perlindungan hukum pekerja outsourcing pasca...

127
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : DEFI SATIATIKA 1110048000029 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Upload: vuonghuong

Post on 17-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

DEFI SATIATIKA

1110048000029

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

i

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Defi Satiatika

NIM. 1110048000029

Pembimbing

Prof. Dr. Abdullah Sulaiman S.H. M.H.

NIP. 19591231 198609 1003

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 3: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011” telah

diajukan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Mei

2014, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 7 Mei 2014

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. H. JM Muslimin, M.A.

NIP.196808121999031014

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. ( ..….……… )

NIP.195510151979031002

2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( …………… )

NIP.196509081995031001

3. Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( …………… )

NIP.195912311986091003

4. Penguji I : Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. ( …………… )

5. Penguji II : H. M. Yasir, S.H., M.H. ( …………… )

NIP. 19447091966041003

Page 4: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil dari jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 April 2014

Defi Satiatika

Page 5: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

iv

ABSTRAK

DEFI SATIATIKA. NIM 1110048000029. PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA

OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-

IX/2011. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2013 M.

viii + 67 Halaman + 24 lampiran.

Praktik outsourcing di Indonesia telah mengakibatkan pekerja outsourcing tidak

menerima hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, pekerja outsourcing juga tidak

diberikan jaminan perlindungan atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Adanya

pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 yang

dinyatakan inkonstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi memutuskan

mengabulkan sebagian atas pasal-pasal yang diajukan, yaitu hanya Pasal 65 ayat (7)

dan Pasal 66 ayat (2) b yang memuat mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT). Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan

perundang-undangan bidang ketenagakerjaan jenis pekerjaan outsourcing dan

perlindungan hukum yang diterapkan pada pekerja outsourcing pasca putusan MK

No.27/PUU-IX/2011. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis

normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat

pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan dalam hal ini putusan

MK No.27/PUU-IX/2011. Putusan Mahkamah Konstitusi, berdampak pada adanya

perubahan terhadap pelaksanaan outsourcing dalam rangka melindungi hak-hak

pekerja outsourcing dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Outsourcing, Prinsip Pengalihan Perlindungan

Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2013.

Page 6: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tiada daya

dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu tercurah

kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para

pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-

Nya. Atas rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011”.

Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tentu tidaklah mudah. Namun,

segala hambatan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.

H. JM. Muslimin, M.A.

2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey,

S.H., M.A. dan Drs. Abu Tamrin S.H., M.Hum.

3. Pembimbing Skripsi Penulis, Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.

terimakasih atas waktu bimbingan dan saran yang diberikan.

4. Penguji Skripsi Penulis, Bapak Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. dan Bapak H.

M. Yasir, S.H., M.H. terimakasih atas kritik dan sarannya sehingga penulis dapat

memperbaiki skripsinya.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah mengajarkan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

Page 7: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

vi

6. Ayah Daniel Efendi dan Ibu Sartiah yang senantiasa mendidik, melimpahkan

kasih sayang, doa yang tiada henti, dan motivasi sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Kedua kakak tercinta Kak Deny dan Kak Dina,

terimakasih atas segalanya yang telah dibagi ke adik bungsunya, cerita

pengalaman, pengetahuan, perjuangan tanpa henti dalam meraih cita-cita.

7. Ninis, Ajeng, Abila, Zia, Ocha, penyemangat paling mujarab. Teman-teman

seperjuangan Hukum Bisnis, Liza, Atiek, Apri, Fika, Nourma, Cantika, dan

seluruh teman-teman di UIN yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kartika

Puspitasari S.H., yaitu sahabat yang „pembimbing‟ skripsi penulis.

8. Husni Mubarok, my study survival motivator.

9. Dinar Deniz, Danesh Dayan, Dharanindra Demir, dan Disa Ghadiza, yaitu balita

ajaib keponakan-keponakan penulis.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT, penulis

hanya dapat menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya doa lah

yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan

dengan kasih sayang-Nya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada penulis

khususnya dan kepada pembaca umumnya.. amin.

Jakarta, 22 April 2014

Defi Satiatika

Page 8: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii

ABSTRAK .............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6

E. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ......................................................... 8

F. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................................ 9

G. Metode Penelitian .............................................................................. 11

H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14

BAB II : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN

JENIS PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA ........................... 16

A. Pengertian Outsourcing ....................................................................... 16

B. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur Outsourcing di

Indonesia ............................................................................................. 18

C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia ................................................ 20

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK-HAK PEKERJA

OUTSOURCING ...................................................................................... 27

A. Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing ................................ 27

B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing .................. 28

Page 9: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

viii

C. Hak-Hak Bagi Pekerja ...................................................................... 29

D. Peran Pemerintah Dalam Melindungi Hak-hak Pekerja

Outsourcing ....................................................................................... 36

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011 ....... 40

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 ...................... 40

B. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 Dengan Menerapkan

Prinsip Pengalihan Perlindungan ....................................................... 52

C. Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing .. 58

BAB V : PENUTUP ................................................................................................ 61

A. Kesimpulan ........................................................................................ 61

B. Saran .................................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 64

LAMPIRAN ..............................................................................................................

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 27/PUU-IX/2011 ..............................

Page 10: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila kelima

menyebutkan bahwa, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal ini

bermakna bahwa keadilan untuk rakyat adalah lebih penting dibandingkan dengan

keadilan kelompok tertentu.1 Keadilan harus dijunjung tinggi dengan tetap

memegang teguh prinsip keadilan demi terwujudnya masyarakat sejahtera, adil,

makmur, dan merata baik secara materil maupun spiritual.2

Keadilan harus dijunjung tinggi misalnya dalam hal pemenuhan hak dan

kewajiban pekerja/buruh. Pekerja/buruh yang telah memenuhi kewajiban dan

tanggung jawabnya, berhak untuk mendapatkan hak-haknya, karena

pekerja/buruh merupakan salah satu bagian dari rakyat Indonesia yang hak-

haknya harus dilindungi. Perlindungan pekerja/buruh itu juga harus ditingkatkan,

baik mengenai upah, kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia.3

Berbicara mengenai hak-hak bagi pekerja/buruh, tidak terlepas dari

permasalahan sistem alih daya dalam ketenagakerjaan. Alih daya (bahasa Inggris :

outsourcing atau contracting out) adalah pendelegasian operasi dan manajemen

1 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 14. 2 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi

IX , No.1 (Maret 2012) : h.10. 3 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 15.

Page 11: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

2

harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa alih

daya).4

Praktik alih daya (yang untuk selanjutnya disebut outsourcing) sebenarnya

sudah ada sebelum pemerintah mengundangkan Undang-Undang

Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 (yang untuk selanjutnya disebut Undang-

Undang Ketenagakerjaan). Setelah beberapa periode dipakai di Indonesia,

outsourcing diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh.5

Kerugian itu misalnya, upah pekerja/buruh menjadi lebih rendah, tidak

ada jaminan sosial, meskipun ada jaminan sosial tersebut hanya sebatas minimal,

tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karier.6 Hal

ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan pekerja/buruh untuk

menuntut hak-haknya.

Bentuk reaksi pekerja/buruh tersebut misalnya, perjuangan kaum buruh

dalam menghapuskan sistem outsourcing melalui permohonan pengujian

konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ke

Mahkamah Konstitusi (yang untuk selanjutnya disebut MK). Permohonan

diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pengukur Meteran

Listrik (yang untuk selanjutnya disebut AP2ML) pada 21 Maret 2011.7

4 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),

h. 52. 5 Juanda Pangaribuan, “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses pada

tanggal 28 Oktober 2013 dari http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4b372fe9227/legalitas-

ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh--juanda-pangaribuan/ 6 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 219.

7 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 1.

Page 12: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

3

Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65,

dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan

dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945. Permohonan itu didasarkan pada argumentasi bahwa,

ketentuan kontrak outsourcing pada pasal 59, 64, 65, 66 Undang-Undang

Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk efisiensi dengan upah murah justru

berakibat pada hilangnya keamanan kerja bagi para pekerja. Status sebagai buruh

kontrak juga menghilangkan hak-hak tunjangan kerja dan jaminan sosial yang

dinikmati pekerja tetap. 8

Menjawab permohonan tersebut, MK berpendapat bahwa syarat-syarat

dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing berdasarkan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang untuk selanjutnya disebut PKWT) dalam

Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah wajar dan cukup

memberikan perlindungan kerja.9 Selanjutnya, mengenai Pasal 65 ayat (7) dan

Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan, MK berpendapat

bahwa harus ada jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja

antara pekerja dan perusahaan outsourcing.

Jaminan kepastian hukum itu tidak cukup hanya dengan PKWT saja,

maka MK memberikan solusi dengan memutuskan 2 (dua) model perlindungan

dan jaminan hak bagi pekerja. Pertama, menyaratkan agar perjanjian kerja tidak

8 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 35.

9 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, h. 21.

Page 13: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

4

berbentuk PKWT, melainkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (yang untuk

selanjutnya disebut PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan

perlindungan bagi pekerja.10

Melalui prinsip pengalihan tindakan perlindungan

tersebut, pekerja outsourcing dapat terhindar dari hilangnya hak-hak

konstitusional yang mereka miliki.

MK memutuskan bahwa jika dua model tersebut diterapkan dalam PKWT

outsourcing, maka Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU

Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan

hukum mengikat.11

Prinsip pengalihan tindakan perlindungan yang lahir dari

putusan MK No.27/PUU-IX/2011 tersebut merupakan hasil perjuangan kaum

buruh dalam menghapus sistem outsourcing. Putusan MK menjadi justifikasi

jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja antara pekerja dan

perusahaan outsourcing.12

Untuk menciptakan pelaksanaan outsourcing yang diarahkan untuk

menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan,

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (yang untuk selanjutnya disebut

Kemenakertrans) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan

Transmigrasi No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (yang untuk selanjutnya disebut

10

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44. 11 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 46-47. 12 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, h. 22.

Page 14: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

5

Permenakertrans No.19 Tahun 2012) yang memuat aturan persyaratan, perjanjian,

dan pengawasan outsourcing.

Lahirnya prinsip pengalihan tindakan perlindungan hasil uji

konstitusionalitas Undang-Undang Ketenagakerjaan dan terbitnya

Permenakertrans No.19 Tahun 2012 merupakan hal yang penting untuk dikaji,

agar hasil kajian penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam

perjanjian outsourcing. Selain itu, agar pihak-pihak terkait memahami putusan

MK No.27/PUU-IX/2011 dan implementasi prinsip pengalihan tindakan

perlindungan bagi pekerja/buruh sehingga terpenuhinya seluruh hak-hak

pekerja/buruh outsourcing di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik

untuk mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam bentuk

skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011”

B. Identifikasi Masalah

Sebelum merumuskan masalah, terlebih dahulu penulis

mengidentifikasi masalah yang terjadi dalam bidang ketenagakerjaan jenis

pekerjaan outsourcing di Indonesia

1. Hak-hak buruh outsourcing belum dilindungi peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

2. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam outsourcing tidak memberikan

jaminan kepastia karir bagi pekerja outsourcing.

Page 15: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

6

3. Pro dan kontra sistem outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011

hasil judicial review Pasal 59, 64, 65, dan 66 Undang-Undang

Ketenagakerjaan.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh sangatlah

luas. Agar pembahasan permasalahan karya ilmiah ini tidak melebar dan lebih

fokus pada masalah, maka penulis membatasi karya ilmiah ini hanya kepada

perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-

IX/2011 yang ditinjau dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan

Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan

beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain sebagai

berikut :

a. Bagaimana pengaturan jenis pekerjaan outsourcing menurut perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia ?

b. Apa saja jenis perlindungan pada jenis pekerjaan outsourcing ?

c. Bagaimana perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pasca putusan

MK. No.27/PUU-IX/2011?

Page 16: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini antara lain

sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaa pada

jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia.

b. Untuk mengetahui perlindungan pada jenis pekerjaan outsourcing.

c. Untuk mengetahui perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing

berdasarkan pasca putusan MK. No.27/PUU-IX/2011?

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua,

yaitu :

a. Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan bahan

masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum

Ketenagakerjaan khususnya bidang outsourcing.

b. Manfaat Praktis :

1) Bagi Akademis

Dapat memberikan informasi yang jelas tentang prinsip pengalihan

tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh dan implementasinya pada

sistem outsourcing serta hambatan dalam pelaksanaanya.

2) Bagi Masyarakat Umum

Page 17: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

8

Penulisan ini juga bermanfaat bagi berbagai pihak terkait yaitu

meliputi masyarakat luas, perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan

penyedia jasa pekerja dan buruh/pekerja yang bersangkutan agar lebih

memahami prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi

pekerja/buruh dan dapat melaksanakannya sesuai dengan ketentuan.

