perubahan hubungan militer dengan umat islam di...

140
PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI INDONESIA Periode 1990-1998 Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh: Tauhid Hudini 20403320310328 Pembimbing Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2009 M

Upload: truonglien

Post on 06-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT

ISLAM DI INDONESIA

Periode 1990-1998

Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Tauhid Hudini

20403320310328

Pembimbing

Dra, Haniah Hanafie, M. Si

NIP. 19610524 200003 2 002

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2009 M

Page 2: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT

ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang

munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program

Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, …. 2008

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A

NIP. 150 232 921 NIP. 1969 0822 199703 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sirojudin Ali, MA Dr. M. Amin Nurdin, MA

NIP. 150 299 478 NIP. 150 262 447

Pembimbing,

Dra, Haniah Hanafie, M. Si

NIP. 19610524 200003 2 002

Page 3: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 Juni 2009

Tauhid Hudini

Page 4: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT

ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang

munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program

Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, …. 2008

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A

NIP. 150 232 921 NIP. 1969 0822 199703 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sirojudin Ali, MA Dr. M. Amin Nurdin, MA

NIP. 150 299 478 NIP. 150 262 447

Pembimbing,

Dra, Haniah Hanafie, M. Si

NIP. 19610524 200003 2 002

Page 5: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

ABSTRAKSI

Tauhid Hudini 204033203128/Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Judul Skripsi “Perubahan Hubungan Militer dengan Umat Islam di

Indonesia Periode 1990-1998”

Skripsi ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indoneisa.

Fenomena ini yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung

selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarakan pada asumsi bahwa pada masa

tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik diantara keduanya.

Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an

terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer.

Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut

mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat

mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit

militer dengan elit umat Islam.

Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor

tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor

eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat

Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik

di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung

perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin

menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam

tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu oreantasi

yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan

Page 6: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan,

persamaan dan musyawarah.

Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagain umat

Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai ileh

militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal

Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya

korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku

politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam.

Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang SIslam

yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi

terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang

pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer

santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga

yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan

hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political

will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang

memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara

(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan

munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.

Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses

demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara

juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di

Page 7: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang

terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai

pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama

Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk

memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.

Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer,

khususnya sejak awalt hun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh

adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang

Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul

di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang

belum terlihat pada masa sebelumnya.

Page 8: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji bagi ALLAH tak lupa penulis

panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah menampakan sifat keagunganNya

kepada para kekasihNya, yang menyinari segenap hati dengan persaksian sifat-

sifat kesempurnaanNya, dan yang memperkenalkan kepada umatNya melalui

kucuran nikmat rakhmat dan anugerah hidayahNya. Sebagai mahabah rasa syukur

penulis atas segala rakhmat, nikmat, taufik dan hidayahNya yang telah diberikan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu

yang telah ditentukan. skripsi ini merupakan salah satu Tugas Akhir dalam

kurikulum jenjang pendidikan sarjana pada jurusan Pemikiran Politik Islam,

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, bantuan dan bimbingan hingga

terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul PERUBAHAN HUBUNGAN

MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI INDONESIA Periode 1990-1998.

Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-

apa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak

yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan

terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ii

Page 9: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku

Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dra, Haniah Hanafie, M. Si selaku Dosen Pembimbing atas semua

dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan

selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran

Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu

dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat

Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas

FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),

dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak memberikan

kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia

dan juga yang rela “menunggui” penulis hingga larut.

8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada orang

yang telah memberikan dan mengorbankan segala materi dan

dukungan moral kepada penulis, Ayahanda H. Muahmmad Anwar, H.

Emir dan Ibunda Hj. Lina. I Love You. Dan seluruh keluarga besar di

Karawang, terimakasih atas segala curahan perhatian dan bantuannya.

Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt.

iii

Page 10: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan

dalam setiap jejak langkah yang akan ditempuhnya.

9. Adik ku satu-satunya Yogi yang suka ngeselin tapi tetap menjadi

motivasi ku, terimakasih untuk segala do’anya semoga kita berdua

menjadi anak yang sukses dan bertanggung jawab.

10. Kepada Laily Wulandari, Sinta Rahmawati, mereka semua tak pernah

lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik, yang selalu

memberikan kasih sayangnya, selalu memberikan motivasi belajar,

mendo’akan, tak pernah bosan membantu.

11. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Saiman

(Medan), Sofian (Banten), Pujiono (Gresik), Iskak (Jateng), Tsani

(Bekasi), Zulfikar (Bogor), Indra (Bekasi), Rei (Tangerang), Isti

(Bekasi), Yulita (Lampung), Buhari (Ternate), Ucup (Betawi), Sa’di

(Madura), Hudori (Betawi), Muhsin (Betawi), Aziz (Jawa), Fadil

(Aceh), Galo (Batam), Iin Solihin (Banten), Ijudin (Betawi), Asep

(Solo), Awe (Ciputat), Surono (Kebumen), Hadi (Betawi), Nyit-nyit

(Thailand) dan semua sahabat, teman-teman seperjuangan. Keyakinan

dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.

12. Rekan-rekan yang tergabung dalam organisasi intra dan ekstra

kampus, rekan-rekan aktivis. Terimakasih atas jalinan

persaudaraannya, semoga cita-cita kita semua segera terengkuh.

13. Gemintang, rembulan, lampu-lampu jalan, hembusan angin, hujan,

debu dan sinar matahari dan balutan semesta malam yang selalu setia

iv

Page 11: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Jurusan Pemikiran

Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia

sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,

yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari

ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.

v

Page 12: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………..i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………….v

BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................…1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................14

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan....................................................14

D. Studi Kepustakaan.......................................................................15

E. Metodologi Penulisan..................................................................18

F. Sistematika Penulisan..................................................................19

BAB II. KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK……...21

A. Pergerakan Politik Umat Islam pada masa Penjajahan.………..21

A.1 Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI…………………..27

A.2. Islam dan Soal Kebangsaan……………………………….28

A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan…….33

A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera………...37

A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa…..41

A.6. Persoalan Pembebasan dan Emansipasi…………………...43

B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi

Parlementer………………………………………………….....44

B.1. Kabinet Natsir 1950-1951………………………………...44

B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo……………………….45

B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953……………………..46

B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II……………………...46

B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959………………47

B.6. Nasib Majelis Konstituante………………………………48

C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin.

Page 13: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orba.................

D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia

(PDII).

D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya

Parmusi

D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

BAB III. PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN

MILITER SEBELUM TAHUN 1990-1998…………………………

A. Penyingkiran Symbol-simbol .......................

B. Peminggiran Islam Politik…………………………

C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut

BAB IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN

ANTARA UMAT ISLAM DAN MILITER

A. Kebangkitan Nilai-nilai Islam ........ .......................................

B. Pergeseran Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an………. C.

Hubungan Baru Islam dengan Militer…………………………

BAB V. PENUTUP...................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................... B.

Saran .........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .

Page 14: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antara ABRI/TNI dan umat Islam sejak awal masa revolusi

kemerdekaan mengalami dinamika dan romantika yang sangat menarik perhatian

banyak kalangan. Dua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia memang

memiliki kekhasan (keunikan), tradisi, dan budaya sendiri-sendiri.1

Namun

keduanya tetap memiliki orientasi dan prinsip yang sama dan tunggal dalam

kehidupan bernegara, yaitu dalam bentuk kebangsaan. Hal inilah yang

menyebabkan mengapa umat Islam secara prinsipil senantiasa mempunyai

komitmen dalam bidang pertahanan dan keamanan Negara, sehingga partnership

antara kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan nasional yang solid dan

mantap dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Dengan kata lain, keduanya

saling melengkapi dan saling memperkuat. Dalam konteks inilah maka

penerimaan dan pengakuan umat Islam terhadap dwifungsi ABRI/TNI adalah

prinsipil dan hakiki.

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah Islam, Umar bin Khathab adalah

seorang perwira militer pada zaman Rasulallah Saw. Dia adalah seorang panglima

perang, seorang jenderal. Ketika Rasulallah Saw meninggal dunia, diceritakan

1 Yahya A. Muhaimin adalah doctor ilmu politik dan dosen di FISIPOL Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya antara lain, Masalah-masalah Pembangunan Politik (sebagai

editor), Perkembangan Militer di Indonesia 1945-1966, dan yang sempat menggemparkan – Bisnis

dan Politik. Dia sebut-sebut sebagai seorang ahli dalam mengamati perkembangan militer di

kancah perpolitikan di Indonesia

1

Page 15: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

2

dalam sebuah tarikh,2

bahwa jenderal Umar bin Khathab sedang berada di pasar.

Dia sedang berdagang atau sedang melakukan fungsi di bidang ekonomi.

Dari cerita tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa “dwifungsi militer”

di dalam Islam adalah fakta, bukan “rekaan”. Karena itu penerimaan dwifungsi

ABRI oleh umat secara prinsipil adalah social-politik pada masa modern sekarang

berbeda dengan kehidupan militer dan system social-politik Islam pada masa

Rasulallah Saw memang sesuatu yang real. Dan kedua hal tersebut memerlukan

modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian pada tingkat praktis pada masyarakat

modern saat ini.

Peranan dan pengaruh umat Islam dalam sejarah perjalanan Republik

Indonesia hingga sekarang mengalami fluktuasi yang cukup besar. Kita semua

megetahui bahwa pada masa revolusi menegakan Republik Indonesia, umat Islam

memberikan sumbangan dan pengabdian yang sangat besar dengan komitmen

kebangsaan yang amat kuat. Konsep yang menekankan bahwa revolusi itu hanya

dilakukan oleh TNI, sesungguhnya tidak tepat. Karena jika dilihat pada

sejarahnya, rakyatlah berjuang. Perlawanan atau revolusi rakyat yang menekankan

pada nasionalisme sudah dimulai sejak tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo

yang di pimpin oleh Dr. Soetomo. Kemudian di ikuti oleh organisasi

kemasyarakatan, seperti Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh K.H.

Samanhudi,3

Sarekat Islam yang dipimpin oleh Cokroaminoto,4

Partai Nasional

2

Kisah tarikh ini diterima oleh penulis dari seorang ulama di daerah, yaitu KH Abdul

Kafie pada tahun 1986 3 Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H. Samanhudi pada tahun 1911

adalah sebuah perkumpulan yang mula-mula tidak sebagai partai politik. Perkumpulan ini

didirikan oleh golongan menengah dengan maksud untuk mempertinggi kehidupan ekonomi

Page 16: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

3

Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan lainnya. Mereka-mereka inilah yang

telah memulai dan mempelopori perlawanan terhadap penjajahan. Kemudian

setelah merdeka, barulah ada perlawanan bersenjata. Karena sebelum

kemerdekaan, cikal bakal tentara nasional di kemudian hari pada dasarnya masih

menjadi tentara KNIL atau Belanda, PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho.

Kalaupun ada perlawanan bersenjata pada waktu kemerdekaan adalah lascar-

laskar, seperti Hizbullah,5

Anshar, BPRI, Kesatuan Kristen, dan lainnya.

Percaturan Islam dengan ABRI/TNI tidak bisa terpisahkan dengan sejarah

proklamasi dan dimulainya Orde Baru. Pada waktu kemerdekaan, timbul BKR

yang kemudian menjadi TKR, dan akhirnya berubah menjadi TNI. Di samping itu

ada juga lascar-laskar atau rakyat bersenjata seperti Hizbullah, Anshar, Kesatuan

rakyat, terutama untuk menghadapi bangsa Cina yang menguasai perdagangan perantara (Lihat, Leksikon Islam , penerbit Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, h. 660)

4 Sarekat Islam (SI) merupakan kelanjutan SDI yang corak dan haluannya di ubah

menjadi partai politik, ini terjadi pada tahun 1912 dan kempemimpinannya diserahkan pada H. Oemar Said Cokroaminoto, seorang keturununan bangsawan yang berjiwa democrat. SI

memperoleh pengaruh besar di kalangan rakyat. Tidak lagi membatasi kegiatannya pada

kepentingan dan kegiatannya pada golongan menengah saja, tetapi campur tangan juga pada

perubahan-perubahan upah, sewa tanah, dan perburuhan. Pada tahun 1923, SI terpecah menjadi SI

merah (yang terpengaruh oleh paham komunis) dan SI putih. Dan pada tahun 1923 pula SI

berubah nama menjadi Partai Sarikat Islam, dan pada awal 1929 berganti nama lagi menjadi Partai

Sarikat Islam Indonesia (PSII) (lihat Ibid., h. 661) 5 Secara harfiah berarti pasukan Allah. Barisan semi militer yang didirikan khusus bagi

pemuda Muslim sebagai cadangan barisan PETA. Hizbullah didirikan oleh Masyumi pada 4

Desember 1944 atas dasar keyakinan agama Islam. Cikal bakalnya berasal dari pesantren

Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan menjadi bagian dari Masyumi, bahkan menjadi milik

umat Islam. Kontribusi para anggota Hizbullah, baik secara pribadi ataupun kelompok cukup besar

dalam melucuti senjata tentara Jepang dan sebagai kader perjuangan bangsa selanjutnya, terutama

sekali di Jawa. Ketika terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945, banyak

anggota Hizbullah yang memasuki badan ini. Demikian pula ketika pemerintah RI Menyerukan

para pemuda mantan anggota PETA, Heiho, Gyu Gun, KNIL, dan lain-lain untuk bergabung

menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 9 Oktober 1945; banyak pula diantara anggota

Hizbullah yang ikut bergabung. Malahan di Yogyakarta satu batayon Hizbullah menjadi batalyon

dari 25 Resimen dan 22 Divisi III TKR di bawah naungan komandan Mayor A. Basumi. Para

anggota Hizbullah stidak masuk BKR/TKR masih terus berjuang di bawah naungan Masyumi

(Lihat Ensiklopedi Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1933, jil. 2, h. 121-122)

Page 17: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

4

Kristen dan lain-lainnya. Kemudian tahun 1948 diadakan rasionalisasi dan

rekonstruksi (RERA) oleh Bung Hatta dan lascar-laskar itu ditiadakan.

Kembali pada zaman penjajahan Jepang dengan terbentuknya PETA

banyak daidancho (komandan batalyon) yang kebanyakan tokoh-tokohnya adalah

orang Islam, seperti Mr. Kasman Singodemedjo, Jenderal Soedirman, Arudji

Kartawinata dari Siliwangi, dan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena sesuai

dengan politik Jepang. Menurut mereka, orang Islam lah yang dianggap gigih

dalam melawan penjajahan Belanda. Maka diangkatlah tokoh-tokoh Islam

menjadi komandan batalyon. Ini sejarahnya.

Hanya saja, ketika Negara Indonesia yang baru merdeka harus mematuhi

perjanjian Renville, yang salah satu isinya mengharuskan tentara mengosongkan

daerah Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah. Ketika tentara Siliwangi

hijrah timbullah Darul Islam dengan Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat

dan di bagian barat Jawa Tengah. Kemudian ketika kembali dari hijrah, tentara

Siliwangi mendapatkan serangan dari DI/TII. Inilah yang menimbulkan trauma

bagi TNI. Pergolakan yang ditimbulkan oleh umat Islam terkadang memang lalu

mendapatkan cap macam-macam.

Pergolakan Darul Islam, peristiwa di Lampung dan Aceh tentu ada

pengaruhnya. Sekarang sudah ada asas Pancasila. Dan tindakan selanjutnya

adalah harus ada pendekatan baru antara pemerintah, ulama dan umara. Jadi asas

tinggal mendukung. Sikap kekurangpercayaan harus sudah dihapus. Tapi

terjadilah tragedy Tanjung Priok. Paska kejadian itu melihat ABRI/TNI giat sekali

mengadakan pendekatan kepada golongan Islam.

Page 18: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

5

Sekarang ini demi kepentingan status quo, digunakanlah Pancasila untuk

tuduhan-tuduhan kecurigaan. Disebutkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang

ingin mengubah atau mengganti UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

digambarkannya bahwa keadaan Negara dalam keadaan darurat terus. Persatuan

bangsa dalam keadaan bahaya. Padahal umat Islam pada umumnya sudah

menerima asas Pancasila sebagai ideologi Negara. Dan dalam Pancasila itu, sila

yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, causa prima. Dimana Pancasila

sebagai ideology terbuka menerima baik pandangan dari semua aliran.

Sehingga pada masa-masa berikutnya hingga dua dasawarsa pemerintahan

Orde Baru, posisi Islam benar-benar “tersudutkan”.6

Barangkali sebab pokoknya

adalah karena “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan

strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke

arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah) dengan

beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian

cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam. Jika pada masa revolusi umat Islam

jelas begitu kental wawasan dan rasa kebangsaannya, maka pada “masa

tersudutkan” itu umat Islam dikesankan oleh situasi begitu tipis wawasan

kebangsaannya. Mungkin hal itu semakin diperparah karena kelompok komunis

dengan sangat sistematis dan efektif membesar-besarkan dan menghidup-

hidupkan terus tentang “kecelakaan sejarah” yang strategis tadi, dan kelompok

6 Lihat George McT. Kahin, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel

University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy-Indonesia

(Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962); Herbeth Feith, “The Dynamics of Guided

Democracy-Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967);

Daniel S. Lev, Transition to Guided Democracy (Cornel, 1966); Karl D. Jackson, Politic, Power

and Communication-Indonesia (Berkley: California University Press, 1982)

Page 19: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

6

komunis berhasil membuat masyarakat lupa akan kiprah komunis terutama dalam

pemberontakan Madiun pada Desember 1948. Disegi lain karena factor politik

yang semakin mengeras, kelompok-kelompok lain di luar komunis yang tidak

menyukai peranan umat Islam “memperhebat “ proses tersebut di atas. Hal itu

masih ditambah dengan pergolakan pemberontakan dibeberapa daerah yang

malangnya juga meletakan beberapa tokoh penting umat Islam Indonesia. Situasi

ini secara timabl balik menyebabkan bersemainya perasaan-perasaan tertentu pada

umat Islam terhadap pemerintah, khususnya ABRI/TNI.

Hubungan umat Islam dengan ABRI/TNI secara perlahan dan “cukup

mengejutkan” banyak kalangan non-muslim, mengalami perubahan substantive

sejak dasawarsa yang lalu. Ada beberapa factor penting yang mendorong

“perubahan dramatis” itu. Pertama, para generasi muda Muslim yang lahir

kebanyakan pada masa 1940-an mulai bertindak berbeda dengan pendahulunya

yaitu dengan melakukan antara mereka memang mendapat pendidikan tinggi di

luar negeri dengan pengaruh kultur cosmopolitan yang berbeda dengan

pendahulunya, namun aktualisasinya berbeda yakni lebih “terbuka”, lebih

dialogis, dan lebih akomodatif daripada kebanyakan pendahulunya.

Kedua, banyak perwira ABRI/TNI yang menempati posisi-posisi strategis

dan mereka datang dari kelurga Muslim yang lebih rasional, lebih akomodatif

dengan keseimbangan berpikir yang sangat kuat. Mereka juga lebih menyadari

makna potensi yang sangat besar yang dimiliki umat Islam bagi pembangunan

bangsa dan Negara.

Page 20: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

7

Dua kelompok baru tersebut, dari kalangan generasi penerus umat Islam

(sipil) dan para penerus ABRI/TNI, telah membuka wawasan umat Islam yang

lebih luas dan lebih terang benderang serta memberikan kesempatan untuk selalu

berpikir serta bertindak positif dan konstruktif pada kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara sebagaimana juga dikalangan ABRI/TNI dan pejabat

pemerintah umumnya. Dalam konteks ini beberapa tokoh ABRI/TNI menulis

refleksinya terhadap umat Islam. Namun perlu juga kita mengingat terus bahwa

kita selalu menyaksikan tendensi begitu kata-kata “umat Islam” disebutkan maka

serta merta orang mengajukan pertanyaan “umat Islam yang mana?”7

sebab

memang umat Islam sangatlah plural dengan tradisi berpikir yang luar biasa di

kalangan umat Islam.

Fenomena hubungan Islam dan militer di Indonesia khususnya pada masa

Orde Baru, yang dalam satu dasawarsa ke belakang ini mengalami perubahan

drastis.8

Dalam menyoalkan Islam dan militer.

Hubungan Islam dan militer (ABRI/TNI) bila ditelusuri korelasi antara

keduanya ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan militer dan Islam

di Indonesia. Misalnya, pertama, bukankah Islam9

dan militer10

pada jati dirinya

kental dan sarat muatan politik? Artinya, wilayah politik bagi mereka adalah

wilayah yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Dalam pengertian lebih jauh

7

Untuk pembahasan singkat mengenai keberagaman umat Islam, lihat Jalaludin

Rakhmat, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia,

Jakarta, Rajawali Press, h. 37-57 8

Lihat kata pengantar Yahya Muhaimin dalam buku Islam di Mata Para jenderal 9

Meminjam istilah K.H.A Wahab Chasbullah yang kurang lebih menyebutkan bahwa

hubungan Islam dan politik seperti gula dengan manisnya 10 Mengikuti Harold Crouch, militer di Indonesia telah menjadi organisasi kepentingan

pada awal berdirinya yang kemudian menjadi kekuatan politik utama setelah tahun 1965. Lihat,

Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986

Page 21: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

8

tentang politik, yakni Negara (state), bukankah Negara bagi Islam merupakan

institusi yang digunakan untuk memaksakan berlakunya suatu syariat11

,

sedangkan bagi militer Negara adalah institusi yang digunakan untuk kehendak

politiknya? Dengan demikian, bagi keduanya keperkasaan Negara atas

masyarakat mutlak diperlukan untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga

secara teoritis keduanya merupakan potensi ancaman serius bagi terciptanya civil

society, sekaligus tegaknya demokrasi.

Kedua, sekurang-kurangnya potensi politik yang berdasarkan keagamaan,

(baca Islam) adalah, tampaknya, satu-satunya bentuk yang masih dapat bertahan

untuk hidup.12

Semua politik aliran (nasionalis, sosialis, komunis dan tradisionalis

– Jawa) seperti apa yang diklasifikasikan oleh Lance Castle dan Herbeth Feith

telah tiarap, walaupun geliatnya terkadang menyala. Sedangkan militer adalah

pendiri sekaligus penyangga utama struktur pemerintahan pada masa Orde Baru.

Ketiga, pada dasarnya militer di Indonesia, seperti bidang apapun,

merupakan bagian dari masyarakat. Karena merupakan bagian dari masyarakat,

maka ia tidak bisa mengelak dari bagian dikotomi primordialisme yang tumbuh di

masyarakat. (Prisma, Harold Crouch: 1986). Sedangkan Islam menurut beberapa

pengamat yang meyakininya adalah sumber primordialisme. Sehingga wajar kalau

rumor yang beredar di tengah-tengah masyarakat tentang adanya ABRI hijau dan

ABRI merah- putih kadang-kadang ditelan mentah-mentah tanpa serve13

11

Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Bandung, 1973, h. 437-442 12

Oleh sementara lahirnya pihak ICMI, dianggap sebagai bangkitnya kekuatan politik

Islam (baca Masyumi) 13 Naiknya Feisal Tanjung sebagai panglima ABRI dan Hartono sebagai Kepala Staf

Angkatan Darat (KSAD) sebelum menjadi menteri penerangan oleh majalah Tiras dijadikan

laporan utama sebagai kemenangan kaum santri sekaligus berakhirnya kekuasaan L.B. Moerdiani

Page 22: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

9

Kajian pandangan militer terhadap Islam sebagai dasar Negara perlu

dilakukan, karena dalam konteks awal Orde Baru, pemerintah pusat yang dikuasai

oleh militer menolak untuk memberikan bagian kekuasaan yang lebih besar

kepada Islam.14

Karena menurut militer, agama merupakan salah satu bagian dari

masalah yang merintangi persatuan bangsa dan persatuan ketentaraan. Pengertian

agama dalam konteks tersebut adalah agama Islam yang doktriner, sebuah ajaran

yang berusaha menata kembali nilai-nilai Indonesia sesuai dengan nilai-nilai

Islam Timur Tengah.15

Di samping itu selama pemerintahan pada masa Orde Baru,

kasus-kasus keagamaan seperti Tanjung Priok, Aceh, Lampung, dan terakhir Haur

Koneng di Jawa Barat, berakhir dengan pengadilan politik dan mengakibatkan

jumlah tahanan politik Islam di Indonesia selama tahun 1985-1987 mencapai 200

orang lebih di berbagai lembaga pemasyarakatan.16

Mereka ditahan karena ingin

mendirikan Negara Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melemahkan

kelompok politik Islam dengan sedemikian rupa.

Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa kasus-kasus dan pengadilan

politik tersebut dapat terjadi? Apakah ini murni persoalan intern umat Islam?

Sebab banyak diantara kalangan intelektual dan pemikir keagamaan yang

menganggap bahwa kegiatan mereka harus bebas dari politik

dikalangan tentara atau de-Benyisasi. Penilaian ini menurut saya kurang relevan karena klasifikasi

polarisasi di intern tentara dengan adanya tentara hijau dan tentara merah-putih, atau Cilangkap

dan Cendana,atau Cendana dengan Cijantung sering digunakan oleh masing-masing pengamat

sangat berbeda-beda. Dengan kata lain, pendekatan model ini untuk “mengukur dan

memproyeksikan” kekuatan politik tentara kadang-kadang tidak mendekati kenyataan 14 Dewi Fortuna Anwar. “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam Prisma, No.

4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7 15

Howard M. Federspiel, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di

Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara

Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta. 1990, h. 42-43 16

Lihat majalah GUGAH, diterbitkan Serikat Mahasiswa Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta, edisi pertama 1990, h. 8-9

Page 23: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

10

(pemerintahan/kekuasaan). Karena itu, berteologi atau bahkan teologi itu sendiri

sebagai bagian dari kegiatan mereka mesti bebas dari kepentingan ekonomi

maupun politik. Tapi secara nyata hal ini dipastikan hampir tidak mungkin, sebab

pengetahuan (termasuk teologi) yang mereka hasilkan adalah kekuasaan. Dengan

kata lain, berteologi bagi umat Islam adalah sebuah praktik berpolitik.17

Pandangan tertentu dari militer terhadap Islam sebagai dasar Negara

sangat dimungkinkan karna beberapa hal. Pertama, Islam menjadi ideology

alternative selain Pancasila di masa sidang BPUPKI dan konstituante.

