perkawinan poliandri (studi kasus di dusun...

149
PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh : SITI KARIMAH NIM: 21112006 JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017 i

Upload: doannhi

Post on 06-Jun-2019

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh : SITI KARIMAH NIM: 21112006

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2017

i

ii

PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh : SITI KARIMAH NIM: 21112006

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2017

iii

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Penagajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan Hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan

dan koreksi,maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Siti Karimah

NIM : 211-12-006

Judul :PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang)

Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan

dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan

digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Salatiaga, 14 Marer2017 Pembimbing

Dr. Ilyya Muhsin, S.HI.,M.Si NIP. 19790930 200312 1001

iv

KEMENTRIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYARI’AH Jl. Nakula Sadewa

v

PERYATAAN KEASLIAN

Yang bertandatangan di bawah ini

Nama : Siti Karimah

Nim : 211-12-006

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syari’ah

Judul Skripsi :PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal

Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang

lain yang terdapat dalam skripsi saya ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Salatiga, 14 Maret 2017

Yang Menyatakan

Siti Karimah

NIM: 21112006

vi

MOTTO

Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,

ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk

Allah, Tuhan semesta alam

(QS. Al An’am: 162)

vii

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta

karunian-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Bapak dan Mamakku tercinta, Bapak Achwan dan Mamak Umi Salamah

karya ini terangkai dari keringat, air mata dan do’amu berdua. Setiap

keringat dan air mata yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf,

setiap do’a yang terpanjat menyatu menyampuli karya hidupku.

Kakakku yang akubanggakanMbakAprilliaNurLailatunnajah,

perjuanganmumenjadicambukdansemangatku.

Semogakaryainimampumembuatmubanggadanmampumenggantikanperan

kusebagaiadik yang selamainiselalumanjadanterabaioleh ego daninginku.

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN

POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang)” tanpa halangan yang berarti.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Agung nabi

Akhiruzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta

pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah

yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang

benderang dan semoga kita semua mendapatkan Syawaatnya nanti di yaumul

qiyamah, Amin yarobbalalamim.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan

skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan bayak terima kasih kepada:

1. Dr . Rahmat Haryadi , M.Pd. , selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Dra. Siti Zumrotun, M, Ag. , Selaku Dekan Fakultas Syariah

3. Sukron Ma’mun, M. Si, selaku Ketua Jurusan AhwalAL Syakhshiyyah.

4. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M. Si, selaku dosen pembimbing yang dengan

ikhlas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan

tenaganya untuk penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.

ix

5. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat

bermanfaat.

6. Kedua orang tuadankakakpenulis yang

telahmemberikandanmencurahkansegalakemampuannyauntukmemenuhike

inginanpenulisuntuktetapbersekolah.

Tanpamerekamungkinkaryainitidakakanpernahada.

7. Kanda, YundadanAdinda di HMI CabangSalatiga yang senantiasa member

masukandanhiburan di saatakulalaidalamperjuanganku.

8. Seluruhteman-temanseperjuanganku di Ahwal Al Syakhshiyyahangkatan

2012

atassegalasemangatdanhiburannyasehinggapenulismampumenyelesaikansk

ripsiini.

9. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan

mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari dari

kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat menbangun sangat penulis

harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya, serta pembaca pada umumnya. Amin.

Salatiga, 10Maret 2017

Siti Karimah

NIM 211 12 006

x

ABSTRAK

Karimah, Siti. 2017. PerkawinanPoliandri (StudiKasus di DusunCanggalDesaSidoharjoKecamatanSusukanKabupaten Semarang). Skripsi.FakultasSyari’ah.JurusanAhwal al Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. IlyyaMuhsin, S.HI.,M.Si.

Kata Kunci: perkawinandanpoliandri. Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinann terlarang yang

terjadi di masyarakat, perkawinan tersebut adalah perkawinan poliandriyang dilakukan di Dusun Canggal Desa Sidoharjo. Dalam penelitian ini peneliti meneliti dua keluarga. Pertayaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?, (2) mengapa terjadi perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang? Dan (3) bagaimana dampak sosiologis, psikologis dan hukum perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?.

Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan sosiologisdanpendekatanhukum.Lokasipenelitianiniberada di DusunCanggalDesaSidoharjoKecamatanSusukanKabupaten Semarang.Teknikpengumpulan data padapenelitianinidengancaraobservasi, wawancaradandokumentasi.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa di dusun Canggal terdapat dua praktik perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L dengan masing-masing dua suami. Perkawinan poliandri yang terjadi di Dusun Canggal dilakukan dengan cara: perkawinan dengan suami pertama dilakukan secara resmi dan perkawinan dengan suami kedua dilakukan secara siri. Adapun faktor yang melatar belakangi perkawinan poliandri yang dilakukan di Dusun Canggal disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor usia, faktor administrasi dan faktor ketidak tahuan. Perkawinan poliandri di Dusun Canggal mengakibatkan berbagai dampak, yaitu: (1) dari segi hukum, perkawinan poliandri dianggak tidak sah, haram, dihukumi zina, terancam pidana 9 bulan dan bermasalah dengan kependudukan, (2) dari segi sosiologi, perkawinan poliandri dianggap sebagai perbuatan yang patologis sehingga terjadi penentangan oleh keluarga maupun masyarakat, dan (3) dari segi psikologi, perkawinan poliandri manimbulkan perasaan negatif berupa rasa malu, takut jika perkawinan diketahui, rasa rindu dengan keluarga yang terputus hubungannya, kasihan dengan anak dan kebingungan untuk konsultasi.

xi

DAFTAR ISI

Sampul

LembarBerlogo

Judul .................................................................................................................... i

Nota Pembimbing ............................................................................................... ii

PengesahanKelulusan ......................................................................................... iii

Pernyataan Keaslian ............................................................................................ iv

Motto ................................................................................................................... v

Persembahan ....................................................................................................... vi

Kata Pengantar .................................................................................................... vii

Abstrak ................................................................................................................ ix

Daftar Isi ............................................................................................................. x

Daftar Tabel ........................................................................................................ xiv

Daftar Lampiran .................................................................................................. xv

BAB I PERILAKU PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 7

E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 8

F. TinjauanPustaka ...................................................................................... 9

xii

G. Metodologi Penelitian ............................................................................. 14

H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 19

BAB II TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN POLIANDRI

A. PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan ...................................................................... 21

2. Perkawinan menurut Hukum Islam................................................... 23

3. Perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia .................. 29

B. BENTUK BENTUK KELUARGA

1. Pengertian Keluarga .......................................................................... 29

2. Bentuk Keluarga ............................................................................... 31

C. POLIANDRI

1. Pengertian Poliandri .......................................................................... 37

2. Hukum Poliandri dalam Islam .......................................................... 43

3. Hukum Poliandri dalam Perundang-undangan ................................. 49

4. Poliandri dalam perspektif patologi sosial ........................................ 51

5. Poliandri dalam Psikologi Keluarga Islam........................................ 59

BAB III PRAKTIK PERKAWINAN POLIANDRI DI DUSUN

CANGGAL DESA SIDOHARJO KECAMATAN SUSUKAN

KABUPATEN SEMARANG

A. Gambaran Umum Dusun Canggal Desa Sidoharjo

1. Profil Desa Sidoharjo ........................................................................ 64

2. Profil Dusun Canggal ........................................................................ 69

xiii

B. Profil Pelaku Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa

Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang

1. Profil Ibu Mm ................................................................................... 71

2. Profil Ibu L ........................................................................................ 73

C. Praktik Perkawinan Poliandrdi Dusun Canggal Desa sidoharjo

1. Proses Perkawinan Poliandri Ibu Mm dan Ibu L .............................. 75

2. Bentuk Perkawinan Poliandri ........................................................... 81

D. Faktor-faktor Penyebab Perkawinan Poliandri

1. Faktor Ekonomi ................................................................................ 87

2. Faktor Administrasi .......................................................................... 90

3. Faktor Usia ........................................................................................ 91

4. Faktor Ketidaktahuan ........................................................................ 92

BAB IV DAMPAK PERKAWINAN POLIANDRI DARI BERBAGAI

SISI

A. Dampak Hukum Perkawinan Poliandri

1. Perkawinan Tidak Sah dan Hubungan Suami Istri Dihukumi

zina .................................................................................................... 93

2. Perkawinan poliandri dapat dikatakan batal demi hukum ................ 95

3. Perkawinan Poliandri Terancam Pidana 9 Bulan .............................. 96

4. Mendapat Masalah Kependudukan ................................................... 97

B. Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri

1. Hubungan dengan suami PertamaTidak Harmonis ........................... 100

2. Cenderung Menutupi Salah Satu Perkawinan ................................... 101

xiv

3. Mendapat Pertentangan dari Keluarga Kandung maupun

Keluarga Suami ................................................................................. 102

4. Hubungan dengan Anak Kandung dari Suami Pertama maupun

Keluarga Kandung Terputus ............................................................. 103

5. Menjauh dari Masyarakat dan Mendapat Pengucilan dari

Masyarakat ........................................................................................ 104

C. Dampak Psikologis Perkawinan Poliandri

1. Malu dengan Tetangga ...................................................................... 108

2. Taku Jika Suami Pertama Tahu ........................................................ 108

3. Rindu dan Merasa Bersalah kepada Anak dari Perkawinan

Pertama dan Keluarga Kandung ....................................................... 109

4. Tertekan dan Kasihan dengan Anak Hasil Perkawinan Kedua......... 110

5. Bingung untuk Konsultasi ................................................................. 110

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 115

B. Saran ...................................................................................................... 118

DATAR PUSTAKA ........................................................................................... 120

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xv

DAFTAR TABEL

1. Table 2.1 Daftar Informan Penelitian ........................................................... 16

2. Table 3.1 Fasilitas Pendidikan di Desa Sidoharjo......................................... 66

3. Table 3. 2 Proful Pelaku Perkawinan Poliandri ............................................ 74

4. Table 3. 3 Bentuk Keluarga Berdasarkan Pemukiman ................................. 83

5. Table 3. 4 BentukKeluargaBerdasarkanJenisAnggotaKeluarga ................... 85

6. Table 3. 5 BentukKeluargaBerdasarkanBentukPerkawinan ......................... 86

7. Table 3. 6 BentukKeluargaBerdasarkanJenisPerkawinan ............................ 88

8. Table 4. 3 DampakHukumPerkawinanPoliandri .......................................... 98

9. Table 4. 2 DampakSosiologisPerkawinanPoliandri ...................................... 106

10. Tabel 4.3 DampakPsikologisPerkawinanPoliandri ....................................... 113

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

LampiranI DaftarRiwayatHidup

LampiranII PenunjukanPembimbingSkripsi

LampiranIII PermohonanIzinPenelitian

LampiranIV DaftarNilai SKK

Lampiran V LembarKonsultasiSkripsi

xvii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan di muka bumi ini berpasang-pasangan terdiri

dari laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan manusia berpasangan

supaya melakukan perkawinan diantara mereka, satu orang laki-laki

dengan satu orang perempuan. Firman Allah SWT dalam surat Ar Rum

ayat 21 yang berbunyi sebagai berikut:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar Rum: 21).

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah untuk memenuhi

tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan

perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran

Allah dan Rasul-Nya (Basyir. 2007: 13). Oleh sebab itu, perkawinan tidak

hanya sebagai pemenuhan kewajiban akan syariat Allah namun juga

merupakan kontrak perdata yang akan mengakibatkan timbulnya hukum

akan hak dan kewajiban antara suami dan istri (Nuruddin, 2010: 180).

1

Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral, namun pada

kenyataannya banyak dari kaum laki-laki melakukan perkawinan poligini

atau yang sering disebut poligami yaitu perkawinan yang dilakukan

dengan lebih dari satu orang perempuan. Praktik perkawinan poligami

sudah dipraktikkan sejak sebelum dunia mengenal Islam. Kitab Suci

agama-agama Samawi membolehkan perkawinan poligami, seperti agama

Yahudi dan Nasrani. Perkawinan semacam inipun dianggap lumrah

dikalangan bangsa Arab Jahiliyah, seorang laki-laki mengawini beberapa

orang perempuan dan mereka menganggap perempuan-perempuan

tersebut sebagai hak milik yang bisa digadaikan dan diperjualbelikan

(Anshary, 2010: 85-86).

Pasca Islam datang, tidak lagi menjadikan suatu bentuk perkawinan

poligini sebagai hukum yang wajib dan tidak pula mengharamkannya.

Syariat Islam memberikan batasan kebolehan poligini hanya sampai empat

orang dan memberikan syarat-syarat yang ketat pula seperti berlaku adil

diantara para istri. Batasan dan syarat ini termuat dalam Al-Qur’an surat

An-Nisa’ ayat 3 (Nuruddin, 2004: 157), yang berbunyi:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja (QS. An-Nisa’: 3).

2

Sedangkan untuk satu orang perempuan dan banyak laki-laki atau

sering disebut dengan poliandri, Islam sendiri melarangnya. Hal tersebut

telah dilarang sesuai dengan Firman Allah sebagai berikut:

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina (QS. An-Nisa:24).

Dari ayat diatas jelas sekali bahwa seorang perempuan yang telah

menikah diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki lain. Kata selanjutnya

yang menyatakan bahwa “kecuali budak-budak yang kamu miliki” namun

pada hakekatnya sekarang istilah perbudakan itu telah ditiadakan.

Hukum yang terdapat di Indonesia sendiri juga melarang adanya

perkawinan poliandri tersebut, seperti halnya dalam pasal 3 UU No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami.

Dalam undang-undang perkawinan tersebut sudah jelas bahwa asas

yang dianut di Indonesia ialah asas monogami, dimana satu orang laki-laki

dengan satu orang perempuan. Kemudian pasal selanjutnya dalam pasal 9

3

UU No. 1 tahun 1974 seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan

orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam

pasal 3 ayat (2) dan 4 UU ini.

Dalam pasal 3 ayat (2) tersebut diterangkan bahwa “pengadilan

dapat memberikan izan kepada seorang suami untuk beristri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4

pada undang-undang ini juga menjelaskan mengenai alasan

diperbolehkanya poligami. Sedangkan untuk poliandri tidak termasuk

dalam pengecualian asas monogami perkawinan. Yang berarti bahwa

dalam undang-undang ini melarang adanya perkawinan poliandri.

Selanjutnya, dalam pasal 40 KHI dinyatakan dilarang

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanta

karena sang wanita dalam keadaan:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pada Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat diambil kesimpulan

juga jelas mengharamkan adanya praktik perkawinan poliandri.

Dari ketentuan perundang-undang yang mengatur mengenai

perkawinan di Indonesia keseluruhanya melarang warganya untuk

melakukan poliandri, perkawinan tersebut dianggap sebagai perkawinan

ilegal, yakni perkawinan yang melanggar hukum.

4

Perkawinan poliandri menurut hukum Islam dan undang-undang di

Indonesia sudah jelas melarangnya. Namun, sesuai informasi yang penulis

dapat bahwa di Masyarakat Susukan yang notabennya merupakan

lingkungan yang kental dengan tradisi Islam mengingat banyaknya pondok

yang berada di Kecamatan Susukan ini namun, masih terdapat 6

perempuan yang melakukan praktik perkawinan poliandri terebut. Dari 6

(enam) perempuan tersebut 2 (dua) diantaranya berada di Dusun Canggal

Desa Sidoharjo yang merupakan subyek penelitian ini.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk

mengkaji dan meneliti secara langsung, bagaimana perilaku perkawinan

poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan. Alasan

peneliti mengambil tempat penelitian di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang karena menurut data awal yang

didapat bahwa di Dusun Canggal masih terdapat 2 (dua) perempuan yang

mlakukan perkawinan poliandri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat

dirumuskan beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa

Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?

2. Mengapa terjadi perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa

Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?

5

3. Bagaimana dampak hukum, sosiologis dan psikologis perkawinan

poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab melakukan poliandri di

Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten

Semarang.

3. Untuk mengetahui dampak hukum, sosiologis dan psikologis

perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan

Susukan Kabupaten Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam setiap penelitian tentunya diharapkan dapat berguna bagi

peneliti pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Adapun

kegunaan dari penelitian ini ialah:

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mencegah masyarakat untuk

melakukan praktik perkawinan poliandri.

2. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

bagi aparatur pemerintahan khususnya dibidang pencatatan

6

perkawinan sebagai masukan demi terciptanya improvisasi dan

reformasi hukum untuk lebih tanggap dan kritis akan adanya

perubahan.

3. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

keilmuan penulis khususnya dan pembaca pada umumnya terkait

perkawinan poliandri.

E. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan kejelasan di atas, perlu disajikan penegasan

untuk memberi pemahaman dan batasan istilah yang ada supaya tidak ada

kesalahan pemaknaan terhadap konsep kunci dalam penelitian ini.

1. Perkawinan dalam undang-undang perkawinan di Indonesia nomor 1

tahun 1974 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwasannya “perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang

wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang

bersamaan (Sugihastuti, 2007: 190).

F. Tinjauan pustaka

Mengenai tema pembahasan dalam penelitian in terdapat beberapa

penelitian terdahulu yang sama. Adapun tujuan penelusuran terhadap

7

penelitian terdahulu ialah untuk melihat persamaan dan perbedaan sebagai

bahan perbandingan dan landasan dalam penelitian ini. Adapun penelitian

terdahulu ialah:

Penelitian yang pertama ialah penelitian yang dilakukan oleh

Nafisatul Mukhoiyaroh. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas

Syari’ah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul

“DAMPAK SOSIOLOGIS POLA PERKAWINAN POLIANDRI”

(studi kasus di Desa Ngasem dan Desa Kranggan Kecamatan Ngajum

Kabupaten Malang). Penelitian tersebut memiliki dua rumusan masalah

yaitu: 1. Bagaimana potret pelaku poliandri di Desa Ngasem dan Desa

Krangan Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang?. 2. Bagaimana akibat

yang ditimbulkan oleh pola perkawinan poliandri dalam masyarakat?.

Hasil dari penelitian tersebut ialah: Pertama, perkawinan poliandri

yang dilakukan di desa Ngasem dilatar belakangi oleh faktor ekonomi dan

psikologis sedangkan di desa Krangan karena faktor keyakinan, kebatinan

yaitu adanya anggapan dirinya dirasuki roh atau arwah Syekh Abdul Qadir

Jailani, sehingga setiap saat ada kehendak untuk melakukan perkawinan

maka ia melakukan perkawinan dengan siapa saja yang dikehendaki. Pada

pernikahan keduanya dilakukan secara siri. Namun teradapat perbedaan,

jika poliandri di desa Ngasem, perkawinanya tetap melibatkan tokoh

agama atau tokoh adat untuk mengawinkannya, sedangkan poliandri di

desa Krangan dilakukan dengan cara mengawinkan dirinya sendiri.

8

Kedua, perkawinan poliandri yang dilakukan di Desa Krangan dan

juga di Desa Ngasem, secrara sosiologis telah menimbulkan dampak

negatif berupa keresahan bahkan memicu terjadinya konflik di dalam

masyarakat. Selain itu, perkawinan poliandri tersebut dianggap dapat

memberikan pengaruh negatif berupa perilaku gonta ganti pasangan yang

dilakukan oleh seorang perempuan.

Penelitian yang kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rita

Apriliani. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Syari’ah di IAIN

Salatiga, dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA

POLIANDRI” (studi analisis Putusan Nomor 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL).

Penelitian tersebut memiliki 3 rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana

pandangan fiqih dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap

poliandri?. 2. Bagaiamana pertimbangan pemohon mengajukan

pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara No.

0661/Pdt.G/2012/PA.SAL?. 3. Bagaimana pertimbangan hakim

Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara pembatalan

perkawinan karena poliandri dalam putusan No.

0661/Pdt.G/2012/PA.SAL?.

Dari penelitian tersebut, peneliti mendapatkan hasil berupa:

Pertama, poliandri dalam Islam maupun Perundang-undangan di

Indonesia dilarang keras. Poliandri dalam Islam dilarang sebagarimana

perintah Allah di dalam Al Quran surat An-Nisa’ ayat 24, sedangkan

dalam Perundang-undangan di Indonesia telah dijelaskan pada pasal 9 UU

9

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 40 dalam KHI

(Kompilasi Hukum Islam).

Kedua, dasar pertimbangan pemohon mengajukan pembatalan

perkawinan karena didapatkannya tindak poliandri yang dilakukan oleh

Termohon II yang mana melanggar Undang-undang, dimana hal tersebut

dapat dibatalkan sesuai bunyi pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal

71 huruf b dalam KHI. Dan kapasitas pemohon mengajukan permohonan

tersebut telah sesuai bunyi pasal 23 UU No. Tahun 1974 dan pasal 73

KHI, dimana pemohon sebagi penjabat yang berwenang melakukan

pembatalan perkawinan.

Ketiga, dasar pertimbangan Hakim memutus pembatalan

perkawinan dalam perkara No. 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL adalah sebagai

berikut: dari keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan serta

pengakuan dari para Termohon dalam persidangan, maka terbukti bahwa

Termohon I dan Termohon II telah melanggar aturan hukum yang harus

dipenuhi apabila hendak menikah. Majelis Hakim dalam memutus perkara

ini berdasarkan pasal 71 huruf b KHI memutuskan bahwa perkawinan

antara Termohon I dan Termohon II dibatalkan, sebagaiamana fakta yang

ditemukan Majelis Hakim bahwa dalam perkawinan tersebut Termohon II

telah melakukan poliandri.

Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh

Faizah Yusma. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Hukum di

Universitas Jember dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN

10

POLIANDRI” (Studi putusan Pengadilan Agama No.

