perubahan hubungan militer dengan umat islam di...
TRANSCRIPT
PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT
ISLAM DI INDONESIA
Periode 1990-1998
Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Tauhid Hudini
20403320310328
Pembimbing
Dra, Haniah Hanafie, M. Si
NIP. 19610524 200003 2 002
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2009 M
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT
ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang
munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program
Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, …. 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A
NIP. 150 232 921 NIP. 1969 0822 199703 1 002
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Sirojudin Ali, MA Dr. M. Amin Nurdin, MA
NIP. 150 299 478 NIP. 150 262 447
Pembimbing,
Dra, Haniah Hanafie, M. Si
NIP. 19610524 200003 2 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 26 Juni 2009
Tauhid Hudini
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT
ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang
munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program
Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, …. 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A
NIP. 150 232 921 NIP. 1969 0822 199703 1 002
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Sirojudin Ali, MA Dr. M. Amin Nurdin, MA
NIP. 150 299 478 NIP. 150 262 447
Pembimbing,
Dra, Haniah Hanafie, M. Si
NIP. 19610524 200003 2 002
ABSTRAKSI
Tauhid Hudini 204033203128/Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Judul Skripsi “Perubahan Hubungan Militer dengan Umat Islam di
Indonesia Periode 1990-1998”
Skripsi ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indoneisa.
Fenomena ini yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung
selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarakan pada asumsi bahwa pada masa
tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik diantara keduanya.
Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an
terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer.
Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut
mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat
mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit
militer dengan elit umat Islam.
Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor
tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor
eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat
Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik
di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung
perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin
menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam
tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu oreantasi
yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan
melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan,
persamaan dan musyawarah.
Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagain umat
Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai ileh
militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal
Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya
korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku
politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam.
Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang SIslam
yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi
terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang
pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer
santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga
yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan
hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political
will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang
memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara
(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan
munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.
Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses
demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara
juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di
Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang
terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai
pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama
Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk
memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.
Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer,
khususnya sejak awalt hun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh
adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang
Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul
di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang
belum terlihat pada masa sebelumnya.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji bagi ALLAH tak lupa penulis
panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah menampakan sifat keagunganNya
kepada para kekasihNya, yang menyinari segenap hati dengan persaksian sifat-
sifat kesempurnaanNya, dan yang memperkenalkan kepada umatNya melalui
kucuran nikmat rakhmat dan anugerah hidayahNya. Sebagai mahabah rasa syukur
penulis atas segala rakhmat, nikmat, taufik dan hidayahNya yang telah diberikan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. skripsi ini merupakan salah satu Tugas Akhir dalam
kurikulum jenjang pendidikan sarjana pada jurusan Pemikiran Politik Islam,
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, bantuan dan bimbingan hingga
terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul PERUBAHAN HUBUNGAN
MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI INDONESIA Periode 1990-1998.
Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-
apa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan
terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku
Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dra, Haniah Hanafie, M. Si selaku Dosen Pembimbing atas semua
dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan
selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran
Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu
dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas
FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),
dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak memberikan
kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia
dan juga yang rela “menunggui” penulis hingga larut.
8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada orang
yang telah memberikan dan mengorbankan segala materi dan
dukungan moral kepada penulis, Ayahanda H. Muahmmad Anwar, H.
Emir dan Ibunda Hj. Lina. I Love You. Dan seluruh keluarga besar di
Karawang, terimakasih atas segala curahan perhatian dan bantuannya.
Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt.
iii
Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan
dalam setiap jejak langkah yang akan ditempuhnya.
9. Adik ku satu-satunya Yogi yang suka ngeselin tapi tetap menjadi
motivasi ku, terimakasih untuk segala do’anya semoga kita berdua
menjadi anak yang sukses dan bertanggung jawab.
10. Kepada Laily Wulandari, Sinta Rahmawati, mereka semua tak pernah
lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik, yang selalu
memberikan kasih sayangnya, selalu memberikan motivasi belajar,
mendo’akan, tak pernah bosan membantu.
11. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Saiman
(Medan), Sofian (Banten), Pujiono (Gresik), Iskak (Jateng), Tsani
(Bekasi), Zulfikar (Bogor), Indra (Bekasi), Rei (Tangerang), Isti
(Bekasi), Yulita (Lampung), Buhari (Ternate), Ucup (Betawi), Sa’di
(Madura), Hudori (Betawi), Muhsin (Betawi), Aziz (Jawa), Fadil
(Aceh), Galo (Batam), Iin Solihin (Banten), Ijudin (Betawi), Asep
(Solo), Awe (Ciputat), Surono (Kebumen), Hadi (Betawi), Nyit-nyit
(Thailand) dan semua sahabat, teman-teman seperjuangan. Keyakinan
dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.
12. Rekan-rekan yang tergabung dalam organisasi intra dan ekstra
kampus, rekan-rekan aktivis. Terimakasih atas jalinan
persaudaraannya, semoga cita-cita kita semua segera terengkuh.
13. Gemintang, rembulan, lampu-lampu jalan, hembusan angin, hujan,
debu dan sinar matahari dan balutan semesta malam yang selalu setia
iv
menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Jurusan Pemikiran
Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….v
BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................…1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................14
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan....................................................14
D. Studi Kepustakaan.......................................................................15
E. Metodologi Penulisan..................................................................18
F. Sistematika Penulisan..................................................................19
BAB II. KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK……...21
A. Pergerakan Politik Umat Islam pada masa Penjajahan.………..21
A.1 Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI…………………..27
A.2. Islam dan Soal Kebangsaan……………………………….28
A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan…….33
A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera………...37
A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa…..41
A.6. Persoalan Pembebasan dan Emansipasi…………………...43
B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi
Parlementer………………………………………………….....44
B.1. Kabinet Natsir 1950-1951………………………………...44
B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo……………………….45
B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953……………………..46
B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II……………………...46
B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959………………47
B.6. Nasib Majelis Konstituante………………………………48
C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin.
D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orba.................
D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia
(PDII).
D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya
Parmusi
D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
BAB III. PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN
MILITER SEBELUM TAHUN 1990-1998…………………………
A. Penyingkiran Symbol-simbol .......................
B. Peminggiran Islam Politik…………………………
C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut
BAB IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN
ANTARA UMAT ISLAM DAN MILITER
A. Kebangkitan Nilai-nilai Islam ........ .......................................
B. Pergeseran Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an………. C.
Hubungan Baru Islam dengan Militer…………………………
BAB V. PENUTUP...................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................... B.
Saran .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan antara ABRI/TNI dan umat Islam sejak awal masa revolusi
kemerdekaan mengalami dinamika dan romantika yang sangat menarik perhatian
banyak kalangan. Dua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia memang
memiliki kekhasan (keunikan), tradisi, dan budaya sendiri-sendiri.1
Namun
keduanya tetap memiliki orientasi dan prinsip yang sama dan tunggal dalam
kehidupan bernegara, yaitu dalam bentuk kebangsaan. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa umat Islam secara prinsipil senantiasa mempunyai
komitmen dalam bidang pertahanan dan keamanan Negara, sehingga partnership
antara kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan nasional yang solid dan
mantap dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Dengan kata lain, keduanya
saling melengkapi dan saling memperkuat. Dalam konteks inilah maka
penerimaan dan pengakuan umat Islam terhadap dwifungsi ABRI/TNI adalah
prinsipil dan hakiki.
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah Islam, Umar bin Khathab adalah
seorang perwira militer pada zaman Rasulallah Saw. Dia adalah seorang panglima
perang, seorang jenderal. Ketika Rasulallah Saw meninggal dunia, diceritakan
1 Yahya A. Muhaimin adalah doctor ilmu politik dan dosen di FISIPOL Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya antara lain, Masalah-masalah Pembangunan Politik (sebagai
editor), Perkembangan Militer di Indonesia 1945-1966, dan yang sempat menggemparkan – Bisnis
dan Politik. Dia sebut-sebut sebagai seorang ahli dalam mengamati perkembangan militer di
kancah perpolitikan di Indonesia
1
2
dalam sebuah tarikh,2
bahwa jenderal Umar bin Khathab sedang berada di pasar.
Dia sedang berdagang atau sedang melakukan fungsi di bidang ekonomi.
Dari cerita tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa “dwifungsi militer”
di dalam Islam adalah fakta, bukan “rekaan”. Karena itu penerimaan dwifungsi
ABRI oleh umat secara prinsipil adalah social-politik pada masa modern sekarang
berbeda dengan kehidupan militer dan system social-politik Islam pada masa
Rasulallah Saw memang sesuatu yang real. Dan kedua hal tersebut memerlukan
modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian pada tingkat praktis pada masyarakat
modern saat ini.
Peranan dan pengaruh umat Islam dalam sejarah perjalanan Republik
Indonesia hingga sekarang mengalami fluktuasi yang cukup besar. Kita semua
megetahui bahwa pada masa revolusi menegakan Republik Indonesia, umat Islam
memberikan sumbangan dan pengabdian yang sangat besar dengan komitmen
kebangsaan yang amat kuat. Konsep yang menekankan bahwa revolusi itu hanya
dilakukan oleh TNI, sesungguhnya tidak tepat. Karena jika dilihat pada
sejarahnya, rakyatlah berjuang. Perlawanan atau revolusi rakyat yang menekankan
pada nasionalisme sudah dimulai sejak tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo
yang di pimpin oleh Dr. Soetomo. Kemudian di ikuti oleh organisasi
kemasyarakatan, seperti Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh K.H.
Samanhudi,3
Sarekat Islam yang dipimpin oleh Cokroaminoto,4
Partai Nasional
2
Kisah tarikh ini diterima oleh penulis dari seorang ulama di daerah, yaitu KH Abdul
Kafie pada tahun 1986 3 Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H. Samanhudi pada tahun 1911
adalah sebuah perkumpulan yang mula-mula tidak sebagai partai politik. Perkumpulan ini
didirikan oleh golongan menengah dengan maksud untuk mempertinggi kehidupan ekonomi
3
Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan lainnya. Mereka-mereka inilah yang
telah memulai dan mempelopori perlawanan terhadap penjajahan. Kemudian
setelah merdeka, barulah ada perlawanan bersenjata. Karena sebelum
kemerdekaan, cikal bakal tentara nasional di kemudian hari pada dasarnya masih
menjadi tentara KNIL atau Belanda, PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho.
Kalaupun ada perlawanan bersenjata pada waktu kemerdekaan adalah lascar-
laskar, seperti Hizbullah,5
Anshar, BPRI, Kesatuan Kristen, dan lainnya.
Percaturan Islam dengan ABRI/TNI tidak bisa terpisahkan dengan sejarah
proklamasi dan dimulainya Orde Baru. Pada waktu kemerdekaan, timbul BKR
yang kemudian menjadi TKR, dan akhirnya berubah menjadi TNI. Di samping itu
ada juga lascar-laskar atau rakyat bersenjata seperti Hizbullah, Anshar, Kesatuan
rakyat, terutama untuk menghadapi bangsa Cina yang menguasai perdagangan perantara (Lihat, Leksikon Islam , penerbit Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, h. 660)
4 Sarekat Islam (SI) merupakan kelanjutan SDI yang corak dan haluannya di ubah
menjadi partai politik, ini terjadi pada tahun 1912 dan kempemimpinannya diserahkan pada H. Oemar Said Cokroaminoto, seorang keturununan bangsawan yang berjiwa democrat. SI
memperoleh pengaruh besar di kalangan rakyat. Tidak lagi membatasi kegiatannya pada
kepentingan dan kegiatannya pada golongan menengah saja, tetapi campur tangan juga pada
perubahan-perubahan upah, sewa tanah, dan perburuhan. Pada tahun 1923, SI terpecah menjadi SI
merah (yang terpengaruh oleh paham komunis) dan SI putih. Dan pada tahun 1923 pula SI
berubah nama menjadi Partai Sarikat Islam, dan pada awal 1929 berganti nama lagi menjadi Partai
Sarikat Islam Indonesia (PSII) (lihat Ibid., h. 661) 5 Secara harfiah berarti pasukan Allah. Barisan semi militer yang didirikan khusus bagi
pemuda Muslim sebagai cadangan barisan PETA. Hizbullah didirikan oleh Masyumi pada 4
Desember 1944 atas dasar keyakinan agama Islam. Cikal bakalnya berasal dari pesantren
Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan menjadi bagian dari Masyumi, bahkan menjadi milik
umat Islam. Kontribusi para anggota Hizbullah, baik secara pribadi ataupun kelompok cukup besar
dalam melucuti senjata tentara Jepang dan sebagai kader perjuangan bangsa selanjutnya, terutama
sekali di Jawa. Ketika terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945, banyak
anggota Hizbullah yang memasuki badan ini. Demikian pula ketika pemerintah RI Menyerukan
para pemuda mantan anggota PETA, Heiho, Gyu Gun, KNIL, dan lain-lain untuk bergabung
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 9 Oktober 1945; banyak pula diantara anggota
Hizbullah yang ikut bergabung. Malahan di Yogyakarta satu batayon Hizbullah menjadi batalyon
dari 25 Resimen dan 22 Divisi III TKR di bawah naungan komandan Mayor A. Basumi. Para
anggota Hizbullah stidak masuk BKR/TKR masih terus berjuang di bawah naungan Masyumi
(Lihat Ensiklopedi Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1933, jil. 2, h. 121-122)
4
Kristen dan lain-lainnya. Kemudian tahun 1948 diadakan rasionalisasi dan
rekonstruksi (RERA) oleh Bung Hatta dan lascar-laskar itu ditiadakan.
Kembali pada zaman penjajahan Jepang dengan terbentuknya PETA
banyak daidancho (komandan batalyon) yang kebanyakan tokoh-tokohnya adalah
orang Islam, seperti Mr. Kasman Singodemedjo, Jenderal Soedirman, Arudji
Kartawinata dari Siliwangi, dan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena sesuai
dengan politik Jepang. Menurut mereka, orang Islam lah yang dianggap gigih
dalam melawan penjajahan Belanda. Maka diangkatlah tokoh-tokoh Islam
menjadi komandan batalyon. Ini sejarahnya.
Hanya saja, ketika Negara Indonesia yang baru merdeka harus mematuhi
perjanjian Renville, yang salah satu isinya mengharuskan tentara mengosongkan
daerah Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah. Ketika tentara Siliwangi
hijrah timbullah Darul Islam dengan Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat
dan di bagian barat Jawa Tengah. Kemudian ketika kembali dari hijrah, tentara
Siliwangi mendapatkan serangan dari DI/TII. Inilah yang menimbulkan trauma
bagi TNI. Pergolakan yang ditimbulkan oleh umat Islam terkadang memang lalu
mendapatkan cap macam-macam.
Pergolakan Darul Islam, peristiwa di Lampung dan Aceh tentu ada
pengaruhnya. Sekarang sudah ada asas Pancasila. Dan tindakan selanjutnya
adalah harus ada pendekatan baru antara pemerintah, ulama dan umara. Jadi asas
tinggal mendukung. Sikap kekurangpercayaan harus sudah dihapus. Tapi
terjadilah tragedy Tanjung Priok. Paska kejadian itu melihat ABRI/TNI giat sekali
mengadakan pendekatan kepada golongan Islam.
5
Sekarang ini demi kepentingan status quo, digunakanlah Pancasila untuk
tuduhan-tuduhan kecurigaan. Disebutkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang
ingin mengubah atau mengganti UUD 1945 dan Pancasila. Dengan
digambarkannya bahwa keadaan Negara dalam keadaan darurat terus. Persatuan
bangsa dalam keadaan bahaya. Padahal umat Islam pada umumnya sudah
menerima asas Pancasila sebagai ideologi Negara. Dan dalam Pancasila itu, sila
yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, causa prima. Dimana Pancasila
sebagai ideology terbuka menerima baik pandangan dari semua aliran.
Sehingga pada masa-masa berikutnya hingga dua dasawarsa pemerintahan
Orde Baru, posisi Islam benar-benar “tersudutkan”.6
Barangkali sebab pokoknya
adalah karena “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan
strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke
arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah) dengan
beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian
cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam. Jika pada masa revolusi umat Islam
jelas begitu kental wawasan dan rasa kebangsaannya, maka pada “masa
tersudutkan” itu umat Islam dikesankan oleh situasi begitu tipis wawasan
kebangsaannya. Mungkin hal itu semakin diperparah karena kelompok komunis
dengan sangat sistematis dan efektif membesar-besarkan dan menghidup-
hidupkan terus tentang “kecelakaan sejarah” yang strategis tadi, dan kelompok
6 Lihat George McT. Kahin, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel
University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy-Indonesia
(Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962); Herbeth Feith, “The Dynamics of Guided
Democracy-Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967);
Daniel S. Lev, Transition to Guided Democracy (Cornel, 1966); Karl D. Jackson, Politic, Power
and Communication-Indonesia (Berkley: California University Press, 1982)
6
komunis berhasil membuat masyarakat lupa akan kiprah komunis terutama dalam
pemberontakan Madiun pada Desember 1948. Disegi lain karena factor politik
yang semakin mengeras, kelompok-kelompok lain di luar komunis yang tidak
menyukai peranan umat Islam “memperhebat “ proses tersebut di atas. Hal itu
masih ditambah dengan pergolakan pemberontakan dibeberapa daerah yang
malangnya juga meletakan beberapa tokoh penting umat Islam Indonesia. Situasi
ini secara timabl balik menyebabkan bersemainya perasaan-perasaan tertentu pada
umat Islam terhadap pemerintah, khususnya ABRI/TNI.
Hubungan umat Islam dengan ABRI/TNI secara perlahan dan “cukup
mengejutkan” banyak kalangan non-muslim, mengalami perubahan substantive
sejak dasawarsa yang lalu. Ada beberapa factor penting yang mendorong
“perubahan dramatis” itu. Pertama, para generasi muda Muslim yang lahir
kebanyakan pada masa 1940-an mulai bertindak berbeda dengan pendahulunya
yaitu dengan melakukan antara mereka memang mendapat pendidikan tinggi di
luar negeri dengan pengaruh kultur cosmopolitan yang berbeda dengan
pendahulunya, namun aktualisasinya berbeda yakni lebih “terbuka”, lebih
dialogis, dan lebih akomodatif daripada kebanyakan pendahulunya.
Kedua, banyak perwira ABRI/TNI yang menempati posisi-posisi strategis
dan mereka datang dari kelurga Muslim yang lebih rasional, lebih akomodatif
dengan keseimbangan berpikir yang sangat kuat. Mereka juga lebih menyadari
makna potensi yang sangat besar yang dimiliki umat Islam bagi pembangunan
bangsa dan Negara.
7
Dua kelompok baru tersebut, dari kalangan generasi penerus umat Islam
(sipil) dan para penerus ABRI/TNI, telah membuka wawasan umat Islam yang
lebih luas dan lebih terang benderang serta memberikan kesempatan untuk selalu
berpikir serta bertindak positif dan konstruktif pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sebagaimana juga dikalangan ABRI/TNI dan pejabat
pemerintah umumnya. Dalam konteks ini beberapa tokoh ABRI/TNI menulis
refleksinya terhadap umat Islam. Namun perlu juga kita mengingat terus bahwa
kita selalu menyaksikan tendensi begitu kata-kata “umat Islam” disebutkan maka
serta merta orang mengajukan pertanyaan “umat Islam yang mana?”7
sebab
memang umat Islam sangatlah plural dengan tradisi berpikir yang luar biasa di
kalangan umat Islam.
Fenomena hubungan Islam dan militer di Indonesia khususnya pada masa
Orde Baru, yang dalam satu dasawarsa ke belakang ini mengalami perubahan
drastis.8
Dalam menyoalkan Islam dan militer.
Hubungan Islam dan militer (ABRI/TNI) bila ditelusuri korelasi antara
keduanya ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan militer dan Islam
di Indonesia. Misalnya, pertama, bukankah Islam9
dan militer10
pada jati dirinya
kental dan sarat muatan politik? Artinya, wilayah politik bagi mereka adalah
wilayah yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Dalam pengertian lebih jauh
7
Untuk pembahasan singkat mengenai keberagaman umat Islam, lihat Jalaludin
Rakhmat, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Press, h. 37-57 8
Lihat kata pengantar Yahya Muhaimin dalam buku Islam di Mata Para jenderal 9
Meminjam istilah K.H.A Wahab Chasbullah yang kurang lebih menyebutkan bahwa
hubungan Islam dan politik seperti gula dengan manisnya 10 Mengikuti Harold Crouch, militer di Indonesia telah menjadi organisasi kepentingan
pada awal berdirinya yang kemudian menjadi kekuatan politik utama setelah tahun 1965. Lihat,
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986
8
tentang politik, yakni Negara (state), bukankah Negara bagi Islam merupakan
institusi yang digunakan untuk memaksakan berlakunya suatu syariat11
,
sedangkan bagi militer Negara adalah institusi yang digunakan untuk kehendak
politiknya? Dengan demikian, bagi keduanya keperkasaan Negara atas
masyarakat mutlak diperlukan untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga
secara teoritis keduanya merupakan potensi ancaman serius bagi terciptanya civil
society, sekaligus tegaknya demokrasi.
Kedua, sekurang-kurangnya potensi politik yang berdasarkan keagamaan,
(baca Islam) adalah, tampaknya, satu-satunya bentuk yang masih dapat bertahan
untuk hidup.12
Semua politik aliran (nasionalis, sosialis, komunis dan tradisionalis
– Jawa) seperti apa yang diklasifikasikan oleh Lance Castle dan Herbeth Feith
telah tiarap, walaupun geliatnya terkadang menyala. Sedangkan militer adalah
pendiri sekaligus penyangga utama struktur pemerintahan pada masa Orde Baru.
Ketiga, pada dasarnya militer di Indonesia, seperti bidang apapun,
merupakan bagian dari masyarakat. Karena merupakan bagian dari masyarakat,
maka ia tidak bisa mengelak dari bagian dikotomi primordialisme yang tumbuh di
masyarakat. (Prisma, Harold Crouch: 1986). Sedangkan Islam menurut beberapa
pengamat yang meyakininya adalah sumber primordialisme. Sehingga wajar kalau
rumor yang beredar di tengah-tengah masyarakat tentang adanya ABRI hijau dan
ABRI merah- putih kadang-kadang ditelan mentah-mentah tanpa serve13
11
Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Bandung, 1973, h. 437-442 12
Oleh sementara lahirnya pihak ICMI, dianggap sebagai bangkitnya kekuatan politik
Islam (baca Masyumi) 13 Naiknya Feisal Tanjung sebagai panglima ABRI dan Hartono sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD) sebelum menjadi menteri penerangan oleh majalah Tiras dijadikan
laporan utama sebagai kemenangan kaum santri sekaligus berakhirnya kekuasaan L.B. Moerdiani
9
Kajian pandangan militer terhadap Islam sebagai dasar Negara perlu
dilakukan, karena dalam konteks awal Orde Baru, pemerintah pusat yang dikuasai
oleh militer menolak untuk memberikan bagian kekuasaan yang lebih besar
kepada Islam.14
Karena menurut militer, agama merupakan salah satu bagian dari
masalah yang merintangi persatuan bangsa dan persatuan ketentaraan. Pengertian
agama dalam konteks tersebut adalah agama Islam yang doktriner, sebuah ajaran
yang berusaha menata kembali nilai-nilai Indonesia sesuai dengan nilai-nilai
Islam Timur Tengah.15
Di samping itu selama pemerintahan pada masa Orde Baru,
kasus-kasus keagamaan seperti Tanjung Priok, Aceh, Lampung, dan terakhir Haur
Koneng di Jawa Barat, berakhir dengan pengadilan politik dan mengakibatkan
jumlah tahanan politik Islam di Indonesia selama tahun 1985-1987 mencapai 200
orang lebih di berbagai lembaga pemasyarakatan.16
Mereka ditahan karena ingin
mendirikan Negara Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melemahkan
kelompok politik Islam dengan sedemikian rupa.
Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa kasus-kasus dan pengadilan
politik tersebut dapat terjadi? Apakah ini murni persoalan intern umat Islam?
Sebab banyak diantara kalangan intelektual dan pemikir keagamaan yang
menganggap bahwa kegiatan mereka harus bebas dari politik
dikalangan tentara atau de-Benyisasi. Penilaian ini menurut saya kurang relevan karena klasifikasi
polarisasi di intern tentara dengan adanya tentara hijau dan tentara merah-putih, atau Cilangkap
dan Cendana,atau Cendana dengan Cijantung sering digunakan oleh masing-masing pengamat
sangat berbeda-beda. Dengan kata lain, pendekatan model ini untuk “mengukur dan
memproyeksikan” kekuatan politik tentara kadang-kadang tidak mendekati kenyataan 14 Dewi Fortuna Anwar. “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam Prisma, No.
4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7 15
Howard M. Federspiel, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di
Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara
Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta. 1990, h. 42-43 16
Lihat majalah GUGAH, diterbitkan Serikat Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, edisi pertama 1990, h. 8-9
10
(pemerintahan/kekuasaan). Karena itu, berteologi atau bahkan teologi itu sendiri
sebagai bagian dari kegiatan mereka mesti bebas dari kepentingan ekonomi
maupun politik. Tapi secara nyata hal ini dipastikan hampir tidak mungkin, sebab
pengetahuan (termasuk teologi) yang mereka hasilkan adalah kekuasaan. Dengan
kata lain, berteologi bagi umat Islam adalah sebuah praktik berpolitik.17
Pandangan tertentu dari militer terhadap Islam sebagai dasar Negara
sangat dimungkinkan karna beberapa hal. Pertama, Islam menjadi ideology
alternative selain Pancasila di masa sidang BPUPKI dan konstituante.