Kedua, ada relasi sejarah antara militer dan Islam dalam beberapa kasus

artikulasi politik Islam di masa lalu. Seperti DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakar,

Abdul Aziz, dan Daud Beureueh, misalnya. Akibat dari peristiwa ini, permintaan

reahabilitasi partai politik Masyumi tidak bisa dipenuhi, karena pada masa Orde

Lama Masyumi dituduh memprakarsai gerakan-gerakan separatis dan mendukung

pemberontakan DI/TII yang dimusuhi dan menimbulkan kerugian besar bagi

angkatan bersenjata serta pimpinannya (Nurcholis Madjid, 1979).

Ketiga, makin melemahnya kekuatan politik Islam pada masa Orde Baru,

untuk sebagian dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa ABRI dikuasai oleh

golongan abangan/priyayi, yaitu kelompok yang selalu cemas dengan kekuatan

Islam.18

Sehingga wajar apabila pada awal Orde Baru tujuan militer untuk

melemahkan kelompok politik Islam sedemikian rupa sehingga efektivitas Islam

sebagai ideology yang menentang falsafah Negara akan berakhir. Dan kekuasaan

17 Saiful Muzani, “Berteologi sebagai Praktik Politik, dalam Dr. Th. Sumartana dkk. (ed),

Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Interfide, 1994, h. 175 18

Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 7

Page 24: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

11

pemerintah dapat berlanjut tanpa pertentangan ideologis.19

Di samping itu juga,

larangan yang cepat atas demonstrasi-demonstrasi politik yang dipimpin oleh

beberapa organisasi mahasiswa Islam dalam masa peralihan tahun 1965.

Memperlihatkan dengan jelas kekhawatiran ABRI/TNI terhadap kelompok Islam

pada suatu saat akan merupakan ancaman terhadap dominasi politik ABRI/TNI itu

sendiri.20

Skripsi ini menelaah tentang perubahan yang terjadi dalam hubungan

militer dengan umat Islam di Indoneisa. Fenomena ini yang diambil sebagai studi

kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini

didasarakan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan

hubungan yang boleh dikatakan lebih baik diantara kedua kelompok tersebut.

Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an

terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer.

Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut

mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat

mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit

militer dengan elit umat Islam.

Kedektan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor

tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor

eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat

Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik

di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung

19

Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 8 20

Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 7

Page 25: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

12

perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin

menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam

tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi

yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan

melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan,

persamaan dan musyawarah.

Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat

Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai oleh

militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal

Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya

korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku

politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam.

Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang Islam

yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi

terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang

pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer

santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga

yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan

hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political

will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang

memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara

Page 26: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

13

(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan

munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.

Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses

demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara

juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di

Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang

terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai

pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama

Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk

memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.

Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer,

khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh

adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang

Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul

di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang

belum terlihat pada masa sebelumnya. Penulis juga ingin mengetahui seberapa

besar pengaruh perubahan yang terjadi diantara tahun itu. Penulis mengambil

periodesasi mulai tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 silam. Alasan

periodesasi ini adalah karena pada masa-masa itulah terjadi sebuah perubahan

hubungan pada sepak terjang politik militer Indonesia terhadap umat Islam

Indonesia, yaitu dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan ABRI/TNI

kepada kalangan umat Islam, para tokoh-tokoh Islam, yang diteruskan dengan

Page 27: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

14

kerjasama diberbagai ormas-ormas Islam. Pembatasan ini juga dimaksudkan agar

dalam pembahasan skripsi ini dapat lebih terfokus dan terarah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat kompleksitas masalah yang akan diteliti dan keterbatasan yang

dimiliki penulis, maka masalah yang dibahas oleh penulis akan dibatasi pada

perubahan hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam di Indonesia dalam wilayah

politik melalui perkembangan sejarah yang terjadi antara tahun 1990-1998.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka

permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana perubahan hubungan militer dengan ummat Islam antara

tahun 1990-1998 ?

b. Kebijakan politik Negara yang mepengaruhi hubungan diantara kedua

kelompok tersebut terhadap proses politik di Indonesia.

c. Bagaimana keberlangsungan hubungan ABRI/ TNI dengan orientasi

Politik umat Islam di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah :

a. Mempelajari sejarah hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam

b. Menganalisa proses perubahan hubungan yang terjadi diantara kedua

kelompok tersebut.

Page 28: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

15

c. Dalam konteks kekinian yang ideal, dari penelitian skripsi ini

diharapkan dapat menghadirkan pandangan baru, tidak hanya dalam

konteks militer dan Islam tetapi dalam konteks pandangan dari sudut

pengaruh hubungan kedua kelompok tersebut terhadap kehidupan

demokrasi di Indonesia sekarang ini.

2. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain:

1. Secara teoritis atau akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah

kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai hubungan relasi militer dan

Islam.

2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi TNI agar dapat

mewujudkan TNI yang profesional dan sesuai dengan nilai-nilai

demokrasi.21

3. Secara teoritis dan praktis dapat memberikan pandangan dan pembelajaran

bagi pergerakan politik Islam di Indonesia.

D. Studi Kepustakaan

Kajian mengenai perubahan hubungan militer dan umat Islam, sejak awal

masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika yang romantika yang sangat

menarik perhatian banyak kalangan, bukanlah hal yang baru dalam khazanah

kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai militer dan

umat Islam di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang mengupas

masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah. Namun

demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara menyeluruh mengenai

21 Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta:

Magna Script, 2004), cet. 1, h. 73-75

Page 29: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

16

perkembangan perubahan hubungan ABRI/TNI dan umat Islam – khususnya

dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.

Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam bentuk

buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perubahan hubungan ABRI/TNI

terhadap umat Islam Indonesia.

1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut

Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas

Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh

LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI

dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang

dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai,

kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan

fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu

banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini

dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota

TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental

dalam pembahasan buku ini.

2. Buku berjudul Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di

Indonesia (2005) dan Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi

Internal dan Profesionalisme TNI (2006), kedua buku ini ditulis oleh

Yuddy Chrisnandi seorang anggota DPR yang cukup kritis. Khusus untuk

buku pertamanya yang disebutkan di atas merupakan disertasi S-3 beliau

di Universitas Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka LP3ES. Saya

Page 30: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

17

mengakui, mungkin buku yang ditulis Yuddy ini merupakan buku yang

paling pantas dijadikan rujukan primer jika kita ingin membahas

persoalan seputar reformasi dalam tubuh TNI.

3. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer

Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis

oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di

Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam

skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer

khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan

dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer

sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap

perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku

sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di

Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal

hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia.

4. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar

belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi

Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam

Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu

cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni

sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu

melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama

Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan

Page 31: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

18

militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya

seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung

persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang perubahan

hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia.

5. Skripsi berikutnya yang di susun oleh Yusup Fadli adalah MILITER DAN

POLITIK Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI Dan Implikasinya

Terhadap Transisi Demokrasi Di Indonesia 1999-2004. Di dalam

pembahasan skripsi ini membahas keterlibatan institusi militer dalam

belantara politik Indonesia membawa dampak yang begitu luas bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara. Di tengah-tengah pusaran politik tersebut, kalangan

militer kemudian menyalurkan syahwat politiknya dan menentukan arah bandul

politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan tentara.

Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai

hubungan ABRI/TNI dan Islam, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup

UIN perihal perubahan hubungan ABRI/ TNI terhadap Islam di Indonesia masih

sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian

skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti

dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara

khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya

dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan

Page 32: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

19

menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.22

Analisa

data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan

menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi.23

Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Rencana sistematika penulisan skripsi ini terbagi dari lima 5 bab. Dari

masing-masing bab merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam melihat

persoalan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu tentang perubahan hubungan

militer dengan umat Islam di Indonesia, dalam hal ini diupayakan pemetaan

secara teoritis untuk lebih memfokuskan penelitian. Dengan didukung oleh sebuah

metode, penulisan skripsi ini berusaha menempuh langkah-langkah yang lebih

efektif dan objektif dalam menelaah permasalahan skripsi ini.. Pertama, bab ini

terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Kedua, pembahasan dalam bab ini adalah pola hubungan militer dan Islam, yang

terdiri dari, konsep hubungan militer dengan umat Islam Indonesia, serta militer di

era transisi status quo. Bab kedua ini mengupas masalah Islam dalam pergumulan

politik Orde Baru. Pada bab ini akan dikupas pergulatan politik umat Islam di

Indonesia sejak awal Orde baru dan perkembangannya sampai pada akhir tahun

1980-an. Hal ini dikarenakan sebagaimana kita ketahui sepanjang masa tersebut

22

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka

Cipta, 2002), h. 206 23 Arikunto, Prosedur Penelitian…h. 213

Page 33: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

20

politik Islam di Indonesia mengalami masa-masa kesuramannya dan mendapatkan

perlakuan diskriminasi. Karena pergulatan umat Islam tersebut merupakan

kelanjutan dari hiruk-pikuk dari politik Orde Lama, maka akan sedikit dikupas

pula bagaimana posisi umat Islam pada masa Orde Lama, khususnya menyangkut

peran partai politik Islam di Indonesia. Ketiga, pada bab ini akan dibahas tentang

perihal keterlibatan TNI dalam politik Indonesia, yang berisi tentang historiografi

berdirinya TNI, dan sejarah masuknya TNI ke dalam wilayah politik yang

mengungkap tentang sepak terjang militer sejak awal pemerintahan Orde Baru,

termasuk dilegalkannya konsep dwifungsi ABRI/TNI oleh DPR. Konsep ini yang

kemudian melegalkan semua kegiatan militer baik dalam bidang social maupun

politik, bahkan berlanjut dalam masalah bisnis. Perkembangan ini sebenarnya

tidak sepenuhnya tumbuh pada masa Orde Baru. Fenomena yang mengarah pada

peran ganda militer telah diperhatikan pada masa Orde lama juga. Oleh sebab itu,

mengupas peran militer pada masa Soekarno menjadi sangat penting untuk

melacak akar keadaan sejarah keterlibatan militer dalam kehidupan social politik

bangsa indonesia.

Keempat, sebagai bab inti, bab ini secara khusus akan mengupas pola

perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia pada awal Orde

Baru. Pada bab ini akan diungkap pasang surut hubungan di antara kedua

kelompok tersebut. Hubungan yang terjadi secara pasang surut ini tidak hanya

terjadi pada masa Orde Baru, tetapi juga terjadi pada masa Orde Lama. Dari

pengungkapan sejarah ini maka akan ditemukan titik temu hubungan di antara

kedua kelompok tersebut dilihat dalam lintasan sejarah perjuangan bangsa

Page 34: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

21

Indonesia, (baik pada awal kemerdekaan maupun dalam perkembangan

selanjutnya). Sekaligus analisa tentang militer dan umat Islam menjelang masa-

masa berahirnya pemerintahan Orde Baru sampai awal Reformasi. Pada bab ini

sekaligus diungkap berlangsungnya peristiwa yang menunjukan bagaimana pola

hubungan antara militer dengan kelompok Islam di Indonesia sebagai indikator

tingkat hubungan di antara mereka. Walaupun tidak semua bukti menunjukan

kenyataan pola hubungan yang terlihat “harmonis” tetapi paling tidak, akan

terlihat adanya pola hubungan baru antara militer dengan kelompok Islam.

Kelima, bab ini adalah penutup sebagai konklusi dari keseluruhan analisa

skripsi ini, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bab ini mengupas inti

kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian skripsi ini yang menyangkut

perubahan hubungan antara militer dengan umat Islam di Indonesia periode 1990-

1998. Di samping itu akan disinggung secara kritis dampak langsung dari

hubungan tersebut bagi kehidupan politik bangsa Indonesia yang “plural dan

heterogen”, serta rencana agenda ke depannya yang harus direalisasikan oleh

militer dan umat Islam di Indonesia dalam rangka mambangun system yang

profesional di dalam organisasi militer dan membangun kehidupan yang madani

bagi umat Islam Indonesia.

Page 35: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

22

KETEGANGAN:

Awal mula persinggungan umat Islam dengan militer adalah adanya

“kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi

dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke

arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah)

dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian

berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam yang

dikesankan sangat tipis wawasan kebangsaannya. dan berujung pada

tindakan pemberontakan disebagian kelompok umat Islam yang mendapat

label separatis oleh militer…karena pada saat Orla, Soekarno masih terus

berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology tunggal dan

menyingkirkan symbol-simbol Islam.

Soeharto menganggap perlu penjinakan terhadap kekuatan politik Islam,

yaitu dengan cara peminggiran politik Islam yang menimbulkan sikap

sinis dan akahirnya Negara berhasil menundukan Islam secara politik,

ideology dan intelektual. Hal itu dikarenakan pemerintahan rezim militer

ORBA belajar dari pengalaman ORLA, bahwa kekuatan politik Islam

mampu membuat ketidakstabilan politik dan pemerintahan, (ex):

Demonstrasi, perombakan cabinet, stabilitas hankam dan ekonomiyang

menghambat laju pembangunan. Akibatnya selama puluhan tahun sejak

kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi

dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing

lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi

Page 36: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

23

juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum

pernah hilang dari kesadaran politik kolonial.

Keibijakan Orba pada umat Islam hanya pada ranah ibadah ritual karena

sejak masa rezim militer Orba, Pancasila sering dihadapkan dengan

komunisme dan Islam. Bagi agenda politik Orba adalah depolitisasi

(pembatasan ruang gerak) Islam, proyek ini didasarkan pada asumsi Islam

yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi dan

pembangunan. Hal ini yang menjadikan Orba bersikap memingggirkan

politik Islam ketika Islam memasuki ranah doktrin ideology politik yang

tercermin dalam “militansi Gerakan, islam dijadikan ideology manifest

(nyata/wujud) dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang

diwujudkan dalam bentuk komando Jihad, keberadaan symbol-simbol

Islam dan kelompok Islam radikal. Hal ini sama dengan kebijakan Belanda

yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam Kultural.

Belanda menganggap Islam sebagai kekuatan antikolonialisme. Karena itu

Orba dengan rezim militernya membuat kebijakan yang mempromosikan

Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah saja dan menjauhkan

dari Negara. Dan dalam hal ini Islam diposisikan sama dengan PKI,

bahkan lebih berbahaya. Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi

menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan

yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak yang dalam sejarahnya

dengan bantuan umat Islam ABRI/militer mampu menumpas PKI.

Page 37: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

24

Militer pada tahun 1970 sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh-

musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan.

Istilah umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk

menunjuk orang-orang yang terkait dengan Komunisme, dan ekstrim

kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal (Islam Politik). Tidaklah

mengherankan jika pada masa Orba militer sangat menghegemoni

kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas nama stabilitas dan

pembangunan militer melakukan penetrasi ke masalah-masalah

kemasyarakatan, persolan politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan,

organisasi, dll. Tak jarang militer melakukan tindakan refresifitas terhadap

para aktivis yang melakukan penolakan atas nama kebijakan Orba.

Rezim militer yang tercermin dalam Orba Soeharto lebih dekat pada

kekuatan politik dan militer Abangan dan non-muslim yang

mengakibatkan kekuatan politik Islam terpinggirkan, dominasi elit militer

yang dipimpin dari kalangan abangan dan non-muslim yang diwakili oleh

Ali Moertopo, Soedomo, L.B. Moerdani mereka adalah orang-orang

terdekat Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis

dalam pemerintahan Orba dan secara langsung mempengaruhi sikap

militer terhadap umat Islam. hal ini yang menjadikan umat Islam menjadi

radikal seperti tragedy Tanjung Priok, Lampung, Aceh dll…hal ini karena

tingkat sikap represif militer terhadap umat Islam yang dirasakan sudah

melewati ambang batas.

Page 38: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

25

HARMONIS:

1970-an awal dari Tampilnya pembaharuan pemikiran politik Islam,

perubahan yang terjadi tidak lepas dari peran serta para cendikiawan

muslim yang berhaluan modernis. Yang sejak awal yang sejak awal telah

memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang

menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal

daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka

tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan

melalui semua lembaga dan organisasi. lembaga pendidikan yang

ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi

pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk

masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam

yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan

Negara merupakan realitas tunggal, keduanya memiliki hubungan yang

menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi.

Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan

umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan

system (asas tunggal, fusi partai) politik pada saat itu yang menghendaki

umat Islam sebagai kelompok yang marginal dan terbuang. Kedekatan

hubungan yang dilakukan militer ditanggapi dengan proposional oleh

kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah (melupakan masa lalu yang

penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara militer dan umat Islam

membangun cita-cita bangsa.

Page 39: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

26

Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman,

muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun

1990-an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini

merupakan bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di

berbagai tempat maupun lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan

pemerintah, telah banyak berdampak dalam institusi militer. Militer tidak

lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam integrasi,

tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa menunjang terhadap laju

pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Feisal Tanjung menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam

sebagai penduduk yang mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam

sejarah bangsa. Oleh sebab itu, militer dan umat Islam lah yang paling

menderita bila terjadi malapetaka.

Page 40: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

BAB II

KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK

A. Pergerakan Politik umat Islam pada masa penjajahan

Gerakan sosial politik pertama kali dipelopori oleh Syarikat Dagang Islam

(SDI) tahun 1905 yang kemudian melahirkan Sarikat Islam (SI) sebagai gerakan

partai politik Islam pertama kali di Indonesia kemudian berubah menjadi Partai

Syarikat Islam Indonesia (PSII). Peran politik umat Islam melalui partai-partai

Islam dapat lihat, sejak masa Kolonial Belanda sampai kemerdekaan. Selain

Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik Islam pertama pada masa Kolonial

Belanda, muncul juga Partai Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) dan Partai

Islam Indonesia (PII). Bersama dengan kedua partai Islam tersebut, Sarekat Islam

(SI) mengisi kehidupan politik umat Islam di Indonesia. Di antara ketiga partai

itu, Sarekat Islam (SI) yang paling berperan dan dianggap sebagai partai umat

Islam pada waktu itu.

Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, datanglah Jepang

dengan membawa janji-janji. Kehadiran Jepang, tak beda dengan pendahulunya

sebagai penjajah bangsa Indonesia dengan mengeksploitasi umat Islam dan rakyat

secara keseluruhan. Perbedaan diantara keduanya terletak pada akses yang

diberikan. Pihak Jepang lebih terbuka menerima umat Islam dan memberikan

akses secara terbuka bagi umat Islam untuk bergabung dalam kantor-kantor

Departemen Agama bentukan Jepang seperti shumuka dan shumubu. Sedangkan

Page 41: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

pihak Belanda tidak memberikan akses. Pada masa penjajahan Jepang, Masyumi

21

Page 42: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

22

dibentuk pihak Jepang sebagai pengganti MIAI, dengan harapan Masyumi dapat

menjadi wadah penyalur aspirasi umat Islam dan sekaligus sebagai mediator

komunikasi antara pihak Jepang dengan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam.

tapi Masyumi bentukan Jepang tidak berperan sebagaimana yang diharapkan.

Tetapi ada keuntungan dari Jepang yang diperoleh rakyat Indonesia khususya

umat Islam yaitu pelatihan kemiliteran yang dapat digunakan untuk merebut dan

meraih kemerdekaan.

“Anda tidak dapat membayangkan bagaimana hebatnya kepanikan dalam bulan

Mei dan Juni (1913) di kalangan orang Eropa mengenai Sarekat Islam” (Van

der Wal)

(Firman Noor, CIDES) Kepanikan luar biasa yang dirasakan oleh orang

Eropa di nusantara saat datangnya institusi pengiring “ratu adil” di lembaran baru

abad ke-20 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dinafikan. Seperti gelegar

auman harimau di tengah lelapnya malam, hadirnya pergerakan anak bangsa itu

telah menciutkan hati kaum penjajah yang selama bertahun-tahun hidup dalam

ketenangan tanpa ganguan berarti. Tidak pernah sebelumnya terjadi kekalutan

yang demikian besar menghinggapi hati kaum penjajah. Tidak pula saat

sekelompok elit Priyayai Jawa yang berkumpul di Batavia mendeklarasikan

organisasi yang mereka namai Boedi Oetomo (BO) yang menuntut perluasan hak

ajar bagi priyayi rendahan pada tahun 1908.1

Barulah ketika mulai banyak

1

Bagi Penguasa Belanda Boedi Oetomo sama sekali tidak membahayakan. Selain karena

berisikan kalangan pegawai pemerintah yang loyal (yang lebih suka berbahasa Belanda atau Jawa ketimbang Bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuanya), tujuan organisasi ini pun dianggap

tidak mengusik sama sekali penjajahan (karena hanya mencakup masalah perbaikan pendidikan

yang sebenarnya telah dicanangkan oleh Belanda dengan politik etis) dan bersifat segmenter (tidak

Page 43: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

23

pribumi – yang dianggap sebagai inlander, jongos, warga negara kelas terendah –

melakukan perlawanan dengan berteriak “Sarekat Islam!” angin perubahan (the

wind of change) dengan lambat tapi pasti mulai dirasakan.

Menurut APE Korver fenomena kepanikan yang belum pernah dirasakan

sebelumnya menunjukan awal dari datang sebuah masa menuju pembebasan

nasional, sekaligus menjadi bukti bagaimana sebuah organisasi yang

mengatasnamakan Islam mampu berperan sebagai motor emansipasi dalam

perjuangan mengukuhkan jati diri dan merebut keadilan.2

Sambutan yang

demikian antusias dan cepat di seluruh penjuru tanah air, mulai dari Aceh,

Palembang, Banten, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, hingga Donggala,

menjadi bukti tingginya pengharapan anak bangsa terhadap SI. Fenomena ini

telah memaksa Gubernur Jenderal Idenburg dan aparatnya meningkat

kewaspadaan, sembari bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi. Hal yang

pasti, jika BO mendapatkan pengakuan dengan mulusnya, maka SI dipaksa

dipecah sejak kelahirannya. Dan tidaklah karena potensi pemersatunya itu,

Idenburg melakukan kebijakan devide et impera terhadap SI.

Dalam semangat zaman yang terbukti tidak akan pernah kembali itu,

kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai oleh deru nafas milenaristis dari

peluh keringat kaum tertindas bumiputera. Rasa persatuan dan kesadaran

perlawanan “kaum koeli” memasuki tahapan baru yang dipicu dengan munculnya

SI, sebuah perserikatan yang “tidak umum” dan radikal dimasanya. Sebuah

perserikatan yang mampu menarik perhatian hampir semua golongan tidak saja

berupaya menjadi alat persatuan seluruh anak bangsa) dengan hanya memfokuskan bagi upaya

peningkatan perbaikan hidup orang Jawa dan Madura 2

A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 1

Page 44: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

24

kalangan Islam puritan, kaum pedagang dan rakyat jelata, namun pula orang

abangan, para priyayi progresif dan bangsawan. Sebuah perkumpulan yang

bersifat lintas-etnis karena tidak saja menggugah dan meningkatkan pengharapan

orang Jawa, Madura, Pasundan, maupun Betawi, namun pula beragam suku mulai

dari Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil hingga Sulawesi.

Tidak itu saja, di dalam organisasi yang muncul di jantung Pulau Jawa ini,

berkumpulah tokoh-tokoh besar pergerakan (yang belakangan kemudian menjadi

ideologi dari berbagai macam keyakinan politik) seperti Samanhudi, R HOS

Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, KH Ahmad Dahlan, sampai dr

Sukiman, Kartosoewiryo, Ki Hajar Dewantara, Semaoen, Darsono. Semuanya

mengusung sebuah keyakinan akan pembebasan, persatuan, perlawanan, dan

kemandirian atas dasar identitas dan keyakinan bersama dalam SI, meski

kemudian beberapa di antara tokoh itu keluar atau dikeluarkan. Dengan luasnya

cakupan dukungan itu tidak mengherankan jika pada tahun keempat

keberadaannya organisasi ini telah mendapatkan anggota sekitar 700.000 orang

yang tersebar di 180 cabang.3

Sebuah prestasi yang secara nominal tidak ada

tandingnya kala itu dan secara substansial telah mengkokretkan makna persatuan

atas dasar rasa senasib sepenanggungan, bukan status sosial atau keetnisan.

3

Banyak versi mengenai jumlah anggoat SI dalam periode awalnya (1912-1916). Deliar

Noer misalnya menyebutkan angka 860.000 terkait dengan mereka yang hadir dalam Kongres

Nasional pertama pada tahun 1916. Namun angka 700 ribu nampak relatif masuk akal dengan demikian besar dan pesatnya pertumbuhan organisasi ini di seluruh Indonesia. Di Sumatera

Selatan misalnya 1 dari 3 laki-laki bumiputera pada tahun-tahun tersebut diyakini adalah anggota

SI

Page 45: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

25

Meski kemudian mengalami pasang surut,4

namun peran dari organisasi massa

dan cikal bakal partai politik tertua di Indonesia itu sulit dipisahkan dari upaya

menghadirkan persatuan Indonesia. Dalam organisasi inilah segenap asa anak

bangsa terkumpul dan derap awal pergerakan kemerdekaan nasional berawal.

Rezim waktu pun memperlihatkan bagaimana sikap, keberpihakan dan

pandangan-pandangan SI demikian relevan dalam menyemai bibit rasa

kebangsaan, solidaritas dan persaudaraan di bumi pertiwi.

Sebagaimana umum diketahui, bahwa pada hakekatnya kebangsaan atau

nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian. Benedict Anderson

misalnya melihat nasionalisme sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat

beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling mengenal atas dasar

persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah

kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu.5

Anderson memaklumi

bahwa ikatan persaudaraan itu dapat beragam pemicunya, namun hal itu menjadi

fundamen mutlak yang harus ada dalam menciptakan komunitas imajiner yang

disebut bangsa itu. Sedangkan dalam pandangan Montserrat Guibernau dan John

Rex, sejalan dengan pandangan “bapak teori nasionalisme” Ernest Rennan,

dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada

wilayah politik tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan “kemauan untuk

bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan (trans

4

Mengenai fase perkembangan organsisasi sampai dengan tahun 1945 ini lihat dalam

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 70 dan 114 5

Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism (London: Verso Editions and NLB), 1983

Page 46: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

26

etnis, pen)”.6

Sementara itu, Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai

prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit

politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.7

Dalam batasan ini

kesediaan bersatunya kelompok-kelompok etnis menjadi sebuah prasyarat bagi

hadirnya sebuah entitas kebangsaan. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa

nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah nasionalisme yang

menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang

komprehensif.8

Maksudnya adalah sebagai sebuah nasionalisme yang mengajak

(participative), tidak diskriminatif dan produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan

kesejahteraan. Kearah itulah sebenarnya makna keindonesiaan itu tertuju karena

sifatnya yang jauh dari semangat chauvinistik.

