perlindungan hukum pekerja outsourcing pasca...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
DEFI SATIATIKA
1110048000029
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
i
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Defi Satiatika
NIM. 1110048000029
Pembimbing
Prof. Dr. Abdullah Sulaiman S.H. M.H.
NIP. 19591231 198609 1003
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011” telah
diajukan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Mei
2014, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 7 Mei 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. JM Muslimin, M.A.
NIP.196808121999031014
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. ( ..….……… )
NIP.195510151979031002
2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( …………… )
NIP.196509081995031001
3. Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( …………… )
NIP.195912311986091003
4. Penguji I : Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. ( …………… )
5. Penguji II : H. M. Yasir, S.H., M.H. ( …………… )
NIP. 19447091966041003
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil dari jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 April 2014
Defi Satiatika
iv
ABSTRAK
DEFI SATIATIKA. NIM 1110048000029. PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA
OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-
IX/2011. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2013 M.
viii + 67 Halaman + 24 lampiran.
Praktik outsourcing di Indonesia telah mengakibatkan pekerja outsourcing tidak
menerima hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, pekerja outsourcing juga tidak
diberikan jaminan perlindungan atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Adanya
pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 yang
dinyatakan inkonstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi memutuskan
mengabulkan sebagian atas pasal-pasal yang diajukan, yaitu hanya Pasal 65 ayat (7)
dan Pasal 66 ayat (2) b yang memuat mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT). Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan jenis pekerjaan outsourcing dan
perlindungan hukum yang diterapkan pada pekerja outsourcing pasca putusan MK
No.27/PUU-IX/2011. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat
pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan dalam hal ini putusan
MK No.27/PUU-IX/2011. Putusan Mahkamah Konstitusi, berdampak pada adanya
perubahan terhadap pelaksanaan outsourcing dalam rangka melindungi hak-hak
pekerja outsourcing dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Outsourcing, Prinsip Pengalihan Perlindungan
Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2013.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tiada daya
dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu tercurah
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-
Nya. Atas rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011”.
Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tentu tidaklah mudah. Namun,
segala hambatan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.
H. JM. Muslimin, M.A.
2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey,
S.H., M.A. dan Drs. Abu Tamrin S.H., M.Hum.
3. Pembimbing Skripsi Penulis, Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.
terimakasih atas waktu bimbingan dan saran yang diberikan.
4. Penguji Skripsi Penulis, Bapak Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. dan Bapak H.
M. Yasir, S.H., M.H. terimakasih atas kritik dan sarannya sehingga penulis dapat
memperbaiki skripsinya.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mengajarkan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.
vi
6. Ayah Daniel Efendi dan Ibu Sartiah yang senantiasa mendidik, melimpahkan
kasih sayang, doa yang tiada henti, dan motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Kedua kakak tercinta Kak Deny dan Kak Dina,
terimakasih atas segalanya yang telah dibagi ke adik bungsunya, cerita
pengalaman, pengetahuan, perjuangan tanpa henti dalam meraih cita-cita.
7. Ninis, Ajeng, Abila, Zia, Ocha, penyemangat paling mujarab. Teman-teman
seperjuangan Hukum Bisnis, Liza, Atiek, Apri, Fika, Nourma, Cantika, dan
seluruh teman-teman di UIN yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kartika
Puspitasari S.H., yaitu sahabat yang „pembimbing‟ skripsi penulis.
8. Husni Mubarok, my study survival motivator.
9. Dinar Deniz, Danesh Dayan, Dharanindra Demir, dan Disa Ghadiza, yaitu balita
ajaib keponakan-keponakan penulis.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT, penulis
hanya dapat menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya doa lah
yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan
dengan kasih sayang-Nya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada penulis
khususnya dan kepada pembaca umumnya.. amin.
Jakarta, 22 April 2014
Defi Satiatika
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6
E. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ......................................................... 8
F. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................................ 9
G. Metode Penelitian .............................................................................. 11
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14
BAB II : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN
JENIS PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA ........................... 16
A. Pengertian Outsourcing ....................................................................... 16
B. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur Outsourcing di
Indonesia ............................................................................................. 18
C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia ................................................ 20
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK-HAK PEKERJA
OUTSOURCING ...................................................................................... 27
A. Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing ................................ 27
B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing .................. 28
viii
C. Hak-Hak Bagi Pekerja ...................................................................... 29
D. Peran Pemerintah Dalam Melindungi Hak-hak Pekerja
Outsourcing ....................................................................................... 36
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011 ....... 40
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 ...................... 40
B. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 Dengan Menerapkan
Prinsip Pengalihan Perlindungan ....................................................... 52
C. Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing .. 58
BAB V : PENUTUP ................................................................................................ 61
A. Kesimpulan ........................................................................................ 61
B. Saran .................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 64
LAMPIRAN ..............................................................................................................
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 27/PUU-IX/2011 ..............................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila kelima
menyebutkan bahwa, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal ini
bermakna bahwa keadilan untuk rakyat adalah lebih penting dibandingkan dengan
keadilan kelompok tertentu.1 Keadilan harus dijunjung tinggi dengan tetap
memegang teguh prinsip keadilan demi terwujudnya masyarakat sejahtera, adil,
makmur, dan merata baik secara materil maupun spiritual.2
Keadilan harus dijunjung tinggi misalnya dalam hal pemenuhan hak dan
kewajiban pekerja/buruh. Pekerja/buruh yang telah memenuhi kewajiban dan
tanggung jawabnya, berhak untuk mendapatkan hak-haknya, karena
pekerja/buruh merupakan salah satu bagian dari rakyat Indonesia yang hak-
haknya harus dilindungi. Perlindungan pekerja/buruh itu juga harus ditingkatkan,
baik mengenai upah, kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia.3
Berbicara mengenai hak-hak bagi pekerja/buruh, tidak terlepas dari
permasalahan sistem alih daya dalam ketenagakerjaan. Alih daya (bahasa Inggris :
outsourcing atau contracting out) adalah pendelegasian operasi dan manajemen
1 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 14. 2 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi
IX , No.1 (Maret 2012) : h.10. 3 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 15.
2
harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa alih
daya).4
Praktik alih daya (yang untuk selanjutnya disebut outsourcing) sebenarnya
sudah ada sebelum pemerintah mengundangkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 (yang untuk selanjutnya disebut Undang-
Undang Ketenagakerjaan). Setelah beberapa periode dipakai di Indonesia,
outsourcing diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh.5
Kerugian itu misalnya, upah pekerja/buruh menjadi lebih rendah, tidak
ada jaminan sosial, meskipun ada jaminan sosial tersebut hanya sebatas minimal,
tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karier.6 Hal
ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan pekerja/buruh untuk
menuntut hak-haknya.
Bentuk reaksi pekerja/buruh tersebut misalnya, perjuangan kaum buruh
dalam menghapuskan sistem outsourcing melalui permohonan pengujian
konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ke
Mahkamah Konstitusi (yang untuk selanjutnya disebut MK). Permohonan
diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pengukur Meteran
Listrik (yang untuk selanjutnya disebut AP2ML) pada 21 Maret 2011.7
4 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
h. 52. 5 Juanda Pangaribuan, “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses pada
tanggal 28 Oktober 2013 dari http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4b372fe9227/legalitas-
ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh--juanda-pangaribuan/ 6 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 219.
7 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 1.
3
Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65,
dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945. Permohonan itu didasarkan pada argumentasi bahwa,
ketentuan kontrak outsourcing pada pasal 59, 64, 65, 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk efisiensi dengan upah murah justru
berakibat pada hilangnya keamanan kerja bagi para pekerja. Status sebagai buruh
kontrak juga menghilangkan hak-hak tunjangan kerja dan jaminan sosial yang
dinikmati pekerja tetap. 8
Menjawab permohonan tersebut, MK berpendapat bahwa syarat-syarat
dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang untuk selanjutnya disebut PKWT) dalam
Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah wajar dan cukup
memberikan perlindungan kerja.9 Selanjutnya, mengenai Pasal 65 ayat (7) dan
Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan, MK berpendapat
bahwa harus ada jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja
antara pekerja dan perusahaan outsourcing.
Jaminan kepastian hukum itu tidak cukup hanya dengan PKWT saja,
maka MK memberikan solusi dengan memutuskan 2 (dua) model perlindungan
dan jaminan hak bagi pekerja. Pertama, menyaratkan agar perjanjian kerja tidak
8 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 35.
9 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, h. 21.
4
berbentuk PKWT, melainkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (yang untuk
selanjutnya disebut PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja.10
Melalui prinsip pengalihan tindakan perlindungan
tersebut, pekerja outsourcing dapat terhindar dari hilangnya hak-hak
konstitusional yang mereka miliki.
MK memutuskan bahwa jika dua model tersebut diterapkan dalam PKWT
outsourcing, maka Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU
Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan
hukum mengikat.11
Prinsip pengalihan tindakan perlindungan yang lahir dari
putusan MK No.27/PUU-IX/2011 tersebut merupakan hasil perjuangan kaum
buruh dalam menghapus sistem outsourcing. Putusan MK menjadi justifikasi
jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja antara pekerja dan
perusahaan outsourcing.12
Untuk menciptakan pelaksanaan outsourcing yang diarahkan untuk
menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan,
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (yang untuk selanjutnya disebut
Kemenakertrans) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (yang untuk selanjutnya disebut
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44. 11 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 46-47. 12 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, h. 22.
5
Permenakertrans No.19 Tahun 2012) yang memuat aturan persyaratan, perjanjian,
dan pengawasan outsourcing.
Lahirnya prinsip pengalihan tindakan perlindungan hasil uji
konstitusionalitas Undang-Undang Ketenagakerjaan dan terbitnya
Permenakertrans No.19 Tahun 2012 merupakan hal yang penting untuk dikaji,
agar hasil kajian penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam
perjanjian outsourcing. Selain itu, agar pihak-pihak terkait memahami putusan
MK No.27/PUU-IX/2011 dan implementasi prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh sehingga terpenuhinya seluruh hak-hak
pekerja/buruh outsourcing di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam bentuk
skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011”
B. Identifikasi Masalah
Sebelum merumuskan masalah, terlebih dahulu penulis
mengidentifikasi masalah yang terjadi dalam bidang ketenagakerjaan jenis
pekerjaan outsourcing di Indonesia
1. Hak-hak buruh outsourcing belum dilindungi peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam outsourcing tidak memberikan
jaminan kepastia karir bagi pekerja outsourcing.
6
3. Pro dan kontra sistem outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011
hasil judicial review Pasal 59, 64, 65, dan 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh sangatlah
luas. Agar pembahasan permasalahan karya ilmiah ini tidak melebar dan lebih
fokus pada masalah, maka penulis membatasi karya ilmiah ini hanya kepada
perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-
IX/2011 yang ditinjau dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan
Permenakertrans No.19 Tahun 2012.
2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain sebagai
berikut :
a. Bagaimana pengaturan jenis pekerjaan outsourcing menurut perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia ?
b. Apa saja jenis perlindungan pada jenis pekerjaan outsourcing ?
c. Bagaimana perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pasca putusan
MK. No.27/PUU-IX/2011?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini antara lain
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaa pada
jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia.
b. Untuk mengetahui perlindungan pada jenis pekerjaan outsourcing.
c. Untuk mengetahui perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing
berdasarkan pasca putusan MK. No.27/PUU-IX/2011?
