peran sosial pendidikan dalam mobilitas vertikal

22
249 PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL MASYARAKAT DESA (Laporan Penelitian) Moh. Mukhlas (STAIN Ponorogo) Mohammad Muslih (ISID Gontor) Abstrak Pendidikan ternyata tidak hanya berperan meningkatan wawasan dan kemampuan individu, juga tidak hanya membantu masyarakat untuk dapat hidup yang lebih layak di tengah-tengah masyarakat dengan kualifikasi yang diperoleh dari dunia pendidikan. Laporan hasil penelitian ini menemukan bahwa pendidikan ternyata dapat sebagai jalur peningkatan strata sosial, dalam arti yang sangat tradisional-antropologis. Bahkan pada taraf tertentu pendidikan dapat –diartikan- “mendobrak” tradisi yang sudah cukup mengakar kuat. Dalam masyarakat Jawa, ini dapat dilihat dari fenomena penggunaan bahasa, kata sapaan, dan kata panggilan, yang pada gilirannya berpengaruh pada pola hubungan yang terjadi di masyarakat. Kata Kunci: mobilitas vertikal, sosiologis, antropologis, speech community Latar Belakang Masalah Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berupa pemerataan pendidikan pada satu aspek dan peningkatan kekuatan ekonomi pada aspek yang lain, memberikan dampak berupa lahirnya fenomena baru, yaitu terjadinya mobilitas vertikal bagi sementara anak-anak di pedesaan. Tidak sedikit anak-anak desa, yang semula dianggap sudah cukup memadai, hanya sekedar berhasil menamatkan sekolah dasar, akhir- akhir ini tumbuh kesadaran untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan beberapa di antaranya berhasil mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Dibangunnya sarana dan prasarana pendidikan oleh pemerintah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) di setiap desa, Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas (SLTP dan SLTA) pada setiap kecamatan banyak merubah wawasan masyarakat, di antaranya cara memandang anak pada sisi masa depannya.

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

249

PERAN SOSIAL PENDIDIKANDALAM MOBILITAS VERTIKAL MASYARAKAT DESA

(Laporan Penelitian)

Moh. Mukhlas (STAIN Ponorogo)Mohammad Muslih (ISID Gontor)

AbstrakPendidikan ternyata tidak hanya berperan meningkatan

wawasan dan kemampuan individu, juga tidak hanya membantumasyarakat untuk dapat hidup yang lebih layak di tengah-tengahmasyarakat dengan kualifikasi yang diperoleh dari duniapendidikan. Laporan hasil penelitian ini menemukan bahwapendidikan ternyata dapat sebagai jalur peningkatan strata sosial,dalam arti yang sangat tradisional-antropologis. Bahkan padataraf tertentu pendidikan dapat –diartikan- “mendobrak” tradisiyang sudah cukup mengakar kuat. Dalam masyarakat Jawa, inidapat dilihat dari fenomena penggunaan bahasa, kata sapaan,dan kata panggilan, yang pada gilirannya berpengaruh pada polahubungan yang terjadi di masyarakat.

Kata Kunci: mobilitas vertikal, sosiologis, antropologis, speech community

Latar Belakang Masalah

Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berupa pemerataanpendidikan pada satu aspek dan peningkatan kekuatan ekonomi padaaspek yang lain, memberikan dampak berupa lahirnya fenomena baru,yaitu terjadinya mobilitas vertikal bagi sementara anak-anak di pedesaan.Tidak sedikit anak-anak desa, yang semula dianggap sudah cukupmemadai, hanya sekedar berhasil menamatkan sekolah dasar, akhir-akhir ini tumbuh kesadaran untuk melanjutkan pendidikan ke tingkatyang lebih tinggi, bahkan beberapa di antaranya berhasil mengenyampendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Dibangunnya sarana danprasarana pendidikan oleh pemerintah mulai dari tingkat Sekolah Dasar(SD) di setiap desa, Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas (SLTPdan SLTA) pada setiap kecamatan banyak merubah wawasan masyarakat,di antaranya cara memandang anak pada sisi masa depannya.

Page 2: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

250 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

Pertumbuhan pendidikan formal yang sangat cepat di negaraberkembang, termasuk di Indonesia disebabkan berbagai sebab: (1) terjadisuatu dilusi dalam masyarakat mengenai fungsi pendidikan formal bahwapendidikan dengan sendirinya memberi jaminan untuk memperolehlapangan kerja terutama di sektor pemerintahan. Para orang tua, yangmempunyai pendidikan formal yang ‘minim’, mendambakan suatukepastian hidup bagi anaknya, sekaligus mengaitkan posisi dalam sektorpemerintahan yang terkait dengan kekuasaan paternalistik yangfeodalistik dari masa pra kemerdekaan seperti yang pernah dialaminya.(2) Desakan pendidikan universal pada tingkat pendidikan dasar yangdimulai pada tahun 60-an dengan adanya deklarasi Karachi untuk Asia,dan deklarasi Addis Ababa untuk Afrika. Seperti yang telahdikemukakan, Indonesia telah memulai menyelenggarakan pendidikanuniversal ini mulai kita rasakan dampaknya sejak Repelita IV denganmulai membengkaknya gejala “educated unemployment”. (3) Lajunyapertumbuhan pendidikan yang tidak diiringi dengan kesempatan kerja,atau keengganan untuk bekerja dari ara lulusan di luar sektorpemerintah, telah menimbulkan suatu paradoks: semakin membesarnyagejala “educated unemployment” semakin kuat tekanan untuk memperluasfasilitas pendidikan formal.1

Sebelumnya, pandangan masyarakat tentang pendidikan anaknyaadalah, bahwa; (1) pendidikan hanyalah untuk ‘kelas atas’ atau kaumningrat, (2) anak adalah bernilai ekonomis dan (3) tidak jarang dianggapsebagai beban dan lain sebagainya. Pandangan seperti ini lambat launternyata berubah. Anak harus sekolah, dididik yang memadai, baik dirumah, sekolah maupun masyarakat untuk masa depannya. Demikianpersepsi mereka tentang anak dewasa ini. Dan memang pada masapembangunan dewasa ini, pendidikan juga merupakan dinamit baginegara-negara berkembang.