Adapun pengertian nation (bangsa) menurut Gellner adalah kondisi di

mana sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, termasuk kesamaan dalam

konteks sistem ide, simbol, perkumpulan dan cara bertingkah laku dan

berkomunikasi, dan mengakui bahwa mereka terikat oleh persaudaraan atas dasar

kebangsaan.9

Makna generik yang bersifat antropologis ketimbang normatif ini

cukup relevan digunakan untuk mendefiniskan bangsa di manapun berada.

Meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek

modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini, dari berbagai pandangan tersebut

dapat dilihat sebuah benang merah bahwa semangat untuk rela bersatu dan

kepentingan masa depan merupakan esensi dari sebuah bangsa.

6Montserrat Guibernau dan John Rex (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism,

Multiculturalism and Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997), h. 8 7 Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), h. 1 8

Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 11 9

Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 7

Page 47: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

27

Tentu saja batasan kebangsaan di atas bukanlah sesuatu yang final.

Beberapa imbuhan perlu dimasukan ke dalam batasan generik itu. Dalam konteks

pergerakan nasional, maka persoalan kebangsaan sejatinya terkait pula dengan

masalah pembentukan identitas nasional, dengan misalnya kesedian membuat

batasan yang jelas antara “kita” dan “mereka” dalam berhadapan dengan kekuatan

kolonial. Batasan ini dibutuhkan dalam konteks praktis terutama dalam rangka

memperjelas identifikasi masalah dan arah perjuangan. Penumbuhan semangat

solidaritas dan persaudaraan dalam payung luka sejarah yang sama juga tidak

dapat dilepaskan dalam batasan ini sebab belakangan akan turut menentukan ruh

dari bangun imajiner kebangsaan. Lebih dari itu, semangat kebangsaan itu terkait

pula dengan upaya dan keinginan untuk melakukan pembebasan, emansipasi dan

partispasi politik bagi seluruh rakyat dan komitmen penentangan atau perlawanan

terhadap sistem kolonial yang menghisap. Kesemuanya itu pada akhirnya tidak

lain ditujukan untuk membangun kedaulatan yang seluas-luasnya. Dan dari

batasan-batasan tersebut seperti komitmen SI mengenai penumbuhan semangat

kebangsaan akan dilihat dalam beberapa indikator perjuangan umat Islam masa

penjajahan yang terwakili oleh gerakan SI.

A.1. Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI

Para pemerhati gerakan kebangsaan Indonesia secara umum meyakini

bahwa Sarekat Islam, yang umum disepakati lahir pada tahun 1912, merupakan

organisasi pertama yang bersifat lintas kelas dan etnis, bahkan ideologi.10

Dalam

10 Mengenai sejarah pembentukan Sarekat Islam yang didahului oleh Sarekat Dagang

Islam (SDI), sebuah organisasi yang dibentuk oleh H. Samanhudi 1905 dan juga belakangan oleh

R.M Tirtoadisuryo 1910, di bilangan Bogor, lihat misalnya Deliar Noer, Gerakan Modern

Page 48: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

28

kapasitasnya tersebut organisasi ini dipandang sebagai sebuah agensi yang

memiliki karakteristik pemersatu yang berjiwakan semangat nasional. Jika Budi

Oetomo (BO) dilihat oleh sebagian kalangan sebagai organisasi pergerakan yang

cenderung bersifat elitis dan bahkan punya kecenderungan menjadi pendukung

terbentuknya “nasionalisme jawa”11

, maka Sarekat Islam merupakan organisasi

yang berkontribusi dalam menegakan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dalam episode paling dinamis dalam sejarah pergerakan awal

politik bumiputera pada awal abad ke-20, baik dalam bentuk pemikiran-pemikiran

maupun aksi dan gerakan politik. Meski pada awalnya SI menolak disebut sebagai

gerakan politik, hal itu sesungguhnya hanya merupakan pandangan sesaat yang

segera saja bermetamorfosis. Bahkan George McTurner Kahin, dengan

menimbang situasi politik kolonial saat itu, melihat langkah awal SI itu hanya

sekedar kamuflase atau strategi jangka pendek untuk menghindari tekanan

pemerintahan kolonial pada masa-masa awal pembentukannya.12

A.2. Islam dan Soal Kebangsaan

Terlepas dari itu, satu hal yang nampaknya menjadi sandungan bagi SI

untuk sepenuhnya diakui sebagai pergerakan kebangsaan adalah soal

keislamannya. Oleh karenanya memahami ke mana arah mana Islam yang

dimaksud dari organisasi ini adalah penting adanya, sebelum melihat fakta-fakta

sejarah seputar nilai-nilai kebangsaan SI.

Islam di Indonesia 1900-1942… h. 14-18. Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?

…h. 11-21 11

Lihat misalnya pandangan sedemikian dalam Syafiq A Mughni, “Munculnya

Kesadaran Nasionalisme Umat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi

Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006), h. 527 12

George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University

Press, Itacha, 1952), h. 8

Page 49: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

29

Para pengamat gerakan Islam di tanah air, nampak sepakat untuk menempatkan

organisasi ini sebagai bagian dari barisan gerakan modern Islam (Islam modernis).

Dengan kapasitasnya tersebut SI ditempatkan sama dengan organisasi semacam

Muhammadiyah, Persis dan juga belakangan Masyumi. Dalam pemahaman

kelompok modernis Islam dipandang lebih dari sekedar agama privat yang

bersifat individualistik dan mengatur semata hubungan antara tuhan dan

ciptaannya. Sebaliknya, Islam diyakini merupakan agama yang memberikan ruh

(spirit), kebijakan (wisdom) dan arah (way) bagi kehidupan sosial dan konstruksi

peradaban Dan Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan baik tersirat (substansi)

maupun tersurat (formal) tentang pengelolaan sebuah kehidupan sosial dan politik

yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ketuhanan semasa hidupnya. Atas dasar

itulah Islam dalam pandangan SI merupakan pedoman yang relevan bagi

kehidupan sosial, termasuk juga politik bagi setiap muslim.

Dengan batasan pemahaman itu nilai-nilai politik Islam, baik yang tertulis

dalam Al-Qur’an maupun yang tercontohkan dalam Negara Madinah, seperti

keadilan sosial, semangat pembebasan, pengutamaan musyawarah, pengakuan

terhadap pluralisme dan persamaan manusia, serta pengedepanan rasa

persaudaraan, menjadi landasan berpolitik bagi setiap umatnya, tidak terkecuali

SI. Secara umum nilai-nilai itu menjadi legitimasi yang paling fundamental bagi

SI untuk mengokohkan perjuangannya. Dalam konteks pergantian abad 20, nilai-

nilai itu semakin nyata dan relevan dalam upaya melakukan perlawanan terhadap

sistem kolonial sekaligus sebagai modal perjuangan bagi ummat Islam pada

khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Dalam memahami nilai-nilai

Page 50: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

30

keislaman, di sisi lain, kalangan Islam modernis tidak a priori anti terhadap

pandangan-pandangan Barat. Atas dasar itulah secara umum kalangan ini dapat

menerima konsep-konsep politik Barat seperti kedaulatan rakyat, demokrasi,

negara-bangsa, atau juga sosialisme.

Sedangkan secara khusus terdapat enam hal yang melandasi digunakannya

Islam dalam pergerakan politik Indonesia. Pertama, kenyataan historis bahwa

rakyat dengan tokoh-tokoh pejuang yang mempertahankan wilayahnya melawan

kekuatan kolonial adalah umat Islam yang dipimpin oleh figur-figur ulama

ataupun bangsawan muslim. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat hikayat

perjuangan mereka disamakan dengan hikayat perang sabil. Kedua, secara

demografis umat Islam dengan latar belakang budaya yang beragam, yang

berserak mulai dari ujung barat hingga ujung timur nusantara adalah kelompok

mayoritas bumiputera. Kahin mencatat setidaknya lebih dari 90% bumiputera saat

itu adalah muslim.13

Dengan kondisi sedemikian, Islam merupakan sebuah elemen

yang berpotensi besar sebagai tali pengikat yang menyatukan kaum bumiputera

dibandingkan ideologi apapun saat itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh

Tjokroaminoto bahwa Islam adalah sarana bersatunya beragam suku dan budaya

yang terpecah-pecah.14

Ketiga, secara matematis-empiris kelompok marginal yang paling

merasakan penderitaan lahir batin dan terhinakan selama bertahun-tahun adalah

umat Islam. Dan dengan makin tidak diindahkannya martabat dan nilai-nilai

kemanusiaan, sesungguhnya telah pula melecehkan esensi ajaran Islam itu sendiri.

13 George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University

Press, Itacha, 1952), h.50 14

Lihat dalam “Kaoem Moeda”, 6 Juli 1915 dalam Korver, h. 66

Page 51: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

31

Oleh karenanya umat Islam dituntut untuk melakukan perenungan maupun aksi

nyata dalam rangka mematahkan segenap bentuk penghisapan sesama dan

pelanggaran hak asasi manusia yang notabene bertentangan dengan ajarannya.

Keempat, dalam konteks ideologis menguatnya penetrasi Barat dan

kepentingan kapitalisme telah secara lambat namun pasti menggoyahkan sendi-

sendi kehidupan asali kaum bumiputera. Peran agama yang telah demikian

mengakar lambat laun digantikan oleh sudut pandang dan identitas yang

bertentangan dengannya. Disinilah Islam kemudian dipandang relevan untuk

dijadikan simbol pemulihan identitas dan jati diri anak bangsa.

Kelima, makin menguatnya fragmentasi sosial antara pribumi dengan kalangan

warga negara kelas dua (oosterlingen), terutama kalangan Cina, membutuhkan

landasan filosofis dan praktis bagi upaya perlawanan dan persatuan kalangan

bumiputera di tengah persaingan yang demikian keras.

Keenam, secara politis makin tidak dapat diharapkannya peran kalangan

elit pribumi – terutama para priyayi pro-status quo, maupun kalangan agamawan

konservatif – untuk bersama-sama kaum tertindas berjuang menuntut hak-hak

bumiputera. Dalam situasi sedemikian maka umat Islam dan tokoh-tokoh SI

berusaha untuk menjelmakan diri untuk dapat menjadi media bagi rakyat dalam

merebut keadilan dan kebebasan melalui sebuah pendekatan keislaman yang lebih

aktual.

Dalam perkembangannya, Islam kemudian membawa peran yang unik

dalam percaturan pergerakan kebangsaan. Di satu sisi dia kerap dicurigai sebagai

kekuatan ortodoks yang bersikap intoleran dengan keberagaman dan reaksioner

Page 52: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

32

terhadap kemajuan zaman. Dalam satu tarikan nafas tidak jarang Islam dan

ummatnya kemudian dianggap sebagai penghalang bagi tumbuhnya sebuah

kekuatan kebangsaan yang modern. Demikianlah misalnya dapat didengar

pandangan Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, yang mengatakan:

“Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya...sebab itu soal

agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang

kesulitan”.15

Namun di sisi lain, secara lebih objektif, Islam dan ummatnya dipandang

sebagai pilar utama bagi perkembangan rasa kebangsaan di nusantara. Dalam

pandangan yang kedua inilah dapat kita lihat simpulan para pemerhati sejarah

pergerakan kebangsaan yang memberikan penghormatan yang lebih proporsional

akan peran Islam dalam membongkar kebekuan kolonialisme sekaligus

mengangkat setinggi-tingginya hakekat perjuangan bangsa atas dasar kepentingan

nasional di Indonesia. Satu kesimpulan nampaknya dapat mewakili fenomena

yang lebih objektif tentang peran Islam dalam pergerakan kebangsaan

menyatakan bahwa Islam tidak hanya menekankan pentingnya persatuan, tetapi

juga mengembangkan sentimen dan solidaritas anti-kolonialisme asing dan

mengilhami berbagai gerakan masyarakat menentang penjajahan. Sejurus dengan

pandangan itu Fred Von der Mehden meyakini bahwa: “Islam karena itu lebih dari

sekadar agama, tetapi juga sebagai faktor yang mendorong ekspresi perlawanan

15

Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam

www.eramuslim.com

Page 53: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

33

terhadap dominasi ekonomi, superioritas sosial dan kontrol politik rejim

kolonial”.16

Terlepas dari perdebatan itu, dalam pemaknaan Islam yang dimilikinya

dan peran penting kesejarahannya yang telah terekam dengan jernihnya, maka

dibawah ini akan diulas pijar-pijar semangat kebangsaan SI. Pijar-pijar

kebangsaan yang terefleksikan dari empat hal utama, yakni sebagai peletak dasar

identitas dan perlawanan nasional, sebagai media penyadaran akan arti

pembebasan dan emansipasi politik, sebagai motor pendorong solidaritas dan

persaudaraan, dan sebagai penganjur yang gigih upaya pembentukan model

ekonomi yang mandiri dan berkeadilan.

A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan

Sebuah upaya besar yang diraih oleh SI dalam masa awal keberadaannya

adalah penyadaran tentang identitas nasional. Identitas ini dilihat baik dari sudut

pandang keagamaan, yakni sebagai seorang muslim yang bersaudara yang tengah

mengalami tekanan dari mereka yang beragama lain, dalam konteks kelas sebagai

kaum tertindas yang menjadi korban penjajahan negeri asing dengan antek-

anteknya, maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang direndahkan

martabatnya baik oleh kaum imperialis kulit putih maupun kulit berwarna lainnya.

Dengan mengusung nilai-nilai Islam terangkumlah tiga kesadaran di atas yang

kemudian memunculkan kesadaran sebagai sebuah entitas kebangsaan yang satu.

Adanya kesadaran akan entitas bersama yang satu inilah yang kemudian

16 Fred R. von der Mehden, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma,

Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of Wisconsin Press, 1968), hh

12-3 dalam Mughni, op.cit, h 529

Page 54: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

34

menyadarkan sebagian besar bangsa kita tentang konstelasi sosio-politik Hindia

Belanda dan kedudukan mereka dalam konstelasi itu.

Adanya pemahaman mengenai letak kedudukan mereka yang

sesungguhnya itulah yang pada gilirannya makin menguatkan makna dikotomi-

dialektik antara “kita” (kaum terjajah) dan “mereka” (para penjajah) dan

memantapkan semangat solidaritas dan persaudaraan, yang kemudian semakin

mendekati makna kebangsaan sebagaimana yang dinyatakan baik oleh Anderson,

Gellner maupun Renan. Di sini Islam, sebagai sebuah agama menjadi self-

assertion dalam melawan rejim kolonial.

Demikianlah SI dengan prinsip “nasionalistisch-islamistisch” kemudian

menjadi tumpuan bagi kerumunan mayoritas warga Hindia Belanda yang saat itu

seolah hidup nyaris dengan atau tanpa kebanggaan identitas. Dan dengan

semangat identitas baru itu SI tidak saja mampu mencanangkan sebuah upaya

penyadaran untuk tidak lagi terpecah-pecah baik atas dasar status maupun etnis,

namun pula menumbuhkan semangat perlawanan atas dasar kesadaran identitas

itu. Disini berlakulah hukum identitas di mana adanya identitas akan membawa

kebanggaan, kesetiaan sekaligus kesediaan untuk berkorban para pemiliknya.

Rasa kebanggaan akan identitas itu dalam SI tercermin misalnya dari

penggunaan bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuan organisasi, Anggaran

Dasar (statuten), dan dokumen-dokumen resmi;17

digunakannya istilah “kongres

nasional” dalam acara pertemuan tahunan sejak 1916 yang memperlihatkan

komitmen peruntukan SI bagi seluruh bangsa dan sebagai cerminan perjuangan

17Penggunaan Bahasa Indonesia terlihat bukan sesuatu yang istimewa dalam kehidupan

berorganisasi saat ini, namun pada masa itu halaman tersebut dipandang sebagai suatu keradikalan.

Page 55: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

35

menuntut pemerintahan nasional sendiri, upaya yang gigih untuk meluruskan

salah pengertian tentang jati diri orang Indonesia yang kerap direndahkan dan

dipermalukan, sampai cita-cita yang disampaikan dalam pidato-pidato resmi

tokoh-tokoh SI seputar kedaulatan bangsa Indonesia yang suatu saat nanti akan

dapat diraih. Keinginan untuk merdeka itu dapat misalnya dilihat dari cuplikan

pandangan Tjokroaminoto yang mengatakan di suatu saat nanti “tak boleh tidak

kita kaum Muslim mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan

kebangsaan dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri”. Kesadaran

semacam inilah yang menurut Kahin memperlihatkan agenda politik SI yang

menghendaki pemerintah sendiri dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari

kaum penjajah.

Sedangkan ekspresi semangat perlawanan dengan sikap menentang setiap

kebijakan yang dianggap merugikan bumiputera yang secara kontinu dilakukan

baik oleh Tjokroaminoto maupun Moeis dalam sidang-sidang Volksaard.

Puncaknya adalah pada tahun 1921 ketika SI keluar dari Volksraad, sebuah

instituisi perwakilan yang disebut oleh Agus Salim sebagai “komidi omong”.

Bahkan sebelumnya Salim, sebagai tokoh teras SI menggunakan bahasa Indonesia

dalam sidang Volksraad sebagai simbol protes terhadap tidak dipenuhinya

tuntutan bumiputera. Tercatat dalam sejarah bahwa apa yang dilakukan Salim itu

merupakan kali pertama bahasa Indonesia diperdengarkan secara formal dalam

forum resmi Volskaard.

Karakter perlawanan SI terlihat pula dengan kesediaan membela hak-hak

pribumi dari keculasan sebagian saudagar Cina maupun kesewenang-wenangan

Page 56: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

36

para pejabat Belanda, dengan kesediaan melakukan bentrok fisik hingga menjadi

motor gerakan pemogokan buruh dan pekerja di beberapa jawatan. Selain dalam

bentuk fisik, perlawanan dilakukan SI melalui opini di surat kabar seperti Kaoem

Moeda, Pantjaran Warna, Sarotomo ataupun Oetoesan Hindia yang menentang

dan mengkritisi setiap upaya mengedepankan kelemahan maupun stereotype yang

tidak benar tentang pribumi, yang sering digambarkan sebagai “pemalas”,

“jorok”, atau bahkan “primitif” oleh pers Eropa di Indonesia.18

Dengan sikapnya

inilah SI tengah mengasah diri untuk dapat memberikan alternatif pandangan dan

sikap berdasarkan kepentingan dan landasan identitas kaum bumiputera.

Berbeda dengan SI, BO tidak secara utuh memberikan rasa penguatan

identitas keindonesiaan. Dalam Statuten Pasal 2 BO dikatakan bahwa “Tujuan

organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa

dan Madura secara harmonis” (de harmonische ontwikkeling van land en volk van

Java en Madura). Bahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh Priyayi yang

pada umumnya masih setia dengan Kerajaan Belanda, BO tidak dialamatkan

untuk menandingi atau bahkan menggantikan kedudukan Belanda. Bagi para

tokohnya, BO sadar bahwa baik pada masa-masa senang maupun susah kaum

pribumi Hindia Belanda harus tetap turut dengan keinginan dan kepentingan

induk. Oleh karena itu, tidak saja setiap upaya radikal harus dijauhi, namun pula

sedapat mungkin membela kerajaan Belanda manakala mendapat serangan dari

pihak asing tanpa syarat. Demikianlah ide tersebut dapat dilihat dari pandangan

tokoh BO Dwijosewoyo yang memandang wajib hukumnya rakyat Jawa membela

18

A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 44

Page 57: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

37

Belanda dalam menghadapi kekuatan agresor pada Perang Dunia (PD) I. Dan

memang dalam konteks pergerakan nasional sejatinya baru pada tahun 1918 BO

menunjukan sikap perlawanannya dengan bergabung dalam radical concentrasi

sebuah sayap sosialis dalam Volksraad. Sedangkan kesediaan BO untuk lebih

sungguh-sungguh membuka diri bagi semua kalangan baru dilakukan sekitar

tahun 1930-an.19

A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera

Dalam masa ketertindasan yang sudah akut yang melumpuhkan semangat

hidup pada awal abad ke-20, SI muncul sebagai pemberi makna akan kehidupan.

Dalam konteks psikologis yang mirip dengan yang dialami oleh rakyat Jerman

menjelang kebangkitan NAZI dengan tokoh utamanya Adolf Hitler,20

SI dan

Tjokroaminoto mampu menggugah dan menumbuhkan kembali asa kaum

pribumi. Hal ini belakangan menyebabkan tokoh-tokohnya seperti Tjokroaminoto

di Jawa dan R. Gunawan di Sumatera Selatan muncul sebagai sosok yang

mesianistik. Tjokroaminoto bahkan dianggap sebagai “Ratu Adil” pembawa

kejayaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana Ramalan Joyoboyo.

Sehubungan dengan itu diberitakan di Situbondo misalnya massa yang menyemut

bahkan rela mencium kaki Tjokroaminoto untuk mendapatkan berkahnya, suatu

hal yang amat tidak disukai oleh si pemiliki kaki. Fenomena kecil itu sekadar

memperlihatkan bagaimana kepercayaan dan pengharapan yang diberikan rakyat

kepada SI cukup besar, jauh lebih besar dari yang didapatkan oleh organisasi

19

RZ Leirissa, Terwujudnya suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950

(Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 47 20

Mengenai pemaparan analitis akan situasi ini lihat misalnya Eric Fromm, Escape From

Freedom (New York: Avon Books, 1965)

Page 58: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

38

semacam BO. Hal ini terbukti kemudian dengan cepatnya pertumbuhan cabang-

cabang dan keanggotaan SI di hampir seluruh pelosok Hindia Belanda. Fenomena

asing di tanah jajahan inilah yang kemudian meresahkan banyak kalangan

reaksioner, termasuk para priyayi kulit coklat.21

Menurut Kim So Yeon, dengan kemampuan menempatkan diri sebagai

media “pengumpul asa anak bangsa”, SI dapat dikatakan sebagai organisasi

pertama di nusantara yang bersifat agensi, yang berperan sebagai media yang

mampu menyatukan dan menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia dimasanya.22

Fenomena itu bukannya tidak disadari oleh para pimpinan SI, yang kemudian

meresponnya sebagai sebuah penghargaan dan tanggung jawab. Rasa tanggung

jawab itu tercermin dengan tidak saja mendidik anggota-anggotanya untuk

menjadi figur-figur tangguh yang bersedia memperjuangan kepentingan kaum

pribumi, namun lebih dari itu menjadikan upaya pembebasan dan emansipasi

politik rakyat sebagai agenda pergerakan, meski kerap dilakukan secara

terselubung.

Dalam konteks semangat pembebasan, prinsip yang dikedepankan oleh SI

adalah keyakinan bahwa setiap manusia pada dasarnya sama. Atas dasar

kesamaaanya itu maka setiap manusia bebas untuk melakukan apapun sesuai

dengan kepentingan dan kehendaknya. Oleh karena itu merupakan kewajiban

moral bagi setiap muslim untuk turut serta dalam segenap upaya membebaskan

manusia dari sistem yang mengungkung, diskriminatif dan melumpuhkan

21 Dalam kenyataanya lebih banyak pamong praja yang tidak mendukung atau anti-SI

ketimbang bersikap positif terhadap organisasi yang dianggap “membahayakan ketenangan” itu.

Lihat sikap para pamong praja dalam Korver, op.cit, h. 24-5 22 Kim So Yeon, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional,

tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2003)

Page 59: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

39

semangat persamaan. Dalam hal ini SI tidak bersikap pasif dan nerimo demi

melihat realitas kehidupan yang diskriminatif pada masa kolonial itu. Dalam

laporan keterangan mengenai SI pada tahun 1913 disampaikan bahwa para elit

organisasi menekankan berkali-kali bahwa “Sang manusia rendah diri” (pribumi,

pen) harus melenyapkan kesadaran rasa rendah dirinya terhadap orang Eropa dan

bangsa Timur Asing”.23

Dapat diduga dengan semangat pembebasan inilah agen-

agen komunis, meski dengan alasan ideologis yang berbeda, merasa sejalan dan

nyaman untuk menjadi bagian dari SI. Begitu pula sebaliknya, bagi sementara

anggota SI yang tidak terlalu mendalam pemahamannya tentang Islam, Marxisme

dipandang sebagai ajaran yang sah saja digunakan sebagai “landasan ilmiah”

perjuangan pembebasan.

Sementara dalam konteks emansipasi politik, SI memandang hal tersebut

sebagai keharusan sejarah. Bagi SI, bentuk pemerintahan yang nantinya harus

disusun dalam Indonesia Merdeka adalah pemerintahan perwakilan yang

berparlemen. Dengan kata lain, SI sejatinya merupakan pendukung utama

tegaknya demokrasi, yang menghargai arti kedaulatan rakyat dan persamaan.24

Naluri demokratis ini dapat dimaklumi hadir sebagai respon atas model

pemerintahan draconian-kolonial, yang sama sekali tidak mengindahkan

kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Dan dalam situasi sedemikian itulah

penghisapan demi penghisapan yang membangkaikan anak bangsa berlangsung

dengan marak dan sistematisnya.

23 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 50 24

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan

hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang, Press, 1995), h. 65

Page 60: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

40

Sebagai cerminan dari upaya membebaskan bangsa dari keterkungkungan politik

SI mendukung setiap upaya yang memungkian terakomodirnya aspirasi dan

kepentingan rakyat banyak, termasuk upaya yang datang dari pihak kolonial

sekalipun. Atas dasar itulah SI pada awalnya memandang positif berdirinya

Volksaard, meski tetap diliputi rasa curiga beberapa anggota-anggotanya

termasuk Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Dan dalam institusi Volksaard itulah

SI, sebelum akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1924, benar-benar

menunjukan kepada semua pihak sebentuk komitmen untuk terus

memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan menuntut lebih luas lagi hak-hak

perwakilan bagi bumiputera dan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).

