pidato pengukuhan prof. dr. warsito utomo

25
ADMINISTRASI PUBLIK INDONESIA DI ERA DEMOKRASI LOKAL Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Dr. Warsito Utomo

Upload: afi-nurani

Post on 21-Nov-2015

194 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Merupakan pidato yang diucapkan oleh Prof. Warsito dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Administrasi Publik UGM

TRANSCRIPT

  • ADMINISTRASI PUBLIK INDONESIA DI ERA DEMOKRASI LOKAL

    Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Gadjah Mada

    Oleh: Prof. Dr. Warsito Utomo

  • 2

    ADMINISTRASI PUBLIK INDONESIA DI ERA DEMOKRASI LOKAL

    Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Gadjah Mada

    Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

    pada tanggal 26 Februari 2005 di Yogyakarta

    Oleh:

  • 3

    Pidato Pengukuhan Guru Besar ini tidaklah terlalu menekankan pada pembahasan konsep teoritik abstraksi, tetapi lebih bernuansa implementasi atau operasionalisasi dari konsep Administrasi Negara atau Administrasi Publik. Hal ini tidak berarti bahwa saya mengabaikan konseptualisasi Ilmu Administrasi Publik, tetapi dalam situasi saat ini munculnya tuntutan dan tekanan yang nampaknya lebih pada bagaimana konsep Administrasi Publik yang telah dikembangkan selama ini dapat diterapkan (applicable). Tuntutan ini relevan dengan yang terjadi di Indonesia dimana ketika demokratisasi tidak saja merasuk pada implementasi politik dan pemerintahan tetapi juga pada penerapan Administrasi Publik. Saat ini Administrasi Publik tidak lagi sebagai agen tunggal dari pemerintah sehingga tuntutan yang muncul adalah bagaimana Administrasi Publik dapat mengoperasionalkan dirinya dalam nuansa demokrasi lokal atau otonomi. Tuntutannya adalah bagaimana formulasi dan implementasi Administrasi Publik yang bernuansa pada kewenangan yang dimiliki oleh daerah. Tetapi juga bagaimana kewenangan pusat dan daerah berdampingan melaksanakan fungsi Administrasi Publik dengan sektor atau komponen swasta dan masyarakat. Prolog

    Saya akan mengawali Pidato Pengukuhan dengan memaparkan pengalaman yang selama ini saya peroleh perihal bagaimana orang awam dan profesional serta akademisi memandang, mengartikan dan memaknai Administrasi Negara atau Administrasi Publik. Di tahun 70-an sebagai Dosen dengan pangkat Asisten Muda, saya telah dilibatkan dalam kegiatan wawancara dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Pertanyaan yang saya ajukan kepada para calon mahasiswa pada waktu itu; "Mengapa Saudara memilih untuk menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara?", jawaban yang selalu saya terima adalah: karena saya menyukai pekerjaan tulis-menulis, surat menyurat dan ketik mengetik. Di tahun 80-an pertanyaan yang sama saya ajukan kepada sejumlah calon mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, dan jawabannya adalah: karena ingin menjadi pegawai negeri.

    Di tahun 90-an pertanyaan yang sama saya ajukan pula, maka jawabannya adalah: ingin bergerak dalam pelayanan publik. Di tahun

  • 4

    2000-an pertanyaan yang sama saya ajukan lagi maka sungguh mengherankan jawabannya adalah: pokoknya dapat untuk bekerja.

    Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya perubahan yang terjadi di dalam keberadaan politik, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berubahnya pula jawaban dari tahun ke tahun, tetapi sungguh ironis sekali bahwa selama lebih kurang 30 tahun, Administrasi Negara atau Administrasi Publik hanyalah dimengerti sebagai pekerjaan tulis menulis, surat menyurat, ketik mengetik ataupun sekedar jembatan untuk menjadi Pegawai Negeri atau bahkan sekedar alat untuk mencari pekerjaan. Dalam hal ini makna atau isi kompetensi Administrasi Publik atau Administrasi Negara menjadi terkaburkan. Disatu sisi Administrasi Publik bermakna "administrasi ketatausahaan", di sisi lain bermakna "kaitan dengan pemerintahan atau negara" dan di sisi yang lain bermakna "general atau apa saja". Temuan Empirik

    Dari berbagai temuan empirik yang berkenaan dengan profesi ilmu-ilmu sosial, khususnya yang termasuk di dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan lebih khusus lagi Ilmu Administrasi (Administrasi Negara) nampak bahwa ilmu-ilmu sosial tersebut belum berkedudukan dan berperan "sehebat" ilmu eksakta atau ilmu yang berkaitan dengan teknologi. Ilmu Sosial masih dianggap sebagai faktor pendukung atau faktor penunjang dan bahkan sering terkena akibat atau dampak dari kemajuan ilmu-ilmu eksakta atau teknologi.

    Dianalisis dari jumlah kelulusan Strata 1 (S1) tanpa memandang disiplin ilmunya yang tercatat sebagai pencari kerja di Depnaker, di tahun 1994, mencapai 217.180 pelamar dan yang tertampung untuk bekerja hanyalah sebesar 75.470. Sedang di tahun 1995, pencari kerja 218.473 dan yang tertampung kerja hanyalah 80.120. Ini menunjukkan bahwa peluang kerja bagi lulusan S1 hanyalah sebesar 35% dari seluruh lulusan Perguruan Tinggi (Kompas, 6 November 1996). Sementara itu apabila kita ikuti analisis Payaman Simanjuntak (1996) yang menyatakan bahwa lulusan program studi ilmu-ilmu sosial lebih banyak dibandingkan dengan lulusan program studi ilmu-ilmu eksakta dan teknologi, maka dapat diperkirakan berapa jumlah pengangguran para sarjana lulusan program ilmu-ilmu sosial dari sisa 65% tersebut.

  • 5

    Mengikuti kebijakan Pengembangan Pendidikan Perguruan Tinggi yang antara lain meningkatkan jumlah mahasiswa bidang teknik dari 14% menjadi 25% serta perubahan komposisi mahasiswa di PTN bidang teknik : eksakta lainnya : ilmu-ilmu sosial pada saat ini 14% : 19% : 67% menjadi 45% : 30% : 25% pada tahun 2020, maka dapat diperkirakan juga bagaimana kebutuhan tenaga kerja dari bidang program ilmu-ilmu sosial (Dirjen Pendidikan Tinggi, 1996). Di dalam implementasinya alokasi pengangkatan dosen dan teknisi tahun anggaran 1996/1997 di UGM dari ilmu sosial dan ilmu politik hanyalah berjumlah 2 dari 59 tenaga, berarti hanyalah 3%.