Ada tiga sebab mengapa pendidikan di negara-negara berkembangterkadang menjadi buah simalakama: pertama, pendidikan masihmerupakan suatu komoditi yang diperebutkan untuk memperoleh hak-hak istimewa (privilege), untuk naik pada tangga sosial seperti halnyapada zaman kolonial. Oleh sebab itu, pendidikan bersifat untuk

1HAR Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan,(Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 1992), p.193

Page 3: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

251At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

segolongan kecil elit masyarakat (education for the few). Jadi, pendidikanbelum merupakan kebutuhan pokok bagi seorang warga negara yangcerdas, terutama untuk pendidikan dasar. Kedua, pendidikan akanmengakibatkan meningkatnya harapan rakyat. Dengan terbukanyahorison pemikirannya, apalagi dalam era informasi dan globalisasi dewasaini, harapannya akan jauh menerawang ke depan. Tidak jarangkesenjangan antara harapan dan kenyataan semakin menganga apabilakebijakan pendidikan dan peluang yang dilahirkan oleh pembangunanekonomi tidak berjalan serasi. Ketiga, pendidikan akan melahirkanpendidikan yang lebih banyak lagi sejalan dengan terbukanya horizonpemikirannya.2

Perubahan pandangan seperti itu menghasilkan fenomena barudi masyarakat. Pepatah jawa yang mengatakan “tunggak jarak mrajak”dan “tunggak jati mati”, ternyata akhir-akhir ini tidak sulit dipahami,lantaran begitu banyak dan mudah bukti-bukti yang bisa ditemukan.Tidak sedikit anak desa dari keluarga petani yang memiliki kultur agrarisberhasil menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Lantas,berbekal pendidikannya itu mereka mampu mengisi posisi-posisi pentingdalam kehidupan masyarakat ini, baik di birokrasi pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, perusahaan dan sejenisnya. Atas dasarpekerjaannya itu lalu mereka memperoleh gaji yang tinggi, perumahanyang bagus, kendaraan yang bergengsi, hubungan masyarakat yang lebihluas serta fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung posisi mereka sehinggaterkesan urbanistis.

Apa yang diraih oleh anak petani desa ini adalah benar-benarberbeda dengan apa yang dialami sebelumnya. Bukan saja tempat ataulingkungan yang berlainan, tetapi juga aspek-aspek lain yang lebih luas,seperti kebiasaan-kebiasaan, norma, nilai dan sebagainya. Mereka seolah-olah memasuki dunia baru, struktur sosial yang baru yang berbeda denganyang sebelumnya. Ketika mereka masih tinggal di desa, pikiran, perasaandan kesadaran mereka terbentuk oleh lingkungan desa. Setelah hidupdi kota lingkungan kota dengan berbagai macam aspeknya; baik aspekekonomi, sosial maupun budaya, kesemuanya itulah yang banyakmempengaruhi dan membentuk mereka kembali. Mungkin akan terjadiredefinisi kembali tentang dirinya. Padahal, secara kultural mereka masihharus terikat dengan kehidupan sebelumnya, yaitu masyarakat desa.

2Ibid, p.192

Page 4: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

252 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

Anak-anak desa yang beruntung mengalami mobilitas vertikalseperti ini disadari atau tidak, dituntut untuk memiliki dua jenis kulturyang berbeda, yaitu kehidupan tradisional di desa yang agraristis sekaliguskehidupan di kota yang serba modern. Tidak itu saja, kalau kebetulanmereka beruntung berhasil meraih posisi-posisi penting baru yang bersifatelit, mereka juga harus menyesuaikan diri sesuai dengan posisinya itu.Akhirnya mereka juga harus mampu melakukan peran ganda dalamkehidupan masyarakat. Pada satu sisi mereka dituntut harus mampumelakukan interaksi dengan masyarakat asal di desa, yang terdiri daripara orang tua, kerabat, kenalan lama yang sementara masih tinggal didesa dengan berbagai kulturnya yang khas, sedangkan pada sisi lainmereka juga harus belajar dan menyesuaikan diri dengan kehidupanbaru yang memiliki kultur yang khas pula, masyarakat dan kultur kota.Lebih jauh perubahan seperti itu juga membawa konsekwensi-konsekwensi sosial yang lebih luas, anak-anak yang dilahirkan darikeluarga yang berkultur ganda ini mau tidak mau harus menyesuaikandiri. Mereka harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara gandapula, baik dengan lingkungan asal orang tua yang bersangkutan maupundengan lingkungan sehari-hari di mana mereka hidup saat ini. Dantentu masih banyak lagi persoalan lainya yang mereka perlu beradaptasidan ikuti, misalnya kaitannya dengan simbol-simbol, uapacara keluargayang harus melibatkan anggota masyarakat yang memiliki dua kulturyang berbeda dalam waktu bersamaan.

Adanya peningkatan di bidang pendidikan pada masyarakatpetani/pedesaan, memberikan dampak yang cukup luas bagi mereka,termasuk memungkinkan terjadinya apa yang disebut dengan mobilitasvertikal. Hubungan antara pendidikan dengan mobilitas vertikalmasyarakat pedesaan itu kemudian diekspresikan atau tercermin dalamfenomena-fenomena tertentu. Dalam penelitian ini fenomena yangdikaji akan dibatasi hanya pada penggunaan bahasa/sapaan.

B. Metododogi Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atasserta mengacu pada latar belakang masalah maupun rumusan masalah,penelitian ini mengambil strategi sebagai berikut: (a) Jenis penelitian

Page 5: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

253At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

ini adalah penelitian kualitatif3 dengan menggunakan pendekatanfenomenologi.4 (b) Penelitian ini berusaha untuk menggambarkankeadaan/fenomena yang sebenarnya, selanjutnya dari fenomena itudicoba menemukan ‘makna’ adanya hubungan antara dua hal, yaitupendidikan dan mobilitas vertikal. (c) Metode yang digunakan adalahmetode ‘participant observation’ sebagai metode utamanya, dimana penelitisecara langsung sebagai subyek juga termasuk sebagai obyek penelitiansekaligus. Dan metode ini akan didukung oleh metode yang lain, yaitumetode unstructured interviewing dan metode dokumentasi.5 (d) Denganmempertimbangkan tujuan penelitian, maka digunakan teknik analisakualitatif-deskriptif. (e) Dari hasil analisa data tersebut, selanjutnyadisusun hasil penelitian, yang berupa kesimpulan. Dalam penelitiandengan pendekatan fenomenologis, analisa dibedakan antara analisisdata selama di lapangan dan analisis data setelah meninggalkanlapangan. Inti dari analisis data selama di lapangan adalah agar tidakterjebak ke pengumpulan ‘sampah’ tetapi berupaya membangun ide.6

Ide memang perlu berlandaskan data, tetapi data bukanlah tujuan,melainkan alat untuk memperjelas fikiran dan mencari generalisasi ide.Sedangkan analisis data setelah meninggalkan lapangan adalahmenyangkut dua konsep, yaitu indeksikalitas dan ref leksikalitas.Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata, prilaku, dan lainnya padakonteksnya. Dan Reflesikalitas adalah tata-hubungan atau tata-susunansesuatu dengan atau dalam sesuatu lain. Bila kedua tata tersebut diubahakan terjadi perubahan makna.7 Dengan menggunakan analisa

3Menurut HM. Djunaidi Ghony, penelitian kualitatif adalah metodologipenelitian yang dipakai dalam pendekatan phenomenologis dengan memakai metodeutamanya partisipant observasi, unstructured interviewing dan personal dokument. LihatDrs. HM Djunaidi Ghony, “Filsafat Penelitian Dalam Pengajaran sebagai upayapengembangan sumber daya manusia”, Orasi Ilmiah pada ‘Rapat Senat Terbuka’ dan Wisuda,FT IAIN Sunan Apel Malang, 1994), p. 12.

4Pendekatan fenomenologis adalah upaya mencari “esensi”, “makna” dan “strukturfundamental” dari pengalaman manusia. Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama:Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), p. 34-35.