Komitmen untuk meluaskan lagi emansipasi rakyat juga tercermin dari

sikap dan pandangan-pandangan tokoh SI dalam pertemuan-pertemuan Indie

Weerbaar Actie (Aksi Ketahanan Hindia). Dalam pertemuan-pertemuan itu,

berbeda dengan BO, SI secara tegas menyampaikan satu syarat mutlak berupa

perluasan hak-hak politik pribumi jika keinginan Kerajaan Belanda untuk

mendapatkan dukungan penuh rakyat Hindia Belanda dalam menghadapi PD I

ingin terpenuhi. Dalam pertemuan-pertemuan itu SI bersikukuh bahwa

“pemulihan kesamaan derajat” dan “keharusan rakyat Indonesia memiliki hak

bicara” merupakan suatu hal yang logis didapatkan oleh rakyat bumiputera

sebagai bagian dari upaya mempertahankan tanah air dari serangan musuh.25

SI

dengan cerdas melihat kebutuhan kolonial untuk mendapatkan bantuan dari negeri

jajahan sebagai peluang untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik terutama

25 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 58

Page 61: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

41

menyangkut hak-hak politik, termasuk dapat mengurus dan menentukan nasibnya

sendiri. Disamping itu dengan jitu memaknai ketahanan sebagai juga kemampuan

untuk memenuhi segala hajat negeri tanpa bergantung pada negeri lain yang

berarti sebentuk kemandirian.

Sementara SI demikian memperhatikan perjuangan politik, BO sebagai

organisasi kaum priyayi yang memfokuskan diri pada soal-soal rasionalitas

pendidikan, nampak belum melihat kemandirian politik seluruh anak bangsa

sebagai sesuatu yang benar-benar penting dan mendesak. Bahkan, dari sikap

komunitas priyayi sebagai elemen utama pendukung BO, dengan mengutamakan

prinsip harmonis-statusquois, terlihat gestur penolakan upaya emansipasi politik

itu. Hal ini wajar mengingat salah satu elemen yang akan segera tergerus

manakala hak-hak berpolitik rakyat terakomodir dengan seksama adalah diri

mereka sendiri. Dalam atmosfir kepolitikan priyayi dan BO semacam itu tidaklah

mengherankan jika apa yang dikehendaki oleh SI dianggap sebagai hal yang aneh

dan radikal.

A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa

Berdasarkan Statuten SI persoalan persaudaraan merupakan hal yang

penting adanya. Disebutkan bahwa tujuan SI adalah bergaul dalam persaudaraan

dan saling bantu tanpa membedakan asal bangsanya. Rasa persaudaraan ini tidak

dapat dipungkiri dilandasi oleh prinsip-prinsip ajaran agama Islam, yang

menekankan persaudaraan atas dasar kesamaan agama (Islamic brotherhood).

Dengan rasa persaudaraan ini ditekankan sebuah komitmen tanpa pamrih untuk

bergaul dan memperjuangkan kepentingan bersama. Dan ikatan primordial dalam

Page 62: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

42

kasus SI amat kuat menyentuh kesadaran untuk dapat berbuat sesuatu atas

kepentingan kolektif. Cikal bakal kebangsaan yang dilandasi oleh semangat

sedemikian sejatinya akan jauh lebih kuat dan bermakna ketimbang yang

dilandasai oleh kepentingan pragmatis-materialistis semata.

Implementasi dari upaya mendorong solidaritas dan persaudaraan itu

tercermin setidaknya dari aksi-aksi solidaritas maupun melalui pidato-pidato para

tokohnya maupun tulisan-tulisan kritis di beberapa media massa mempersoalkan

dan menyoroti banyak praktek dan ketimpangan yang merugikan pihak

bumiputera. Aksi-aksi solidaritas itu diantaranya terkait dengan soal diskriminsai

perlakukan hukum, ketimpangan sistem penggajian, perlakuan curang para

saudagar Cina, hingga persoalan yang menyangkut harkat perempuan pribumi

yang dijadikan gundik oleh pejabat-pejabat kolonial.

Tidak jarang dalam menggalang solidaritas itu datanglah berduyun-

duyung anggota SI dengan jumlahnya yang bisa sampai ratusan menyambangi

pihak yang membikin masalah dengan orang pribumi. Rapat-rapat raksasa kerap

juga digelar sebagai media unjuk solidaritas atas satu kasus atau peristiwa yang

merugikan masyarakat umum atau anggotanya. Tidak itu saja semangat solidaritas

dan persaudaraan juga diperlihatkan dengan bagaimana anggota SI rela

mengeluarkan uangnya demi untuk melunasi hutang ataupun kepentingan-

kepentingan sosial keagmaan anggotanya yang lain. Menurut seorang pengamat

atas dasar semangat tolong menolong yang diliputi oleh semangat persaudaraan

dan solidaritas inilah SI mampu menarik banyak massa dan membuat ribuan

orang masuk dalam barisannya.

Page 63: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

43

Jika SI mampu melampaui batas-batas primordial dari berbagai suku bangsa

(dengan segenap adat kebiasaan yang dimilikinya) dan merangkumnya dalam

semangat kebersamaan atas dasar agama, maka BO belum menampakan gelagat

yang sungguh-sungguh menuju arah yang sama. Hal ini tidak mengherankan

karena seputar tahun 1908 fokus perjuangan BO masih seputar kepentingan

mengharmoniskan dan mensejahterakan kehidupan orang Jawa dan Madura (dan

belakangan dengan alasan geografis orang Bali). Bahkan pada suatu kongres pada

tahun 1917 perkumpulan ini dengan tegas menolak sebuah usul untuk membuka

keanggotaan bagi penduduk daerah lain, termasuk orang Betawi.26

Pandangan

eksklusif itu menyebabkan konsep persaudaraan dan solidaritas masih terbatas di

ketiga suku bangsa itu saja ataupun setidaknya masih dalam bentuk-bentuk

wacana yang tidak begitu konkret. Atas dasar inilah pandangan MC Ricklefs yang

menyatakan bahwa BO sejatinya tidak pernah memperoleh basis rakyat yang

nyata di kalangan kelompok kelas bawah nampak masuk akal.27

Dan dengan

demikian pula kecenderungan longgarnya rasa persaudaraan dan solidaritas dalam

konteks bangsa cenderung menguat, mengingat segmen tujuan dan lingkup subjek

tujuan BO yang juga terbatas.

A.6. Persoalan Pembebasan & Emansipasi

Emanispasi terbatas yang melibatkan kalangan priyayi di Jawa dan

Madura. Emansipasi pendidikan merupakan hal yang penting, namun sejatinya

menjadi hambar mengingat pembatasan cakupan kelas dan ikatan etnisnya

merupakan agensi bagi persoalan ini dengan melibatkan diri baik pemikiran

26 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 270

27 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jogjakarta:Gadjah Mada University Press,

1991), h. 250

Page 64: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

44

maupun aksi untuk membebaskan kaum pribumi dari tekanan sistem kolonial

yang tidak adil, sekaligus mendorong terciptanya emansipasi politik bagi bangsa

Indonesia.

B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Parlementer

Di masa Demokrasi Parlementer, perjuangan umat Islam diwujudkan

dalam bentuk perjuangan partai-partai, partai-partai tersebut berjumlah empat

partai Islam yang diwakili oleh Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia

(PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Tarbiyah Indonesia (PERTI).

Pemilihan keempat partai ini didasarkan pada keikutsertaan mereka dalam

beberapa cabinet masa Demokrasi Parlementer, baik sebagai anggota menteri

yang mewakili partai duduk dalam kabinet, maupun sebagai pemimpin kabinet itu

sendiri.

Lewat mosi integral Mohammad Natsir dan kawan-kawan dalam

parlemen, pada 1950 dibentuk Negara kesatuan Republik Indonesia di bawah

payung UUDS 1950. Kedudukan presiden menurut UUDS adalah sebagai Kepala

Negara symbol yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung. Kepala

pemerintahan adalah Perdana Menteri. Untuk Negara kesatuan RI, sebagai

Perdana Menteri dipilih Mohammad Natsir, berdasarkan prestasi politiknya

berupa pengajuan mosi integral yang terkenal itu. Meskpiun tidak berjalan lama,

kelompok Islam pernah memimpin kabinet.

B.1. Kabinet Natsir 1950-1951

Kabinet yang dipimpin Partai Masyumi ini pertama kali terbentuk pada

tahun 1950 di bawah pimpinan M. Natsir 1950-1951, kabinet Natsir jatuh pada

Page 65: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

45

April 1951, kejatuhan kabinet ini, karena mosi tidak percaya yang dilancarkan

oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar “Peraturan Pemerintah No. 39

tahun 1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah

dicabut”.28

Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri dari PIR,

akhirnya M. Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Dalam masa

pemerintahannya, M. Natsir merangkul berbagai partai antara lain berasal dari:

Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan Partai Syarikat

Islam Indonesia (PSII).

B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo

Setelah M. Natsir mengundurkan diri, maka kabinet Soekiman

Wirdjosendjojo diangkat menjadi Perdana Menteri kedua dalam Negara kesatuan

tahun 1951-1952. Diantara kedua Perdana Menteri itu, jabatan Menteri Agama

tetap dipegang oleh KH Wahid Hasjim (unsur NU dalam Masyumi). Hal ini

terlihat Partai Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu.

Nasib Soekiman serupa dengan M. Natsir, karena kabinetnya tidak bertahan lama.

Kejatuhan kabinet Soekiman disebabkan perjanjian “san francisco”29

yang

dianggap cenderung berpihak kepada ke luar negeri (Amerika). Hal ini berarti

“meninggalkan politik luar negeri bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak

tahun 1945.

Kabinet Soekiman menggandeng partai-partai lain untuk duduk di dalam

kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari Partai Masyumi sendiri, Partai

hal. 210

28 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980),

29

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia… h. 219

Page 66: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

46

Nasional Indonesia (PNI), PIR, Katholik, Buruh, Parkindo, Demokrat dan

Parindra.

B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953

Setelah Kabinet Soekiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI

dengan Wilopo-Prawoto sebagai pengganti Kabinet Soekiman mulai April 1952-

1953. Dalam Kabinet Wilopo, posisi Menteri Agama diserahkan kepada KH

Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Ini yang menjadi sebab

berpisahnya NU dari Masyumi karena tidak mendapatkan posisi Menteri Agama,

meskipun sebab utamanya jauh lebih kompleks. Dalam cabinet Wilopo, unsur NU

tidak terwakili sementara Masyumi mendapat empat kursi, dan PSII satu. Pada

pertengahan 1953, Kabinet Wilopo jatuh, setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap

masih berada di tangan PNI.

B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II

Kejatuhan Kabinet Wilopo kemudian digantikan oleh Kabinet Ali

Sastroamidjojo I yang masih berasal dari kalangan PNI. Dalam kabinet ini, NU

(setelah jadi partai) mula-mula mendapat tiga kursi. Setelah terjadi perubahan

kabinet, kursi NU menjadi empat, meliputi kursi Wakil Perdana Menteri I,

Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Agraria. Sejak saat itu

Masyumi menjadi partai oposisi terhadap Kabinet Ali. Pada saat itu, NU dan

Masyumi sudah mulai saling berhadapan. Akibat perselisihan dengan Angkatan

Darat Kabinet Ali I jatuh pada Juli 1955.

Setelah pemilu tahun 1955, muncul kabinet koalisi yang dibentuk sesuai

dengan hasil pemilu. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali Sastrosmidjojo II

Page 67: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

47

dengan komposisi Ali-Roem-Idham. (PNI-Masyumi-NU). Di sini Nahdlatul

Ulama (NU) mampu menunjukkan kemandiriannya dan kekuatan dukungan yang

luas, sehingga mampu suara yang banyak dengan menduduki posisi ketiga.

Karena semula Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dengan Partai Masyumi.

Pada periode inilah Partai Masyumi yang semula wakil umat Islam terakhir kali

memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satu-satunya wakil

umat Islam. Pada selanjutnya Umat Islam diwakili oleh Partai Masyumi, Partai

NU, PSII, dan Perti dalam cabinet.

B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959

Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo I dari Partai Nasional Indonesia (PNI),

kini Partai Masyumi tampil kembali menggantikan posisi Partai Nasional

Indonesia (PNI) yang berturut-turut memegang posisi utama dan digantikan

Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959, kabinet ini adalah kabinet terakhir

Masyumi sampai partai itu bubar pada 1960. Prestasi kabinet ini terutama terletak

pada keberhasilannya dalam menyelenggarakan Pemilihan umum pertama dalam

sejarah Republik Indonesia. Prestasi kedua ialah dibubarkannya Uni Indonesia-

Belanda secara unilateral, suatu keberanian politik yang patut dicatat. Prestasi

lainnya adalah mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan Darat yang

pada saat kabinet Ali I merosotnya citra pemerintahan di mata Angkatan Darat,

prestasi internasionalnya adalah diselenggrakannya Konferensi Asia-Afrika (April

1955). Yang melahirkan Dasaila Bandung yang terkenal.

Kabinet-kabinet dalam Demokrasi Parlementer mengalami jatuh bangun

karena persaingan kelompok yang sangat tajam. Selain itu, Soekarno sendiri tidak

Page 68: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

48

menyetujui dan mencela pemerintahan banyak partai. Penyebab lainnya adalah

ditariknya dukungan Masyumi dan Perti atas kebijaksanaan kabinet dalam

mengatasi krisis di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai dewan yang

membangkang dari pemerintahan pusat.

B.6. Nasib Majelis Konstituante

Perselisihan tajam muncul kembali dan bertumpu pada persoalan dasar

negara pada sidang Dewan Konstituante. Setelah Pemilu tahun 1955 muncullah

empat kekuatan besar, yaitu: PNI memperoleh 22,3%, Masyumi memperoleh

20,9%, NU 18,4% dan PKI 16,4%. Mereka beradu argumentasi kembali mengenai

dasar negara. Ada tiga ideologi yang ditawarkan, yaitu Islam, Pancasila dan

Sosial–Ekonomi. Perdebatan itu berlarut-larut dan pada akhirnya dibentuklah

panitia perumus Dasar Negara yang terdiri dari 18 orang yang mewakili semua

kelompok. Perdebatan akhir bertumpu pada pilihan antara Pancasila atau Islam

sebagai dasar negara. Namun, sebelum panitia menyimpulkan hasil perdebatan

yang dianggap berlarut-larut tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan oleh

Presiden Soekarno karena sampai rapat berakhir tanggal 2 Juni 1959 belum

menghasilkan satu keputusanpun. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959 Konstituante dinyatakan bubar dan Demokrasi Parlementer diganti dengan

Demokrasi Terpimpin.

Terdapat beberapa penilaian terhadap lembaga Konstituante. Harun

Nasution dalam tesisnya yang dipertahankan di McGill University Canada, tahun

1965 menyimpulkan bahwa sidang Konstituante tidak menghasilkan apa-apa, baru

merupakan forum perdebatan politik. Sementara Endang Syaefuddin Anshari

Page 69: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

49

dalam analisisnya menyimpulkan bahwa tidak ada alasan kesimpulan yang

menyatakan Majelis Konstituante tidak menghasilkan apapun yang bermakna.

Menurutnya, seperti dikatakan Ketuanya, Wilopo "Sidang sudah menyelesaikan

90% tugasnya. Pembubaran Konstituante lebih banyak disebabkan koalisi ABRI

dengan Soekarno yang merasa kepentingan politisnya terancam jika Demokrasi

Parlementer terus-menerus dilaksanakan." Demikian pula Adnan Buyung

Nasution dalam disertasinya menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung

bahwa Konstituante gagal merancang Konstitusi karena adanya perdebatan

tentang Dasar Negara. Yang terjadi adalah Konstituante tidak memiliki

kesempatan untuk menyimpulkan pertimbangan dalam masalah tersebut, sehingga

tentang Dasar Negara dianggap prematur.

Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada

Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno bertindak seperti

seorang diktator, hampir semua kekuasaan Negara baik eksekutif, legeslatif dan

yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan

Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan

atau wakil Tuhan di dunia. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan meletusnya

peristiwa G 30 S/PKI, dan kekuasaan Orde Lama beralih ke Orde Baru.

C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin

Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinetnya

yang baru, menggantikan Kabinet Djuanda yang mengembalikan mandat pada 6

Juli. Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi

Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Dalam Kabinet Soekarno ini, Djuanda

Page 70: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

50

tetap diberi posisi penting sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak banyak

berbeda dengan tugas Perdana Menteri.30

Kabinet baru di bawah payung UUD

1945 ini diberi nama Kabinet Kerja. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan

gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini

telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia

dambakan, tapi karena fondasinya tidak kokoh, system itu pulalah akhirnya

membawanya kejurang kehancuran politik untuk selamanya. Dia terkubur

bersama sistem yang diciptakannya, sekalipun jasanya dalam pergerakan

kemerdekaan dan penciptaan kesatuan bangsa tidak akan dilupakan orang. Sekitar

enam setengah tahun beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia, secara

politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan berpecah-belah

berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno. Pilihan untuk turut atau

tidak turut dalam suatu sistem kekuasaan telah membelah umat menjadi dua kubu

yang saling berhadapan, sedangkan posisi politik mereka secara nasional sudah

tidak diperhitungkan lagi.

Sebenarnya sejak NU menarik diri dari Masyumi pada 1952 dan muncul

sebagai partai politik, dalam menghadapi berbagai kasus, partai Islam baru ini

lebih dekat dari PNI atau bahkan PKI ketimbang Masyumi. Sikap Masyumi yang

menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU, PSII dan Perti turut serta

didalamnya semakin menempatkan partai kaum modernis itu pada posisi politik

yang terpencil, khususnya pada era sesudah jatuh Kabinet Ali Roem Idham Maret

1957. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil, seperti PSII dan Partai

30 Lihat J.D. Legge, Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger

Publishers, 1972), h. 311

Page 71: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

51

Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politik dalam DPR yang semakin

melemah. Memang, bila melihat dari cita-cita demokrasi, pilihan mereka adalah

pilihan yang tepat, tapi budaya politik Indonesia yang sedang dikembagkan pada

waktu itu adalah budaya politik otoriter yang dimainkan oleh Soekarno, PKI, dan

pimpinan tertinggi Angkatan Darat sebagai pemain-pemain utamanya. Dalam

situasi seperti itu, cita-cita demokrasi yang hanya didukung oleh suara minoritas

dalam parlemen adalah seperti orang berteriak ditengah padang pasir. Tidak ada

telinga yang memperdulikannya. Situasi bagi Masyumi semakin memburuk,

setelah pada akhir 1957 beberapa tokoh partai ini menyertai pergolakan daerah di

Sumatera Tengah, sekalipun mungkin dengan tujuan ingin menyelamatkan

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang “diuji coba” oleh beberapa

panglima daerah Angkatan Darat dalam usaha menentang pemerintah pusat

dibawah pimpinan Soekarno dengan dukungan Jendral A.H Nasution. Bulan

madu Soekarno-Nasution sekalipun tidak dapat dipertahankan terus, bagi karir

politik Soekarno menjadi sangat menentukan. Tanpa sokongan Nasution plus

pimpinan Angkatan Darat yang lain, tidak dapat dibayangkan bahwa Soekarno

akan melangkah lebih jauh.

Demokrasi terpimpin dalam praktiknya adalah sistem politik dengan baju

demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semua ini terjadi/ Salah satu

penjelasnya dapat ditelusuri pada praktik politik masa demokrasi liberal, ketika

partai-partai begitu berkuasa, sehingga kepentingan Negara secara keseluruhan

sering terlantar. Barang kali sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia harus

melelui proses jatuh bangun dalam uji coba sistem demokrasi. Dari sudut

Page 72: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

52

kenyataan ini, kita melihat Masyumi sebagai partai yang kurang sabar, sehingga

keputusan-keputusan penting yang diambilnya sering didorong oleh idealisme

demokrasinya yang begitu dalam, sementara realitas politik sedang menempuh

jalan lain. Tampaknya, idealisme politik yang tinggi inilah yang akhirnya

menghadapakan partai ini pada batu karang sejarah yang tak mampu ditembusnya.

Kita tidak tahu apakah Masyumi telah memperhitungkan semua ini sebelumnya.

Saat itu, NU yang muncul sebagai salah satu dari Empat Besar setelah pemilu

1955 baru “belajar” berpolitik mandiri, tapi kiprahnya dalam menghadapi situasi

politik yang sedang tampak lebih lentur, meskipun tampak orang

mempertanyakan apakah kelenturan ini disebabkan prinsip yang dianut atau

prinsip itu sedang dicari dalam pengalaman bernegara. Saya lebih cendrung

mengatakan bahwa NU berada dalam situasi yang terakhir: dia sedang bergumul

dalam mencari pengalaman politik yang penuh kemungkinan itu.

Penjelasan lain tentang mengapa harus Demokrasi Terpimpin, dapat pula

dicari pada kenyataan bahwa Bung Karno tidak mau lagi jadi tukang stempel,

dalam arti seorang presiden symbol sebagai mana ditentukan oleh UUDS 1950

yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksana demokrasi parlementer di

Indonesia. Soekarno ingin langsung memimpin pemerintahan. Tampaknya

Soekarno cukup kecewa ketika St. Sjahrir pada pertengahan November 1945

berhasil “menyisihkan” Soekarno-Hatta dari pimpinan eksekutif dengan

membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih dibawah UUD 1945,

yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh

Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial 1948/1949, perpolitikan Indonesia

Page 73: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

53

sampai dengan Kabinet Ali-Roem Idham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet

parlementer yang tidak pernah berumur panjang.

Keinginan Soekarno untuk berkuasa, langsung disampaikan pertama kali

28 Oktober 1956. Pada waktu itu, ia mengemukakan konsepsinya, yang antara

lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional, dan keterlibatannya secara

langsung dalam memimpin pemerintahan. Oleh sebagian orang, move politik

semacam ini dipandang bertentangan dengan UUDS yang masih berlaku sampai

saat itu. Diantara reaksi terhadap move itu diberikan oleh M. Isa Anshary anggota

DPR dan salah seorang pemimpin Masyumi sayap radikal Isa Anshary menulis

dalam majalah Daulah Islamiah sebagai berikut:

Konsepsi Bung Karno adalah pelaksanaan ide beliau yang diucapkan pada 28

Oktober 1956 untuk menguburkan partai-partai dan pidato beliau dirapat

Merah Putih di Bandung., di mana beliau menyatakan untuk turut aktif dalam

pemerintahan. Jadi, dewan nasional bukanlah semata-mata dewan penasehat

tetapi adalah dewan yang memungkinkan presiden ikut aktif dalam

pemerintahan. Pemerintahan Soekarno itu berlaianan dari pemerintahan

Demokrasi biasa, karena pemerintahannya adalah pemerintahan tanpa

oposisi, dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Ketiga-tiganya, baik

ikutnya presiden dalam pemerintahan secara aktif, maupun tidak

bertanggungjawabnya kepada parlemen sebagai orang yang ikut memerintah

atau tidak adanya oposisi dalam Negara, adalah bertentangan dengan

Page 74: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

54

Undang-undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang

tumbuh di Indonesia.31

Sistem yang di bawa oleh Soekarno ini bukanlah Demokrasi sebagaimana yang

diminta oleh Pancasila dan UUD 1945, yang berdasarkan prinsip kedaulatan

rakyat. Dalam Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan visi politik partai-partai

Islam dalam menghadapi Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Perbedaan

visi ini membawa nasib yang berbeda pula bagi partai-partai Islam pada saat itu,

kelompok pertama, Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik

otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga

Muslimin (NU, PSII, dan Perti), berpandangan bahwa turut serta dalam

Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis.

D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orde Baru (ORBA)

Makna politik Orde Baru yang di tujukan kepada Islam, dalam rentang

waktu sejarah sejak 1966-1998 adalah waktu yang cukup panjang bagi sebuah

rezim yang berkuasa. Karena itu, perilaku politiknya pun sangat diwarnai oleh

corak dinamika sejarah. Itu sebabnya, hubungan Islam dengan pemerintahan Orde

Baru menunjukan grafik yang tidak lurus. Orde Baru memulai pemerintahannya

setelah berhasil menumbangkan PKI pada tahun 1965 yang dibantu oleh seluruh

lapisan masyarakat, tidak terkecuali peranan umat Islam dalam menumpas PKI.

Namun dalam perjalanannya rezim Orde Baru meninggalkan umat Islam yang di

motori oleh militer yang dibantu dengan birokrasi dan Golkar. Periode

pembentukannya diwarnai dengan corak yang sangat memusuhi Islam dalam

31 M.Isa Anshary, “Musyawarah Nasional”, Daulah Islamiyah, No. 9

Th.1 (September) 1957),

h. 5. Isa Anshary pernah mengikuti kursus politik dari Bung Karno

Page 75: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

55

bentuk (peminggiran politik Islam), sedangkan di tengah kekuasaannya dicorakan

sangat akomodatif terhadap Islam.

Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda

selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Dalam rentang sejarahnya semenjak

1996-1998 telah menunjukan realitasnya. Rezim ORBA telah menunjukan dan

memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan

akomodasi politik Islam. Kedua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam

menghadapi rezim Orde Baru.

Awal-awal kepemimpinan Orde Baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan

dan menunjukan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam,

sehingga memunculkan sikap antagonistik dari umat Islam. Depoilitisasi dan

deideologisasi32

untuk mencapai kestabilan politik dalam rangka pembangunan

ekonomi yang diterapkan oleh ORBA adalah suatu rekayasa politik (politic

enginering) dengan tujuan untuk memperlemah posisi umat Islam, yang

berpotensi sangat membahayakan pemerintahan yang masih baru. Naiknya rezim

ORBA di panggung kekuasaan pasca- Soekarno sebenarnya telah memberikan

harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik

oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah

kekuasaan ORBA. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim

Soehartoisme menunjukan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam.

32 Orde Baru bercita-cita mengoreksi kekurangan dan kelemahan OrdeLama. Orde Baru

memperbaiki kondisi sosio-ekonomi yang payah warisan dari Orde Lama, dimana inflasi mencapai 600% lebih pada dekade 1960-an, telah mendorong eksponennya untuk memprioritaskan

pembangunan ekonominya. Ekonomisme menjadi keharusan, sedangkan politik sebagai panglima

didekonstruksi menjadi depolitisasi dan deparpolisisasi. Lihat Herdi SRS, ”Islam Politik Dalam

Kancah Demokrasi”, dalam Prisma 8 Agustus 1995, h. 89

Page 76: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

56

D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII)

Salah satu keinginan untuk membangkitkan romantisme kebangkitan

politik Islam adalah pembentukan PDII yang dikemukakan oleh Muhammad

Hatta mantan Wakil Presiden RI. Sebenarnya keinginan membentuk partai

tersebut sudah sejak tahun 1959 dan didorong pula oleh ketidakpuasan pemuda

Islam (HMI dan PII) terhadap sistem yang ada, karena sering diintimidasi PKI,

sehingga sering meminta nasehat kepada Mohammad Hatta.

