9
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Wilayah dan Perwilayahan
Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku
mengenai wilayah belum ada kesepakatan di antara para ahli. Sebagian ahli
mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang
mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat
diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga,
pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain
seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan.
Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen
wilayah tersebut (subwilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Keragaman dalam mendefinisikan
konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan
pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep wilayah
yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan
perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan
tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah
dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah
perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian
diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep
wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini
adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3)
wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region).
Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang
sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam
kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif-
politis dan wilayah perencanaan fungsional.
10
Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada
kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen).
Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang
diidentifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor
perincinya yang menonjol di wilayah tersebut. Berbeda dengan konsep wilayah
homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua
komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Pengertian
wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah
suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang
memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan
tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih
subsistem, dan selanjutnya setiap subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih
kecil lagi. Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari
subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/bagian
tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/bagian lainnya, dan seterusnya.
Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/kelompok unsur penyusun serta
struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat dibagi
atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem); (2) sistem sosial; (3) sistem
ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem ekologi,
secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem, seperti
ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan sebagainya.
Sistem perwilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem
pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya. Di luar sistem perwilayahan
administratif, juga dikenal berbagai perwilayahan-perwilayahan
perencanaan/pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit
koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaian-
penyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita Daerah Aliran Sungai
(DAS), Free Trade Zone, dan lain-lain. Dari sudut pandang yang lain,
pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan
menghasilkan suatu perwilayahan. Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas
berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah
11
yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang
dihasilkan.
Perwilayahan tidak lain merupakan cara atau metode klasifikasi yang
berguna untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk di dalam menggambarkan
hubungan antara manusia dengan sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas
permukaan bumi. Keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-
sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas dunia
ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial.
Dengan demikian, klasifikasi spasial (perwilayahan) tidak lain merupakan alat
(tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik
fenomena yang ada atau singkatnya merupakan alat untuk “memotret” kehidupan
nyata yang beragam secara spasial. Sebagai alat deskripsi, konsep perwilayahan
merupakan bagian dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan
hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep
perwilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/pengelolaan (konsep non
alamiah). Perwilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai
tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan perwilayahan digunakan untuk penerapan
pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakterstik spasial.
2.2. Pembangunan Wilayah
Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun
secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan
perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004),
pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi
lebih baik. Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses
pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan
berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan
berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling
humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) menyatakan bahwa pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai
perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-
12
institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak terlepas dari
perencanaan, sehingga perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu
proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan
pada data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan
suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik
maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih
baik. Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan
unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan dilaksanakan, sehingga
Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan
wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk
melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu
komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu,
dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan
harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang
pada azas prioritas.
Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan
pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan
daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui
berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri dan jasa
yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah
sesuai dengan kondisi dan potensinya. Dari segi pembangunan wilayah, meliputi
perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari
wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha
untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah untuk makin
mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggungjawab.
Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu
pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang dan untuk
lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan
13
pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan
pelaksanaan program serta proyek secara efektif.
2.3. Kebocoran Wilayah (Regional Leakage)
Pembangunan yang dilaksanakan di suatu daerah pada dasarnya
ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region)
tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam
melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan
ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah.
Implikasinya bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread
effect maupun trackling down effect yang memihak kepada masyarakat.
Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat
eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang
memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar. Lebih
lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal
dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi penonton.
Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap pembangunan atau
tingkat pertumbuhan suatu wilayah sehingga kemampuan wilayah dalam
mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun setengah jadi
akan berbeda. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya
keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya
(forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya
dampak pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang
semestinya dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah
lain.
Menurut Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya
tingkat kebocoran wilayah antara lain :
1. Sifat Komoditas
Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources
mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi
apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan
tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai,
kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan
14
aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah
dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar
ditangkap wilayah lain.
2. Sifat Kelembagaan
Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan
(owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi.
Faktor pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam
penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering
terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara
Indonesia atau warga negara dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan
akan berbeda jika dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat.
