perdarahan dalam bidang obstetri

12
PERDARAHAN DALAM BIDANG OBSTETRI Harry K Gondo Bagian/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Uiversitas Wijaya Kusuma Surabaya I. PENDAHULUAN Obstetri adalah bloody business.” Walaupun mortalitas ibu sudah menurun secara dramatik dengan cara melahirkan di rumah sakit-rumah sakit dan penyediaan transfusi darah yang memadai, namun kematian oleh karena perdarahan masih menonjol dalam laporan mortalitas dan morbiditas di negara maju. Di Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai tahun 1992 dianalisis 4915 kematian ibu yang bukan karena abortus. Dijumpai bahwa perdarahan adalah penyebab langsung dari 30% kematian ini. Penyebab- penyebab kematian ibu oleh perdarahan ini misalnya: solusio plasenta (19%), ruptura uteri (16%), Atonia uteri (15%), koagulopati (14%), plasenta previa (7%), plasenta adesiva (6%), perdarahan uterus (6%), retensio plasenta (4%) (William 2001). Perdarahan obstetrik adalah keadaan yang paling mungkin sebagai penyebab kematian, apabila tidak tersedia darah atau komponen darah dengan segera. II. PERDARAHAN ANTE PARTUM Perdarahan sedikit-sedikit sudah umum terjadi pada setiap persalinan, yang biasa kita sebut “bloody

Upload: aeland-prilaksana-kalimantara

Post on 08-Nov-2015

11 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

perdarahan dalam bidang obstetri

TRANSCRIPT

PERDARAHAN DALAM BIDANG OBSTETRI

PERDARAHAN DALAM BIDANG OBSTETRI

Harry K GondoBagian/SMF Obstetri Ginekologi

Fakultas Kedokteran Uiversitas Wijaya Kusuma SurabayaI. PENDAHULUAN

Obstetri adalah bloody business. Walaupun mortalitas ibu sudah menurun secara dramatik dengan cara melahirkan di rumah sakit-rumah sakit dan penyediaan transfusi darah yang memadai, namun kematian oleh karena perdarahan masih menonjol dalam laporan mortalitas dan morbiditas di negara maju. Di Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai tahun 1992 dianalisis 4915 kematian ibu yang bukan karena abortus. Dijumpai bahwa perdarahan adalah penyebab langsung dari 30% kematian ini. Penyebab-penyebab kematian ibu oleh perdarahan ini misalnya: solusio plasenta (19%), ruptura uteri (16%), Atonia uteri (15%), koagulopati (14%), plasenta previa (7%), plasenta adesiva (6%), perdarahan uterus (6%), retensio plasenta (4%) (William 2001). Perdarahan obstetrik adalah keadaan yang paling mungkin sebagai penyebab kematian, apabila tidak tersedia darah atau komponen darah dengan segera.

II. PERDARAHAN ANTE PARTUM

Perdarahan sedikit-sedikit sudah umum terjadi pada setiap persalinan, yang biasa kita sebut bloody showsebagai sekuensi penipisan dan dilatasi serviks dengan akibat robekan-robekan kecil pada vena serviks. Perdarahan uterus yang penyebabnya di atas serviks sebalum bayi lahir akan menimbulkan kekhawatiran. Perdarahan itu bisa karena lepasnya plasenta dari tempat implantasinya dekat kanalis servikalis, yang disebut plasenta previa. Bisa juga karena lepasnya plasenta dari implantasinya selain di segmen bawah rahim, yang disebut solusio plasenta.

II.1 SOLUSIO PLASENTA

Lepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum bayi lahir disebut: solusio plasenta, placental abruption, abrupsio placentae, dan accidental hemorrhage.Kebanyakan perdarahan pada solusio plasenta ini terjadi antara membran dan uterus, sehingga darah merembes menuju serviks dan menyebabkan perdarahan eksternal. Sebagian kecil kasus perdarahan ini tidak merembes ke luar, tetapi tertahan diantara plasenta dan uterus, yang disebut concealed hemorrhage.

Frekuensi solusio plasenta ini bervariasi tergantung bagaimana kriteria diagnosis ditentukan. Frekuensi itu adalah 1 dari 200 persalinan (William 2001).. Kebanyakan laporan menyebutkan perinatal mortality dengan solusio plasenta ini adalah sekitar 25%-40%.

Penyebab primer solusio plasenta ini belum diketahui, tetapi ada beberapa keadaan yang dikaitkan seperti : peningkatan umur dan paritas, preeklampsia, hipertensi kronis, ketuban pecah prematur, perokok, thromboplebitis, pengguna cocain, riwayat solusio plasenta, dan mioma uteri.