Pada akhir tahun 1965, keinginan itu baru dimunculkan dengan maksud

membentuk PDII. Kemudian pada tanggal 11 Januari 1967, Mohammad Hatta

mengirim surat kepada Soeharto tentang niatnya tersebut, ternyata pemerintah

tidak mengabulkan dengan alasan PDII belum mampu menjadi partai Islam yang

diharapkan pemerintah. Dengan ditolaknya permohonan pembentukan PDII,

menandakan bahwa pemerintah Orde Baru sengaja menutup jalan bagi partai

politik Islam untuk tampil ke kompetisi politik, tanpa pengawasannya.

D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya Parmusi

Hubungan politik yang tidak harmonis itu berdampak luas. Puncaknya,

akses para aktivis politikus Islam ke koridor kekuasaan menyusut drastis dari

posisi politik awal mereka merosot terutama sepanjang selama 25 tahun

pemerintahan ORBA. Beberapa ilustrasi yang sangat jelas adalah memperlihatkan

kekalahan Islam politik itu adalah pembubaran partai Masyumi dan ditolaknya

rehabilitasi partai itu (1960); Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet Ampera

menyurati Prawoto Mangkusasmito pada tanggal 6 Januari 1967 yang menyatakan

bahwa pihak ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Partai

Page 77: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

57

Masyumi, upaya rehabilitasi Masyumi terhalang oleh Ali Moertopo yang ketika

itu sangat berkuasa yang sekaligus sebagai pemegang Supersemar.33

. Tanggal 7

Mei 1967 melalui sidang Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) yang terdiri

atas 16 organisasi Islam34

mengambil keputusan membentuk wadah politik baru

bagi umat Islam yang dinamakan ”Parmusi”35

(Partai Muslimin Indonesia), tetapi

diakhir perjalanan dimana tidak diperkenankannya tokoh-tokoh penting mantan

Masyumi untuk memimpin PARMUSI dan tidak boleh dicalonkan dalam pemilu

yang akan segera dilangsungkan, tanggal 7 April 1967, partai yang baru dibentuk

untuk menggantikan Masyumi (1968); pemerintah ternyata memandang Masyumi

masih berlumur dosa-dosa masa lalu.36

Keputusan pemerintah itu berlaku pada

saat pemilihan Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi pada Kongres di Malang

tanggal 407 Nopember 1968.

Akhirnya tanggal 5 Februari 1968 keluar keputusan pemerintah yang

menyatakan berdirinya Parmusi dan SK Presiden No. 70 1968 yang menetapkan

Djarnawi Kusumo dan Lukman harus sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal.

Duet ini tidak berlangsung lama, karena muncul H.J. Naro dan Imran Kadir yang

menginginkan kepemimpinan di Parmusi yang mengakibatkan konflik.

Memanfaatkan konflik yang direkayasa pemerintah, akhirnya pemerintah

menerbitkan SK No. 77 tahun 1970 dengan menempatkan Mintareja sebagai ketua

33 Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996), h.

32 34

Di antaranya adalah Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Persatuan Ummad Islam

(PUI), Al-Ittihadiyah, Gasbiindo, (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia). Lihat Hartono

Marjdono, h. 31 35 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1966), h. 247 36

. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ... h. 246

Page 78: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

58

partai sekaligus membatalkan SK No. 70 tahun 1968. Mintareja adalah pegawai

tinggi pemerintah dan juga anggota PP Muhammadiyah. Menghadapai situasi dan

keadaan yang runyam tersebut, Muhammadiyah pada tahun 1969 menyatakan

keluar dari Parmusi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai

manapun. Untuk yang kedua kalinya umat Islam melalui partai Islam gagal

meyakinkan pemerintah Orde baru untuk tampil ke gelanggang politik, tanpa

pengawasan pemerintah. Kemudian ORBA memainkan strategi baru yaitu FUSI

partai pada tanggal 5 Januari 1973 dengan dibatasinya jumlah partai politik Islam

dari empat parpol yaitu (NU, MI, PSSI, dan PERTI) dan menjadi satu, dalam

wadah PPP (1973); hal ini untuk semakin menjinakan potensi politik umat Islam,

tidak cukup sampai disitu ORBA juga mengurangi jumlah wakil-wakil Islam yang

duduk dalam parlemen dan kabinet. Imbas dari penghapusan politik Islam adalah

gagalnya rehabilitasi Masyumi. Rehabilitasi ini diajukan untuk sebagai syarat

pemberian dukungan terhadap pemerintahan ORBA dengan pertimbangan bahwa

mereka telah memberikan andil dalam perjuangan menegakan demokrasi serta

melawan Komunisme pada masa ORBA.

D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

PPP sebagai partai Islam adalah pemain tunggal (single fighter) dalam

gelanggang politik Orde Baru, meskipun di dalamnya ada empat unsur parpol

(NU, MI, PSSI, dan PERTI). Dengan demikian, tidaklah mudah memainkan

peranannya, mengingat PPP tidak lagi berasaskan Islam hal ini lewat

”pengasastunggalan” Pancasila dimana tidak diperbolehkannya Islam sebagai asas

organisasi sosial dan politik (1985).. apalagi banyak dari kalangan orang Islam

Page 79: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

59

sendiri yang tidak mengakui dan mendukung PPP sebagai partai umat Islam,

sehingga aspirasi mereka disalurkan ke Golkar atau Partai Demokrasi Indonesia

(PDI). Meskipun demikian, basis PPP tetap terletak pada mayoritas umat Islam,

sehingga selayaknya partai ini tetap memperjuangkan aspirasi umat Islam.

Peranan PPP dalam lembaga legislatif yaitu melakukan aksi walkout

terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Aliran Kepercayaan.

Selain itu, masalah-masalah yang diungkap oleh Abduk Azis Thaba dalam

hubungan yang bersifat akomodatif, menurut penulis adalah hasil secara tidak

langsung dari peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui Fraksi

Persatuan Pembangunan (FPP), misalnya tentang Rancangan Undang-Undang

Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Dalam

hal ini PPP tetap menginginkan sebagai partai Islam yang survive yang tetap

memperjuangkan kepentingan masyarakat muslim.

Kemudian lewat ”pengasastunggalan” Pancasila dimana tidak

diperbolehkannya Islam sebagai asas organisasi sosial dan politik (1985). Sejalan

dengan terus menerusnya untuk melestarikan Pancasila mulai tahun 1982. Motif

utama pemerintah adalah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional

negara, dan untuk mensosialisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Untuk itu pemerintah merasa bahwa harus tidak ada ideologi lain yang

menandingi Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan ORBA ini bukan tanpa

reaksi. Sejauh menyangkut umat Islam, paling tidak sejak 1982, mereka telah

menunjukan reaksi terhadap usulan pemerintah karena ummat Islam takut dengan

menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti Pancasila akan menggantikan

Page 80: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

60

Islam, atau bahwa Pancasila akan disamakan dengan agama.37

Reaksi umat Islam

terhadap asas tunggal Pancasila ini menimbulkan perdebatan serius. Bahkan,

ummat Islam telah mengalami konflik yang paling serius dan rumit yang

menghabiskan masa yang paling lama dalam memperdebatkan pergantian asas ini.

Perdebatan ini terjadi dari pertengahan 1982-1985, disertai konflik internal dan

konflik dengan pemerintah. Konflik ini harus dibayar mahal dengan pecahnya

HMI menjadi HMI Dipunegoro dan HMI MPO, sedangkan PII terpaksa

membubarkan diri karena menolak kebijakan tersebut.38

Pada mulanya hampir

semua partai dan organisasi Islam menolak kebijakan ini. Namun akhirnya setelah

mendapat tekanan dari pemerintah banyak ormas Islam yang mulai menerima asas

tunggal. NU melalui Munas Situbondo 1983 dan Muktamar Surabaya 1984

menyatakan menerima asas tunggal sebagai asas organisasi sosial dan politik,

kemudian disusul oleh Muhammadiyah melalui Muktamar ke-41 di Surakarta

1985 mengambil langkah yang serupa. Terkecuali PII yang menolak asas tunggal

yang kemudian terpaksa dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1988.39

Keberhasilan menghapuskan ideologi primordialistik Islam merupakan

pencapaian yang paling berharga buat rezim ORBA. Semua kekuatan dan ideologi

telah berhasil ditundukannya. Yang lebih tragis dan menyedihkan lagi adalah,

Islam politik telah menjadi sasaran kecurigaan ideologis. Oleh negara, para aktivis

Islam politik sering dicurigai sebagai anti terhadap ideologi negara Pancasila. Hal

37 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru..... h.207

38 M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

Agustus 1999), h. 184 39 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-

1987 dalam Perspektif Sosiologis, (Jakarta: Rajawali Press., 1989), h 127

Page 81: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

61

ini merupakan salah satu kesalahan strategi umat Islam, mestinya mereka

berkompromi untuk kemudian bersama-sama memberi isi Pancasila.

Sementara itu setelah stabilitas politik dikendalikan dan orientasi politik

umat Islam berubah, ORBA merubah kebijakan politiknya dengan lebih

akomodatif dan aspiratif terhadap Islam. Sikap akomodasi rezim ORBA terlihat

dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989;

diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi

Hukum Islam tahun 1991; diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991;

dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan badan amil

zakat, infak dan shadaqoh (Bazis) tahun 1991; didirakannya bank Muamalat dan

ICMI tahun 1991, dan dihapusnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah

(SDSB) tahun 1993.40

Dalam perkembangannya, umat Islam pada tahun 1980-an memasuki fase

satu kebangkitan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.

Pada akhir 1980-an, kebangkitan tersebut memunculkan tekanan politik baru

ketika kelas menengah Muslim, pendidikan massa dan perkembangan kelas

menengah Muslim memungkinkan munculnya tipe-tipe pemimpin Muslim baru.

Para ”cendikiawan Muslim” yang baru ini merupakan figur-figur publik yang

pandangan-pandangannya tentang politik Islam banyak dipengaruhi oleh

pendidikan umum, media cetak yang baru, dan persentuhannya dengan teori-teori

Barat, selain tentunya dengan pendidikan pesantren dan legalisme klasik. Ini

40. Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik

Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 273

Page 82: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

62

mendesakkan repsentasi yang lebih besar lagi bagi ummat Islam dalam

pemerintahan dan masyarakat.

Pada akhirnya, kebangkitan tersebut memaksa Soeharto memikirkan kembali

kebijakannya mengenai Islam. Beberapa penasihat dan orang dekat Soeharto

masih tetap berbicara seolah-olah tidak ada sesuatu yang berubah dan mendesak

pemerintah untuk tetap mempromosikan Islam ”kultural” sambil dengan tegas

menekan Islam politik. Akan tetapi, kebangkitan ummat Islam itu sedemikian

kuat, dan tidak mungkin ditarik kedalam bentuknya yang semula. Menghadapi

tantangan baru ini, Soeharto akhirnya berupaya untuk merangkul kalangan Islam

konservatif ke dalam kekuasaannya. Walau demikian ia harus belajar bahwa

kekuatan Islam yang dirangkulnya tersebut mempunyai integritas moral dan

politiknya sendiri.41

41

Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik

Politik Islam di Indonesia..... h. 273

Page 83: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

BAB III

PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER

SEBELUM TAHUN 1990-1998

A. Penyingkiran simbol-simbol Islam

Proses ini mengambil bentuk penyingkiran simbol-simbol Islam dari

kegiatan-kegiatan politik, mengeliminasi partai-partai politik Islam, dan

menghindarkan arena politik dari politisi Islam. Depolitisasi Islam mencapai

puncaknya, berkenaan dengan sarana politik dalam penggabungan semua partai

politik Islam yang ada ke dalam PPP tahun 1973 dan berkenaan dengan ideologi

politik dalam keharusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh

semua orsospol dan ormas tahun 1985. Bahkan, sejatinya depolitisasi Islam adalah

bagian dari proyek yang lebih besar yakni massa mengambang, yang mengurangi

kesadaran politik rakyat akar rumput (grassroot) dan mengasingkan pemimpin-

pemimpin politik dari pendukung mereka.1

Depolitisasi Islam tidak berarti

Islamisasi dalam pengertian umum. Karena dalam kasus Indonesia, depolitisasi

Islam dijalankan dengan ”domestifikasi” kekuatan-kekuatan politik Muslim

melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Tetapi proses tersebut

dilakukan untuk mendorong pelembagaan kekuatan-kekuatan umat Islam lewat

pembentukan banyak organisasi Islam ”korporatis” atau kuasi-korporatis.2

Dengan kondisi yang demikian ini, pantaslah bahwa kiranya jika sepanjang tahun

rezim ORBA, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an, politik

1 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000), h. 66-67

2 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 79-80

Page 84: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

58

Page 85: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

59

Islam merupakan sesuatu yang oleh negara harus diperlakukan bagaikan ”kucing

kurap”. Para aktivis politik Islam, dalam format dan langgam, yang dimunculkan

oleh generasi lama, merupakan pihak-pihak yang kepada mereka negara

menerapkan kebijakan domestifikasi. Dengan mind-set seperti itu, dan sumber

daya sosial ekonomi dan politik yang dimilikinya, negara berhasil menundukan

Islam secara politik, ideologi dan intelektual.

Situasi ”ideologis” yang tidak mengenakan inilah yang kemudian

melahirkan antagonisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti,

kecurigaan politik negara terhadap umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya

gesekan-gesekan ideologis. Bahkan, kecurigaan itu berkembang menjadi

antagonisme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah

lagi, kecurigaan dan antagonisme itu tumbuh di kedua belah pihak, Islam dan

negara. Kenyataan seperti itu merupakan sesuatu yang ”aneh-sekali” dan

”membingungkan” mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Tapi, telah menjadi sebuah kelaziman, bahwa persepsi ideologi maupun politik

adalah potensial untuk menumbuhkan kategorisasi untuk tidak mengatakan friksi-

friksi.3

Tak berlebihan, jika Hartono Mardjono menuding ada kekuatan yang sikap

dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta berusaha menyingkirkan

umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto. Kelompok itu ada di

bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan ORBA di

samping itu menjadi pemimpin Operasi Khusus (OPSUS), sebuah badan ekstra-

konstitusional yang melakukan operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam

3

M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 144

Page 86: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

60

praktiknya, OPSUS merupakan invisible goverment yang dapat melakukan segala

macam tindakan, termasuk merekayasa kehidupan sosio-politik sehingga

peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.4

Indonesia sebagai negeri dengan gugusan pulau-pulau dikenal memiliki

beragam warna tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan.

Tetapi sayangnya multikulturalisme sebagai suatu “datum” (suatu yang terberi)

dan “factum” (sesuatu yang dibuat dan dihidupi) belum sepenuhnya menjadi

wawasan dan kesadaran bersama. Akibatnya selama puluhan tahun sejak

kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan

ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan

soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi juga soal penindasan

kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran

politik kolonial.

Kondisi seperti inilah yang sebenarnya mengancam kehidupan yang plural

dan demokrasi di Indonesia. Selain itu tentu saja kehidupan yang harmonis di

negeri ini akan diwarnai oleh kecenderungan konflik sosial yang sewaktu-waktu

akan membakar kebersamaan masyarakat kita. Tapi tepat persoalannya adalah ini

bukan perkara nilai-nilai normatif yang kerap diperdengarkan dalam khotbah sang

moralis, tetapi lebih melibatkan relasi-relasi macam apa yang diciptakan oleh

nalar kekuasaan baik politik, pengetahuan maupun agama dalam diskursus publik.

Bilakah pemerintah ber-Pancasila? Bilakah pemerintah ber-NKRI (Negara

Kesatuan Republik Indonesia)? Adakah keduanya dilakukan secara bersamaan

4

Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996), h.

30

Page 87: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

61

oleh pemerintah? Artinya, ketika seorang demagog meneriakkan "selamatkan

NKRI", maka dirinya dan orang-orang yang tersihir oleh kata-kata itu akan

bertindak yang sesuai dengan spirit yang termaktub di dalam setiap sila Pancasila?

Inilah pertanyaan-pertanyaan pokok yang dapat menjelaskan bagaimana

pemerintah berideologi tunggal atau dualistik. Jawaban-jawaban itu juga akan

menjelaskan asal-usul budaya dari siapa yang sedang memerintah rakyat

Indonesia yang berjiwa 250 juta manusia ini.

Sejak masa Orde Baru, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme

dan Islam. Tragedi Tanjung Priok di Jakarta dan Talangsari di Lampung adalah

rentetan dari upaya membenturkan Pancasila dengan symbol-simbol keislaman

kelompok muslim tertentu. Sedangkan NKRI-isme dibenturkan dengan gerakan

kemerdekaan yang muncul di Timor, Aceh, dan Papua. Lalu, ideologi apa yang

dihadapkan oleh pemerintah RI dengan munculnya fenomena terorisme? Hal ini

juga belum dijawab, baik oleh kaum politikus maupun serdadu yang merupakan

bagian dari masyarakat politik dan alat politik pemerintah yaitu militer.

Ternyatalah, kaum politikus, militer, dan pemerintah saat Orde Baru

maupun saat setelah era reformasi ini belum berani mensilogiskan antara

Komando Jihad, yang banyak muncul di Jawa dan digebuk di masa Orde Baru,

dan jaringan terorisme yang juga berpusat di Jawa, yang muncul di era

pascareformasi.

Kudeta 1965 merupakan peristiwa yang dapat dibaca sebagai arena

perbenturan antara komunisme dan Pancasilaisme. Kaum politikus yang

memegang komunisme versus kaum serdadu yang merebut Pancasilaisme.

Page 88: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

62

Sedangkan kaum muslim--khususnya di Jawa adalah kaum yang terbakar

emosinya sehingga menjelma sebagai instrumen politik bagi kaum yang sedang

menjadikan kaum komunis sebagai obyek kejahatan kemanusiaannya. Lalu,

pertanyaannya, adakah tindakan-tindakan terhadap kaum komunis dan

keluarganya merupakan tindakan yang sesuai dengan spirit yang terdapat di dalam

sila-sila Pancasila? Apakah tindakan-tindakan penculikan, penyembelihan,

pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, penghancuran dan perampasan harta

benda yang dialami kaum komunis dan keluarganya bahkan umat Islam

merasakan hal-hal yang tidak jauh berbeda hanya karena adanya symbol-simbol

keislaman, serta penyingkiran sosial dan politik terhadap keturunan dan kerabat

mereka, merupakan motif-motif yang disemburkan dari kondisi individu yang

menjiwai Pancasila?

Jawaban-jawaban yang tersedia cenderung berlandaskan logika yang tidak

ideologis, dan lebih berdasarkan pada common sense yang bersifat reaksioner

semata. Misalnya, karena mereka hendak menggantikan Pancasila sebagai

ideologi negara, maka kami haramkan ideologinya.

Pada era itu negara sedang menjadi teater yang memanggungkan kejahatan

kemanusiaan yang paling massal, masif, dan berkelanjutan. Jangankan Pancasila

yang didekonstruksi menjadi alat gebuk politik, bahkan Islam pun yang tanpa

disadari oleh sebagian besar kaum muslim terdekonstruksi teologinya jika dilihat

dari relasi subyek dan obyeknya, ketika muslim yang satu (individual ataupun

kelompok) membunuh muslim yang lain (individual ataupun kelompok yang

diklaim menganut komunisme) maupun yang berlainan symbol dengan tanpa

Page 89: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

63

prosesi fardu kifayah. Dalam konteks demikian, rezim yang telah berhasil merebut

kekuasaan dan sekaligus Pancasila dari Soekarno dan rezimnya menisbahkan

kesakralan pada Pancasila. Di sinilah letak kekhasan alam pikiran Indonesia

bahwa ideologi menjadikan instrumen politik yang mistis, hal yang sangat

kontradiktif dengan alam pikiran Barat yang menjadikan ideologi sebagai

instrumen yang rasional. Jadilah Pancasila sebagai ideologi tunggal. Komunisme

menjadi ideologi yang laten, dalam artian akan diungkit-ungkit ketika rezim tak

begitu yakin akan kesinambungan ataupun hendak semakin mengukuhkan posisi

politiknya. Lalu, Islam dijadikan ideologi yang manifest, dalam artian yang

mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando-komando

jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok-kelompok muslim radikal.

Lalu, apakah akibat dari penghadapan rezim terhadap Islam sebagai bahaya yang

manifest itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?.

Perbedaan antara rezim dan kaum militer terletak pada rezim yang

semakin menua, sementara kaum militer mengalami regenerasi. Ketika rezim

tetap memonopoli Pancasila, kaum militer generasi baru dihadapkan dengan dua

pilihan: merebut Pancasila dari rezim (atau generasi tua) atau menemukan

ideologi baru. Pilihan yang pertama menjadi sulit karena relasi antara rezim dan

kaum serdadu itu berbentuk patron-klien. Di satu sisi, rezim memerlukan

dukungan politik dari kaum militer generasi baru sehingga diberlakukan pola

ikatan kekerabatan dalam mereproduksi perwira. Di sisi lain, klien membutuhkan

percepatan karir dalam militer, yang juga sekaligus penguasaan politik

Page 90: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

64

(dwifungsi) sehingga mereka berebut masuk perangkap kekerabatan politik

generasi tua itu.

Namun, zaman akhirnya melahirkan spoiler-spoiler dari perwira generasi

baru yang justru diikatkan melalui jalinan kekerabatan itu. Pada saat yang sama,

generasi baru ini menemukan NKRI sebagai ideologi alternatif dari Pancasila.

Sementara Pancasila menjamin ketunggalan alam, maka NKRI menjamin

kemanunggalan teritorial sehingga terbentuklah keutuhan Indonesia sebagai

sebuah negara. Sementara Pancasila milik militer generasi tua, NKRI adalah milik

militer generasi yang lebih muda. Namun, janganlah tindakan atas dasar motif-

motif NKRI-isme diukur menurut etika yang direfleksikan dari Pancasila, karena

sama sekali tak memiliki afinitas.

Meskipun demikian, soal jalinan antara Pancasila dan NKRI, generasi baru

cenderung bekerja untuk memistifikasi NKRI daripada Pancasila. Wilayah Timor,

Aceh dengan permasalahan keberatan Orde Baru terhadap symbol-simbol Islam,

dan Papua merupakan arena teater mereka karena adanya gerakan kemerdekaan

atau dikenal sebagai konflik vertical yang kemudian diperkenalkan oleh kaum

serdadu dengan label separatisme. Sementara Pancasila menciptakan komunisme

dan Islam sebagai lawan ideologinya, NKRI menemukan lawannya berupa

separatisme.

Para penganut NKRI-isme juga memiliki musuh ideologi yang sekunder,

yakni symbol-simbol, yang sangat erat kaitannya dengan Islam, baik dari sisi

teologis, historis, maupun jaringannya. Fenomena ini terdapat di wilayah-wilayah

konflik horizontal seperti Aceh, Lampung, Poso dan Ambon yang simpulnya

Page 91: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

65

terdapat di Jawa dan keberadaan tokohnya misterius, seperti sebuah jaringan

operasi intelijen militer.

Sementara itu, komunisme (baru) tetap merupakan musuh ideologi

ketiganya. Hal ini dikampanyekan melalui spanduk-spanduk yang digantungkan

di markas-markas kaum militer, juga ini mungkin sebuah keunikan lainnya

dikampanyekan oleh komando-komando muslim yang "dibiarkan" mekar oleh

kaum militer di perkotaan di Jawa. Namun, sebagaimana generasi tua, generasi

muda kaum militer tetap saja terjebak dalam kekonyolan intelektual sehingga tak

bisa membedakan antara Marx, Marxis, Marxisme, dan komunisme.

Di Indonesia, ada sebuah keunikan yang bisa menjadi karakteristik alam

pikiran keindonesiaan. Bahwa di dalam tubuh setiap rezim dan generasi

bersemayam kekuatan yang mentransformasi segala sesuatu yang rasional

menjadi sesuatu yang mistis dan mutlak. Hal ini sudah mulai terjadi setelah

Soekarno merebut rumusan-rumusan Pancasila dari kaum ideolog yang sezaman

dengan dirinya, lalu merumuskannya sebagaimana yang hadir hingga saat ini,

maka Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi

tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam.

Namun, Soekarno berada dalam kepungan wacana ideologi-ideologi yang

sedang menguat, sehingga, dalam perspektif Geertz, Soekarno hanya dapat

melakukan mistifikasi ideologis yang membuahkan staatreligion. Di satu pihak,

rakyat yang tak kunjung sejahtera tersihir oleh kemampuan Soekarno sering

disebut kejeniusan dalam mengintegrasikan konsep-konsep yang rasional ke

dalam symbol-simbol keagamaan yang mistis khususnya Islam. Di lain pihak,

Page 92: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

66

secara ideologis hal itu merupakan upaya rezim untuk memanipulasi

kegagalannya menyejahterakan rakyat yang semakin lapar, karena itu

disampaikan secara agitatif untuk menyihir rakyat agar lupa pada kemiskinan

yang semakin melilitnya.

Soeharto tak memiliki daya sihir, melainkan daya memusnahkan ideologi

lain dan memaksa dengan senjata. Karena itu, kesakralan Pancasila dibangun dari

aliran darah berjuta manusia dan ritual-ritual kesaktian yang membutuhkan biaya

besar. Namun, rakyat tetap saja tak tersertakan ketika kesejahteraan kaum elite

lepas landas. Ketakutan yang mistis dari rakyat pun berubah menjadi arus balik

yang menjatuhkan rezimnya. Sebenarnya, pensakralan NKRI memiliki tipologi

yang sama dengan apa yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila, yakni melalui

senjata dan pemutlakan penyingkaran symbol-simbol Islam.