Pada umumnya yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit
sedangkan yang berasal dari daerah setempat yang dipentingkan selain profit,
juga sosial budaya yang ada di daerah tersebut harus lebih terjamin
kelangsungannya. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi
impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen
permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah
digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input.
2.3.1. Isu-Isu Kebocoran Wilayah
Dalam bidang ekonomi regional, isu-isu tentang kebocoran wilayah
merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli
ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah
dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan
seperti Rustiadi et al. (2009) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin
besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya
ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan
yang perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan
pemerataan (equity) serta berkelanjutan (sustainability), terutama dalam memberi
panduan kepada alokasi sumber daya, baik pada tingkat nasional maupun regional
(Anwar, 2005). Maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat laju
pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan
15
bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan
dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita
(pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per
kapita dan/atau “kemajuan teknologi” sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi
bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam
dalam periode tertentu, dengan “nilai tambah” yang didistribusikan ke pemilik
sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan
masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah.
Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah
dan pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan
demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi
pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan
ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991), menjelaskan
bahwa dalam pembangunan ekonomi wilayah, multiplikasi pendapatan
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah
sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi disuatu wilayah
akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi
maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep
diatas dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat
kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah.
Selain itu, Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan
suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta
dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama
ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah
dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya
kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah.
Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah.
Lingkaran perangkap kemiskinan suatu wilayah dapat semakin diperburuk
dengan adanya kebocoran modal keluar wilayah (regional leakages). Kebocoran
ini terjadi akibat adanya, international and interregional demonstration effect,
16
yakni sifat masyarakat tertinggal cenderung mencontoh pola konsumsi dikalangan
masyarakat modern. Wilayah-wilayah yang lebih maju memperkenalkan produk-
produk yang mutunya “lebih baik” sehingga wilayah-wilayah masyarakat
tradisional mengimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut. Akhirnya
sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan membeli produk lokal tetapi justru bocor keluar
wilayah. Dengan demikian, wilayah yang sudah lebih dulu maju dan semakin
cepat perkembangan ekonominya, sedangkan wilayah yang terbelakang
perkembangannya tetap lamban bahkan cenderung menurun.
Kemudian Rustiadi et al. (2009) juga menjelaskan bahwa beberapa
kekuatan penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya
yakni : (a) wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang
“menghambat” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (back
wash effects); (b) Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan
yang “mendorong” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang
(spread effects). Selain itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan
daerah-daerah tertinggal berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti : (1)
aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) Aliran sumberdaya
manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial
(capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi, dan (5) Aliran kekuasaan
(power).
Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses”brain drain” dalam arti
mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual
desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia perdesaan akibat
mengalirnya sumber daya manusia berkualitas kekawasan perkotaan dari satu sisi
dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengelolaan yang menghasilkan nilai
tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumber daya manusia
yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke
perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasaan perdesaan menyebabkan
masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur
perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan dikawasan perdesaan
bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga
17
menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi
demikian berarti desa mengalami “kebocoran”.
Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena : (1) sifat
komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources
mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila
dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik
kualitas sumber daya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar
maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu
komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan diwilayah lain, sehingga
sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) sifat kelembagaan
yang menyangkut kepemilikan (owners). Dari berbagai isu dalam kebocoran
wilayah sehingga dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan isu
penting yang memiliki peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi disuatu
wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang
terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan bagi suatu wilayah yang
hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat kebocoran wilayah. Menurut
Rustiadi (2009), adanya usaha-usaha yang modalnya dimiliki oleh orang-orang
diluar wilayah mengakibatkan sebagian dari nilai tambah yang dihasilkan pada
akhirnya bocor mengalir keluar atau biasa disebut capital outflow. Sebaliknya,
modal yang masuk ke dalam wilayah (capital inflow), dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Adapun selisih dari aliran capital (net
capital inflow) di suatu wilayah dapat bernilai negatif atau positif, dimana
wilayah-wilayah yang mengalami net capital inflow yang negatif berarti
mengalami kebocoran wilayah (regional leakages).
2.4. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)
Suatu kerangka statistik (statistical framework) yang dapat
menggabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan sudah sejak lama
menjadi bahan pemikiran para ahli statistik dan perencana pembangunan.