    Apabila dianalisis dari kebutuhan tenaga sarjana keatas yang dibutuhkan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia untuk tahun anggaran 1996/1997 yang berjumlah 608, maka sarjana ilmu sosial dan ilmu politik khususnya ilmu administrasi negara, hanyalah dibutuhkan 2 orang yang berarti hanya 0,3% (Dept. Keuangan, 1996). Dari hasil penelitian penelusuran Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM (1993) terungkap bahwa 62% alumni bekerja di departemen-departemen pemerintahan dan pekerjaan atau kedudukan yang menjadi tugasnya adalah sebagai staf kantor administrasi, jadi kecenderungan macam pekerjaan yang bersifat teknis saja yang kebanyakan berhubungan dengan tata warkat dan manajemen administrasi perkantoran.

    Dari hasil penelitian komprehensif di tahun 2004 yang dilakukan oleh Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik terhadap Alumninya, maka diperoleh data yang berkaitan dengan jenis pekerjaan sebagai berikut: sekitar 50% dari para alumni berada di bidang perusahaan atau organisasi swasta, hanya 4,5% di instansi pemerintah, sedang sisa lainnya bekerja di LSM, BUMN, Penerbit, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian dan lain sebagainya. Apabila dianalisis dari segi kedudukan yang mereka jabat maka lebih kurang 65,7% hanyalah sebagai staf biasa (Wibawa, 2004). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah diperlukan penemuan kembali pengertian dan makna Ilmu Administrasi Publik atau Administrasi Negara itu? Apakah yang menjadi ruang lingkupnya, serta kompetensi apa yang dihasilkan atau dipersyaratkan? Bagaimana pula dengan kompetensi Administrasi

  • 6

    Publik di Era Demokrasi Lokal? Bagaimana konsep, formulasi dan implementasi Administrasi Publik disesuaikan dengan keberadaan daerah?

    Perubahan Paradigma: Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik.

    Dalam perkembangan konsep Ilmu Admnistrasi Negara maka

    telah terjadi pergeseran titik tekan dari Administration of Public dimana Negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi Negara/ Pemerintahan; Administrastion for Public yang menekankan fungsi Negara/Pemerintahan yang bertugas dalam Public Service; ke Administration by Public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi Negara/Pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the driver seat. Dimana determinasi Negara/Pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama atau sebagai driving forces.

    Dalam hal ini sesungguhnya juga telah terjadi perubahan makna public sebagai Negara, menjadi public sebagai Masyarakat. Bukan lagi terlalu berorientasi kepada aktivitas oleh negara, tetapi menjadi oleh, untuk dan kepada masyarakat. Approach atau pendekatan tidak lagi kepada negara tetapi lebih kepada masyarakat atau Customer's Oriented atau Customer's Approach. Dan hal ini juga sesuai dengan tuntutan perubahan dari government yang lebih menitik beratkan kepada "otoritas"' menjadi governance yang menitikberatkan kepada "kompatibilitas" di antara para aktornya yaitu: State (Pemerintah); Private (Sektor Swasta) dan Civil Society (Masyarakat Madani).

    Proses, sistem, prosedur, hierarchi atau lawfull state tidak lagi merupakan acuan yang utama meskipun tetap perlu diketahui dan merupakan skill. Tetapi results, teamwork, fleksibilitas haruslah lebih dikedepankan, disebabkan oleh tekanan, pengaruh, adanya differen-tiated public demand. Sedangkan sebagai seorang Administrator atau mereka yang mendalami Administrasi Publik dituntut untuk memiliki pengetahuan, skill, kemampuan, profesionalism, kapabilitas untuk me-ngembangkan konsep organisasi dan manajemen serta mengorganisir dan memenej aktivitas dan infrastruktur dalam memahami tuntutan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Itulah sebabnya

  • 7

    mengapa mereka ini dituntut untuk tidak saja memiliki responsibility dan accountability tetapi juga harus memiliki responsiveness, transparancy, integrity dan impartiality.

    Dari apa yang telah diuraikan di muka tidaklah berarti bahwa Administrasi Publik (Negara) melepaskan diri atau terlepas sama sekali dari kehidupan atau permasalahan Negara. Meskipun Administrasi Negara (Publik) tidak lagi didasarkan pada Paradigma I "when politic ends administration begins", tetapi tidaklah berarti tak terkait atau dikaitkan dengan Negara atau Pemerintahan. Di dalam kurikulum Administrasi Publik, maka Negara, Politik, Pemerintah, Pemerintahan, Hukum, Kebijakan/Policy, Sosiologi masih tetap merupakan unsur yang penting sebagai pokok dasar untuk mendalami konsep-konsep kekhususan Administrasi Publik. Barulah kemudian pendalaman unsur-unsur Organisasi dan Manajemen yang kemudian dikaitkan dengan tuntutan, tantangan baik internal maupun eksternal dalam kerangka membangun, membentuk kompetensi sistem Administrasi Publik dan Figur Administrator. Tuntutan Global Administrasi Publik

    Saat ini kita mengalami situasi upheaval dan turbulance yang

    menghendaki adanya interrelations dan interdependence antar komponen yang kesemuanya disebabkan adanya kompetisi yang semakin kompleks. Baik organisasi maupun negara dan pemerintahan harus dapat mengantisipasi hal ini agar dapat melangsungkan kehidupan dan kegiatannya dan juga dapat tetap survive dalam menghadapi perubahan yang pesat ini, bahkan dapat mempercepat perkembangan atau pembangunannya.

    Era globalisasi, informasi dan perdagangan bebas dan dengan terbentuknya kesepakatan dan persekutuan di dalam GATT, CER, AFTA, NAFTA, dan APEC mengindikasikan percepatan proses meliberalisasikan aktivitas di dalam bidang perekonomian dan perdagangan yang pada hakekatnya dengan sendirinya akan mempengaruhi aktivitas di bidang lainnya.

    Profesionalisme menjadi fokus tuntutan yang diutamakan, dalam hal ini termasuk di dalamnya komponen-komponen birokrasi, khususnya sistem administrasi (administrasi publik), agar dapat

  • 8

    menanggapi adanya perubahan tersebut di muka dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Birokrasi atau sistem administrasi yang lebih menitikberatkan kepada COP (Control, Order and Prediction) harus dengan cepat merubah dirinya dan menjadi birokrasi atau sistem administrasi sebagai komponen atau institusi "modal intelektual" yang berorientasi atau bertitik tekan kepada ACE (Alignment, Creativity and Empowerment).