Membuat diagnosis solusio plasenta tidak selalu gampang, karena kadang-kadang tidak menimbulkan keluhan dan gejala sama sekali. Tanda yang paling umum adalah perdarahan pada kehamilan di atas 20 minggu dengan nyeri perut dan darah berwarna kehitaman. Pada pemeriksaan dijumpai perut kaku, detak jantung janin sulit untuk didengar. Untuk meyakinkan diagnosis perlu dikaitkan dengan factor predisposisi tersebut di atas, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi.

Manajemen solusio plasenta akan bervariasi tergantung umur kehamilan, keadaan janin dan ibunya. Dengan janin hidup dan matur, dimana belum ada tanda inpartu, seksio sesarea emergensi adalah pilihan yang paling baik. Bila terjadi perdarahan yang berat dan syok, pemberian infus dan transfusi darah sangat dianjurkan untuk mempertahankan hidup ibu juga kalau bisa janinnya. Yang sulit adalah bila janinnya belum cukup bulan untuk dilahirkan. Untuk kasus seperti itu harus dilihat untung ruginya mempertahankan kehamilan, apakah solusionya bertambah berat atau ringan sehingga membahayakan keselamatan ibunya. Pada kasus solusio plasenta dengan janin sudah mati, persalinan pervaginam adalah lebih baik.

II.2 PLASENTA PREVIA

Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya menutupi atau dekat orifisium uteri internum. Ada 4 derajat keadaan abnormal implantasi plasenta tersebut, yaitu: 1. Plasenta previa totalis, di mana plasenta menutupi seluruh orifisium uteri internum; 2. Plasenta previa parsialis, plasenta menutupi sebagian orifisium uteri internum; 3. Plasenta previa marginalis, tepi plasenta hanya mencapai tepi orifisium uteri intrernum; 4. Plasenta letak rendah, plasenta berimplantasi di segmen bawah uterus, di mana tepi plasenta tidak mencapai tepi orifisium uteri internum. Di samping istilah tersebut di atas, ada juga yang disebut vasa previa yaitu apabila pembuluh darah janin pada membran plasenta melewati orifisium uteri internum. Ini jarang dikaitkan dengan perdarahan ante partum, tetapi sering menyebabkan kematian janin. Derajat plasenta previa ini trergantung dilatasi serviks pada saat pemeriksaan. Suatu contoh misalnya, plasenta letak rendah pada dilatasi serviks 2 cm menjadi plasenta previa parsialis pada dilatasi serviks 8 cm. Sebaliknya, plasenta yang kelihatannya menutupi OUI secara total sebelum ada dilatasi, menjadi parsial setelah dilatasi 4 cm.

Insiden plasenta previa berkisar antara 0,3-0,5% persalinan, atau 1 di antara 200 persalinan (William 2001). Di RS Sanglah kejadian perdarahan ante partum pada tahun 2002 adalah 174 per 5240 persalinan atau sekitar 3,0% (Laporan mingguan).

Etiologi plasenta previa sampai saat ini tidak pasti, namun risiko yang berkaitan dengan itu adalah umur ibu makin tua, multiparitas, pernah seksio sesarea, dan merokok.

Diagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, yaitu melakukan pemeriksaan dalam dengan mamasukkan jari tangan ke orifisium uteri dan mengevaluasi lokasi plasenta. Tindakan begini sangat dilarang kecuali dikerjakan dengan persiapan di atas meja operasi, double set-up selanjutnya memungkinkan dikerjakan seksio sesarea bila keadaan memaksa. Yang paling simpel, aman, dan meyakinkan adalah pemeriksaan dengan ultrasonografi transabdominal, di mana lokasi plasenta bisa ditentukan dengan ketepatan yang sangat tinggi, yaitu sekitar 96-98%.

Penanganan plasenta previa tergantung dari empat keadaan yang perlu dipertimbangkan seperti: apakah janin masih prematur dan belum ada indikasi untuk dilahirkan, apakah janinnya sudah cukup matur, apakah dalam keadaan inpartu, dan apakah perdarahannya berat sehingga janin harus dilahirkan walaupun masih prematur? Pada kehamilan yang masih premature dengan perdarahan yang tidak begitu masif, perlu adanya pengawasan yang ketat untuk keadaan ibu dan janinnya. Yang terpenting, pasien dan keluarga harus tahu bahwa bila terjadi perdarahan walaupun sedikit, segera di bawa ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan. Tindakan persalinan untuk plasenta previa ini adalah seksio sesarea terutama untuk yang plasenta previa totalis. Pada keadaan-keadaan tertentu, plasenta previa parsialis, marginalis, dan letak rendah masih memungkinan persalinan pervaginam.

