pertusis.docx
TRANSCRIPT
Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFARAT MINIFakultas Kedokteran AGUSTUS 2013Universitas Haluoleo
PERTUSIS
Oleh :IDHUL ADE RIKIT FITRA, S.Ked
K1A1 09 049
Pembimbing :dr. Hj. Musyawarah, Sp. A
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 1RSUB Provinsi SultraFK-UHO
PERTUSIS
(Idhul Ade Rikit Fitra, Hj. Musyawarah)
A. Defenisi
Pertusis (Batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang
sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
pernapasan akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Disebut
juga whooping chough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang
terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang
meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir
batuk sering disertai bunyi khas. Nama pertusis lebih disukai dari pada whooping
chough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi khas. 1,2,3,4
B. Epidemologi
Tersebar diseluruh dunia. Di tempat-tempat yang padat penduduknya dapat
berupa epidemi pada anak. Dalam suatu keluarga infeksi cepat menjalar kepada
anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Tidak
ada kekebalan pasif dari ibu. Terbanyak pada umur 1-5 tahun, lebih banyak laki-
laki dari pada wanita. Umur penderita terutama 16 hari.2 Cara penularan lewat
kontak dengan penderita pertusis ditularkan melalui udara yang berasal dari
droplet penderita selama batuk. 1,2
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini
manusia merupakan satu-satunya tuan rumah. 1
Di Amerika Serikat antara tahun 1932-1989 telah terjadi 1.188 kali puncak
epidemic pertusis. Penyebaran penyakit ini terdapat diseluruh udara, dapat
menyerang semua umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. 1
Hampir 80 % kematian terjadi pada bayi dan 70 % nya terjadi pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan. Case fatality rate (CFR) saat ini kurang dari 1 % pada bayi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 2RSUB Provinsi SultraFK-UHO
berusia kurang dari 6 bulan. Morbiditas sedikit lebih tinggi pada wanita daripada
pria. Pada populasi yang tidak diimunisasi, terutama mereka yang disertai dengan
malnutrisi dan infeksi saluran pernapasan dan pencernaan, pertusis merupakan
penyebab utama kematian pada bayi dan anak. Pneumonia merupakan penyebab
utama kematian karena pertusis. 1,3
Di Indonesia sejak tahun 1991 kasus pertusis muncul sebagai kasus sering
dilaporkan di antara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31) pada
balita. Pada tahun 1996 tercatat 7.796 kasus pertusis, dan itu merupakan kasus
terbesar sejak tahun 1967. Sekitar 40 % kasus pertusis menyerang balita. Akhir-
akhir ini dilaporkan bahwa kasus pertusis pada orang dewasa dan KLB pada anak
remaja semakin meningkat. 3
Estimasi WHO menyebutkan bahwa sekitar 600.000 kematian terjadi karena
pertusis. Provinsi jawa barat melaporkan 4.970 kasus pada tahun 1990 dengan
tingkat kematian 0,2 %. 3
C. Etiologi
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B. para pertussis,
B. bronkiseptika dan B. Avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan
perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan Bordetella
parapertussis dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5). Bordetella pertussis termasuk
kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter
0,2-0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan tolodin biru, dapat
terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan
biakan B. pertussis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut Bordet
Gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk
menghambat pertumbuhan organisme lain. 1,2,3,4
D. Patogenesis
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 3RSUB Provinsi SultraFK-UHO
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik. 1
Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) /
pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan B. pertussis, kemudian ber-multiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak
invasive, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama
pertumbuhan B. pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping chough. Toksin
terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis
toxin. Toxin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit
A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. 1
Toxin mediated adenosine disphospate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah. 1
Toxin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peri bronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering Streptococcus pneumonia, H. influenza dan sthaphylococcus aureus).
Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi
dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh
langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan
fungsi sel reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 4RSUB Provinsi SultraFK-UHO
dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. 1
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebakan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,
menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis
lyphopolisacharidae (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal pathogenesis
penyakit ini. Kadang-kadang B. pertussis hanya menyebabkan infeksi yang
ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis. 1
E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis berlangsung 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan
klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis
(prodormal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik)
dan stadium konvalesens. Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik,
umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak berumur < 2 tahun yaitu batuk
paroksismal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), tersebut dispnea (70-
80%) dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis jarang
>38,4OC pada semua golongan umur. Penyakit disebabkan B. parapertussis atau
B. bronkiseptika lebih ringan daripada B. pertussis dan juga lama sakit lebih
pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini. 1
1. Stadium kataralis (1-2 Minggu)
Gejala awal menyerupai infeksi saluran pernafasan bagian atas yaitu
timbulnya rinorea (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. Selama stadium ini, sejumlah besar
organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap
ini kuman paling mudah diisolasi. 1,2
2. Stadium paroksismal/ Stadium spasmodic (2-4 minggu)
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 5RSUB Provinsi SultraFK-UHO
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi massif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang dihisap
melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih
muda., serangan batuk hebat dengan berbunyi whoop sering tidak terdengar.
Selama serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salvias, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di
wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat
terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran nafas menghilang. Muntah
sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi tanda
kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi
whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah
dibangkitkan dengan stress emosional (menangis, sedih, gembira dan tertawa)
dan aktivitas fisik. 1,2
3. Stadium konvalesen (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar
2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal
kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberpa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang. 1,2
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai imunisasi. Gejala klinis yang
didapat dipemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperikasa. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosistisis 20.000-50.000/UI dengan
limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 6RSUB Provinsi SultraFK-UHO
karena respons limfositosis juga pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari secret
nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium
kataral 95-100% , stadium paroksismal 94 % pada minggu ketiga dan menurun
sampai 20 % untuk waktu berikutnya. Serologi terhadap antibodi toksin pertusis.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya
infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM
FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit
dan vaksinasi. 1,2
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.
Pemeriksaan lain yaitu foto thorax dapat memperlihatkan infiltrate primer
perihiler, atelektasis dan empisema. 1
Menurut Widoyono tahun 2011, diagnosis pertusis tidak mudah untuk
ditegakkan, tergantung berat ringannya penyakit berdasarkan klinik. Berikut ini
kriteria yang dapat membantu petugas lapangan untuk membuat diagnosis ; 3
1. Kriteria menentukan
Terdapat perdarahan subkonjungtiva bukan karena trauma pada anak
dengan anamnesis pertusis
Laboratorium : leukositosis (> 30.000/mm3) dengan > 60 % limfosit.
2. Kriteria mayor
Serangan batuk yang diakhiri bunyi whoop (hup) yang khas, kemudian
diikuti dengan muntah
Serangan batuk biasanya hebat pada malam hari
Laboratorium : leukositosis (>30.000/mm3) dengan 50-60 % limfosit
3. Kriteria minor
Adanya serangan batuk hebat tanpa diakhiri dengan bunyi whoop atau
muntah
Terdapat edema periorbital
Keluar riak yang kental
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 7RSUB Provinsi SultraFK-UHO
Pernah kontak dengan penderita pertusis dalam 4 minggu terakhir
Laboratorium : leukositosis (15.000-30.000 /mm3) dengan 50-60 %
limfosit
Diagnosis klinis pertusis dengan penunjang laboratorium apabila terdapat :
a. 1 kriteria menentukan
b. 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor
c. 4 kriteria minor
G. Diagnosis Banding 1,2
1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia
bacterial, sistik fibrosis tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan
limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus. Pada umumnya
pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga
dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak
dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi
2. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai
sindrom klinis B. pertussis . Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab
H. Penatalaksanaan 1,2,3,4
1. Eradikasi Bakteri
a. Eritromisin dengan dosis 50 mg/KgBB/ hari di bagi dalam 4 dosis.
Berfungsi untuk eradikasi B. pertussis pada nasofaring dalam 3-4 hari.
Dengan demikian dapat memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi.