5Menurut Noeng Muhadjir, dalam penelitian dengan pendekatan fenomenologipada dasarnya hanya mengenal dua metode pengumpulan data, yaitu observasi partisipandan wawancara bebas. Lihat Prof. DR. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990/II), p. 181

6Ibid. p. 1847Ibid. p. 186

Page 6: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

254 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

demikian diharapkan dapat mendeskripsikan “natural reality” dan dapatterhindar dari penafsiran para ahli dan dari produk “artificial thinking”.

C. Hasil Penelitian

Masyarakat Desa Mojorejo ternyata merupakan satu di antaramasyarakat yang masih memegangi tradisi dan budaya Jawa. Sekalipunpada kalangan tertentu, tradisi sudah dianggap kuno, namun padasebagian besar masyarakatnya tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuknyabudaya modern. Karakteristik masyarakat Mojorejo yang demikian initampaknya juga telah melalui proses pentradisian (pembudayaan) yangcukup panjang. Akar-akarnya bisa ditelusuri sampai pada tradisi yangberkembang di Solo, yakni terkait nenek moyang mereka yang babattanah.

Selanjutnya di bawah ini, akan diuraikan peran sosiologis daripendidikan dalam dinamika dan pengembangan masyarakat, terutamadalam mobilitas vertikal masyarakat desa. Melihat peran pendidikandalam mobilitas vertikal masyarakat desa, sudah tentu berangkat dariasumsi dasar bahwa stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat sudahsedemikian mengakar. Dalam masyarakat Jawa, lebih-lebih di era modernini, stratifikasi sosial tidak dimaksudkan sebagai kasta sosial, namun lebihbersifat samar yang tercermin dalam berbagai budaya mereka. Misalnyadalam pola berbahasa, dalam pertemuan-pertemuan, atau dalam upacaratradisional. Naik-turunnya (atau biasanya, hanya naik) posisi seseorangdalam beberapa hal itu, menandakan adanya mobilitas vertikal dalammasyarakat.

1. Bahasa dalam Budaya Masyarakat MojorejoBudaya selalu dikaitkan dengan manusia. Manusia dan budaya

saling menunjang satu sama lain. Manusia membutuhkan budaya, tanpabudaya manusia tidak akan dinamakan manusia. Begitu pula denganbudaya, tanpa manusia sebagai pendukungnya, budaya tidak akan adadi dunia ini. Secara lebih sederhana, budaya dapat dibatasi sebagaikebiasaan yang lahir dari akal budi manusia. Dalam melahirkan budaya,akal manusia berpikir dengan menggunakan bahasa yang dikuasainya.Bahasa dalam hal ini berperan penting untuk menciptakan budaya.Bahkan dalam kenyataannya budaya yang telah ada diwariskan secaraturun temurun melalui bahasa oleh nenek moyang kita.

Page 7: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

255At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

Bahkan, bahasa menjadi wadah dari budaya. Maksudnya, nama-nama dari hasil akal budi manusia itu dilambangkan dengan bahasa.Sebagai contoh, kata sapaan yang biasa dipakai untuk menyapa orangtua laki-laki dilambangkan dengan kata Mak-é atau Romo dalam bahasaJawa. Budaya Jawa dihasilkan dari akal budi nenek moyang orang Jawa.Bahasa Jawa sangat berperan penting dalam proses penciptaan danpewarisan budaya Jawa hingga saat ini. Bahasa Jawa itu sendiri menjadiwadah atas konsep budaya lokal etnis Jawa. Konsep-konsep dari sistemsapaan, mata pencaharian, kesenian (sastra, nyanyian, alat musik, tari-tarian, dan ukiran), bagunan adat, senjata, dan pakaian etnis Jawa,dilambangkan dengan bahasa Jawa, artinya dengan nama-nama yangkhas Jawa. Contoh, konsep ‘orang tua kandung perempuan’dilambangkan dengan kata simbok, dan konsep ‘bilah besi untukberperang’ dilambangkan dengan kata keris. Kata-kata seperti simbokdan keris adalah kata-kata bahasa Jawa yang menjadi wadah budaya etnisJawa.

Bahasa Jawa adalah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal,terutama di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, danJawa Timur. Di daerah-daerah lain, misalnya, Banten sebelah utara, diLampung dan daerah-daerah transmigrasi di beberapa pulau di Indonesiaterdapat pula orang-orang Jawa yang berbahasa ibu bahasa Jawa. BahasaJawa sejak lama adalah bahasa pengantar suatu peradaban besar. Tradisisastra tulis telah ada dan terus terpelihara, paling tidak sejak abad kesepuluh.8

Seperti bahasa lain, bahasa Jawa mempunyai berbagai dialekgeografi. Dialek geografi seperti dialek Banyumas, Tegal, Yogya-Solo,Surabaya, Samin, Osing dan lain-lain memiliki sub-dialeknya sendiri.Seperti masyarakat bahasa lain, dalam masyarakat Jawa orang dapatmembedakan golongan orang kecil dengan golongan yang lebih tinggihanya dengan melihat adanya ciri kebahasaan tertentu yang seringdipakai oleh golongan-golongan itu.9

Dalam masyarakat bahasa (speech community) dapat dipastikanterdapat aturan berbahasa yang disepakati oleh para anggotanya. Dalam

8Soepomo Poedjosoedarmo dan Th. Koendjara, S.J, Tingkat Tutur Bahasa Jawa,(Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1979)

9Ibid.

Page 8: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

256 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

pandangan Clifford Greetz aturan berbahasa itu diistilahkan sebagaiLinguistic Etiquette. Dalam bahasa Indonesia istilah itu dikenal dengan“etika berbahasa”. Dalam masyarakat bahasa Jawa, misalnya, terdapatistilah tingkat tutur (speech levels), yaitu sistem kode penyampai rasakesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturansintaksis tertentu, aturan morfologi tertentu dan juga fonologi tertentu.

Tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang umum adalah (1) ngoko,(2) krama madya, dan (3) krama inggil. Masing-masing tingkat tutur itumemiliki kosa kata sendiri. Dengan demikian, dalam bahasa Jawaterdapat kosa kata untuk tingkat tutur ngoko, kosa kata untuk tingkattutur krama madya, dan kosa kata untuk tingkat tutur krama inggil.Soepomo Pudjosoedarmo menambahkan bahwa kosa kata bahasa Jawatidak hanya terbatas pada kosa kata ngoko, madya, dan krama, tetapi jugameliputi krama inggil, krama andap, dan krama desa. Kata-kata ngokomemancarkan arti tanpa sopan santun; krama madya memancarkan artisopan (konotasi hormat) tetapi tingkat kesopanannya agak setengah-setengah saja; krama inggil dan krama andap memancarkan konotasihormat yang sangat tinggi; dan krama desa memancarkan konotasihormat, tetapi di samping itu, ia menunjukkan juga bahwa pemakainyakurang mengetahui bentuk krama yang benar-benar standar.10

Menurut Geertz, salah satu etiket orang Jawa adalah andap asor,yakni: merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuanyang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang kira-kirasederajat atau lebih tinggi. Selalu ada semacam kegelisahan bilamanadua orang Jawa bertemu untuk pertama kalinya, karena masing-masingmenentukan tingkatan pihak lainnya agar masing-masing dapatmenggunakan bentuk linguistis yang tepat dan menerapkan pola andapasor yang tepat pula. Masing-masing penutur berusaha “bersaing” untukmenempatkan dirinya pada posisi yang paling rendah. Namun,persaingan ini sebenarnya hanya bersifat pura-pura. Yang bersangkutanberpura-pura merendah, namun sebenarnya ia bermaksud agar dirinyaditempatkan pada posisi yang tinggi (sesuai dengan posisi yangdisandangnya). Mereka biasanya memakai tingkat tutur krama antarasatu dengan yang lainnya, dan mereka tidak memakai tingkat tutur ngoko.Penggunaan tingkat tutur krama ini dimaksudkan agar yang bersangkutan

10Ibid.

