perlunya behaviour strategic untuk membangunan(1)

13
PERLUNYA STRATEGIC BEHAVIOUR UNTUK MEMBANGUNAN INDUSTRI DAERAH BERBASIS KOMPETENSI INTI Oleh: Dr. Gunarianto, SE., MSi Dekan FE UWG Konsep tentang kompetensi inti pertama kali dipopulerkan oleh Hamel dan Prahalad. Menurut Hamel dan Prahalad (1994), kompetensi inti adalah kumpulan keahlian dan teknologi yang terintegrasi dan terakumulasi dari suatu proses pembelajaran dalam organisasi (bisnis) sehingga menimbulkan kemampuan bersaing yang tinggi. Kompetensi inti adalah pembelajaran organisasi, khususnya bagaimana melakukan koordinasi tentang resources yang bermacam-macam dan mengintegrasikan berbagai teknologi. Kompetensi inti adalah penyelarasan teknologi tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai kepada customer. Kompetensi inti adalah komitmen yang mendalam terhadap kerja lintas batas organisasi. Gallon et.al (2010) menyatakan bahwa “Core competences are the things that some companies or regions know how to do uniquely well and that have the scope to provide them with a better- than average degree of success over the long term.” Dalam perspektif ekonomi regional, kompetensi inti adalah kemampuan suatu daerah dalam menciptakan infrastruktur baik fisik dan non- fisik untuk menarik investor baik asing maupun dari dalam negeri. Kompetensi inti (core competence) diartikan oleh para pakar dengan berbagai macam istilah seperti berbagai sumberdaya (resources), kekuatan (strength), berbagai keahlian (skills), berbagai kemampuan (capabilities), pengetahuan yang terorganisir (organizational knowledge), keahlian yang bermacam- macam (distinctive competence) dan aset yang tidak berwujud (intangible assets). Barney (1995) mengemukakan bahwa sumberdaya dan kemampuan (capabilities) menjadi penting bagi persaingan apabila memililki sifat: (1) bernilai, (2) langka, dan (3) sulit ditiru. Prahalad dan Hamel (1994) mengemukakan, paling tidak terdapat

Upload: daniel-syailendra-leonardo

Post on 18-Nov-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

coorporate culture

TRANSCRIPT

PERLUNYA STRATEGIC BEHAVIOUR UNTUK MEMBANGUNAN INDUSTRI DAERAH BERBASIS KOMPETENSI INTIOleh: Dr. Gunarianto, SE., MSiDekan FE UWG

Konsep tentang kompetensi inti pertama kali dipopulerkan oleh Hamel dan Prahalad. Menurut Hamel dan Prahalad (1994), kompetensi inti adalah kumpulan keahlian dan teknologi yang terintegrasi dan terakumulasi dari suatu proses pembelajaran dalam organisasi (bisnis) sehingga menimbulkan kemampuan bersaing yang tinggi. Kompetensi inti adalah pembelajaran organisasi, khususnya bagaimana melakukan koordinasi tentang resources yang bermacam-macam dan mengintegrasikan berbagai teknologi. Kompetensi inti adalah penyelarasan teknologi tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai kepada customer. Kompetensi inti adalah komitmen yang mendalam terhadap kerja lintas batas organisasi. Gallon et.al (2010) menyatakan bahwa Core competences are the things that some companies or regions know how to do uniquely well and that have the scope to provide them with a better- than average degree of success over the long term.

