persekongkolan dan perjanjian kartel dalam impor bawang...
TRANSCRIPT
PERSEKONGKOLAN DAN PERJANJIAN KARTEL DALAM
IMPOR BAWANG PUTIH
(Analisis Kasus Terhadap Putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SYAMSUL ARIFIN BILLAH
NIM: 1110048000025
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
iv
ABSTRAK
SYAMSUL ARIFIN BILLAH. 1110048000025 PERSEKONGKOLAN
DAN PERJANJIAN KARTEL IMPOR BAWANG PUTIH (Analisis Kasus
Terhadap Putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013). Konsentrasi Hukum Bisnis,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2017 M. viii + 72 halaman + 23
halaman lampiran.
Penelitian ini menganalisis putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013 tentang
pelaksanaan importasi bawang putih. Pada tahun 2013 terjadi kenaikan harga
bawang putih yang tidak wajar, berdasarkan fakta dan temuan di lapangan Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha mengeluarkan putusan No. 05/KPPU-i/2013 yang
isinya menyatakan 19 pelaku usaha dan 3 lembaga non pelaku usaha melanggar
pasal 11 dan 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Isi putusan menyatakan bahwa
tidak terbukti adanya kartel dan menyeret lembaga negara dalam kasus
persaingan usaha importasi bawang putih. Skipsi ini bertujuan untuk menganalisis
isi putusan, landasan hukum keputusan KPPU, dan dasar hukum pelaku non usaha
dalam kasus kartel.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu
kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sedangkan Pendekatan kasus
adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah suatu kasus yang telah
menjadi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini yaitu putusan
KPPU No. 05/KPPU-i/2013.
Kesimpulan skripsi ini, pada dasarnya landasan hukum putusan KPPU
sudah kuat secara kelembagaan, namun hubungan dengan lembaga peradilan lain
harus diperjelas agar sanksi yang dikeluarkan dapat berjalan maksimal. Isi
putusan pada umumnya sudah memanifestasikan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, namun pada sisi pembuktian kartel KPPU tidak menggunakan metode
inderect evidence dengan melihat dampak ekonomi. Dasar hukum pelaku non
usaha tidak diatur dengan jelas dalam undang-undang persaingan usaha sehingga
pelaku non usaha dalam hal ini pemerintah hanya mendapatkan rekomendasi yang
kurang mampu meningkatkan persaingan usaha yang demokratis dari segi
penyelenggara.
Kata Kunci : Persaingan Usaha Tidak Sehat, Kartel, Persekongkolan , Putusan
KPPU.
Pembimbing : 1. H.M Yasir, S.H., M.H.
2. Ahmad Batiar, M. Hum.
Daftar Pustaka : 1984 - 2014
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada umat manusia yang ada di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya hingga
akhir zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari bahwa telah
banyak mendapatkan rintangan dan hambatan yang datang silih berganti. Berkat
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan
tersebut dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupun materil kepada penulis sehingga skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan
dengan baik. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Periode 2015-2019 beserta jajarannya.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan
arahan dan Bapak Drs. Abu Tamrin S.H., M.Hum, Sekertaris Program Studi
Ilmu Hukum yang telah memberikan banyak solusi dan nasihat kepada penulis
dalam upaya menyelesaikan penulisan skripsi
3. H. M. Yasir S.H., M.H dan Ahmad Bahtiar, M.Hum, dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam
memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membimbing penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tak kenal lelah memberikan
ilmu yang bermanfaat.
vi
5. Seluruh pimpinan dan staf Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan; bagian Tata Usaha
Fakultas Syariah dan Hukum.
6. Ayahanda A Ghozali Yahya dan Ibunda Euis Ratna Ningsih, yang telah
memberikan segala dukungan dan pengorbanan yang tak terhingga dengan
penuh cinta dan kasih baik moril maupun materil serta doanya sehingga
penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.
7. Kakanda Neneng Yulianti dan Rizal Rahmatullah yang telah memberi
perhatian, dukungan serta doa.
8. Seseorang bernama Indriani, sahabat terbaik yang selalu sabar menunggu tak
pernah lelah memberi semangat, perhatian, dorongan serta dukungan.
9. Seluruh Sahabat Ilmu Hukum Angkatan 2010, terutama kawan senasib
sepenanggungan Ahmad Ilham Adha, Aryadillah, Caesal Regia, Mustafa AB,
Zakaria Zakim, atas hari-hari penuh keceriaan yang penulis alami selama masa
studi.
10. Pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu penulis dalam penyelesaian
skripsi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Demikian ucapan terimakasih ini penulis sampaikan dengan harapan semoga
Allah SWT yang membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang lain dan
dapat menjadi sumber edukasi bagi seluruh pembacanya.
Jakarta, 31 Maret 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah .................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 5
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ....................................... 7
E. Kerangka Konseptual dan Kerangka Teori ............................ 8
F. Metode Penelitian .................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II PERSEKONGKOLAN DAN PERJANJIAN KARTEL SEBAGAI
BAGIAN DARI PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
A. Pengertian Persekongkolan dan Perjanjian Kartel .................. 16
1. Pengertian Persekongkolan .............................................. 16
2. Pengertian Perjanjian Kartel ............................................. 18
B. Persekongkolan Menurut Sistem Hukum di Indonesia .......... 21
C. Perjanjian Kartel Menurut Sistem Hukum di Indonesia ......... 24
BAB III KPPU SEBAGAI LEMBAGA OTORITAS PERSAINGAN
USAHA DI INDONESIA
A. Sejarah Pembentukan dan Kedudukan KPPU dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia ...................................................... 28
viii
1. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawasan Persaingan
Usaha (KPPU) ................................................................ 28
2. Kedudukan KPPU dalam Ketatanegaraan di Indonesia ..
......................................................................................... 32
B. Tugas dan Wewenang KPPU dalam Persaingan Usaha di Indonesia
............................................................................................... 34
C. Peranan KPPU dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha 39
BAB IV ANALISIS PUTUSAN KPPU NO. 05/KPPU-I/2013TERKAIT
PERSEKONGKOLAN DAN PERJANJIAN KARTEL IMPOR
BAWANG PUTIH
A. Kasus Posisi ........................................................................... 42
B. Putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013 ..................................... 48
C. Analisis Penulis ...................................................................... 50
1. Kedudukan Hukum Keputusan KPPU No. 05/KPPU-I/2013
........................................................................................... 50
2. Isi Putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013 ........................... 54
3. Dasar Hukum Non Pelaku Usaha ...................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 67
B. Saran ....................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 70
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bawang putih merupakan komoditas pertanian yang penting bagi
masyarakat Indonesia. Pada tahun 2013 terjadi lonjakan harga bawang putih
yang signifikan hingga enam kali lipat, lonjakan harga tidak wajar ini menjadi
indikasi awal adanya sesuatu hal yang tidak semestinya dalam proses
importasi bawang putih di Indonesia. Harga bawang mulai naik pesat sejak
November 2012 dari harga normalnya Rp 10-15 ribu per kilogram hingga
mencapai antara Rp 60 hingga 85 ribu per kilogram. Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha menemukan sejumlah indikasi kuat permainan kartel,
menurut ketua KPPU Nawir Messi kelangkaan bawang putih ini bukan
kejadiaan acak, kemungkinan besar ini terkoordinasi sedemikian rupa
sehingga pasar bergejolak sedemikian rupa hingga harga melonjak enam kali
lipat. 1
Kenaikan harga bawang yang tidak wajar menjadi salah satu objek yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Sejak reformasi 1998
Indonesia mengafirmasi persaingan usaha secara sehat yang dijamin secara
yuridis, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dibentuk untuk menata kembali
kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang
secara demokratis, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta
terhindarnya pemusatan kekuasaan ekonomi pada perorangan atau kelompok
1 Artikel diambil dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/03/130318_garliccartel pada Jumat 28
Oktober 2016, pukul 10.15 WIB.
2
tertentu, antara lain dalam bentuk monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Dalam rangka menghindari monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
berdasarkan bab VI Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dibentuklah suatu
komisi yang berfungsi mengawasi pelaksanaan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, komisi tersebut adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, setidaknya terdapat 3
(tiga) jenis perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yakni perjanjian yang
dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan.
Pada kasus Importasi bawang putih tahun 2013 di Indonesia, KPPU
melihat adanya indikasi perjanjian yang dilarang untuk mengendalikan harga
bawang di pasaran. Melalui mekanisme penyelidikan hingga penyampaian
putusan, Pada 20 maret 2013, KPPU memutus suatu perjanjian kartel yang
dilakukan pelaku usaha dan berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak
sehat dibidang import bawang putih dengan putusan No. 05/KPPU-i/2013.
Pada isi putusan terdapat beberapa dua poin menarik, pertama adanya unsur
pelaku non usaha yang didakwa bersalah pada persidangan dalam hal ini
Badan Karantina Holtikultura Kementrian Pertanian dan Direktorat
Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdangan. Kedua, meskipun
terindikasi melakukan perjanjian kartel, namun KPPU memutuskan tidak
memenuhi unsur perjanjian kartel. Para pelaku usaha yang terlibat dalam
importasi bawang hanya terbukti bersalah melakukan persekongkolan yang
mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.
3
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak terdapat aturan
yang jelas mengenai keterlibatan pelaku non usaha, terlebih pemerintah
sebagai penyelenggara kegiatan importasi bawang putih. Dalam putusan
sendiri hukuman yang diberikan kepada dua lembaga negara hanya besifat
rekomendasi, berbeda dengan pelaku usaha yang dikenakan sanksi
administratif oleh KPPU. Dilema Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam
kedudukannnya menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti.
Poin kedua yang menarik dalam putusan KPPU adalah tidak
terbuktinya perjanjian kartel, padahal dampak yang diberikan oleh kasus ini
sangat signifikan bagi masyarakat luas. Unsur-unsur kartel menjadi bahas
analisis untuk melihat putusan KPPU sudah sesuai dengan aturan perundang-
undang atau masih menyisakan permasalah. Selain perjanjian kartel, juga akan
menarik melihat hubungan antara persekongkolan dan kartel, apakah saling
menutupi atau melindungi dalam kasus importasi bawang ini
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian terkait perjanjian kartel yang merugikan
masyarakat. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut akan dituangkan dalam
bentu skripsi dengan judul PERSEKONGKOLAN DAN PERJANJIAN
KARTEL DALAM IMPOR BAWANG PUTIH (Analisis kasus terhadap
putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013).
4
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013 maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu:
a. Apakah dalam kasus importasi bawang putih telah memenuhi unsur-
unsur persaingan usaha tidak sehat?
b. Apakah kebijakan kuota importasi bawang putih di indonesia
merupakan dasar terjadinya persekongkolan dalam kasus importasi
bawang putih?
c. Bagaimanakah kebijakan Perpanjangan Surat Persetujuan Impor yang
dilakukan Dirjen Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian
Perdagangan tidak transparan dan diskriminatif sehingga menimbulkan
dugaan pelanggaran persaingan usaha?
d. Apakah dalam kasus importasi bawang putih yang ditetapkan dengan
putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013 ini terdapat unsur perjanjian yang
dilarang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999?
e. Apakah keterlibatan pelaku non usaha dalam persaimngan usaha tidak
sehat diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999?
f. Apakah posisi kedudukan hukum putusan KPPU dalam sistem hukum
usaha sudah kuat sebagai pengawal persaingan usaha?
5
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan indentifikasi masalah, untuk
menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas maka akan
dibatasi terhadap perjanjian kartel dan persekongkolan yang terjadi dalam
dunia usaha dan berpotensi menyebabkan praktik monopoli serta
persaingan usaha tidak sehat sesuai dengan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999. Pembahasan tersebut kemudian
dikorelasikan terhadap kasus kartel impor bawang putih yang diputus oleh
KPPU berdasarkan putusan No. 05/KPPU-i/2013.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Kedudukan Hukum (Legal Standing) pada perkara kartel
impor bawang putih terkait putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013 ?
b. Bagaimana analisis Putusan Majelis KPPU pada perkara kartel impor
bawang putih berdasarkan putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013?
c. Bagaimana dasar hukum KPPU dalam menerapkan sanksi kepada
pihak bukan pelaku usaha pada perkara kartel impor bawang putih?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berikut terdapat beberapa tujuan penelitian yang telah dirumuskan
6
oleh penulis:
a. Untuk mengetahui Kedudukan hukum (Legal Standing) pada perkara
kartel impor bawang putih terkait putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013.
b. Untuk mengetahui isi putusan majelis KPPU pada perkara kartel impor
bawang putih terkait putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013.
c. Untuk mengetahui dasar hukum KPPU dalam menerapkan sanksi
kepada pihak non pelaku usaha pada perkara kartel impor bawang putih
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini, ialah:
1) Sebagai sumber referensi dan bahan bacaan bagi mahasiswa,
praktisi hukum, dan akademisi untuk mendalami praktik perjanjian
kartel dan persekongkolan dalam persaingan usaha.
2) Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dalam melakukan
penelitian hukum dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tulisan.
3) Sebagai sumbangan terhahadap ilmu hukum di Indonesia pada
umumnya, dan hukum persaingan usaha khususnya.
b. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini,
ialah:
1) Sebagai bahan pembelajaran kepada pemegang saham dan seluruh
stakeholder dalam dunia usaha terkait praktik kartel dan persaingan
7
usaha tidak sehat.
2) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan bagi
Komisi Pengawaas Persaingan Usaha dan lembaga-lembaga lain
yang terlibat dalam pengawasan usaha.
3) Sebagai tambahan informasi bagi seluruh pihak yang terkait dan
bersinggungan langsung dengan dunia usaha.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan suatu
tinjauan (review) terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Setidaknya terdapat
beberapa penelitian yang menjadi bahan review oleh penulis.
Pertama adalah skripsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
disusun oleh Lebdo Dwi Paripurno dengan Judul “Praktek Kartel dalam
Industri Minyak Goreng di Indonesia Ditinjau Menurut Hukum Persaingan
Usaha”, dalam skripsi ini dibahas mengenai praktik-praktik kartel di
indonesia, khususnya terkait kartel minyak goreng. Berbeda dengan skripsi
yang penulis susun, dimana dalam skripsi ini dibahas mengenai perjanjian
kartel yang terjadi dalam impor bawang putih terkait putusan KPPU No.
05/KPPU-i/2013.
Kedua adalah skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang disusun oleh Maulana Ichan Setiadi dengan Judul
“Analisis Yuridis Putusan KPPU Nomor 16/KPPU-I/2009 Tentang
Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan (Cleaning Service) Di Bandara
8
Soekarno Hatta”, skripsi ini membahas mengenai peraktik persekongkolan
tender proyek jasa di bandara Soekarno Hatta yang telah melanggar Pasal 22
Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan menganalisis putusan KPPU No.
16/KPPU-i/2009. Berbeda dengan skripsi yang penulis susun, dimana dalam
skripsi ini dibahas mengenai persaingan usaha tidak sehat dalam
persekongkolan dan perjanian perjanjian kartel impor bawang putih terkait
putusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013.
Penelitian selanjutnya adalah sebuah jurnal ilmiah yang di akses di
berkas.dpr.go.id Info Singkat Vol V No.06/II/P3DI/Maret/2013 yang ditulis
oleh Sahat Aditua F. Silalahi dengan judul “Dugaan Keberadaan Kartel
Pangan Dan Upaya Penanggulangannya”. Di mana tulisan ini mengkaji
tentang kartel, khususnya kartel pangan dan kebijakan yang dapat di tempuh
oleh pemerintah untuk meminimalisir kerugian ekonomi akibat keberadaan
kartel tersebut.
E. Kerangka Konseptual dan Kerangka Teori
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah pedoman yang lebih konkrit dari teori,
yang berisikan definisi oprasional yang menjadi pegangan dalam proses
penelitian yaitu pengumpulan, pengelolaan, analisis dan konstruksi data
dalam skripsi ini. Adapun beberapa pengertian yang menjadi konseptual
skripsi ini akan dijabarkan dalam uraian di bawah ini:
9
a. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan hukum, baik
yangg berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan baerbagai kegiatan usaha
ekonomi.
b. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha
c. Monopoli adalah penguasaan atas suatu produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
d. Kartel adalah perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk mempengaruhi harga dengan cara
mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat
e. Persekongkolan adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai
pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
10
f. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang
dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar
bersangkutan
g. Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau
jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
pihak lain.
2. Kerangka Teori
Untuk upaya pencegahan praktek monopoli dan pemberantasan
persaingan usaha tidak sehat, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
menerapkan dua pendekatan dalam menerapkan ketentuan-ketentuannya,
yakni pendekatan per se illegal dan rule of reason.
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatanyang digunakan
oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai
akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah
suatu perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung
persaingan.2
Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan tertentu bersifat illegal tanpa harus pembuktian
lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan
tersebut.3
2 Andi Fahmi Lubis. Et all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 55 3 Andi Fahmi Lubis. Et all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 55
11
Terkait perjanjian kartel seperti yang dirumuskan dalam rumusan
pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menerapkan prinsip rule of
reason. Hal tersebut dikarenakan suatu perjanjian kartel tidak selalu
membawa dampak yang buruk bagi persaingan usaha.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untukl kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
penelitian normatif. Penelitian hukum normatif mencakup, penelitian
terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian terhadap sejarah
hukum, dan perbandingan hukum.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah socio-
legal, yaitu penelitian yang menggunakan studi hukum (normatif). Dalam
12
studi hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-
aturan yang membahas mengenai persaingan usaha tidak sehat, khususnya
terkait perjanjian kartel dan persekongkolan dalam dunia usaha, khsusunya
usaha impor bawang putih.
Pendekatan kasus digunakan untuk secara langsung mengetahui
penerapan peraturan perundang-undangan dibidang praktek perjanjian
kartel dan persekongkolan secara langsung di masyarakat, khususnya
terhadap putusan KPPU No.05/KPPU-i/2013.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
primerdan data sekunder. Data primer dapat diperoleh langsung dari
sumber pertama, yakni peraturan perundang-undangan, wawancara dengan
pihak yang terlibat secara langsung dan buku referensi yang relevan
dengan penelitian penulis dan sesuai dengan bahan hukum yang dapat
dibagi menjadi:4
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif
atau yang berarti memiliki otoritas. Bahan-bahan huium primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 141
13
ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah yang berhubungan
dengan perjanjian kartel dan persekongkolan secara khusus dan
persaingan usaha tidak sehat secara umum.
b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang terdiri dari
buku-buku hukum, termasuk didalamnya skripsi, tesis, dan disertasi
hukum serta jurnal hukum. Bahan hukum sekunder yang digunakan
adalah berupa buku referensi yang terkait dengan hukum persaingan
usaha dan hukum perusahaan
c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
sumber hukum primer dan sekunder seperti ensiklopedia, kamus
bahasa dan artikel dalam internet.
4. Prosedur Pengumpulan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan
data melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu
dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti
buku-buku yang berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat, putusan
KPPU No. 5/KPPU-i/2013, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, jurnal,
kamus dan juga berita dari internet.
Bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier yang
ada akan dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah
diklasifikasi menurut sumber dan hirarkinya untuk kemudian dianalisis
secara komprehensif.
14
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang telah diperoleh melalui studi pustaka
akan dikorelasikan dan dianalisis dengan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan judul penelitian penulis guna disajikan dalam
penulisan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif.
6. Metode Penulisan
Penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 dan
dibagi kedalam 5 (lima) pokok pembahasan yang dibagi dalam tiap bab.
Berikut adalah bagian-bagian pembahasan dalam skripsi ini.
Pada bab I akan ini dibahas latar belakang masalah, identifikasi batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian (review) studi
terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
15
Bab II ini akan dibagi kedalam beberapa fokus pembahasan,
diantaranya adalah pengertian perjanjian kartel dan persekongkolan, unsur-
unsur dan pengaturan terkait perjanjian kartel dan persekongkolan dalam
sistem hukum Indonesia.
Pada bab III ini akan dibahas mengenai sejarah pembentukan KPPU dan
kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tugas dan wewenang
KPPU, dan peranan KPPU dalam penegakan hukum persaingan di Indonesia.
Pada bab IV ini akan dibahas mengenai analisis kasus terkait
persekongkolan dan perjanjian kartel dalam penyelenggaraan impor bawang
putih berdasarkan sistem hukum Indonesia dan pendekatan yang ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pada bab V akan membahas mengenai kesimpulan dan saran
berdasarkan hasil penelitian penulis.
16
BAB II
PERSEKONGKOLAN DAN PERJANJIAN KARTEL SEBAGAI BAGIAN
DARI PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT
A. Pengertian Persekongkolan dan Perjanjian Kartel
1. Pengertian Persekongkolan
Kata-kata persekongkolan hampir selalu berkonotasi negatif tidak
hanya dalam konteks persaingan usaha akan tetapi di berbagai bidang
kehidupan lainnya seperti politik, sosial, dan budaya. Istilah
persekongkolan pertama kali ditemukan pada Antitrust Law di Amerika
Serikat (AS) yang didapat melalui Yurisprudensi Mahkamah Tertinggi AS,
berkaitan dengan ketentuan pasal satu The Sherman Act 1690. Mahkamah
tertinggi AS juga mendefiniskan sebagai penghambat perdagangan, dan
kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan persekongkolan guna
menghambat perdagangan.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekongkolan berasal
dari kata „sekongkol‟. Kata „sekongkol‟ diartikan sebagai orang-orang
yang bersama-sama melakukan kejahatan.2
Sedangkan Robert Meiner membedakan dua jenis persekongkolan
berdasarkan pihak-pihak yang terlibat yaitu, persekongkolan yang bersifat
horizontal (horizontal conspiracy) dan persekongkolan bersifat vertikal
(vertical conspiracy). Persekongkolan horizontal adalah persekongkolan
1 Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 146. 2 Kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Galia Media Press, 2000), h. 41.
17
yang diadakan oleh pihak-pihak yang saling bersaing, sedangkan
persekongkolan vertikal adalah persekongkolan yang dibuat oleh pihak-
pihak yang berada dalam hubungan penjual (penyedia jasa) dengan
pembeli (pengguna jasa).3
Dari berbagai defenisi dapat disimpulkan bahwa persekongkolan
harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan tujuan melakukan
tindakan atau kegitan bersama (joint effots) suatu perilaku yang melawan
hukum. Sehingga terdapat dua unsur persongkokolan, yaitu: Pertama,
adanya dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama (in concert)
melakukan perbuatan tertentu, kedua, perbuatan yang dilakuakan tersebut
merupakan perbuatan melangar hukum. 4
Persekongkolan dalam perspektif kebijakan persaingan usaha
memiliki makna negatif, bukan saja di bidang usaha perdagangan, juga
hampir di semua kegiatan kemasyarakatan persekongkolan itu memiliki
asumsi buruk, karena pada hakikatnya persekongkolan bertentangan
dengan rasa keadilan. Siapapun dia akan merasa diperlakukan tidak adil,
manakala tidak mendapat peluang yang sama dengan yang lain untuk
memperoleh suatu barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh
penyelenggara atau panitia, misalnya masalah tender.5
3 Ari Siswanto, „Bid-Rigging‟ sebagai Tindakan Anti-Persaingan dalam Jasa Konstruksi,
refleksi hokum, (Salatiga: UKSW, 2001). h. 68. 4 Yakub Adi Kristanto, “Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan karakteristik
Putusan tentang persekongkolan Tender”, Jurnal hukum Bisnis, vol. 24 no. 2,(Yogyakarta,2005):
h. 41. 5 Suharsil dan M. Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 66.
18
2. Pengertian Perjanjian Kartel
Istilah kartel terdapat dalam beberapa bahasa seperti cartel dalam
bahasa Inggris dan kartel dalam bahasa Belanda. Cartel disebut juga
syndicate yaitu suatu kesepakatan (tertulis) antara beberapa perusahaan
produsen dan lain-lain yang sejenis untuk mengatur dan mengendalikan
berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dan sebagainya, dengan
tujuan menekan persaingan dan atau persaingan usaha pada pasar yang
bersangkutan, dan meraih keuntungan.6 Kamus Hukum Ekonomi ELIPS,
mengartikan kartel sebagai persekongkolan atau persekutuan diantara
beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol
produksi, harga, dan penjualannya untuk memperoleh posisi monopoli.7
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu pengertian
kartel adalah persetuuan sekelompok perusahaan dengan maksud
mengendalikan harga komoditas tertentu.8 Sedangkan menurut Winardi
kartel itu merupakan gabungan atau persetujuan (conventie) antara
pengusaha-pengusaha yang secara yuridis dan ekonomis berdiri sendiri.
Untuk mencapai sasaran, peniadaan sebagian atau seluruh persaingan antar
pengusaha, untuk dapat menguasai pasar, yang mana biasanya tujuan
pembentukan kartel diperlukan syarat bahwa kartel mencakup bagian
6 Edilius Sudarsono, Kamus Ekonomi: Uana dan Bank, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 44.
7 Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,( Jakarta: Sinar Grafika), 2013. h.
283. 8Kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Galia Media Press, 2000), h. 22.