Page 9: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

257At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

dapat melakukan sikap andap asor dan pada saat yang bersamaan diamenghormati orang yang tua umurnya, menghargai orang yang barusaja dikenal atau belum dikenal.

Tingkat tutur krama madya dan krama inggil juga digunakan untukmenghormati orang-orang yang berkedudukan atau berstatus lebihtinggi. Kedudukan atau status ditentukan oleh banyak hal, misalnya:kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, keluarga dankebangsaan. Untuk menyapa seseorang yang lebih rendah status sosialnyaatau seseorang yang lebih muda dari dirinya sendiri atau seseorang yangtelah menjadi kawan akrab, penutur dapat menggunakan tingkat tuturngoko. Dalam kaitan ini, Geertz mencontohkan kalimat yang dalambahasa Indonesia berarti “Dari mana anda?”. Bila kalimat itu dinyatakandalam tutur ngoko akan berbunyi “Kowe mau saka endi?” dan dalam tingkattutur krama “Panjenengan wau saking tindak pundi?”

Dalam hubungan kekerabatan, anak terhadap orang tuanya, cucuterhadap kakek/ neneknya, menantu terhadap mertuanya, antar besan,kemenakan terhadap paman/ bibinya, diwajibkan menggunakan bahasaJawa dengan tingkat tutur krama. Sementara adik terhadap kakaknyadiharapkan menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama, tetapibukan suatu keharusan. Sedangkan, pihak-pihak yang merupakankebalikan dari mereka yang harus ber-krama (kecuali antara besan)diperbolehkan menggunakan tingkat tutur ngoko bila berbicara denganmereka, yakni: orang tua terhadap anak, kakak terhadap adiknya,paman/bibi terhadap kemenakannya.

Pada masyarakat Mojorejo, penggunaan bahasa Jawa tampaknyajuga telah banyak mengalami pergeseran dari penggunaan yang idealsebagaimana yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz di atas. Berdasarkanpengamatan peneliti,11 beberapa pergeseran penggunaan bahasa Jawaitu terkait dengan pola dasar hubungan sosial. Bila dikatakan bahwatingkat tutur krama (madya dan inggil) digunakan seseorang penutur yanglebih muda atau lebih rendah derajat sosialnya ketimbang lawantuturnya, dalam upayanya untuk ber-andap asor dan menghormat lawantuturnya, pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Karena, untuk kontekssekarang banyak anak-anak tidak ber-krama terhadap bapak/simbok,

11Dalam menjaring data ini, peneliti menggunakan metode participant observation(pengamatan terlibat).

Page 10: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

258 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

simbah, pak de/pak lik, mbok de/mbok lik, kakang/mbak yu, dan tetangga-tetangga mereka yang bila dilihat dari segi umur jelas lebih tua darimereka. Memang, sebagian dari mereka —berdasarkan pengamatan—menggunakan pola seperti itu. Namun, sejumlah yang lain menggunakanbentuk-bentuk campuran (ngoko dan krama). Hal ini dapat dilihat dalamungkapan “Sampeyan mau saka endi?”, sebagaimana terjadi padamasyarakat Mojorejo umumnya.

Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, penggunaan bahasaJawa tingkat tutur krama oleh anak-anak muda dan/atau orang-orangdewasa dialamatkan kepada orang-orang tertentu (misalnya: tokoh agamaatau tokoh masyarakat, Lurah dan anak buahnya, Camat dan anakbuahnya). Namun demikian, di sana sini masih ada selipan unsur-unsurdari bahasa Indonesia atau bahasa lain. Dalam situasi formal (khutbah,ceramah, pidato, kampanye politik dan sejenisnya), kendati pembicaranyaadalah tokoh agama, tokoh masyarakat, Lurah, Camat dan JuruKampanye dan sebagainya, tingkat tutur krama seringkali digunakan bilaaudience-nya berasal dari berbagai kalangan. Namun, lagi-lagi, tuturanmereka tidak melulu dalam bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama(madya atau inggil), tetapi “campur tingkat tutur” (istilah bakunya, campurkode atau code-mixing, sebab tingkat tutur dianggap suatu kode) denganselipan unsur bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris.

Penggunaan bahasa Jawa dengan tingkat tutur tertinggi (kramainggil) hampir tidak tercampur dengan selipan bahasa lain atau tingkattutur lain sangat terlihat pada acara perkawinan. Pada pestaperkawinahan, baik dari pembawa acara (MC), tuan rumah, wakilpengarak maupun dari muballigh, bisa dipastikan menggunakan bahasabahasa Jawa krama inggil. Namun di luar daerah, dalam acara serupa,penggunaan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama inggil sudah mulaijarang ditemukan. Kalaupun ada, tak jarang ditemukan penggunaanbahasa Jawa dengan berbagai tingkat tutur dan selipan unsur-unsurbahasa-bahasa lain.

Harus diakui, penggunaan bahasa Jawa yang memiliki sejumlahtingkat tutur itu dewasa ini telah banyak mengalami pergeseran daripenggunaannya yang ideal. Sejumlah orang bertutur dengan tingkatngoko padahal semestinya dengan tingkat tutur krama. Celakanya lagi,sejauh penelitian ini, penguasaan tingkat tutur krama (madya dan inggil)pada kalangan kawula muda, kondisinya cukup memperihatikan, untuk

Page 11: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

259At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

tidak mengatakan “jelek”. Tampaknya, mereka kurang memilikikompetensi dalam bahasa Jawa, khususnya tingkat tutur krama, yangmemancarkan konotasi hormat itu. Sehingga, performansi dalambahasa itu kurang bagus.

