perkembangan konversi lahan pertanian beririgasi …

16
Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 4, Nomor 2 (2020): 384-399 https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2020.004.02.16 PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGUASAAN LAHAN PETANI DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR JAWA BARAT DEVELOPMENT OF AGRICULTURAL IRRIGATION LAND CONVERSION AND ITS IMPACT ON THE USE OF FARMER’S LANDS IN JATILUHUR IRRIGATION AREA WEST JAVA Heri Rahman 1* , Yusman Syaukat 2 , M. Parulian Hutagaol 2 , Muhammad Firdaus 2 1* Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung 2 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor * Penulis korespondensi: [email protected] ABSTRACT Irrigated agricultural land in the Jatiluhur Irrigation Area is the highest rice producer in West Java and a contributor to national rice. However, there has been a conversion of land over a period of six years amounting to 0.0082 or a decrease in land area per year on average 1,826.08 hectares with an average yield of 5 tons per hectare hence the loss of rice production of 18,260.80 tons per year. This condition is a threat and also a challenge for the role of Jatiluhur irrigation area in producing rice. West Tarum Main Canal has a high land conversion compared to the other two main canals. The impact of land conversion on farmers is that the status of farmers is more transformed into share croppers because they do not own land and the land ownership becomes increasingly narrow to < 0.5 hectares. Farmers who have changed a lot due to the impact of land conversion are in the West Tarum Main Canal with higher land conversion rates compared to the other two main canals. Keywords: Land conversion, Irrigated agricultural land, Jatiluhur, Rice ABSTRAK Lahan pertanian beririgasi di Daerah Irigasi Jatiluhur merupakan penghasil padi tertinggi di Jawa Barat dan penyumbang bagi padi nasional. Namun telah terjadi konversi lahan selama kuran waktu enam tahun sebesar 0,0082 atau terjadi penurunan luas lahan per tahun rata-rata 1.826,08 hektar dengan hasil rata-rata 5 ton per hektar maka kehilangan produksi padi sebesar 18.260,80 ton per tahun. Kondisi ini menjadi ancaman dan sekaligus tantangan bagi peran DI Jatiluhur dalam menghasilkan padi. Saluran Induk Tarum Barat memiliki konversi lahan yang tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran Induk lainnya. Dampak konversi lahan terhadap para petani adalah status petani lebih banyak berubah menjadi petani penggarap karena tidak memiliki lahan dan semakin menyempitnya kepemilikan lahan menjadi < 0,5 hektar. Petani yang banyak terjadi perubahan akibat dampak konversi lahan berada di Saluran Induk Tarum Barat dengan tingkat konversi lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran Induk lainnya. Kata kunci: Konversi lahan, Lahan pertanian beririgasi, Jatiluhur, Padi

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Volume 4, Nomor 2 (2020): 384-399

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2020.004.02.16

PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI DAN

DAMPAKNYA TERHADAP PENGUASAAN LAHAN PETANI DI DAERAH IRIGASI

JATILUHUR JAWA BARAT

DEVELOPMENT OF AGRICULTURAL IRRIGATION LAND CONVERSION AND ITS

IMPACT ON THE USE OF FARMER’S LANDS IN JATILUHUR IRRIGATION AREA

WEST JAVA

Heri Rahman1*, Yusman Syaukat2, M. Parulian Hutagaol2, Muhammad Firdaus2 1* Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung

2 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Irrigated agricultural land in the Jatiluhur Irrigation Area is the highest rice producer in West

Java and a contributor to national rice. However, there has been a conversion of land over a

period of six years amounting to 0.0082 or a decrease in land area per year on average 1,826.08

hectares with an average yield of 5 tons per hectare hence the loss of rice production of

18,260.80 tons per year. This condition is a threat and also a challenge for the role of Jatiluhur

irrigation area in producing rice. West Tarum Main Canal has a high land conversion compared

to the other two main canals. The impact of land conversion on farmers is that the status of

farmers is more transformed into share croppers because they do not own land and the land

ownership becomes increasingly narrow to < 0.5 hectares. Farmers who have changed a lot

due to the impact of land conversion are in the West Tarum Main Canal with higher land

conversion rates compared to the other two main canals.

Keywords: Land conversion, Irrigated agricultural land, Jatiluhur, Rice

ABSTRAK

Lahan pertanian beririgasi di Daerah Irigasi Jatiluhur merupakan penghasil padi tertinggi di

Jawa Barat dan penyumbang bagi padi nasional. Namun telah terjadi konversi lahan selama

kuran waktu enam tahun sebesar 0,0082 atau terjadi penurunan luas lahan per tahun rata-rata

1.826,08 hektar dengan hasil rata-rata 5 ton per hektar maka kehilangan produksi padi sebesar

18.260,80 ton per tahun. Kondisi ini menjadi ancaman dan sekaligus tantangan bagi peran DI

Jatiluhur dalam menghasilkan padi. Saluran Induk Tarum Barat memiliki konversi lahan yang

tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran Induk lainnya. Dampak konversi lahan terhadap para

petani adalah status petani lebih banyak berubah menjadi petani penggarap karena tidak

memiliki lahan dan semakin menyempitnya kepemilikan lahan menjadi < 0,5 hektar. Petani

yang banyak terjadi perubahan akibat dampak konversi lahan berada di Saluran Induk Tarum

Barat dengan tingkat konversi lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran

Induk lainnya.

Kata kunci: Konversi lahan, Lahan pertanian beririgasi, Jatiluhur, Padi

Page 2: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

385

PENDAHULUAN

Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang strategis karena memiliki peran

dalam perekonomian nasional sebagai penyumbang PDB dan penyedia lapangan kerja serta

penyedia pangan nasional. Namun seiring dengan berkembangnya dinamika pembangunan

nasional dan menguatnya peran sektor lainnya seperti industri, perdagangan, pertambangan dan

sebagainya, maka secara lambat laun peran sektor pertanian semakin menurun. Selain itu dengan

semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya, menyebabkan

ancaman bagi kebelanjutan lahan pertanian beririgasi. Lebih lanjut, dapat pula mengancam

terhadap penyediaan dan kebutuhan pangan nasional. Ketersediaan lahan pertanian beririgasi

merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk keberlangsungan produksi pertanian di

sawah beririgasi, karena lahan menjadi faktor produksi dalam berusahatani padi sawah. Namun

persoalan yang muncul saat ini adalah adanya konversi lahan pertanian ke sektor non pertanian.

