peran sel dendritik dalam melawan infeksi
TRANSCRIPT
Tugas Immunology
PERANAN SEL DENDRITIK DALAM MELAWAN INFEKSI
Disusun oleh :
Joni Hendri
NIM.12/336568/PMU/07330
PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2012
1
PENDAHULUAN
Manusia sangat mudah terpapar oleh mikroorganisme penyebab infeksi seperti
parasit, jamur, bakteri maupun virus. Oleh karena itu sistem kekebalan tubuh yang baik
dalam menangkal semua mikroorganisme pathogen tersebut sangat diperlukan .Sistem
kekebalan tubuh memiliki beberapa jalur untuk mengenali dan menanggapi komponen
mikroba dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan rangsangan (Steinmen.2007).
Untuk proteksi optimal terhadap berbagai macam mikroorganisme yang
menginvasi tubuh manusia perlu adanya aktivasi respon imun bawaan dan antigen adaptif
(Kapsenberg.2003). Lebih dari selusin tipe sel yang mengekspresikan lebih dari 300
molekul membran terlibat dalam mekanisme ini (Steinmen. 2007). Sehingga walaupun
terlihat ada perbedaan dalam mekanisme respon tapi sejatinya kedua mekanisme itu
merupakan mekanisme komplek yang saling terkait (Hoebe et al.2004)
Sehubungan dengan tugas sistem imun sebagai alat pertahanan terhadap infeksi
mikrioba, sistem imun harus mempunyai mekanisme kerja yang sangat unik meliputi:
pertama, mengenali antigen untuk mengetahui adanya bahan infektif. Kedua, mampu
mengaktifkan fungsi efektor untuk mengeliminasi secara tuntas infektif yang masuk.
Ketiga, mampu mengatur atau mempunyai regulasi sendiri sehingga tidak terjadi eror
dalam sistem imun. Keempat, mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sitem
memory imun (Orbea et al.2012)
Dalam mekanisme dua sistem imun tersebut diperlukan berbagai sel dan molekul
komplek yang mampu menjembatani antara sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif.
(Playfair et al.2009) Salah satunya adalah sel yang dapat menyajikan antigen dalam
bentuk peptida atau lipid pada sel sel efektor (Limfosit) yang disebut Antigen Pressenting
Cell (APC). Sel dendritik, Fagosit mononuklear (Makrofag) dan sel B dapat berperan
sebagai APC ketiganya disebut APC profesional. Namun demikian sel dendritik
2
merupakan APC paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu ditempat tempat
dimana mikroba dan antigen asing masuk tubuh dan serta organ – organ yang menjadi
target bakteri untuk berkembang (Bratawidjaja.2006).
Terdapat banyak perspektif terhadap pengaruh kuat sel dendritik dalam mencapai
kekebalan secara luas. Dari perspektif seleksi alam, sel dendritik membantu sistem
kekebalan tubuh dalam menghalau terhadap lebih dari seribu bentuk infeksi berbeda.
Dari perspektif fisiologis, perlawanan terhadap infeksi bukanlah respon tunggal otomatis.
Dari perspektif seluler, sel dendritik yang terkenal karena peran mereka dalam memulai
imunitas T-cell, Namun demikian, sel dendritik dapat mempengaruhi semua jenis limfosit.
Dari perspektif medis, sel dendritik mempengaruhi banyak kondisi klinis. Selain itu untuk
menyediakan ketahanan terhadap beberapa penyakit, sel dendritik dapat memicu
peradangan autoimun dan alergi dan penolakan transplantasi, serta dapat dimanfaatkan
oleh beberapa infeksi dan tumor.(Steinmen.2007)
Dari pendahuluan diatas sangat menarik untuk melihat dan menelaah mekanisme
sel dendritik dalam menghadapi paparan mikroorganisme pathogen. Tujuan dari makalah
ini adalah untuk melihat peranan dendritik sel dalam melawan infeksi. Makalah ini juga
dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Immunology di Sekolah Pasca
Sarjana Univesitas Gadjah Mada Bidang Study Bioteknologi.
