peran sektor perkebunan dalam pembangunan wilayah di ... · definisi pembangunan oleh para ahli...

30
II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Perwilayahan Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku mengenai wilayah belum ada kesepakatan di antara para ahli. Sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga, pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan. Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (subwilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Keragaman dalam mendefinisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif- politis dan wilayah perencanaan fungsional.

Upload: nguyenlien

Post on 17-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah dan Perwilayahan

Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku

mengenai wilayah belum ada kesepakatan di antara para ahli. Sebagian ahli

mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang

mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat

diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga,

pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain

seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan.

Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit

geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen

wilayah tersebut (subwilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan atau aspek fungsional. Keragaman dalam mendefinisikan

konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan

pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep wilayah

yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan

perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan

tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah

dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah

perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian

diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep

wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini

adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3)

wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region).

Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang

sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam

kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif-

politis dan wilayah perencanaan fungsional.

10

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada

kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,

sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen).

Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang

diidentifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor

perincinya yang menonjol di wilayah tersebut. Berbeda dengan konsep wilayah

homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua

komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Pengertian

wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah

suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang

memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan

tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih

subsistem, dan selanjutnya setiap subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih

kecil lagi. Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari

subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/bagian

tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/bagian lainnya, dan seterusnya.

Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/kelompok unsur penyusun serta

struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat dibagi

atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem); (2) sistem sosial; (3) sistem

ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem ekologi,

secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem, seperti

ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan sebagainya.

Sistem perwilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem

pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya. Di luar sistem perwilayahan

administratif, juga dikenal berbagai perwilayahan-perwilayahan

perencanaan/pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit

koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaian-

penyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita Daerah Aliran Sungai

(DAS), Free Trade Zone, dan lain-lain. Dari sudut pandang yang lain,

pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan

menghasilkan suatu perwilayahan. Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas

berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah

11

yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang

dihasilkan.

Perwilayahan tidak lain merupakan cara atau metode klasifikasi yang

berguna untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk di dalam menggambarkan

hubungan antara manusia dengan sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas

permukaan bumi. Keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-

sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas dunia

ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial.

Dengan demikian, klasifikasi spasial (perwilayahan) tidak lain merupakan alat

(tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik

fenomena yang ada atau singkatnya merupakan alat untuk “memotret” kehidupan

nyata yang beragam secara spasial. Sebagai alat deskripsi, konsep perwilayahan

merupakan bagian dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan

hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep

perwilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/pengelolaan (konsep non

alamiah). Perwilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai

tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan perwilayahan digunakan untuk penerapan

pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang

berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakterstik spasial.

2.2. Pembangunan Wilayah

Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun

secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan

perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004),

pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi

lebih baik. Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses

pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan

berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan

berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling

humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) menyatakan bahwa pembangunan harus

dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai

perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-

12

institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,

penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak terlepas dari

perencanaan, sehingga perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu

proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan

pada data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan

suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik

maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih

baik. Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan

unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan dilaksanakan, sehingga

Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan

wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk

melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu

komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu,

dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan

harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang

pada azas prioritas.

Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari

beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan

pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan

daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui

berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri dan jasa

yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah

sesuai dengan kondisi dan potensinya. Dari segi pembangunan wilayah, meliputi

perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari

wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha

untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah untuk makin

mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggungjawab.

Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu

pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang dan untuk

lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan

13

pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan

pelaksanaan program serta proyek secara efektif.

2.3. Kebocoran Wilayah (Regional Leakage)

Pembangunan yang dilaksanakan di suatu daerah pada dasarnya

ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region)

tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam

melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan

ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah.

Implikasinya bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread

effect maupun trackling down effect yang memihak kepada masyarakat.

Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat

eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang

memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar. Lebih

lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal

dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi penonton.

Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap pembangunan atau

tingkat pertumbuhan suatu wilayah sehingga kemampuan wilayah dalam

mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun setengah jadi

akan berbeda. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya

keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya

(forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya

dampak pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang

semestinya dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah

lain.

Menurut Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya

tingkat kebocoran wilayah antara lain :

1. Sifat Komoditas

Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources

mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi

apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan

tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai,

kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan

14

aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah

dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar

ditangkap wilayah lain.

2. Sifat Kelembagaan

Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan

(owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi.

Faktor pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam

penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering

terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara

Indonesia atau warga negara dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan

akan berbeda jika dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat.

Pada umumnya yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit

sedangkan yang berasal dari daerah setempat yang dipentingkan selain profit,

juga sosial budaya yang ada di daerah tersebut harus lebih terjamin

kelangsungannya. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi

impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen

permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah

digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input.

2.3.1. Isu-Isu Kebocoran Wilayah

Dalam bidang ekonomi regional, isu-isu tentang kebocoran wilayah

merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli

ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah

dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan

seperti Rustiadi et al. (2009) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin

besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya

ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan

yang perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan

pemerataan (equity) serta berkelanjutan (sustainability), terutama dalam memberi

panduan kepada alokasi sumber daya, baik pada tingkat nasional maupun regional

(Anwar, 2005). Maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat laju

pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan

15

bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan

dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita

(pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per

kapita dan/atau “kemajuan teknologi” sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi

bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam

dalam periode tertentu, dengan “nilai tambah” yang didistribusikan ke pemilik

sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan

masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah.

Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah

dan pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan

demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi

pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan

ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991), menjelaskan

bahwa dalam pembangunan ekonomi wilayah, multiplikasi pendapatan

merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah

sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi disuatu wilayah

akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi

maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep

diatas dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat

kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah.

Selain itu, Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan

suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta

dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama

ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah

dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran

rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya

kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah.

Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah.

Lingkaran perangkap kemiskinan suatu wilayah dapat semakin diperburuk

dengan adanya kebocoran modal keluar wilayah (regional leakages). Kebocoran

ini terjadi akibat adanya, international and interregional demonstration effect,

16

yakni sifat masyarakat tertinggal cenderung mencontoh pola konsumsi dikalangan

masyarakat modern. Wilayah-wilayah yang lebih maju memperkenalkan produk-

produk yang mutunya “lebih baik” sehingga wilayah-wilayah masyarakat

tradisional mengimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut. Akhirnya

sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi dengan membeli produk lokal tetapi justru bocor keluar

wilayah. Dengan demikian, wilayah yang sudah lebih dulu maju dan semakin

cepat perkembangan ekonominya, sedangkan wilayah yang terbelakang

perkembangannya tetap lamban bahkan cenderung menurun.