Menurut Sastrosasmitho (2005) dalam Mawardi (2006) konversi lahan pertanian ke sektor

non pertanian kurang lebih 47.000 ha per tahun dan sebagian besar terjadi di Pulau Jawa sebesar

43.000 ha per tahun. Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi setelah Jawa Timur yang

menduduki peringkat kedua tertinggi konversi lahan pertanian di Indonesia (2000-2013) dengan

laju konversi 3.662 ha th-1, luas lahan 1.038.043 ha dan laju konversi 0,353 % th-1, sedangkan

Indonesia laju konversi 12.347 ha th-1, luas lahan 4.592.205 ha dan laju konversi 0,269 % th-1

(Mulyani dkk, 2016). Provinsi Jawa Barat sendiri merupakan salah satu sentra produksi padi di

Indonesia. Menurut Butar-Butar (2012) luas lahan pertanian padi sawah irigasi teknis yang

terkonversi sejak 2000-2010 mencapai mencapai 87.095 hektar atau 7917,73 hektar per tahun,

dengan laju konversi 1,80% per tahun. Adanya konversi lahan sawah tersebut mengubah luas

lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 seluas 458.240 hektar menjadi

371.145 hektar pada akhir tahun 2010. Jika rata-rata produksi padi sawah per hektar 5 ton, maka

Jawa Barat telah kehilangan produksi sebesar 39.588 ton per tahun

Salah satu daerah potensi penghasil padi nasional di Jawa Barat adalah daerah pantai utara

Jawa Barat, yaitu antara lain : Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan

Kabupaten Indramayu.Wilayah tersebut sebagian berada di DAS Citarum dan disuplai

kebutuhan air irigasinya bersumber dari Waduk Juanda (Jatiluhur). Daerah Irigasi Jatiluhur

difungsikan untuk mendukung pembangunan sektor pertanian guna menjamin ketahanan

pangan baik lokal maupun nasional.

Wilayah yang dilayani sistem pangairan Jatiluhur, dengan air yang berasal dari

Waduk Juanda, biasa disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. DI Jatiluhur merupakan sistem

irigasi terpadu terbesar di Indonesia bahkan di Asia, yang menggabungkan antara tampungan

dari waduk dan sumber air dari sungai-sungai setempat (Idrus dkk, 2012). Dari sumber utama

Waduk Juanda dialirkan ke Bendung Curug yang kemudian didistribusikan ke tiga Saluran

Induk Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur dengan total areal sawah beririgasi yang

harus diari seluas 230.090 hektar (MT 2016/2017). Lahan potensial yang harus di airi oleh DI

Jatiluhur cukup luas, namun dengan terjadinya penyusutan lahan akibat konversi lahan dapat

menimbulkan hilangnya potensi produksi padi di wilayah Jatiluhur.

DI Jatiluhur melintasi beberapa wilayah administratif antara lain Kabupaten Bekasi, Kodya

Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu. Wilayah

administratif yang berada di Daerah Irigasi Jatiluhur pun terdampak adanya konversi lahan

pertanian ke non pertanian. Saat ini, konversi lahan pertanian merupakan fenomena yang banyak

terjadi, terutama pada lahan sawah produktif yang terus menyusut dan beralih fungsi menjadi

lahan non pertanian. Secara ekonomi, dapat berdampak lebih buruk jika lahan yang

Page 3: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

386 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dikonversikan adalah lahan sawah produktif yang telah dilengkapi dengan sistem irigasi yang

memadai.

Menurut Catur dkk (2010) bahwa transformasi ekonomi yang ditandai pergeseran peran

antar sektor menuntut alih fungsi lahan pertanian dalam jumlah yang tidak sedikit. Kasus alih

fungsi lahan pertanian di daerah dengan produktivitas rendah tidaklah terlalu mengancam

produksi pangan. Namun ketika alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non pertanian

terjadi di lahan beririgasi dengan produktivitas tinggi, maka hal ini merupakan ancaman bagi

ketersediaan pangan (beras). Kemudian yang menjadi permasalahan adalah fenomena konversi

lahan sawah pun terjadi di wilayah Pantai Utara Jawa Barat dengan produktivitas padi sawah

tinggi dan didukung oleh sarana prasarana irigasi teknis yang memadai. Kondisi ini dapat

berdampak pada kondisi para petani, semula memiliki lahan luas menjadi menyempit, yang

memiliki lahan sempit menjadi tidak memiliki lahan, dan meningkatnya buruh tani dan petani

penggarap. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan

perkembangan konversi lahan pertanian beririgasi dan dampaknya terhadap penggunaan dan

penguasaan lahan usahatani padi sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini fokus pada area penelitian hanya di empat wilayah administratif meliputi :

(1) Kabupaten Indramayu, (2) Kabupaten Subang, (3) Kabupaten Karawang, dan (4) Kabupaten

Bekasi. Secara hidrologi, keempat wilayah administratif tersebut terbagi kedalam tiga Saluran

Induk (SI) meliputi Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur pada Daerah Irigasi Jatiluhur.

Untuk SI Tarum Barat mencakup Kabupaten Bekasi dan sebagian Kabupaten Karawang, SI

Tarum Utara mencakup Kabupaten Karawang, dan SI Tarum Timur mencakup sebagian

Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan sebagian Kabupten Indramayu seluruhnya berada

di Provinsi Jawa Barat.

Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur merupakan DI multipurpose, sebagai lumbung pangan lokal

(Jawa Barat) sekaligus salah satu penyumbang terbesar bagi pangan nasional. Namun seiring

dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi (industri) dan pertumbuhan pemukiman

penduduk (rumah tangga perkotaan) ke wilayah Pantai Utara Jawa Barat dapat diduga lahan

pertanian di Daerah Irigasi Jatiluhur telah mengalami konversi lahan pertanian beririgasi yang

dapat mengancam pada ketahanan pangan lokal dan nasional. DI Jatiluhur dikelola oleh Perum

Jasa Tirta II sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditetapkan melalui

PP No. 7 tahun 2010. Lingkup wilayah kerja PJT II dapat dilihat pada Gambar 1.