B. Militer dan Peminggiran Islam Politik

Peminggiran Politik Islam, posisi politik umat Islam setelah ORBA

berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. seperti halnya

dengan rezim ORLA (Soekarno), ORBA juga menerapkan strategi politik yang

tidak aspiratif terhadap Islam, dengan kata lain menekan potensi politik umat

Islam. Hal ini dilakukan bertujuan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang

dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim ORBA. Akibatnya,

kekuatan politik umat Islam yang direpresentasikan oleh partai politik Islam,

seperti PARMUSI, NU, PERTI, dan PSSI di pemilu pertama ORBA berkuasa

1971 tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menandingi kekuasaan

ORBA karena Soeharto telah memberikan Fusi partai Islam kedalam PPP.

Page 93: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

67

Pada masa ORBA, mengharapkan terjadinya peningkatan kekuasaan

politik komunitas muslim merupakan kesalahan perkiraan yang serius. Rezim

militer yang dipimpin oleh Soeharto lebih khawatir dengan aspirasi-aspirasi Islam

dalam bidang politik daripada Soekarno.5

Itu sebabnya, agenda politik ORBA

adalah depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam yang

kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Pandangan

sesungguhnya mengandung logika politik bahwa, depolitisasi Islam adalah usaha

mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite kekuasaan Orde

Baru.6

Menurut pengamatan Michael R.J. Vatikiotis, pemerintahan ORBA

meniru kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan

Islam kultural. Belanda menganggap Islam menjadi simbol kekuatan

antikolonialisme. Karena itu, Snouck Hurgronje membuat kebijakan yang

mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah (masjid)

dan menjauhkan dari negara.7

Jika pada awal Orde Baru, militer memilih untuk melakukan pendekatan

kompromi dengan berbagai kekuatan dalam masyarakat, itu disebabkan oleh

masih kuatnya nuansa politik dalam kehidupan masyarakat. Lebih dari itu,

beberapa partai politik, baik yang mewakili kelompok nasionalis seperti PNI,

maupun yang mewakili kelompok Islam yang di wakili NU maupun aktivis

5

M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999), h. 120 6

M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 63 7 Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Third Edition, (London:

Routledge, 1998), h. 120

Page 94: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

68

Masyumi masih memiliki kekuatan masa. Oleh sebab itu, jalan terbaik bagi

militer untuk mengambil simpati masa adalah melakukan kompromi dengan

kekuatan-kekuatan partai politik. Tetapi Golkar yang dibantu oleh militer dengan

berbagai cara, termasuk dengan cara intimidasi, dan berhasil memenangkan

pemilu pada tahun 1971.8

Walaupun kemenangan Golkar mengundang

kontroversi, tetapi dengan kemenangan tersebut pemerintah Orde Baru paling

tidak merasa telah memiliki legitimasi kuat untuk menjalankan roda

pemerintahan. Dengan demikian kompromi-kompromi yang dilakukan untuk

mendekati parpol seperti yang dilakukan pada awal pergantian kekuasaan, tidak

diperlukan lagi.9

Beberapa pendekatan yang mengkristal menjadi kebijakan yang

memojokan Islam bisa diurut secara kronologis sejak awal Orde Baru. Sejak

tahun 1970-an, dalam hal ini Ali Moertopo memiliki peranan penting di dalam

lingkungan presiden. Misi dan kepentingan yang dibawa Ali Moertopo ini

ternyata seirama dengan kepentingnan kelompok nasionalis dan kelompok non-

Muslin (Katholik dan Protestan). Kesamaan pandangan, terutama menyangkut

8

Pada pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik (NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo,

Partai Katholik, Perti, Murba, IPKI, dan Golkar), Golkar berhasil meraih suara terbanyak, yaitu

62,80% suara (34,348 suara) atau 65,56 % kursi (227 kursi). Semetara urutan kedua dan ketiga

ditemapati oleh NU dan Parmusi. R. William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut

Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3S, 1992. Baca juga, Seri Penerbitan Studi Politik, Laboratorium

Ilmu Politik FISIP UI, Evaluasi Pemilu Orde Baru, Bandung: Mizan, 1997 9

Campur tangan militer dalam memenangkan Golkar pada pemilu 1971 diungkapkan

oleh Ernest Utrech: “The Second Indonesia elections, which were held on 3 July 1971, were won

by the army sponsored Golongan Karya (Golkar). Using intimidation and threats, arresting

opponents regarded as dangerous, misususing government facilities, and putting in to practice the

fraudulent system of Bebas Parpol. Ernest Utrecht, “ The Military and Elections”, dalam Oey

Hong Lee, Indonesia After The 1971 Elections, London: Oxford University Press, 1974, hlm 76,

Sebagaimana dikutip oleh M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret

Pasang-Surut, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993

Page 95: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

69

NKRI dan ideologi Pancasila tersebut telah menyatukan mereka. Hal ini berbeda

dengan kelompok Muslim yang terobsesi untuk memunculkan ide-ide yang

menurut kelompok Ali Moertopo sebagai ide sempit dan eksklusif, yaitu ideologi

Islam.

Sementara Ali Moertopo dengan kepentingan terhadap kelompok

minoritas, termasuk etnis Cina dan Khatolik, untuk berhadapan dengan umat

Islam yang sejak awal di curigai oleh Ali Moertopo sebagai kekuatan yang akan

mengancam kekuasaan pasca dibubarkannya PKI. Dalam hal ini konteks

konfrontasi terhadap Negara, Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih

berbahaya.10

Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi kekuatan yang selalu

dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer

menjadi retak. Ironisnya, ummat Islam harus menanggung beban yang cukup

berat menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu militer kedekatan di antara elit

militer dengan ummat Islam, khususnya kalangan ulama pada waktu itu lebih

disebabkan oleh dua hal. Pertama, kedekatan cultural, yaitu kedekatan karena

adanya kesamaan pemahaman menyangkut Islam. Kedekatan cultural ini bisa

dilihat dari beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman yang kuat

yang kemudian tercermin dalam langkah dan kebijakan. Pada masa Orde Lama,

terdapat Jenderal Soedirman yang berasal dari Muhammadiyah dan aktivis

10 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3S,

1995), h. 33

Page 96: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

70

Hizbulwathan, juga ada A.H. Nasution yang dianggap memiliki pemahaman dan

komitmen dalam keislamannya.11

Pada masa Nasution menjabat sebagai menteri pertahanan, ia

mnegusulkan penanaman nilai-nilai keislaman dalam tubuh militer. Walaupun ide

tersebut mendapat banyak tanggapan baik yang setuju maupun yang tidak. Pada

akhirnya sikap tersebut terealisir dalam bentuk penanaman ajaran keislaman.

Kenyataan ini merupakan refleksi dari latar belakang keagamaan Nasution yang

dikenal cukup kuat.

Kedua, adanya kesamaan kepentingan. Kedekatan ini bersifat sementara

dan lebih bersifat taktis politis. Hal ini dapat dilihat dalam kerjasama menumpas

anggota PKI. Hal lain yang menunjukan kerjasama yang dilatarbelakangi

kepentingan pada waktu itu, pemerintah yang dimotori oleh Ali Moertopo

mengajukan UU Perkawinan. UU tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah.

sementara itu, Soemitro menawarkan undang-undang tentang hal yang sama yang

disampaikan pada kalangan pada kalangan ulama. Realitas ini semakin

memperjelas adanya dualisme kapentingan di kalangan militer dalam

menanggapi tentang UU yang terkait dengan ummat Islam.12

Lebih dari itu,

militer pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh-

musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah

11

Pembahasan mengenai sikap dan sosok Soedirman, termasuk tentang aktivitasnya di

Muhammadiyah dapat di bacadalam buku; Salim Said, Genensis of Power, Genenral Soedirman

and The Indonesia Military in Politics 1945-49, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, h. 55-90 12 Mengenai munculnya persaingan atau perbedaan kepentingan di kalangan Militer,

khususnya antara Ali Moertopo dengan Soemitro, secara tersirat diakui oleh Soemitro. Bahkan

Soemitro merasa ada adu domba antara dirinya dengan Soeharto. Ramadhan K. H., Soemitro

Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, h. 284-287

Page 97: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

71

umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang

yang terkait dengan komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok

Islam radikal (Islam politik).

Tidaklah terlalu mengherankan jika pada masa Orde Baru militer sangat

menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui kepiawaian para

perwira TNI dalam proses bernegara, nyaris tidak ada ruang kosong yang tidak

terdeteksi dan terjamah oleh tangan-tangan militer Indonesia. Atas nama stabilitas

dan pembangunan tentara melakukan penetrasi ke masalah-masalah

kemasyarakatan, mulai dari persoalan partai politik, penguasaan lahan ekonomi,

kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan lain-lain. Tak jarang TNI melakukan

tindakan represifitas terhadap para aktifis yang melakukan penolakan atas

kebijakan-kebijakan yang digelontorkan pemerintahan Soeharto.

Untuk menguatkan posisi kekuasaannya, Soeharto menggunakan tentara

untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur

tangan tentara dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan

dua pertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan

walikota, 56% adalah tentara, direktur jenderal 70% dan sekretaris menteri 84%

diduduki oleh militer. Hampir separuh jabatan duta besar pada 1977 adalah

berasal dari golongan tentara.

Lebih lanjut tentang campur tangan militer dalam politik, cukup banyak

kasus yang telah dilakukan oleh militer, antara lain campur tangan dalam Partai

Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1996 yang kemudian melahirkan peristiwa

27 Juli 1996. Pada tahun 1993, Soeharto melakukan infiltrasi terhadap organisasi

Page 98: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

72

Nahdhatul ‘Ulama (NU). Di mana Soeharto menolak terpilihnya Abdurrahman

Wahid menjadi ketua NU pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat. Gus Dur

tidak direstui Soeharto, karena Gus Dur adalah salah seorang pendiri Forum

Demokrasi yang cukup kritis terhadap perkembangan situasi nasional.

C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut

Secara global, dalam sejarah umat Islam persoalan militer selalu bermuara

pada pembagian kekuasaan antara kedudukan khilafah (pemimpin) yang

berpungsi hanya sebatas symbol, sementara pelaksanaannya adalah milter.

Kenyataan ini di satu sisi, sering diterima oleh kalangan Islam sebagai realitas

yang tidak terelakan, tetapi disisi lain sering mendapat perlawanan dari kelompok

yang tidak puas dengan perlakuan yang militeristik. Ketidakpuasan itu kemudian

mengkristal menjadi sebuah perlawanan cultural, yaitu bagaimana nilai-nilai yang

dianut oleh masyarakat bawah bisa diterima dan diserap oleh kelompok elit

militer. Perlawanan ini biasanya dilakukan oleh kalangan aktivis tarekat yang

membuat kelompok tandingan bagi kekuasaan yang militeristik.13

Dalam konteks Indonesia, sejarah militer sebenarnya tidak bisa dilepaskan

dari konteks sosiologis bangsa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa

lascar yang dibentuk oleh ummat Islam mentrasformasikan diri ke dalam Badan

Keamanan Nasional (BKN) yang kemudian terwujud dalam bentuk Tentara

Nasional Indonesia (TNI). Tidak heran jika sosok Soedirman yag aktivis

Muhamadiyah menjadi tokoh cukup penting dalam sejarah militer Indonesia.

13

Adurahman Wahid, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma, No. 12,

Desember 1980), h. 65-71

Page 99: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

73

Dalam perkembangannya, sebagaimana dalam sejarah militer pada

umumnya, terjadi tarik menarik antara militer dan ummat Islam. Dalam tubuh

militer sendiri terjadi perpecahan. Ada kelompok yang dekat dengan kaum

nasionalis, ada pula sebagian militer yang mendukung dan terlibat dalam

pemberontakan dengan mengatasnamakan Islam.

Pada awal Orde Baru, kalangan elit militer selalu bersikap hati-hati

bahkan mencurigai terhadap langkah politik ummat Islam, tetapi ada juga militer

yang berusaha memahami langkah ummat Islam. Kenyataan ini memperkuat

sejarah perjalanan militer di Indonesia yang selalu memiliki keterkaitan dengan

Islam walau dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarahnya, muncul militer-militer

yang secara personal memiliki perhatian dan kedekatan terhadap kelompok Islam

karena pemahamannya terhadap Islam itu sendiri. Kedekatan yang bersifat

personal itu sering mengalami subordinasi ke dalam system komando yang

menempatkan Islam sebagai kekuatan yang mengancam. Sehingga kedekatan

personal ini tidak banyak memiliki arti dan pengaruh bagi perubahan interaksi

antara militer dengan ummat Islam yang renggang.

Di dalam perkembangannya politik praktis, perkembangan Islam

sebenarnya mulai terlihat, hal ini bisa terlihat dari pembangunan atau penyediaan

tempat ibadah seperti mushalla dan mesjid di beberapa instansi pemerintah. secara

umum mulai ada perkembangan secara kuantitatif dalam aktivitas keagamaan jika

dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam hal ini secara cultural Islam

masih menunjukan pengaruhnya. Realitas tersebut tidak serta merta

mencerminkan adanya pendekatan akomodatif, khususnya dari pihak militer

Page 100: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

74

terhadap ummat Islam. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran agama dan nilai-

nilainya yang bersifat non-politik, militer tidak banyak ikut campur. Lain hal

dalam persolan yang bersifat politik militer tidak pernah memberikan ruang dan

tempat. Pembangunan tempat ibadah pun di instansi pemerintah tidak lepas dari

tuduhan Islam radikal. Hal ini sengaja diciptakan militer untuk memperlihatkan

kesan bahwa Islam memang merupakan sebuah ancaman bagi integrasi bangsa.

Pembicaraan tentang eksistensi ekstrim kanan komando jihad dan kegiatan

terorisme di Padang dan Medan semakin menghangat. Soedomo sebagai

Kaskopkamtib menuduh adanya Islam politik yang mendapat bantuan dana dari

Lybia. Sebuah tuduhan yang mengindikasikan adanya kesungguhan sekelompok

ummat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Tuduhan-tuduhan ini diiringi

dengan pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai aktivitas ummat Islam.

Setiap penceramah atau da’i terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pihak

keamanan sebelum menyampaikan isi ceramah pidatonya. Perlakuan yang refresif

semacam ini telah memancing kemarahan dan menimbulkan tindakan radikal

dikalangan ummat Islam. Jika dilihat dari sejarah kronologisnya, hal ini dapat

dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan radikalisme di kalangan ummat Islam.

Gerakan jama’ah Imran di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1980 yang kemudian

berlanjut dengan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla pada tanggal 28

Maret 1981 merupakan gerakan yang bercita-cita mendirikan Negara Islam.

Gerakan ini dapat ditanggulangi dan para pemimpin organisasi ini mendapat

hukuman mati.

Page 101: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

75

Hal serupa terjadi pada kasus Tanjung Priok, peristiwa ini terjadi pada

tanggal 7 September 1984, hal ini dipicu oleh ketidaksopanan tingkah sikap

aparat keamanan, Hermanu terhadap sebuah tempat ibadah mushalla di Jakarta

Utara. Perilaku tidak etis ini memancing amarah masyarakat muslim dan

kekerasanpun terjadi yang pada saat itu keadaan memuncak seiring dengan

rencana pemerintah untuk menerapkan asas tunggal.

Kekerasan pun semakin berlanjut pada tanggal 24 Desember 1984 terjadi

peledakan gereja Katholik di Malang yang berlanjut pengeboman candi

Borobudur pada tanggal 21 Januari. Di Aceh pada tanggal 18 Mei 1987 muncul

pasukan berjubah serba putih yang menyebabkan terjadinya kontak senjata

dengan militer. Tindakan refresif lainnya diperlihatkan oleh militer pada tahun

1980, yaitu peristiwa Lampung yang dikenal dengan nama Jama’ah Mujahidin fi

Sabilillah di bawah pimpinan Warsidi. Tragedi ini pun kembali menimbulkan

korban jiwa. Berbagai tindakan dan gerakan radikal yang diperlihatkan ummat

Islam ini menjadi alat pembenaran bagi kalangan militer yang pada waktu itu

didominasi dari kalangan non-muslim dan abangan bersikap menekan represif

terhadap ummat Islam dan semakin terjadinya peminggiran dan semakin

renggangnya antara Orde Baru, militer dengan ummat Islam. Ummat Islam

dianggap sebagai kelompok mayoritas yang menjadi ancaman besar bagi

pemerintah dan militer apabila berkembang secara politik, hal ini yang

menjadikan persitiwa di atas terjadi. Sikap militer yang represif terhadap ummat

Islam tidak lepas karena dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan non-

muslim dan abangan seperti Ali Moertopo, Soedomo, dan L.B. Moerdiani mereka

Page 102: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

76

adalah orang-orang yang dekat dengan Soeharto dan memiliki peran yang sangat

dominan dan strategis dalam pemerintahan Orde Baru dan secara langsung

mempengaruhi sikap militer terhadap ummat Islam. Di samping itu kepentingan

pemerintah yang menginginkan stabilitas Negara untuk program

pembangunannya dan ingin menjadi kekuatan single mayority.

Keadaan radikal yang dilakukan ummat Islam terjadi karena tingkat sikap

represif militer terhadap ummat Islam yang dirasakan sudah melewati batas.

Kekuasaan Negara yang semakin dominan ini telah memungkinkan militer yang

menjadi penyangga utamanya bisa bertindak keras terhadap setiap kelompok

khususnya ummat Islam yang dianggap mengancam kekuasaan dan keutuhan

NKRI. Atas tindakan represif militer inilah terjadi radikalisme yang dilakukan

sebagian ummat Islam yang berlangsung sampai 1990-an.

Pada awal tahun 1990-an terjadi pergeseran di dalam tubuh organisasi TNI

yang mulai memperlihatkan semakin terdesaknya Moerdiani. Dan perwira militer

muslim mulai menempati posisi strategis. Tahun 1993 ketika posisi Pangab

dipercayakan kepada Jenderal TNI Feisal Tanjung setelah ia dinilai cukup

berhasil melakukan penyelidikan sebagai Dewan Kehormatan Militer (DKM)

terhadap peristiwa kerusuhan Santa Cruz yang terjadi di Dili tanggal 12

November 1991 dan yang terlibat dan bertanggung jawab adalah orang binaan

Moerdani. Kemudian disusul posisi KSAD diserahkan pada Jenderal TNI R.

Hartono, munculnya Feisal Tanjung dan R.Hartono di dalam posisi strategis

militer dianggap sebagai kehadiran dua Jenderal santri. Dari kedua jenderal ini

hubungan Islam dan militer mulai berlangsung secara baik. Hal ini karena kedua

Page 103: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

77

jenderal ini sangat dekat dengan berbagai kelompok Islam, baik NU dan

Muhammadiyah, maupun dengan kelompok Islam lainnya yang sebelumnya

dianggap sebagai ancaman kedaulatan Negara.

Page 104: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

BAB IV

KEADAAN BARU HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER

A. Nilai-nilai Islam yang Bangkit dan Negara yang Rapuh

Awal tahun 1990-an muncul beberapa perubahan yang berlangsung dalam

kebijakan nasional baik itu tataran konstelasi politik budaya. Negara mulai

menerapkan keterbukaan politik yang selama ini represif terhadap umat Islam

yang sebelumnya menjadi kelompok yang di marginalkan. Dilain keadaan, para

cendikiawan muslim yang sejak awal tahun 1970-an bersamaan dengan

pembangunan politik yang dilakukan pemerintahan Orde Baru waktu itu mampu

membangkitkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam wacana-

wacana keislaman yang lebih terbuka yang dapat melampaui batas-batas

hubungan Islam politik. Keadaan baru dalam konstelasi politik Orde Baru ini

dengan sendirinya telah memperluas wilayah penyebaran nilai-nilai keislaman

yang universal. Umat Islam tidak lagi terjebak pada ideology Islam yang secara

politik hanya diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tetapi Orde

Baru telah meletakan nilai-nilai Islam secara universal yang bisa diwujudkan

dalam beragam bentuk wahana maupun lembaga dalam bentuk parpol yang tidak

bersifat monolitik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya dan organisasi

keagamaan. Walaupun dilain pihak Orde baru memperbatas wilayah Islam politik

yang lebih berorientasi pada tegaknya syariat Islam secara legal formal.

75

Page 105: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

76

Perubahan yang terjadi ini tidak lepas dari peran serta para cendikiawan

muslim yang berhaluan modernis diantara tokoh itu adalah Nurcholis Madjid,

M.Amien Rais, M. Syafii Maarif, Abdurahman Wahid, Kuntowijoyo, Dawam

Rahardjo dan beberapa tokoh lainnya yang sejak awal telah memperjuangkan

tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang menekankan pada nilai-nilai

substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat

formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi

ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. Dalam bentuk

konkrit lainnya kebijakan NU untuk kembali ke khittah 1926 yang dicetuskan

dalam muktamar di Situbondo tahun 1984 yang memungkinkan tersalurkannya

suara dan aspirasi masyarakat NU di semua parpol yang lain yang memungkinkan

tersalurkannya aspirasi umat Islam semakin luas. Ini merupakan salah satu

konsekuensi logis yang positif dari pengembangan Islam yang lebih inklusif,

substantive dan bersifat cultural.1

Sehingga warga NU tidak lagi terpaku untuk

menyalurkan suaranya pada PPP sebagaimana pada tahun 1971-1977 dan awal

tahun 1982.

Kenyataan ini merupakan rangkaian dari proses alami dalam tumbuhnya

kesadaran yang berlangsung dalam diri umat Islam. Kesadaran ini bukan

merupakan hasil dari sudut pandang rekayasa Negara untuk memanjakan umat

Islam, melainkan proses panjang penyebaran nilai-nilai keislaman yang lebih

1 Keputusan NU untuk tidak menjadi partisan partai tertentu berdampak pada

menurunnya perolehan suara PPP yang sebelumnya banyak didukung oleh NU. Pada pemilu 1987,

pada perolehan PPP menurun dari 27,78% suara (23,50% kursi) pada pemilu 1982 menjadi 15,97% suara (15,25% kursi) pada pemilu 1987. Menurut para pengamat penurunan ini sebagai

akibat dari penggembosan yang dilakukan oleh NU terhadap PPP. R.William Liddle, Pemilu-

pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992

Page 106: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

77

terbuka dan progresif. Sejak awal pertengahan tahun 1980-an fenomena

kebangkitan Islam mulai terlihat khususnya di pulau Jawa. Hal ini ditandai

dibeberapa wilayah Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pusat Islam Kejawen

mulai menunjukan Islamisasi yang sebenarnya. Sebuah kejadian yang tidak

pernah terlihat sebelumnya.2

Kegairahan umat Islam ini mulai menyebar dengan

sendirinya dan memperbesar munculnya sumberdaya manusia muslim yang

berkualitas. Banyak umat Islam yang mulai memasuki wilayah pemerintahan

dilembaga legislative dan eksekutif yang sebelumnya menjadi wilayah asing bagi

mereka. Golkar yang merupakan partai pemerintah dan sejak awal didominasi

oleh kelompok abangan dan non-muslim mulai banyak diwarnai oleh kelompok

Islam.3

Hal ini menyebabkan Negara tidak bisa lagi memperlakukan umat Islam

seperti masa-masa sebelumnya yang selalu diintimidasi dan dicurigai atas alasan

stabilitas Negara.

Pada tataran kebijakan pemerintah Orde Baru mengeluarkan keputusan

maupun peraturan yang mendukung terhadap keinginan umat Islam. Pada tahun

1988 disahkan undang-undang peradilan agama yang memberikan wewenang

pada peradilan agama untuk menangani masalah pernikahan dan warisan.

Kemudian pada tahun 1989 diumumkan undang-undang pendidikan nasional yang

memasukan mata pelajaran agama dalam kurikulum sekolah negeri. Pada tahun

1990 terbentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), kebijakan ini

dikeluarkan pemerintah menyangkut kebebasan siswa untuk memakai busana

2

Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan

Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 251 3

Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES,

Agustus 1992), h. 158

Page 107: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

78

pakaian muslimah jilbab pada tahun 1991. Lembaga pendidikan umum

memasukkan pendidikan agama dan memasukan kurikulum umum di sekolah-

sekolah agama. Hal ini terlebih dulu telah di awali oleh K.H. A. Wahid Hasyim

pada zaman kabinet Natsir tahun 1950-1951 dikeluarkan melalui peraturan No.

3/1950. Dalam hal ini, terbentuknya ICMI merupakan hal yang bisa menghapus

kesan negative yang ditunjukan pada umat Islam sebagai kelompok ekstrim

kanan. Kehadiran ICMI menjadi awal dari kebangkitan nilai-nilai keagamaan di

berbagai lapisan masyarakat baik di kalangan elit Orde Baru maupun di kalangan

militer. Sikap akomodatif pemerintah terhadap aspirasi umat Islam adalah

penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) pada tahun 1993.4

Dalam bidang ekonomi, pemerintah menetapkan badan amil zakat, infak, dan

sedekah sebagai lembaga pengumpul dan pendirian Bank Muamalat Indonesia

(BMI), sebuah lembaga keuangan yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam.

Perubahan ini menunjukan sebuah respon Negara terhadap perkembangan umat

Islam yang telah tumbuh dari proses panjang yang dijalani oleh umat Islam. ini

yang menjadi salah satu dari proses yang melahirkan perubahan dalam diri umat

Islam Indonesia yang berkenaan dalam pendidikan. John L. Esposito dalam

bukunya “Islam dan Politik” mengatakan, lembaga pendidikan yang ditempuh

oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran

dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama.

Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah

bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya

4

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 236

Page 108: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

79

memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di

muka bumi.

Tahun 1990 adalah awal tahun terjadinya sejarah baru bagi umat Islam

Indonesia yaitu kedekatan umat Islam dengan Negara dan merupakan peristiwa

yang luar biasa di tengah keadaan pandangan politik yang cenderung memojokan

Islam. kedekatan ini menimbulkan pandangan analisa dari berbagai institusi dan

kalangan. Dari beberapa pandangan yang optimis dan pesimis yang menelaah

perubahan tersebut. Pertama, mereka yang menilai kedekatan tersebut lebih

disebabkan oleh factor proses yang alami yang melahirkan generasi muda muslim

yang lebih berwawasan luas dan lebih bersikap terbuka yang pada akhirnya

Negara bisa mengakomodir untuk menempatkan posisi strategis di dalam lembaga

eksekutif. Pandangan optimis ini tidak lepas dari pandangan yang melihat bahwa

kedekatan tersebut merupakan kelanjutan dari proses pembaruan pemikiran Islam

yang telah dibangun sejak awal. Pembaruan pemikiran yang dikembangkan oleh

para cendikiawan muslim modernis yang lebih menekankan aspek cultural telah

menghilangkan kecurigaan pemerintah terhadap umat Islam yang diidentikan

dengan gerakan kelompok radikal. Di samping itu, kepiawaian sikap berpolitik

umat Islam dalam menyesuaikan diri dengan keadaan politik pemerintah. umat

Islam berhasil membaca kesempatan yang ditawarkan oleh pemerintah untuk

aktip masuk di lembaga pemerintahan pusat kekuasaan.

