perilaku millenial voters di media sosial dalam...
TRANSCRIPT
PERILAKU MILLENIAL VOTERS DI MEDIA SOSIAL DALAM MERESPON
PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019
Disusun oleh:
Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP)
Dan
Magister Ilmu Pemerintahan (MIP)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
A. LATAR BELAKANG
Anak muda adalah sebuah kelompok masyarakat yang acap kali ditafsirkan sebagai
sosok yang akan menentukan arah dan tujuan sebuah bangsa dimasa yang akan mendatang.
Generasi yang lebih dikenal dengan istilah “Generasi Milenial” ini memiliki definisinya
tersendiri, jika merujuk pada definisi yang dikeluarkan oleh Oblinger yang secara konsisten
membagi generasi berdasarkan kurun waktu kelahiran didapatkan generasi Y dan generasi Z
yang sudah tentu sangat berbeda. Generasi Y adalah generasi yang lahir pada kurun waktu
tahun 1980-1995, sedangkan generasi Z lahir dalam kurun waktu tahun 1995- sekarang
(Oblinger, D. and Oblinger, 2005). Pembedaan generasi tidak hanya terbatas dari kurun waktu
lahir saja, berdasarkan perilaku dan pengalaman dari masing-masing generasi bisa dijadikan
patokan untuk menentukan kelompok generasi Y ataupun Z. Generasi X adalah generasi yang
mengalami tahun awal perkembangan PC (personal computer), video games, tv kabel, dan
internet. Ciri – ciri dari generasi ini adalah: mampu beradaptasi, mampu menerima perubahan
dengan baik dan disebut sebagai generasi yang tangguh, memiliki karakter mandiri dan loyal,
sangat mengutamakan citra, ketenaran, dan uang, tipe pekerja keras, menghitung kontribusi
yang telah diberikan perusahaan terhadap hasil kerjanya. Sedangkan generasi Y dikenal dengan
sebutan generasi millenial atau milenium. Ungkapan generasi Y mulai dipakai pada editorial
koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993. Generasi ini banyak menggunakan teknologi
komunikasi instan seperti email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti facebook
dan twitter, dengan kata lain generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet
booming. Lebih lanjut mengungkapkan ciri – ciri dari generasi Y adalah: karakteristik masing-
masing individu berbeda, tergantung dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial
keluarganya, pola komunikasinya sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya,
pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan
perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi, sehingga
mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya,
memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan (Putra, 2016).
Jika dihubungkan dengan pemilihan umum (pemilu) sebagai hajat besar masyarakat
indonesia yang rutin dijalankan selama 5 tahun sekali, Generasi Milenial memiliki peran yang
cukup signifikan dalam menyumbangkan suaranya pada periode pemilihan umum di 2019
kelak. Berdasarkan pernyataan dari direktur eksekutif perkumpulan pemilu dan demokrasi
(Perludem) Titi Anggraeni, jumlah Generasi Milenial yang akan memberikan hak pilihnya
pada pemilihan umum yang akan diadakan 17 april 2019 nanti hampir mencapai setengah dari
jumlah populasi masyarakat di indonesia yaitu sebesar 40 %, Ini sudah tentu menjadi perhatian
khusus bagi para fasilititator pendidikan politik mengenai apa metode yang cocok untuk
memberikan pendidikan-pendidikan mengenai politik khususnya dalam bidang kepemiluan
(Sucianingsih, 2018).
Besarnya jumlah Generasi Milenial dalam menyumbangkan hak pilihnya di pemilihan
umum 2019 kelak juga menjadi PR tersendiri yang perlu diselesaikan oleh seluruh masyarakat
indnesia. Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan
Umum (BAWASLU) tidak bisa bekerja sendiri tanpa adanya bantuan dari masyarakat luas
untuk menciptakan pemilu yang berintegritas, oleh karena itu masyarakat harus turun tangan
mengawal berjalanya fenomena electoral 5 tahunan ini.
Pemilu yang sehat adalah pemilu yang jujur, terbuka dan tanpa ada tekanan politik
maupun psikologis dari orang lain. Perlu diketahui bahwa terkadang pemilu merupakan ajang
pesta oleh para pemilik modal untuk memperoleh statusnya menjadi seorang politisi dengan
cara mempengaruhi pemilih dalam hal ini masyarakat melalui berbagai macam cara, baik itu
berupa pemberian uang dan imbalan dan sebagainya, namun juga dalam bentuk tekanan politik
dan bahkan tidak jarang menggunakan tekanan fisik. Dengan jumlah 40% menjadi ladang besar
untuk para politisi melakukan kecurangan-kecurangan dalam pemilu, bisa dibayangkan saja
jika generasi milenial hanya dijadikan objek politik untuk memperoleh jabatan dan meraup
keuntungan dari Generasi Milenial yang masih ‘polos’ akan kecurangan yang ada, sehingga
pendidikan politik khususnya menjelang pemilu 2019 nanti merupakan hajat penting untuk
Generasi Milenial agar tau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi itu semua serta apa
yang akan dilakukan setelah hajat demokrasi raksasa ini telah selesai dan menghasilkan para
pemegang jabatan ditingkat eksekutif maupun legislatif.