19
terbesar dari badan-badan usaha yang ada, dengan ketentuan bahwa
mereka menggarap pasaran yang bersangkutan.9
Menurut Didik J. Rachbini jika para yang bersaing ternyata
melakukan koordinasi bersama untuk mengkontrol pasar, maka usaha ini
disebut sebagai praktik kartel, yang sangat merugikan masyarakat.
Koordinasi ini biasa diwujudkan dalam berbagai cara, yaitu perjanjaian
penetapan harga, jumlah yang diproduksi, dan wilayah pemasaran. Praktik
ini merupakan usaha pelaku-pelaku ekonomi untuk mengendalikan pasar
secara horizontal (horizontal restraint).10
Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh
Christopher Pass dan Bryan Lowes, cartel atau kartel diartikan:
“cartel is an association of similar companies or businesses that
have grouped together in order to prevent competition and to control
prices. Cartel also a collusive international association of independentent
erprises formed to monopolis production and distribution of a product or
service, control prices,etc.11
Sebagai contoh, para pemasok mengatur agen penjual tunggal
yang membeli semua output mereka dengan harga yang disetujui dan
mengadakan pengaturan dalam memasarkan produk tersebut secara
terkoordinasi. Bentuk lain adalah para pemasok melakukan perjanjian
dengan menentukan harga jual yang sama terhadap produk mereka,
sehingga menghilangkan persaingan harga, tetapi bersaing dalam
9 Winardi, Istilah Ekonomi Dalam Tiga Bahasa, Inggris, Belanda, Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1996), h. 47. 10
Didik. J. Rachbini, Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan, (Jakarta:
Granit, 2004), h. 124. 11
Diakses dari https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/cartel, pada 24
November 2016.
20
merebut pangsa pasar dengan strategi pembedaan produk (product
defferentiation).12
Pada umunya terdapat beberapa karakteristik dari kartel
diantaranya:
1. Terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha;
2. Melakukan penetapan harga;
3. Agar penetapan harga efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen,
produsen, dan wilayah;
4. Adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha, misalnya karena
perbedaan harga biaya, Oleh karena itu perlu adanya kompromi
diantara anggota kartel.13
Sementara itu dalam Black Law Dictionary yang dikutip oleh
Rahmadi Usman mengartikan kartel adalah suatu kerjasama dari produsen-
produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi,
penjualan dan harga, dan untuk melakukan monopoli terhadap komoditas
atau institusi tertentu. Demikian pula, dalam Black Law Dictionary, ada
yang mengartikan kepada kartel itu sebagai suatu asosiasi berdasarkan
suatu kontrak diantara perusahaan-perusahaan yang mempunyai
kepentingan yang sama, dirancang untuk mencegah adanya suatu
kompetisi yang tajam, dan untuk mengalokasi pasar, serta untuk
mempromosikan pertukaran pengetahuan hasil dari riset tertentu,
mempertukarkan hak paten dan standarisasi produk tertentu.14
12
Suharsil dan M. Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 126-127. 13
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 107. 14
Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h. 283.
21
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kartel merupakan
salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen)
bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga dan/atau wilayah
pemasaran atas suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka
(pelaku usaha) tidak tercipta atau tidak ada lagi persaingan.15
B. Persekongkolan Menurut Sistem Hukum di Indonesia
Terdapat tiga bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu persekongkolan tender (pasal 22),
persekongkolan untuk membocorkan rahasia dagang (pasal 23), serta
persekongkolan untuk menghambat perdagangan (pasal 24). Untuk itulah,
maka dibawah ini akan diuraikan satu persatu berbagai kegiatan
persekongkolan yang secara per se illegal dan rule of reason dilarang dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.16
Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena
persekongkolan (conspiracy/konspirasi) terdapat kerjasama yang melibatkan
dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersamaan melakukan tindakan yang
melawan hukum. Persengkongkolan atau konspirasi adalah segala bentuk kerja
sama diantara pelaku usaha, dengan atau tanpa melibatkan pihak selain pelaku
usaha, untuk memenangkan persaingan secara tidak sehat. Persekongkolan
terjadi apabila pelaku usaha:
15
Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h. 283. 16
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 147
22
1. Memperoleh dan menggunakan fasilitas ekslusif dari pihak terkait secara
langsung maupun tidak langsung dengan pemberi proyek dan/ atau
penyelenggara tender sehingga dapat menyusun penawaran yang lebih
baik;
2. Membuat kesepakatan dengan pihak yang terkait secara langsung atau
tidak langsung dengan pemberi proyek, penyelenggara tender, dan/ atau di
antara mereka menentukan pemenang secara bergilir pada serangkaian
tender;
3. Membuat kesepakatan dengan pihak yang terkait secara langsung maupun
tidak langsung dengan pemberi proyek, penyelenggara tender, dan/atau di
antara mereka menentukan pemenang, baik untuk dikerjakan secara
bersama maupun dengan kompensasi tertentu;
4. Menggunakan kesempatan ekslusif melakukan penawaran tender sebelum
waktu ditetapkan.
Perusahaan atau individu yang melakukan persekongkolan terutama
persekongkolan tender, melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Berikut ini adalah contoh praktik usaha yang melanggar ketentuan tentang
persekongkolan, apabila:
1. Pelaku usaha atau kelompok usaha tertentu mempenngaruhi pemberi
tender secara langsung maupun tidak langsung untuk mensyaratkan
pihaknya sebagai mitra, siapa pun pelaku usaha atau kelompok usaha yang
memenangkan tender.
23
Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Pelaku Usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan
pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat
Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklarifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
2. Pelaku usaha atau kelompok usaha yang menjadi agen tunggal atau
produsen dari produk tertentu mempengaruhi pemberian tender secara
langsung maupun tidak langsung untuk mengsyaratkan penggunaan produk
tersebut sebagai salah satu asupan dalam pengerjaan proyek yang
ditenderkan.
Pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/ atau
pemasaran barang dan/ atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan/ atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di
pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketetapan waktu yang dipersyaratkan.
Apabila ditemukan adanya unsur persekongkolan dalam praktik usaha,
maka akan dikenakan sanksi administratif oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha berupa pembatalan perjanjian mengenai tender yang sudah
dimenangkan secara tidak legal tersebut, ganti rugi kepada kepada pihak yang
24
dirugikan, hingga denda antara Rp 1 miliar sampai Rp 25 Miliar. Pengadilan
dapat mengenakan pidana berupa hukuman penjara atau pidana tambahan dan
denda.
C. Perjanjian Kartel Menurut Sistem Hukum di Indonesia
Kartel umumnya dipraktikkan oleh asosiasi dagang (trade
associations) bersama dengan para anggotanya. Manfaat pembentukan kartel
dalam suatu asosiasi dagang, misalnya upaya menyusun standar teknis, atau
upaya bersama meningkatkan standar produk barang atau jasa yang
dihasilkannya. Biasanya melalui kartel ini, anggota kartel tersebut dapat
menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan lainnya untuk mengekang
suatu persaingan, sehingga hal ini dapat menguntungkan para anggota yang
bersangkutan. Aspek yang destruktif lainnya dari kartel, bahwa kartel dapat
mengontrol atau mengekang masuknya pesaing dalam bisnis yang
bersangkutan.17
Larangan mengadakan bentuk perjanjian kartel ini dicantumkan dalam
ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menetapkan
sebagai berikut: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku
usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.”
17
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 283.
25
Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, maka suatu bentuk perjanjian kartel dilarang oleh hukum
antimonopoli bila perjanjian tersebut bertujuan untuk mempengaruhi harga
dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau asa
tertentu, di mana perbuatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.18
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
telah mengatur secara spesifik dalam pasal-pasal tersendiri mengenai
perjanjian, perbuatan yang dilarang dan larangan posisi dominan secara
terpisah. Maka, kartel haruslah terpisah dan tidak termasuk dalam ketentuan-
ketentuan pasal lainnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kartel
yang dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengatur mengenai pelarangan kartel yang menekankan pada kesepakatan
untuk mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi harga.19
Ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengadopsi prinsip rule of reason. Perumusan kartel sebagai sesuatu yang
dilihat dengan prinsip rule of reason yang cenderung untuk melihat dan
memeriksa alasan-alasan dari pelaku usaha melakukan suatu perbuatan yang
dianggap melanggar hukum persaingan usaha. Hal ini berarti Komisi
18
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 284. 19
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 285.
26
Pengawasan Persaingan Usaha harus dapat membuktikan bahwa alasan-
alasan dari pelaku usaha tidak dapat diterima (unreasonable).20
Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang
atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.21
Dengan kata lain, hal ini dapat diartikan bahwa pembentuk undang-
undang anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melihat bahwa
sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam menginsyaratkan untuk
produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan
untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat
membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannya tidak menghambat
persaingan, pembuat Undang-undang persaingan usaha mentolelir peranjian
kartel seperti itu.22
Sistem hukum kartel di Indonesia yang menganut prinsip rule of
reason, perumusan pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ditafsirkan
bahwa dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian adanya pelanggaran
20
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 286-287. 21
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 287. 22
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 287.
27
terhadap ketentuan tersebut, harus diperiksa alasan-alasan pelaku usaha dan
terlebih dahulu dibuktikan telah terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Dengan kata lain, dalam memeriksa dugaan adanya kartel
akan dilihat alasan-alasan dari pelaku usaha yang melakukan perbuatan kartel
tersebut dan akibat dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha. Dengan
demikian, maka sangat diperlukan adanya pengkajian yang mendalam
mengenai alasan kesepakan para pelaku usaha melakukan perjanjian kartel
dibandingkan dengan kerugian ataupun hal-hal negatif dari kartel bagi
persaingan usaha.23
Sehubungan dengan itu, kartel juga dapat memberikan keuntungan,
sehingga diperkenankan keberadaannya sepanjang memberikan keuntungan
bagi masyarakat banyak, diantaranya dapat membentuk stabilitas tingkat
produksi, tingkat harga, dan wilayah pemasaran (yang sama) di antara para
pelaku usaha. Indonesia sebenarnya mengikuti Jepang yang mensyaratkan
adanya “substantial restaint of competition” yang “country to the public
interest” di dalam larangan kartel. Perjanjian kartel baru illegal apabila sudah
dipraktikkan dan ternyata mengurangi persaingan secara substansial.24
Jadi
dapat disimpulkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, larangan kartel
pada pasal 11 tersebut tidak mengkategorikan kartel sebagi per se illegal,
sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan monopolisasi
dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
23
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 288-289. 24
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 289-290.
28
BAB III
KOMISI PENGAWASAN PERSAINGAN USAHA SEBAGAI LEMBAGA
OTORITAS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Sejarah Pembentukan dan Kedudukan KPPU dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
1. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) merupakan komisi
yang lahir dari pengejawantahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
yang tidak terlepas dari konteks sosial politik pada saat undang-undang
tersebut disahkan. Dalam penjabaran skipsi ini akan menganalisis sejarah
berdirinya KPPU berdasarkan sudut pandang hukum dan sudut pandang
sosial-politik, sudut pandang hukum dalam melihat sandaran hukum pada
penegakan persaingan usaha sebelum hadirnya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, disisi lain diperlukan pembahasan mengenai konteks sosial
politik agar pembahasannya lebih komperhensif.
Sebelum dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
maka pengaturan tentang persaingan usaha tidak sehat didasari pada pasal
1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melanngar hukum, dan pasal 382
bis KUHPidana yang menggambarkan bahwa seseorang dapat dikenakan
29
sanksi pidana atas tindakan “persaingan curang” dan harus memenuhi
beberapa kriteria sebagai berikut1:
1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan
curang;
2. Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan,
melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan, atau perusahaan;
3. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan orang tersebut baik
perusahaan si pelaku maupun perusahaan lain;
4. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara
menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu;
5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut telah menimbulkan
kerugian bagi konkurennya dari orang lain yang diuntungkan dengan
perbuatan si pelaku.
Landasan hukum peraturan yang mengatur mengenai persaingan
usaha sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sangat
lemah secara substansi karena terlalu umum dalam menerangkan aturan
persaingan usaha yang seharusnya menjadi aturan khusus tersendiri dalam
perundang-undangan di Indonesia, dan belum jelas alur penanganan serta
indikator kecurangan usaha.
Dari sisi sosial politik pada masa sebelum reformasi, perekonomian
Indonesia didominasi oleh struktur yang terkonsentrasi. Pelaku usaha yang
memiliki akses terhadap kekuasaan dapat menguasai dengan skala besar
perekonomian Indonesia. Struktur monopoli dan oligopoli sangat
mendominasi sektor-sektor ekonomi saat itu. Dalam perkembangannya,
pelaku-pelaku usaha yang dominan bahkan berkembang menjadi
konglomerasi dan menguasai dari hulu ke hilir di berbagai sektor. Salah
1 Suharsil dan M. Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 97-98.
30
satu contohnya adalah Grup Salim yang hampir menguasai seluruh bidang
bisnis di Indonesia pada masa Orde Baru.2
Menurut Didik J. Rachbini tuntutan perlunya bisnis yang fair sudah
ada sejak 20-25 tahun yang lalu. Karena kenyataan di tanah air dengan
terjadinya ketimpangan ekonomi, dimana data menunjukan, bahwa 99 %
pelaku usaha di tanah air merupakan sektor usaha kecil dan menengah, dan
mereka hanya menguasai aset ekonomi sebanyak 40% dari ekonomi
nasional. Sedangkan sisanya 1% disebut sebagai pelaku usaha besar dan
kakap yang menguasai 60% aset ekonomi nasional.3
Jika dikelompokan menjadi arus utama, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kelahiran Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Pertama, pada masa Orde Baru pernah diterapkan suatu kebijakan ekonomi
yang dikenal dengan kebijakan substitusi impor, yaitu sebuah kebijakan
yang memberikan perlindungan khusus, kemudahan dan fasilitas kepada
segelintir pelaku usaha dari persaingan internasional. Secara idealistis
tujuan dari kebijakan ini dinilai cukup tepat sebagai penggerak bagi
tumbuhnya industri kecil lainnya dalam proses tickle down effect. Namun
yang kemudian terjadi justru pemusatan ekonomi kepada sekelompok
pengusaha yang diberi kemudahan tersebut. Grup Salim menjadi salah satu
contoh perusahaan yang diberikan kemudahan oleh presiden Soeharto.
Keterpurukan ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan ini mencapai
puncaknya pada masa krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun
1998. Tuntutan untuk menyusun sebuah Undang-undang anti monopoli
2 Artikel diakses pada 8 Maret 2017 di http://industri.kontan.co.id/news/gang-of-four-legenda-
konglomerasi-orde-baru 3 Suharsil dan M. Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 104.
31
yang dinilai sebagai solusi dari permasalahan perekonomian sedang yang
dihadapi Indonesia pada waktu tersebut.4
Kedua, Secara eksternal tekanan dari International Monetary Fund
(IMF) terhadap Indonesia agar menyusun undang-undang anti monopoli
sering pula disebut sebagai salah satu syarat untuk memperoleh pinjaman
asing juga sering disebutkan sebagai alasan dari lahirnya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999. Keterlambatan pencairan dana dari IMF pada waktu
itu akan berdampak serius bagi perekonomian dan investasi asing yang
akan berinvestasi di Indonesia, hal ini tentunya lebih jauh akan
menimbulkan kemerosotan perekonomian nasional. Dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa
kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan
perkembangan usaha swasta sejak awal 1990-an dianggap sebagai
tantangan dan persoalan dalam perkembangan pembangunan nasional.5
Pengalaman sejarah mengenai persaingan usaha di Indonesia
memberikan standing position berdirinya Komisi Pengawasan Persaingan
Usaha (KPPU). Hadirnya KPPU di Indonesia bukanlah suatu hal baru di
lingkungan internasional, pemberian wewenang khusus kepada suatu
komisi untuk melaksanankan suatu peraturan di bidang persaingan
4 Sukendar, “Kedudukan Lembaga Negara Khusus (Auxiliary States Organ) dalam
Konfigurasi Ketatanegaraan Modern Indonesia (Studi Mengenai Kedududkan KPPU dan Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia)”, Jurnal Hukum Persaingan Usaha vol. I, No. 1, (Jakarta, 2009),
h. 179. 5 Sukendar, “Kedudukan Lembaga Negara Khusus (Auxiliary States Organ) dalam
Konfigurasi Ketatanegaraan Modern Indonesia (Studi Mengenai Kedududkan KPPU dan Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia)”, Jurnal Hukum Persaingan Usaha vol. I, No. 1, (Jakarta, 2009),
h.178.
32
merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara. Di
Amreika Serikat, Departemen kehakiman mempunyai divisi khusus, yaitu
Antitrust Division untuk menegakan Sherman Act. Departemen kehakiman
bersama-sama Federal Trade Commision juga bertugas menegakan
Clayton Act. Masyarakat Ekonomi Eropa dengan European Comunnity
Comission, di Jepang, Korean, dan Taiwan dengan Fair Trade Commision,
di Kanada disebut Competition Bereau dan di Prancis disebut Le Conseil
De La Concurrence.6
2. Kedudukan KPPU dalam Ketatanegaraan di Indonesia
Salah satu perkembangan menarik dalam dunia hukum
ketatanegaraan modern adalah berkaitan dengan kemunculan lembaga-
lembaga negara khusus (auxiliary state’s organ) yang sering disebut
dengan komisi-komisi negara dengan dasar pelaksanaan tugasnya mengacu
kepada peraturan perundangan-undangan yang mengaturnya.7
Bagir Manan mengklasifikasi lembaga negara menjadi 3 (tiga)
kategori, yaitu lembaga negara yang bersifat ketatanegaraan, lembaga
negara yang bersifat administratif, dan lembaga bersifat membantu
(Auxiliary Agents).8 Extra auxiliary organ adalah lembaga negara atau
komisi negara yang dibentuk di luar konstitusi yang tugas utamanya adalah
6 Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
44. 7 Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
47. 8 Tresna P. Soemardi, “Kajian Holistik Kelembagaan KPPU-RI: Antara Harapan Vs Fakta
Historis 2000-2011”, Jurnal Hukum Persaingan Usaha vol. VI, (Jakarta, 2011), h. 12.
33
membantu, menguatkan tugas lembaga negara pokok (ekskutif, legislatif
maupun yudikatif) dan menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan
efektif, yang biasa disebut juga dengan lembaga negara independen (quasi
organs). Secara umum, kewenangan extra auxiliary organ sebenarnya
telah ada pada lembaga negara pokok, namun dalam proses transisi kondisi
negara yang lebih demokratis dan di satu sisi terdapat ketidakpercayaan
rakyat yang begitu besar kepada. Lembaga negara pokok yang sudah ada,
maka dibentuklah extra auxiliary organ tersebut.9
Kedudukan KPPU dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga
dilihat sebagai bagaian demokratisasi penyelengaraan pemerintahan.
Keberadaan KPPU atau lembaga-lembaga negara khusus lainnya juga
dapat ditafsirkan sebagai bentuk koreksi bagi penyelengaraan kekuasaan
oleh lembaga-lembaga negara sebelumnya yang dinilai berjalan tidak
efektif.10
Pada konteks kelembagaan suatu negara, keberadaan KPPU yang
bersifat komplementer (states auxiliary) yang mempunyai tugas multi
kompleks dalam mengawasi setiap gerak, langkah, dan praktik persaingan
usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha.11
9 Tresna P. Soemardi, “Kajian Holistik Kelembagaan KPPU-RI: Antara Harapan Vs Fakta
Historis 2000-2011”, Jurnal Hukum Persaingan Usaha vol. VI, (Jakarta, 2011), h. 33. 10
Sukendar, “Kedudukan Lembaga Negara Khusus (Auxiliary States Organ) dalam
Konfigurasi Ketatanegaraan Modern Indonesia (Studi Mengenai Kedududkan KPPU dan Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia)”, Jurnal Hukum Persaingan Usaha vol. I, No. 1, (Jakarta, 2009),
h. 187. 11
L. Budi Kagramanto, Mengenal Jukum Persaingan Usaha: Berdasarkan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999, (Surabaya: Laros, 2008), h. 232.
34
Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan suatu organ khusus
yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam
persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim
persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi
penegakan hukum khususnya hukum persaingan usaha, namun KPPU
bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian
KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata.
Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif, sehingga sanksi
yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.12
B. Tugas dan Wewenang KPPU dalam Persaingan Usaha di Indonesia
Mengenai tugas dari KPPU telah diatur secara rinci dalam ketentuan
pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian disebutkan
kembali dalam ketentuan pasal 4 keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999
yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2008. Menurutt
Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tugas KPPU meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yaiig dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
12
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 36.
35
persaingan usaha tidak sehat sebagamana diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 24
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25
sampai dengan Pasal 28
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur
dalam Pasal 36
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-
undang ini
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Defenisi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dijelaskan
dalam pasal 1 butir 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut :
”Komisi Pengawasan Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”
Pasal ini menjadi poin penegasan dibentuknya KPPU sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 dikatakan bahwa KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari
pengaruh serta kekuasaan pemerintah maupun pihak lainnya.
36
Sedangkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 75 Tahun 1999
tentang Komisi Pengawasan Persaingan Usaha memperjelas defenisi KPPU
pada pasal 1 ayat (2) yakni:
“Lembaga independen (non struktural) yang dibentuk untuk mengawasi
pelaksanaan Undang-Undang tentang larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat terlepas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah serta pihak lain”
Penegasan secara legal formal tentang pemerintah untuk tidak
mempengaruhi KPPU dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menunjukan bahwa kebebasan komisi
yang dalam ini diakui oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
adalah sangat penting.
Larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
dinyatakan bahwa status KPPU adalah suatu lembaga independen yang
terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Dalam
melaksanakan tugasnya, KPPU bertanggung jawab kepada Presiden.
Walaupun demikian, KPPU tetap bebas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah, sehingga kewajiban untuk memberikan laporan merupakan
pelaksanaan prinsip administrasi yang baik. Selain itu, berdasarkan Pasal 35
Huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU juga berkewajiban untuk
menyampaikan laporan berkala atas hasil kerja KPPU kepada Dewan
37
Perwakilan Rakyat (DPR). Pelaporan langsung oleh KPPU kepada DPR
tersebut memang sesuai dengan kebiasaan internasional.13
KPPU mempunyai kewenangan yang sangat luas, meliputi wilayah
eksekutif, yudikatif, legislatif, dan konsultatif. Dalam menjalankan fungsinya
tersebut, lembaga ini mempunyai kewenangan sebagai investigator
(insvestigative function), penyidikan, pemeriksaan, penuntu (presecuting
function), pemutus (adjudication function) dan juga investigasi (consultative
function).14
Kewenangan KPPU secara kelembagaan jika diperinci lebih jauh,
hanya terbatas pada kewenagan administratif. Walaupun demikian, ada
kewenangan yang mirip dengan badan penyidik, badan penuntut, bahkan
badan pemutus, tetapi itu semua hanya semata-mata dalam rangka
menjatuhkan hukum administratif saja, tidak lebih dari itu. Karena itu, badan
penyidik bukanlah suatu polisi khusus, atau badan penyidik sipil, dan juga dia
tidak punya kekuatan eksekutorial, yakni keputusan yang sederajat dengan
putusan hakim. Karena itu, putusan KPPU dapat langsung diminta penetapan
eksekusi (fiat executie) pada pengadilan Negeri yang berwenang tanpa harus
beracara sekali lagi di pengadilan tersebut.15
13
Knud Hansen, ed., Undang-undang Larangan Praket Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, cet.II, (Jakarta: Katalis), 2001, h. 370. 14
Knud Hansen, ed., Undang-undang Larangan Praket Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, cet.II, (Jakarta: Katalis), 2001, h. 45. 15
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999), h. 103-104.
38
Dalam melakukan pengawasan serta penegakan segala hal yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU memiliki kewenangan
yang diatur dalam pasal 36. Kewenagan tersebut meliputi :
1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
adanya dugaan terjadinya praktek monompoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat, melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiataan usaha
dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek momopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau pelaku usaha.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Menghadirkan pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan dan pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
6. Memanggil dan memeriksa saksi, ahli, atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanngaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini.
7. Memeinta bantuan penyedik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e, dan huruf f, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan dari KPPU.
39
8. Memeinta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang ini.
9. Mendapatkan, meneliti, dan atau membuat surat, dokumen atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugiaan di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
11. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
12. Menjatuhkan sanksi berupa tidankan admisnistratif kepada pelaku usaha
yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap terhadap ketentuan
perundang-undangan ini.
C. Peranan KPPU dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha
Tujuan dari dibentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tdak Sehat antara lain:
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan
pelaku usaha kecil.
40
3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Maka berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, objek
pengawasan KPPU adalah aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat.
Dalam menjalankan pengawasannya KPPU berperan dalam melakukan
penilaian terhadap pelaku usaha yang dianggap melanggar Undang-undang.
Penilaian tersebut merupakan pengawasan dari:
1. Peranjian-peranjian yang dilarang
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 perjanian yang dilarang
dalam bab III mulai pasal 4 sampai pasal 16. Perjanjian tersebut antara lain;
oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust,
oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak
luar negeri.
2. Perbuatan yang dilarang
Diatur dalam pasal 17 sampai pasal 24 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, antara lain monopoli, monopsoni, penguasaan pasar,
persekongkolan.
3. Larangan yang berkaitan dengan posisi dominan
Posisi dominan diartikan sebagai pelaku usaha yang menguasai
50% atau 75% untuk suatu kelompok usaha, atas penguasaan barang atau
jasa tertentu. Hal ini bertujuan untuk mencegah atau menghalangi
konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing.
41
Peranan-peranan KPPU adalah untuk mewujudkan demokrasi
ekonomi. Demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan
yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses
produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang efektif
dan efisien, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan
berkerjanya ekonomi pasar yang wajar.
42
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN KPPU NO. 05/KPPU-i/2013 TERKAIT
PERSEKONGKOLAN DAN PERJANJIAN KARTEL IMPOR BAWANG PUTIH
A. Kasus Posisi
Pada tahun 2013 masyarakat dikejutkan dengan kenaikan harga
bawang putih secara signifikan diberbagai daerah di Indonesia. Harga bawang
mulai naik pesat sejak November 2012 dari harga normalnya Rp 10-15 ribu
per kilogram hingga mencapai antara Rp 60 hingga 85 ribu per kilogram,
kondisi ini menyebabkan harga bawang putih dipasar domestik menembus
rekor tertinggi dalam sejarah, sedikitnya enam kali lipat harga normal. Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha menemukan sejumlah indikasi kuat permainan
kartel, menurut ketua KPPU Nawir Messi kelangkaan bawang putih ini bukan
kejadiaan acak, kemungkinan besar ini terkoordinasi sedemikian rupa
sehingga pasar bergejolak sedemikian rupa hingga harga melonjak enam kali
lipat. 1
Kelangkaan komoditas bawang putih sehingga membuat naik harga
bawang putih pada bulan Maret 2013. Pengertian kegiatan tersebut adalah
aktivitas jual beli bawang putih yang dilakukan oleh beberapa importir
bawang putih di Indonesia dengan berbagai proses yang menyertainya. Bagi
masyarakat, bawang putih merupakan rempah-rempah yang menjadi salah satu
sumber bahan pokok bagi bumbu-bumbu masakan di Indonesia. karena
1Artikel diambil dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/03/130318_garliccartel pada Jumat 28
Oktober 2016, pukul 10.15 WIB.
43
menyangkut proses ekonomi dan persaingan usaha maka KPPU mengambil
peranannya dalam pengusutan masalah ini
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang
mempunyai otoritas dalam menjalankan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 agar terciptanya persaingan usaha yang sehat setelah mendapatkan
laporan, melakukan mekanisme penelitian, penyidikan, pemeriksaan, dan
memutuskan perkara dugaan pelanggaran dalam kasus importasi bawang
November 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 mengeluarkan putusan
perkara No. 05/KPPU-i/2013.
Kondisi objektif kegiatan ekonomi di pasar terkait dengan produk
bawang diatas, sebelum melakukan mekanisme putusan perkara, KPPU
menerima hasil monitoring tentang adanya dugaan pelanggaran Pasal 11, Pasal
19 huruf c, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait
importasi bawang yang dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai
pasal 11dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Bahwa Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai kartel
menyebutkan. “pelaku usaha dilarang membuat perjanian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dnegan
mengatur produksi atau pemasaran suatu barang dan atau jasayang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan “Pelaku
Usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
dan atau pemasaran barang dan atau asa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dsipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketetapan waktu yang dipersyaratkan”
44
Obyek perkara terkait dengan kasus dugaan pelanggaran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yakni:2 Terlapor I, CV Bintang; Terlapor II, CV
Karya Pratama; Terlapor III, CV Mahkota Baru; Terlapor IV, CV Mekar
Jaya; Terlapor V, PT Dakai Impex; Terlapor VI, PT Dwi Tunggal Buana;
Terlapor VII, PT Global Sarana Perkasa; Terlapor VIII, PT Lika Dayatama;
Terlapor IX, PT Mulya Agung Dirgantara; Terlapor X, PT Sumber Alam Jaya
Perkasa; Terlapor XI, PT Sumber Roso Agromakmur,; Terlapor XII, PT
Tritunggal Sukses,; Terlapor XIII, PT Tunas Sumber Rezeki; Terlapor XIV,
CV Agro Nusa Permai; Terlapor XV, CV Kuda Mas;Terlapor XVI, CV Mulia
Agro Lestari;Terlapor XVII, PT Lintas Buana Unggul;Terlapor XVIII, PT
Prima Nusa Lentera Agung,; Terlapor XIX, PT Tunas Utama Sari Perkasa.
yang diputuskan KPPU melalui Terlapor XX, Badan Karantina Kementerian
Pertanian Republik Indonesia;Terlapor XXI, Direktur Jenderal Perdagangan
Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
Merujuk kepada identitas terlapor, terdapat dua kategorisasi terlapor
yakni:
a. Pihak Pelaku Usaha
Periode November 2012 sampai Februari 2013 terdapat 20 pelaku
usaha yang mengurus perizinan importasi bawang putih, dari 20 pelaku
usaha tersebut 19 diantaranya menjadi terlapor dalam kasus dugaan
pelangaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Satu pelaku usaha
2 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 4-5.
45
lainnya PT Indo Baru Utama tidak mendapatkan perpanjangan izin impor
oleh Kementrian Perdagang Republik Indonesia.3
Para pelaku usaha yang menjadi terlapor dalam kasus dugaan
persaingan usaha tidak sehat terindikasi melanggar Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 dikarenakan terdapat beberapa kejanggalan dalam
proses usahanya. Mulai dari perizinan sampai pada distribusi kepada
konsumen. Indikasi-indikasi pelanggaran diantaranya:
1. Terdapat perubahan harga bawang putih yang sangat signifikan pada
periode Oktober 2012 sampai dengan Maret 2013 dengan harga
berdasarkan data dari Tempo di pasar induk yaitu, Rp. 12.000/kg
menjadi Rp. 60.000/kg pada bulan Maret 2013.4
2. Para Pelaku Usaha yang terlapor menguasai 81,38 persen pangsa pasar
Impor Bawang putih di Indonesia, yang secara langsung mampu
mempengaruhi harga di pasaran.5
b. Pihak non Pelaku Usaha
Dalam penelitian ini, yang menjadi salah satu objek pembahasan
adalah keterkaitan pihak non pelaku usaha dalam perkara importasi
bawang putih dalam hal ini Badan Karantina Kementrian Pertanian
Republik Inodnesia, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, dan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia. Dua diantaranya menurut putusan KPPU No.
3 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 14.
4Artikel diambil dari https://m.tempo.co/read/fokus/2013/03/22/2729/dalam-3-pekan-kartel-
bawang-raup-rp-1-1-triliun diakses tanggal 28 Oktober 2016. 5 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013, h. 28.
46
05/KPPU-i/2013 terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999.
Badan Karantina sesuai dengan Peraturan Kementrian Pertanian
(Permentan) Nomor 61 Tahun 2010, yang tugas pokok melakukan
perlindungan di pintu masuk dan pintu keluar Indonesia, yang tujuannya
melindungi sumber daya alam pertanian tumbuhan dan hewani dengan
melakukan pencegahan tersebarnya penyakit tumbuhan dan hewan di
seluruh Indoneisa. Kaitannya dengan perkara importasi bawang adalah
sesuai dengan Permentan Nomor 60 Tahun 2012 berwenang untuk
memeriksa kesesuaian masa berlaku Rekomendasi Impor Produk
Holtikultural (RIPH) dengan masa berlaku Surat Persetujuan Impor (SPI).
Dalam hasil persidangan membuktikan Badan Karantina telah melakukan
pelayanan karantina importasi bawang putih para terlapor, meskipun
terdapat ketidaksesuaian masa berlaku RIPH dan masa berlaku SPI
terlapor.6
Pihak non pelaku usaha kedua adalah Kementrian Perdagangan
dalam hal ini Menteri Perdagangan yang sesuai ketentuan pasal 10 ayat 2
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M./-DAG/PER/5/2012 Menteri
mendelegasikan kewenangan penerbitan persetujuan impor kepada
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri.7 Keterlibatan ketiga pihak non
pelaku usaha ini dikarenakan importasi bawang harus mendapatkan RIPH
dengan landasan hukum Peraturan Menteri Pertanian Nomor
6 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 118.
7 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 24.
47
03/Permentan/OT.140/I/2012 setelah para pelaku usaha mendapatkan
RIPH dari Kementrian Pertanian, selanjutnya sebelum melakukan impor
sesuai dengan jangka waktu yang diberikan Kementrian Pertanian para
importir bawang putih harus mendapatkan SPI dari Kementrian
Perdagangan yang dalam hal ini Menteri Perdangangan mendelegasikan
kewenangnya kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Proses
terakhir adalah pemeriksaan kelengkapan dan kecocokan RIPH dan SIP
oleh Badan Karantina Kementrian Pertanian Republik Indonesia ketika
bawang putih sudah sampai di Indonesia.
Pada perkara importasi bawang ini yang menjadi kejangalan yang
menyeret dua kementrian ini adalah terkait perpanjangan SPI yang tidak
transparan dan diskriminatif karena terdapat pelaku usaha yang tidak
diberikan dan tidak ada aturan mengenai perpanjangan SPI, serta
diloloskannya para importir oleh Badan Karantina meskipun tidak terpada
kesesuaian antara RIPH dan SPI.8 Tim investigator menduga bahwa ada
proses perpanjangan SPI yang tidak didasarkan kepada Permendag No. 30
Tahun 2012 dimana setiap pemberian SPI harus berdasarkan RIPH dan itu
tidak ada. Rentang waktu SPI itu diberikan kepada importir dari November
sampai Desember 2012. Maka dari 2012 seharusnya SPI itu sudah
berhenti, dari 23 Desember 2012 sampai tanggal 28 Februari itu ada
pemberian SPI dan tanpa RIPH jadi melanggar Permendag. Dalam LDP
disebut bahwa itu diskriminatif oleh karena tidak semua pemberian SPI
8 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 26.
48
yang mendapatkan SPI sampai 23 Desember 2012 itu mendapatkan
perpanjangan SPI. Bahkan ketika di antara mereka bertanya apakah ada
perpanjangan SPI jawabannya tidak ada. Jadi disitulah ada aspek
diskriminatif, dalam hal ini perpanjangan SPI berkaitan dengan impor dan
impor dalam data sementara KPPU pada saat itu menguasai hampir 85
persen dari suplai nasional. Tiga grup yang mendapatkan SPI itu menguasai kuota
impor 86 persen. Kita menduga ada grup yang sudah mendapat SPI sementara ada
pelaku usaha lain yang tidak mendapatkan SPI, disitulah ada potensi kontrol atas
suplai. Karena dari data menyebutkan ternyata impor tidak datang secara
berbarengan, bertahap dan uniknya tidak semua selesai pada tanggal 23 Desember
tapi selesai sampai tanggal 28 Februari.
B. Putusan KKPU No. 05/KPPU-i/2013
a. Pelaku Usaha
Setelah menimbang berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis,
serta penilaian terhadap kasus importasi bawang mulai dari November
2012 sampai dengan Februari 2013 Majelis KPPU memutuskan :9
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapr IX,
Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV,
Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, dan
Terlapor XIX tidak terbukti melanggar Pasal 11 Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1999;
9 Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013, h. 290.
49
2. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapr IX,
Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV,
Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, Terlapor
XIX, dan Terlapor XXI,terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Terkait sanksi yang diberikan oleh KPPU masing-masing pelaku usaha
dikenakan denda yang beranekaragam 20-900 juta, untuk rinciannya bisa
dilihat di Putusan Perkara KPPU No. 05 tahun 2013 pada halaman 288.
b. Pihak Non Pelaku Usaha
Dalam kasus importasi bawang putih periode November 2012-
Februari 2013 dari tiga pihak non pelaku usaha yang menjadi terlapor,
yang terbukti bersalah melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia, dan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia. karena terbukti melakuakan tindakan yang tidak berlandaskan
hukum yang menghambat persaingan usaha dengan pemberian SPI yang
tidak sesuai dengan RIPH dan berlaku diskriminatif karena tidak
memperpanjang satu pelaku usaha lainnya.10
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha memberikan Rekomendasi
kepada pihak non pelaku usaha diantaranya: 11
10
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 24-25. 11
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 288.
50
1. Setiap intansi pemerintah dalam hal ini kementrian pertanian dan
kementrian perdagangan Republik Indonesia untuk meperhatikan
prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam perumusan
kebijakannya.
2. Penetapan kebijakan impor khususnya yang menggunakan skema
kuota harus berkoodinasi dengan instansi terkait.
C. Analisis Penulis
1. Kedudukan Hukum Keputusan KPPU No. 05/KPPU-i/2013
Sebagai produk hukum yang dikeluarkan KPPU putusan Nomor
05/KPPU-i/2013 merupakan output dari mekanisme yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang memberikan wewenang
kepada KPPU untuk memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya
unsur-unsur persaingan usaha tidak sehat yang dituangkan dalam bentuk
putusan setelah melakukan beberapa tahapan yang diatur dalam pasal 36
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting hukum
persaingan usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi
terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, wajar
kiranya ketentuan bahwa setiap putusan komisi yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap harus diminta penetapan eksekusi dari pengadilan
51
negeri. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuatan dan pelaksaan putusan
tersebut berada dibawah pengawasan ketua Pengadilan Negeri.12
Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum persaingan
usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha.
Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana
maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga
administratif karena kewenangan yang melekat kepadanya adalah
kewenang administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan
sanksi administratif.13
Aspek yuridis dasar hukum putusan KPPU tertuang dalam pasal 43
ayat (2):
“Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak pelanggaran
terhadap undang-undang selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2).”
Pasal ini mengidikasikan bahwa KPPU mempunyai wewenang
dalam memberikan penelian berdasarkan penyelidikan, apakah sebuah
perkara melanggar undang-undang atau tidak. Ketika sudah diputusakan
secara otomatis sudah memeliki keputusan hukum yang kuat.
Dilihat dari segi sifat putusan terhadap akibat hukum yang
ditimbulkan, putusan KPPU dikategorikan sebagai putusan
komdemnatoir.14
Karena memberikan hukuman administratif kepada pihak
12
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 331. 13
Artikel diambil dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21865/mempersoalkan-
sanksi-pidana-dalam-hukum-persaingan-usaha pada Selasa 15 November 2016. 14
Putusan kondemnatoir adalah putusan yang memuat amar yang menghukum salah satu pihak
yang berpekara. Dikutip dari buku M. Yahya Harahap, Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h.
877.
52
yang terbukti melanggar Undang-Undang, yang memiliki penjelasan
seperti berikut:15
1. Putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak
untuk melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada
pihak lawan untuk memenuhi prestasi.
2. Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius.
3. Putusan kondemnatoir selalu berbunyi menghukum dan
memerlukan eksekusi.
4. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan
dengan sukarela, maka atas permohonan tergugat putusan
tersebut dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang
memutusnya.
5. Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu
putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya
hukum (putusan serta merta).
6. Putusan kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk (a)
menyerahkan sesuatu barang, (b) membayar sejumlah uang, (c)
melakukan suatu perbuatan tertentu, (d) menghentikan suatu
perbuatan atau keadaan, (d) mengosongkan tanah atau rumah.
Meskipun demikian, putusan KPPU belum final, terdapat celah
kosong pada pasal 46 ayat (2) yang menyatakan putusan KPPU yang sudah
memiliki kekuatan hukum tetap, harus tetap diminta penetapan eksekusi
kepada Pengadilan Negeri. Maka, jika belum mendapatkan penetapan dari
15 Sukarmi, “Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha”, Jurnal
Persaingan Usaha KPPU edisi. 7 ,(Jakarta,2012) :10.
53
Pengadilan Negeri, secara langsung putusan tersebut belum sah untuk
dilakukan eksekusi.
Putusan KPPU merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 5
tahun 1999 tentang persaingan usaha. Namun dalam penerapannya KPPU
harus melakukan tahapan dalam keputusannya yakni16
:
a) Pelaku usaha menerima keputusan KPPU dan secara sukarela
melaksanakan sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU. Pelaku Usaha
dianggap menerima putusan KPPU apabila tidak melakukan upaya
hukum dalam jangka waktu yang diberikan oleh Undang-Undang untuk
mengajukan keberatan (pasal 44 ayat 2). Selanjutnya dalam waktu 30
hari sejak diterimanya pemberitahuan mengenai keputusan KPPU,
pelaku usaha wajib melaksanakannya, dan keputusannya memiliki
kekuatan hukum tetap.
b) Pelaku usaha menolak putusan KPPU dan selanjutnya mengajukan
keberatan kepada Pengadilan negeri. Pengajuan keberatan dalam
jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan.
c) Pelaku usaha tidak mengajukan keberatan, namun menolak
melaksanakan putusan KPPU. Selanjutnya KPPU menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Dari penjabaran mengenai kedudakan hukum putusan KPPU
penulis menganalisis bahwa sebagai lembaga yang mempunyai
16
Andi Fahmi Lubis, ed., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta:
KPPU, 2009), h. 312.
54
kewenangan administratif Keputusan KPPU tidak dapat langsung memiliki
kekuatan hukum tetap harus melalui prosedur hukum tersendiri dan
pelaksanannya memerlukan bantuan lembaga peradilan. Putusan KPPU
juga menepis terlalu luasnya kewenaangan KPPU.
Disamping hal tersebut, tidak tegasnya undang-undang yang
mengatur tentang kekuatan hukum mengenai putusan juga menjadi
persoalan, karena putusan KPPU pada akhirnya ditetapkan oleh Pengadilan
Negeri yang secara kualitas pemahaman mengenai hukum persaingan
usaha tidak seperti KPPU.
2. Isi Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-i/2013
a. Analisis Putusan Kartel
Merujuk kepada putusan yang dikeluarkan oleh KPPU, maka
para pelaku usaha yang menjadi terlapor dalam kasus importasi bawang
tidak terbukti melakukan perjanjian kartel. Dari hasil persidangan
dengan landasan hukum pasal 1 poin 7 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Bahwa dalam proses persidangan tidak ditemukan adanya bukti
perjanjian antara pelaku usaha satu dengan pelaku usaha yang lain,
maka majelis persidangan memutuskan tidak terpenuhinya unsur
perjanjian.
55
Walaupun secara dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat
sangatlah besar dengan kenaikan harga bawah secara signifikan, namun
KPPU lebih mengutamakan bukti tertulis adanya kartel, penulis mecoba
menganalisis pemenuhan unsur perjanjian dengan beberapa bukti yang
ditemukan oleh KPPU. Sudut pandang Majelis lebih kepada bukti
langsung sesuai dengan peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang
kartel.
Pembuktian kartel dapat dilihat dari harus ada perjanjian atau
kolusi antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel, yaitu :17
a) Kolusi eksplisit, yang para anggotanya mengkomunikasikan
kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan
adanya dokumen perjanjian, data mengenai auditbersama,
kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan
dan data-data lainnya;
b) Kolusi diam-diam, yang pelaku usaha anggota kartel tidak
berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga
diadakan secara rahasia.
Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan bukti tidak
langsung adalah pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi
yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi
di persidangan.18
17
Peraturan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel, h. 8. 18
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 558.
56
Apabila praktik jual beli bawang putih yang dilakukan oleh
masing-masing terlapor di analisis menggunakan alat bukti tidak
langsung, bahwa masing- masing terlapor dapat dianggap melakukan
perjanjian dikarenakan pertimbangan sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan pihak yang melakukan pengurusan dokumen
Surat Persetujuan Impor (SPI) bawang putih, merupakan suatu
bentuk koordinasi yang mengakibatkan timbulnya kerja sama dan
komunikasi di antara para terlapor. Bahwa sesuai dengan fakta
persidangan terdapat kesamaan pihak yang menyerahkan dokumen
dalam penguurusan SPI dan atau perpanjangan SPI seperti yang
tercantum dalam tabel sebagai berikut:19
No Nama Perusahaan Nama Pembawa Dokumen
1. CV. Bintang Chan Hong Ngai/ Hans / Utari F
Munandar
2. CV. Kaya Pratama Arsan AS / Henry Budiman
3. CV. Mahkota Baru Arsan AS / D Ratno P
4. CV Mekar Jaya Arno SW / Utari F Munandar
5. PT. Dakai Impex Chan Hong Ngai / Hans / Utari F
Munandar
6. PT. Dwi Tunggal
Buana
Linda Magdalena Thalib /
Rajasatya Siregar /Anthony Rio
Sanjaya
7. PT Global Sarana
Perkasa
Rajasatya Siregar
8. PT Lika Dayatama Anthony Rio Sanjaya / A Musa
9 PT Mulya Agung
Dirgantara
Utari F Munandar
10. PT Sumber Alam Jaya
Perkasa
Anthony Rio Sanjaya / Arsan AS
11. PT Sumber Roso
Agromakmur
A Musa F / Henry Budiman
19
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013, h. 114.
57
12. PT Tri Tunggal
Sukses.
Linda Magdalena Thalib /Anthony
Rio Sanjaya
13. PT Tunas Sumber
Rezeki.
Utari F Munandar / Arsan AS
14. CV Agro Nusantara
Permai
Basuki Sutrisno / Apri Sanjaya
15. CV Kuda Mas Basuki Sutrisno / Apri Sanjaya
16. CV Mulya Agro
Lestari
Basuki Sutrisno / Apri Sanjaya
17. CV Lintas Budaya
Unggul
Muhammad Ayub
18. PT Prima Nusa
Lentera Agung
Muhammad Ayub
19. PT. Tunas Utama Sari
Perkasa
Muhammad Ayub
Pemaparan diatas menjadi salah satu bukti bahwa antara terlapor
terjadi afiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
seharusnya mereka saling bersaing. Hal ini merupakan indikasi kuat
telah terjadinya perjanian secara tidak langsung antar terlapor.
b. Adanya afiliasi baik secara kepengurusan maupun hubungan
keluarga beberapa pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya.
Terdapat afiliasi beberapa pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya antara lain :20
1) Bahwa sesuai fakta persidangan CV Bintang (Terlapor I)
mempunyai afiliasi dengan PT Dakai Impex (Terlapor V) yang
ternyata Terlapor V merupakan perusahaan orang tua dari
Terlapor I;
20
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013, h. 273.
58
2) Bahwa sesuai fakta persidangan PT Dwi Tunggal Buana
(Terlapor VI) mempunyai Afiliasi dengan PT Tritunggal Sukses
(Terlapor XII) yang ternyata pengurus di Terlapor VI juga
merupakan pengurus Terlapor XII;
3) Bahwa sesuai fakta persidangan PT Global Sarana Perkasa
(Terlapor VII) mempunyai Afiliasi dengan PT Tritunggal Sukses
(Terlapor XII) yang ternyata pengurus di Terlapor XII
merupakan sepupu dari Pengurus Terlapor VII;
c. Adanya kesepakatan tidak tertulis berupa penyesuaian tindakan yang
mana terdapat kesamaan harga di tingkat importir pada awal Januari
2013 harga berkisar Rp 11.000,-/kg, pada akhir Januari 2013 berkisar
Rp 12.500,-/kg, pada tanggal 9 Maret 2013 berkisar Rp 35.000,- /kg
dan pada tanggal 14 Maret 2014 harga mencapai Rp 40.000,-/kg,
sedangkan harga pada saat persidangan berlangsung berkisar Rp
7.500,-/kg.21
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dari itu unsur
perjanjian dalam pasal ini terpenuhi. Maka, dengan merujuk kepada
inderect evidence dalam kasus ini seharusnya unsur perjanjian
terpenuhi.
Bukti dilapangan menujukan dampak langsung yang diakibatkan
oleh kartel importasi bawang putih tahun 2013. Antara lain penyidik
mendapati sedikitnya 531 kontainer bawang putih asal Cina, yang tak
kunjung dikeluarkan dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya padahal
pasokan bawang langka di pasar. Dari jumlah itu 109 kontainer sudah
21
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 120-121.
59
dinyatakan bebas masalah bea cukai namun ternyata importir memilih
tetap menahan stok bawang di pelabuhan. Harga bawang yang dalam
kondisi wajar mencapai Rp10-15 ribu per kg, mendadak melejit hingga
Rp85 ribu di Pulau Jawa.22
Penelitian akademik yang melihat faktor rule of reason dan
dampak ekonomi yang diakibatkan kartel dalam pembuktian adalah
Disertasi Farjri Fil’ardi23
. Menyebutkan Pada saat melakukan investigasi
KPPU telah banyak menemukan banyak bukti baik hukum dan ekonomi,
namun pada saat memutuskan perkara KPPU dalam pertimbangannya
tidak menggunakan bukti ekonomi yang telah diperoleh sehingga
memutuskan bahwa terlapor tidak terbukti melakukan kartel. KPPU
selaku otoritas pengawas persaingan usaha seharusnya sudah dapat
mengidentifikasi bahwa adanya perilaku kartel diantara terlapor, hal ini
dikarenakan menurut keterangan saksi di persidangan, harga di tingkat
importir pada awal Januari 2013 harga berkisar Rp 11.000,-/kg, pada
akhir Januari 2013 berkisar Rp 12.500,-/kg, pada tanggal 9 Maret 2013
berkisar Rp 35.000,-/kg dan pada tanggal 14 Maret 2014 harga mencapai
Rp 40.000,-/kg, sedangkan harga pada saat persidangan berlangsung
berkisar Rp 7.500,-/kg.
Dampak besar yang diakibatkan kartel pada perekonomian
khususnya bawang putih sangat merugikan masyarakat banyak, dalam
ajaran Islam juga ditekankan untuk menghindari usaha perniagaan
dengan cara-cara yang curang. Sebagaimana firman Allah dalam Surah
An-Nisa ayat 29:
22
Artikel berita diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/05/ 130501_
garliccartel pada Jumat 2 Mei 2017. 23
Fajri Fil’ardi, “Kegiatan Praktik Jual Beli Bawang Putih Yang Dilakukan Beberapa Importir
Dalam Kajian Ketentuan Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,” (Universitas
Padjajaran, Bandung, 2014).
60
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
perniagaan yang berlaku dengan sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyanyang kepadamu.”(Q.S An-Nisa:29)
b. Analisis Putusan Persekongkolan
Berdasarkan putusan KPPU dengan menganalisis unsur-unsur
terpenuhinya suatu kegiatan usaha dapat disebut sebagai kegiatan
persekongkolan, maka semua unsur tersebut dapat terpenuhi. Dengan
uraian sebagai berikut:
1) Unsur Pelaku Usaha
Unsur pelaku usaha, yang dimaksud pelaku usaha menurut
ketentuan Pasal 1 angka 5 adalah: “setiap orang perorangan atau
badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Bahwa yang dimaksud pelaku usaha dalam perkara ini
adalah importir bawang putih yakni: Terlapor I, Terlapor II,
Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VIII,
Terlapor XIX, Terlapor X, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor
61
XVI, Terlapor XVII, dan Terlapor XIX merupakan pelaku usaha
yang memperoleh rekomendasi pemasukan impor produk
hortikultura khususnya bawang putih untuk periode Oktober 2012
sampai Desember 2012.24
Maka didukung dengan identitas
masing-masing terlapor yang merupakan badan usaha yang
berbadan hukum maka unsur pelaku usaha terpenuhi.
2) Unsur Bersekongkol Dengan Pihak Lain
Bahwa, dalam pasal 1 poin 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahaun
1999 “bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”.
Dalam pembuktian unsur ini dapat dikategorisasikan
menjadi dua bentuk persekongkolan. Pertama, antara para pelaku
usaha dengan pihak lain sesama pelaku usaha lainnya ini
dibuktikan dengan bukti penggunaan pihak yang sama dalam
pengurusan surat persetujuan impor. Kedua, antara pelaku usaha
dengan a quo pihak lain dalam hal ini Direktorat Jenderal
Perdangan Luar Negeri Republik Indonesia dan Menteri Perdangan
Republik Indonesia dalam hal cara pemberian perpanjangan SPI
diluar jangka waktu Rekomendasi Izin Pemasukan Holtikultural
(RIPH) yang tidak mempunyai dasar hukum.
24
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013, h. 127.
62
3) Unsur Pasar Bersangkutan
Bersangkutan dengan pasal 1 poin 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 “pasar yang bersangkutan dengan jangkauan atau
daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa
yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang atau jasa
tersebut”. Bahwa dalam kasus ini pasar bersangkutan adalah
importasi bawang putih periode November 2012- Februari 2013.
4) Unsur Menghambat Persaingan
Bahwa dalam prosesnya terdapat pelaku usaha yang tidak
mendapatkan persetujuan SPI dari Kementrian Perdangan Republik
Indonesia yaitu PT Indobaru Utama Sejahtera, sehingga hal ini
mengindikasikan adanya upaya untuk mengurangi persaingan yang
dilakukan oleh para importir.
5) Unsur Kurangnya Ketetapan Waktu yang Dipersyaratkan
Bahwa sesuai dengan aturan yang berlaku para pelaku usaha
terlapor sudah mendapatkan jangka waktu importasi dalam RIPH
dan SPI, namun para terlapor tidak melakukan importasi sesuia
dengan waktu yang diberikan. Atau dengan kata lain para terlapor
melakukan importasi di luar jangka waktu yang telah ditentukan
dalam RIPH dan SPI.
6) Unsur Menyebabkan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Berdasarkan pasal 1 poin 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
“persaingan antar pelaku usaha dalam menalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakuakan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha”.
Para terlapor terbukti memenuhi unsur ini dikarenaka
kerjasama yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak
63
langsung dalam pengurusan SPI dan dengan penundaan realisasi
impor yang merupakan tindakan menahan pasokan yang sangat
merugikan konsumen dan persaingan usaha. Maka semua unsur
persekongkolan terpenuhi. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
menghukum terlapor pelaku usaha dengan denda 20 juta – 900 juta
secara berbeda-beda.
Persekongkolan yang mengakibatkan kerugian pada orang
lain baik secara materil atau non materil, juga bertentengan dengan
ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al Maidah
ayat 2 :
“... dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa. Dan janganlah tolong menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan. Bertawakalah kepada Allah,
sungguh sangat berat siksa-Nya.”(Q.S Al Maidah:2)
3. Dasar Hukum Non Pelaku Usaha
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak
sama sekali menyinggung pihak non pengusaha, akan tetapi terdapat pasal
yang memungkinkan hadirnya multi tafsir ketika hadirnya pihak non
64
pengusaha adalah dengan adanyanya nomentlatur pihak lain. Namun
beberapa ahli mengartikan pihak lain sebagai pesaing usaha bukan pihak
non pengusaha. Seperti Dr. Andi Fahmi Lubis yang berpedoman pihak lain
sebagai pelaku usaha lainnya.25
Menurut Prof. Dr. L. Budi Karmanto pemerintah dikategorikan
kedalam pihak non pemerintah dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 pihak lain yang ada kaitannya dengan pemerintah adalah
BUMN atau BUMD bukan Kementrian sebagaimana dalam perkara
importasi bawang pemerintah dikategorikan sebagai fasilitator. 26
Tidak terdapat aturan yang jelas mengenai keterlibatan pihak non
pelaku usaha dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 khususnya
pemerintah sebagai fasilitator kebijakan. Karena dalam undang-undang
persaingan usaha yang dianut di Indonesia hanya ada penjabaran tentang
pelaku usaha dalam pasal 1 angka 5.
Dalam putusan KPPU mengenai Importasi bawang putih
dikarenakan tidak adanya dasar hukum yang jelas mengenai suatu perkara
yang didalamnya terdapat keterlibatan pihak non pengusaha terutama
dalam hal ini pemeritah. Rujukan KPPU dalam perkara ini dalam
memberikan sanksi kepada pihak non pemerintah adalah pasal 35 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999 poin 6 “memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
25
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 146. 26
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-i/2013, h. 148.
65
Ditambah dengan latar belakang hadirnya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 ketika iklim demokrasi menyeruak di Indonesia, hukum
persaingan usaha diadopsi dari negara-negara yang sudah terlebih dahulu
menerapkan sistem demokrasi yang diiringi dengan sistem liberal yang
menperkecil porsi pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Di Indonesia tidak
sepenuhnya menganut sistem ekonomi tersebut. Pada faktanya
perdagangan bebas (free trade) di indonesia merupakan perdagangan bebas
yang memiliki kebebasan terbtas, yang artinya tidak semua produk dapat
diimpor secara bebas karena terdapat beberapa produk yang proses
impornya diatur secara khusus dalam suatu peraturan pemerintah, dalam
hal ini adalah produk holtikultura. yang akhirnya menimbulkan
ketidaksiapan ketika dihadapkan dengan konteks keterlibatan pemerintah
dalam pelanggaran hukum persaingan usaha.
Oleh karenanya, pemerintah mempunyai peranan besar dalam
menciptakan iklim perasaingan usaha yang baik. David Easton27
,
berpendapat pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan dengan
rasional, harus terdapat evaluasi berjalan atau tidaknya suatu aturan, serta
keterkaitan satu unsur dengan unsur lain. Dalam konteks kasus ini lembaga
negara terkait harus mengevalusi kebijakan lembanganya agar sejalan
dengan niat pemerintah untuk menciptakan persaiangan usaha yang sehat.
Seyogyanya aturan mengenai persaingan usaha harus meliputi
seluruh elemen-elemen yang terlibat dalam proses persaingan usaha,
27
David Easton, Sistem Politik, (Jakarta: Bina Akrasa, 1984), h. 212.
66
pelaku usaha, fasilitator, maupun konsumen. Kunci hadirnya demokratisasi
ekonomi dalam urusan persaingan usaha harus menutup pintu-pintu
kecurangan agar persaingan yang sempurna dapat terwujud. Sebagaimana
Firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 35:
“ Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”. (QS. Al-Isra: 35)
Esensi ayat ini tidak hanya mengenai adilnya pelaku usaha dalam
memberikan timbangannya pada konsumen, secara alegoristik bisa
dimaknai sebagai keterbukaan dan keadilan bagi semua elemen yang
terlibat dalam perniagaan (dunia usaha). Islam mengajarkan niali-nilai
keadilan dan persamaan dalam dunia usaha.
Kajian hukum dan nilai-nilai Islam memberikan gambaran atas
kekosongan dasar hukum pelaku non usaha yang dalam kasus importasi
bawang putih ini menyeret tiga institusi pemerintah. Pemberian
rekomendasi tidak cukup untuk mencegah kasus-kasus yang sama terulang
kembali, revisi dengan mengedepankan aspek keadilan dan stabilitas
persaingan usaha menjadi keharusan.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari Bab I sampai Bab IV, maka penulis
menyimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Kedudukan hukum putusan KPPU sudah memiliki kekuatan hukum yang
kuat. Namun masih kelemahan, terutama dalam mekanisme eksekusi.
Karena jika terdapat penolakan putusan oleh pelaku usaha dan setelah
ditindaklanuti oleh PN maka proses awal sampai akhir KPPU dapat
dibatalkan.
2. Perkara dugaan kartel yang menyangkut 19 badan usaha (pelaku usaha)
dan dua Kementrian (non pelaku usaha) mengenai kasus importasi
bawang putih Oktober 2012 sampai Desember 2012 telah melanggar
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU Persaingan Usaha),
klasifikasinya adalah telah terjadinya kartel antar para pelaku usaha
dengan telah dipenuhinya unsur-unsur kartel, terutama unsur perjanian
dengan melihat dampak ekonomi yang ditimbulkan (inderect evidence).
Walaupun dalam keputusan perkara Nomor 05/KPPU-i/2013 para
terlapor tidak dinyatakan melanggar pasal 11 Undang-undang Nomor 5
tahun 1999 karena kurang kuatnya bukti perjanjian diantara terlapor.
3. Tidak terdapat aturan hukum yang jelas mengenai keterlibatan pihak non
pelaku usaha dalam Undang-Undang persaingan usaha di Indonesia, hal
ini dikarenakan Undang-Undang persaingan usaha memakai kerangka
68
ekonomi liberal, pada kenyataanya di Indonesia tidak sepenuhnya liberal
karena pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait mempunya peranan
besar dalam kegiatan ekonomi.
B. Saran
1. Pada dasarnya mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang sudah
sangat baik, yang perlu ditingkatkan adalah mekanisme pasca putusan
yang sangat menentukan kekuatan hukum putusan tersebut kodifikasi
peraturan dengan lembaga peradilan agar selaras dalam menciptakan
iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Kaitanya dengan pihak
non pengusaha (pemerintah) Undang-Undang persaingan usaha di
Indonesia yang diadopsi dari negara-negara dengan sistem ekonomi
liberal maka harus ada pencocokan dengan sistem ekonomi Indonesia,
terutama terkait keterlibatan pemerintah yang ikut melanggar undang-
undang anti monopoli agar tidak hanya member hukuman yang bersifat
rekomendasi yang dirasakurang menimbulkan efek jera yang akhirnya
fungsi dari kehadiran undzng-undang persaingan usaha menajdi sia-sia
disertai dengan penguatan birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan yang
ada kaitannya dengan kegiatan ekonomi .
2. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) berkaitan dengan perkara
05/KPPU-i/2013 telah menjalankan amanat Undang-undang Nomor 5
tahun 1999 dengan baik, hanya saja perlu investigasi yang lebih
menyeluruh dan mendalam terkait dengan pembuktian kartel,
69
bagaimanapun perjanjian kartel akan dilakasanakan secara diam-diam.
Penguatan yuridis UU persaingan usaha pada poin kartel patut digalakan
terutama dalam melihat kartel dari sudut pandang ekonomi baik
dampaknya maupun pengaturan produksi dan pemasaran dijadikan
sebagai unsur penting penguat unsur peranjian yang sukar dibuktikan,
agar kedepan kasus seperti ini dapat diputuskan sebagai perjanjian kartel
dan pemberian sanksi administratif yang berat terhadap para terhukum
agar menimbulkan efek jera.
70
DAFTAR PUSTAKA
Ayat Suci Alquran dan Terjemah Quran in Word versi 2.2
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Depok: Pascasarjana FH UI, 2003.
Anggraini, Anna Maria Tri. Jurnal Hukum Bisnis “Penerapan Pendekatan Rule Of
Reason dan Per Ser Illegal Dalam Hukum Persaingan”, Vol. 24. Jakarta:
Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2005.
Assiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI,
2016.
BBC. “Indikasi Kartel Bawang Menguat KPPU Gelar Investigasi”.
http://www.bbc.com/indonesia/beritaindonesia/2013/03/130318garliccartel,
diakses pada 28 Oktober 2016
---------- “Diduga 14 Importir Dalangi Kartel Bawang”.
http://www.bbc.com/indonesia/beritaindonesia/2013/05/130501garliccartel,
diakses pada jumat 02 Juni 2017
Djumyati Partawidjaja (ed.), “Gang of Four, Legenda Konglomerasi Orde Baru”. http://industri.kontan.co.id/news/gang-of-four-legenda-konglomerasi
-orde-baru, diakses pada 8 Maret 2017.
Eston, David. Sistem Politik. Jakarta: Bina Akrasa, 1984.
Fil’ardi, Fajri. “Kegiatan Praktik Jual Beli Bawang Putih Yang Dilakukan
Beberapa Importir Dalam Kajian Ketentuan Kartel Menurut Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia.” Bandung: Universitas Padjajaran, 2014.
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.
---------- Hukum Perusahaan: Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
Hansen, Knud (ed.), Undang-undang Larangan Praket Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Katalis, 2001.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
---------- Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
71
Kagramanto, L Budi. Mengenal Jukum Persaingan Usaha: Berdasarkan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999. Surabaya: Laros, 2008.
Kansil, CST. Hukum Perusahaan Indonesia: Aspek Hukum dalam Ekonomi
Bagian 2. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001
Kristanto, Yakub Adi. Jurnal Hukum Bisnis “Analisis Pasal 22 UU Nomor 5
Tahun 1999 dan karakteristik Putusan tentang persekongkolan Tender”, vol.
24 no. 2, Yogyakarta, 2005
Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks.
Jakarta: KPPU, 2009.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.
Mempersoalkan Sanksi Pidana dalam Hukum Persaingan Usaha: Pengaturan
sanksi pidana di dalam UU Anti Monopoli dinilai tak memenuhi ketentuan
pidana.http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21865/mempersoalkan-
sanksi-pidana-dalam-hukum-persaingan-usaha, diakses pada 15 November
2016
Nugroho,Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Predana Media Grup, 2014.
Rachbini, Didik J. Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan.
Jakarta: Granit, 2004.
Sirait, Ningrum Natasya, dkk. Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha. Jakarta:
NLRP, 2010.
Siswanto, Ari. ‘Bid-Rigging’ sebagai Tindakan Anti-Persaingan dalam Jasa
Konstruksi, Refleksi Hukum. Salatiga: UKSW, 2001.
Sukarmi, Jurnal Persaingan Usaha KPPU “Pelaksanaan Putusan Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha”, edisi. 7, Jakarta, 2012.
Soemardi, Tresna P. Jurnal Hukum Persaingan Usaha “Kajian Holistik
Kelembagaan KPPU-RI: Antara Harapan Vs Fakta Historis 2000-2011”,
vol. VI, Jakarta, 2011.
Sudarsono, Edilius. Kamus Ekonomi: Uang dan Bank. Jakarta: Rineka Cipta,
1994.
72
Suharsil dan M. Taufik Makarao. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
Sukendar. Jurnal Hukum Persaingan Usaha “Kedudukan Lembaga Negara
Khusus (Auxiliary States Organ) dalam Konfigurasi Ketatanegaraan
Modern Indonesia (Studi Mengenai Kedududkan KPPU dan Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia)”, vol. I, No. 1, Jakarta, 2009.
Tim Prima Pena. Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Galia Media Press,
2000.
Tim TEMPO. “Dalam 3 Pekan, Kartel Bawang Raup Rp 1,1 Triliun”,
https://m.tempo.co/read/fokus/2013/03/22/2729/dalam-3-pekan-kartel bawang -
raup-rp-1-1-triliun, diakses pada 28 oktober 2016
Usman, Rahmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Winardi. Istilah Ekonomi Dalam Tiga Bahasa, Inggris, Belanda, Indonesia.
Bandung: Mandar Maju, 1996.
Perundang-undangan
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999.
Pasal 33 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013.
Peraturan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Kartel.
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 5 TAHUN 1999
TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGANUSAHA TIDAK SEHAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnyakesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945;
b. bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempa-tanyang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam prosesproduksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yangsehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomidan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
c. bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasipersaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanyapemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidakterlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara RepublikIndonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional;
d. bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a,huruf b, dan huruf c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perludisusun Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli danPersaingan Usaha Tidak Sehat;
Mengingat: Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLIDAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasatertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutanoleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
4. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berartidi pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usahamempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengankemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuanuntuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
5. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badanhukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatandalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
6. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankankegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidakjujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
7. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diriterhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidaktertulis.
8. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelakuusaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagikepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
9. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsungmaupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
10. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasarantertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusidari barang dan atau jasa tersebut.
11. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yangmemiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lainjumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistemdistribusi, dan penguasaan pangsa pasar.
12. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagaipemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lainpencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
13. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai olehpelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
14. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuaikesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
15. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untukkepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
16. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupuntidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan olehkonsumen atau pelaku usaha.
17. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkandalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
18. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelakuusaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan ataupersaingan usaha tidak sehat.
19. Pengadilan Negeri adalah pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha.
BAB 11
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomidengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pasal 3
Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagal salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usahabesar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan olehpelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
BAB III
PERJANJIAN YANG DILARANG
Bagian PertamaOligopoli
Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yangdapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaanproduksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1),apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebihdari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaPenetapan Harga
Pasal 5
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untukmenetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen ataupelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalaim ayat (1) tidak berlaku bagi:a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; ataub. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat rperjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harusmembayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lainuntuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untukmenetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persainganusaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuatpersyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasokkembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripadaharga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usahatidak sehat.
Bagian KetigaPembagian Wilayah
Pasal 9
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untukmembagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPemboikotan
Pasal 10
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapatmenghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasardalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolakmenjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; ataub. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa
dari pasar bersangkutan.
Bagian KelimaKartel
Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksuduntuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan ataujasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidaksehat.
Bagian KeenamTrust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja samadengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjagadan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KetujuhOligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuksecara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapatmengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian ataupenerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh limapersen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KedelapanIntegrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untukmenguasai produksi sejumiah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan ataujasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahanl atau proseslanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian KesembilanPerjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuatpersyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atautidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau padatempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuatpersyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersediamembeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentuatas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerimabarang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usalia pemasok; ataub. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari peliku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bagian KesepuluhPerjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luair negeri yang memuatketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidaksehat.
BAB IV
KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian PertamaMonopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang danatau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usahatidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan ataupemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; ataub. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan atau jasa yang sama; atauc. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atasbarang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinyapraktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadipembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satukelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (Iima puluh persen) pangsa pasar satujenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KetigaPenguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersamapelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persainganusaha tidak sehat berupa:a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan; ataub. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atauc. memibatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; ataud. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pasal 20
Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jualbeli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan ataumematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinyapraktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalani menetapkan biaya produksi dan biaya lainnyayang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPersekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain unuk mengatur dan atau menentukanpemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatanusaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan ataupemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan ataujasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah,kualitasmaupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
BAB V
POSISI DOMINAN
Bagian PertamaUmum
Pasal 25
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidaklangsung untuk :a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segiharga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atauc. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluhpersen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluhlima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaJabatan Rangkap
Pasal 26
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, padawaktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain,apabila perusahaan-perusahaan tersebut:a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; ataub. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atauc. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu,yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KetigaPemilikan Saham
Pasal 27
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yangmelakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, ataumendirikan beberapa perusahaam yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasarbersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh
puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeempatPenggabungan, Peleburan, dan Peingambilalihan
Pasal 28
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha dilaragg melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakantersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidaksehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarangsebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaansebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimanadimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihijumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata carapemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Bagian PertamaStatus
Pasal 30
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas PersainganUsaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruli dan kekuasaanPemerintah serta pihak lain.
(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian KeduaKeanggotaan
Pasal 31
(1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkapanggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DewanPerwakilan Rakyat.
(3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaanKomisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.
Pasal 32
Persyaratan keanggotaan Komisi adalah:a. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan
setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undaing Dasar 1945;c. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;d. jujur, adil, dan berkelakuan baik;e. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;f. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang
hukum dan atau ekonomi;g. tidak pernah dipidana;h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dani. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Pasal 33
Keanggotaan Komisi berhenti, karena :a. meninggal dunia;b. mengundurkan diri atas pemintaan sendiri;c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;d. sakit jasmani atau rohani terus menerus;e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atauf. diberhentikan.
Pasal 34
(1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan denganKeputusan Presiden.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.(3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja.(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja
diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian KetigaTugas
Pasal 35
Tugas Komisi meliputi:a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampaidengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yaiig dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehatsebagamana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yangdapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehatsebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Bagian KeempatWewenang
Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi :a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidaksehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usahaatau yang ditentukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuaiiundang-undang ini;
f. memanggil dan menghasilkan saksi, saksi ahli, dan setiap oran.g yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi akhli, atau setiaporang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilanKomisi.
h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan ataupemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain gunapenyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. memutuskan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;1. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Bagian KelimaPembiayaan
Pasal 37
Biaya untuk pelaksanaani tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undanganyang berlaku.
BAB VII
TATA CARA PENANGANAN PERKARA
Pasal 38
(1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadipelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepadaKomisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, denganmenyertakan identitas pelapor.
(2) Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yanglengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yangditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
(3) Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dirahasiakan olehKomisi.
(4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut oleh Komisi.
Pasal 39
(1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2),Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib menetapkanperlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
(2) Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelakuusaha yang dilaporkan.
(3) Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha yangdikategorikan sebagai rahasia perusahaan.
(4) Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar keterangan saksi, saksi ahli, danatau pihak lain.
(5) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4),anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal 40
(1) Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaanterjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tatacara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Pasal 41
(1) Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yangdiperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(2) Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yangdiperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat prosespenyelidikan dan atau pemeriksaan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), oleh Komisi diserahkan kepada penyidik untukdilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 42
Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:a. keterangan saksi,b. keterangan ahli,c. surat dan atau dokumen,d. petunjuk,e. keterangan pelaku usaha.
Pasal 43
(1) Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) harisejak dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1).
(2) Bilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Komisi wajib memutuskati telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaanlanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2).
(4) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dibacakan dalam suatu sidangyang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha.
Pasal 44
(1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusanKomisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakanputusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan olehpelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukanpenyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaanyang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 45
(1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalamPasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.
(2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalaim waktu 30 (tiga puluh) hari sejakdimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalamayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada MahkamahAgung Republik Indonesia.
(4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejakpermohonan kasasi diterima.
Pasal 46
(1) Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusikepada Pengadilan Negeri.
BAB VIII
SANKSI
Bagian PertamaTindakan Administratif
Pasal 47
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usahayang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:a. penetapan pembatalan perjanjian sebagamana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan ataub. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14; dan atauc. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan ataumerugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; danatau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha danpengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan penibayaran ganti rugi; dan ataug. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian KeduaPidana Pokok
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampaidengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampaidengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti dendaselama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana dendaserendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian KetigaPidana Tambahan
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidanasebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:a. pencabutan izin usaha; ataub. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-
undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahundan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian padapihak lain.
BAB IX
KETENTUAN LAIN
Pasal 50
Yang dikecualikan dari ketentuani undang-undang ini adalah:a. perbuatan dan atau perrjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; ataub. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang,serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang danatau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasokkembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telahdiperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakatluas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; ataug. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atauh. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; ataui. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaranbarang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksiyang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan UsahaMilik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
(1) Sejak berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengaturatau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlakusepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Pelaku usaha yang telah membuat perjanjian dan atau melakukan kegiatan dan atau tindakanyang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini diberi waktu 6 (enam) bulan sejakUndang-undang ini diberlakukan untuk melakukan penyesuaian.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Undang-undang ini mulai berlaku terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di : Jakartapada tanggal : 5 Maret 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di: Jakartapada tanggal : 5 Maret 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 33
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I
Ttd
Lambock V. Nahattands