1299/Pdt.G/2012/PA.Sit). Penelitian tersebut mempunyai dua rumusan

masalah yaitu: 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus

perkara pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan di Pengadilan

Agama Situbondo (No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit)?. 2. Apakah pembatalan

perkawinan poliandri memiliki akibat hukum terhadap anak dan harta

perkawinan?.

Dari penelitian tersebut, peneliti mendapat hasil bahwa: Pertama,

yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara

pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan di Pengadilan Agama

Situbondo (No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit) yaitu, Al-Qur’an surat An-Nisa’

ayat 24, pasal 3 ayat (1), pasal 9, pasal 28 ayat (2) huruf a dan pasal 22

Undang-undang Perkawinan. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut

juga terdapat faktor lain yang dapat menjadikan perkawinan antara

pemohon dan termohon dibatalkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama

Situbondo, yakni termohon tidak pernah hadir selama persidangan,

sehingga permohonan pemohon dikabulkan dengan verstek.

Kedua, suatu perkawinan poliandri yang dibatalkan menimbulkan

akibat hukum berupa: Terhadap anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut tetap mempunyai status hukum secara resmi sebagai

anak sah, sehingga anak tetap memiliki hubungan hukum dengan ibu dan

ayahnya dan berhak menjadi ahli waris. Menurut pasal 28 Undang-undang

Perkawinan diketahui bahwa terhadap perkawinan yang dibatalkan karena

11

sudah ada perkawinan yang terdahulu tidak akan ada pembagian harta

bersama kecuali ditentukan lain oleh kedua belah pihak.

Penelitian selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh A.

Ja’far. Penelitian tersebut diterbitkan di dalam jurnal Al-‘adalah Vol.10

No.3 tahun 2012 yang mempunyai judul: “LARANGAN MUSLIMAH

POLIANDRI: KAJIAN FILOSOFIS, NORMATIF YURIDIS,

PSIKOLOGIS, DAN SOSIOLOGIS”. Fokus penelitian tersebut ialah

larangan Muslimah poliandri ditinjau dari perspektif filosofis, normatif

yuridis, psikologis dan sosiologis. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti

mendapatkan hasil bahwa: dalam perspektif filosofis bahwa poliandri

merupakan bentuk perkawinan yang dilarang, karena pada dasarnya

bertentangan dengan fitrah atau kodrat sebagai wanita. Sementara dalam

perspektif normatif bahwa poliandri hukumnya haram, hal ini berdasarkan

dalil Al-Quran surat An-Nisa: 24 dan as-Sunnah hadis riwayat Ahmad.

Dalam perspektif yuridis poliandri bertentangan dengan pasal 3 ayat 1,

yakni bawa seorang istri hanya boleh menikah dengan seorang suami (asas

monogami). Dalam perspektif psikologis bahwa poliandri sangat

bertentangan dengan fitrah manusia, bahkan dapat mengganggu

ketenangan hati atau jiwa. Dan dalam perspektif sosiologis bahwa

poliandri dapat mendatangkan masalah, baik dalam keluarga maupun

dalam masyarakat, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya.

Dari beberapa penelitian yang peneliti temukan terdapat perbedaan

dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Dimana penelitian

12

sebelumnya memiliki fokus yang berbeda, yaitu: pertama,penelitian yang

dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh merupakan penelitian studi kasus

yang tefokus pada pola perkawinan dan dampak sosiologis perkawinan

poliandri ditinjau dari perspektif patologi sosial. Kedua, penelitian yang

dilakukan oleh Rita Apriliyani merupakan studi putusan yang terfokus

kepada hukum poliandri, alasan mengajukan pembatalan perkawinan

poliandri dan alasan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam

memutuskan perkara. Ketiga, peneltian yang dilakukan oleh Faizah Yusma

merupakan penelitian studi putusan yang terfokus pada alasan hakim

Pengadilan Agama Situbondo dalam memutus perkara dan akibat hukum

dari pembatalan perkawinan. Keempat, penelitian yang dilakukan oleh A.

Ja’far merupakan studi pustaka yang berkaitan dengan perspektif filosofis,

normatif yuridis, psikologis dan sosiologis perkawinan poliandri.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada penelitian

ini dari penelitian sebelumnya ialah: Pertama, penelitian yang dilakukan

oleh Rita Apriliani, Faizah Yusma dan A. Ja’far merupakan penelitian

pustaka, sedangkan penelitian ini merupakan penelitian studi kasus.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh terfokus

pada dampak sosiologis dilihat dari perspektif patologi sosial saja,

sedangkan penelitian ini menggali lebih dalam mengenai dampak

perkawinan poliandri baik dari segi sosiologi ditinjau dari perspektif

patologi sosial, dampak psikologi ditinjau dari teori psikologi keluarga

Islam dan dampak hukum baik menurut hukum Islam, hukum Perdata

13

Indonesia dan Hukum Positif di Indonesia, selain dari hal tersebut

penelitian ini mengidentifikasi bentuk perkawinan poliandri dengan teori

sosiologi keluarga.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu

peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada

objek yang dibahas (Sutrisno,1981: 4). Pendekatan pada penelitian ini

menggunakan pendekatan sosiologis dan hukum normatif. Pendekatan

sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat

fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk

memahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1986: 5).

Adapun pendekatan hukum normatif adalah metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka yang ada guna mengetahui hukum mengeni

perkawinan poliandri (Soekanto, 2009: 13-14).

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen

sekaligus pengumpul data, dimana peneliti dalam meneliti terhadap

informan diketahui secara jelas, sehingga antara informan dengan

peneliti terjadi interaksi secara wajar dan menghindari

kesalahpahaman.

14

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terfokus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang. Alasan peneliti memilih

lokasi di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang tersebut karena Dusun Canggal merupakan suatu

daerah yang seluruh warganya beragama Islam. Selain karena

masyarakat Dusun Canggal yang keseluruhannya beragama Islam juga

lokasi Dusun Canggal yang berada tepat di dekat Pondok Pesantren Al

Huda Petak dan juga Pondok Pesantren Al Futuh Grabagan, namun di

Dusun Canggal masih terdapat dua orang perempuan yang melakukan

praktik perkawinan poliandri.

4. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini terfokus pada informan penelitian.

Adapun informan kunci dalam penelian ini ialah pelaku perkawinan

poliandri, suami dari pelaku poliandri, penghulu yang menikahkan

pelaku, keluarga pelaku poliandri dan tetangga sekitar pelaku poliandri

yaitu warga Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah:

a) Wawancara (interview) yaitu bentuk komunikasi antara dua orang,

melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari

seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,

15

berdasarkan tujuan tertentu (Maslikhah, 2013: 321). Yang

diwawancara pada penelitian ini ialah pelaku poliandri dengan

menggunakan alat bantu perekam handphone. Adapun informan

yang peneliti wawancara pada penelitian ini adalah:

No. Nama Informan Status Informan

1. Ibu Mm Pelaku 1

2. Bapak W Suami kedua pelaku 1

3. Bapak Sh Anak pelaku 1 sekaligus saksi

perkawinan poliandri

4. Ibu L Pelaku 2

5. Bapak R Suami kedua pelaku 2

6. Bapak Jr Penghulu perkawinan poliandri

pelaku 2

7. Ibu Su Warga Dusun Canggal

8. Ibu LT Warga Dusun Canggal

9. Ibu Sr Warga Dusun Canggal

Tabel 2.1 Daftar informan penelitian

b) Observasi yang digunakan ialah observasi terbuka dimana

kehadiran peneliti dalam meneliti terhadap informan diketahui

secara terbuka, sehingga antara informan dengan peneliti terjadi

hubungan atau interaksi secara wajar (Maslikhah, 2013: 322).

6. Analisis Data

16

Sebagaimana penelitian kualitatif, maka analisis data dalam

penelitian ini menggunakan teknik reduksi data, penyajian data dan

verifikasi. Reduksi data merupakan proses memilih,

menyederhanakan, abstraksi dan mentransformasi data kasar yang

diperoleh. Penyajian data merupakan diskripsi kumpulan informasi

yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil

tindakan. Verifikasi adalah mencari makna dari setiap gejala yang

diperoleh dari lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan

konfigurasi yang mungkin ada, alur akusalitas, dan proposisi

(Maslikhah, 2013: 323). Data juga dianalisis menggunakan teori

sosiologi keluarga, psikologi kepribadian Islam dan patologi sosial.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk mengecek keabsahan data yang peneliti dapat, peneliti

menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di

luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu (Moleong, 2009: 330). Hal itu dapat dicapai dengan

jalan; 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara, 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan

umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, 3.

Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, 4.

Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

17

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang

berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang

pemerintahan dan, 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi

suatu dokumen yang berkaitan (Moelong, 2009: 331).

8. Tahap-Tahap Penelitian

Adapun tahap-tahap yang peneliti lakukan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a) Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum

melakukan penelitian seperti peneliti menentukan topik

penelitian, mencari informasi tentang keluarga poliandri di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan.

b) Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke

lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti

wawancara kepada informan dan melakukan observasi.

c) Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa

cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data

tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa

memberi arti pada objek yang akan diteliti.

d) Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah terkumpul

dan dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka

yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil

penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah

ditentukan.

18

H. Sistematika Penulisan

Agar dalam proposal ini mendapat gambaran yang jelas, maka

sistematika penulisan ini akan dipaparkan dalam 5 bab.

Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Adapun bab dua berupa kajian pustaka atau teori yang membahas

mengenai perkawinan yang meliputi pengertian dan dasar hukum

perkawinan menurut hukum Islam dan perkawinan menurut perundang-

undanganan di Indonesia, bentuk-bentuk keluarga dan poliandri yang

meliputi pengertian poliandri dan hukum poliandri dalam Islam dan

perundang-undangan di Indonesia, poliandri menurut perspektif patologi

sosial dan menurut psikologi kepribadian Islam.

Bab tiga berisi uraian data dan temuan yang diperoleh dari

penelitian yang disajikan dalam tiga sub bab, yaitu: gambaran umum

Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang,

praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang dan faktor-faktor penyebab

perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan

Susukan Kabupaten Semarang.

Pada bab keempat memuat mengenai dampak perkawinan

poliandri dari segi hukum, sosiologis dan psikologis.

19

Dan yang terakhir ialah bab lima yang memuat kesimpulan serta

saran-saran yang diajukan.

20

BAB II

TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN POLIANDRI

A. Perkawinan

1. Pengertian

Perkawinan berasal dari bahasa Arab yaitu an nikah yang dapat

berarti al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad (Nuruddin, 2004: 38). Sedangkan

menurut terminologi, ada beberapa penjabaran definisi perkawinan

dari kalangan para ulama fikih terkemuka (Imam Madzhab), sebagai

berikut (Sarwat, 2011: 24-26):

Menurut Mazhab Al-Hanafi pernikahan adalah “akad yang

berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual

dengan seorang wanita yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara

syar’i” (Sarwat, 2011: 24).

Menurut Mazhab Maliki pernikahan adalah “sebuah akad yang

menghalalkan hubungan seksualitas dengan wanita yang bukan

mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan shighah”

(Sarwat, 2011: 25).

Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “akad yang

mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafadz

nikah, tazwij atau lafadz lain yang maknanya sepadan” (Sarwat, 2011:

25).

21

Menurut mazhab Hambali pernikahan adalah “akad perkawinan

atau akad yang diakui didalamnya lafadz nikah, tazwij dan lafadz yang

punya makna sepadan” (Sarwat, 2011: 26).

Dari definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih diatas

memberikan kesan bahwa pengertian pernikahan itu hanya dilihat dari

segi biologis antara laki-laki dan perempuan yang semula dilarang

menjadi diperbolehkan.

Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia nomor 1 tahun

1974 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwasannya “perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sama halnya dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974,

dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa

“perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Kata mitsaaqon gholidhan diambil dari Firman Allah SWT

yang terdapat pada surat An-nisa’ ayat 21 yang berbunyi (Nuruddin,

2004: 43):

22

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat (QS. An-Nisa: 21).

Berbeda dari definisi perkawinan menurut undang-undang

perkawinan di Indonesia juga pada Kompilasi Hukum Islam ada

sebuah persamaan bahwa perkawinan itu dilihat sebagai sebuah akad

yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami istri yang

sebelumya tidak ada pada keduanya.

Dapat disimpulkan bahwa Pernikahan atau perkawinan adalah

suatu aqad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi

sebab sahnya status sebagai suami-istri dan dihalalkannya hubungan

seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang,

kebajikan dan saling menyantuni (Sudarsono, 1991: 62).

2. Perkawinan menurut hukum Islam

Hukum perkawinan merupakan bagian penting dari syari’at

Islam, yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islam.

Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut Syari’at Islam

mengikat kepada setiap muslim. Hukum Islam menempatkan lembaga

perkawinan dalam bentuk ikatan sakral antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan atas dasar perasaan cinta dan kasih sayang, hal ini

bisa kita lihat dari beberapa Firman Allah berikut ini:

23

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (QS. An-Nuur: 32). Dari Firman Allah tersebut diperintahkan kepada orang-orang

yang masih sendiri baik seorang laki-laki yang belum mempunyai istri

ataupun seorang perempuan yang belum bersuami supaya menikah.

Dan bahwa seseorang yang takut jikalau mereka tidak mampu untuk

memenuhi kebutuhan kesehariannya setelah menikah karena mereka

miskin maka Allah akan mencukupkan kebutuhan mereka.

Selain dari Firman Allah diatas, Nabiullah Muhammad SAW

bersabda (Shiddieqy, 1952: 298), dalam haditsnya:

يامعشرالشباب من استطاع منكم الباءة فـليتـزوج فانه اغض مل يستطع فـعليه بالصوم فانه له وجاء للبصرواحصن للفرج ومن

(متفق عليه) Wahai jama’ah pemuda, barang siapa diantara kamu

mempunyai kesanggupan membayar mas kawin dan belanja hari-hari maka hendaklah ia beristri. Karena beristri itu, lebih memejamkan mata dan lebih memlihara kemaluan. Dan barang siapa tiada sanggup membelanjakan istri, hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu, dapat mematahkan syahwat (HR Bukhori No. 552, 1371 H: 421- 422). Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nabi

menganjurkan kepada para pemuda yang sudah mampu menikah untuk

segera menikah, karena pernikahan menjauhkan dari perbuatan zina.

24

Namun bila belum sanggup, maka dianjurkan untuk berpuasa, karena

dengan berpuasa dapat menjaga syahwat.

Dari hadits lain, nabi bersabda (Witanto, 2012: 60):

النكاح سنىت فمن رغب عن سنىت فـليس مىن (رواه البخارى و مسلم)

“Nikah (Kawin) itu adalah sunnahku,maka barangsiapa

yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku.” (Hr Bukhori No. 551, 1371 H: 421). Dari sabda tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya

Rosulullah SAW mencela orang-orang muslim yang sudah mampu

untuk menikah tidak menikah ataupun hidup membujang. Dan Nabi

Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya untuk menikah.

Dari berbagai dalil di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan

itu adalah sunatullah. Dan dari adanya perkawinan tersebut sangat

banyak sekali manfaatnya seperti yang dikemukakan Aditya P

Manjorang dan Intan Aditya dalam bukunya The Law Of Love berikut

ini:

a. Mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan

hidup dan rasa kasih sayang;

b. Mendapatkan anak keturunan yang sah;

c. Menentramkan jiwa;

d. Memenuhi kebutuhan biologis;

e. Pengendalian hawa nafsu syahwatnya;

f. Latihan memikul tanggung jawab;

25

g. Mempunyai teman hidup;

h. Membina rumah tangga dan berjuang dalam menghadapi hidup.

Dalam ajaran Islam hukum pernikahan itu tidak bersifat

mutlak, artinya hukum itu dapat berubah-ubah sesuai keadaan atau

kondisional. Ada beberapa hukum bagi seseorang untuk

melangsungkan perkawinan antara lain sebagai berikut:

a. Wajib, hukum ini diwajibkan bagi seseorang yang manakala ia

secara lahir maupun batin telah mampu untuk melangsungkan

perkawinan dan ditakutkan jika tidak segera menikah maka ia akan

terjerumus ke dalam perzinahan. Apabila perkawinan tersebut

ditunda-tunda maka akan menimbulkan dosa bagi mereka.

b. Sunnah, hukum ini dikenakan bagi orang yang secara lahir maupun

batin telah mampu untuk menikah, namun ia tidak dikhawatirkan

akan terjerumus kedalam perbuatan zina.

c. Haram, hukum ini dikenakan kepada orang yang belum mampu

secara lahir maupun batin dan ditakutkan ketika menikah akan

membahayakan kondisi pasangannya.

d. Makruh, hukum ini dikenakan kepada laki-laki yang belum

memiliki penghasilan yang cukup untuk hidup berumah tangga dan

ditakutkan jika menikah akan mengakibatkan kewajibannya

terbengkalai.

26

e. Mubah, hukum ini dikenakan bagi orang-orang yang tidak

memiliki pendorong atau penghalang apapun untuk menikah

(Witanto, 2012: 68-70).

Sebuah perkawinan akan dikatakan sah apabila memenuhi

semua rukun-rukun dan syarat yang melekat padanya. Menurut jumhur

ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun memiliki

syarat-syarat tertentu. Rukun dan syarat yang harus terpenuhi dalam

sebuah pernikahan ialah:

a. Calon suami, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam;

2) Laki-laki;

3) Jelas orangnya;

4) Dapat memberikan persetujuan;

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Calon istri, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam;

2) Perempuan;

3) Jelas orangnya;

4) Dapat memberikan persetujuan;

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1) Laki-laki;

2) Dewasa;

27

3) Mempunyai hak perwalian;

4) Tidak terdapat halangan perwalian.

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1) Minimal dua orang laki-laki;

2) Hadir dalam ijab qabul;

3) Dapat mengerti maksud akad;

4) Islam;

5) Dewasa.

e. Ijab qabul, syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai;

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua

kata tersebut;

4) Antara ijab dan qabul bersamaan dan jelas maksudnya;

5) Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram

(Nuruddin, 2004: 62-63).

3. Perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia

Hukum perkawinan dari segi penerapannya termasuk dalam

hukum Islam yang memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya,

dalam rangka pelaksanaannya negara harus memberikan landasan

yuridisnya, karena negara merupakan kekuasaan yang memiliki

legalitas dan kekuatan untuk hal itu. Di Indonesia sejak tahun 1974

telah mempunyai undang-undang yang mengatur mengenai

28

perkawinan yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang diatur

dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

B. Bentuk-bentuk Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil yang ada dalam masyarakat

yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul

dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dan saling berinteraksi

satu sama lain dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998:

1).

Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera

yang disebut dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah

dengan anaknya atau ibu dengan anaknya.

UNESCO mendefinisikan keluarga sebagai satu institusi

biososial yang terbentuk oleh setidaknya dua orang dewasa laki-laki

29

dan perempuan yang tidak memiliki hubungan darah, tetapi terikat tali

perkawinan dengan atau tanpa/belum memiliki anak. Setidaknya

keluarga berfungsi memenuhi dan memuaskan kebutuhan lahir dan

batin, termasuk kebutuhan seksual (Soemanto, 2006: 18).

Menurut Ferri Efendi yang dikutup dari Salvicion G Bailon dan

Aracelis Maglaya, keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu

yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau

pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga,

berinteraksi satu sama lain, dan di dalam peranannya masing-masing

menciptakan dan mempertahankan kebudayaan (Ferry Efendi, 2009:

179).

Dari berbagai pengertian diatas, maka sekumpulan orang yang

menetap dalam suatu atap yang sama dapat dikatakan menjadi suatu

keluarga jika memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

a. Memiliki ikatan batin dan emosional. Berarti para anggota

keluarga memiliki rasa kasih sayang dan kecintaan yang

mendalam, termasuk kebanggaan terhadap eksistensinya.

b. Memiliki hubungan darah. Setiap anggota keluarga tersebut berada

dalam satu jalur keturunan kecuali suami dan isteri yang berasal

dari garis keturunan yang berbeda.

c. Memiliki ikatan perkawinan. Pasangan pria wanita yang

membentuk keluarga diikat oleh perkawinan yang sah (menurut

agama dan pemerintah), sehingga secara resmi mereka telah

30

menjadi pasangan suami isteri. Perkawinan ini bisa endogami,

yakni kawin dengan golongannya sendiri atau eksogami, yaitu

kawin di luar golongan sendiri.

d. Mempunyai kekayaan keluarga. Keluarga pasti mempunyai harta

benda untuk kelangsungan para anggotanya.

e. Memiliki tempat tinggal. Keluarga harus memiliki domisili dan

menempati rumah tertentu, baik itu milik sendiri maupun bukan.

f. Memiliki tujuan. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan atau cita-

cita yang hendak dicapai seperti meneruskan keturunan,

menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan

perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota. Setiap anggota

keluarga saling berinteraksi satu sama lain dan masing-masing

mempunyai peran sendiri-sendiri (Dipo, 2009: 15-16).

2. Bentuk Keluarga

Keluarga adalah ikatan sosial yang paling kecil dan merupakan

lembaga yang paling dasar dalam masyarakat, maka dapat dipahami

bahwa dalam suatu masyarakat terdapat banyak keluarga. Dari

berbagai keluarga yang berbeda-beda tersebut maka tiap-tiap dari

mereka pastilah memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda-beda pula satu

sama lainnya. Untuk mengetahui akan seluk beluk suatu keluarga,

maka kita perlu mengenal terlebih dahulu mengenai bentuk-bentuk,

jenis-jenis dan tipe keluarga dalam masyarakat.

