perkembangan editing dunia

12
PROGRAM KULIAH KELAS KARYAWAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA PERTEMUAN 1 MODUL TEKNIK PASCA PRODUKSI Oleh : Rizki Briandana, M.Comm POKOK BAHASAN / TOPIC Perkembangan Editing Dunia DESKRIPSI / DESCRIPTIONS Memberikan pengetahuan teoritis tentang perkembangan dunia editing dunia. Mahasiswa juga dibekali dengan pengetahuan mengenai pengertian, karakteristik, serta ragam karya feature dan documenter. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS / SPECIFIC INTRUCTIONAL OBJECTIVES: Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan: 1. Memahami dan menjelaskan kembali perkembangan editing. Teknik Pasca Produksi Rizky Briandana, M.Comm Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana ‘12 1

Upload: justinus-isbani

Post on 14-Dec-2015

307 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

PROGRAM KULIAH KELAS KARYAWANFAKULTAS ILMU KOMUNIKASIUNIVERSITAS MERCU BUANA

PERTEMUAN 1

MODUL

TEKNIK PASCA PRODUKSIOleh : Rizki Briandana, M.Comm

POKOK BAHASAN / TOPICPerkembangan Editing Dunia

DESKRIPSI / DESCRIPTIONSMemberikan pengetahuan teoritis tentang perkembangan dunia editing dunia. Mahasiswa juga dibekali dengan pengetahuan mengenai pengertian, karakteristik, serta ragam karya feature dan documenter.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS / SPECIFIC INTRUCTIONAL OBJECTIVES:Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan

memiliki kemampuan:

1. Memahami dan menjelaskan kembali perkembangan

editing.

2. Mampu menyunting gambar dengan menguasai berbagai

macam bentuk teori editing.

Sejarah Editing Dunia

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘121

1. Jean Luc Godard (Spatial, Temporal & Graphical Discontinuity)

Sebenarnya Godard bukanlah orang pertama yang menggunakan metode editing

jump cut, yaitu sebuah menyambungan dua shot atau lebih, di mana angle dan type

of shot sama. Pada masa Brighton School, James Williamson dalam An Interesting

Story telah menggunakannya namun untuk tipuan kamera saja, yaitu ketika adegan

tokoh terlindas streamroller, sesaat sebelum terlindas dia menggantinya dengan

boneka dan mengganti orang lagi setelah dipompa oleh orang yang lewat. Pada

waktu yang hampir bersamaan, Melies juga telah menggunakannya namun mirip

dengan dengan Williamson, dia hanya memakainya sebagai pengganti tipuan

sulapnya.

Bedanya dengan kedua pendahulunya, Godard justru menggunakannya dengan

cerdas walaupun apa yang dilakukannya merupakan respon dari film-film yang

disebut sebagai cinema du papa (cinema orang tua). Godard merasa lelah dengan

kaidah-kaidah yang ketat yang diterpkan di dalam film-film Perancis pada masa itu,

sehingga dia mencoba untuk menabrak ketentuan tersebut. Salah satunya adalah

match on action atau match on cut yang seolah-olah sudah menjadi alamiah.

Caranya tentu saja dengan men-jump cut penyambungan di seluruh filmnya,

Breathless (À Bout De Souffle). Tentu saja secara ruang, waktu dan grafis, film

tersebut terasa melompat-lompat, namun suara yang dihadirkan oleh Godard tidak

terinterupsi sama sekali.

Dalam filmnya yang lain Crazy Pete (Pierrot Le Fou), Godard justru menyambung

shot sebuah kejadian linear dengan menyusunnya tidak sesuai urutan sehingga

sepintas penonton seperti dipermainkan dalam ruang dan waktu.

2. Yosijiro Ozu (Graphical Match Cut & Flowing in Editing)

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘122

Peletakkan kamera film-film Yasujiro Ozu memang tidak seperti yang dikenal oleh

banyak pembuat film di dunia. Dia bisa meletakkan kamera dimanapun seolah tanpa

gangguan. Namun setidaknya ada dua hal yang sangat konsisten dipertahankannya

dakan setiap filmnya, yaitu :

1. Graphical Continuity (Kesinambungan Grafis)

Keuntungan Ozu dalam merangkai aspek grafis (presentasi visual pada sebuah

permukaan) adalah bentuk elemen-elemen visual di Jepang, baik elemen rumah,

gapura, patung-patung dan lainnya yang cenderung memiliki keterpaduan yang kuat.

Lihat saja ornamen berbentuk kotak pada dinding dan pintu rumah.