Hal yang paling serius untuk dihadapi adalah bagaimana agar anak muda bisa memiliki
kesadaran yang tinggi dalam menafsirkan fenomena politik, minimal datang ke TPS dan
memilih salah satu pasangan calon sebagai sebuah bentuk penafsiran politik tanah air. Disisi
lain adalah bagaimana Generasi Milenial melihat bahaya kecurangan pemilu khususnya politik
uang sebagai hal yang buruk bagi keberlangsungan roda pemerintahan pasca pemilu
berlangsung, logika sederhananya jika pasangan calon mampu mengeluarkan uang dengan
jumlah yang relative besar, maka pasangan yang sudah terpilih nanti akan berpikir bagaimana
cara mengembalikan modal kampanyenya yang sudah dibagi bagikan sebagai politik uang,
jalan yang sering digunakan adalah korupsi dana milik negara.
Sejatinya Generasi Milenial memang bukanlah kelompok masyarakat yang benar-benar
apatis, justru mereka adalah kelompok masyarakat yang sangat kritis terhadap fenomena politik
di indonesia. Namun alih-alih kata kata ‘kritis’ itulah yang menjadi boomerang bagi Generasi
Milenial dalam menghadapi fenomena politik khususnya dalam pemilu di tanah air. Mereka
terlalu sering melihat hal-hal yang berbau negatif perihal politik di sosial media sehingga
menimbulkan sifat malas untuk berpolitik, karena mereka sudah menilai bahwasanya politik
adalah permainan kotor para elit, maka dari itu diperlukan suatu gerakan yang bisa mengubah
sudut pandang Generasi Milenial untuk melihat politik sebagai sebuah seni yang
menyenangkan.
Jika melihat dari sudut pandang bagaimana cara masyarakat menikmati demokrasi dari
waktu kewaktu, maka Generasi Milenial sekarang ini menikmati sebuah sudut pandang
demokrasi yang sangat unik yaitu Cyberdemocracy. Keterbukaan informasi di dunia digital
kini semakin luas, Generasi Milenial lebih mudah untuk mencari informasi mengenai apapun
yang mereka inginkan termasuk dalam bidang politik. Tidak berhenti disitu saja, dalam
menafsirkan fenomena politik seyogyanya kebebasan Generasi Milenial dalam menyampaikan
pendapat di sosial mediapun semakin hari semakin mewabah. Mereka berbicara tentang apa
yang sebenarnya tidak mereka bicarakan di realitas kehidupan nyata, mereka lebih senang
menuliskan rangkaian-rangkaian kata di sosial media sebagai bentuk kepuasan atau ketidak
puasan terhadap rezim yang sedang mereka alami. Sebenarnya dunia digital yang sedang
mereka nikmati adalah sebuah lahan yang siap untuk ditanami edukasi menganai pentingnya
pendidikan politik oleh fasilitator pendidikan politik, tetapi dalam kasus seperti ini sistem yang
digunakan oleh para fasilitator pendidikan politik masih menggunakan sistem yang sudah using
sehingga ini merupakan tantangan tersendiri mengenai bagaimana para fasilitator pendidikan
politik bisa beradaptasi dengan dunia digital sebagai salah satu usaha memberikan pendidikan
politik kepada Generasi Milenial.
Tidak sampai disitu saja, Generasi Milenial sering menganggap bahwa mengawal
jalanya fenomena electoral hanya sampai terlaksananya pemilu saja. Padahal tantangan
terbesar adalah mengawal jalanya kebijakan kebijakan yang dihasilkan oleh para pemangku
jabatan sebagai kepentingan Bersama, jadi diharapkan Generasi Milenial terus bisa bergerak
dalam memberikan ide-ide kreatifnya untuk mengkritik jalanya roda pemerintahan pasca
pemilu berlangsung. Maka dari itu peneliti mengangkat judul “PERILAKU MILLENIAL
VOTERS DI MEDIA SOSIAL DALAM MERESPON PEMILIHAN UMUM SERENTAK
2019”.
B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis merumuskan maslah
dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana prilaku millenial voters di media social dalam merespon
Pemilihan Umum Serentak 2019?”.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimanakah prilaku milenial voters
di media social dalam merespon Pemilihan Umum Serentak 2019.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat berguna untuk referensi ilmiah dan peningkatan wawasan
bagi masyarakat khususnya bagi pihak yang terkait dengan disiplin ilmu di bidang
pemilihan umum.
Secara spesifik penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam melihat prilaku
millenial voters di media social dalam merespon Pemilihan Umum Serentak 2019.
2. Manfaat Praktik
Hasil penelitian ini dapat berguna untuk bahan masukan dan bahan
pertimbangan bagi seluruh elemen yang terkait baik NGO, Penyelenggara Pemilu,
hingga Millenial Voters.