    Untuk itulah mengapa Osborne dan Gaebler mengemukakan perlunya penyesuaian atau peninjauan atau pemikiran ulang terhadap peran dan kedudukan birokrasi atau sistem administrasi negara di dalam rangka menghadapi upheaval dan turbulance di muka. Untuk itulah mereka menguraikan sepuluh pokok pemikiran sebagai berikut:

    Most entrepreneurial governments promote competetion between service providers. They empower citizens by pushing control out of the bureaucracy, into the community. They measure the performance of their agencies, focusing not on inputs but on outcomes. They are driven by their goals - their missions - not by their rules and regulations. They redefine their clients as customers and offer them choices ...... They prevent problems before they emerge, rather than simply offering services afterward. They put their energies into earning money, not simply spending it. They decentralise authority, embracing participatory management. They prefer market mechanisms to bureaucratic mechanisms. And they focus not simply on providing public services, but on catalysing all sectors - public, private and voluntary - into action to solve their community's problems (Osborne and Gaebler, 1992). Pertanyaan yang perlu diketengahkan dan kemudian perlu

    dicarikan jawabnya adalah: bagaimanakah kedudukan dan peran profesi administrasi atau birokrasi saat ini dalam pandangan masyarakat maupun pemerintahan sendiri? Penyesuaian-penyesuaian bagaimanakah yang perlu dilakukan untuk lebih dapat meningkatkan peran dan kedudukan profesi administrasi bagi pembangunan dan perubahan?

  • 9

    ADMINISTRASI PUBLIK ABAD 21 Di dalam abad ke 21 ini berbagai tantangan dihadapi oleh

    Administrasi Publik. Menurut Philips J. Cooper (1998) didalam bukunya yang berjudul: Public Administration for Twenty First Century, tantangan tersebut terdiri dari: Diversity; Accountability; Privatization; Civil Society; Democracy; Decentralization; Reengineering; The Empowering Effect of High Technology.

    Sedangkan bagi Hughes (1994) di dalam Management and Public Administration mengetengahkan Challenges, Opportunities and Directions in a number issues on Public Administration as:

    1.The Culture Milieu of Public Administration 2.Crisis/Disaster Management 3. Strengthening of Local Level Institutions 4. Promoting Accountability in Public Management 5. Human Resources Development 6. The Impact of Technology of Public Administration 7. Managing Economic and Technology Interdependencies. Dari tantangan, tuntutan dan harapan dimuka tadi sesungguhnya

    diperlukan adanya perubahan, baik pada konsep atau teori Administrasi Negara dan juga figur Public Administrator. Berkaitan dengan perubahan pada Administrasi yang diakibatkan oleh berbagai tantangan dan harapan tersebut, maka berubah pula kompetensi yang selama ini terkait dengan "Traditional Public Administration" untuk diarahkan dalam bentuk "New Public Management" (NPM). Nuansa Administrasi Negara (Publik) yang selama ini diindikasikan sebagai birokrasi yang bertitik tekan pada COP (Control, Order dan Prediction), Rigidity, terikat oleh political authority, tightening control, to be given and following the instruction kemudian dituntut sebagai Public Administration baru yang berindikasikan ACE (Alignment, Creativity and Empowering), flexible, terikat oleh political commitment, memiliki strategy, berorientasi pada output/results, bernuansa privatization atau contracting out.

  • 10

    Saat ini secara empirik ada 3 kecenderungan di dalam imple-mentasi perubahan atau reformasi birokrasi. Pertama, dimana negara tetap mempertahankan ideological roots of

    Weberian bureaucracy yang bertitik tekan kepada kekakuan (rigidity) di dalam hierarki, status, kontrol dan otoritas. Orientasinya adalah pada peraturan-peraturan yang mengarah kepada sekedar tercapainya efisiensi (Lawfull state)

    Kedua, adanya kecenderungan untuk mengarahkan birokrasi kepada democratic stage atau political govern, dimana orientasinya peraturan atau hukum sebagai alat atau instrumen untuk perubahan. Birokrasi lebih menitik beratkan kepada hasil, teamwork atau fleksibilitas daripada proses dan prosedur.

    Ketiga, adanya tuntutan birokrasi haruslah merupakan market oriented dari administrasi publik, dan ini berarti adanya penekanan kepada differensiasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Disini birokrasi harus menekankan fungsinya dalam jalur Citizen as a Consumer atau Customer Oriented. Jelaslah dari indikasi-indikasi ini terlihat adanya tuntutan untuk

    melepaskan diri dari konsep Administrasi Negara (Publik) yang berbasis ideological roots of Weberian bureaucracy dan democratic stage atau politics govern kepada Administrasi Publik yang berbasis market oriented public administration. Perubahannya lebih kepada Citizen as a Customer. ADMINISTRASI PUBLIK versus MANAJEMEN PUBLIK

    Dalam era tahun 80-an dan permulaan tahun 90-an muncul

    pendekatan New Managerial di dalam sektor publik yang merupakan respon terhadap kelemahan atau kekurangan pada traditional model of administration. Berbagai nama diperkenalkan untuk pendekatan manajerial ini, antara lain: Managerialism (Pollit, 1990); New Public Management (NPM) (Hood, 1991); Entrepreneurial Government (Osbone and Gaebler, 1992). Meskipun disebut dengan berbagai nama, akan tetapi mereka memiliki kesamaan konsep dan tujuan :

  • 11

    Pertama, lebih menitikberatkan kepada achievement of results dan the personal responsibility.

    Kedua, pembuatan performance indicators sebagai ukuran baik untuk organisasi maupun personnel, sehingga diperoleh 3ES: Economy, Efficiency, Effectiveness.

    Ketiga, berusaha menghilangkan tendensi classic bureaucracy dengan membuat organisasi, personel dan kondisi yang ada untuk lebih fleksibel.

