perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan
TRANSCRIPT
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Pembuatan dan Pemasangan Gigi Tiruan Cekat Pada Tukang Gigi Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
Wulan Ariana Lestari, Heri Tjandrasari, Wahyu Andrianto
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi
Abstrak Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi. Dengan meninjau mengenai tanggung jawab tukang gigi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, dan Peraturan Menteri Kesehatan terkait pekerjaan tukang gigi, serta upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang dirugikan akibat komplikasi pasca perawatan pada tukang gigi. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan desain penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menyarankan dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh dinas kesehatan terkait serta pentingnya dilakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak terjebak pada dilema perawatan yang tidak sesuai standar.
Kata kunci: perlindungan konsumen, tukang gigi, gigi tiruan cekat.
Law Protection For Consumer Making and Installation Services of Permanent Denture By Dental Worker According to the Consumer
Protection Act No. 8 of 1999 and the Health Act No. 36 of 2009
Abstract
This thesis discusses about legal protection for consumers services making and installation of permanent denture by dental worker. With the review of the responsibilities of salesman in the Consumer Protection Act No. 8 of 1999, the Health Act Number 36 of 2009, and the regulation of the Minister of health related dental worker. Research conducted is normative legal research in descriptive research. The results of this research suggest that the education to society about dental health is important and also dental worker need to controlled by the Department of health.
Keywords: consumers protection, dental worker, denture.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Pendahuluan
Gigi tiruan merupakan teknologi di bidang kedokteran gigi yang berfungsi untuk
mengembalikan fungsi gigi yang disebabkan karena kehilangan gigi. Kehilangan gigi dapat
disebabkan oleh adanya karies atau gigi berlubang, penyakit periodontal (penyakit gusi
seperti gusi bengkak), penyakit sistemik (seperti pada penderita Diabetes Melitus), faktor
fisiologis (misalnya, gigi hilang karena usia lanjut) ataupun trauma pada gigi (seperti
serangan pada wajah ketika berolahraga).1 Jika kehilangan gigi tidak diatasi, maka akan
berdampak pada terganggunya fungsi mengunyah, berbicara, dan estetik seseorang.
Dahulu sebelum lembaga kedokteran gigi ada, kebutuhan tenaga kesehatan gigi
(dokter gigi) didatangkan langsung dari Eropa (Belanda). Namun, pada saat itu jumlah dokter
gigi dari Eropa yang dapat bekerja dan mau bekerja di Hindia Belanda sangat terbatas. Itupun
sebagian besar hanya untuk melayani kalangan Eropa yang bermukim di Indonesia. Jika
orang-orang pribumi menderita penyakit gigi, maka mereka memanfaatkan jasa dukun,
tukang gigi, atau tabib dengan pengobatan tradisional dan sebagian lainnya membiarkan
penyakit gigi yang dialaminya untuk sembuh dengan sendirinya. Pada saat itu, masyarakat
menganggap bahwa sakit gigi bukanlah sakit yang dapat menimbulkan kematian dan
kebersihan gigi bukanlah hal penting yang harus dilakukan sepanjang gigi masih bisa untuk
mengunyah makanan dengan baik.2 Pada zaman tersebut, hal yang berhubungan dengan
kesehatan gigi dan mulut merupakan adat dan kebiasaan. Pelayanan yang ada biasanya seperti
mengunyah sirih, melapisi gigi dengan emas atau logam, dan pemotongan gigi atau pangur. 3
Namun sekarang, di saat jumlah dokter gigi yang teregistrasi sudah sampai 19.000
orang,4 masih banyak dijumpai jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan yang bukan
dilakukan oleh dokter gigi. Contohnya adalah jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan
oleh ahli gigi pinggir jalan yang sebenarnya adalah tukang gigi. Pengetahuan dan kemampuan
yang diperoleh secara turun temurun menjadi landasan mayoritas tukang gigi berani
membuka praktik secara mandiri.