Indikator-indikator atau ukuran-ukuran pembangunan yang selama ini tersedia,
seperti ukuran-ukuran produksi, pendapatan, pengeluaran, konsumsi, tersusun
18
secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Richard Stone dan kawan-kawan dari
Universitas Cambridge, Inggris merupakan salah satu perintis yang
mengusahakan penggabungan berbagai ukuran-ukuran ekonomi yang terpisah-
pisah tersebut ke dalam suatu neraca ekonomi nasional (national accounting
framework). Hasil karya Stone dan kawan-kawan tersebut kemudian
dipublikasikan oleh United Nations (1947) dengan judul Measurement of National
Income and Construction of Social Accounts (SNA),yang kemudian digunakan
sebagai referensi oleh banyak negara untuk melakukan kompilasi statistik
pendapatan nasional. Pada periode setelah perang dunia kedua, strategi
pertumbuhan ekonomi merupakan strategi yang banyak dirujuk oleh banyak
negara dalam melakukan pembangunan ekonomi. Target utama strategi
pertumbuhan ekonomi tersebut adalah peningkatan output sektor-sektor ekonomi
yang dominan sehingga dengan demikian pendapatan nasional negara
bersangkutan akan meningkat. Selanjutnya melalui proses penetasan ke bawah
(trickle down effect) hasil-hasil pembangunan yang diperoleh dengan strategi
pertumbuhan ekonomi kemudian diharapkan akan mengalir kepada masyarakat
sehingga kesejahteraan masyarakat secara umum menjadi meningkat.
Namun, pengalaman yang diperoleh oleh banyak negara yang
mengaplikasikan strategi pertumbuhan ekonomi adalah bahwa satu sisi strategi
pertumbuhan ekonomi memang meningkatkan pendapatan nasional, tetapi pada
sisi lain strategi pertumbuhan nasional memunculkan masalah lain yang cukup
serius, diantaranya adalah masalah ketidakmerataan pendapatan dan
pengangguran. Dari pengalaman tersebut, banyak negara mulai memperhatikan
masalah pemerataan pendapatan dan ketenagakerjaan dalam melaksanakan
pembangunan. Untuk dapat memantau masalah pemerataan pendapatan, banyak
konsepsi yang telah direkomendasikan oleh para ahli, diantaranya adalah
pengukuran ketidakmerataan pembangunan atau distribusi pendapatan dengan
menggunakan indeks Gini (Gini index), ukuran Bank Dunia, ataupun dengan
menggunakan kurva Lorenz. Sedangkan permasalahan pengangguran dipantau
dengan menggunakan ukuran unemployment rate, yaitu ukuran yang
membandingkan jumlah penduduk yang menganggur dengan mereka yang
bekerja.
19
Social Accounting Matrix (SAM) atau yang dikenal juga sebagai Sistem
Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan salah satu cara yang lain untuk
memantau masalah pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah
ketenagakerjaan di suatu wilayah baik negara ataupun bagian suatu negara
(propinsi, kabupaten). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam penelitian
ini digunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), dengan alasan : (1)
SNSE mampu menggambarkan secara komprehensif struktur perekonomian
daerah, keterkaitan di antara aktivitas produksi, konsumsi barang dan jasa,
tabungan dan investasi, perdagangan luar negeri, dan yang lebih lebih utama
distribusi pendapatan. Karena itu model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan
antara permintaan, produksi dan pendapatan dalam suatu perekonomian wilayah;
(2) SNSE memberikan suatu kerangka kerja yang dapat menyatukan dan
menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Hal ini menjadi sangat penting
mengingat data-data sosial ekonomi banyak dikeluarkan oleh instansi-instansi
yang berbeda dan disimpan dengan format yang berbeda pula; dan (3) Melalui
SNSE dapat dihitung multiplier perekonomian yang sangat berguna untuk
mengukur dampak dari pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis
pertanian terhadap produksi, distribusi pendapatan dan permintaan yang
menggambarkan struktur perekonomian secara menyeluruh (Daryanto et al.
2010).
