V. Tamma, and H.N. Nigg, 1989. HPLC Identivication of Allelopathic Compound from Lantana camara. Journal of Chemical Ecology 15: 81-89

Page 20: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

20

Soejono, A.T., 2005. Tumpangsari Tebu Lahan Kering dengan Beberapa Jenis Tanaman Palawija Kaitannya dengan Pertumbuhan Gulma dan Hasil Tanaman. Universitas Gadjah Mada, Disertasi.

Soerjani, M. and P. Motooka, 1975. Integrated Approaches in Weed Control. Workshop on Res. Meth. in Weed Science. Bandung.

______ , 1977. Weed Management and Weed Science Development in Indonesia. Proc. VI th APWSS Conf.

______ , 1986. Arah Pengelolaan Gulma di Waktu Mendatang dalam Kaitannya dengan Wawasan Lingkungan. Konverensi VIII HIGI di Bandung.

______ , 1987. Formulasi Herbisida Lepas Terkendali: Suatu Upaya Efikasi dan Efisiensi. Lingkungan dan Pembangunan 7: 1-5

______ , A.J.G.H. Kostermans, and G. Tjitrosoepomo, 1987. Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. 716

______ , 1988. Peranan Gulma dalam Pengelolaan Lingkungan. Konperensi XI HIGI di Bogor.

Ronoprawiro, S., 1991. Pemanfaatan Gulma Sebagai Salah Satu Pilihan Cara Pengendalian Gulma. Pidato Dies Natalis V atau Pancawarsa I Universitas Wangsa Manggala.

Ronoprawiro, S., dan T. Soejono, 1977. Kemungkinan Penggunaan Gambut Rawa Pening sebagai Pupuk pada Tanaman Pertanian. Laporan Penelitian Rawa Pening. Seameo Biotrop-Dep-PUTL, p: 41-47

Sastroutomo, S.S., 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta . 217 p.

Soewardi, B., G. Tjitrosoepomo and S. Wirjahardja, 1977. Alternative Control through Utilization of Weeds by Farmers. Workshop on Weed Control in Small Scale Farms. Biotrop-WSSI-APWSS, Jakarta.

Susiawaningrini, D.P., E. Hartijanto, dan M. Thohari, 1977. Enceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solm.) sebagai Hijauan Makanan Ayam dan Babi. Laporan Penelitian Rawa Pening. Seameo Biotrop-Dep-PUTL, p: 78-88

Tjitrosoepomo, G., 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 447 p.

Page 21: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. a. Toekidjan Soejono

21

Widyanto, L.S. dan O. Setyowati, 1977.Enceng Gondok sebagai Media Penanaman Jamur Merang. Laporan Penelitian Rawa Pening. Seameo Biotrop-Dep-PUTL, p: 89-101

William, R.D. and G.F. Warren, 1975. Kompetition between Purple Nutsedge and Vegetables. Weed Science 23: 317-323

Reijntjes, C., Haverkrt, B., and A.W. Bayer, 1999. Farming for the Future, an Introduction to Low External –Input and Sustainable Agriculture (Pertanian Masa Depan, Pengantar Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, alih bahasa Y. Sukoco). Kanisius, Yogyakarta.

Sukman, Y. dan Yakup, 1991. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. CV. Rajawali, Jakarta 157 p.