Tentu saja keuntungan ini tidak akan menjadi optimal bila Ozu tidak dengan sadar

memanfaatkannya. Secara simetris, seringkali dihitungnya grafis tiap shot yang akan

disambung, sehingga bila shot pertama elemen visualnya menutupi kiri-kanan bagian

frame, maka dia akan menyambungnya dengan komposisi yang nyaris sama.Namun

Ozu juga dapat melakukan penyambungan gerak dari orang yang berbeda namun

dia mengatur dari posisi duduk, foreground serta background-nya serupa, sehingga

ketika disambung penonton akan merasakan aliran (flowing) yang halus.

2. Match On Action

Ketika membicarakan tentang flowing (aliran) dalam editing, dengan dibantu oleh

unsur-unsur grafis di dalamnya, Ozu melakukan penyambungan match on action /

match on cut dengan memiliki tingkat presisi yang tinggi, sehingga penonton tidak

lagi peduli dengan discontinuity spatial (ketidaksinambungan ruang) saat dia

melanggar Kaidah 180o atau garis imajiner. Hal ini juga yang membuat film-filmnya

terasa mengalir tanpa ada gangguan apa-apa.

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘123

3. Luis Bunnuel (Visual Discontinuity)

Ekspresionisme, surrealisme dan psikoanalisis merupakan teori yang berkembang

dan mempengaruhi para seniman di era 1920-an. Salvador Dali dan Luis Bunuel

awalnya menggunakan film sebagai pengganti kanvasnya, namun mereka melihat

keberbedaan media ini dan mencoba membuat unsur penceritaannya. Seperti Dziga

Vertov, mereka juga melawan pola penceritaan klasik ala Griffith dalam filmnya. Juga

bereaksi seperti Eisenstein, Bunuel menggunakan dialektika serta kontrapung pada

penyambungan shot-shotnya. Selain itu dia Bunuel mencoba menghancurkan

pemaknaan dalam film dan sering menyelingi filmnya dengan adegan-adegan yang

mengejutkan. Dalam film Un Chien Andalou, saat adegan di malam hari, tokoh

diteras sedang melihat awan yang melintasi bulan purnama, disambung dengan

mata seorang perempuan yang disayat pisau cukur. Juga ketika tokoh lelaki ingin

mendekati tokoh perempuan, tiba-tiba saja di pundaknya terikat kuat tali yang terikat

kuat pada piano yang di atasnya terdapat dua keledai mati.

Yang terpenting dalam filmnya adalah menyuguhkan puncak-puncak

ketidaksingkronan visual. Tentu saja pola editing klasik seperti Griffith telah

dikubunya dalam-dalam sebab yang jelas digunakannya adalah aspek visual yang

tidak memiliki kesatuan (disassociation visual). Konsekuensinya, metode ini

memperluas pilihan pembuat film dengan cara menciptakan pengertiannya sendiri,

mengganggu, merampas makna, juga mengubur pengetahuan dari penontonnya.

Bunuel juga menawarkan alternatif pengembangan penceritaan, yaitu :

• Penggantian karakter dengan karakter lain

• Menawarkan plot non-linear

• Mengaburkan tujuan (goal) dari tokohnya

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘124

Hal ini membuat penontonnya frustasi, namun mereka setidak mereka bisa

mendapatkan pengalaman yang berbeda dari sebelumnya.

4. Lev Kuleshov (1899-1970)

5. Vsevolod Pudovkin (1893-1953)

6. Sergei Eisenstein (1898-1948)

7. Dziga Vertov (b. Denis Kaufman, 1896-1954)

8. David Wark Griffith (Classical Editing)

Jangan pernah percaya pada ucapan buku-buku yang menyebutkan David Wark

Griffith sebagai ‘bapak’ dari berbagai macam penemuan di dalam sinema.

Sebenarnya dia hanya meneruskan dan menyempurnakan pembahasaan di dalam

sinema itu sendiri. Tetapi sejujurnya, memang banyak yang telah dilakukan oleh

Griffith dalam membangun bahasa sinematiknya sendiri. Terutama ketika titik tolak

sinema disebut klasik berawal dari masa dimana dia berada. Istilah klasik digunakan

karena apa yang dilakukan Griffith masih digunakan hingga sekarang.

Louis Giannetti mengatakan bahwa dalam era Classicism, Griffith sudah

menggunakan Classical Cutting yaitu usaha menggunakan editing bukan hanya

sebagai perangkat fisik untuk menyambung antar sequence seperti pada film-film

Melies dan Edwin Porter, namun digunakan untuk intensitas dramatik dan

penekanan emosional. Tentu saja hal itu tidak dilakukannya sendiri sebab dia justru

mengembangkan dari apa yang sudah ada sebelumnya.

Misalnya saja, untuk membuat sebuah film panjang kolosal dia dipengaruhi oleh

kesempurnaan yang dihadirkan oleh Giovanni Pastrone saat membuat Cabiria

(1914). Namun apa yang dilakukan Griffith menjadi sangat progresif. Awalnya Grifftih

melakukan sistematisasi shot, di mana dia tidak sekedar menyambung beberapa tipe

shot yang berbeda namun mengaturnya sedemikian rupa dengan perlakuan dan

ekspresi yang kompleks. Artinya decoupage yang telah dibuat, disusun sedemikian

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘125

rupa sehingga penonton dapat memahami apa yang diinginkan pembuatnya. Hal ini

seperti yang pernah dikatakan Griffith “The task I am trying to achieve is above all to

make you see.” Apa yang diinginkan oleh classical cutting adalah mencoba membuat

penonton memahami adegan yang disajikan sehingga secara normatif urtuannya

adalah :

• Extreme Longs Shot (ELS / XLS)

• Long Shot (LS)

• Full Shot (FS)

• Medium Shot (MS)

• Medium Close Up (MCU)

• Close Up (CU)

• Big Close Up (BCU)

• Extreme Close Up (ECU / XCU)

Urutan ini juga bisa dibuat terbalik dan bila terjadi interupsi, maka shot selanjutnya

harus kembali pada shot sebelum diinterupsi atau melanjutkan tipe shot sebelum

diinterupsi. Contohnya :

1. LS Rumah tokoh.

2. FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang membawakan minum

dengan cangkir dan sebuah teko.

3. MS Sang istri menyerahkan cangkir.

4. CU Tangan memegang cangkir.

5. MS Sang istri menuangkan air teh dari teko.

6. MCU Tokoh meneguk tehnya

7. CU Tokoh merasa segar

Namun bisa juga dibuat dengan cara :

1. LS Rumah tokoh.

2. FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang membawakan minum

dengan cangkir dan sebuah teko.

3. MS Sang istri menyerahkan cangkir.

4. CU Tangan tokoh memegang cangkir dan tangan istri menuangkan air teh di teko.

5. MCU Tokoh meneguk air teh dari cangkir.

6. CU Tokoh merasakan kesegaran setelah meminum tehnya.

Namun Griffith sendiri tidak secara kaku menerapkan urutan seperti di atas, sebab

sekali lagi dia menyusunnya lebih kompleks dan kreatif. Misalnya saat ingin

menjelaskan sebuah adegan keluarga Cameron pada scene ketiga dalam film Teh

Birth of a Nation, dia mengurutkannya adalah sbb:

1. LS Depan rumah keluarga Cameron.

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘126

2. LS Bonnie Cameron di pekarangan dekat rumahnya.

3. LS Depan rumah keluarga Cameron di mana ada dua anak jatuh dari kereta kuda.

4. LS Bonnie Cameron keluar dari pekarangan.

5. LS Bonnie Cameron menuju depan rumahnya hingga bertemu dengan seorang

gadis di kereta kuda.

6. MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda

7. LS Interior rumah keluarga Cameron. Margareth sedang menuju ke lantai dua.

8. MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda.

9. LS Bonnie Cameron selesai berbincang dengan gadis di kereta kuda lalu menuju

teras rumahnya.

10. FS Keluarga Cameron sedang bercengkerama di teras.

11. MS Bonnie Cameron berbincang dengan ayahnya Camera Tilt Down dua

anak anjing yang sedang bermain dekat kaki Bonnie.

12. MS Bonnie Cameron bercanda dengan adiknya yang paling kecil.

Decoupage yang dilakukan Griffith ini tidak hanya berhasil mendapatkan detail yang

lebih banyak, namun juga menguasai reaksi penonton yang jauh lebih besar. Secara

sengaja dia memaksa penonton untuk melihat apa saja yang harus mereka lihat.

Kesatuan ruang dan waktu pada adegan sebenarnya berubah secara radikal. Hal

tersebut digantikan dengan kontinuitas subjektif keterkaitan ide terkandung dalam

shot shot yang terhubung.

Sekali lagi, apa yang dilakukan Griffith ini sesungguhnya adalah mencoba membuat

cutting itu memiliki intensitas dramatik dan penekanan emosional, sehingga

setidaknya dia dapat mengembangkan dramatisasi tersebut menjadi tiga bagian

yaitu :

• Dramatic Content (kandungan dramatik) :  Sebelum menyambung, setiap shot

harus memiliki kandungan dramatik yang kuat agar dapat memperkuat

keterhubungannya.

• Dramatic Context (hubungan dramatik) : Hubungan dramatik yang dimaksud

merujuk pada setidaknya dua shot yang akan disambung apakah hubungan

tersebut memiliki nilai informasi atau estetik.