Kedua, ada relasi sejarah antara militer dan Islam dalam beberapa kasus
artikulasi politik Islam di masa lalu. Seperti DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakar,
Abdul Aziz, dan Daud Beureueh, misalnya. Akibat dari peristiwa ini, permintaan
reahabilitasi partai politik Masyumi tidak bisa dipenuhi, karena pada masa Orde
Lama Masyumi dituduh memprakarsai gerakan-gerakan separatis dan mendukung
pemberontakan DI/TII yang dimusuhi dan menimbulkan kerugian besar bagi
angkatan bersenjata serta pimpinannya (Nurcholis Madjid, 1979).
Ketiga, makin melemahnya kekuatan politik Islam pada masa Orde Baru,
untuk sebagian dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa ABRI dikuasai oleh
golongan abangan/priyayi, yaitu kelompok yang selalu cemas dengan kekuatan
Islam.18
Sehingga wajar apabila pada awal Orde Baru tujuan militer untuk
melemahkan kelompok politik Islam sedemikian rupa sehingga efektivitas Islam
sebagai ideology yang menentang falsafah Negara akan berakhir. Dan kekuasaan
17 Saiful Muzani, “Berteologi sebagai Praktik Politik, dalam Dr. Th. Sumartana dkk. (ed),
Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Interfide, 1994, h. 175 18
Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 7
11
pemerintah dapat berlanjut tanpa pertentangan ideologis.19
Di samping itu juga,
larangan yang cepat atas demonstrasi-demonstrasi politik yang dipimpin oleh
beberapa organisasi mahasiswa Islam dalam masa peralihan tahun 1965.
Memperlihatkan dengan jelas kekhawatiran ABRI/TNI terhadap kelompok Islam
pada suatu saat akan merupakan ancaman terhadap dominasi politik ABRI/TNI itu
sendiri.20
Skripsi ini menelaah tentang perubahan yang terjadi dalam hubungan
militer dengan umat Islam di Indoneisa. Fenomena ini yang diambil sebagai studi
kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini
didasarakan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan
hubungan yang boleh dikatakan lebih baik diantara kedua kelompok tersebut.
Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an
terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer.
Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut
mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat
mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit
militer dengan elit umat Islam.
Kedektan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor
tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor
eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat
Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik
di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung
19
Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 8 20
Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 7
12
perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin
menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam
tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi
yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan
melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan,
persamaan dan musyawarah.
Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat
Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai oleh
militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal
Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya
korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku
politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam.
Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang Islam
yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi
terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang
pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer
santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga
yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan
hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political
will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang
memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara
13
(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan
munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.
Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses
demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara
juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di
Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang
terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai
pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama
Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk
memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.
Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer,
khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh
adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang
Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul
di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang
belum terlihat pada masa sebelumnya. Penulis juga ingin mengetahui seberapa
besar pengaruh perubahan yang terjadi diantara tahun itu. Penulis mengambil
periodesasi mulai tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 silam. Alasan
periodesasi ini adalah karena pada masa-masa itulah terjadi sebuah perubahan
hubungan pada sepak terjang politik militer Indonesia terhadap umat Islam
Indonesia, yaitu dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan ABRI/TNI
kepada kalangan umat Islam, para tokoh-tokoh Islam, yang diteruskan dengan
14
kerjasama diberbagai ormas-ormas Islam. Pembatasan ini juga dimaksudkan agar
dalam pembahasan skripsi ini dapat lebih terfokus dan terarah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat kompleksitas masalah yang akan diteliti dan keterbatasan yang
dimiliki penulis, maka masalah yang dibahas oleh penulis akan dibatasi pada
perubahan hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam di Indonesia dalam wilayah
politik melalui perkembangan sejarah yang terjadi antara tahun 1990-1998.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka
permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana perubahan hubungan militer dengan ummat Islam antara
tahun 1990-1998 ?
b. Kebijakan politik Negara yang mepengaruhi hubungan diantara kedua
kelompok tersebut terhadap proses politik di Indonesia.
c. Bagaimana keberlangsungan hubungan ABRI/ TNI dengan orientasi
Politik umat Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah :
a. Mempelajari sejarah hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam
b. Menganalisa proses perubahan hubungan yang terjadi diantara kedua
kelompok tersebut.
15
c. Dalam konteks kekinian yang ideal, dari penelitian skripsi ini
diharapkan dapat menghadirkan pandangan baru, tidak hanya dalam
konteks militer dan Islam tetapi dalam konteks pandangan dari sudut
pengaruh hubungan kedua kelompok tersebut terhadap kehidupan
demokrasi di Indonesia sekarang ini.
2. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain:
1. Secara teoritis atau akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah
kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai hubungan relasi militer dan
Islam.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi TNI agar dapat
mewujudkan TNI yang profesional dan sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi.21
3. Secara teoritis dan praktis dapat memberikan pandangan dan pembelajaran
bagi pergerakan politik Islam di Indonesia.
D. Studi Kepustakaan
Kajian mengenai perubahan hubungan militer dan umat Islam, sejak awal
masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika yang romantika yang sangat
menarik perhatian banyak kalangan, bukanlah hal yang baru dalam khazanah
kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai militer dan
umat Islam di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang mengupas
masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah. Namun
demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara menyeluruh mengenai
21 Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta:
Magna Script, 2004), cet. 1, h. 73-75
16
perkembangan perubahan hubungan ABRI/TNI dan umat Islam – khususnya
dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.
Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam bentuk
buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perubahan hubungan ABRI/TNI
terhadap umat Islam Indonesia.
1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut
Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas
Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh
LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI
dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang
dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai,
kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan
fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu
banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini
dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota
TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental
dalam pembahasan buku ini.
2. Buku berjudul Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia (2005) dan Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi
Internal dan Profesionalisme TNI (2006), kedua buku ini ditulis oleh
Yuddy Chrisnandi seorang anggota DPR yang cukup kritis. Khusus untuk
buku pertamanya yang disebutkan di atas merupakan disertasi S-3 beliau
di Universitas Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka LP3ES. Saya
17
mengakui, mungkin buku yang ditulis Yuddy ini merupakan buku yang
paling pantas dijadikan rujukan primer jika kita ingin membahas
persoalan seputar reformasi dalam tubuh TNI.
3. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer
Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis
oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam
skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer
khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan
dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer
sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap
perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku
sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di
Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal
hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia.
4. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar
belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi
Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam
Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu
cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni
sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu
melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama
Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan
18
militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya
seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung
persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang perubahan
hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia.
5. Skripsi berikutnya yang di susun oleh Yusup Fadli adalah MILITER DAN
POLITIK Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI Dan Implikasinya
Terhadap Transisi Demokrasi Di Indonesia 1999-2004. Di dalam
pembahasan skripsi ini membahas keterlibatan institusi militer dalam
belantara politik Indonesia membawa dampak yang begitu luas bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di tengah-tengah pusaran politik tersebut, kalangan
militer kemudian menyalurkan syahwat politiknya dan menentukan arah bandul
politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan tentara.
Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai
hubungan ABRI/TNI dan Islam, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup
UIN perihal perubahan hubungan ABRI/ TNI terhadap Islam di Indonesia masih
sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian
skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti
dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara
khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya
dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan
19
menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.22
Analisa
data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan
menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi.23
Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Rencana sistematika penulisan skripsi ini terbagi dari lima 5 bab. Dari
masing-masing bab merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam melihat
persoalan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu tentang perubahan hubungan
militer dengan umat Islam di Indonesia, dalam hal ini diupayakan pemetaan
secara teoritis untuk lebih memfokuskan penelitian. Dengan didukung oleh sebuah
metode, penulisan skripsi ini berusaha menempuh langkah-langkah yang lebih
efektif dan objektif dalam menelaah permasalahan skripsi ini.. Pertama, bab ini
terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Kedua, pembahasan dalam bab ini adalah pola hubungan militer dan Islam, yang
terdiri dari, konsep hubungan militer dengan umat Islam Indonesia, serta militer di
era transisi status quo. Bab kedua ini mengupas masalah Islam dalam pergumulan
politik Orde Baru. Pada bab ini akan dikupas pergulatan politik umat Islam di
Indonesia sejak awal Orde baru dan perkembangannya sampai pada akhir tahun
1980-an. Hal ini dikarenakan sebagaimana kita ketahui sepanjang masa tersebut
22
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 206 23 Arikunto, Prosedur Penelitian…h. 213
20
politik Islam di Indonesia mengalami masa-masa kesuramannya dan mendapatkan
perlakuan diskriminasi. Karena pergulatan umat Islam tersebut merupakan
kelanjutan dari hiruk-pikuk dari politik Orde Lama, maka akan sedikit dikupas
pula bagaimana posisi umat Islam pada masa Orde Lama, khususnya menyangkut
peran partai politik Islam di Indonesia. Ketiga, pada bab ini akan dibahas tentang
perihal keterlibatan TNI dalam politik Indonesia, yang berisi tentang historiografi
berdirinya TNI, dan sejarah masuknya TNI ke dalam wilayah politik yang
mengungkap tentang sepak terjang militer sejak awal pemerintahan Orde Baru,
termasuk dilegalkannya konsep dwifungsi ABRI/TNI oleh DPR. Konsep ini yang
kemudian melegalkan semua kegiatan militer baik dalam bidang social maupun
politik, bahkan berlanjut dalam masalah bisnis. Perkembangan ini sebenarnya
tidak sepenuhnya tumbuh pada masa Orde Baru. Fenomena yang mengarah pada
peran ganda militer telah diperhatikan pada masa Orde lama juga. Oleh sebab itu,
mengupas peran militer pada masa Soekarno menjadi sangat penting untuk
melacak akar keadaan sejarah keterlibatan militer dalam kehidupan social politik
bangsa indonesia.
Keempat, sebagai bab inti, bab ini secara khusus akan mengupas pola
perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia pada awal Orde
Baru. Pada bab ini akan diungkap pasang surut hubungan di antara kedua
kelompok tersebut. Hubungan yang terjadi secara pasang surut ini tidak hanya
terjadi pada masa Orde Baru, tetapi juga terjadi pada masa Orde Lama. Dari
pengungkapan sejarah ini maka akan ditemukan titik temu hubungan di antara
kedua kelompok tersebut dilihat dalam lintasan sejarah perjuangan bangsa
21
Indonesia, (baik pada awal kemerdekaan maupun dalam perkembangan
selanjutnya). Sekaligus analisa tentang militer dan umat Islam menjelang masa-
masa berahirnya pemerintahan Orde Baru sampai awal Reformasi. Pada bab ini
sekaligus diungkap berlangsungnya peristiwa yang menunjukan bagaimana pola
hubungan antara militer dengan kelompok Islam di Indonesia sebagai indikator
tingkat hubungan di antara mereka. Walaupun tidak semua bukti menunjukan
kenyataan pola hubungan yang terlihat “harmonis” tetapi paling tidak, akan
terlihat adanya pola hubungan baru antara militer dengan kelompok Islam.
Kelima, bab ini adalah penutup sebagai konklusi dari keseluruhan analisa
skripsi ini, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bab ini mengupas inti
kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian skripsi ini yang menyangkut
perubahan hubungan antara militer dengan umat Islam di Indonesia periode 1990-
1998. Di samping itu akan disinggung secara kritis dampak langsung dari
hubungan tersebut bagi kehidupan politik bangsa Indonesia yang “plural dan
heterogen”, serta rencana agenda ke depannya yang harus direalisasikan oleh
militer dan umat Islam di Indonesia dalam rangka mambangun system yang
profesional di dalam organisasi militer dan membangun kehidupan yang madani
bagi umat Islam Indonesia.
22
KETEGANGAN:
Awal mula persinggungan umat Islam dengan militer adalah adanya
“kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi
dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke
arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah)
dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian
berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam yang
dikesankan sangat tipis wawasan kebangsaannya. dan berujung pada
tindakan pemberontakan disebagian kelompok umat Islam yang mendapat
label separatis oleh militer…karena pada saat Orla, Soekarno masih terus
berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology tunggal dan
menyingkirkan symbol-simbol Islam.
Soeharto menganggap perlu penjinakan terhadap kekuatan politik Islam,
yaitu dengan cara peminggiran politik Islam yang menimbulkan sikap
sinis dan akahirnya Negara berhasil menundukan Islam secara politik,
ideology dan intelektual. Hal itu dikarenakan pemerintahan rezim militer
ORBA belajar dari pengalaman ORLA, bahwa kekuatan politik Islam
mampu membuat ketidakstabilan politik dan pemerintahan, (ex):
Demonstrasi, perombakan cabinet, stabilitas hankam dan ekonomiyang
menghambat laju pembangunan. Akibatnya selama puluhan tahun sejak
kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi
dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing
lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi
23
juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum
pernah hilang dari kesadaran politik kolonial.
Keibijakan Orba pada umat Islam hanya pada ranah ibadah ritual karena
sejak masa rezim militer Orba, Pancasila sering dihadapkan dengan
komunisme dan Islam. Bagi agenda politik Orba adalah depolitisasi
(pembatasan ruang gerak) Islam, proyek ini didasarkan pada asumsi Islam
yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi dan
pembangunan. Hal ini yang menjadikan Orba bersikap memingggirkan
politik Islam ketika Islam memasuki ranah doktrin ideology politik yang
tercermin dalam “militansi Gerakan, islam dijadikan ideology manifest
(nyata/wujud) dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang
diwujudkan dalam bentuk komando Jihad, keberadaan symbol-simbol
Islam dan kelompok Islam radikal. Hal ini sama dengan kebijakan Belanda
yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam Kultural.
Belanda menganggap Islam sebagai kekuatan antikolonialisme. Karena itu
Orba dengan rezim militernya membuat kebijakan yang mempromosikan
Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah saja dan menjauhkan
dari Negara. Dan dalam hal ini Islam diposisikan sama dengan PKI,
bahkan lebih berbahaya. Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi
menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan
yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak yang dalam sejarahnya
dengan bantuan umat Islam ABRI/militer mampu menumpas PKI.
24
Militer pada tahun 1970 sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh-
musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan.
Istilah umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk
menunjuk orang-orang yang terkait dengan Komunisme, dan ekstrim
kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal (Islam Politik). Tidaklah
mengherankan jika pada masa Orba militer sangat menghegemoni
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas nama stabilitas dan
pembangunan militer melakukan penetrasi ke masalah-masalah
kemasyarakatan, persolan politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan,
organisasi, dll. Tak jarang militer melakukan tindakan refresifitas terhadap
para aktivis yang melakukan penolakan atas nama kebijakan Orba.
Rezim militer yang tercermin dalam Orba Soeharto lebih dekat pada
kekuatan politik dan militer Abangan dan non-muslim yang
mengakibatkan kekuatan politik Islam terpinggirkan, dominasi elit militer
yang dipimpin dari kalangan abangan dan non-muslim yang diwakili oleh
Ali Moertopo, Soedomo, L.B. Moerdani mereka adalah orang-orang
terdekat Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis
dalam pemerintahan Orba dan secara langsung mempengaruhi sikap
militer terhadap umat Islam. hal ini yang menjadikan umat Islam menjadi
radikal seperti tragedy Tanjung Priok, Lampung, Aceh dll…hal ini karena
tingkat sikap represif militer terhadap umat Islam yang dirasakan sudah
melewati ambang batas.
25
HARMONIS:
1970-an awal dari Tampilnya pembaharuan pemikiran politik Islam,
perubahan yang terjadi tidak lepas dari peran serta para cendikiawan
muslim yang berhaluan modernis. Yang sejak awal yang sejak awal telah
memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang
menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal
daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka
tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan
melalui semua lembaga dan organisasi. lembaga pendidikan yang
ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi
pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk
masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam
yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan
Negara merupakan realitas tunggal, keduanya memiliki hubungan yang
menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi.
Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan
umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan
system (asas tunggal, fusi partai) politik pada saat itu yang menghendaki
umat Islam sebagai kelompok yang marginal dan terbuang. Kedekatan
hubungan yang dilakukan militer ditanggapi dengan proposional oleh
kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah (melupakan masa lalu yang
penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara militer dan umat Islam
membangun cita-cita bangsa.
26
Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman,
muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun
1990-an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini
merupakan bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di
berbagai tempat maupun lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan
pemerintah, telah banyak berdampak dalam institusi militer. Militer tidak
lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam integrasi,
tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa menunjang terhadap laju
pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Feisal Tanjung menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam
sebagai penduduk yang mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam
sejarah bangsa. Oleh sebab itu, militer dan umat Islam lah yang paling
menderita bila terjadi malapetaka.
BAB II
KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK
A. Pergerakan Politik umat Islam pada masa penjajahan
Gerakan sosial politik pertama kali dipelopori oleh Syarikat Dagang Islam
(SDI) tahun 1905 yang kemudian melahirkan Sarikat Islam (SI) sebagai gerakan
partai politik Islam pertama kali di Indonesia kemudian berubah menjadi Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Peran politik umat Islam melalui partai-partai
Islam dapat lihat, sejak masa Kolonial Belanda sampai kemerdekaan. Selain
Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik Islam pertama pada masa Kolonial
Belanda, muncul juga Partai Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) dan Partai
Islam Indonesia (PII). Bersama dengan kedua partai Islam tersebut, Sarekat Islam
(SI) mengisi kehidupan politik umat Islam di Indonesia. Di antara ketiga partai
itu, Sarekat Islam (SI) yang paling berperan dan dianggap sebagai partai umat
Islam pada waktu itu.
Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, datanglah Jepang
dengan membawa janji-janji. Kehadiran Jepang, tak beda dengan pendahulunya
sebagai penjajah bangsa Indonesia dengan mengeksploitasi umat Islam dan rakyat
secara keseluruhan. Perbedaan diantara keduanya terletak pada akses yang
diberikan. Pihak Jepang lebih terbuka menerima umat Islam dan memberikan
akses secara terbuka bagi umat Islam untuk bergabung dalam kantor-kantor
Departemen Agama bentukan Jepang seperti shumuka dan shumubu. Sedangkan
pihak Belanda tidak memberikan akses. Pada masa penjajahan Jepang, Masyumi
21
22
dibentuk pihak Jepang sebagai pengganti MIAI, dengan harapan Masyumi dapat
menjadi wadah penyalur aspirasi umat Islam dan sekaligus sebagai mediator
komunikasi antara pihak Jepang dengan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam.
tapi Masyumi bentukan Jepang tidak berperan sebagaimana yang diharapkan.
Tetapi ada keuntungan dari Jepang yang diperoleh rakyat Indonesia khususya
umat Islam yaitu pelatihan kemiliteran yang dapat digunakan untuk merebut dan
meraih kemerdekaan.
“Anda tidak dapat membayangkan bagaimana hebatnya kepanikan dalam bulan
Mei dan Juni (1913) di kalangan orang Eropa mengenai Sarekat Islam” (Van
der Wal)
(Firman Noor, CIDES) Kepanikan luar biasa yang dirasakan oleh orang
Eropa di nusantara saat datangnya institusi pengiring “ratu adil” di lembaran baru
abad ke-20 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dinafikan. Seperti gelegar
auman harimau di tengah lelapnya malam, hadirnya pergerakan anak bangsa itu
telah menciutkan hati kaum penjajah yang selama bertahun-tahun hidup dalam
ketenangan tanpa ganguan berarti. Tidak pernah sebelumnya terjadi kekalutan
yang demikian besar menghinggapi hati kaum penjajah. Tidak pula saat
sekelompok elit Priyayai Jawa yang berkumpul di Batavia mendeklarasikan
organisasi yang mereka namai Boedi Oetomo (BO) yang menuntut perluasan hak
ajar bagi priyayi rendahan pada tahun 1908.1
Barulah ketika mulai banyak
1
Bagi Penguasa Belanda Boedi Oetomo sama sekali tidak membahayakan. Selain karena
berisikan kalangan pegawai pemerintah yang loyal (yang lebih suka berbahasa Belanda atau Jawa ketimbang Bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuanya), tujuan organisasi ini pun dianggap
tidak mengusik sama sekali penjajahan (karena hanya mencakup masalah perbaikan pendidikan
yang sebenarnya telah dicanangkan oleh Belanda dengan politik etis) dan bersifat segmenter (tidak
23
pribumi – yang dianggap sebagai inlander, jongos, warga negara kelas terendah –
melakukan perlawanan dengan berteriak “Sarekat Islam!” angin perubahan (the
wind of change) dengan lambat tapi pasti mulai dirasakan.
Menurut APE Korver fenomena kepanikan yang belum pernah dirasakan
sebelumnya menunjukan awal dari datang sebuah masa menuju pembebasan
nasional, sekaligus menjadi bukti bagaimana sebuah organisasi yang
mengatasnamakan Islam mampu berperan sebagai motor emansipasi dalam
perjuangan mengukuhkan jati diri dan merebut keadilan.2
Sambutan yang
demikian antusias dan cepat di seluruh penjuru tanah air, mulai dari Aceh,
Palembang, Banten, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, hingga Donggala,
menjadi bukti tingginya pengharapan anak bangsa terhadap SI. Fenomena ini
telah memaksa Gubernur Jenderal Idenburg dan aparatnya meningkat
kewaspadaan, sembari bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi. Hal yang
pasti, jika BO mendapatkan pengakuan dengan mulusnya, maka SI dipaksa
dipecah sejak kelahirannya. Dan tidaklah karena potensi pemersatunya itu,
Idenburg melakukan kebijakan devide et impera terhadap SI.
Dalam semangat zaman yang terbukti tidak akan pernah kembali itu,
kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai oleh deru nafas milenaristis dari
peluh keringat kaum tertindas bumiputera. Rasa persatuan dan kesadaran
perlawanan “kaum koeli” memasuki tahapan baru yang dipicu dengan munculnya
SI, sebuah perserikatan yang “tidak umum” dan radikal dimasanya. Sebuah
perserikatan yang mampu menarik perhatian hampir semua golongan tidak saja
berupaya menjadi alat persatuan seluruh anak bangsa) dengan hanya memfokuskan bagi upaya
peningkatan perbaikan hidup orang Jawa dan Madura 2
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 1
24
kalangan Islam puritan, kaum pedagang dan rakyat jelata, namun pula orang
abangan, para priyayi progresif dan bangsawan. Sebuah perkumpulan yang
bersifat lintas-etnis karena tidak saja menggugah dan meningkatkan pengharapan
orang Jawa, Madura, Pasundan, maupun Betawi, namun pula beragam suku mulai
dari Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil hingga Sulawesi.
Tidak itu saja, di dalam organisasi yang muncul di jantung Pulau Jawa ini,
berkumpulah tokoh-tokoh besar pergerakan (yang belakangan kemudian menjadi
ideologi dari berbagai macam keyakinan politik) seperti Samanhudi, R HOS
Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, KH Ahmad Dahlan, sampai dr
Sukiman, Kartosoewiryo, Ki Hajar Dewantara, Semaoen, Darsono. Semuanya
mengusung sebuah keyakinan akan pembebasan, persatuan, perlawanan, dan
kemandirian atas dasar identitas dan keyakinan bersama dalam SI, meski
kemudian beberapa di antara tokoh itu keluar atau dikeluarkan. Dengan luasnya
cakupan dukungan itu tidak mengherankan jika pada tahun keempat
keberadaannya organisasi ini telah mendapatkan anggota sekitar 700.000 orang
yang tersebar di 180 cabang.3
Sebuah prestasi yang secara nominal tidak ada
tandingnya kala itu dan secara substansial telah mengkokretkan makna persatuan
atas dasar rasa senasib sepenanggungan, bukan status sosial atau keetnisan.
3
Banyak versi mengenai jumlah anggoat SI dalam periode awalnya (1912-1916). Deliar
Noer misalnya menyebutkan angka 860.000 terkait dengan mereka yang hadir dalam Kongres
Nasional pertama pada tahun 1916. Namun angka 700 ribu nampak relatif masuk akal dengan demikian besar dan pesatnya pertumbuhan organisasi ini di seluruh Indonesia. Di Sumatera
Selatan misalnya 1 dari 3 laki-laki bumiputera pada tahun-tahun tersebut diyakini adalah anggota
SI
25
Meski kemudian mengalami pasang surut,4
namun peran dari organisasi massa
dan cikal bakal partai politik tertua di Indonesia itu sulit dipisahkan dari upaya
menghadirkan persatuan Indonesia. Dalam organisasi inilah segenap asa anak
bangsa terkumpul dan derap awal pergerakan kemerdekaan nasional berawal.
Rezim waktu pun memperlihatkan bagaimana sikap, keberpihakan dan
pandangan-pandangan SI demikian relevan dalam menyemai bibit rasa
kebangsaan, solidaritas dan persaudaraan di bumi pertiwi.
Sebagaimana umum diketahui, bahwa pada hakekatnya kebangsaan atau
nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian. Benedict Anderson
misalnya melihat nasionalisme sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat
beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling mengenal atas dasar
persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah
kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu.5
Anderson memaklumi
bahwa ikatan persaudaraan itu dapat beragam pemicunya, namun hal itu menjadi
fundamen mutlak yang harus ada dalam menciptakan komunitas imajiner yang
disebut bangsa itu. Sedangkan dalam pandangan Montserrat Guibernau dan John
Rex, sejalan dengan pandangan “bapak teori nasionalisme” Ernest Rennan,
dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada
wilayah politik tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan “kemauan untuk
bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan (trans
4
Mengenai fase perkembangan organsisasi sampai dengan tahun 1945 ini lihat dalam
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 70 dan 114 5
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism (London: Verso Editions and NLB), 1983
26
etnis, pen)”.6
Sementara itu, Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai
prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit
politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.7
Dalam batasan ini
kesediaan bersatunya kelompok-kelompok etnis menjadi sebuah prasyarat bagi
hadirnya sebuah entitas kebangsaan. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa
nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah nasionalisme yang
menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang
komprehensif.8
Maksudnya adalah sebagai sebuah nasionalisme yang mengajak
(participative), tidak diskriminatif dan produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan
kesejahteraan. Kearah itulah sebenarnya makna keindonesiaan itu tertuju karena
sifatnya yang jauh dari semangat chauvinistik.