Apabila tersedia fasilitas transfusi dan tindakan seksio sesarea, prognosis akan menjadi lebih baik, namun masalah yang timbul adalah pada janin yang masih sangat muda di mana fungsi organ belum matur.

III. PERDARAHAN POST PARTUM

Perdarahan post partum adalah perdarahan sebagai konsekuensi perdarahan masif dari tempat implantasi plasenta, trauma jalan lahir, atau keduanya. Perdarahan post partum adalah suatu keadaan, bukan merupakan sebuah diagnosis. Di Inggris, sebagian kematian ibu sebab perdarahan dikarenakan perdarahan post partum seperti : atonia uteri, sisa plasenta dengan berbagai tingkat dan variasinya, dan laserasi traktus genitalis.

Secara tradisional perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah 500 cc atau lebih setelah persalinan kala tiga. Namun kenyataannya separuh dari ibu-ibu melahirkan pervaginam mengalami perdarahan sekitar 500 cc bahkan lebih bila diukur secarfa kuantitatif dan bila dibandingkan dengan perdarahan yang terjadi pada persalinan dengan seksio sesarea, bahkan 1000 cc. Agar tidak bingung dipakai sebagai pegangan adalah lebih dari 500 cc untuk persalinan pervaginam, dan lebih dari 1000 cc untuk persalinan dengan seksio sesarea.

Beberapa penyebab perdarahan post partum adalah:

1. Uterine atonyOverdistended uterus

Prolonged labor

Very rapid labor

Oxytocin-induced or augmented labor

High parity

Chorioamnionitis

2. Retained Placental Tissue

Avulsed cotyledon

Succenturiate lobe

Placental adhesive

3. Uterine inversion

4. Ruptured Uterus

5. Lacerations 3. and Hematome

Episiotomy extensions

Lacerations of perineum, vagina, or cervix.

III.1 ATONIA UTERI

Biasanya fundus uteri teraba sesaat setelah persalinan, karena berkontraksi. Adakalanya uterus tidak teraba dan gagal berkontraksi sehingga terjadi perdarahan, yang disebut perdarahan karena atonia uteri. Perbedaannya dengan robekan jalan lahir adalah, pada robekan jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik, sedangkan pada atonia uteri uterus teraba sangat lembek. Kadang-kadang perdarahan yang disebabkan oleh karena atonia uteri mengikuti perdarahan yang disebabkan karena robekan jalan lahir sebagai penyebab primer atau keduanya bersamaan.

Manajemen perdarahan karena atonia uteri yang tidak responsive terhadap oksitosin:

1. Kerjakan kompresi bimanual uterus (interna). Tehniknya meliputi pemijatan bagian posterior uterus dengan tangan yang berada di abdomen dan bagian depan uterus dengan tangan yang berada di vagina melalui fornik anterior (lihat gambar).

2. Bila belum berhasil menghentikan perdarahan, lanjutkan dengan kompresi bimanual eksterna dengan bantuan tenaga orang lain, sambil mempersiapkan pemberian uterotionika lanjutan.

3. Mulailah pemberian transfusi darah yang sesuai atau dengan cairan pengganti.

4. Evaluasi penyebab perdaranan yang lainnya dengan menginspeksi serviks dan vagina.

5. Bila semua upaya tidak berhasil, persiapkan histerektomi sebagai alternatif dari ligasi arteri illiaca interna untuk mempertahankan kelangsungan hidup si ibu.

III.2 SISA PLASENTA

Sisa plasenta yang tertinggal di dalam kavum uteri selain bisa menyebabkan perdarahan segera setelah persalinan, juga bisa menyebabkan perdarahan pada masa puerperium. Mengevaluasi kelengkapan plasenta segera setelah dilahirkan amatlah penting untuk mengetahui apakah ada bagian-bagian plasenta yang masih tertinggal. Bila ada sisa plasenta yang tertinggal, mengeluarkannya dengan segera hendaknya dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan. Di samping sisa plasenta di atas, kadang-kadang tertinggalnya lobus susenturiata plasenta perlu juga diperhatikan yang bisa menyebabkan perdarahan. Usahakan pengeluaran sisa plasenta atau lobus susenturiata dengan cara digital, dan bila tidak memungkiunkan bisa dengan kuretase.

III.3 PLACENTA ADHESIVA

Plasenta adhesiva adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan di mana implantasi plasenta melekat erat dengan dinding uterus. Sebagai konsekuensi tidak adanya desidua basalis secara total atau sebagian, plasenta akan tumbuh kearah lapisan fibrinoid uterus (Lapisan Nitabuch), yang mana bila villi plasenta mencapai miometrium disebut plasenta akreta, bila masuk ke dalam miometrium disebut plasenta inkreta, dan bila menembus miometrium disebut plasenta perkreta.