31

Gambaran mengenai pembagian bentuk-bentuk keluarga sangat

beraneka ragam. Keanekaragaman bentuk keluarga tersebut tergantung

pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkannya, namun

secara umum bentuk-bentuk keluarga dilihat dari berbagai segi dapat

dikelompokkan sebagai berikut (Sunarto, 1993: 159-160):

a. Bentuk keluarga berdasarkan garis keturunan

1) Patrilineal, keluarga yang berhubungan atau disusun melalui

jalur garis keturunan ayah, terdiri dari sanak saudara dalam

beberapa generasi. Bentuk keluarga ini banyak dipraktekkan di

negara-negara Arab maupun Eropa dan di Indonesia seperti

yang dilakukan oleh suku Batak di Sumatra Utara.

2) Matrilineal, keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara

sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun

melalui jalur garis keturunan Ibu. Suku Padang merupakan

salah satu contoh suku yang menggunakan struktur keluarga

matrilineal.

3) Parental atau bilateral, keluarga sedarah yang terdiri dari sanak

saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu

disusun melalui jalur garis keturunan ayah maupun ibu. Suku-

suku di Indonesia rata-rata menggunakan struktur keluarga

parental, seperti Jawa dan Madura

32

b. Bentuk keluarga berdasarkan kekuasaan

1) Patriarhat, keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan

dalam keluarga adalah pihak suami.

2) Matriarhat, keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan

dalam keluarga adalah pihak istri.

3) Equalitarium, keluarga yang memegang kekuasaan adalah

suami dan istri, atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan

atas kesepakatan bersama.

c. Bentuk keluarga berdasarkan pemukiman

1) Patrilokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang

tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak suami.

2) Matrilokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang

tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak istri.

3) Neolokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang

tinggal jauh dari keuarga keturunan suami maupun istri.

d. Bentuk keluarga berdasarkan anggota keluarga (Efendi, 2009: 183)

1) Traditional nuclear, keluarga inti (ayah, ibu dan anak)

tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal

dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat

bekerja di luar rumah.

2) Reconstituted nuclear, pembentukan baru dari keluarga inti

melalui perkawinan kembali suami atau istri, tinggal dalam

pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya, baik itu

33

anak dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan

baru. Satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.

3) Middle age atau aing couple, suami sebagai pencari uang,

istri di rumah, atau keduanya bekerja diluar rumah, anak-

anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah, perkawinan

atau meniti karier.

4) Dyadic nuclear, pasangan suami-istri yang sudah berumur

dan tidak mempunyai anak. Keduanya atau salah satu bekerja

di luar rumah.

5) Single parent, keluarga dengan satu orang tua sebagai akibat

dari perceraian atau kemaian pasangannya. Anak-anaknya

dapat tinggal di dalam atau di luar rumah.

6) Dual caeerI, suami istri atau keduanya merupakan orang

karier dan tidak mempunyai anak.

7) Commuter married, pasangan suami istri atau keduanya

sama-sama bekerja dan tinggal terpisah pada jarak tertentu.

Keduanya saling bertemu pada waktu-waktu tertentu.

8) Single adult, perempuan dewasa atau laki-laki dewasa yang

tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk

menikah.

9) Three generation, tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam

satu rumah.

34

10) Institusional, anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam

satu panti.

11) Communal, satu rumah terdiri atas dua atau lebih pasangan

yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama

berbagi fasilitas.

12) Group marriage, satu rumah terdiri atas orang tua dan

keturunannya dalam satu kesatuan keluarga.

13) Unmarried parent and child, ibu dan anak yang

pernikahannya tidak dikehendaki dan kemudian anaknya

diadopsi.

14) Cohabitating couple, dua orang atau satu pasangan yang

bersama dan tinggal dalam satu rumah tanpa adanya tali

ikatan perkawinan.

15) Common law family, keluarga yang terdiri dari seorang

perempuan dan seorang laki-laki yang tidak terikat dalam

perkawinan yang sah serta anak-anak mereka yang tinggal

bersama.

16) Extended family, keluarga yang terdiri dari suami istri dan

anak-anak kandungnya, juga sanak saudaa lainnya, baik

menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, menaantu,

cucu dan cicit) maupun menurut garis horizontal (kakak, adik

dan ipar) yang berasal dari pihak suami maupun pihak istri

35

yang tinggal dalam satu rumah dan berorientasi pada satu

kepala keluarga.

e. Bentuk keluarga berdasarkan bentuk perkawinan

1) Eksogami, keluarga yang terbetuk dari perkawinan antara

seseorang dengan orang yang berbeda golongan baik etnis,

suku, agama, wilayah, bangsa atau kekerabatan, misalnya

perkawinan antara anak suku batak dengan anak suku ambon.

2) Endogami, keluarga yang dibentuk dari perkawinan antara

etnis, suku, agama, wilayah, bangsa atau kekerabatan dalam

lingkungan yang sama.

3) Heterogami, keluarga yang terbentuk dari perkawinan antar

kelas sosial yang berbeda, misalnya anak bangsawan menikah

dengan anak petani.

4) Homogami, keluarga yang terbentuk dari perkawinan antara

kelas golongan sosial yang sama, misalnya anak pedagang

yang menikah dengan anak pedagang.

f. Bentuk keluarga berdasarkan jenis perkawinan

1) Monogami, keluarga dimana terdapat seorang suami dan

seorang istri.

2) Poligami

Poligami terbagi menjadi dua bentuk yaitu:

a) Poligini adalah keluarga yang terdapat seorang suami

dengan lebih dari satu istri.

36

b) Poliandri adalah keluarga yang terdapat seorang istri

dengan lebih dari satu suami.

C. Poliandri

1. Pengertian poliandri

Poliandri menurut Jahrani (1996: 33-34) ialah perkawinan

antara satu orang wanita dengan beberapa orang laki-laki secara

sekaligus.

Dalam Ensiklopedia Islam istilah poliandri merupakan jenis

dari poligami. Poligami berasal dari bahasa Yunani yang berarti “suatu

perkawinan yang lebih dari seorang”. Poligami dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri berasal dari

kata polus yang berarti “banyak” dan andros yang berarti “laki-laki” ,

jadi poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari

seorang laki-laki. Sedangkan poligini berasal dari kata polus dan gune

yang berarti “perempuan” jadi poligini ialah perkawinan seorang laki-

laki dengan lebih dari seorang perempuan (Ensiklopedi Islam, 1994:

107).

Sejarah masyarakat manusia mencatat berbagai bentuk

keprimitifan dan kebiadaban yang dilakukan pada tempat dan masa

yang berbeda. Salah satu bentuk kebiadaban tersebut ialah praktik

perkawinan poliandri. Praktik poliandri di berbagai tempat itupun

berbeda-beda pula, diantaranya sebagai berikut:

37

a. Praktik poliandri yang dilakukan di berbagai negara bagian timur

seperti Srilangka (Pulau Ceylon), bangsa Tibet, Bangsa Taudan di

selatan India, sebagian bangsa Kenya, bangsa Masi dan Bahima di

Afrika serta sebagian bangsa Eskimo. Hukum-hukum di negara

tersebut membolehkan beberapa orang laki-laki yang bersaudara

menikahi satu orang wanita pada satu hari di dalam jam yang

berbeda. Berlakunya aturan poliandri ini mengharuskan beberapa

orang laki-laki mencampuri satu perempuan secara bersamaan (Al-

Ghaffar, 1984: 189). Jika laki-laki tertua menikahi seorang

perempuan, maka perempuan tersebut sekaligus menjadi istri dari

adik-adik suaminya. Dan suaminya sekaligus menjadi suami dari

adik-adik perempuan tersebut. Masyarakat India membolehkan

seorang perempuan bersuami lima, enam atau sepuluh orang.

Bahkan seorang perempuan India boleh bersuami lebih dari

sepuluh orang dengan syarat laki-laki yang akan dijadikan suami-

suami tersebut bersaudara atau masih memiliki hubungan

kekerabatan. Maka hukum ini berimplikasi bahwa pemuda-pemuda

yang tidak memiliki saudara akan sulit untuk mendapatkan

pasangan hidup (Jahrani, 1996: 33-34).

b. Bangsa Tahus di utara Meksiko terdapat praktik yang serupa

dengan poliandri hingga sekarang. Seorang perempuan yang baru

menjadi pengantin maka di malam pertama pernikahannya ia harus

terlebih dahulu berhubungan seksual dengan seseorang yang

38

dianggap sebagai kepala suku. Hal ini dianggap sebagai kenangan

suci dalam pernikahan dan percampuran (Al-Ghaffar, 1984: 189).

c. Sebagian masyarakat Eropa dan Amerika juga membolehkan

seorang perempuan untuk menikahi lebih dari satu orang laki-laki

atas dasar kebebasan, karena menurut mereka kebebasan yang

mutlak membolehkan hal tersebut (Al-Ghaffar, 1984: 190).

Perkawinan sebagaimana di ataspun juga pernah terjadi di

dataran Arab. Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah

mengenal berbagai bentuk perkawinan. Bentuk-bentuk perkawinan

tersebut diantaranya sebagai berikut (Aj-Jahrani, 1996: 6-12):

a. Perkawinan Istibdha’ (Jima)

Perkawinan jenis ini ialah perkawinan yang dilakukan oleh

seorang perempuan yang berstatus sebagai istri namun oleh

suaminya ia diminta untuk melayani seorang laki-laki lain yang

terkenal dengan kemuliaan, keberanian dan kecerdasannya. Selama

sang istri melayani si laki-laki maka sang suami tidak akan

menggauli sang istri untuk beberapa saat sampai sang istri jelas

akan kehamilannya. Tujuan dari perkawinan ini ialah agar sang

istri melahirkan anak yang memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh si

laki-laki yang telah menggauli sang istri tersebut.

b. Perkawinan ar-Rahthun (Poliandri)

Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-

laki yang menyukai akan kenikmatan duniawi yang haram dengan

39

cara menggauli seorang perempuan yang mereka kehendaki.

Setelah sang perempuan hamil dan melahirkan, dia akan

memanggil semua lakai-laki yang telah menggaulinya tersebut dan

mengumpulkan mereka dan si perempuan tersebut akan memilih

salah seorang laki-laki yang menggaulinya untuk menjadi nasab

bagi anak yang telah dilahirkannya tersebut. Dan untuk laki-laki

yang ditunjuk oleh sang perempuan tersebut tidak punya pilihan

untuk menolaknya. Peristiwa semacam ini telah tecatat dalam

sejarah pra islam, sebagaimana dalam sebuah riwayat sebagai

berikut:

ؤمنني ع يق، حيث يف حديث أم امل ائشة بنت ايب بكر الصد

رأة تـقول: كان جيتمع الرهط دون العشرة فـيدخلون ع لى امل

Diceritakan dari Aisyah: “Kelompok laki-laki yang

kurang dari sepuluh orang menggauli (mengawini) seorang wanita” (Aj Jahrani, 1996: 33).

c. Perkawinan al-Maqtu (Kebencian)

Dalam perkawinan ini, seorang anak laki-laki

diperbolehkan untuk mengawini istri dari bapak kandungnya

setelah sang bapak meninggal dunia. Jika sang anak ingin

mengawininya maka sebagai penanda dia harus melemparkan kain

kepada mantan istri bapaknya tersebut, dan istri bapanya tersebut

tidak diperbolehkan untuk menolak akan hal itu. Namun, ketika

sang anak masih kecil maka keluarga dari sang anak akan menahan

40

sang perempuan hingga usia sang anak mampu untuk menentukan

apakah ia akan mengawini si perempuan tersebut atau tidak.

Al-Qur’an secara tegas dan jelas telah mengharamkan

perkawinan jenis ini, hal tersebut termuat dalam Surat An-Nisa

ayat 22 yang berbunyi:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang

telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (QS. An Nisa: 22).

d. Perkawinan Asy Syighar (Tukar menukar)

Perkawinan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara

mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya tanpa

membayar mahar. Abu Hurairah r.a menyebutkan dalam hadits

yang diriwayatkannya, bahwasannya Nabi Muhammad Saw

bersabda:

ار ان يـقول الرجل للرجل زوجين ابـنتك او زوجين اختك، والشخ وازوجك اخيت

“AsySyighar itu adalah bahwa seorang laki-laki

berkata kepada laki-laki yang lain:’ kawinkan saya dengan anakmu atau saudara perempuanmu dan aku kawinkan kau dengan anakku atau saudara perempuanku.” (Muttafakun ‘alaih No. 837 Al-Asqalani, 852 H: 152)

41

e. Perkawinan dengan cara tukar menukar istri (Badal) (al-Ghaffar,

1984: 190)

Perkawinan yang dilakukan seperti halnya barter pada

barang dagangan. Perkawinan jenis ini dilakukan dalam bentuk

dimana seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain:

“Berilah kesempatan bagi saya untuk mencampur istri anda, dan

anda saya persilahkan untuk mencampuri istri saya.” Perkawinan

jenis menganggap perempuan hanya sebagai objek dan layaknya

sebuah barang dimana seorang perempuan yang telah bersuami

harus mau untuk melayani laki-laki lain atas permintaan suaminya.

Hal itu mereka lakukan tanpa adanya perceraian terlebih dahulu

dan hanya untuk memuaskan libido seksual dan menghindari

kebosanan serta dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.

f. Perkawinan prostitusi (Al-Ghaffar, 1984: 190)

Perkawinan jenis ini sama halnya dengan apa yang

dilakukan oleh pekerja seks komersial pada era sekarang dimana

perkawinan ini dilakukan oleh seorang perempuan dengan laki-laki

yang tidak ada batasan jumlahnya. Terkumpul laki-laki sebanyak

mungkin kemudian mereka akan mencampuri seorang perempuan,

dan perempuan tersebut harus melayani semua laki-laki yang

dating. Para perempuan yang melakukan pekawinan jenis ini,

mereka akan mengibarkan bendera di pintu rumahnya untuk

membedakan dengan perempuan-perempuan arab lainnya.

42

g. Praktik perkawinan yang paling buruk yang dilakukan oleh bangsa

Arab Jahiliyah ialah perkawinan yang dilakukan oleh bangsa Jadis,

dimana kepala suku Jadis memaksa laki-laki untuk mengawini

anaknya sebelum malam pertama (Al-Ghaffar, 1984: 190).

2. Hukum poliandri dalam Islam

Seorang wanita yang sedang terikat dalam tali perkawinan

dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh siapapun. Keharaman itu

berlaku selama sang suami masih hidup ataupun belum dicerai oleh

suaminya. Bahkan perempuan yang sedang dalam tali ikatan

perkawinan dengan seorang laki-laki dilarang untuk dilamar baik

secara terang-terangan maupun secara sindiran meskipun akan

dikawini setelah si perempuan bercerai dengan suaminya dan telah

selesai masa iddahnya.

Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam

surat An Nisa ayat 24 (Syarifuddin, 2006: 126-127) yang berbunyi:

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang

bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah

43

menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. An Nisa’: 24). satu kata yang menghimpun banyak arti. Dikatakan المحصنت

menghimpun, karena kata ini berarti Al Man’u (pencegahan).

Sementara pencegah terwujud melalui berbagai sarana, namun dalam

hal ini pencegahan bagi para perempuan yang menjaga kesucian dan

perempuan yang sudah bersuami adalah penjagaan kehormatan (Al

Farran, 2007: 94-95).

Dalam ayat ini jelas bahwa perempuan-perempuan merdeka

maupun budak-budak yang bersuami diharamkan untuk bagi laki-laki

lain selain suaminya sampai mereka diceraiakan atau ditinggal mati

oleh suami mereka, kecuali para tawanan perang. Karena para tawanan

perang berbeda berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.

Memang islam membolehkan wanita menikah lagi dengan laki-

laki lain, namun jika ia sudah diceraikan atau ditinggal mati oleh

suaminya dan telah selesai masa iddahnya. Hal tersebut sesuai dengan

Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 234:

44

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan

meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (QS. Al-Baqarah: 234).

Dari ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, pertama,

masa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya ialah

empat bulan sepuluh hari. Kedua, Allah memperbolehkan ia memilih

sesuai dengan pilihannya sendiri untuk berbuat kepada dirinya tanpa

campur tangan keluarga almarhum suaminya (Al Ghaffar, 1984: 188).

Kemudian untuk seorang istri yang dicerai oleh suaminya maka

masa iddah perempuan tersebut ialah tiga kali masa suci. Hal tersebut

sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat

228 yang berbunyi:

45

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228).

Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan

Islam mengatakan bahwa perempuan yang telah kawin dan telah

berhubungan kelamin selama perkawinan kemudian ia ditalak atau

ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus menjalani masa iddah

(masa tunggu beberapa waktu lamanya). Selama menjalani masa

iddah, perempuan tidak boleh dipinang dengan perincian sebagai

berikut:

a. Perempuan yang menjalani masa iddah karena talak Raj’i dan talak

bain haram dipinang baik secara terang-terangan maupun secara

sindiran.

b. Perempuan yang menjalani masa iddah talak bain dan perempuan

yang menjalani iddah kematian haram dipinang secara terang-

terangan namun boleh dipinang secara sindiran (Basyir, 2007: 9-

20).

Menurut Ibnu Rusyd perempuan yang sedang menjalani masa

iddah baik iddah cerai maupun iddah wafat tidak boleh melangsungkan

perkawinan dengan laki-laki lain selain dari pada suami yang

menceraikan tadi. Bilamana ada yang melanggar aturan tersebut dan

46

tetap melangsungkan perkawinan maka perkawinan antara keduanya

harus dibatalkan. Namun, ketika perkawinan tersebut dibatalkan dan si

perempuan telah selesai masa iddahnya apakah mantan suami boleh

mengawininya atau tidak , dalam hal ini menurutnya ulama berbeda

pendapat.

Menurut Imam Malik, Al-Awza’iy dan Al-Laits pasangan yang

kawin ketika san mempelai perempuan dalam masa iddah harus

dipisahkan dan tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi antara

keduanya meskipun masa iddah si perempuan telah habis dan itu

berlaku untuk selamanya. Hal tersebut mengacu pada atsar shahabi

dari Sa’id bin al-Musayyab dan Sulaiman bin Yasar yang berbunyi:

د اش ا ر ه ج و ز ني بـ ة و ي د س أل ة ا يح ل ط ني ب ق ر فـ اب ط اخل ن ب ر م ع ن أ ىف ت ح ك ن ة أ ر م ا ا مي أ ال ق و ان ث ج و ز ن م ة د الع ا ىف ه ج و ز ا تـ م ي ل ف ق الثـ ا مث م ه نـ يـ بـ ق ر ا فـ هب ل خ د ي ا مل ه ج و ز ى تـ ذ ل ا ا ه ج و ز ان ك ن إ ا ف هت د ع ن إ و ب ط اخل ن م ب اط خ ر خ اآل ان ك مث ل و األ ن ا م ه تـ د ع ة ي ق ب ت د ت ع ا

مث ل و األ ن ا م ه تـ د ع ة ي ق ب ت د ت ع ا ا مث م ه نـ يـ بـ ق ر ا فـ هب ل خ د ان ك اد ب ا أ ع م ت جي ال مث ر خ اآل ن م ت د ت ع ا

Sesungguhnya Umar Bin Khatab menceraikan antara

Thulaihah al_Asadiyah dengan suaminya Rasyid al_Tsaqsafiy yang keduanya kawin dalam masa iddah dari suaminya yang kedua dan berkata: “Perempuan yang kawin dalam masa iddah jika suami yang mengawininya belum menggaulinya dipisahkan antara keduanya kemudian perempuan itu menjalani masa iddahnya dari yang pertama sedangkan yang lain adalah peminang. Jika suami itu sudah menggaulinya diceraikan keduanya kemudian perempuan itu menjalani sisa masa iddah

47

pertama dan kemudian menjalani iddah kedua sesudah itu keduanya tidak boleh berkumpul untuk selamanya. Sedangkan menurut ulama lainnya, diantaranya Abu Hanifah,

Imam As Syafi’i dan al-Tsauriy berpendapat bahwa antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah

kemudian melangsungkan perkawinan maka perkawinan antara

keduanya harus dipisahkan. Dan setelah dipisahkan kemudian masa

iddah si perempuan telah habis maka si laki-laki boleh mengawini si

perempuan tersebut. Alasanya menurutt mereka adalah perkawinan itu

merupakan hak seseorang selama tidak ada dalil yang secara pasti

melarangnya. Dan menurut mereka atsar sahabi tersebut diatas belum

cukup kuat untuk melarang akan perkawinan mereka (Syaarifuddin,

2006: 123-124).

3. Hukum poliandri dalam perundang-undangan di Indonesia

Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia menganut asas

monogami, sesuai dengan pasal 3 Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

menyatakan “Seorang Pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan

seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Kemudian

lebih lanjut pada pasal 9 Undang-undang ini menyatakan “seorang

yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat

kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan

pasal 4 undang-undang ini”. Sedangkan dalam pasal yang dimaksud

dalam pasal tersebut hanya membahas mengenai prosedur poligami

dan tidak menyinggung mengenai poliandri, sehingga dapat

48

disimpulkan bahwa, pada undang nomor 1 tahun 1974 mengenai

perkawinan melarang seorang wanita yang telah menikah melakukan

pernikahan lagi dengan pria lainnya.

Kemudian Kompilasi Hukum Islam melarang perkawinan yang

bersifat mu’aqqat seperti yang termuat pada pasal 40 yang menyatakan

melarang perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita

karena keadaan tertentu, yaitu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beraga Islam (Nuruddin, 2004: 150-151). Dari pasal 40 Kompilasi Hukum Islam jelas bahwa seorang

wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria lain selama

masih terikat tali perkawinan dengan suaminya ataupun masih dalam

masa ‘iddah.