3) Bagi Pemerintah

Dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk agar dapat membuat

kebijakan yang lebih tegas dan jelas dalam melindungi hak-hak

pekerja outsourcing di Indonesia.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam studi pendahuluan ini penulis mencoba mereview skripsi yang

membahas sistem alih daya (outsourcing), yaitu sebagai beriukut :

Judul Skripsi : “Perlindungan Buruh Outsourcing Menurut UU

Ketenagakerjaan dan Hukum Islam”

Penulis : Gilang Henris Pratama

Program Studi : Perbandingan Mahzab Hukum

Fakultas : Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun : 2011

Skripsi tersebut di atas secara garis besar membahas perbedaan

perlindungan buruh outsourcing menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan

dengan Hukum Islam dan belum mengulas putusan Mahkamah Konstitusi

No.27/PUU-IX/2011 secara detil khususnya prinsip pengalihan tindakan

Page 18: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

9

perlindungan bagi pekerja/buruh dan penerapan prinsip pengalihan tindakan

perlindungan bagi pekerja/buruh.

Sedangkan, penulis disini akan mengulas secara detil mengenai

perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja outsourcing pasca putusan

MK No.27/PUU-IX/2011.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Teori “Prima Facie” menguraikan bahwa, pembenaran terhadap

pembebasan para kaum buruh dari pengaturan kerja waktu tertentu dapat

dilakukan, karena pengaturan kerja waktu tertentu merugikan kaum buruh

baik sebelum hingga setelah melaksanakan tugas. Pengaturan kerja waktu

tertentu yang melahirkan pelanggaran hukum bukan dikarenakan kesalahan

atau kesengajaan buruh.13

Teori “Bargaining” menguraikan bahwa tingkat upah dipasar tenaga

kerja ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari pekerja dan

majikan. Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Jika

pekerja meningkatkan ekonominya dengan cara bertindak bersama-sama

13

Abdullah Sulaiman, “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia : Pra

dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam Studium General Prodi Ilmu

Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei

2003 (Ciputat : 2013), h.2.

Page 19: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

10

melalui serikat pekerjanya sebagai bargaining agent, maka mereka dapat

meningkatkan upah mereka.14

2. Kerangka Konseptual

Pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja/buruh

outsourcing menuntut adanya kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan

perlindungan pekerja/buruh dan outsourcing di Indonesia. Pasal-pasal dalam

UUD 1945 yang menyebutkan adanya jaminan perlindungan bagi

pekerja/buruh yaitu :

1) Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum.

2) Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja”

Perlindungan hukum pada pekerja juga dinyatakan pada Pasal 4 huruf

c Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “tujuan pembangun

ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam

mewujudkan kesejahteraan”. Selanjutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan

terdapat pada Bab X dalam Pasal 67-101.

14

Justine T Sirait, Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi,(Jakarta

:Grasindo, 2004), h.231.

Page 20: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

11

Jaminan perlindungan tersebut diperkuat lagi semenjak lahirnya

Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, dalam putusan ini menyebutkan dua model

outsourcing. Pertama, dengan menyaratkan agar perjanjian kerja antara

pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak

berbentuk PKWT, tetapi berbentuk PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip

pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan

yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Prinsip pengalihan perlindungan

atau Transfer of Undertaking Protection of Employment sebelumnya adalah

prinsip yang diterapkan pada suatu perusahaan yang diambil alih oleh

perusahaan lain, sehingga hak-hak pekerja/buruh tetap terjamin.15

Outsourcing adalah “Pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan

dan/atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa

outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi atau pun sebuah unit dalam

perusahaan”.16

Ketentuan mengenai outsourcing diatur dalam pasal 64 Undang-

Undang Ketenagakerjaan yaitu, perusahaan dapat menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusaan lainnya melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara

tertulis Kemudian tata aturan pelaksanaannya diatur dalam Permenakertrans

No.19 Tahun 2012.

15 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44. 16

Komang Priambada dan Agus Eka Maharata, Outsourcing versus Serikat Pekerja (An

Introduction to Outsourcing), (Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008), h. 12.

Page 21: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

12

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini

adalah penelitian yurisdis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu

pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan

keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau

juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.17

2. Pendekatan Masalah

Dalam studi hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual

approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-

aturan yang membahas mengenai prinsip pengalihan tindakan perlindungan

bagi pekerja/buruh. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-

konsep perlindungan hukum bagi pekerja/buruh.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer

dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama,

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam

Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.

Page 22: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

13

yakni masyarakat melalui penelitian.18

Sedangkan data sekunder terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas.19

Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini,

bahan hukum primer yang digunakan adalah yang berhubungan dengan

outsourcing dan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi

pekerja/buruh.

b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk

skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum (dalam bentuk

online juga termasuk).20

Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah

berupa buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Ketenagakerjaan.

c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang

sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus bahasa

dan website resmi dalam internet.

4. Teknik Pengolahan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara studi

kepustakaan. Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder

18

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, ( Jakarta : UI Press, 2008 ), h.

12. 19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2005 ), h. 141. 20

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.155.

Page 23: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

14

dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi

menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi

kepustakaan, disajikan dalam penulisan yang telah dirumuskan. Bahwa cara

pengolahan bahan hukum dilakukan dengan dianalisis yang nantinya

menghasilkan sebuah kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat

umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2012 Untuk mempermudah penyusunan, penulis membagi skripsi ini menjadi

beberapa bab dan setiap bab terdiri dari sub bab, dengan sistematika sebagai

berikut :

BAB I : Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Tinjauan dan Kajian Terdahulu, Kerangka

Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum tentang Pengaturan Perundang-undangan

Ketenagakerjaan pada jenis pekerjaan outsourcing di

Indonesia, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu : Pengertian

Outsourcing, Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur

Page 24: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

15

Outsourcing di Indonesia, dan Pengaturan Outsourcing di

Indonesia.

BAB III : Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum dan

Hak-hak Pekerja Outsourcing, yang terdiri dari empat sub bab

yaitu : Perlindungan Bagi Pekerja Outsourcing, Tujuan

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing, Hak-hak Bagi

Pekerja dan Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-hak

Pekerja Outsourcing.

BAB IV : Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum Bagi

Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstutsi

No.27/PUU-IX/2011, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu :

Analisis Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Perlindungan

Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011

Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlidungan dan

Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja

Outsourcing di Indonesia.

BAB V : Kesimpulan dan saran merupakan bab penutup yang berisi

kesimpulan yang ditarik dari uraian penelitian dan bertalian

erat dengan pokok masalah dan saran yang disampaikan

penulis dari penelitian yang sudah dilakukan.

Page 25: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

16

BAB II

PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN JENIS

PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA

A. Pengertian Outsourcing

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing dipandang sebagai

tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan

keputusannya kepada pihak lain (outside provider), di mana tindakan ini terikat

dalam suatu kontrak kerja sama.1

Dapat juga dikatakan outsourcing sebagai penyerahan kegiatan

perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang

tertuang dalam kontrak perjanjian. Penyerahan kegiatan ini dapat meliputi bagian

produksi, beserta tenaga kerjanya, fasilitas, peralatan, teknologi dan aset lain serta

pengambilan keputusan dalam kegiatan perusahaan. Penyerahan kegiatan ini

kepada pihak lain merupakan hasil dari keputusan internal perusahaan yang

bertujuan meningkatkan kinerja agar dapat terus kompetitif dalam menghadapi

perkembangan ekonomi dan teknologi global.

Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai

pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan

oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.

1 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, (Jakarta : Pohon Cahaya, 2013), h.

17.

Page 26: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

17

Perusahaan penyedia tenaga kerja secara khusus mempersiapkan, menyediakan,

mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain.2

Untuk mempermudah penjelasan menganai istilah outsourcing, penulis

akan memberikan ilustrasi sebagai berikut3 : A diangkat sebagai karyawan di

perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X

dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk

ditempatkan di Perusahaan Y, disitu dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah

perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi

kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka

perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa

perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap

penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahaan

X.

Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa dalam sistem outsourcing

terdapat dua perjanjian yaitu, yaitu :

1. Perjanjian kerja antara A denga perusahaan X.

2. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.

Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A sehari-

hari bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahan X. Oleh

karena itu, dalam sistem outsourcing ini pemenuhan kebutuhan hak-hak A, seperti

2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo Persada,

2012), h. 187. 3 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 217-218.

Page 27: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

18

perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang

timbul tetap menjadi tanggung jawab perusahaan Y.

Kecenderungan suatu perusahaan untuk memperkerjakan karyawan

dengan sistem outsourcing , pada umumnya dilatarbelakangi oleh strategi

perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Dengan menggunakan

sistem outsourcing tersebut, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat

pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan

yang bersangkutan.4

B. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur Outsourcing di Indonesia

Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya

berusumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang

Ketenagakerjaan, yang menyatakan adanya suatu perjanjian kerja yang dibuat

antara pengusaha dengan tenaga kerja, di mana perusahaan tersebut dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui

perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara

tertulis. Dalam praktiknya ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur

dalam peraturan tersebut akhirnya memunculkan istilah outsourcing (dalam hal

ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar

perusahaan). 5

4 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 217.

5 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h.217.

Page 28: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

19

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 b diatur adanya

pengakuan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b

tersebut outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga

pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian di mana pemborong mengikatkan

diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan

dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain memborongkan pekerjaan

kepsda pihak pemborong dengan bayaran tertentu.6

Pada intinya dari kedua peraturan di atas menyatakan bahwa outsourcing

boleh diterapkan di Indonesia dengan pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan

yang berlaku dan dapat memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing

yang dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan pekerja.

Penerapan outsourcing di Indonesia hingga saat ini memang masih

merupakan hal yang tidak disukai tapi masih dibutuhkan bagi masyarakat

Indonesia sehingga sering timbul pro dan kontra dari masyarakat. Tentunya, jika

dilihat dari maraknya unjuk rasa yang dilakukan para pekerja dapat disimpulkan

pihak pro-outsourcing adalah para pengusaha sedangkan pihak kontra-

outsourcing adalah para pekerja/buruh. Unjuk rasa dari serikat pekerja mayoritas

menyampaikan kepada pemerintah untuk menghapuskan outsourcing dari sistem

kerja di Indonesia dan ada juga pekerja outsourcing yang menuntut untuk

dijadikan pekerja tetap di suatu perusahaan.7

6 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.20.

7 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.33-34.

Page 29: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

20

C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia

Dasar hukum outsourcing terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang

Ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan

atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Perlu diketahui

bahwa istilah perusahaan lainnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sama

dengan perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dalam hal

ini adalah perusahaan outsourcing.

Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan juga diatur dalam Pasal

1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut

belum diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan

maupun penyedia jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu, Undang-Undang

Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan

kepada perusahaan lain. Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan

permohonan judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan

Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

Dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis,

dinamis dan berkeadilan, Kemenakertrans menerbitkan Permenakertrans No.19

Tahun 2012. Kemudian, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012,

maka Kemenakertrans menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang

Page 30: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

21

Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Semenjak

diundangkannya, pelaksanaan outsourcing mengacu pada Permenakertrans No. 19

Tahun 2012 tersebut.

1. Pihak-Pihak Terkait Dalam Outsourcing

Ketentuan lain mengenai outsourcing terdapat pada Pasal 65 dan 66

Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat

diketahui pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcing dan dijelaskan

lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

Ada 3 (tiga) pihak yang terkait dalam praktik outsourcing yaitu

perusahaan pemberi kerja, perusahaan yang melaksanakan sebagian

pekerjaan, dan pekerja. Adapun penjelasan dari pihak-pihak yang terkait

dalam praktik outsourcing yaitu :

a. Perusahaan Pemberi Kerja

Menurut Pasal 1 Angka 1 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,

perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan

sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan penerima

pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

b. Perusahaan Yang Melaksanakan Sebagian Pekerjaan :

1) Perusahaan Penerima Pemborongan

Menurut Pasal 1 Angka 2 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 ,

perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk

Page 31: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

22

badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan

sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.

2) Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja

Menurut Pasal 1 Angka 3 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,

perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan yang berbentuk

badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat yaitu

berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan untuk

melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.

c. Pekerja

Pengertian pekerja/buruh dalam konteks praktik outsourcing diatur

dalam Pasal 1 Angka 6 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu, setiap

orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini

karena ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk

barang.8

2. Hubungan Kerja Pada Perjanjian Kerja Outsourcing

a. Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Adanya perjanjian kerja yang

dibuat merupakan ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan

8 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.45.

Page 32: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

23

lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan

hubungan kerja.9

Hubungan kerja yang terjadi dalam praktik outsourcing ini berbeda

dengan hubungan kerja pada umumnya, karena dalam outsourcing

terdapat hubungan kerja segi tiga, dikatakan bersegi tiga karena terdapat 3

(tiga) pihak yang terlibat dalam hubungan kerja outsourcing, yaitu pihak

perusahaan pemberi pekerjaan, pihak perusahaan yang melaksanakan

sebagaian pekerjaan (Perusahaan Outsourcing) dan terakhir adalah pihak

pekerja/buruh. Maka hubungan kerja yang terjalin diantara ketiganya

adalah hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan

perusahaan outsourcing, dan hubungan kerja antara perusahaan

outsourcing dengan pekerja/buruh.

Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan

pekerja/buruh diatur dalam Pasal 65 ayat (4), (6) dan (7) Undang-Undang

Ketenagakerjaan, berikut adalah bunyi ayat pada pasal tersebut :

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh di

perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan

kerja dan syarat-syarat kerja di perusahaan pemberi pekerjaan, atau

sesuai dengan perundang-undangan.

9 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h.45.

Page 33: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

24

(6) Hubungan kerja pada outsourcing diatur dalam perjanjian kerja

secara tertulis antara perusahaan lain dengan karyawan yang

dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat

didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan

perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang sama

Pasal 59.

Selain itu hubungan kerja pada pekerjaan outsourcing juga diatur

dalam Pasal 29 ayat (1) Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Bunyi Pasal

29 ayat (1) adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh dengan pekerja/buruh dapat didasarkan atas perjanjian kerja

waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu

(PKWT).

b. Perjanjian Kerja

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,

hubungan kerja dalam praktik outsourcing dapat didasarkan atas PKWTT

dan PKWT. PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap,

jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang,

maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat dipersyaratkan adanya masa

percobaan kerja maksimal tiga bulan. Sedangkan PKWT merupakan

Page 34: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

25

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan

tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.

Perjanjian kerja yang lazim digunakan pada perusahaan outsourcing

adalah PKWT. Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan

outsourcing karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang

berubah-ubah.10

c. Jenis Pekerjaan Yang Dapat Diserahkan

Pada dasarnya pekerjaan yang bisa diserahkan (dioutsource) adalah

pekerjaan penunjang (non core) dan bukan pekerjaan utama (core). Hal

tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang

Ketenagakerjaan yang berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk

melakasanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung

dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak beruhubungan langsung dengan proses produksi.

Kemudian ketentuan lain yang mengatur jenis pekerjaan yang dapat

diserahkan yaitu Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo.

Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pasal tersebut

menyatakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

10

Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h. 27.

Page 35: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

26

(a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

(b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan;

(c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

(d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan juga dijelaskan lebih lanjut

pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu Pasal 17 ayat :

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang

tidak berhubungan langsn dengan proses produksi.

(3) Kegiatan jasa penunjang yang dapat diserahkan pada perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh meliputi:

1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);

2. Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering);

3. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);

4. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan

5. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Page 36: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

27

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK-HAK PEKERJA OUTSOURCING

A. Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing

Dalam Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga

dijelaskan mengenai perlindungan kerja pada pekerjaan outsourcing sekurang-

kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku.

Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan

tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi

manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku

dalam perusahaan. Dengan demikian, secara teoritis dikenal ada tiga jenis

perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut:

1) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha

kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh

mengenyam dan mengambangkan peri kehidupannya sebagai manusia pada

umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.

Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.

2) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya

kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang

dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.

Page 37: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

28

3) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk meberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang

cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya,

termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar

kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jamian sosial.1

B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi pekerja Outsourcing :

Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja outsourcing dalam

perusahaan sekurang-kurangnya sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi

kerja tersebut. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap

pekerja outsourcing maupun pekerja dalam perusahaan pemberi kerja karena pada

hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada

lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah.2

Perlindungan hukum pekerja outsourcing diterapkan untuk melindungi

para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak pemberi

kerja/pengusaha. Dengan menegakkan perlindungan hukum, hak-hak pekerja

outsourcing tetap terjamin pada saat masa kerja dan ketika perusahaan pemberi

kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa

pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama karena habis masa

kontrak dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang

baru.

1 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), h. 86.

2 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h.221.

Page 38: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

29

Dengan demikian, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk

dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus

melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan

yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan,

kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena

bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.

C. Hak-Hak Bagi Pekerja

Hak adalah sesuatu yang harus diberikan seseorang sebagai akibat dari

kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi

baik berupa benda atau jasa yang dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atas

statusnya.3 Hak bagi pekerja pada dasarnya adalah salah satu hak asasi manusia.

Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang

menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan

lain-lain. Setiap pekerja memiliki hak-hak yang jaminan perlindungannya

tercantum dalam berbagai aturan hukum nasional dan internasional, yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu pada Pasal 28 H

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan pula bahwa setiap orang

3 Darwin Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000),

h.22.

Page 39: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

30

berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara

utuh sebagai manusia yang bermartabat. Sehingga kedua pasal pada konstitusi

kita mencerminkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan

jaminan sosial kepada seluruh warga negaranya.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :

a. Hak memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk

memperoleh pekerjaan (Pasal 5);

b. Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari

pengusaha (Pasal 6);

c. Hak memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan

kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan melalui

pelatihan kerja (Pasal 11);

d. Hak memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja

sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3));

e. Hak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti

pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja

pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat

kerja (Pasal 18 ayat (1));

f. Hak untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan

memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal

31);

Page 40: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

31

g. Hak pekerja/buruh perempuan untuk memperoleh istirahat selama satu

setengah bulan sebelum saatnya melahirkan dan satu setengah bulan

sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan

(Pasal 82 ayat (1));

h. Hak pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan

untuk memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat

keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2));

i. Hak untuk menggunakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 79 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 dengan

mendapat upah penuh (Pasal 84);

j. Hak untuk memperoleh perlindungan atas :

1) Keselamatan kerja;

2) Moral dan kesusilaan; dan

3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta

nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat (1));

k. Hak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1));

l. Hak memperoleh jaminan social tenaga kerja (Pasal 99 ayat (1));

m. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh (Pasal

104 ayat (1));

n. Hak untuk mengadakan mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib

dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);

Page 41: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

32

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja :

a. Hak atas jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 ayat (2));

b. Hak menerima jaminan kecelakaan kerja bagi pekerja/buruh yang

tertimpa kecelakaan kerja (Pasal 8 ayat (1));

c. Hak untuk menerima jaminan kematian yang diberikan kepada keluarga

pekerja/buruh, bila pekerja/buruh meninggal dunia bukan akibat

kecelakaan kerja (Pasal 12 ayat (1));

d. Hak untuk memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan bagi

pekerja/buruh berikut dengan suami atau isteri dan anak (Pasal 16 ayat

(1));

e. Hak atas jaminan hari tua karena faktor usia pensiun 55 (lima puluh

lima) tahun, cacat tetap total atau beberapa alasan lainnya (Pasal 14 dan

Pasal 15);

4. Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012 :

a. Hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;

b. Hak atas jaminan sosial;

c. Hak atas tunjangan hari raya;

d. Hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;

e. Hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu

tertentu berakhir bukan karenan pekerja;

Page 42: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

33

f. Hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa

kerja yang dilalui; dan

g. Hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

5. Hak-hak pekerja/buruh outsourcing juga tertuang dalam perjanjian

internasional yaitu Pasal 22-25 Universal Declaration of Human Right

(UDHR)

a. Article 22

Everyone, as a member of society, has the right to social security and

is entitled to realization, through national effort and international co-

operation and in accordance with the organization and resources of

each State, of the economic, social and cultural rights indispensable

for his dignity and the free development of his personality.

b. Article 23

1. Everyone has the right to work, to free choice of employment, to

just and favorable conditions of work and to protection against

unemployment.

2. Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay

for equal work.

3. Everyone who works has the right to just and favorable

remuneration ensuring for himself and his family an existence

Page 43: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

34

worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other

means of social protection.

4. Everyone has the right to form and to join trade unions for the

protection of his interests.

c. Article 24

Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable

limitation of working hours and periodic holidays with pay.

d. Article 25

1. Everyone has the right to a standard of living adequate for the

health and well-being of himself and of his family, including food,

clothing, housing and medical care and necessary social services,

and the right to security in the event of unemployment, sickness,

disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in

circumstances beyond his control.

2. Motherhood and childhood are entitled to special care and

assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall

enjoy the same social protection.

6. International Covenant On Economic And Social Cultural Rights (ICESCR)

a. Article 6

The States Parties to the present Covenant recognize the right to work,

which includes the right of everyone to the opportunity to gain his

Page 44: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

35

living by work which he freely chooses or accepts, and will take

appropriate steps to safeguard this right.

b. Article 7

The States Parties to the present Covenant recognize the right of

everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work

which ensure, in particular:

a) Remuneration which provides all workers, as a minimum, with:

(1) Fair wages and equal remuneration for work of equal

value without distinction of any kind, in particular women

being guaranteed conditions of work not inferior to those

enjoyed by men, with equal pay for equal work;

(2) A decent living for themselves and their families in

accordance with the provisions of the present Covenant;

b) Safe and healthy working conditions;

c) Equal opportunity for everyone to be promoted in his employment

to an appropriate higher level, subject to no considerations other

than those of seniority and competence;

d) Rest, leisure and reasonable limitation of working hours and

periodic holidays with pay, as well as remuneration for public

holidays.

Dapat dilihat bahwa pengaturan tentang jaminan perlindungan bagi

pekerja/buruh telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan

Page 45: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

36

Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jaminan perlindungan hukum dan pemberian

hak-hak bagi pekerja outsourcing telah juga diatur dalam Permenakertrans No,19

Tahun 2012.

Kemudian konvensi internasional ICESCR memuat ketentuan HAM di

bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara lebih luas dan komprehensif

dibandingkan UDHR. Hak-hak yang diatur di ICESCR adalah hak atas pekerjaan,

hak atas kondisi pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, hak untuk membentuk

dan bergabung dengan serikat pekerja, hak atas jaminan sosial, hak atas standar

hidup yang layak, hak untuk menikmati kesehatan fisik dan mental, hak atas

pendidikan, dan hak untuk ikutserta dalam pendidikan budaya.4

Maka, secara yurudis sudah terdapat kepastian hukum atas perlindungan

hak-hak pekerja, termasuk pekerja/buruh outsourcing.

D. Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-Hak Pekerja Outsourcing

Campur tangan negara (pemerintah) dalam melindungi hak-hak pekerja

outsourcing merupakan faktor yang sangat penting karena dengan adanya campur

tangan negara maka hak-hak bagi pekerja outsourcing terjamin. Namun

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya melindungi buruh secara

yuridis dan peraturan itu belum cukup melindungi hak-hak pekerja outsourcing

bila dalam pelaksanaanya tidak diawasi oleh seorang ahli yang harus

4 Kartika Puspitasari,”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia di

Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional, Piala Soediman Kartohadiprodjo,

Universitas Katolik Parahyangan ,2012), h.82-85.

Page 46: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

37

mengunjungi tempat kerja pekerja outsourcing pada waktu-waktu tertentu. Ada

tiga tugas pokok pengawas ketenagakerjaan yaitu5 :

1. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah

ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan sudah dilaksanakan,

dan jika tidak, mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk

menjamin pelaksanaanya;

2. Membantu baik pekerja maupun pengusaha dengan jalan memberikan

penjelasan-penjalasan teknik dan nasihat yang mereka perlukan agar

mereka memahami apakah yang diminatkan peraturan dan

bagaimanakah melakasanakannya;

3. Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan dan mengumpulkan bahan-

bahan yang diperlukan untuk penyusunan peraturan perundangan

ketenagakerjaan dan penetapan pemerintah.

Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu cara untuk menjamin

terlaksananya peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas

ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin

pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Menurut

Pasal 181 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan

dalam melaksanakan tugasnya wajib :

5 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, h. 49.

Page 47: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

38

1. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut

dirahasiakan;

2. Tidak menyalahgunakan kewenangannya.6

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/UIII/2013 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pengawasan terhadap

pelaksanaan outsourcing dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan dengan

tahapan sebagai berikut :

1. Pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan ke perusahaan;

2. Dalam hal ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lain, maka pengawas ketenagakerjaan

menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahakan perusahaan untuk

melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam

batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan

kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya

melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Selain itu pemerintah dalam menetapkan hukum dalam rangka melindungi

hak-hak pekerja outsourcing hendaknya dengan adil karena Alquran menyatakan

bahwa apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkan dengan

adil : Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Annisa (58):4

6 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, h.50

Page 48: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

39

Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

Melihat”.

Maka pemerintah sebagai pengawas ketenagakerjaan diharuskan

melindungi hak-hak pekerja outsourcing dengan menjaminnya dalam peraturan

yang dibuat dengan adil, karena Allah telah memberi pengajaran yang sebaik-

baiknya dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Page 49: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

40

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011

1. Pengujian Materil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan

Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah

Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal

10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat

mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa

perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat

sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Page 50: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

41

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang,

badan hukum publik atau privat atau lembaga negara.

Pada tanggal 21 Maret 2011, Didik Supriadi mengajukan permohonan

uji materi Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar

1945. Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran

Listrik Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang merupakan

Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum, yang bergerak dan didirikan

atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan

keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi

buruh/pekerja sebagai pihak yang lemah.