E. KAJIAN TEORI
1. Perilaku Memilih
a. Pengertian Perilaku Memilih
Dalam konteks politik, prilaku dikategorikan sebagai interaksi antara
pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok
dan individu didalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan
penegakan keputusan politik. (Surbakti, 1992)
Menurut Ramlan Surbakti, Perilaku memilih adalah aktivitas pemberian suara
oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk
memilih atau tidak memilih (to vote or not vote) didalam suatu pemilihan umum
(Pilkada secara langsung). Bila pemilih memutuskan untuk memilih (to vote) maka
pemilih akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. (Azmi, 2016)
Sedangkan literatur lain menjelaskan Perilaku memilih adalah keputusan
seorang pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat atau partai tertentu baik
dalam pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. (Gafar, 1992)
Jadi dapat disimpulkan bahwa, Perilaku memilih merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh seorang pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu di
dalam Pemilihan umum legislatif ataupun eksekutif.
b. Pendekatan Perilaku Memilih (Azis, Rahmayani, & Suwarno, 2018)
a) Mazhab Columbia
Analisis menggunakan pendekatan sosiologis. Aliran ini melihat pemilih
dari latar belakang perseorangan atau kelompok berdasarkan jenis kelamin,
kelas sosial, ras, etnik, agama ideologi, bahkan daerah asal yang bisa
menentukan keputusan untuk memberikan suara pada saat pemilihan.
b) Mazhab Michigan
Menggunakan pendekatan psikologis. Pada mazhab ini, kualitas personal
sang kandidat, performa pemerintah isu-isu yang dikembangkang sang
kandidat, dan loyalitas terhadap sebuah partai bisa mempengaruhi pilihan
voter.
2. Generasi
a. Pengertian Generasi
Generasi adalah suatu konstruksi sosial dimana didalamnya terdapat
sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama.
(Manheim, 1952)
Sedangkan, dalam literatur review terbaru yang dijelaskan oleh
Kupperschmidt’s (2000) menyebutkan bahwa Generasi adalah sekelompok individu
yang mengidentifikasi kelompoknya berdasarkan kesamaan tahun kelahiran, lokasi,
umur, dan kejadian-kejadian dalam kehidupan kelompok individu tersebut yang
memiliki pengaruh yang signifikan dalam fase pertumbuhan mereka. (Makarti, 2016)
Jadi dapat disimpulkan bahwa generasi merupakan sekelompok individu yang
diperkirakan lahir pada waktu yang bersamaan, dicirikan oleh sifat-sifat tertentu, atau
keadaan-keadaan tertentu.
b. Pengelompokan Generasi
Howe dan Strauss pada tahun 2000 menjelaskan bahwa pengelompokan
generasi dibagi berdasarkan tahun kelahiran sebagai berikut: (Howe & Strauss, 2000)
a) Silent Generation
Kelompok Silent Generation ini lahir pada tahun 1925-1943.
b) Boom Generation
Generasi ini lahir pada tahun 1943-1960.
c) 13th Generation
Generasi ini merupakan sekelompok orang yang lahir pada tahun 1961-
1981
d) Millenial Generation
Generasi Millenial merupakan kelompok orang yang lahir pada tahun
1982-2000.
Sedangkan pada tahun 2005, Oblinger dan Oblinger menjelaskan
pengelompokan generasi yang didasri oleh perbedaan tahun kelahiran. Berikut
pengelompokan generasi yang dikutip dari Oblinger & Oblinger 2005: (Oblinger,
2005)
a) Matures
Metures merupakan salah satu kelompok generasi yang lahir dibawah tahun
1946.
b) Baby Boomers
Sekelompok orang yang lahir sekitar tahun 1947 hingga 1964.
c) Generation Xers
Generasi Xers merupakan sekelompok orang yang lahir pada tahun 1965
hingga 1980.
d) Gen Y/NetGen
Gen Y/ NetGen/ Generasi Millenial merupakan sekelompok orang yang lahir
pada tahun 1981 hingga 1995.
e) Post Millenials
Sedangkan yang terakhir, Post Millenials/ Generasi Z merupakan
sekelompok orang yang lahir pada tahun 1995 hingga saat ini.
c. Ciri-Ciri Generasi Y atau Generasi Millenials
a) Ciri-Ciri Umum (Aditya, 2017)
Generasi Millenial lebih percaya User Generated Content (UGC)
ketimbang informasi satu arah.
Dalam hal ini, Generasi Millenial sudah tidak percaya lagi
kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih
percaya kepada konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.
Millennial wajib memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi
dan pusat informasi.
Pada saat ini, komunikasi dua arah sudah tidak lagi harus dengan
cara bertatap muka, namun bisa dilakukan melalu sosial media yang
menjadikan semua orang dapat berkomunikasi terus menerus tanpa
henti. Mayoritas Generasi Millenial saat ini menggunakan media
sosial melalui text messaging dan chatting untuk berkomunikasi.
Selain itu, media sosial juga digunakan untuk mengekspresikan
pandang politik, edukasi politik, hingga pembuntakan gerakan politik
akar rumput.