1Ardyan Gilang Ramadhan, Serba-‐Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, (Jakarta: Bukuné, 2010), hlm. 85. 2Bimo Rintoko, “Sejarah Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia”, http://bimorintoko-‐
fkg08.web.unair.ac.id/artikel_detail-‐44234-‐Umum-‐SEJARAH%20PENDIDIKAN%20KEDOKTERAN%
20GIGI%20DI%20INDONESIA%20.html, diunduh tanggal 14 Mei 2014 pukul 21.27 WIB. 3R.Hartono, Etika dan Prostetik Muthakhir Kedokteran Gigi, (Jakarta: EGC, 1994), hlm. 2. 4Persatuan Dokter Gigi Indonesia, “Tentang PDGI”, http://pdgi.or.id/info/get/about_ us, diunduh 1
Mei 2014 pukul 07.03 WIB.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Berdasarkan wawancara Penulis dengan seorang tukang gigi di wilayah Jakarta Timur,
izin yang diperoleh tukang gigi dalam menjalankan pekerjaannya bukanlah dari Pemerintah,
melainkan dari suatu perkumpulan tukang gigi yang diberi nama Asosiasi Tukang Gigi
Mandiri (Astagiri). Menurut seorang tukang gigi di Jakarta, untuk memperoleh izin membuka
praktik tukang gigi cukup mudah, yakni hanya dengan mendaftarkan diri saja kepada Astagiri.
Setelah itu, surat izin pun sudah dapat diperoleh tukang gigi yang bersangkutan. Terkait
dengan perizinan tukang gigi, Kementerian Kesehatan tidak mengeluarkan izin baru bagi
tukang gigi sejak 6 (enam) bulan setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
53/DPK/I/K/69 (untuk selanjutnya disebut dengan Permenkes nomor 53 tahun 1969) Tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi. Pasal 2 Permenkes
nomor 53 tahun 1969 menyatakan bahwa semua tukang gigi harus mendaftarkan diri pada
Menteri Kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan setelah peraturan ini
dikeluarkan. Artinya, semua tukang gigi harus mendaftarkan diri pada Menteri Kesehatan
agar dapat menjalankan pekerjaan sebagai tukang gigi yakni selambat-lambatnya pada Maret
1970. Di luar jangka waktu tersebut, maka tidak ada izin baru bagi tukang gigi. Kemudian,
keluarlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 (untuk
selanjutnya disebut Permenkes nomor 339 tahun 1989) Tentang Pekerjaan Tukang Gigi yang
menjadikan tidak berlakunya Permenkes nomor 53 tahun 1969. Inti dari Permenkes nomor
339 tahun 1989 adalah pembaruan izin bagi tukang gigi dan pembatasan kewenangan tukang
gigi menjadi membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian atau penuh tanpa menutup
sisa akar gigi.
Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan melakukan evaluasi dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/ 2011 (untuk selanjutnya
disebut Permenkes nomor 1871 tahun 2011) tentang Pencabutan Permenkes nomor 339 tahun
1989 dengan tujuan melindungi masyarakat dari kelalaian tukang gigi. Alasan
diundangkannya Permenkes nomor 1871 tahun 2011 adalah pelayanan kesehatan gigi dan
mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukan merupakan
kewenangan tukang gigi. Pasal 2 ayat (1) Permenkes nomor 1871 tahun 2011 menyatakan
bahwa tukang gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang gigi sampai
berlakunya Peraturan ini (Maret 2012) dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
dan tidak dapat diperpanjang kembali.5 Jika tukang gigi tidak mengindahkan aturan dalam
Permenkes nomor 1871 tahun 2011, maka akan terancam dengan sanksi pidana penjara 5
(lima) tahun dan denda Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004.
Tidak lama setelah diundangkannya Permenkes nomor 1871 tahun 2011, muncul
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang Perubahan Permenkes nomor
1871 tahun 2011. Alasan diundangkannya Permenkes nomor 026 tahun 2012 adalah
pemberlakukan Permenkes nomor 1871 tahun 2011 membutuhkan persiapan dalam
pelaksanaannya sehingga perpanjangan waktu pemberlakukan Permenkes nomor 1871 tahun
2011 perlu diperbarui. Dengan demikian, tukang gigi hanya boleh melakukan pekerjaannya
sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam Permenkes nomor 1871 tahun 2011
sampai 30 September 2012 atau sampai habis masa berlaku izin6 tukang gigi yang
bersangkutan.7 Namun, pada tahun 2012, muncul putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
40/PUU-X/2012 yang memutuskan bahwa tukang gigi yang memiliki izin dari Pemerintah
sebagaimana diatur dalam Permenkes nomor 53 tahun 1969 tidak akan terkena ancaman
pidana dalam Pasal 73 ayat (2) jo Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran sepanjang ia
menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-
undangan bagi tukang gigi.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan
pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun
2009?
5Kementerian Kesehatan (b), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011
Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan
Tukang Gigi, Pasal 2 ayat (1). 6Izin yang dimaksud merupakan izin yang diberikan kepada tukang gigi oleh Kementerian Kesehatan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 53/DPK/I/K/69. 7Kementerian Kesehatan (c), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi Nomor
339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Pasal I.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban tukang gigi atas tindakannya yang
mengakibatkan komplikasi penyakit yang dialami konsumen jasa pembuatan dan
pemasangan gigi tiruan cekat?