    Keempat, lebih membuat para pejabat committed terhadap politik/ keputusan-keputusan politik, tidak hanya sekedar pelaksana yang netral (neutral and non partisan)

    Kelima, berusaha mengurangi fungsi-fungsi pemerintah melalui privatisasi

    Keenam, orientasi dari steering from rowing. Apabila administrasi publik mendasarkan diri kepada dua teori,

    ialah teori birokrasi dan teori pemisahan diantara politicians dan admnistrators, maka publik manajemen (NPM) juga mendasarkan diri kepada dua teori ialah teori ekonomi dan private management. Perubahan dari pola administrasi lama ke NPM tidaklah hanya sekedar perubahan di dalam operasi atau implementasi pelayanan publik saja, tetapi menyangkut pula perubahan pada ruang lingkup aktivitas pemerintahan, proses di dalam pertanggungan jawab (accountability) yang lebih bertitik tekan kepada achievement of results, tetapi juga desakan perubahan pada academic study of the public sector (dan ini menghendaki adanya perubahan pada visi dan kurikulum akademik dalam ilmu administrasi publik).

    Pertanyaan yang dapat diketengahkan adalah mungkinkah Public Management merupakan perkembangan atau pemunculan paradigma setelah Paradigma ke V ? Otonomi Daerah: Menuju Demokratisasi dan Good Governance

    Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia dari paradigma monolitik sentralistik ke paradigma demokrasi khususnya local democracy atau dari government yang menekankan pada otoritas

  • 12

    ke governance yang bertumpu kepada interaksi dan kompatibilitas (compatibility) diantara komponen-komponen yang ada, menuntut adanya perubahan dalam mindset kita, tidak saja didalam formulasi kebijakan tetapi juga implementasinya. Sebagai "mesin atau alat" pemerintahan maka birokrasi mengikuti atau dipengaruhi sistem politik atau pemerintahan yang berlaku. Di masa Orde Baru dengan sistem politik dan pemerintahan yang monolitik sentralistik atau lebih besar dalam penggunaan use of authority, maka permasalahan birokrasi yang muncul adalah: adanya politisasi birokrasi; primordialisme dan lemahnya profesionalisme; konsentrasi dan monopoli kekuasaan oleh birokrasi; penggunaan jabatan untuk memberi keistimewaan kepada klien (patronase); pencampuradukan urusan pribadi dan publik (patrimonialisme); perluasan peran birokrasi secara berlebihan (proliferasi birokrasi).

    Implikasi yang terjadi dari permasalahan-permasalahan dimuka adalah:

    1 Diskriminasi dalam pelayanan birokrasi; birokrasi berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat dan alat mobilisasi masyarakat

    2 Terlalu banyak political appointment pada jabatan karier birokrasi; dan munculnya yang bersifat partisan birokrasi

    3 Pengabaian prinsip meritokrasi dan berkembangnya praktek koneksi dan praktek-praktek rekrutmen, promosi dan demosi yang lebih didasarkan pada faktor-faktor askriptif

    4 Pelembagaan conflict of interest dan munculnya birokrasi berbisnis Beberapa point penting yang perlu diperhatikan untuk

    mendorong perubahan birokrasi Indonesia (diluar aspek budaya) dengan asumsi dasar pemulihan fungsi birokrasi sebagai lembaga negara public service yang transparant, accountable, responsive dan bersih dari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan adalah:

    1 Pemerintah Pusat (dalam hal ini pusat pemerintahan baik di Jakarta maupun di daerah-daerah) seharusnya merupakan source of reform dan drive reform efforts. Tetapi didalam kenyataannya Pemerintahan Pusat tersebut merupakan komponen yang harus di-reform terlebih dahulu

  • 13

    2 Selama ini reformasi birokrasi hanyalah dalam kadar retorik yang banyak diucapkan oleh atasan atau pemerintahan atasan (top government), sedangkan sesungguhnya yang telah siap menggebu-gebu adalah tingkat bawahan (lower echelons). Untuk itu bagaimanakah, baik lower echelons maupun top government kedua-duanya mengimplementasikan perubahan birokrasinya?

    3 Tidak saja reformasi birokrasi harus kontinyu dan terprogram dan jelas jangka waktunya, tetapi juga harus terprogram dan terencana didalam budget (penganggaran)

    4 Meskipun proses, prosedur dan content merupakan hal yang pokok didalam mereformasi birokrasi, tetapi yang harus memperoleh perhatian yang paling utama untuk mendorong perubahan birokrasi Indonesia adalah reformasi behavior. Rumusan otonomi pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

    Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, memberikan kewenangan yang luas dan juga sesungguhnya sumber pendapatan yang potensial kepada daerah-daerah. Tetapi, dengan perubahan situasi yang demikian cepat dan drastis, demikian juga gerakan reformasi yang tidak planned change, serta sosialisasi Undang-Undang Otonomi yang terlalu pendek dan tergesa-gesa, menumbuhkan persepsi dan penafsiran atas rumusan serta implementasi yang menjauhi makna otonomi. Otonomi menjadi dititikberatkan kepada pengertian uang, pendapatan, hanya sekedar peningkatan PAD; Otonomi menjadikan tumbuhnya arogansi dan eksklusivisme daerah; yang pada akhirnya menumbuhkan fenomena disintegrasi nasional.

    Meskipun di dalam kerangka otonomi daerah memiliki kewenangan yang luas dan utuh, tetapi perlu adanya kesadaran dan semangat ber-otonomi di dalam kerangka NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk itu diperlukan negosiasi baik di antara Pusat dengan daerah-daerah, maupun daerah Propinsi dengan Kabu-paten dan Kota, tetapi juga antar Propinsi maupun antar Kabupaten dan Kota. Negosiasi ini diperlukan untuk menentukan sampai seberapa jauh besarnya kewenangan yang dimiliki daerah-daerah.

  • 14

    Sehingga, sesuai dengan keberadaan daerah, maka kewenangan penyelenggaraan urusan-urusan menyesuaikan dengan kekuatan keberadaan tersebut. Dengan demikian otonomi atau penyelenggaraan urusan yang luas atau terbatas dapat terletak di propinsi, kabupaten maupun kota. Penyelenggaraan kewenangan atau otonomi ini terfokus kepada the ultimate goal-nya: ialah tercapainya atau terealisirnya kemandirian daerah, terutama kemandirian masyarakat.