Yang lebih memprihatinkan lagi, mungkin menganggap bahasaJawa sebagai bahasa “tradisional” dan biar dianggap sebagai orang-orangyang modern dan educated, ada sejumlah orang tua membiasakan anak-anak mereka menggunakan bahasa Indonesia –dengan Jawa merekayang medok–, padahal mereka hidup di lingkungan masyarakat bahasa(speech community) bahasa Jawa. Mereka tampak begitu bangga ketikamemperhatikan anak-anak mereka berbahasa Indonesia. Hal yangdemikian, menurut Suprihadi (46),12 di samping tidak mendidik anak-anak untuk mampu berbahasa Jawa, menyusahkan mereka dalambergaul dengan sesama mereka, tetapi juga “membutakan” merekaterhadap budaya yang terpancar dari bahasa Jawa itu sendiri, sepertiadap asor, dan unggah-ungguh. “Anak-anak yang hidup dan bergaul dalammasyarakat tutur bahasa Jawa, ajarilah, atau jika tidak, biarkanlah merekaberbahasa dan berbudaya Jawa”, demikian Suprihadi.13

2. Perihal Sapaan

Sebutan, sapaan, atau gelar di depan dan di belakang namaseseorang langsung atau tidak langsung memberikan beberapa efek padapemiliknya. Baik dalam berpikir atau merasa. Saat disapa dengan sebutan“Mbak” atau “Yu”, secara tidak langsung seorang perempuan telahdiposisikan sebagai orang yang, dari segi usia, lebih tua. Demikian jugajika seseorang menyapa orang lain dengan “Kang” dan “Mas” juga “Pak”tentu dengan anggapan orang itu lebih tua atau –seringnya- merasa lebihrespek kepada mereka walaupun dari segi usia mereka sebaya bahkanada juga yang lebih muda. Sementara menyapa dengan nama tanpaembel-embel apapun, bagi sebagian orang Jawa membuat relasi menjadilebih egaliter dan akrab.

Sedangkan kata ganti “kawula” atau “dalem”, untuk menyebut“saya”, biasanya dipakai dalam situasi formal, atau dengan orang-orangyang baru dikenal atau jika ingin “berjarak” dengan rekan bicaranya.

12Suprihadi adalah warga Mojorejo13Hasil wawancara pada Jum’at, 1 Mei 2009

Page 12: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

260 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

“Aku” atau “kula” dipakai dalam situasi informal dengan orang-orangyang sudah dianggap akrab. Biasanya kata ganti “aku” ini juga digunakanjika ingin memperkecil “jarak sosial” dengan rekan bicara danmembangun situasi yang lebih intim dan akrab.

Pada masyarakat Mojorejo, kata-kata yang menunjukkan respekatau menunjukkan berjarak tersebut memang tidak selalu digunakanberkomunikasi dengan orang yang lebih tua, tetapi juga kepada seseorangyang secara garis keturunan tergolong “ningrat”. Meski demikianterdapat juga perkembangan baru, “penggunaan bahasa inggil itu jugadigunakan kepada kaum terdidik, meskipun bila dilihat dari garisketurunan, mereka tergolong awam (masyarakat bawah)”, demikianungkap Purnomo (51).14 “Itupun biasanya, diberikan kepada mereka yangtelah sampai pada pendidikan tingkat sarjana atau di atasnya, danbiasanya lagi, pendidikannya itu dilakukan di luar kota, seperti di Jakartaatau Yogyakarta”, demikian Purnomo menambahkan.

Penamaan, kata sapaan, sebutan, kata ganti (untuk benda danorang), keterangan tempat atau waktu serta hubungan antara kata-katatersebut dengan konteks penggunaannya direfleksikan secara linguistis

dalam istilah “deixis”. Deixis berasal dari bahasa Yunani δείκνυμι yangbermakna “menunjukkan”, di dalam bahasa Latin disebut “demonstratio”.Dalam “deixis” dibahas bagaimana bahasa meng-enkodifikasi danmenggramatikalisasi konteks ujaran atau suatu peristiwa ujaran. Dengandemikian, interpretasi terhadap suatu ujaran sangat bergantung padaanalisa setiap konteks di luar ujaran. Penerapan deixis akan lebih “mudah”terlihat dalam face-to-face-interaction. Dalam bahasa tulis biasanya dapatdianalisa dengan menggunakan “pisau bedah” pragmatik, lebih khususlagi dengan menggunakan “speech act theory”.

Selain deixis waktu (misalnya: sekarang, hari ini, besok, nanti,dll), deixis tempat (misalnya: di sana, di sini, di situ, dll), ada deixis persona(nama, kata ganti orang, panggilan dan sapaan) dan deixis sosial (sapaandan sebutan). Beberapa contoh di atas bisa dimasukkan ke dalam deixispersona.

Deixis sosial disebut juga “honorifica” (latin “honorificus”:menghormati) digunakan sebagai penanda status sosial seseorang atau

14Warga Mojorejo yang juga seorang guru SMP Negeri di Ponorogo

Page 13: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

261At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

suatu benda lewat bahasa. Honorifika dalam bahasa bisa dikenali lewatkata ganti orang, kata sapaan, kata penunjuk diri dan dalam beberapabahasa lewat kata kerja. Misalnya kata sapaan “Mbak” dalam kontekssosial masyarakat berbudaya Jawa awalnya digunakan untuk menyapasaudara perempuan yang lebih tua. Namun, sapaan ini berkembangluas menjadi sapaan untuk perempuan secara umum, terutama yangtidak dikenal secara pribadi. Contoh lainnya, bahasa Jawa mengenal“undak usuk” atau tingkatan dalam berbahasa. Ada yang halus, ada yangsedang dan ada pula yang kasar. Kesemuanya menjadi sebagian indikatorpenanda adanya “jarak” juga “tingkatan” saat seseorang berbahasa. Itumasih belum ditambahi-tambahi dengan berbagai macam gelar yangsebenarnya dikonstruksi oleh masyarakat pengguna bahasa.

3. Mobilisasi Sosial dalam Bahasa dan SapaanSeperti telah disinggung di atas, pada masyarakat Jawa umumnya

bisa ditemui berbagai golongan masyarakat yang pada praktiknyaterdapat perbedaan tingkat antara golongan satu dengan golongan yanglain. Adanya golongan yang berlapis-lapis ini mengakibatkan terjadinyastratifikasi sosial baik itu secara ketat ataupun lebih bersifat terbuka.Masyarakat Mojorejo tampaknya termasuk masyarakat yang menganutpelapisan sosial yang bersifat terbuka, maka warga yang bersangkutanbisa dengan leluasa naik atau bahkan turun dari tingkat satu ke tingkatlainnya, sudah tentu atas dasar faktor-faktor tertentu.

Dengan demikian, setiap warga Mojorejo pada dasarnyamempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalamstruktur sosial masyarakat. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitassosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahandari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya.15 Masyarakat dengansistem stratifikasi terbuka memiliki tingkat mobilitas yang tinggidibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup.

Mobilitas sosial sebenarnya dapat berlangsung dalam dua arah,sekalipun umumnya perpindahan itu dari suatu tingkat yang rendah kesuatu tingkat yang lebih tinggi. Dalam proses itu, sebagian orang memangdapat berhasil mencapai status yang tinggi, namun beberapa orang jugamengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada tingkat status

15Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid I. (Jakarta: Penerbit Erlangga,1999)

Page 14: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

262 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

yang dimiliki oleh orang tua mereka, bahkan turun lebih rendah daripadaitu. Mobilitas jenis ini merupakan bentuk mobilitas dalam lingkup “antargenerasi”, yakni dengan memperbandingkan posisi ayah dan anak dalammasyarakat, termasuk soal status pekerjaan mereka. Selain itu, juga bisadiketahui sampai sejauh mana sang anak mengikuti jejak sang ayah dalamhal pekerjaan. Mobilitas juga bisa ditelaah dari segi gerak “intra generasi”,yakni dengan mengukur sejauh mana individu yang sama mengalamiperubahan sosial dalam masa hidupnya sendiri.