Minat membaca secara konvensional kini sudah menurun karena
Generasi Y lebih memilih membaca lewat smartphone mereka.
Generasi Millenial juga lebih memilih membaca melalui
smartphone dalam berbentuk E-Book dibandingkan pergi ke toko
buku atau perpustakaan.
Millennial pasti lebih memilih ponsel daripada televisi. Menonton
sebuah acara televisi kini sudah tidak lagi menjadi sebuah hiburan
karena apapun bisa mereka temukan di telepon genggam.
Kebiasaan terjadi ditengah masyarakat millenial yaitu harus menjadi
orang-orang yang ter-up to date, maka untuk mendapatkan sebuah
hiburan mereka lebih memilih melalui smartphone/ telpon genggam.
b) Ciri-Ciri Generasi Millenial dalam Berpolitik (Hidayat, 2018)
Generasi Millenial memiliki keinginan yang besar agar pandangan
mereka lebih bisa didengar.
Akibat kemajuan teknologi, partisipasi politik Generasi Millenial
lebih banyak melalui internet dan media sosial dibandingkan
partisipasi politik dengan cara yang konvensional yang
membutuhkan waktu yang lama.
Generasi Millenial memiliki pandangan yang kritis terhadap politik
atau pemilu yang diimplementasikan dengan cara membangun
gerakan-gerakan akar rumput seperti relawan kepemiluan, gerakan
anti golput, hingga kampanye hashtag yang positif demi Pemilu yang
berkualitas.
F. DEFINISI KONSEPTUAL
1. Perilaku Memilih
Perilaku memilih merupakan bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh
seseorang pemilih dalam Pemilihan Umum untuk memilih badan legislatif atau
badan eksekutif.
Terdapat 2 pendekatan perilaku memilih yaitu Pertama, Mazhab Columbia
merupakan pendekatan yang menggunakan analisis berdasarkan sosiologis; Kedua,
Mzhab Michigan yaitu pendekatan yang menggunakan analisis berdasarkan
psikologis.
2. Generasi Millenial
Generasi merupakan sekelompok orang yang lahir atas dasar tahun tertentu,
dan keadaan tertentu. Generasi Millenial merupakan salah satu jenis dalam sebuah
generasi yang diperkirakan orang-orang yang masuk didalamnya lahir sekitar
tahun 1981 hingga 1995.
Generasi Millenial lahir pada era internet booming dimana banyak digunakan
teknologi seperti email, sms, instant message, hingga media sosial yang terhubung
dengan internet.
Ciri-ciri umum generasi millenial yaitu Generasi Millenial lebih percaya
User Generated Content (UGC), Millennial wajib memiliki akun sosial media
sebagai alat komunikasi dan pusat informasi, Minat membaca Generasi Y lebih
memilih membaca lewat smartphone daripada konvensional, Millennial pasti lebih
memilih ponsel daripada televisi. Dalam berpolitik generasi millenial memiliki ciri
yaitu Generasi Millenial memiliki keinginan yang besar agar pandangan mereka
lebih bisa didengar, partisipasi politik Generasi Millenial lebih banyak melalui
internet dan media sosial, Generasi Millenial memiliki pandangan yang kritis
terhadap politik atau pemilu.
G. DEFINISI OPERASIONAL
1. Perilaku Memilih Generasi Millenial
a. Bagaimana interaksi generasi millenial dalam Pemilu 2019.
b. Bagaimana aktifitas generasi millenial dalam Pemilu 2019.
c. Bagaimana keputusan generasi millenial sebagai pemilih dalam memberikan
suara kepada kandidat.
H. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data
yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu
pengetahuan tertentu sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan,
dan mengantisispasi masalah. (Sugiyono, 2013)
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Penelitian Kuantitatif
merupakan penelitian yang dalam prosesnya banyak menggunakan angka-angka
dari mulai pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan dari hasil.
(Arikunto, 2005)
2. Populasi
Populasi penelitian ini adalah generasi millenial yang ditentukan oleh tahun
kelahiran dan prilaku generasi millenial di Daerah Istimewa Yogyakarta. Populasi
dalam penelitian ini sebanyak 1.019.965 orang berdasarkan tahun kelahiran 1982-
2000 dan sudah memiliki hak pilih.
a. Kriteria Responden
a) Responden memilik umur 17 – 36 tahun.
b) Responden memiliki minimal 3 media sosial.
c) Responden minimal aktif dalam 1 group di media sosial.
d) Responden terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum
Serentak 2019.
e) Keseimbangan prosentase laki-laki dan perempuan.
3. Teknik Sampling
Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah nonprobability
sampling dengan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono, Purposive
Sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu. (Sugiyono, 2016)
Penggunaan teknik Purposive Sampling dengan alasan karena tidak semua
sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Oleh karena
itu, penulis memilih teknik Purposive Sampling yang menetapkan pertimbangan-
pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel-
sampel yang digunakan dalam penelitian ini.