Pemohon berinisiatif mengajukan permohonan judicial review atas

kasus pekerja outsourcing yang dirugikan atas tidak terpenuhinya hak-hak dan

tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan

mereka. Pemohon juga bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat

Aliansi Petugas Penghitung Meteran Listrik (yang untuk selanjutnya disebut

AP2ML) mengajukan permohonan judicial review pasal-pasal yang berkaitan

dengan ketentuan outsourcing yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66

dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun pasal-pasal tersebut

selengkapnya menyatakan:

Pasal 59

Page 51: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

42

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menuntut jenis dan sifat atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu

yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan

baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk

pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau

diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu

tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya

boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1

(satu) tahun.

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu

teretentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja

waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara

tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

Page 52: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

43

(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan

setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari

berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan

perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali

dan paling lama 2 (dua) tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5),

dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak

tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 64

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan

kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan

atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat

secara tertulis

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain

sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

Page 53: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

44

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada

perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-

kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja

pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan

perundang-udangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Kepetusan

Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelasanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara

perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat

didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian

Page 54: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

45

kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaskud dalam pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat

(3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih

menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi

pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja

pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan

kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak

boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan

pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses

produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang

tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi

harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh;

Page 55: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

46

b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja

sebagaimana dimaksud huruf a adalah perjanjian kerja untuk

waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak

tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh

kedua belah pihak.

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan

perusahaan lain yang bertindank sebagai perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat

pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)

huruf a, huruf b, dan huruf c serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi

hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perushaan

penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Page 56: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

47

Menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang

Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang penyerahan sebagian

pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) menempatkan buruh/pekerja

sebagai faktor produksi semata. Buruh hanya dijadikan komoditas di pasar

tenaga kerja dengan mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus

hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Karena itu menurut Pemohon

menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang

dengan sendirinya terkait dengan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66

bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat

(1) dalam Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal tersebut

selengkapnya menyatakan:

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan”,

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja”,

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan, yang diartikan bahwa perekonomian kita didasarkan atas

demokrasi ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua,

dengan mengutamakan kemakmuran rakyat”.

Page 57: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

48

Pemohon mengajukan permohonan ke MK pasal-pasal tersebut di atas,

untuk selengkapnya di didasarkan pada argumentasi bahwa dalam ketentuan

kontrak kerja outsourcing terdapat hal-hal sebagai berikut :

a. Kontrak kerja dalam outsourcing dilakukan sebagai penekanan efisiensi

secara berlebihan dalam rangka peningkatan investasi dengan upah berakibat

hilangnya keamanan kerja (job security);

b. Status pekerja/buruh outsourcing sebagai buruh kontrak menghilangkan hak-

hak, tunjangan kerja, jaminan kerja dan jaminan sosial, yang dinikmati

pekerja tetap;

c. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-

Undang Ketenagakerjaan menjadikan buruh dipandang sebagai komoditas

perdagangan pasar kerja, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945, yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan layak dalam Pasal 27

ayat (2) dan hak bekerja dan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak

dalam hubungan kerja dalam Pasal 28D ayat (2); dan

d. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu demokrasi ekonomi

dalam Pasal 33 ayat (1).

2. Pertimbangan dan Putusan Mahkamah Konstisusi

Dari uraian tersebut di atas, menurut MK, ketentuan Pasal 59, Pasal 64,

Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat

(9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, ayat (3), serta

ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat

Page 58: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

49

konstitusi Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dalam

Undang-Undang Dasar 1945.

Terhadap ketentuan Pasal 65 ayat (7), dan Pasal 66 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan

Undang-Undang Dasar 1945 (conditionally unconstitutional). Mahkamah

Konstitusi kadang mempersempit atau memperluas makna suatu norma

undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi warga

negara. Inilah yang disebut dengan putusan inkonstitusional bersyarat

(conditionally unconstitutional).1

Setelah menimbang berbagai ketentuan tersebut Mahkamah Konstitusi

memutuskan dalam amar putusannya pada Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011

menyatakan :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2. Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa

“….perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan

1 Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi dalam

Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al (eds.), Negara Hukum Yang

Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.

CL(Bandung : Rosda, 2011) h. 646-647.

Page 59: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

50

adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek

kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang

melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

3. Frasa “….perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa

“….perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak

disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh

yang objek kerjanya ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang

melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Pelaksanaan Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011

Menurut amar putusan tersebut, prinsipnya pekerja yang melaksanakan

pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-hak

konstitusionalnya. Karena itu harus ada jaminan kepastian bahwa hubungan

antara pekerja dan perusahaan outsourcing yang melindungai pekerja dan

Page 60: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

51

pengusaha tidak menyalahgunakan kontrak outsourcing. Untuk menjamin

perlindungan hak-hak pekerja tersebut diatas tidak cukup hanya dengan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saja karena kedudukan atau posisi

tawar (bargaining position) pekerja lemah sebagai akibat oversupply tenaga

kerja.2

Solusinya, Mahkamah Konstitusi memberikan 2 (dua) model

perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja yaitu :

1) Mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan yang

melakukan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan

PKWTT, atau

2) Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja dengan

Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE).3

Berdasarkan prinsip dan solusi tersebut Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65

ayat (7) dan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan

tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Artinya,

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 manakala “perjanjian kerja

tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi

pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian

2 Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi

IX , No.1 (Maret 2012) : h.23.

3 Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, h.44

Page 61: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

52

perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan

lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

B. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-

IX/2011 Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlindungan

Prinsip pengalihan tindakan perlindungan dijelaskan pada butir [3.18]

Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011, prinsip pengalihan tindakan

perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of

Employment atau TUPE) adalah perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh yang

bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Menurut butir [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/201,

prinsip tersebut telah diterapkan dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal

suatu perusahaan diambil alih oleh perusahaan lain. Prinsip tersebut diterapkan

untuk melindungi hak-hak para pekerja ketika perusahaan tempat pekerja diambil

alih oleh perusahaan lain.

1. Tujuan Prinsip Pengalihan Perlindungan

Prinsip pengalihan perlindungan pekerja/buruh diterapkan untuk

melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak

pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip pengalihan

perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan

pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu

perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut

kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang

Page 62: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

53

diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia

jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya,

tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-

pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan

keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa

kerjanya.

Selain itu penerapan prinsip pengalihan perlindungan yang bertujuan

untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh oursourcing juga diharapkan dapat :

1) Mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi atau tidak

melakukan sistem kerja outsourcing.

2) Mendorong perusahaan-perusahaan untuk sebanyak mungkin

menggunakan sistem kerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu

(PKWTT).

3) Memastikan kelangsungan pekerjaan bagi pekerja dengan menerapkan

prinsip pengalihan perlindungan pekerja (Transfer of Undertaking

Protection of Employement-TUPE).4

2. Prinsip Pengalihan Perlindungan yang dimuat dalam Permenakertrans

No. 19 Tahun 2012

Prinsip pengalihan perlindungan yang lahir dari Putusan Mahkamah

Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 dimaksudkan untuk menciptakan kepastian

4Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus ?, (Jakarta : Pohon Cahaya, 2013),

h.140.

Page 63: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

54

hukum bagi pekerja/buruh outsourcing di Indonesia, maka untuk menjalankan

amanah dari putusan tersebut, Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu Permenakertrans No.19 Tahun

2012.

Prinsip pengalihan perlindungan diterapkan dengan cara membuat

klausul mengenai pengalihan perlindungan pada perjanjian kerja outsorcing,

antara perusahaan pelaksana sebagian pekerjaan dengan pekerja/buruh.

Menurut Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, ada dua jenis penyerahan

sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Outsourcing), yaitu

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyedia jasa

pekerja/buruh.

Beberapa pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012 memuat

ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh

outsourcing melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu :

Pasal 9 ayat (2) huruf b

“Perjanjian pemborongan pekerjaan harus memuat jaminan

terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi

pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan.”

Pasal 10

“Perjanjian pemborongan pekerjaan harus didaftarkan oleh

perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertangung

Page 64: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

55

jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat

pemborongan pekerjaan dilaksanakan.”

Berdasarkan 2 (dua) ketentuan di atas, perjanjian pemborongan

pekerjaan merupakan perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan

perusahaan penerima pemborongan yang dalam perjanjian itu harus memuat

jaminan terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi

pekerja/buruh sesuai peraturan perundangan. Jaminan tersebut pun diperkuat

dengan ketentuan yang mengaharuskan pendaftaran perjanjian tersebut pada

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota

tempat dilaksanakannya pemborongan pekerjaan.

Selanjutnya, ketentuan perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang

memuat prinsip pengalihan perlindungan terdapat pada Pasal 13

Permenakertrans No.19. Perjanjian kerja pemborongan merupakan perjanjian

antara perusahaan pemborongan pekerjaan (perusahaan outsourcing) dengan

pekerja/buruh, ketentuat tersebut berbunyi :

Pasal 13

“Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib

memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak

pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan.”

Kententuan tersebut tidak memaparkan secara langsung mengenai

prinsip pengalihan perlindungan, namun mengandung tujuan utama prinsip

Page 65: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

56

peangalihan perlindungan. Oleh sebab itu, pada perjanjian kerja pemborongan

pekerjaan harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja, agar dapat

mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemborongan

pekerjaan dalam hal terjadi pergantian perusahaan pemborongan dan

perusahaan tersebut mengalihkan hak-hak pekerjanya pada perusahaan lain

sehingga pekerja/buruh tetap menerima hak-hak pekerja/buruh pada jenis

pekerjaan pemborongan pekerjaan.

Selanjutnya, pasal-pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012

yang memuat ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi

pekerja/buruh outsourcing pada jenis perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh :

Pasal 19 ayat (1) huruf b

“Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima

pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di

perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi pergantian

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.”

Pasal 20 ayat (1)

“Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi

pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus

didaftarakan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerajaan dilaksanakan.”

Page 66: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

57

Pasal 32 ayat (1)

“Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan

perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan

penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjiasn kerja yang

telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam

perjanjian kerja yang telah disepakati.”

Pasal 32 ayat (2)

“Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh yang baru maka masa kerja yang telah

dilalui pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama

harus tetap dianggap ada dan diperhitungnkan oleh perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.”

Beberapa ketentuan diatas merupakan ketentuan yang mengandung

prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pada jenis

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Prinsip pengalihan perlindungan

lebih banyak diterapkan pada jenis pekerjaan yang terus menerus ada di

perusahaan, maka akan mungkin sering terjadi pergantian perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh. Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh juga

harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab pada bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat dilaksanakannya pekerjaan.

Page 67: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

58

Ketentuan tersebut juga mengatur pelaksanaan prinsip pengalihan

perlindungan diberlakukan dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak

melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perusahaan pemberi

kerja tersebut mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh tersebut harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada

sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja

yang telah disepakati. Seperti masa kerja yang telah dilalui pada perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan

diperhitungnkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

C. Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing

Setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011,

secara teknis dapat diatur suatu perjanjian outsourcing yang dapat melindungi

semua pihak, dalam hal ini perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh dan pekerja. Perusahaan outsourcing yang akan melaksanakan

sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat menentukan perjanjian kerja berdasarkan

sifat pekerjaannya :

1. Pekerjaan yang bersifat tetap dan ada terus-menerus.

Pada pekerjaan yang bersifat tetap ada dan terus-menerus, bagi

pekerja/buruh yang memenuhi persyaratan diperlakukan dengan

menggunakan PKWTT. Dalam hal jika perusahaan pengguna (perusahaan

pemberi kerja) tetap menginginkan pekerja/buruh yang sama walaupun

Page 68: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

59

perusahaan pemenang tendernya berbeda, maka harus diatur adanya tanggung

jawab renteng di mana perusahaan pengguna membayarkan komponen biaya

pesangon ke dalam harga perjanjian kerja outsourcing.

Untuk itu harus secara jelas diatur dalam hal terjadi pengalihan kepada

perusahaan outsourcing baru dengan kondisi pekerja/buruh belum habis

PKWT nya. Hak karyawan atas kepastian kelanjutan bekerja jika sebelum

masa kontrak ada pengalihan pekerjaan kepada parusahaan lain atau tidak

bersedia melanjutkan pekerjaan dengan adanya perhitungan uang pisah yang

besarnya diatur tersendiri.

2. Pekerjaan yang bersifat sementara.

Pada pekerjaan yang bersifat sementara, penggunaan pekerja/buruh

outsourcing dapat dilakukan dengan menggunakan PKWT. Pelaksanaan

PKWT tentu saja sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu sesuai dengan

Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu kontrak hanya boleh diperpanjang dua

kali atau dalam masa tidak lebih dari tiga tahun. Jadi, jika hanya dua kali

PKWT, misalnya 1 tahun diperpanjang 1 tahun, maka tidak boleh lagi PKWT,

harus menjadi karyawan tetap (PKWTT) diperusahaan outsourcing.5

Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-

IX/2011 pada perjanjian kerja waktu tertentu disarankan adanya pencantuman

klausul sebagai berikut :

5 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?,h.118-119.