Meskipun mobilitas sosial memungkinkan masyarakat untukmengisi posisi jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikankesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya, namunmobilitas sosialpun mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yangsebenarnya tidak diinginkan, seperti rasa ketegangan pada pribadi yangberusaha untuk naik status, rasa ketidakpuasan akan kegagalan, sikapangkuh dan sombong atas keberhasilan, rasa khawatir akan turunnyastatus, dan secara sosial bisa memperlemah solidaritas kelompok sebagaiakibat dari dinamika antargolongan sosial dalam masyarakat. Dalammasyarakat berkasta, bisa ditemui contoh-contoh ekstrim darikonsekuensi-konsekuensi mobilitas sosial seperti ini, di mana adaperbedaan antara golongan yang menduduki tingkat tertentu dalammasyarakat sangat menonjol sekali dengan garis pembatas yang jelas.Norma-norma, nilai dan gaya hidup dari masing-masing kelompok jugasangat mencolok perbedaannya. Jadi menjadi hal yang biasa manakalarasa kekhawatiran orang kasta atas timbul saat posisinya terancam untukturun ke kasta bawah. Bahkan orang kasta tertentupun jika melakukanpelanggaran atas norma yang berlaku dengan serta merta akandikeluarkan dari kelompoknya dan dikucilkan oleh orang-orang sekastabahkan keluarga sendiri.

Sudah tentu, kondisi seperti ini tidak terjadi pada masyarakatMojorejo. Karena pada umumnya tokoh masyarakat (setidaknya ditingkat desa) masih dipegang tokoh-tokoh lama, mulai tokoh adat, tokohagama sampai perangkat desa. Sehingga munculnya masyarakat terdidiksebagai “masyarakat berkelas” baru tidak mengganggu keberadaanmereka. Pada umumnya mereka bekerja di kota atau bahkan di ibukota, sehingga waktu pulang kampung relatif jarang.

Page 15: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

263At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

a. Determinasi Mobilitas Sosial

Zaman dahulu seseorang mendapat status tinggi dalam sistemstratifikasi dalam masyarakatnya hanya karena faktor keturunan. Statusinipun akan berlangung selama seumur hidup tanpa ada proses kompetisiuntuk menggapai ataupun mempertahankan status tertentu. Kini,kesempatan-kesempatan untuk berkompetisi meraih status pada “kelasatas” sangat terbuka sekali. Dalam masyarakat seperti ini yang lebihdihargai pada diri seseorang adalah prestasi, kecakapan, keahlian danfaktor determinan utama. Sudah tentu individu-individu sendiri yangmenjadi pemain, yang akan menentukan siapa yang berhasil mencapaikedudukan tertentu dalam masyarakat.

Beberapa hal ini, terlihat jelas pada masyarakat Mojorejo. Jika10 tahun atau setidaknya 5 tahun yang lalu, sapaan “eyang kakung”,“eyang putri”, “bapak”, “ibu”, “mas”, “mbak” dapat dipastikandialamatkan hanya untuk sebagian masyarakat yang secara garisketurunan tergolong “ningrat” yang umumnya memang menjadi tokoh.Sedangkan sapaan “simbah” atau “mbah-e”, “mbah anang”, “mbahedok”, “mak-e”, “simbok”, “kang”, dan “yu” merupakan kata-kata sapaanyang khas untuk kalangan rakyat jelata atau kalangan awam, yangbiasanya mereka adalah kaum petani, kuli atau pedagang kecil di pasar.Demikian juga dengan kata panggilan “panjenengan” atau biasanyadisingkat “njenengan” sebagai kata ganti orang kedua, adalah katapenghormatan yang hanya diberikan kepada mereka yang tergolongningrat, sementara “kowe” atau “ko” sebagaimana “Kogawa” (kamu bawa)hanya terjadi pada kalangan rakyat jelata.

Tampaknya determinasi sosial seperti ini, kini telah mengalamiperubahan. Kata sapaan dan panggilan yang menunjukkan “kelas”penghormatan tidak hanya didominasi oleh golongan masyarakat yangsecara garis keturunan tergolong ningrat, namun dapat terjadi juga padamereka yang secara garis keturunan tergolong rakyat jelata.

Ada banyak fenomena menunjukkan bahwa beberapa orang yangdulunya menyandang sapaan “kang” atau “yu”, namun setelah beberapatahun kemudian sapaan itu berubah menjadi sapaan “mas” atau “mbak”.Bagi masyarakat berkelas seperti masyarakat Mojorejo, “perubahansapaan demikian harus diartikan sebagai peningkatan status, karenamemang perbedaan kata sapaan itu bukan tanpa maksud”, demikian

Page 16: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

264 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

Mukhtar Arifin (35).16 Dengan demikian kata-kata sapaan bukanmerupakan istilah yang tanpa makna.

Secara sosiologis, dalam masyarakat memang terdapat saluran-saluran tertentu bagi mobilitas sosial, melalui saluran-saluran ini statusseseorang warga bisa bergerak naik dari lapisan yang rendah ke dalamlapisan yang lebih tinggi. Saluran mobilitas sosial ini antara lain organisasipemerintahan, lembaga keagamaan, lembaga ekonomi dan lembagapendidikan. Pada masyarakat Mojorejo, “saluran mobilitas itu sangatterasa melalui jalur pendidikan dan sedikit dari jalur lembagakeagamaan”, demikian Kyai Mujiono (59).17

b. Pendidikan sebagai Saluran Mobilitas

Pendidikan merupakan anak tangga mobilitas yang penting.Bahkan jenis pekerjaan kasar yang berpenghasilan baik pun sukardiperoleh, kecuali jika seseorang mampu membaca petunjuk danmengerjakan soal hitungan yang sederhana. Pada banyak dunia usahadan perusahaan industri, bukan hanya terdapat satu, melainkan duatangga mobilitas. Yang pertama berakhir pada jabatan mandor, yanglainnya bermula dari kedudukan “program pengembangan eksekutif,”dan berakhir pada kedudukan pimpinan. Menaiki tangga mobilitas yangkedua tanpa ijasah pendidikan tinggi adalah sesuatu hal yang jarangterjadi.

Hal ini diduga bahwa bertambah tingginya taraf pendidikanmakin besarnya kemungkinan mobilitas bagi anak-anak golonganrendah dan menengah. Ternyata ini tidak selalu benar bila pendidikanitu terbatas pada pendidikan tingkat menengah. Jadi walaupun kewajibanbelajar ditingkatkan sampai SMU masih menjadi pertanyaan apakahmobilitas sosial dengan sendirinya akan meningkat. Mungkin sekali tidakakan terjadi perluasan mobilitas sosial, seperti dikemukakan di atas, ijasahSMU tidak lagi memberikan mobilitas yang lebih besar kepada seseorang.Akan tetapi pendidikan tinggi masih dapat memberikan mobilitas itu

16Warga Mojorejo yang menjadi Kaur Keuangan pada Jajaran Perangkat DesaMojorejo

17Kyai Mujiono (59) warga Mojorejo yang mengaku lahir sebagai anak petani,namun karena ketekunannya mendalami agama, sampai akhirnya memiliki pesantrensalaf “Darur Rahmah” dengan puluhan murid (santri)nya.

