pertusis.docx

19
Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFARAT MINI Fakultas Kedokteran AGUSTUS 2013 Universitas Haluoleo PERTUSIS Oleh : IDHUL ADE RIKIT FITRA, S.Ked K1A1 09 049 Pembimbing : dr. Hj. Musyawarah, Sp. A DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 1 RSUB Provinsi Sultra FK-UHO

Upload: idhul-ade-rikit-fitra

Post on 28-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERTUSIS.docx

Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFARAT MINIFakultas Kedokteran AGUSTUS 2013Universitas Haluoleo

PERTUSIS

Oleh :IDHUL ADE RIKIT FITRA, S.Ked

K1A1 09 049

Pembimbing :dr. Hj. Musyawarah, Sp. A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2013

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 1RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 2: PERTUSIS.docx

PERTUSIS

(Idhul Ade Rikit Fitra, Hj. Musyawarah)

A. Defenisi

Pertusis (Batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang

sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran

pernapasan akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang

belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Disebut

juga whooping chough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang

terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang

meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir

batuk sering disertai bunyi khas. Nama pertusis lebih disukai dari pada whooping

chough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi khas. 1,2,3,4

B. Epidemologi

Tersebar diseluruh dunia. Di tempat-tempat yang padat penduduknya dapat

berupa epidemi pada anak. Dalam suatu keluarga infeksi cepat menjalar kepada

anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Tidak

ada kekebalan pasif dari ibu. Terbanyak pada umur 1-5 tahun, lebih banyak laki-

laki dari pada wanita. Umur penderita terutama 16 hari.2 Cara penularan lewat

kontak dengan penderita pertusis ditularkan melalui udara yang berasal dari

droplet penderita selama batuk. 1,2

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini

manusia merupakan satu-satunya tuan rumah. 1

Di Amerika Serikat antara tahun 1932-1989 telah terjadi 1.188 kali puncak

epidemic pertusis. Penyebaran penyakit ini terdapat diseluruh udara, dapat

menyerang semua umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. 1

Hampir 80 % kematian terjadi pada bayi dan 70 % nya terjadi pada bayi berusia

kurang dari 6 bulan. Case fatality rate (CFR) saat ini kurang dari 1 % pada bayi

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 2RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 3: PERTUSIS.docx

berusia kurang dari 6 bulan. Morbiditas sedikit lebih tinggi pada wanita daripada

pria. Pada populasi yang tidak diimunisasi, terutama mereka yang disertai dengan

malnutrisi dan infeksi saluran pernapasan dan pencernaan, pertusis merupakan

penyebab utama kematian pada bayi dan anak. Pneumonia merupakan penyebab

utama kematian karena pertusis. 1,3

Di Indonesia sejak tahun 1991 kasus pertusis muncul sebagai kasus sering

dilaporkan di antara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31) pada

balita. Pada tahun 1996 tercatat 7.796 kasus pertusis, dan itu merupakan kasus

terbesar sejak tahun 1967. Sekitar 40 % kasus pertusis menyerang balita. Akhir-

akhir ini dilaporkan bahwa kasus pertusis pada orang dewasa dan KLB pada anak

remaja semakin meningkat. 3

Estimasi WHO menyebutkan bahwa sekitar 600.000 kematian terjadi karena

pertusis. Provinsi jawa barat melaporkan 4.970 kasus pada tahun 1990 dengan

tingkat kematian 0,2 %. 3

C. Etiologi

Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B. para pertussis,

B. bronkiseptika dan B. Avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan

perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan Bordetella

parapertussis dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5). Bordetella pertussis termasuk

kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter

0,2-0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan tolodin biru, dapat

terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan

biakan B. pertussis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut Bordet

Gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk

menghambat pertumbuhan organisme lain. 1,2,3,4

D. Patogenesis

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis

infeksi B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 3RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 4: PERTUSIS.docx

terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul

penyakit sistemik. 1

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) /

pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis pada

silia. Setelah terjadi perlekatan B. pertussis, kemudian ber-multiplikasi dan

menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak

invasive, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama

pertumbuhan B. pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan

menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping chough. Toksin

terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis

toxin. Toxin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B

selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit

A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat

migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. 1

Toxin mediated adenosine disphospate (ADP) mempunyai efek mengatur

sintesis protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),

meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta

adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah. 1

Toxin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid

peri bronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering Streptococcus pneumonia, H. influenza dan sthaphylococcus aureus).

Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi

dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran

oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat

perbedaan mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh

langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan

fungsi sel reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 4RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 5: PERTUSIS.docx

dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. 1

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan

kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebakan

iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,

menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis

lyphopolisacharidae (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal pathogenesis

penyakit ini. Kadang-kadang B. pertussis hanya menyebabkan infeksi yang

ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis. 1

E. Gejala Klinis

Masa inkubasi pertusis berlangsung 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan

perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan

klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis

(prodormal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik)

dan stadium konvalesens. Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik,

umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak berumur < 2 tahun yaitu batuk

paroksismal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), tersebut dispnea (70-

80%) dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis jarang

>38,4OC pada semua golongan umur. Penyakit disebabkan B. parapertussis atau

B. bronkiseptika lebih ringan daripada B. pertussis dan juga lama sakit lebih

pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini. 1

1. Stadium kataralis (1-2 Minggu)

Gejala awal menyerupai infeksi saluran pernafasan bagian atas yaitu

timbulnya rinorea (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada

konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada

stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar

dibedakan dengan common cold. Selama stadium ini, sejumlah besar

organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap

ini kuman paling mudah diisolasi. 1,2

2. Stadium paroksismal/ Stadium spasmodic (2-4 minggu)

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 5RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 6: PERTUSIS.docx

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali

batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi massif yang

mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang dihisap

melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih

muda., serangan batuk hebat dengan berbunyi whoop sering tidak terdengar.

Selama serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,

lakrimasi, salvias, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di

wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat

terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran nafas menghilang. Muntah

sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi tanda

kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi

whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah

dibangkitkan dengan stress emosional (menangis, sedih, gembira dan tertawa)

dan aktivitas fisik. 1,2

3. Stadium konvalesen (1-2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah

dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk

biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar

2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal

kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberpa bulan dan sering

dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang. 1,2

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat

kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi

whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai imunisasi. Gejala klinis yang

didapat dipemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperikasa. Pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosistisis 20.000-50.000/UI dengan

limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 6RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 7: PERTUSIS.docx

karena respons limfositosis juga pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari secret

nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium

kataral 95-100% , stadium paroksismal 94 % pada minggu ketiga dan menurun

sampai 20 % untuk waktu berikutnya. Serologi terhadap antibodi toksin pertusis.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya

infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk

menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM

FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit

dan vaksinasi. 1,2

IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk

mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.

Pemeriksaan lain yaitu foto thorax dapat memperlihatkan infiltrate primer

perihiler, atelektasis dan empisema. 1

Menurut Widoyono tahun 2011, diagnosis pertusis tidak mudah untuk

ditegakkan, tergantung berat ringannya penyakit berdasarkan klinik. Berikut ini

kriteria yang dapat membantu petugas lapangan untuk membuat diagnosis ; 3

1. Kriteria menentukan

Terdapat perdarahan subkonjungtiva bukan karena trauma pada anak

dengan anamnesis pertusis

Laboratorium : leukositosis (> 30.000/mm3) dengan > 60 % limfosit.

2. Kriteria mayor

Serangan batuk yang diakhiri bunyi whoop (hup) yang khas, kemudian

diikuti dengan muntah

Serangan batuk biasanya hebat pada malam hari

Laboratorium : leukositosis (>30.000/mm3) dengan 50-60 % limfosit

3. Kriteria minor

Adanya serangan batuk hebat tanpa diakhiri dengan bunyi whoop atau

muntah

Terdapat edema periorbital

Keluar riak yang kental

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 7RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 8: PERTUSIS.docx

Pernah kontak dengan penderita pertusis dalam 4 minggu terakhir

Laboratorium : leukositosis (15.000-30.000 /mm3) dengan 50-60 %

limfosit

Diagnosis klinis pertusis dengan penunjang laboratorium apabila terdapat :

a. 1 kriteria menentukan

b. 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor

c. 4 kriteria minor

G. Diagnosis Banding 1,2

1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia

bacterial, sistik fibrosis tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan

limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus. Pada umumnya

pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga

dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak

dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi

2. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai

sindrom klinis B. pertussis . Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab

H. Penatalaksanaan 1,2,3,4

1. Eradikasi Bakteri

a. Eritromisin dengan dosis 50 mg/KgBB/ hari di bagi dalam 4 dosis.