Page 69: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

60

a. Pada bagian Tanggung Jawab Para Pihak :

“Pihak pertama (perusahaan) bertanggung jawab dalam

terselenggaranya pengalihan hak Pihak Kedua (pekerja/buruh)”

b. Pada bagian Hak Para Pihak :

“Pihak kedua berhak atas kepastian kelangsungan bekerja jika masa

kontrak belum berakhir pada saat terjadi pengalihan kepada perusahaan

lain”.6

6 Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.119.

Page 70: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

61

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik

kesimpulan diantaranya sebagai berikut :

1. Pada awalnya pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaan jenis

pekerjaan outsourcing diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan. Namun pelaksanaan outsourcing menurut Undang-

Undang tersebut oleh pihak pekerja dianggap belum melindungi hak-hak

pekerja dan tidak memberikan jamian kepastian karir. Hal ini kemudian

menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan pekerja untuk menuntut hak-

haknya.

2. Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan,

santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi

manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku

dalam perusahaan. Perlindungan hukum pekerja outsourcing diterapkan untuk

melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak

pemberi kerja/pengusaha. Campur tangan pemerintah dalam melindungi hak-

hak pekerja outsourcing merupakan faktor yang sangat penting. Namun,

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya melindungi buruh

secara yuridis dan peraturan itu belum cukup melindungi hak-hak pekerja

Page 71: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

62

outsourcing bila dalam pelaksanaanya tidak diawasi oleh seorang ahli yang

harus mengunjungi tempat kerja pekerja outsourcing pada waktu-waktu

tertentu.

3. Judicial Review Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang

Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan outsourcing terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 merupakan salah satu bentuk reaksi kaum pekerja/buruh

dalam menuntut hak-haknya sebagai pekerja outsourcing. MK sebagai

lembaga yang berwenang menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 memutus permohonan perkara tersebut melalui putusan

Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011. Dalam putusannya, MK

memutus menerima sebagian permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 65

ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) b Undang-Undang Ketengakerjaan

inkonstitusinal bersyarat terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. MK kemudian memberikan

dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh outsourcing

yakni, pertama, membentuk perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan

yang melakukan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan

PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja

dengan Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE).

4. Setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, Kemenakertrans

menerbitkan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Setelah hadirnya

Page 72: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

63

Permenakertrans No.19 Tahun 2012, perusahaan outsourcing harus

melaksanakan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh

outsourcing yang dimuat dalam klausul yang terdapat pada perjanjian kerja

pemborongan pekerjaan ataupun perjanjian kerja penyedia jasa pekerja/buruh.

Dengan dilaksanakannya prinsip ini, jika suatu waktu terjadi pergantian

perusahaan pemborongan pekerjaan ataupun perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh, hak-hak pekerja serta masa kerja yang telah dilalui pekerja

pada persusahaan yang lama tetap tetap dianggap ada dan diperhitungnkan

oleh perusahaan penyedia jasa pekerja yang baru.

B. Saran

Pasca adanya putusan MK, perusahaan penyedia jasa outsourcing harus

menyatakan dengan tegas di dalam perjanjian kerjanya yang berbentuk PKWT

mengenai pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja dalam hal objek

kerjanya tetap ada, dan harus menjamin keberlangsungan pekerja serta memenuhi

hak-hak pekerja. Pelaksanaan prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh

harus berkesinambungan dan pemerintah harus meningkatkan perannya dalam

melakukan pengawasan seperti observasi langsung dan harus berdasarkan regulasi

tingkat pusat dan daerah.

Untuk perusahaan pemberi kerja yang akan menggunakan jasa perusahaan

outsourcing harus segera memilih pekerjaan yang akan di outsource dengan

Page 73: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

64

membuat analisis internal dan membuat alur kegiatan proses pelaksanaan

pekerjaan dan menentukan pekerjaan core dan non core.

Untuk pekerja/buruh sebaiknya sebelum membuat perjanjian kerja dengan

perusahaan alih daya ada baiknya mempelajari perusahaan alih daya tersebut, dan

sebelum menyetujui perjanjian tersebut pastikan dengan jelas hak-hak apa saja

yang diterima sebelum, saat dan setelah melaksanakan kewajiban pekerja/buruh

dan jika dalam hal pekerjaan tersebut masih ada namun terjadi pergantian

perusahaan alih daya, hak-hak pekerja/buruh harus dijamin oleh perusahaan alih

daya yang melanjutkan.

Page 74: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

65

DAFTAR PUSTAKA

AL QURAN

BUKU

Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.

Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo

Persada, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.

Priambada, Komang dan Agus Eka Maharata. Outsourcing versus Serikat Pekerja

(An Introduction to Outsourcing). Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008.

Prints, Darwin. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,

2000.

Sirait, Justin T. Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi.

Jakarta : Grasindo, 2004.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di

dalam Penelitian Hukum,. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,

1979.

_______. Pengantar Penelitian Hukum, cet. III. Jakarta: UI Press, 2008.

Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika,

2009.

Yasar, Iftida. Sukses Implementasi Outsourcing. Jakarta : PPM, 2008.

_______. Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus ?. Jakarta : Phon Cahaya, 2013.

Zoelva, Hamdan. Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi

dalam Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al

(eds.), Negara Hukum Yang Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam

Page 75: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

66

Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M. CL, Bandung :

Rosda, 2011.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.19 Tahun

2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan

Kepada Perusahaan Lain.

Surat Edaran Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial

Tenaga Kerja Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012

Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada

Perusahaan Lain.

YURISPRUDENSI

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.27/PUU-IX/2011 Tanggal 17

Januari 2011.

JURNAL

Puspitasari, Kartika. ”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional,

Piala Soediman Kartohadiprodjo, Universitas Katolik Parahyangan ,2012),

h.82-85.

Page 76: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

67

Puspitasari Putri. “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Mengenai Penghapusan Pasal

Outsourcing Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan”. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas

Padjajaran. (Juli 2012) : h.1-7.

Sulaiman, Abdullah. “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia :

Pra dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam

Studium General Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei 2003 (Ciputat : 2013), h.2.

Sumadi, Ahmad Fadlil. “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”. Jurnal

Konstitusi IX. NO.1 (Maret 2012) : h.1-26.

ARTIKEL

Pangaribuan, Juanda. “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses

pada tanggal 28 Oktober 2013 dari, http://m.hukumonline.com/legalitas-

ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh-juanda-pangaribuan/

Page 77: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

DAFTAR PUSTAKA

AL QURAN

BUKU

Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.

Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo

Persada, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.

Priambada, Komang dan Agus Eka Maharata. Outsourcing versus Serikat Pekerja

(An Introduction to Outsourcing). Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008.

Prints, Darwin. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,

2000.

Sirait, Justin T. Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi.

Jakarta : Grasindo, 2004.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di

dalam Penelitian Hukum,. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia,

1979.

_______. Pengantar Penelitian Hukum, cet. III. Jakarta: UI Press, 2008.

Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika,

2009.

Yasar, Iftida. Sukses Implementasi Outsourcing. Jakarta : PPM, 2008.

_______. Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus ?. Jakarta : Phon Cahaya, 2013.

Zoelva, Hamdan. Negara Hukum dan Demokrasi : Peran Mahkamah Konstitusi

dalam Menegakkan Hukum dan Demokrasi, dalam Susi Dwi Harijanti, et. al

(eds.), Negara Hukum Yang Berkeadilan : Kumpulan Pemikiran Dalam

Rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M. CL, Bandung :

Rosda, 2011.

Page 78: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.19 Tahun

2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan

Kepada Perusahaan Lain.

Surat Edaran Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial

Tenaga Kerja Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012

Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada

Perusahaan Lain.

YURISPRUDENSI

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.27/PUU-IX/2011 Tanggal 17

Januari 2011.

JURNAL

Puspitasari, Kartika. ”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional,

Piala Soediman Kartohadiprodjo, Universitas Katolik Parahyangan ,2012),

h.82-85.

Puspitasari Putri. “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Mengenai Penghapusan Pasal

Outsourcing Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Page 79: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Tentang Ketenagakerjaan”. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas

Padjajaran. (Juli 2012) : h.1-7.

Sulaiman, Abdullah. “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia :

Pra dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam

Studium General Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei 2003 (Ciputat : 2013), h.2.

Sumadi, Ahmad Fadlil. “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”. Jurnal

Konstitusi IX. NO.1 (Maret 2012) : h.1-26.

ARTIKEL

Pangaribuan, Juanda. “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses

pada tanggal 28 Oktober 2013 dari, http://m.hukumonline.com/legalitas-

ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh-juanda-pangaribuan/

Page 80: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

PUTUSAN Nomor 27/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : DIDIK SUPRIJADI

Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 03 Desember 1972

Warga negara : Indonesia

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jalan Pandegiling II Nomor 7, RT 002, RW 007,

Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari,

Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.

Dalam hal ini, bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas

Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), jabatan: Ketua Umum Dewan Pimpinan

Pusat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 30 April 2011, memberi kuasa kepada

Dwi Hariyanti, S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat dan Penasihat

Hukum “Dwi Hariyanti, S.H., & Rekan”, beralamat di Jalan Karangrejo VIII Nomor 20

Surabaya, bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama

pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;

Mendengar keterangan Pemohon;

Memeriksa bukti-bukti Pemohon;

Mendengar keterangan lisan para saksi Pemohon;

Mendengar keterangan Pemerintah;

Page 81: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

2

Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;

Membaca kesimpulan Pemohon.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan bertanggal

21 Maret 2011, yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin, tanggal 4 April 2011

berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 127/PAN.MK/2011 dan

diregistrasi pada hari Senin tanggal 4 April 2011 dengan Nomor 27/PUU-IX/2011, yang

telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal tanggal 11 Mei

2011, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi

berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar” dan hal tersebut ditegaskan kembali dalam

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar.

2. Bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyatakan bahwa Undang-

Undang yang dapat diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah

perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.

II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan

permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusinya

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa perorangan

ASUS
Highlight
Page 82: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

3

warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang

masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan

hukum publik atau privat atau lembaga negara.

2. Bahwa menurut penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 yang dimaksud hak konstitusi adalah hak-hak yang diatur

dalam UUD 1945.

3. Bahwa Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meter

Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur yang merupakan lembaga

swadaya masyarakat yang berbadan hukum, yang tumbuh dan

berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di

tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian

untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak

asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak

yang Iemah.

4. Bahwa Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945

adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja

kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang

memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja

kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat

merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD 1945, yaitu

mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak atas kesejahteraan dan

kemakmuran.

5. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum dan argumentasi di atas, maka

jelaslah bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan dasar

kepentingan untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 59 dan

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

terhadap UUD 1945, karena mempunyai kepentingan secara langsung dan

Page 83: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

4

akan menerima dampak secara langsung dari pelaksanaan Pasal 59 dan

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ill. FAKTA HUKUM

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk

terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah merupakan

tujuan umum Bangsa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Pembukaan

UUD 1945.

2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan sudah

sejak awal berdirinya negara ini ditetapkan sebagai hak asasi manusia

warga negara yang secara khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang

menjadi dasar konstitusional negara ini dan hak untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan

kerja juga ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara yang secara

khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional

negara ini.

3. Pemerintah selaku pelaksana utama konstitusi, berkewajiban

melaksanakan amanat ini, dengan semaksimal mungkin mengusahakan

agar warga negara Indonesia bisa sungguh mendapatkan pemenuhan hak

asasi tersebut dan amanat ini berkaitan erat pula dengan tujuan umum

bangsa Indonesia.

4. Industrialisasi dan pembangunan ekonomi salah satu strategi dari bangsa

Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan industrialisasi

sendiri akan menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba

meraih kesejahteraannya dari situ yaitu mereka yang tidak punya apa-apa

selain tenaganya untuk dijual guna mendapatkan upah untuk hidup. Mereka

inilah yang disebut dengah buruh/pekerja dalam hal ini negara mau tidak

mau harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal

perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar buruh/pekerja dapat

terlindungi hak-haknya dalam bingkai konstitusi.

5. Warga negara umumnya dan buruh/pekerja khususnya harus mendapatkan

hak konstitusional berupa penghidupan yang Iayak yang dapat

Page 84: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

5

diperolehnya dari pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang adil dan

Iayak yang harus diterima dalam hubungan kerja.

6. Dalam relasi perburuhan/ketenagakerjaan dan dalam hubungan kerja,

buruh/pekerja senantiasa berada pada posisi yang Iemah, karenanya

sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang harus dibangun di negara

ini adalah sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi

(protektif) terhadap buruh/pekerja.

7. Dalam hal ini pemerintah harus dapat memainkan peran untuk menjamin

perlindungan terhadap buruh/pekerja, dengan secara aktif terlibat dalam isu

perburuhan/ketenagakerjaan dan melalui Undang-Undang

Perburuhan/Ketenagakerjaan. Namun sayang, kenyataannya, kebijakan

legislasi yang protektif terhadap buruh/pekerja tidak tercermin dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama

Pasal 59 dan Pasal 64 bahkan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),

Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

8. Bahwa sudah berkali-kali ribuan aktivis buruh/pekerja, serikat buruh/

pekerja, organisasi non pemerintah perburuhan dan aliansi-aliansi

perburuhan di berbagai tempat di Indonesia melakukan aksi menolak

adanya perjanjian kerja untuk waktu tertentu pekerja kontrak (pekerja

kontrak) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 dan penyerahan sebagaian pekerjaan kepada perusahaan lain

(outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003.

