pernberantasan kejahatan transnasio al dalampetapolitik...

2
[-SlPUTAR INDONESIA o Selasa ~ -- Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu _._- 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1~ 13 14 15 19 20 21 22 ;;';3 24 25 26 @ 28 29 30 31 OPeb OMar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep .Okt ONov ODes Pernberantasan Ke j ahatan Transnasio al dalamPetaPolitik Global G lobalisasi saat ini sudah merupakan keyakinan (dogma) yang kuat bahwa keberhasilan ekonomi di satu ne- gara akan berimbas di negara lain, begitu pula sebaliknya. Inti arah globalisasi adalah mencapai ke- sejahteraan dunia tanpa kecuali tanpa ada pembedaan lagi negara kaya, miskin, negara maju dan ber- kembang. Idealisme yang ditanamkan se- jak konsensus Washington (1980) telah mampu mendorong kebijak- an di seluruhnegara termasukperi- laku pejabat publik di negara ber- kembang untuk mencapai cita-cita tersebut. Atas dasar dogma terse- but sudah terbayang kesejahtera- an yang adil dan berimbang antara negara maju dan berkembang dan negara miskin di satu sisi, dan antara kelompok "the have" dan "the have not" di sisilain. Untuk tujuan pencapaian itu, negara berkembangtermasukIndo- nesia berusaha mematuhi dan me- laksanakan konsensus tersebut bu- kan hanya di bidang perdagangan intemasional tetapi jugadalamsek- tor lainnya seperti ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum (kamtibgakkum). Namun dalam praktik globalisasi selama tiga pu- luh tahun, terbukti terjadi ketim- pangan kesejahteraan antara ne- gara maju dan berkembang dan dampak yang sangat memprihatin- kan di mana kelompok the have se- makin bertambahkaya dan the have notsemakin miskin, Hipokrit Kesenjangan kehidupan sosial dan ekonomi inilah yang juga men- jadi keprihatinan Stiglitz (2003), seorang ahli ekonomi internasio- nal, yang menyatakan kesenjang- an tersebut sebagai akibat sikap hipokrit negara maju terhadap negara berkembang. Negara maju, dengan berbagai alasan, telah me- nolak ekspor negara berkembang ke negaranya sehingga negara ber- kembang mengalami hambatan untuk memperoleh dan mening- katkan devisa ke negaranya. Perilaku hipokrit negara maju juga telah memasuki bidang kam- tibgakkum melalui berbagai pro- sedur dalam pembentukan per- undang-undangan nasional di ne- gara berkembang termasuk di Indonesia.Masihkuatdalamingat- - an kita ketika awal reformasi 1998, IMF telah "memaksakan" pember- lakuan VU Kepailitan dalam versi IMF dan mencabut VU Kepailitan warisan pemerintah kolonial Be- landa. Maksud sesungguhnya ada- lah agar investor asing menanam- kan modalnya di Indonesia dengan aman dan nyaman tanpa ada ke- khawatiran dicurangi oleh peng- usaha pribumi. Maksud ini sudah tentu tidak mengemuka akan tetapi dibungkus dengan jargon untuk menciptakan ikliminvestasiyangsehatdanbebas KKN.K~nyataannya,sangatsedikit perusahaan asing yang dinyatakan pailit dengan VU tersebut diban- dingkan dengan perusahaan naslc- nalswasta. .Di bidang kamtibgakkum, p~- ngaruh negara maju juga tidak ka- lah agresifnya dengan pertimban~- an bahwa secara geopolitik, Indonesia merupakan negara Kliping Humas Unpad 2010 yang memiliki posisi strategis dalam turut mencitptakan kamtib- gakkum di wilayah Asia-Pasifik. Saat ini sudah ada lebih dari 128 instrumen intemasional berkaitan dengan penegakan hukum pidana intemasional; baik yang telah di- adopsi dan diratifikasi negara ang- gota PBBtermasukIndonesia. Instrumeri intemasional yang bersifat strategis sampai saat ini adalah: Konvensi PBBAnti-Narko- tika dan Psikotropika (1988); Kon- vensi PBB Anti-Pencucian Uang (1990); Konvensi PBBAnti-Teroris- me (1997 dan 1998); Konvensi PBB Menentang Tind~k Pidana Trans- nasional Terorganisasi (2000), dan KonvensiPBBAnti-Korupsi (2003). Selain itu, berbagai instrumen internasional dalam bentuk "soft law"telahditetapkanolehDKPBB untuk mencegah dan memberan- tas tindak pidana tersebut di atas, terutama terhadap tindak pidana terorisme .. Dalam menyikapi semua kon- vensi itu setiap negara berpegang kepada prinsip kedaulatan negara (state's sovereignty) yaitu prinsip kesetaraan (equality of states), ke- satuan teritorial (territorial integ- rity), dan prinsip intervensi. Bah- kan, dalam Piagam Pembentukan PBB (1945) Bab I Pasal2 angka 4 dan angka 7telah ditegaskan prin- sip non-intervensi tersebut. Dalam konteks kerangka pikir inilah kiranya pemimpin bangsa dan jajaran pejabat birokrasi di Indonesia harus memperlakukan , .