• Dramatic Impact (dampak dramatik)

Apa akibat yang akan diterima penonton saat menyaksikan penyambungan-

penyambungan tersebut?  Dengan menggunakan ketiga hal ini maka Griffith dapat

leluasa melakukan editing secara progresif dan kompleks sehingga ada beberapa

metode atau gaya editing muncul dari kaidah-kaidah di atas.  Dari apa yang sudah

dilakukan oleh Griffith pada The Birth of a Nation sudah dilakukannya intercut ‘yang

sempurna’, yaitu penyambungan berselang-seling sebuah adegan dalam satu ruang

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘127

atau lebih namun harus dalam satu waktu. Bila adegan tersebut berada dalam ruang

yang berbeda, maka harus memiliki garis aksi yang sama.

Selain itu Griffith juga sudah membuktikan akan efisiennya Paralel Editing, yaitu

penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih yang diasumsikan terjadi

dalam waktu yang sama namun tidak memiliki garis aksi yang sama. Contohnya,

ketika adegan penyerangan keluarga Cameron, penahanan Elsie Stoneman oleh

Silas Lynch dan kedatangan Ku Klux Klan disambung berselang-seling secara

bergantian dan menunjukkan waktu yang terjadi secara bersamaan.Selain itu Griffith

juga sudah melakukan sebuah terobosan dengan membuat Cross Cutting saat

memperlihatkan adegan Margaret Cameron mengingat kedua saudara laki-lakinya,

Griffith menyambungnya dengan shot-shot saat mereka menemui ajal. Secara

sederhana Cross Cutting dipahami sebagai penyambungan berselang-seling dua

adegan atau lebih terjadi dalam ruang dan waktu yang berlainan, namun memiliki

keterhubungan tema atau kesatuan tema.

Namun yang menarik adalah ketika Griffith juga membuat suatu sequence

penyelamatan keluarga Cameron dari keganasan pasukan kulit hitam, di mana dia

menggunakan paralel editing pada awalnya dan menjadi intercut di bagian akhirnya

ketika Ku Klux Klan dapat menghabisi pasukan utara dan membebaskan keluarga

tersebut. Metode ini disebut Last Minutes Rescue. Pada masa sekarang, metode ini

banyak digunakan film-film laga terutama saat-saat sequence terakhir.

Eksperimen editing Griffith yang radikal adalah film Intolerance (1916) yang

merupakan film fiksi pertama yang berhasil mengeksplorasi ide thematic montage.

Baik film dan tekniknya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sutradara

film pada tahun 1920 an, terutama di Uni Soviet. Thematic montage ini lebih

menekankan asosiasi ide serta mengabaikan kontinuitas waktu dan ruang.

Film tersebut menyatukan tema tentang kekejaman manusia terhadap manusia lain

dan bukan hanya satu cerita yang diceritakan, namun empat cerita berbeda.

1. Cerita Zaman Modern (1914) : Cerita tentang awal abad ke-20 di Amerika Serikat

saat terjadi pemogokan dan kerusuhan buruh serta perubahan sosial di

California. Sequence ini juga menceritakan konflik buruh dan majikan.

2. Cerita Masa Penyaliban Yesus

3. Cerita Masa Renaissance Di Perancis : Penganiayaan dan pembantaian kaum

Huguenot oleh bangsawan Katolik pada abad ke – 16.

4. Cerita Masa Babilonia (539 S.M)

Perdamaian Pangeran Belshazzar dari Babilonia pada zaman-nya dan pengepungan

oleh Raja Cyrus dari Persia.Keempat cerita terjalin secara paralel dan Griffith hanya

menghubungkan keempat cerita tersebut menggunakan sebuah insert shot bayi

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘128

dalam buaian yang sedang ditidurkan oleh ibunya. Pada akhir film, Griffith

menggambarkan pengajaran yang penuh ketegangan pada cerita pertama dan

keempat. Pembantaian yang kejam pada cerita Huguenot serta klimaks yang lambat

pada pembunuhan Jesus.

Film ini terdiri dari ratusan shot dan shot-shot yang terpisah oleh ribuan tahun dan

ribuan kilometer jaraknya, disejajarkan secara rapi. Perbedaan waktu dan ruang ini

disatukan denga satu tema sentral yaitu intoleransi. Kontinuitas bagi Griffith tidak lagi

bersifat fisik maupun psikologis, namun tematis. Secara komersial film ini tidak

sukses atau bahkan lebih layak disebut gagal total. Akan tetapi pengaruhnya besar

sekali bagi pembuat film di kemudian hari. Contohnya adalah para pembuat film

Rusia yang begitu terpesonanya terhadap dua film Griffith tersebut, juga dengan

kemampuannya dalam menjalankan metode-metodenya.

Teknik Pasca ProduksiRizky Briandana, M.Comm

Pusat Pengembangan Bahan AjarUniversitas Mercu Buana

‘129