IV. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

1. Penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata

meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui

kebijakan upah murah ini berakibat pada hilangnya keamanan kerja

(job security) bagi buruh/pekerja Indonesia, karena sebagian besar

buruh/pekerja tidak akan lagi menjadi buruh/pekerja tetap, tetapi menjadi

buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah

yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai satu bentuk perbudakan

zaman modern.

Page 85: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

6

2. Bahwa status sebagai buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti

juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja

dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status

sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat potensial

menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonsia dan

karenanya buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia,

pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan

rakyat Indonesia pada umumnya.

3. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain

(outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai

komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja.

Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar

dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang

semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup

kemungkinan kelak anak cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri

dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangan dengan

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan". Dan Pasal 28D ayat (2)

"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".

4. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain

sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor

produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan

diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian

komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap

ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya

sistem kerja "pemborongan pekerjaan" (outsourcing), yang akan

Page 86: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

7

menjadikan buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal

dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang

menyatakan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas

asas kekeluargaan". Di dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini

artinya perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana

produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran

masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan

degradasi nilai manusia, buruh/pekerja sebagai komoditas atau barang

dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui sebuah

Undang-Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusi

pun akan menjadi kata-kata kosong atau merupakan hiasan kata mutiara

saja.

5. Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan

jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan diperusahaan

pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian

antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna

pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk

menempatkan pekerja di perusahaan pengguna dan perusahaan pengguna

mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan

perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja

akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang

misalnya Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja

akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang

bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini

merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada

pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern.

6. Di lain pihak outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job

security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja

dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat

hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya

pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan

menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian

Page 87: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

8

Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan

dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan

pekerjaan yang layak.

7. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam

outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh

pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh

perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan,

konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan

pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang di

subkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub

contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan

oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub

contractornya dengan pekerjanya.

8. Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya

hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan

pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja

yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa

pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.

9. Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan

penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user.

Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual

manusia.

10 Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D

ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus

dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah

untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja

hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang

dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga

perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.

11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa permohonan ini

disampaikan secara menyakinkan dan patut, karena berangkat dari

keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja maupun, sehingga patut

Page 88: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

9

kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan

pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2)

dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

12. Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada kaitannya dengan Pasal 64

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka

dengan sendirinya Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Pasal 27

ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

V. MATERI POKOK UJI MATERI

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59

Ayat (1): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu

yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.

c. Pekerjaan yang bersifat musiman atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan

baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

penjajakan.

Ayat (2): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk

pekerjaan yang bersifat tetap”.

Ayat (3): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau

diperbaharui”.

Ayat (4): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka

waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan

hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama

satu tahun”.

Ayat (5): “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja

untuk waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum

Page 89: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

10

perjanjian kerja waktu tetentu berakhir telah memberitahukan

maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang

bersangkutan”.

Ayat (6): “Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat

diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari

berakhirnya perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang lama,

pembaharuan perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini hanya boleh

dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun”.

Ayat (7): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4),

ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja

untuk waktu tidak tertentu”.

Ayat (8): “Hal-hal yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut

dengan keputusan menteri”.

2. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyatakan,

"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau

penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".

3. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Ayat (1): “Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalu perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat

secara tertulis”.

Ayat (2): “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan

dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung”.

Page 90: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

11

Ayat (3): “Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

berbentuk badan hukum”.

Ayat (4): “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada

perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-

kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja

pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Ayat (5): “Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana

diatur pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri”.

Ayat (6): “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis

antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”.

Ayat (7): “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat

didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian

kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59”.

Ayat (8): “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan

ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih

menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi

pekerjaan”.

Ayat (9): “Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi

pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan

kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan

hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7)”.

4. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Ayat (1): “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak

boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan

pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses

produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang

tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”.

Page 91: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

12

Ayat (2): “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi

harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh;

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja

sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja

untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak

tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh

kedua belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja

serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan

perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat

pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Ayat (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan”.

Ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)

huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi

hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

5. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan,

"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan".

6. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan,

"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja".

7. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,

Page 92: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

13

"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan".

VI. PETITUM

Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan hukum serta didukung alat-alat

bukti yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, memohon kiranya Mahkamah

Konstitusi berkenan memutuskan:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D

ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat;

4. Menempatkan Putusan ini dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia.

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah

mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda dengan Bukti P-1 sampai dengan

Bukti P-7, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Aliansi Petugas

Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa

Timur, oleh Notaris Bachtiar Hasan, SH, Nomor 3 tanggal 11

Juni 2010;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Tanda Terima Gaji Karyawan PT Multi Artha

Sejahtera Abadi Unit Baca Meter, tanggal 26 Mei 2010;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Berita Acara Nomor 27/BA/SM/XI/2007, perihal

Dasar penentuan denda baca meter, tanggal 19 November

2007;

4. Bukti P-4 : Fotokopi Kontrak Profesi Nomor ---/3.01.1/KPJ/KSU/I/2010,

tanggal 6 Januari 2010 dan Surat Perjanjian Kerja Karyawan;

5. Bukti P-5 : Fotokopi Masa Kerja dan PHK Karyawan;

6. Bukti P-6 : Fotokopi Lelang atau Tender Pencatatan Meter Listrik

Page 93: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

14

7. Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan;

8. Bukti P-8 : Fotokopi beberapa surat pengalaman Pemohon.

Selain itu, Pemohon pada persidangan tanggal 6 Juli 2011, telah

mengajukan 2 (dua) orang Saksi yang bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso yang menerangkan sebagai berikut:

1. Moh. Fadlil Alwi

• Bahwa pekerjaan saksi sebagai pembaca meteran yang dilakukan secara

terus-menerus, dilakukan dalam waktu tertentu dan berkesinambungan;

• Bahwa saksi mantan pegawai PLN sebagai mengelola pembaca meter dan

belum pernah menjadi karyawan outsourcing;

• Bahwa pegawai pembaca meteran dulunya memakai sistim kontrak dengan

batas tertentu dari koperasi yang kemudian dilimpahkan ke pemborong lain.

2. Moh. Yunus Budi Santoso

• Bahwa saksi sebagai karyawan outsourcing;

• Bahwa saksi pada tahun 2000 pekerjaannya sebagai pembaca meteran di

bawah koperasi PLN;

• Bahwa saksi dari tahun 2004 sampai tahun 2007 bekerja sebagai tenaga

kontrak pembaca meteran dan sudah tiga kali pindah ke perusahaan lain

dengan cara direkrut dan tanpa SK dengan gaji tetap, karena terjadi konflik,

dinonaktifkan dengan tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari manajemen;

• Bahwa saksi dari tahun 2007 sampai tahun 2009 telah pindah pekerjaan ke

perusahaan lainnya dengan gaji turun;

• Bahwa UMR di Bangkalan Madura Rp. 850.000,-/bulan;

• Bahwa saksi mendapat gaji total Rp 1.300.000,00,- sedangkan gaji anggota

lainnya bervariasi ada yang mendapatkan Rp. 625.000,- sampai dengan

Rp. 975.000,- tergantung volume pekerjaannya;

• Bahwa saksi pada tahun 2004-2007 bekerja di PT. Data Energi Infomedia,

tahun 2007-2009 bekerja di PT. Bukit Alam Barisani dan yang terakhir

bekerja di PT. Berkah Abadi dengan gaji turun alasannya karena

perusahaan tersebut mempunyai manajemen sendiri;

• Bahwa kalau bekerja melebihi tiga tahun akan jadi karyawan tetap.

Page 94: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

15

[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah didengar

opening statement Pemerintah yang menerangkan sebagai berikut:

Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,

Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing), atau tidak atas berlakunya Pasal 59, Pasal 64,

Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, sebagaimana

yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah

Konstitusi terdahulu, dalam hal ini Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan

Nomor 11/PUU-V/2007.

Bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan

mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu tidak hanya

dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah bekerja, tetapi

juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.

Hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan

penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, yang umum dikenal

dengan outsourcing, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 serta Pasal 64 Undang-

Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi

seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,

sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, juga dalam rangka

memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam

hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang

dilaksanakannya.

Sehingga dengan diterapkannya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT), dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau

outsourcing adalah bagi pekerja outsourcing akan menggunakan seluruh

kemampuannya dalam bekerja. Dengan adanya outsourcing, maka mereka akan

mendapatkan suatu keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya. Dan jika

telah memiliki kemampuan tersebut, maka pekerja akan menambah kemampuan

mereka dengan bekerja di outsourcing. Pekerjaan tersebut akan menjadi lebih

Page 95: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

16

bermanfaat, jika pekerjanya mampu menangkap ilmu yang mereka dapat dari

perusahaan penerima.

Kemudian, mereka mengembangkan keterampilan tersebut untuk

menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan. Sebelum mendapatkan

pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing akan membantu tenaga kerja yang

belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan-perusahaan yang

membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Selain hal

tersebut, Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur

jenis dan sifat pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala

aturan-aturan dalam menerapkan sebuah pekerjaan untuk waktu tertentu, dan

penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Terhadap anggapan

Pemohon yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon menurut Pemerintah

adalah tidak benar.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada

Majelis Mahkamah Konstitusi yang mengadili dapat memberikan putusan sebagai

berikut:

1. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya

menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima. 2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

[2.4] Menimbang bahwa pada tanggal 22 Juli 2011 Kepaniteraan telah

menerima keterangan tertulis Pemerintah yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. Pokok Permohonan 1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi

Nomor 547.27/PAN.MK/V/2011, para Pemohon mengajukan permohonan

pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65

Page 96: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

17

dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal

33 ayat (1) UUD 1945;

2. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64

Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang

penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing),

maka buruh/pekerja dilihat semata mata sebagai komoditas atau barang

dagangan disebuah pasar tenaga kerja, selain itu buruh/pekerja

ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah

dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak

dibutuhkan lagi, yang pada gilirannya komponen upah dapat ditekan

seminimal mungkin;

3. Bahwa outsourcing adalah suatu bentuk pemaksaan kerja antara

perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya

tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah,

pekerjaan dan upah, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerja hanya

dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum;

4. Karena itu menurut Pemohon, Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang

Ketenagakerjaan, yang dengan sendirinya juga terkait dengan ketentuan

Pasal 65 dan Pasal 66, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27

ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945.

II. Tentang Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak

yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Page 97: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

18

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan

"hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, maka terlebih

dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51

ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang

dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;

c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan

kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul

karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide putusan Nomor

006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima)

syarat yaltu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan

oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)

dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon

apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal

65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang

dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial

Page 98: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

19

yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada

hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-

Undang yang dimohonkan untuk diuji.

Anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk

diuji tersebut di atas telah menimbulkan kekhawatiran, kecemasan terhadap

Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang Iayak yang

pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi Pemohon, yang

berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas

kekeluargaan. Menurut Pemerintah adalah tidak tepat dan hanya berdasarkan

asumsi-asumsi semata yang berlebihan, karena pada kenyataannya pekerja/buruh

dalam melakukan hubungan kerja didasari oleh kesepakatan bersama yang

dilakukan secara sukarela berdasarkan perjanjian keperdataan. Apabila dalam

perjanjian keperdataan tersebut terdapat satu peristiwa hukum berupa mengingkari

atau wanprestasi, maka penyelesaiannya melalui lembaga peradilan yang

tersedia.

Menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah merupakan

rangkaian aturan yang mendasari mekanisme penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan Iainnya (dikenal dengari istilah outsourcing),

sehingga jika ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut dikabulkan, maka justru

akan menimbulkan kerugian konstitusionalitas terhadap seluruh pekerja/buruh

termasuk Pemohon itu sendiri.

Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah

terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak

terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan

hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi

persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.

Page 99: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

20

Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan

permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Namun demikian, apabila Ketua/Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,

berikut disampaikan penjelasan Pemerintah atas permohonan a quo, sebagai

berikut:

III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Sehubungan permohonan pengujian ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

menyatakan:

Pasal 59 ayat (1) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu

yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu

tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan”.

Pasal 59 ayat (2) “Perjanjan kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat tetap”.

Ayat (3) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui”.

Page 100: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

21

Ayat (4) “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat

diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)

kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”

Ayat (5) “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu

tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir

telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang

bersangkutan”.

Ayat (6) “Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi

masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu

tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh

dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”.

Ayat (7) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentt an

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)

maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.

Ayat (8) “Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Menteri”.

Pasal 64: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan

jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.

Pasal 65: (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara

tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

Page 101: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

22

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan;

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk

badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada

perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-

kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana diimaksud

dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain

dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan

atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu

apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan

ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh

dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh

dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud

dalam ayat (7).