Sampel pada penelitian ini dihitung melalui rumus Slovin, sebagai berikut:
n= N
1+N(d)2
Keterangan:
n = besar sampel
N = besar populasi
d = tingkat signifikansi
n= 1.019.965
1+127(0,05)2
n= 1.019.695
1+1.019.695(0,0025)
n= 1.019.695
1+2.549,23
n= 399.8 (dibulatkan menjadi 400)
4. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer berasal dari jawaban responden atas beberapa pertanyaan
yang diajukan oleh peneliti melalui hasil jawaban dari angket atau kuisioner
kepada responden. Untuk memperkuat data penelitian maka peneliti
menggunakan teknik dokumenter dan observasi sebagai penguat data.
b. Data Sekunder
Dalam penelitian ini, data sekunder di dapat langsung oleh peneliti dari
literatur, jurnal-jurnal, studi pustaka dan buku yang berhubungan dengan
penelitian terkait.
I. PEMBAHASAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication
Technology /ICT) merupakan sesuatu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Setiap inovasi
diciptakan dengan tujuan untuk memberikan kemudahan bagi manusia. Evolusi yang
terjadi di bidang teknologi informasi dan komunikasi bukan hanya memunculkan internet
sebagai media baru, namun berbagai aspek kehidupan manusia seperti interaksi dan
komunikasi juga mengalami perubahan seakan-akan dunia seperti tidak ada batasnya.
Interaksi dan komunikasi yang mudah bisa kita rasakan melalui media sosial.
Menurut Aditya, Generasi Millenial/Millenial Voters memiliki ciri salah satunnya
adalah wajib memiliki akun media sosial sebagai alat komunikasi dan pusat informasi.
Selain untuk berkomunikasi, media sosial juga digunakan generasi millenial/millenial
voters untuk mengekspresikan pandang politik, edukasi politik, hingga pembuntakan
gerakan politik akar rumput. (Aditya, 2017)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Komunitas Independen Sadar Pemilu
(KISP) kepada 400 responden generasi millenial/ millenial voters yang tersebar di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan bahwa mayortias generasi millenial/ millenial
voters memiliki lebih dari 3 akun media sosial.
Dapat dilihat dari diagram hasil penelitian diatas yang menunjukan bahwa Instagram,
Whatsapp dan Facebook merupakan 3 akun media sosial yang mayoritas generasi
millenial/ millenial voters gunakan. Selain itu, generasi millenial/ millenial voters juga
memfungsikan media sosial sebagai media penghibur diri, alat untuk memberikan kritik
dan saran kepada pemerintah atau kandidat dalam Pemilihan umum, dan alat untuk
mengekspresikan keadaan diri. Alasan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan. Berikut data fungsi media sosial bagi generasi millennial/ millenial voters.
Media sosial merupakan produk dari kemajuan teknologi. Suka atau tidak suka, kita
sudah sampai pada titik di mana candu media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari dan merambah ke segala kalangan dan usia. Dalam hal intensitas penggunaan
media sosial, generasi millenial/ millenial voters memfungsikan media sosial salah satunya
sebagai alat penghibur diri dengan cara yaitu update status di media sosial. Menurut
berbagai literatur kecenderungan seseorang menceritakan tentang dirinya mempengaruhi
pelepasan senyawa kimia di otak yang memberikan perasaan menyenangkan, dalam
pandangan psikologi sendiri dikenal sebagai Asertif yaitu kita menyampaikan perasaan
kita sehingga dapat menimbulkan perasaan lebih lega atau menyenangkan.
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 63% dari seluruh responden melakukan update
status dengan intensitas 3-5 kali perminggu di media sosial seperti Instagram, Facebook,
dan Whatsapp.
Menurut Hidayat akibat kemajuan teknologi juga partisipasi politik Generasi Millenial/
Millenial Voters lebih banyak melalui internet dan media sosial dibandingkan partisipasi
politik dengan cara yang konvensional yang membutuhkan waktu yang lama (Hidayat,
2018). Selaras dengan yang dikatakan Hidayat penelitian ini juga menunjukan bahwa
fungsi lain dari media sosial sebagai alat untuk memberikan kritik dan saran kepada
pemerintah atau kandidat calon dalam Pemilihan Umum.
Selain itu update status di media soial, generasi millenial/ millenial voters juga sering
berkomunikasi di media sosial melalui komentar-komentar yang dilakukan, hal ini terbukti
dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa sebanyak 54% dari jumlah responden
melakukan komentar.
Namun dalam intensitasnya mayoritas dari mereka hanya 3-5 kali perminggu yang
menunjukan bahwa mereka hanya menjadi silent reader. Maka dapat ditarik garis lurus
bahwa dalam penelitian ini menghasilkan tipologi yaitu agresor/agresif dan silent reader.
1. Silent Reader adalah seseorang yang pasif di dalam suatu platform online.
Misalnya, Silent Reader di forum internet, juga Silent Reader di chat group.
Artinya, seseorang tersebut hanya membaca chat saja tanpa ikut merespon secara
aktif.