Kemudian Rustiadi et al. (2009) juga menjelaskan bahwa beberapa

kekuatan penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya

yakni : (a) wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang

“menghambat” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (back

wash effects); (b) Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan

yang “mendorong” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang

(spread effects). Selain itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan

daerah-daerah tertinggal berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti : (1)

aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) Aliran sumberdaya

manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial

(capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi, dan (5) Aliran kekuasaan

(power).

Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses”brain drain” dalam arti

mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual

desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia perdesaan akibat

mengalirnya sumber daya manusia berkualitas kekawasan perkotaan dari satu sisi

dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengelolaan yang menghasilkan nilai

tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumber daya manusia

yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke

perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasaan perdesaan menyebabkan

masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur

perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan dikawasan perdesaan

bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga

17

menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi

demikian berarti desa mengalami “kebocoran”.

Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang

menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena : (1) sifat

komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources

mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila

dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik

kualitas sumber daya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar

maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu

komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan diwilayah lain, sehingga

sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) sifat kelembagaan

yang menyangkut kepemilikan (owners). Dari berbagai isu dalam kebocoran

wilayah sehingga dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan isu

penting yang memiliki peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi disuatu

wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang

terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan bagi suatu wilayah yang

hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat kebocoran wilayah. Menurut

Rustiadi (2009), adanya usaha-usaha yang modalnya dimiliki oleh orang-orang

diluar wilayah mengakibatkan sebagian dari nilai tambah yang dihasilkan pada

akhirnya bocor mengalir keluar atau biasa disebut capital outflow. Sebaliknya,

modal yang masuk ke dalam wilayah (capital inflow), dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Adapun selisih dari aliran capital (net

capital inflow) di suatu wilayah dapat bernilai negatif atau positif, dimana

wilayah-wilayah yang mengalami net capital inflow yang negatif berarti

mengalami kebocoran wilayah (regional leakages).

2.4. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)

Suatu kerangka statistik (statistical framework) yang dapat

menggabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan sudah sejak lama

menjadi bahan pemikiran para ahli statistik dan perencana pembangunan.

Indikator-indikator atau ukuran-ukuran pembangunan yang selama ini tersedia,

seperti ukuran-ukuran produksi, pendapatan, pengeluaran, konsumsi, tersusun

18

secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Richard Stone dan kawan-kawan dari

Universitas Cambridge, Inggris merupakan salah satu perintis yang

mengusahakan penggabungan berbagai ukuran-ukuran ekonomi yang terpisah-

pisah tersebut ke dalam suatu neraca ekonomi nasional (national accounting

framework). Hasil karya Stone dan kawan-kawan tersebut kemudian

dipublikasikan oleh United Nations (1947) dengan judul Measurement of National

Income and Construction of Social Accounts (SNA),yang kemudian digunakan

sebagai referensi oleh banyak negara untuk melakukan kompilasi statistik

pendapatan nasional. Pada periode setelah perang dunia kedua, strategi

pertumbuhan ekonomi merupakan strategi yang banyak dirujuk oleh banyak

negara dalam melakukan pembangunan ekonomi. Target utama strategi

pertumbuhan ekonomi tersebut adalah peningkatan output sektor-sektor ekonomi

yang dominan sehingga dengan demikian pendapatan nasional negara

bersangkutan akan meningkat. Selanjutnya melalui proses penetasan ke bawah

(trickle down effect) hasil-hasil pembangunan yang diperoleh dengan strategi

pertumbuhan ekonomi kemudian diharapkan akan mengalir kepada masyarakat

sehingga kesejahteraan masyarakat secara umum menjadi meningkat.

Namun, pengalaman yang diperoleh oleh banyak negara yang

mengaplikasikan strategi pertumbuhan ekonomi adalah bahwa satu sisi strategi

pertumbuhan ekonomi memang meningkatkan pendapatan nasional, tetapi pada

sisi lain strategi pertumbuhan nasional memunculkan masalah lain yang cukup

serius, diantaranya adalah masalah ketidakmerataan pendapatan dan

pengangguran. Dari pengalaman tersebut, banyak negara mulai memperhatikan

masalah pemerataan pendapatan dan ketenagakerjaan dalam melaksanakan

pembangunan. Untuk dapat memantau masalah pemerataan pendapatan, banyak

konsepsi yang telah direkomendasikan oleh para ahli, diantaranya adalah

pengukuran ketidakmerataan pembangunan atau distribusi pendapatan dengan

menggunakan indeks Gini (Gini index), ukuran Bank Dunia, ataupun dengan

menggunakan kurva Lorenz. Sedangkan permasalahan pengangguran dipantau

dengan menggunakan ukuran unemployment rate, yaitu ukuran yang

membandingkan jumlah penduduk yang menganggur dengan mereka yang

bekerja.

19

Social Accounting Matrix (SAM) atau yang dikenal juga sebagai Sistem

Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan salah satu cara yang lain untuk

memantau masalah pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah

ketenagakerjaan di suatu wilayah baik negara ataupun bagian suatu negara

(propinsi, kabupaten). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam penelitian

ini digunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), dengan alasan : (1)

SNSE mampu menggambarkan secara komprehensif struktur perekonomian

daerah, keterkaitan di antara aktivitas produksi, konsumsi barang dan jasa,

tabungan dan investasi, perdagangan luar negeri, dan yang lebih lebih utama

distribusi pendapatan. Karena itu model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan

antara permintaan, produksi dan pendapatan dalam suatu perekonomian wilayah;

(2) SNSE memberikan suatu kerangka kerja yang dapat menyatukan dan

menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Hal ini menjadi sangat penting

mengingat data-data sosial ekonomi banyak dikeluarkan oleh instansi-instansi

yang berbeda dan disimpan dengan format yang berbeda pula; dan (3) Melalui

SNSE dapat dihitung multiplier perekonomian yang sangat berguna untuk

mengukur dampak dari pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis

pertanian terhadap produksi, distribusi pendapatan dan permintaan yang

menggambarkan struktur perekonomian secara menyeluruh (Daryanto et al.

2010).

2.4.1. SNSE Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010

Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah suatu sistem data

yang memuat data-data sosial dan ekonomi dalam sebuah perekonomian

(Thorbecke, 1988). Menurut Pyatt dan Round (1988), SNSE itu merupakan suatu

kerangka data yang bersifat keseimbangan umum (general equilibrium) yang

dapat menggambarkan perekonomian secara menyeluruh dan dapat

menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi dalam negara yang

bersangkutan. Sumber-sumber data untuk membuat SNSE adalah dari Tabel

Input Output (I-O), statistik pendapatan nasional, serta statistik pendapatan dan

pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu, SNSE kelihatan lebih lengkap

dibandingkan tabel input output dan statistik pendapatan nasional, dengan

menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu perekonomian. Tabel input-

20

output hanya merekam transaksi ekonomi tanpa menunjukkan latar belakang

sosial dari pelaku transaksi tersebut. Sementara SNSE berupaya melakukan

klasifikasi berbagai institusi berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi pada suatu

perekonomian atau aktivitas fungsional (Chowdhury dalam Daryanto 2010).