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua,
yaitu :
a. Manfaat Teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan bahan
masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
Ketenagakerjaan khususnya bidang outsourcing.
b. Manfaat Praktis :
1) Bagi Akademis
Dapat memberikan informasi yang jelas tentang prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh dan implementasinya pada
sistem outsourcing serta hambatan dalam pelaksanaanya.
2) Bagi Masyarakat Umum
8
Penulisan ini juga bermanfaat bagi berbagai pihak terkait yaitu
meliputi masyarakat luas, perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan
penyedia jasa pekerja dan buruh/pekerja yang bersangkutan agar lebih
memahami prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh dan dapat melaksanakannya sesuai dengan ketentuan.
3) Bagi Pemerintah
Dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk agar dapat membuat
kebijakan yang lebih tegas dan jelas dalam melindungi hak-hak
pekerja outsourcing di Indonesia.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam studi pendahuluan ini penulis mencoba mereview skripsi yang
membahas sistem alih daya (outsourcing), yaitu sebagai beriukut :
Judul Skripsi : “Perlindungan Buruh Outsourcing Menurut UU
Ketenagakerjaan dan Hukum Islam”
Penulis : Gilang Henris Pratama
Program Studi : Perbandingan Mahzab Hukum
Fakultas : Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun : 2011
Skripsi tersebut di atas secara garis besar membahas perbedaan
perlindungan buruh outsourcing menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan
dengan Hukum Islam dan belum mengulas putusan Mahkamah Konstitusi
No.27/PUU-IX/2011 secara detil khususnya prinsip pengalihan tindakan
9
perlindungan bagi pekerja/buruh dan penerapan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh.
Sedangkan, penulis disini akan mengulas secara detil mengenai
perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja outsourcing pasca putusan
MK No.27/PUU-IX/2011.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Teori “Prima Facie” menguraikan bahwa, pembenaran terhadap
pembebasan para kaum buruh dari pengaturan kerja waktu tertentu dapat
dilakukan, karena pengaturan kerja waktu tertentu merugikan kaum buruh
baik sebelum hingga setelah melaksanakan tugas. Pengaturan kerja waktu
tertentu yang melahirkan pelanggaran hukum bukan dikarenakan kesalahan
atau kesengajaan buruh.13
Teori “Bargaining” menguraikan bahwa tingkat upah dipasar tenaga
kerja ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari pekerja dan
majikan. Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Jika
pekerja meningkatkan ekonominya dengan cara bertindak bersama-sama
13
Abdullah Sulaiman, “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia : Pra
dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam Studium General Prodi Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei
2003 (Ciputat : 2013), h.2.
10
melalui serikat pekerjanya sebagai bargaining agent, maka mereka dapat
meningkatkan upah mereka.14
2. Kerangka Konseptual
Pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja/buruh
outsourcing menuntut adanya kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan
perlindungan pekerja/buruh dan outsourcing di Indonesia. Pasal-pasal dalam
UUD 1945 yang menyebutkan adanya jaminan perlindungan bagi
pekerja/buruh yaitu :
1) Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.
2) Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja”
Perlindungan hukum pada pekerja juga dinyatakan pada Pasal 4 huruf
c Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “tujuan pembangun
ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan”. Selanjutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan
terdapat pada Bab X dalam Pasal 67-101.
14
Justine T Sirait, Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi,(Jakarta
:Grasindo, 2004), h.231.
11
Jaminan perlindungan tersebut diperkuat lagi semenjak lahirnya
Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, dalam putusan ini menyebutkan dua model
outsourcing. Pertama, dengan menyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak
berbentuk PKWT, tetapi berbentuk PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip
pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Prinsip pengalihan perlindungan
atau Transfer of Undertaking Protection of Employment sebelumnya adalah
prinsip yang diterapkan pada suatu perusahaan yang diambil alih oleh
perusahaan lain, sehingga hak-hak pekerja/buruh tetap terjamin.15
Outsourcing adalah “Pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan
dan/atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa
outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi atau pun sebuah unit dalam
perusahaan”.16
Ketentuan mengenai outsourcing diatur dalam pasal 64 Undang-
Undang Ketenagakerjaan yaitu, perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis Kemudian tata aturan pelaksanaannya diatur dalam Permenakertrans
No.19 Tahun 2012.
15 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44. 16
Komang Priambada dan Agus Eka Maharata, Outsourcing versus Serikat Pekerja (An
Introduction to Outsourcing), (Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008), h. 12.
12
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah penelitian yurisdis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.17
2. Pendekatan Masalah
Dalam studi hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-
aturan yang membahas mengenai prinsip pengalihan tindakan perlindungan
bagi pekerja/buruh. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-
konsep perlindungan hukum bagi pekerja/buruh.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama,
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
13
yakni masyarakat melalui penelitian.18
Sedangkan data sekunder terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.19
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini,
bahan hukum primer yang digunakan adalah yang berhubungan dengan
outsourcing dan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja/buruh.
b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk
skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum (dalam bentuk
online juga termasuk).20
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
berupa buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Ketenagakerjaan.
c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus bahasa
dan website resmi dalam internet.
4. Teknik Pengolahan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara studi
kepustakaan. Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, ( Jakarta : UI Press, 2008 ), h.
12. 19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2005 ), h. 141. 20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.155.
14
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi
menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, disajikan dalam penulisan yang telah dirumuskan. Bahwa cara
pengolahan bahan hukum dilakukan dengan dianalisis yang nantinya
menghasilkan sebuah kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012 Untuk mempermudah penyusunan, penulis membagi skripsi ini menjadi
beberapa bab dan setiap bab terdiri dari sub bab, dengan sistematika sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan dan Kajian Terdahulu, Kerangka
Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum tentang Pengaturan Perundang-undangan
Ketenagakerjaan pada jenis pekerjaan outsourcing di
Indonesia, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu : Pengertian
Outsourcing, Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur
15
Outsourcing di Indonesia, dan Pengaturan Outsourcing di
Indonesia.
BAB III : Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum dan
Hak-hak Pekerja Outsourcing, yang terdiri dari empat sub bab
yaitu : Perlindungan Bagi Pekerja Outsourcing, Tujuan
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing, Hak-hak Bagi
Pekerja dan Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-hak
Pekerja Outsourcing.
BAB IV : Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstutsi
No.27/PUU-IX/2011, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu :
Analisis Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Perlindungan
Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011
Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlidungan dan
Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja
Outsourcing di Indonesia.
BAB V : Kesimpulan dan saran merupakan bab penutup yang berisi
kesimpulan yang ditarik dari uraian penelitian dan bertalian
erat dengan pokok masalah dan saran yang disampaikan
penulis dari penelitian yang sudah dilakukan.
16
BAB II
PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN JENIS
PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA
A. Pengertian Outsourcing
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing dipandang sebagai
tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan
keputusannya kepada pihak lain (outside provider), di mana tindakan ini terikat
dalam suatu kontrak kerja sama.1
Dapat juga dikatakan outsourcing sebagai penyerahan kegiatan
perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang
tertuang dalam kontrak perjanjian. Penyerahan kegiatan ini dapat meliputi bagian
produksi, beserta tenaga kerjanya, fasilitas, peralatan, teknologi dan aset lain serta
pengambilan keputusan dalam kegiatan perusahaan. Penyerahan kegiatan ini
kepada pihak lain merupakan hasil dari keputusan internal perusahaan yang
bertujuan meningkatkan kinerja agar dapat terus kompetitif dalam menghadapi
perkembangan ekonomi dan teknologi global.
Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai
pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan
oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.
1 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, (Jakarta : Pohon Cahaya, 2013), h.
17.
17
Perusahaan penyedia tenaga kerja secara khusus mempersiapkan, menyediakan,
mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain.2
Untuk mempermudah penjelasan menganai istilah outsourcing, penulis
akan memberikan ilustrasi sebagai berikut3 : A diangkat sebagai karyawan di
perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X
dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk
ditempatkan di Perusahaan Y, disitu dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah
perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi
kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka
perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa
perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap
penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahaan
X.
Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa dalam sistem outsourcing
terdapat dua perjanjian yaitu, yaitu :
1. Perjanjian kerja antara A denga perusahaan X.
2. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.
Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A sehari-
hari bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahan X. Oleh
karena itu, dalam sistem outsourcing ini pemenuhan kebutuhan hak-hak A, seperti
2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo Persada,
2012), h. 187. 3 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 217-218.
18
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul tetap menjadi tanggung jawab perusahaan Y.
Kecenderungan suatu perusahaan untuk memperkerjakan karyawan
dengan sistem outsourcing , pada umumnya dilatarbelakangi oleh strategi
perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Dengan menggunakan
sistem outsourcing tersebut, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan
yang bersangkutan.4
B. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur Outsourcing di Indonesia
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya
berusumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang menyatakan adanya suatu perjanjian kerja yang dibuat
antara pengusaha dengan tenaga kerja, di mana perusahaan tersebut dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara
tertulis. Dalam praktiknya ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur
dalam peraturan tersebut akhirnya memunculkan istilah outsourcing (dalam hal
ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar
perusahaan). 5
4 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 217.
5 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h.217.
19
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 b diatur adanya
pengakuan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b
tersebut outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga
pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian di mana pemborong mengikatkan
diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan
dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain memborongkan pekerjaan
kepsda pihak pemborong dengan bayaran tertentu.6
Pada intinya dari kedua peraturan di atas menyatakan bahwa outsourcing
boleh diterapkan di Indonesia dengan pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan dapat memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing
yang dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan pekerja.
Penerapan outsourcing di Indonesia hingga saat ini memang masih
merupakan hal yang tidak disukai tapi masih dibutuhkan bagi masyarakat
Indonesia sehingga sering timbul pro dan kontra dari masyarakat. Tentunya, jika
dilihat dari maraknya unjuk rasa yang dilakukan para pekerja dapat disimpulkan
pihak pro-outsourcing adalah para pengusaha sedangkan pihak kontra-
outsourcing adalah para pekerja/buruh. Unjuk rasa dari serikat pekerja mayoritas
menyampaikan kepada pemerintah untuk menghapuskan outsourcing dari sistem
kerja di Indonesia dan ada juga pekerja outsourcing yang menuntut untuk
dijadikan pekerja tetap di suatu perusahaan.7
6 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.20.
7 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.33-34.
20
C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia
Dasar hukum outsourcing terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Perlu diketahui
bahwa istilah perusahaan lainnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sama
dengan perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dalam hal
ini adalah perusahaan outsourcing.
Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan juga diatur dalam Pasal
1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut
belum diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan
maupun penyedia jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu, Undang-Undang
Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain. Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan
permohonan judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.
Dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan, Kemenakertrans menerbitkan Permenakertrans No.19
Tahun 2012. Kemudian, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
maka Kemenakertrans menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang
21
Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Semenjak
diundangkannya, pelaksanaan outsourcing mengacu pada Permenakertrans No. 19
Tahun 2012 tersebut.
1. Pihak-Pihak Terkait Dalam Outsourcing
Ketentuan lain mengenai outsourcing terdapat pada Pasal 65 dan 66
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat
diketahui pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcing dan dijelaskan
lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012.
Ada 3 (tiga) pihak yang terkait dalam praktik outsourcing yaitu
perusahaan pemberi kerja, perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan, dan pekerja. Adapun penjelasan dari pihak-pihak yang terkait
dalam praktik outsourcing yaitu :
a. Perusahaan Pemberi Kerja
Menurut Pasal 1 Angka 1 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b. Perusahaan Yang Melaksanakan Sebagian Pekerjaan :
1) Perusahaan Penerima Pemborongan
Menurut Pasal 1 Angka 2 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 ,
perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk
22
badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
2) Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
Menurut Pasal 1 Angka 3 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat yaitu
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan untuk
melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.
c. Pekerja
Pengertian pekerja/buruh dalam konteks praktik outsourcing diatur
dalam Pasal 1 Angka 6 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu, setiap
orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini
karena ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk
barang.8
2. Hubungan Kerja Pada Perjanjian Kerja Outsourcing
a. Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Adanya perjanjian kerja yang
dibuat merupakan ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan
8 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.45.