Tujuan umum dari dilakukannya penelitian ini adalah agar konsumen mengetahui hak
yang dimiliki konsumen dan terhindar dari perbuatan pelaku usaha yang merugikan
konsumen.
Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui mengenai:
1. Perlindungan hukum konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada
tukang gigi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
2. Pertanggungjawaban tukang gigi kepada konsumen atas tindakannya yang
mengakibatkan komplikasi penyakit yang dialami konsumen jasa pembuatan dan
pemasangan gigi tiruan cekat.
Tinjauan Teoritis
Penerima Jasa Pembuatan dan Pemasangan Gigi Tiruan Cekat Pada Tukang Gigi Sebagai
Konsumen
UUPK tidak menyebutkan secara tegas penerima jasa pemasangan gigi tiruan
termasuk pengertian konsumen. Maka itu, untuk dapat dikatakan sebagai konsumen, penerima
jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat harus memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka
2 UUPK yang mendefinisikan konsumen sebagai berikut: “Setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”
Jika kita uraikan pengertian konsumen tersebut maka akan diperoleh unsur-unsurnya,
yakni:
1) Orang.
Subyek hukum yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang (individu
alamiah) yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Dalam hal ini, pemakai
barang dan/atau jasa tukang gigi adalah individu alamiah yang memanfaatkan jasa
pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat dari tukang gigi.
2) Pemakai.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Kata “pemakai” menekankan bahwa konsumen yang diatur dalam UUPK adalah
konsumen akhir (ultimate consumer).8 Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna
dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam
hal ini, konsumen tukang gigi merupakan pemakai gigi tiruan cekat yang dibuatkan oleh
tukang gigi dan juga pemanfaat jasa tukang gigi dalam hal pembuatan dan pemasangan
gigi tiruan cekat.
3) Barang dan/atau jasa.
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untukdiperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan
oleh konsumen.9 Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap pelayanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.10 Dalam hal ini, penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan
menerima suatu barang yakni gigi tiruan yang berasal dari hasil transaksi dengan tukang
gigi dimana ada proses pemberian jasa pemasangan gigi tiruan cekat yang dilakukan oleh
tukang gigi.
4) Yang tersedia dalam masyarakat.
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di
pasaran. Tetapi, dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat ini sudah
tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan
pengembangan perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum
bangunan selesai dibangun. Dalam hal jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan, gigi
tiruan merupakan barang yang menjadi obyek jual beli antara konsumen tukang gigi dan
tukang gigi yang bersangkutan. Ketika gigi tiruan dipasangkan dalam rongga mulut
konsumen tukang gigi tersebut artinya barang tersebut sudah tersedia baginya.
Berdasarkan keterangan dari salah satu tukang gigi yang penulis wawancarai, biasanya
tukang gigi dapat langsung menbuatkan dan memasangkan gigi tiruan cekat pada
8Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.1, (Jakarta:PT Grasindo, 2000), hlm. 4. 9Indonesia (3), Undang-‐Undang Perlindungan Konsumen, op.cit, Pasal 1 butir 4. 10Ibid., Pasal 1 butir 5.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
konsumennya dalam satu kali kunjungan. Namun, untuk satu set gigi tiruan lepasan
biasanya dilakukan pemesananan terlebih dahulu sebelum dipasangkan dalam rongga
mulut konsumennya.11
5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.
Unsur yang diletakkan dalam definisi konsumen mencoba untuk memperluas
pengertian kepentingan yang tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi
juga diperuntukkan bagi orang di luar diri sendiri dan keluarga, bahkan makhluk hidup
lain. Terkait dengan penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan, termasuk dalam
pemanfaat jasa untuk kepentingan diri sendiri karena peruntukkan gigi tiruan yang
dipakainya memang untuk dirinya sendiri (bersifat individual), yakni gigi tiruan tersebut
dicetak berdasarkan ukuran dan bentuk gigi konsumennya.
6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.
Hal tersebut lebih mempertegas lagi pengertian konsumen dalam UUPK, yaitu
konsumen akhir.12 Dalam hal penerima jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan, gigi
tiruan cekat yang dipasangkan dalam rongga mulut konsumen tukang gigi merupakan
barang yang tidak untuk diperdagangkan kepada orang lain karena peruntukkannya yang
bersifat individual bagi sang pemakai karena gigi tiruan tersebut tercetak sesuai dengan
bentuk dan ukuran konsumennya.