3
SEL DENDRITIK DAN PERANANNYA TERHADAP INFEKSI
Sejarah Penemuan Sel Dendritik
Ralph Steinmen mengungkapkan dalam tulisannya bahwa sel dendritik yang ia
temukan dalam proses penemuannya sangat dibantu oleh penelitian yang dilakukan oleh
Robert Mishell dan Richard Dutton pada tahun 1966. Kedua peneliti ini mencoba mencari
tahu bagaimana menghasilkan tanggapan antibodi terhadap antigen tertentu dari suspensi
limpa tikus cells. Mereka menyimpulkan bahwa limfosit (campuran dari sel B dan T), jika
dimurnikan dengan berbagai cara, tidak akan membentuk antibodi kecuali jika
ditambahkan “accessory cells”. Dari hasil itu Steinmen mempunyai pemikiran bahwa sel
aksesori tersebut mungkin memberikan kesempatan untuk memahami imunogenisitas.
(Steinmen.2007)
Gambar.1 (a) Sel dendritik hasil capture Mikroskop Elektron pada ephitel trachea tikus normal .(b) Micrograph transmisi elektron Sel Dendritik yang disiolasi secara enzimatis dari lung tikus normal. (Upham et al.2006)
Melalui beberapa penelitian akhirnya Pada tahun 1973 Ralph Steinman dan
koleganya Zanvil Cohn menemukan tipe sel baru yang ia sebut sel dendritik. Dari semua
sel aksesori yang mereka teliti mereka menemukan sel lain yang terlihat berbeda dan
tidak bertindak sebagaimana makrofag yang selama ini mereka teliti. Steinmen dalam
tulisannya juga mengemukakan, karena ditemukan secara kontinue dalam bentuk seperti
pohon, khususnya dalam jaringan dimana dendritik ditemukan, sehingga mereka
4
kemudian memberi nama sel dendritik (berasal dari dendron,kata Yunani untuk pohon).
Dan meskipun sel-sel dendritik mewakili kurang dari 1% dari sel-sel yang kita bisa
diisolasi dari limpa, namun karena ciri khas dan pentingnya dalam memulai seleksi klonal
telah memicu komitmen berkelanjutan untuk mencari sel tersebut (Steinmen.2007)
Mekanisme Respon Imun
Mikroorganisme merupakan benda asing yang sangat penting untuk dikenali oleh
sistem imun. Perlu diingat bahwa pertahanan pertama adalah menjaga agar benda asing
tersebut tidak berhasil masuk ke dalam tubuh sehingga berbagai pertahanan eksternal
seperti lapisan kulit yang intak pada bagian luar, sekresi anti mikroba (terutama bakteri )
pada lapisan kulit dan mukosa seperti lisozim, laktoferin, defensin dan peroksidase.
Contoh lainnya adalah adanya pH yang sangat asam dalam lambung untuk menghalau
mikroba.(Playfair et al.2009 dan Bratawidjaja.2007).
Namun jika ternyata mikroba infektif berhasil menembus pertahanan tersebut maka
serangkaian respon imun akan terjadi. Melalui reseptor yang disebut pattern-recognition
reseptor (PRR) sistem imun bawaan akan mengenali molekul spesifik mikroba yang diberi
nama pathogen-associated molecular pattern (PAMPs). Adanya komplek PAMPs-PRR
menyebabkan respon protektif oleh sistem imun bawaan serta mampu mengaktifkan
respon imun adaptif untuk proteksi yang lebih maksimal. Jadi pengenalan dan reseptor
merupakan faktor yang menentukan dalam mekanisme ini (Playfair et al.2009).
Peran Sel Dendritik Dalam Sistem Imun
Sel dendritik ditemukan dalam jumlah < 0,1% dalam darah, dalam stadium ini sel
dendritik menunjukkan membran yang berkerut kerut yang disebut veiled cell. Sel tersebut
juga dapat ditemukan di kulit (sel langerhans), kelenjar limfoid sebagai sel interdigit,
5
parakorteks di sinus marginal limfatik aferen (Bratawidjaja.2006), di intima aorta (Cheong
et al.2012)
Berdasarkan fungsinya terdapat 2 jenis dendritik sel yaitu conventional dendritic
cells (cDCs) and plasmacytoid dendritic cells (pDCs). Fungsi utama cDCs berperan dalam
mengenali antigen dan mepresentasikannya ke sel T serta mengeluarkan beberapa molekul
penting, sedangkan pDCs dipertimbangakan dalam perannya sebagai penghasil interferon
antivirus.(Malissen et al. 2012).