Pasal 66: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh

digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan

yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa

penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses

produksi.

Page 102: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

23

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan

yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh;

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud

pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja

waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua

belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta

perse!isihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh; dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

lain yang bertindak sebagal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat

secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf

a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status

hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi

pekerjaan.

Ketentuan pasal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal

27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan".

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945: "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja".

Page 103: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

24

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan".

Terhadap materi muatan norma yang dimohonkan diuji oleh Pemohon, Pemerintah

dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Terhadap ketentuan Pasal 59 Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal

sebagai berikut:

a. bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan

mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan. Di mana keterkaitan itu tidak hanya

dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah bekerja, tetapi

juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat;

b. bahwa ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut juga terkait erat dengan

masalah hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan

pekerjaan, karena itu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka di

dalamnya akan memuat syarat-syarat kerja maupun hak dan kewajiban para

pihak. Syarat perjanjian kerja antara para pihak yang dibuat oleh pekerja/buruh

tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dengan segala konsekuensinya,

yang dipertegas dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan;

c. bahwa terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pengaturannya

telah secara jelas dan tegas diatur dalam ketentuan pasal yang dimohonkan untuk

diujikan tersebut, dengan syarat-syarat yang ketat yaitu:

-. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

-. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

-. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

-. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau

produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) antara pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya

sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dipastikan kekhawatiran

Page 104: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

25

Pemohon tidak akan terjadi. Dengan perkataan lain menurut Pemerintah apa yang

dialami oleh Pemohon dengan pihak perusahaan tempat Pemohon bekerja

semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja dan bukan masalah

konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo tersebut.

Pemerintah dapat menyampaikan bahwa karakteristik dan sifat suatu pekerjaan

ada yang bersifat continue dan ada yang bersifat temporer, sehingga hubungan

kerjapun ada yang bersifat tetap (PKWTT) dan ada yang bersifat sementara

(PKWT), karenanya terhadap keduanya tidak dapat saling menghilangkan dan

tidak dapat dipersamakan satu dengan lainnya, sehingga menurut Pemerintah

apabila anggapan Pemohon tersebut dianggap benar adanya, quod non, dan

permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menurut Pemerintah

dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengaburkan sistem hubungan kerja yang selama ini telah dikenal dan

berjalan sesuai dengan karakteristik dan sifat pekerjaan (pekerjaan yang bersifat

permanen dan pekerjaan yang bersifat temporer).

2. Dapat mengganggu iklim dunia usaha dan investasi khususnya usaha

mikro, kecil dan menengah, karena pada umumnya jenis usaha ini sifatnya

musiman dan jangka pendek.

Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 59 Undang-

Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat konstitusi khususnya yang

terkait dengan hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan

yang layak, karena itu ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal

27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, juga tidak

merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

2. Terhadap ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang a

quo, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa terhadap materi pengujian ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU

Ketenagakerjaan, telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi

dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor

012/PUU-I/2003, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip,

dan kawan-kawan).

Sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, bahwa terhadap materi muatan, bagian pasal, maupun ayat

Page 105: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

26

Undang-Undang yang pernah dimohonkan untuk diuji tidak dapat diajukan

permohonan kembali (ne bis in idem), walaupun sebagaimana ditentukan dalam

ketentuan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang

Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, yang menyatakan bahwa

terhadap materi muatan norma yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat

dimohonkan pengujian kembali, asalkan permohonannya menggunakan pasal-

pasal dalam UUD 1945 yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.

Menurut Pemerintah, permohonan pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon

saat ini (Didik Suprijadi), seolah-olah menggunakan batu uji yang berbeda dengan

permohonan terdahulu, namun demikian pada dasarnya memiliki kesamaan

maksud dan tujuan, atau dengan perkataan lain, Pemohon saat ini berpendapat

seolah-olah berbeda dan asal berbeda (vide Pertimbangan dan Pendapat

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 012/PUU-I/2003).

IV. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum

(legal standing);

2. Menolak permohonan pengujian Pemohon atau setidak-tidaknya

menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet

ontvankelijke verklaard);

3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2),

Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

5. Menyatakan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang

Ketenegakerjaan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (ne bis in idem)

[2.5] Menimbang bahwa pada tanggal 1 November 2011 Kepaniteraan telah

menerima keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat yang pada pokoknya

sebagai berikut:

Page 106: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

27

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon.

Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah

Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap

hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya

Undang-Undang , yaitu:

a. peroangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang

dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak

yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk "hak

konstltuslonal".

Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang

atau suatu pihak dapat diterima sebagai pihak Pemohon yang memiliki kedudukan

hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap

UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud

“Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang

dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang yang

dimohonkan pengujian;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat

dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional,

Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian

konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang berdasarkan

Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide

Page 107: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

28

Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-

V/2007), yaitu sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan

oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan

aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar

dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam

mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak

memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon;

DPR berpendapat meskipun sebagai subjek hukum perorangan warga

negara Indonesia, para Pemohon memiliki kualifikasi sebagaimana diatur dalam

Pasal 51 ayat (1) UU MK, namun demikian menurut DPR tidak ada kerugian

konstitusional para Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi

dengan berlakunya Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Para Pemohon

tidak menguraikan secara spesifik (khusus) dan aktual mengenai kerugian

konstitusional akibat pemberlakuan pasal a quo UU Ketenagakerjaan.

Dengan demikian, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 59 dan

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

menghambat dan merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana

dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Oleh

karena itu menurut DPR, para Pemohon dalam permohonan a quo tidak

memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51

ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 terdahulu.

Namun jika Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini

disampaikan keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.

Page 108: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

29

2. Pengujian materiil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Terhadap hal-hal yang dikemukakan para Pemohon tersebut, DPR

memberi keterangan sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dari sudut

konstitusi memberikan hak kepada tiap-tiap warga negara untuk mendapatkan

pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja. Untuk mewujudkan amanat pasal-pasal a

quo diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai

bagian integral dari pembangunan nasional;

2. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan

dan keterkaitan antara berbagai pihak yaitu pemerintah, pengusaha dan

pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan

komprehensif tentang ketenagakerjaan yang diantaranya mengatur tentang

perlindungan pekerja/buruh termasuk perlindungan atas hak-hak dasar

pekerja/buruh. Hal itulah yang menjadi pengaturan di dalam

UU Ketenagakerjaan.

3. UU Ketenagakerjaan mengatur tentang kegiatan yang bersifat pokok yaitu yang

berhubungan Iangsung dengan proses produksi dan kegiatan jasa penunjang

yang tidak berhubungan Iangsung dengan proses produksi. Kegiatan yang

berhubungan Iangsung dengan proses produksi, buruh/pekerja outsourcing

tidak boleh digunakan oleh perusahaan. Adapun untuk kegiatan jasa penunjang

yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, perusahaan dapat

mempekerjakan buruh/pekerja outsourcing melalui perusahaan penyedia jasa.

Dengan demikian hubungan kerja antara buruh/pekerja outsourcing adalah

dengan perusahaan penyedia jasa. sehingga perlindungan, upah dan

kesejahteraan buruh/pekerja outsourcing merupakan tanggung jawab

perusahaan penyedia jasa;

4. UU Ketenagakerjaan juga mengatur jenis-jenis pekerjaan tertentu yang hanya

dapat dikerjakan oleh pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.

Sesungguhnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan telah memberikan pembatasan

yang sangat tegas mengenai pekerjaan tertentu yang hanya dapat dikerjakan

oleh pekerja dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

Page 109: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

30

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau

produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan"

5. Untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, Pasal 59 Undang-Undang

Ketenagakerjaan melarang secara tegas untuk mempekerjakan pekerja

dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu terhadap jenis pekerjaan yang

sifatnya tetap dan merupakan bagian dari pokok kegiatan perusahaan. Selain

itu, terdapat juga pembatasan waktu bahwa perjanjian kerja waktu tertentu

paling lama 3 (tiga) tahun. Apabila kedua hal tersebut dilanggar maka demi

hukum perjanjian kerja waktu tertentu, menjadi perjanjian kerja waktu tidak

tertentu. Dan jika terdapat pelanggaran terhadap ketentuan tersebut seperti

yang dialami oleh para Pemohon, maka hal tersebut merupakan permasalahan

penerapan norma bukan persoalan konstitusionalitas norma;

6. Hubungan kerja antara buruh/pekerja dengan perusahaan pemberi kerja yang

melaksanakan pekerjaan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 59

Undang-Undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang

sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan

pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Demikian juga halnya dengan hubungan kerja antara buruh/pekerja

outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan,

sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang a quo mendapat

perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan

syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, terlepas dari

jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja,

perlindungan hak-hak buruh dilakukan sesuai dengan aturan hukum dalam

Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga tidak cukup alasan terjadi modern

slavery (sistem perbudakan modern) dalam proses produksi, sebagaimana

didalilkan oleh para Pemohon;

7. Mengingat materi muatan Pasal 59 dan Pasal 64 pernah dimohonkan pengujian

dengan Register Perkara Nomor 12/PUU-I/2003, berdasarkan Pasal 60

Page 110: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

31

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap

materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang teIah

diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (ne bis in idem);

8. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa jika ditinjau dari jangka

waktu perjanjian kerja dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu perjanjian kerja yang

dibuat untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja yang tidak dibatasi oleh jangka

waktu tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu Iazimnya disebut pekerja

kontrak. Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,

serta ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8)

Undang-Undang a quo, kesepakatan yang dibuat untuk perjanjian kerja waktu

tertentu adalah hanya untuk pekerjaan yang mempunyai sifat, jenis dan

kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu;

9. Bahwa pekerjaan para Pemohon sebagai pembaca meter listrik, menurut DPR

dapat dikategorikan sebagai pekerjaan waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang

sekali selesai yang dilakukan sekali tiap bulan.

Berdasarkan uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan

Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2),

Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Keterangan DPR sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi

Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus dan mengadili perkara a quo

dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),

Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis

yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 20 Juli 2011 yang pada pokoknya

tetap pada dalilnya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,

segala hal-hal yang terjadi di persidangan merujuk dalam berita acara

Page 111: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

32

persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan

Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah

menguji Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4279, selanjutnya disebut UU 13/2003), terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D

ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan

a quo dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan

Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji

Undang-Undang in casu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003

Page 112: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

33

terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga

Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK

beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD

1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)

UU MK;

b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh

UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang

dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005,

bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20

September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal

51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

Page 113: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

34

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada

paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan

mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo

sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa Pemohon adalah Aliansi Petugas Pembaca Meter

Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur, sebuah Lembaga Swadaya

Masyarakat yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan

perlindungan dan penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia di

Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja. Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum

AP2ML, sehingga Pemohon dikualifikasikan sebagai badan hukum swasta sesuai

dengan akte pendirian yang diajukan Pemohon dan kawan-kawan di hadapan

Kantor Notaris Bactiar Hasan, SH (bukti P-1 yaitu Fotokopi Pendirian Perkumpulan

Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur

Nomor 3 beserta lampirannya);

Menurut Pemohon, penerapan Pasal 59 UU 13/2003 mengenai Perjanjian

Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU

13/2003 mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya (pemborongan/outsourcing) menyebabkan para pekerja

kontrak/outsourcing:

1. kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh/pekerja (kontinuitas

pekerjaan);

2. kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para pekerja tetap;

3. kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai dengan masa

kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitungan masa kerja.

Page 114: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

35

Berdasarkan dalil-dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah,

Pemohon adalah badan hukum privat yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh

adanya pasal-pasal Undang-Undang yang dimohonkan a quo, yaitu Pasal 59,

Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 yaitu hak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,

hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak

dalam hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945,

dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Dengan demikian terdapat hubungan kausalitas antara kerugian konstitusional

Pemohon dengan norma yang diuji, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum

(legal standing) untuk mengajukan pemohonan a quo.