2.4.1. SNSE Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010
Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah suatu sistem data
yang memuat data-data sosial dan ekonomi dalam sebuah perekonomian
(Thorbecke, 1988). Menurut Pyatt dan Round (1988), SNSE itu merupakan suatu
kerangka data yang bersifat keseimbangan umum (general equilibrium) yang
dapat menggambarkan perekonomian secara menyeluruh dan dapat
menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi dalam negara yang
bersangkutan. Sumber-sumber data untuk membuat SNSE adalah dari Tabel
Input Output (I-O), statistik pendapatan nasional, serta statistik pendapatan dan
pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu, SNSE kelihatan lebih lengkap
dibandingkan tabel input output dan statistik pendapatan nasional, dengan
menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu perekonomian. Tabel input-
20
output hanya merekam transaksi ekonomi tanpa menunjukkan latar belakang
sosial dari pelaku transaksi tersebut. Sementara SNSE berupaya melakukan
klasifikasi berbagai institusi berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi pada suatu
perekonomian atau aktivitas fungsional (Chowdhury dalam Daryanto 2010).
Sadoulet dan de Janvry (1995) juga mengatakan bahwa model SNSE ini
sesungguhnya merupakan perluasan dari model I-O. Dengan demikian ruang
lingkup pemotretannya jauh lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan model
I-O. Yang dipaparkan dalam model I-O hanyalah arus transaksi ekonomi dari
sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumah tangga, pemerintah,
perusahaan, dan luar negeri. Sedangkan dalam model SNSE hal tersebut di
disagregasi secara lebih rinci. Misalnya, rumah tangga dapat di disagregasi
berdasarkan tingkat pendapatan; atau kombinasi dari tingkat pendapatan dan
lokasi pemukiman, dan seterusnya, Disamping itu dalam model SNSE dapat
dimasukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti pajak, subsidi, modal dan
sebagainya, sehingga model SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi
makroekonomi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca.
Keunggulan lain dari model SNSE dibanding dengan model I-O adalah bahwa
model SNSE mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam
perekonomian.
Nilai Tambah Tabungan
Pajak
Konsumsi Penjualan Transfer Antara
Barang Jadi
Import eksport Transfer
Tarif
Pajak Tdk Langsung
Gambar 1. Arus Perputaran Pendapatan Ekonomi
Faktor
Pasar
Aktivitas -
aktivitas Rumah
Tangga
Sektor
Swasta Pemerintah Modal
Komoditas
Pasar
Transaksi
Luar Negeri
21
Perbedaan lain yang cukup mendasar adalah dalam SNSE aktivitas faktor-
faktor produksi, rumah tangga dan perusahaan ditempatkan sebagai variabel
endogen. Sehingga dampak dari suatu kegiatan ekonomi tidak terbatas pada
aktivitas produksi saja namun juga pada aktivitas faktor produksi, rumah tangga
dan perusahaan. Dalam Gambar 1. dapat kita lihat bagaimana sirkulasi
pendapatan yang terjadi dalam suatu perekonomian telah membentuk suatu
sistem. Dalam sistem ini, institusi rumah tangga menjadi fokus perhatian utama
karena menggambarkan berlangsungnya distribusi kesejahteraan rumah tangga
menurut karakteristik ekonomi rumah tangga, sosial, geografis maupun sifat-sifat
demografisnya. Sedangkan, faktor produksi tenaga kerja dan modal
menggambarkan distribusi pendapatan kepada buruh tani, pemilik tanah, pemilik
modal. Dan sektor produksi menggambarkan lapangan usaha penghasil barang
dan jasa yang menjadi sumber pendapatan. Dari gambar ini kelihatan jelas bahwa
sumber pendapatan bagi perusahaan dan rumah tangga (di luar transfer
pemerintah) pada intinya berasal dari dua pasar, yaitu pasar komoditas dan pasar
faktor produksi. Perusahaan memperoleh pendapatan dari pasar komoditas,
sedangkan rumah tangga dari pasar faktor. Sementara pemerintah memperoleh
pendapatannya dari pajak.