Upload: lemien

Post on 30-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

[-SlPUTAR INDONESIAo Selasa

~ --• Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu_._-

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1~ 13 14 1519 20 21 22 ;;';3 24 25 26 @ 28 29 30 31

OPeb OMar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep .Okt ONov ODes

Pernberantasan Kejahatan Transnasio aldalamPetaPolitik Global

G lobalisasi sa at ini sudahmerupakan keyakinan(dogma) yang kuat bahwa

keberhasilan ekonomi di satu ne-gara akan berimbas di negara lain,begitu pula sebaliknya. Inti arahglobalisasi adalah mencapai ke-sejahteraan dunia tanpa kecualitanpa ada pembedaan lagi negarakaya, miskin, negara maju dan ber-kembang.

Idealisme yang ditanamkan se-jak konsensus Washington (1980)telah mampu mendorong kebijak-an di seluruhnegara termasukperi-laku pejabat publik di negara ber-kembang untuk mencapai cita-citatersebut. Atas dasar dogma terse-but sudah terbayang kesejahtera-an yang adil dan berimbang antaranegara maju dan berkembang dannegara miskin di satu sisi, danantara kelompok "the have" dan"the have not" di sisilain.

Untuk tujuan pencapaian itu,negara berkembangtermasukIndo-nesia berusaha mematuhi dan me-laksanakan konsensus tersebut bu-kan hanya di bidang perdaganganintemasional tetapi jugadalamsek-tor lainnya seperti ketertiban dankeamanan serta penegakan hukum(kamtibgakkum). Namun dalampraktik globalisasi selama tiga pu-luh tahun, terbukti terjadi ketim-pangan kesejahteraan antara ne-gara maju dan berkembang dandampak yang sangat memprihatin-kan di mana kelompok the have se-makin bertambahkaya dan the havenotsemakin miskin,

HipokritKesenjangan kehidupan sosial

dan ekonomi inilah yang juga men-jadi keprihatinan Stiglitz (2003),seorang ahli ekonomi internasio-nal, yang menyatakan kesenjang-an tersebut sebagai akibat sikaphipokrit negara maju terhadapnegara berkembang. Negara maju,dengan berbagai alasan, telah me-nolak ekspor negara berkembangke negaranya sehingga negara ber-kembang mengalami hambatanuntuk memperoleh dan mening-katkan devisa ke negaranya.

Perilaku hipokrit negara majujuga telah memasuki bidang kam-tibgakkum melalui berbagai pro-sedur dalam pembentukan per-undang-undangan nasional di ne-

gara berkembang termasuk diIndonesia.Masihkuatdalamingat- -an kita ketika awal reformasi 1998,IMF telah "memaksakan" pember-lakuan VU Kepailitan dalam versiIMF dan mencabut VU Kepailitanwarisan pemerintah kolonial Be-landa. Maksud sesungguhnya ada-lah agar investor asing menanam-kan modalnya di Indonesia denganaman dan nyaman tanpa ada ke-khawatiran dicurangi oleh peng-usaha pribumi.

Maksud ini sudah tentu tidakmengemuka akan tetapi dibungkusdengan jargon untuk menciptakanikliminvestasiyangsehatdanbebasKKN.K~nyataannya,sangatsedikitperusahaan asing yang dinyatakanpailit dengan VU tersebut diban-dingkan dengan perusahaan naslc-nalswasta.

.Di bidang kamtibgakkum, p~-ngaruh negara maju juga tidak ka-lah agresifnya dengan pertimban~-an bahwa secara geopolitik,Indonesia merupakan negara

Kliping Humas Unpad 2010

yang memiliki posisi strategisdalam turut mencitptakan kamtib-gakkum di wilayah Asia-Pasifik.Saat ini sudah ada lebih dari 128instrumen intemasional berkaitandengan penegakan hukum pidanaintemasional; baik yang telah di-adopsi dan diratifikasi negara ang-gota PBB termasukIndonesia.

Instrumeri intemasional yangbersifat strategis sampai saat iniadalah: Konvensi PBBAnti-Narko-tika dan Psikotropika (1988); Kon-vensi PBB Anti-Pencucian Uang(1990); Konvensi PBBAnti-Teroris-me (1997 dan 1998); Konvensi PBBMenentang Tind~k Pidana Trans-nasional Terorganisasi (2000), danKonvensiPBBAnti-Korupsi (2003).Selain itu, berbagai instrumeninternasional dalam bentuk "softlaw"telahditetapkanolehDKPBBuntuk mencegah dan memberan-tas tindak pidana tersebut di atas,terutama terhadap tindak pidanaterorisme ..

Dalam menyikapi semua kon-vensi itu setiap negara berpegangkepada prinsip kedaulatan negara(state's sovereignty) yaitu prinsipkesetaraan (equality of states), ke-satuan teritorial (territorial integ-rity), dan prinsip intervensi. Bah-kan, dalam Piagam PembentukanPBB (1945) Bab I Pasal2 angka 4dan angka 7 telah ditegaskan prin-sip non-intervensi tersebut.