Sadoulet dan de Janvry (1995) juga mengatakan bahwa model SNSE ini

sesungguhnya merupakan perluasan dari model I-O. Dengan demikian ruang

lingkup pemotretannya jauh lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan model

I-O. Yang dipaparkan dalam model I-O hanyalah arus transaksi ekonomi dari

sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumah tangga, pemerintah,

perusahaan, dan luar negeri. Sedangkan dalam model SNSE hal tersebut di

disagregasi secara lebih rinci. Misalnya, rumah tangga dapat di disagregasi

berdasarkan tingkat pendapatan; atau kombinasi dari tingkat pendapatan dan

lokasi pemukiman, dan seterusnya, Disamping itu dalam model SNSE dapat

dimasukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti pajak, subsidi, modal dan

sebagainya, sehingga model SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi

makroekonomi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca.

Keunggulan lain dari model SNSE dibanding dengan model I-O adalah bahwa

model SNSE mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam

perekonomian.

Nilai Tambah Tabungan

Pajak

Konsumsi Penjualan Transfer Antara

Barang Jadi

Import eksport Transfer

Tarif

Pajak Tdk Langsung

Gambar 1. Arus Perputaran Pendapatan Ekonomi

Faktor

Pasar

Aktivitas -

aktivitas Rumah

Tangga

Sektor

Swasta Pemerintah Modal

Komoditas

Pasar

Transaksi

Luar Negeri

21

Perbedaan lain yang cukup mendasar adalah dalam SNSE aktivitas faktor-

faktor produksi, rumah tangga dan perusahaan ditempatkan sebagai variabel

endogen. Sehingga dampak dari suatu kegiatan ekonomi tidak terbatas pada

aktivitas produksi saja namun juga pada aktivitas faktor produksi, rumah tangga

dan perusahaan. Dalam Gambar 1. dapat kita lihat bagaimana sirkulasi

pendapatan yang terjadi dalam suatu perekonomian telah membentuk suatu

sistem. Dalam sistem ini, institusi rumah tangga menjadi fokus perhatian utama

karena menggambarkan berlangsungnya distribusi kesejahteraan rumah tangga

menurut karakteristik ekonomi rumah tangga, sosial, geografis maupun sifat-sifat

demografisnya. Sedangkan, faktor produksi tenaga kerja dan modal

menggambarkan distribusi pendapatan kepada buruh tani, pemilik tanah, pemilik

modal. Dan sektor produksi menggambarkan lapangan usaha penghasil barang

dan jasa yang menjadi sumber pendapatan. Dari gambar ini kelihatan jelas bahwa

sumber pendapatan bagi perusahaan dan rumah tangga (di luar transfer

pemerintah) pada intinya berasal dari dua pasar, yaitu pasar komoditas dan pasar

faktor produksi. Perusahaan memperoleh pendapatan dari pasar komoditas,

sedangkan rumah tangga dari pasar faktor. Sementara pemerintah memperoleh

pendapatannya dari pajak.

2.4.2. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Salah satu tujuan menyusun SNSE adalah memperluas gambaran sistem

pendapatan nasional atau System of National Account (SNA), melalui cara

penggabungan SNA dengan data distribusi pendapatan. Dalam pengertian in,

SNSE memberikan sebuah metode yang bisa mengubah SNA dari statistik

produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara demikian akhirnya SNSE itu

lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari kelompok-

kelompok sosial ekonomi yang berbeda (McGrath, 1987). Menurut Wagner

dalam Daryanto (2010), ada tiga keuntungan menggunakan model SNSE dalam

suatu perencanaan ekonomi. Pertama, SNSE mampu menggambarkan struktur

perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan,

konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri.

Ini berarti model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan antara permintaan,

produksi, dan pendapatan di dalam suatu kawasan perekonomian. Kedua, SNSE

22

dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan

seluruh data perekonomian wilayah. Ketiga, dengan SNSE dapat dapat dihitung

multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari

suatu aktivitas terhadap produksi, distribusi pendapatan, dan permintaan yang

menggambarkan struktur perekonomian. Sementara BPS (2003) mengemukakan

bahwa perangkat SNSE dapat digunakan sebagai data sosial ekonomi yang

menjelaskan mengenai :

1. Kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, seperti distribusi Produk

Domestik Bruto (PDB), konsumsi, tabungan dan sebagainya.

2. Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci

menurut faktor-faktor produksi diantaranya tenaga kerja dan modal.

3. Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan

rumah tangga.

4. Pola pengeluaran rumah tangga

5. Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha dimana mereka

bekerja, termasuk distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh

sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi.

Di samping itu, SNSE juga merupakan suatu sistem kerangka data yang

dapat digunakan sebagai dasar pembuatan suatu model ekonomi dan juga sebagai

dasar analisis, baik untuk analisis parsial (partial equilibrium) maupun analisis

keseimbangan umum (general equilibrium) dalam melakukan analisis kebijakan.

SNSE pada dasarnya merupakan sebuah matrik berbentuk bujursangkar yang

menggambarkan arus moneter dari berbagai transaksi ekonomi. Dimana

kolomnya menjelaskan pengeluaran (expenditure), sedangkan baris menunjukkan

penerimaan (receipt). Salah satu karakteristik yang fundamental dari SNSE

adalah kemampuannya untuk menyajikan secara komprehensif dan konsisten

mengenai hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi dan faktor-

faktor, serta institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumah tangga dan swasta.

Ada enam tipe neraca dalam sebuah matrik SNSE yang lengkap yaitu, (1)

aktivitas, (2) komoditas (commodities), (3) faktor-faktor produksi (tenaga kerja

dan modal), (4) institusi domestik yang terdiri dari rumah tangga (household),

perusahaan (firms), pemerintah (government), (5) modal, dan (6) rest of the world

23

(Sadoulet dan de Janvry, 1995; Thiele dan Piazolo, 2002), lihat Tabel 6. Lima

neraca pertama dikelompokkan sebagai neraca endogen, sedangkan neraca

keenam menjadi neraca eksogen yang dapat mempengaruhi besar kecilnya

perubahan neraca endogen ketika dilakukan injeksi pada neraca tersebut.

Kerangka dasar SNSE Indonesia memiliki 4 neraca utama, yaitu: (1) neraca faktor

produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca eksogen

yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (ROW) (Daryanto, 2001).

Masing-masing neraca tersebut menempati lajur baris dan kolom. Perpotongan

antara suatu neraca dengan neraca lainnya memberikan arti tersendiri, perhatikan

Tabel 6.