2. Agresor/Agresif/Responder
Agresor/Agresif/Responder artinya seseorang yang aktif dalam suatu platform
online. Mereka sering atau selalu muncul dan memberikan balasan untuk memulai
obrolan di media sosial.
Menjelang Pemilihan Umum Serentak 2019 Generasi Millenial/ Millenial Voters di
Daerah Istimewa Yogyakarta mulai aktif dalam merespon isu-isu terkait dengan Pemilu
salah satunya adanya Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP). Selain itu, berdasarkan
data yang diperolah dari penelitian yang dilakukan oleh KISP menunjukan bahwa
sebanyak 92,25% dari jumlah responden memposting/repost konten-konten tentang
Pemilu dengan mayoritas intensitas 3-5 kali perminggu.
Momen Pemilu Serentak 2019 ini rupanya jadi ajang meme-meme lucu yang
bermunculan. Agar tidak berdebat dengan perbedaan yang dipilih.
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa sebanyak 9 % dari responden memproduksi
konten lucu tentang Pemilu dengan mayoritas intensitas 3-5 kali perminggu. Ini salah atu
tipologi yang dinamakan “ Hactivist”. Menurut Gun Gun Heyryanto tipologi penguna
internet tipologi “Hactivist” merespon isu yang senstifif dan membangun pengaruh
terhadap orang lain serta melakukan gerakan-gerakan dalam sesama aktivist Internet
(Heryanto, 2018) Berikut beberapa contoh akun meme yang memproduksi dan
membagikan konten lucu tentang Pemilu.
Disisi lain, sebanyak 33% dari responden membagikan konten lucu tentang Pemilu
dengan mayoritas intensitas 3-5 kali perminggu. Membagikan konten lucu atau biasa yang
sering bahasa digunakan kalangan Millenial yaitu merepost. Ini salah satu dicirikan
sebagai tipologi penguna internet “Publicist”. Publicist adalah tipologi penguna Internet
dicirikan sebagai penguna Internet yang melakukan Eksistensi diri atau
mengkonstruksikan Citra. Tujuan dari penyebaran meme adalah untuk mengetahui sejauh
apa tren yang terjadi ketika itu telah menyebar oleh informanya.
TIPOLOGI PENGUNA INTERNET UNTUK KEPENTINGAN POLITIK
Selain itu, sebanyak 44% dari responden dalam memposting konten menggunakan
hashtag dengan tujuan agar membantu menyebarkan informasi mengenai berita apa yang
diposting. Sehingga, memudahkan orang lain untuk mencari informasi tersebut. Selain itu,
hashtag juga bisa memberi informasi seberapa banyak post yang dibuat dengannya. Lalu
berapa banyak jejak yang terjadi secara online. Hastag salah satu komoditas kampanye
baru dalam mempengaruhi Netizen.
Dari 44% responden yang menggunakan hashtag dalam postingan mereka menunjukan
bahwa 3 hashtag tertinggi yaitu 76 responden menggunakan hashtag pemilu, 41 responden
menggunakan hashtag politik dan 37 responden menggunakan hashtag hiburan.
Instagram mencatat jumlah pengguna hashtag hingga awal maret 2019, jumlahnya
yaitu:
1. Hashtag Pemilu sebanyak 140.000 postingan
2. Hashtag Politik sebanyak 610.000 postingan
3. Hashtag Hiburan sebanyak 514.000 postingan
4. Hashtag Kuliner sebanyak 9.200.000 postingan
5. Hashtag Informasi sebanyak 157.000 postingan
6. Hashtag Budaya sebanyak 796.000 postingan
Dari hasil temuan diatas Generasi Millenial di DIY tidak ada yang mengarah kedalam
pembahasan hastag yang ekstrim seperti #GantiPresiden #TetapJokowi. Ini bisa dikatan
afliasi kelompok Millenial mengantung pilihan politik dalam pertarungan pilpres, dan juga
bisa dikatakan Generasi Millenial di DIY tidak memperdulikan kegaduhan Ganti Presiden
dan Jokowi Tetap Presiden. Kejenuhan Generasi Millenial terhadap Politik, Korupsi, dan
narkoba juga menjadi faktor utama mereka tidak menghiraukan permasalah siapa
presidennya.
Hasil dari penelitian juga menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi Generasi Millenial/ Millenial Voters aktif di media sosial merespon isu-isu
Politik/Pemilu/Pilpres.
Berdasarkan diagram diatas bahwa media sosial sebagai sumber informasi kepemiluan
merupakan faktor yang mempengaruhi generasi milenial aktif di media sosial dalam
merespon isu pemilu.
Sekarang penyebaran informasi sudah semakin cepat dirasakan oleh seluruh
masyarakat tanpa memandang batasan ruang dan waktu. Setiap orang dapat menyebarkan
berita dengan sangan cepat dengan bermodalkan sebuah media yaitu internet. Sebagai
contohnya yaitu adanya media sosial dan media berita online yang saat ini dapat digunakan
untuk mendapatkan berita dan menyebarkannya selama 24 jam non-stop. Seolah-olah
setiap detik berita di seluruh dunia diproduksi untuk dibagikan ke khalayak ramai. Selain
memunculkan dampak positif, karena tanpa batasan ruang dan waktu maka informasi
menyebar kemana saja yang memnculkan hal negatif seperti hoax atau berita palsu.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa 39,75% responden menganggap Suku, Agama, Ras
dan Antar Golongan (SARA) merupakan hoax atau berita palsu yang sering ditemui.