    Sungguh sangat ironis sekali bahwa makna otonomi tidak didalami sebagai tercapainya democratic value atau terjadinya kemandirian (empowering) daerah dan masyarakat, tetapi lebih terfokus pada the process of political interaction. Wujudnya adalah tarik menarik kepentingan di antara Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota baik dalam lingkup eksekutif maupun legislatif. Revisi atau dapat dikatakan pembongkaran UU 22/1999 dan UU 25/1999 menjadi UU 32/2004 dan UU 34/2004 baik dalam kaitannya dengan Pemerintahan Daerah maupun Perimbangan Keuangan Antara Pusat-Daerah, mewujudkan phenomena tersebut. Dikarenakan sosialisasi yang terlalu cepat dan singkat, serta belum siapnya perubahan mindset (kerangka pikir) menuju tatanan pemerintahan yang disepakati, maka perubahan tersebut akan memunculkan berbagai permasalahan yang dapat menggoncangkan kompatibilitas tata pemerintahan. Paling tidak terdapat tujuh pokok permasalahan yang harus dipertimbangkan sebagai isu strategik atas revisi atau pembongkaran UU. tersebut. Pertama, perubahan kedudukan Kabupaten dan Kota, yang dahulu ditentukan berdiri sendiri dan tidak dalam hierarki, menjadi ditentukan sebagai bagian dari Propinsi. Kedua, perubahan kedudukan DPRD yang dahulu sebagai Badan Legislatif, saat ini didudukkan sebagai unsur pemerintahan Daerah. Ketiga, pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan menjadikan DPRD sebagai penonton bukan lagi penentu. Keempat, RAPBD Kabupaten dan Kota yang dapat "dianulir" oleh tingkat Propinsi. Kelima, Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dahulu dianggap sebagai "DPRD Desa" ditentukan sebagai Badan Permusyawaratan Desa. Keenam, dahulu telah ditentukan 11 (sebelas) urusan yang diserahkan kepada Kabupaten dan Kota, saat ini hanya ditentukan adanya Urusan Wajib dan Urusan Pilihan, dan penyerahannyapun harus memenuhi persyaratan tertentu. Ketujuh,

  • 15

    jabatan Sekretaris Desa adalah merupakan jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

    Dengan tujuh isu strategis tersebut tidak mengherankan apabila menumbuhkan rumor adanya resentralisasi, pengingkaran desentra-lisasi/otonomi, pembongkaran demokrasi lokal, pengkotakan DPRD, dan sebagainya. Didalam pemerintahan SBY yang masih gamang ini hendaklah para elit kekuasaan dan elit politik tidak memundurkan atau menarik kembali demokrasi yang sudah berada di daerah. Apabila Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 ini dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan otonomi ialah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan daya saing daerah, haruslah didukung oleh semua komponen bangsa. Akan tetapi apabila hanya sekedar menitikberatkan kepada perebutan kewenangan dan pengaruh, haruslah kita tolak. Marilah komponen pemerintahan, baik Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota maupun DPR dan DPRD masing-masing mendudukkan fungsinya dalam tata pemerintahan. Sehingga tidak terjadi adanya saling intervensi, tetapi ada didalam koordinasi, interelasi dan interdependensi. ISU STRATEGIK PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMERIN-TAHAN DAERAH

    Didalam rangka pelaksanaan otonomi di daerah untuk mengem-

    bangkan pemerintahan baik propinsi, kabupaten maupun kota perlu diperhatikan akan adanya empat isu strategis ialah pengembangan kelembagaan, pengembangan SDM aparatur, pengembangan jaringan kerja (network) dan pengembangan lingkungan yang kondusif. Keempat isu strategis ini bila diperhatikan, dianalisis dan diwujudkan dengan tepat didalam suatu strategi akan memberikan warna bagaimanakah kelembagan pemerintahan lokal merealisir otonomi daerah didalam kerangka menuju demokratisasi dan good governance. Fokus kepada isu strategis ini akan memperkuat kelembagaan pemerintahan lokal baik yang berkaitan dengan teknostrukturnya sendiri, aparatur maupun potensi-potensi riil yang dimiliki oleh daerah yang merupakan aset dan resources untuk melaksanakan otonomi.

  • 16

    Didalam aspek kelembagaan dalam lingkup teknostruktur atau birokrasi, maka pengaturannya tidak saja hanya bersandar kepada miskin struktur dan kaya fungsi, tetapi yang lebih jauh dan dalam dari itu adalah apakah dapat diciptakan birokrasi yang berorientasi kepada alignment, creativity dan empowerment. Birokrasi yang tidak lagi tergantung dan terpaku kepada Control, Order dan Prediction, tetapi birokrasi yang bertumpu atau berpegang kepada Political Commitment dan yang berorientasi kepada results atau output. Untuk itu perlu diciptakan birokrasi yang tidak terlalu hierarkis, tidak terlalu birokratis, dan tidak terlalu terikat oleh political authority dan yang tidak terlalu tergantung hanya kepada monopoli. Birokrasi yang diciptakan tidak saja sesuai dengan keberadaan daerah atau kekhususan daerah, tetapi juga birokrasi yang penuh dengan kepercayaan dan kebebasan.

    Isu strategis pengembangan kelembagaan tidak saja hanya secara mikro dan statis yang menyangkut birokrasi atau perangkat daerah baik unsur penunjang (Sekretariat), unsur pelaksana (Dinas-Dinas) maupun unsur pendukung (Lembaga-lembaga Teknis), tetapi juga yang menyangkut baik badan eksekutif (Kepala Daerah) maupun badan legislatif (baik lembaga maupun para anggotanya). Penguatan kelembagaan pemerintahan lokal khususnya Kepala Daerah dan DPRD saat ini sangatlah strategis dan kritis, karena harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka tidaklah terlalu berpengalaman dalam bidang pemerintahan. Tetapi juga dengan perubahan paradigma yang sering dilandasi dengan euphoria yang terlalu berlebihan mengenai fungsinya tetapi juga penyelewengan terhadap fungsi. Untuk itulah harus ada kesadaran, pemerintahan di daerah, apakah itu Kepala Badan Eksekutif (Kepala Daerah), apakah itu badan legislatif (DPRD), apakah itu perangkat Daerah (birokrasi), kepada fungsinya masing-masing.

    Dapatlah dikatakan sebagai local triumvirat yang berada di daerah, maka didalam kerangka otonomi dimana daerah memiliki kewenangan yang besar dan luas untuk mengelola dirinya sendiri, ketiga komponen kelembagaan daerah tersebut haruslah dapat melakukan hubungan dan kerjasama yang harmonis. Sebagai pejabat politis, anggota atau lembaga DPRD memiliki tugas atau fungsi membuat kebijakan-kebijakan secara makro yang nantinya dikemas

  • 17

    didalam Peraturan-Peraturan Daerah atau ketentuan-ketentuan yang lain. Fungsi atau tugas pokok dalam bidang legislasi haruslah merupakan kegiatan utama DPRD disamping kegiatan-kegiatan yang lainnya. Karena para anggota DPRD merupakan wakil-wakil rakyat, maka disinilah tugas mereka untuk mencari, menganalisis dan membawakan aspirasi masyarakat.