Dapat memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi bila diberikan
pada stadium kataralis.
b. Ampisilin dengan dosis 100 mg/KgBB/ hari dibagi dalam 4 dosis.
2. Terapi suportif
- Isolasi (2-3 minggu)
- Mencegah faktor yang merangsang batu (debu, asap rokok)
- Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi
- Oksigenasi bila sesak
- Pengisapan lendir
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 8RSUB Provinsi SultraFK-UHO
- Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dan mengurangi lamanya
whoop ( Kortikosteroid, Salbutamol, Ekspertoransia dan atau Mukolitik)
I. Komplikasi 1,2,4
1. Sistem pernafasan
Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan
90 % kematian pada anak < 3 tahun. Pneumonia dapat disebakan oleh B.
pertussis, tetapi sering disebabkan infeksi sekunder (Streptococcus
pneumonia, H. influenza , sthaphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes) .
Atelektasis yang disebabkan oleh sumbatan mukus, emfisema (dapat juga
terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat),
bronkiektasis. Dan tuberculosis laten dapat menjadi aktif.
2. Sistem pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum
atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intraabdominal,
ulkus pada ujung lidah tergores oleh gigi atau tergigit pada waktu serangan
batuk, stomatitis.
3. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elaktrolit akibat
muntah-muntah. Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin
pula dapat terjadi perdarahan otak.
4. Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epitaksis, hemoptisis, dan
perdarahan subkonjungtiva
J. Prognosis
Prognosis bergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.
Pada bayi resiko kematian (0,5-1 %) disebabkan ensfalopati. Pada observasi
jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di
kemudian hari. 1,2,4
K. Pencegahan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 9RSUB Provinsi SultraFK-UHO
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.
Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian
pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1962-1930
(era sebelum imunisasi) di Amerika serikat dan Inggris terdapat 36.013 kematian
yang disebabkan oleh pertusis dan setelah era imunisasi berjalan 36 kematian
yang disebakan oleh pertusis (1986-1988). Melalui Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengn vaksin
DPT. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi pasif dan aktif. 1,2
1. Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperiummune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini human hyperiummune globulin tidak lagi diberikan
untuk pencegahan. 1,2
2. Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama
dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU
dan diberika tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika
prevalensi pertusis di masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai umur 2
minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur > 7 tahun tidak lagi
memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh
karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada
pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi B.
pertussis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25ml, i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Salah satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam. 1,2
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 58-72 jam. Anak dengan kelainan
neorologik yang mempunyai riwayat kejang, 7,2 x lebih muda terjadi kejang
setelah imunisasi DTP dan mempunyai kesempatan 4,5 x lebih tinggi bila
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 10RSUB Provinsi SultraFK-UHO
hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak
yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis jadi hanya
diberikan imunisasi DT. 1
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam, atau kejang
tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis > 3 jam , high pitch
cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, suhu
yang tidak dapat diterangkan >40,5 0C dalam 2 hari. Eritromisin efektif untuk
pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.1
Kontak erat pada usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan
imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah
diberikan imunisasi dalam wakru 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisisn
50 mg/kgBB/hari dala 2-4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia > 7
tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis. 1,2,4
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit, seseorang yang kontak dengan
pasien pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin
selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan
hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah
pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan
eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi. 1,2,4
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 11RSUB Provinsi SultraFK-UHO
L. Daftar Pustaka
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Pertusis. Dalam
Soedarmo SSP dkk. Editor . Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
2. Jakarta : IDAI . 2012. H. 331-37.
2. Hassan R, Alatas H, Latief A, Napitipulu PM,Pudjiadi A, Ghazali MV, et
al, editors. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK-UI. Edisi 11.
Jakarta : Infomedika Jakarta : 2007 H. 564-68.
3. Widoyono . Penyakit tropis epidemologi, penularan, pencegahan, &
pemberantasannya. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2011. Hal.
28-32.
4. Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. FK-UNPAD. RS. Hasan Sadikin. 2005. H. 213-15
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Page 12RSUB Provinsi SultraFK-UHO