perkembanganprospekperbankansyariahindonesiamea201

8
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Hal | 1 Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015 1 Dr. Halim Alamsyah Deputi Gubernur Bank Indonesia Pendahuluan Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar 2 , sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah. Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia (Grafik 1). Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non- bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat. Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam 1 Disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012 2 Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa. Grafik 1. Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)

Upload: puteri-as

Post on 25-Jul-2015

103 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 1

Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:

Tantangan Dalam Menyongsong MEA 20151

Dr. Halim Alamsyah Deputi Gubernur Bank Indonesia

Pendahuluan

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar2, sudah selayaknya Indonesia menjadi

pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian

yang mustahil’ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat

besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri

keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang

relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii)

peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan

minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan

syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai

underlying transaksi industri keuangan syariah.

Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, Indonesia menduduki

urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri

keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia (Grafik 1). Dengan melihat beberapa

aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-

bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka

Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan.

Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset

perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus

meningkat.

Pengembangan keuangan syariah

di Indonesia yang lebih bersifat market

driven dan dorongan bottom up dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat

sehingga lebih bertumpu pada sektor riil

juga menjadi keunggulan tersendiri.

Berbeda dengan perkembangan keuangan

syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi,

dimana perkembangan keuangan

syariahnya lebih bertumpu pada sektor

keuangan, bukan sektor riil, dan peranan

pemerintah sangat dominan. Selain dalam

1 Disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012

2 Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa.

Grafik 1. Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)

Page 2: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 2

bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada

lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-

negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas.

Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah

regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan

mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) –

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara

lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan

sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara

Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.

Peningkatan peranan industri keuangan

syariah Indonesia menuju global player juga

terlihat meningkatnya ranking total aset keuangan

syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009

menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan

nilai aset sebesar US$7,2 miliar (Tabel 1). Dengan

melihat perkembangan pesat keuangan syariah,

terutama perbankan syariah dan penerbitan

sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada

tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar

sehingga rankingnya akan meningkat signifikan3.

Perkembangan Perbankan Syariah

Selaku regulator, Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-

sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh

keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan

pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil

karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan

underlying transaksi di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar)

sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis

keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap

terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil

(profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil

bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun

pihak bank selaku pengelola dana.

3 Dengan menggunakan asumsi nilai kurs sebesar Rp9.100/US$, maka nilai aset perbankan syariah pada akhir tahun 2011 mencapai US$16,37 miliar, outstanding sukuk (negara dan korporasi) sebesar US$4,41 miliar, asuransi syariah sebesar US$0,97 miliar, reksadana syariah sebesar US$0,61 miliar.

Tabel 1. Urutan Negara Berdasarkan Aset Syariah

Sumber: Maris Strategies & the Banker, 2010

Page 3: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 3

Sampai dengan bulan Februari 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai

jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS,

dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru

nusantara (Tabel 2). Total aset perbankan syariah mencapai Rp149,3 triliun (BUS & UUS Rp145,6

triliun dan BPRS Rp3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1% (yoy) dari posisi tahun sebelumnya.

Industri perbankan syariah mampu menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang tinggi dengan

rata-rata sebesar 40,2% pertahun dalam lima tahun terakhir (2007-2011), sementara rata-rata

pertumbuhan perbankan nasional hanya sebesar 16,7% pertahun. Oleh karena itu, industri

perbankan syariah dijuluki sebagai ‘the fastest growing industry’.

Akselerasi pertumbuhan perbankan syariah yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan

perbankan nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional

menjadi 4,0%. Jika tren pertumbuhan yang tinggi industri perbankan syariah tersebut dapat

dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 15%-20% dalam

kurun waktu 10 tahun ke depan.

Tabel 2. Perkembangan Kelembagaan dan Kinerja Perbankan Syariah Indonesia

Faktor Pendukung Perkembangan Perbankan Syariah

Terdapat beberapa faktor yang secara signifikan menjadi pendorong peningkatan kinerja

industri perbankan syariah, baik dalam kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran

pembiayaan. Pertama, ekspansi jaringan kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor

dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam

membuka rekening di bank syariah. Kedua, gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada

masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran

dan minat masyarakat. Ketiga, upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) perbankan

syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional. Salah satunya adalah

pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile

banking maupun internet banking. Untuk mendukung hal ini, secara khusus Bank Indonesia

mendorong bank konvensional yang menjadi induk bank syariah agar mendorong pengembangan

jaringan teknologi informasi bagi BUS dan UUS yang menjadi anak usahanya.

Faktor keempat adalah pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan

kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun

2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

(sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang

PPN Barang dan Jasa. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari

sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).