Adapun pengertian nation (bangsa) menurut Gellner adalah kondisi di
mana sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, termasuk kesamaan dalam
konteks sistem ide, simbol, perkumpulan dan cara bertingkah laku dan
berkomunikasi, dan mengakui bahwa mereka terikat oleh persaudaraan atas dasar
kebangsaan.9
Makna generik yang bersifat antropologis ketimbang normatif ini
cukup relevan digunakan untuk mendefiniskan bangsa di manapun berada.
Meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek
modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini, dari berbagai pandangan tersebut
dapat dilihat sebuah benang merah bahwa semangat untuk rela bersatu dan
kepentingan masa depan merupakan esensi dari sebuah bangsa.
6Montserrat Guibernau dan John Rex (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism,
Multiculturalism and Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997), h. 8 7 Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), h. 1 8
Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 11 9
Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 7
27
Tentu saja batasan kebangsaan di atas bukanlah sesuatu yang final.
Beberapa imbuhan perlu dimasukan ke dalam batasan generik itu. Dalam konteks
pergerakan nasional, maka persoalan kebangsaan sejatinya terkait pula dengan
masalah pembentukan identitas nasional, dengan misalnya kesedian membuat
batasan yang jelas antara “kita” dan “mereka” dalam berhadapan dengan kekuatan
kolonial. Batasan ini dibutuhkan dalam konteks praktis terutama dalam rangka
memperjelas identifikasi masalah dan arah perjuangan. Penumbuhan semangat
solidaritas dan persaudaraan dalam payung luka sejarah yang sama juga tidak
dapat dilepaskan dalam batasan ini sebab belakangan akan turut menentukan ruh
dari bangun imajiner kebangsaan. Lebih dari itu, semangat kebangsaan itu terkait
pula dengan upaya dan keinginan untuk melakukan pembebasan, emansipasi dan
partispasi politik bagi seluruh rakyat dan komitmen penentangan atau perlawanan
terhadap sistem kolonial yang menghisap. Kesemuanya itu pada akhirnya tidak
lain ditujukan untuk membangun kedaulatan yang seluas-luasnya. Dan dari
batasan-batasan tersebut seperti komitmen SI mengenai penumbuhan semangat
kebangsaan akan dilihat dalam beberapa indikator perjuangan umat Islam masa
penjajahan yang terwakili oleh gerakan SI.
A.1. Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI
Para pemerhati gerakan kebangsaan Indonesia secara umum meyakini
bahwa Sarekat Islam, yang umum disepakati lahir pada tahun 1912, merupakan
organisasi pertama yang bersifat lintas kelas dan etnis, bahkan ideologi.10
Dalam
10 Mengenai sejarah pembentukan Sarekat Islam yang didahului oleh Sarekat Dagang
Islam (SDI), sebuah organisasi yang dibentuk oleh H. Samanhudi 1905 dan juga belakangan oleh
R.M Tirtoadisuryo 1910, di bilangan Bogor, lihat misalnya Deliar Noer, Gerakan Modern
28
kapasitasnya tersebut organisasi ini dipandang sebagai sebuah agensi yang
memiliki karakteristik pemersatu yang berjiwakan semangat nasional. Jika Budi
Oetomo (BO) dilihat oleh sebagian kalangan sebagai organisasi pergerakan yang
cenderung bersifat elitis dan bahkan punya kecenderungan menjadi pendukung
terbentuknya “nasionalisme jawa”11
, maka Sarekat Islam merupakan organisasi
yang berkontribusi dalam menegakan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dalam episode paling dinamis dalam sejarah pergerakan awal
politik bumiputera pada awal abad ke-20, baik dalam bentuk pemikiran-pemikiran
maupun aksi dan gerakan politik. Meski pada awalnya SI menolak disebut sebagai
gerakan politik, hal itu sesungguhnya hanya merupakan pandangan sesaat yang
segera saja bermetamorfosis. Bahkan George McTurner Kahin, dengan
menimbang situasi politik kolonial saat itu, melihat langkah awal SI itu hanya
sekedar kamuflase atau strategi jangka pendek untuk menghindari tekanan
pemerintahan kolonial pada masa-masa awal pembentukannya.12
A.2. Islam dan Soal Kebangsaan
Terlepas dari itu, satu hal yang nampaknya menjadi sandungan bagi SI
untuk sepenuhnya diakui sebagai pergerakan kebangsaan adalah soal
keislamannya. Oleh karenanya memahami ke mana arah mana Islam yang
dimaksud dari organisasi ini adalah penting adanya, sebelum melihat fakta-fakta
sejarah seputar nilai-nilai kebangsaan SI.
Islam di Indonesia 1900-1942… h. 14-18. Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?
…h. 11-21 11
Lihat misalnya pandangan sedemikian dalam Syafiq A Mughni, “Munculnya
Kesadaran Nasionalisme Umat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi
Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006), h. 527 12
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University
Press, Itacha, 1952), h. 8
29
Para pengamat gerakan Islam di tanah air, nampak sepakat untuk menempatkan
organisasi ini sebagai bagian dari barisan gerakan modern Islam (Islam modernis).
Dengan kapasitasnya tersebut SI ditempatkan sama dengan organisasi semacam
Muhammadiyah, Persis dan juga belakangan Masyumi. Dalam pemahaman
kelompok modernis Islam dipandang lebih dari sekedar agama privat yang
bersifat individualistik dan mengatur semata hubungan antara tuhan dan
ciptaannya. Sebaliknya, Islam diyakini merupakan agama yang memberikan ruh
(spirit), kebijakan (wisdom) dan arah (way) bagi kehidupan sosial dan konstruksi
peradaban Dan Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan baik tersirat (substansi)
maupun tersurat (formal) tentang pengelolaan sebuah kehidupan sosial dan politik
yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ketuhanan semasa hidupnya. Atas dasar
itulah Islam dalam pandangan SI merupakan pedoman yang relevan bagi
kehidupan sosial, termasuk juga politik bagi setiap muslim.
Dengan batasan pemahaman itu nilai-nilai politik Islam, baik yang tertulis
dalam Al-Qur’an maupun yang tercontohkan dalam Negara Madinah, seperti
keadilan sosial, semangat pembebasan, pengutamaan musyawarah, pengakuan
terhadap pluralisme dan persamaan manusia, serta pengedepanan rasa
persaudaraan, menjadi landasan berpolitik bagi setiap umatnya, tidak terkecuali
SI. Secara umum nilai-nilai itu menjadi legitimasi yang paling fundamental bagi
SI untuk mengokohkan perjuangannya. Dalam konteks pergantian abad 20, nilai-
nilai itu semakin nyata dan relevan dalam upaya melakukan perlawanan terhadap
sistem kolonial sekaligus sebagai modal perjuangan bagi ummat Islam pada
khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Dalam memahami nilai-nilai
30
keislaman, di sisi lain, kalangan Islam modernis tidak a priori anti terhadap
pandangan-pandangan Barat. Atas dasar itulah secara umum kalangan ini dapat
menerima konsep-konsep politik Barat seperti kedaulatan rakyat, demokrasi,
negara-bangsa, atau juga sosialisme.
Sedangkan secara khusus terdapat enam hal yang melandasi digunakannya
Islam dalam pergerakan politik Indonesia. Pertama, kenyataan historis bahwa
rakyat dengan tokoh-tokoh pejuang yang mempertahankan wilayahnya melawan
kekuatan kolonial adalah umat Islam yang dipimpin oleh figur-figur ulama
ataupun bangsawan muslim. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat hikayat
perjuangan mereka disamakan dengan hikayat perang sabil. Kedua, secara
demografis umat Islam dengan latar belakang budaya yang beragam, yang
berserak mulai dari ujung barat hingga ujung timur nusantara adalah kelompok
mayoritas bumiputera. Kahin mencatat setidaknya lebih dari 90% bumiputera saat
itu adalah muslim.13
Dengan kondisi sedemikian, Islam merupakan sebuah elemen
yang berpotensi besar sebagai tali pengikat yang menyatukan kaum bumiputera
dibandingkan ideologi apapun saat itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Tjokroaminoto bahwa Islam adalah sarana bersatunya beragam suku dan budaya
yang terpecah-pecah.14
Ketiga, secara matematis-empiris kelompok marginal yang paling
merasakan penderitaan lahir batin dan terhinakan selama bertahun-tahun adalah
umat Islam. Dan dengan makin tidak diindahkannya martabat dan nilai-nilai
kemanusiaan, sesungguhnya telah pula melecehkan esensi ajaran Islam itu sendiri.
13 George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University
Press, Itacha, 1952), h.50 14
Lihat dalam “Kaoem Moeda”, 6 Juli 1915 dalam Korver, h. 66
31
Oleh karenanya umat Islam dituntut untuk melakukan perenungan maupun aksi
nyata dalam rangka mematahkan segenap bentuk penghisapan sesama dan
pelanggaran hak asasi manusia yang notabene bertentangan dengan ajarannya.
Keempat, dalam konteks ideologis menguatnya penetrasi Barat dan
kepentingan kapitalisme telah secara lambat namun pasti menggoyahkan sendi-
sendi kehidupan asali kaum bumiputera. Peran agama yang telah demikian
mengakar lambat laun digantikan oleh sudut pandang dan identitas yang
bertentangan dengannya. Disinilah Islam kemudian dipandang relevan untuk
dijadikan simbol pemulihan identitas dan jati diri anak bangsa.
Kelima, makin menguatnya fragmentasi sosial antara pribumi dengan kalangan
warga negara kelas dua (oosterlingen), terutama kalangan Cina, membutuhkan
landasan filosofis dan praktis bagi upaya perlawanan dan persatuan kalangan
bumiputera di tengah persaingan yang demikian keras.
Keenam, secara politis makin tidak dapat diharapkannya peran kalangan
elit pribumi – terutama para priyayi pro-status quo, maupun kalangan agamawan
konservatif – untuk bersama-sama kaum tertindas berjuang menuntut hak-hak
bumiputera. Dalam situasi sedemikian maka umat Islam dan tokoh-tokoh SI
berusaha untuk menjelmakan diri untuk dapat menjadi media bagi rakyat dalam
merebut keadilan dan kebebasan melalui sebuah pendekatan keislaman yang lebih
aktual.
Dalam perkembangannya, Islam kemudian membawa peran yang unik
dalam percaturan pergerakan kebangsaan. Di satu sisi dia kerap dicurigai sebagai
kekuatan ortodoks yang bersikap intoleran dengan keberagaman dan reaksioner
32
terhadap kemajuan zaman. Dalam satu tarikan nafas tidak jarang Islam dan
ummatnya kemudian dianggap sebagai penghalang bagi tumbuhnya sebuah
kekuatan kebangsaan yang modern. Demikianlah misalnya dapat didengar
pandangan Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, yang mengatakan:
“Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya...sebab itu soal
agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang
kesulitan”.15
Namun di sisi lain, secara lebih objektif, Islam dan ummatnya dipandang
sebagai pilar utama bagi perkembangan rasa kebangsaan di nusantara. Dalam
pandangan yang kedua inilah dapat kita lihat simpulan para pemerhati sejarah
pergerakan kebangsaan yang memberikan penghormatan yang lebih proporsional
akan peran Islam dalam membongkar kebekuan kolonialisme sekaligus
mengangkat setinggi-tingginya hakekat perjuangan bangsa atas dasar kepentingan
nasional di Indonesia. Satu kesimpulan nampaknya dapat mewakili fenomena
yang lebih objektif tentang peran Islam dalam pergerakan kebangsaan
menyatakan bahwa Islam tidak hanya menekankan pentingnya persatuan, tetapi
juga mengembangkan sentimen dan solidaritas anti-kolonialisme asing dan
mengilhami berbagai gerakan masyarakat menentang penjajahan. Sejurus dengan
pandangan itu Fred Von der Mehden meyakini bahwa: “Islam karena itu lebih dari
sekadar agama, tetapi juga sebagai faktor yang mendorong ekspresi perlawanan
15
Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam
www.eramuslim.com
33
terhadap dominasi ekonomi, superioritas sosial dan kontrol politik rejim
kolonial”.16
Terlepas dari perdebatan itu, dalam pemaknaan Islam yang dimilikinya
dan peran penting kesejarahannya yang telah terekam dengan jernihnya, maka
dibawah ini akan diulas pijar-pijar semangat kebangsaan SI. Pijar-pijar
kebangsaan yang terefleksikan dari empat hal utama, yakni sebagai peletak dasar
identitas dan perlawanan nasional, sebagai media penyadaran akan arti
pembebasan dan emansipasi politik, sebagai motor pendorong solidaritas dan
persaudaraan, dan sebagai penganjur yang gigih upaya pembentukan model
ekonomi yang mandiri dan berkeadilan.
A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan
Sebuah upaya besar yang diraih oleh SI dalam masa awal keberadaannya
adalah penyadaran tentang identitas nasional. Identitas ini dilihat baik dari sudut
pandang keagamaan, yakni sebagai seorang muslim yang bersaudara yang tengah
mengalami tekanan dari mereka yang beragama lain, dalam konteks kelas sebagai
kaum tertindas yang menjadi korban penjajahan negeri asing dengan antek-
anteknya, maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang direndahkan
martabatnya baik oleh kaum imperialis kulit putih maupun kulit berwarna lainnya.
Dengan mengusung nilai-nilai Islam terangkumlah tiga kesadaran di atas yang
kemudian memunculkan kesadaran sebagai sebuah entitas kebangsaan yang satu.
Adanya kesadaran akan entitas bersama yang satu inilah yang kemudian
16 Fred R. von der Mehden, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma,
Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of Wisconsin Press, 1968), hh
12-3 dalam Mughni, op.cit, h 529
34
menyadarkan sebagian besar bangsa kita tentang konstelasi sosio-politik Hindia
Belanda dan kedudukan mereka dalam konstelasi itu.
Adanya pemahaman mengenai letak kedudukan mereka yang
sesungguhnya itulah yang pada gilirannya makin menguatkan makna dikotomi-
dialektik antara “kita” (kaum terjajah) dan “mereka” (para penjajah) dan
memantapkan semangat solidaritas dan persaudaraan, yang kemudian semakin
mendekati makna kebangsaan sebagaimana yang dinyatakan baik oleh Anderson,
Gellner maupun Renan. Di sini Islam, sebagai sebuah agama menjadi self-
assertion dalam melawan rejim kolonial.
Demikianlah SI dengan prinsip “nasionalistisch-islamistisch” kemudian
menjadi tumpuan bagi kerumunan mayoritas warga Hindia Belanda yang saat itu
seolah hidup nyaris dengan atau tanpa kebanggaan identitas. Dan dengan
semangat identitas baru itu SI tidak saja mampu mencanangkan sebuah upaya
penyadaran untuk tidak lagi terpecah-pecah baik atas dasar status maupun etnis,
namun pula menumbuhkan semangat perlawanan atas dasar kesadaran identitas
itu. Disini berlakulah hukum identitas di mana adanya identitas akan membawa
kebanggaan, kesetiaan sekaligus kesediaan untuk berkorban para pemiliknya.
Rasa kebanggaan akan identitas itu dalam SI tercermin misalnya dari
penggunaan bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuan organisasi, Anggaran
Dasar (statuten), dan dokumen-dokumen resmi;17
digunakannya istilah “kongres
nasional” dalam acara pertemuan tahunan sejak 1916 yang memperlihatkan
komitmen peruntukan SI bagi seluruh bangsa dan sebagai cerminan perjuangan
17Penggunaan Bahasa Indonesia terlihat bukan sesuatu yang istimewa dalam kehidupan
berorganisasi saat ini, namun pada masa itu halaman tersebut dipandang sebagai suatu keradikalan.
35
menuntut pemerintahan nasional sendiri, upaya yang gigih untuk meluruskan
salah pengertian tentang jati diri orang Indonesia yang kerap direndahkan dan
dipermalukan, sampai cita-cita yang disampaikan dalam pidato-pidato resmi
tokoh-tokoh SI seputar kedaulatan bangsa Indonesia yang suatu saat nanti akan
dapat diraih. Keinginan untuk merdeka itu dapat misalnya dilihat dari cuplikan
pandangan Tjokroaminoto yang mengatakan di suatu saat nanti “tak boleh tidak
kita kaum Muslim mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan
kebangsaan dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri”. Kesadaran
semacam inilah yang menurut Kahin memperlihatkan agenda politik SI yang
menghendaki pemerintah sendiri dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari
kaum penjajah.
Sedangkan ekspresi semangat perlawanan dengan sikap menentang setiap
kebijakan yang dianggap merugikan bumiputera yang secara kontinu dilakukan
baik oleh Tjokroaminoto maupun Moeis dalam sidang-sidang Volksaard.
Puncaknya adalah pada tahun 1921 ketika SI keluar dari Volksraad, sebuah
instituisi perwakilan yang disebut oleh Agus Salim sebagai “komidi omong”.
Bahkan sebelumnya Salim, sebagai tokoh teras SI menggunakan bahasa Indonesia
dalam sidang Volksraad sebagai simbol protes terhadap tidak dipenuhinya
tuntutan bumiputera. Tercatat dalam sejarah bahwa apa yang dilakukan Salim itu
merupakan kali pertama bahasa Indonesia diperdengarkan secara formal dalam
forum resmi Volskaard.
Karakter perlawanan SI terlihat pula dengan kesediaan membela hak-hak
pribumi dari keculasan sebagian saudagar Cina maupun kesewenang-wenangan
36
para pejabat Belanda, dengan kesediaan melakukan bentrok fisik hingga menjadi
motor gerakan pemogokan buruh dan pekerja di beberapa jawatan. Selain dalam
bentuk fisik, perlawanan dilakukan SI melalui opini di surat kabar seperti Kaoem
Moeda, Pantjaran Warna, Sarotomo ataupun Oetoesan Hindia yang menentang
dan mengkritisi setiap upaya mengedepankan kelemahan maupun stereotype yang
tidak benar tentang pribumi, yang sering digambarkan sebagai “pemalas”,
“jorok”, atau bahkan “primitif” oleh pers Eropa di Indonesia.18
Dengan sikapnya
inilah SI tengah mengasah diri untuk dapat memberikan alternatif pandangan dan
sikap berdasarkan kepentingan dan landasan identitas kaum bumiputera.
Berbeda dengan SI, BO tidak secara utuh memberikan rasa penguatan
identitas keindonesiaan. Dalam Statuten Pasal 2 BO dikatakan bahwa “Tujuan
organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa
dan Madura secara harmonis” (de harmonische ontwikkeling van land en volk van
Java en Madura). Bahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh Priyayi yang
pada umumnya masih setia dengan Kerajaan Belanda, BO tidak dialamatkan
untuk menandingi atau bahkan menggantikan kedudukan Belanda. Bagi para
tokohnya, BO sadar bahwa baik pada masa-masa senang maupun susah kaum
pribumi Hindia Belanda harus tetap turut dengan keinginan dan kepentingan
induk. Oleh karena itu, tidak saja setiap upaya radikal harus dijauhi, namun pula
sedapat mungkin membela kerajaan Belanda manakala mendapat serangan dari
pihak asing tanpa syarat. Demikianlah ide tersebut dapat dilihat dari pandangan
tokoh BO Dwijosewoyo yang memandang wajib hukumnya rakyat Jawa membela
18
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 44
37
Belanda dalam menghadapi kekuatan agresor pada Perang Dunia (PD) I. Dan
memang dalam konteks pergerakan nasional sejatinya baru pada tahun 1918 BO
menunjukan sikap perlawanannya dengan bergabung dalam radical concentrasi
sebuah sayap sosialis dalam Volksraad. Sedangkan kesediaan BO untuk lebih
sungguh-sungguh membuka diri bagi semua kalangan baru dilakukan sekitar
tahun 1930-an.19
A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera
Dalam masa ketertindasan yang sudah akut yang melumpuhkan semangat
hidup pada awal abad ke-20, SI muncul sebagai pemberi makna akan kehidupan.
Dalam konteks psikologis yang mirip dengan yang dialami oleh rakyat Jerman
menjelang kebangkitan NAZI dengan tokoh utamanya Adolf Hitler,20
SI dan
Tjokroaminoto mampu menggugah dan menumbuhkan kembali asa kaum
pribumi. Hal ini belakangan menyebabkan tokoh-tokohnya seperti Tjokroaminoto
di Jawa dan R. Gunawan di Sumatera Selatan muncul sebagai sosok yang
mesianistik. Tjokroaminoto bahkan dianggap sebagai “Ratu Adil” pembawa
kejayaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana Ramalan Joyoboyo.
Sehubungan dengan itu diberitakan di Situbondo misalnya massa yang menyemut
bahkan rela mencium kaki Tjokroaminoto untuk mendapatkan berkahnya, suatu
hal yang amat tidak disukai oleh si pemiliki kaki. Fenomena kecil itu sekadar
memperlihatkan bagaimana kepercayaan dan pengharapan yang diberikan rakyat
kepada SI cukup besar, jauh lebih besar dari yang didapatkan oleh organisasi
19
RZ Leirissa, Terwujudnya suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950
(Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 47 20
Mengenai pemaparan analitis akan situasi ini lihat misalnya Eric Fromm, Escape From
Freedom (New York: Avon Books, 1965)
38
semacam BO. Hal ini terbukti kemudian dengan cepatnya pertumbuhan cabang-
cabang dan keanggotaan SI di hampir seluruh pelosok Hindia Belanda. Fenomena
asing di tanah jajahan inilah yang kemudian meresahkan banyak kalangan
reaksioner, termasuk para priyayi kulit coklat.21
Menurut Kim So Yeon, dengan kemampuan menempatkan diri sebagai
media “pengumpul asa anak bangsa”, SI dapat dikatakan sebagai organisasi
pertama di nusantara yang bersifat agensi, yang berperan sebagai media yang
mampu menyatukan dan menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia dimasanya.22
Fenomena itu bukannya tidak disadari oleh para pimpinan SI, yang kemudian
meresponnya sebagai sebuah penghargaan dan tanggung jawab. Rasa tanggung
jawab itu tercermin dengan tidak saja mendidik anggota-anggotanya untuk
menjadi figur-figur tangguh yang bersedia memperjuangan kepentingan kaum
pribumi, namun lebih dari itu menjadikan upaya pembebasan dan emansipasi
politik rakyat sebagai agenda pergerakan, meski kerap dilakukan secara
terselubung.
Dalam konteks semangat pembebasan, prinsip yang dikedepankan oleh SI
adalah keyakinan bahwa setiap manusia pada dasarnya sama. Atas dasar
kesamaaanya itu maka setiap manusia bebas untuk melakukan apapun sesuai
dengan kepentingan dan kehendaknya. Oleh karena itu merupakan kewajiban
moral bagi setiap muslim untuk turut serta dalam segenap upaya membebaskan
manusia dari sistem yang mengungkung, diskriminatif dan melumpuhkan
21 Dalam kenyataanya lebih banyak pamong praja yang tidak mendukung atau anti-SI
ketimbang bersikap positif terhadap organisasi yang dianggap “membahayakan ketenangan” itu.
Lihat sikap para pamong praja dalam Korver, op.cit, h. 24-5 22 Kim So Yeon, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional,
tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2003)
39
semangat persamaan. Dalam hal ini SI tidak bersikap pasif dan nerimo demi
melihat realitas kehidupan yang diskriminatif pada masa kolonial itu. Dalam
laporan keterangan mengenai SI pada tahun 1913 disampaikan bahwa para elit
organisasi menekankan berkali-kali bahwa “Sang manusia rendah diri” (pribumi,
pen) harus melenyapkan kesadaran rasa rendah dirinya terhadap orang Eropa dan
bangsa Timur Asing”.23
Dapat diduga dengan semangat pembebasan inilah agen-
agen komunis, meski dengan alasan ideologis yang berbeda, merasa sejalan dan
nyaman untuk menjadi bagian dari SI. Begitu pula sebaliknya, bagi sementara
anggota SI yang tidak terlalu mendalam pemahamannya tentang Islam, Marxisme
dipandang sebagai ajaran yang sah saja digunakan sebagai “landasan ilmiah”
perjuangan pembebasan.
Sementara dalam konteks emansipasi politik, SI memandang hal tersebut
sebagai keharusan sejarah. Bagi SI, bentuk pemerintahan yang nantinya harus
disusun dalam Indonesia Merdeka adalah pemerintahan perwakilan yang
berparlemen. Dengan kata lain, SI sejatinya merupakan pendukung utama
tegaknya demokrasi, yang menghargai arti kedaulatan rakyat dan persamaan.24
Naluri demokratis ini dapat dimaklumi hadir sebagai respon atas model
pemerintahan draconian-kolonial, yang sama sekali tidak mengindahkan
kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Dan dalam situasi sedemikian itulah
penghisapan demi penghisapan yang membangkaikan anak bangsa berlangsung
dengan marak dan sistematisnya.