Neraca faktor-faktor produksi, termasuk didalamnya adalah tenaga kerja

dan modal. Dibaca secara baris, neraca ini memperlihatkan penerimaan-

penerimaan yang berasal dari upah dan sewa, selain itu juga menggambarkan

pendapatan remitance dan pendapatan modal. Sedangkan secara kolom

menunjukkan adanya revenue yang didistribusikan ke rumah tangga sebagai

pendapatan tenaga kerja, distribusi ke perusahaan dan keuntungan yang bukan

dari perusahaan, serta keuntungan perusahaan setelah dikurangi pembayaran

pemerintah. Neraca institusi mencakup rumah tangga, perusahaan dan

pemerintahan. Dalam hal ini rumah tangga akan didisagregasi kedalam

kelompok-kelompok sosial ekonomi yang saling berbeda tingkatannya.

Penerimaan rumah tangga antara lain datang dari pendapatan faktor-faktor

produksi, berbagai macam bentuk transfer seperti transfer pendapatan diantara

rumah tangga itu sendiri, transfer pendapatan dari pemerintah, dari perusahaan

(biasanya berupa asuransi), atau dari luar negeri. Sementara itu pengeluaran

rumah tangga ditunjukkan untuk konsumsi barang-barang dan pajak pendapatan,

serta sebagian dimasukkan untuk saving dalam neraca modal. Pada perusahaan,

penerimaannya berasal dari keuntungan yang diperoleh dan sebagian dari transfer,

sedangkan pengeluarannya kepada pembayaran pajak dan transfer. Untuk

pemerintah, pengeluarannya berupa subsidi, konsumsi barang dan jasa, transfer ke

rumah tangga dan perumahan. Sebagian juga berupa saving. Disisi lain

penerimaannya berasal dari pajak dan transfer pendapatan dari luar negeri.

24

Tabel 6. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi

PENDAPATAN

BELANJA

1 2 3 4 5 6 7

Aktivitas Komoditas Tenaga

Kerja Modal

Rumah

Tangga Swasta Pemerintah

Neraca

Modal

Transaksi

Luar Negeri Total

1. Aktivitas Penjualan

Domestik

Subsidi

Ekspor Ekspor Produksi

2. Komoditas Permintaan

antara

Konsumsi

Rumah

Tangga

Belanja

Pemerintah Investasi

Permintaan

Domestik

3. Faktor

Tenaga Kerja Upah Faktor

Pendapatan

dari Luar

PDB pada

faktor

pengeluaran Modal Rent

4. Institusi

Rumah Tangga

Pendapatan

Tenaga

Kerja

Keuntungan

yang

dibagikan

Transfer

Antar

Rumah

Tangga

Transfer Transfer

Pendapatan

Rumah

Tangga

Swasta

Keuntungan

yang tdk

dibagikan

Transfer Transfer Pendapatan

Swasta

Pemerintah Pajak Nilai

Tambah

Pajak Tarif

tdk

langsung

Pajak

jaminan

sosial

Pajak

keuntungan

Pajak

langsung Pajak

Pendapatan

Pemerintah

5. Neraca Modal

Tabungan

Rumah

Tangga

Tabungan

Swasta

Tabungan

Pemerintah

Transfer

Modal

Total

Tabungan

6. Transaksi

Luar Negeri Impor

Faktor

Pembayaran Impor

Total Produksi Persediaan

Domestik

Pengeluaran Faktor

Produksi

Pengeluaran

Rumah

Tangga

Pengeluaran

Swasta

Pengeluaran

Pemerintah

Total

Investasi

Pinjaman

Transaksi

Mata Uang

Asing

Sumber : Daryanto (2011)

24

25

Neraca aktivitas (activity) atau sektor produksi (production) merupakan

neraca yang menjelaskan transaksi pembelian bahan-bahan mentah, barang-

barang antara dan sewa untuk memproduksi suatu komoditas. Dibaca secara

kolom semua transaksi tersebut merupakan pengeluaran yang meliputi permintaan

antara, upah, sewa, dan value added dari pajak. Sedangkan pada baris semua

transaksi dianggap sebagai penerimaan yang meliputi penjualan domestik, subsidi

ekspor dan penerimaan. Neraca terakhir adalah neraca eksogen yang memuat

neraca modal, dan transaksi luar negeri atau rest of world. Dalam neraca modal,

dari sisi penerimaan (secara baris) berupa pemasukan dalam bentuk tabungan

rumah tangga, swasta dan pemerintah. Sementara dari sisi pengeluaran (secara

kolom), pada neraca komoditas berupa investasi. Transaksi antara domestik

dengan luar negeri, transfer pendapatan dari faktor-faktor produksi dan transfer ke

luar negeri. Jumlah pengeluaran dan penerimaan pada masing-masing neraca

haruslah sama. Hal ini menujukkan bahwa dalam tabel SNSE selalu terdapat

keseimbangan dari masing-masing neraca.

Tabel 7. Kerangka Dasar SNSE Indonesia

Pengeluaran

Penerimaan

Neraca Endogen Neraca

Eksogen Jumlah

Faktor Institusi Sektor

1 2 3 4 5

Ner

aca

En

dog

en

Faktor

Produksi 1

0 0 T13

Alokasi Nilai

Tambah ke Faktor

Produksi

X1

Pendapatan

Faktor Produksi dari

Luar Negeri

Y1

Distribusi

Pendapatan Faktorial

Institusi 2

T21

Alokasi pendapatan

faktor ke

institusi

T22

Transfer antar institusi

0 X2

Transfer dari luar negeri

Y2

Distribusi pendapatan

institusional

Sektor

Produksi 3

0 T32

Penerimaan

Domestik

T33

Penerimaan

antara

X3

Ekspor dan

Investasi

Y3

Total output

menurut sektor

produksi

Neraca Eksogen 4

L1

Alokasi

Pendapatan

faktor ke luar negeri

L2

Tabungan

pemerintah

swasta dan rumah tangga

L3

Impor dan

pajak tak

langsung

L4

Transfer

lainnya

Y4

Total

Penerimaan

Neraca lainnya

Jumlah 5

Y’1

Distribusi

pengeluaran faktor

Y’2

Distribusi

pengeluaran institusi

Y’3

Total Input Y’4

Total

Pengeluaran lainnya

Sumber : Sutomo (1995)

Penjelasan singkat mengenai arti kerangka SNSE sebagaimana disajikan

oleh Tabel 7. adalah sebagai berikut :

26

Baris 1 : Baris ini menjelaskan mengenai pendapatan yang diterima oleh

faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal, sebagai

akibat adanya proses ekonomi dalam suatu wilayah. Perpotongan

antara baris 1 dengan kolom 3 (T13), menunjukkan alokasi nilai

tambah (Produk Domestik Bruto atau PDB) kepada faktor-faktor

produksi. Sub-matrik ini disebut juga sub-matrik distribusi

pendapatan faktorial (factorial income distribution), yang

menjelaskan mengenai distribusi pendapatan yang diterima oleh

berbagai faktor produksi dari berbagai sektor produksi.