Indikator 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

BUS 2 2 2 2 3 3 3 3 5 6 11 11 11

UUS 3 3 6 8 15 19 20 26 27 25 23 24 24

BPRS 79 81 83 84 88 92 105 114 131 138 150 155 155

Jaringan kantor 146 182 229 337 443 550 693 802 1,069 1,258 1,763 2,101 2,380

Aset (miliar Rp) 1,790 2,719 4,045 8,152 15,803 21,502 27,618 37,754 51,249 68,212 100,258 148,987 149,321

DPK (miliar Rp) 1,029 1,806 2,918 5,910 12,129 15,933 21,193 28,730 37,828 53,522 77,640 117,510 116,871

PYD (miliar Rp) 1,271 2,050 3,277 5,723 11,821 15,688 21,060 28,837 39,455 48,473 70,190 105,331 106,532

* posisi bulan Februari 2012

Page 4: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 4

Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU Sukuk menambah

outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka pengelolaan likuiditas. Sedangkan

pemberlakukan UU No.42 tahun 2009 merupakan ‘tax neutrality4’ atas transaksi murabahah yang

dilakukan oleh perbankan syariah dimana sebelumnya dikenakan pajak dua kali (double tax).

Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan syariah karena membuat pembiayaan

dengan akad murabahah menjadi lebih mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai

porsi yang dominan dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir.

Tantangan Pengembangan Perbankan Syariah

Di tengah perkembangan industri perbankan syariah yang pesat tersebut, perlu disadari

masih adanya beberapa tantangan yang harus diselesaikan agar perbankan syariah dapat

meningkatkan kualitas pertumbuhannya dan mempertahankan akselerasinya secara

berkesinambungan. Tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka pendek (immediate) antara

lain:

1. Pemenuhan gap sumber daya insani (SDI), baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi

perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDI secara memadai

sehingga secara akumulasi diperkirakan menimbulkan gap mencapai 20.000 orang. Hal ini

dikarenakan masih sedikitnya lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) yang

membuka program studi keuangan syariah. Selain itu, kurikulum pendidikan maupun materi

pelatihan di bidang keuangan syariah juga belum terstandarisasi dengan baik untuk

mempertahankan kualitas lulusannya. Untuk itu perlu dukungan kalangan akademis

termasuk Kementrian Pendidikan untuk mendorong pembukaan program studi keuangan

syariah. Industri perbankan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian

untuk mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan ‘link and

match’ dengan dunia pendidikan.

2. Inovasi pengembangan produk dan layanan perbankan syariah yang kompetitif dan berbasis

kekhususan kebutuhan masyarakat. Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat

sehingga bank syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk

menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh hanya

sekedar ‘mengimitasi’ produk perbankan konvensional. Bank syariah harus berinovasi untuk

menciptakan produk dan layanan yang mengedepankan uniqueness dari prinsip syariah dan

kebutuhan nyata dari masyarakat. Namun disadari bahwa lifecycle dari suatu inovasi produk

dan layanan perbankan syariah sangat pendek karena dengan mudah dan segera dapat

ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga mengurangi minat bank untuk berinovasi. Untuk itu,

perlu dibentuk semacam working group yang beranggotakan praktisi perbankan syariah

untuk memikirkan secara bersama-sama inovasi produk yang dapat dikembangkan.

Mekanisme lain yang dapat diambil untuk mendorong inovasi produk dan layanan adalah

memberikan patent selama beberapa tahun agar tidak ditiru oleh bank yang lain.

4 Berdasarkan Pasal 1 A ayat (1) huruf h UU No.42 Tahun 2009: ‘penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak’.

Page 5: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 5

3. Kelangsungan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kegiatan untuk

menggugah ketertarikan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan

perbankan syariah harus terus dilakukan. Namun disadari bahwa kegiatan ini merupakan

cost center bagi bank syariah. Selama ini kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah

didukung oleh Bank Indonesia melalui program ‘iB Campaign’ baik melalui media masa

(iklan layanan masyarakat), syariah expo, penyelenggaraan workshop/seminar, dsb. Peran

Bank Indonesia dalam hal ini akan berkurang seiring dengan pengalihan kewenangan

pengaturan dan pengawasan sektor perbankan (termasuk perbankan syariah) kepada

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk itu, industri perbankan syariah perlu meningkatkan

‘kemandirian’, baik dalam hal formulasi program maupun pembiayaannya sehingga

program ‘iB Campaign’ dapat terus berlangsung secara berkelanjutan.

Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain:

1. Perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah

secara komprehensif. Sistem keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem

keuangan konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan

sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai.

Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan

agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan

juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan

menggunakan ‘hukum fiqh’ masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena

perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation).

Untuk itu, perlu semacam kompilasi hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati

bersama untuk dijadikan rujukan dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan

kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan

perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara.

Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi

pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global.

2. Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk

menjembatani perbedaan dalam ‘fiqh muammalah’. Jika kita perhatikan secara jeli dalam

pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan

yang nyata dalam pemahaman ‘fiqh muammalah’. Di satu sisi terdapat negara yang terlalu

berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal)

dalam aplikasi ‘fiqh muammalah’ tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan

perselisihan sangat terbuka. Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap

sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan

transaksi keuangan akan menimbulkan risiko.

Untuk itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan agar

keuangan islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi

karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International Financial

Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Accounting and

Page 6: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 6

Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi

yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta

‘global regulation convergency’.

3. Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil

yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah,

hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal

hasil tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan

penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil,

perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak

ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai

melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan

pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan

peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan

kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini.