23 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 50 24
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan
hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang, Press, 1995), h. 65
40
Sebagai cerminan dari upaya membebaskan bangsa dari keterkungkungan politik
SI mendukung setiap upaya yang memungkian terakomodirnya aspirasi dan
kepentingan rakyat banyak, termasuk upaya yang datang dari pihak kolonial
sekalipun. Atas dasar itulah SI pada awalnya memandang positif berdirinya
Volksaard, meski tetap diliputi rasa curiga beberapa anggota-anggotanya
termasuk Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Dan dalam institusi Volksaard itulah
SI, sebelum akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1924, benar-benar
menunjukan kepada semua pihak sebentuk komitmen untuk terus
memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan menuntut lebih luas lagi hak-hak
perwakilan bagi bumiputera dan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
Komitmen untuk meluaskan lagi emansipasi rakyat juga tercermin dari
sikap dan pandangan-pandangan tokoh SI dalam pertemuan-pertemuan Indie
Weerbaar Actie (Aksi Ketahanan Hindia). Dalam pertemuan-pertemuan itu,
berbeda dengan BO, SI secara tegas menyampaikan satu syarat mutlak berupa
perluasan hak-hak politik pribumi jika keinginan Kerajaan Belanda untuk
mendapatkan dukungan penuh rakyat Hindia Belanda dalam menghadapi PD I
ingin terpenuhi. Dalam pertemuan-pertemuan itu SI bersikukuh bahwa
“pemulihan kesamaan derajat” dan “keharusan rakyat Indonesia memiliki hak
bicara” merupakan suatu hal yang logis didapatkan oleh rakyat bumiputera
sebagai bagian dari upaya mempertahankan tanah air dari serangan musuh.25
SI
dengan cerdas melihat kebutuhan kolonial untuk mendapatkan bantuan dari negeri
jajahan sebagai peluang untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik terutama
25 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 58
41
menyangkut hak-hak politik, termasuk dapat mengurus dan menentukan nasibnya
sendiri. Disamping itu dengan jitu memaknai ketahanan sebagai juga kemampuan
untuk memenuhi segala hajat negeri tanpa bergantung pada negeri lain yang
berarti sebentuk kemandirian.
Sementara SI demikian memperhatikan perjuangan politik, BO sebagai
organisasi kaum priyayi yang memfokuskan diri pada soal-soal rasionalitas
pendidikan, nampak belum melihat kemandirian politik seluruh anak bangsa
sebagai sesuatu yang benar-benar penting dan mendesak. Bahkan, dari sikap
komunitas priyayi sebagai elemen utama pendukung BO, dengan mengutamakan
prinsip harmonis-statusquois, terlihat gestur penolakan upaya emansipasi politik
itu. Hal ini wajar mengingat salah satu elemen yang akan segera tergerus
manakala hak-hak berpolitik rakyat terakomodir dengan seksama adalah diri
mereka sendiri. Dalam atmosfir kepolitikan priyayi dan BO semacam itu tidaklah
mengherankan jika apa yang dikehendaki oleh SI dianggap sebagai hal yang aneh
dan radikal.
A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa
Berdasarkan Statuten SI persoalan persaudaraan merupakan hal yang
penting adanya. Disebutkan bahwa tujuan SI adalah bergaul dalam persaudaraan
dan saling bantu tanpa membedakan asal bangsanya. Rasa persaudaraan ini tidak
dapat dipungkiri dilandasi oleh prinsip-prinsip ajaran agama Islam, yang
menekankan persaudaraan atas dasar kesamaan agama (Islamic brotherhood).
Dengan rasa persaudaraan ini ditekankan sebuah komitmen tanpa pamrih untuk
bergaul dan memperjuangkan kepentingan bersama. Dan ikatan primordial dalam
42
kasus SI amat kuat menyentuh kesadaran untuk dapat berbuat sesuatu atas
kepentingan kolektif. Cikal bakal kebangsaan yang dilandasi oleh semangat
sedemikian sejatinya akan jauh lebih kuat dan bermakna ketimbang yang
dilandasai oleh kepentingan pragmatis-materialistis semata.
Implementasi dari upaya mendorong solidaritas dan persaudaraan itu
tercermin setidaknya dari aksi-aksi solidaritas maupun melalui pidato-pidato para
tokohnya maupun tulisan-tulisan kritis di beberapa media massa mempersoalkan
dan menyoroti banyak praktek dan ketimpangan yang merugikan pihak
bumiputera. Aksi-aksi solidaritas itu diantaranya terkait dengan soal diskriminsai
perlakukan hukum, ketimpangan sistem penggajian, perlakuan curang para
saudagar Cina, hingga persoalan yang menyangkut harkat perempuan pribumi
yang dijadikan gundik oleh pejabat-pejabat kolonial.
Tidak jarang dalam menggalang solidaritas itu datanglah berduyun-
duyung anggota SI dengan jumlahnya yang bisa sampai ratusan menyambangi
pihak yang membikin masalah dengan orang pribumi. Rapat-rapat raksasa kerap
juga digelar sebagai media unjuk solidaritas atas satu kasus atau peristiwa yang
merugikan masyarakat umum atau anggotanya. Tidak itu saja semangat solidaritas
dan persaudaraan juga diperlihatkan dengan bagaimana anggota SI rela
mengeluarkan uangnya demi untuk melunasi hutang ataupun kepentingan-
kepentingan sosial keagmaan anggotanya yang lain. Menurut seorang pengamat
atas dasar semangat tolong menolong yang diliputi oleh semangat persaudaraan
dan solidaritas inilah SI mampu menarik banyak massa dan membuat ribuan
orang masuk dalam barisannya.
43
Jika SI mampu melampaui batas-batas primordial dari berbagai suku bangsa
(dengan segenap adat kebiasaan yang dimilikinya) dan merangkumnya dalam
semangat kebersamaan atas dasar agama, maka BO belum menampakan gelagat
yang sungguh-sungguh menuju arah yang sama. Hal ini tidak mengherankan
karena seputar tahun 1908 fokus perjuangan BO masih seputar kepentingan
mengharmoniskan dan mensejahterakan kehidupan orang Jawa dan Madura (dan
belakangan dengan alasan geografis orang Bali). Bahkan pada suatu kongres pada
tahun 1917 perkumpulan ini dengan tegas menolak sebuah usul untuk membuka
keanggotaan bagi penduduk daerah lain, termasuk orang Betawi.26
Pandangan
eksklusif itu menyebabkan konsep persaudaraan dan solidaritas masih terbatas di
ketiga suku bangsa itu saja ataupun setidaknya masih dalam bentuk-bentuk
wacana yang tidak begitu konkret. Atas dasar inilah pandangan MC Ricklefs yang
menyatakan bahwa BO sejatinya tidak pernah memperoleh basis rakyat yang
nyata di kalangan kelompok kelas bawah nampak masuk akal.27
Dan dengan
demikian pula kecenderungan longgarnya rasa persaudaraan dan solidaritas dalam
konteks bangsa cenderung menguat, mengingat segmen tujuan dan lingkup subjek
tujuan BO yang juga terbatas.
A.6. Persoalan Pembebasan & Emansipasi
Emanispasi terbatas yang melibatkan kalangan priyayi di Jawa dan
Madura. Emansipasi pendidikan merupakan hal yang penting, namun sejatinya
menjadi hambar mengingat pembatasan cakupan kelas dan ikatan etnisnya
merupakan agensi bagi persoalan ini dengan melibatkan diri baik pemikiran
26 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 270
27 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jogjakarta:Gadjah Mada University Press,
1991), h. 250
44
maupun aksi untuk membebaskan kaum pribumi dari tekanan sistem kolonial
yang tidak adil, sekaligus mendorong terciptanya emansipasi politik bagi bangsa
Indonesia.
B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Parlementer
Di masa Demokrasi Parlementer, perjuangan umat Islam diwujudkan
dalam bentuk perjuangan partai-partai, partai-partai tersebut berjumlah empat
partai Islam yang diwakili oleh Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Tarbiyah Indonesia (PERTI).
Pemilihan keempat partai ini didasarkan pada keikutsertaan mereka dalam
beberapa cabinet masa Demokrasi Parlementer, baik sebagai anggota menteri
yang mewakili partai duduk dalam kabinet, maupun sebagai pemimpin kabinet itu
sendiri.
Lewat mosi integral Mohammad Natsir dan kawan-kawan dalam
parlemen, pada 1950 dibentuk Negara kesatuan Republik Indonesia di bawah
payung UUDS 1950. Kedudukan presiden menurut UUDS adalah sebagai Kepala
Negara symbol yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung. Kepala
pemerintahan adalah Perdana Menteri. Untuk Negara kesatuan RI, sebagai
Perdana Menteri dipilih Mohammad Natsir, berdasarkan prestasi politiknya
berupa pengajuan mosi integral yang terkenal itu. Meskpiun tidak berjalan lama,
kelompok Islam pernah memimpin kabinet.
B.1. Kabinet Natsir 1950-1951
Kabinet yang dipimpin Partai Masyumi ini pertama kali terbentuk pada
tahun 1950 di bawah pimpinan M. Natsir 1950-1951, kabinet Natsir jatuh pada
45
April 1951, kejatuhan kabinet ini, karena mosi tidak percaya yang dilancarkan
oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar “Peraturan Pemerintah No. 39
tahun 1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah
dicabut”.28
Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri dari PIR,
akhirnya M. Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Dalam masa
pemerintahannya, M. Natsir merangkul berbagai partai antara lain berasal dari:
Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII).
B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo
Setelah M. Natsir mengundurkan diri, maka kabinet Soekiman
Wirdjosendjojo diangkat menjadi Perdana Menteri kedua dalam Negara kesatuan
tahun 1951-1952. Diantara kedua Perdana Menteri itu, jabatan Menteri Agama
tetap dipegang oleh KH Wahid Hasjim (unsur NU dalam Masyumi). Hal ini
terlihat Partai Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu.
Nasib Soekiman serupa dengan M. Natsir, karena kabinetnya tidak bertahan lama.
Kejatuhan kabinet Soekiman disebabkan perjanjian “san francisco”29
yang
dianggap cenderung berpihak kepada ke luar negeri (Amerika). Hal ini berarti
“meninggalkan politik luar negeri bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak
tahun 1945.
Kabinet Soekiman menggandeng partai-partai lain untuk duduk di dalam
kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari Partai Masyumi sendiri, Partai
hal. 210
28 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980),
29
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia… h. 219
46
Nasional Indonesia (PNI), PIR, Katholik, Buruh, Parkindo, Demokrat dan
Parindra.
B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953
Setelah Kabinet Soekiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI
dengan Wilopo-Prawoto sebagai pengganti Kabinet Soekiman mulai April 1952-
1953. Dalam Kabinet Wilopo, posisi Menteri Agama diserahkan kepada KH
Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Ini yang menjadi sebab
berpisahnya NU dari Masyumi karena tidak mendapatkan posisi Menteri Agama,
meskipun sebab utamanya jauh lebih kompleks. Dalam cabinet Wilopo, unsur NU
tidak terwakili sementara Masyumi mendapat empat kursi, dan PSII satu. Pada
pertengahan 1953, Kabinet Wilopo jatuh, setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap
masih berada di tangan PNI.
B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II
Kejatuhan Kabinet Wilopo kemudian digantikan oleh Kabinet Ali
Sastroamidjojo I yang masih berasal dari kalangan PNI. Dalam kabinet ini, NU
(setelah jadi partai) mula-mula mendapat tiga kursi. Setelah terjadi perubahan
kabinet, kursi NU menjadi empat, meliputi kursi Wakil Perdana Menteri I,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Agraria. Sejak saat itu
Masyumi menjadi partai oposisi terhadap Kabinet Ali. Pada saat itu, NU dan
Masyumi sudah mulai saling berhadapan. Akibat perselisihan dengan Angkatan
Darat Kabinet Ali I jatuh pada Juli 1955.
Setelah pemilu tahun 1955, muncul kabinet koalisi yang dibentuk sesuai
dengan hasil pemilu. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali Sastrosmidjojo II
47
dengan komposisi Ali-Roem-Idham. (PNI-Masyumi-NU). Di sini Nahdlatul
Ulama (NU) mampu menunjukkan kemandiriannya dan kekuatan dukungan yang
luas, sehingga mampu suara yang banyak dengan menduduki posisi ketiga.
Karena semula Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dengan Partai Masyumi.
Pada periode inilah Partai Masyumi yang semula wakil umat Islam terakhir kali
memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satu-satunya wakil
umat Islam. Pada selanjutnya Umat Islam diwakili oleh Partai Masyumi, Partai
NU, PSII, dan Perti dalam cabinet.
B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo I dari Partai Nasional Indonesia (PNI),
kini Partai Masyumi tampil kembali menggantikan posisi Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang berturut-turut memegang posisi utama dan digantikan
Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959, kabinet ini adalah kabinet terakhir
Masyumi sampai partai itu bubar pada 1960. Prestasi kabinet ini terutama terletak
pada keberhasilannya dalam menyelenggarakan Pemilihan umum pertama dalam
sejarah Republik Indonesia. Prestasi kedua ialah dibubarkannya Uni Indonesia-
Belanda secara unilateral, suatu keberanian politik yang patut dicatat. Prestasi
lainnya adalah mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan Darat yang
pada saat kabinet Ali I merosotnya citra pemerintahan di mata Angkatan Darat,
prestasi internasionalnya adalah diselenggrakannya Konferensi Asia-Afrika (April
1955). Yang melahirkan Dasaila Bandung yang terkenal.
Kabinet-kabinet dalam Demokrasi Parlementer mengalami jatuh bangun
karena persaingan kelompok yang sangat tajam. Selain itu, Soekarno sendiri tidak
48
menyetujui dan mencela pemerintahan banyak partai. Penyebab lainnya adalah
ditariknya dukungan Masyumi dan Perti atas kebijaksanaan kabinet dalam
mengatasi krisis di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai dewan yang
membangkang dari pemerintahan pusat.
B.6. Nasib Majelis Konstituante
Perselisihan tajam muncul kembali dan bertumpu pada persoalan dasar
negara pada sidang Dewan Konstituante. Setelah Pemilu tahun 1955 muncullah
empat kekuatan besar, yaitu: PNI memperoleh 22,3%, Masyumi memperoleh
20,9%, NU 18,4% dan PKI 16,4%. Mereka beradu argumentasi kembali mengenai
dasar negara. Ada tiga ideologi yang ditawarkan, yaitu Islam, Pancasila dan
Sosial–Ekonomi. Perdebatan itu berlarut-larut dan pada akhirnya dibentuklah
panitia perumus Dasar Negara yang terdiri dari 18 orang yang mewakili semua
kelompok. Perdebatan akhir bertumpu pada pilihan antara Pancasila atau Islam
sebagai dasar negara. Namun, sebelum panitia menyimpulkan hasil perdebatan
yang dianggap berlarut-larut tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan oleh
Presiden Soekarno karena sampai rapat berakhir tanggal 2 Juni 1959 belum
menghasilkan satu keputusanpun. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 Konstituante dinyatakan bubar dan Demokrasi Parlementer diganti dengan
Demokrasi Terpimpin.
Terdapat beberapa penilaian terhadap lembaga Konstituante. Harun
Nasution dalam tesisnya yang dipertahankan di McGill University Canada, tahun
1965 menyimpulkan bahwa sidang Konstituante tidak menghasilkan apa-apa, baru
merupakan forum perdebatan politik. Sementara Endang Syaefuddin Anshari
49
dalam analisisnya menyimpulkan bahwa tidak ada alasan kesimpulan yang
menyatakan Majelis Konstituante tidak menghasilkan apapun yang bermakna.
Menurutnya, seperti dikatakan Ketuanya, Wilopo "Sidang sudah menyelesaikan
90% tugasnya. Pembubaran Konstituante lebih banyak disebabkan koalisi ABRI
dengan Soekarno yang merasa kepentingan politisnya terancam jika Demokrasi
Parlementer terus-menerus dilaksanakan." Demikian pula Adnan Buyung
Nasution dalam disertasinya menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung
bahwa Konstituante gagal merancang Konstitusi karena adanya perdebatan
tentang Dasar Negara. Yang terjadi adalah Konstituante tidak memiliki
kesempatan untuk menyimpulkan pertimbangan dalam masalah tersebut, sehingga
tentang Dasar Negara dianggap prematur.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada
Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno bertindak seperti
seorang diktator, hampir semua kekuasaan Negara baik eksekutif, legeslatif dan
yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan
Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan
atau wakil Tuhan di dunia. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan meletusnya
peristiwa G 30 S/PKI, dan kekuasaan Orde Lama beralih ke Orde Baru.
C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin
Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinetnya
yang baru, menggantikan Kabinet Djuanda yang mengembalikan mandat pada 6
Juli. Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi
Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Dalam Kabinet Soekarno ini, Djuanda
50
tetap diberi posisi penting sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak banyak
berbeda dengan tugas Perdana Menteri.30
Kabinet baru di bawah payung UUD
1945 ini diberi nama Kabinet Kerja. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan
gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini
telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia
dambakan, tapi karena fondasinya tidak kokoh, system itu pulalah akhirnya
membawanya kejurang kehancuran politik untuk selamanya. Dia terkubur
bersama sistem yang diciptakannya, sekalipun jasanya dalam pergerakan
kemerdekaan dan penciptaan kesatuan bangsa tidak akan dilupakan orang. Sekitar
enam setengah tahun beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia, secara
politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan berpecah-belah
berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno. Pilihan untuk turut atau
tidak turut dalam suatu sistem kekuasaan telah membelah umat menjadi dua kubu
yang saling berhadapan, sedangkan posisi politik mereka secara nasional sudah
tidak diperhitungkan lagi.
Sebenarnya sejak NU menarik diri dari Masyumi pada 1952 dan muncul
sebagai partai politik, dalam menghadapi berbagai kasus, partai Islam baru ini
lebih dekat dari PNI atau bahkan PKI ketimbang Masyumi. Sikap Masyumi yang
menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU, PSII dan Perti turut serta
didalamnya semakin menempatkan partai kaum modernis itu pada posisi politik
yang terpencil, khususnya pada era sesudah jatuh Kabinet Ali Roem Idham Maret
1957. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil, seperti PSII dan Partai
30 Lihat J.D. Legge, Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger
Publishers, 1972), h. 311
51
Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politik dalam DPR yang semakin
melemah. Memang, bila melihat dari cita-cita demokrasi, pilihan mereka adalah
pilihan yang tepat, tapi budaya politik Indonesia yang sedang dikembagkan pada
waktu itu adalah budaya politik otoriter yang dimainkan oleh Soekarno, PKI, dan
pimpinan tertinggi Angkatan Darat sebagai pemain-pemain utamanya. Dalam
situasi seperti itu, cita-cita demokrasi yang hanya didukung oleh suara minoritas
dalam parlemen adalah seperti orang berteriak ditengah padang pasir. Tidak ada
telinga yang memperdulikannya. Situasi bagi Masyumi semakin memburuk,
setelah pada akhir 1957 beberapa tokoh partai ini menyertai pergolakan daerah di
Sumatera Tengah, sekalipun mungkin dengan tujuan ingin menyelamatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang “diuji coba” oleh beberapa
panglima daerah Angkatan Darat dalam usaha menentang pemerintah pusat
dibawah pimpinan Soekarno dengan dukungan Jendral A.H Nasution. Bulan
madu Soekarno-Nasution sekalipun tidak dapat dipertahankan terus, bagi karir
politik Soekarno menjadi sangat menentukan. Tanpa sokongan Nasution plus
pimpinan Angkatan Darat yang lain, tidak dapat dibayangkan bahwa Soekarno
akan melangkah lebih jauh.
Demokrasi terpimpin dalam praktiknya adalah sistem politik dengan baju
demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semua ini terjadi/ Salah satu
penjelasnya dapat ditelusuri pada praktik politik masa demokrasi liberal, ketika
partai-partai begitu berkuasa, sehingga kepentingan Negara secara keseluruhan
sering terlantar. Barang kali sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia harus
melelui proses jatuh bangun dalam uji coba sistem demokrasi. Dari sudut
52
kenyataan ini, kita melihat Masyumi sebagai partai yang kurang sabar, sehingga
keputusan-keputusan penting yang diambilnya sering didorong oleh idealisme
demokrasinya yang begitu dalam, sementara realitas politik sedang menempuh
jalan lain. Tampaknya, idealisme politik yang tinggi inilah yang akhirnya
menghadapakan partai ini pada batu karang sejarah yang tak mampu ditembusnya.
Kita tidak tahu apakah Masyumi telah memperhitungkan semua ini sebelumnya.
Saat itu, NU yang muncul sebagai salah satu dari Empat Besar setelah pemilu
1955 baru “belajar” berpolitik mandiri, tapi kiprahnya dalam menghadapi situasi
politik yang sedang tampak lebih lentur, meskipun tampak orang
mempertanyakan apakah kelenturan ini disebabkan prinsip yang dianut atau
prinsip itu sedang dicari dalam pengalaman bernegara. Saya lebih cendrung
mengatakan bahwa NU berada dalam situasi yang terakhir: dia sedang bergumul
dalam mencari pengalaman politik yang penuh kemungkinan itu.
Penjelasan lain tentang mengapa harus Demokrasi Terpimpin, dapat pula
dicari pada kenyataan bahwa Bung Karno tidak mau lagi jadi tukang stempel,
dalam arti seorang presiden symbol sebagai mana ditentukan oleh UUDS 1950
yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksana demokrasi parlementer di
Indonesia. Soekarno ingin langsung memimpin pemerintahan. Tampaknya
Soekarno cukup kecewa ketika St. Sjahrir pada pertengahan November 1945
berhasil “menyisihkan” Soekarno-Hatta dari pimpinan eksekutif dengan
membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih dibawah UUD 1945,
yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh
Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial 1948/1949, perpolitikan Indonesia
53
sampai dengan Kabinet Ali-Roem Idham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet
parlementer yang tidak pernah berumur panjang.
Keinginan Soekarno untuk berkuasa, langsung disampaikan pertama kali
28 Oktober 1956. Pada waktu itu, ia mengemukakan konsepsinya, yang antara
lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional, dan keterlibatannya secara
langsung dalam memimpin pemerintahan. Oleh sebagian orang, move politik
semacam ini dipandang bertentangan dengan UUDS yang masih berlaku sampai
saat itu. Diantara reaksi terhadap move itu diberikan oleh M. Isa Anshary anggota
DPR dan salah seorang pemimpin Masyumi sayap radikal Isa Anshary menulis
dalam majalah Daulah Islamiah sebagai berikut:
Konsepsi Bung Karno adalah pelaksanaan ide beliau yang diucapkan pada 28
Oktober 1956 untuk menguburkan partai-partai dan pidato beliau dirapat
Merah Putih di Bandung., di mana beliau menyatakan untuk turut aktif dalam
pemerintahan. Jadi, dewan nasional bukanlah semata-mata dewan penasehat
tetapi adalah dewan yang memungkinkan presiden ikut aktif dalam
pemerintahan. Pemerintahan Soekarno itu berlaianan dari pemerintahan
Demokrasi biasa, karena pemerintahannya adalah pemerintahan tanpa
oposisi, dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Ketiga-tiganya, baik
ikutnya presiden dalam pemerintahan secara aktif, maupun tidak
bertanggungjawabnya kepada parlemen sebagai orang yang ikut memerintah
atau tidak adanya oposisi dalam Negara, adalah bertentangan dengan
54
Undang-undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang
tumbuh di Indonesia.31
Sistem yang di bawa oleh Soekarno ini bukanlah Demokrasi sebagaimana yang
diminta oleh Pancasila dan UUD 1945, yang berdasarkan prinsip kedaulatan
rakyat. Dalam Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan visi politik partai-partai
Islam dalam menghadapi Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Perbedaan
visi ini membawa nasib yang berbeda pula bagi partai-partai Islam pada saat itu,
kelompok pertama, Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik
otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga
Muslimin (NU, PSII, dan Perti), berpandangan bahwa turut serta dalam
Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis.
D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orde Baru (ORBA)
Makna politik Orde Baru yang di tujukan kepada Islam, dalam rentang
waktu sejarah sejak 1966-1998 adalah waktu yang cukup panjang bagi sebuah
rezim yang berkuasa. Karena itu, perilaku politiknya pun sangat diwarnai oleh
corak dinamika sejarah. Itu sebabnya, hubungan Islam dengan pemerintahan Orde
Baru menunjukan grafik yang tidak lurus. Orde Baru memulai pemerintahannya
setelah berhasil menumbangkan PKI pada tahun 1965 yang dibantu oleh seluruh
lapisan masyarakat, tidak terkecuali peranan umat Islam dalam menumpas PKI.
Namun dalam perjalanannya rezim Orde Baru meninggalkan umat Islam yang di
motori oleh militer yang dibantu dengan birokrasi dan Golkar. Periode
pembentukannya diwarnai dengan corak yang sangat memusuhi Islam dalam
31 M.Isa Anshary, “Musyawarah Nasional”, Daulah Islamiyah, No. 9
Th.1 (September) 1957),
h. 5. Isa Anshary pernah mengikuti kursus politik dari Bung Karno
55
bentuk (peminggiran politik Islam), sedangkan di tengah kekuasaannya dicorakan
sangat akomodatif terhadap Islam.
Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda
selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Dalam rentang sejarahnya semenjak
1996-1998 telah menunjukan realitasnya. Rezim ORBA telah menunjukan dan
memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan
akomodasi politik Islam. Kedua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam
menghadapi rezim Orde Baru.
Awal-awal kepemimpinan Orde Baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan
dan menunjukan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam,
sehingga memunculkan sikap antagonistik dari umat Islam. Depoilitisasi dan
deideologisasi32
untuk mencapai kestabilan politik dalam rangka pembangunan
ekonomi yang diterapkan oleh ORBA adalah suatu rekayasa politik (politic
enginering) dengan tujuan untuk memperlemah posisi umat Islam, yang
berpotensi sangat membahayakan pemerintahan yang masih baru. Naiknya rezim
ORBA di panggung kekuasaan pasca- Soekarno sebenarnya telah memberikan
harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik
oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah
kekuasaan ORBA. Harapan ini ternyata tidak terwujud setelah rezim
Soehartoisme menunjukan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam.
32 Orde Baru bercita-cita mengoreksi kekurangan dan kelemahan OrdeLama. Orde Baru
memperbaiki kondisi sosio-ekonomi yang payah warisan dari Orde Lama, dimana inflasi mencapai 600% lebih pada dekade 1960-an, telah mendorong eksponennya untuk memprioritaskan
pembangunan ekonominya. Ekonomisme menjadi keharusan, sedangkan politik sebagai panglima
didekonstruksi menjadi depolitisasi dan deparpolisisasi. Lihat Herdi SRS, ”Islam Politik Dalam
Kancah Demokrasi”, dalam Prisma 8 Agustus 1995, h. 89
56
D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII)
Salah satu keinginan untuk membangkitkan romantisme kebangkitan
politik Islam adalah pembentukan PDII yang dikemukakan oleh Muhammad
Hatta mantan Wakil Presiden RI. Sebenarnya keinginan membentuk partai
tersebut sudah sejak tahun 1959 dan didorong pula oleh ketidakpuasan pemuda
Islam (HMI dan PII) terhadap sistem yang ada, karena sering diintimidasi PKI,
sehingga sering meminta nasehat kepada Mohammad Hatta.