Lebih jauh lagi, menurut pasal 284 KUHP jo. Pasal 27 KUH

Perdata menghukumi seorang yang telah terikat perkawinan dengan

orang lain baik pria mupun wanita kemudian menikah lagi dengan

orang lain dikatakan telah melakukan zina (Witanto, 2012: 71).

Kemudian menurut pasal 284 KUHP mengancam perbuatan tersebut

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dengan adanya

pengaduan.

49

4. Poliandri dalam Perspektif Patologi Sosial

Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut paut

dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental

serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-

penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala

abnormal yang merupakan masalah sosial.

Apabila kajian mengenai masalah sosial menggunakan

paradigma yang berbeda maka akan mengakibatkan perbedaan cara

pandang mengenai masalah sosial itu sendiri. Meskipun dalam kajian

mengenai masalah sosial tersebut menggunakan paradigma yang sama

namun menggunakan teori yang berbeda pun akan menghasilkan hasil

kajian yang berbeda pula, bahkan dengan teori yang sama itu akan

melahirkan perspektif yang berbeda.

Perspektif patologi sosial merupakan metode paling awal yang

digunakan untuk memahami masalah sosial. Pada perspektif ini

masalah sosial terjadi apabila individu atau masyarakat tidak berhasil

mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi

serta kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian

masyarakat, sehingga akan mengganggu bekerjanya organisasi sosial.

Dalam kondisi tersebut individu atau masyarakat dikatakan dalam

keadaan sakit, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu

mewujudkan social adjusment dan masyarakat dikatakan sakit apabila

50

terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjusmen (Soetomo,

2008: 77).

Dari analogi tersebut dapat didefinisikan patologi sosial sesuai

dengan Dictionary of Siciology yang dikutip oleh Soetomo (2008: 81).

Bahwa patologi sosial adalah suatu studi, disiplin atau ilmu

pengetahuan tentang disorganisasi sosial dan maladjusment, yang di

dalam dibahas mengenai arti, eksistensi, sebab-sebab, hasil dan

tindakan perbaikan terhadap faktor-faktor yang mengganggu atau

mengurangi penyesuaian sosial (social adjusment).

Maladjusment dalam kenyataan bermasyarakat dapat terjadi

pada individu ataupun kelompok atau bahkan masyarakat. Terjadi pada

individu, apabila individu gagal dalam menyesuaikan diri dengan

situasi dan perkembangan lingkungan dalam masyarakat. Kondisi

patologi dalam kelompok atau masyarakat terjadi apabila kelompok

atau masyarakat tersebut tidak ada penyesuaian antar unsur dalam

sistem sosial. Namun, jika ada banyak individu dalam suatu kelompok

atau masyarakat mengalami maladjusment maka akan mendorong

terjadinya kehidupan masyarakat yang tidak sehat (Soetomo, 2008:

82).

Menurut Kartini Kartono patologi sosial adalah suatu tingkah

laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola

kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup

rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Dari definisi

51

tersebut dapat dipahami bahwa perilaku patologis atau tidak

didasarkan pada nilai keseimbangan antara norma formal dalam bentuk

hukum formal dan norma formal dalam bentuk norma sosial (Kartono,

2001: 1).

Perilaku patologis merupakan perilaku yang diekspresikan oleh

seseorang atau beberapa anggota masyarakat baik yang disengaja

maupun tidak disengaja, tidak menyesuaikan diri atau bertentangan

dengan norma yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa, semua bentuk

perilaku warga masyarakat yang tidak sesuai degan norma dinamakan

perilaku menyimpang (Kartono, 2001: 1).

Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang adalah tingkah

laku, perbuatan atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang

bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dan hukum yang ada

dalam masyarakat. Penyimpangan sosial ini dianggap sebagai sumber

masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial

(Soetomo, 2008: 94). Suatu perilaku dikategorikan sebagai masalah

sosial apabila:

a. Semua bentuk perilaku yang melanggar atau memperkosa adat

istiadat masyarakat.

b. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga

masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya

dan merugikan orang banyak (Kartono, 2001: 1).

52

Suatu perilaku masyarakat yang dianggap patologis, masalah

sosial dan penyakit sosial pada umumnya mendapat reaksi berupa

penolakan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sanksi sosial

terhadap pelaku patologis, baik berupa hukuman, penolakan,

pengucilan bahkan pengasingan (Mukhayyorah, 2010: 17).

Suatu perilaku yang dikataakan menyimpang batasannya

ditentukan oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam

suatu kebudayaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu tindakan

yang mungkin pantas dan diterima dalam suatu situasi, mungkin tidak

pantas diterapkan dalam situasi lainnya. Adanya anggapan bahwa

suatu perilaku yang menyimpang dapat berbeda-beda antara

masyarakat yang satu dengan lainnya, disebabkan karena suatu

masyarakat terdapat perilaku atau perbuatan yang dianggap

menyimpang, tetapi dalam masyarakat lain justru bukan suatu

perbuatan yang menyimpang.

Perilaku menyimpang dapat diidentifikasi dengan cara:

Pertama, menggunakan logika statistik, yang dianggap menyimpang

adalah setiaap hal yang dianggap jauh dari kedaan normal atau rata-

rata. Kedua, dengan jalan melakukan diskriminasi antara ciri-ciri

masyarakat yang mendorong stabilitas dengan faktor-faktor yang

mengganggu stabilitas. Ketiga, melalui pandangan yang bersifat relatif,

tindakan menyimpang merupakan kegagalan dalam mematuhi aturan

kelompok (Soetomo, 2008: 95).

53

Mengenai peyimpangan sosial ini, Soekanto mengidentifikasi

adanya dua tipe penyimpangan (Soekanto, 1988: 19), yaitu:

a. Penyimpang murni adalah perilaku yang tidak menaati peraturan

dan juga dianggap demikian oleh pihak lain. Dalam tipe ini

seseorang dianggap melakukan tindakan tercela oleh pihak-pihak

lain, meskipun seseorang tersebut tidak melakukan tindakan

tersebut.

b. Penyimpangan tersembunyi adalah seseorang melakukan perbuatan

tercela akan tetapi tidak ada pihak-pihak lain yang bereaksi atau

tidak ada yang melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap

tidak ada masalah.

Bentuk-bentuk penyimpangan sosial pada masyarakat dilihat

dari berbagai sudut pandang (Kartono, 2001: 44), yaitu:

a. Bentuk penyimpangan sosial berdasarkan sifat.

Bentuk penyimpangan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi

dua, yaitu:

1) Penyimpangan bersifat positif adalah bentuk penyimpangan

yang terarah pada nilai sosial yang berlaku dan dianggap ideal

dalam masyarakat dan mempunyai dampak yang bersifat

positif. Misalnya emansipasi wanita dalam masyarakat yang

memunculkan wanita karier.

2) Penyimpangan bersifat negatif adalah penyimpangan dalam

tindakan yang mengarah pada nilai-nilai sosial yang dipandang

54

rendah dan dianggap tercela dalam masyarakat. Misalnya

pencurian, perampokan, pelacuran dan pemerkosaan.

Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif dibedakan

menjadi dua macam berdasarkan lama waktunya, yaitu:

Pertama, penyimpangan primer (primary deviation) adalah

penyimpangan sosial yang bersifat sementara dan biasanya

tidak diulang kembali. Seseorang yang melakukan

penyimpangan primer masih bisa diterima dalam masyarakat.

Misalnya seorang yang menunda pembayaran pajak karena

alasan keuangan yang tidak mencukupi.

Kedua, penyimpangan sekunder (secondary deviation)

adalah penyimpangan sosial yang nyata dan dilakukan secara

berulang-ulang bahkan menjadi kebiasaan dan menunjukkan

ciri khas dari suatu kelompok. Seseorang yang melakukan

penyimpangan sekunder biasanya tidak lagi diterima dalam

masyarakat. Misalnya orang yang terbiasa minum-minuman

keras dan selalu pulang dalam keadaan mabuk.

b. Bentuk penyimpangan sosial berdasarkan pelakunya

Bentuk penyimpangan berdasarkan pelakunya dibedakan

menjadi dua bentuk, yaitu:

1) Penyimpangan individu merupakan penyimpangan yang

dilakukan oleh individu yang berlawanan dengan norma suatu

55

kebudayaan yang telah mapan. Misalnya seseorang bertindak

sendiri melakukan suatu tindak kejahatan.

2) Penyimpangan kelompok merupakan penyimpangan yang

dilakukan oleh sekelompok orang yang tunduk pada norma

kelompoknya yang bertentangan dengan norma yang berlaku

dalam masyarakat. Misalnya sekelompok orang yang

menyelundupkan dan mengedarkan narkotika atau obat-obatan

terlarang lainnya.

Sedangkan jenis-jenis penyimpangan sosial dalam

masyarakat menurut Soekanto (1987: 417- 430) antara lain:

a. Pelacuran, dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang

bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan

perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.

b. Delinkukuensi anak-anak. Delinkukuensi anak-anak yang

terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl

yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung

dalam suatu ikatan atau organisasi formal atau semi formal dan

yang mempunyai tingkah laku yang kurang atau tidak disukai

oleh masyarakat pada umumnya. Delinkukuensi anak-anak

meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan,

pelanggaran susila, penggunaaan obat-obat perangsang dan

mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya) tanpa

mengindahkan norma-norma lalu lintas.

56

c. Alkoholisme, alkohol merupakan racun protoplastik yang

mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Akibatnya,

seorang pemabuk akan berkurang kemampuannya untuk

mengendalikan diri baik secra psikis, fisik maupun sosial.

Suatu aspek sosial yang secara sosiologis sangat pentinga

adalah pengaruh orang mabuk terhadap kehiupan keluarga.

d. Homoseksualitas, secara sosiologis homoseksualitas adalah

seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis

kelaminnya sebagai mitra seksual. Pria yang melakukan tindak

atau pola demikian disebut homoseksualitas, sedangkan wanita

yang berbuat demikian dinamakan lesbian.

5. Poliandri menurut Psikologi Keluarga Islam

Psikologi berasal dari kata “psyche” dan “logos”. Psyche dapat

berarti jiwa atau roh dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara

harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Secara terminologi psikologi

berarti ilmu yang mempelajarai tingkah laku manusia (Purwanto,

2011: 14).

Keluarga menurut Salvicion G Bailon dan Aracelis Maglaya

yang dikutip oleh Ferri Efendi (2009: 179) adalah dua atau lebih dari

dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan

perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah

tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam peranannya masing-

masing menciptakan dan mempertahankan kebudayaan.

57

Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa

psikologi keluarga Islam adalah ilmu yang membicarakan tentang

psikodinamika keluarga mencakup dinamika tingkah laku, motivasi,

perasaan, emosi, dan atensi anggota keluarga dalam relasinya baik

interpersonal maupun antar personal untuk mencapai fungsi

kebermaknaan dalam keluarga yang didasarkan pada pengembangan

nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah

(www. Lutfisayonk. Blogspot. co. id/ psikologi-keluarga-islam.

Diakses pada tanggal 29 Maret 2017).

Keluarga yang bahagia bisa tercapai manakala terdapat

keseimbangan antara tiga fungsi jiwa Afektif, kognitif dan konatif,

sehingga tercapai keharonisan jiwa bagi setiap anggota keluarga.

Bahagia tau tidaknya suayu keluarga dapat dilihat dari kepribadian

anggota keluarga tersebut. Kepribadian anggota keluarga yang bahagia

atau tidak menurut Abdur Rohman Ismail (www. Slideshare. net/

mobile/ abdulmunirismailismail-keluarga. Diakses pada tanggal 29

Maret 2017) sebagai berikut:

a. Kepribadian Perempuan

Kepribadian perempuan yang bahagia dalam keluargannya

maka ia akan memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1) Bertingkah laku baik terhadap orang lain;

2) Tidak mudah berbuat dosa dan menyimpang dari norma;

3) Tidak menyukai persaingan dalam kehidupan sosialnya;

58

4) Menyukai kerjasama;

5) Menghargai orang lain dan tidak memandang remeh orang lain;

6) Suka mengikuti kegiatan yang positif;

7) Hati-hati dalam masalah keuangan.

Sedangkan kepribadian perempuan yang tidak bahagia dalam

kehidupan keluarganya ialah perempuan yang memiliki sifat-sifat:

1) Emosional;

2) Menunjukkan pendirian yang tidak tetap;

3) Merasa rendah diri;

4) Suka berkompensasi dengan menunjukkan tingkah laku yang

agresif;

5) Diktator dan suka memerintah;

6) Selalu cemas dalam kehidupan sosialnya;

7) Egoisme;

8) Kurang sabar;

9) Dalam hal politik, agama, dan etika sosial cenderung radikal.

b. Kepribadian laki-laki

Kepribadian laki-laki dalam keluarga yang bahagia dapat

dilihat dari sifat-sifat sebagai berikut:

1) Emosinya stabil;

2) Menyukai kerjasama;

3) Bertingkah laku menuju ke arah keberhasilan dalam usahanya;

4) Bekerja baik dengan siapapun;

59

5) Bersikap baik terhadap perempuan;

6) Suka menolong;

7) Bertanggung jawab;

8) Memiliki perhatian terhadap pekerjaan sehari-hari;

9) Suka hidup teratur;

10) Pandai mengatur keuangan dan suka menabung.

Sedangkan laki-laki yang tidak bahagia dengan keluarganya

dapat dilihat dari sifat-sifat sebagai berikut:

1) Banyak mengalami neurosis;

2) Merasa rendah diri;

3) Suka mereaksi pendapat orang lain;

4) Suka mengomentari masalah-masalah orang lain.

5) Menolak terhadap situasi dimana dia dituntut memerankan

peran rendah, dan selalu bertindak yang sifatnya menutupi

kekurangan;

6) Tidak teratur dan serampangan dalam bekerja;

7) Pemboros dan tidak suka menolong.

Untuk mencapai keluarga bahagia tersebut, maka suatu

keluarga haruslah memiliki dasar atau pondasi yang kuat. Pondasi

untuk mencapai keluarga yang bahagia adalah sebagai berikut (www.

Lutfisayonk. Blogspot. co. id/ psikologi-keluarga-islam. Diakses pada

tanggal 29 Maret 2017):

a. Atas dasar cinta

60

Cinta merupakan satu hal yang sangat penting dalam

membangun sebuah keluarga, jalinan cnta dalam ikatan sakral

dapat memperteguh jalinan cinta itu sendiri. Ciri cinta sejati yaitu:

menikmati kebersamaan, hangat dalam berkomunikasi, saling

mengikuti keinginan baik dari orang yang dicintai, dan memaklumi

kekurangan dan saling mengikhlaskan.

b. Doronga fitrah

Fitrah manusia diciptakan di muka bumi ini ialah memiliki

cinta dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Fitrah cinta terhadap

lawan jenis tersebut mendorong manusia untuk memilih jodoh dan

hidup berumah tangga. Allah SWT Berfirman:

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu” (QS. An-Nahl ayat 72).

c. Etos ibadah

Ibadah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap

individu yang beragama. Dalam ajaran Islam, nilai dalam agama

separuhnya ada dalam keluarga, sebgaiamana sabda Rasulullah

SAW yang diriwayatkan oleh Tabrani dan Hakim, yang artinya:

“ketika seseorang hamba menikah maka sesungguhnya ia telah

menyempurnakan separuh dari agamanya, maka hendaklah ia

bertaqwa kepada Allah untuk menjaga separoh yang lain”.

61

Apabila pondasi keluarga ini dapat terpenuhi dengan baik, maka

akan terwujud keluarga yang sesuai dengan tujuan perkawinan. Tujuan

perkawinan tersebut yaitu sesuai dengan pasal 22 Kompilasi Hukum

Islam yaitu bertujuan untuk mewjudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih).

62

BAB III

PRAKTEK PERKAWINAN POLIANDRI DI DUSUN CANGGAL

DESA SIDOHARJO KECAMATAN SUSUKAN

KABUPATEN SEMARANG

A. Gambaran Umum Dusun Canggal Desa Sidoharjo

1. Profil Desa Sidoharjo

Gambar 3.1 Peta Desa Sidoharjo

a. Geografis dan Demografis

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil observasi, Desa

Sidoharjo merupakan salah satu desa yang berada di wilayah

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang dengan luas wilayah

202 Ha, dengan batasan sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : Desa Koripan

2) Sebelah Selatan : Dusun Ketapang Desa Susukan

3) Sebelah Barat : Dusun Kenteng Desa Susukan

63

4) Sebelah Timur : Desa Gentan

Desa Sidoharjo berada di ketinggian 800 meter dari

permukaan laut dengan suhu udara rata-rata yaitu 28º32º celcius

dan curah hujan 16, 11 mm pertahun. Jarak dari Ibu Kota

Kecamatan adalah 1 km, dari pusat pemerintahan kota

Administratif adalah 17 km, dari Ibu Kota Kabupaten Dati II

adalah 40 km, dari Ibu Kota Kabupaten Dati I ialah 60 km dan dari

Ibu Kota Propinsi adalah 600 km.

Desa Sidoharjo terdiri dari 7 dusun yaitu:

1) Dusun Sidoharjo

2) Dusun Petak

3) Dusun Lengkong

4) Dusun Grabagan

5) Dusun Canggal

6) Dusun Rejoso

7) Dusun Blimbing

Dalam menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat Desa

Sidoharjo untuk menjangkau tempat tujuan cukup mudah karena

berada di dekat jalan raya Sruwen-Karang Gede.

b. Keadaan Penduduk.

Sesuai dengan data monografi Desa Sidoharjo tahun 2014,

jumlah penduduk di wilayah Desa Sidoharjo adalah 3.112 jiwa,

dengan perincian laki-laki sebanyak 1.596 jiwa dan perempuan

64

sebanyak 1.516 jiwa. Dari perincian tersebut dapat dilihat bahwa

jumlah laki-laki di Desa Sidoharjo lebih banyak dari pada jumlah

perempuan.

Dari keseluruhan penduduk yang berada di Desa Sidoharjo,

seluruhnya merupakan Warga Negara Indonesia asli, sehingga

mereka berada dalam satu adat dan komunitas, tradisi dan budaya

yang sama dan saling menghormati antar sesamanya.

c. Pendidikan.

Fasilitas pendidikan di Desa Sidoharjo sudah tergolong

maju, hal tersebut dapat dilihat dari sarana pendidikan/sekolahan

yang ada, yaitu:

No Nama fasilitas Jumlah

fasilitas

Jumlah Guru Jumlah Siswa

1 TK 2 14 Guru 65 murid

2 SD 2 15 Guru 150 murid

3 Pondok

Pesantren

3 8 Guru 350 murid

4 SLTA 1 20 Guru 150 murid

5 Madrasah 3 24 Guru 150 murid

Tabel 3.1 Fasilitas Pendidikan

Selain terdapat sarana pendidikan di Desa Sidoharjo juga

didukung dengan adanya sarana organisasi sosial berupa:

Pramuka Gudep : 220 Anggota

65

Karang Taruna : 50 Anggota

Kelompok PKK : 7 kelompok

Dasa Wisma : 70 Anggota

d. Sosial Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat Desa sidoharjo dapat

dikatakan cukup. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup mereka

yang sederhana. Hampir semua keluarga dapat memenuhi

kebutuhan sekundernya, seperti perabotan rumah tangga yang

beraneka macam. Bahkan bisa dikatakan keseluruhan keluarga di

Desa Sidoharjo memiliki kendaraan bermotor.

Dari segi mata pencaharian, warga Desa Sidoharjo

merupakan mayoritas petani, mengingat 96,5 Ha dari wilayah

Sidoharjo merupakan lahan pertanian. Selain dari pada petani,

mata pencaharian warga Desa Sidoharjo dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1) Buruh Tani : 425 Orang

2) Petani : 275 Orang

3) Karyawan /ABRI : 36 Orang

4) Pegawai Negri Sipil : 92 Orang

5) Wiraswasta : 155 Orang

6) Pensiunan/ Veteran : 42 Orang

7) Pelajar/ Mahasiswa : 787 Orang

8) Belum/ tidak Bekerja : 108 orang

66

9) Dan lain-lain : 1.192 Orang

Dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa

Sidoharjo, selain berproduksi dibidang pertanian juga terdapat

sektor non pertanian dalam bentuk usaha rumah tangga berupa

usaha pembuatan kerupuk, jamur dan keripik belut.

e. Agama

Seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo merupakan

pemeluk agama Islam. Warga Desa Sidoharjo kebanyakan

menganut Madzhab Syafi’i dan penganut faham Ahlussunnah Wal

Jamaah yang tergabung dalam Nahdlotul Ulama. Hal-hal yang

berkaitan dengan Furu’iyah Ibadah dilestarikan, seperti: adzan dua

kali pada waktu Shalat Jum’at, Do’a kunut pada waktu sholat

Shubuh, adanya peringatan kematian dan tahlil, ziarah kubur dan

lain sebagainya. Dikarenakan hal tersebut sehingga pondok

pesantren yang berada di Desa Sidoharjo semuanya menganut

faham Ahlussunnah Wal Jamaah.

Di Desa Sidoharjo terdapat beberapa kegiatan keagamaan

seperti:

Majelis Ta’lim : 7 kelompok dengan 400 Anggota

Majelis Masjid : 9 Kelompok dengan 225 Anggota

Remaja Masjid : 7 Kelompok dengan 350 Anggota

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, jumlah

keseluruhan tempat ibadah sebgai berikut:

67

Masjid : 9 unit

Musholla : 16 unit

f. Kesehatan

Untuk menunjang kesehatan warga masyarakat Desa

Sidoharjo, saat ini tiap dusun terdapat posyandu yang

penyelenggaraan kegiatan dilaksnakan bekerjasama dengan

kelompok PKK Desa Sidoharjo serta berkoordinasi dengan

Puskesdes (Pusat Kesehatan Desa). Selain Posyandu terdapat

Aksepter dengan jumlah 44 orang.