23
lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan
hubungan kerja.9
Hubungan kerja yang terjadi dalam praktik outsourcing ini berbeda
dengan hubungan kerja pada umumnya, karena dalam outsourcing
terdapat hubungan kerja segi tiga, dikatakan bersegi tiga karena terdapat 3
(tiga) pihak yang terlibat dalam hubungan kerja outsourcing, yaitu pihak
perusahaan pemberi pekerjaan, pihak perusahaan yang melaksanakan
sebagaian pekerjaan (Perusahaan Outsourcing) dan terakhir adalah pihak
pekerja/buruh. Maka hubungan kerja yang terjalin diantara ketiganya
adalah hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan outsourcing, dan hubungan kerja antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja/buruh.
Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan
pekerja/buruh diatur dalam Pasal 65 ayat (4), (6) dan (7) Undang-Undang
Ketenagakerjaan, berikut adalah bunyi ayat pada pasal tersebut :
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh di
perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja di perusahaan pemberi pekerjaan, atau
sesuai dengan perundang-undangan.
9 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h.45.
24
(6) Hubungan kerja pada outsourcing diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan lain dengan karyawan yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang sama
Pasal 59.
Selain itu hubungan kerja pada pekerjaan outsourcing juga diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Bunyi Pasal
29 ayat (1) adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruh dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT).
b. Perjanjian Kerja
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,
hubungan kerja dalam praktik outsourcing dapat didasarkan atas PKWTT
dan PKWT. PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap,
jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang,
maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat dipersyaratkan adanya masa
percobaan kerja maksimal tiga bulan. Sedangkan PKWT merupakan
25
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.
Perjanjian kerja yang lazim digunakan pada perusahaan outsourcing
adalah PKWT. Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan
outsourcing karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang
berubah-ubah.10
c. Jenis Pekerjaan Yang Dapat Diserahkan
Pada dasarnya pekerjaan yang bisa diserahkan (dioutsource) adalah
pekerjaan penunjang (non core) dan bukan pekerjaan utama (core). Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melakasanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak beruhubungan langsung dengan proses produksi.
Kemudian ketentuan lain yang mengatur jenis pekerjaan yang dapat
diserahkan yaitu Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo.
Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pasal tersebut
menyatakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
10
Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h. 27.
26
(a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
(c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
(d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan juga dijelaskan lebih lanjut
pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu Pasal 17 ayat :
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang
tidak berhubungan langsn dengan proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang yang dapat diserahkan pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh meliputi:
1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
2. Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering);
3. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
4. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
5. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
27
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK-HAK PEKERJA OUTSOURCING
A. Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing
Dalam Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga
dijelaskan mengenai perlindungan kerja pada pekerjaan outsourcing sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan
tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi
manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku
dalam perusahaan. Dengan demikian, secara teoritis dikenal ada tiga jenis
perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut:
1) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh
mengenyam dan mengambangkan peri kehidupannya sebagai manusia pada
umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.
Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.
2) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya
kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang
dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.
28
3) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk meberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang
cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya,
termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar
kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jamian sosial.1
B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi pekerja Outsourcing :
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja outsourcing dalam
perusahaan sekurang-kurangnya sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi
kerja tersebut. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap
pekerja outsourcing maupun pekerja dalam perusahaan pemberi kerja karena pada
hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada
lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah.2
Perlindungan hukum pekerja outsourcing diterapkan untuk melindungi
para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak pemberi
kerja/pengusaha. Dengan menegakkan perlindungan hukum, hak-hak pekerja
outsourcing tetap terjamin pada saat masa kerja dan ketika perusahaan pemberi
kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama karena habis masa
kontrak dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang
baru.
1 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), h. 86.
2 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h.221.
29
Dengan demikian, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk
dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus
melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan
yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan,
kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena
bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.
C. Hak-Hak Bagi Pekerja
Hak adalah sesuatu yang harus diberikan seseorang sebagai akibat dari
kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi
baik berupa benda atau jasa yang dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atas
statusnya.3 Hak bagi pekerja pada dasarnya adalah salah satu hak asasi manusia.
Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang
menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan
lain-lain. Setiap pekerja memiliki hak-hak yang jaminan perlindungannya
tercantum dalam berbagai aturan hukum nasional dan internasional, yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu pada Pasal 28 H
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan pula bahwa setiap orang
3 Darwin Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000),
h.22.
30
berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat. Sehingga kedua pasal pada konstitusi
kita mencerminkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan
jaminan sosial kepada seluruh warga negaranya.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :
a. Hak memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan (Pasal 5);
b. Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha (Pasal 6);
c. Hak memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan melalui
pelatihan kerja (Pasal 11);
d. Hak memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3));
e. Hak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat
kerja (Pasal 18 ayat (1));
f. Hak untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal
31);
31
g. Hak pekerja/buruh perempuan untuk memperoleh istirahat selama satu
setengah bulan sebelum saatnya melahirkan dan satu setengah bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan
(Pasal 82 ayat (1));
h. Hak pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan
untuk memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2));
i. Hak untuk menggunakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 dengan
mendapat upah penuh (Pasal 84);
j. Hak untuk memperoleh perlindungan atas :
1) Keselamatan kerja;
2) Moral dan kesusilaan; dan
3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat (1));
k. Hak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1));
l. Hak memperoleh jaminan social tenaga kerja (Pasal 99 ayat (1));
m. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh (Pasal
104 ayat (1));
n. Hak untuk mengadakan mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib
dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);
32
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja :
a. Hak atas jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 ayat (2));
b. Hak menerima jaminan kecelakaan kerja bagi pekerja/buruh yang
tertimpa kecelakaan kerja (Pasal 8 ayat (1));
c. Hak untuk menerima jaminan kematian yang diberikan kepada keluarga
pekerja/buruh, bila pekerja/buruh meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja (Pasal 12 ayat (1));
d. Hak untuk memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
pekerja/buruh berikut dengan suami atau isteri dan anak (Pasal 16 ayat
(1));
e. Hak atas jaminan hari tua karena faktor usia pensiun 55 (lima puluh
lima) tahun, cacat tetap total atau beberapa alasan lainnya (Pasal 14 dan
Pasal 15);
4. Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012 :
a. Hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b. Hak atas jaminan sosial;
c. Hak atas tunjangan hari raya;
d. Hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e. Hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir bukan karenan pekerja;
33
f. Hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa
kerja yang dilalui; dan
g. Hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.
5. Hak-hak pekerja/buruh outsourcing juga tertuang dalam perjanjian
internasional yaitu Pasal 22-25 Universal Declaration of Human Right
(UDHR)
a. Article 22
Everyone, as a member of society, has the right to social security and
is entitled to realization, through national effort and international co-
operation and in accordance with the organization and resources of
each State, of the economic, social and cultural rights indispensable
for his dignity and the free development of his personality.
b. Article 23
1. Everyone has the right to work, to free choice of employment, to
just and favorable conditions of work and to protection against
unemployment.
2. Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay
for equal work.
3. Everyone who works has the right to just and favorable
remuneration ensuring for himself and his family an existence
34
worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other
means of social protection.
4. Everyone has the right to form and to join trade unions for the
protection of his interests.
c. Article 24
Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable
limitation of working hours and periodic holidays with pay.
d. Article 25
1. Everyone has the right to a standard of living adequate for the
health and well-being of himself and of his family, including food,
clothing, housing and medical care and necessary social services,
and the right to security in the event of unemployment, sickness,
disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in
circumstances beyond his control.
2. Motherhood and childhood are entitled to special care and
assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall
enjoy the same social protection.
6. International Covenant On Economic And Social Cultural Rights (ICESCR)
a. Article 6
The States Parties to the present Covenant recognize the right to work,
which includes the right of everyone to the opportunity to gain his
35
living by work which he freely chooses or accepts, and will take
appropriate steps to safeguard this right.
b. Article 7
The States Parties to the present Covenant recognize the right of
everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work
which ensure, in particular:
a) Remuneration which provides all workers, as a minimum, with:
(1) Fair wages and equal remuneration for work of equal
value without distinction of any kind, in particular women
being guaranteed conditions of work not inferior to those
enjoyed by men, with equal pay for equal work;
(2) A decent living for themselves and their families in
accordance with the provisions of the present Covenant;
b) Safe and healthy working conditions;
c) Equal opportunity for everyone to be promoted in his employment
to an appropriate higher level, subject to no considerations other
than those of seniority and competence;
d) Rest, leisure and reasonable limitation of working hours and
periodic holidays with pay, as well as remuneration for public
holidays.
Dapat dilihat bahwa pengaturan tentang jaminan perlindungan bagi
pekerja/buruh telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan
36
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jaminan perlindungan hukum dan pemberian
hak-hak bagi pekerja outsourcing telah juga diatur dalam Permenakertrans No,19
Tahun 2012.
Kemudian konvensi internasional ICESCR memuat ketentuan HAM di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara lebih luas dan komprehensif
dibandingkan UDHR. Hak-hak yang diatur di ICESCR adalah hak atas pekerjaan,
hak atas kondisi pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, hak untuk membentuk
dan bergabung dengan serikat pekerja, hak atas jaminan sosial, hak atas standar
hidup yang layak, hak untuk menikmati kesehatan fisik dan mental, hak atas
pendidikan, dan hak untuk ikutserta dalam pendidikan budaya.4
Maka, secara yurudis sudah terdapat kepastian hukum atas perlindungan
hak-hak pekerja, termasuk pekerja/buruh outsourcing.
D. Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-Hak Pekerja Outsourcing
Campur tangan negara (pemerintah) dalam melindungi hak-hak pekerja
outsourcing merupakan faktor yang sangat penting karena dengan adanya campur
tangan negara maka hak-hak bagi pekerja outsourcing terjamin. Namun
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya melindungi buruh secara
yuridis dan peraturan itu belum cukup melindungi hak-hak pekerja outsourcing
bila dalam pelaksanaanya tidak diawasi oleh seorang ahli yang harus
4 Kartika Puspitasari,”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional, Piala Soediman Kartohadiprodjo,
Universitas Katolik Parahyangan ,2012), h.82-85.
37
mengunjungi tempat kerja pekerja outsourcing pada waktu-waktu tertentu. Ada
tiga tugas pokok pengawas ketenagakerjaan yaitu5 :
1. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah
ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan sudah dilaksanakan,
dan jika tidak, mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk
menjamin pelaksanaanya;
2. Membantu baik pekerja maupun pengusaha dengan jalan memberikan
penjelasan-penjalasan teknik dan nasihat yang mereka perlukan agar
mereka memahami apakah yang diminatkan peraturan dan
bagaimanakah melakasanakannya;
3. Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan dan mengumpulkan bahan-
bahan yang diperlukan untuk penyusunan peraturan perundangan
ketenagakerjaan dan penetapan pemerintah.
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu cara untuk menjamin
terlaksananya peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Menurut
Pasal 181 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan
dalam melaksanakan tugasnya wajib :
5 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, h. 49.