Pada akhir tahun 1965, keinginan itu baru dimunculkan dengan maksud
membentuk PDII. Kemudian pada tanggal 11 Januari 1967, Mohammad Hatta
mengirim surat kepada Soeharto tentang niatnya tersebut, ternyata pemerintah
tidak mengabulkan dengan alasan PDII belum mampu menjadi partai Islam yang
diharapkan pemerintah. Dengan ditolaknya permohonan pembentukan PDII,
menandakan bahwa pemerintah Orde Baru sengaja menutup jalan bagi partai
politik Islam untuk tampil ke kompetisi politik, tanpa pengawasannya.
D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya Parmusi
Hubungan politik yang tidak harmonis itu berdampak luas. Puncaknya,
akses para aktivis politikus Islam ke koridor kekuasaan menyusut drastis dari
posisi politik awal mereka merosot terutama sepanjang selama 25 tahun
pemerintahan ORBA. Beberapa ilustrasi yang sangat jelas adalah memperlihatkan
kekalahan Islam politik itu adalah pembubaran partai Masyumi dan ditolaknya
rehabilitasi partai itu (1960); Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet Ampera
menyurati Prawoto Mangkusasmito pada tanggal 6 Januari 1967 yang menyatakan
bahwa pihak ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Partai
57
Masyumi, upaya rehabilitasi Masyumi terhalang oleh Ali Moertopo yang ketika
itu sangat berkuasa yang sekaligus sebagai pemegang Supersemar.33
. Tanggal 7
Mei 1967 melalui sidang Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) yang terdiri
atas 16 organisasi Islam34
mengambil keputusan membentuk wadah politik baru
bagi umat Islam yang dinamakan ”Parmusi”35
(Partai Muslimin Indonesia), tetapi
diakhir perjalanan dimana tidak diperkenankannya tokoh-tokoh penting mantan
Masyumi untuk memimpin PARMUSI dan tidak boleh dicalonkan dalam pemilu
yang akan segera dilangsungkan, tanggal 7 April 1967, partai yang baru dibentuk
untuk menggantikan Masyumi (1968); pemerintah ternyata memandang Masyumi
masih berlumur dosa-dosa masa lalu.36
Keputusan pemerintah itu berlaku pada
saat pemilihan Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi pada Kongres di Malang
tanggal 407 Nopember 1968.
Akhirnya tanggal 5 Februari 1968 keluar keputusan pemerintah yang
menyatakan berdirinya Parmusi dan SK Presiden No. 70 1968 yang menetapkan
Djarnawi Kusumo dan Lukman harus sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal.
Duet ini tidak berlangsung lama, karena muncul H.J. Naro dan Imran Kadir yang
menginginkan kepemimpinan di Parmusi yang mengakibatkan konflik.
Memanfaatkan konflik yang direkayasa pemerintah, akhirnya pemerintah
menerbitkan SK No. 77 tahun 1970 dengan menempatkan Mintareja sebagai ketua
33 Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996), h.
32 34
Di antaranya adalah Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Persatuan Ummad Islam
(PUI), Al-Ittihadiyah, Gasbiindo, (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia). Lihat Hartono
Marjdono, h. 31 35 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1966), h. 247 36
. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ... h. 246
58
partai sekaligus membatalkan SK No. 70 tahun 1968. Mintareja adalah pegawai
tinggi pemerintah dan juga anggota PP Muhammadiyah. Menghadapai situasi dan
keadaan yang runyam tersebut, Muhammadiyah pada tahun 1969 menyatakan
keluar dari Parmusi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai
manapun. Untuk yang kedua kalinya umat Islam melalui partai Islam gagal
meyakinkan pemerintah Orde baru untuk tampil ke gelanggang politik, tanpa
pengawasan pemerintah. Kemudian ORBA memainkan strategi baru yaitu FUSI
partai pada tanggal 5 Januari 1973 dengan dibatasinya jumlah partai politik Islam
dari empat parpol yaitu (NU, MI, PSSI, dan PERTI) dan menjadi satu, dalam
wadah PPP (1973); hal ini untuk semakin menjinakan potensi politik umat Islam,
tidak cukup sampai disitu ORBA juga mengurangi jumlah wakil-wakil Islam yang
duduk dalam parlemen dan kabinet. Imbas dari penghapusan politik Islam adalah
gagalnya rehabilitasi Masyumi. Rehabilitasi ini diajukan untuk sebagai syarat
pemberian dukungan terhadap pemerintahan ORBA dengan pertimbangan bahwa
mereka telah memberikan andil dalam perjuangan menegakan demokrasi serta
melawan Komunisme pada masa ORBA.
D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
PPP sebagai partai Islam adalah pemain tunggal (single fighter) dalam
gelanggang politik Orde Baru, meskipun di dalamnya ada empat unsur parpol
(NU, MI, PSSI, dan PERTI). Dengan demikian, tidaklah mudah memainkan
peranannya, mengingat PPP tidak lagi berasaskan Islam hal ini lewat
”pengasastunggalan” Pancasila dimana tidak diperbolehkannya Islam sebagai asas
organisasi sosial dan politik (1985).. apalagi banyak dari kalangan orang Islam
59
sendiri yang tidak mengakui dan mendukung PPP sebagai partai umat Islam,
sehingga aspirasi mereka disalurkan ke Golkar atau Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Meskipun demikian, basis PPP tetap terletak pada mayoritas umat Islam,
sehingga selayaknya partai ini tetap memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Peranan PPP dalam lembaga legislatif yaitu melakukan aksi walkout
terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Aliran Kepercayaan.
Selain itu, masalah-masalah yang diungkap oleh Abduk Azis Thaba dalam
hubungan yang bersifat akomodatif, menurut penulis adalah hasil secara tidak
langsung dari peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui Fraksi
Persatuan Pembangunan (FPP), misalnya tentang Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Dalam
hal ini PPP tetap menginginkan sebagai partai Islam yang survive yang tetap
memperjuangkan kepentingan masyarakat muslim.
Kemudian lewat ”pengasastunggalan” Pancasila dimana tidak
diperbolehkannya Islam sebagai asas organisasi sosial dan politik (1985). Sejalan
dengan terus menerusnya untuk melestarikan Pancasila mulai tahun 1982. Motif
utama pemerintah adalah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional
negara, dan untuk mensosialisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk itu pemerintah merasa bahwa harus tidak ada ideologi lain yang
menandingi Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan ORBA ini bukan tanpa
reaksi. Sejauh menyangkut umat Islam, paling tidak sejak 1982, mereka telah
menunjukan reaksi terhadap usulan pemerintah karena ummat Islam takut dengan
menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti Pancasila akan menggantikan
60
Islam, atau bahwa Pancasila akan disamakan dengan agama.37
Reaksi umat Islam
terhadap asas tunggal Pancasila ini menimbulkan perdebatan serius. Bahkan,
ummat Islam telah mengalami konflik yang paling serius dan rumit yang
menghabiskan masa yang paling lama dalam memperdebatkan pergantian asas ini.
Perdebatan ini terjadi dari pertengahan 1982-1985, disertai konflik internal dan
konflik dengan pemerintah. Konflik ini harus dibayar mahal dengan pecahnya
HMI menjadi HMI Dipunegoro dan HMI MPO, sedangkan PII terpaksa
membubarkan diri karena menolak kebijakan tersebut.38
Pada mulanya hampir
semua partai dan organisasi Islam menolak kebijakan ini. Namun akhirnya setelah
mendapat tekanan dari pemerintah banyak ormas Islam yang mulai menerima asas
tunggal. NU melalui Munas Situbondo 1983 dan Muktamar Surabaya 1984
menyatakan menerima asas tunggal sebagai asas organisasi sosial dan politik,
kemudian disusul oleh Muhammadiyah melalui Muktamar ke-41 di Surakarta
1985 mengambil langkah yang serupa. Terkecuali PII yang menolak asas tunggal
yang kemudian terpaksa dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1988.39
Keberhasilan menghapuskan ideologi primordialistik Islam merupakan
pencapaian yang paling berharga buat rezim ORBA. Semua kekuatan dan ideologi
telah berhasil ditundukannya. Yang lebih tragis dan menyedihkan lagi adalah,
Islam politik telah menjadi sasaran kecurigaan ideologis. Oleh negara, para aktivis
Islam politik sering dicurigai sebagai anti terhadap ideologi negara Pancasila. Hal
37 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru..... h.207
38 M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
Agustus 1999), h. 184 39 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-
1987 dalam Perspektif Sosiologis, (Jakarta: Rajawali Press., 1989), h 127
61
ini merupakan salah satu kesalahan strategi umat Islam, mestinya mereka
berkompromi untuk kemudian bersama-sama memberi isi Pancasila.
Sementara itu setelah stabilitas politik dikendalikan dan orientasi politik
umat Islam berubah, ORBA merubah kebijakan politiknya dengan lebih
akomodatif dan aspiratif terhadap Islam. Sikap akomodasi rezim ORBA terlihat
dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989;
diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi
Hukum Islam tahun 1991; diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991;
dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan badan amil
zakat, infak dan shadaqoh (Bazis) tahun 1991; didirakannya bank Muamalat dan
ICMI tahun 1991, dan dihapusnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah
(SDSB) tahun 1993.40
Dalam perkembangannya, umat Islam pada tahun 1980-an memasuki fase
satu kebangkitan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Pada akhir 1980-an, kebangkitan tersebut memunculkan tekanan politik baru
ketika kelas menengah Muslim, pendidikan massa dan perkembangan kelas
menengah Muslim memungkinkan munculnya tipe-tipe pemimpin Muslim baru.
Para ”cendikiawan Muslim” yang baru ini merupakan figur-figur publik yang
pandangan-pandangannya tentang politik Islam banyak dipengaruhi oleh
pendidikan umum, media cetak yang baru, dan persentuhannya dengan teori-teori
Barat, selain tentunya dengan pendidikan pesantren dan legalisme klasik. Ini
40. Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 273
62
mendesakkan repsentasi yang lebih besar lagi bagi ummat Islam dalam
pemerintahan dan masyarakat.
Pada akhirnya, kebangkitan tersebut memaksa Soeharto memikirkan kembali
kebijakannya mengenai Islam. Beberapa penasihat dan orang dekat Soeharto
masih tetap berbicara seolah-olah tidak ada sesuatu yang berubah dan mendesak
pemerintah untuk tetap mempromosikan Islam ”kultural” sambil dengan tegas
menekan Islam politik. Akan tetapi, kebangkitan ummat Islam itu sedemikian
kuat, dan tidak mungkin ditarik kedalam bentuknya yang semula. Menghadapi
tantangan baru ini, Soeharto akhirnya berupaya untuk merangkul kalangan Islam
konservatif ke dalam kekuasaannya. Walau demikian ia harus belajar bahwa
kekuatan Islam yang dirangkulnya tersebut mempunyai integritas moral dan
politiknya sendiri.41
41
Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia..... h. 273
BAB III
PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER
SEBELUM TAHUN 1990-1998
A. Penyingkiran simbol-simbol Islam
Proses ini mengambil bentuk penyingkiran simbol-simbol Islam dari
kegiatan-kegiatan politik, mengeliminasi partai-partai politik Islam, dan
menghindarkan arena politik dari politisi Islam. Depolitisasi Islam mencapai
puncaknya, berkenaan dengan sarana politik dalam penggabungan semua partai
politik Islam yang ada ke dalam PPP tahun 1973 dan berkenaan dengan ideologi
politik dalam keharusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh
semua orsospol dan ormas tahun 1985. Bahkan, sejatinya depolitisasi Islam adalah
bagian dari proyek yang lebih besar yakni massa mengambang, yang mengurangi
kesadaran politik rakyat akar rumput (grassroot) dan mengasingkan pemimpin-
pemimpin politik dari pendukung mereka.1
Depolitisasi Islam tidak berarti
Islamisasi dalam pengertian umum. Karena dalam kasus Indonesia, depolitisasi
Islam dijalankan dengan ”domestifikasi” kekuatan-kekuatan politik Muslim
melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Tetapi proses tersebut
dilakukan untuk mendorong pelembagaan kekuatan-kekuatan umat Islam lewat
pembentukan banyak organisasi Islam ”korporatis” atau kuasi-korporatis.2
Dengan kondisi yang demikian ini, pantaslah bahwa kiranya jika sepanjang tahun
rezim ORBA, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an, politik
1 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000), h. 66-67
2 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 79-80
58
59
Islam merupakan sesuatu yang oleh negara harus diperlakukan bagaikan ”kucing
kurap”. Para aktivis politik Islam, dalam format dan langgam, yang dimunculkan
oleh generasi lama, merupakan pihak-pihak yang kepada mereka negara
menerapkan kebijakan domestifikasi. Dengan mind-set seperti itu, dan sumber
daya sosial ekonomi dan politik yang dimilikinya, negara berhasil menundukan
Islam secara politik, ideologi dan intelektual.
Situasi ”ideologis” yang tidak mengenakan inilah yang kemudian
melahirkan antagonisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti,
kecurigaan politik negara terhadap umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya
gesekan-gesekan ideologis. Bahkan, kecurigaan itu berkembang menjadi
antagonisme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah
lagi, kecurigaan dan antagonisme itu tumbuh di kedua belah pihak, Islam dan
negara. Kenyataan seperti itu merupakan sesuatu yang ”aneh-sekali” dan
”membingungkan” mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Tapi, telah menjadi sebuah kelaziman, bahwa persepsi ideologi maupun politik
adalah potensial untuk menumbuhkan kategorisasi untuk tidak mengatakan friksi-
friksi.3
Tak berlebihan, jika Hartono Mardjono menuding ada kekuatan yang sikap
dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta berusaha menyingkirkan
umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto. Kelompok itu ada di
bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan ORBA di
samping itu menjadi pemimpin Operasi Khusus (OPSUS), sebuah badan ekstra-
konstitusional yang melakukan operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam
3
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 144
60
praktiknya, OPSUS merupakan invisible goverment yang dapat melakukan segala
macam tindakan, termasuk merekayasa kehidupan sosio-politik sehingga
peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.4
Indonesia sebagai negeri dengan gugusan pulau-pulau dikenal memiliki
beragam warna tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan.
Tetapi sayangnya multikulturalisme sebagai suatu “datum” (suatu yang terberi)
dan “factum” (sesuatu yang dibuat dan dihidupi) belum sepenuhnya menjadi
wawasan dan kesadaran bersama. Akibatnya selama puluhan tahun sejak
kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan
ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan
soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi juga soal penindasan
kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran
politik kolonial.
Kondisi seperti inilah yang sebenarnya mengancam kehidupan yang plural
dan demokrasi di Indonesia. Selain itu tentu saja kehidupan yang harmonis di
negeri ini akan diwarnai oleh kecenderungan konflik sosial yang sewaktu-waktu
akan membakar kebersamaan masyarakat kita. Tapi tepat persoalannya adalah ini
bukan perkara nilai-nilai normatif yang kerap diperdengarkan dalam khotbah sang
moralis, tetapi lebih melibatkan relasi-relasi macam apa yang diciptakan oleh
nalar kekuasaan baik politik, pengetahuan maupun agama dalam diskursus publik.
Bilakah pemerintah ber-Pancasila? Bilakah pemerintah ber-NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia)? Adakah keduanya dilakukan secara bersamaan
4
Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996), h.
30
61
oleh pemerintah? Artinya, ketika seorang demagog meneriakkan "selamatkan
NKRI", maka dirinya dan orang-orang yang tersihir oleh kata-kata itu akan
bertindak yang sesuai dengan spirit yang termaktub di dalam setiap sila Pancasila?
Inilah pertanyaan-pertanyaan pokok yang dapat menjelaskan bagaimana
pemerintah berideologi tunggal atau dualistik. Jawaban-jawaban itu juga akan
menjelaskan asal-usul budaya dari siapa yang sedang memerintah rakyat
Indonesia yang berjiwa 250 juta manusia ini.
Sejak masa Orde Baru, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme
dan Islam. Tragedi Tanjung Priok di Jakarta dan Talangsari di Lampung adalah
rentetan dari upaya membenturkan Pancasila dengan symbol-simbol keislaman
kelompok muslim tertentu. Sedangkan NKRI-isme dibenturkan dengan gerakan
kemerdekaan yang muncul di Timor, Aceh, dan Papua. Lalu, ideologi apa yang
dihadapkan oleh pemerintah RI dengan munculnya fenomena terorisme? Hal ini
juga belum dijawab, baik oleh kaum politikus maupun serdadu yang merupakan
bagian dari masyarakat politik dan alat politik pemerintah yaitu militer.
Ternyatalah, kaum politikus, militer, dan pemerintah saat Orde Baru
maupun saat setelah era reformasi ini belum berani mensilogiskan antara
Komando Jihad, yang banyak muncul di Jawa dan digebuk di masa Orde Baru,
dan jaringan terorisme yang juga berpusat di Jawa, yang muncul di era
pascareformasi.
Kudeta 1965 merupakan peristiwa yang dapat dibaca sebagai arena
perbenturan antara komunisme dan Pancasilaisme. Kaum politikus yang
memegang komunisme versus kaum serdadu yang merebut Pancasilaisme.
62
Sedangkan kaum muslim--khususnya di Jawa adalah kaum yang terbakar
emosinya sehingga menjelma sebagai instrumen politik bagi kaum yang sedang
menjadikan kaum komunis sebagai obyek kejahatan kemanusiaannya. Lalu,
pertanyaannya, adakah tindakan-tindakan terhadap kaum komunis dan
keluarganya merupakan tindakan yang sesuai dengan spirit yang terdapat di dalam
sila-sila Pancasila? Apakah tindakan-tindakan penculikan, penyembelihan,
pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, penghancuran dan perampasan harta
benda yang dialami kaum komunis dan keluarganya bahkan umat Islam
merasakan hal-hal yang tidak jauh berbeda hanya karena adanya symbol-simbol
keislaman, serta penyingkiran sosial dan politik terhadap keturunan dan kerabat
mereka, merupakan motif-motif yang disemburkan dari kondisi individu yang
menjiwai Pancasila?
Jawaban-jawaban yang tersedia cenderung berlandaskan logika yang tidak
ideologis, dan lebih berdasarkan pada common sense yang bersifat reaksioner
semata. Misalnya, karena mereka hendak menggantikan Pancasila sebagai
ideologi negara, maka kami haramkan ideologinya.
Pada era itu negara sedang menjadi teater yang memanggungkan kejahatan
kemanusiaan yang paling massal, masif, dan berkelanjutan. Jangankan Pancasila
yang didekonstruksi menjadi alat gebuk politik, bahkan Islam pun yang tanpa
disadari oleh sebagian besar kaum muslim terdekonstruksi teologinya jika dilihat
dari relasi subyek dan obyeknya, ketika muslim yang satu (individual ataupun
kelompok) membunuh muslim yang lain (individual ataupun kelompok yang
diklaim menganut komunisme) maupun yang berlainan symbol dengan tanpa
63
prosesi fardu kifayah. Dalam konteks demikian, rezim yang telah berhasil merebut
kekuasaan dan sekaligus Pancasila dari Soekarno dan rezimnya menisbahkan
kesakralan pada Pancasila. Di sinilah letak kekhasan alam pikiran Indonesia
bahwa ideologi menjadikan instrumen politik yang mistis, hal yang sangat
kontradiktif dengan alam pikiran Barat yang menjadikan ideologi sebagai
instrumen yang rasional. Jadilah Pancasila sebagai ideologi tunggal. Komunisme
menjadi ideologi yang laten, dalam artian akan diungkit-ungkit ketika rezim tak
begitu yakin akan kesinambungan ataupun hendak semakin mengukuhkan posisi
politiknya. Lalu, Islam dijadikan ideologi yang manifest, dalam artian yang
mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando-komando
jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok-kelompok muslim radikal.
Lalu, apakah akibat dari penghadapan rezim terhadap Islam sebagai bahaya yang
manifest itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?.
Perbedaan antara rezim dan kaum militer terletak pada rezim yang
semakin menua, sementara kaum militer mengalami regenerasi. Ketika rezim
tetap memonopoli Pancasila, kaum militer generasi baru dihadapkan dengan dua
pilihan: merebut Pancasila dari rezim (atau generasi tua) atau menemukan
ideologi baru. Pilihan yang pertama menjadi sulit karena relasi antara rezim dan
kaum serdadu itu berbentuk patron-klien. Di satu sisi, rezim memerlukan
dukungan politik dari kaum militer generasi baru sehingga diberlakukan pola
ikatan kekerabatan dalam mereproduksi perwira. Di sisi lain, klien membutuhkan
percepatan karir dalam militer, yang juga sekaligus penguasaan politik
64
(dwifungsi) sehingga mereka berebut masuk perangkap kekerabatan politik
generasi tua itu.
Namun, zaman akhirnya melahirkan spoiler-spoiler dari perwira generasi
baru yang justru diikatkan melalui jalinan kekerabatan itu. Pada saat yang sama,
generasi baru ini menemukan NKRI sebagai ideologi alternatif dari Pancasila.
Sementara Pancasila menjamin ketunggalan alam, maka NKRI menjamin
kemanunggalan teritorial sehingga terbentuklah keutuhan Indonesia sebagai
sebuah negara. Sementara Pancasila milik militer generasi tua, NKRI adalah milik
militer generasi yang lebih muda. Namun, janganlah tindakan atas dasar motif-
motif NKRI-isme diukur menurut etika yang direfleksikan dari Pancasila, karena
sama sekali tak memiliki afinitas.
Meskipun demikian, soal jalinan antara Pancasila dan NKRI, generasi baru
cenderung bekerja untuk memistifikasi NKRI daripada Pancasila. Wilayah Timor,
Aceh dengan permasalahan keberatan Orde Baru terhadap symbol-simbol Islam,
dan Papua merupakan arena teater mereka karena adanya gerakan kemerdekaan
atau dikenal sebagai konflik vertical yang kemudian diperkenalkan oleh kaum
serdadu dengan label separatisme. Sementara Pancasila menciptakan komunisme
dan Islam sebagai lawan ideologinya, NKRI menemukan lawannya berupa
separatisme.
Para penganut NKRI-isme juga memiliki musuh ideologi yang sekunder,
yakni symbol-simbol, yang sangat erat kaitannya dengan Islam, baik dari sisi
teologis, historis, maupun jaringannya. Fenomena ini terdapat di wilayah-wilayah
konflik horizontal seperti Aceh, Lampung, Poso dan Ambon yang simpulnya
65
terdapat di Jawa dan keberadaan tokohnya misterius, seperti sebuah jaringan
operasi intelijen militer.
Sementara itu, komunisme (baru) tetap merupakan musuh ideologi
ketiganya. Hal ini dikampanyekan melalui spanduk-spanduk yang digantungkan
di markas-markas kaum militer, juga ini mungkin sebuah keunikan lainnya
dikampanyekan oleh komando-komando muslim yang "dibiarkan" mekar oleh
kaum militer di perkotaan di Jawa. Namun, sebagaimana generasi tua, generasi
muda kaum militer tetap saja terjebak dalam kekonyolan intelektual sehingga tak
bisa membedakan antara Marx, Marxis, Marxisme, dan komunisme.
Di Indonesia, ada sebuah keunikan yang bisa menjadi karakteristik alam
pikiran keindonesiaan. Bahwa di dalam tubuh setiap rezim dan generasi
bersemayam kekuatan yang mentransformasi segala sesuatu yang rasional
menjadi sesuatu yang mistis dan mutlak. Hal ini sudah mulai terjadi setelah
Soekarno merebut rumusan-rumusan Pancasila dari kaum ideolog yang sezaman
dengan dirinya, lalu merumuskannya sebagaimana yang hadir hingga saat ini,
maka Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi
tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam.
Namun, Soekarno berada dalam kepungan wacana ideologi-ideologi yang
sedang menguat, sehingga, dalam perspektif Geertz, Soekarno hanya dapat
melakukan mistifikasi ideologis yang membuahkan staatreligion. Di satu pihak,
rakyat yang tak kunjung sejahtera tersihir oleh kemampuan Soekarno sering
disebut kejeniusan dalam mengintegrasikan konsep-konsep yang rasional ke
dalam symbol-simbol keagamaan yang mistis khususnya Islam. Di lain pihak,
66
secara ideologis hal itu merupakan upaya rezim untuk memanipulasi
kegagalannya menyejahterakan rakyat yang semakin lapar, karena itu
disampaikan secara agitatif untuk menyihir rakyat agar lupa pada kemiskinan
yang semakin melilitnya.
Soeharto tak memiliki daya sihir, melainkan daya memusnahkan ideologi
lain dan memaksa dengan senjata. Karena itu, kesakralan Pancasila dibangun dari
aliran darah berjuta manusia dan ritual-ritual kesaktian yang membutuhkan biaya
besar. Namun, rakyat tetap saja tak tersertakan ketika kesejahteraan kaum elite
lepas landas. Ketakutan yang mistis dari rakyat pun berubah menjadi arus balik
yang menjatuhkan rezimnya. Sebenarnya, pensakralan NKRI memiliki tipologi
yang sama dengan apa yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila, yakni melalui
senjata dan pemutlakan penyingkaran symbol-simbol Islam.