Dengan demikian, penerima jasa pemasangan gigi tiruan merupakan konsumen bagi tukang
gigi karena memenuhi unsur dalam Pasal 1 angka 2 UUPK.
Tukang Gigi Sebagai Pelaku Usaha
Untuk dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, tukang gigi harus memenuhi unsur-unsur
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 3 UUPK
memberikan definisi pelaku usaha yang berbunyi: “Pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
11Wawancara dengan seorang tukang gigi (SA) di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Wawancara dilakukan
pada 2 Mei 2014 pukul 09.45 WIB. 12Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, op.cit., hlm. 4.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Berikut penjabaran unsur dalam Pasal 1 angka 3
UUPK:
1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik badan hukum maupun bukan badan
hukum.
Subjek hukum yang diatur dalam UUPK dapat berupa orang perseorangan atau badan
usaha. Dalam hal ini, tukang gigi tergolong dalam subjek orang perseorangan karena
melakukan kegiatan usahanya secara mandiri. Contohnya, dalam papan jasa sebuah praktik
tukang gigi bertuliskan “Tukang Gigi (Z)”, memiliki maksud bahwa (Z) adalah tukang gigi
yang akan menangani pembuatan dan pemasangan gigi tiruan konsumennya.
2. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.
Pelaku usaha yang diatur dalam UUPK merupakan pelaku usaha yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Dari hasil pengamatan
Penulis, tukang gigi sering dijumpai membuka praktiknya di pinggir jalan, khususnya di
wilayah Jakarta. Dengan demikian, praktik tukang gigi didirikan dan berkedudukan atau
melakukan melakukan kegiatan usaha di wilayah hukum negara Republik Indonesia.
3. Sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
UUPK mengatur bahwa usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan usaha,
harus dilakukan secara sendiri ataupun bersama-sama. Dalam hal ini, tukang gigi
melakukan kegitaan usahanya secara sendiri karena praktik tukang gigi bukanlah badan
usaha. Selain itu, tukang gigi juga mendapatkan imbalan yang biasanya berupa uang dari
konsumennya sebagai hasil dari barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumennya
sebagai bentuk menyelenggarakan kegiatan dalam bidang ekonomi. Berdasarkan
wawancara Penulis dengan seorang tukang gigi di Jakarta, berawal dari pengetahuan yang
diajarkan sanak saudaranya, tukang gigi biasanya langsung membuka praktik secara
mandiri di depan rumahnya. Namun, di Jakarta terdapat perkumpulan tukang gigi yang
diberi nama Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (Astagiri) di mana untuk menjadi anggota
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Astagiri harus mendaftarkan diri sebagai tukang gigi. Kemudian, tukang gigi yang
bersangkutan akan mendapatkan izin dari Astagiri untuk berpraktik sebagai tukang gigi.13
Dengan demikian, tukang gigi dapat dikatakan sebagai pelaku usaha karena memenuhi unsur
dalam Pasal 1 angka 3 UUPK.
Hak-Hak Konsumen
Hak konsumen menurut ketentuan UUPK, antara lain:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa.
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya
sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila
mengonsumsi suatu produk. Misalnya, konsumen membeli suplemen makanan dengan
tujuan meningkatkan stamina, bukan menambah keluhan penyakit akibat suplemen
kadaluarsa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada
tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini pula konsumen berhak
memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan
untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak memilih
yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk
tertentu karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen (baik
barang maupun jasa), atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain, maka dengan
sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi.
Selain itu, konsumen juga diberi hak untuk mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Hak ini
dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara
tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu
13Wawancara dengan seorang tukang gigi (SA) di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Wawancara dilakukan
pada 2 Mei 2014 pukul 09.45 WIB.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang
dan/atau jasa yang diperolehnya.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi
yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat
produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak
memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk karena dengan informasi
tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan atau sesuai kebutuhannya
serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah
mengenai manfaat atau kegunaan produk; efek samping atas penggunaan produk; tanggal
kadaluwarsa; serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat
disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan
mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-
iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media
elektronik.
Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan
efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya
terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang
memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan menguntungkan
baik konsumen maupun produsen.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan
lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa
pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila
informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, pengaduan atas
adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau berupa
pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu
lembaga tertentu, misalnya melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan
keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk dengan menempuh
jalur hukum.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen
memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari
kerugian akibat penggunaan produk. Dengan pendidikan konsumen, diharapkan
konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang
dibutuhkan.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
misalnya setiap orang mendapatkan layanan jasa rumah sakit tanpa dibedakan
berdasarkan suku, agama, maupun ras.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang
telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang
tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk
yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materil, maupun kerugian
yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan
hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di
luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.14 Yang
termasuk dalam hak ini yakni, misalnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak
memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.15
Dari kesembilan butir hak konsumen di atas dapat dilihat bahwa masalah kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam
perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan
kenyamanan, terlebih lagi tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak
layak untuk diperjualbelikan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, maka konsumen diberi hak untuk memilih barang
dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas,
dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan maka konsumen berhak untuk
didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi hingga ganti
rugi.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian
yang alat pengumpul datanya adalah studi dokumen dan wawancara. Dengan demikian,
peneliti berusaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bahan kepustakaan mengenai
hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan, disamping itu juga menggunakan
pendapat para ahli yang tersebar dalam berbagai buku dan bahan lainnya. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas:
1. Bahan hukum primer
Penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
perlindungan hukum bagi konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan pada
tukang gigi seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999,
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
53/DPK/I/K/69 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang
Gigi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan
Tukang Gigi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang
14 Indonesia (3), Undang-‐Undang Perlindungan Konsumen, op.cit., Pasal 4. 15 Ahmadi Miru, Prinsip-‐Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Ed. 1, cet. 2,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 111.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang
Pekerjaan Tukang Gigi, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Atas Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi.
2. Bahan hukum sekunder
Penulis menggunakan bahan-bahan yang akan memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer berupa buku-buku, artikel, skripsi, serta data-data lainnya yang
mendukung penyusunan skripsi ini. Penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa
buku-buku mengenai hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan, seperti buku
Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar karya AZ Nasution, buku Prinsip-
Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia karya Ahmadi Miru, dan Bab-
Bab Hukum Kesehatan karya Verbogt dan F. Tengker.
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, atau disebut juga bahan
penunjang dalam penelitian ini. Penulis menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia
sebagai pedoman penulisan.
Adapun data yang digunakan sebagai penunjang dalam pembahasan penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan
wawancara kepada narasumber yang merupakan ahli dalam bidang kedokteran gigi. Tipe
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan frekuensi suatu gejala.16 Penulis akan menjabarkan data yang diperoleh di
lapangan seperti hasil wawancara dengan tukang gigi terkait pekerjaannya dan hasil
wawancara dengan konsumen jasa pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang
gigi yang kemudian akan penulis pergunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang terjadi
di lapangan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif, yakni
metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari
penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-
16Sri Mamudji, et.al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga
diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.17
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan
fakta di lapangan. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan atas setiap data yang
didapatkan. Kemudian, hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk pemaparan yang bersifat
deskriptif. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum
tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Pembahasan
penelitian merupakan jawaban atas masalah yang dirumuskan pada awal penelitian.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari skripsi ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hak-hak bagi
konsumen, baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-
Undang Kesehatan, diterapkan dalam hal perlindungan hukum bagi konsumen jasa
pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi serta pertanggungjawaban dari
pihak tukang gigi atas kerugian yang dialami konsumennya.
Pembahasan
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 40/PUU-X/2012, seorang saksi ahli, drg.
Andreas Adyatmaka, MSc mengungkapkan pekerjaan menyimpang yang dilakukan oleh
tukang gigi. Pada kasus yang ditanganinya, pasien (sebut saja A) datang kepada Ahli dalam
keadaan sakit gigi yang luar biasa. Pasien mengatakan sakit semua, tetapi tidak tahu di mana
sakitnya. Kemudian, Ahli mencoba melihat gigi pasien (A) dan ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Terdapat gigi tiruan cekat yang dipasang dengan bahan self-curing acrylic (bahan akrilik
yang dapat mengeras melalui suhu ruang) dan bocor.
2. Ketika dilakukan foto rontgen, gigi-gigi itu disambung dengan kawat. Kemudian, di atas
kawat itu ditaruh akrilik dan di atas akrilik dipasang gigi.
3. Terjadi kebocoran yang menyebabakan pulpitis (radang) yang sangat sakit.
4. Terjadi resorpsi akar (degradasi atau penguraian akar).
17Ibid., hlm. 5.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Setelah mendiagnosis pasien (A), Ahli menawarkan kepada pasien (A) agar gigi tersebut
dibongkar dan pasien (A) menyetujuinya. Setelah dibongkar, ditemukan potongan dari bahan
self-curing acrylic, ada kawatnya, ada gigi, banyak karang giginya, kotoran gigi, dan bau
busuk. Pasien (A) mengatakan kepada ahli bahwa pada waktu gigi tiruan cekat dipasang
langsung bagus, langsung enak, dan meminta kepada tukang gigi (X) supaya memasangkan
gigi tiruan untuk istrinya. Namun, setelah 2 (dua) tahun, pasien (A) dan istrinya tersebut
merasakan sakit yang luar biasa. Berikut Analisisnya.