    Sebagai pejabat politis, kepala Badan Eksekutif dalam hal ini Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, memiliki fungsi atau tugas pokok dalam pembuatan kebijakan-kebijakan mikro sebagai penterjemahan kebijakan-kebijakan makro yang dibuat oleh DPRD sebagai Badan Legislatif. Sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah disamping memiliki kemampuan manajerial dan leadership, maka dituntut pula dimilikinya profesionalism di bidang pemerintahan, demikian juga di bidang politik pemerintahan. Ini semua sebagai konsekuensi bagaimanakah seorang Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tidak saja dituntut untuk memiliki kemampuan politik untuk menjalin hubungan kerjasama dengan DPRD dan mampu menterjemahkan kebijakan-kebijakan DPRD, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan mengkoordinir perangkat-perangkat daerah. Disamping harus dimaklumi bagaimana sulitnya Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk meletakkan dirinya sebagai pemimpin dan penyelenggara pemerintahan daerah daripada mewakili golongan, kelompok atau partainya.

    Sebagai pejabat karier, perangkat-perangkat daerah yang terdiri dari unsur-unsur Sekretariat daerah, Dinas daerah, Lembaga-lembaga Teknis daerah, Kecamatan dan Kalurahan, dituntut memiliki skill dan profesionalism yang tinggi. Karena sesuai dengan fungsi dan tugas pokok dari masing-masing perangkat daerah dimana mereka harus mengerjakan secara operasional dan teknis, dari kebijakan-kebijakan yang dipikirkan dan direncanakan serta dibuat oleh Badan Legislatif dan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Birokrasi yang akuntabel, yang transparan, yang memiliki integritas tinggi terhadap lembaga pemerintahan, yang memiliki impartiality yang seimbang, yang memiliki future orientation yang tinggi, merupakan tuntutan bagi perangkat-perangkat atau birokrasi di daerah.

  • 18

    Governance didalam rangka otonomi secara makro menghen-daki interaksi atau kompatibilitas diantara pemerintah (public), swasta (private) dan masyarakat (community). Sedangkan secara mikro didalam pemerintahan daerah dituntut adanya kompatibilitas diantara komponen-komponen yang ada didalam pemerintahan daerah, ialah DPRD, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Perangkat Daerah, dan komponen masyarakat serta swasta. Penguatan kompatibilitas antar komponen ini sangat diperlukan, karena daerah harus sadar akan tugasnya untuk memandirikan daerah dan masyarakatnya sendiri terlepas dari dominasi pusat yang terlalu besar. Kompatibilitas tidak saja dapat dilakukan dengan komunikasi, negosiasi dan interaksi, tetapi juga concern mereka terhadap fungsi, misi dan tugasnya masing-masing. Maka rencana strategis yang ada didalam perencanaan daerah merupakan pegangan bagi semua komponen yang berada di daerah. Administrasi Publik Baru Indonesia: Realita atau Utopia

    Aktivitas atau profesi administrasi di dalam organisasi

    pemerintahan atau birokrasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang dapat dicirikan sebagai unavoidable, kepatuhan, prioritas, ukuran yang tidak terbatas, manajemen puncak atau top management yang bersifat politis, dan kegiatan-kegiatannya yang tidak dikendalikan oleh pasar. Dan lagi aktivitas atau profesi administrasi, lebih-lebih saat ini dianggap sebagai bercirikan juga following the instructions. Dengan fenomena dimuka, bidang atau profesi administrasi masih dikonsepkan pada kadar aktivitas pendukung atau pelaksana yang berhubungan atau bertitik tekan pada tata prosedur atau perkantoran (office work). Aktivitas administrasi masih dianggap sebagai pekerjaan rutin, pekerjaan tulis menulis maupun kearsipan. Atau seperti yang dikatakan Owen E. Hughes (1994), "Activities connected with keeping records and information processing; paper work and activities are concerned with applying rules, procedures and policies determined by others".Bahkan dapat dikatakan aktivitas atau profesi administrasi di Indonesia masih terletak pada paradigma I, meskipun dilihat dari perkembangan teori kita sudah sampai pada Paradigma ke V (Fredericson, 1980).

  • 19

    Di dalam implementasi, administrasi (baca: Birokrasi) masih dianggap sebagai aktivitas penyebab timbulnya bureaucratism (patologi birokrasi) yang memiliki reputasi sebagai sluggish, cumbersome, swollen, redtape, inefficient, routine, rigid, narrow, arrogance, complex procedures, formal measure, dan lain sebagainya yang menyebabkan atau membuat aktivitas pemerintahan atau organisasi menjadi tidak efektif, tidak efisien, tidak responsif, dan tidak ekonomis.

    Kedudukan dan peran aktivitas dan proses profesi administrasi yang masih berkaitan dengan politik, bahkan dibawah pengaruh , tekanan politik, bersifat inward focus dan short-term perspective serta hanya bertitik tekan kepada proses dan kurang memperhatikan achievement of results. Hal ini menyebabkan profesi administrasi lebih bernuansa sekedar pelaksana politik daripada manajemen pemerintahan atau manajemen birokrasi. Tanpa terlibat langsung atau memiliki komitmen yang tinggi di dalam politik, tanpa ikut serta dalam proses pembuatan policy ataupun ikut serta di dalam proses pembuatan keputusan.

    Dari fenomena dan tendensi tersebut di muka, profesi administrasi belum menyentuh atau berkedudukan sebagai analis-analis organisasi maupun analis-analis dalam formulasi dan implementasi policy. Maka mengapa kedudukan profesi administrasi pada tingkat-tingkat tersebut belum sepenuhnya dipegang atau dikuasai oleh mereka yang berlatar belakang disiplin administrasi, tetapi lebih kepada mereka yang didasarkan atas pengalaman atau kepangkatan golongan. Situasi inilah yang seharusnya memotivasi dan mendorong para administrasiawan untuk merubah dan mengembangkan diri.