Dalam perspektif ekonomi regional, kompetensi inti adalah kemampuan suatu daerah dalam menciptakan infrastruktur baik fisik dan non-fisik untuk menarik investor baik asing maupun dari dalam negeri. Kompetensi inti (core competence) diartikan oleh para pakar dengan berbagai macam istilah seperti berbagai sumberdaya (resources), kekuatan (strength), berbagai keahlian (skills), berbagai kemampuan (capabilities), pengetahuan yang terorganisir (organizational knowledge), keahlian yang bermacam- macam (distinctive competence) dan aset yang tidak berwujud (intangible assets). Barney (1995) mengemukakan bahwa sumberdaya dan kemampuan (capabilities) menjadi penting bagi persaingan apabila memililki sifat: (1) bernilai, (2) langka, dan (3) sulit ditiru. Prahalad dan Hamel (1994) mengemukakan, paling tidak terdapat 3 (tiga) parameter untuk mengidentifikasi kompetensi inti, yaitu: (1) apakah kompetensi inti memberikan akses potensial pada beragam pasar; (2) apakah kompetensi inti dapat memberikan kontribusi yang berarti pada pelanggan; dan (3) apakah kompetensi inti yang dimiliki perusahaan membuat pesaing mengalami kesulitan untuk meniru. Agar kompetensi inti dapat menjadi dasar bagi keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable), maka kompetensi inti harus dapat memenuhi kriteria- kriteria sebagai berikut: (1) kompetensi inti berhubungan dengan aktivitas atau proses yang mendasari value dari produk barang atau jasa yang dihasilkan; (2) kompetensi inti merupakan kinerja atau performance yang jauh lebih baik dari pesaing; (3) kompetensi inti sulit ditiru pesaing. Untuk menjadikan kemampuan perusahaan dapat menjadi kompetensi inti, maka kemampuan tersebut perlu memenuhi 4 (empat) kriteria berikut:

1. Kemampuan yang bernilai (valuable capabilities) yaitu kemampuan yang memungkinkan perusahaan mampu memanfaatkan peluang dan atau meminimalkan ancaman lingkungan eksternal perusahaan.2. Kemampuan yang langka (rare capabilites) yaitu kemampuan yang

tidak dimiliki pesaing, baik saat ini maupun masa depan.

3. Kemampuan yang tidak dapat ditiru secara sempurna (imperfect imitable capabilities) yaitu kemampuan menghasilkan produk barang atau jasa yang tidak dapat ditiru pesaing dengan mudah.

4. Kemampuan yang tidak dapat diganti (non-substitutable capabilities) yaitu kemampuan yang sulit disubstitusikan.

Kompetensi inti dapat digunakan untuk jangka waktu relatif lama serta sulit ditiru oleh pesaing dan dapat mewujudkan manfaat yang tinggi bagi pelanggan dan perusahaan. Menurut Hamel dan Prahalad, untuk menang bersaing di masa depan, perusahaan harus lebih berorientasi pada upaya merebut peluang (opportunity share). Kompetensi inti dapat juga didefinisikan sebagai sekumpulan sumberdaya dan kemampuan (aset- aset) perusahaan yang memiliki keunikan tinggi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan strategi perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena yang dikembangkan bukan semata-mata hanya pola teknologi produksi tetapi harmonisasi pola koordinasi internal antara production skill dan teknologi yang merupakan perpaduan antara knowledge competence dengan technological competence. Keunggulan daya saing lebih ditentukan oleh kemampuan yang unik suatu organisasi dalam proses konsolidasi atau integrasi berbagai sumberdaya yang dimiliki sehingga membentuk kompetensi inti. Konsep kompetensi inti ini merupakan hasil dari pembelajaran secara bersama (collective learning) dalam organisasi agar mengkoordinasikan kemampuan produksi yang beragam dan mengintegrasikan dengan teknologi yang beragam secara optimal. Keahlian-keahlian inti tersebut bersumber dari 3 (tiga) tipe keunikan aset berupa: (1) keunikan lokasi (sumber daya tidak bergerak), (2) keunikan aset fisik (keuntungan teknologi), dan (3) aset yang diperuntukkan (investasi-investasi khusus) (Zahn, 1996).Ditinjau dari aspek teoritis dan manajerial terdapat 3 (tiga) masalah utama yang berhubungan dengan kompetensi inti. Pertama, penciptaan kompetensi inti muncul setelah melalui proses kewirausahaan atau kemampuan inovasi. Oleh karena itu, teori kewirausahaan dan inovasi perlu dikuasai oleh perusahaan baik menyangkut persyaratan menjadi pengusaha maupun bagaimana inovasi terjadi dalam perusahaan. Kedua, upaya-upaya yang dilakukan dalam melindungi kompetensi inti untuk menjaga tetap memiliki keunggulan komperatif. Ketiga, perlu perencanaan secara komprehensif mengenai insentif terutama untuk mengatasi perilaku masyarakat organisasi terhadap insentif yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dalam mempertahankan kompetensi inti.