Pasal 4 UUPK
Pasal 4 huruf (a) UUPK yang menyatakan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.18 Sakit gigi yang
dialami (A) dapat tergolong sebagai bentuk ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam
pemakaian gigi tiruan cekat buatan tukang gigi (X). Pemasangan gigi tiruan cekat oleh tukang
gigi dapat membahayakan konsumen tukang gigi yang bersangkutan karena banyak tukang
gigi yang melakukan pemasangan gigi tiruan cekat pada sisa akar gigi asli untuk tipe gigi
tiruan mahkota (crown) dan pada gigi yang berada di sebelah gigi yang hilang untuk tipe gigi
tiruan jembatan (bridge). Tindakan ini dapat menyebabkan penumpukan plak (karang gigi)
sehingga menimbulkan iritasi pada jaringan lunak, bau mulut, hingga kematian gigi yang
bersangkutan dan kerusakan tulang rahang. Terkait dengan kasus ini, tukang gigi (X) telah
melanggar hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf (a) UUPK karena (A)
harus mengalami rasa sakit gigi yang luar biasa akibat kesalahan penanganan yang dilakukan
oleh tukang gigi (X).
Pasal 7 huruf (a) UUPK
Pasal 7 huruf (a) UUPK menyatakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya, yaitu beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya.19 Dalam kasus dikatakan bahwa tukang gigi (X) melakukan pembuatan dan
pemasangan gigi tiruan cekat pada (A) yang merupakan tindakan melampaui kewenangan
tukang gigi sebagaimana telah diatur dalam dalam Pasal 7 Permenkes nomor 339 tahun 1989.
Kewenangan tersebut yakni membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik, sebagian atau penuh dan
18Indonesia (3),Undang-‐Undang Perlindungan Konsumen, op.cit, Pasal 4 huruf (a). 19Indonesia (3),Undang-‐Undang Perlindungan Konsumen, op.cit, Pasal 7 huruf (a).
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
memasang gigi tiruan lepasan tanpa menutupi sisa akar gigi.20 Sedangkan tukang gigi (X)
telah melakukan tindakan di luar kewenangan tersebut, maka hal ini menjadi bukti bahwa
tukang gigi (X) tidak memiliki itikad baik dalam melakukan pekerjaannya yang tidak sesuai
dengan kewenangan dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, tukang gigi (X)
telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (a) UUPK yang merupakan wujud itikad tidak baik
terhadap (A).
Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan
Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kesehatan.21 Dengan adanya aturan dalam Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan, maka setiap
orang dilindungi haknya untuk sehat. Pasal 94 Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan,
alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi
dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Artinya Undang-Undang
Kesehatan mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak atas
kesehatan bagi setiap orang melalui pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau
oleh masyarakat. Atas dasar itulah, maka keluarlah Permenkes nomor 1871 tahun 2011 di
mana dalam bagian pertimbangannya menyatakan bahwa pelayan kesehatan gigi dan mulut
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukanlah merupakan
tukang gigi. Melalui Permenkes 1871 tahun 2011, tukang gigi boleh melakukan pekerjaannya
hanya Maret 2012. Kemudian, setelah dikeluarkannya Permenkes 1871 tahun 2011, keluarlah
Permenkes 026 tahun 2012 di mana tukang gigi mendapatkan perpanjangan waktu dalam
melakukan pekerjaannya sampai 30 September 2012. Dengan demikian, dengan adanya
Undang-Undang Kesehatan sesungguhnya telah ada perlindungan hukum bagi masyarakat.
Terkait dengan pertanggung jawaban bagi tukang gigi untuk mengganti kerugian
terhadap konsumen tukang gigi, UUPK telah mengakomodasi pilihan penyelesaian sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK.22 Dalam hal ini,
gugatan yang dapat diajukan kepada tukang gigi (X) adalah gugatan Perbuatan Melawan
20 Kementerian Kesehatan (a), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/ V/1989
Tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Pasal 7. 21 Indonesia (2), Undang-‐Undang Kesehatan, op.cit., Pasal 4. 22Indonesia(3), Undang-‐Undang Perlindungan Konsumen, op.cit. Pasal 45 ayat (1).
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Hukum melalui Pengadilan. Hal ini dikarenakan putusan pengadilan memiliki daya eksekusi
sehingga pemenuhan ganti rugi sebagai pertanggungjawaban pelaku usaha dapat ditegakkan.
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk melawan hukum atau tidak, maka
terdapat 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi, yakni adanya perbuatan, perbuatan tersebut
melawan hukum, adanya kerugian, adanya kesalahan, dan adanya hubungan kausal antara
perbuatan dan kerugian.
Pasal 1365 KUH Perdata
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk melawan hukum atau tidak,
maka terdapat 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi, unsur-unsur tersebut adalah:
1. Adanya suatu perbuatan
Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian
yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang
merupakan kelalaian (dilakukan secara pasif).23 Dalam kasus ini, tukang gigi (X)
melakukan suatu perbuatan kesengajaan dengan melakukan penanganan yang salah dalam
pemasangan gigi tiruan cekat kepada (A) yang berakibat pada kerugian yang dialami oleh
(A) setelah dipasangkan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi (X). Dengan demikian unsur
perbuatan bagi tukang gigi (X) dalam kasus ini terpenuhi.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
Perbuatan pada unsur pertama dikatakan memenuhi unsur kedua yaitu melawan
hukum apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
c. Bertentangan dengan kesusilaan.
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian (patiha).24
23Rosa Agustina, dkk. Hukum Perikatan (Law of Obligations),Ed. 1, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta:
Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm. 8. 24Ibid, hlm. 9.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Unsur-unsur di atas bersifat alternatif, artinya suatu perbuatan dapat dikatakan
melawan hukum dengan dipenuhinya salah satu unsur dari melawan hukum. Berikut
penjabarannya terkait dengan kasus tukang gigi (X) dan Saudari (A).
Putusan 40/PUU-X/2012 diputuskan pada tahun 2012, artinya kasus pembuatan dan
pemasangan gigi tiruan cekat sebagaimana diungkapkan oleh Drg. Andreas Adyatmaka
terjadi sebelum tahun 2012 dan pasien (A) datang kepada ahli setelah 2 (dua) tahun memakai
gigi tiruan cekat buatan tukang gigi (X). Dengan demikian, tukang gigi (X) terikat dengan
aturan mengenai pekerjaan tukang gigi sebagaimana diatur dalam Permenkes nomor 339
tahun 1989. Pasal 7 Permenkes nomor 339 tahun 1989 menyatakan bahwa kewenangan
tukang gigi hanya sebatas membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik (sebagian atau penuh) dan
memasang gigi tiruan lepasan tanpa menutup sisa akar gigi.25 Sedangkan pada kasus ini,
tukang gigi (X) telah membuat gigi tiruan cekat dan memasangkan gigi tiruan cekat kepada
(A). Dengan demikian, tukang gigi (X) melanggar kewenangan yang telah diberikan
Permenkes nomor 339 tahun 1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi.
Selain itu, aturan mengenai larangan bagi tukang gigi juga diatur dalam Pasal 9 huruf
(b) Permenkes nomor 339 tahun 1989 yang salah satunya menyatakan bahwa tukang gigi
dilarang melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat atau mahkota atau tumpatan
tuang dan sejenisnya.26 Terkait dengan kasus ini, dikatakan bahwa ketika dilakukan foto
rontgen, gigi-gigi itu disambung dengan kawat. Kemudian, di atas kawat itu ditaruh acrylic
dan di atas acrylic dipasang gigi. Dengan demikian, gigi tiruan yang dibuat oleh tukang gigi
(X) adalah gigi tiruan cekat. Maka, tukang gigi (X) telah melanggar ketentuan dalam Pasal 9
huruf (b) Permenkes nomor 339 tahun 1989.
3. Adanya kesalahan dari pelaku
Unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan unsur
melawan hukum, unsur ini menekankan pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana
perbuatan (yang meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur
melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang
bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi akibat perbuatannya yang salah.27 Unsur
25Kementerian Kesehatan (a), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang
Pekerjaan Tukang Gigi, op.cit., Pasal 7. 26Ibid., Pasal 9 huruf (b). 27Ibid., hlm. 10.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
kesalahan dalam kasus ini yakni pada tindakan tukang gigi yang telah menimbulkan
kerugian kesehatan bagi (A) akibat pemasangan gigi tiruan cekat yang di luar standar
keilmuan prostodonsia.
4. Ada kerugian bagi korban
Adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan
Perbuatan Melawan Hukum dapat dipergunakan. Dalam kasus ini, (A) harus menanggung
rasa sakit yang luar biasa akibat pemasangan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi (X).