    Selalu penulis katakan berulang-ulang di dalam setiap kesempatan baik di dalam memberikan kuliah, ceramah ataupun diskusi-diskusi, bahwa pada saat ini kita mengalami upheaval dan turbulence yang tidak saja memerlukan adanya kesadaran untuk berubah tetapi juga perlunya interconnection dan interdependence. Dan untuk itu diperlukan strategi yang matang yang berorientasi kepada integrated approach. Inilah kunci dari kompatibilitas antar komponen administrasi publik atau pemerintahan. Disinilah sesung-guhnya diperlukannya tidak saja kesadaran dan tuntutan perubahan

  • 20

    dari para elit kekuasaan dan elit politik di Indonesia, juga birokrasi pemerintahan mulai dari pimpinan dan staf yang berada pada unsur penunjang, unsur pendukung, maupun unsur pelaksana untuk kembali ke fungsinya masing-masing dalam keterikatan kompatibilitas.

    Demikian pula kalau berbicara mengenai organisasi pemerintahan kita khususnya birokrasi administrasi pemerintahan sebagai mesin penggerak sistem negara atau pemerintahan. Didalam menghadapi situasi perubahan yang telah dipaparkan di muka, maka birokrasi administrasi juga harus berubah.

    Selama ini birokrasi administrasi sangat terkait atau sangat dipengaruhi dan didominasi oleh politik dalam kadar political authority. Dan ini menjadikan birokrasi administrasi terorientasi dan terfokus dan memiliki ketergantungan kepada yang memiliki otoritas, kepada pimpinan, bahkan sering kepada golongan atau kelompok tertentu. Fasilitas, keuntungan dan kepentingan tidak tergulir kepada rakyat dan masyarakat, tetapi sering terakumulasi hanya pada tingkat-tingkat atau golongan, kelompok tertentu saja. Kepentingan, kebutuhan dan keinginan rakyat, masyarakat banyak menjadi terabaikan. Disinilah sering muncul sinisme pada birokrasi yang disebutnya sebagai bureaucratic capitalism.

    Maka tidaklah mengherankan apabila birokrasi administrasi sering menjadi bulan-bulanan kritik dari rakyat atau masyarakat banyak. Suasana declining of public confindence menghinggapi masyarakat kita, tidak saja yang berhubungan dengan aspek administrasi sistem dan prosedur, tetapi menyangkut kepentingan masyarakat yang luas, sebagai misal di bidang hukum, bidang perdagangan, perekonomian, dan lain sebagainya.

    Dari sudut pendekatan historis politik, hal-hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh akar budaya paternalisme kita saja, tetapi juga disebabkan oleh overlearning lesson dari sebagian pimpinan, birokrat kita, sehingga instrumen organisasi atau birokrasi cenderung dikelola semakin sentralistis dengan penggunaan otoritas yang semakin ketat. Disamping itu juga terlalu ketatnya security approach demi kelangsungan stabilitas pembangunan, juga terlalu lamanya dan monotonnya kedudukan birokrat dalam suatu fungsi.

    Birokrasi berdimensi kerakyatan bukanlah suatu utopia atau simbol saja tetapi merupakan suatu tuntutan akan perubahan di dalam

  • 21

    keterlibatan dan kemandirian, dan ini berarti kita membicarakan permasalahan demokratisasi dan desentralisasi. Birokrasi yang dituntut tidak hanya berorientasi untuk masyarakat atau rakyat atau sekedar melibatkan rakyat atau masyarakat secara formal-struktural yang hanya untuk melegitimasi adanya demokrasi, tetapi keterlibatan rakyat dan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab.

    Birokrasi berdimensi kerakyatan dalam perspektif yang lebih luas dan dalam, tidak hanya ditujukan untuk dan demi masyarakat (sebagai obyek dan sekaligus subyek) tetapi membentuk birokrasi dimana masyarakat dapat meningkatkan kapasitasnya; dimana masyarakat telibat di dalam learning organization; dimana masyarakat berorientasi kepada keadilan yang tidak hanya sekedar how divides the economic pie tetapi how the size of pie itself; birokrasi dimana rakyat ikut bertanggung jawab secara penuh; birokrasi yang memberdayakan masyarakat. Dan hal tersebut barulah dapat terbentuk apabila tercipta kesadaran di dalam moral, nilai, struktur atau penempatan authority dan power pada semua segmen dimana manusia seutuhnya diletakkan di dalam Birokrasi.

    Dalam masyarakat dengan pengaruh eksternal dan internal tersebut mulai timbul kesadaran dan keberanian untuk meletakkan dirinya sebagai subyek dan komponen pembangunan di dalam instrumen yang ada di negara ini. Birokrasi harus memperhatikan dan membagi authority kepada kekuatan-kekuatan yang menghendaki keterlibatan masyarakat. Birokrasi harus konsisten sebagai instrumen demi pembangunan manusia seutuhnya dalam kadar human resources development. Maka Birokrasi harus membalik orientasinya dari sekedar meletakkan manusia sebagai komponen production centered development kearah people centered development. Dan itu berarti bahwa kita akan menggunakan segala input sumber daya manusia untuk membangun masyarakat secara berswasembada dan berswa-daya. Wawasan Birokrasi haruslah wawasan efisiensi yang mengacu pada pembangunan yang berpusat pada manusia dalam segala aspek keterlibatannya.

    Tidak dapat dipungkiri bahwa Organisasi atau Birokrasi dibu-tuhkan untuk mengatur dan mempercepat pelaksanaan pembangunan demi tercapainya tujuan. Tetapi dengan permasalahan dan kenegatifan pelaksanaan birokrasi tersebut, pertanyaan yang harus kita jawab

  • 22

    adalah mampukah kita membuat atau mengolah transformasi budaya kita ialah budaya timur dengan nilai-nilai tradisionalnya yang sangat kental ke dalam Birokrasi dengan persyaratan dan instrumennya sebagai hasil budaya barat?

    Apabila Jepang berhasil mengubah atau mempengaruhi birokrasi dengan nilai tradisional yang berakar pada konfigurasi historis dan kultural (yang sangat bertolak belakang dengan filosofi budaya barat) seperti misal budaya familism, gerontologi, consensus building, menjadikan Negara Jepang sebagai raksasa ekonomi dan sangat ditakuti di dalam persaingan oleh negara-negara maju/barat. Juga Singapura dengan filosofi Meritocracy dan Malaysia dengan kebijaksanaan Look East Policy (Tjokrowinoto, 1996). Mampukah kita melakukan transformasi cultural resources misalnya paternalism ke dalam proses transformasi struktural, dengan tidak memanipu-lasinya dalam hubungan sebagai masters dan servants? Dengan demikian kita dapat sejajar dengan negara-negara yang telah mentransformasikan budayanya ke dalam birokrasi sebagai hasil budaya barat dan saat ini masuk ke dalam perhitungan sebagai negara yang berhasil merubah, menggerakkan dan membentuk birokrasi administrasinya sendiri.