Selanjutnya, 32,25% responden menganggap bahwa saat ini hoax yang ditemui yaitu
tentang Pemilu/Kandidat Presiden, 22% responden menganggap hoax yang sering temui
yaitu undian/hadiah, dan 6% responden menganggap konten hoax yang sering ditemui
terkait keuangan.
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 57% generasi millenial/ millenial voters
menganggap bahwa hoax atau berita palsu terbanyak yaitu berbentuk tulisan, 31% generasi
millenial/millenial voters menganggap bahwa hoax atau berita palsu berbentuk gambar,
dan 12% generasi millenial/millenial voters menganggap hoax atau berita palsu yang
banyak tersebar dalam bentuk video. Selain itu, generasi millenial/ millenial voters juga
menganggap bahwa media sosial, aplikasi chatting, dan situs web merupakan saluran yang
paling sering memberikan berita hoax atau berita palsu.
Penyebaran hoax atau berita palsu yang marak terjadi di Indonesia saat ini
menyebabkan keresahan bagi seluruh masyarakat Indonesia apalagi menjelang pesta
demokrasi 5 tahunan yang akan diselenggarakan pada bulan April mendatang.
Permasalahan ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi penyelenggara pemilu baik
Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Partai
Politik sebagai peserta Pemilu, lembaga-lembaga masyarakat, hingga masyarakat sendiri
dimana masyarakat harus mampu selektif terhadap berita sebelum dibagikan ulang (Saring
sebelum Sharing).
Menurut Gun Gun Heryanto dalam bukunya Media Komunikasi Politik menjelaskan
bahwa selain literasi media dan politik, terdapat beberapa cara untuk mengatasi
penyebaran hoax atau berita palsu, yaitu: (Heryanto, 2018)
1. Pemerintah dan Dewan Pers harus secara konsisten bekerjasama dengan banyak
pihak dalam menggerakan partisipasi semua pihak. Contohnya bekerjasama
dengan Google dan Facebook untuk mengidentifikasi beragam informasi hoax
atau berita palsu.
2. Penggunaan QR code dalam memverifikasi media massa oleh Dewan Pers.
3. Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika harus dapat
memblokir situs penyebaran hoax dan fitnah.
4. Masyarakat juga harus menjadi aktor yang dapat mengcounter isu atau counter
narasi.
Menariknya walaupun generasi millenial/ millenial voters kritis dalam menanggapi isu-
isu poltik dan pemilu seperti dalam ciri-ciri yang disampaikan oleh Hidayat, namun
berdasarkna hasil penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas generasi millenial/ millenial
voters masih belum tahu dan mungkin tidak akan mengikuti Pemilu Serentak 2019.
Diagram diatas menunjukan bahwa sebanyak 48% generasi millennial/ millenial voters
memastikan diri mereka akan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Serentak 2019
dengan 32,4% menganggap bahwa mereka peduli terhadap politik dan pemerintahan
negara, 24,7% menganggap bahwa Pemilu bagian penting dalam berdemokrasi, 19,9%
menganggap Pemilu sebagai media menyampaikan pendapat, 14,1% menganggap Pemilu
sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sayangnya sebanayk 8,9%
hanya ikut-ikut orang lain dalam Pemilu.
Dilain sisi, sebanyak 47% generasi millenial/ millenial voters saat ini masih bingung
apakah akan ikut serta dalam Pemilihan Umum Serentak 2019. Dapat dikatakan bahawa
tipe pemilih seperti ini yaitu tipe Undecided Voters. Menurut Fitri hari peneliti LSI
mengatakan Undecided voters adalah jumlah orang yang belum menentukan pilihan
hingga ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Artinya, pilihan mereka ditentukan saat
menjelang hari H pencoblosan atau pada saat di TPS
Serta sebanyak 5% responden menjawab tidak akan ikut dalam Pemilihan Umum
Serentak 2019 dengan alasan bahwa menganggap pemilu bukan bagian hal yang penting.
Walaupun demikian, mereka tetap memiliki karakteristik pemimpin yang generasi
millenial inginkan.
Diagram diatas menunjukan bahwa sebanyak 38,25% mengharapkan pemimpin yang
aktif di media sosial, 36,25% mengharapkan pemimpin yang tegas dan pemberani, 22,25%
mengharapkan pemimpin yang santun dan sederhana, serta 3,25% mengharapkan
pemimpin yang demokratis.
J. PENUTUP
a. KESIMPULAN
Saat ini kemajuan teknologi dan informasi sudah semakin pesat, dimana masyarakat
dapat berkomunikasi hingga mencari informasi tanpa batasan ruang maupun waktu. Salah
satu produk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yaitu media sosial (Medsos).