38
1. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
2. Tidak menyalahgunakan kewenangannya.6
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/UIII/2013 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pengawasan terhadap
pelaksanaan outsourcing dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan ke perusahaan;
2. Dalam hal ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain, maka pengawas ketenagakerjaan
menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahakan perusahaan untuk
melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam
batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan
kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya
melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Selain itu pemerintah dalam menetapkan hukum dalam rangka melindungi
hak-hak pekerja outsourcing hendaknya dengan adil karena Alquran menyatakan
bahwa apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkan dengan
adil : Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Annisa (58):4
6 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, h.50
39
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.
Maka pemerintah sebagai pengawas ketenagakerjaan diharuskan
melindungi hak-hak pekerja outsourcing dengan menjaminnya dalam peraturan
yang dibuat dengan adil, karena Allah telah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
40
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011
1. Pengujian Materil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan
Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah
Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa
perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
41
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang,
badan hukum publik atau privat atau lembaga negara.
Pada tanggal 21 Maret 2011, Didik Supriadi mengajukan permohonan
uji materi Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran
Listrik Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang merupakan
Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum, yang bergerak dan didirikan
atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan
keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi
buruh/pekerja sebagai pihak yang lemah.
Pemohon berinisiatif mengajukan permohonan judicial review atas
kasus pekerja outsourcing yang dirugikan atas tidak terpenuhinya hak-hak dan
tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan
mereka. Pemohon juga bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat
Aliansi Petugas Penghitung Meteran Listrik (yang untuk selanjutnya disebut
AP2ML) mengajukan permohonan judicial review pasal-pasal yang berkaitan
dengan ketentuan outsourcing yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun pasal-pasal tersebut
selengkapnya menyatakan:
Pasal 59
42
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menuntut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
teretentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
43
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali
dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 64
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
44
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-udangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Kepetusan
Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelasanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
45
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaskud dalam pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
46
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud huruf a adalah perjanjian kerja untuk
waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindank sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf c serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perushaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
47
Menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) menempatkan buruh/pekerja
sebagai faktor produksi semata. Buruh hanya dijadikan komoditas di pasar
tenaga kerja dengan mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus
hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Karena itu menurut Pemohon
menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
dengan sendirinya terkait dengan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat
(1) dalam Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal tersebut
selengkapnya menyatakan:
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”,
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja”,
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan, yang diartikan bahwa perekonomian kita didasarkan atas
demokrasi ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua,
dengan mengutamakan kemakmuran rakyat”.
48
Pemohon mengajukan permohonan ke MK pasal-pasal tersebut di atas,
untuk selengkapnya di didasarkan pada argumentasi bahwa dalam ketentuan
kontrak kerja outsourcing terdapat hal-hal sebagai berikut :
a. Kontrak kerja dalam outsourcing dilakukan sebagai penekanan efisiensi
secara berlebihan dalam rangka peningkatan investasi dengan upah berakibat
hilangnya keamanan kerja (job security);
b. Status pekerja/buruh outsourcing sebagai buruh kontrak menghilangkan hak-
hak, tunjangan kerja, jaminan kerja dan jaminan sosial, yang dinikmati
pekerja tetap;
c. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-
Undang Ketenagakerjaan menjadikan buruh dipandang sebagai komoditas
perdagangan pasar kerja, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan layak dalam Pasal 27
ayat (2) dan hak bekerja dan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja dalam Pasal 28D ayat (2); dan
d. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu demokrasi ekonomi
dalam Pasal 33 ayat (1).
2. Pertimbangan dan Putusan Mahkamah Konstisusi
Dari uraian tersebut di atas, menurut MK, ketentuan Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat
(9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, ayat (3), serta
ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat
49
konstitusi Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Terhadap ketentuan Pasal 65 ayat (7), dan Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan
Undang-Undang Dasar 1945 (conditionally unconstitutional). Mahkamah
Konstitusi kadang mempersempit atau memperluas makna suatu norma
undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi warga
negara. Inilah yang disebut dengan putusan inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional).1
Setelah menimbang berbagai ketentuan tersebut Mahkamah Konstitusi
memutuskan dalam amar putusannya pada Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011
menyatakan :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“….perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan
1 Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al (eds.), Negara Hukum Yang
Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.
CL(Bandung : Rosda, 2011) h. 646-647.
50
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek
kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
3. Frasa “….perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“….perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak
disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh
yang objek kerjanya ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Pelaksanaan Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011
Menurut amar putusan tersebut, prinsipnya pekerja yang melaksanakan
pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-hak
konstitusionalnya. Karena itu harus ada jaminan kepastian bahwa hubungan
antara pekerja dan perusahaan outsourcing yang melindungai pekerja dan
51
pengusaha tidak menyalahgunakan kontrak outsourcing. Untuk menjamin
perlindungan hak-hak pekerja tersebut diatas tidak cukup hanya dengan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saja karena kedudukan atau posisi
tawar (bargaining position) pekerja lemah sebagai akibat oversupply tenaga
kerja.2
Solusinya, Mahkamah Konstitusi memberikan 2 (dua) model
perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja yaitu :
1) Mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan yang
melakukan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan
PKWTT, atau
2) Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja dengan
Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE).3
Berdasarkan prinsip dan solusi tersebut Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65
ayat (7) dan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan
tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Artinya,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 manakala “perjanjian kerja
tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
2 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi
IX , No.1 (Maret 2012) : h.23.
3 Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, h.44
52
perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan
lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
B. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-
IX/2011 Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlindungan
Prinsip pengalihan tindakan perlindungan dijelaskan pada butir [3.18]
Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011, prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) adalah perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh yang
bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Menurut butir [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/201,
prinsip tersebut telah diterapkan dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal
suatu perusahaan diambil alih oleh perusahaan lain. Prinsip tersebut diterapkan
untuk melindungi hak-hak para pekerja ketika perusahaan tempat pekerja diambil
alih oleh perusahaan lain.
1. Tujuan Prinsip Pengalihan Perlindungan
Prinsip pengalihan perlindungan pekerja/buruh diterapkan untuk
melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak
pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip pengalihan
perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan
pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu
perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut
kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang
53
diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia
jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya,
tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-
pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan
keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa
kerjanya.
Selain itu penerapan prinsip pengalihan perlindungan yang bertujuan
untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh oursourcing juga diharapkan dapat :
1) Mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi atau tidak
melakukan sistem kerja outsourcing.
2) Mendorong perusahaan-perusahaan untuk sebanyak mungkin
menggunakan sistem kerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT).
3) Memastikan kelangsungan pekerjaan bagi pekerja dengan menerapkan
prinsip pengalihan perlindungan pekerja (Transfer of Undertaking
Protection of Employement-TUPE).4
2. Prinsip Pengalihan Perlindungan yang dimuat dalam Permenakertrans
No. 19 Tahun 2012
Prinsip pengalihan perlindungan yang lahir dari Putusan Mahkamah
Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 dimaksudkan untuk menciptakan kepastian
4Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus ?, (Jakarta : Pohon Cahaya, 2013),
h.140.
54
hukum bagi pekerja/buruh outsourcing di Indonesia, maka untuk menjalankan
amanah dari putusan tersebut, Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu Permenakertrans No.19 Tahun
2012.
Prinsip pengalihan perlindungan diterapkan dengan cara membuat
klausul mengenai pengalihan perlindungan pada perjanjian kerja outsorcing,
antara perusahaan pelaksana sebagian pekerjaan dengan pekerja/buruh.
Menurut Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, ada dua jenis penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Outsourcing), yaitu
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyedia jasa
pekerja/buruh.
Beberapa pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012 memuat
ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh
outsourcing melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu :
Pasal 9 ayat (2) huruf b
“Perjanjian pemborongan pekerjaan harus memuat jaminan
terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan.”
Pasal 10
“Perjanjian pemborongan pekerjaan harus didaftarkan oleh
perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertangung
55
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.”
Berdasarkan 2 (dua) ketentuan di atas, perjanjian pemborongan
pekerjaan merupakan perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan penerima pemborongan yang dalam perjanjian itu harus memuat
jaminan terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh sesuai peraturan perundangan. Jaminan tersebut pun diperkuat
dengan ketentuan yang mengaharuskan pendaftaran perjanjian tersebut pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat dilaksanakannya pemborongan pekerjaan.
Selanjutnya, ketentuan perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang
memuat prinsip pengalihan perlindungan terdapat pada Pasal 13
Permenakertrans No.19. Perjanjian kerja pemborongan merupakan perjanjian
antara perusahaan pemborongan pekerjaan (perusahaan outsourcing) dengan
pekerja/buruh, ketentuat tersebut berbunyi :
Pasal 13
“Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib
memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak
pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.”
Kententuan tersebut tidak memaparkan secara langsung mengenai
prinsip pengalihan perlindungan, namun mengandung tujuan utama prinsip
56
peangalihan perlindungan. Oleh sebab itu, pada perjanjian kerja pemborongan
pekerjaan harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja, agar dapat
mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemborongan
pekerjaan dalam hal terjadi pergantian perusahaan pemborongan dan
perusahaan tersebut mengalihkan hak-hak pekerjanya pada perusahaan lain
sehingga pekerja/buruh tetap menerima hak-hak pekerja/buruh pada jenis
pekerjaan pemborongan pekerjaan.
Selanjutnya, pasal-pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012
yang memuat ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi
pekerja/buruh outsourcing pada jenis perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh :
Pasal 19 ayat (1) huruf b
“Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima
pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di
perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi pergantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.”
Pasal 20 ayat (1)
“Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi
pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus
didaftarakan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerajaan dilaksanakan.”
57
Pasal 32 ayat (1)
“Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan
penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjiasn kerja yang
telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja yang telah disepakati.”
Pasal 32 ayat (2)
“Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru maka masa kerja yang telah
dilalui pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama
harus tetap dianggap ada dan diperhitungnkan oleh perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.”
Beberapa ketentuan diatas merupakan ketentuan yang mengandung
prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pada jenis
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Prinsip pengalihan perlindungan
lebih banyak diterapkan pada jenis pekerjaan yang terus menerus ada di
perusahaan, maka akan mungkin sering terjadi pergantian perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh. Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh juga
harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab pada bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat dilaksanakannya pekerjaan.
58
Ketentuan tersebut juga mengatur pelaksanaan prinsip pengalihan
perlindungan diberlakukan dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak
melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perusahaan pemberi
kerja tersebut mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tersebut harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada
sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja
yang telah disepakati. Seperti masa kerja yang telah dilalui pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan
diperhitungnkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.
C. Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing
Setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011,
secara teknis dapat diatur suatu perjanjian outsourcing yang dapat melindungi
semua pihak, dalam hal ini perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dan pekerja. Perusahaan outsourcing yang akan melaksanakan
sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat menentukan perjanjian kerja berdasarkan
sifat pekerjaannya :
1. Pekerjaan yang bersifat tetap dan ada terus-menerus.
Pada pekerjaan yang bersifat tetap ada dan terus-menerus, bagi
pekerja/buruh yang memenuhi persyaratan diperlakukan dengan
menggunakan PKWTT. Dalam hal jika perusahaan pengguna (perusahaan
pemberi kerja) tetap menginginkan pekerja/buruh yang sama walaupun
59
perusahaan pemenang tendernya berbeda, maka harus diatur adanya tanggung
jawab renteng di mana perusahaan pengguna membayarkan komponen biaya
pesangon ke dalam harga perjanjian kerja outsourcing.