B. Militer dan Peminggiran Islam Politik
Peminggiran Politik Islam, posisi politik umat Islam setelah ORBA
berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. seperti halnya
dengan rezim ORLA (Soekarno), ORBA juga menerapkan strategi politik yang
tidak aspiratif terhadap Islam, dengan kata lain menekan potensi politik umat
Islam. Hal ini dilakukan bertujuan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang
dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim ORBA. Akibatnya,
kekuatan politik umat Islam yang direpresentasikan oleh partai politik Islam,
seperti PARMUSI, NU, PERTI, dan PSSI di pemilu pertama ORBA berkuasa
1971 tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menandingi kekuasaan
ORBA karena Soeharto telah memberikan Fusi partai Islam kedalam PPP.
67
Pada masa ORBA, mengharapkan terjadinya peningkatan kekuasaan
politik komunitas muslim merupakan kesalahan perkiraan yang serius. Rezim
militer yang dipimpin oleh Soeharto lebih khawatir dengan aspirasi-aspirasi Islam
dalam bidang politik daripada Soekarno.5
Itu sebabnya, agenda politik ORBA
adalah depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam yang
kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Pandangan
sesungguhnya mengandung logika politik bahwa, depolitisasi Islam adalah usaha
mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite kekuasaan Orde
Baru.6
Menurut pengamatan Michael R.J. Vatikiotis, pemerintahan ORBA
meniru kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan
Islam kultural. Belanda menganggap Islam menjadi simbol kekuatan
antikolonialisme. Karena itu, Snouck Hurgronje membuat kebijakan yang
mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah (masjid)
dan menjauhkan dari negara.7
Jika pada awal Orde Baru, militer memilih untuk melakukan pendekatan
kompromi dengan berbagai kekuatan dalam masyarakat, itu disebabkan oleh
masih kuatnya nuansa politik dalam kehidupan masyarakat. Lebih dari itu,
beberapa partai politik, baik yang mewakili kelompok nasionalis seperti PNI,
maupun yang mewakili kelompok Islam yang di wakili NU maupun aktivis
5
M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 120 6
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 63 7 Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Third Edition, (London:
Routledge, 1998), h. 120
68
Masyumi masih memiliki kekuatan masa. Oleh sebab itu, jalan terbaik bagi
militer untuk mengambil simpati masa adalah melakukan kompromi dengan
kekuatan-kekuatan partai politik. Tetapi Golkar yang dibantu oleh militer dengan
berbagai cara, termasuk dengan cara intimidasi, dan berhasil memenangkan
pemilu pada tahun 1971.8
Walaupun kemenangan Golkar mengundang
kontroversi, tetapi dengan kemenangan tersebut pemerintah Orde Baru paling
tidak merasa telah memiliki legitimasi kuat untuk menjalankan roda
pemerintahan. Dengan demikian kompromi-kompromi yang dilakukan untuk
mendekati parpol seperti yang dilakukan pada awal pergantian kekuasaan, tidak
diperlukan lagi.9
Beberapa pendekatan yang mengkristal menjadi kebijakan yang
memojokan Islam bisa diurut secara kronologis sejak awal Orde Baru. Sejak
tahun 1970-an, dalam hal ini Ali Moertopo memiliki peranan penting di dalam
lingkungan presiden. Misi dan kepentingan yang dibawa Ali Moertopo ini
ternyata seirama dengan kepentingnan kelompok nasionalis dan kelompok non-
Muslin (Katholik dan Protestan). Kesamaan pandangan, terutama menyangkut
8
Pada pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik (NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo,
Partai Katholik, Perti, Murba, IPKI, dan Golkar), Golkar berhasil meraih suara terbanyak, yaitu
62,80% suara (34,348 suara) atau 65,56 % kursi (227 kursi). Semetara urutan kedua dan ketiga
ditemapati oleh NU dan Parmusi. R. William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut
Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3S, 1992. Baca juga, Seri Penerbitan Studi Politik, Laboratorium
Ilmu Politik FISIP UI, Evaluasi Pemilu Orde Baru, Bandung: Mizan, 1997 9
Campur tangan militer dalam memenangkan Golkar pada pemilu 1971 diungkapkan
oleh Ernest Utrech: “The Second Indonesia elections, which were held on 3 July 1971, were won
by the army sponsored Golongan Karya (Golkar). Using intimidation and threats, arresting
opponents regarded as dangerous, misususing government facilities, and putting in to practice the
fraudulent system of Bebas Parpol. Ernest Utrecht, “ The Military and Elections”, dalam Oey
Hong Lee, Indonesia After The 1971 Elections, London: Oxford University Press, 1974, hlm 76,
Sebagaimana dikutip oleh M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret
Pasang-Surut, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993
69
NKRI dan ideologi Pancasila tersebut telah menyatukan mereka. Hal ini berbeda
dengan kelompok Muslim yang terobsesi untuk memunculkan ide-ide yang
menurut kelompok Ali Moertopo sebagai ide sempit dan eksklusif, yaitu ideologi
Islam.
Sementara Ali Moertopo dengan kepentingan terhadap kelompok
minoritas, termasuk etnis Cina dan Khatolik, untuk berhadapan dengan umat
Islam yang sejak awal di curigai oleh Ali Moertopo sebagai kekuatan yang akan
mengancam kekuasaan pasca dibubarkannya PKI. Dalam hal ini konteks
konfrontasi terhadap Negara, Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih
berbahaya.10
Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi kekuatan yang selalu
dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer
menjadi retak. Ironisnya, ummat Islam harus menanggung beban yang cukup
berat menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu militer kedekatan di antara elit
militer dengan ummat Islam, khususnya kalangan ulama pada waktu itu lebih
disebabkan oleh dua hal. Pertama, kedekatan cultural, yaitu kedekatan karena
adanya kesamaan pemahaman menyangkut Islam. Kedekatan cultural ini bisa
dilihat dari beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman yang kuat
yang kemudian tercermin dalam langkah dan kebijakan. Pada masa Orde Lama,
terdapat Jenderal Soedirman yang berasal dari Muhammadiyah dan aktivis
10 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3S,
1995), h. 33
70
Hizbulwathan, juga ada A.H. Nasution yang dianggap memiliki pemahaman dan
komitmen dalam keislamannya.11
Pada masa Nasution menjabat sebagai menteri pertahanan, ia
mnegusulkan penanaman nilai-nilai keislaman dalam tubuh militer. Walaupun ide
tersebut mendapat banyak tanggapan baik yang setuju maupun yang tidak. Pada
akhirnya sikap tersebut terealisir dalam bentuk penanaman ajaran keislaman.
Kenyataan ini merupakan refleksi dari latar belakang keagamaan Nasution yang
dikenal cukup kuat.
Kedua, adanya kesamaan kepentingan. Kedekatan ini bersifat sementara
dan lebih bersifat taktis politis. Hal ini dapat dilihat dalam kerjasama menumpas
anggota PKI. Hal lain yang menunjukan kerjasama yang dilatarbelakangi
kepentingan pada waktu itu, pemerintah yang dimotori oleh Ali Moertopo
mengajukan UU Perkawinan. UU tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah.
sementara itu, Soemitro menawarkan undang-undang tentang hal yang sama yang
disampaikan pada kalangan pada kalangan ulama. Realitas ini semakin
memperjelas adanya dualisme kapentingan di kalangan militer dalam
menanggapi tentang UU yang terkait dengan ummat Islam.12
Lebih dari itu,
militer pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh-
musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah
11
Pembahasan mengenai sikap dan sosok Soedirman, termasuk tentang aktivitasnya di
Muhammadiyah dapat di bacadalam buku; Salim Said, Genensis of Power, Genenral Soedirman
and The Indonesia Military in Politics 1945-49, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, h. 55-90 12 Mengenai munculnya persaingan atau perbedaan kepentingan di kalangan Militer,
khususnya antara Ali Moertopo dengan Soemitro, secara tersirat diakui oleh Soemitro. Bahkan
Soemitro merasa ada adu domba antara dirinya dengan Soeharto. Ramadhan K. H., Soemitro
Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, h. 284-287
71
umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang
yang terkait dengan komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok
Islam radikal (Islam politik).
Tidaklah terlalu mengherankan jika pada masa Orde Baru militer sangat
menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui kepiawaian para
perwira TNI dalam proses bernegara, nyaris tidak ada ruang kosong yang tidak
terdeteksi dan terjamah oleh tangan-tangan militer Indonesia. Atas nama stabilitas
dan pembangunan tentara melakukan penetrasi ke masalah-masalah
kemasyarakatan, mulai dari persoalan partai politik, penguasaan lahan ekonomi,
kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan lain-lain. Tak jarang TNI melakukan
tindakan represifitas terhadap para aktifis yang melakukan penolakan atas
kebijakan-kebijakan yang digelontorkan pemerintahan Soeharto.
Untuk menguatkan posisi kekuasaannya, Soeharto menggunakan tentara
untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur
tangan tentara dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan
dua pertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan
walikota, 56% adalah tentara, direktur jenderal 70% dan sekretaris menteri 84%
diduduki oleh militer. Hampir separuh jabatan duta besar pada 1977 adalah
berasal dari golongan tentara.
Lebih lanjut tentang campur tangan militer dalam politik, cukup banyak
kasus yang telah dilakukan oleh militer, antara lain campur tangan dalam Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1996 yang kemudian melahirkan peristiwa
27 Juli 1996. Pada tahun 1993, Soeharto melakukan infiltrasi terhadap organisasi
72
Nahdhatul ‘Ulama (NU). Di mana Soeharto menolak terpilihnya Abdurrahman
Wahid menjadi ketua NU pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat. Gus Dur
tidak direstui Soeharto, karena Gus Dur adalah salah seorang pendiri Forum
Demokrasi yang cukup kritis terhadap perkembangan situasi nasional.
C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut
Secara global, dalam sejarah umat Islam persoalan militer selalu bermuara
pada pembagian kekuasaan antara kedudukan khilafah (pemimpin) yang
berpungsi hanya sebatas symbol, sementara pelaksanaannya adalah milter.
Kenyataan ini di satu sisi, sering diterima oleh kalangan Islam sebagai realitas
yang tidak terelakan, tetapi disisi lain sering mendapat perlawanan dari kelompok
yang tidak puas dengan perlakuan yang militeristik. Ketidakpuasan itu kemudian
mengkristal menjadi sebuah perlawanan cultural, yaitu bagaimana nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat bawah bisa diterima dan diserap oleh kelompok elit
militer. Perlawanan ini biasanya dilakukan oleh kalangan aktivis tarekat yang
membuat kelompok tandingan bagi kekuasaan yang militeristik.13
Dalam konteks Indonesia, sejarah militer sebenarnya tidak bisa dilepaskan
dari konteks sosiologis bangsa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa
lascar yang dibentuk oleh ummat Islam mentrasformasikan diri ke dalam Badan
Keamanan Nasional (BKN) yang kemudian terwujud dalam bentuk Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Tidak heran jika sosok Soedirman yag aktivis
Muhamadiyah menjadi tokoh cukup penting dalam sejarah militer Indonesia.
13
Adurahman Wahid, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma, No. 12,
Desember 1980), h. 65-71
73
Dalam perkembangannya, sebagaimana dalam sejarah militer pada
umumnya, terjadi tarik menarik antara militer dan ummat Islam. Dalam tubuh
militer sendiri terjadi perpecahan. Ada kelompok yang dekat dengan kaum
nasionalis, ada pula sebagian militer yang mendukung dan terlibat dalam
pemberontakan dengan mengatasnamakan Islam.
Pada awal Orde Baru, kalangan elit militer selalu bersikap hati-hati
bahkan mencurigai terhadap langkah politik ummat Islam, tetapi ada juga militer
yang berusaha memahami langkah ummat Islam. Kenyataan ini memperkuat
sejarah perjalanan militer di Indonesia yang selalu memiliki keterkaitan dengan
Islam walau dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarahnya, muncul militer-militer
yang secara personal memiliki perhatian dan kedekatan terhadap kelompok Islam
karena pemahamannya terhadap Islam itu sendiri. Kedekatan yang bersifat
personal itu sering mengalami subordinasi ke dalam system komando yang
menempatkan Islam sebagai kekuatan yang mengancam. Sehingga kedekatan
personal ini tidak banyak memiliki arti dan pengaruh bagi perubahan interaksi
antara militer dengan ummat Islam yang renggang.
Di dalam perkembangannya politik praktis, perkembangan Islam
sebenarnya mulai terlihat, hal ini bisa terlihat dari pembangunan atau penyediaan
tempat ibadah seperti mushalla dan mesjid di beberapa instansi pemerintah. secara
umum mulai ada perkembangan secara kuantitatif dalam aktivitas keagamaan jika
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam hal ini secara cultural Islam
masih menunjukan pengaruhnya. Realitas tersebut tidak serta merta
mencerminkan adanya pendekatan akomodatif, khususnya dari pihak militer
74
terhadap ummat Islam. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran agama dan nilai-
nilainya yang bersifat non-politik, militer tidak banyak ikut campur. Lain hal
dalam persolan yang bersifat politik militer tidak pernah memberikan ruang dan
tempat. Pembangunan tempat ibadah pun di instansi pemerintah tidak lepas dari
tuduhan Islam radikal. Hal ini sengaja diciptakan militer untuk memperlihatkan
kesan bahwa Islam memang merupakan sebuah ancaman bagi integrasi bangsa.
Pembicaraan tentang eksistensi ekstrim kanan komando jihad dan kegiatan
terorisme di Padang dan Medan semakin menghangat. Soedomo sebagai
Kaskopkamtib menuduh adanya Islam politik yang mendapat bantuan dana dari
Lybia. Sebuah tuduhan yang mengindikasikan adanya kesungguhan sekelompok
ummat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Tuduhan-tuduhan ini diiringi
dengan pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai aktivitas ummat Islam.
Setiap penceramah atau da’i terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pihak
keamanan sebelum menyampaikan isi ceramah pidatonya. Perlakuan yang refresif
semacam ini telah memancing kemarahan dan menimbulkan tindakan radikal
dikalangan ummat Islam. Jika dilihat dari sejarah kronologisnya, hal ini dapat
dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan radikalisme di kalangan ummat Islam.
Gerakan jama’ah Imran di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1980 yang kemudian
berlanjut dengan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla pada tanggal 28
Maret 1981 merupakan gerakan yang bercita-cita mendirikan Negara Islam.
Gerakan ini dapat ditanggulangi dan para pemimpin organisasi ini mendapat
hukuman mati.
75
Hal serupa terjadi pada kasus Tanjung Priok, peristiwa ini terjadi pada
tanggal 7 September 1984, hal ini dipicu oleh ketidaksopanan tingkah sikap
aparat keamanan, Hermanu terhadap sebuah tempat ibadah mushalla di Jakarta
Utara. Perilaku tidak etis ini memancing amarah masyarakat muslim dan
kekerasanpun terjadi yang pada saat itu keadaan memuncak seiring dengan
rencana pemerintah untuk menerapkan asas tunggal.
Kekerasan pun semakin berlanjut pada tanggal 24 Desember 1984 terjadi
peledakan gereja Katholik di Malang yang berlanjut pengeboman candi
Borobudur pada tanggal 21 Januari. Di Aceh pada tanggal 18 Mei 1987 muncul
pasukan berjubah serba putih yang menyebabkan terjadinya kontak senjata
dengan militer. Tindakan refresif lainnya diperlihatkan oleh militer pada tahun
1980, yaitu peristiwa Lampung yang dikenal dengan nama Jama’ah Mujahidin fi
Sabilillah di bawah pimpinan Warsidi. Tragedi ini pun kembali menimbulkan
korban jiwa. Berbagai tindakan dan gerakan radikal yang diperlihatkan ummat
Islam ini menjadi alat pembenaran bagi kalangan militer yang pada waktu itu
didominasi dari kalangan non-muslim dan abangan bersikap menekan represif
terhadap ummat Islam dan semakin terjadinya peminggiran dan semakin
renggangnya antara Orde Baru, militer dengan ummat Islam. Ummat Islam
dianggap sebagai kelompok mayoritas yang menjadi ancaman besar bagi
pemerintah dan militer apabila berkembang secara politik, hal ini yang
menjadikan persitiwa di atas terjadi. Sikap militer yang represif terhadap ummat
Islam tidak lepas karena dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan non-
muslim dan abangan seperti Ali Moertopo, Soedomo, dan L.B. Moerdiani mereka
76
adalah orang-orang yang dekat dengan Soeharto dan memiliki peran yang sangat
dominan dan strategis dalam pemerintahan Orde Baru dan secara langsung
mempengaruhi sikap militer terhadap ummat Islam. Di samping itu kepentingan
pemerintah yang menginginkan stabilitas Negara untuk program
pembangunannya dan ingin menjadi kekuatan single mayority.
Keadaan radikal yang dilakukan ummat Islam terjadi karena tingkat sikap
represif militer terhadap ummat Islam yang dirasakan sudah melewati batas.
Kekuasaan Negara yang semakin dominan ini telah memungkinkan militer yang
menjadi penyangga utamanya bisa bertindak keras terhadap setiap kelompok
khususnya ummat Islam yang dianggap mengancam kekuasaan dan keutuhan
NKRI. Atas tindakan represif militer inilah terjadi radikalisme yang dilakukan
sebagian ummat Islam yang berlangsung sampai 1990-an.
Pada awal tahun 1990-an terjadi pergeseran di dalam tubuh organisasi TNI
yang mulai memperlihatkan semakin terdesaknya Moerdiani. Dan perwira militer
muslim mulai menempati posisi strategis. Tahun 1993 ketika posisi Pangab
dipercayakan kepada Jenderal TNI Feisal Tanjung setelah ia dinilai cukup
berhasil melakukan penyelidikan sebagai Dewan Kehormatan Militer (DKM)
terhadap peristiwa kerusuhan Santa Cruz yang terjadi di Dili tanggal 12
November 1991 dan yang terlibat dan bertanggung jawab adalah orang binaan
Moerdani. Kemudian disusul posisi KSAD diserahkan pada Jenderal TNI R.
Hartono, munculnya Feisal Tanjung dan R.Hartono di dalam posisi strategis
militer dianggap sebagai kehadiran dua Jenderal santri. Dari kedua jenderal ini
hubungan Islam dan militer mulai berlangsung secara baik. Hal ini karena kedua
77
jenderal ini sangat dekat dengan berbagai kelompok Islam, baik NU dan
Muhammadiyah, maupun dengan kelompok Islam lainnya yang sebelumnya
dianggap sebagai ancaman kedaulatan Negara.
BAB IV
KEADAAN BARU HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER
A. Nilai-nilai Islam yang Bangkit dan Negara yang Rapuh
Awal tahun 1990-an muncul beberapa perubahan yang berlangsung dalam
kebijakan nasional baik itu tataran konstelasi politik budaya. Negara mulai
menerapkan keterbukaan politik yang selama ini represif terhadap umat Islam
yang sebelumnya menjadi kelompok yang di marginalkan. Dilain keadaan, para
cendikiawan muslim yang sejak awal tahun 1970-an bersamaan dengan
pembangunan politik yang dilakukan pemerintahan Orde Baru waktu itu mampu
membangkitkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam wacana-
wacana keislaman yang lebih terbuka yang dapat melampaui batas-batas
hubungan Islam politik. Keadaan baru dalam konstelasi politik Orde Baru ini
dengan sendirinya telah memperluas wilayah penyebaran nilai-nilai keislaman
yang universal. Umat Islam tidak lagi terjebak pada ideology Islam yang secara
politik hanya diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tetapi Orde
Baru telah meletakan nilai-nilai Islam secara universal yang bisa diwujudkan
dalam beragam bentuk wahana maupun lembaga dalam bentuk parpol yang tidak
bersifat monolitik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya dan organisasi
keagamaan. Walaupun dilain pihak Orde baru memperbatas wilayah Islam politik
yang lebih berorientasi pada tegaknya syariat Islam secara legal formal.
75
76
Perubahan yang terjadi ini tidak lepas dari peran serta para cendikiawan
muslim yang berhaluan modernis diantara tokoh itu adalah Nurcholis Madjid,
M.Amien Rais, M. Syafii Maarif, Abdurahman Wahid, Kuntowijoyo, Dawam
Rahardjo dan beberapa tokoh lainnya yang sejak awal telah memperjuangkan
tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang menekankan pada nilai-nilai
substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat
formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi
ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. Dalam bentuk
konkrit lainnya kebijakan NU untuk kembali ke khittah 1926 yang dicetuskan
dalam muktamar di Situbondo tahun 1984 yang memungkinkan tersalurkannya
suara dan aspirasi masyarakat NU di semua parpol yang lain yang memungkinkan
tersalurkannya aspirasi umat Islam semakin luas. Ini merupakan salah satu
konsekuensi logis yang positif dari pengembangan Islam yang lebih inklusif,
substantive dan bersifat cultural.1
Sehingga warga NU tidak lagi terpaku untuk
menyalurkan suaranya pada PPP sebagaimana pada tahun 1971-1977 dan awal
tahun 1982.
Kenyataan ini merupakan rangkaian dari proses alami dalam tumbuhnya
kesadaran yang berlangsung dalam diri umat Islam. Kesadaran ini bukan
merupakan hasil dari sudut pandang rekayasa Negara untuk memanjakan umat
Islam, melainkan proses panjang penyebaran nilai-nilai keislaman yang lebih
1 Keputusan NU untuk tidak menjadi partisan partai tertentu berdampak pada
menurunnya perolehan suara PPP yang sebelumnya banyak didukung oleh NU. Pada pemilu 1987,
pada perolehan PPP menurun dari 27,78% suara (23,50% kursi) pada pemilu 1982 menjadi 15,97% suara (15,25% kursi) pada pemilu 1987. Menurut para pengamat penurunan ini sebagai
akibat dari penggembosan yang dilakukan oleh NU terhadap PPP. R.William Liddle, Pemilu-
pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992
77
terbuka dan progresif. Sejak awal pertengahan tahun 1980-an fenomena
kebangkitan Islam mulai terlihat khususnya di pulau Jawa. Hal ini ditandai
dibeberapa wilayah Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pusat Islam Kejawen
mulai menunjukan Islamisasi yang sebenarnya. Sebuah kejadian yang tidak
pernah terlihat sebelumnya.2
Kegairahan umat Islam ini mulai menyebar dengan
sendirinya dan memperbesar munculnya sumberdaya manusia muslim yang
berkualitas. Banyak umat Islam yang mulai memasuki wilayah pemerintahan
dilembaga legislative dan eksekutif yang sebelumnya menjadi wilayah asing bagi
mereka. Golkar yang merupakan partai pemerintah dan sejak awal didominasi
oleh kelompok abangan dan non-muslim mulai banyak diwarnai oleh kelompok
Islam.3
Hal ini menyebabkan Negara tidak bisa lagi memperlakukan umat Islam
seperti masa-masa sebelumnya yang selalu diintimidasi dan dicurigai atas alasan
stabilitas Negara.
Pada tataran kebijakan pemerintah Orde Baru mengeluarkan keputusan
maupun peraturan yang mendukung terhadap keinginan umat Islam. Pada tahun
1988 disahkan undang-undang peradilan agama yang memberikan wewenang
pada peradilan agama untuk menangani masalah pernikahan dan warisan.
Kemudian pada tahun 1989 diumumkan undang-undang pendidikan nasional yang
memasukan mata pelajaran agama dalam kurikulum sekolah negeri. Pada tahun
1990 terbentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), kebijakan ini
dikeluarkan pemerintah menyangkut kebebasan siswa untuk memakai busana
2
Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 251 3
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES,
Agustus 1992), h. 158
78
pakaian muslimah jilbab pada tahun 1991. Lembaga pendidikan umum
memasukkan pendidikan agama dan memasukan kurikulum umum di sekolah-
sekolah agama. Hal ini terlebih dulu telah di awali oleh K.H. A. Wahid Hasyim
pada zaman kabinet Natsir tahun 1950-1951 dikeluarkan melalui peraturan No.
3/1950. Dalam hal ini, terbentuknya ICMI merupakan hal yang bisa menghapus
kesan negative yang ditunjukan pada umat Islam sebagai kelompok ekstrim
kanan. Kehadiran ICMI menjadi awal dari kebangkitan nilai-nilai keagamaan di
berbagai lapisan masyarakat baik di kalangan elit Orde Baru maupun di kalangan
militer. Sikap akomodatif pemerintah terhadap aspirasi umat Islam adalah
penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) pada tahun 1993.4
Dalam bidang ekonomi, pemerintah menetapkan badan amil zakat, infak, dan
sedekah sebagai lembaga pengumpul dan pendirian Bank Muamalat Indonesia
(BMI), sebuah lembaga keuangan yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam.
Perubahan ini menunjukan sebuah respon Negara terhadap perkembangan umat
Islam yang telah tumbuh dari proses panjang yang dijalani oleh umat Islam. ini
yang menjadi salah satu dari proses yang melahirkan perubahan dalam diri umat
Islam Indonesia yang berkenaan dalam pendidikan. John L. Esposito dalam
bukunya “Islam dan Politik” mengatakan, lembaga pendidikan yang ditempuh
oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran
dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama.
Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah
bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya
4
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 236
79
memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di
muka bumi.
Tahun 1990 adalah awal tahun terjadinya sejarah baru bagi umat Islam
Indonesia yaitu kedekatan umat Islam dengan Negara dan merupakan peristiwa
yang luar biasa di tengah keadaan pandangan politik yang cenderung memojokan
Islam. kedekatan ini menimbulkan pandangan analisa dari berbagai institusi dan
kalangan. Dari beberapa pandangan yang optimis dan pesimis yang menelaah
perubahan tersebut. Pertama, mereka yang menilai kedekatan tersebut lebih
disebabkan oleh factor proses yang alami yang melahirkan generasi muda muslim
yang lebih berwawasan luas dan lebih bersikap terbuka yang pada akhirnya
Negara bisa mengakomodir untuk menempatkan posisi strategis di dalam lembaga
eksekutif. Pandangan optimis ini tidak lepas dari pandangan yang melihat bahwa
kedekatan tersebut merupakan kelanjutan dari proses pembaruan pemikiran Islam
yang telah dibangun sejak awal. Pembaruan pemikiran yang dikembangkan oleh
para cendikiawan muslim modernis yang lebih menekankan aspek cultural telah
menghilangkan kecurigaan pemerintah terhadap umat Islam yang diidentikan
dengan gerakan kelompok radikal. Di samping itu, kepiawaian sikap berpolitik
umat Islam dalam menyesuaikan diri dengan keadaan politik pemerintah. umat
Islam berhasil membaca kesempatan yang ditawarkan oleh pemerintah untuk
aktip masuk di lembaga pemerintahan pusat kekuasaan.