Dalam konteks kerangka pikirinilah kiranya pemimpin bangsadan jajaran pejabat birokrasi diIndonesia harus memperlakukan

,.

konvensi intemasional secara patut,tidak berlebihan. Mereka hams me-nempatkannya di dalam kerangkakepentingan bangs a dan negarayang dilandaskan pada UUD 1945dan sistemhukum nasional.Pertim-bangan yang mendalam dan me-

. madai terhadap kenyataan kera-. gaman masyarakat Indonesia, baikdalam asal usul etnis, agama, buda-ya, dan strata sosial-ekonomi, meru-

. pakan langkah bijaksana dan pe-nuh kewaspadaan di dalam menatakembali dampak (positif dan nega-tif) dogma globalisasi yang dapatmemengaruhi langsung atau tidaklangsung pembentukan peraturanperundangan-undangan.

Konsep analisis ekonomi dalampembentukan hukum (undang-undang) bertumpu pada tiga prinsipyaitu,maksimalisasi,keseimbangandan efisiensi (Cooter dan Ullen).Dalam mempertimbangkan aspek-aspek tersebut jangan dilupakanaspek non-hukum yaitu sikap hipo-kritisme negara maju terhadap ne-gara berkembang. Dalam konteksinilah diperlukan studi banding kenegara-negara maju pengeksporkonsep, "transparansi, integritas,akuntabilitas,dangoodgovemance" .Sikap hipokrit negara maju sudahterbukti dalam pemberantasan tin-dakpidanasuap(bribery)dantindakpidana pencucian uang. Kasus suapoleh perusahaan Monsanto (2007)dan perusahaan Innospee (2010),badan hukumAmerika Serikat, diIndonesia.

Sistemhukumdikeduanegaratersebut telahmenerapkan sistem"injunction" dalam kasus suap ter-sebut sehingga KPK menemuihambatanserius.Sistem injunctiontelah mewajibkan korporasi terse-butmembayardendaadministratiftanpa dilakukan penuntutan pida-na. Sedangkan sistem tersebut te-lah "menyimpang" daripenerapan(Pasal3) sanksi yang efektif (effec-tive) ,proporsional (proportionate)dan membuat jera pelakunya (dis-

suasive) yang tereantum dalamOECD Convention onCombating Bribery ofForeign Public Officials

in International Bu-siness Transaction(1997).

Kewaspadaannasional dalam pe-

nyusunan UU Pen-eueian Uang (2010)

diperlukan karena tidak adajaminan bahwa delegasi wewenangkepada lembaga penyediaan ke-uangan khususnya bank, untuk me-nunda transaksi selama lima hariterhadap transaksi yang dieurigai,tidak akan menimbulkan "capitaloutflow" dari Indonesia ke negaralain.

SoftPowerKewaspadaan ini bu-

kan mustahil karena satu-satunya eara untuk menanam-kan pengaruh melalui "hard pOwer'bukan masanya lagi, melainkan me-lalui "soft power" (Joseph Nye ]r).Soft powernegara maju diarahkankepada tiga pilar globalisasi (pri-vatisasi, deregulasi, dan stabilitasekonomi makro) sehingga sanga tpantas diwaspadai setiap produkperundang-undangan yang berhu-bungan dengan ekonomi dan ke-uangan di dalam program legislasinasional. Muara keberhasilan dankegagalan meneapai kesejahtera-an bangsa dan negara tidak diten-tukan oleh bangsa/negara lain se-kalipun PBB, melainkan ditentu-kan oleh kepentingan bangsa dannegara. Setiap produk perundang-undangan nasional yang berkaitandengan kesejahteraan rakyat ha-rus dikaji mendalam dari berbagaiaspek. ]angan hanya aspek hukumnor-matif semata-mata yangter-obsesi oleh aliran positivisme hu-kum, melainkan hams dilihat jugadari aspek kemanfaatan terbesaruntuk meningkatkan kesejahtera-an rakyat dengan konsep analisisekonomi terhadap pembentukanhukum (utilitarianisme ).

Sikap hipokritnegara maju sudah

terbukti dalampemberantasan

tindak pidana suap(bribery) dan tindakpidana pencucianuang_Kasussuapoleh perusahaanMonsanto (2007)dan perusahaanInnospec(2010),

badan hukumAmerika Serikat,

di lndonesia,

Kekhawatiran ini dapat dipa-hami karena kelemahan mendasardalam penegakanhukumdiIndone-sia adalah terletak pada koordinasidan pengawasan serta masalahintegritasdisetiaplinibirokrasidanaktivitas swasta. Persaingan bisnisdengan atau tanpa menggunakanmedia perbankan bukan sesuatuyang mustahil di Indonesia karena"good corporategovemance" di Indo-nesia masih tanda tanya. Terdapatkejanggalan dalam UU PencucianUang (2010) karena ada tiga pasalyang mengatur dana berkaitan de-ngan terorisme, sedangkan "predi-cateoime' dalam UU tersebutseba-nyak dua puluh lima tindak pidana.Pemerintah danDPRRI perlumem-berikan pertanggungjawaban ke-pada masyarakat atas keberadaantiga pasal tersebut dan apa rele-vansinya bagiIndonesia.(*)