Untuk itu harus secara jelas diatur dalam hal terjadi pengalihan kepada
perusahaan outsourcing baru dengan kondisi pekerja/buruh belum habis
PKWT nya. Hak karyawan atas kepastian kelanjutan bekerja jika sebelum
masa kontrak ada pengalihan pekerjaan kepada parusahaan lain atau tidak
bersedia melanjutkan pekerjaan dengan adanya perhitungan uang pisah yang
besarnya diatur tersendiri.
2. Pekerjaan yang bersifat sementara.
Pada pekerjaan yang bersifat sementara, penggunaan pekerja/buruh
outsourcing dapat dilakukan dengan menggunakan PKWT. Pelaksanaan
PKWT tentu saja sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu sesuai dengan
Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu kontrak hanya boleh diperpanjang dua
kali atau dalam masa tidak lebih dari tiga tahun. Jadi, jika hanya dua kali
PKWT, misalnya 1 tahun diperpanjang 1 tahun, maka tidak boleh lagi PKWT,
harus menjadi karyawan tetap (PKWTT) diperusahaan outsourcing.5
Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-
IX/2011 pada perjanjian kerja waktu tertentu disarankan adanya pencantuman
klausul sebagai berikut :
5 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?,h.118-119.
60
a. Pada bagian Tanggung Jawab Para Pihak :
“Pihak pertama (perusahaan) bertanggung jawab dalam
terselenggaranya pengalihan hak Pihak Kedua (pekerja/buruh)”
b. Pada bagian Hak Para Pihak :
“Pihak kedua berhak atas kepastian kelangsungan bekerja jika masa
kontrak belum berakhir pada saat terjadi pengalihan kepada perusahaan
lain”.6
6 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.119.
61
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik
kesimpulan diantaranya sebagai berikut :
1. Pada awalnya pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaan jenis
pekerjaan outsourcing diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. Namun pelaksanaan outsourcing menurut Undang-
Undang tersebut oleh pihak pekerja dianggap belum melindungi hak-hak
pekerja dan tidak memberikan jamian kepastian karir. Hal ini kemudian
menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan pekerja untuk menuntut hak-
haknya.
2. Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan,
santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi
manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku
dalam perusahaan. Perlindungan hukum pekerja outsourcing diterapkan untuk
melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak
pemberi kerja/pengusaha. Campur tangan pemerintah dalam melindungi hak-
hak pekerja outsourcing merupakan faktor yang sangat penting. Namun,
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya melindungi buruh
secara yuridis dan peraturan itu belum cukup melindungi hak-hak pekerja
62
outsourcing bila dalam pelaksanaanya tidak diawasi oleh seorang ahli yang
harus mengunjungi tempat kerja pekerja outsourcing pada waktu-waktu
tertentu.
3. Judicial Review Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan outsourcing terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 merupakan salah satu bentuk reaksi kaum pekerja/buruh
dalam menuntut hak-haknya sebagai pekerja outsourcing. MK sebagai
lembaga yang berwenang menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 memutus permohonan perkara tersebut melalui putusan
Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011. Dalam putusannya, MK
memutus menerima sebagian permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 65
ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) b Undang-Undang Ketengakerjaan
inkonstitusinal bersyarat terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. MK kemudian memberikan
dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh outsourcing
yakni, pertama, membentuk perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan
yang melakukan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan
PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja
dengan Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE).
4. Setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, Kemenakertrans
menerbitkan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Setelah hadirnya
63
Permenakertrans No.19 Tahun 2012, perusahaan outsourcing harus
melaksanakan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh
outsourcing yang dimuat dalam klausul yang terdapat pada perjanjian kerja
pemborongan pekerjaan ataupun perjanjian kerja penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan dilaksanakannya prinsip ini, jika suatu waktu terjadi pergantian
perusahaan pemborongan pekerjaan ataupun perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh, hak-hak pekerja serta masa kerja yang telah dilalui pekerja
pada persusahaan yang lama tetap tetap dianggap ada dan diperhitungnkan
oleh perusahaan penyedia jasa pekerja yang baru.
B. Saran
Pasca adanya putusan MK, perusahaan penyedia jasa outsourcing harus
menyatakan dengan tegas di dalam perjanjian kerjanya yang berbentuk PKWT
mengenai pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja dalam hal objek
kerjanya tetap ada, dan harus menjamin keberlangsungan pekerja serta memenuhi
hak-hak pekerja. Pelaksanaan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh
harus berkesinambungan dan pemerintah harus meningkatkan perannya dalam
melakukan pengawasan seperti observasi langsung dan harus berdasarkan regulasi
tingkat pusat dan daerah.
Untuk perusahaan pemberi kerja yang akan menggunakan jasa perusahaan
outsourcing harus segera memilih pekerjaan yang akan di outsource dengan
64
membuat analisis internal dan membuat alur kegiatan proses pelaksanaan
pekerjaan dan menentukan pekerjaan core dan non core.
Untuk pekerja/buruh sebaiknya sebelum membuat perjanjian kerja dengan
perusahaan alih daya ada baiknya mempelajari perusahaan alih daya tersebut, dan
sebelum menyetujui perjanjian tersebut pastikan dengan jelas hak-hak apa saja
yang diterima sebelum, saat dan setelah melaksanakan kewajiban pekerja/buruh
dan jika dalam hal pekerjaan tersebut masih ada namun terjadi pergantian
perusahaan alih daya, hak-hak pekerja/buruh harus dijamin oleh perusahaan alih
daya yang melanjutkan.
65
DAFTAR PUSTAKA
AL QURAN
BUKU
Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.
Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.
Priambada, Komang dan Agus Eka Maharata. Outsourcing versus Serikat Pekerja
(An Introduction to Outsourcing). Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008.
Prints, Darwin. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,
2000.
Sirait, Justin T. Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi.
Jakarta : Grasindo, 2004.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
dalam Penelitian Hukum,. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,
1979.
_______. Pengantar Penelitian Hukum, cet. III. Jakarta: UI Press, 2008.
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika,
2009.
Yasar, Iftida. Sukses Implementasi Outsourcing. Jakarta : PPM, 2008.
_______. Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus ?. Jakarta : Phon Cahaya, 2013.
Zoelva, Hamdan. Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi
dalam Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al
(eds.), Negara Hukum Yang Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam
66
Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M. CL, Bandung :
Rosda, 2011.
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.19 Tahun
2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain.
Surat Edaran Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012
Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain.
YURISPRUDENSI
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.27/PUU-IX/2011 Tanggal 17
Januari 2011.
JURNAL
Puspitasari, Kartika. ”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional,
Piala Soediman Kartohadiprodjo, Universitas Katolik Parahyangan ,2012),
h.82-85.
67
Puspitasari Putri. “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Mengenai Penghapusan Pasal
Outsourcing Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan”. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran. (Juli 2012) : h.1-7.
Sulaiman, Abdullah. “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia :
Pra dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam
Studium General Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei 2003 (Ciputat : 2013), h.2.
Sumadi, Ahmad Fadlil. “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”. Jurnal
Konstitusi IX. NO.1 (Maret 2012) : h.1-26.
ARTIKEL
Pangaribuan, Juanda. “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses
pada tanggal 28 Oktober 2013 dari, http://m.hukumonline.com/legalitas-
ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh-juanda-pangaribuan/
DAFTAR PUSTAKA
AL QURAN
BUKU
Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.
Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.
Priambada, Komang dan Agus Eka Maharata. Outsourcing versus Serikat Pekerja
(An Introduction to Outsourcing). Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008.
Prints, Darwin. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,
2000.
Sirait, Justin T. Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi.
Jakarta : Grasindo, 2004.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
dalam Penelitian Hukum,. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,
1979.
_______. Pengantar Penelitian Hukum, cet. III. Jakarta: UI Press, 2008.
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika,
2009.
Yasar, Iftida. Sukses Implementasi Outsourcing. Jakarta : PPM, 2008.
_______. Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus ?. Jakarta : Phon Cahaya, 2013.
Zoelva, Hamdan. Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi
dalam Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al
(eds.), Negara Hukum Yang Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam
Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M. CL, Bandung :
Rosda, 2011.
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.19 Tahun
2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain.
Surat Edaran Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012
Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain.
YURISPRUDENSI
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.27/PUU-IX/2011 Tanggal 17
Januari 2011.
JURNAL
Puspitasari, Kartika. ”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional,
Piala Soediman Kartohadiprodjo, Universitas Katolik Parahyangan ,2012),
h.82-85.
Puspitasari Putri. “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Mengenai Penghapusan Pasal
Outsourcing Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan”. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran. (Juli 2012) : h.1-7.
Sulaiman, Abdullah. “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia :
Pra dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam
Studium General Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei 2003 (Ciputat : 2013), h.2.
Sumadi, Ahmad Fadlil. “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”. Jurnal
Konstitusi IX. NO.1 (Maret 2012) : h.1-26.
ARTIKEL
Pangaribuan, Juanda. “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses
pada tanggal 28 Oktober 2013 dari, http://m.hukumonline.com/legalitas-
ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh-juanda-pangaribuan/
PUTUSAN Nomor 27/PUU-IX/2011
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : DIDIK SUPRIJADI
Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 03 Desember 1972
Warga negara : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Pandegiling II Nomor 7, RT 002, RW 007,
Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari,
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Dalam hal ini, bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas
Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), jabatan: Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 30 April 2011, memberi kuasa kepada
Dwi Hariyanti, S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat dan Penasihat
Hukum “Dwi Hariyanti, S.H., & Rekan”, beralamat di Jalan Karangrejo VIII Nomor 20
Surabaya, bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar keterangan lisan para saksi Pemohon;
Mendengar keterangan Pemerintah;
2
Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca kesimpulan Pemohon.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan bertanggal
21 Maret 2011, yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin, tanggal 4 April 2011
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 127/PAN.MK/2011 dan
diregistrasi pada hari Senin tanggal 4 April 2011 dengan Nomor 27/PUU-IX/2011, yang
telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal tanggal 11 Mei
2011, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi
berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar” dan hal tersebut ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
2. Bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyatakan bahwa Undang-
Undang yang dapat diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah
perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.
II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusinya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa perorangan
3
warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan
hukum publik atau privat atau lembaga negara.
2. Bahwa menurut penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 yang dimaksud hak konstitusi adalah hak-hak yang diatur
dalam UUD 1945.
3. Bahwa Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meter
Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur yang merupakan lembaga
swadaya masyarakat yang berbadan hukum, yang tumbuh dan
berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di
tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian
untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak
asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak
yang Iemah.
4. Bahwa Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945
adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja
kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang
memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja
kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat
merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD 1945, yaitu
mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak atas kesejahteraan dan
kemakmuran.
5. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum dan argumentasi di atas, maka
jelaslah bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan dasar
kepentingan untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 59 dan
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap UUD 1945, karena mempunyai kepentingan secara langsung dan
4
akan menerima dampak secara langsung dari pelaksanaan Pasal 59 dan
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ill. FAKTA HUKUM
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah merupakan
tujuan umum Bangsa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Pembukaan
UUD 1945.
2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan sudah
sejak awal berdirinya negara ini ditetapkan sebagai hak asasi manusia
warga negara yang secara khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang
menjadi dasar konstitusional negara ini dan hak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan
kerja juga ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara yang secara
khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional
negara ini.
3. Pemerintah selaku pelaksana utama konstitusi, berkewajiban
melaksanakan amanat ini, dengan semaksimal mungkin mengusahakan
agar warga negara Indonesia bisa sungguh mendapatkan pemenuhan hak
asasi tersebut dan amanat ini berkaitan erat pula dengan tujuan umum
bangsa Indonesia.