2. Profil Dusun Canggal

Dusun Canggal merupakan salah satu dusun yang berada pada

wilayah Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang,

dengan batasan sebagai berikut:

a. Sebelah timur : Dusun Lengkong

b. Sebelah Selatan : Dusun Petak dan Dusun Grabagan

c. Sebelah Barat : Dusun Rejoso

d. Sebelah Utara : Dusun Blimbing

Dalam menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat Dusun Canggal

untuk menjangkau tempat tujuan tidak terlalu sulit. Meskipun Dusun

Canggal berada pada jalur penghubung antara Kecamatan Susukan

dengan Kecamatan Suruh, namun tidak ada transportasi umum yang

melewati daerah tersebut, mengingat untuk menjangkau dusun ini harus

68

melewati tanjakan dan tikungan tajam. Transportasi yang digunakan

oleh warga Dusun Canggal adalah transportasi pribadi.

Dalam masalah keagamaan warga Dusun Canggal sama halnya

dengan warga yang berada di Desa Sidoharjo yang menganut Madzhab

Syafi’i dan penganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah. Hal-hal yang

berkaitan dengan Furu’iyah Ibadah di lestarikan, seperti: adzan dua kali

pada waktu Shalat Jum’at, Do’a kunut pada waktu sholat Shubuh,

adanya peringatan kematian dan tahlil, ziarah kubur serta adanya

perkumpulan pengajian rutinan yang dilakukan dalam satu minggu satu

kali.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Dusun Canggal dapat

dikatakan lemah, mengingat tingkat pendidikan warga Dusun Canggal

yang rendah. Kebanyakan warga Dusun Canggal dalam menempuh

bangku pendidikan hanya mencapai 12 tahun atau lulus SMA, dan

hanya tiga keluarga yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan

tinggi.

Mayoritas warga Dusun Canggal bermata pencaharian sebagai

petani. Namun ada sebagian warga yang tidak memiliki lahan pertanian

maka mereka bekerja sebagai kuli bangunan atau buruh pabrik, dan

hanya ada satu warga dusun Canggal yang bekerja sebagai staf

kelurahan di Desa Sidoharjo.

69

B. Profil Pelaku Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

kecamatan Susukan Kabupaten Semarang

Poliandri dalam penelitian ini ialah pernikahan yang dilakukan

oleh seorang perempun dengan seorang laki-laki, namun perempun yang

bersangkutan masih dalam setatus kawin (perkawinan) dengan laki-laki

lain dan belum bercerai. Berikut adalah profil pelaku perkawinan

poliandri:

1. Profil Ibu Mm

Ibu Mm adalah seorang pelaku perkawinan poliandri di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

Ibu Mm lahir di Kabupaten Semarang tepatnya di Desa Muncar

Kecamatan Susukan pada tanggal 30 Desember 1950, kini berusia 66

tahun.

Pendidikan formal Ibu Mm hanya sebatas sampai kelas 3

Sekolah Dasar saja. Selain sekolah formal ibu Mm juga mengikuti

TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di Desa Muncar. Perempuan

yang semenjak lahir beragama Islam dan besar di bawah pengawasan

orang tuanya ini pada awal 80’an menikah dengan seorang duda

ditinggal mati bernama Bapak Mn yang telah memiliki lima orang

anak yang diberi nama Sh, Li, Sn, Bh dan Bi. Setelah menikah, Ibu

Mm pindah ke Canggal dimana Bapak Mn berasal dan tercatat sebagai

warga dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan. Dari

pernikahan pertama ini Ibu Mm dikarunia seorang putri dan diberi

70

nama La yang saat ini berusia 18 tahun dan telah bekerja sebagai buruh

pabrik.

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, selang beberapa

tahun setelah suami pertama Ibu Mm (Bapak Mn) meninggal, tepatnya

pada tahun 2010 Ibu Mm menikah dengan Bapak SP yang merupakan

seorang duda berasal dari Dusun Blumbang Krajan Desa Bantengan

Kecamatan Karang Gede Kabupaten Boyolali. Setelah pernikahan

keduanya ini Ibu Mm dengan Bapak SP menetap di Dusun Canggal.

Dari pernikahan keduanya ini Ibu Mm tidak dikarunia anak.

Lima tahun setelah pernikahan keduanya, tepatnya pada tahun

2016, Ibu Mm menikah dengan laki-laki lain yang bernama Bapak W

tanpa adanya perceraian terlebih dahulu dengan suami sahnya (Bapak

SP). Setelah pernikahan dengan suami barunya Ibu Mm tinggal di

Dusun Kliwonan Desa Jatirejo Kecamatan Suruh dimana suami

ketiganya berdomisili. Dari perkawinan ketiganya ini Ibu Mm belum

dikarunia anak (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni

2016).

71

2. Profil Ibu L

Gambar 3.2 Pelaku perkawinan

Poliandri 2

Ibu L adalah pelaku perkawinan poliandri di Dusun Canggal

Desa Sidoharjo. Perempuan yang berusia 30 tahun ini berasal dari

Pandeglang Banten. Ia pindah dan menetap di Dusun Canggal Desa

Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang sejak Sembilan

tahun yang lalu tepatnya akhir tahun 2008. Pekerjaan sehari-harinya

ialah mengurus rumah tangga juga sekaligus membantu suaminya

mencari nafkah sebagai buruh mengupas bawang merah.

Ibu L yang semenjak lahir beragama Islam ini, pada usia 12

tahun, setelah ia lulus dari sekolah dasar menikah dengan Bapak Al

yang merupakan warga perantauan yang berasal dari Lampung pada

tahun 1999. Dari pernikahan tersebut Ibu L mempunyai dua anak, yang

pertama seorang perempuan kelahiran 2001 yang bernama As dan

kedua anak laki-laki kelahiran tahun 2003 yang diberi nama Ry.

72

Sembilan tahun setelah perkawinan pertamanya, tepatnya pada

tahun 2008, Ibu L menikah lagi dengan laki-laki lain yang bernama

Bapak R tanpa bercerai dahulu dengan suami pertamanya (Bapak Al).

Setelah pernikahan keduanya inilah Ibu L pindah dan menetap di

Canggal bersama suami keduanya. Dari perkawinan keduanya ini Ibu

L dikarunia dua orang anak pula. Anak yang pertama seorang

perempuan yang berusia delapam tahun dan terdaftar sebagai siswa

kelas 1 Mi Petak bernama In. Anak keduanya bernama Gg yag baru

berusia empat tahun (Wawancara dengan Ibu L pada tanggal 8 Januari

2017).

No. Profil Ibu M Ibu L

1 Usia Pelaku 66 Tahun 35 Tahun

2 Pendidikan

terakhir

Tidak tamat SD SD

3 Pekerjaan Ibu Rumah

Tangga

Buruh

4 Jumlah suami 2 orang suami 2 orang suami

5 Jumlah anak 1 anak dari

Mantan Suami

yang sudah

meninggal

2 anak dari

suami pertama

dan 2 anak dari

suami ke-2

Tabel 3.2 profil pelaku perkawinan poliandri

73

C. Praktik Perkawinan Poliandri Ibu Mm dan Ibu L

1. Proses Perkawinan Poliandri

a. Proses Perkawinan Ibu Mm

Sepeninggal Bapak M, Ibu Mm yang semula hanya mengurus

rumah tangga kemudian harus menjadi tulang punggung keluarga

dengan bekerja sebagai buruh di sebuah penggilingan padi di Desa

Susukan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang (Wawancara

dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).

Beberapa tahun setelah ia menjanda, Ibu Mm dikenalkan oleh

tetangganya yang bernama Ibu Sh dengan seorang duda kelahiran

Dusun Blumbang Krajan Desa Bantengan Kecamatan Karang

Gede Kabupaten Boyolali 07 Juli 1935 yang bernama Bapak SP.

Meskipun Bapak SP yang sudah berumur 75 tahun namun beliau

masih mampu mampu mencari nafkah dengan berprofesi sebagai

pengrajin anyaman yang kemudian dijual di pasar. Dikarenakan

latar belakang bapak SP dan karena yang mengenalkan beliau

adalah Ibu Sh yang merupakan seorang perempuan yang dihormati

di Dusun Canggal, akhirnya Ibu Mm mau menikah dengan Bapak

SP (Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017).

Selang beberapa minggu setelah perkenalan tersebut, Ibu

Mm dan Bapak SP menikah pada tanggal 14 April 2010 dengan

wali saudara kandung dari Ibu Marminem yang bernama Jumar.

Pernikahan tersebut dilaksanakan secara resmi dan tercatat di KUA

74

Susukan dengan Nomor 127/39/IV/2010 (Wawancara dengan Ibu

Mm pada tanggal 28 Juni 2016).

Foto, 1.3 surat nikah Ibu Mm dengan Bapak SP

Setelah menikah, Ibu Mm dan Bapak SP tinggal menetap d

Dusun Canggal dengan anak semata wayang Ibu Mm dari

pernikahan sebelumnya. Setelah enam tahun pernikahan, keadaan

Bapak SP yang semakin tua sudah mulai pikun dan tidak mampu

lagi bekerja.

Suami keduanya yang sudah tidak mampu lagi untuk mencari

nafkah dikembalikan kepada anaknya yang berada di Dusun

Blumbang Krajan Desa Bantengan Kecamatan Karang Gede

Kabupaten Boyolali tanpa ada pemberitahuan untuk bercerai.

Untuk menghindari jika Bapak SP mencari Ibu Mm di Canggal,

Ibu Mm langsung ke tempat anak tirinya yang bernama Sn yang

berada di Dusun Kliwonan desa Jatirejo Kecamatan Suruh

75

Kabupaten Semarang (Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3

Januari 2017).

Selang dua minggu setelah Ibu Mm memulangkan Bapak SP,

ia dikenalkan oleh anak tirinya yang bernama Sn dengan seorang

duda bernama Bapak W yang merupakan seorang dukun pijat serta

sebagai petani ladang sendiri dan peternak beberapa hewan.

Setelah perkenalan Ibu Mm dengan Bapak W, pada hari itu pula

Ibu Mm menikah dengan Bapak W (Wawancara dengan Bapak W

pada tanggal 28 Juni 2016).

Pernikahan Ibu Mm dengan Bapak W dilakukan tanpa

sepengetahuan suami sahnya (Bapak SP) dan tetangganya

sebagaimana pernyataan Ibu Sr selaku tetangga Ibu Mm di Dusun

Canggal sebagai berikut:

“…mboten reti, wong aku seng adine wo Li wae we yo ra reti, ngertin-gerti wes nduwe bojo neh ngunu wae… wes diulehke nang rono neng igek bali rene tapi marineme wes lungo disik nyang jati …geh dereng pegatan naming diwangsulke ngoten mawon..”(…(tetangga) tidak tahu, orang saya yang adiknya mbk Li saja ya tidak tahu, tahu-tahu sudah punya suami lagi begitu… sudah dipulangkan (Pak SP) ke sana (Bantengan) tapi masih pulang sini tapi Mm.nya sudah pergi dulu ke Jati… ya belum cerai cuman dipulangin gitu saja..) (Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017).

Perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W tersebut dilakukan

tidak di Dusun Canggal, melainkan di desa dimana tempat asal

Bapak W yaitu di Dusun Kliwonan Desa Jati Rejo Kecamatan

Suruh di kediaman Bapak Sn. Perkawinan tersebut tidak dilakukan

76

di Dusun canggal karena Ibu Mm takut jika dilakukan di Dusun

Canggal akan diketahui oleh Bapak SP.

Kemudian, perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W dilakukan

secara Siri dengan dipimpin oleh Bapak Mi yang disaksikan oleh

anak-anak tiri Ibu Mm dari Bapak Mn, yaitu Bapak Sn dengan

anak-anaknya dan Bapak Sm (Suami Ibu Li). Ketika peneliti

menanyakan perihal perkawinan Ibu Mm kepada Pak Sn selaku

wali dan saksi pada perkawinan tersebut, beliau menjawab:

“Yo reti to mbk nek mae kui during pegatan karo Pak SP, tapi kan wes di balekke. Nek wong tuo ki wes ra usum munggah nang pengadilan kui kesuwen nek wes dibaleke ngunu kui corone wes kepitung pegatan… yo nek aku mung mesake mae wes montang manting golek duwet igek kon ngopeni wong tuo mbk...” (Ya tau mbk kalo “mae”(ibu) itu belum cerai dengan Pak SP, tapi kan sudah di pulangkan. Kalo orang tua itu sudah tidak zamannya naik ke pengadilan itu kelamaan kalo sudah di pulangkan seperti itu caranya sudah dikatakan cerai… ya kalo saya hanya kasihan mae sudah mondar mandir cari uang masih suruh merawat orang tua mbk…) (Wawancara dengan Bapak Sh pada tanggal 30 Juni 2016).

Dari wawancara tersebut dapat kita pahami bahwa, Pak Sn

selaku yang hadir pada proses perkawinan Ibu Mm dengan Bapak

SP mengetahui jika Ibu Mm belum secara resmi bercerai. Namun

menurut beliau apa yang telah dilakukan Ibu Mm dengan

memulangkan Bapak SP ke kediaman anak akndungnya sudah bisa

dikatakan sebagai perceraian secara resmi.

Setelah Ibu Mm menikah dengan Bapak W, Ibu Mm menetap

dengan suami ketiganya di Jati Rejo. Namun sesekali ia masih ke

77

Canggal karena mengenai hal-hal kependudukan ia masih berstatus

sebagai warga Canggal. Dari pernikahan Ibu Mm dengan Bapak W

ini, Ibu Mm belum dikarunia anak (Wawancara dengan Ibu Mm

pada tanggal 28 Juni 2016)..

b. Proses Perkawinan Ibu L

Perkawinan Ibu L dengan suami pertamanya (Bapak Al)

dilangsungkan pada tahun 1999. Pernikahan tersebut terjadi ketika

Ibu L masih berusia 12 tahun dan ketika beliau belum berusia

baligh (Menstruasi). Perkawinan terebut terjadi ketika Ibu L lulus

dari SD di Pandeglang, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan

seorang duda berusia 40 tahun. Duda tersebut bernama Al yang

saat itu merupakan teman kerja Bapak dari Ibu L sebagai supir truk

yang berasal dari Lampung.

Ibu L yang merasa masih kecil dan masih mau merasakan

masa remaja, awalnya tidak mau dan memberontak. Tapi, ia

diancam oleh kedua orang tuanya, jika tidak mau menikah dengan

Bapak Al maka tidak akan dianggap sebagai anak dari orang

tuanya dan akan diusir dari rumah. Karena merasa takut akan

ancaman keluarganya maka Ibu L akhirnya terpaksa menyetujui

dan mau dinikahi oleh duda tersebut. Baru setelah setengah tahun

dari pernikahan mereka akhirnya Ibu L menstruasi.

Kehidupan Ibu L setelah menikah dengan Bapak Al sangat

sederhana. Ibu L tidak bekerja dan hanya bertugas mengurus

78

rumah tangga, karena seluruh kebutuhan dipenuhi oleh suaminya.

Setelah dua tahun pernikahan, pada tahun 2001 lahirlah anak

pertama mereka yang diberi nama As. Pada tahun 2003 lahirlah

anak kedua pasangan tersebut dan diberi nama Ry.

Lima tahun setelah pernikahan mereka Ibu L merasakan

perbedaan pada suaminya. Bapak Al yang biasanya sering pulang

kerumah dan memberi nafkah lahir kepada Ibu L akhirnya berubah

dan pulang ke rumah hanya sesekali, itupun terkadang ia tidak

memberikan uang belanja kepada Ibu L. Untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya, pada tahun 2006 setelah anak keduanya

berumur 3 tahun, Ibu L pergi ke Jakarta dan bekerja di Taman

Surya. Ia bekerja ke Jakarta dan meninggalkan kedua anaknya

kepada orang tuanya.

Pada tahun 2008 ia berkenalan dan dekat dengan Bapak R

yang saat itu juga bekerja di Taman Surya. Karena sering bertemu

di tempat kerja lambat laun menumbuhkan rasa cinta antara Ibu L

dengan Bapak R. Saat bertemu dengan Ibu L, status Bapak R

adalah seorang duda beranak satu.

Karena keduanya merasa cocok, akhirnya mereka

memutuskan untuk menikah. Pernikahan tersebut tidak dilakukan

di Pandeglang melainkan di Dusun Canggal dimana asal Bapak R

berada karena status Ibu L yang saat itu masih berstatus menjadi

Istri orang.

79

Kepergian Ibu L dari Jakarta ke Kabupaten semarang

mengikuti Bapak R tidak diketahui oleh keluarga Ibu L. Bahkan

pernikahan Ibu L dengan Bapak R sama sekali tidak dihadiri dari

pihak Ibu L.

Kemudian pada tahun 2008 akhir pernikahan Ibu L dan

Bapak R dilakukan di Dusun Canggal dengan Naib Bapak Jr orang

yang biasa menikahkan orang-orang Canggal secara siri disaksikan

oleh tetangga Bapak L. Pada awal pernikahan tersebut

dilangsungkan setahu Bapak Jr, Ibu L berstatus janda kembang,

karena mengingat usia dan Perawakan Ibu L saat itu masih muda

dan pengakuan dari Ibu L dan keluarga Bapak R yang mengatakan

bahwa Ibu L masih janda kembang. Menurut pengakuan Bapak

Japar selaku naib dalam pernikahan tersebut:

“Masalah R…, terus terange umpamane kulo ngertos sakderenge geh tetep kulo mboten purun, gandeng kulo dereng ngerti. Soale Pak K essuk-esuk kan teng mriki ken ngijabi anake. Lah kulo geh mpun tangklet sakderenge tentang syarat-syarat lan peraturan hukum lan sakliane, wong niku podo wae gowo bocah to niku,pancen turene niku randa kembang njur pada senenge terus digawa lak ngoten to niku. Menawi kulo ngerti geh kulo mboten prun to niku, mosok wong wedok kok duwe bojo loro geh mboten angsal to geh niku... Wong niku sakeng Jakarta langsung ken ngijabke ngoten mawon.”(Masalah R, terus terang seumpama saya tahu sebelumnya ya tetap saya tidak mau menikahkanm karena saya tidak tahu. Salnya Pak K (Bapak dari Bapak R) pagi-pagi kan ke sini suruh menikahkan anaknya. Ya saya sudah tanya sebelumnya tentang syarat-syarat dan peraturan hukum dan sebagainya, orang itu sama saja bawa anak to itu, memang katanya itu janda kembang terus sama cintanya terus dibawa kan seperti itu. Seandainya saya tahu ya saya tidak mau, mosok perempuan kok punya suami dua ya tidak boleh to itu. Orang itu dari Jakarta langsung suruh nikahkan

80

langsung begitu) (Wawancara dengan Bapak Jr pada tanggal 4 Januari 2017).

Pada juni 2010 akhirnya Ibu L melahirkan seorang putri yang

diberi nama In. Kelahiran anak pertamanya tersebut dibantu oleh

bidan desa Sidoharjo. Selang empat tahun dari kelahiran anak

pertama mereka Ibu L dikarunia putra kedua dari Bapak R yang

diberi nama Gg.

2. Bentuk Perkawinan Poliandri

Berdasarkan proses perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm dan

Ibu L diatas, bila kita kaitkan dengan bentuk-bentuk keluarga, maka

dapat disimpulkan bentuk keluarga Ibu Mm dan Ib L sebagai berikut:

a. Berdasarkan Keturunan

Seperti halnya keluarga-keluarga lainnya yang berada di

daerah Jawa Tengah, bahwa keluarga Ibu Mm maupun Ibu L

merupakan keluarga Parental atau Bilateral. Dimana pada kedua

keluarga tersebut memiliki ciri yang sama dalam menarik garis

keturunan, yaitu dengan menarik garis keturunan baik dari

keluarga suami maupun istri.

b. Berdasarkan Pemukiman

Jika didasarkan pada tempat dimana keluarga Ibu Mm dan

Ibu L selama perkawinan, baik ketika dengan suami pertama

maupun sumi kedua, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Neolokal, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah

keluarga Ibu Mm dengan suami pertamanaya. Bentuk ini

81

berdasarkan tempat tinggal Ibu Mm dengan suami pertamanya,

dimana Ibu Mm dan suami pertamanya setelah menikah

mereka menetap di dusun Canggal yang merupakan jauh dari

keluarga sedarah dari Ibu Mm maupun suami pertamanya,

mengingat Ibu Mm berasal dari Desa Suruh dan Bapak SP

berasal dari Kabupaten Boyolali.

2) Matrilokal, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah

keluarga Ibu L dengan suami pertamanya. Karena setelah

perkawinan pertama Ibu L, Ibu L beserta suami pertamanaya

tersebut menetap di tempat asal Ibu L di Pandeglang bersama

orang tua Ibu L.

3) Patrilokal, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah

keluarga Ibu Mm dengan suami keduanya dan keluarga Ibu L

dengan suami keduanya. Setelah perkawinan keduanya, baik

Ibu Mm maupun Ibu L mengikuti dan bertempat tinggal di

tempat asal suami kedua mereka.

Berdasarkan paparan diatas maka dapat peneliti paparkan

dalam tabel 3.3 sebagai berikut:

No. Bentuk keluarga

Berdasarkan pemukiman

Profil Keluarga

1. Neolokal Ibu Mm dengan suami

pertama

2. Patrilokal Ibu Mm dengan suami

82

kedua

3. Matrilokal Ibu L dengan suami

pertama

4. Patrilokal Ibu L dengan suami kedua

c. Berdasarkan jenis anggota keluarga

1) Keluarga menurut hukum umum (Common Law Family)

merupakan keluarga yang terdiri dari seorang perempuan dan

seorang laki-laki yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah

secara hukum negara serta anak-anak mereka yang tinggal

bersama. Baik Ibu Mm maupun Ibu L dengan suami kedua

mereka termasuk kedalam keluarga Common law Family,

karena keduanya dalam perkawinan kedua mereka dilakukan

dengan cara perkawinan siri (tidak resmi).