Kedua, datang dari kalangan pesimis yang menilai kedekatan tersebut
sebagai sebuah rekayasa pemerintah untuk kepentingan mempertahankan
kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada pandangan seperti, kepentingan penguasa
80
pada saat itu untuk melebarkan kekuasaannya, simbol-simbol Islam yang dipakai
oleh pemerintah hanya strategi untuk mendapat dukungan politik dari umat Islam
sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya.5
Karena
rapuhnya kekuasaan Soeharto, yang disebabkan berkurangnya dukungan militer
terhadap kepemimpinannya. Oleh sebab itu, Soeharto memerlukan kekuatan baru
untuk memperkuat dan mempertahankan kekuatan system politiknya dan umat
Islam yang mayoritas di Indoensia menjadi pilihannya. Dukungan dari umat Islam
ini menjadi penting bagi Soeharto, karena ia mulai mengalami krisis dukungan.
Dalam sejarahnya, Negara di bawah pimpinan Soeharto pada akhir 1980-an
sedang berada dalam kebangkrutan yang disebabkan karena berkurangnya
dukungan dari institusi militer yang pada waktu itu menjadi pendukung utama
Soeharto. Hal ini karena L.B. Moerdiani yang selama ini menjadi pengaruh besar
dan memegang kendali militer melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan
Soeharto. Hal ini ditandai pada saat Sidang Umum MPR 1988 dimana dukungan
terhadap pencalonan yang mendahului terhadap calon yang akan diajukan dan
disetujui Soeharto, menjadi salah satu bukti dari adanya kerenggangan antara
Soeharto degan militer.
Kedua alasan optimis dan pesimis tersebut merupakan dua hal yang saling
terintegrasi dan tidak bisa terpisahkan. Karena kedua factor tersebut merupakan
hal yang saling mendukung yang memotivasi bagi munculnya kedekatan antara
umat Islam dengan pemerintahan Soeharto. perubahan hubungan dalam
perkembangannya yang terjadi di dalam umat Islam disambut dan berjalan
5 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,
Agustus 1999, hlm. 194. Baca juga I. Chalmers, “Introduction to this issue”, (Prisma, No. 49,
19900, h. 3
81
seirama dengan kepentingan pemerintahan Soeharto untuk mendapatkan
dukungan dari kalangan Islam. hal ini dikarenakan umat Islam telah tumbuh
pemikiran yang lebih terbuka dan pemerintah meresponnya.
B. Bergesernya Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an
Dalam tataran pandangan demokrasi, kekuasaan yang dikendalikan oleh
militer akan terpuruk ke dalam system otoriter. Oleh sebab itu, militer dengan
system komandonya merupakan dunia yang berdiri secara diametral dengan
demokrasi. Selama ada kekuasaan militer maka selama itu pula demokrasi akan
lumpuh. Di Indonesia, sejak bergulirnya tuntutan demokrasi dan penghargaan
terhadap hak asasi manusia yang dihembuskan oleh Negara maju bergulir seiring
dengan berakhirnya perang dingin. Tuntutan demokrasi yang begitu kuat telah
memaksa berbagai Negara untuk menata diri dan menyesuaikan dengan arus
perubahan besar itu termasuk Indonesia, yaitu adanya perubahan yang lebih baik
di dalam institusi militer. Perubahan yang terjadi adalah berkurangnya keterlibatan
militer dalam persoalan politik serta wilayah intervensi militer terhadap wilayah
sipil mulai menyempit.6
Di Institusi militer semakin banyak generasi-generasi
baru yang lahir dari lembaga pendidikan formal seperti Akabri, Akmil.
Kemunculan generasi baru ini membawa perubahan dinamika politik militer, hal
ini dikarenakan dalam dunia pendidikan militer terdapat factor kognitif dan afektif
sama seperti institusi pendidikan universitas yang bisa mempengaruhi pola
tingkah laku dan sikap setiap individu. Banyak nilai-nilai kepemimpinan yang
diajarkan dalam pendidikan Akabri/Akmil baik itu nilai-nilai budaya lokal Jawa
6 www.asiaweek.com edisi 20 Januari 1995. “No More Coups? Across Asia, the Rise of
Democracy Is Changing the Military”
82
maupun tentang kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam Islam dan para Nabi-
nabi pada umumnya termasuk para panglima perang Islam setelah Muhammad
saw. Pola pendidikan yang dikembangkan Akabri/Akmil tidak lepas dari budaya
lokal Indonesia dan penekanan pendidikan spiritual bagi kalangan militer,
kegiatan tersebut dilakukan sebagai ekstrakurikuler yang dilakukan setiap habis
melaksanakan shallat 5 (lima) waktu yang dilakukan oleh para senior militer dan
pengajian berkala yang mendatangkan pengajar/penceramah dari luar kalangan
militer. Hal ini untuk menumbuhkan militer yang mengerti nilai-nilai keislaman
yang tumbuh bersama nilai-nilai kultural dalam setiap individu prajurit, walau
demikian terjadi penekanan pada kepentingan Negara yang dimotori Orde Baru
tertanam sangat dalam pada diri militer, sehingga terjadi paradoksalitas di dalam
institusi militer yang berakibat sikap militer dikendalikan oleh Soeharto selaku
pemegang kekuasaan yang terlihat dari keterlibatan militer santri dalam operasi
militer yang sangat bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai keislaman yang
menekankan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Generasi baru militer yang menempati posisi strategis baik sebagai
perwira menengah dan tinggi pada tahun 1990-an lebih professional dalam
memposisikan diri dan jabatannya. Hal ini berbeda dengan militer angkatan 45
yang tercermin dari sikap penyelesaian masalah angkatan 1945 lebih berpikir
instan tanpa mempertimbangkan dampak akibat yang akan muncul di lain waktu
dan hal ini dikarenakan dari keadaan pragmatis dan fleksibelnya angkatan militer
1945 yang berlainan visi, misi dan pandangan dengan generasi militer 1990-an.
Hal ini didasarkan pada sebuah proses alamiah di dalam masyarakat langsung.
83
Militer angkatan 1945 tidak lahir dari tempaan sekolah formal tetapi hasil dari
sebuah bagian langsung bersama masyarakat melawan penjajah.
Generasi militer tahun 1990-an yang memiliki posisi strategis adalah
militer yang berasal dari keluarga muslim. Hal ini tidak lepas dari perubahan
sikap dari sebagain umat Islam di seluruh Indonesia yang memasukan anak
mereka ke lembaga institusi pendidikan militer. NU pada tahun 1968
mengeluarkan himbauan bagi kalangan muda NU untuk masuk dunia militer.
Karena fasilitas yang disediakan lembaga pendidikan militer dijamin oleh Negara,
di samping itu juga peran strategis militer dalam konstelasi politik nasional.7
Hal
ini karena sejak awal dilaksanakannya pendidikan militer secara formal terjadi
minat yang tinggi dari masyarakat untuk masuk pendidikan militer.
Banyaknya taruna-taruna militer yang lahir berkepribadian religius tidak
lepas dari latar belakang keluarga dan di topang ketika menjalani pendidikan
keagamaan di lembaga militer yang intensif baik sebagai materi intra dan ekstra
kurikuler. Diantara taruna Akmil yang memiliki ketertarikan dan komitmen
terhadap masalah keislaman adalah Jenderal TNI R. Hartono, Jenderal TNI Feisal
Tanjung,Letjen TNI Syarwan Hamid, dan Letjen TNI Hendropriyono. Mayjen
TNI Syamsul Ma’arif,8
Mayjen Kivlan Zen,9
Mayjen TNI Muchdi PR,10
Mayjen
7
Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta:
LKiS, 1999), h. 152 8
Syamsul Ma’arif menjabat Staf Pengamanan (SPAM) TNI AD di Jakarta (1993),
Koordinator Staf Pribadi Pangab/Sekretaris Pangab (1994), Danrem (Surabaya) termuda
diseluruh Indonesia (1995), Kasdam V/Brawijaya (1997), dan Gubernur Akmil (1998),
www.tni.mil.id 9
Jabatan yang pernah dijabat adalah Kasdam VII/Wirabuana (1996), Kepala Staf
Kostrad (1997), dan Koordinator Staf Ahli KSAD (1998). www.tni.mil.id 10
Alumni Akabri 1970 pernah menjabat Kasdam V/Brawijaya (1996), Pangdam
VI/Tanjungpura (1997), Komandan Jenderal Kopassus (1998). www.tni.mil.id
84
TNI A Rahman Gaffar,11
Letjen TNI Suadi Marasabessy,12
Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsuddin,13
Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim. Para jenderal ini menempati
posisi-posisi yang sangat strategis menggantikan posisi yang dulu dipegang oleh
kelompok L.B. Moerdiani. Selain dari para Jenderal tersebut lahir dari latar
belakang keluarga dengan dasar keagamaan yang cukup agamis, ada juga
sebagian prajurit militer yang meminati semangat keagamaan yang tumbuh pada
saat mengikuti pendidikan di Akmil, Akabri seperti Letjen Prabowo Subianto.14
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama menjadikan umat
Islam sebagai penduduk yang mayoritas, hal ini memberikan kesempatan yang
sangat luas untuk aktif di berbagai lembaga Negara termasuk institusi militer.
Umat Islam Indonesia memiliki kesempatan terbesar untuk masuk institusi militer.
Sedangkan untuk suku yang memiliki porsi terbanyak masuk institusi militer
adalah suku Jawa.
Militer sangat terikat dengan sumpah Sapta Marga dan sumpah prajurit.
Tampilnya militer yang memiliki latar belakang agama Islam yang kuat tidak
sendirinya memperlakukan umat Islam secara istimewa. Keberadaan umat Islam
dijadikan sebatas mitra dalam ikut serta menjaga stabilitas Negara. Gerakan-
gerakan yang berbau separatis dan pendirian lembaga organisasi di luar ideology
Pancasila tidak akan mendapat jalan. Kondisi politik Orde Baru dan kebijakan
Negara yang sentralistik telah meletakan militer santri sekalipun dalam lingkaran
11 Menjabat Kasdam VIII/Trikora (1996), dan Pangdam I/Bukit Barisan (1997)
12 Alumni Akabri 1971 pernah menjabat Asisten Operasi Kasdam IV?Diponegoro, Wakil
Asisten Operasi Kasum ABRI, Asisten Operasi KSAD (1997), Pangdam VII/Wirabuana (1998).
www.tni.mil.id 13
Sebagai Pangdam Jaya (1997). Sebelumnya komandan Paspampres. www.tni.mil.id 14
www.jawapos.com edisi Maret, 1998
85
yang sama. Militer menjadi kunci yang sangat menentukan bagi keberadaan
sebuah parpol dan ormas, LSM yang ada di masyarakat dan menjadi kekuatan
penekan kedaulatan rakyat.15
Keberadaan militer santeri memang akan memiliki
pengaruh terutama terhadap keberadaan umat Islam, tetapi sebagai militer mereka
akan tetap berpegang teguh pada saptamarga dan sumpah prajurit. Oleh sebab itu,
kebijakan mereka bertindak sebagai militer, bukan sebagai santeri. Bahwa dalam
melaksanakan tugasnya latar belakang keagamaan tidak memiliki keterkaitan
yang ketat dalam diri militer. Tentara tetap tentara yang akan menjalankan tugas
dan ajaran agamanya. Oleh sebab itu bukanlah sesuatu yang aneh apabila tentara
yang muslim rajin shallat.16
Pandangan tersebut memperjelas posisi militer sebagai sebuah lembaga
dengan agama Islam sebagai keyakinan yang bersifat personal dan perorangan.
Tugas kemiliteran adalah tugas kelembagaan, sementara agama adalah panduan
yang bersifat personal yang memungkinkan setiap indivu, tanpa mengenal kelas
dan status sosial, memahami dan merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari
mereka merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang ada dan system politik
yang dibangun oleh pemerintahan. Hanya saja secara kebetulan budaya mereka
sama-sama berasal dari muslim. Hal ini yang menyebabkan kedekatan militer
lebih bersifat persuasif agar umat Islam tidak menjadi radikal yang menyebabkan
disintegrasi bangsa.
Ada penekanan keagamaan dalam penanaman saptamarga dan sumpah
prajurit. Setiap militer dituntut untuk menjadi penganut agama yang fanatik, yaitu
15
Benedict Anderson, Takashi S, dan Jams T. Siegel, “The Indonesia Military in the Mid-
1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia, No. 63, April 1997. h. 104 16
William Liddle dan Sayidiman Soerjohadiprodjo, Gatra, 18 Februari 1995, h. 23
86
menjalankan ajaran agama begitupun tampilnya militer muslim yang sering
diistilahkan militer hijau, merupakan refleksi dari usaha militer untuk
menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Agama bagi militer bukan berarti
sesuatu sepintas lalu. Namun demikian bukan berati militer ingin
mencampuradukan persoalan tentara dengan agama. Agama merupakan penuntun
bagi setiap pribadi, sementara sapta marga adalah panduan kelembagaan militer
yang secara keseluruhan yang melintasi batas keagamaan, baik itu Islam, Kristen,
Budha, Hindu dan agama lainnya. Hal ini berarti ada titik kesamaan antara satu
agama dengan agama lainnya dalam mendekati masyarakat.17
C. Hubungan Islam dengan Militer
Terjadinya perubahan hubungan antara Islam dengan militer pada masa
Soeharto tahun 1990-an yang dimulai dengan pertentangan di jajaran elit militer
mendorong Soeharto untuk melakukan rekonsiliasi dengan kelompok Islam dan
mengalihkan control militer dari tangan Moerdiani ke bawah kendali Soeharto.
Pergeseran Moerdiani ini lebih disebabkan oleh langkah-langkah yang
dioperasikan Moerdiani bertentangan dengan apa yang diketahui Soeharto.
Langkah Moerdiani tersebut akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Soeharto
karena Moerdiani memegang kendali militer pada saat itu. Oleh sebab itu, kendali
tersebut harus diambil alih untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa.18
Ada pergeseran posisi umat Islam dibandingkan dengan massa sebelumnya dari
17
Jenderal TNI (Purn.) R. Hartono, “Apa Saya Terlalu Mengerikan,” Tajuk, No. 23,
Tahun I, 6 Januari 1999, h. 29 18 Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesia Armed Forces and
Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrester (Editor), Post-Soeharto Indonesia,
Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999
87
posisi pinggiran ke tengah kekuasaan, begitu juga pada jajaran militer. Dengan
sendirinya kelompok abangan sedikit demi sedikit tersingkir dari arena kekuasaan,
setelah sekian lama menguasai. Pergeseran pejabat Negara yang abangan atau
non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi dalam militer. Beberapa jabatan
penting lainnya yang juga mengalami pergeseran posisi di kabinet. Diantara
mereka yang tergeser adalah menteri keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro,
J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian
dikenal dengan sebutan RMS, juga Soedomo. Sejak awal tahun 1990-an posisi
strategis militer ditempati oleh personel yang memiliki latar belakang keislaman
yang cukup kuat dan peduli khususnya terhadap umat Islam.19
Pergeseran di institusi militer pada awal tahun 1990-an merupakan
naiknya militer santri dan berkurangnya dominasi militer abangan atau Kristen.
Pada masa sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak
mendapatkan posisi jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan
kalangan militer terhadap kelompok Islam. Seiring dengan adanya perubahan
sikap Soeharto terhadap umat Islam, militer santeri mulai menempati posisi
strategis. Namun demikian, penggunaan istilah militer hijau yang diidentikan
dengan Islam sering dinilai secara sempit yang kemudian dihadapkan dengan
istilah militer merah putih yang seakan menunjukan nasionalisme. Dilihat dari sisi
sumpah prajurit yang berlaku bagi militer hijau dan merah putih maka hal ini
sangat sulit untuk menerima adanya pengelompokan kedua faksi dalam militer.
Militer merupakan kedua kekuatan sosial politik yang sarat dengan muatan politik
19
Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”, h. 159
88
dan kepentingan, baik bagi faksi hijau atau merah putih sama-sama berdiri di atas
kepentingan politiknya. Hanya saja pada tahun 1990-an, militer yang memiliki
latar belakang keluarga muslim menempati posisi-posisi strategis. Faksi hanyalah
bagian dari kenyataan faksi kepentingan, antara mereka yang punya posisi dan
yang tersingkirkan. Di tengah naiknya posisi militer santeri, beberapa peristiwa
pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan tindak kekerasan masih berlangsung.
Beberapa peristiwa yang menunjukan catatan pelanggaran HAM adalah
penyerbuan gedung PDI pada tanggal 27 Juli 1996. Penyerbuan ini melibatkan
militer yang waktu itu dipegang dari militer santeri. Peristiwa lainnya yang
mengundang dunia internasional adalah penculikan terhadap aktivis-aktivis pro
demokrasi. Penculikan yang dilakukan menjelang pemilu 1997 ini merupakan
rangkaian dari operasi militer untuk mengamankan kekuasaan Soeharto dengan
memenangkan Golkar sebagai kekuatan mayoritas dalam pemerintahan.
Terjadinya kerusuhan Liquisa, Timor-Timur pada tanggal 12 Januari 1995 dan
kerusuhan di daerah lainnya.
Naiknya militer santeri tidak menjadikan jaminan bagi keberlangsungan
proses kehidupan yang lebih aman dan demokratis. Militer tetap menjadi alat
kekuasaan dan mendukung penguasa dengan segala cara. Dalam konteks ini, yaitu
dalam konteks politik, maka persoalan agama tidak lagi menjadi memberi
makna.20
Menurut catatan mantan Aster KSAD, Mayjen Saurip Kadi, dalam
rentang waktu delapan tahun (dari tahun 1990 sampai Mei 1998) terjadi kurang
lebih 20 aksi kekerasan yang melibatkan elit militer (TNI-AD) baik secara
20
Saurip Kadi, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli
2000), h. 47
89
langsung maupun tidak langsung terhadap massa, baik mahasiswa, buruh, maupun
masyarakat sipil lainnya. Dua puluh kasus ini hanya yang terekspos secara
nasional, sementara kasus-kasus lain yang tidak terekspos bisa melebihi jumlah
tersebut. Yang menjadi persoalan bukan pada jumlah, tetapi lebih pada dampak
dari aksi kekerasan yang melahirkan luka dan menempatkan manusia secara
diskriminatif. Oleh sebab itu, muncul pandangan bahwa segala langkah yang
diambil oleh militer adalah bagian dari operasi penguasa untuk kepentingan
penguasa.
Keislaman militer sulit dijadikan indikator sebagai pengamalan dari
system nilai-nilai Islam yang melekat pada dirinya di tengah system kekuasaan
yang sentralistik. Salah satu cara untuk memahami secara objektif dan eksplisit
kesadaran kultural yang tumbuh di dalam diri militer menyangkut pelaksanaan
ajaran Islam, bisa dilihat pasca lengsernya Soeharto. Semangat keislaman yang
terus berlangsung di lingkungan militer sampai saat ini bisa dipahami bahwa
pelaksanaan ajaran Islam yang merupakan sebuah kesadaran yang tumbuh secara
kultural di dalam diri militer, demikian juga hubungan militer dengan umat Islam.
Semakin terlihat tipisnya jarak diantara militer dengan umat Islam saat ini
menunjukkan tidak adanya kendala yang berat antara keduanya. Kenyataan ini
tidak lepas dari semakin banyak militer yang berstatus muslim dan menempati
posisi-posisi komando yang terus berlangsung dalam proses seleksi di dalam
institusi militer sampai era reformasi sekarang ini. Ini membuktikan bahwa
keislaman yang tumbuh di dalam diri militer bukan merupakan sebuah rekayasa
untuk kepentingan politik status quo maupun saat ini.
90
D. Keadaan Baru Hubungan Islam dan Militer
Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman,
muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun 1990-
an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini merupakan
bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di berbagai tempat maupun
lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan pemerintah, telah banyak
berdampak dalam institusi militer. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai
agama radikal dan mengancam integrasi, tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa
menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan
Orde Baru.
Perubahan kepimpinan strategis yang terjadi di institusi TNI pada awal
tahun 1990-an merupakan kejadian perubahan yang sangat menarik dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya. Pergeseran kepemimpinan yang terjadi
memunculkan banyak pandangan tentang adanya faksi di institusi TNI. Faksi ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari pertentangan pada tingkat elit militer
antara kelompok Cilangkap yang dikendalikan oleh L.B. Moerdani dengan
Soeharto. Pertentangan antara keduanya mulai terlihat sejak pemilihan wakil
presiden pada SU MPR 1988. Militer waktu itu mencalonkan nama lain dari yang
dikehendaki Soeharto. Langkah dan kebijakan Moerdani yang berbeda dengan
kekuasaan ini menjadi salah satu faktor penyempitan peran Moerdani di dalam
institusi militer. Faksi ini dikaitkan dengan naiknya peran militer santeri dan dilain
pihak berkurangnya dominasi militer dari kalangan abangan/Kristen. Pada masa
sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak mendapatkan posisi
91
jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan sebagian kalangan TNI
terhadap kelompok Islam. Dalam perkembangannya dengan adanya perubahan
sikap Soeharto terhadap umat Islam, para perwira TNI santeri mulai menempati
jabatan strategis dalam institusi TNI.
Dalam konteks peran posisi jabatan, pergeseran ini merupakan ancaman
bagi kelompok abangan dan non-muslim yang telah lama mengendalikan militer.
Pergeseran ini telah melahirkan kekecewaan yang kemudian memunculkan isitilah
militer hijau yang identik dengan Islam yang eksklusif dan radikal dengan militer
merah putih yang identik dengan kelompok nasionalis. Adanya faksi di dalam
institusi TNI bisa dilihat dari pandangan mereka terhadap keberadaan Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Dalam hal ICMI ini, sebagian militer
menyatakan dalam ketidaksetujuan sikapnya terhadap keberadaan ICMI. Menurut
mereka, ICMI merupakan organisasi yang mengarah pada eksklusivitas dan
sektarian. Keberadaan organisasi tersebut bisa mengarah pada diferensiasi sosial
berdasarkan keberadaan agama yang pada akhirnya akan membangkitkan
kecurigaan di antara umat beragama. Diantara militer yang tidak setuju dengan
keberadaan ICMI adalah Letjen Harsudiono Hartas. Menurutnya ICMI merupakan
organisasi yang tidak nasionalis dan menjadi tantangan potensial bagi Pancasila
dan militer. Organisasi yang berlabel agama ini, menurut Letjen Harsudiono
Hartas, menyerupai sebuah parpol dengan label keagamaan yang bisa digunakan
untuk mencapai kepentingan golongan tertentu.21
21 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia, Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance, (London: Routledge, 1995), h. 138
92
Pertentengan kedua kelompok militer ini terfokus pada kepentingan
kekuasaan di dalam institusi militer. Bagi kalangan militer santri, dikotomisasi
tersebut dianggap sebuah upaya penyempitan peran militer dari kepentingan
nasional menuju kepentingan kelompok Islam. Di lain pihak ada kalangan militer
yang bersikap positif terhadap kehadiran ICMI. Di antara mereka adalah Jenderal
R. Hartono dan Jenderal Feisal Tanjung. Sejak pendirian ICMI di Malang, sikap
Jenderal R. Hartono terhadap ICMI sangat akomodativ, begitu juga dengan
Jenderal Feisal Tanjung yang memperlihatkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh
ICMI dan memberikan ruang bagi keberadaan organisasi ICMI. Faksi ini
kemudian menguat menjadi istilah kelompok militer hijau yang mengacu pada
kelompok pro ICMI (Habibie) dengan kelompok merah putih yang tidak setuju
terhadap akselerasi yang dilakukan Habibie melalui ICMI.22
Dalam hal ini tidak
tertutup kemungkinan Habibie ikut andil dalam pergeseran di tubuh militer yang
semakin menyempitkan peran kelompok militer Moerdani. Sangat wajar apabila
kelompok Moerdani tidak suka dengan berbagai langkah yang diambil oleh B.J.
Habibie yang menjadi anak emas Soeharto. salah satu bukti ketidaksukaan
Moerdani terhadap Habibie ditunjukan oleh sikap Moerdani pada pemilu 1992
ketika ia mencalonkan Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Hal ini dilakukan
Moerdani karena pada waktu itu ada indikasi bahwa Soeharto akan mengangkat
Habibie menjadi wakil presiden. Hal lain yang menjadikan menyempitnya peran
militer Moerdani adalah peristiwa Santa Cruz, Dili, Timor-Timur yang terjadi
pada tanggal 12 November 1991. Tragedy ini mengundang reaksi dunia
1995
22 Ulf Sundhaussen, “ABRI Ada Banyak Perubahan”, Tiras, No. 4, Tahun I, 23 February
93
internasional dan secara tidak langsung merupakan ancaman bagi posisi Soeharto
selaku presiden sekaligus panglima tertinggi militer. Kejadian tersebut berimbas
pada dihentikannya berbagai bantuan internasional, khususnya bantuan yang
terkait dengan militer. Amerika Serikat yang sebelumnya mendukung integrasi
Timor-Timur ke Indonesia berbalik mendukung terhadap kemerdekaan Timor-
Timur. Amerika Serikat menghentikan bantuan program International Military
Education and Training (IMET) yang sejak lama diberikan bagi para militer
Indonesia. Tidak cukup sampai disitu, Amerika Serikat berusaha menghalangi
setiap usaha Negara-negara lain bekerjasama dalam masalah kemiliteran dengan
Indonesia.23
Salah satunya adalah Amerika Serikat mencegah kerjasama militer
dengan Indonesia dengan memberikan himbauan kepada Yordania untuk tidak
menjual pesawat tempur F-5 kepada Indonesia.