4. Industrialisasi dan pembangunan ekonomi salah satu strategi dari bangsa
Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan industrialisasi
sendiri akan menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba
meraih kesejahteraannya dari situ yaitu mereka yang tidak punya apa-apa
selain tenaganya untuk dijual guna mendapatkan upah untuk hidup. Mereka
inilah yang disebut dengah buruh/pekerja dalam hal ini negara mau tidak
mau harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal
perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar buruh/pekerja dapat
terlindungi hak-haknya dalam bingkai konstitusi.
5. Warga negara umumnya dan buruh/pekerja khususnya harus mendapatkan
hak konstitusional berupa penghidupan yang Iayak yang dapat
5
diperolehnya dari pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang adil dan
Iayak yang harus diterima dalam hubungan kerja.
6. Dalam relasi perburuhan/ketenagakerjaan dan dalam hubungan kerja,
buruh/pekerja senantiasa berada pada posisi yang Iemah, karenanya
sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang harus dibangun di negara
ini adalah sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi
(protektif) terhadap buruh/pekerja.
7. Dalam hal ini pemerintah harus dapat memainkan peran untuk menjamin
perlindungan terhadap buruh/pekerja, dengan secara aktif terlibat dalam isu
perburuhan/ketenagakerjaan dan melalui Undang-Undang
Perburuhan/Ketenagakerjaan. Namun sayang, kenyataannya, kebijakan
legislasi yang protektif terhadap buruh/pekerja tidak tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama
Pasal 59 dan Pasal 64 bahkan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
8. Bahwa sudah berkali-kali ribuan aktivis buruh/pekerja, serikat buruh/
pekerja, organisasi non pemerintah perburuhan dan aliansi-aliansi
perburuhan di berbagai tempat di Indonesia melakukan aksi menolak
adanya perjanjian kerja untuk waktu tertentu pekerja kontrak (pekerja
kontrak) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagaian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.
IV. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
1. Penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata
meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui
kebijakan upah murah ini berakibat pada hilangnya keamanan kerja
(job security) bagi buruh/pekerja Indonesia, karena sebagian besar
buruh/pekerja tidak akan lagi menjadi buruh/pekerja tetap, tetapi menjadi
buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah
yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai satu bentuk perbudakan
zaman modern.
6
2. Bahwa status sebagai buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti
juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja
dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status
sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat potensial
menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonsia dan
karenanya buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia,
pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan
rakyat Indonesia pada umumnya.
3. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai
komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja.
Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar
dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang
semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup
kemungkinan kelak anak cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri
dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan". Dan Pasal 28D ayat (2)
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".
4. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor
produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan
diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian
komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap
ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya
sistem kerja "pemborongan pekerjaan" (outsourcing), yang akan
7
menjadikan buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal
dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan". Di dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini
artinya perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan
degradasi nilai manusia, buruh/pekerja sebagai komoditas atau barang
dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui sebuah
Undang-Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusi
pun akan menjadi kata-kata kosong atau merupakan hiasan kata mutiara
saja.
5. Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan
jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan diperusahaan
pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian
antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna
pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk
menempatkan pekerja di perusahaan pengguna dan perusahaan pengguna
mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan
perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang
misalnya Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja
akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang
bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini
merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada
pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern.
6. Di lain pihak outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job
security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat
hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya
pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan
menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian
8
Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak.
7. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam
outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh
pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh
perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan,
konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan
pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang di
subkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub
contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan
oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub
contractornya dengan pekerjanya.
8. Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya
hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan
pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja
yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa
pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.
9. Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan
penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user.
Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual
manusia.
10 Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus
dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah
untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja
hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang
dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga
perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa permohonan ini
disampaikan secara menyakinkan dan patut, karena berangkat dari
keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja maupun, sehingga patut
9
kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan
pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2)
dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
12. Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada kaitannya dengan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
dengan sendirinya Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
V. MATERI POKOK UJI MATERI
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59
Ayat (1): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
Ayat (2): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap”.
Ayat (3): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui”.
Ayat (4): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan
hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama
satu tahun”.
Ayat (5): “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja
untuk waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum
10
perjanjian kerja waktu tetentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
Ayat (6): “Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari
berakhirnya perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang lama,
pembaharuan perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun”.
Ayat (7): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4),
ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu”.
Ayat (8): “Hal-hal yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan keputusan menteri”.
2. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan,
"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".
3. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ayat (1): “Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalu perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis”.
Ayat (2): “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung”.
11
Ayat (3): “Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum”.
Ayat (4): “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Ayat (5): “Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
diatur pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri”.
Ayat (6): “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis
antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”.
Ayat (7): “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59”.
Ayat (8): “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan”.
Ayat (9): “Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan
kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7)”.
4. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ayat (1): “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”.
12
Ayat (2): “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Ayat (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan”.
Ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan".
6. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
7. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
13
"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan".
VI. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan hukum serta didukung alat-alat
bukti yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, memohon kiranya Mahkamah
Konstitusi berkenan memutuskan:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
4. Menempatkan Putusan ini dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia.
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda dengan Bukti P-1 sampai dengan
Bukti P-7, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Aliansi Petugas
Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa
Timur, oleh Notaris Bachtiar Hasan, SH, Nomor 3 tanggal 11
Juni 2010;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Tanda Terima Gaji Karyawan PT Multi Artha
Sejahtera Abadi Unit Baca Meter, tanggal 26 Mei 2010;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Berita Acara Nomor 27/BA/SM/XI/2007, perihal
Dasar penentuan denda baca meter, tanggal 19 November
2007;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Kontrak Profesi Nomor ---/3.01.1/KPJ/KSU/I/2010,
tanggal 6 Januari 2010 dan Surat Perjanjian Kerja Karyawan;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Masa Kerja dan PHK Karyawan;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Lelang atau Tender Pencatatan Meter Listrik
14
7. Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
8. Bukti P-8 : Fotokopi beberapa surat pengalaman Pemohon.
Selain itu, Pemohon pada persidangan tanggal 6 Juli 2011, telah
mengajukan 2 (dua) orang Saksi yang bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso yang menerangkan sebagai berikut:
1. Moh. Fadlil Alwi
• Bahwa pekerjaan saksi sebagai pembaca meteran yang dilakukan secara
terus-menerus, dilakukan dalam waktu tertentu dan berkesinambungan;
• Bahwa saksi mantan pegawai PLN sebagai mengelola pembaca meter dan
belum pernah menjadi karyawan outsourcing;
• Bahwa pegawai pembaca meteran dulunya memakai sistim kontrak dengan
batas tertentu dari koperasi yang kemudian dilimpahkan ke pemborong lain.
2. Moh. Yunus Budi Santoso
• Bahwa saksi sebagai karyawan outsourcing;
• Bahwa saksi pada tahun 2000 pekerjaannya sebagai pembaca meteran di
bawah koperasi PLN;
• Bahwa saksi dari tahun 2004 sampai tahun 2007 bekerja sebagai tenaga
kontrak pembaca meteran dan sudah tiga kali pindah ke perusahaan lain
dengan cara direkrut dan tanpa SK dengan gaji tetap, karena terjadi konflik,
dinonaktifkan dengan tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari manajemen;
• Bahwa saksi dari tahun 2007 sampai tahun 2009 telah pindah pekerjaan ke
perusahaan lainnya dengan gaji turun;
• Bahwa UMR di Bangkalan Madura Rp. 850.000,-/bulan;
• Bahwa saksi mendapat gaji total Rp 1.300.000,00,- sedangkan gaji anggota
lainnya bervariasi ada yang mendapatkan Rp. 625.000,- sampai dengan
Rp. 975.000,- tergantung volume pekerjaannya;
• Bahwa saksi pada tahun 2004-2007 bekerja di PT. Data Energi Infomedia,
tahun 2007-2009 bekerja di PT. Bukit Alam Barisani dan yang terakhir
bekerja di PT. Berkah Abadi dengan gaji turun alasannya karena
perusahaan tersebut mempunyai manajemen sendiri;
• Bahwa kalau bekerja melebihi tiga tahun akan jadi karyawan tetap.
15
[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah didengar
opening statement Pemerintah yang menerangkan sebagai berikut:
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing), atau tidak atas berlakunya Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, sebagaimana
yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu, dalam hal ini Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007.
Bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu tidak hanya
dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah bekerja, tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
Hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, yang umum dikenal
dengan outsourcing, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 serta Pasal 64 Undang-
Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi
seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, juga dalam rangka
memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam
hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang
dilaksanakannya.
Sehingga dengan diterapkannya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT), dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau
outsourcing adalah bagi pekerja outsourcing akan menggunakan seluruh
kemampuannya dalam bekerja. Dengan adanya outsourcing, maka mereka akan
mendapatkan suatu keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya. Dan jika
telah memiliki kemampuan tersebut, maka pekerja akan menambah kemampuan
mereka dengan bekerja di outsourcing. Pekerjaan tersebut akan menjadi lebih
16
bermanfaat, jika pekerjanya mampu menangkap ilmu yang mereka dapat dari
perusahaan penerima.
Kemudian, mereka mengembangkan keterampilan tersebut untuk
menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan. Sebelum mendapatkan
pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing akan membantu tenaga kerja yang
belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan-perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Selain hal
tersebut, Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur
jenis dan sifat pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala
aturan-aturan dalam menerapkan sebuah pekerjaan untuk waktu tertentu, dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Terhadap anggapan
Pemohon yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon menurut Pemerintah
adalah tidak benar.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Majelis Mahkamah Konstitusi yang mengadili dapat memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima. 2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[2.4] Menimbang bahwa pada tanggal 22 Juli 2011 Kepaniteraan telah
menerima keterangan tertulis Pemerintah yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. Pokok Permohonan 1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi
Nomor 547.27/PAN.MK/V/2011, para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65
17
dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal
33 ayat (1) UUD 1945;
2. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64
Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing),
maka buruh/pekerja dilihat semata mata sebagai komoditas atau barang
dagangan disebuah pasar tenaga kerja, selain itu buruh/pekerja
ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah
dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak
dibutuhkan lagi, yang pada gilirannya komponen upah dapat ditekan
seminimal mungkin;
3. Bahwa outsourcing adalah suatu bentuk pemaksaan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya
tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah,
pekerjaan dan upah, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerja hanya
dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum;
4. Karena itu menurut Pemohon, Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang dengan sendirinya juga terkait dengan ketentuan
Pasal 65 dan Pasal 66, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945.
II. Tentang Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
18
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan
"hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang
dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul
karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide putusan Nomor
006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima)
syarat yaltu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon
apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal
65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
19
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji tersebut di atas telah menimbulkan kekhawatiran, kecemasan terhadap
Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang Iayak yang
pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi Pemohon, yang
berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Menurut Pemerintah adalah tidak tepat dan hanya berdasarkan
asumsi-asumsi semata yang berlebihan, karena pada kenyataannya pekerja/buruh
dalam melakukan hubungan kerja didasari oleh kesepakatan bersama yang
dilakukan secara sukarela berdasarkan perjanjian keperdataan. Apabila dalam
perjanjian keperdataan tersebut terdapat satu peristiwa hukum berupa mengingkari
atau wanprestasi, maka penyelesaiannya melalui lembaga peradilan yang
tersedia.
Menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah merupakan
rangkaian aturan yang mendasari mekanisme penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan Iainnya (dikenal dengari istilah outsourcing),
sehingga jika ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut dikabulkan, maka justru
akan menimbulkan kerugian konstitusionalitas terhadap seluruh pekerja/buruh
termasuk Pemohon itu sendiri.
Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah
terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak
terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.
20
Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian, apabila Ketua/Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
berikut disampaikan penjelasan Pemerintah atas permohonan a quo, sebagai
berikut:
III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Sehubungan permohonan pengujian ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan:
Pasal 59 ayat (1) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan”.
Pasal 59 ayat (2) “Perjanjan kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap”.
Ayat (3) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui”.
21
Ayat (4) “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”
Ayat (5) “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
Ayat (6) “Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”.
Ayat (7) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentt an
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.
Ayat (8) “Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri”.
Pasal 64: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
Pasal 65: (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
22
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana diimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain
dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan
ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7).
Pasal 66: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
23
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perse!isihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Ketentuan pasal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan".
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945: "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
24
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan".
Terhadap materi muatan norma yang dimohonkan diuji oleh Pemohon, Pemerintah
dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Terhadap ketentuan Pasal 59 Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal
sebagai berikut:
a. bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan. Di mana keterkaitan itu tidak hanya
dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah bekerja, tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat;
b. bahwa ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut juga terkait erat dengan
masalah hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan
pekerjaan, karena itu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka di
dalamnya akan memuat syarat-syarat kerja maupun hak dan kewajiban para
pihak. Syarat perjanjian kerja antara para pihak yang dibuat oleh pekerja/buruh
tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dengan segala konsekuensinya,
yang dipertegas dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
c. bahwa terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pengaturannya
telah secara jelas dan tegas diatur dalam ketentuan pasal yang dimohonkan untuk
diujikan tersebut, dengan syarat-syarat yang ketat yaitu:
-. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
-. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
-. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
-. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) antara pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya
sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dipastikan kekhawatiran
25
Pemohon tidak akan terjadi. Dengan perkataan lain menurut Pemerintah apa yang
dialami oleh Pemohon dengan pihak perusahaan tempat Pemohon bekerja
semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja dan bukan masalah
konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo tersebut.
Pemerintah dapat menyampaikan bahwa karakteristik dan sifat suatu pekerjaan
ada yang bersifat continue dan ada yang bersifat temporer, sehingga hubungan
kerjapun ada yang bersifat tetap (PKWTT) dan ada yang bersifat sementara
(PKWT), karenanya terhadap keduanya tidak dapat saling menghilangkan dan
tidak dapat dipersamakan satu dengan lainnya, sehingga menurut Pemerintah
apabila anggapan Pemohon tersebut dianggap benar adanya, quod non, dan
permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menurut Pemerintah
dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengaburkan sistem hubungan kerja yang selama ini telah dikenal dan
berjalan sesuai dengan karakteristik dan sifat pekerjaan (pekerjaan yang bersifat
permanen dan pekerjaan yang bersifat temporer).
2. Dapat mengganggu iklim dunia usaha dan investasi khususnya usaha
mikro, kecil dan menengah, karena pada umumnya jenis usaha ini sifatnya
musiman dan jangka pendek.
Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat konstitusi khususnya yang
terkait dengan hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang layak, karena itu ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, juga tidak
merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
2. Terhadap ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang a
quo, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa terhadap materi pengujian ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan, telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor
012/PUU-I/2003, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip,
dan kawan-kawan).
Sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, bahwa terhadap materi muatan, bagian pasal, maupun ayat
26
Undang-Undang yang pernah dimohonkan untuk diuji tidak dapat diajukan
permohonan kembali (ne bis in idem), walaupun sebagaimana ditentukan dalam
ketentuan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, yang menyatakan bahwa
terhadap materi muatan norma yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat
dimohonkan pengujian kembali, asalkan permohonannya menggunakan pasal-
pasal dalam UUD 1945 yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.
Menurut Pemerintah, permohonan pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon
saat ini (Didik Suprijadi), seolah-olah menggunakan batu uji yang berbeda dengan
permohonan terdahulu, namun demikian pada dasarnya memiliki kesamaan
maksud dan tujuan, atau dengan perkataan lain, Pemohon saat ini berpendapat
seolah-olah berbeda dan asal berbeda (vide Pertimbangan dan Pendapat
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 012/PUU-I/2003).
IV. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard);
3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
5. Menyatakan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
Ketenegakerjaan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (ne bis in idem)
[2.5] Menimbang bahwa pada tanggal 1 November 2011 Kepaniteraan telah
menerima keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat yang pada pokoknya
sebagai berikut:
27
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon.
Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah
Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang , yaitu:
a. peroangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak
yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk "hak
konstltuslonal".
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang
atau suatu pihak dapat diterima sebagai pihak Pemohon yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
“Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang
dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional,
Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang berdasarkan
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide
28
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-
V/2007), yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam
mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak
memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon;
DPR berpendapat meskipun sebagai subjek hukum perorangan warga
negara Indonesia, para Pemohon memiliki kualifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK, namun demikian menurut DPR tidak ada kerugian
konstitusional para Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi
dengan berlakunya Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Para Pemohon
tidak menguraikan secara spesifik (khusus) dan aktual mengenai kerugian
konstitusional akibat pemberlakuan pasal a quo UU Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 59 dan
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
menghambat dan merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana
dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Oleh
karena itu menurut DPR, para Pemohon dalam permohonan a quo tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51
ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 terdahulu.
Namun jika Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini
disampaikan keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
29
2. Pengujian materiil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Terhadap hal-hal yang dikemukakan para Pemohon tersebut, DPR
memberi keterangan sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dari sudut
konstitusi memberikan hak kepada tiap-tiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Untuk mewujudkan amanat pasal-pasal a
quo diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional;
2. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan
dan keterkaitan antara berbagai pihak yaitu pemerintah, pengusaha dan
pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan
komprehensif tentang ketenagakerjaan yang diantaranya mengatur tentang
perlindungan pekerja/buruh termasuk perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh. Hal itulah yang menjadi pengaturan di dalam
UU Ketenagakerjaan.
3. UU Ketenagakerjaan mengatur tentang kegiatan yang bersifat pokok yaitu yang
berhubungan Iangsung dengan proses produksi dan kegiatan jasa penunjang
yang tidak berhubungan Iangsung dengan proses produksi. Kegiatan yang
berhubungan Iangsung dengan proses produksi, buruh/pekerja outsourcing
tidak boleh digunakan oleh perusahaan. Adapun untuk kegiatan jasa penunjang
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, perusahaan dapat
mempekerjakan buruh/pekerja outsourcing melalui perusahaan penyedia jasa.
Dengan demikian hubungan kerja antara buruh/pekerja outsourcing adalah
dengan perusahaan penyedia jasa. sehingga perlindungan, upah dan
kesejahteraan buruh/pekerja outsourcing merupakan tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa;
4. UU Ketenagakerjaan juga mengatur jenis-jenis pekerjaan tertentu yang hanya
dapat dikerjakan oleh pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Sesungguhnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan telah memberikan pembatasan
yang sangat tegas mengenai pekerjaan tertentu yang hanya dapat dikerjakan
oleh pekerja dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
30
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan"
5. Untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, Pasal 59 Undang-Undang
Ketenagakerjaan melarang secara tegas untuk mempekerjakan pekerja
dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu terhadap jenis pekerjaan yang
sifatnya tetap dan merupakan bagian dari pokok kegiatan perusahaan. Selain
itu, terdapat juga pembatasan waktu bahwa perjanjian kerja waktu tertentu
paling lama 3 (tiga) tahun. Apabila kedua hal tersebut dilanggar maka demi
hukum perjanjian kerja waktu tertentu, menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Dan jika terdapat pelanggaran terhadap ketentuan tersebut seperti
yang dialami oleh para Pemohon, maka hal tersebut merupakan permasalahan
penerapan norma bukan persoalan konstitusionalitas norma;
6. Hubungan kerja antara buruh/pekerja dengan perusahaan pemberi kerja yang
melaksanakan pekerjaan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 59
Undang-Undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Demikian juga halnya dengan hubungan kerja antara buruh/pekerja
outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang a quo mendapat
perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, terlepas dari
jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja,
perlindungan hak-hak buruh dilakukan sesuai dengan aturan hukum dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga tidak cukup alasan terjadi modern
slavery (sistem perbudakan modern) dalam proses produksi, sebagaimana
didalilkan oleh para Pemohon;
7. Mengingat materi muatan Pasal 59 dan Pasal 64 pernah dimohonkan pengujian
dengan Register Perkara Nomor 12/PUU-I/2003, berdasarkan Pasal 60
31
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang teIah
diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (ne bis in idem);
8. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa jika ditinjau dari jangka
waktu perjanjian kerja dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu perjanjian kerja yang
dibuat untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja yang tidak dibatasi oleh jangka
waktu tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu Iazimnya disebut pekerja
kontrak. Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
serta ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8)
Undang-Undang a quo, kesepakatan yang dibuat untuk perjanjian kerja waktu
tertentu adalah hanya untuk pekerjaan yang mempunyai sifat, jenis dan
kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu;
9. Bahwa pekerjaan para Pemohon sebagai pembaca meter listrik, menurut DPR
dapat dikategorikan sebagai pekerjaan waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang
sekali selesai yang dilakukan sekali tiap bulan.
Berdasarkan uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan
Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Keterangan DPR sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus dan mengadili perkara a quo
dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat
[2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 20 Juli 2011 yang pada pokoknya
tetap pada dalilnya;
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala hal-hal yang terjadi di persidangan merujuk dalam berita acara
32
persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan
Putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
menguji Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279, selanjutnya disebut UU 13/2003), terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan
a quo dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji
Undang-Undang in casu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003
33
terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK
beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005,
bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20
September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
34
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada
paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo
sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa Pemohon adalah Aliansi Petugas Pembaca Meter
Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur, sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan
perlindungan dan penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia di
Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja. Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum
AP2ML, sehingga Pemohon dikualifikasikan sebagai badan hukum swasta sesuai
dengan akte pendirian yang diajukan Pemohon dan kawan-kawan di hadapan
Kantor Notaris Bactiar Hasan, SH (bukti P-1 yaitu Fotokopi Pendirian Perkumpulan
Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur
Nomor 3 beserta lampirannya);
Menurut Pemohon, penerapan Pasal 59 UU 13/2003 mengenai Perjanjian
Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
13/2003 mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya (pemborongan/outsourcing) menyebabkan para pekerja
kontrak/outsourcing:
1. kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh/pekerja (kontinuitas
pekerjaan);
2. kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para pekerja tetap;
3. kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai dengan masa
kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitungan masa kerja.
35
Berdasarkan dalil-dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah,
Pemohon adalah badan hukum privat yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh
adanya pasal-pasal Undang-Undang yang dimohonkan a quo, yaitu Pasal 59,
Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 yaitu hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,
hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945,
dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian terdapat hubungan kausalitas antara kerugian konstitusional
Pemohon dengan norma yang diuji, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan pemohonan a quo.