PJT-II berperan penting menjamin terselenggaranya pelayanan untuk sektor pertanian

di wilayah kerjanya yaitu dengan menyelenggarakan operasi dan pemeliharaan seluruh jaringan

primer dan operasi jaringan sekunder pada Daerah Irigasi Utara Jatiluhur dan Daerah Irigasi

Selatan Jatiluhur. Di dalam penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup DI Utara Jatiluhur.

Waktu penelitian dilakukan pada periode Musim Tanam Oktober 2016-September 2017,

dengan mengambil total responden petani sebanyak 471 orang dengan teknik sampling acak

sederhana (simple random sampling) secara proporsional (Gaspersz, 1991). Adapun responden

pada wilayah admistratif SI Tarum Barat sebanyak 105 orang, SI Tarum Utara sebanyak 171

orang dan SI Tarum Timur sebanyak 195 orang. Responden ini untuk mengetahui fenomena

penggunaan lahan usahatani padi sawah di ketiga Saluran Induk kaitannya dengan konversi

lahan pertanian beririgasi.

Page 4: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

387

Sumber : PJT II, 2017

Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II

Data dalam penenlitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer bersumber

dari para petani responden dengan wawancara menggunakan kuisioner, sedangkan data

sekunder dengan data utama berbentuk data time series. Semua data utama bersumber dari

Perum Jasa Tirta II Jawa Barat yang didasarkan pada aspek legalitas berupa SK Gubernur

tentang Rencana Tanam Padi Rendeng dan Padi Gadu dan Palawija di Daerah Irigasi Jatiluhur

dan Instruksi/SK Direksi PJT II tentang Rencana Pokok Penyediaan dan Penggunaan Air untuk

Tanam Padi Rendeng, Padi Gadu, dan Palawija, serta Kebutuhan Air Untuk Minum, Industri,

dan Perkebunan dan Kedua SK ini diterbitkan setiap musim tanam sepanjang tahun. Periode

data enam tahunan mulai tahun 2011/2012 sd. 2016/2017 (6 tahun). Data diambil hingga tahun

2016/2017 mengingat ketersediaan data dan keseragaman data yang dikumpulkan lebih lengkap

dan tersedia hingga tahun 2016/2017. Data utama adalah data luas areal tanam setiap musim

dan setiap tahun selama enam tahun.

Adapun data-data pendukung bersumber dari Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas

PUPR/SDA Kabupaten dan BBWS Citarum serta literatur-literatur dan situs-situs yang terkait

dengan penelitian ini yang menyediakan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian.

Analisis deskriptif dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian mengenai perkembangan

konversi lahan pertanian beririgasi dan dampaknya terhadap penggunaan dan penguasaan lahan

usahatani padi sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur. Analisis ini memperbandingkan dengan

perkembangan lahan dari tahun ke tahun.

Page 5: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

388 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Penggunaan Lahan dan Kecenderungan Konversi Lahan Pertanian

Perkembangan Rencana dan Realisasi Luas Areal Tanam

Luasnya areal yang harus diairi oleh DI Jatiluhur adalah 223.090 Ha dengan jangkauan

cakupan area kerja DI Jatiluhur yang dikelola oleh PJT II mencakup 4 Kabupaten/kota di Jawa

Barat. Beragamnya masyarakat pengguna air di DI Jatiluhur mulai dari petani, pelaku industri,

rumah tangga perkotaan, pelaku usaha, Balai/badan usaha dan sebagainya, memerlukan

pengaturan dan pengelolaan air irigasi Jatiluhur yang baik dan tertib. Karena itu, setiap musim

tanam setiap tahun diterbitkan SK Gubernur dan Instruksi/SK Direksi PJT II.

Pada Musim Tanam (MT) 2016/2017 diterbitkan SK Gubernur dan Intruksi Direksi. SK

Gubernur No. 521Kep 1012-Rek/2016 Tanggal Oktober 2016 Tentang Rencana Pokok

Penyediaan Dan Penggunaan Air Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017,

Tanam Padi Gadu Dan Tanam Palawija Musim Tanam 2017 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk

Air Minum, Industri Dan Perkebunan Tahun 2016/2017 Di Daerah Irigasi Jatiluhur dan

kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No.

1/DIR/01/IN/2016 Tanggal Oktober 2016 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan

Penggunaan Air Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017, Tanam Padi Gadu Dan

Tanam Palawija Musim Tanam 2017 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri

Dan Perkebunan Tahun 2016/2017 Di Daerah Irigasi Jatiluhur. Dengan menggunakan dasar

kedua SK tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data sekunder mulai MT

2011/2012 sampai dengan MT 2016/2017. Berikut rencana luas areal tanam musim rendeng

dan musim gadu di masing-masing Saluran Induk Tarum di Daerah Irigasi Jatiluhur dapat dilihat

pada Gambar 1.

Luas areal tanam setiap musim yang disusun dalam rencana tanam setiap musimnya

akan sangat menentukan terhadap rencana kebutuhan air. Pengaturan rencana tanam didasarkan

pada musim rendeng dan musim gadu. Musim Rendeng di awal pada bulan Oktober sampai

dengan bulan Maret, sedangkan Musim Gadu di awal bulan April sampai dengan bulan Agustus

untuk setiap tahunnya karena bulan September dilakukan pengeringan jaringan irigasi. Meski

pada musim tanam 2016/2017 belum dilakukan pengeringan. Pengeringan secara teknis

memang harus dilakukan, akan tetapi pengeringan dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi

di lapangan.

Secara rata-rata selama enam tahun mulai musim tanam 2011/2012 sampai dengan

2016/2017, data rencana/target luas areal tanam 100 % terealisasi. Artinya bahwa perencanaan

tata tanam sangat erat dengan kaitan penyediaan kebutuhan air irigasi, sepanjang air irigasi

tersedia mencukupi kebutuhan luasan areal yang direncanakan maka luas yang menjadi target

tanam dapat terealisasi.