Peristiwa tragedy Santa Cruz yang terjadi merupakan bagian dari
tanggungjawab militer yang waktu itu masih di bawah kendali Moerdani sebagai
Menhankam, secara langsung berdampak pada posisi Soeharto, hal ini
menyebabkan kekecewaan Soeharto terhadap militer saat itu yang dianggap gagal
meredam gejolak yang terjadi di masyarakat. Untuk menyelesaikan persoalan ini,
Soeharto menyetujui dibentuknya Dewan Kehormatan Militer (DKM) yang terdiri
dari Sembilan anggota dan diketuai oleh Mayjen Feisal Tanjung. Dewan
Kehormatan Militer yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan KSAD Nomor
Skep/509/XII/1991, tanggal 31 Desember 1991 ini beranggotakan Sembilan
personel berpangkat mayor jenderal, yaitu Feisal Tanjung (ketua), Setiana (Wakil
h. 185
23 Indria Samego, “…Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet. II,
94
Ketua), Toni Hartono (Sekretaris) merangkap anggota, Sutopo (anggota),
Suparman Ahmad (anggota), Surjadi Sudirdja (anggota), Soewardi (cadangan),
dan Soetedjo (cadangan).24
Hal ini semakin memperjelas adanya konflik di dalam
institusi TNI antara kelompok Soeharto dengan kelompok Moerdani yang
menyebabkan pergeseran kepemimpinan militer akibat peristiwa Santa Cruz.
Pergeseran peran Moerdani ini lebih disebabkan oleh langkah-langkah
yang dioperasikan Moerdani bertentangan dengan apa yang diinginkan Soeharto.
Langkah Moerdani tersebut akan menjadi ancaman bagi pemerintahan Soeharto
karena Moerdani memegang kendali militer pada waktu itu. Oleh sebab itu,
kendali tersebut harus direbut untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa.
Hal ini menyebabkan Soeharto melakukan langkah rekonsiliasi dengan kelompok
Islam dan mengalihkan kontrol militer dari tangan Moerdani ke bawah kendali
dirinya sendiri.25
Terjadinya konfrontasi antara Soeharto dengan Moerdani menyebabkan
pergeseran posisi umat Islam bila dibandingkan dengan masa sebelumnya dari
posisi umat yang terpinggirkan merangkak ke tengah kekuasaan, termasuk dalam
jajaran institusi TNI. Sejak awal tahun 1990-an posisi strategis TNI ditempati
oleh perwira yang memiliki latar belakang keislaman yang cukup kuat dan
memiliki kepedulian terhadap umat Islam. Pergeseran kekuasaan dari aparat
Negara yang berstatus abangan/non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi
dalam militer. Beberapa jabatan penting lainnya yang mengalami pergeseran
24
Kompas, 3 Januari 1992 25 Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and
Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor), Post-Soeharto Indonesia,
Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999
95
posisi di kabinet, di antara mereka yang mengalami pergeseran adalah menteri
keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank
Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian dikenal dengan sebutan RMS, terahir
Soedomo.26
Sejak awal, alur militer dengan system komandonya tidak sepenuhnya
solid. Ada bentrokan kepentingan yang berbeda di dalam institusi militer, baik
dalam satu korps angkatan maupun di luar korps antara angkatan darat, laut, dan
udara (AD, AL, AU). Selama pemerintahan Orde Baru, faksi-faksi ini diredam
sehingga masyarakat melihat Abri/TNI selalu dalam keadaan kompak menyatu
dalam system komando. Pengelompokan faksi dan perbedaan pandangan yang
terjadi dalam institusi militer adalah suatu proses keberagaman dan merupakan
sebuah proses alami yang tidak bisa di hindari. Keadaan ini menjadi keuntungan
juga agar dapat mencairnya ‘totalitarianisme” yang dengan sendirinya akan
memberikan peluang adanya perbedaan pandangan bagi setiap orang dan di
kalangan militer yang selama ini terikat penuh dalam system komando yang
dikendalikan langsug oleh panglima tertinggi Abri/TNI, presiden. Di balik sisi
positif ada hal negative, keberadaan faksi bisa berakibat pada melemahnya
komitmen pada kepentingan dan keamanan nasional yang bisa menjadi
kepentingan perorangan dan kelompok tertentu. Pada ahirnya rakyat sipil yang
menjadi korban dari pertikaian faksi elit-elit militer. Umat Islam yang menjadi
korban terbesar dan paling dirugikan di bidang politik, ekonomi, sosial dan
26 Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”….. h. 159
96
budaya dari praktik menyimpang konflik kelompok militer tersebut dikarenakan
umat Islam mayoritas rakyat Indonesia.
Kehadiran perwira militer muslim dengan latar belakang tersebut telah
memperkuat adanya faksi di dalam institusi TNI. Munculnya istilah militer hijau
dan militer merah putih hanya memperkuat adanya pengelompokan kepentingan
di dalam institusi TNI/ABRI. Sedangkan dalam praktiknya baik itu militer
abangan maupun militer muslim tetap menjadi kendaraan Soeharto untuk
kepentingan kekuasaannya. Mengambil dari Moerdani untuk mengalihkan kontrol
terhadap militer dengan cara melakukan pergeseran yang menyeluruh. Dalam
sejarahnya, penggantian yang berlangsung di dalam institusi militer pada awal
tahun 1990-an merupakan pergeseran kepemimpinan yang terbesar dan
menyeluruh dalam sejarah militer Indonesia. Sejak bulan Juli 1989 sampai Januari
1992 terjadi 92 pergantian di dalam institusi militer baik di tingkat pusat, kodam
maupun korem.27
Tampilnya militer TNI muslim di jajaran strategis disebabkan
oleh dua factor. Pertama, proses pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam
sudah memasuki masa menghasilkan kader-kader, begitu juga yang memasuki
akademi militer Negara seperti Akabri, Akmil. Sejak akhir tahun 1980-an sampai
tahun 1990-an prajurit TNI muslim yang memiliki latar belakang keislaman mulai
memasuki level kepangkatan perwira menengah (Mayor, Letkol, colonel) dan
perwira tinggi (Brigjen, Mayjen, Letjen, Jenderal TNI) kepangkatan tersebut
terkait dengan posisi strategis yang masing-masing mereka pimpin dalam institusi
militer. Hal ini dikarenakan generasi militer yang masuk menempuh pendidikan
27
Benedict Anderson (Editor), “Current Data on the Indonesian Military Elite”, (July 1,
1989-January 1, 1992)”, Indonesia, No. 53, April 1992
97
militer pada awal tahun 1970-an, pada awal 1990-an sudah secara normal
memasuki jenjang kepangkatan perwira menengah dan tinggi. Kedua, tidak lepas
dari kepentingan penguasa pada saat itu yaitu Soeharto sebagai panglima tertinggi
militer untuk menaikan militer muslim menggantikan posisi militer abangan/non-
muslim yang sebagian besar sudah memasuki masa-masa pensiun dan perbedaan
kepentingan antara kelompok Moerdani yang sudah berbeda pandangan dengan
Soeharto. Maka Soeharto harus mengalihkan kontrol militer dari Moerdani ke
tangannya sendiri agar bisa tetap mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan
Orde Barunya dengan memberikan jabatan strategis pada perwira TNI berlatar
belakang muslim.
Secara sudut pandang budaya, prajurit TNI muslim memiliki sudut
pandang dan pengalaman yang berbeda dengan militer abangan/non-muslim
dalam menilai umat Islam. Pada umumnya militer dari kalangan abangan/non-
muslim memiliki pandangan dan penilaian yang sangat mencurigai umat Islam
dan selalu menampilkan Islam dengan kesan sebagai agama yang radikal yang
mengancam kesatuan Negara republik Indonesia (NKRI), berbeda dengan para
prajurit TNI muslim mempunyai pandangan yang berbeda dari kelompok
abangan/non-muslim. Kalaupun ada kecurigaan diantara prajurit TNI muslim
terhadap umat Islam lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
abangan/non-muslim. Hal itu didasarkan karena prajurit TNI muslim menyadari
ajaran Islam merupakan suatu agama yang mengajarkan untuk mencintai tanah air
karena itu merupakan bagian dari iman. Mereka mempersepsikan Islam sebagai
agama yang membawa rahmat dan memiliki kesamaan dengan misi militer.
98
Kalaupun dalam sejarahnya sempat terjadi perseteruan antara kelompok muslim
dengan militer, mereka memahami sebagai akibat dari ulah pihak ketiga yang
memiliki agenda-agenda dan kepentingan tersendiri.28
Feisal Tanjung
menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam sebagai penduduk yang
mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu,
militer dan umat Islam lah yang paling menderita bila terjadi malapetaka.
Tampilnya militer yang berlatar belakang muslim muncul secara
bersamaan dengan keinginan Soeharto untuk mendekati umat Islam. Keadaan ini
tidak langsung memberikan harapan yang jauh lebih baik bagi perkembangan
hubungan sipil-militer di Indonesia. Perubahan kepemimpinan di institusi militer
yang menghasilkan kedekatan baru antara militer Negara dengan masyarakatnya
yaitu umat Islam masih hanya sebatas pada hubungan formal dan simbolis, yaitu
sebuah hubungan yang bersifat silaturahmi/personal antara elit militer dengan elit
muslim tanpa menghasilkan dan mempengaruhi tataran kebijakan hubungan sipil-
militer. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa elit militer diantaranya Feisal
Tanjung kedekatannya dengan pengurus Muammadiyah, R. Hartono dekat dengan
kalangan ulama NU, Hendropriyono dekat dengan orang-orang mantan tahanan
politik Islam yang dibebaskan yang tergolong muslim radikal. Prabowo yang
dekat dengan pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berawal
dari inisiatif Prabowo pada akhir 1980-an untuk mendekati tokoh-tokoh muslim
guna mendorong umat Islam maju ke dalam percaturan pemerintahan, hal ini
didasarkan pada mayoritasnya umat Islam di negeri ini, umat Islam seharusnya
28
Feisal Tanjung, ABRI-Islam Mitra Sejati, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 68
99
mendapatkan posisi yang proposional dalam pentas politik Indonesia. Kedekatan
ini secara formal memperlihatkan sebuah keadaan baru dalam tradisi budaya
militer Indonesia yang berhasil meyakinkan kedekatannya dengan umat Islam
sebagai kedekatan sesama muslim dan satu akidah.
Secara kelembagaan militer memiliki kebijakan yang mulai mengurangi
kecurigaannya dan secara bersamaan mengurangi pendekatan represifitasnya
terhadap berbagai lapisan masyarakat khususnya terhadap umat Islam. secara
emosional kultural di tiap personal. Dengan naiknya militer santeri ke dalam
jabatan strategis telah mempererat hubungan antara umat Islam dengan militer.
Kehadiran mereka telah memberikan opini terhadap umat Islam untuk menerima
hubungan dengan militer kearah yang lebih baik dari sebelumnya kerenggangan
hubungan yang pernah terjadi.
Perubahan yang terjadi dalam perkembangan muslim dengan militer tidak
lepas dari kultur yang sama-sama berasal dari status muslim, munculnya Feisal
Tanjung dan yang memiliki latar belakang muslim yang lekat dengan organisasi
Muhammadiyah dan para elit perwira lainnya dalam jajaran elit militer telah
mengurangi kecurigaan terhadap Islam. Hal ini dikarenakan bahwa Islam
bukanlah ancaman sebagaimana dipersepsikan oleh kelompok abangan/non-
muslim. Para elit militer memahami langsung ajaran Islam yang sesungguhnya
dari apa yang telah dipelajari oleh setiap masing-masing individu tentara mulai
dari prajurit sampai perwira tinggi yang tidak lepas dari peran keluarga mereka.
Ini yang menjadi garis besar dalam menelaah hubungan antara Islam dengan
militer di Indonesia pada dekade 1990-an. Nilai-nilai keislaman di institusi militer
100
hanya sebatas pada kultur. Keislaman belum menjadi bagian dari system militer,
dan tidak akan pernah menjadi bagian dari aktivitas institusi maupun
kelembagaan. militer sesuai dengan saptamarga dan sumpah prajurit tidak akan
pernah mentolerir keinginan pembentukan Negara Islam. Hal ini sesuai dengan
slogan “Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) harga mati”.
Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan
umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan system
politik pada saat itu yang menghendaki umat Islam sebagai kelompok yang
marginal dan terbuang. Kedekatan hubungan yang dilakukan militer ditanggapi
dengan proposional oleh kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah
(melupakan masa lalu yang penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara
militer dan umat Islam membangun cita-cita bangsa. Militer tidak lagi memahami
Islam sebagai agama radikal dan mengancam NKRI, melainkan suatu ajaran yang
bisa menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah
secara bersama-sama.
Pada waktu kedepannya yang akan datang kedekatan hubungan antara
militer dengan umat Islam sebagai proses alami dari keduanya akan banyak
ditentukan oleh keseriusan militer untuk mereformasi, meredefinisi, dan
mereposisi dirinya dari sebagai alat penguasa (pretorian) menjadi alat keamanan
Negara (profesional). Di samping itu, hubungan tersebut akan ditentukan oleh
keseriusan umat Islam, begitu juga masyarakat lainnya untuk menempatkan
militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan. Hal ini menjadi penting untuk
ditekankan, karena selama ini yang menjadi alasan keterlibatan militer dalam
101
persoalan politik dan bisnis militer adalah karena ketidakmampuan sipil untuk
menangani masalah politik dan ekonomi negeri ini. Masyarakat sipil yang mulai
mengendalikan kekuasaan saat ini harus bisa menunjukkan profesionalitas
kepemimpinan dan menempatkan militer sesuai dengan tugas primordialnya
seagai alat pertahanan keamanan, sehingga alasan ketidakmampuan sipil yang
selama ini ditunjukan oleh militer bisa terbantahkan. Militer adalah alat
pertahanan Negara yang mengendalikan alat-alat kekerasan, dan umat Islam
sebagai potensi bangsa yang bekerja untuk kepentingan bangsa secara
keseluruhan. Keduanya merupakan komponen bangsa yang akan banyak
menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Keduanya merupakan dua entitas
yang memiliki wilayah kerja masing-masing.
Umat Islam dan militer masing-masing memiliki peran berbeda sesuai
dengan posisi dan status di dalam kehidupan sosial. Pada titik ini, hubungan di
antara keduanya lebih bersifat fungsional, bukan didasarkan oleh ikatan
emosional. Ini menjadi agenda penting kedepannya karena keduanya merupakan
kelompok strategis yang secara ideal memiliki fungsi yang sama, yaitu
menciptakan interaksi yang harmonis bagi kehidupan nasional yang plural dan
heterogen. Militer harus mengorientasikan pengabdiannya pada Negara bukan
pada penguasa, dan menurunkan tingkat intervensinya terhadap wilayah sipil.
Inilah salah satu ciri militer yang oleh Almost Perlmutter dimasukkan sebagai
cirri-ciri militer profesional.29
Di samping itu, perlu diciptakan adanya hubungan
yang professional dan fungsional di antara berbagai lapisan sosial, termasuk
29 Almost Perlmutter, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 35
102
antara militer dengan umat Islam, sehingga tidak muncul sejarah kelam karena
ekstrimis kebencian terhadap kelompok lain di satu sisi, dan pemanjaan sepihak
yang berlebihan terhadap kelompok lainnya. Keduanya, baik kebencian maupun
pemanjaan yang ekstrim hanya mewariskan kecemburuan bahkan dendam dalam
sejarah anak bangsa.
BAB V
PENUTUP
A. Penutup
Di akhir pembahasan bab ini, berbicara tentang hubungan antara
militer dengan umat Islam di Indonesia pada periode 1990-1998 maka kita
akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa militer sebagai sebuah lembaga
ingin tetap menempatkan personil-personilnya dalam tampuk kekuasaan dan
dengan demikian, tetap mengendalikan negara. Kepentingan politik militer
tidak mengenal identitas keagamaan, baik militer santeri, abangan, maupun
Kristen memiliki keinginan politik yang sama, yaitu mengendalikan
kekuasaan. Hubungan militer dengan umat Islam pada tahun 1990-an, terlihat
bahwa terjadi perubahan hubungan di antara keduanya dibandingkan dengan
masa sebelumnya. Tahun 1970-an dan 1980-an militer menempatkan kedua
kakinya di dua dunia yang berbeda. Satu kaki berada dalam lingkaran
penguasa. Hal ini bisa diartikan sebagai politik militer yang menempatkan
militer sebagai alat penguasa dan melakukan berbagai tindakan untuk
mempertahankan penguasa. Militer berada dalam sebuah sistem yang
meletakan militer sebagai alat penguasa/pemerintah. Sedangkan kaki yang lain
berada di lingkungan umat Islam. hal ini bisa disebut sebagai persamaan
kultural. Militer yang berstatus muslim memiliki kedekatan secara kultural
dengan umat Islam yang didasari pada kesamaan pandangan, khususnya
menyangkut ajaran universal Islam (rahmatan lil’alamin) dan inklusif yang
99
100
tidak bertentangan dengan Pancasila. Menjadi titik temu dari kedekatan kedua
kekuatan tersebut, tanpa menutup kemungkinan bahwa hal ini harus ditunjang
oleh kepentingan struktural penguasa untuk mendekati umat Islam. Secara
struktural militer menjadi pelayan kepentingan kekuasaan yang sedang
merangkul umat Islam, sementara secara struktural mereka memiliki ikatan
emosional keagamaan dengan umat Islam.
Perubahan hubungan yang terjadi antara kedua kekuatan (Islam dan
militer) mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak
tahun 1970-an sampai 1980-an terlihat mulai mencair di awal tahun 1990-an.
Ada kedekatan yang terlihat dari hubungan antara jajaran elit militer dengan
elit umat Islam. walaupun perubahan tersebut lebih pada tataran informal
militer, tetapi mempunyai dampak dari perubahan tersebut sangat terasa
khususnya bagi sekelompok muslim yang selama ini termarginalkan oleh
militer.
Secara umum perubahan tersebut merupakan sebuah pergeseran sikap
baik di dalam diri militer maupun di kalangan umat Islam yang mengarah
pada perbaikan hubungan. Perubahan hubungan yang terjadi antara keduanya
disebabkan oleh banyak hal. Pertama, perilaku politik ummt Islam yang lebih
menekankan pada penyebaran ajaran Islam yang substansial dan universal.
Munculnya prilaku politik yang lebih substantif menjadi perekat militer
dengan umat Islam. Langkah ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian
umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai
oleh militer.
101
Kedua, perubahan persepsi umat Islam yang mengarah pada perbaikan
hubungan dengan militer. Pada awal tahun 1990-an, umat Islam tidak lagi
mempermasalahkan keberadaan militer, karena secara politik (militer) mulai
mengurangi sikap represifitasnya terhadap umat Islam. Langkah-langkah
militer menguntungkan terhadap umat Islam terutama mengenai pelepasan
napol Islam.
Ketiga, naiknya militer yang berlatar belakang santeri yang memiliki
pemahaman keislaman yang baik yang menimbulkan perubahan pandangan
tentang Islam yang radikal dan anti integrasi di dalam tubuh militer. Para
militer muslim mempunyai pandangan bahwa Islam sebagai bagian dari
Saptamarga yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, adanya kebijakan negara yang bersifat akomodatif baik
terhadap umat Islam maupun militer dengan latar belakang keislaman yang
baik. Kebijakan itu telah memungkinkan lahirnya titik temu antara militer
dengan umat Islam.
Tahun 1990-an adalah masa proses perubahan pergantian generasi di
dalam institusi militer berlangsung begitu cepat. Militer angkatan tahun 1960- an
mulai memasuki puncak-puncak jabatannya dan di bawahnya generasi
1970-an mulai mengikuti sebagian posisi jabatan strategis diantaranya adalah,
Jenderal TNI R. Hartono, Letjen TNI Prabowo Subianto, Letjen TNI Suyono,
Jenderal TNI Wiranto, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin. Hal ini berbeda
dengan masa sebelumnya, posisi jabatan strategis militer selalu dipegang oleh
kalangan militer abangan dan Kristen. Hal ini menjadi salah satu faktor
102
penentu mencairnya hubungan militer dengan umat Islam. Terjadinya
kebangkitan umat Islam baik di kalangan sipil maupun militer, bersamaan
dengan kepentingan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Inilah yang
menjadi titik temu umat Islam dengan militer. Keduanya dipertemukan, secara
politik, oleh kepentingan penguasa, sementara di sisi lain, secara kultural,
mereka sama-sama dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang
Islam. Harold Crouch menggambarkan bahwa semarak keagamaan yang
muncul di lingkungan militer merupakan fenomena baru yang belum terlihat
pada masa sebelumnya.
Umat Islam maupun militer merupakan dua entitas yang bisa
berdampingan baik secara kultural maupun secara politik. Semua ini bisa
terjadi apabila militer tidak lagi menjadi alat kepentingan politik penguasa,
dan umat Islam bisa menampkkan nilai-nilai ajaran Islam yang egaliter,
inklusif, dan substantif. Masing-masing harus dikembalikan pada fungsi
komunitas dan peran yang sesungguhnya. Untuk memahami hubungan antara
umat Islam dengan militer dengan militer harus dilihat dari dua faktor, yaitu
faktor kultural dan faktor politik.
B. Saran-Saran
Berangkat dari beberapa poin yang penulis cantumkan, di penghujung
bab ini akan dikemukakan saran-saran sebagai bahan masukan bagi semua
pihak yang merasa memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini.
103
Ketika menulis tentang perubahan hubungan militer dengan umat
Islam, penulis masih terkendala dalam mendapatkan litelatur tentang sisi lain
perubahan hubungan militer dengan umat Islam, selama ini literatur yang
bertebaran hanya membahas tentang militer dipentas politik, hubungan militer
dengan sipil, Islam dan TNI dalam reformasi. Semoga dengan munculnya
tulisan yang bertemakan perubahan hubungan militer dengan umat Islam
menjadi celah lahirnya literatur baru yang membahas masalah hubungan
militer dengan umat Islam. Selain itu, dengan kehadiran tulisan ini diharapkan
pula akan membuka ruang dialektika bahwa perubahan hubungan militer
dengan umat Islam dalam konteks Indonesia, bahwa peran militer dan umat
Islam sangat menunjang dalam pembangunan dan pembentukan masyarakat
madani/civil society yang berkesinambungan dan kuat. Dengan hadirnya
tulisan ini diharapkan pula bisa melahirkan serta memperbanyak penelitian
tentang Perubahan hubungan militer dengan umat Islam.
DAFTAR REFERENSI
Adillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap KonsepDemokrasi (1966-1993), Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka Pelajar 1999
Anderson, Benedict, S, Takashi, dan Siegel, Jams T. “The Indonesia Military in
the Mid-1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia,
No. 63, April 1997
Anwar, Dewi Fortuna, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam
Prisma, No. 4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002)
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985)
Bruinessen, Martin Van, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Bentang 1999
Briton, Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta: LP3ES, September, 1996 Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1999
Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986
Dhakidae, Dhaniel, “Orde Baru dan Peluang Demokrasi“ Dalam Th. Sumartana,
dkk (Tim editor), ABRI dan Kekuasaan,Yogyakarta: Interfidei, 1999
Efendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina’ 1998
Esposito, L. John, Islam and Politics, Syracause, New York: Syracause
Universitiy Press, 1991,Edisi III
Federspiel, M. Howard, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di
Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed),
Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta.
1990
Feillard, Andree, “Islam Tradisional dan Tentara dalam Orde Baru; Sebuah
Hubungan yang Ganjil”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed) Vol. 46.
No. 3, 1973. NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999)
Feith, Herbeth, “The Dynamics of Guided Democracy-Indonesia”, dalam Ruth
McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967)
Hefner, Robert W, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
http://korantempo.com/korantempo/2007/06/11/Opini/krn,20070611,53.id.html
Kadi, Saurip, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli
2000)
Kahin, McT. George, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel
University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional
Democracy-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962)
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara
Wacana, Agustus 1999, hlm. 194
Legge, J.D. Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger
Publishers, 1972)
Liddle, R.William, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik,
Jakarta: LP3ES, 1992
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik. Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), Gema Insan Pers 1996
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani
Perss,1996)
Mehden, Fred R. von der, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma,
Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of
Wisconsin Press, 1968)
Mietzner, Marcus, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and
Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor),
Post-Soeharto Indonesia, Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999
Noer, Delia, Gerakan Modern Islam di iNdonesia 1900-1942, LP3ES 1982
Notosusanto, Nugroho, (ed),Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi
Dwifungsi ABRI,Jakarta: Sinar Harapan, 1984
Nusa Bhakti, Ikrar, dkk, Tentara yang Gelisah, Hasil Penelitian Yipika Tentang
Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi, Bandung: Mizan, 1999
Rakhmat, Jalaludin, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais
(ed), Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press
Salim, Said, Tumbuh dan Berkembangnya Dwifungsi. Perkembangan Politik
Militer Indonesia 1958-2000 cet I, Aksara Karunia 2002
Samego, Indria, “Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet.
II
Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000)
Soebijono, dkk, Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perananannya dalam
Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: gadjah Mada University Press, 1997
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta:
LP3ES, Agustus 1992)
Tanjung, Feisal, Jenderal TNI, ABRI-Islam, Mitra Sejati, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997
Tiras, ABRI dan Islam, No. 21/VI/13 Februari 1993.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1966)
Wahid, Adurahman, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma,
No. 12, Desember 1980)
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi
(Jakarta: Magna Script, 2004), cet. 1
www.asiaweek.com
www.jawapos.com
www.tni.com
Perlmutter, Almost, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998)
Yeon, Kim So, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan
Nasional, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu
Sejarah Universitas Indonesia, 2003)
Zahra, Abu (ed), Politik demi Tuhan. Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka
Hidayah 1999