Perpotongan baris 1 dengan kolom 4 (T14) menjelaskan mengenai

pendapatan faktor produksi yang diterima dari luar negeri.

Baris 2 : Baris ini menjelaskan mengenai pendapatan berbagai institusi (salah

satunya adalah rumah tangga). Salah satu pendapatan rumah tangga

adalah yang berasal dari upah dan gaji serta pendapatan kapital

(seperti bunga, surplus usaha, sewa rumah). Upah dan gaji serta

pendapatan kapital merupakan pendapatan rumahtangga yang

berasal dari balas jasa terhadap faktor-faktor produksi tenaga kerja

dan kapital yang diberikan oleh rumahtangga. Hal ini telah

digambarkan oleh perpotongan antara baris 1 dengan kolom 3 (T13)

sebagaimana dijelaskan diatas. Pendapatan berupa upah dan gaji

serta pendapatan kapital tersebut kemudian dibawa kepada

rumahtangga dari mana faktor produksi tersebut berasal. Distribusi

upah dan gaji serta pendapatan kapital ini digambarkan oleh

perpotongan baris 2 dengan kolom 1 (T21). Dengan perkataan lain,

sub-matrik ini merupakan mapping dari sub-matrik pendapatan

faktor-faktor produksi (upah dan gaji serta pendapatan kapital)

kepada berbagai golongan rumahtangga. Perpotongan antara baris 2

dengan kolom 2 (T22) dan dengan kolom 4 (X2) masing-masing

menjelaskan transfer yang diterima oleh institusi (seperti

rumahtangga) dari institusi lain dan dari luar negeri. Penjumlahan

semua pendapatan pada baris 2 (Y2) menjelaskan total pendapatan

yang diterima oleh rumahtangga. Pada tingkat rumahtangga

27

(sebagai bagian dari institusi), sub-matrik ini juga disebut sebagai

sub-matrik distribusi pendapatan rumahtangga.

Baris 3 : Baris ini menjelaskan, antara lain, mengenai penerimaan berbagai

sektor sebagai akibat dari penjualan barang dan jasa yang dihasilkan

kepada konsumen. Penerimaan ini dapat berasal dari: a. hasil

penjualan barang dan jasa kepada konsumen akhir di dalam negeri

(digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 2

(T32)); b. hasil dari penjualan barang dan jasa sebagai input antara

(intermediate inputs) di dalam negeri yang akan diolah kembali

untuk menghasilkan barang dan jasa lainnya (digambarkan oleh

perpotongan antara baris 3 dengan kolom 3 (T33)); dan c. hasil

penjualan barang dan jasa ke luar negeri atau ekspor atau pun

penggunaan barang yang dihasilkan sebagai barang modal

(digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 4

(X3)). Penjumlahan seluruh sub-matrik ini menunjukkan total

output yang dihasilkan oleh suatu wilayah (Y3)

Baris 4 : Perpotongan baris 4 dengan kolom-kolom 1, 2, 3, dan 4

menunjukkan bermacam-macam pengertian. Hal ini disebabkan

karena neraca lainnya (baris 4) merupakan neraca gabungan yang

sebenarnya dapat dirinci sesuai dengan kebutuhan. Pada kerangka

SNSE Kabupaten Musi Rawas neraca ini dibagi atas 3 bagian yaitu

pertama adalah neraca kapital, kedua adalah neraca pajak tidak

langsung neto dan ketiga adalah neraca luar negeri.

Untuk membangun sebuah struktur SNSE banyak dibutuhkan data. Secara

umum data-data tersebut dapat diperoleh dari Biro Pusat Statistik masing-masing

negara. Kemudian, untuk melakukan disagregasi pada setiap neraca yang berbeda

kita membutuhkan tiga kumpulan data. Pertama, neraca aktivitas dan komoditas,

biasanya dapat diambil dari tabel transaksi Input-Output. Kedua, disagregasi

value added dari pendapatan tenaga kerja dan keuntungan perusahaan, yang

diperoleh melalui survey tenaga kerja dan keuntungan perusahaan, yang diperoleh

melalui survey tenaga kerja dan sensus sektoral. Paling sulit disini adalah

sewaktu mengukur sektor-sektor aktivitas yang informal, namun sebenarnya dapat

28

diidentifikasikan melalui survei industri. Dan terakhir, ketiga, penentuan

pendapatan dan pengeluaran institusi perusahaan dan rumah tangga. Hal ini

merupakan pekerjaan yang paling sulit juga sewaktu membentuk struktur SNSE.

Dari sisi pengeluaran kita bisa mendapatkannya melalui survei konsumsi yang

ada, pajak yang tersedia pada anggaran belanja negara. Akan tetapi untuk

penerimaan, harus melakukan survei rumah tangga. Jika hal ini tidak tersedia,

maka dapat dikompromikan dengan menggunakan data-data survei pengeluaran

keluarga, atau distribusi pendapatan penduduk kota dan perdesaan, atau dari

sterdapat dalam neraca nasional. Transfer antar pemerintah dan perusahaan,

tersedia di statistik pemerintahan (Sadoulet dan de Janvry, 1995).

2.4.3. Metode Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi

SNSE merupakan sebuah matrik yang merangkum sosial ekonomi secara

menyeluruh. Neraca-neraca tersebut di kelompokan menjadi dua bagian yaitu

kelompok neraca-neraca endogen dan kelompok-kelompok neraca eksogen.

Secara garis besar kelompok neraca-neraca endogen di bagi kedalam tiga blok,

yaitu : (1) blok neraca faktor produksi; (2) blok neraca institusi, dan (3) blok

neraca aktivitas (kegiatan produksi). Ketiga blok tersebut selanjutnya disebut

sebagai blok faktor produksi, blok institusi dan blok kegiatan produksi.

Tabel 8. Metode Model Analisis SNSE

PENGELUARAN

Neraca Endogen

Faktor

Produksi Institusi Kegiatan

Neraca

Eksogen Total

PE

NE

RIM

AA

N

Neraca

Endogen

Faktor

Produksi 0 0 T13 T14 Y1

Institusi T21 T22 0 T24 Y2

Kegiatan

Produksi 0 T32 T33 T34 Y3

Neraca Eksogen T41 T42 T43 T44 Y4

Total Y1 Y2 Y3 Y4

Pada Tabel 8. diatas pada sub matrik T13 menunjukkan alokasi nilai

tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi ke faktor-faktor produksi

sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, seperti upah

dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi tenaga kerja. Sub

29

matrik T21 menunjukan alokasi pendapatan faktor produksi ke berbagai institusi,

umumnya terdiri dari rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Dengan kata

lain, matrik ini merupakan matrik yang merekam distribusi pendapatan dari faktor

produksi ke berbagai institusi.

Sub matrik T22 menunjukan transfer pembayaran antar institusi. Misalnya

pemberiaan subsidi dari pemerintah kepada rumah tangga, perusahaan kepada

rumah tangga, atau pembayaran transfer dari rumah tangga ke rumah tangga. Sub

matrik T32 menujukan permintaan terhadap barang dan jasa oleh institusi, sub

matrik tersebut menujukan uang yang dibayarkan pihak institusi ke sektor

produksi untuk membeli barang dan jasa yang dikonsumsi. Submatrik T33

menujukan permintaan barang dan jasa antara industri atau transaksi antar sektor

produksi. Selain submatrik-submatrik tersebut, SNSE juga mencatat submatrik

transaksi transaksi ekonomi di sektor perbankan dan transaksi ekonomi dengan

pihak luar wilayah.

Dalam menggunakan SNSE, perhitungan matrik pengganda (analisis

multiplier) dan dekomposisi matrik pengganda merupakan suatu metode atau

langkah penting yang akan digunakan. Dengan mendapatkan matrik pengganda

dari SNSE maka dapat dilihat dampak dari suatu kebijaksanaan terhadap berbagai

sektor didalam suatu perekonomian, termasuk didalamnya dampak suatu

kebijaksanaan terhadap distribusi pendapatan. Dekomposisi matrik pengganda

tersebut dilakukan untuk memperjelas proses penggandaan dalam suatu

perekonomian, dengan kata lain dekomposisi matrik pengganda dapat

menunjukan tahapan dampak yang terjadi akibat penerapan sebuah kebijaksanaan

terhadap berbagai sektor disuatu perekonomian. Matrik dekomposisi pengganda

dibagi menjadi tiga yaitu matrik pengganda transfer, matrik pengganda open loop,

dan matrik pengganda closed loop, serta sering juga digunakan matrik pengganda

neraca, yang dapat menjelaskan dampak yang terjadi pada neraca endogen akibat

perubahan neraca eksogen.

Analisis Pengganda (Multiplier)

Untuk melakukan analisis pengganda (multiplier), digunakan analisis

pengganda neraca (accounting multiplier) dan pengganda harga tetap (fixed price

multiplier). Analisis accounting multiplier, merupakan analisis yang sama dengan

30

pengganda untuk Matrik Leontief dalam analisis Input-Output. Sedangkan

analisis fixed price multiplier berbeda dengan accounting multiplier,

perbedaannya terletak pada respons rumah tangga terhadap perubahan dalam

neraca eksogen dengan memperhitungkan kecenderungan pengeluaran

(expenditure propensity). Pyatt dan Round (1985) dalam Rustiadi (2009),

melakukan dekomposisi terhadap pengganda neraca dengan formula sebagai

berikut :

Ma = M3.M2.M1

dimana :

M1 = Pengganda transfer, menunjukan pengaruh dari satu blok pada dirinya

sendiri.

M2 = Pengganda open loop atau cross-effect, yang merupakan pengaruh dari

suatu blok ke blok yang lain. Karena injeksi pada salah satu sektor dalam

sebuah blok tertentu akan berpengaruh terhadap sektor lain diblok yang

lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang tersebut.

M3 = Adalah pengganda closed loop, merupakan pengaruh dari suatu blok

yang lain, untuk kemudian kembali pada blok semula.

Matrik pengganda neraca menunjukkan perubahan neraca endogen sebesar

Ma sebagai akibat dari adanya perubahan neraca eksogen sebesar 1 unit, misal

kenaikan permintaan sektor padi untuk diekspor ke luar negeri. Model pengganda

neraca dapat didekati dengan pendekatan rata-rata dengan pendekatan rata-rata

(average) dan pendekatan marjinal (marginal).

a. Pendekatan rata-rata:

Average expenditure propensity (Matrik A)

T =

3332

2221

13

0

0

00

AA

AA

A

Dimana Aij = TijY-1 dan Y-1 adalah matrik diagonal dari nilai-nilai jumlah

kolom. Matrik ini menunjukan pengaruh langsung dari perubahan yang terjadi

pada sebuah sektor terhadap sektor lain, seperti :

Y = AY+X,

31

atau,

Y=(I-A)-1

X

Jika Ma = (I-A)-1

X, maka Y=Ma.X Ma, biasa disebut sebagai pengganda

neraca (accounting multiplier), yang merupakan pengganda dan menunjukan

pengaruh perubahan pada sebuah sektor terhadap sektor lainnya setelah melalui

keseluruhan sistem SNSE.

b. Pendekatan Marjinal

Marginal Expenditure Propensity dapat didekati dengan menggunakan

Matrik C, seperti:

C =

3332

2221

13

0

0

00

CC

CC

C

Sehingga diperoleh formula:

dY = C dY + dX

dY = (I-C)-1 dX

dY = Mc dX

c. Hubungan Matrik C dan Matrik A

Mc disebut sebagai pengganda harga tetap (fixed price multiplier) atau

dapat dirumuskan dengan : cij= ijaij

dimana;

ij = elastisitas pengeluaran sektor j untuk sektor i

cij = elemen matrik C

dY = elemen matrik A

Dekomposisi Pengganda Neraca

Dekompisisi pengganda neraca dilakukan untuk memperlihatkan

tahap/proses perubahan neraca endogen yang diakibatkan oleh perubahan neraca

eksogen secara jelas. Proses perubahan tersebut melalui:

32

a. Pengganda Transfer (Transfer Multiplier)

Menggambarkan dampak yang terjadi di dalam set neraca itu sendiri

sebagai akibat adanya injeksi terhadap salah satu sektor dalam set neraca tersebut.

Misalnya kenaikan permintaan terhadap padi akan menyebabkan kenaikan output

sektor padi itu sendiri serta output sektor-sektor produksi lainnya. Kenaikan

output sektor padi itu sendiri dan output sektor-sektor lainnya tersebut merupakan

hasil dari adanya pengganda transfer yang bekerja di dalam set neraca produksi.

Ma1 adalah pengganda transfer yang menunjukan pengaruh dari satu blok pada

diri sendiri.

Ma1 = (1-A0)-1

dimana :

A0 = Adalah matrik diagonal dari matrik A, yaitu

A0

=

33

22

00

00

000

22

A

A

Sehingga matrik pengganda transfer (Ma1) dalam bentuk matrik dapat

dinyatakan sebagai berikut :

A0

= 1

23

1

22

)1(00

0)1(0

000

A

A

Dengan adanya pengganda transfer (Ma1) maka dapat diketahui pengaruh

injeksi pada suatu sektor terhadap sektor lain dalam satu blok yang sama, setelah

melalui keseluruhan sistem didalam blok tersebut berpengaruh kepada blok lain.

Dalam matrik Ma1 diatas dapat diketahui besarnya pengganda pada masing-

masing blok. Pada blok kegiatan produksi misalnya, besarnya pengganda transfer

adalah (1-A33)-1

. Ini berarti bahwa setiap injeksi pada salah satu sektor produksi

akan berpengaruh pada sektor produksi yang lain sebesar injeksi tersebut, yang

dikalikan dengan (I-A33)-1

tidak lain adalah Matrik Kebalikan Leontief.