Generasi millennial/ millenial voters yang hidup di zaman kemajuan teknologi,
kebutuhan dan aktivitas yang serba cepat menuntut untuk tidak lepas dari perkembangan
teknologi. Bukan karena takut dicap kudet (kurang update), tetapi hal ini juga demi
kebaikan diri sendiri. Media sosial merupakan sebuah produk hasil kemajuan teknologi
dan informasi yang banyak digunakan oleh generasi millenial/millenial voters saat ini. Di
media sosial mereka dapat berinteraksi dengan siapapun, dimanapun, dan kapanpun.
Mayoritas generasi millenial/ millenial voters memiliki akun media sosial, paling besar
media sosial yang digunakan yaitu Instagram, Whatsapp, dan Facebook. Selain sebagai
media penghibur diri, media sosial juga mempengaruhi perilaku generasi millenial/
millenial voters dalam hal respon politk atau pemilu. Mayoritas dari generasi millenial/
millenial voters aktif dalam merespon isu-isu politik ataupun pemilu. generasi millenial/
millenial voters juga aktif dalam hal update status di media sosial tentang
politik/pemilu/pilpres, respon komentari di media sosial tentang politik/pemilu/pilpres,
hingga sebagian dari mereka memproduksi dan membagikan konten-konten lucu atau
meme tentang politik/pemilu/pilpres. Selain itu, mayoritas dari generasi millenial/
millenial voters juga menggunakan hashtag-hashtag dengan alasan untuk memviralkan
sesuatu ide atau gagasan dan juga sebagai sarana untuk mempengaruhi.
Salain hal positif yang didapatkan dari kemajuan teknologi dan informasi, hal negatif
juga dirasakan oleh generasi millenial/ millenial voters dalam menggunakan media sosial.
Salah satu hal negatif yang dirasakan adalah perkembangan berita hoax atau berita palsu.
Mayoritas dari generasi millenial/ millenial voters menganggap isu SARA dan isu tentang
Pemilu/kandidat Presiden merupakan berita hoax atau palsu yang paling sering ditemui.
Berita hoax atau berita palsu yang sering diterima yaitu berbentuk tulisan, gambar, dan
video. Serta, media sosia, aplikasi chatting, situs web merupakan saluran yang paling
sering menyebarkan berita hoax atau berita palsu.
Menariknya, walaupun generasi millenial/ millenial voters kritis dalam menangani isu-
isu pemilu namun sebanyak 47% generasi millenial/ millenial voters masih belum tahu
akan mengikuti atau tidak mengikuti Pemilihan Umum serentak 2019. Kurangnya
sosialisasi hingga cara berkampanye yang tidak segar merupakan alasan masih banyaknya
undecided voters. Media sosial seharusnya digunakan oleh peserta pemilu/ partai politik
untuk memposting konten-konten yang segar, menarik, dan kekinian bukan untuk saling
menghujat dan menjatuhkan. Namun, saat ini oleh peserta pemilu/ partai politik sudah
kehilangan perannya sebagai refernsi bagi pemilih khususnya generasi millenial/ millenial
voters.
b. SARAN
1. Edukasi politik yang berbentuk segar baik dibuat oleh penyelenggara pemilu
maupun oleh peserta pemilu.
References
Aditya, R. (2017). Inilah 5 Ciri Generasi Millennial yang Sebenarnya, Sulit sih Buat Nggak Mengakui.
Retrieved from Hipwee: https://www.hipwee.com/feature/inilah-5-ciri-generasi-millennial-
yang-sebenarnya-sulit-sih-buat-nggak-mengakui/
Arikunto, S. (2005). Manajemen Politik. Jakarta: Renika Cipta.
Azis, M. F., Rahmayani, E., & Suwarno, F. (2018). Studi Ekslorasi Voting Behavior, Political Branding,
Political Disaffection Pada Generasi Millenial. Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda
Psikologi Indonesia, 45-54.
Azmi, K. (2016). Prilaku Memilih Pemilih Pemula Masyarakat Kendal Pada Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2014. Jurnal of Politic and Government Studies, 3.
Gafar, A. (1992). Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System .
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hidayat, A. N. (2018, September 17). Beda Cara Generasi Millenial dalam Politik. Retrieved from
Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2018/09/17/19090001/beda-cara-generasi-
milenial-dalam-politik
Howe, N., & Strauss, W. (2000). Millenials Rising: The Next Great Generation. New York: Vintage
Books.
Makarti, A. (2016). Teori Perbedaan Generasi. Jurnal Ilmiah, 124.
Manheim, K. (1952). The Problem of Generations. Essay on the Sociology of Knowledge, 24.
Oblinger, D. and Oblinger. (2005). Educating The Net Generation. Washington DC: EDUCAUSE.
Putra, Y. S. (2016). Deviding Generation Journal. Teori Perbedaan Generasi.
Sucianingsih, A. A. (2018). Pemilih pemula dominasi pemilu 2019, apa dampaknya? Jakarta:
Kontan.co.id.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik . Jakarta: PT. Grasindo.