Secara umum dapat digambarkan bahwa peran sel dendritik terhadap penyakit
infeksi dimulai dari mengenali antigen yang spesifik dikeluarkan oleh mikroba,
mengeluarkan molekul seperti sitokin dan kemokin serta mengaktifkan naif T cell dengan
mempresentasikan antigen melalui Mayor Histocompatibility Complek (MHC) / Human
Leucocyte Antigen (HLA). Polarisasi T cel inilah awal dimulainya respon imun adaptif
yang akan lebih spesifik dan lebih efektif dalam mengeliminasi mikroba pathogen dalam
tubuh karena tidak hanya mengaktifkan respon imun adaptif tapi juga memperkuat
kemampuan sel sel inflamasi atau fagosit pada respon imun bawaan. Secara lebih
mendalam akan digambarkan dalam beberapa bahasan berikut:
a. Sel dendritik mengenali antigen melalui berbagai reseptor (PRR)
Pada perkembangan awal, sel dendritik sebagaimana sel monosit berada dalam
peredaran darah. Sel dendritik yang muda (immature DCs) segera memasuki jaringan.
Seperti halnya anggota respon imun bawaan, sel dendritik juga dapat mengekspresikan
PAMPs melalui reseptor reseptornya (PRR) (Mclnturff et al.2005).
Secara umum PRR mempunyai fungsi yang sama yaitu mengenali antigen spesifik
dari mikroba baik bakteria , virus , jamur maupun parasit. Namun berdasarkan fungsinya
terdapat 2 kelompok besar reseptor yaitu; (1) Kelompok yang bersama Fc reseptor
membantu sel dendritik secara aktif memfagosit, atau macropinocytosis (Orbea et al.
6
2012) antigen dan kemudian mengolahnya hingga dapat dipresentasikan melalui MHC.
Diantaranya adalah DEC25 yang mampu mengenali LPS dari bakteri. Dan (2) adalah
berbagai Toll-Like Reseptor (TLRS) yang mampu menginisiasi gen gen sel dendritik untuk
mengekspresikan molekul tertentu (sitokin atau kemokin) sehingga mampu menjembatani
sel dendritik muda untuk bermigrasi dari jaringan ke kelenjar limfa sehingga dapat
berinteraksi dengan sel T (Mclnturff et al.2005).
TLRs merupakan protein transmembran yang mempunyai susunan Leucine-rich
pada bagian luar dan serupa dengan sitoplasmik IL-1 pada bagian dalam (Mclnturff et al.
2005). ada sekitar 10 (Malissen et al. 2012) (Mclnturff et al. 2005) jenis molekul TLRs
yang terdapat pada manusia namun yang diketahui terdapat pada sel dendritik adalah
TLRs-2, TLRs-3, TLRs-4, TLRs-7, dan TLRs-9 yang secara spesifik mengenali antigen
(Kapsenberg. 2003). untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.3 berikut ini.
Gambar 2. Berbagai jenis TLRS dan molekul sfesifik bakteri yang dapat dikenalinya (Mclnturff et al. 2005)
7
b. Sel dendritik menginisiasi respon imun adaptif
Saat sel dendritik muda mengenali mikroba melalui reseptor DEC25 atau manossa
misalnya maka sel dendritik akan mengolah antigen mejadi peptida tertentu yang
kemudian akan dipresentasikan melalui MHC. Namun demikian hal ini tidak dapat
menyebabkan sel dendritik bermigrasi sampai reseptor lainnya yaitu TLRs mengenali
antigen tersebut.(Malissen et al. 2012). TLRs dapat mengkaktifasi NFkB sehingga sel
mampu menghasilkan sitokin dan kemokin (Mclnturff et al. 2005 dan Playfair et al. 2009).
TLRs dapat menekan sel untuk mengekspresikan CCR7 yang dapat berinteraksi dengan
CCL21 yang diproduksi di kelenjar lifa sehingga sel dendritik muda dapat bermigrasi ke
kelenjar limfa untukber proliferasi dan mengaktifkan sel T naif.(Calame et al. 2012).
TLRs adalah reseptor permukaan yang hanya dapat mengenali antigen
ekstraseluler. Untuk dapat mengenali mikroba intraseluler maka sel dendritik dapat
menggunakan reseptor NOD-Like reseptors (NLRs) atau RIG-1-like helikases (RLHs)
yang lebih sensitif dalam mengikat antogen virus dalan sitoplasma (Malissen et al.2012).
Gambar 3. (a).Sel dendritik jaringan kulit (Langerhans cell) bermigrasi ke kelenjar limfa untuk mengaktifkan sel T naif (Foto: Hladik et al). (b) Limfosit manusia(Ungu) yang berikatan dengan permukaan sel dendritik (Pseudo-biru)(Foto: Schwartz).