    Ini berarti bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia harus memiliki konsensus untuk mengkonsepkan birokrasi Indonesia yang berorientasi : Pertama, melepaskan diri dari political authority dan mengikatkan diri

    kepada political commitment. Dan ini berarti bahwa mission yang menjadi pegangan. Bukanlah sesuatu yang mudah untuk melepaskan kekuasaan dan kekuatan, tetapi harus dimulai dari para pimpinan dan elit kekuasaan bahwa misi yang pada akhirnya harus menjadi tolok ukur.

    Kedua, proses dan keteraturan struktur (order in structure) sebagai sesuatu yang given sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Justru yang menjadi fokus adalah bagaimana terjadinya inisiatif dan kreativitas dari para birokrat, administrator dan dengan pemberdayaannya (empowering). Biarkanlah daerah-daerah memiliki kewenangan dengan tanggung jawabnya untuk membuat, mengelola organisasi atau birokrasi pemerintahannya sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah adanya unsur penunjang,

  • 23

    unsur pendukung dan unsur pelaksana dan kesemuanya mengikatkan diri kepada komitmen daerah dan nasional. Keaneka ragaman organisasi pemerintahan atau biorkrasi janganlah menumbuhkan obsessive fears terhadap keberadaan NKRI.

    Ketiga, birokrasi administrasi yang lebih menitik beratkan fokusnya pada hasil, out-puts, results bukan lagi terlalu menekankan proses.

    Keempat, pengurangan ruang lingkup pemerintah. Ini merupakan konsekuensi beralihnya government menjadi governance. Mengapa aktivitas-aktivitas pemerintahan yang tidak terlalu berkaitan dengan pelayanan publik tidak diserahkan kepada pihak masyarakat dan swasta? Hal ini tidak berarti bahwa kita menswastakan pemerintahan. Disinilah terjadinya kompatibilitas dalam pelayanan publik dan juga fungsi-fungsi pemerintahan lainnya diantara Negara/Pemerintah, Swasta dan Masyarakat.

    Kelima, pemberian remunerasi di dalam atau didasarkan oleh outputs. Tuntutan kinerja merupakan tantangan bagi seluruh komponen administrasi publik menghadirkan dan menghasilkan sesuatu.

    Keenam, melaksanakan hubungan yang lebih erat diantara giving orders dengan carrying them out. Disinilah sesungguhnya tuntutan dari seorang pimpinan untuk tidak saja mempengaruhi dan memotivasi tetapi juga kemampuan untuk mengkoordinir dan mengintegrasikan komponen, tujuan dan juga permasalahan. Reformasi di bidang Administrasi Publik harus tetap dilakukan

    bahkan harus lebih cepat dan tepat sasaran. Reformasi tidak hanya dititik beratkan pada technostructure saja, tetapi yang lebih penting adalah pada sumber daya manusianya baik ketika recruitment maupun didalam proses-nya yang menyangkut permasalahan perilaku atau budaya birokrat. Dipihak lain pemerintah juga harus menciptakan berbagai lapangan kerja baru untuk mewadahi para birokrat yang akan beralih ke perkerjaan di luar sektor pemerintahan. Dengan demikian akan terciptalah kompatibilitas diantara sektor pemerintah, sektor swasta dan sektor masyarakat. Bila tidak demikian maka terjadilah olok-olok yang sering dikemukakan: Administrative reform much discussed, much seminar, but seldom enacted.

  • 24

    DAFTAR PUSTAKA

    Bellone, C. J. 1980. Organization Theory and the New Public Administration. Boston: Allyn and Bacon.

    Caiden, G. E. 1991. Administrative Reform Comes of Ages. Berlin: Water de Gruyter.

    Caiden, G. E. 1982. Public Administration. California: Palisades Publishers.

    Cooper, P. J. 1998. Public Administration for the Twenty-first Century. Orlando, Florida: Harcourt Brace.

    Denhardt, R.B. and J. W. Grubbs. 1999. Public Administration: an Action Oriented. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

    Departemen Keuangan. 1996. Kebutuhan Tenaga. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1996. Pengembangan

    Pendidikan Perguruan Tinggi. Jakarta. Dwiyanto, A. 2004. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari

    Government ke Governance. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

    Effendi, S. 1996. Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan Demokratisasi Politik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

    Ferlie, E. 1996. The New Public Management in Action. New York: Oxford University Press.

    Frederickson, H. G. 1997. The Spirit of Public Administration. San Francisco: Josey Bass Publisher.

    Hughes, O E. 1994. Public Management and Administration: an Introduction. New York: Martin's Press.

    Kompas. 1996. "Peluang Kerja Lulusan Perguruan Tinggi." Levine, C.H., B. G. Peters and F. J. Thompson. 1990. Public

    Administration: Challenges, Choices, Consequences. Illinois: Scott, Foresman.

    Margono, A. S. 1993. Laporan Penelitian dan Penelusuran Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Negara. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

  • 25

    Universitas Gadjah Mada. Nigro, F.A. and L.G. Nigro. 1989. Modern Public Administration.

    New York: Harpers & Row Publishers. Osborne, D. and T. Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the

    Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Addison Wesley.

    Peters, B. G. 2001. The Future of Governing. Lawrence, Kansas: University Press of Kansas.

    Pollit, C. and G. Bouckaert. 2000. Public Management Reform: a Comparative Analysis. New York: Oxford University Press.

    Pollit, C., J. Birchall, and K. Putman. 1998. Decentralising Public Service Management. London: Macmillan Press.

    Rabin, J. 2003. Encyclopaedia of Public Administration and Public Policy. New York: Marcel Dekker.

    Rohdewohld, R. 1995. Public Administration in Indonesia. Victoria, Australia: Montech.

    Shafritz, J. M. and A. C. Hyde. 1997. Classics of Public Administration. Orlando, Florida: Harcourt Brace Co.

    Simanjuntak, P. 1996. Kesiapan SDM melaksanakan otonomi daerah. http.//www.pin-jps.or.id/pn/artiekl/otda.

    Thoha, M. 1999. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Pesan Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

    . 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

    Tjokrowinoto, M. 1996. Pembangunan Dilemma dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Wibawa, S. 2004. Penelitian Komprehensive Penelusuran Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM.