pertanian organik
DESCRIPTION
Materi Pelatihan PERTANIAN ORGANIK di Kabupaten GarutTRANSCRIPT
PERTANIAN ORGANIK
GUSMAILINA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(PUSTEKOLAH)
Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-
bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian
organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang
aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya
hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan
bahwa produk pertanian harus berlabel aman dikonsumsi (food safety attributes),
kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling
attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian
organik dunia meningkat pesat.
Pertanian organik merupakan bentuk pertanian yang tidak menggunakan pestisida
dan pupuk kimia sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem dalam waktu yang tidak
terhingga. Pertanian organik juga bukan sekedar pertanian tanpa bahan kimia, tetapi
menggunakan teknik seperti rotasi tanaman atau pergiliran tanaman, jarak tanam yang
mencukupi antar tanaman, penggabungan bahan organik ke dalam tanah dan penggunaan
pengendalian biologi untuk menekan masalah hama. Pemakaian pestisida organik
dipertimbangkan sebagai upaya terakhir dan digunakan dengan hemat.
Prinsip dasar pengelolaan pertanian organik adalah bahan organik, biologis dan
ekologis sehingga yang dimaksud dengan pertanian organik adalah pertanian yang bebas
bahan kimia. Prinsip-prinsip pertanian organik sebagaimana ditetapkan oleh
International Federation of Organic Agriculture Movement (Organic Farming, 1990)
adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan pangan dengan kualitas gizi yang tinggi dan dalam jumlah yang
mencukupi.
2. Menerapkan sistem alami dan tanpa mendominasi alam.
3. Mengaktifkan dan meningkatkan daur biologis di dalam sistem pertanian,
melibatkan mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan dan hewan.
4. Meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah.
5. Menggunakan sumber-sumber yang dapat diperbaharui dalam sistem pertanian yang
terorganisir secara lokal.
6. Mengembangkan suatu sistem tertutup dengan memperhatikan elemen-elemen
organik dan bahan nutrisi.
7. Memperlakukan ternak secara alami.
8. Mengurangi dan mencegah semua bentuk polusi yang mungkin dihasilkan dari
pertanian.
9. Memelihara keragaman genetik di dalam dan di sekeliling sistem pertanian,
termasuk perlindungan tanaman dan habitat air.
10. Memberikan pendapatan yang memadai dan memuaskan petani.
11. Mempertimbangkan pengaruh sosial dan ekologis yang lebih luas dari sistem
pertanian.
A. Pengelolaan Pertanian Organik
Keberhasilan pertanian organik tergantung pada program pengelolaan penggunaan
input secara intensif dalam rangka menghasilkan produktivitas tanaman yang optimum.
Pelaksanaan pengelolaan pertanian organik terdiri atas:
a. Penambahan bahan organik terdekomposisi seperti kompos, arang kompos bioaktif,
pupuk kandang dan sejenis lainnya
b. Rotasi tanaman untuk meningkatkan kesuburan dan mengurangi serangan hama
dan penyakit.
c. Memakai pupuk hijau dan tanaman penutup untuk
memperbaiki kesuburan tanah,
d. meningkatkan populasi organisme yang bermanfaat dan mengurangi erosi.
e. Pengurangan pengolahan tanah (minimum tillage) untuk memperbaiki struktur
tanah dan mengurangi erosi.
f. Memakai tanaman penangkal (trap crops), jasad pengendali biologi dan teknik
manipulasi habitat lainnya (seperti tumpang sari atau penggunaan pembatas) untuk
mempertinggi mekanisme pengendalian biologi alami pada pertanian.
g. Pembuatan zona penyangga dan pembatas untuk menandai area penghasil organik
dan membantu melindungi area tersebut dari bahan-bahan terlarang. Zona penyanga
ditanami dengan tanaman pemecah angin (wind breaker) atau tanaman yang bukan
untuk dipanen.
B. Dampak Organik Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Tanah
Hasil penelitian di Taiwan memperlihatkan bahwa lahan yang digenangi dalam rangka
persiapan penanaman padi yang dicampur dengan pupuk organik lebih homogen dari
pada lahan kering. Kerapatan padatan, total porositas dan stabilitas agregat permukaan
tanah dapat diperbaiki dengan penerapan pertanian organik. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh tingginya tingkat bahan organik tanah pada pertanian organik. Yamada
(1988) melaporkan bahwa dengan pemakaian kotoran sapi dalam jangka panjang, maka
porositas tanah cenderung meningkat dan kerapatan padatan menurun dibandingkan
dengan pemakaian pupuk kimia yang menyebabkan peningkatan kepadatan permukaan
tanah.
Secara umum, kandungan bahan organik konsisten dengan jumlah pupuk organik
yang ditambahkan. Total kandungan Nitrogen pada tanah dan kandungan ketersediaan
Posfor dalam tanah pada lahan pertanian organik lebih tinggi dari pada lahan pertanian
konvensional. Percobaan Lin et al. (1973), Sommerfeldt et al. (1988), dan Reganold
(1989) menyimpulkan bahwa dengan pemakaian pupuk organik pada lahan tanaman padi,
menghasilkan kandungan bahan organik dan Nitrogen lebih tinggi dibanding dengan
pemakaian pupuk kimia. Dalam percobaan Lin et. al. (1973) ditemukan bahwa tingkat
Mg, Ca, dan K yang dapat dipertukarkan pada perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau
lebih tinggi dari pada hanya menggunakan pupuk kimia saja. Reganold (1989)
menyatakan bahwa dalam jangka panjang pertanian organik dapat meningkatkan
ketersediaan P, K, dan Ca dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Pengaruh terhadap biologis tanah menunjukkan bahwa hampir semua mikroflora
tanah yang heterotrop, menggunakan senyawa organik yang tersedia untuk memperoleh
karbon dan enerji yang akan dipergunakan untuk kelanjutan metabolisme, pertumbuhan
dan reproduksi. Perubahan aktivitas mikrobial tanah sering dihubungkan dengan
perubahan input karbon ke dalam tanah sebagai hasil aplikasi pupuk kandang atau sisa
tanaman.Fraser et. al. (1988) menyimpulkan bahwa meningkatnya aktivitas mikrobial
paralel dengan peningkatan kandungan karbon organik tanah, nitrogen dan pengisian
pori-pori air. Penerapan pertanian organik yang meningkatkan masukan pupuk kandang
atau kompos termasuk polong-polongan (legume) dengan rotasi yang teratur dapat
meningkatkan populasi mikroba dan aktivitas-aktivitas metabolisme, pertumbuhan dan
reproduksi mikroba tanah.
II. KENDALA DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK
Bila dipandang dari sudut kebutuhan pangan masa kini, maka penggunaan pupuk
cenderung akan meningkat paling tidak dalam jangka pendek. Penggunaan pupuk organik
harganya sangat mahal bila dipandang dari segi kandungan pupuk yang dibutuhkan.
Untuk itu pemerintah dapat memberikan subsidi sehingga petani akan dapat memakai
pupuk organik dengan harga yang wajar.
Oleh karena pupuk organik tidak seefisien pupuk kimia, maka disarankan agar para
petani sebaiknya memakai pupuk kimia dalam jumlah minimum yang dibutuhkan untuk
merangsang pertumbuhan tanaman dan penambahan pupuk organik dalam jumlah besar
digunakan untuk meningkatkan produksi.
Hambatan-hambatan dalam pertanian organik menurut pengamatan petani adalah
(Marsh and Runsten, 1997):
a. Kurangnya pengetahuan tentang pertanian organik.
b. Tidak adanya kerja sama atau tidak adanya penyuluh lapangan.
c. Ttidak tersedianya informasi tentang pertanian organik.
d. Adanya tekanan dari pertanian konvensional.
e. Kesulitan memperoleh kredit untuk pertanian organik
Metoda pertanian organik belum dapat diterapkan pada wilayah yang tidak memiliki
dasar pertanian yang terpadu dengan peternakan, karena komponen utama yang
digunakan untuk pupuk organik adalah kotoran ternak.
Untuk meningkatkan produktivitas pertanian organik, telah dikembangkan berbagai
varietas unggul melalui pemanfaatan bioteknologi, termasuk manipulasi genetik untuk
menciptakan varietas yang resisten terhadap dan penyakit, serta meningkatkan kualitas
produk. Di lain pihak, organisme hasil modifikasi genetik (Genetically Modified
Organism, GMO) juga telah mengakibatkan dampak dalam keberlanjutan pertanian
organik dalam bentuk (Organic Farming Research Foundation, 2003):
a. adanya hasil pengujian kontaminasi yang positif dari GMO pada beberapa bagian
benih organik, input atau produk-produk pertanian lainnya.
b. pelaksanaan pertanian organik telah menimbulkan beberapa biaya langsung atau
kerusakan yang berhubungan dengan kehadiran GMO pada pertanian.
III. PROSPEK PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA
Akhir-akhir ini masyarakat dunia termasuk Indonesia mulai sadar bahaya yang
ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia dalam pertanian. Orang semakin arif dalam
memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup
sehat dengan slogan Back to Nature telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup
lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia dan
hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat
diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik. Indonesia
memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air
dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik
sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh
karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman
bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
A. Peluang Pertanian Organik di Indonesia
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari
75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha
yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut
agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai
aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan
lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara
umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan
secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan
lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang
diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju
seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih
banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea.
Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada
masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada
insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi
mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari
bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi
komoditas tersebut.
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional
walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : 1)
masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem
pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia
seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk
memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik seperti
sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah
perlu segera dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor
terbesar kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki
merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan
baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat ini.
Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat
relevan. Namun yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat
posisi tawar petani.
B. Pertanian Organik Modern
Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian
Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang
memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah
lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal
dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan
pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi
kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-
lain, pertanian organik terus berkembang.
Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan
oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik
harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih
ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya.
Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak
disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen.
Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
1) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih
mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low
External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi
penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida,
varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional
sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan
pihak-pihak lain yang terkait.
2) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri,
seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan
produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi
persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Departemen Pertanian juga telah menyusun standar pertanian organik di Indonesia,
tertuang dalam SNI 01-6729-2002. Sistim pertanian organik menganut paham organik
proses, artinya semua proses sistim pertanian organik dimulai dari penyiapan lahan
hingga pasca panen memenuhi standar budidaya organik, bukan dilihat dari produk
organik yang dihasilkan. SNI sistim pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga
sertifikasi yang nantinya juga harus di akreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat
Standarisasi dan Akreditasi). SNI Sistem pangan organik disusun dengan mengadopsi
seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32. 1999, Guidelines for the production,
processing, labeling and marketing of organikally produced foods dan dimodifikasi
sesuai dengan kondisi Indonesia.
Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label
sertifikasi dari suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam negri. Luasan lahan yang
dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu
mensertifikasi lahannya. Satu-satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok petani
organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan
demikian mereka dapat pembiayaan sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong.
Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinuitas produksi mereka.
Masyarakat awam menganggap produk organik adalah produk yang bagus tidak hanya
dari segi kandungan nutrisi namun juga penampilan produknya. Kenyataannya produk
organik itu tidaklah selalu bagus, sebagai contoh daun berlobang dan berukuran kecil,
karena tidak menggunakan pestisida dan zat perangsang tumbuh atau pupuk an organik
lainnya. Pada tahun awal pertaniannya belum menghasilkan produk yang sesuai harapan.
Sebagian petani kita terbiasa menggunakan pupuk an organik yang akan memberikan
respon cepat pada tanaman. Seperti misalnya pemupukan Urea akan menghasilkan
tanaman yang pertumbuhannya cepat, sementara dengan pemupukan organik pengaruh
perubahan pertumbuhan tanaman tergolong lambat. Baru pada musim ketiga dan
seterusnya, efek pupuk organik tersebut menunjukkan hasil yang nyata perbedaannya
dengan pertanian non organik. Sehingga dapat disimpulkan pertanian organik di tahun-
tahun awal akan mengalami banyak kendala dan membutuhkan modal yang cukup untuk
bertahan.
Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian
organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman
rempah dan obat, serta peternakan, (Tabel 2). Menghadapi era perdagangan bebas pada
tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor
produknya ke pasar internasional. Beberapa komoditas yang layak dikembangkan
dengan sistem pertanian organik antara lain: tanaman padi, hortikultura sayuran seperti:
brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siyam,
oyong dan baligo. Tanaman buah seperti nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan
manggis. Tanaman perkebunan seperti: kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili
dan kopi. Tanaman rempah dan obat seperti: jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan
lainnya.
Teknologi pendukung
Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain adalah teknologi
budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti
pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan
siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat
menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang Nitrogen dan
unsur hara lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain
itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada
pembudidayaa pertanian organik di musim hujan.
Permasalahan Seputar Pertanian Organik
a. Penyediaan pupuk organik
Permasalahan pertanian organik di Indonesia sejalan dengan perkembangan pertanian
organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber
hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus
berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per
satuan berat kering bahan jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk
anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar
tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Sebagai
ilustrasi, untuk menanam sayuran dalam satu bedengan seluas 1 x 10 m saja dibutuhkan
pupuk organik (kompos) sekitar 25 kg untuk 2 kali musim tanam atau setara dengan 25
ton/ha. Bandingakan dengan penggunaan pupuk anorganik Urea TSP dan KCl yg hanya
membutuhkan total pemupukan sekitar 200-300 kg/ha. Karena memang umumnya petani
kita bukan petani mampu yang memiliki lahan dan ternak sekaligus, sehingga mereka
mesti membeli dari sumber lainnya dan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi
disamping tenaga yang lebih besar.
Budidaya pertanian organik
Selain aspek lahan, aspek pengelolaan pertanian organik dalam hal ini terkait dengan
teknik budidaya juga perlu mendapat perhatian tersendiri. Sebagai salah satu contoh
adalah teknik bertani sayuran organik, seperti diuraikan di bawah ini.
Tanaman ditanam pada bedengan-bedengan dengan ukuran bervariasi disesuaikan
dengan kondisi lahan
Menanam strip rumput di sekeliling bedengan untuk mengawetkan tanah dari
erosi dan aliran permukaan
Mengatur dan memilih jenis tanaman sayuran dan legum yang sesuai untuk sistem
tumpang sari atau multikultur seperti contoh lobak, bawang daun dengan kacang
tanah dalam satu bedengan.
Mengatur rotasi tanaman sayuran dengan tanaman legum dalam setiap musim
tanam. Mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar
atau kompos).
Memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang, dan lainnya), hingga
semua unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman menjadi tersedia.
Menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedengan
tanaman sayuran untuk pengendalian hama dan penyakit.
Menjaga kebersihan areal pertanaman.
c. Aspek penting lainnya
Dalam pertanian organik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan secara umum
adalah mengikuti aturan berikut:
Menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetika. Sebaiknya benih berasal dari
kebun pertanian organik,
Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis, zat pengatur tumbuh, pestisida.
Pengendalian hama dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman,
Peningkatan kesuburan tanah dilakukan secara alami melalui penambahan pupuk
organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum.
Penanganan pasca panen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang
alami.
Gambar 2. Sistem pertanian organik di P. Agatho, Cisarua, Jabar
Sumber: [2]
Meskipun beberapa petani sudah mulai mengembangkan dan bertani secara organik sejak
lama, sebagai contoh kebun pertanian organik Agatho di Cisarua sudah lebih 10 tahun
eksis dalam sistim pertanian organik, namun perkembangan pertanian organik di
Indonesia baru dimulai sejak 4-5 tahun yang lalu. Jauh tertinggal dibandingkan dengan
Jepang, Belanda, Perancis, Itali, Amerika, dll.
Pertanian organik adalah bagian integral dari pertanian berkelanjutan. Sasaran dari
sistem pertanian terpadu juga termasuk integrasi ternak dengan komoditi pertanian yang
meliputi peningkatan pemberdayaan sumber daya lokal (domestic based resources),
optimalisasi hasil usaha, penciptaan produk baru hasil diversifikasi usaha, surplus
pemasaran (marketable surplus) dengan banyaknya pilihan produk berkualitas yang
ditawarkan serta penciptaan kemandirian. Namun hal ini hanya dapat dicapai melalui
upaya sosialisasi dan realisasi secara terus menerus.
Dalam menghasilkan produktivitas tanaman yang optimum pada pertanian organik
diperlukan program pengelolaan yang baik. Sehubungan dengan ketersediaan komponen
utama material organik alami seperti kotoran ternak, limbah pasar, limbah industri, serta
limbah biomas lainnya untuk daur ulang mungkin terbatas, maka pertanian organik
belum dapat segera dikembangkan di beberapa wilayah/negara. Indonesia memiliki
peluang besar dalam pengembangan pertanian organik karena areal pertaniannya luas,
relatif subur, dan dapat memproduksi bahan organik dalam jumlah besar.
Pengembangan pertanian organik membutuhkan keterampilan tinggi dan pengelolaan
yang baik. Oleh karena itu, penyuluhan dan pendidikan akan memegang peranan kunci
dalam keberhasilannya. Untuk menjamin akses produk ke pasar, maka perlu
diupayakan pembentukan lembaga terakreditasi yang berwenang mengeluarkan sertifikat
produk organik di Indonesia.
PESTISIDA NABATI
Pertanian Organik adalah sistem produksi pertanian yang menghindari atau sangat
membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik), pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh
dan aditif pakan.
Budidaya tanaman berwawasan lingkungan adalah suatu budidaya pertanian yang
direncanakan dan dilaksanakan dengan memperhatikan sifat-sifat, kondisi dan kelestarian
lingkungan hidup, dengan demikian sumber daya alam dalam lingkungan hidup dapat
dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga kerusakan dan kemunduran lingkungan dapat
dihindarkan dan melestarikan daya guna sumber daya alam dan lingkungan hidup
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan
yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (PPT).
Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul),
pembunuh dan bentuk lainnya.
Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya
berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan
yang terbatas. Oleh karen terbuat dari bahan alami / nabati maka jenis pestisida ini
bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan,
dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang.
Jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati antara lain :
Aglaia (Aglaia odorata L)
Bengkoang (Panchyrrhyzus erosus - Urban)
Jeringau (Acorus calamus L)
Serai (Andropogan margus L)
Sirsak (Annona muricata L)
Srikaya (Annona squamosa L)
Jenis tumbuhan penghasil atraktan / pemikat antara lain :
Daun wangi (Melaleuca bracteata L)
Selasih (Ocimum sanctum)
Jenis tumbuhan penghasil rodentia nabati antara lain :
Gadung - KB (Dioscorea composita L)
Gadung racun (Dioscorea hispida)
MIMBA (Azadirachta indica)
Mengandung senyawa aktif azadirachtin, meliantriol, dan salanin. Berbentuk tepung dari
daun atau cairan minyak dari biji/buah. Efektif mencegah makan (antifeedant) bagi
serangga dan mencegah serangga mendekati tanaman (repellent) dan bersifat sistemik.
Mimba dapat membuat serangga mandul, karena dapat mengganggu produksi hormone
dan pertumbuhan serangga.
Mimba mempunyai spectrum yang luas, efektif untuk mengendalikan serangga bertubuh
lunak (200 spesies) antara lainL belalang, thrips, ulat, kupu-kupu putih, dll. Disamping
itu dapat juga untuk mengendalikan jamur (fungisida) pada tahap preventif,
menyebabkan spora jamur gagal berkecambah. Jamur yang dikendalikan antara lain
penyebab: embun tepung, penyakit busuk, cacar daun/kudis, karat daun dan bercak daun.
Dan mencegah bakteri pada embun tepung (powdery mildew). Ekstrak mimba sebaiknya
disemprotkan pada tahap awal dari perkembangan serangga, disemprotkan pada dun,
disiramkan pada akar agar bisa diserap tanaman dan untuk mengendalikan serangga di
dalam tanah.
AKAR TUBA (Deris eliptica)
Senyawa yang telah ditemukan antara lain adalah retenon. Retenon dapat diekstrak
menggunakan eter/aseton menghasilkan 2 – 4 % resin rotenone, dibuat menjadi
konsentrat air. Rotenon bekerja sebagai racun sel yang sangat kuat (insektisida) dan
sebagai antifeedant yang menyebabkan serangga berhenti makan. Kematian serangga
terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah terkenal rotenone. Rotenon dapat
dicampur dengan piretrin/belerang. Rotenon adalah racun kontak (tidak sistemik)
berpspektrum luas dan sebagai racun perut. Rotenon dapat digunakan sebagai
moluskisida (untuk moluska), insektisida (untuk serangga) dan akarisida (tungau).
TEMBAKAU
Senyawa yang dikandung adalah nikotin. Ternyata nikotin ini tidak hanya racun untuk
manusia, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk racun serangga Daun tembakau kering
mengandung 2 – 8 % nikotin. Nikotin merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat.
Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga seperti: ulat perusak daun, aphids,
triphs, dan pengendali jamur (fungisida).
CAMPURAN DAUN MIMBA DAN UMBI GADUNG SEBAGAI
PESTISIDA NABATI
Januari 9, 2008 oleh plantus
Deskripsi
Pestisida nabati daun mimba dan umbi gadung efektif untuk mengendalikan ulat dan
llama pengisap.
Bahan
Daun mimba
Umbi gadung
Detergen
Air
Alat
Timbangan Alat penumbuk Tempat pencampuran Pengaduk Saringan.
Cara Pembuatan
Cara pembuatan pestisida nabati daun mimba dan umbi gadung adalah sebagai berikut.
1.Tumbuk halus 1 kg daun mimba dan 2 buah umbi gadung racun, tambah dengan 20
liter air + 10 g detergen, aduk sampai rata
2.Diamkan rendaman tersebut selama semalam.
3.Saring larutan hasil rendaman dengan kain halus.
4.Semprotkan larutan hasil penyaringan ke pertanaman.
Menurut dia, cara membuat pestisida nabati mudah dan bahannya murah. Bahan yang
digunakan adalah daun picung, mindi, buah gadung, suren, kenikir, brotowali, kunyit,
kencur, tembakau, kecubung, sambiloto, lengkuas, sereh, dan daun cengkeh. Tanaman-
tanaman itu pun terdapat di kampung dan hutan.
Dampak Negatif dari Penggunaan Pestisida Kimia
Petani selama ini tergantung pada penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan
hama dan penyakit tanaman. Selain yang harganya mahal, pestisida kimia juga banyak
memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari
penggunaan pestisida kimia antara lain adalah:
1. Hama menjadi kebal (resisten)
2. Peledakan hama baru (resurjensi)
3. Penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen
4. Terbunuhnya musuh alami
5. Pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia
6. Kecelakaan bagi pengguna
Kira-kira sudah berapa lama petani menggunakan pestisida kimia ini? Jadi bisa
dibayangkan sendiri akibatnya bagi tanah pertanian di Indonesia. Aku pernah melihat
sendiri bagaimana petani awam menggunakan pestisida kimia ini. Sungguh sangat
berlebihan. Ketika aku tanyakan padanya mengapa dia menggunakannya dengan dosis
sangat tinggi, jawabnya:”kalau tidak banyak ngak manjur”. Nah..lho…!!!!
Keunggulan dan Kekurangan Pestisida Nabati
Alam sebenarnya telah menyediakan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk
menanggulangi serangan hama dan penyakit tanaman. Memang ada kelebihan dan
kekurangannya. Kira-kira ini kelebihan dan kekurangan pestisida nabati.
Kelebihan:
1. Degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari
2. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan napsu makan serangga
walaupun jarang menyebabkan kematian
3. Toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relative lebih aman pada
manusia dan lingkungan
4. Memiliki spectrum pengendalian yang luas (racun lambung dan syaraf) dan
bersifat selektif
5. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah kebal pada pestisida kimia
6. Phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman
7. Murah dan mudah dibuat oleh petani
Kelemahannya:
1. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih
sering
2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan bagi serangga)
3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena keterbatasan
bahan baku
4. Kurang praktis
5. Tidak tahan disimpan
Fungsi dari Pestisida Nabati
Pestisida Nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat
2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot. Rasanya
ngak enak kali….
3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa
4. Menghambat reproduksi serangga betina
5. Racun syaraf
6. Mengacaukan sistem hormone di dalam tubuh serangga
7. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap
serangga
8. Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri
Bahan dan Cara Umum Pengolahan
Bahan mentah berbentuk tepung (nimbi, kunyit, dll)
Ekstrak tanaman/resin dengan mengambil cairan metabolit sekunder dari bagian
tanaman tertentu
Bagian tanaman dibakar untuk diambil abunya dan dipakai sebagai insektisida
(serai, tembelekan/Lantana camara)
DAFTAR PUSTAKA
Alrasyid, H. 1983. Some fuelwood tree species characteristics in Indonesia. Buletin
Penelitian Hutan Bogor.
Goenadi, D.H. ; Y. Away ; Y. Sukin ; H. Yusuf ; Gunawan dan P. Aritonang. 1998.
Teknologi produksi kompos bioaktif tandan kosong kelapa sawit. Pertemuan Teknis
Bioteknologi Perkebunan Untuk Praktek. Bogor.
Gusmailina; G. Pari, and S. Komarayati. 1999. The Utilization Technology of Cahrcoal
and Activated Charcoal as a soil conditioning on plants. Project Report. Forest
products Research Centre. Bogor.
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil
conditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Implementation study of compost and
charcoal compost production. Laporan kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil
Hutan dengan JIFPRO - Jepang (Tidak diterbitkan)
JDFDA. 1994. Example of New utilization of charcoal. Japan Domestic Fuel Dealers
Association.
Ogawa, M. 1989. Mycorrhizza and their utilization in forestry. Report of Shortterm
Research Cooperation. The Tropical Rain Forest Research Project JTA-9A (137).
JICA. Japan.
Karama, A.S., A. Rasyid Marzuki, dan Ibrahim Manwan. 1990. Penggunaan Pupuk
Organik pada Tanaman pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi
Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat, Cisarua. Bogor.
Komarayati, S., Gusmailina, G. Pari dan Hartoyo. Laporan Proyek DIK-S Sumber Dana
Reboisasi. Tahun Anggaran 2000.
Adiningsih, J.S. (2000). Peranan bahan organik tanah dalam sistem usaha tani konservasi.
Yayasan Penelitian Pertanian Indonesia/Kantor KIAT bekerja sama dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Proyek Pembinaan Kelembagaan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Haryanto, B. (2000). Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak dan strategi pemberian
pakan sapi perah. Yayasan Penelitian Pertanian Indonesia/Kantor KIAT bekerja
sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Proyek
Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jamarun N., Yuliati S.N., Husnedi (1997), Peningkatan kualitas jerami padi melalui
penggunaan inokulum Aspergillus niger dan Urea. Fakultas Peternakan Universitas
Andalas. Prosiding Seminar Nasional II Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Kerja
sama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi ilmu Nutrisi
dan Makanan Ternak (AINI). 1997.
Partohardjono, S. (2000). Pemahaman konsep dasar pengembangan sistem usaha tani
terpadu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Program
Pertanian Organik Nasional (2001). Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.
Soedjana, T.D. (2000). Sistem usaha tani terpadu tanaman-ternak sebagai respon terhadap
faktor resiko. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Bogor.
Allen, P. and D. van Dusen. 1988. Sustainable Agriculture: Choosing the Future. In:
Global Perspective on Agroecology and Sustainable Agricultural Systems.
University of California, Santa Cruz, CA, USA.
Bolton, H. Jr., L. F. Elliott, R. I. Papendick and D. F. Bezdicek. 1985. Soil Microbial
Biomass and Selected Soil Enzyme Activities: Effect of Fertilization and Cropping
Practices. Soil Biology and Biochemical 17: 297-302.
EDWARDS, C.A., LAL, R., Madden, P., Miller, R.H House, G. (Ed). 1990 Suistainable
Agricultural Systems. St Lucie Prees., Soil and Water Conservation Society,
LOWA.
Fraser, D. G., J. W. Doran, W. W. Sahs and G. W. Lesoing. 1988. Soil Microbial
Populations and Activities under Conventional and Organic Management. Journal
of Environmental Quality 17: 585-590.
GILPIN, A. 1996 Dictionery of Environment and Suistainable Development.
International Labour Organization. 2000. Sustainable Agriculture in a Globalised
Economy. Geneva.
Lin, C. F., T. S. L. Wang, A. H. Chang and C. Y. Cheng. 1973. Effects of Some Long
Term Fertilizer Treatments on the Chemical Properties of Soil and Yield of Rice.
Journal of Taiwan Agricultural Research 22: 241-292.
Marsh, R. and D. Runsten. 1997. The Organic Produce Niche Market: Can Mexican
Smallholders be Stakeholders. UCLA. Paper Prepared for the Project “The
Transformation of Rural Mexico: Building an Economically Viable and
participatory Campesino Sector”.
Organic Farming. 1990. Principles of Organic Farming. Stated by International
Federation of Organic Agriculture Movements. USA.
Organic Farming Research Foundation. 2001. Organization Policy Statement on Genetic
Engeneering in Agriculture. March 23.
Organic Farming Research Foundation. 2003. The 4th National Organic Farming Survey.
Released by: Organic Farming Research Foundation. May 14.
Radovic, T. and H. Valenzuela. 1999. Organic Farming: An Overview of the Organic
Farming Industry in Hawaii. Vegetable Crops Update Vol. 9 No. 1.
Reganold, J. P. 1989. Comparison of Soil Properties as Influenced by Organic and
Conventional farming Systems. American Journal Alternative Agriculture 3: 144-
145.
Sommerfeldt, T.G. and C. Chang and T. Entz. 1988. Long Term Annual Manure
Applications Increase Soil Organic Matter and Nitrogen, and Decrease carbon to
Nitrogen Ratio. Soil Science Social American Journal 52: 1668-1672.
UNDP dan OECD, 2002 Sustainable Development Strategies ( Resource book).
Wang, Y. and C. Chao. 1995. The Effect of Organic Farming Practices on the Chemical,
Physical and Biological Properties of Soil in Taiwan. In: Sustainable Food
Production in the Asian and Pacific Region. Food and Fertilizer Technology Center
for the Asian and Pacific Region.
Winarno, F. G. 2003. Pangan Organik di Kawasan Asia Pasifik. Harian Kompas 10 Juni
2003.
Yamada, H. 1988. Some Experimental Results Obtained from the Studies on
Technological Evaluation of Organic Farming and Gardening. Agricultural
Technology 43: 433-437.
[1] BP2HP Deptan. 2000. Leaflet. Go Organik 2010.
[2] Balai Penelitian Tanah. 2004. Leaflet. Pengelolaan Lahan Budidaya Sayuran Organik.
[3] IFOAM 2005. http://www.ifoam.org.
[4] SNI 01-6729-2002. Standar Nasional Indonesia. Sistem pangan organik. Badan
Standarisasi Nasional.
[5] Statistics Organik.2004. The World of Organik Agriculture. Statistics and emerging
Trends. HelgaWillerandMinouYussefi (Eds). http://www.soel.de/inhalte/publicationen
Husnain dan Haris Syahbuddin. Mungkinkah Pertanian Organik di Indonesia? Peluang
dan Tantangan INOVASI. Edisi Vol.4/XVII/Agustus 2005 - TOPIK UTAMA ISSN :
0917-8376 | Edisi Vol.4/XVII/Agustus 2005