2) Keluarga Inti (Traditional Nuclear), dimana suatu keluarga

tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal

dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat

bekerja di luar rumah. Yang termasuk dalam keluarga jenis ini

ialah kularga Ibu L dengan suami pertamanya.

3) Keluarga Reconstitutional nuclear, merupakan pembentukan

baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri,

tinggal dalam pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya,

baik itu anak dari perkawinan lama maupun hasil dari

83

perkawinan baru.yang termasuk pada kategori ini adalah

keluarga Ibu Mm dengan suami pertamanya, dimana Ibu Mm

merupakan seorang janda dan suaminya seorang duda dan

mereka tinggal bersama dengan anak Ibu Mm dengan mantan

suaminya.

Berdasarkan bentuk keluarga berdasarkan jenis anggota

keluarga diatas maka dapat peneliti paparkan dalam tabel 3.3

sebagai berikut:

No. Bentuk Keluarga

berdasarkan Jenis

Anggota Keluarga

Profil Keluarga

1. Reconstitutional

nuclear

Ibu Mm dengan

Suami

Pertama

2. Common Law Family Ibu Mm dengan

Suami

Kedua

3. Traditional Nuclear Ibu L dengan Suami

Pertama

4. Common Law Family Ibu L dengan Suami

Kedua

84

d. Berdasarkan bentuk perkawinan

Mengenai bentuk keluarga berdasarkan perkawinan, jika

didasarkan pada perbedaan ekonomi, maka dapat dikatakan jika

pada keluarga Ibu Mm dengan suami pertama dan kedua, maupun

Ibu L dengan suami pertama dan kedua dapat dikategorikan dalam

bentuk keluarga homogami. Pengelompokan keluarga tersebut

sesuai dengan keadaan ekonomi, dimana baik Ibu Mm, suami

pertama dan kedua Ibu Mm serta Ibu L dan suami pertama maupun

kedua Ibu L merupakan berasal dari keluarga menengah kebawah.

Hal tersebut sesuai dengan profil pekerjaan mereka.

Sedangkan, berdasarkan bentuk perkawinan jika didasarkan

pada suku maka dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Endogami, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah

keluarga Ibu Mm dengan suami pertama maupun kedua dan

keluarga Ibu L dengan suami kedua, karena mereka termasuk

dalam satu suku yaitu jawa dan masih dalam wilayah pulau

jawa.

2) Exsogami, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah

keluarga Ibu L dengan suami kedua, karena suami pertama Ibu

L merupakan dari luar jawa dan bukan merupakan keturunan

orang jawa.

Dari bentuk keluarga berdasarkan bentuk perkawinan diatas

maka dapat peneliti paparkan dalam tabel 3.4 sebagai berikut:

85

No. Bentuk Keluarga

berdasarkan

Bentuk Perkawinan

Profil Keluarga

1. Endogami Ibu Mm dengan Suami

Pertama

2. Endogami Ibu Mm dengan Suami

Kedua

3. Exsogami Ibu L dengan Suami

Pertama

4. Enddogami Ibu L dengan Suami

Kedua

e. Berdasarkan jenis perkawinan

Berdasarkan jenis perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm

maupun Ibu L, maka dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan

keluarga poliandri. Dimana baik Ibu Mm maupun Ibu L memiliki

suami lebih dari satu dengan proses perkawinan sebagai berikut:

1) Perkawinan Resmi

Yang dimaksud dengan perkawinan resmi disini ialah

perkawinan yang didaftarkan ke KUA dan perkawinan tersebut

tercatat secara hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka keluarga

yang termasuk dalam perkawinan resmi disini ialah keluarga

Ibu Mm dengan suami pertama yang tercatat di KUA Susukan

86

dan Ibu L dengan suami pertama yang tercatat di KUA

Pandeglang.

2) Perkawinan Siri

Yang dimaksud dengan perkawinan siri disini ialah

perkawinan yang tidak tercatat secara hukum negara. Sesuai

dengan prosesnya maka yang termasuk dalam perkawinan siri

ialah keluarga Ibu Mm dengan suami kedua serta Ibu L dengan

suami kedua, mengingat perkawinan mereka tidak di daftarkan

ke KUA dan perkawinannya dilakukan tanpa pemberitahuan

terlebih dahulu kepada pihak aparatur daerah.

D. Faktor-faktor Penyebab Perkawinan Poliandri

1. Faktor Ekonomi

Faktor penyebab perkawinan poliandri di Dusun Canggal yang

pertama adalah kondisi ekonomi yang lemah. Masyarakat Dusun

Canggal sebagian bermata pencaharian sebagai petani, namun bagi

sebagian warga yang tidak memiliki lahan pertanian mereka bekerja

sebagai buruh harian lepas.

Masyarakat Dusun Canggal seperti masyarakat pada umumnya,

dimana mereka menginginkan dalam menjalani suka duka kehidupan

ditemani oleh pasangannya. Untuk menjadikan sepasang manusia

menjadi keluarga yang sah maka harus melakukan pernikahan yang

87

sah pula. Di Indonesia pernikahan yang dinyatakan sah apabila

perkawinan tersebut tercatat di KUA.

Dari data yang peneliti peroleh dari beberapa informan

menjelaskan bahwa, perkawinan yang dilakukan di KUA kuranng

lebih membutuhkan biaya sebesar Rp. 450.000,- jika perkawinan

dilakukan di KUA dan sebesar Rp. 1.000.000,- jika perkawinan

dilakukan di rumah mempelai. Jumlah biaya sebesar itu guna

pengurusan kelengkapan perkawinan secara resmi dengan

menggunakan jasa perantara yaitu pegawai pencatat nikah.

Pencatatan perkawinan dapat dilakukan di KUA jika melalui

prosedur dan cara yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

dalam undang-undang. Salah satu ketentuan tersebut ialah prinsip

monogamy dan pelarangan adanya seorang perempuan yang memiliki

pasangan lebih dari satu. Untuk itu, jika seorang perempuan yang telah

memiliki suami dan sudah tidak cocok lagi dengan suaminya,

kemudian ingin menikah kembali dengan laki-laki lain maka

perkawinan yang terdahulu harus dinyatakan bercerai. Perceraian yang

sah harus pula melalui pernyataan hakim dalam persidangan

perceraian. Untuk mengurus perceraian tersebut juga membutuhkan

dana dalam prosesnya.

Dengan keadaan ekonomi keluarga Ibu L dan Ibu Mm yang

kurang mampu dan cukup kesulitan dalam mebayar sejumlah uang

tersebut membuat mereka berfikir ulang untuk mengajukan perceraian

88

dan melakukan perkawinan di KUA. Hal tersebut, seperti penuturan

Ibu L saat ditanya mengenai alasan melakukan perkawinan poliandri

sebagai berikut:

“Geh jane pengen diresmike,mesakke anak-anak gehan mboten gadah akta, tapi geh biayane niku loh mbk, biaya ajeng nikahe niko, ajeng gae wangsul mriko geh larang, damel ngurusi cerai kaleh seng mriko kaleh biaya ge nikahe niku kan geh larang mbak, tureen pake yo geh wes ben”(Ya Sebenarnya pengen diresmikan, kasihan anak-anak juga tidak punya akta, tapi ya biayanya itu lo mbak, biaya mau nikahnya itu, mau buat pulang kesana ya mahal, buat ngurusi cerai sama yang disana sama biaya buat nikahnya itu kan ya mahal mbak, kata pake ya sudahlah) (Wawancara dengan Ibu L pada tanggal 8 Januari 2017).

Hal serupa diungkapkan oleh Ibu Mm, seperti berikut ini:

“mpun sepoh niki ek mbak, nak ngurus-ngurus ngoten niku geh ribet lan biayane kan katah mbak” (sudah tua ini mbak, jika mengurusi seperti itu ya ribet dan biayanya kan banyak mbak) (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).

Pernyataan dari pelaku tersebut menunjukkan bahwa salah satu

faktor penyebab perkawinan poliandri yang mereka lakukan

dikarenakan faktor ekonomi yang lemah sehingga tidak mampu untuk

membayar biaya perceraian dan perkawinan ke KUA.

2. Faktor Administrasi

Faktor penyebab perkawinan poliandri yang selanjutnya ialah

faktor administrasi. Faktor administrasi yang dimaksud di sini adalah

prosedur perceraian dan perkawinan yang sah. Seperti dijelaskan di

atas bahwa seorang perempuan yang telah menikah dilarang untuk

melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain. Jika ingin menikah

89

lagi dengan laki-laki lain maka perkawinan yang terdahulu harus

dinyatakan bercerai terlebih dahulu oleh hakim dalam sidang

perceraian. Namun, setelah perkawinan terdahulu dinyatakan bercerai

maka mempelai perempuan harus melalui masa iddah terlebih dahulu

baru ia diperbolehkan menikah kembali dengan laki-laki pilihannya.

Dari hasil wawancara, menurut Ibu Mm prosedur tersebut

selain membutuhkan biaya yang banyak juga dirasa sangat merepotkan

sehingga ia memutuskan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain

meskipun belum mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Ibu Mm dalam wawancara peneliti sebagai

berikut:

“mpun sepoh niki ek mbak, nak ngurus-ngurus ngoten niku geh ribet lan biayane kan katah mbak” (sudah tua ini mbak, jika mengurusi seperti itu ya ribet dan biayanya kan banyak mbak) (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).

Hal senada juga dinyatakan oleh Ibu L. Selain karena faktor

biaya, ia merasa proses yang harus ia tempuh untuk melakukan

perceraian terlebih dahulu cukup merepotkan, mengingat pengurusan

perceraian yang harus ia lakukan haruslah mengajukan perceraian ke

Pengadilan Agama Pandeglang, tempat dimana ia berasal.

3. Faktor Usia

Faktor perkawinan poliandri lainnya ialah faktor usia. Faktor usia

disini ikut menjadi penyebab terjadinya perkawinan poliandri yang

dilakukan oleh Ibu Mm, seperti yang dituturkan Ibu Mm:

90

“mpun sepoh niki ek mbak, nak ngurus-ngurus ngoten niku geh ribet lan biayane kan katah mbak” (sudah tua ini mbak, jika mengurusi seperti itu ya ribet dan biayanya kan banyak mbak) (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).

Penuturan Ibu Mm di atas menunjukkan selain karena faktor

ekonomi dan faktor administrasi juga dikarenakan faktor usia, dimana

menurut penuturan dari salah satu informan bahwasannya di daerah

Canggal jika sudah tua maka perceraian dan perkawinan tidak harus

melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti berikut

ini:

”Nek wong tuo ki wes ra usum munggah nang pengadilan kui kesuwen nek wes dibaleke ngunu kui corone wes kepitung pegatan…”( Kalo orang tua itu sudah tidak zamannya naik ke pengadilan itu kelamaan kalo sudah di pulangkan seperti itu caranya sudah dikatakan cerai…) (Wawancara dengan Ibu Su pada tanggal 5 Januari 2017).

4. Faktor Ketidak tahuan

Penyebab perkawinan poliandri selanjutnya ialah faktor ketidak

tahuan. Hal ini didasari kepada faktor pendidikan, dimana pendidikan

pelaku perkawinan poliandri secara formal sangat rendah. Hal ini sesai

dengan peryataan Ibu Mm “….kulo riyen medal, sakeng SD muncar

riyen, kelas telu metu…”(.. saya dulu keluar, dari SD Muncar dulu,

kelas tiga keluar…).

Hal senada juga dialami oleh Ibu L dimana setelah lulus SD dia

dipaksa oleh keluarganya untuk menikah dengan suami pertamanya.

Seperti yang Ibu L katakana bahwa “…kulo dijodohke kaleh orang

tua, wong kulo lulusan umur 12 tahun niku mpun dijodohke,.,”(..saya

91

dijodohkan sama oang tua, saya lulus umur 12 tahun itu sudah

dijodohkan..)

Rendahnya tingkat pendidikan yang pelaku peroleh

mengkibatkan mereka tidak faham akan praturan perundang-undangan

mengenai prosedur perkawinan dan perceraian yang benar. Sehingga

mengakibatkan mereka melakukan perkawinan poliandri yang menurut

mereka jika sudah dilakukan ijab qabul maka perkawinan mereka

sudah dinyatakan sah.

92

BAB IV

DAMPAK PERKAWINAN POLIANDRI:

DAMPAK HUKUM, SOSIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS

A. Dampak Hukum Perkawinan Poliandri

Sebagaimana pada penjelasan bab sebelumnya, bahwa ditinjau dari

segi hukum Islam maupun hukum perkawinan yang berada di Indonesia

menyatakan bahwa perkawinan poliandri adalah haram. Namun

sebagaimana hasil penelitian yang peneliti lakukan, ternyata masih

terdapat perempuan yang melakukan perkawinan poliandri, terlebih dalam

satu dusun terdapat dua perempuan yang melakukan perkawinan poliandri.

Berikut dampak hukum perkawinan poliandri Ibu Mm dan Ibu L:

1. Perkawinan Tidak Sah dan Hubungan Suami Istri Dihukumi Zina

Sebagaimana dalam penjelasan pada bab terdahulu, bahwa

sesuai dengan Al-Qur’an surat An- Nisa’ ayat 24, maka perkawinan

kedua Ibu Mm maupun Ibu L adalah haram. Selain dari pada

keharaman perkawinan keduanya karena Ibu Mm belum bercerai

dengan suami pertamanya dan belum melalui masa iddah, keharaman

perkawinan Ibu Mm dengan suami keduanya dikarenakan perkawinan

kedua tersebut tanpa adanya wali, maka perkawinan tersebut tidak sah

dan dianggap zina. Keharaman perkawinan tanpa wali sesuai dengan

hadits yang diriwayatkan oleh At-Daaruqthniy no. 3540 yang

berbunyi:

93

ر رأة, وال تـنكح ال تـنكح امل

رأة نـفسها, إن التىى تـنكح نـفسها أة املامل

: قال ابن سريين و ربـها قال ابو هريرة "هي الزانية"هي البغي Janganlah seorang wanita menikahkan wanita yang

lainnya, dan janganlah pula seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri, maka ia adalah pelacur. Ibnu Sirina berkata: “kadang Abu Hurairoh berkata “ia adalah wanita pezina” ((At Daruquthniy No. 3540))

Hal serupa berlaku dengan Ibu L, meskipun Ibu L menikah

dengan didamping wali, namun menurut hukum Islam perkawinan Ibu

L tidaklah sah mengingat wali perkawinan Ibu L dengan suami

keduanya adalah kakak kandung dari suami keduanya. Dalam pasal 21

dan 23 Kompilasi Hukum Islam telah diatur bahwa yang berhak

menjadi wali adalah sebagai berikut:

Pertama, wali nasab terdiri dari empat kelompok yaitu

pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah,

kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat

saudara laki-laki kandung atau saudara seayah dan keturunan laki-laki

seayah dan keturunan mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman dari

garis ayah. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek dan

keturunannya. Dan itu berlaku kelompok yang satu didahulukan dari

kelompok yang lain sesuai susunan kekerabatan calon mempelai

perempuan.

94

Kedua, jika pada poin pertama tersebut tidak dapat dipenuhi

maka dapat diganti oleh wali hakim setelah adanya utusan pengadilan

Agama.

Dari pasal tersebut, dapat kita ketahui bahwa kakak dari

mempelai laik-laki tidak berhak menjadi wali dari perkawinan seorang

perempuan. Maka, dalam hukum Islam perkawinan Ibu Mm dan Ibu L

dengan suami keduanya dianggap haram karena tidak sah dan

hubungan dengan suami keduanya dihukumi zina.

Selain keharamannya sesuai hukum Islam, sebagaimana

diketahui, di Indonesia perihal perkawinan tunduk kepada aturan

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 2

ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan adalah

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanaya dan

kepercayaan itu. Lebih jauh lagi pada pasal 3 dan pasal 9 undang-

undang tersebut serta Kompilasi Hukum Islam pasal 40 menerangkan

akan larangan perkawinan poliandri. Maka dapat dikatakan sama

halnya dengan hukum Islam, pada perundang-undangan mengenai

perkawinan di Indonesia menyatakan bahwa perkawinan Ibu Mm dan

Ibu L dengan suami keduanya adalah tidak sah dan haram di mata

hukum Islam maupun hukum perdata di Indoneia.

2. Perkawinan poliandri dapat dikatakan batal demi hukum

Perkawinan kedua yang dilakukan oleh Ibu Mm maupun Ibu L

secara hukum Islam serta Perundang-undangan di Indonesia yang

95

dinyatakan tidak sah serta dihukumi zina. Selain dari tidak sah serta di

hukumi zina tersebut, perkawinan kedua yang dilakukan oleh pelaku

dalam perundang-undangan di Indonesia dapat dikatakan batal demi

hukum, karena perkawinan kedua yang dilakukan oleh Ibu Mm

maupun Ibu L dilakukan secara siri. Hal tersebut berdasarkan pasal 2

ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa

suatu perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Selain berdasarkan pada pasal 2 ayata (2) Undang-undang No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur mengenai sahnya suatu

perkawinan harus dengan pencatatan perkawinan juga berdasarkan

Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak

dan rujuk. Sedangkan tata cara pencatatannya berpedoman kepada

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (3),

pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) dan pasal 13 ayat (2).

Dengan adanya proses pencatatan dan diperolehnya kutipan akta

nikah itu perkawinan dinyatakan sebagai perkawinan yang mempunyai

hak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum (Anshary,

2010: 21). Sehingga suatu perkawinan dapat dinyatakan sah dan ada

jika adanya alat bukti resmi suatu perkawinan, apabila dihadapkan

kepada hal-hal yang memerlukan proses peradilan (Anshary, 2010:

17). Maka perkawinan Ibu Mm dan Ibu L dengan suami keduanya di

mata hukum berdasarkan pasal tersebut di atas dapat dikatakan tidak

96

pernah ada atau batal demi hukum, karena tidak adanya alat bukti

resmi yang menyatakan adanya perkawinan tersebut.

3. Perkawinan Poliandri Terancam Pidana 9 Bulan

Perkawinan Poliandri dimata hukum pidana dijelaskan pada

pasal 284 ayat 1 poin 1b dan 2a KUHP jo. pasal 27 KUHPerdata

bahwasannya seseorang yang telah menikah kemudian menikah lagi

dengan orang lain dikatakan zina. Pada pasal 284 KUHP tersebut juga

menerangkan bahwa baik bagi pelaku maupun orang yang diajak

menikah lagi tersebut diancam dengan pidana 9 bulan meskipun pasal

ini bersifat delik aduan, yang berarti bahwa pasal ini tidak akan

berlaku selama suami pertama Ibu Mm maupun Ibu L tidak

melaporkan perkawinan poliandri tersebut.

4. Mendapat Masalah Kependudukan

Selain dampak hukum Islam maupun hukum di Indonesia

mengatakan perkawinan Ibu L adalah haram dan dihukumi zina,

perkawinan poliandri yang dilakukan Ibu L menimbulkan

permasalahan dalam bidang kependudukan. Berdasarkan keterangan

dari Ibu L didapat sebagai berikut:

“kulo mboten gadah KTP mbak, ajeng kulo perpanjang wonten mriki tapi mboten saget kok mbak kan mboten wonten surat pengantare…”(saya tidak punya KTP mbak, mau saya perpanjang disini tidak bisa mbak kan tidak ada surat pengantarnya…)

“geh kalih-kalihe mboten wonten aktane kan nikahe mboten wonten aktane gehan, nak Intan sekolahe ngagem surat kelahiran sakeng bidan kapan lahire ngoten mawon naming kertas ngoten mawon kok…”(ya kedua anak saya tidak ada

97

aktanya kan nikahnya tidak ada aktanya , Intan sekolah jugamenggunakan surat dari bidan tanggal kelahiran begitu saja hanya kertas begitu saja kok..)

Disamping itu berbagai masalah kependudukan dialami Ibu L,

karena Ibu L tidak terdaftar sebagai warga Dusun Canggal secara

resmi, namun juga sudah tidak termasuk warga Pandeglang karena Ibu

L saat ini tidak memiliki KTP. Masalah kependudukan Ibu L tersebut

mengakibatkan ia dan kedua anaknya mengalami berbagai kendala,

seperti kedua anak hasil poliandri Ibu L tidak dapat memperoleh akta

kelahiran, yang mengakibatkan anak Ibu L susah untuk masuk dalam

sekolah formal, kegiatan kesehatan yang semestinya bagi warga

kurang mampu mendapat dispensasi pembayaran di puskesmas tidak

berlaku bagi Ibu L dan kedua anaknya sehingga mereka harus

mengeluarkan biaya untuk perawatan kesehatan.

Permasalahan kependudukan tersebut juga dialami oleh Ibu

Mm, meskipun tidak seperti Ibu L namun perkawinan poliandri Ibu

Mm juga berdampak pada masalah kependudukan, dimana untuk

melakukan pemeriksaan dengan menggunakan BPJS harus ia lakukan

di Susukan mengingat Ibu Mm masih terdaftar sebagai warga

Kecamatan Susukan. Hal tersebut membuat Ibu Mm harus menempuh

jarak yang cukup jauh untuk melakukan pemeriksaan ke Puskesmas

Susukan.