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing),
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan buruh/pekerja kontrak yang
dipekerjakan berdasarkan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66
UU 13/2003, pada kenyataannya kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,
jaminan-jaminan kerja dan sosial sehingga menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia. Hal itu, disebabkan karena hubungan
kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur
dalam Pasal 59 UU 13/2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
13/2003, buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan
begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika
tidak dibutuhkan lagi. Bagi perusahaan pemberi kerja komponen upah sebagai
salah satu dari biaya-biaya (cost) dapat tetap ditekan seminimal mungkin, tetapi
pada sisi lain pekerja/buruh kehilangan jaminan kerja, termasuk jaminan
kesehatan, masa kerja yang dikaitkan dengan upah serta jaminan pensiun dan hari
tua. Buruh/pekerja hanya sebagai sapi perahan para pemilik modal. Menurut
Pemohon hal itu menyebabkan hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,
36
jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat
potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia,
sehingga bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti
tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan pada
persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah menghadirkan saksi Pemohon yang
bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso, yang selengkapnya
termuat dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan bahwa
pekerjaan pembaca meteran yang dilakukan secara terus-menerus, dilakukan
dalam waktu tertentu dan berkesinambungan yang dulunya memakai sistem
kontrak (outsourcing), setelah pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya
pengalaman kerjanya tidak dihitung sehingga gajinya menjadi turun;
[3.11] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan a quo, Pemerintah
maupun DPR telah menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya bahwa
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang termuat dalam Pasal 59 UU
13/2003, tetap tunduk pada perjanjian kerja yaitu kesepakatan berdasarkan
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang harus dihormati para pihak. Di samping
itu syarat-syarat PKWT adalah sudah ketat yaitu hanya mengenai:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Menurut Pemerintah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya sesuai dengan
ketentuan tersebut di atas, semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja
dan bukan masalah konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
a quo. Oleh karena itu tidak ada persoalan konstitusionalitas pada Pasal 59
Undang-Undang a quo yang dipersoalkan Pemohon;
37
Adapun mengenai pengujian Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang a
quo telah diadili oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak
permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28
Oktober 2004, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip, dan
kawan-kawan), sehingga menurut Pemerintah, Mahkamah tidak perlu
mempertimbangkanya lagi.
Pendapat Mahkamah
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, bukti-bukti yang
diajukan oleh Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara,
persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam
permohonan ini adalah: (1) Apakah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan berdasarkan PKWT
yang memperoleh pekerjaan dari suatu perusahaan lain bertentangan dengan
UUD 1945?; (2) Apakah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
yang menyediakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT bertentangan dengan UUD
1945?;
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan, norma yang mengatur
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 UU 13/2003 tidak
memberikan jaminan kelanjutan kerja bagi pekerja/buruh, serta tidak memberikan
jaminan atas hak-hak pekerja/buruh yang lainnya. Menurut Mahkamah, PKWT
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003 adalah jenis perjanjian kerja yang
dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan
tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga hubungan kerja antara buruh dan
majikan akan berakhir begitu jangka waktu berakhir atau ketika pekerjaan telah
selesai dikerjakan. Oleh karena itulah Pasal 59 UU 13/2003 menegaskan bahwa
PKWT hanya dapat diterapkan untuk 4 jenis pekerjaan, yaitu: (i) pekerjaan yang
sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (ii) pekerjaan yang diperkirakan
dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun, (iii) pekerjaan yang bersifat musiman, (iv) pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan, dan bersifat tidak tetap;
38
Dalam praktik, ada beberapa jenis pekerjaan yang termasuk kriteria disebut di atas
dengan alasan efisiensi bagi suatu perusahaan dan keahlian suatu pekerjaan
tertentu lebih baik diserahkan untuk dikerjakan oleh perusahaan/pihak lain, antara
lain pekerjaan bangunan, buruh karet, penebang tebu (musiman), konsultan,
ataupun kontraktor. Terhadap jenis pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh
menghadapi resiko berakhir masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah
selesai, dan harus mencari pekerjaan baru. Pada sisi lain, bagi pengusaha pemilik
pekerjaan akan lebih efisien dan tidak membebani keuangan perusahaan apabila
jenis pekerjaan demikian tidak dikerjakan sendiri dan diserahkan kepada pihak lain
yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tersebut, sehingga perusahaan
hanya fokus pada jenis pekerjaan utamanya (core business). Bagi pengusaha atau
perusahaan yang mendapatkan pekerjaan yang memenuhi kriteria tersebut dari
perusahaan lain, juga menghadapi persoalan yang sama dalam hubungannya
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya dalam jenis pekerjaan yang sifatnya
sementara dan dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan jenis pekerjaan yang
demikian, wajar bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh,
karena tidak mungkin bagi pengusaha untuk terus memperkerjakan pekerja/buruh
tersebut dengan tetap membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai
dilaksanakan. Dalam kondisi yang demikian pekerja/buruh tentu sudah harus
memahami jenis pekerjaan yang akan dikerjakannya dan menandatangani PKWT
yang mengikat para pihak. Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata, yang mewajibkan para pihak yang menyetujui dan
menandatangani perjanjian untuk menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT. Untuk
melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah karena
banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat penting
untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
a quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat
pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagi pula,
jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu
merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma
yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian
menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945;
39
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU 13/2003, suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu. Dalam praktik, jenis pekerjaan
demikian disebut “pekerjaan outsourcing”, dan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing disebut “perusahaan outsourcing” dan pekerja/buruh yang
melaksanakan pekerjaan demikian disebut “pekerja outsourcing”. Berdasarkan
UU 13/2003 a quo ada dua jenis pekerjaan outsourcing yaitu outsourcing
sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan
outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana permasalahan di atas.
Pasal 65 Undang-Undang a quo, mengatur syarat-syarat penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan Pasal 66 Undang-
Undang a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh. Pekerjaan
yang diserahkan dengan cara outsourcing menurut Pasal 65 Undang-Undang
a quo harus memenuhi syarat: (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan; (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
dan (iv) tidak menghambat proses produksi secara langsung. Suatu perusahaan
hanya dapat menyerahkan pekerjaan yang demikian kepada perusahaan lain
yang berbentuk badan hukum dan harus dilakukan secara tertulis. Untuk
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, Pasal 65 ayat (4) Undang-
Undang a quo menegaskan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan outsourcing sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan outsourcing dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya, baik berdasarkan PKWT apabila memenuhi persyaratan Pasal
59 Undang-Undang a quo maupun berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Jika syarat-syarat penyerahan sebagian pekerjaan tersebut tidak
terpenuhi maka status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
40
penerima pemborongan, demi hukum beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan;
Adapun penyerahan pekerjaan melalui penyediaan jasa pekerja/buruh (pekerja
outsourcing) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(i) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan
outsourcing) tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(ii) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
UU 13/2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(iii) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(iv) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud point angka i dan angka ii
huruf a, huruf b dan huruf d serta angka (iii) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
41
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan norma yang terkandung dalam Pasal 65
dan Pasal 66 Undang-Undang a quo, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih
lanjut adakah ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan terancamnya hak
setiap orang dan hak-hak pekerja yang dijamin oleh konstitusi dalam hal ini hak-
hak pekerja outsourcing dilanggar sehingga bertentangan dengan UUD 1945, yaitu
hak yang diberikan oleh UUD 1945 kepada setiap orang untuk bekerja dan
mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja [vide
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945];
[3.16] Menimbang bahwa pasal-pasal tentang outsourcing pernah
dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan Putusan
Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut, “Menimbang bahwa
berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata
dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja
dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha
berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan penyedia jasa beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap
pengusaha, buruh/pekerja dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon
tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan
penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana
diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang a quo, mendapat
perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu
tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam
kesempatan yang tersedia maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan
aturan hukum dalam UU Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu
menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses
42
produksi”;
[3.17] Menimbang bahwa posisi pekerja/buruh outsourcing dalam
hubungannya dengan perusahaan outsourcing, baik perusahaan outsourcing yang
melaksanakan sebagian pekerjaan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan
maupun perusahaan outsourcing yang menyediakan jasa pekerja/buruh,
menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT. Apabila
hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan
perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja/buruh
outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja
pekerja/buruh outsourcing. Akibatnya, pekerja/buruh harus menghadapi resiko
tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau
perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh tidak lagi mendapat kontrak
perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja. Selain adanya ketidakpastian
mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja/buruh akan mengalami ketidakpastian
masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat
sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak
pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan
dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya. Walaupun,
sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003,
tanggal 28 Oktober 2004, terdapat perlindungan atas hak dan kepentingan
pekerja/buruh dalam Undang-Undang a quo [vide Pasal 65 ayat (4) UU 13/2004],
yang menyatakan bahwa “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”, akan tetapi sebagaimana
didalilkan oleh Pemohon maupun kenyataannya tidak ada jaminan bahwa
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja tersebut dilaksanakan. Dengan
demikian, ketidakpastian nasib pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan
outsourcing tersebut, terjadi karena Undang-Undang a quo tidak memberi jaminan
kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan
43
serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan
bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to
protect the workers/laborers terabaikan;
[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
(perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu
perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Penyerahan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja yang demikian harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU 13/2003. Namun
demikian, Mahkamah perlu meneliti aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang
dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing
dengan pekerja/buruh. Memperhatikan syarat-syarat dan prinsip outsourcing baik
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan maupun melalui perusahaan
penyediaan jasa pekerja/buruh, dapat berakibat hilangnya jaminan kepastian
hukum yang adil bagi pekerja dan hilangnya hak setiap orang untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal
itu terjadi, karena dengan berakhirnya pekerjaan pemborongan atau berakhirnya
masa kontrak penyediaan pekerja/buruh maka dapat berakhir pula hubungan
kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh, sehingga
pekerja/buruh kehilangan pekerjaan serta hak-hak lainnya yang seharusnya
diperoleh. Menurut Mahkamah, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan
dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi
oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas
hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan
oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa
memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh. Jaminan dan
perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui
perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dengan pekerja/buruh
44
berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang
lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan
melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis
tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh
untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi
hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu
menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini
ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak
pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing
tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE)
yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing
berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-
haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing. Dalam praktik, prinsip tersebut telah diterapkan dalam
hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal suatu perusahaan diambil alih oleh
perusahaan lain. Untuk melindungi hak-hak para pekerja yang perusahaannya
diambil alih oleh perusahaan lain, hak-hak dari pekerja/buruh dari perusahaan
yang diambil alih tetap dilindungi. Pengalihan perlindungan pekerja/buruh
diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-
wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip
pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi
memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada
45
suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut
kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang
diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia
jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada
sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk
meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya
pengalaman dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan
kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga
memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya,
karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan
sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing
tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing
dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.
Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian
perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum
untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan
industrial sebagai sengketa hak. Melalui prinsip pengalihan perlindungan
tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak konstitusional pekerja
outsourcing dapat dihindari.
Untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan
pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang
sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan
pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut
menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja
pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat
(4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 13/2003;
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
menurut Mahkamah Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat (3), serta ayat (4) UU 13/2003 tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2)
46
huruf b UU 13/2003 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945
(conditionally unconstitutional). Dengan demikian permohonan Pemohon
beralasan menurut hukum untuk sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) serta
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5076).
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
• Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam
47
perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan
hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi
pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap
ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
• Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang
dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD. selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar,
masing-masing sebagai Anggota pada hari Kamis tanggal lima bulan Januari tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal tujuh belas bulan Januari tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami
Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan
Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria
Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Eddy Purwanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh
Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili.
48
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. td
Achmad Sodiki
ttd.
Hamdan Zoelva
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Harjono ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
M. Akil Mochtar
PANITERA PENGGANTI,
ttd. Eddy Purwanto