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing),

selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan buruh/pekerja kontrak yang

dipekerjakan berdasarkan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66

UU 13/2003, pada kenyataannya kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,

jaminan-jaminan kerja dan sosial sehingga menurunkan kualitas hidup dan

kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia. Hal itu, disebabkan karena hubungan

kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur

dalam Pasal 59 UU 13/2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada

perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU

13/2003, buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan

begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika

tidak dibutuhkan lagi. Bagi perusahaan pemberi kerja komponen upah sebagai

salah satu dari biaya-biaya (cost) dapat tetap ditekan seminimal mungkin, tetapi

pada sisi lain pekerja/buruh kehilangan jaminan kerja, termasuk jaminan

kesehatan, masa kerja yang dikaitkan dengan upah serta jaminan pensiun dan hari

tua. Buruh/pekerja hanya sebagai sapi perahan para pemilik modal. Menurut

Pemohon hal itu menyebabkan hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,

ASUS
Highlight
Page 115: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

36

jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang

mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat

potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia,

sehingga bertentangan dengan UUD 1945;

Bahwa untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti

tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan pada

persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah menghadirkan saksi Pemohon yang

bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso, yang selengkapnya

termuat dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan bahwa

pekerjaan pembaca meteran yang dilakukan secara terus-menerus, dilakukan

dalam waktu tertentu dan berkesinambungan yang dulunya memakai sistem

kontrak (outsourcing), setelah pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya

pengalaman kerjanya tidak dihitung sehingga gajinya menjadi turun;

[3.11] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan a quo, Pemerintah

maupun DPR telah menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya bahwa

hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang termuat dalam Pasal 59 UU

13/2003, tetap tunduk pada perjanjian kerja yaitu kesepakatan berdasarkan

ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang harus dihormati para pihak. Di samping

itu syarat-syarat PKWT adalah sudah ketat yaitu hanya mengenai:

- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

- pekerjaan yang bersifat musiman; atau

- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Menurut Pemerintah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara

pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya sesuai dengan

ketentuan tersebut di atas, semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja

dan bukan masalah konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang

a quo. Oleh karena itu tidak ada persoalan konstitusionalitas pada Pasal 59

Undang-Undang a quo yang dipersoalkan Pemohon;

Page 116: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

37

Adapun mengenai pengujian Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang a

quo telah diadili oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak

permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28

Oktober 2004, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip, dan

kawan-kawan), sehingga menurut Pemerintah, Mahkamah tidak perlu

mempertimbangkanya lagi.

Pendapat Mahkamah

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama

permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, bukti-bukti yang

diajukan oleh Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara,

persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam

permohonan ini adalah: (1) Apakah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan berdasarkan PKWT

yang memperoleh pekerjaan dari suatu perusahaan lain bertentangan dengan

UUD 1945?; (2) Apakah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

yang menyediakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT bertentangan dengan UUD

1945?;

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan, norma yang mengatur

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 UU 13/2003 tidak

memberikan jaminan kelanjutan kerja bagi pekerja/buruh, serta tidak memberikan

jaminan atas hak-hak pekerja/buruh yang lainnya. Menurut Mahkamah, PKWT

sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003 adalah jenis perjanjian kerja yang

dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan

tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga hubungan kerja antara buruh dan

majikan akan berakhir begitu jangka waktu berakhir atau ketika pekerjaan telah

selesai dikerjakan. Oleh karena itulah Pasal 59 UU 13/2003 menegaskan bahwa

PKWT hanya dapat diterapkan untuk 4 jenis pekerjaan, yaitu: (i) pekerjaan yang

sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (ii) pekerjaan yang diperkirakan

dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)

tahun, (iii) pekerjaan yang bersifat musiman, (iv) pekerjaan yang berhubungan

dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam

percobaan atau penjajakan, dan bersifat tidak tetap;

Page 117: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

38

Dalam praktik, ada beberapa jenis pekerjaan yang termasuk kriteria disebut di atas

dengan alasan efisiensi bagi suatu perusahaan dan keahlian suatu pekerjaan

tertentu lebih baik diserahkan untuk dikerjakan oleh perusahaan/pihak lain, antara

lain pekerjaan bangunan, buruh karet, penebang tebu (musiman), konsultan,

ataupun kontraktor. Terhadap jenis pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh

menghadapi resiko berakhir masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah

selesai, dan harus mencari pekerjaan baru. Pada sisi lain, bagi pengusaha pemilik

pekerjaan akan lebih efisien dan tidak membebani keuangan perusahaan apabila

jenis pekerjaan demikian tidak dikerjakan sendiri dan diserahkan kepada pihak lain

yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tersebut, sehingga perusahaan

hanya fokus pada jenis pekerjaan utamanya (core business). Bagi pengusaha atau

perusahaan yang mendapatkan pekerjaan yang memenuhi kriteria tersebut dari

perusahaan lain, juga menghadapi persoalan yang sama dalam hubungannya

dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya dalam jenis pekerjaan yang sifatnya

sementara dan dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan jenis pekerjaan yang

demikian, wajar bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh,

karena tidak mungkin bagi pengusaha untuk terus memperkerjakan pekerja/buruh

tersebut dengan tetap membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai

dilaksanakan. Dalam kondisi yang demikian pekerja/buruh tentu sudah harus

memahami jenis pekerjaan yang akan dikerjakannya dan menandatangani PKWT

yang mengikat para pihak. Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal

1320 KUHPerdata, yang mewajibkan para pihak yang menyetujui dan

menandatangani perjanjian untuk menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT. Untuk

melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah karena

banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat penting

untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang

a quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat

pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagi pula,

jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu

merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma

yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian

menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945;

Page 118: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

39

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan

Pasal 66 UU 13/2003, suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat

secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu. Dalam praktik, jenis pekerjaan

demikian disebut “pekerjaan outsourcing”, dan perusahaan yang melaksanakan

pekerjaan outsourcing disebut “perusahaan outsourcing” dan pekerja/buruh yang

melaksanakan pekerjaan demikian disebut “pekerja outsourcing”. Berdasarkan

UU 13/2003 a quo ada dua jenis pekerjaan outsourcing yaitu outsourcing

sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan

outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana permasalahan di atas.

Pasal 65 Undang-Undang a quo, mengatur syarat-syarat penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan Pasal 66 Undang-

Undang a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh. Pekerjaan

yang diserahkan dengan cara outsourcing menurut Pasal 65 Undang-Undang

a quo harus memenuhi syarat: (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

(ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan; (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

dan (iv) tidak menghambat proses produksi secara langsung. Suatu perusahaan

hanya dapat menyerahkan pekerjaan yang demikian kepada perusahaan lain

yang berbentuk badan hukum dan harus dilakukan secara tertulis. Untuk

melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, Pasal 65 ayat (4) Undang-

Undang a quo menegaskan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi

pekerja/buruh pada perusahaan outsourcing sekurang-kurangnya sama dengan

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan

atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun

hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja

secara tertulis antara perusahaan outsourcing dan pekerja/buruh yang

dipekerjakannya, baik berdasarkan PKWT apabila memenuhi persyaratan Pasal

59 Undang-Undang a quo maupun berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak

tertentu. Jika syarat-syarat penyerahan sebagian pekerjaan tersebut tidak

terpenuhi maka status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan

Page 119: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

40

penerima pemborongan, demi hukum beralih menjadi hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan;

Adapun penyerahan pekerjaan melalui penyediaan jasa pekerja/buruh (pekerja

outsourcing) harus memenuhi syarat sebagai berikut:

(i) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan

outsourcing) tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk

melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung

dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(ii) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan

yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh;

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana

dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu

yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59

UU 13/2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat

secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh; dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan

perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

(iii) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum

dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan.

(iv) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud point angka i dan angka ii

huruf a, huruf b dan huruf d serta angka (iii) tidak terpenuhi, maka demi

hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara

Page 120: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

41

pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan norma yang terkandung dalam Pasal 65

dan Pasal 66 Undang-Undang a quo, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih

lanjut adakah ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan terancamnya hak

setiap orang dan hak-hak pekerja yang dijamin oleh konstitusi dalam hal ini hak-

hak pekerja outsourcing dilanggar sehingga bertentangan dengan UUD 1945, yaitu

hak yang diberikan oleh UUD 1945 kepada setiap orang untuk bekerja dan

mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja [vide

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945];

[3.16] Menimbang bahwa pasal-pasal tentang outsourcing pernah

dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan Putusan

Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Dalam putusan tersebut,

Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut, “Menimbang bahwa

berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata

dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja

dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha

berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh

dan perusahaan penyedia jasa beralih menjadi hubungan kerja antara

pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan

memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap

pengusaha, buruh/pekerja dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon

tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan

penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana

diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang a quo, mendapat

perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama perlindungan kerja dan syarat-

syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu

tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam

kesempatan yang tersedia maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan

aturan hukum dalam UU Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu

menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses

Page 121: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

42

produksi”;

[3.17] Menimbang bahwa posisi pekerja/buruh outsourcing dalam

hubungannya dengan perusahaan outsourcing, baik perusahaan outsourcing yang

melaksanakan sebagian pekerjaan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan

maupun perusahaan outsourcing yang menyediakan jasa pekerja/buruh,

menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara

pekerja/buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT. Apabila

hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan

perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja/buruh

outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja

pekerja/buruh outsourcing. Akibatnya, pekerja/buruh harus menghadapi resiko

tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau

perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh tidak lagi mendapat kontrak

perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja. Selain adanya ketidakpastian

mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja/buruh akan mengalami ketidakpastian

masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat

sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak

pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan

dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya. Walaupun,

sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003,

tanggal 28 Oktober 2004, terdapat perlindungan atas hak dan kepentingan

pekerja/buruh dalam Undang-Undang a quo [vide Pasal 65 ayat (4) UU 13/2004],

yang menyatakan bahwa “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi

pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-

syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”, akan tetapi sebagaimana

didalilkan oleh Pemohon maupun kenyataannya tidak ada jaminan bahwa

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja tersebut dilaksanakan. Dengan

demikian, ketidakpastian nasib pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan

outsourcing tersebut, terjadi karena Undang-Undang a quo tidak memberi jaminan

kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan

Page 122: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

43

serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan

bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to

protect the workers/laborers terabaikan;

[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan

pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

(perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu

perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Penyerahan pekerjaan atau

penyediaan jasa pekerja yang demikian harus memenuhi syarat-syarat

sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU 13/2003. Namun

demikian, Mahkamah perlu meneliti aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang

dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing

dengan pekerja/buruh. Memperhatikan syarat-syarat dan prinsip outsourcing baik

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan maupun melalui perusahaan

penyediaan jasa pekerja/buruh, dapat berakibat hilangnya jaminan kepastian

hukum yang adil bagi pekerja dan hilangnya hak setiap orang untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal

itu terjadi, karena dengan berakhirnya pekerjaan pemborongan atau berakhirnya

masa kontrak penyediaan pekerja/buruh maka dapat berakhir pula hubungan

kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh, sehingga

pekerja/buruh kehilangan pekerjaan serta hak-hak lainnya yang seharusnya

diperoleh. Menurut Mahkamah, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan

dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi

oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja

antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan

pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas

hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan

oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa

memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh. Jaminan dan

perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui

perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dengan pekerja/buruh

Page 123: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

44

berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang

lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja;

Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan

melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis

tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh

untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi

hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu

menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini

ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak

pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara

pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing

tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak

tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi

pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE)

yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh

dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah

konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak

tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja

antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing

berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-

haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan

perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of

Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan

pekerjaan outsourcing. Dalam praktik, prinsip tersebut telah diterapkan dalam

hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal suatu perusahaan diambil alih oleh

perusahaan lain. Untuk melindungi hak-hak para pekerja yang perusahaannya

diambil alih oleh perusahaan lain, hak-hak dari pekerja/buruh dari perusahaan

yang diambil alih tetap dilindungi. Pengalihan perlindungan pekerja/buruh

diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-

wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip

pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi

memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada

sukuk
sukuk
sukuk
sukuk
ASUS
Highlight
ASUS
Highlight
ASUS
Sticky Note
astagaaa........................
Page 124: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

45

suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut

kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang

diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia

jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada

sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa

persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk

meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya

pengalaman dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan

kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga

memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya,

karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan

sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing

tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing

dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.

Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian

perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum

untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan

industrial sebagai sengketa hak. Melalui prinsip pengalihan perlindungan

tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak konstitusional pekerja

outsourcing dapat dihindari.

Untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan

pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang

sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan

pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut

menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja

pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat

(4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 13/2003;

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

menurut Mahkamah Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2)

huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat (3), serta ayat (4) UU 13/2003 tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2)

sukuk
sukuk
ASUS
Highlight
ASUS
Highlight
Page 125: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

46

huruf b UU 13/2003 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945

(conditionally unconstitutional). Dengan demikian permohonan Pemohon

beralasan menurut hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) serta

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 5076).

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

• Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa

“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam

ASUS
Highlight
ASUS
Highlight
ASUS
Highlight
ASUS
Highlight
Page 126: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

47

perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan

hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi

pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari

perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa

“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya

pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap

ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian

pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh;

• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

• Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang

dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD. selaku Ketua

merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad

Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar,

masing-masing sebagai Anggota pada hari Kamis tanggal lima bulan Januari tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah

Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal tujuh belas bulan Januari tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami

Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan

Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria

Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan

didampingi oleh Eddy Purwanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh

Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan

Rakyat atau yang mewakili.

ASUS
Highlight
ASUS
Highlight
Page 127: PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24977/1/DEFI... · menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

48

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. td

Achmad Sodiki

ttd.

Hamdan Zoelva

ttd.

Muhammad Alim

ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Harjono ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

M. Akil Mochtar

PANITERA PENGGANTI,

ttd. Eddy Purwanto