Pada blok institusi, besarnya pengganda transfer adalah (I-A22)-1

. Ini

berarti setiap injeksi pada salah satu institusi akan berpengaruh pada institusi yang

lain sebesar injeksi tersebut, dikalikan dengan (I-A22)-1

. Sedangkan pada blok

faktor produksi, besarnya, besarnya pengganda transfer adalah i. Hal tersebut

33

berarti bahwa injeksi pada salah satu faktor produksi hanya akan berpengaruh

terhadap faktor produksi yang diinjeksi tersebut, tidak terhadap faktor produksi

lain. Misalnya dilakukan injeksi terhadap tenaga kerja pertanian penerima upah

dan gaji diperdesaan sebesar Rp.100, maka yang bertambah hanyalah penerimaan

bagi tenaga kerja penerima upah dan gaji di perdesaan itu sendiri, sebesar Rp.100.

Sedangkan faktor produksi yang lain tidak mengalami perubahan.

b. Pengganda Open Loop

Menggambarkan dampak yang terjadi pada suatu set neraca sebagai akibat

adanya perubahan pada salah satu sektor dalam set neraca lain. Misalnya kenaikan

permintaan padi akan menyebabkan kenaikan permintaan terhadap tenaga kerja.

Di sini terlihat bahwa perubahan pada neraca sektor padi yang berada dalam set

neraca produksi, menyebabkan perubahan pada set neraca sektor tenaga kerja

yang berada dalam set neraca lain, yaitu neraca faktor produksi. Perubahan ini

terjadi berkat adanya pengganda open loop. Ma2 adalah pengganda open loop atau

cross-effect, yang merupakan pengaruh dari satu blok ke blok yang lain. Injeksi

pada salah satu sektor dalam sebuah blok tertentu akan berpengaruh terhadap

sektor lain di blok yang lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang

lain. Matrik tersebut didefinisikan sebagai berikut :

Ma2 = (1-A*+A*2

)

atau,

A* = Ma2 = Ma1

33

22

00

00

000

22

A

A

c. Pengganda Closed Loop

Menggambarkan dampak yang terjadi pada suatu set neraca yang

diakibatkan oleh adanya perubahan pada set neraca lain, dimana perubahan pada

set neraca lain tersebut sebelumnya merupakan dampak pada perubahan pada set

neraca yang pertama, sehingga dampak ini merupakan dampak yang kembali pada

set neraca semula. Misalnya, kenaikan permintaan sektor padi (set neraca

produksi), mengakibatkan kenaikan sektor output padi (set neraca produksi),

selanjutnya menaikkan permintaan sektor tenaga kerja (set neraca faktor

34

produksi), sehingga pendapatan tenaga kerja (set neraca institusi meningkat), dan

berikutnya konsumsi rumah tangga akan naik pula yang akan diikuti dengan

meningkatnya permintaan akan padi (set neraca produksi). Ma3 adalah pengganda

closed loop, menggambarkan pengaruh dari suatu blok ke blok yang lain, yang

kemudian kembali pada blok semula. Matrik pengganda tersebut didefinisikan

sebagai berikut :

Ma3 = (1-A*3)-1

dimana :

Ma3 merupakan matrik diagonal, dengan diagonal utamanya secara

berurutan dari kiri atas ke kanan bawah berisi (1-A*13A*32A*A*21)-1

,

(1-A*21A*13A*32)-1

dan (1-A*32A*21A*13)-1

. Artinya injeksi pada salah satu faktor

produksi akan berpengaruh pada sektor-sektor lain pada blok institusi, kemudian

berpengaruh pada blok kegiatan produksi, dan akhirnya berpengaruh kembali

kepada sektor-sektor dalam blok faktor produksi. Demikian pula dengan blok

institusi dan kegiatan produksi. Injeksi pada salah satu sektor dalam blok institusi

pada akhirnya akan berpengaruh closed loop pada sektor-sektor dalam blok

institusi itu sendiri, setelah berpengaruh pada blok kegiatan produksi dan faktor

produksi, dengan pengganda sebesar (1-A*21A*13A*32)-1

.

Distribusi Pendapatan Neraca Endogen

Pada distribusi pendapatan neraca endogen akan dianalisis jumlah

pendapatan seperti: jumlah pendapatan faktor produksi Y1=T13+X1, jumlah

pendapatan institusi Y2=T21+T22+X2, dan jumlah pendapatan kegiatan produksi

Y3=T32+T33+X3

Distribusi Pengeluaran Neraca Endogen

Pada distribusi pengeluaran neraca endogen akan dianalisis jumlah

pengeluaran seperti jumlah faktor produksi Y1’+T21+L1, jumlah pengeluaran

institusi Y2’=T22+T32+L2, dan jumlah pengeluaran kegiatan produksi,

Y3’=T13+T33+L3, dengan, Matrik T ;

35

T =

3332

2221

13

0

0

00

TT

TT

T

Analisis Jalur Struktural (Structural Path Analysis)

Menurut Defourny dan Thorbecke (1988) dalam Hafizrianda (2010)

metode dekomposisi yang konvensional tidak mampu untuk menguraikan

multiplier ke dalam transaksi komponennya atau untuk mengidentifikasi transaksi

dengan menyertakan suatu keterkaitan secara berurutan. Dekomposisi multiplier

yang konvensional hanya mampu menguraikan pengaruh-pengaruh dalam dan

antara neraca endogen saja. Dalam structural path analysis (SPA) kita bisa

melacak interaksi dalam suatu perekonomian yang dimulai dari suatu sektor

tertentu dan berakhir pada sektor tertentu lainnya. Metode SPA mampu

menunjukkan bagaimana pengaruh transmisi dari satu sektor ke sektor yang

lainnya secara bersambungan dalam suatu gambar. Didalam SPA, masing-masing

elemen pada multiplier SNSE dapat didekomposisi kedalam pengaruh langsung,

total dan global. Jadi, pada dasarnya SPA itu adalah sebuah metode yang

dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh jaringan yang berisi jalur yang

menghubungkan pengaruh suatu sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem

sosial ekonomi. Pengaruh dari suatu sektor ke sektor lainnya tersebut dapat

melalui sebuah jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (circuit). Disebut jalur

dasar apabila jalur tersebut melalui sebuah sektor tidak lebih dari satu kali, seperti

terlihat pada Gambar 2. dibawah ini.

Gambar 2. Jalur Dasar dalam Analisis Jalur

Misalkan sektor i mempengaruhi sektor j. Pengaruh dari i ke j bisa terjadi

secara langsung, bisa pula terjadi melalui sektor-sektor lain, katakanlah x dan y.

Apabila dalam jalur i ke j tersebut i, x, y, dan j hanya dilalui satu kali maka hal

j

i j

y x

i

atau

36

seperti ini disebut sebagai jalur dasar. Ada kalanya suatu sektor, setelah

mempengaruhi sektor yang lain, pada akhirnya akan kembali lagi mempengaruhi

sektor itu sendiri. Misalkan pengaruh sektor i ke j di atas ternyata belum selesai.

Jika j mempengaruhi z, dan z mempengaruhi i, maka jalur dari i ke x ke y ke j ke

z dan kembali ke i disebut sirkuit. Dalam jalur ini setiap sektor dilalui hanya satu

kali, kecuali i. sektor i dilalui dua kali, yakni pada awal jalur dan pada akhir jalur,

lihat Gambar 3. dibawah ini.

Gambar 3. Sirkuit dalam Analisis Jalur

2.5. Analisis Kelembagaan

Analisis ini merupakan analisis yang dilakukan secara mikro, melalui

analisis ini akan dibahas bentuk-bentuk organisasi kelembagaan yang dapat

memberikan gambaran keadaan masyarakat, baik untuk mengetahui penyebab

rendahnya tingkat kesejahteraan yang disebabkan oleh tidak ada atau tidak

berfungsinya kelembagaan yang ada, juga sekaligus mengetahui model

kelembagaan apa yang paling cocok atau paling baik sebagai pemecahan

organisasi kelembagaan dalam upaya menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat

seperti peningkatan produktifitas tenaga kerja, pendapatan dan lainnya terutama

bagi masyarakat yang memiliki lahan. Untuk mengetahui bentuk organisasi

kelembagaan yang ada di lokasi penelitian, maka dilakukan :

(1) Analisis biaya-biaya transaksi, yaitu dengan menghitung

(mengkuantifikasikan) biaya-biaya transaksi dalam bentuk kerjasama atau

koordinasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pihak-pihak lainnya,

dari praproduksi sampai pada pemasaran hasil produksinya.

(2) Untuk lebih mempertegas analisis kelembagaan ini, kemudian akan dilakukan

pula analisis dari interaksi masyarakat dalam sistem kelembagaan tersebut,

x y

z

j

i

37

yang mana dalam hal ini dilakukan untuk melihat apakah model lahan

komunal (milik masyarakat secara bersama) merupakan model yang sesuai

untuk mengembangkan pengelolaan lahan yang didasarkan pada pelibatan

masyarakat dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan

keberlanjutan manfaatnya. Untuk itu digunakan pendekatan analisis

deskriptif (description analysis) yaitu dengan menelaah hubungan-hubungan

yang saling berkaitan dengan sistem kelembagaan, yang dilihat dengan

ukuran pendapatan masyarakat, produktifitas lahan, penilaian masyarakat

pada bentuk pengelolaan yang dilakukan, dan partisipasi mereka dalam pola

yang dikembangkan tersebut.

Kemudian untuk mengetahui bentuk dan pola aktivitas pengelolaan lahan

masyarakat, dalam hal ini dilakukan :

(1) Analisis secara deskriptif (descriptive analysis), untuk melihat usaha tani

yang dilakukan di lokasi penelitian dan bagaimana pola pengusahaannya.

(2) Untuk mengetahui informasi tentang peran serta (partisipasi) masyarakat

lokal, dilakukan pengukuran secara deskriptif kualitatif. Caranya adalah

dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung ke lapangan.

2.6. Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian mengenai pembangunan wilayah dengan

menggunakan analisis SNSE dan peran komoditas perkebunan terhadap

pembangunan wilayah telah banyak dilakukan dan menunjukkan hasil bahwa

pengembangan komoditas perkebunan memberikan efek multiplier kepada

perekonomian wilayah. Penelitian yang dilaksanakan oleh Sutomo (1995)

mengenai kemiskinan rumahtangga dan pembangunan ekonomi wilayah di

Provinsi Riau dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggunakan alat

analisis SNSE menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita rumah tangga

di Provinsi Riau tahun 1990 lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi NTT,

selain itu distribusi pendapatan kedua provinsi dalam keadaan yang sangat tidak

merata. Untuk kemiskinan di wilayah Provinsi NTT banyak disebabkan

miskinnya wilayah bersangkutan sehingga menjadi terbatas dalam melakukan

kegiatan ekonominya, sedangkan untuk kemiskinan di Provinsi Riau ditinjau dari

38

sisi wilayahnya kemiskinan disebabkan karena adanya kebocoran regional. Selain

itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Hadi (2001) yang menggunakan alat

analisis SNSE mengenai kebijaksanaan pembangunan di Indonesia Bagian Barat

dan Indonesia Bagian Timur menunjukkan bahwa sektor ekonomi di Indonesia

bagian Timur mempunyai ketergantungan lebih besar terhadap sektor ekonomi di

Indonesia Bagian Barat.

Hasil penelitian dari Hafizrianda (2007) di Provinsi Papua mengenai

dampak pembangunan sektor pertanian terhadap distribusi pendapatan dan

perekonomian regional dengan menggunakan metode SNSE menemukan bahwa

pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi

pendapatan di Propinsi Papua karena dari sebagian besar kebijakan pertanian yang

disimulasikan mencakup kebijakan dalam bidang investasi dan ekspor, hasilnya

dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dalam perekonomian Papua.

Selanjutnya Model SNSE digunakan oleh Aris (2011) untuk meneliti dampak

pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap kemiskinan dan perekonomian

di Kabupaten Indragiri Hilir menemukan bahwa sektor kelapa memberikan

kontribusi yang besar terhadap pembentukan output, PDRB dan penyerapan

tenaga kerja, dengan kontribusi sebesar 13,44 persen terhadap output total

wilayah, sebesar 17,86 persen terhadap PDRB total wilayah dan sebesar 27,92

persen terhadap serapan tenaga kerja total wilayah.

Selain itu, penelitian oleh Ramdani (2003), bahwa analisis Input-Output

sektor tanaman perkebunan di Kabupaten Musi Rawas belum jenuh, yang

tercermin dari nilai output multiplier sektor perkebunan sebesar 1,63 dan nilai

pengganda pendapatan sebesar 1,32. Hal ini juga menunjukkan bahwa produk

tanaman perkebunan sudah sebagian besar diolah sebelum dipasarkan sehingga

meningkatkan nilai tambah produk sektor ini. Penelitian yang dilakukan oleh

Lestari (2010) mengenai strategi pengembangan komoditas perkebunan di

Kabupaten Musi Rawas dengan menggunakan pendekatan tipologi Klassen

menemukan bahwa yang termasuk komoditas prima adalah kelapa sawit;

komoditas potensial adalah karet; komoditas berkembang terdiri dari kopi, kelapa,

pinang, aren, tebu, kakao, kemiri; komoditas terbelakang adalah kayu manis.