Page 6: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

389

Sumber : Data Sekunder Diolah (2017)

Gambar 1. Rencana dan Realisasi Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Daerah Irigasi

Jatiluhur MT 2011/2012 s.d MT 2016/2017

Pola Tanam, Pemberian Air, dan Sistem Golongan Air

Daerah Irigasi Jatiluhur dengan jumlah ketersediaan air yang terbatas bagi kebutuhan

air irigasi, karena kebutuhan air diperlukan untuk air baku keperluan air minum, industri,

perkebunan, PT Sang Hyang Seri, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, dan Balai

Penelitian Air Tawar Sukamandi. Karena itu, pengaturan pola tanam dan pembagian golongan

air menjadi penting dan harus dipatuhi oleh masyarakat petani pengguna air irigasi. Rencana

tanam pada musim tanam 2016/2017 untuk musim rendeng dan musim gadu di Daerah Irigasi

Jatiluhur didasarkan pada jadwal tanam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rencana Tanam Musim Rendeng dan Musim Gadu Berdasarkan Golongan Air

Sumber : PJT II, 2017

Jadwal pemberian air dilakukan menurut golongan air. Pada kenyataannya seringkali

masa berlaku pemberian air di setiap golongan untuk musim rendeng menjadi 5 bulan dan 4,5

bulan pada musim gadu. Hal ini terjadi karena seringkali para petani menunda jadwal tanam

meskipun golongan air masuk pada golongan I, sehingga golongan air bergeser dari I menjadi

I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx I

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv II

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

AAAAAAAAAAAAAAAAA III

AAAAAAAAAAAAAAAAA

DDDDDDDDDDDDDDDD IV

DDDDDDDDDDD

1 Des 16 s/d. 31 Apr 17 NNNNNNNNNNNNNNNN V

NNNNNNNNNNNNNN

Gol.MT.RD. 2016\2017 MT.GD.Thn.2017

Feb.

1 Nov 16 s/d.15 Apr 17

1 Nop 16s/d. 31 Mrt 17

16 Okt 16 s/d.15 Mrt 17

1 Okt 16s/d.29 Feb 17

1 Mrt s/d.15 Juli 2017

16 Mrt s/d 31.Juli 2017

1 Apr s/d.15 Augs 2017

16 Apr.s/d. 31Augs 2017

1 Mei s/d. 15 Sep 2017

16 Okt 16 s/d.15 Mrt 17

1 Nov 16 s/d.15 Apr 17

Pemberian Air

1 Nop 16s/d. 31 Mrt 17

Sep..Mei..Mei..Jun Jul AugJan.. Mrt..Apr..

Tahun. 2016

Okt Nov Des.

Tahun. 2017

Page 7: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

390 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

II atau III. Kondisi ini sedikit mengganggu rencana pembagian air irigasi sesuai dengan

golongan air. Meskipun secara luasan areal tanam antar musim tidak berubah, tanaman dengan

diusahakan didominasi tanaman padi dan petani tidak menanam palawija, sehingga pola tanam

hanya padi-padi. Hubungan luas areal tanam dengan golongan air dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber : Data Sekunder Diolah (2017)

Gambar 2. Perkembangan Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Daerah Irigasi Jatiluhur

Berdasarkan Golongan Air pada MT 2011/2012 s.d MT 2016/2017

Pada Gambar 2 terlihat bahwa luas areal tertinggi pada golongan air II dan III, golongan

I di awal tanam, dan golongan V di akhir jadwal tanam memiliki luas areal tanam yang sedikit.

Kondisi ini nampak jelas pada setiap golongan air di masing-masing Saluran Induk, pada

golongan I yang menjadi awal masa tanam dan pemberian air lebih sedikit dan kemudian

meningkat pada golongan air II dan III, selanjutnya menurun kembali pada golongan air IV dan

V. Hal ini mencerminkan adanya pergeseran waktu tanam dan luas areal tanam di tingkat

usahatani dan petani lebih banyak menunggu setelah masa tanam pada golongan air I. Dengan

kondisi seperti ini menimbulkan golongan air ditingkat petani bertambah hingga VIII – X.

Berikut di bawah ini digambarkan tentang pemberiaan air menurut golongan air pada musim

tanam 2016/2017.

Kecenderungan Penurunan Luas Areal Tanam dan Alih Fungsi Lahan

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan ekonomi

terutama diperkotaan maka kebutuhan lahan untuk berbagai sektor semakin meningkat dan

meluas ke lahan sawah intensif yang menjadi sentra produksi sejak ratusan ribu tahun silam

(Irawan, 2005). Data BPS 2010-2016 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk rata-rata

per tahun di Provinsi Jawa Barat 1,54 %, Pulau Jawa 1,25%, dan Indonesia sebesar 1,36 %

(BPS, 2016). Angka pertumbuhan penduduk di Jawa Barat menunjukkan angka lebih tinggi

dibandingkan dengan angka Pulau Jawa dan Nasional. Dari sisi pembangunan ekonomi dapat

Page 8: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

391

terlihat bahwa sejak awal 1990an, pembangunan kawasan perumahan dan industri yang

meningkat di kawasan Kabupaten Bekasi telah menyebabkan lahan pertanian semakin

menyusut1. Data Dinas Kabupaten Bekasi lahan pertanian menyusut sekitar 1.500 hektar per

tahun, pada 2014 masih ada 52.000 hektar, sementara pada 2017 ini jumlahnya berkurang

menjadi 48.000. Lahan-lahan pertanian ini beralih menjadi kawasan perumahan ataupun

industri. Lebih lanjut Mulyani dkk (2013) menyatakan bahwa fenomena penyusutan lahan

hampir terjadi di seluruh provinsi dan kabupaten, terutama yang sebagian besar wilayahnya

berupa lahan sawah produktif, seperti di Bekasi dan Karawang.

Daerah Irigasi Jatiluhur yang berada di beberapa Kabupaten di wilayah Pantai Utara Jawa

Barat telah terjadi pembangunan pesat menjadi kawasan industri dan kawasan pemukiman.

Kawasan industri dan pemukiman lebih banyak menggunakan lahan sawah. Menurut Mulyani

dkk (2016) lahan sawah menjadi salah satu sasaran konversi bagi pengembang, karena lahan

umumnya datar, aksesibilitas tinggi dan dekat dengan sumber air. Sehingga banyak lahan

pertanian yang dialihfungsikan dan akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan lahan pertanian

beririgasi, terutama di Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten

Subang. Wilayah-wilayah tersebut kebutuhan air sawahnya dialiri dari Daerah Irigasi Jatiluhur.