Page 17: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

265At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

walaupun dengan bertambahnya lulusan perguruan tinggi makinberkurang jaminan ijasah untuk meningkat dalam status sosial.

Pada dasarnya, pendidikan itu hanya salah satu standar saja. Daritiga “jenis pendidikan” yang tersedia yakni pendidikan informal,pendidikan formal dan pendidikan nonformal, tampaknya dua dari jenisyang terakhir lebih bisa diandalkan. Pada pendidikan formal duniapekerjaan dan dunia status lebih mempercayai kepemilikan ijasah tandalulus seseorang untuk naik jabatan dan naik status. Akan tetapi seiringdengan perkembangan kemudian mereka lebih mempercayaikemampuan atau skill individu yang bersifat praktis daripada harusmenghormati kepemilikan ijasah yang kadang tidak sesuai dengankompetensi sang pemegang syarat tanda lulus itu. Inilah yang akhirnyamemberikan peluang bagi tumbuhnya pendidikan-pendidikannonformal, yang lebih bisa memberikan keterampilan praktis-pragramatis bagi kebutuhan dunia kerja yang tentunya berpengaruhpada pencapaian status seseorang.

Dalam perspektif lain, dari sisi intelektualitas, memang orang-orang berpendidikan lebih tinggi derajat sosialnya dalam masyarakatdan biasanya ini lebih terfokus pada jenjang-jenjang hasil keluaranpendidikan formal. Makin tinggi sekolahnya makin tinggi tingkatpenguasaan ilmunya sehingga dipandang memiliki status yang tinggidalam masyarakat.

Beberapa hal inilah kiranya yang mendorong sebagianmasyarakat Mojorejo yang tergolong petani itu untuk berusaha lebihgiat. “Memang, beberapa tahun terakhir ini terlihat sekali perhatianterhadap pendidikan anak lebih dimiliki oleh para petani”, demikianSutrisno (43).18 Sudah tentu motivasi mereka tidak mesti terkait denganpenigkatan status sosial. Untuk pendidikan anak, terutama di perguruantinggi, sebagian mereka ada yang menjual sawah dan ada sebagian yanglain “berjuang” menjadi TKI di luar negeri. “Kenyataannya memangbeberapa orang yang meraih gelar sarjana (S-1), bahkan yang sampaipascasarjana (S-2 dan S-3) justru anak-anak dari orang tua yang tergolongmasyarakat petani”, demikian Sutrisno menambahkan.19

18Sutrisno Kepala Dusun (Kasun) Mojo, bagian dari desa Mojorejo. Di desa ini,jabatan Kasun lebih dikenal dengan sebutan “kamituwa”

19Wawancara hari ahad, 10 Mei 2009

Page 18: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

266 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

Sementara anak-anak sebaya dari keluarga ningrat, anakperangkat desa, atau anak pegawai, umumnya mereka hanya sampaitingkat SLTA dan segera setelah itu mereka berwiraswasta, bahkan adayang tidak tamat SMA, dan ada yang lebih parah lagi, sebagian merekajustru menjadi “gunjingan” masyarakat karena perilakunya yang tidakbaik.

Jika di masa kanak-kanak dan masa remaja pergaulan antara anakpetani dengan anak kalangan ningrat terkesan ada jarak, namun setelahmereka dewasa, pergaulan mereka sudah tampak seperti pada “level”yang sama.

c. Peningkatan Taraf Hidup melalui Pendidikan

Dari uraian di atas terlihat bahwa pendidikan dapat dipergunakansebagai jalur untuk membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnyake tingkat yang lebih tinggi melalui usaha mereka sendiri. Penegasanini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakatyang berpenghasilan rendah. Hal ini tidak sukar untuk dipahami karenadengan bekal pengetahuan yang mantap dan lebih-lebih lagi secarasengaja meteri yang berhubungan dengan masalah ekonomi mendapattekanan lebih berat, maka out put dari pendidikan akan dapat berusahalebih baik dalam menghadapi segala persoalan tentangkesejahteraannya.

Sebaliknya perkembangan ekonomi juga dapat membantu prosespendidikan karena dengan meningkatnya ekonomi baik nasionalmaupun masyarakat sekitar tempat di gelarnya pendidikan berartimeningkat pula kekuatan untuk memikul biaya pendidikan. Masalahekonomi mempunyai pengaruh yang sangat jelas terhadap kelancarankegiatan pendidikan dan bahkan ditekankan bahwa kurikulum jugadipengaruhi oleh tuntutantuntutan dari pekerjaan perdagangan danindustri. Kenyataannya memang demikian, berbagai masalah yangberhubungan dengan perburuhan, perdagangan dan industri memangharus dipertimbangkan dalam menyusun kurikulum. Kurikulum yangbaik memang memperhatikan kenyataan-kenyataan yang ada dimasyarakat.

Signifikansi antara tingkat pendidikan dengan tingkat keadaanekonomi atau hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat sosialekonomi seseorang oleh Clark (1944) tersebut bisa diutarakan sebagaiberikut.

Page 19: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

267At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

1) Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi pula tingkatpenghasilannya (tamatan sekolah dasar maksimal antara empat danlima ribu dolar setahun; tingkat sekolah menengah atas maksimalantara lima dan enam ribu dolar setahun dan tingkat perguruantinggi maksimal antara delapan dan sembilan ribu dolar setahun)

2) Tamatan sekolah dasar (atau sekolah menengah pertama) akanmendapat penghasilan maksimal pada usia sekitar 25-34 tahun;tamatan sekolah menengah atas akan mendapatkan penghasilanmaksimal pada usia sekitar 35-44 tahun dan tamatan perguruan tinggiakan mendapat hasil maksimal pada usia sekitar 45-54 tahun.

3) Tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada usiatua mendapat hasil yang lebih rendah dari hasil ketika mereka mulaibekerja. Tamatan sekolah menengah atas pada usia tua mendapathasil yang seimbang dengan hasil ketika mereka mulai bekerja.Tamatan perguruan tinggi pada usia tua mendapat hasil yang lebihbesar ketika mereka mulai bekerja.

Walau demikian tentulah dimaklumi bahwa tidak semua orangmengalami atau memiliki korelasi antara tingkat pendidikan danpenghasilan seperti diatas, penyimpangan tentu ada sebagaimana dalammasalah sosial lainnya.

Kesimpulan

Dari uraian dan diskusi di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwaperan sosial pendidikan tidak hanya meningkatan wawasan dankemampuan individu, juga tidak hanya membantu masyarakat untukdapat hidup yang lebih layak di tengah-tengah masyarakat dengankualifikasi yang diperoleh dari dunia pendidikan. Namun, sebagaimanaterlihat pada masyarakat Mojorejo, pendidikan dapat sebagai jalurpeningkatan strata sosial, dalam arti yang sangat tradisional-antropologis.Bahkan pada taraf tertentu pendidikan dapat –diartikan- “mendobrak”tradisi yang sudah cukup mengakar kuat.