Berfungsi untuk eradikasi B. pertussis pada nasofaring dalam 3-4 hari.

Dengan demikian dapat memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi.

Dapat memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi bila diberikan

pada stadium kataralis.

b. Ampisilin dengan dosis 100 mg/KgBB/ hari dibagi dalam 4 dosis.

2. Terapi suportif

- Isolasi (2-3 minggu)

- Mencegah faktor yang merangsang batu (debu, asap rokok)

- Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi

- Oksigenasi bila sesak

- Pengisapan lendir

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 8RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 9: PERTUSIS.docx

- Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dan mengurangi lamanya

whoop ( Kortikosteroid, Salbutamol, Ekspertoransia dan atau Mukolitik)

I. Komplikasi 1,2,4

1. Sistem pernafasan

Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan

90 % kematian pada anak < 3 tahun. Pneumonia dapat disebakan oleh B.

pertussis, tetapi sering disebabkan infeksi sekunder (Streptococcus

pneumonia, H. influenza , sthaphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes) .

Atelektasis yang disebabkan oleh sumbatan mukus, emfisema (dapat juga

terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat),

bronkiektasis. Dan tuberculosis laten dapat menjadi aktif.

2. Sistem pencernaan

Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum

atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intraabdominal,

ulkus pada ujung lidah tergores oleh gigi atau tergigit pada waktu serangan

batuk, stomatitis.

3. Susunan saraf

Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elaktrolit akibat

muntah-muntah. Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin

pula dapat terjadi perdarahan otak.

4. Lain-lain

Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epitaksis, hemoptisis, dan

perdarahan subkonjungtiva

J. Prognosis

Prognosis bergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.

Pada bayi resiko kematian (0,5-1 %) disebabkan ensfalopati. Pada observasi

jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di

kemudian hari. 1,2,4

K. Pencegahan

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 9RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 10: PERTUSIS.docx

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.

Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian

pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1962-1930

(era sebelum imunisasi) di Amerika serikat dan Inggris terdapat 36.013 kematian

yang disebabkan oleh pertusis dan setelah era imunisasi berjalan 36 kematian

yang disebakan oleh pertusis (1986-1988). Melalui Program Pengembangan

Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengn vaksin

DPT. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi pasif dan aktif. 1,2

1. Imunisasi Pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperiummune globulin,

ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif

sehingga akhir-akhir ini human hyperiummune globulin tidak lagi diberikan

untuk pencegahan. 1,2

2. Imunisasi Aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah dimatikan untuk

mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama

dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU

dan diberika tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika

prevalensi pertusis di masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai umur 2

minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur > 7 tahun tidak lagi

memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh

karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada

pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi B.

pertussis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25ml, i.m) telah

dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.

Salah satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam. 1,2

Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan

antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 58-72 jam. Anak dengan kelainan

neorologik yang mempunyai riwayat kejang, 7,2 x lebih muda terjadi kejang

setelah imunisasi DTP dan mempunyai kesempatan 4,5 x lebih tinggi bila

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 10RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 11: PERTUSIS.docx

hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak

yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis jadi hanya

diberikan imunisasi DT. 1

Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami

ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam, atau kejang

tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis > 3 jam , high pitch

cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu

yang tidak dapat diterangkan >40,5 0C dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk

pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.1

Kontak erat pada usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan

imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah

diberikan imunisasi dalam wakru 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisisn

50 mg/kgBB/hari dala 2-4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia > 7

tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis. 1,2,4

Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit, seseorang yang kontak dengan

pasien pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin

selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan

hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah

pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan

eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi. 1,2,4

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 11RSUB Provinsi SultraFK-UHO

Page 12: PERTUSIS.docx

L. Daftar Pustaka

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Pertusis. Dalam

Soedarmo SSP dkk. Editor . Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi

2. Jakarta : IDAI . 2012. H. 331-37.

2. Hassan R, Alatas H, Latief A, Napitipulu PM,Pudjiadi A, Ghazali MV, et

al, editors. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK-UI. Edisi 11.

Jakarta : Infomedika Jakarta : 2007 H. 564-68.

3. Widoyono . Penyakit tropis epidemologi, penularan, pencegahan, &

pemberantasannya. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2011. Hal.

28-32.

4. Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman Diagnosis dan

Terapi. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan

Anak. FK-UNPAD. RS. Hasan Sadikin. 2005. H. 213-15

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 12RSUB Provinsi SultraFK-UHO