8
a b
c. Efek sel T yang teraktifasi
Antigen spesifik mikroba yang difagosit sel dendritik akan diolah hingga menjadi
molekul dalam bentuk peptida. Peptida yang berasal dari kompartemen sel dendritik yang
berbeda dikirim ke permukaan sel dengan kelas molekul MHC yang berbeda. molekul
MHC kelas I memberikan peptida yang berasal dari sitosol (jalur cross-presentation)
biasanya untuk infeksi virus, sedangkan molekul MHC kelas II memberikan peptida yang
berasal dalam sistem vesikuler (Acuto et al.2012) mekanisme ini juga diperkuat oleh
molekul kostimulatori yang dihasilkan oleh sel dendritik yaituB7-1 dan B7-1
(Bratawijaya.2006)
MHC kelas I dipresentasi pada permukaan sel T dan merangsang aktifasi CD8+
Sel T (Steinmen. 2007) Sel yang terinfeksi virus atau bakteri cytosolic terdeteksi dan
dieliminasi oleh sel T sitotoksik ini. Namun demikian tidak semua sel terinfeksi virus
dapat dieliminasi dengan mekanisme ini.(Acuto et al.2012)
Gambar 4. Berbagai varian T helper dan fungsinya dalam respon imun adaptif (Calame et al.2012)
Untuk MHC kelas II presentasi dimaksudkan untuk merangsang sel CD4+ T
helper. Seperti yang terlihat pada gambar. 4, terdapat 6 T helper yang teraktifasi yaitu Th-
9
1, Th-2, Th-17, TFH, dan Treg. Th-1 berperan adalam mendukung makrofag dalam
melisiskan mikroba yang menginfeksi sel tersebut, Th-2 dan TFH lebih banyak berperan
dalam mendukung sel B dalam menghasilkan antibody dan Th-17 meningkatkan respon
netrofil sebagi barier mikroba di kulit, (Calame et al.2012). Sedangkan Treg sebagai
pengatur dan mencegah terjadinya respon imun pada self-antigen seperti mencegah
terjadinya penyakit autoimun ( Rifa’i. 2010 dan Steinman et al. 2003).
PEMANFAATAN SEL DENDRITIK SAAT INI
Sel dendritik mempunyai fungsi yang cukup luas sehingga banyak dimanfatkan
dalam berbagai penelitian bukan hanya terhadap penyakit infeksi namun juga terhadap
fungsi lainnya, diantarannya terhadap penyakit atherosclerosis (Cheong et al. 2012) dan
pemanfaatanya dalam transpalantasi (Moreau et al. 2012).
Pada tahun 2008 harapan dunia terhadap penganan HIV sempat melambung
dengan ditemukannya dua protein dalam sel dendritik yang menghambat pengeluaran virus
(budding) dari sel tersebut, sehingga melindungi sel lain agar tidak tertular. Sel dendritik
terlibat dalam pengintaian dan perlindungan kekebalan pada awal terinfeksi HIV. Wang
dan Pang menemukan bahwa kehadiran DC-SIGN bersamaan dengan DC-SIGNR, protein
yang serupa, menghambat pengeluaran HIV dari sel dendritik sebanyak 95 hingga 99,5
persen. Mereka berpendapat bahwa protein tersebut mengganggu kemampuan HIV untuk
menyelesaikan proses perakitan pada selaput luar sel dendritik sehingga mencegah
budding. Pang mendorong para peneliti lain untuk menyelidiki bagaimana pengetahuan ini
dapat menolong upaya untuk menghasilkan vaksin HIV yang efektif (Wang et al.2008).
Namun sampai saat ini pengembangan dari penelitian tersebut belum terdengar
kembali. Bahkan pada penelitian terbaru lainnya disimpukan bahwa sel dendritik mampu
10
menghambat lentavirus untuk berkembang dalam sel namun ternyata lentavirus pathogen
seperti HIV dapat mematahkan sistem penghambatan tersebut (Drake et al. 2012)
.
KESIMPULAN
Sel dendritik tidak berperan secara langsung dalam mematikan berbagai mikroba
pathogen penyebab infeksi seperti yang dilakukan makrofag. Namun demikian sebagai
APC profesional, sel dendritik mampu merespon pathogen yang masuk dengan cepat
karena berada pada daerah strategis tempat masuknya mikroba pathogen, efisien dalam
menangkap pathogen serta mampu menginisiasi respon imun adaptif yang akan lebih
spesifik dan lebih efektif dalam mengeliminasi mikroba pathogen dalam tubuh karena
tidak hanya mengaktifkan respon imun adaptif tapi juga memperkuat kemampuan sel sel
inflamasi atau fagosit maupun sistem humoral pada respon imun bawaan.