Kerugian ini termasuk dalam kerugian immateril. Sementara itu, (A) juga harus
menanggung kerugian materil yakni biaya pemasangan gigi tiruan yang dibayarkan kepada
tukang gigi (X).
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga
merupakan syarat yang harus dipenuhi dari suatu perbuatan melawan hukum. Hubungan
kausal yang terjadi yakni tindakan pemasangan gigi tiruan cekat oleh tukang gigi yang
tidak sesuai dengan standar prosedur keilmuan prostodonti dan di luar batas kewenangan
yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 339 tahun 1989 menjadi sebab dari kerugian
yang dialami oleh (A), yakni timbulnya rasa sakit yang luar biasa.
Dengan demikian, tindakan tukang gigi dalam kasus ini memenuhi unsur Perbuatan Melawan
Hukum dan dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran
Terhadap pertanggungjawaban pidana juga dapat dituntut kepada tukang gigi (X)
karena telah melanggar Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran yaitu larangan
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.28 Oleh karena pelanggaran itu,
maka sanksi yang dapat diterima pelaku usaha yang dalam hal ini adalah tukang gigi
sebagaimana Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran nyatakan bahwa pelanggaran
Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran dapat dipidana dengan pidana penjara
28Indonesia (1), Undang-‐Undang Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No.116
Tahun 2004, TLN No.4431, Pasal 73 ayat (2).
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000 (seratus lima puluh
juta rupiah).29
Kesimpulan
1. Perlindungan hukum bagi konsumen, khusunya konsumen jasa pembuatan dan
pemasangan gigi tiruan cekat pada tukang gigi, sesungguhnya telah diakomodir
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan.
2. Pertanggungjawaban tukang gigi dalam memberikan ganti rugi kepada
konsumennya yakni dapat ditempuh melalui gugatan perbuatan melawan hukum di
Pengadilan Negeri.
Saran
1. Pembinaan tukang gigi dapat dilakukan oleh dinas kesehatan. Kemudian, dilakukan
pengawasan rutin terhadap tukang gigi agar tidak bertindak di luar batas
kewenangannya
2. Edukasi mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang teregistrasi kepada
masyarakat perlu dilakukan melalui berbagai media cetak maupun elektronik agar
masyarakat tahu dampak yang mungkin akan timbul jika memanfaatkan jasa yang
tidak teregistrasi untuk melakukan tindakan di bidang kesehatan.
3. Mewajibkan tukang gigi menempelkan aturan terkait tukang gigi, seperti Permenkes
nomor 53 tahun 1969, Permenkes 339 tahun 1989, Permenkes 1871 tahun 2011, dan
Permenkes 026 tahun 2012. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang ingin
menggunakan jasa tukang gigi tahu bahwa sesungguhnya tukang gigi tersebut tidak
boleh melakukan hal-hal di luar kewenangannya.
29Ibid., Pasal 78.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014
Daftar Referensi
Agustina, Rosa. et.al. Hukum Perikatan (Law of Obligations). Ed. 1. Denpasar: Pustaka
Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen,
2012.
Ardyan Gilang Ramadhan, Serba-Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, (Jakarta: Bukuné, 2010),
hlm. 85.
Hartono, R. Etika dan Prostetik Muthakhir Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC, 1994.
Indonesia. Undang Undang Tentang Praktik Kedokteran. UU No. 29 Tahun 2004. LN No.116
Tahun 2004. TLN No.4431.
Kementerian Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989
Tentang Pekerjaan Tukang Gigi.
Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 026 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011
Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989
Tentang Pekerjaan Tukang Gigi Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang
Pekerjaan Tukang Gigi.
Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011
Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989
Tentang Pekerjaan Tukang Gigi.
Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/ V/1989
Tentang Pekerjaan Tukang Gigi.
Mamudji, Sri. et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Ed. 1. cet.
2. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Persatuan Dokter Gigi Indonesia, “Tentang PDGI”, http://pdgi.or.id/info/get/about_ us,
diunduh 1 Mei 2014 pukul 07.03 WIB.
Rintoko, Bimo. “Sejarah Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia”. http://bimorintoko-
fkg08.web.unair.ac.id/artikel_detail-44234-Umum-
SEJARAH%20PENDIDIKAN%20KEDOKTERAN%20GIGI%20DI%20INDONESI
A%20.html. Diunduh tanggal 14 Mei 2014 pukul 21.27 WIB.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. cet. 1. Jakarta: PT Grasindo, 2000.
Perlindungan hukum..., Wulan Ariana Lestari, FH UI, 2014