Kedua, datang dari kalangan pesimis yang menilai kedekatan tersebut

sebagai sebuah rekayasa pemerintah untuk kepentingan mempertahankan

kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada pandangan seperti, kepentingan penguasa

Page 109: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

80

pada saat itu untuk melebarkan kekuasaannya, simbol-simbol Islam yang dipakai

oleh pemerintah hanya strategi untuk mendapat dukungan politik dari umat Islam

sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya.5

Karena

rapuhnya kekuasaan Soeharto, yang disebabkan berkurangnya dukungan militer

terhadap kepemimpinannya. Oleh sebab itu, Soeharto memerlukan kekuatan baru

untuk memperkuat dan mempertahankan kekuatan system politiknya dan umat

Islam yang mayoritas di Indoensia menjadi pilihannya. Dukungan dari umat Islam

ini menjadi penting bagi Soeharto, karena ia mulai mengalami krisis dukungan.

Dalam sejarahnya, Negara di bawah pimpinan Soeharto pada akhir 1980-an

sedang berada dalam kebangkrutan yang disebabkan karena berkurangnya

dukungan dari institusi militer yang pada waktu itu menjadi pendukung utama

Soeharto. Hal ini karena L.B. Moerdiani yang selama ini menjadi pengaruh besar

dan memegang kendali militer melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan

Soeharto. Hal ini ditandai pada saat Sidang Umum MPR 1988 dimana dukungan

terhadap pencalonan yang mendahului terhadap calon yang akan diajukan dan

disetujui Soeharto, menjadi salah satu bukti dari adanya kerenggangan antara

Soeharto degan militer.

Kedua alasan optimis dan pesimis tersebut merupakan dua hal yang saling

terintegrasi dan tidak bisa terpisahkan. Karena kedua factor tersebut merupakan

hal yang saling mendukung yang memotivasi bagi munculnya kedekatan antara

umat Islam dengan pemerintahan Soeharto. perubahan hubungan dalam

perkembangannya yang terjadi di dalam umat Islam disambut dan berjalan

5 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,

Agustus 1999, hlm. 194. Baca juga I. Chalmers, “Introduction to this issue”, (Prisma, No. 49,

19900, h. 3

Page 110: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

81

seirama dengan kepentingan pemerintahan Soeharto untuk mendapatkan

dukungan dari kalangan Islam. hal ini dikarenakan umat Islam telah tumbuh

pemikiran yang lebih terbuka dan pemerintah meresponnya.

B. Bergesernya Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an

Dalam tataran pandangan demokrasi, kekuasaan yang dikendalikan oleh

militer akan terpuruk ke dalam system otoriter. Oleh sebab itu, militer dengan

system komandonya merupakan dunia yang berdiri secara diametral dengan

demokrasi. Selama ada kekuasaan militer maka selama itu pula demokrasi akan

lumpuh. Di Indonesia, sejak bergulirnya tuntutan demokrasi dan penghargaan

terhadap hak asasi manusia yang dihembuskan oleh Negara maju bergulir seiring

dengan berakhirnya perang dingin. Tuntutan demokrasi yang begitu kuat telah

memaksa berbagai Negara untuk menata diri dan menyesuaikan dengan arus

perubahan besar itu termasuk Indonesia, yaitu adanya perubahan yang lebih baik

di dalam institusi militer. Perubahan yang terjadi adalah berkurangnya keterlibatan

militer dalam persoalan politik serta wilayah intervensi militer terhadap wilayah

sipil mulai menyempit.6

Di Institusi militer semakin banyak generasi-generasi

baru yang lahir dari lembaga pendidikan formal seperti Akabri, Akmil.

Kemunculan generasi baru ini membawa perubahan dinamika politik militer, hal

ini dikarenakan dalam dunia pendidikan militer terdapat factor kognitif dan afektif

sama seperti institusi pendidikan universitas yang bisa mempengaruhi pola

tingkah laku dan sikap setiap individu. Banyak nilai-nilai kepemimpinan yang

diajarkan dalam pendidikan Akabri/Akmil baik itu nilai-nilai budaya lokal Jawa

6 www.asiaweek.com edisi 20 Januari 1995. “No More Coups? Across Asia, the Rise of

Democracy Is Changing the Military”

Page 111: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

82

maupun tentang kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam Islam dan para Nabi-

nabi pada umumnya termasuk para panglima perang Islam setelah Muhammad

saw. Pola pendidikan yang dikembangkan Akabri/Akmil tidak lepas dari budaya

lokal Indonesia dan penekanan pendidikan spiritual bagi kalangan militer,

kegiatan tersebut dilakukan sebagai ekstrakurikuler yang dilakukan setiap habis

melaksanakan shallat 5 (lima) waktu yang dilakukan oleh para senior militer dan

pengajian berkala yang mendatangkan pengajar/penceramah dari luar kalangan

militer. Hal ini untuk menumbuhkan militer yang mengerti nilai-nilai keislaman

yang tumbuh bersama nilai-nilai kultural dalam setiap individu prajurit, walau

demikian terjadi penekanan pada kepentingan Negara yang dimotori Orde Baru

tertanam sangat dalam pada diri militer, sehingga terjadi paradoksalitas di dalam

institusi militer yang berakibat sikap militer dikendalikan oleh Soeharto selaku

pemegang kekuasaan yang terlihat dari keterlibatan militer santri dalam operasi

militer yang sangat bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai keislaman yang

menekankan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Generasi baru militer yang menempati posisi strategis baik sebagai

perwira menengah dan tinggi pada tahun 1990-an lebih professional dalam

memposisikan diri dan jabatannya. Hal ini berbeda dengan militer angkatan 45

yang tercermin dari sikap penyelesaian masalah angkatan 1945 lebih berpikir

instan tanpa mempertimbangkan dampak akibat yang akan muncul di lain waktu

dan hal ini dikarenakan dari keadaan pragmatis dan fleksibelnya angkatan militer

1945 yang berlainan visi, misi dan pandangan dengan generasi militer 1990-an.

Hal ini didasarkan pada sebuah proses alamiah di dalam masyarakat langsung.

Page 112: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

83

Militer angkatan 1945 tidak lahir dari tempaan sekolah formal tetapi hasil dari

sebuah bagian langsung bersama masyarakat melawan penjajah.

Generasi militer tahun 1990-an yang memiliki posisi strategis adalah

militer yang berasal dari keluarga muslim. Hal ini tidak lepas dari perubahan

sikap dari sebagain umat Islam di seluruh Indonesia yang memasukan anak

mereka ke lembaga institusi pendidikan militer. NU pada tahun 1968

mengeluarkan himbauan bagi kalangan muda NU untuk masuk dunia militer.

Karena fasilitas yang disediakan lembaga pendidikan militer dijamin oleh Negara,

di samping itu juga peran strategis militer dalam konstelasi politik nasional.7

Hal

ini karena sejak awal dilaksanakannya pendidikan militer secara formal terjadi

minat yang tinggi dari masyarakat untuk masuk pendidikan militer.

Banyaknya taruna-taruna militer yang lahir berkepribadian religius tidak

lepas dari latar belakang keluarga dan di topang ketika menjalani pendidikan

keagamaan di lembaga militer yang intensif baik sebagai materi intra dan ekstra

kurikuler. Diantara taruna Akmil yang memiliki ketertarikan dan komitmen

terhadap masalah keislaman adalah Jenderal TNI R. Hartono, Jenderal TNI Feisal

Tanjung,Letjen TNI Syarwan Hamid, dan Letjen TNI Hendropriyono. Mayjen

TNI Syamsul Ma’arif,8

Mayjen Kivlan Zen,9

Mayjen TNI Muchdi PR,10

Mayjen

7

Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta:

LKiS, 1999), h. 152 8

Syamsul Ma’arif menjabat Staf Pengamanan (SPAM) TNI AD di Jakarta (1993),

Koordinator Staf Pribadi Pangab/Sekretaris Pangab (1994), Danrem (Surabaya) termuda

diseluruh Indonesia (1995), Kasdam V/Brawijaya (1997), dan Gubernur Akmil (1998),

www.tni.mil.id 9

Jabatan yang pernah dijabat adalah Kasdam VII/Wirabuana (1996), Kepala Staf

Kostrad (1997), dan Koordinator Staf Ahli KSAD (1998). www.tni.mil.id 10

Alumni Akabri 1970 pernah menjabat Kasdam V/Brawijaya (1996), Pangdam

VI/Tanjungpura (1997), Komandan Jenderal Kopassus (1998). www.tni.mil.id

Page 113: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

84

TNI A Rahman Gaffar,11

Letjen TNI Suadi Marasabessy,12

Mayjen TNI Sjafrie

Sjamsuddin,13

Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim. Para jenderal ini menempati

posisi-posisi yang sangat strategis menggantikan posisi yang dulu dipegang oleh

kelompok L.B. Moerdiani. Selain dari para Jenderal tersebut lahir dari latar

belakang keluarga dengan dasar keagamaan yang cukup agamis, ada juga

sebagian prajurit militer yang meminati semangat keagamaan yang tumbuh pada

saat mengikuti pendidikan di Akmil, Akabri seperti Letjen Prabowo Subianto.14

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama menjadikan umat

Islam sebagai penduduk yang mayoritas, hal ini memberikan kesempatan yang

sangat luas untuk aktif di berbagai lembaga Negara termasuk institusi militer.

Umat Islam Indonesia memiliki kesempatan terbesar untuk masuk institusi militer.

Sedangkan untuk suku yang memiliki porsi terbanyak masuk institusi militer

adalah suku Jawa.

Militer sangat terikat dengan sumpah Sapta Marga dan sumpah prajurit.

Tampilnya militer yang memiliki latar belakang agama Islam yang kuat tidak

sendirinya memperlakukan umat Islam secara istimewa. Keberadaan umat Islam

dijadikan sebatas mitra dalam ikut serta menjaga stabilitas Negara. Gerakan-

gerakan yang berbau separatis dan pendirian lembaga organisasi di luar ideology

Pancasila tidak akan mendapat jalan. Kondisi politik Orde Baru dan kebijakan

Negara yang sentralistik telah meletakan militer santri sekalipun dalam lingkaran

11 Menjabat Kasdam VIII/Trikora (1996), dan Pangdam I/Bukit Barisan (1997)

12 Alumni Akabri 1971 pernah menjabat Asisten Operasi Kasdam IV?Diponegoro, Wakil

Asisten Operasi Kasum ABRI, Asisten Operasi KSAD (1997), Pangdam VII/Wirabuana (1998).

www.tni.mil.id 13

Sebagai Pangdam Jaya (1997). Sebelumnya komandan Paspampres. www.tni.mil.id 14

www.jawapos.com edisi Maret, 1998

Page 114: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

85

yang sama. Militer menjadi kunci yang sangat menentukan bagi keberadaan

sebuah parpol dan ormas, LSM yang ada di masyarakat dan menjadi kekuatan

penekan kedaulatan rakyat.15

Keberadaan militer santeri memang akan memiliki

pengaruh terutama terhadap keberadaan umat Islam, tetapi sebagai militer mereka

akan tetap berpegang teguh pada saptamarga dan sumpah prajurit. Oleh sebab itu,

kebijakan mereka bertindak sebagai militer, bukan sebagai santeri. Bahwa dalam

melaksanakan tugasnya latar belakang keagamaan tidak memiliki keterkaitan

yang ketat dalam diri militer. Tentara tetap tentara yang akan menjalankan tugas

dan ajaran agamanya. Oleh sebab itu bukanlah sesuatu yang aneh apabila tentara

yang muslim rajin shallat.16

Pandangan tersebut memperjelas posisi militer sebagai sebuah lembaga

dengan agama Islam sebagai keyakinan yang bersifat personal dan perorangan.

Tugas kemiliteran adalah tugas kelembagaan, sementara agama adalah panduan

yang bersifat personal yang memungkinkan setiap indivu, tanpa mengenal kelas

dan status sosial, memahami dan merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari

mereka merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang ada dan system politik

yang dibangun oleh pemerintahan. Hanya saja secara kebetulan budaya mereka

sama-sama berasal dari muslim. Hal ini yang menyebabkan kedekatan militer

lebih bersifat persuasif agar umat Islam tidak menjadi radikal yang menyebabkan

disintegrasi bangsa.

Ada penekanan keagamaan dalam penanaman saptamarga dan sumpah

prajurit. Setiap militer dituntut untuk menjadi penganut agama yang fanatik, yaitu

15

Benedict Anderson, Takashi S, dan Jams T. Siegel, “The Indonesia Military in the Mid-

1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia, No. 63, April 1997. h. 104 16

William Liddle dan Sayidiman Soerjohadiprodjo, Gatra, 18 Februari 1995, h. 23

Page 115: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

86

menjalankan ajaran agama begitupun tampilnya militer muslim yang sering

diistilahkan militer hijau, merupakan refleksi dari usaha militer untuk

menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Agama bagi militer bukan berarti

sesuatu sepintas lalu. Namun demikian bukan berati militer ingin

mencampuradukan persoalan tentara dengan agama. Agama merupakan penuntun

bagi setiap pribadi, sementara sapta marga adalah panduan kelembagaan militer

yang secara keseluruhan yang melintasi batas keagamaan, baik itu Islam, Kristen,

Budha, Hindu dan agama lainnya. Hal ini berarti ada titik kesamaan antara satu

agama dengan agama lainnya dalam mendekati masyarakat.17

C. Hubungan Islam dengan Militer

Terjadinya perubahan hubungan antara Islam dengan militer pada masa

Soeharto tahun 1990-an yang dimulai dengan pertentangan di jajaran elit militer

mendorong Soeharto untuk melakukan rekonsiliasi dengan kelompok Islam dan

mengalihkan control militer dari tangan Moerdiani ke bawah kendali Soeharto.

Pergeseran Moerdiani ini lebih disebabkan oleh langkah-langkah yang

dioperasikan Moerdiani bertentangan dengan apa yang diketahui Soeharto.

Langkah Moerdiani tersebut akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Soeharto

karena Moerdiani memegang kendali militer pada saat itu. Oleh sebab itu, kendali

tersebut harus diambil alih untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa.18

Ada pergeseran posisi umat Islam dibandingkan dengan massa sebelumnya dari

17

Jenderal TNI (Purn.) R. Hartono, “Apa Saya Terlalu Mengerikan,” Tajuk, No. 23,

Tahun I, 6 Januari 1999, h. 29 18 Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesia Armed Forces and

Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrester (Editor), Post-Soeharto Indonesia,

Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999

Page 116: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

87

posisi pinggiran ke tengah kekuasaan, begitu juga pada jajaran militer. Dengan

sendirinya kelompok abangan sedikit demi sedikit tersingkir dari arena kekuasaan,

setelah sekian lama menguasai. Pergeseran pejabat Negara yang abangan atau

non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi dalam militer. Beberapa jabatan

penting lainnya yang juga mengalami pergeseran posisi di kabinet. Diantara

mereka yang tergeser adalah menteri keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro,

J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian

dikenal dengan sebutan RMS, juga Soedomo. Sejak awal tahun 1990-an posisi

strategis militer ditempati oleh personel yang memiliki latar belakang keislaman

yang cukup kuat dan peduli khususnya terhadap umat Islam.19

Pergeseran di institusi militer pada awal tahun 1990-an merupakan

naiknya militer santri dan berkurangnya dominasi militer abangan atau Kristen.

Pada masa sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak

mendapatkan posisi jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan

kalangan militer terhadap kelompok Islam. Seiring dengan adanya perubahan

sikap Soeharto terhadap umat Islam, militer santeri mulai menempati posisi

strategis. Namun demikian, penggunaan istilah militer hijau yang diidentikan

dengan Islam sering dinilai secara sempit yang kemudian dihadapkan dengan

istilah militer merah putih yang seakan menunjukan nasionalisme. Dilihat dari sisi

sumpah prajurit yang berlaku bagi militer hijau dan merah putih maka hal ini

sangat sulit untuk menerima adanya pengelompokan kedua faksi dalam militer.

Militer merupakan kedua kekuatan sosial politik yang sarat dengan muatan politik

19

Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”, h. 159

Page 117: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

88

dan kepentingan, baik bagi faksi hijau atau merah putih sama-sama berdiri di atas

kepentingan politiknya. Hanya saja pada tahun 1990-an, militer yang memiliki

latar belakang keluarga muslim menempati posisi-posisi strategis. Faksi hanyalah

bagian dari kenyataan faksi kepentingan, antara mereka yang punya posisi dan

yang tersingkirkan. Di tengah naiknya posisi militer santeri, beberapa peristiwa

pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan tindak kekerasan masih berlangsung.

Beberapa peristiwa yang menunjukan catatan pelanggaran HAM adalah

penyerbuan gedung PDI pada tanggal 27 Juli 1996. Penyerbuan ini melibatkan

militer yang waktu itu dipegang dari militer santeri. Peristiwa lainnya yang

mengundang dunia internasional adalah penculikan terhadap aktivis-aktivis pro

demokrasi. Penculikan yang dilakukan menjelang pemilu 1997 ini merupakan

rangkaian dari operasi militer untuk mengamankan kekuasaan Soeharto dengan

memenangkan Golkar sebagai kekuatan mayoritas dalam pemerintahan.

Terjadinya kerusuhan Liquisa, Timor-Timur pada tanggal 12 Januari 1995 dan

kerusuhan di daerah lainnya.

Naiknya militer santeri tidak menjadikan jaminan bagi keberlangsungan

proses kehidupan yang lebih aman dan demokratis. Militer tetap menjadi alat

kekuasaan dan mendukung penguasa dengan segala cara. Dalam konteks ini, yaitu

dalam konteks politik, maka persoalan agama tidak lagi menjadi memberi

makna.20

Menurut catatan mantan Aster KSAD, Mayjen Saurip Kadi, dalam

rentang waktu delapan tahun (dari tahun 1990 sampai Mei 1998) terjadi kurang

lebih 20 aksi kekerasan yang melibatkan elit militer (TNI-AD) baik secara

20

Saurip Kadi, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli

2000), h. 47

Page 118: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

89

langsung maupun tidak langsung terhadap massa, baik mahasiswa, buruh, maupun

masyarakat sipil lainnya. Dua puluh kasus ini hanya yang terekspos secara

nasional, sementara kasus-kasus lain yang tidak terekspos bisa melebihi jumlah

tersebut. Yang menjadi persoalan bukan pada jumlah, tetapi lebih pada dampak

dari aksi kekerasan yang melahirkan luka dan menempatkan manusia secara

diskriminatif. Oleh sebab itu, muncul pandangan bahwa segala langkah yang

diambil oleh militer adalah bagian dari operasi penguasa untuk kepentingan

penguasa.

Keislaman militer sulit dijadikan indikator sebagai pengamalan dari

system nilai-nilai Islam yang melekat pada dirinya di tengah system kekuasaan

yang sentralistik. Salah satu cara untuk memahami secara objektif dan eksplisit

kesadaran kultural yang tumbuh di dalam diri militer menyangkut pelaksanaan

ajaran Islam, bisa dilihat pasca lengsernya Soeharto. Semangat keislaman yang

terus berlangsung di lingkungan militer sampai saat ini bisa dipahami bahwa

pelaksanaan ajaran Islam yang merupakan sebuah kesadaran yang tumbuh secara

kultural di dalam diri militer, demikian juga hubungan militer dengan umat Islam.

Semakin terlihat tipisnya jarak diantara militer dengan umat Islam saat ini

menunjukkan tidak adanya kendala yang berat antara keduanya. Kenyataan ini

tidak lepas dari semakin banyak militer yang berstatus muslim dan menempati

posisi-posisi komando yang terus berlangsung dalam proses seleksi di dalam

institusi militer sampai era reformasi sekarang ini. Ini membuktikan bahwa

keislaman yang tumbuh di dalam diri militer bukan merupakan sebuah rekayasa

untuk kepentingan politik status quo maupun saat ini.

Page 119: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

90

D. Keadaan Baru Hubungan Islam dan Militer

Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman,

muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun 1990-

an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini merupakan

bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di berbagai tempat maupun

lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan pemerintah, telah banyak

berdampak dalam institusi militer. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai

agama radikal dan mengancam integrasi, tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa

menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan

Orde Baru.

Perubahan kepimpinan strategis yang terjadi di institusi TNI pada awal

tahun 1990-an merupakan kejadian perubahan yang sangat menarik dibandingkan

dengan masa-masa sebelumnya. Pergeseran kepemimpinan yang terjadi

memunculkan banyak pandangan tentang adanya faksi di institusi TNI. Faksi ini

sebenarnya merupakan kelanjutan dari pertentangan pada tingkat elit militer

antara kelompok Cilangkap yang dikendalikan oleh L.B. Moerdani dengan

Soeharto. Pertentangan antara keduanya mulai terlihat sejak pemilihan wakil

presiden pada SU MPR 1988. Militer waktu itu mencalonkan nama lain dari yang

dikehendaki Soeharto. Langkah dan kebijakan Moerdani yang berbeda dengan

kekuasaan ini menjadi salah satu faktor penyempitan peran Moerdani di dalam

institusi militer. Faksi ini dikaitkan dengan naiknya peran militer santeri dan dilain

pihak berkurangnya dominasi militer dari kalangan abangan/Kristen. Pada masa

sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak mendapatkan posisi

Page 120: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

91

jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan sebagian kalangan TNI

terhadap kelompok Islam. Dalam perkembangannya dengan adanya perubahan

sikap Soeharto terhadap umat Islam, para perwira TNI santeri mulai menempati

jabatan strategis dalam institusi TNI.

Dalam konteks peran posisi jabatan, pergeseran ini merupakan ancaman

bagi kelompok abangan dan non-muslim yang telah lama mengendalikan militer.

Pergeseran ini telah melahirkan kekecewaan yang kemudian memunculkan isitilah

militer hijau yang identik dengan Islam yang eksklusif dan radikal dengan militer

merah putih yang identik dengan kelompok nasionalis. Adanya faksi di dalam

institusi TNI bisa dilihat dari pandangan mereka terhadap keberadaan Ikatan

Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Dalam hal ICMI ini, sebagian militer

menyatakan dalam ketidaksetujuan sikapnya terhadap keberadaan ICMI. Menurut

mereka, ICMI merupakan organisasi yang mengarah pada eksklusivitas dan

sektarian. Keberadaan organisasi tersebut bisa mengarah pada diferensiasi sosial

berdasarkan keberadaan agama yang pada akhirnya akan membangkitkan

kecurigaan di antara umat beragama. Diantara militer yang tidak setuju dengan

keberadaan ICMI adalah Letjen Harsudiono Hartas. Menurutnya ICMI merupakan

organisasi yang tidak nasionalis dan menjadi tantangan potensial bagi Pancasila

dan militer. Organisasi yang berlabel agama ini, menurut Letjen Harsudiono

Hartas, menyerupai sebuah parpol dengan label keagamaan yang bisa digunakan

untuk mencapai kepentingan golongan tertentu.21

21 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia, Democracy, Islam and the Ideology of

Tolerance, (London: Routledge, 1995), h. 138

Page 121: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

92

Pertentengan kedua kelompok militer ini terfokus pada kepentingan

kekuasaan di dalam institusi militer. Bagi kalangan militer santri, dikotomisasi

tersebut dianggap sebuah upaya penyempitan peran militer dari kepentingan

nasional menuju kepentingan kelompok Islam. Di lain pihak ada kalangan militer

yang bersikap positif terhadap kehadiran ICMI. Di antara mereka adalah Jenderal

R. Hartono dan Jenderal Feisal Tanjung. Sejak pendirian ICMI di Malang, sikap

Jenderal R. Hartono terhadap ICMI sangat akomodativ, begitu juga dengan

Jenderal Feisal Tanjung yang memperlihatkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh

ICMI dan memberikan ruang bagi keberadaan organisasi ICMI. Faksi ini

kemudian menguat menjadi istilah kelompok militer hijau yang mengacu pada

kelompok pro ICMI (Habibie) dengan kelompok merah putih yang tidak setuju

terhadap akselerasi yang dilakukan Habibie melalui ICMI.22

Dalam hal ini tidak

tertutup kemungkinan Habibie ikut andil dalam pergeseran di tubuh militer yang

semakin menyempitkan peran kelompok militer Moerdani. Sangat wajar apabila

kelompok Moerdani tidak suka dengan berbagai langkah yang diambil oleh B.J.

Habibie yang menjadi anak emas Soeharto. salah satu bukti ketidaksukaan

Moerdani terhadap Habibie ditunjukan oleh sikap Moerdani pada pemilu 1992

ketika ia mencalonkan Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Hal ini dilakukan

Moerdani karena pada waktu itu ada indikasi bahwa Soeharto akan mengangkat

Habibie menjadi wakil presiden. Hal lain yang menjadikan menyempitnya peran

militer Moerdani adalah peristiwa Santa Cruz, Dili, Timor-Timur yang terjadi

pada tanggal 12 November 1991. Tragedy ini mengundang reaksi dunia

1995

22 Ulf Sundhaussen, “ABRI Ada Banyak Perubahan”, Tiras, No. 4, Tahun I, 23 February

Page 122: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

93

internasional dan secara tidak langsung merupakan ancaman bagi posisi Soeharto

selaku presiden sekaligus panglima tertinggi militer. Kejadian tersebut berimbas

pada dihentikannya berbagai bantuan internasional, khususnya bantuan yang

terkait dengan militer. Amerika Serikat yang sebelumnya mendukung integrasi

Timor-Timur ke Indonesia berbalik mendukung terhadap kemerdekaan Timor-

Timur. Amerika Serikat menghentikan bantuan program International Military

Education and Training (IMET) yang sejak lama diberikan bagi para militer

Indonesia. Tidak cukup sampai disitu, Amerika Serikat berusaha menghalangi

setiap usaha Negara-negara lain bekerjasama dalam masalah kemiliteran dengan

Indonesia.23

Salah satunya adalah Amerika Serikat mencegah kerjasama militer

dengan Indonesia dengan memberikan himbauan kepada Yordania untuk tidak

menjual pesawat tempur F-5 kepada Indonesia.