Kompetensi inti daerah merupakan konsep makro yang mengarah kepada konsep keuntungan absolut (absolute advantage). Konsep ini dikembangkan dalam ekonomi klasik (classical economics theory) pada abad ke-18. Tokoh-tokohnya antara lain Adam Smith, David Hume dan John Lock. Menurut konsep ini, dalam perdagangan bebas orang akan bekerja keras dan bebas dalam menentukan produk apa yang akan dihasilkannya dan dalam harga berapa. Kondisi ini akan mendorong setiap pelaku untuk mengkhususkan diri dalam berproduksi dan mendorong tiap-tiap negara untuk menentukan produk apa yang paling menguntungkan untuk dihasilkannya, walaupun ia mampu membuat berbagai macam produk. Pemikiran spesialisasi ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa masing-masing negara memiliki perbedaan alam dan budaya yang akan berakibat pada perbedaan ongkos produksi. Menurut konsep ini suatu bangsa semestinya mengkhususkan diri pada suatu produk yang bisa dihasilkan dengan biaya yang rendah berbasis pada keunggulan sumberdaya yang dimilikinya, baik secara alam ataupun keahliannya.

Konsep pembangunan ekonomi berdasarkan keunggulan dan potensi daerah telah diterapkan di Thailand yang menerapkan program pembangunan dengan pendekatan OTOP dari One Tambon One Product (setiap satu kecamatan harus memiliki minimal satu komoditas ekonomi unggulan). OTOP diluncurkan oleh pemerintah Thailand pada tahun 2001 dan diterapkan secara penuh pada tahun 2002 merupakan replikasi dari program One Vilage One Product (OVOP) yang dikembangkan di Jepang oleh Hiramatsu (Gubernur Oita), pada tahun 1979. Inti dari program OVOP adalah bahwa setiap kota dan desa lebih baik mengembangkan produk yang paling cocok untuk kota atau desanya masing-masing, daripada mengkonsentrasi ke beberapa jenis produk yang tumbuh di mana-mana sekitar daerah. OVOP kemudian dinilai cukup berhasil dan menjadi model kebangkitan daerah di seluruh Jepang. Pada dasarnya, keberhasilan OTOP dikarenakan adanya kesamaan kebutuhan di berbagai tingkatan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan komoditas unggulan lokal untuk kepentingan bersama. OTOP telah banyak membantu sebagian besar warga Thailand dalam meningkatkan pendapatannya, membuka kesempatan kerja baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah pedesaan. Pada gilirannya, hal ini memberikan kesempatan bagi dunia usaha untuk berkembang karena sektor usaha kecil dan menengah berkesempatan untuk memperoleh keuntungan dari kerjasama dan kemitraan dengan masyarakat/organisasi setempat. Upaya-upaya ini telah pula dilakukan di Korea Selatan, Taiwan, dan menyusul Cina dan India. Produk-produknya mulai dikenal di masyarakat dunia dan memiliki ketangguhan.

DAYA SAING DAERAH

Konsep tentang Daya saing (competitive advantage) dikembangkan pula oleh Michael E. Porter (1980) bahwa penentu keunggulan daya saing suatu bangsa itu dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung seperti sumberdaya alam, permintaan pasar, strategi perusahaan, persaingan di dalam industri (rivalitas), industri terkait dan pendukung. Pemikiran tersebut menyebutkan bahwa gugus persaingan domestik (cluster of domestics rivals) antar pelaku kegiatan ekonomi yang sama akan mendorong inovasi yang secara terus menerus akan meningkatkan keunggulan daya saing dalam gugus (cluster) tersebut. Pembangunan yang berbasis pada strategi industrialisasi, tata ruang, dan transportasi menjadi agenda utama yang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentang perkembangan wilayah. Dalam sejarah pemikiran tentang strategi pemasaran dikenal konsep atau pendekatan geographic yang menyatakan bahwa kelancaran arus manusia dan barang sangat ditentukan oleh desain tata ruang suatu wilayah. Peranan pemerintah dalam menata wilayah akan sangat menentukan perkembangan ekonomi wilayah tersebut, seperti pada Gambar 2.2. di bawah ini:

Gambar Pengembangan Industri Berbasis Kompetensi Inti Daerah Potensi Keunggulan Komparatif DaerahIndustri Berbasis Kompetensi Inti DaerahKluster IndustriDaya Saing IndustriPertumbuhan Ekonomi DaerahIndustri PendukungIndustri PendukungSDMSARANAKelembagaannPasar

Konsep kompetensi inti daerah merupakan konsep dinamis yang mempunyai arti sebagai sesuatu atau himpunan karakteristik positif yang menonjol dan kompetitif, seperti potensi sumberdaya, ketersediaan SDM, keunikan produk, daya serap pasar, atau keberadaan klaster industri.

Kompetensi inti terkait dengan karakteristik positif yang memiliki sifat yang menonjol dan kompetitif. Dalam tataran cakupan tersebut meliputi pengertian:(1) Spesifik pada produk barang dan atau jasa tertentu;

(2) Keterkaitan rantai nilai (value chain) suatu industri atau klaster industri secara keseluruhan sebagai suatu sistem; dan(3) Kompetensi yang mengacu pada keunikan sumberdaya dan kapabilitas yang menentukan keunggulan daya saing.

(4) Memiliki peluang pasar yang lebih baik

Jika perusahaan ingin memenangkan persaingan di masa depan harus Iebih berorientasi pada upaya untuk merebut berbagai peluang (opportunities) termasuk pangsa pasar (market share). Kompetensi inti sebagaimana didefinisikan oleh Prahalad adalah sebagai kumpulan keterampilan dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi atau perusahaan dapat menyediakan manfaat tersendiri bagi para pelanggan. Dengan demikian, kompetensi inti merupakan sekumpulan sumberdaya dan kemampuan yang dimiliki organisasi, baik tangible assets maupun intangible assets. Konsep ini sama dengan one village and one product yang dikembangkan oleh Hiramatsu di daerah Oita-Jepang atau konsep SAKASAKTI (Satu Kota Satu Kompetensi Inti) untuk membangun daya saing daerah diperlukan penciptaan kompetensi inti daerah.

Untuk membangun kompetensi inti industri daerah, peranan birokrasi baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, sangat menentukan akan keberhasilan dan harus memiliki komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan sebagai berikut:

1. Memberdayakan para pelaku ekonomi di daerah dengan menggali potensi dasar sumber daya saing (kompetensi inti), meliputi seluruh aset yang bersifat tangibles, intangibles, maupun very intangibles.2. Kota akan memiliki daya saing yang dikembangkan berdasarkan kompetensi inti industri daerah yang bersangkutan.3. Kerjasama atau kemitraan antar daerah dimungkinkan melalui penguasaan kompetensi inti industri daerah yang berbeda melalui pendekatan rantai nilai, kesamaan potensi, dan kedekatan geografis.

MEMBANGUN DAYA SAING DAERAH DENGAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI DAERAHProses pembangunan daerah yang lebih fokus pada sektor industri tertentu untuk menjadi kompetensi inti industri (industrial core competence) akan memberikan dampak yang lebih menguntungkan. Kompetensi inti akan menjadi katalisator untuk menarik pembangunan lainnya dibandingkan proses pembangunan yang bersifat broad spectrum yang dianggap sudah ketinggalan jaman. Selain sebagai katalisator, kompetensi inti lebih mengarah pada konsep makro untuk mendapatkan keuntungan absolute (absolute advantage). Konsep ini dikembangkan dalam ekonomi klasik (classical economics theory) pada abad ke-18. Tokoh-tokohnya antara lain Adam Smith, David Hume dan John Lock. Menurut konsep ini, sebaiknya setiap negara mengkhususkan diri dalam berproduksi sesuai dengan kondisi alamnya untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan, walaupun ia mampu membuat berbagai macam produk. Pemikiran spesialisasi ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki perbedaan alam dan budaya yang akan berakibat pada perbedaan ongkos produksi. Menurut konsep ini suatu bangsa semestinya mengkhususkan diri pada suatu produk yang bisa dihasilkan dengan biaya yang rendah berbasis pada keunggulan sumberdaya yang dimilikinya, baik secara alam ataupun keahliannya.

Kompetensi inti daerah akan mengarahkan keunggulan daerah dan akan menentukan kekhasan daerah yang terwujud dalam bentuk berbagai bangunan dan budaya sebagai hasil dari pikiran, rasa, dan kemauan masyarakat daerah, atau hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya. Semuanya merupakan hasil dari buah budi yang terwujud dalam hasil karya cipta manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi, dan fakultas-fakultas lainnya) dan raganya. Secara garis besar hasil buah budi ini terbentuk dalam bentuk im-material, dan material. Im-material meliputi filsafat, ilmu pengetahuan, kesenian, bahasa, kaidah-kaidah budaya, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan hasil budi material meliputi alat-alat penguasaan alam seperti teknologi, benda-benda kebutuhan hidup, dan seluruh kasil karya. Hasil karya tersebut akan menjadi simbol identitas daerah sebagai alat pendorong dan pemersatu yang menuntun anggota masyarakat untuk berbuat kebajikan. Nilai-nilai seperti itu akan mempengaruhi perilaku, cara berkerja, penciptaan produk, tari-tarian, bangunan-bangunan, kegiatan bisnis, dan sebagainya. Karena itu sudah seyogianya menjadi pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas masyarakat, dalam meningkatkan kualitas produk, yang selanjutnya akan menentukan daya saing masyarakat daerah tersebut.

Kompetensi inti yang digali dari nilai-nilai kedaerahan akan menentukan keunggulan komparatif. Upaya-upaya untuk menciptakannya telah dilakukan oleh negara-negara maju dan berhasil. Misalnya Jepang dari sejak jaman restorasi Meiji, Inggris sejak revolusi industri, demikian juga dengan negara-negara Eropa lainnya. Upaya-upaya ini telah pula dilakukan di Korea Selatan, Taiwan, dan menyusul Cina dan India. Produk- produknya mulai dikenal di masyarakat dunia dan memiliki ketangguhan. Dilain pihak, kita bangsa Indonesia masih malu-malu dan rendah diri untuk menempelkan label buatan sendiri sehingga tidak heran kalau hasil produksinya selalu dibikin label luar negeri, misalnya jambu bangkok, ayam bangkok, pepaya bangkok dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai tantangan utama dan terbesar bangsa untuk membangun suatu kepercayaan diri menjadi bangsa yang besar dalam mengolah sumberdaya yang melimpah untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.

Kompetensi inti daerah berbasis pada sumberdaya yang dimilikinya baik dari alamnya ataupun dari masyarakatnya sehingga mencerminkan alam dan budaya daerah tersebut. Dalam kehidupan serba modern ini fitur-fitur kedaerahan bisa digandengkan dengan produk lain dalam bentuk kemasan yang memberikan keunikan. Keunikan ini memberikan nilai tambah kepada produk tersebut sehingga meningkatkan daya saing yang tercipta bisa dipertahankan secara berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian kompetensi inti daerah merupakan produk dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Harus bernilai (valuable). Manfaat (kinerja) produk akan dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan konsumen. Manakala manfaat itu dirasakan konsumen lebih besar dari biayanya (harga produk) maka produk tersebut adalah bernilai. Kinerja produk ini selain akan dibandingkan dengan harganya sendiri tapi juga akan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis.2. Harus unik (unique). Unik berarti berbeda dari produk lainnya.

Perbedaan ini (differentiation) harus terlihat dari sisi desain, dari sisi pengolahan, atau dari sisi pelayanannya. Keunikan ini akan dirasakan oleh konsumen sebagai sesuatu pengalaman tersendiri pada saat menggunakannya.3. Harus langka (rare). Langka berkaitan dengan sumber darimana produk itu berasal. Kelangkaan ini bisa karena sumber bahan bakunya yang memang tidak ditemukan di tempat lain, atau karena sulitnya untuk diperoleh sehingga kalaupun bisa akan menimbulkan biaya yang besar.4. Harus sulit ditiru (unimitable). Kesulitan untuk ditiru berkaitan dengan teknologi pengolahan produk itu sendiri. Ini bisa tercipta karena teknologinya tinggi (special purpose machine) atau karena keterampilan tersendiri yang memang sulit ditiru oleh orang lain.5. Harus sulit digantikan (non-substitutable). Sulit digantikan berkaitan dengan efektivitas pemakaiannya. Kalau suatu produk memang dibutuhkan secara luas dalam aplikasi diberbagai bidang dan tidak ada produk lain untuk menggantikan fungsinya sehingga sangat bergantung pada produk tersebut.6. Harus berkelanjutan (sustainable). Berkelanjutan berkaitan dengan sifatnya yang dibutuhkan dan ketersediaan bahan baku. Kalau produk terus menerus dibutuhkan setiap saat maka ada jaminan bahwa produk bakal terus diminta oleh pasar. Permintaan yang terus menerus ini harus ditunjang oleh ketersediaan bahan baku sehingga produksi akan terus berlangsung dari waktu ke waktu untuk memenuhi permintaan tersebut.

Para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu klaster industri biasanya dikelompokkan kepada industri inti, industri pemasok, industri pendukung, industri terkait, dan pembeli, serta institusi pendukung (non industri). Istilah inti, pendukung dan terkait menunjukkan peran pelaku dalam klaster tertentu dan tidak ada hubungan dengan tingkat kepentingan para pelaku. Peran tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja tergantung pada tingkat ekonomis dari hubungan rantai nilai tertentu. Dengan demikian, pengembangan klaster tidak sepenuhnya terpaku pada pembangunan sarana fisik, seperti gedung, peralatan dan jalan. Tetapi yang lebih penting dalam pembangunan klaster adalah spesialisasi dan pengorganisasian yang melibatkan usaha-usaha yang berhubungan dengan industri inti, seperti:

1. Industri pemasok bahan baku.

2. Organisasi pembeli (seperti distributor, pengecer, pemakai langsung) dan bridging institutions (seperti broker dan konsultan).

3. Industri pendukung (seperti lembaga keuangan, jasa angkutan, industri bahan pendukung, industri permesinan dan alat bantu, pengemasan, (business development services).4. Industri terkait yang tidak berhubungan bisnis secara langsung, tapi menggunakan infrastruktur atau sumber daya dari sumber yang sama.5. Lembaga pendukung (seperti perguruan tinggi, lembaga riset, asosiasi profesi, kamar dagang).

Sebagai contoh, Suzhou Technology Park yang dikembangkan oleh Pemerintah China memiliki 3 (tiga) lembaga pendukung, yaitu Suzhou New and High-Technology Service Centre, Suzhou International Business Incubator dan China Suzhou Pioneering Park for Overseas Chinese Scholars. Pada awalnya Pemerintah China menyediakan seed money dan modal ventura dengan paket yang menarik yang kemudian didukung bank dengan paket pinjaman yang juga menarik. Menempati luas area 38 ribu m2, sekarang ini tercatat ada 300 industri yang berlokasi di Suzhou Technology Park. Sekitar 90 persen unit usaha yang ada didirikan dan didanai dari investasi asing, 10 persen oleh perguruan tinggi dan lembaga riset lokal. Sebanyak 20 persen diantara industri tersebut adalah industri teknologi tinggi. Pada tahun 2000, kawasan ini mempekerjakan 3000 orang dengan 100 bergelar Ph.D. Akhir dari artikel ini semoga bermanfaat bagi pengambil kebijakan daerah, yang tidak hanya berpikir tentang return dan investasinya secara pribadi, akan tetapi harus selalu berfikir untuk retrun dan investasi daerahnya dalam rangka untuk mensejahteraan rakyatnya.

Referensi:Ahmed, P.K. (1998). Culture and Climate for innovation,Europan Journal of InnovationManagemenent, Vol.1 No. 1,pp. 30-43.Gunarianto dan Nasri. (2010). Pembentukan Kompetensi Industri Daerah Kota Pasuruan. Hasil Penelitian. Unpublish.Hamel, G. dan Prahalad, CK. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business School Press. Boston.Review: May-June.