DAFTAR PUSTAKA
Acuto,O. Berg, L. Cantrell, D. Chan, A. Heissmeyer, V. Jameson, S. Nunez, G. Saito, T. Samelson, L. Schwartzberg, P and Weiss, A Chapter 6: Antigen Presentation toT Lymphocytes, pp:223-259. Dalam K. Murphy (ed). Janeway’s Immunobiology 8TH Edition. Garland Science Taylor and Paris Group. London and New York.
Bratawijaya, K.G. 2006. Imunologi Dasar, Edisi Tujuh. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Calame, K. Cancro,M. Carter, R.H. Cyster, J. Kearney, J. Kelsoe, G.and Neuberger, M. 2012. Chapter 9: T Cell-Mediated Immunity, pp: 357-408. Dalam K. Murphy (ed). Janeway’s Immunobiology 8TH Edition. Garland Science Taylor and Paris Group. London and New York.
Cheong, C and Choi, J.H. 2012. Dendritic Cells and Regulatory T Cells in Atherosclerosis. Mol. Cells . Vol.34:341-347
Drake et al.: Dendritic cell nediated inhibition of lentiviral infection. Retrovirology 2012 9(Suppl 2):P178.
Hoebe, K. Jansen, E and Beutler, B. 2004. The Interface Betwen Innate and Adaptive Immunity. Natur Immunologi Vol.5(10): 971-974
11
Hladik, F. Sakchalathorn, P. and McElrath, J.M. Front-line Defenders. Tersedia di: http://www.cell.com/cell_picture_show-immunology [Diakses tanggal 12 Desember 2012].
Hughes, T. and Upham, J. W. 2006. Dendritic cells. Dalam Geoffrey J. Laurent and Steven D. Shapiro (Ed.), Encyclopedia of Respiratory Medicine (pp. 10-15) Oxford: Elsevier Academic Press.
Kapsenberg, M.L. 2003.Dendritic Cell: Control of Pathogen Driven T-Cell Polarization. Nature Reviews Immunology. Vol.3:984-993.
Malissen, B, Reinherz, E. Stanfield, R and Wilson, I. 2012. Chapter 3: The Induced Responses of Innate Immunity, pp:97-147. Dalam K. Murphy (ed). Janeway’s Immunobiology 8TH Edition. Garland Science Taylor and Paris Group. London and New York.
McInturff, J.E. Modlin, R.L. and Kim, J. 2005.The Role of Toll-like Receptors in the Pathogenesis and Treatment of Dermatological Disease. The Journal of Invetigative Dermatology. Vol.125: 1-7
Moreau, A. Varey, E. Bouchet-Delbos, and Cuturi, M.CCell therapy using tolerogenic dendritic cells in Transplantation. Transplantation Research 2012, 1:13
Orbea, H.A. Godrick, E. & McKay D. 2012. Chapter 1: Basic Concept in immunology, pp: 23-40. Dalam K. Murphy (ed). Janeway’s Immunobiology 8TH Edition. Garland Science Taylor and Paris Group. London and New York.
Playfair, J.H.L and Chain, B.M. 2009. Immunology at a Glance, Edition: 9 pp.80. Blackwell Scientific Publications. Oxford
Rifa’i, M. 2010. Perkembangan Sel T Regulator Periferal dan Mekanisme Supresi in vitro. J.Exp. Life Sci.Vol. 1(1): 43-47.
Steinman, R.M. 2007. Dendritic Cell: Versatile Controllers of The Immune System. Nature Medicene Vol. 3(10) :vii-xi
Schwartz. Potent Presenters. Tersedia di: http://www.cell.com/cell_picture_show-immunology [Diakses tanggal 12 Desember 2012].
Steinman, R.M. Hawiger, D and Nussenzwei, M.C. Tolerogenic Dendritic Cell. Annu. Rev. Immunol. 2003. Vol.21:685–711.
Wang, Q and Pang, S. 2008. An intercellular adhesion molecule-3 (ICAM-3) - grabbing nonintegrin (DC-SIGN) efficiently blocks HIV viral budding. The FASEB Journal. Vol.12
12
13