Peristiwa tragedy Santa Cruz yang terjadi merupakan bagian dari

tanggungjawab militer yang waktu itu masih di bawah kendali Moerdani sebagai

Menhankam, secara langsung berdampak pada posisi Soeharto, hal ini

menyebabkan kekecewaan Soeharto terhadap militer saat itu yang dianggap gagal

meredam gejolak yang terjadi di masyarakat. Untuk menyelesaikan persoalan ini,

Soeharto menyetujui dibentuknya Dewan Kehormatan Militer (DKM) yang terdiri

dari Sembilan anggota dan diketuai oleh Mayjen Feisal Tanjung. Dewan

Kehormatan Militer yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan KSAD Nomor

Skep/509/XII/1991, tanggal 31 Desember 1991 ini beranggotakan Sembilan

personel berpangkat mayor jenderal, yaitu Feisal Tanjung (ketua), Setiana (Wakil

h. 185

23 Indria Samego, “…Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet. II,

Page 123: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

94

Ketua), Toni Hartono (Sekretaris) merangkap anggota, Sutopo (anggota),

Suparman Ahmad (anggota), Surjadi Sudirdja (anggota), Soewardi (cadangan),

dan Soetedjo (cadangan).24

Hal ini semakin memperjelas adanya konflik di dalam

institusi TNI antara kelompok Soeharto dengan kelompok Moerdani yang

menyebabkan pergeseran kepemimpinan militer akibat peristiwa Santa Cruz.

Pergeseran peran Moerdani ini lebih disebabkan oleh langkah-langkah

yang dioperasikan Moerdani bertentangan dengan apa yang diinginkan Soeharto.

Langkah Moerdani tersebut akan menjadi ancaman bagi pemerintahan Soeharto

karena Moerdani memegang kendali militer pada waktu itu. Oleh sebab itu,

kendali tersebut harus direbut untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa.

Hal ini menyebabkan Soeharto melakukan langkah rekonsiliasi dengan kelompok

Islam dan mengalihkan kontrol militer dari tangan Moerdani ke bawah kendali

dirinya sendiri.25

Terjadinya konfrontasi antara Soeharto dengan Moerdani menyebabkan

pergeseran posisi umat Islam bila dibandingkan dengan masa sebelumnya dari

posisi umat yang terpinggirkan merangkak ke tengah kekuasaan, termasuk dalam

jajaran institusi TNI. Sejak awal tahun 1990-an posisi strategis TNI ditempati

oleh perwira yang memiliki latar belakang keislaman yang cukup kuat dan

memiliki kepedulian terhadap umat Islam. Pergeseran kekuasaan dari aparat

Negara yang berstatus abangan/non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi

dalam militer. Beberapa jabatan penting lainnya yang mengalami pergeseran

24

Kompas, 3 Januari 1992 25 Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and

Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor), Post-Soeharto Indonesia,

Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999

Page 124: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

95

posisi di kabinet, di antara mereka yang mengalami pergeseran adalah menteri

keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank

Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian dikenal dengan sebutan RMS, terahir

Soedomo.26

Sejak awal, alur militer dengan system komandonya tidak sepenuhnya

solid. Ada bentrokan kepentingan yang berbeda di dalam institusi militer, baik

dalam satu korps angkatan maupun di luar korps antara angkatan darat, laut, dan

udara (AD, AL, AU). Selama pemerintahan Orde Baru, faksi-faksi ini diredam

sehingga masyarakat melihat Abri/TNI selalu dalam keadaan kompak menyatu

dalam system komando. Pengelompokan faksi dan perbedaan pandangan yang

terjadi dalam institusi militer adalah suatu proses keberagaman dan merupakan

sebuah proses alami yang tidak bisa di hindari. Keadaan ini menjadi keuntungan

juga agar dapat mencairnya ‘totalitarianisme” yang dengan sendirinya akan

memberikan peluang adanya perbedaan pandangan bagi setiap orang dan di

kalangan militer yang selama ini terikat penuh dalam system komando yang

dikendalikan langsug oleh panglima tertinggi Abri/TNI, presiden. Di balik sisi

positif ada hal negative, keberadaan faksi bisa berakibat pada melemahnya

komitmen pada kepentingan dan keamanan nasional yang bisa menjadi

kepentingan perorangan dan kelompok tertentu. Pada ahirnya rakyat sipil yang

menjadi korban dari pertikaian faksi elit-elit militer. Umat Islam yang menjadi

korban terbesar dan paling dirugikan di bidang politik, ekonomi, sosial dan

26 Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”….. h. 159

Page 125: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

96

budaya dari praktik menyimpang konflik kelompok militer tersebut dikarenakan

umat Islam mayoritas rakyat Indonesia.

Kehadiran perwira militer muslim dengan latar belakang tersebut telah

memperkuat adanya faksi di dalam institusi TNI. Munculnya istilah militer hijau

dan militer merah putih hanya memperkuat adanya pengelompokan kepentingan

di dalam institusi TNI/ABRI. Sedangkan dalam praktiknya baik itu militer

abangan maupun militer muslim tetap menjadi kendaraan Soeharto untuk

kepentingan kekuasaannya. Mengambil dari Moerdani untuk mengalihkan kontrol

terhadap militer dengan cara melakukan pergeseran yang menyeluruh. Dalam

sejarahnya, penggantian yang berlangsung di dalam institusi militer pada awal

tahun 1990-an merupakan pergeseran kepemimpinan yang terbesar dan

menyeluruh dalam sejarah militer Indonesia. Sejak bulan Juli 1989 sampai Januari

1992 terjadi 92 pergantian di dalam institusi militer baik di tingkat pusat, kodam

maupun korem.27

Tampilnya militer TNI muslim di jajaran strategis disebabkan

oleh dua factor. Pertama, proses pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam

sudah memasuki masa menghasilkan kader-kader, begitu juga yang memasuki

akademi militer Negara seperti Akabri, Akmil. Sejak akhir tahun 1980-an sampai

tahun 1990-an prajurit TNI muslim yang memiliki latar belakang keislaman mulai

memasuki level kepangkatan perwira menengah (Mayor, Letkol, colonel) dan

perwira tinggi (Brigjen, Mayjen, Letjen, Jenderal TNI) kepangkatan tersebut

terkait dengan posisi strategis yang masing-masing mereka pimpin dalam institusi

militer. Hal ini dikarenakan generasi militer yang masuk menempuh pendidikan

27

Benedict Anderson (Editor), “Current Data on the Indonesian Military Elite”, (July 1,

1989-January 1, 1992)”, Indonesia, No. 53, April 1992

Page 126: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

97

militer pada awal tahun 1970-an, pada awal 1990-an sudah secara normal

memasuki jenjang kepangkatan perwira menengah dan tinggi. Kedua, tidak lepas

dari kepentingan penguasa pada saat itu yaitu Soeharto sebagai panglima tertinggi

militer untuk menaikan militer muslim menggantikan posisi militer abangan/non-

muslim yang sebagian besar sudah memasuki masa-masa pensiun dan perbedaan

kepentingan antara kelompok Moerdani yang sudah berbeda pandangan dengan

Soeharto. Maka Soeharto harus mengalihkan kontrol militer dari Moerdani ke

tangannya sendiri agar bisa tetap mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan

Orde Barunya dengan memberikan jabatan strategis pada perwira TNI berlatar

belakang muslim.

Secara sudut pandang budaya, prajurit TNI muslim memiliki sudut

pandang dan pengalaman yang berbeda dengan militer abangan/non-muslim

dalam menilai umat Islam. Pada umumnya militer dari kalangan abangan/non-

muslim memiliki pandangan dan penilaian yang sangat mencurigai umat Islam

dan selalu menampilkan Islam dengan kesan sebagai agama yang radikal yang

mengancam kesatuan Negara republik Indonesia (NKRI), berbeda dengan para

prajurit TNI muslim mempunyai pandangan yang berbeda dari kelompok

abangan/non-muslim. Kalaupun ada kecurigaan diantara prajurit TNI muslim

terhadap umat Islam lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang

abangan/non-muslim. Hal itu didasarkan karena prajurit TNI muslim menyadari

ajaran Islam merupakan suatu agama yang mengajarkan untuk mencintai tanah air

karena itu merupakan bagian dari iman. Mereka mempersepsikan Islam sebagai

agama yang membawa rahmat dan memiliki kesamaan dengan misi militer.

Page 127: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

98

Kalaupun dalam sejarahnya sempat terjadi perseteruan antara kelompok muslim

dengan militer, mereka memahami sebagai akibat dari ulah pihak ketiga yang

memiliki agenda-agenda dan kepentingan tersendiri.28

Feisal Tanjung

menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam sebagai penduduk yang

mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu,

militer dan umat Islam lah yang paling menderita bila terjadi malapetaka.

Tampilnya militer yang berlatar belakang muslim muncul secara

bersamaan dengan keinginan Soeharto untuk mendekati umat Islam. Keadaan ini

tidak langsung memberikan harapan yang jauh lebih baik bagi perkembangan

hubungan sipil-militer di Indonesia. Perubahan kepemimpinan di institusi militer

yang menghasilkan kedekatan baru antara militer Negara dengan masyarakatnya

yaitu umat Islam masih hanya sebatas pada hubungan formal dan simbolis, yaitu

sebuah hubungan yang bersifat silaturahmi/personal antara elit militer dengan elit

muslim tanpa menghasilkan dan mempengaruhi tataran kebijakan hubungan sipil-

militer. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa elit militer diantaranya Feisal

Tanjung kedekatannya dengan pengurus Muammadiyah, R. Hartono dekat dengan

kalangan ulama NU, Hendropriyono dekat dengan orang-orang mantan tahanan

politik Islam yang dibebaskan yang tergolong muslim radikal. Prabowo yang

dekat dengan pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berawal

dari inisiatif Prabowo pada akhir 1980-an untuk mendekati tokoh-tokoh muslim

guna mendorong umat Islam maju ke dalam percaturan pemerintahan, hal ini

didasarkan pada mayoritasnya umat Islam di negeri ini, umat Islam seharusnya

28

Feisal Tanjung, ABRI-Islam Mitra Sejati, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 68

Page 128: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

99

mendapatkan posisi yang proposional dalam pentas politik Indonesia. Kedekatan

ini secara formal memperlihatkan sebuah keadaan baru dalam tradisi budaya

militer Indonesia yang berhasil meyakinkan kedekatannya dengan umat Islam

sebagai kedekatan sesama muslim dan satu akidah.

Secara kelembagaan militer memiliki kebijakan yang mulai mengurangi

kecurigaannya dan secara bersamaan mengurangi pendekatan represifitasnya

terhadap berbagai lapisan masyarakat khususnya terhadap umat Islam. secara

emosional kultural di tiap personal. Dengan naiknya militer santeri ke dalam

jabatan strategis telah mempererat hubungan antara umat Islam dengan militer.

Kehadiran mereka telah memberikan opini terhadap umat Islam untuk menerima

hubungan dengan militer kearah yang lebih baik dari sebelumnya kerenggangan

hubungan yang pernah terjadi.

Perubahan yang terjadi dalam perkembangan muslim dengan militer tidak

lepas dari kultur yang sama-sama berasal dari status muslim, munculnya Feisal

Tanjung dan yang memiliki latar belakang muslim yang lekat dengan organisasi

Muhammadiyah dan para elit perwira lainnya dalam jajaran elit militer telah

mengurangi kecurigaan terhadap Islam. Hal ini dikarenakan bahwa Islam

bukanlah ancaman sebagaimana dipersepsikan oleh kelompok abangan/non-

muslim. Para elit militer memahami langsung ajaran Islam yang sesungguhnya

dari apa yang telah dipelajari oleh setiap masing-masing individu tentara mulai

dari prajurit sampai perwira tinggi yang tidak lepas dari peran keluarga mereka.

Ini yang menjadi garis besar dalam menelaah hubungan antara Islam dengan

militer di Indonesia pada dekade 1990-an. Nilai-nilai keislaman di institusi militer

Page 129: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

100

hanya sebatas pada kultur. Keislaman belum menjadi bagian dari system militer,

dan tidak akan pernah menjadi bagian dari aktivitas institusi maupun

kelembagaan. militer sesuai dengan saptamarga dan sumpah prajurit tidak akan

pernah mentolerir keinginan pembentukan Negara Islam. Hal ini sesuai dengan

slogan “Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) harga mati”.

Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan

umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan system

politik pada saat itu yang menghendaki umat Islam sebagai kelompok yang

marginal dan terbuang. Kedekatan hubungan yang dilakukan militer ditanggapi

dengan proposional oleh kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah

(melupakan masa lalu yang penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara

militer dan umat Islam membangun cita-cita bangsa. Militer tidak lagi memahami

Islam sebagai agama radikal dan mengancam NKRI, melainkan suatu ajaran yang

bisa menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah

secara bersama-sama.

Pada waktu kedepannya yang akan datang kedekatan hubungan antara

militer dengan umat Islam sebagai proses alami dari keduanya akan banyak

ditentukan oleh keseriusan militer untuk mereformasi, meredefinisi, dan

mereposisi dirinya dari sebagai alat penguasa (pretorian) menjadi alat keamanan

Negara (profesional). Di samping itu, hubungan tersebut akan ditentukan oleh

keseriusan umat Islam, begitu juga masyarakat lainnya untuk menempatkan

militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan. Hal ini menjadi penting untuk

ditekankan, karena selama ini yang menjadi alasan keterlibatan militer dalam

Page 130: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

101

persoalan politik dan bisnis militer adalah karena ketidakmampuan sipil untuk

menangani masalah politik dan ekonomi negeri ini. Masyarakat sipil yang mulai

mengendalikan kekuasaan saat ini harus bisa menunjukkan profesionalitas

kepemimpinan dan menempatkan militer sesuai dengan tugas primordialnya

seagai alat pertahanan keamanan, sehingga alasan ketidakmampuan sipil yang

selama ini ditunjukan oleh militer bisa terbantahkan. Militer adalah alat

pertahanan Negara yang mengendalikan alat-alat kekerasan, dan umat Islam

sebagai potensi bangsa yang bekerja untuk kepentingan bangsa secara

keseluruhan. Keduanya merupakan komponen bangsa yang akan banyak

menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Keduanya merupakan dua entitas

yang memiliki wilayah kerja masing-masing.

Umat Islam dan militer masing-masing memiliki peran berbeda sesuai

dengan posisi dan status di dalam kehidupan sosial. Pada titik ini, hubungan di

antara keduanya lebih bersifat fungsional, bukan didasarkan oleh ikatan

emosional. Ini menjadi agenda penting kedepannya karena keduanya merupakan

kelompok strategis yang secara ideal memiliki fungsi yang sama, yaitu

menciptakan interaksi yang harmonis bagi kehidupan nasional yang plural dan

heterogen. Militer harus mengorientasikan pengabdiannya pada Negara bukan

pada penguasa, dan menurunkan tingkat intervensinya terhadap wilayah sipil.

Inilah salah satu ciri militer yang oleh Almost Perlmutter dimasukkan sebagai

cirri-ciri militer profesional.29

Di samping itu, perlu diciptakan adanya hubungan

yang professional dan fungsional di antara berbagai lapisan sosial, termasuk

29 Almost Perlmutter, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 35

Page 131: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

102

antara militer dengan umat Islam, sehingga tidak muncul sejarah kelam karena

ekstrimis kebencian terhadap kelompok lain di satu sisi, dan pemanjaan sepihak

yang berlebihan terhadap kelompok lainnya. Keduanya, baik kebencian maupun

pemanjaan yang ekstrim hanya mewariskan kecemburuan bahkan dendam dalam

sejarah anak bangsa.

Page 132: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

BAB V

PENUTUP

A. Penutup

Di akhir pembahasan bab ini, berbicara tentang hubungan antara

militer dengan umat Islam di Indonesia pada periode 1990-1998 maka kita

akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa militer sebagai sebuah lembaga

ingin tetap menempatkan personil-personilnya dalam tampuk kekuasaan dan

dengan demikian, tetap mengendalikan negara. Kepentingan politik militer

tidak mengenal identitas keagamaan, baik militer santeri, abangan, maupun

Kristen memiliki keinginan politik yang sama, yaitu mengendalikan

kekuasaan. Hubungan militer dengan umat Islam pada tahun 1990-an, terlihat

bahwa terjadi perubahan hubungan di antara keduanya dibandingkan dengan

masa sebelumnya. Tahun 1970-an dan 1980-an militer menempatkan kedua

kakinya di dua dunia yang berbeda. Satu kaki berada dalam lingkaran

penguasa. Hal ini bisa diartikan sebagai politik militer yang menempatkan

militer sebagai alat penguasa dan melakukan berbagai tindakan untuk

mempertahankan penguasa. Militer berada dalam sebuah sistem yang

meletakan militer sebagai alat penguasa/pemerintah. Sedangkan kaki yang lain

berada di lingkungan umat Islam. hal ini bisa disebut sebagai persamaan

kultural. Militer yang berstatus muslim memiliki kedekatan secara kultural

dengan umat Islam yang didasari pada kesamaan pandangan, khususnya

menyangkut ajaran universal Islam (rahmatan lil’alamin) dan inklusif yang

99

Page 133: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

100

tidak bertentangan dengan Pancasila. Menjadi titik temu dari kedekatan kedua

kekuatan tersebut, tanpa menutup kemungkinan bahwa hal ini harus ditunjang

oleh kepentingan struktural penguasa untuk mendekati umat Islam. Secara

struktural militer menjadi pelayan kepentingan kekuasaan yang sedang

merangkul umat Islam, sementara secara struktural mereka memiliki ikatan

emosional keagamaan dengan umat Islam.

Perubahan hubungan yang terjadi antara kedua kekuatan (Islam dan

militer) mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak

tahun 1970-an sampai 1980-an terlihat mulai mencair di awal tahun 1990-an.

Ada kedekatan yang terlihat dari hubungan antara jajaran elit militer dengan

elit umat Islam. walaupun perubahan tersebut lebih pada tataran informal

militer, tetapi mempunyai dampak dari perubahan tersebut sangat terasa

khususnya bagi sekelompok muslim yang selama ini termarginalkan oleh

militer.

Secara umum perubahan tersebut merupakan sebuah pergeseran sikap

baik di dalam diri militer maupun di kalangan umat Islam yang mengarah

pada perbaikan hubungan. Perubahan hubungan yang terjadi antara keduanya

disebabkan oleh banyak hal. Pertama, perilaku politik ummt Islam yang lebih

menekankan pada penyebaran ajaran Islam yang substansial dan universal.

Munculnya prilaku politik yang lebih substantif menjadi perekat militer

dengan umat Islam. Langkah ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian

umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai

oleh militer.

Page 134: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

101

Kedua, perubahan persepsi umat Islam yang mengarah pada perbaikan

hubungan dengan militer. Pada awal tahun 1990-an, umat Islam tidak lagi

mempermasalahkan keberadaan militer, karena secara politik (militer) mulai

mengurangi sikap represifitasnya terhadap umat Islam. Langkah-langkah

militer menguntungkan terhadap umat Islam terutama mengenai pelepasan

napol Islam.

Ketiga, naiknya militer yang berlatar belakang santeri yang memiliki

pemahaman keislaman yang baik yang menimbulkan perubahan pandangan

tentang Islam yang radikal dan anti integrasi di dalam tubuh militer. Para

militer muslim mempunyai pandangan bahwa Islam sebagai bagian dari

Saptamarga yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, adanya kebijakan negara yang bersifat akomodatif baik

terhadap umat Islam maupun militer dengan latar belakang keislaman yang

baik. Kebijakan itu telah memungkinkan lahirnya titik temu antara militer

dengan umat Islam.

Tahun 1990-an adalah masa proses perubahan pergantian generasi di

dalam institusi militer berlangsung begitu cepat. Militer angkatan tahun 1960- an

mulai memasuki puncak-puncak jabatannya dan di bawahnya generasi

1970-an mulai mengikuti sebagian posisi jabatan strategis diantaranya adalah,

Jenderal TNI R. Hartono, Letjen TNI Prabowo Subianto, Letjen TNI Suyono,

Jenderal TNI Wiranto, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin. Hal ini berbeda

dengan masa sebelumnya, posisi jabatan strategis militer selalu dipegang oleh

kalangan militer abangan dan Kristen. Hal ini menjadi salah satu faktor

Page 135: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

102

penentu mencairnya hubungan militer dengan umat Islam. Terjadinya

kebangkitan umat Islam baik di kalangan sipil maupun militer, bersamaan

dengan kepentingan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Inilah yang

menjadi titik temu umat Islam dengan militer. Keduanya dipertemukan, secara

politik, oleh kepentingan penguasa, sementara di sisi lain, secara kultural,

mereka sama-sama dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang

Islam. Harold Crouch menggambarkan bahwa semarak keagamaan yang

muncul di lingkungan militer merupakan fenomena baru yang belum terlihat

pada masa sebelumnya.

Umat Islam maupun militer merupakan dua entitas yang bisa

berdampingan baik secara kultural maupun secara politik. Semua ini bisa

terjadi apabila militer tidak lagi menjadi alat kepentingan politik penguasa,

dan umat Islam bisa menampkkan nilai-nilai ajaran Islam yang egaliter,

inklusif, dan substantif. Masing-masing harus dikembalikan pada fungsi

komunitas dan peran yang sesungguhnya. Untuk memahami hubungan antara

umat Islam dengan militer dengan militer harus dilihat dari dua faktor, yaitu

faktor kultural dan faktor politik.

B. Saran-Saran

Berangkat dari beberapa poin yang penulis cantumkan, di penghujung

bab ini akan dikemukakan saran-saran sebagai bahan masukan bagi semua

pihak yang merasa memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini.

Page 136: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

103

Ketika menulis tentang perubahan hubungan militer dengan umat

Islam, penulis masih terkendala dalam mendapatkan litelatur tentang sisi lain

perubahan hubungan militer dengan umat Islam, selama ini literatur yang

bertebaran hanya membahas tentang militer dipentas politik, hubungan militer

dengan sipil, Islam dan TNI dalam reformasi. Semoga dengan munculnya

tulisan yang bertemakan perubahan hubungan militer dengan umat Islam

menjadi celah lahirnya literatur baru yang membahas masalah hubungan

militer dengan umat Islam. Selain itu, dengan kehadiran tulisan ini diharapkan

pula akan membuka ruang dialektika bahwa perubahan hubungan militer

dengan umat Islam dalam konteks Indonesia, bahwa peran militer dan umat

Islam sangat menunjang dalam pembangunan dan pembentukan masyarakat

madani/civil society yang berkesinambungan dan kuat. Dengan hadirnya

tulisan ini diharapkan pula bisa melahirkan serta memperbanyak penelitian

tentang Perubahan hubungan militer dengan umat Islam.

Page 137: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

DAFTAR REFERENSI

Adillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Intelektual

Muslim Indonesia Terhadap KonsepDemokrasi (1966-1993), Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1999

Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan

Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka Pelajar 1999

Anderson, Benedict, S, Takashi, dan Siegel, Jams T. “The Indonesia Military in

the Mid-1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia,

No. 63, April 1997

Anwar, Dewi Fortuna, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam

Prisma, No. 4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:

Rineka Cipta, 2002)

A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985)

Bruinessen, Martin Van, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Bentang 1999

Briton, Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta: LP3ES, September, 1996 Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1999

Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986

Dhakidae, Dhaniel, “Orde Baru dan Peluang Demokrasi“ Dalam Th. Sumartana,

dkk (Tim editor), ABRI dan Kekuasaan,Yogyakarta: Interfidei, 1999

Efendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina’ 1998

Esposito, L. John, Islam and Politics, Syracause, New York: Syracause

Universitiy Press, 1991,Edisi III

Federspiel, M. Howard, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di

Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed),

Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta.

1990

Feillard, Andree, “Islam Tradisional dan Tentara dalam Orde Baru; Sebuah

Hubungan yang Ganjil”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed) Vol. 46.

Page 138: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

No. 3, 1973. NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999)

Feith, Herbeth, “The Dynamics of Guided Democracy-Indonesia”, dalam Ruth

McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967)

Hefner, Robert W, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan

Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000)

http://korantempo.com/korantempo/2007/06/11/Opini/krn,20070611,53.id.html

Kadi, Saurip, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli

2000)

Kahin, McT. George, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel

University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional

Democracy-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962)

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara

Wacana, Agustus 1999, hlm. 194

Legge, J.D. Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger

Publishers, 1972)

Liddle, R.William, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik,

Jakarta: LP3ES, 1992

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik. Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin (1959-1965), Gema Insan Pers 1996

Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani

Perss,1996)

Mehden, Fred R. von der, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma,

Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of

Wisconsin Press, 1968)

Mietzner, Marcus, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and

Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor),

Post-Soeharto Indonesia, Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999

Noer, Delia, Gerakan Modern Islam di iNdonesia 1900-1942, LP3ES 1982

Notosusanto, Nugroho, (ed),Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi

Dwifungsi ABRI,Jakarta: Sinar Harapan, 1984

Nusa Bhakti, Ikrar, dkk, Tentara yang Gelisah, Hasil Penelitian Yipika Tentang

Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi, Bandung: Mizan, 1999

Page 139: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal

Rakhmat, Jalaludin, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais

(ed), Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press

Salim, Said, Tumbuh dan Berkembangnya Dwifungsi. Perkembangan Politik

Militer Indonesia 1958-2000 cet I, Aksara Karunia 2002

Samego, Indria, “Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet.

II

Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000)

Soebijono, dkk, Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perananannya dalam

Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: gadjah Mada University Press, 1997

Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta:

LP3ES, Agustus 1992)

Tanjung, Feisal, Jenderal TNI, ABRI-Islam, Mitra Sejati, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1997

Tiras, ABRI dan Islam, No. 21/VI/13 Februari 1993.

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1966)

Wahid, Adurahman, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma,

No. 12, Desember 1980)

Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi

(Jakarta: Magna Script, 2004), cet. 1

www.asiaweek.com

www.jawapos.com

www.tni.com

Perlmutter, Almost, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998)

Yeon, Kim So, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan

Nasional, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu

Sejarah Universitas Indonesia, 2003)

Zahra, Abu (ed), Politik demi Tuhan. Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka

Hidayah 1999

Page 140: PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10602/1/TAUHID... · Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal