inovasi teknologi bawang merah cv.topo sebagai...

13
INOVASI TEKNOLOGI BAWANG MERAH Cv.TOPO SEBAGAI VARIETAS UNGGUL LOKAL SPESIFIK MALUKU UTARA Chris Sugihono, M. Assagaf, Y. Saleh, A. Notosusanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Jl. Komplek pertanian kusu no.1 Sofifi-Kota Tidore Kepulauan; Korespondensi: [email protected] PENDAHULUAN Bawang merah (Allium cepa L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang strategis di Maluku Utara. Menurut Bank Indonesia (2013), komoditas ini juga merupakan salah satu penyumbang inflasi. Komoditas ini banyak dikonsumsi masyarakat karena mempunyai kandungan gizi dan senyawa yang tergolong zat non gizi serta enzim yang berfungsi untuk terapi, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh serta memiliki aroma khas yang digunakan untuk penyedap masakan. Menurut BPS (2015), produksi bawang merah tahun 2012 mencapai 1898 ton dengan produktivitas hanya 1,4 ton/ha. Di Provinsi Maluku Utara terdapat salah satu varietas lokal bawang merah yang oleh masyarakat lokal diberi nama bawang Topo (nama kelurahan asal bawang merah lokal di pulau Tidore). Kultivar ini memiliki keunggulan selain adaptif terhadap agroekosistem di Malut, juga mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi. Masyarakat setempat beranggapan bahwa bawang Topo memiliki aroma rasa yang khas hanya ketika di tanam di dataran tinggi, tidak pada dataran rendah dan hamparan yang rata. Kepercayaan ini mengakibatkan kondisi lahan hutan rakyat dan kebun menjadi terancam tanah dan vegetasinya. Masyarakat menebang tanaman kayu dan semak-semak di lereng-lereng bukit untuk ditanami bawang Topo. Teras-teras pertanaman terbuat dari bambu atau kayu hasil tebangan. Adapun semak-semak dibakar. Abu hasil pembakaran ditanam ke tanah untuk pupuk tanaman. Penanaman di daerah lereng sangat beresiko terhadap erosi/kehilangan bahan organik tanah, unsur hara, dan lapisan olah tanah. Oleh karena itu, perlu pengembangan bawang Topo di daerah rata dataran rendah untuk mencegah erosi dengan tetap mampu menjaga ciri spesifik dan peningkatan produksi serta kesejahteraan petani. Menurut BPTP Malut (2010), penanaman bawang Topo di dataran rendah dapat memperbaiki fisik umbi, yaitu umbi menjadi besar dengan diameter umbi rerata 2,96 cm dan rata-rata bobot per umbi 10,7 gram. Sedangkan umbi hasil budidaya petani di Topo memiliki diameter rata-rata 1,47 cm dengan rata-rata bobot per umbi sebesar 2,4 gram. Produktivitas umbi ubinan mampu mencapai 16,4 ton. Sedangkan produktivitas petani kecil sekitar 3 t/ha. Rendahnya produktivitas bawang Topo disebabkan belum diketahuinya teknik budi daya yang baik, kesuburan tanah rendah, dan skala usahatani yang masih kecil <0,25 ha. Tulisan ini bertujuan menyajikan komponen inovasi teknologi bawang merah Topo ditingkat skala usahatani sebagai dasar rekomendasi ke petani bawang merah Topo di Maluku Utara. SEJARAH PENGKAJIAN BAWANG MERAH Cv. TOPO Bawang merah Topo merupakan salah satu sumberdaya genetik (SDG) spesifik Maluku Utara yang menjadi simbol kebanggaan budaya lokal masyarakat pulau Tidore. Dihabitat aslinya, bawang tersebut dibudidayakan oleh petani Tidore beratus-ratus tahun yang lalu hingga sekarang dengan kondisi agroekosistem dataran tinggi. Kondisi lahan tanam merupakan dataran medium-tinggi ≥ 700 m dpl. Pertanaman di lereng-lereng

Upload: duongnhan

Post on 05-May-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

INOVASI TEKNOLOGI BAWANG MERAH Cv.TOPO SEBAGAI VARIETAS UNGGUL LOKAL SPESIFIK MALUKU UTARA

Chris Sugihono, M. Assagaf, Y. Saleh, A. Notosusanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Jl. Komplek pertanian kusu no.1 Sofifi-Kota Tidore Kepulauan;

Korespondensi: [email protected]

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium cepa L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang strategis di Maluku Utara. Menurut Bank Indonesia (2013), komoditas ini juga merupakan salah satu penyumbang inflasi. Komoditas ini banyak dikonsumsi masyarakat karena mempunyai kandungan gizi dan senyawa yang tergolong zat non gizi serta enzim yang berfungsi untuk terapi, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh serta memiliki aroma khas yang digunakan untuk penyedap masakan. Menurut BPS (2015), produksi bawang merah tahun 2012 mencapai 1898 ton dengan produktivitas hanya 1,4 ton/ha.

Di Provinsi Maluku Utara terdapat salah satu varietas lokal bawang merah yang oleh masyarakat lokal diberi nama bawang Topo (nama kelurahan asal bawang merah lokal di pulau Tidore). Kultivar ini memiliki keunggulan selain adaptif terhadap agroekosistem di Malut, juga mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi. Masyarakat setempat beranggapan bahwa bawang Topo memiliki aroma rasa yang khas hanya ketika di tanam di dataran tinggi, tidak pada dataran rendah dan hamparan yang rata. Kepercayaan ini mengakibatkan kondisi lahan hutan rakyat dan kebun menjadi terancam tanah dan vegetasinya. Masyarakat menebang tanaman kayu dan semak-semak di lereng-lereng bukit untuk ditanami bawang Topo. Teras-teras pertanaman terbuat dari bambu atau kayu hasil tebangan. Adapun semak-semak dibakar. Abu hasil pembakaran ditanam ke tanah untuk pupuk tanaman. Penanaman di daerah lereng sangat beresiko terhadap erosi/kehilangan bahan organik tanah, unsur hara, dan lapisan olah tanah. Oleh karena itu, perlu pengembangan bawang Topo di daerah rata dataran rendah untuk mencegah erosi dengan tetap mampu menjaga ciri spesifik dan peningkatan produksi serta kesejahteraan petani.

Menurut BPTP Malut (2010), penanaman bawang Topo di dataran rendah dapat memperbaiki fisik umbi, yaitu umbi menjadi besar dengan diameter umbi rerata 2,96 cm dan rata-rata bobot per umbi 10,7 gram. Sedangkan umbi hasil budidaya petani di Topo memiliki diameter rata-rata 1,47 cm dengan rata-rata bobot per umbi sebesar 2,4 gram. Produktivitas umbi ubinan mampu mencapai 16,4 ton. Sedangkan produktivitas petani kecil sekitar 3 t/ha. Rendahnya produktivitas bawang Topo disebabkan belum diketahuinya teknik budi daya yang baik, kesuburan tanah rendah, dan skala usahatani yang masih kecil <0,25 ha. Tulisan ini bertujuan menyajikan komponen inovasi teknologi bawang merah Topo ditingkat skala usahatani sebagai dasar rekomendasi ke petani bawang merah Topo di Maluku Utara. SEJARAH PENGKAJIAN BAWANG MERAH Cv. TOPO

Bawang merah Topo merupakan salah satu sumberdaya genetik (SDG) spesifik Maluku Utara yang menjadi simbol kebanggaan budaya lokal masyarakat pulau Tidore. Dihabitat aslinya, bawang tersebut dibudidayakan oleh petani Tidore beratus-ratus tahun yang lalu hingga sekarang dengan kondisi agroekosistem dataran tinggi. Kondisi lahan tanam merupakan dataran medium-tinggi ≥ 700 m dpl. Pertanaman di lereng-lereng

hutan/kebun campuran (pala, cengkeh), kemiringan lereng terjal ≥ 45% dengan kondisi sering berkabut. Pertanaman menggunakan sistem terasering, sistem tanam ditugal. Diduga keberadaan bawang Topo dibawa oleh penjajah Portugis.

Gambar 1. Kondisi eksisting budidaya bawang merah Cv.Topo di Pulau Tidore

Pengkajian pertama kali terhadap bawang merah Topo dilakukan sejak tahun 2009, melalui kegiatan eksplorasi plasma nutfah. Hasil dari kegiatan ini berhasil mengkarakterisasi awal secara kualitatif ciri khas bawang Topo yaitu: (1) Lapisan umbi padat, (2) bentuk umbi lonjong-oval, (3) siung/umbi tidak bertumpuk, (4) warna umbi kusam, (5) umbi kecil-kecil dengan rerata diameter 1,37cm, dan (6) aroma tajam (lebih tajam dari bawang lainnya).

Gambar 2. Ukuran umbi bawang merah Topo Pengkajian berikutnya adalah melakukan ujiadaptasi kultivar Topo didataran rendah

dengan perlakuan perbaikan budidaya untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengkajian dilakukan pada bulan September 2009 di areal lahan kering di kebun percobaan BPTP Maluku Utara di Desa Kusu Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Hasil kajian menunjukkan ada peningkatan ukuran umbi dari rerata diameter 1,47cm dengan berat per umbi rerata 2,4gram menjadi diameternya rerata 2,96cm dengan berat umbi rerata 10,7 gram. Begitu juga dengan produktivitas juga meningkat dari 3 ton/ha menjadi 12,2 ton/ha. Pengkajian lanjutannya adalah upaya melakukan karakterisasi secara menyeluruh bawang merah Topo yang dilakukan tahun 2013 di habitat aslinya. Hasil dari kegiatan ini adalah formulir pendaftaran varietas lokal yang menyangkut unsur informasi umum, dan informasi teknis yang meliputi tipe tanaman, deskripsi daun, umbi, dan sifat-sifat khususnya yang menyangkut kadar proksimat umbi dan ketahanan terhadap penyakit.

Pada tahun 2014, dilakukan kerjasama penandatanganan nota kesepahaman (MoU), BPTP Malut dengan Bank Indonesia, Dinas Pertanian Provinsi Malut, dan Pemerintah Daerah Halmahera Timur untuk mengembangkan klaster bawang merah Topo. Upaya ini ditindaklanjuti oleh BPTP dengan melakukan uji adaptasi bawang merah Topo di lahan sawah SP 6 desa Tutuling Jaya, Kecamatan Wasile Timur, Kab. Halmahera Timur dengan

membandingkan bawang Topo dengan varietas unggul nasional yaitu Bima 1, Manjung, dan Super Philip. Hasilnya menunjukkan dengan sentuhan teknologi PTT melalui penambahan pupuk organik dan pemupukan berimbang, jarak tanam, pengairan, dan sistem guludan (30-50 cm) mampu meningkatkan produktivitas bawang Topo dari rata-rata 1-3 ton/ha menjadi 12 ton/ha. Peningkatan lainnya adalah perubahan ukuran umbi yang sebelumnya kecil (diameter <15 mm) menjadi besar (diameter <20-30 mm). Selain itu, performa dilapangan menunjukkan bahwa bawang merah Topo lebih tahan penyakit layu daun (moler) dibandingkan varietas unggul Bima, Manjung, dan Super Philip.

Gambar 3. Keragaan bawang Topo di Halmahera Timur

Pada tahun 2015, dilakukan pengkajian lanjutan untuk menguji komponen teknologi

budidaya bawang merah Topo di dataran rendah pulau Halmahera, desa Koli, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan. Hasilnya menunjukkan introduksi teknologi budidaya bawang merah dapat meningkatkan produktivitas bawang merah Cv. Topo sebesar 66,16-106,25 persen dari produktivitas eksisting sebelumnya. Usahatani bawang merah secara introduksi teknologi budidaya layak untuk diusahakan pada keempat varietas yang diamati, namun pada cara eksisting budidaya petani kedua varietas Cv. Topo tidak layak diusahakan, karena akan mengalami kerugian. Pola pemasaran petani bawang merah di Desa Koli (SP-1) Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan memiliki 4 jenis saluran pemasaran. DESKRIPSI INOVASI BAWANG MERAH Cv. TOPO A. Deskripsi Kultivar Topo

Dari segi karakteristiknya, bawang Topo memiliki beberapa keunggulan, terutama dari komposisi kandungan kimianya (Tabel 1). Varietas ini diyakini memiliki rasa pedas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bawang merah yang berasal dari daerah lain. Dari hasil penelitian, kandungan kimia yield oleoresin sebagai penyebab rasa pedas, memiliki komposisi cukup tinggi yaitu 98,89 (% db). Tabel 1. Kandungan kimia per 100 g sampel (satuan dalam mg).

Kandungan Unsur Bawang Topoa Bawang merah biasab

Air (g) 75 88 Protein (g) 4.1 1.9 Lemak (g) 1.4 0.3 Vit C (mg/100g) 52.3 2 Kalium (g) 0.50 0.33 Phosphor (g) 0.05 0.04 Besi (g) 0.02 0.8c

Calsium (g) 0.17 0.04 Sumber: aBPTP Malut. (2010) dan b Direktorat Gizi Depkes R.I. (1981) dalam Rukmana (2007).

Tabel 2. Deskripsi tanaman bawang merah Topo

Variabel pengamatan Deksripsi

1. TANAMAN Tipe tumbuh Tipe lingkungan tumbuh Tinggi tanaman Jumlah umbi per rumpun Umur tanaman/panen

: Tegak : Dataran medium (>700 mdpl) : 29,5 cm : 9,94 : 85-90 hst

2. DAUN Panjang daun (cm) Diameter daun (cm) Bentuk daun Warna daun Jumlah daun per umbi (helai) Jumlah daun per rumpun (helai)

: 32,15 : 0,39 : Oval bulat : Hijau tua : 4-5 : 33

3. UMBI Bentuk umbi Warna umbi Jumlah umbi per rumpun Bobot umbi basah +daun per rumpun (gr/knol) Susut bobot umbi sampai dengan kering simpan (%) Bobot kering umbi per rumpun (gr) Bobot kering 1 umbi (gr) Diameter umbi (cm) Bentuk daging umbi

: lonjong oval : merah muda agak pucat : 9,94 : 53,75 : 40-44 : 21,31 : 3,13 : 1,49 : Umbi tidak bertumpuk

4. SIFAT SIFAT KHUSUS Kadar atsiri (% bobot kering) Kadar air (%bobot basah) Kadar abu (% bobot basah) Kadar protein (% bobot basah) Kadar lemak (% bobot basah) Kadar karbohidrat (% bobot basah) Vitamin C (mg/100g) Kalium (mg) Phospor (mg) Besi (mg) Kalsium (mg) Ketahanan terhadap penyakit Potensi hasil (ton umbi kering/hektar) Agroekosistem

: 98,89 : 74,8 : 1,42 : 4,12 : 1,39 : 17,89 : 52,44 : 0,083 : 0,047 : 0,018 : 0,17 : Tahan penyakit layu daun : 10,8 – 16,4 : Cocok untuk dataran rendah maupun medium tinggi

B. Deskripsi teknologi produksi Tabel 3. Komponen teknologi introduksi budidaya bawang merah Topo di Maluku Utara

No Komponen Introduksi Teknologi

1 Jumlah benih 500 kg

2 Pengolahan tanah Sempurna (ditraktor/bajak, digaru, dan diratakan) Lebar: 1,2-1,5 m; Panjang: disesuaikan dengan kondisi lahan;

tinggi bedengan 30 cm. Jarak antar bedengan (parit) 40 cm, kedalaman 30 cm

3 Perlakuan benih Apabila benih bawang merah belum cukup umur simpan (< 2 bulan), dilakukan pemotongan ujung umbi (+ 0,5 cm) dengan tujuan untuk memecahkan masa dormansi

4 Penanaman Jarak tanam 15 x 20 cm Umbi bibit yang akan ditanam, ¼ bagian ujungnya dipotong

untuk mempercepat tumbuhnya tunas Jika tunas telah muncul sebelum ditanam, ujung umbi tidak

perlu dipotong Bibit ditanam dengan membenamkan 2/3 bagian ke dalam

tanah Setelah tanam, tanaman segera diairi

5 Pemupukan Pupuk Dasar (7-10 hari sebelum tanam): (1) Pupuk organik 5000 kg (bersamaan pembuatan bedengan); dan (2) Pupuk SP-36 sebesar 250 kg, KCl 100 kg, dan NPK 600 kg TSP (SP-36) 25 kg

- Urea 25 kg - KCl 37,5 kg - ZA 62,5 kg

Pupuk anorganik (Urea, KCl, ZA) diberikan sebanyak 2 periode, yaitu: 1. Pemupukan susulan I (umur 15 hari setelah tanam): urea 12,5

kg; KCl 18,75 kg; dan ZA 31,25 kg. 2. Pemupukan susulan II (umur 30 hari/1 bulan setelah tanam):

urea 12,5 kg; KCl 18,75 kg; dan ZA 31,25 kg.

6 Pengairan dan Penyiraman

Pengairan diberikan dengan cara leb atau disiram dan disesuaikan dengan kondisi lahan

Musim kemarau: Penyiraman dilakukan setiap hari 1-2 kali pada pagi atau sore hari, sejak tanam sampai menjelang panen.

Musim hujan: penyiraman ditujukan untuk membilas daun tanaman dari percikan tanah yang menempel di daun.

Untuk mempercepat penuaan umbi bawang merah setelah umur > 55 hari dapat dilakukan penyiraman pada siang hari.

7 Penyiangan Penyiangan tanaman bawang merah dengan cara manual dilakukan sesuai keadaan gulma di lapangan, yaitu antara satu sampai dua kali penyiangan, dan umumnya dilakukan sebelum aplikasi pemupukan.

10 Pengendalian hama dan penyakit

Penerapan PHT selalu disesuaikan dengan keadaan tanaman dan ekosistemnya. Dalam konsep PHT, peng-gunaan pestisida hanya dilakukan apabila populasi hama/penyakit berada di atas ambang pengendalian (ambang kendali)

11 Panen Untuk konsumsi: 80-90 HST (bawang topo), dengan tingkat kerebahan daun 80%

Untuk umbi bibit: 90-100 HST (bawang topo)

No Komponen Introduksi Teknologi

Waktu panen udara cerah dan tidak basah Cara panen dengan mencabut keseluruhan tanaman

12 Penanganan pascapanen

Hasil panen diikat, tiap ikatan berisi 1-1,5 kg Hasil panen dilayukan dengan cara menjemurnya di lahan

selama 2-3 hari di bawah panas matahari dengan posisi daun di atas

Hasil panen selanjutnya dikeringkan di tempat pengeringan selama 7-14 hari untuk mendapatkan susut bobot 25-40% atau sampai kering askip dengan posisi daun dan umbi di bolak-balik. Cara mengetahui umbi kering askip adalah menyimpan sedikit umbi dalam kantong plastik putih selama 24 jam, bila tidak ada titik air dalam kantong, berarti umbi sudah kering askip

Sebelum disimpan, umbi yang sehat dan utuh dipisahkan dari umbi yang rusak untuk mencegah penularan OPT dan meningkatkan nilai jual

13 Penyimpanan Gudang atau tempat penyimpanan bawang merah dibuat ventilasi

Dalam ruang penyimpanan dibuat para-para bambu yang tersusun dengan jarak antar para-para 30 cm, ikatan bawang merah diletakkan di atas para-para

Setelah 1-1,5 bulan disimpan, dilakukan sortasi terhadap umbi bawang merah yang keropos, busuk atau terkena serangan hama penyakit. Sortasi dilakukan juga pada bulan berikutnya

Gambar 4. Perbedaan bentuk bedengan bawang Topo; tinggi 50 cm di Oba, Tidore

Kepulauan (kiri) dan tinggi 30 cm di Halmahera Timur

Gambar 5. Inovasi budidaya bawang merah di Maluku Utara

KELAYAKAN PENGEMBANGAN INOVASI BAWANG MERAH TOPO A. Kelayakan Teknis

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan saat uji adaptasi bawang merah Topo di Halmahera Timur tahun 2014 menunjukkan bahwa bawang merah Topo secara produktivitas lebih unggu dibandingkan varietas unggul nasional Bima, Manjung, dan Super philip. Hanya saja kelemahan bawang Topo adalah umur panennya masih lebih panjang (80-90 hst).

Tabel 4. Komponen hasil perbandingan varietas bawang merah di agroekosistem lahan sawah tadah hujan, desa Tutuling Jaya, Kab. Halmahera Timur

Varietas Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah

rumpun/

umbi

Diameter

umbi (cm)

Produktivitas

(ton/ha)

Super Philip 32,45 b 6,05 2,46 a 6,3

Manjung 30,75 b 7,9 2,24 ab 5,5

Topo 32,15 b 7,4 2,36 a 12,4

Bima-1 37,35 a 6,85 2,02 b 5,6 Sumber: data primer (2014)

Sedangkan dari aspek kandungan proksimat bawang merah, dimana oleoresin merupakan salah satu minyak atsiri yang menjadi kekhasan bawang merah. Dari data Gas Cromatrografi-Massa Spectrocopy (GCMS) menunjukkan jumlah komponen kimia penyusun oleoresin berbeda antar umur panen. Ini sangat ditentukan oleh foktor fisiologis tanaman terhadap respon budidaya dan lingkungan tumbuh. Jumlah oleoresin tertinggi dicapai pada umur panen 83 hari, begitu juga persentase oleoresin per berat basah dan kering. Ini menunjukkan bahwa waktu panen masak fisiologis untuk bawang topo adalah 83 hari. Tabel 5. Kandungan oleoresin bawang merah Topo pada berbagai umur panen

Umur panen

Jumlah oleoresin (g)

Oleoresin (% wb)

Oleoresin (%db)

73 hst 16.045 16.54 66.17

83 hst 23.485 24.72 98.89

93 hst 18.345 16.38 65.52

105 hst 20.705 18.16 72.65 Sumber ; M. Assagaf dan sulistiono, (2011).

Ket. %wb = %wed basis (berat basah); % db = %dry basis .

B. Kelayakan Ekonomis dan Bisnis

Analisis finansial usahatani digunakan sebagai parameter kelayakan penggunaan lahan secara ekonomi untuk tanaman bawang merah. Indikator yang digunakan adalah rasio penerimaan dengan total biaya (R/C ratio). Suatu usahatani tanaman tertentu dikatakan layak apabila nilai R/C-nya lebih besar dari satu, dimana semakin tinggi nilai R/C ratio maka usahatani tersebut semakin menguntungkan (Clive et al., 1992). Hasil analisis kelayakan usahatani bawang merah menunjukkan inovasi teknologi layak untuk diusahakan dengan indikator nilai R/C atas biaya total sebesar 1,74 dan nilai margin benefit cost ratio (MBCR) sebesar 1,92. Dengan menggunakan inovasi teknologi, produksi yang diperoleh sebesar 10806 kg sedangkan dengan cara eksisting petani hanya 3938 kg.

Tabel 6. Analisis finansial usahatani bawang merah cara introduksi teknologi budidaya bawang merah di Desa Koli, 2015 (dalam Ha)

Cara Introduksi Eksisting Petani

1 Harga jual (bersih) Rp/Kg 20.000 20.000

2 Produksi (bersih) Kg 10.806 3.938

3 Total Biaya Produksi Rp/Ha 142.331.900 70.837.112

4 Total Biaya Tunai Rp/Ha 124.491.900 57.717.112

5 Penerimaan Rp/Ha 216.118.000 78.758.800

6 Pendapatan atas biaya tunai Rp/Ha 91.626.100 21.041.688

7 Pendapatan atas biaya total Rp/Ha 73.786.100 7.921.688

8 R/C atas biaya tunai 1,74 1,36

9 R/C atas biaya total 1,52 1,11

10 MBCR 1,92

11 BEP Harga 13.171,7 17.988,4

12 BEP Produksi 7.116,6 3.541,9

No Uraian SatuanNilai

Sumber: Analisis data primer, 2015.

Secara umum pola pemasaran bawang merah dimulai dari petani bawang merah (produsen), setiap produsen memiliki pembeli yaitu pedagang pengumpul yang umumnya tetap. Selain menjual kepada pedagang pengumpul, petani juga menjual hasil produksi bawang merahnya kepada konsumen langsung di sekitar domisili tempat tinggalnya.

Gambar 6. Pola pemasaran bawang merah di Desa Koli (SP-1), Kecamatan Oba, Kota

Tidore Kepulauan Berdasarkan gambar 4 di atas, maka pola pemasaran untuk bawang merah di lokasi pengkajian ada 4 jenis, yaitu:

1. Produsen Konsumen. 2. Produsen Pedangan Eceran Konsumen. 3. Produsen Pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten

Pedagang Eceran Konsumen. 4. Produsen Pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten

Pedagang Antar Pulau Pedagang Eceran Konsumen.

Gambar 7. Bawang merah Topo di penyimpanan (kiri) dan siap dipasarkan (kanan)

C. Kelayakan Sosial

Pada habitat aslinya, bawang Topo diusahakan di pulau Tidore yang penuh dengan adat dan budaya yang kuat. Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Pulau Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie Duko”, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku – yang mereka namakan gunung “Kie Marijang ”. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Budaya pertanian perkebunan menjadi karakter paling dominan bagi petani Tidore seperti bakobong (berkebun), bergantung pada alam, pemeliharaan kurang intensif karena cukup datang saat panen, terbiasa dengan tanaman yang berumur panjang dengan sekali tanam tapi panen bisa berkali-kali.

Sedangkan tanaman bawang merah Topo dibudidayakan dengan pendekatan organik dan tergantung dari alam dengan komponen sebagai berikut:

- Tanpa olah tanah - Tidak ada perlakuan benih - Tanpa jarak tanam - Tanpa pemupukan - Tanpa ada pengairan - Tanpa ada pengendalian OPT - Saat panen umbi diikat dan dibiarkan diatas tanah sampai daun terlepas secara

alami - Untuk penyimpanan dengan tujuan pembibitan, umbi disimpan ditanah/lantai

rumah sampai siap tanam (>2 bulan) Dengan kondisi seperti tersebut, level budaya tani bawang merah di habitat aslinya masih pada taraf agronomi dengan teknologi minim. Pola seperti ini memang cukup sesuai dengan kearifan lokal setempat. Sedangkan sasaran inovasi teknologi produksi bawang merah dengan teknologi plus diarahkan untuk pengembangan di dataran rendah dengan agroekosistem lahan kering dan lahan sawah tadah hujan di wilayah transmigrasi Halmahera Timur dan Tidore Kepulauan.

Secara sosial, adanya inovasi teknologi budidaya bawang merah cukup diterima oleh petani. Dengan kultur utama yang mayoritas suku Jawa, petani bawang merah sangat respon terhadap inovasi teknologi bawang merah Topo, selain dapat meingkatkan produktivitas juga kultivar ini adaptif dengan kondisi iklim Maluku Utara.

Dari aspek ketenagakerjaan, usaha ini tidak menyerap jumlah tenaga kerja secara langsung yang banyak. Danpak pengaruh ke belakang (backward effect) setidaknya pada usaha pasokan pupuk kandang dan buatan, serta perbenihan bawang merah, sedangkan dampak pengaruh ke depan (forward effect) pada usaha perdagangan dan jasa pengangkutan akibat adanya usaha tani ini. Penyerapan tenaga kerja dari usaha ini dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar di pedesaan yang umumnya petani dan memiliki dampak

langsung terhadap peningkatan pendapatan dan ekonomi mereka. Dengan berkurangnya pengangguran secara langsung akan berdampak pada kondisi sosial masyarakat seperti penurunan tingkat kriminalitas D. Kelayakan lingkungan

Usaha tani bawang merah Topo dengan penerapan inovasi teknologi sebagai kegiatan produksi tanaman akan menghasilkan limbah dari kegiatannya berupa sampah-sampah organik hasil pembersihan lahan dan sampah ikutan dari pembelian bahan-bahan sarana produksi berupa bekas kemasan pupuk organik maupun anorganik, botol-botol dari plastik dan gelas bekas kemasan pupuk, pestisida, dan fungisida. Jumlah limbah bekas kemasan ini tidak begitu banyak dan dapat dikelola dengan cara dijual kepada lapak pemulung barang bekas, atau dipakai sendiri untuk keperluan lain. Sedangkan limbah organik berupa rerumputan, sisa-sisa daun maupun umbi yang busuk pada waktu proses panen biasanya dikumpulkan disuatu tempat untuk dijadikan kompos.

E. Keberlanjutan penerapan inovasi

Ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat kecepatan difusi inovasi, pertama adalah faktor lingkungan perekonomian (jaminan pemasaran, harga produk, harga input, biaya transportasi dll) dan kedua adalah faktor internal petani seperti umur, pendidikan, sikap terhadap resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi berbuat lebih baik, maupun karakteristik psikologi.

Dari aspek lingkungan perekonomian seperti jaminan pemasaran, komoditi bawang merah merupakan komoditas yang masih sangat dibutuhkan di Maluku Utara. Adanya captive market inilah yang menjadi peluang inovasi teknologi akan terus diterapkan. Dalam setahun, Maluku Utara masih kekurangan bawang merah sebesar 663,8 ton atau setara dengan penambahan luas tanam 66 ha per tahun dengan asumsi produktivitas 10 ton/ha. Dari sisi harga produk, selama 2 tahun terakhir harga bawang merah ditingkat petani belum pernah jatuh dibawah 20 ribu/kg, sementara break event point (BEP) harga untuk penerapan inovasi adalah sebesar Rp 13171,- artinya ketika harga bawang merah jatuh sampai titik kritis 13 ribu maka penerapan inovasi bawang merah Topo masih bisa dilakukan.

Gambar 8. Jumlah pemasukan (importase) bawang merah di Maluku Utara tahun 2015

Dari aspek faktor internal petani, mayoritas petani bawang merah Topo di dataran Halmahera adalah petani transmigrasi dari pulau Jawa. Sebagai petani dari luar daerah, secara psikologis memberikan respon positif terhadap adanya inovasi, begitu juga keberanian dalam pengambilan risiko dan juga motivasi untuk maju juga relatif lebih tinggi

dibandingkan petani lokal. Modal sosial inilah yang menyebabkan inovasi bawang merah sampai saat ini masih diterapkan di lapangan. POLA DISEMINASI INOVASI BAWANG MERAH TOPO

Untuk mempercepat adopsi inovasi bawang merah Topo, digunakan pendekatan spectrum diseminasi multi channel (SDMC). Artinya penyebaran inovasi bawang merah tersebut menggunakan berbagai macam saluran dan inovasi yang disebarkan tidak hanya inovasi teknologi produksi tetapi disertai dengan manajemen kelembagaan agar inovasi tersebut tetap berkelanjutan. Dalam konteks ini, pendekatan yang digunakan melalui tiga segmen yaitu segmen sumber inovasi, penyaluran inovasi (delivery) dan penerima (receiver). Keterlibatan stakeholder dalam penyaluran inovasi juga relatif tinggi baik lembaga formal pemerintahan maupun lembaga penyampaian informasi non formal. Perlakuan setiap segmen inovasi bawang merah menggunakan media yang berbeda-beda. Penggunaan media diseminasi yang tepat akan berpengaruh signifikan terhadap kecepatan adopsi dan penyebaran inovasi bawang merah.

Pada level antar stakeholder, BPTP Malut sudah melakukan kerjasama melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Bank Indonesia, Dinas Pertanian Prov. Malut, Pemda Haltim, dan Pemkot Tidore kepulauan mengenai pengembangan klaster bawang merah. Dalam Juknis yang dibuat, komponen inovasi teknologi bawang merah Topo menjadi faktor kunci agar petani sebagai penerima program bisa menerapkan secara langsung. Sedangkan pada level bawah, BPTP Malut juga melakukan diseminasi langsung kepada petani melalui uji adaptasi, demplot, dan pelatihan serta temu lapang sehingga ketika program klaster bawang merah turun, petani sudah yakin dan sadar untuk mau dan mampu menerapkan inovasi teknologi bawang merah. Pola diseminasi pada 2 level inilah yang diduga bisa mempercepat penyebar luasan adopsi inovasi teknologi bawang merah.

Sedangkan dari sisi manajemen program, bantuan pemerintah lebih banyak pada bantuan benih sebagai seed capital mengingat biaya untuk membeli benih termasuk cukup tinggi yaitu 56% dari total biaya bahan / saprodi. Petani penerima program klaster bawang merah Topo, akan mengembangkan budidaya sesuai dengan SOP yang diberikan, kemudian setelah panen mereka menyisihkan 800 kg untuk digulirkan kembali kepada petani lainnya yang belum menerima program klaster ini. Program klaster bawang ini sudah bergulir sejak tahun 2014 dan masih terus berkembang hingga sekarang.

Dukungan dari Puslitbang hortikultura dalam pengembangan bawang merah Topo sudah dilakukan melalui ujicoba induksi pembungaan bawang Topo untuk menghasilkan true shallot seed (TSS). Pengembangan TSS dikemudian hari akan diperlukan karena memiliki beberapa keunggulan seperti:

- Kebutuhan benihnya sedikit (3-5 kg/ha) sehingga memudahkan penyimpanan maupun transportasi dibandingkan benih bawang dari umbi (600-800 kg)

- Relatif bebas penyakit dan virus - Volume benih dan biaya produksi rendah

Meskipun demikian beberapa permasalahan yang terjadi dalam memproduksi TSS adalah laju pembungaan masih rendah bahkan untuk bawang Topo masih belum berhasil menginduksi pembungaan dikarenakan kondisi lingkungan yang belum mendukung (ketinggian tempat, suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya matahari). Selain itu, potensi permasalahan lainnya adalah pembentukan biji rendah karena penyerbukan terbatas maupun viabilitas serbuk sari rendah.

Gambar 9. Pola diseminasi inovasi bawang merah Topo

PERKEMBANGAN CAKUPAN PENERAPAN INOVASI

Saat ini usahatani bawang merah Topo sudah menyebar selain di habitat aslinya kelurahan Topo (Pulau Tidore), juga di Kecamatan Wasile Timur (Kab. Halmahera Timur), Kecamatan Oba (Kota Tidore Kepulauan), Kecamatan Pulau Ternate dan Kecamatan Pulau Moti (Kota Ternate), serta Kecamatan Weda selatan (Halmahera Tengah). Dasar utama pemilihan kultivar bawang Topo ini, disamping pasarnya mudah dan harganya yang stabil, kultivar Topo ini juga mudah untuk dibudidayakan, tahan penyakit, dan mudah penanganan pasca panennya karena daunnya tidak mudah layu.

Berdasarkan testimoni Supriyadi, petani Desa Tutuling Jaya, Kecamatan Wasile Timur mengatakan usaha tani bawang merah Topo ini sangat menguntungkan. Bahkan saat sehabis lebaran tahun 2014, harga bawang merah di tingkat petani Halmahera Timur mencapai 75.000/kg. Lain halnya dengan Mulyono, Ketua Gapoktan Ora Et Labora, dia lebih suka bergerak pada usaha penangkaran benih. Bekerjasama dengan UPBS BPTP Malut, dia menyediakan sumber benih bagi petani bawang merah. Saat ini harga benih bawang merah mencapai 50.000/kg. Permasalahan yang dia hadapi adalah daya simpan benih bawangnya kurang dari 2 bulan, padahal masa dormansi benih bawang juga 2 bulan sehingga dia harus segera memasarkan benihnya saat patah dormansi. UPBS BPTP Malut telah mengembangkan penyimpanan benih spesifik lokasi, yaitu di dapurnya dibuat para-para diatas tungku sehingga seakan-akan benih bawang mendapat perlakuan pengasapan. Selain itu, untuk memperpanjang daya simpannya hingga 3-4 bulan, maka penggunaan pupuk N perlu dikurangi dan diperbanyak dosis SP-36 sebesar 250 kg, KCl 100 kg, dan NPK 600 kg. Bawang Topo mengalami susut dari bobot basah ke bobot kering rata-rata sebesar 40-44%. Tabel 7. Penyebaran inovasi bawang merah Topo di Maluku Utara

No Lokasi Luas (Ha)

1 Kecamatan Tidore Selatan, Kota Tidore Kepulauan 9

2 Kecamatan Wasile Timur, Kab. Halmahera Timur 37

3 Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan 11

4 Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate 3

Kecamatan Pulau Moti, Kota Ternate 2

Total luas pengembangan 62

DAFTAR PUSTAKA Assagaf, M, W. Sulistiono, H. Syahbuddin. 2011. Karakteristik Oleoresin Bawang Merah

(Allium cepa L) Topo Pada Berbagai Umur Panen. Sofifi. Bank Indonesia. 2013. Kebijakan Bank Indonesia dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan.

Prosiding Seminar Regional Akselerasi Inovasi Teknologi mendukung Ketahanan Pangan di Wilayah Kepulauan. Ternate, 4 Desember 2013.

BPS. 2015. Maluku Utara Dalam Angka 2015. Ternate. BPTP Malut. 2010. Uji Adaptasi Bawang Merah Topo di Dataran Rendah. Laporan

Pengkajian. Sofifi. Clive, G., dkk. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta. BPTP Malut. 2014. Koleksi sumberdaya genetik pertanian spesifik lokasi Maluku Utara.

Laporan Pengkajian. Sofifi. BPTP Malut. 2015. Kajian komponen teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas

bawang merah lokal Cv. Topo di Maluku Utara. Laporan Pengkajian. Sofifi.