Abnormalitas perlekatan plasenta ini walaupun jarang namun sering menyebabkan meningkatnya morbiditas oleh karena terjadi perdarahan yang masif, perforasi uterus, dan infeksi. Insiden plasenta akreta, inkreta dan perkreta ini meningkat karena meningkatnya persalinan dengan seksio sesarea. Kejadiannya berkisar antara 1 dari 7000 sampai 1 dari 2500 persalinan.

Faktor etiologi yang dikaitkan adalah kondisi-kondisi di mana plasenta berimplantasi di segmen bawah uterus, pernah dilakukan seksio sesarea atau insisi uterus lainnya, atau pernah dilakukan kuretase.

Diagnosis plasenta adhesiva ditegakkan umumnya setelah janin lahir, kemudian terjadi perdarahan atau terjadi retensio plasenta. Sebenarnya diagnosis bisa dibuat saat ante partum dengan ultrasonografi, di mana akan gambaran sonoluscen subplasenta tidak ada.

Manajemen plasenta adhesiva ini tergantung dari dalamnya penetrasi plasenta ke miometrium dan luasnya kotiledon yang melekat. Mengeluarkan plasenta secara manual kadang-kadang bisa membantu, namun bila terjadi plasenta inkreta apalagi perkreta, biasanya diperlukan tindakan kuretase. Yang menjadi pertimbangan lain adalah apakah perdarahan banyak, dan jumlah anak, karena tindakan mengangkat uterus mungkin saja akan dilakukan. Sebaikknya jangan melakukan penarikan tali pusat, karena akan menyebabkan inversio uteri. Akhir-akhir ini sering dilakukan manajemen konservatif yaitu dengan melakukan manual plasenta dan mengikat uterus.

III.4 INVERSIO UTERI

Inversio uteri atau mendekatnya fundus uteri ke orificium uteri internum paling sering disababkan penarikan tali pusat yang kuat pada inplantasi plasenta di fundus uteri. Inversio ini bisa terjadi komplit atau inkomplit.Penanganan inversio uteri ini b ila trerlambat akan meningkatkan angka mortalitas karena perdarahan. Tahapan-tahapan yang penting dan harus dikerjakan secara simultan adalah sebagai berikut:1. Dengan bantuan ahli anesthesia segera dilakukan pembiusan

2. Inversi uterus yang masih segar dengan plasenta yang sudah lepas, biasanya lebih gampang direposisi dengan menekan fundus dengan tangan sperti memegang peluru

3. Siapkan dua infus untuk ringer laktat dan transfusi

4. Bila plasenta belum lepas, di samping pemberian anesthesia juga diberikan tokolitik seperti terbutalin, atau ritodrin atau MgSO4 untuk merelaksasi uterus.

5. Setelah plasenta bisa dilepas, telapak tangan diletakkan di tengah-tengah fundus uteri dengan jari tangan mengarah ke tepi serviks. Dilakukan pendorongan fundus uteri melalui serviks uteri.

6. Setelah uterus berada pada posisi yang normal, tokoilitik dihentikan segera dan diganti dengan uterotonika oksitosin drip.

Ada kalanya uterus tidak bisa direposisi dengan cara di atas, sehingga diperlukan tindakan laparatomi.

III.5 RUPTURA UTERI

Ruptura uteri bisa terjadi karena trauma ataupun secara spontan. Trauma yang sering menyebabkan ruptur uteri misalnya internal podalic version dan extraction, forsep yang sulit, ekstraksi-ekstraksi pada letak sungsang, bayi besar dan hidrosefalus. Insiden ruptur spontan kira-kira 1 dari 15000 persalinan. Ruptur spontan bisa oleh karena: multi paritas, stimulasi oksitosin, disproporsi kepala pelvic, dan bayi besar.

Gambaran klinis ruptura uteri bervariasi seperti : pasien gelisah, nyeri peritoneum dan dada karena rangsangan oleh darah, sampai kolap sirkulasi. Pada janin juga dijumpai gawat janin bahkan kematian intrauteri. Kadang-kadang bagian terendah janin mudah didorong ke atas dan masuk ke kavum peritoneum, selanjutnya akan mudah teraba di kavum abdomen.

Keadaan-keadaan sepperti tersebut di atas memerlukan tindakan segera dan spesialistik sehingga tidak ada alasan untuk menunda referal bila dijumpai tanda-tanda seperti di atas.