Daerah Jatiluhur merupakan salah satu sentra produksi padi sebagai penyedia pangan di

Jawa Barat dan nasional. DI Jatiluhur sebagai penghasil beras mengalami tantangan yang berat

dalam keterbatasan lahan akibat adanya perkembangan industri dan jumlah penduduk yang

padat. Kondisi alih fungsi lahan selama kurun waktu enam tahun telah terjadi di area DI

Jatiluhur, terutama untuk SI Tarum Barat, dengan tingkat penurunan luas lahan yang terus

menurun. Demikian pula jika melihat secara total, kecenderungan penurunan areal lahan selama

enam tahun menunjukkan penurunan yang terus menerus.

Kondisi konversi lahan dapat dilihat dari perkembangan luas areal tanam di Daerah Irigasi

Jatiluhur selama kurun waktu enam tahun, sejak musim tanam 2011/2012 sampai dengan

2016/2017. Tren menunjukkan adanya kecenderungan penurunan areal lahan untuk usahatani

padi di Daerah Irigasi Jatiluhur. Hal ini dapat mengindikasikan adanya perubahan alih fungsi

lahan dari lahan pertanian beririgasi ke sektor non pertanian dari tahun ke tahun seperti industri,

pemukiman dan lain-lain. Jika dilihat per musim rendeng dan musim gadu selama enam tahun,

tampak rata-rata luas areal tanam mengalami penurunan sejak musim tanam 2011/2012 hingga

musim tanam 2016/2017. Penurunan mulai cukup tajam terjadi mulai musim tanam 2015/2016

hingga musim tanam 2016/2017 (Gambar 3).

1 Sri Lestari. Wartawan BBC Indonesia. 29 Agustus 2017. Sawah beralih jadi perumahan atau industri

mengancam ketahanan pangan. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41078646

Page 9: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

392 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Sumber : Data Sekunder Diolah (2017)

Gambar 3. Perkembangan Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Daerah Irigasi Jatiluhur

Musim Tanam 2011/2012 s.d. MT 2016/2017

Kecenderungan penurunan areal lahan selama enam tahun sebesar 0,025 %, dan per tahun

sebesar 0,0082%. Ini artinya bahwa di area wilayah Jatiluhur telah terjadi penurunan luas lahan

pertanian beririgasi per tahun rata-rata sebesar 1.826,08 hektar. Jika satu hektar dihasilkan padi

minimal 5 ton GKP per hektar per musim tanam, dalam satu tahun misalnya dua kali musim

tanam, maka akan ada kehilangan produksi padi sebesar 18.260,80 ton per tahun. Angka ini

cukup besar, kehilangan produksi di Provinsi Jawa Barat sebesar 39.588 ton per tahun. Angka

kehilangan produksi mencapai 45% dari total kehilangan produksi padi di Jawa Barat. Padahal

DI Jatiluhur hanya meliputi lima kabupaten/kota dari total 18 Kabupaten dan 9 Kota di Provinsi

Jawa Barat. Hal ini tentu akan mengancam terhadap ketersediaan pangan lokal dan nasional.

Lebih jauh lagi, akan ada banyak infrastruktur irigasi yang tidak terpakai (idle) karena

kehilangan lahan yang akan diarinya, sehingga PJT II perlu menyusun strategi pengembangan

pengelolaa air dan lahan ke depan untuk menahan laju konversi lahan pertanian beririgasi yang

terus menerus.

Perkembangan luas area tanam padi sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur selama enam tahun

dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4 nampak bahwa secara agregat di Daerah

Irigasi Jatiluhur lahan areal tanam padi sawah trennya menurun selama enam tahun, artinya telah

terjadi penyusutan luas lahan pertanian beririgasi baik musim rendeng maupun gadu.

Selanjutnya, jika ditinjau dari masing-masing Saluran Induk nampak bahwa Saluran Induk

Tarum Barat (Kabupaten Bekasi dan sebagian Kabupaten Karawang) memiliki tren

perkembangan yang cukup tajam dibandingkan dengan dua saluran induk lainnya. Saluran

Induk Tarum Utara (Kabupaten Karawang) dan Saluran Induk Tarum Timur (sebagian

Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu) memiliki tren yang

hampir sama penurunan meski tidak sebesar yang terjadi di Saluran Induk Tarum Barat.

Page 10: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

393

Sumber : Data Sekunder Diolah (2016)

Gambar 4. Perkembangan Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Saluran Induk Daerah Irigasi

Jatiluhur MT 2011/2012 s.d. MT 2016/2017

Sebagaimana hasil temuan penelitian yang lain, bahwa di Kabuaten Bekasi dan Kabupaten

Karawang yang masuk ke dalam SI Tarum Barat memiliki konversi lahan pertanian yang tinggi

dengan ditunjukkan adanya tren penurunan luas areal tanam selama enam tahun. Hal ini

menununjukkan bahwa lahan areal tanam padi sawah telah beralih fungsi ke lahan non pertanian

akibat pembangunan industri, usaha ekonomi, dan perumahan/properti yang tumbuh dengan

pesat.

Dampak Penurunan Luas Tanam Terhadap Penggunaan dan Penguasaan Lahan

Usahatani

Melihat kondisi perkembangan sebagaimana disajikan dalam Gambar 3 dan Gambar 4,

dapat dipastikan bahwa pada tataran kepemilikan lahan usahatani memiliki kontribusi dalam

penurunan luas lahan pertanian beririgasi di Daerah Irigasi Jatiluhur sehingga terjadi konversi

lahan. Kondisi ini, tentu saja berdampak terhadap kondisi penggunaan dan penguasaan lahan

oleh para petani. Menurut Mawardi (2006), konversi lahan pertanian umumnya dipicu oleh

rendahnya harga komoditas pertanian, tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari

lahan yang dimilikinya. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang

sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama, dan penyakit, serta tidak

tersedianya sarana produksi dan pemasaran (Handoyo, 2010).

Kondisi tersebut di atas akan dapat berdampak terhadap para petani. Ada beberapa hal yang

dapat berubah dengan semakin menyusutnya areal tanam atau luas lahan usahatani karena

konversi lahan sepanjang musim dan tahun antara lain : (1) status petani akan banyak berubah

dengan meningkatkan petani penggarap, berkurangnya petani pemilik, (2) penguasaaan lahan

usahatani yang semakin sempit < 0,5 hektar. Dua hal ini yang menjadi pokok pembahasan terkait

dengan dampak dari konversi lahan terhadap karateristik petani di Daerah Irigasi Jatiluhur.

Status Petani dalam Berusahatani

Page 11: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

394 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Petani yang dijadikan sebagai responden sebagian besar merupakan petani pemilik

penggarap (73,90%) dan penggarap (26,10%). Petani penggarap terbanyak berada di SI Tarum

Barat (26,67%), dikuti SI Tarum Utara (26,32%) dan SI Tarum Timur (25,59%). Hal ini dapat

dipahami bahwa di SI Tarum Barat (Kabupaten Bekasi dan sebagian Kabupaten Karawang)

merupakan SI paling tinggi terjadi konversi lahan pertanian beririgasi (lihat Gambar 4) bila

dibandingkan dengan kedua tarum lainnya, sehingga lambat laun kepemilikan lahan semakin

berukurang dan banyak petani yang tidak memiliki lahan usahatani sendiri. Status Responden

dalam Berusahatani di DI Jatiluhur MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Status Responden dalam Berusahatani di DI Jatiluhur Status

Petani

SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Pemilik

Penggarap 77 73,33 126 73,68 145 74,41 348 73,90

Penggarap 28 26,67 45 26,32 50 25,59 123 26,10

Jumlah 105 100,00 171 100,00 195 100,00 471 100,00

Sumber : Data Primer Diolah (2017)

Status petani ini memiliki keterkaitan dengan penguasaan lahan garapan usahatani,

dalam penguasaan lahan di Tarum Barat, penguasaan lahan petani cenderung lebih banyak

mengelompok persentasenya pada lahan yang sempit, sedangkan Tarum Timur cenderung

penguasaan lahannya mengelompok lebih banyak pada persentase penguasaan lahan di atas 1,5

hektar bila dibandingkan dengan kedua tarum lainnya.

Penguasaan Lahan garapan

Menurut Sumaryanto (2006), pengertian penguasaan lahan (tenancy) mencakup status

kepemilikan maupun penggarapan. Penelitian ini membagi ke dalam status kepemilikan lahan

dan status penggarapan lahan. Status kepemilikan lebih kepada jumlah luas lahan yang dimiliki

petani seperti lahan sawah, tegalan, pekarangan dan lain-lain, sedangkan status luas lahan

garapan lebih kepada luasan garapan yang diusahakan petani untuk bertanam padi sawah pada

lahan sawah beririgasi. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah dan Non Sawah di Daerah

Irigasi Jatiluhur MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah dan Non Sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur

Saluran Induk Lahan Sawah (Ha) Non Sawah (Ha) Total (Ha)

Tarum Barat 0,457 0,017 0,450

Tarum Utara 0,596 0,028 0,583

Tarum Timur 0,650 0,035 0,634

DI Jatiluhur 0,587 0,028 0,574

Sumber : Data Primer Diolah (2017)

Dari data Tabel 3, tampak secara konsisten bahwa petani di SI Tarum Barat cenderung

memiliki lahan sawah yang relaitf lebih sempit demikian pula dengan lahan non sawah. Hal ini

mengindikasikan bahwa semakin tinggi konversi lahan sawah maka kepemilikan lahan pun

semakin sempit. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah oleh Responden di Saluran Induk

Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur, MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah di DI Jatiluhur

Page 12: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

395

Kelompok

KepemilikanLuas

Lahan (Ha)

SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur

% Luas

(Ha) %

Luas

(Ha) %

Luas

(Ha) %

Luas

(Ha)

L= 0 26,67 0,00 26,32 0,00 25,64 0,00 26,11 0,00

0 < L ≤ 0,5 55,24 0,32 26,32 0,34 26,15 0,34 32,70 0,33

0,51 < L ≤ 1,0 14,29 0,81 43,27 0,79 42,56 0,80 36,52 0,80

1,0 < L ≤ 1,5 2,85 1,40 2,92 1,41 3,60 1,32 3,18 1,38

L > 1,5 0,95 3,50 1,17 1,90 2,05 3,38 1,49 2,97

Jumlah 100,00 0,45 100,00 0,58 100,00 0,63 100,00 0,57

Sumber : Data Primer Diolah (2017)

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa kepemilikan lahan garapan para petani di ketiga

Tarum cukup bervariasi. Secara strata pemilikan lahan SI Tarum Barat lebih banyak

mengelompok pada kepemilikan lahan 0 < L ≤ 0,5 sebanyak 55,24%, sedangkan untuk SI Tarum

Utara dan Tarum Timur mengelompok pada 0,51 < L ≤ 1,0 sebanyak 43,27% dan 42,56%.

Dilihat dari rata-rata kepemilikan lahan sawah di SI Tarum Timur tertinggi sebesar 0,63 hektar

dan terendah Tarum Barat sebesar 0,45 hektar. Pengaruh tingginya alih fungsi lahan dan

fragmentasi lahan cukup menentukkan terhadap luasan kepemilikkan lahan di tingkat petani.

Saluran Induk Tarum Barat dengan tingkat kompetisi penggunaan lahan yang tinggi

menyebabkan semakin menyempitnya kepemilikan lahan oleh para petani. Hal ini juga dapat

terlihat dari sisi petani yang tidak memiliki lahan (petani penggarap) di SI Tarum Barat lebih

banyak (26,67%) bila dibandingkan dua tarum lainnya.

Status Lahan Garapan Petani Pemilik Penggarap

Luas lahan garapan lebih banyak mengelompok pada luas lahan garapan 0,51 < L ≤ 1,0

dan 0 < L ≤ 0,5 untuk semua Tarum, dan sedikit sekali yang berada di atas 1 hektar bahkan di

atas 1,5 hektar baik di Musim Rendeng maupun di Musim Gadu. Jika dilihat antar Tarum,

terlihat bahwa SI Tarum Barat rata-rata luas lahan garapannya lebih kecil dibandingkan dengan

SI Tarum Utara dan SI Tarum Timur dengan luas lahan garapa pemilik penggarap terbesar ada

pada petani di SI Tarum Timur baik musim rendeng maupun musim gadu. Hal yang menarik

pada kelompok luas garapan di SI Tarum Barat lebih banyak pada kelompok 0 < L ≤ 0,5 hektar.

Hal ini berarti bahwa SI Tarum Barat penguasaan lahan garapannnya lebih banyak berada di

bawah 0,5 hektar, sedangkan SI Tarum Utara dan SI Tarum Timur berada di bawah 1 hektar.

Secara keseluruhan, untuk petani pemilik penggarap di Daerah Irigasi Jatiluhur

mengelompok pada 0,50< L ≤ 1,0 dan 0,00 < L ≤ 0,50 dengan rata-rata luas lahan di bawah 1

hektar. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan petani pemilik penggarap secara rata-

rata hanya mampu menggarap pada luasan 0,56-0,57 hektar. Rata-rata Luas Lahan Garapan

Petani Pemilik Penggarap Padi Sawah di DI Jatiluhur MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel

5.

Tabel 5. Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Pemilik Penggarap Padi Sawah di DI Jatiluhur Kelompok Luas

Lahan Garapan

(Ha)

SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur

% Luas

(Ha) %

Luas

(Ha) %

Luas

(Ha) %

Luas

(Ha)

Musim Rendeng

0 < L ≤ 0,5 75,32 0,32 35,71 0,34 35,17 0,34 44,25 0,33

0,51 < L ≤ 1,0 19,48 0,81 58,73 0,79 57,24 0,80 49,43 0,80

1,0 < L ≤ 1,5 3,90 1,40 3,97 1,41 4,83 1,32 4,31 1,38

Page 13: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

396 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

L > 1,5 1,30 3,50 1,59 1,90 2,76 3,38 2,01 2,97

Jumlah 100,00 0,45 100,00 0,58 100,00 0,63 100,00 0,57

Musim Gadu

0 < L ≤ 0,5 76,62 0,31 35,71 0,33 35,86 0,33 44,83 0,32

0,51 < L ≤ 1,0 19,48 0,81 58,73 0,79 56,55 0,79 48,85 0,79

1,0 < L ≤ 1,5 2,60 1,50 3,97 1,34 4,83 1,32 4,31 1,36

L > 1,5 1,30 3,50 1,59 1,88 2,76 3,38 2,01 2,86

Jumlah 100,00 0,44 100,00 0,57 100,00 0,60 100,00 0,56

Sumber : Data Primer Diolah (2017)

Status Lahan Garapan Petani Penggarap

Seperti telah dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3 dan Tabel 4 sebelumnya, petani

dengan status penggarap atau petani tidak memiliki lahan sawah sebanyak 123 orang petani

(26,11%), masing-masing untuk SI Tarum Barat, SI Tarum Utara, dan SI Tarum Timur, yaitu

28 petani (26,67%), 45 petani (26,32%) dan 50 petani (25,64%). Petani penggarap di SI Tarum

Barat seluruhnya (100%) mengelompok pada luasan garapan lahan di bawah 0,35 hektar dengan

luas rata-rata 0,24 hektar, tidak ada yang menggarap lahan baik sewa maupun bagi hasil di atas

0,35-0,70 hektar. Saluran Induk Tarum Utara kondisinya cukup bervariasi meskipun

didominasi pada kelompok di bawah 0,35 hektar (62,22%) sama halnya dengan SI Tarum Barat

dan sisanya di atas 0,35- 0,70 hektar (37,78%). Untuk SI Tarum Timur sama dengan kedua

Tarum lainnya, luas lahan paling banyak digarap berada pada luasan di bawah 0,35 hektar

(66,00%), sisanya ada pada luasan 0,52 < L ≤ 0,70 hektar (34,00%).

Tabel 6. Rata-Rata Luas Lahan Garapan Petani Penggarap di Daerah Irigasi Jatiluhur Kelompok Luas

Lahan Garapan

(Ha)

SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur

% Luas

(Ha) %

Luas

(Ha) %

Luas

(Ha) %

Luas

(Ha)

Musim Rendeng

0,10 < L ≤ 0,35 100,00 0,24 62,22 0,26 66,00 0,28 72,36 0,26

0,35 < L ≤ 0,52 0,00 0,00 22,22 0,40 0,00 0,00 8,13 0,45

0,52 < L ≤ 0,70 0,00 0,00 15,56 0,58 34,00 0,63 19,51 0,62

Jumlah 100,00 0,24 100,00 0,35 100,00 0,40 100,00 0,346

Musim Gadu

0,10 < L ≤ 0,35 100,00 0,23 62,22 0,25 66,00 0,27 72,36 0,25

0,35 < L ≤ 0,52 0,00 0,00 24,45 0,45 2,00 0,43 9,76 0,45

0,52 < L ≤ 0,70 0,00 0,00 13,33 0,59 32,00 0,62 17,88 0,61

Jumlah 100,00 0,23 100,00 0,34 100,00 0,38 100,00 0,337

Sumber : Data Primer Diolah (2017)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

(1) Daerah Irigasi Jatiluhur selama kurun waktu enam tahun terjadi konversi lahan pertanian

beririgasi ke non pertanian dengan dicirikan semakin menyusutnya luas areal tanam

sepanjang tahun di DI Jatiluhur.

(2) Saluran Induk Tarum Barat yang mencakup wilayah administratif Kabupaten Bekasi dan

sebagian Kabupaten Karawang merupakah Saluran Induk yang memiliki konversi lahan

Page 14: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

397

yang tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran Induk Tarum Utara (Kabupaten

Karawang) dan Tarum Timur (Sebagai Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan

Sebagaian Kabupaten Indramayu). Saluran Tarum Barat memiliki tingkat alih fungsi lahan

yang tinggi menjadi industri, permukiman, pertokoan, jalan tol dan sebagai kabupaten

penyangga Ibukota Jakarta.

(3) Rata-rata konversi lahan di DI Jatiluhur per tahun sebesar 0,0082 atau terjadi penurunan

luas lahan per tahun rata-rata 1.826,08 hektar dengan hasil rata-rata 5 ton per hektar maka

per tahun kehilangan produksi padi sebesar 18.260,80 ton per tahun. Kondisi ini dapat

mengancam peran DI Jatiluhur sebagai wilayah lumbung pangan Jawa Barat dan nasional.

(4) Dampak konversi lahan terhadap para petani adalah status petani lebih banyak berubah ke

petani penggarap karena tidak memiliki lahan dan semakin menyempitnya kepemilikan

lahan < 0,5 hektar.

(5) Petani yang memiliki perubahan akibat dampak konversi lahan terdapat pada petani yang

berada di Saluran Induk Tarum Barat dengan tingkat konversi lahan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kedua Saluran Induk lainnya.

Saran

(1) Pemberlakuan secara konsisten UU No. 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (LP2B) dan segera membentuk Perda LP2B bagi Pemeraintah

Kabupaten/kota di lingkup wilayah Jatiluhur dengan aturan turunannya sehingga dapat

mengendalikan alih fungsi lahan yang semakin tinggi,

(2) Pengelola DI Jatiluhur seyogyanya memastikan kembali nilai konversi lahan dengna

melakukan pemetaan lahan dengan citra satelit sehingga dapat mengantisipasi dan

mengendalikan alih fungsi lahan untuk mencegah terjadinya fungsi jaringan irigasi yang

“idle” dan tidak berfungsi,

(3) Alokasi dan distribusi air pada sektor pertanian agar adanya kerterjaminan pasokan air

irigasi ke lahan usahatani padi sawah sehingga lahan usahatani padi sawah akan tetapi

dipertahankan sebagai lahan pertanian beririgasi

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Biro Pusat Statitistik. 2016. Population Growth Rate by Province 2010-2016. BPS

Publication 2017. www.bps.go.id.

Butar-Butar, Elvira GV. 2012. Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di

Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Catur TB, Purwanto, J., Uchyani, R.F dan Susi W.A. 2010 Dampak Alih Fungsi Lahan

Pertanian Ke Sektor Non Pertanian Terhadap Ketersediaan Beras Di Kabupaten Klaten

Provinsi Jawa Tengah. Caraka Tani XXV No.1 Maret 2010: 38-42

Gaspersz V. 1991. Teknik Penarikan Contoh Untuk Penelitian Survei. Bandung (ID): Tarsito.

Handoyo, Eko. 2010. Konversi Lahan Pertanian Ke Non-Pertanian : Fungsi Ekologis Yang

Terabaikan. Forum Ilmu Sosial, Vol. 37. No. 2: 118-126

Idrus, Herman, R. Mayasari, dan G.A.J. Simamora. 2012. Dampak Pengelolaan Irigasi Modern

Terhadap Sistem Pemberian Air Irigasi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. Himpunan

Ahli Teknik Hidraulika Indonesia. Bandung, 19-12 Oktober 2012. Hal 19-3

Page 15: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

398 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor

Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, volume 23, No. 1, Juli 2005: 1-18.

Mawardi, I. 2006. Kajian Pembentukan Kelembagaan Untuk Pengendalian Konversi dan

Pengembangan Lahan, peran dan Fungsinya. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 2 No. 2: 206-

211

Mulyani, A., M. Sarwani, I. Las, F. Agus, D. Kuncoro, and M. Sahidin. 2013. Kajian mendalam

dan Penajaman Data serta Potensi Alih Fungsi Lahan. Laporan Akhir No.

20/LA/BBSDLP/2013. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Mulyani, A., D. Kuncoro, D. Nusyamsi, dan F. Agus. 2016. Analisis Konversi Lahan Sawah:

Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan Laju Konversi yang

Mengkhawatirkan . Jurnal Tanah dan Iklim. Vol. 40 No. 2: 121-133

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2012. SK Gubernur No. 521.21/Kep. 1204-Binprod/2011

tanggal 27 September 2011 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam

2011/2012 dan Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2012 di Daerah

Irigasi Jatiluhur

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2013. SK Gubernur No. 521.21/Kep. 1153-Binprod/2012

tanggal 25 September 2012 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam

2012/2013 Serta Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2013 di Daerah Irigasi

Jatiluhur

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2014. SK Gubernur No. 521/Kep 1542-Binprod/2013 tanggal

6 November 2013 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2013/2014 dan

Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2013/2014 di Daerah Irigasi

Jatiluhur

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2015. SK Gubernur No. 521/Kep. 1353-Binprod/2014 tanggal

30 September 2014 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2014/2015 dan

Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2015 di Daerah Irigasi Jatiluhur

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2016. SK Gubernur No. 521/Kep. 1098-Rek/2015 tanggal 25

September 2015 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2015/2016 dan

Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2016 di Daerah Irigasi Jatiluhur

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2017. SK Gubernur No. 521Kep 1012-Rek/2016 tanggal 10

Oktober 2016 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017 dan Musim

Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2017 di Daerah Irigasi Jatiluhur

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2012. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/376/KPTS/2011

Tanggal 25 September 2011 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air

Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2011/2012, Tanam Padi Gadu Dan Tanam

Palawija Musim Tanam 2012 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan

Perkebunan Tahun 2011/2012 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2013. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/352/KPTS/2012

tanggal 28 September 2012 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air

Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2012/2013, Tanam Padi Gadu Dan Tanam

Palawija Musim Tanam 2013 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan

Perkebunan Tahun 2012/2013 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.

Page 16: PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI …

Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

399

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2014. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/398/KPTS/2013

Tanggal 15 November 2013 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air

Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2013/2014, Tanam Padi Gadu Dan Tanam

Palawija Musim Tanam 2014 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan

Perkebunan Tahun 2013/2014 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2015. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/7/PRT/2014

Tanggal 30 September 2014 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air

Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2014/2015, Tanam Padi Gadu Dan Tanam

Palawija Musim Tanam 2015 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan

Perkebunan Tahun 2014/2015 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2016. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/1.1/INST/2015

Tanggal 1 Oktober 2015 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air Untuk

Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2015/2016, Tanam Padi Gadu Dan Tanam Palawija

Musim Tanam 2016 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan

Perkebunan Tahun 2015/2016 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2017. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/DIR/01/IN/2016

Tanggal Oktober 2016 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air Untuk

Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017, Tanam Padi Gadu Dan Tanam Palawija

Musim Tanam 2017 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan

Perkebunan Tahun 2016/2017 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.

[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2016. Laporan Tahunan (Annual Report) 2016. Purwakarta, Jawa

Barat.

Sumaryanto 2006. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi

Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Implementasinya. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.