Selain dari dampak perkawinan poliandri diatas juga akan

berdampak pada tidak dapatnya penuntutan harta gono gini bagi Ibu

98

Mm dan nafkah serta pembagian warisan bagi Ibu L dan anak-anaknya

jika terjadi permasalahan dan konflik antara Ibu Mm atau Ibu L

dengan suami kedua mereka.

No Dampak Hukum Profil

1. Perkawinan dianggap tidak Sah dan

hubungan dengan suami dihukumi Zina

Ibu Mm dan Ibu L

2. Diancam pidana 9 bulan Ibu Mm dan Ibu L

3. Meendapat masalah kependudukan Ibu Mm dan Ibu L

Tabel 4.3 Dampak Hukum Perkawinan Poliandri

B. Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri

Sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin setiap perbuatan yang

individu lakukan tidak mendapat tanggapan dari masyarakat sekitar. Setiap

perbuatan yang berbeda dari kebiasaan masyarakat dikatakan sebagai

tindakan menyimpang. Sebagaimana Kartono (2001: 44) yang mengatakan

bahwa penyimpangan berdasarkan sifatnya dapat berbentuk penyimpangan

positif dan akan mempunyai dampak yang positif, serta penyimpangan

bersifat negatif yang mengarah pada perbuatan yang menyeleweng dari

tatanan masyarakat dan mengarah kepada nilai-nilai sosial yang dipandang

rendah akan mengakibatkan berbagai masalah dalam masyarakat tersebut.

Seperti halnya penyelewengan negatif tersebut, perkawinan poliandri

menurut teori yang diungkapkan Kartono (2001: 1) merupakan perilaku

99

yang patologis, mengingat perkawinan poliandri adalah suatu bentuk

tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal,

pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup

rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Sehingga

menurut perspektif patologi sosial, perkawinan poliandri merupakan

sebuah penyimpangan negatif karena melanggar aturan hukum baik

negara, adat maupun hukum Islam dan menimbulkan masalah sosial yang

mengakibatkan keresahan bahkan mengakibatkan adanya konflik dalam

masyarakat.

Perkawinan poliandri yang merupakan perilaku menyimpang ini,

berdasarkan hasil penelitian peneliti baik yang berupa hasil wawancara

maupun hasil observasi menimbulkan berbagai tanggapan baik dari

keluarga pelaku maupun dari masyarakat sekitar pelaku perkawinan

poliandri tersebut. Berikut dampak sosiologis yang diterima pelaku

poliandri dari keluarga maupun masyarakat:

1. Hubungan dengan Suami Pertama tidak Harmonis

Perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm maupun

oleh Ibu L mengakibatkan hubungan Ibu Mm maupun Ibu L dengan

suami pertama mereka tidak harmonis. Perkawinan Ibu Mm dengan

Bapak W yang didahului dengan pengembalian Bapak SP ke kediaman

anak kandung Bapak SP, membuat hubungan Ibu Mm dengan Bapak

SP tidak harmonis, bahkan Ibu Mm selalu di hantui rasa takut jika

perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W diketahui oleh Bapak SP.

100

Berbeda dengan Ibu Mm, perkawinan Ibu L dengan Bapak R

dilakukan dengan cara Ibu L melarikan diri dengan Bapak R ke

kediaman Bapak R. Hal tersebut mengakibatkan hubungan Ibu L

dengan suami pertamanya menjadi terputus. Tidak hanya dengan

suaminya, bahkan hubungan dengan keluarga kandung Ibu L yang

berada di Pandeglang juga terputus.

2. Cenderung Menutupi Salah Satu Perkawinan

Sebagaimana lazimnya di Indonesia, bahwa perkawinan

seorang perempuan hanya boleh dilakukan dengan satu orang laki-laki

atau asas melarang poliandri. Hal tersebut juga berlaku pada warga

Dusun Canggal yang menganggap bahwa seorang perempuan hanya

boleh menikah dengan satu orang laki-laki. Dengan adanya hukum

tersebut mengakibatkan seorang perempuan yang menikah dengan

lebih dari seorang laki-laki harus menutupi salah satu perkawinan agar

tidak mendapat masalah hukum mengenai peerkawinannya.

Kasus ini terjadi kepada kedua pelaku perkawinan poliandri,

baik Ibu Mm maupun Ibu L. Ibu Mm cenderung menutupi perkawinan

keduanya dengan Bapak W, karena warga Dusun Canggal mengetahui

perkawinan Ibu Mm dengan suami pertamanya yaitu Bapak SP dan

belum bercerai dengan Bapak SP. Ibu Mm yang menutupi perkawinan

keduanya tersebut dilakukan dengan tidak pernah mengenalkan Bapak

W kepada warga dan jika warga menanyakan perihal perkawinannya

Ibu Mm cenderung diam dan mengalihkan pembicaraan.

101

Berbedaa dengan Ibu Mm yang cenderung menutupi

perkawinan keduanya, Ibu L yang cenderung menutupi perkawinan

pertamanya dengan Bapak Al. hal tersebut ia lakukan mengingat warga

Dusun Canggal mengetahu perkawinan Ibu L dengan Bapak R dan

pada waktu perkawinan Ibu L dengan Bapak R berlangsung Ibu L

mengaku sebagai seorang janda kembang.

3. Mendapat Pertentangan dari Keluarga Kandung maupun Keluarga

Suami

Kontrol sosial yang paling awal dari setiap tindakan yang

dilakukan oleh seseorang ialah berasal dari keluarga, karena keluarga

adalah interaksi sosial pertama dari setiap orang. Hal tersebut

berimplikasi bahwa keluargalah yang pertama akan menujukkan suatu

tanggapan dari apa yang kita lakukan. Begitu pula dengan perkawinan

poliandri yang Ibu Mm maupun Ibu L lakukan menimbulkan

pertentangan dari kalangan keluarga mereka.

Pertentangan mengenai perkawinan poliandri yang Ibu Mm

dengan Bapak W lakukan pertama kali ialah ditunjukkan oleh keluarga

dari keluarga Bapak SP. Sikap penolakan keluarga Bapak SP atas

perkawinan poliandri Ibu Mm tersebut dilakukan mereka ketika awal-

awal perkawinan poliandri tersebut diketahui oleh mereka dan

masyarakat. Hal tersebut sebagaimana keterangan dari Ibu Lt:

“yo pas awal-awal kae mbak, anak.e pak SP nyang Canggal nesu-nesu, lha piye mbak pakne dingunukke sopo seng trimo to mbak, njor bar kui y owes ra tau rene meneh nak anak..”(ya wakti awal-awal dulu mbak anaknya Pak SP datang kesini marah-marah siapa

102

yang terima mbak bapaknya diperlakukan seperti itu, tapi setelah itu sudah tidak pernah kesini lagi)

Pertentangan dari keluarga mengenai perkawinan poliandri

juga dialami oleh Ibu L. Sikap penolakan akan perkawinan poliandri

yang Ibu L dengan Bapak R lakukan ditunjukkan oleh anak dari

Bapak R dari perkawinan Bapak R terdahulu. Menurut tetagga pelaku

mengatakan bahwa, anak Bapak R hasil perkawinan dengan istri

terdahulu tidak memiliki hubungan baik dengan Ibu L, ia seringkali

bertengkar dengan Ibu L dan mengatakan bahwa Ibu L adalah perebut

suami orang dan ia sering tidak pulang ke rumah.

4. Hubungan dengan Anak Kandung dari Suami Pertama maupun

Keluarga Kandung Terputus

Dampak perkawinan poliandri yang dialami oleh Ibu L ialah

terputusnya hubungan antara Ibu L dengan anak dari hasil perkawinan

pertamanya dengan Bapal Al dan terputusnya hubungan antara Ibu L

dengan keluarga kandungnya yang berada di Pandeglang Banten.

Menurut penuturan yang disampaikan oleh Ibu L, bahwa setelah ia

pindah ke Canggal sejak 2008 hingga sekarang ia hanya

berkomunikasi dengan keluarga di Pandeglang sebanyak satu kali

ketika ia mengabarkan bahwa telah menikah dengan Bapak R.

Terputusnya hubungan tersebut dalam hal komunikasi Ibu L

dengan keluarganya yang di Pandeglang, hal itu dikarenakan nomor

telepon keluarga yang Ibu L tahu sudah berganti dan tidak ada

pemberitahuan. Selain dari karena bergantinya nomor telepon keluarga

103

Ibu L, terputusnya hubungan tersebut juga dikarenakan faktor ekonomi

yang dialami Ibu L sehingga Ibu L tidak bisa mengunjungi

keluarganya yang di Pandeglang lagi.

5. Menjauh dari Masyarakat dan Mendapat Pengucilan dari Masyarakat

Perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm dengan Bapak W

disaat Ibu Mm masih terikat perkawinan dengan Bapak SP

mendapatkan tanggapan negatif berupa penentangan dari masyarakat.

Salah satu bentuk penentangan masyarakat akan perkawinan Ibu Mm

dengan Bapak W tersebut ialah masyarakat tidak senang dan merasa

terganggu, sehingga dalam pergaulan sosial kemasyarakatan sehari-

hari Ibu Mm tidak diterima dalam masyarakat. Ibu Mm juga mendapat

gunjingan negatif dari masyarakat dengan dikatakan bahwa Ibu Mm

telah melanggar hukum agama dan melakukan tindakan yang tidak

sesuai dengan kesusilaan dan sebagainya, seperti pernyataan Ibu SS

sebagai berikut:

“nek wo Mm mah gek apik ro wong kene mbak neng wong kene yo do ngenengke wae, lha piye to mbak wong wedok kok bojo ngasi loro koyo ra duwe agama wae, jeneng wong deso ki nek wong wedok kok ngono kui lak yo ra patot to mbak, neng y owes ra urep nek kene, wus isin to yae mbak..”(kalo Bu Mm masih baik sama orang sini mbak tapi orang sini sudah mendiamkan dia, lha gimana to mbak orang perempuan kok suami sampai dua seperti tidak punya agama saja, namanya orang desa itu kalo perempuan seperti itu ya tidak patut kan mbak tapi ya sudah tidak disini.. sudah malu mungkin mbak). (Wawancara dengan Ibu SS pada tanggal 5 Januari 2017)

104

Ibu Mm yang pada awalnya merupakan warga Dusun Canggal

dan memiliki tempat tinggal di Dusun Canggal setelah ia

melangsungkan perkawinan dengan Bapak W dan mendapatkan

pengucilan serta gunjingan dari masyarakat memutuskan untuk ikut

dan menetap di tempat asal Bapak W dan tidak tahu menhu lagi

dengan keadaan rumah yang di Canggal seperti penuturan Ibu Mm

yang mengatakan bahwa “Kulo geh mpun mboten retos griyo Canggal

pripun mbah, mboh mpun rusak nopo pripun...(Saya ya sudah tidak

tahu rumah Canggal bagaimana mbak, entah sudah rusak atau

bagaimana..)

Seperti halnya Ibu Mm, setelah warga mengetahui bahwa

perkawinan yang Ibu L lakukan dengan Bapak R disaat Ibu L masih

terikat perkawinan dengan Bapal Al juga mendapat berbagai

tanggapan negatif dari masyarakat. Salah satu tanggapan negatif

perkawinan Ibu L dengan Bapak R dari masyarakat adalah masyarakat

tidak senang dan dianggap bahwa keluarga Bapak R adalah orang

kurang waras, sehingga dalam kesehariannya Ibu L dan keluarga tidak

diterima dalam masyarakat, sebagaimana pernyataan Ibu Sr dan Bapak

Si yang mengatakan bahwa:

“geh awale mboten reti...ndang retos geh tangga-tangga geh mendel mawon to mbak. Lha ajeng pripun maleh, pak J seng ngijabke mawon geh mendel mawon. Torneh mriku niku wong edan mbak...”(ya awalnya tidak tahu mbak.. setelah tahu ya tetangga ya diam saja to mbak. Lha mau bagaimana lagi, pak J saja yang menikahkan diam saja. Apalagi mereka itu orang gila (nakal) mbak) (wawancara dengan Bapak Si pada tanggal 3 Januari 2017)

105

L ra tau melu opo-opo mbak dibaan ratau, pkk yo ra melu, nyamng mejid we ra tau mbak,..”(L tidak pernah ikut apa-apa mbak dibaan tidak pernah, PKK ya tidak ikut, ke masjid saja tidak pernah mbak,) (wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017)

Dari beberapa dampak sosiologis perkawinan poliandri yang

dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L diatas dapat dipahami bahwa,

perkawinan poliandri di Dusun Canggal merupakan suatu perbuatan yang

patologis dan merupakan masalah sosial karena bertentangan dengan

hukum Islam, hukum perkawinan di Indonesia juga hukum positif di

Indonesia. Perkawinan yang dilakukan oleh satu orang perempuan dengan

lebih dari satu orang laki-laki tersebut selain telah melanggar norma-

norma hukum yang dianut oleh masyarakat tersebut juga oleh keluarga

dianggap suatu perbuatan yang tidak dikehendaki dan merugikan orang

banyak, serta oleh masyarakat dianggap sebagai suatu perbuatan sosial

yang mengganggu karena keluar dari aturan yang ada dan berbahaya

karena akan menimbulkan permasalahan-permasalahan kedepan.

Sesuai dengan pemaparan diatas dapat dipahami bahwa perkawinan

yang dilakukan oleh Ibu Mm dengan Bapak W dan Ibu L dengan Bapak R

mendapatkan reaksi negatif berupa sikap penentangan baik dari pihak

keluarga maupun dari pihak masyarakat Dusun Canggal. Penentangan

keluarga atas perkawinan tersebut ialah pemutusan hubungan keluarga

oleh keluarga kandung Ibu L di Pandeglang, penolakan perkawinan oleh

anak dari Bapak R serta penentangan perkawinan yang dilakukan oleh

keluarga Bapak SP terhadap perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W. Selain

penentangan oleh keluarga juga terdapat penentangan dari masyarakat

106

dalam bentuk masyarakat tidak senang, dianggap mengganggu dan dicap

sebagai pelanggar kesusilaan. Reaksi dari masyarakat tersebut, secara

sosiologis dapat diartikan sebagai sikap penolakan terhadap semua

perbuatan atau tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku yang

dianut di masyarakat.

Sesuai dengan pemaparan mengenai dampak perkawinan poliandri

diatas, maka dapat dikomparasikan sebagai berikut:

No Dampak Sosiologis Profil

1. Dengan suami pertama tidak

harmonis

Ibu Mm dan Ibu L

2. Salah satu perkawinan cenderung

ditutupi

Ibu Mm dan Ibu L

3. Mendapat pengucilan dari masyarakat Ibu Mm dan Ibu L

4. Terpisah dari anak kandung dari suami

pertama

Ibu L

5. Mendapat pertentangan dari keluarga Ibu Mm dan Ibu L

6. Hubungan dengan keluarga kandung

terputus

Ibu L

Table 4.2 Dampak sosiologis perkawinan poliandri

C. Dampak Psikologis Perkawinan Poliandri

Seperti yang kita tahu bahwa perkawinan poliandri merupakan suatu

perkawinan yang dilakukan yang menyimpang dari kebiasaan dan norma-

107

norma yang ada pada masyarakat. Dari suatu perilaku yang berbeda dari

masyarakat ini pastilah memiliki efek samping pada diri pelaku sendiri

dalam hal psikologis. Berikut dampak psikologis perkawinan poliandri

yang dialami oleh pelaku:

1. Malu dengan Tetangga

Salah satu dampak psikologis perkawinan poliandri ialah malu

terhadap tetangga. Malu dalam psikologi Islam termasuk dalam

tempramen melankolikus dimana seseorang mempunyai sifat yang

dibawa sejak lahir berupa pesimistik yang mengakibatkan ia suka

bersedih hati dan malu akan pebuatan yang ia lakukan tidak sesuai

dengan kelaziman (Mujib, 2006: 46).

Kasus ini terjadi kepada pelaku perkawinan poliandri baik Ibu

Mm maupun Ibu L, dimana Ibu Mm dan Ibu Lmalu kepada warga

Dusun Canggal dengan ap ayang mereka lakukan. Rasa malu Ibu Mm

mengakibatkan Ibu Mm enggan untuk kembali dan menetap lagi di

Dusun Canggal, sehingga ia ikut dan menetap dengan suami keduanya

di Dusun Jati Rejo. Berbeda dengan Ibu L, karena rasa malu akan

perbuatannya yang menikah dengan dua orang laki-laki dan

memalsukan data bahwa ia bukan merupakan janda kembang

melainkan masih bersetatus sebagai suami mengakibatkan ia enggan

untuk berkumpul dengan warga Dusun Canggal.

108

2. Takut jika Suami Pertama Tahu

Dari perkawinan yang ia lakukan secara sembunyi-sembunyi

dan tanpa pemberitahuan kepada suaminya yang terdahulu membuat

Ibu Mm selalu merasa takut jika perkawinan poliandri yang ia lakukan

diketahui oleh suami pertamanya. Ibu Mm yang masih terikat

perkawinan dengan suami pertamanya dan mengetahui bahwa

setatusnya tidak bisa lepas sepenuhnya dengan suami pertamanya,

meskipun suami pertamanya sudah dipulangkan ke rumah anak

kandunya namun ia mengetahui bahwa suami pertamanya bisa saja

kembali sewaktu-waktu. Hal tersebut membuat Ibu Mm selalu merasa

takut jika suami pertamanya mengetahu bahwa ia telah meikah lagi

dengan orang lain tanpa memberi tahunya.

3. Rindu dan Merasa Bersalah kepada Anak dari Perkawinan Pertama

dan Keluarga Kandung

Salah satu fithrah manusia adalah diberikannya amanah dari

Allah SWT berupa anak. Dan setiap amanah yang diberikan wajib

untuk dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai

buerikut:

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. Al Anfal: 28).

109

Dengan adanya ayat tersebut, dapat dipahami bahwa ujian yang

diberikan oleh Allah kepada orag tua adalah anak-anak mereka. Itulah

sebabnya orang tua harus bertanggung jawab terhadap amanah yang

diberikan oleh Allah SWT dengan memberikanhak-hak anak tersebut.

Salah satu hak anak adalah mendapatkan perawatan dan kasih sayang

dari orang tuanya.

Perkawinan poliandri yang Ibu L lakukan mengakibatkan ia

berpisah dengan kedua anaknya dari perkawinannya dengan suami

pertama. Berpisahnya Ibu L dengan kedua anaknya mengakibatkan Ibu

L tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai Ibu dengan

memberikan kasih sayang dan perawatan kepada kedua anaknya,

sehingga mengakibatkan Ibu L merasa rindu dan kasihan kepada kedua

anak yang ditinggalkan tersebut.

4. Tertekan dan Kasihan dengan Anak Hasil Perkawinan Kedua

Dampak psikologis pelaku perkawinan poliandri ialah kasihan

dengan anak hasil perkawinan poliandri yang ia lakukan. Dimana, hal

tersebut terjadi kepada Ibu L yang memiliki dua anak hasil

perkawinannya dengan Bapak R. Meskipun Ibu L melakukan

perkawinan poliandri, namun setelah menikah dengan Bapak R, Ibu L

hanya berhubungan dengan Bapak R sehingga nasab kedua anaknya

jelas. Akan tetapi tetap saja anak yang Ibu L lahirkan dari perkawinan

keduanya tidak bisa dinasabkan kepada bapak kandungnya secara sah,

110

sehingga tidak mendaptkan akta kelahiran karena tidak bisa dibuktikan

dengan akta nikah orang tuanya.

5. Bingung untuk konsultasi

Manusia memang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang

sempurna dengan kelebihan akal yang diberikannya. Namun tidak

dipungkiri bahwa manusia diciptakan pula dengan sifat-sifat (al sifat)

dengan salah satunya ialah suka untuk menyampaikan perasaannya

atau berkeluh kesah dan meminta saran, sebagaimana firman Allah

dalam Al Qur’an surat Al Ma’arij ayat 19 yang berbunyi:

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah

lagi kikir (QS. Al Ma’arij: 19) Selayaknya manusia Ibu L juga merupakan seorang perempuan

yang ingin menyampaikan apa yang ia rasakan dan menginginkan

suatu masukan apa yang harus ia lakukan dengan suatu keadaan yang

menimpa dirinya dari keluarganya. Namun, setelah ia melangsungkan

perkawinan yang keduanya dan menetap di Canggal serta telah

terputus komunikasi dengan keluarga kandungnya, menyebabkan Ibu

L tidak bisa lagi untuk meminta saran kepada kedua orang tuanya. Ibu

L juga enggan untuk meminta saran kepada tetangga sekitarnya di

Dusun Canggal karena Ibu L merasa ia belum terlalu dekat dengan

warga.

111

Sesuai dengan pembahasan pada bab terdahulu bahwa setiap

manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (citra asli/ suci) dan baik

(Mujib, 2006: 38), namun semenjak individu itu lahir ia akan terus

dipengaruhi oleh lingkungan dan perawatan yang merawatnya

(Baharuddin, 2007: 69). Hal tersebut sesuai dengan hadits yang

diriwayatkan oleh Bukhari Muslim sebagai berikut:

كل مولود يولد على الفطرة فابـواه يـنصرانه، أويـهودنه أوميجسانه

“Setiap anak yang dilahirkan, dilahirkan atas dasar fithrah, Maka ibu bapanya yang menasranikan atau meyahudikan atau memajusikannya.” Sejalan dengan hal tersebut, sejatinya Ibu Mm dan Ibu L yang lahir

dan besar dengan label Islam dan menyukai suatu hal yang benar dan

mengikuti norma.