Perbankan Syariah Menghadapi MEA 2015

Sebagian pihak menkhawatirkan hadirnya kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

2015 sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari

negara lain. Kekhawatiran tersebut tidak beralasan jika memang kita mampu menunjukkan daya

saing (competitiveness) yang tinggi. Apakah industri perbankan syariah Indonesia siap

menghadapi MEA 2015?

Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4

miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di

dunia (Tabel 3). Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank

syariah Indonesia masih kalah dengan bank

syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor

utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut

membuat operasional bank syariah di Indonesia

kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah

di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang

membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang

cukup signifikan.

Dengan menggunakan indikator rasio

biaya operasional terhadap pendapatan

operasional (BOPO) pada tiga bank sampel untuk

masing-masing kategori terlihat bahwa bank

syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank

konvensional (Tabel 4). Namun dari sisi net

operational margin (NOM), beberapa bank syariah

Tabel 3. Urutan 25 Bank Syariah dengan Aset Terbesar, Tahun 2009-2010

Sumber: Maris Strategies & the Banker, 2010

Page 7: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 7

lebih unggul. Dari sisi profitabilitas, return on asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank

konvensional, namun dari sisi return on equity (ROE) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa

kondisi permodalan bank syariah relatif lebih kecil dibanding bank konvensional.

Tabel 4. Perbandingan Indikator Bank Syariah dan Konvensional di Indonesia

Kemudian apabila tiga sampel bank syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di

Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah di Indonesia

juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga terlihat dari indikator net operational

margin (NOM) bank syariah di Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih

tinggi dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian, bank syariah di

Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur

Tengah, terlihat dari tingginya indikator ROA maupun ROE (Tabel 5). Tak heran jika banyak

investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah di Indonesia.

Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat akselerasi pertumbuhan aset bank

syariah di Indonesia sehingga dapat mencapai skala ekonomi yang efisien.

Tabel 5. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara

Kelemahan lainnya dalam menghadapi MEA 2015 adalah diferensiasi produk keuangan

syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri

keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan

kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga ‘maqasid syariah’. Hal ini berbeda dengan negara lain

yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan.

Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding

dengan negara lain.

Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan

likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan

mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat

Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh

Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan

pada instrumen sukuk. Tingginya porsi pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrumen

Syariah Konv Syariah Konv Syariah Konv Syariah Konv

Sampel ke-1 1.91 3.38 66.64 23.81 76.54 67.22 2.14 5.51

Sampel ke-2 1.52 3.43 20.79 26.53 85.52 60.87 5.01 6.26

Sampel ke-3 0.40 2.40 3.18 18.04 98.56 79.06 7.59 5.85

Rata-rata 1.28 3.07 30.20 22.79 86.87 69.05 4.91 5.87

Keterangan: Sampel bank untuk kategori syariah dan konvensional berbeda

BankROA ROE BOPO NOM/NIM

IND MAL MEC IND MAL MEC IND MAL MEC IND MAL MEC

Sampel ke-1 1.91 0.95 3.64 66.64 27.31 23.37 76.54 29.59 27.83 2.14 2.78 5.15

Sampel ke-2 1.52 1.14 1.54 20.79 17.23 13.85 85.52 39.50 42.31 5.01 2.93 4.41

Sampel ke-3 0.40 0.76 1.12 3.18 9.97 10.94 98.56 64.30 41.04 7.59 4.07 3.60

Rata-rata 1.28 0.95 2.10 30.20 18.17 16.05 86.87 44.46 37.06 4.91 3.26 4.39

Keterangan: Sampel bank untuk masing-masing negara berbeda (IND: Indonesia; MAL: Malaysia; dan MEC: Middle East Countries)

ROA ROE BOPO NOMSampel Bank

Page 8: PerkembanganProspekPerbankanSyariahIndonesiaMEA201

Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Hal | 8

bank sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan

mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.

Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi

‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh

perbankan syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen

pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang

berkelanjutan pada industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat

membantu industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk

perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah tersebut diisi

oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar keuangan dan

perbankan syariah domestik.

Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap

SDI dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah

satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented

labours. Hal ini merupakan tantangan yang serius, mengingat pusat-pusat pendidikan dan

pelatihan keuangan dan perbankan syariah berada di luar negeri seperti Bahrain, Uni Emirat Arab,

dan Malaysia. Pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat

pendidikan dan pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap

tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. IAEI tentunya dapat

berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan

tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian

untuk mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah

sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.

Penutup

Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan bahwa upaya keras dari seluruh

stake holders industri keuangan syariah sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah dari para

praktisi, akademisi maupun asosiasi agar pengembangan menjadi lebih efektif dan efisien karena

dapat menghindari terjadinya redundancy dan suaranya menjadi lebih di dengar. Untuk itu, peran

IAEI dalam mempelopori dan mendorong keterpaduan langkah untuk menjawab berbagai

tantangan tersebut sangat diperlukan sehingga industri keuangan syariah nasional semakin

berkualitas, berkembang secara berkelanjutan dan mampu bersaing dalam kancah persaingan

global, khususnya dalam menyambut MEA 2015.

***