Jika selama ini masyarakat memahami bahwa pekerjaan layak,kekayaan duniawi, rumah mewah, istri cantik, dst.. dapat diraih olehsiapa saja, baik individu yang tergolong “kasta” tinggi maupun yang“berkasta” rendah, namun tidak demikian halnya dengan “status’ dalamstrata sosial. Hampir menjadi keyakinan masyarakat pada umumnya,soal yang terakhir ini tampaknya sudah taken for granted, sudah given

Page 20: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

268 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

dari “sana”nya. Masyarakat Mojorejo, sebagai sedikit masyarakat di Jawayang masih memegangi tradisi, dapat membuktikan lain. Denganpendidikan, status “atas” dapat diraih oleh individu yang dulunya berstatus“rendah”. Inilah keunikan masyarakat desa ini.

Beberapa hal ini terlihat jelas dari fenomena penggunaan bahasapada umumnya dan penggunaan kata sapaan atau panggilan padakhususnya. Sebagaimana diketahui, penggunaan bahasa jawa “kramainggil”, “krama madya”, dan “ngoko”, demikian juga kata sapaan “kang”,“yu”, “mas”, “mbak” dan kata panggilan “panjenengan”, “kowe” padamasyarakat Jawa bukan istilah yang tanpa maksud, bukan kata yanngtanpa arti. Penggunaan bahasa, sapaan dan panggilan dalam tradisi Jawamenunjukkan posisi dan status sosial yang bersangkutan. Selama ini,perubahan dari sapaan “kang” menjadi “mas” atau “yu” menjadi “mbak”atau dari panggilan “kowe” menjadi “njenengan” secara tradisionalhampir mustahil terjadi. Karena jika terjadinya perubahan itu berartiterjadi perubahan status.

Sekalipun demikian, tetap perlu dicermati, pendidikan bisa jadimerupakan faktor dominan bagi terjadinya perubahan status, namun,sebagaimana pada masyarakat Mojorejo, hal itu mesti dibarengi denganpeningkatan adab dan tata krama yang baik. Jika tidak, tingginya tingkatpendidikan sulit merubah image, apa lagi merubah status. Demikianjuga, bagus adab dan tata krama memang membuat masyarakat respek,namun belum tentu bisa merubah status jika tidak didukung olehmeningkatnya pendidikan. Inilah yang dimaksud, pendidikan menjadifaktor yang dominan.

Hal lain yang juga perlu dicatat adalah, pada masyarakat Mojorejo,menggapai pendidikan setinggi-setingginya bukan dimaksudkan untukmerubah status sosial (tentu dalam pengertian tradisional-antropologisitu), tetapi untuk merubah “nasib” dan pada taraf tertentu, bisa dikatakan,untuk dapat berkompitisi di panggung dunia. Sehingga meningkatnyastatus dalam stratifikasi sosial yang diperolehnya merupakan ekses tidaklangsung dari peran sosial pendidikan yang diraihnya.

Catatan terakhir, masyarakat Mojorejo memang layakmendapatkan ini, karena perjuangan meraih pendidikan tinggi untukanak-anak mereka, mereka bayar dengan harga yang sangat tinggi.Sebagian mereka ada yang menjual tanah sawah warisan, ada pula yangrela menjadi TKI/W ke luar negeri. Sementara anak-anak ningrat dan

Page 21: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Moh. Mukhlas dan Mohammad Muslih

269At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

tokoh masyarakat, tampaknya tetap pada posisi semula, yaitu sebagaitokoh dan anak tokoh pada level desa. Karena tidak meraih pendidikantinggi, mereka sukar menembus batas posisi di kota..

Penelitian ini lebih merupakan upaya melihat peran sosialpendidikan dalam peningkatan status sosial masyarakat. Penelitian inidiakukan dan dilaporkan di saat berlangsungnya diskusi, apakahpendidikan dapat berperan meningkatkan status sosial ataukahpendidikan justru membubarkan stratifikasi sosial dalam masyarakat?Dengan bahasa lain, apakah pendidikan bisa meningkatkan harkatmanusia pada masyarakat tradisional atau justru pendidikan berperanmenghapus tradisi “berkelas” itu, sehingga tak ada lagi “kelas sosial”.Sudah tentu penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menjawabpersoalan itu. Maka diharapkan penelitian lebih jauh untukmembuktikan problem itu.

Jika dilihat lebih jauh, pendidikan bukan satu-satunya faktordalam peningkatan status sosial masyarakat tertentu. Kondisi“inklusifitas” masyarakat yang bersangkutan tampaknya juga merupakanfaktor yang tidak bisa diabaikan. Di samping membanjirnya budayamodern, juga jelas memiliki pengaruh terhadap perubahan tradisi danbudaya suatu masyarakat. Kajian dan penelitian lebih jauh terkaitbeberapa masalah ini juga menarik untuk dilakukan.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, PustakaPelajar, Yogyakarta, 1996

Ahmadi, Abu, Sosiologi, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hal. 22Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia,Jakarta, 1977

Asyari, Sapari Imam, Sesuatu Petunjuk Praktis Metodologi Penelitian Sosial,Usaha Nasional, Surabaya, 1983

Azra, Azyumardi, Modernisasi Pendidikan Islam dan Epistemologi Ilmu,Makalah Seminar Internasional Tentang “ModernisasiPendidikan Islam: Sistem, Metodologi dan Materi” Di ISIDPondok Modern Gontor Ponorogo, 31 Agustus 1996

Durkheim, Emile, Sosiologi dan Filsafat, terjemahan Dr.SoejonoDirdjosisworo,SH, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1989

Page 22: PERAN SOSIAL PENDIDIKAN DALAM MOBILITAS VERTIKAL

Peran Sosial Pendidikan Dalam Mobilitas Vertikal Masyarakat Desa

270 At-Ta’dib Vol.4 No.2 Sya’ban 1429

Fadjar, Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Fajar Dunia, 1999Ghony, Djunaidi, Filsafat Penelitian Dalam Pengajaran sebagai upaya

pengembangan sumber daya manusia (Orasi Ilmiah pada ‘RapatSenat Terbuka’ dan wisuda), FT IAIN Sunan Apel Malang, 1994

Harorld G, Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, Jakarta: cv Rajawali1984

Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid I. (Jakarta: PenerbitErlangga, 1999)

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: RakeSarasin, 1990/II)

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, RakeSarasin, 1990/II

Nursahid, Fajar, “Dunia Pendidikan Kita”, Republika, Selasa 2 Mei 2000Poedjosoedarmo, Soepomo dan Th. Koendjara, S.J, Tingkat Tutur Bahasa

Jawa, (Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1979)Soemargono, Soejono, Berpikir Secara Kefilsafatan, Nur Cahaya,

Yogyakarta, 1988Suprayogo, Imam, dalam Majalah Tarbiyah Edisi Okt-Des 1994Suryadi, Ace dan Prof. HAR Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, PT

Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994Tilaar, HAR, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa

Depan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 1992)Tilaar, HAR, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa

Depan., Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 1992Tobroni, Orientasi Pendidikan Islam Dalam Perubahan sosial dalam Majalah

Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Malang, Okt-Des 1994