Sebagaimana kita tahu bahwa faktor eksternal manusia yaitu apa

yang terjadi pada lingkungan akan mempengaruhi pribadi manusia dengan

pembawaannya menyaring dan memilih pengalaman-pengalaman yang

mmbentuk dan member warna hidup dan kehidupannya sehingga individu

tersebut akan memiliki karakter sendiri (Baharuddin, 2007: 70). Sehingga

individu yang berusaha untuk mengubah dan menyesuaikan diri

(adjusment). Namun demikian, tidak selamanya usaha penyesuaian diri itu

berhasil dengan baik, dan kadang individu mengalami kegagalan dalam

meperoleh penyesuaian sehingga disebut maladjustment (Baharuddin,

2007: 75).

112

Keadaan individu yang mampu untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya (adjusment) akan menanggapi dengan tanggapan berupa

emosi atau perasaan yang positif. Demikian pula sebaliknya, keadaan

individu yang tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya (maladjasment), individu tersebut akan menanggapinya

dengan tanggapan berupa emosi dan perasaan yang negatif (Baharuddin,

2007: 138).

Psikologikeluarga Islam membahas mengenai psikodinamika

keluarga, mencakup dinamika tingkah laku, motivasi, perasaan, emosi, dan

atensi anggota keluarga dalam relasinya baik interpersonal maupun antar

personal untuk mencapai fungsi kebermaknaan dalam keluarga yang

didasarkan pada pengembangan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al

Qur’an dan sunnah Rasulullah (www. Lutfisayonk. Blogspot. co. id/

psikologi-keluarga-islam. Diakses pada tanggal 29 Maret 2017). Dari

pembahasan mengenai psikologi keluarga Islam tersebut, maka psikologi

keluarga Islam dapat digunakan untuk menganalisis mengenai keluarga

perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm maupun Ibu L.

Perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L yang secara hukum

Islam dinyatakan haram dan secara hukum positif di Indonesia dapat

dikatakan batal demi hukum serta dalam perspektif patologi sosial

dianggap sebagai perilaku yang patologis, dalam tinjauan psikologi

keluarga Islam berdampak negatif pada psikologi keluarga pelaku.

113

Perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L yang

mendapat reaksi penolakan dari keluarga maupun masyarakat,

mengakibatkan keluarga Ibu Mm dan Ibu L mengalami perasaan malu

terhadap para tetangga. Selain malu akan perbuatannya, Ibu Mm juga

ditimpa kekhawatiran dan takut jikalau perkawinan yang dilakukan Ibu

Mm dengan Bapak W akan diketahui oleh Bapak SP. Sejalan dengan Ibu

Mm, perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu L dengan Bapak R

mengakibatkan hubungannya dengan anak kandung dari perkawinan

pertama serta keluarga kandungnya yang berada di Pandeglang terputus,

hal tersebut mengakibatkan Ibu L dilanda rasa rindu ingin bertemu dengan

mereka dan mengakibat Ibu L bingung untuk konsultasi. Selain rasa rindu

dan bingung untuk konsultasi, perkawinan poliandri yang dilakukan Ibu L

dengan Bapak R yang akhirnya dikarunia dua orang anak tersebut

mengakibatkan Ibu L merasa tertekan dan kasihan dengan kedua anaknya

karena kedua anaknya tidak mendapatkan akta kelahiran yang

mengakibatkan mereka sulit untuk mendapatkan pelayanan

kemasyarakatan secara layak.

Sesuai pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan

poliandri Ibu Mm dan Ibu L menimbulkan dampak negatif pada psikologi

keluarga mereka. Berbagai dampak negatif psikologi keluarga Ibu Mm

maupun Ibu L tersebut dapat dikatakan bahwa perkawinan poliandri yang

dilakukan oleh kedua pelaku bertentangan dengan psikologi keluarga

Islam. Hal tersebut karena perkawinan poliandri mengakibatkan ketidak

114

bahagiaan pada keluarga pelaku yang pondasi awal keluarga tersebut tidak

sesuai dengan prinsip psikologi keluarga Islam, serta tidak mencerminkan

keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Sesuai dengan pemaparan mengenai dampak psikologis perkawinan

poliandri diatas, maka dapat dikomparasikan sebagai berikut:

No Dampak Psikologis Profil

1 Malu terhadap tetangga Ibu Mm

5. Selalu merasa takut jika suami pertamanya

mengetahui

Ibu Mm

6. Rindu dan merasa bersalah kepada anak dari

suami pertamanya dan keluarga kandungnya

Ibu L

7. Selalu tertekan dan kasihan dengan anak

hasil perkawinan keduanya karena tidak

mempunyai akta

Ibu L

8. Bingung untuk konsultasi

Ibu L

Table 4.1 Dampak Psikologis perkawinan poliandri

115

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan di Dusun Canggal

Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten semarang dan

pembahasan yang telah peneliti paparkan pada bab I sampai dengan bab

IV di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Praktik perkawinan poliandri

Praktik perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm dan

Ibu L pada dasarnya dilakukan dengan cara pernikahan siri, sehingga

keluarga Ibu Mm dengan Ibu L berbentuk sebagai berikut: jika

didasarkan pada keturunan maka bentuk keluarga yang timbul adalah

keluarga parental atau bilateral. Berdasarkan pemukiman maka bentuk

keluarganya adalah neolokal, patrilokal dan matrilokal. Berdasarkan

jenis anggota keluarga maka keluarga poliandri dapat berbentuk

common law family, traditional nuclear maupun reconstitutional

nuclear. Berdasarkan bentuk perkawinan jika didasarkan pada

perbedaan ekonomi maka berbentuk homogami, jika didasarkan pada

perbedaan suku maka dapat berbentuk endogami maupun exsogami.

116

2. Faktor penyebab perkawinan poliandri

Pertama, factor ekonomi keluarga pelaku yang mengakibatkan

para pelaku enggan untuk mengurus perceraian dengan suami pertama

terlebih dahulu. Faktor kedua ialah factor administrasi yang berbelit-

belit dan dianggap ribet oleh pelaku. Faktor ketiga yaitu faktor usia,

dimana warga Dusun Canggal menganggap usia yang sudah tua tidak

mengharuskan seseorang yang melakukan perkawinan dan perceraian

melalui jalur yang ditetapkan oleh pemerintah. Faktor selanjutnya ialah

factor ketidaktahuan yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat

pendidikan pelaku.

3. Dampak perkawinan poliandri

Perkawinan yang tidak sesuai dengan norma yang berada di

masyarakat pastilah menimbulkan banyak dampak. dampak

perkawinan poliandri tersebut ialah:

a. Dampak hukum

Dampak perkawinan poliandri dari segi hukum ialah: dari

segi hukum Islam perkawinan kedua dianggap haram dan

hubungannya dengan suami kedua dianggap zina. Dari segi hukum

perkawinan di Indonesia perkawinan yang kedua tidak sah dan

dianggap tidak pernaha ada atau batal demi hukum dan dari segi

hukum pidana pelaku perkawinan poliandri baik istri maupun

suami dapat dipidana selama sembilan bulan.

117

Dari segi kependudukan perkawinan poliandri

mengakibatkan beberapa masalah yaitu: perkawinan yang kedua

tidak mendapat akta nikah sehingga jika terjadi perceraian maka

tidaka akan mendapat harta gono gini, bagi anak hasil perkawinan

poliandri tidak mendapat akta nikah yang mengakibatkan anak

susah untuk masuk dalam pendidikan formal, jika terjadi

perceraian anak tidak akan mendapat nafkah dan jika suami kedua

meninggal anak tidak akan mendapat harta warisan.

b. Dampak sosiologi

Dampak perkawinan poliandri dari segi sosiologis

dikatakan suatu perbuatan yang patologis dan menimbulkan

berbagai reaksi negatif baik dari keluarga maupun masyarakat

yaitu: hubungan dengan suami pertama menjadi tidak harmonis,

cenderung menutupi salah satu perkawinannya, terpisah dari anak

hasil perkawinan pertamaa, dikucilkan dari keluarga kandung

maupun masyarakat dan mendapat pertentangan dari keluarga baik

pihak pelaku maupun suami.

c. Dampak psikologi

Dampak perkawinan poliandri dari segi psikologi

menimbulkan ketidak harmonisan keluarga dan keluarganya tidak

harmonis serta menimbulkan berbagai dampak negatif pada

psikologis keluarga pelaku antara lain: merasa malu terhadap

tetangga, rindu dan merasa bersalah kepada anak dari perkawinan

118

pertama, selalu dihantui rasa takut jika suami pertama mengetahui,

tertekan dan kasihan kepada anak hasil perkawinan poliandri.

B. Saran

Setelah peneliti melakukan penelitian mengenai “Praktik

Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan

Susukan Kabupaten Semarang”, menurut peneliti ada beberapa saran yang

dapat peneliti ajukan, antara lain:

1. Bagi pelaku

a. Pelaku perkawinan poliandri harus lebih memahami resiko yang

harus diterima dari tindakan yang mereka lakukan.

b. Pelaku hendaknya mengurus perceraian terlebih dahulu dan

mengesahkan perkawinan keduanya agar anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan poliandri tersebut dapat menjalani

kehidupan dengan baik dan dapat meraih masa depan yang lebih

baik.

2. Bagi masyarakat

Masyarakat harus ikut andil dalam mencegah tejadinya

perkawinan poliandri karena akan menimbulkan resiko yang cukup

besar baik bagi perempuan, anak-anak maupun warga sekitar.

3. Bagi Pemerintah Daerah

119

a. Bagi pihak pemerintah daerah setempat hendaknya lebih

memperhatikan daerah terpencil seperti Dusun Canggal yang

membutuhkan pendidikan bagi anak-anak.

b. Bagi pihak KUA maupun pencatat nikah setempat lebih baik lagi

dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat akan prosedur

perkawinan yang sesuai dengan undang-undang.

120

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: AkademikaPresindo

Al Farran, Ahmad Mustofa. 2007. Tafsir Imam Syafi’I: Surah Al-Fatihah – Surah Ali ‘Imron. Jakarta Timur: Almahira

Al-Ghaffar, Abdur Rasul Abdul Hasan. Tanpa tahun. Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern. Terjemahan oleh Bahrudin Fanani. 1984. Bandung: Pustaka Hidayah

Al-Jahrani, Musfir. Tanpa tahun. “Poligami dari Berbagai Persepsi”. Terjemahan oleh Muh. Suten Ritonga. 1996. Jakarta: Gema Insani Press

Anshary. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Apriliani, Rita. 2015. “Pembatlan Perkawinan karena Poliandri: Studi Analisis Putusan Nomor 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL”. Salatiga: Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1952. Al Islah II. Jakarta: PT BulanBintang

Baharuddin. 2007. Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoritis terhadap Fenomena. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Basyir, Ahmad Azhar. 2007. “Hukum Perkawinan Islam”. Yogyakarta: UII Press Data Geografi Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Data Monografi Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Departemen Agama RI. 1996. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT.

Karya Toha Putra Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori

dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ichtiar Baru, Van Hoeve

Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Penelitian Reseach. Yogyakarta:_

Kartono, Kartini. 2001. PatologiSosialJilid I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

121

Manjorang, Aditya P dan Intan Aditya. 2015. The Law of Love: Hukum Seputar Pranikah, Pernikahan, dan Perceraian di Indonesia. Jakarta: Trasmedia Pustaka

Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa.

Yogyakarta: TrustMedia Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada Mukhoiyaroh, Nafisatul. 2010. “Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri: Studi

Kasus di Desa Ngasem Kecamatan Ngajen Kabupaten Malang”. Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di

Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 tahun 1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana

Poerwadarminto, Wjs. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka

Purwanto, Ngalim. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sahih Bukhori. 1371 H. Jawahirul Bukhori Juz Voo. Cairo: Dar al Qolam

Sarwat, Ahmad. 2011. Seri FiqihKehidupan (8) Pernikahan. Jakarta: DU Publishing

Soekato, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudarsono. 1991. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Pt. Rineka Cipta

Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Yogyakarta: Carasvati Books

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: FEUI

Suntoro, Sucipto. _ . Kamus Besar Bahasa Indonesia dilengkapi: EYD-Ejaan yang Disempurnakan. Surakarta: Bringin 55

Syarifuddin, Amir. 2006. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”. Jakarta: Kencana

Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah

Lengkap”. Jakarta: Rajawali Pers

122

Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Cet.1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas

Undang-undang No. 10 Tahun 1992 tantang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta Witanto. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca

Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustakarya

Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016 Wawancara dengan Bapak W pada tanggal 28 Juni 2016 Wawncara dengan Bapak Sh pada tanggal 30 Juni 2016 Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017 Wawancara dengan Bapak Jr pada tanggal 4 Januari 2017 Wawancara dengan Ibu Su pada tanggal 5 Januari 2017 Wawancara dengan Ibu L pada tanggal 8 Januari 2017

Dipo,Wiwik Toyo Santoso. 2009. Buku Pegangan Membangun Keluarga Sejahtera Bersama. Yogyakarta:Tim Penggerak PKK Kabupaten Kulon Progo.

Yasin, M. Nur. 2008. “Hukum Perkawinan Islam Sasak”. Malang: UIN Malang Press

Sayonk, Lutfi, 2015. Psikologi Keluarga Islam. (Online), (http://Blogspot.co.id/psikologi-keluarga-islam.html, diakses Maret 2017)

Ismail, Abdul Munir, 2016. Psikologi Keluarga. (online), (http://Slideshare.net/mobile/abdulmunirismailismail/psikologi-keluarga.html, diakses 29 Maret 2017)

123

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Siti Karimah

Nim : 211-12-006

Jurusan : Ahwal Al Syakhsiyyah

Tempat Tanggal Lahir : Kab. Boyoliali, 02 Januari 1995

Alamat : Dsn Grabagan Rt 01 Rw 02 Desa Sidoharjo Kecamatan

Susukan Kabupaten Semarang 50777

Nama Ayah : Achwan

Nama Ibu : Umi Salamah

Agama : Islam

Pendidikan : RA Petak Lulus Tahun 2000

MI Petak Lulus Tahun 2006

MTs Negeri Susukan Lulus Tahun 2009

MA Negeri 2 Semarang Lulus Tahun 2012

Demikian daftar riwayat hidup ini, penulis buat dengan sebenar-benarnya.

Salatiga,10 Maret 2017

Penulis

Siti Karimah

1

2

3

DAFTAR SKK

Nama : Siti Karimah Fakultas : Syariah

NIM : 211-12-006 Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah

No. Nama Kegiatan Pelaksanaan Jabatan Nilai

1. OPAK STAIN Salatiga oleh DEMA STAIN

Salatiga

05-07 September

2012

Peserta 3

2. Orientasi Mahasiswa Syari’ah (ORMAS) oleh

HMJ Syari’ah STAIN Salatiga

08-09 September

2012

Peserta 3

3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) oleh

ITTAQO dan CEC

10 September

2012

Peserta 2

4. Seminar Enterpreneurship dan Perkoperasian

2012 oleh MAPALA MITAPASA dan KSEI

11 September

2012

Peserta 2

5. Achivement Motivation Training oleh JQH dan

LDK

12 September

2012

Peserta 2

6. Library User Education oleh UPT Perpustakaan

STAIN Salatiga

13 Septemer

2012

Peserta 2

7. Semalam Sehati oleh HMJ Syari’ah STAIN

Salatiga

14 Oktober 2012 Peserta 2

8. Kursus Singkat Politik Jihad dan Terorisme oleh

Prodi Ahwal Al Syakhshiyyah

Februari-April

2013

Peserta 3

9. English Course Program at Pyramid English

Course

25 Januari-09

Februari 2014

Peserta 3

10. English Camp at Egypt 25 Januari-25

Februari 2014

Peserta 3

11. TOEFL Training for Bidikmisi oleh UPTPB 7 Maret-12 April

2016

Peserta 3

12. Seminar Motivasi “Menumbuhkan Semangat

Berprestasi sebagai Wujud Pengabdian Bangsa

di Era Global oleh Ya Bismillah IAIN Salatiga

24 Desember

2015

Peserta 2

13. Pelatihan Manajemen TPQ oleh Ya Bismillah

IAIN Salatiga

04 juli 2015 Panitia 2

14. Talk Show “Be Scholarship Hunter of Home 29 September Peserta 2

Country (Indonesia) and Abroad University”

oleh Ya Bismillah IAIN Salatiga

2015

15. Musyawarah Regional Mahasiswa Bidikmisi

Jateng D.I.Y Ke-IV di Universitas Jendral

Soedirman Purwokerto

27-28 Maret

2015

Peserta 3

16. Musyawarah Wilayah ke-5 Permadani Diksi

Wilayah V di Universitas Islam Indonesia

24-27 Maret

2016

Peserta 3

17. ESQ Leadership Training 13 Juni 2016 Peserta 3

18. SK Pengangkatan Pengurus DEMA Fakultas

Syari’ah IAIN Salatiga tahun 2015

4

19. OPAK Fakultas Syari’ah oleh DEMA Fakultas

Syari’ah IAIN Salatiga

13-14 Agustus

2015

Panitia 3

20. Seminar Nasional “Peran Mahasiswa Syari’ah

dan Hukum dalam Pembangunan Bangsa” oleh

DEMA Fakultas Syaria’ah IAIN Salatiga

27 Juni 2015 Panitia 8

21. Workshop Pelatihan Advokasi oleh DEMA

Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

03 November

2015

Panitia 3

22. SK Seminar Nasional oleh DEMA Fakultas

Syari’ah IAIN Salatiga

08 Desember

2015

Panitia 6

23. Pelatihan Kader Pemuda Anti Narkoba oleh

Kementrian Pemuda dan Olahraga RI

24-25 Agustus

2016

Peserta 3

24. Sosialisasi Pencegahan Kekerasan dalam Rumah

Tangga Sejak Dini oleh Kementrian

Pemberdaya Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia

16 November

2016

Peserta 2

25. Pelatihan Kader Muda (LAKMUD) oleh

Pimpinan Cabang IPNUdan IPPNU Kabupaten

Semarang

27-29 November

2015

Peserta 3

26. Seminar Wawasan Kebangsaan dengan Tema

“Menghidupkan Nasionalisme dalam

Keseharian” (Gerakan Pemuda Rakyat Kab.

Semarang Asri (GAPURA SERASI))

02 April 2016 Peserta 2

27. SK Pengangkatan Pengurus Himpunan 4

Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Salatiga

Periode 2016-2017

28. SK Pengangkatan Pengurus Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Salatiga

Komisariat Persiapan Karnoto Zarkasyi

4

29. Basic Training (LK 1) Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI) Cabang Salatiga

18-21 Oktober

2012

Peserta 3

30. Intermediate Training (LK II) Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok

03-09 Desember

2016

Peserta 3

31. Seminar Nasional dengan Tema “Reinventing

Kebudayaan Indonesia untuk Kebangkitan HMI

di Era Modern” oleh HMI Cabang Salatiga

28 Mei 2016 Panitia 6

32. Talkshow “Satu Jam lebih Dekat Bersama

Kandidat Walikota dan Wakil Walikota Salatiga

Periode 2017-2022 oleh HMI Cabang Salatiga

05 November

2016

Panitia 2

33. Dialog Interaktif oleh HMI Cabang Salatiga 29 Juni 2016 Panitia 2

34. Seminar Nasional “Norma Hukum serta

Kebijakan Pemerintah dalam Mengendalikan

Harga BBM Bersubsidi” oleh DEMA STAIN

Salatiga

27 Mei 2013 Peserta 6

35. Seminar Nasional dan Dialog Publik “Minimnya

Pasokan Energi dalam Negeri; Pembatasan

Subsidi BBM dan Peran Masyarakat dalam

Peenghematan Energi” oleh HMJ Tarbiyah dan

Syari’ah STAIN Salatiga

20 April 2013 Peserta 6

36. Seminar Nasional dan Dialog Publik

“Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” oleh

HMJ Syari’ah STAIN Salatiga

27 Juni 2013 Peserta 6

37. Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan dan Seminar

Nasional oleh MPR RI bekerjasama dengan

IPNU

24 Oktober 2013 Peserta 6

38. International Seminar “ASEAN Economic

Community 2015; Prospects and Challenges for

28 Februari 2015 Peserta 8

Mengetahui,

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama

Fakultas Syari’ah

Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si NIP. 19790930 200312 1001

Islamic Higher Education” oleh IAIN Salatiga

39. Workshop “Pelatihan Naib dalam Mengawali

Bahtera Mahligai Rumah Tangga” oleh HMJ

Ahwal Al Syakhshiyyah IAIN Salatiga

Mei 2015 Peserta 3

40. Seminar Nasional “Kesehatan Islami” oleh

Gerakan Masyarakat Salatiga (GEMAS)

10 Agustus 2015 Peserta 6

41. Pelatihan Advokasi oleh HMJ Syari’ah dan

Ekonomi Islam STAIN Salatiga

23-24 Mei 2014 Peserta 3

42. Seminar Nasional Enterpreneurship oleh

KOPMA FATAWA STAIN Salatiga

27 Mei 2013 Peserta 6

43. Seminar Nasional “Khilafah; Tinjauan Akidah

dan Syari’ah” oleh Fakultas Ushuluddin, Aab

dan Humaniora IAIN Salatiga bersama Jemaat

Ahmadiyah Indonesia

25 Mei 2016 Peserta 6

44. Workshop Enterpreneur oleh Fakultas Dakwah

IAIN Salatiga

23 April 2016 Peserta 2

45. Pra Youth Leadership Training oleh KAMMI

Komisariat Salatiga

03 Oktober 2012 Peserta 3

46. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

tahun 1434 H oleh Kelompok Studi Ekonomi

Islam (KSEI) STAIN Salatiga

27 Januari 2013 Peserta 2

47. Tabligh Akbar oleh Jami’iyyatul Qurro’ wal

Huffadz (JQH) STAIN Salatiga

1 Desember

2012

Peserta 2

Jumlah Total 182