2.4.2. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Salah satu tujuan menyusun SNSE adalah memperluas gambaran sistem
pendapatan nasional atau System of National Account (SNA), melalui cara
penggabungan SNA dengan data distribusi pendapatan. Dalam pengertian in,
SNSE memberikan sebuah metode yang bisa mengubah SNA dari statistik
produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara demikian akhirnya SNSE itu
lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari kelompok-
kelompok sosial ekonomi yang berbeda (McGrath, 1987). Menurut Wagner
dalam Daryanto (2010), ada tiga keuntungan menggunakan model SNSE dalam
suatu perencanaan ekonomi. Pertama, SNSE mampu menggambarkan struktur
perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan,
konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri.
Ini berarti model SNSE dapat menjelaskan keterkaitan antara permintaan,
produksi, dan pendapatan di dalam suatu kawasan perekonomian. Kedua, SNSE
22
dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan
seluruh data perekonomian wilayah. Ketiga, dengan SNSE dapat dapat dihitung
multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari
suatu aktivitas terhadap produksi, distribusi pendapatan, dan permintaan yang
menggambarkan struktur perekonomian. Sementara BPS (2003) mengemukakan
bahwa perangkat SNSE dapat digunakan sebagai data sosial ekonomi yang
menjelaskan mengenai :
1. Kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, seperti distribusi Produk
Domestik Bruto (PDB), konsumsi, tabungan dan sebagainya.
2. Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci
menurut faktor-faktor produksi diantaranya tenaga kerja dan modal.
3. Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan
rumah tangga.
4. Pola pengeluaran rumah tangga
5. Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha dimana mereka
bekerja, termasuk distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh
sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi.
Di samping itu, SNSE juga merupakan suatu sistem kerangka data yang
dapat digunakan sebagai dasar pembuatan suatu model ekonomi dan juga sebagai
dasar analisis, baik untuk analisis parsial (partial equilibrium) maupun analisis
keseimbangan umum (general equilibrium) dalam melakukan analisis kebijakan.
SNSE pada dasarnya merupakan sebuah matrik berbentuk bujursangkar yang
menggambarkan arus moneter dari berbagai transaksi ekonomi. Dimana
kolomnya menjelaskan pengeluaran (expenditure), sedangkan baris menunjukkan
penerimaan (receipt). Salah satu karakteristik yang fundamental dari SNSE
adalah kemampuannya untuk menyajikan secara komprehensif dan konsisten
mengenai hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi dan faktor-
faktor, serta institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumah tangga dan swasta.
Ada enam tipe neraca dalam sebuah matrik SNSE yang lengkap yaitu, (1)
aktivitas, (2) komoditas (commodities), (3) faktor-faktor produksi (tenaga kerja
dan modal), (4) institusi domestik yang terdiri dari rumah tangga (household),
perusahaan (firms), pemerintah (government), (5) modal, dan (6) rest of the world
23
(Sadoulet dan de Janvry, 1995; Thiele dan Piazolo, 2002), lihat Tabel 6. Lima
neraca pertama dikelompokkan sebagai neraca endogen, sedangkan neraca
keenam menjadi neraca eksogen yang dapat mempengaruhi besar kecilnya
perubahan neraca endogen ketika dilakukan injeksi pada neraca tersebut.
Kerangka dasar SNSE Indonesia memiliki 4 neraca utama, yaitu: (1) neraca faktor
produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca eksogen
yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (ROW) (Daryanto, 2001).
Masing-masing neraca tersebut menempati lajur baris dan kolom. Perpotongan
antara suatu neraca dengan neraca lainnya memberikan arti tersendiri, perhatikan
Tabel 6.
Neraca faktor-faktor produksi, termasuk didalamnya adalah tenaga kerja
dan modal. Dibaca secara baris, neraca ini memperlihatkan penerimaan-
penerimaan yang berasal dari upah dan sewa, selain itu juga menggambarkan
pendapatan remitance dan pendapatan modal. Sedangkan secara kolom
menunjukkan adanya revenue yang didistribusikan ke rumah tangga sebagai
pendapatan tenaga kerja, distribusi ke perusahaan dan keuntungan yang bukan
dari perusahaan, serta keuntungan perusahaan setelah dikurangi pembayaran
pemerintah. Neraca institusi mencakup rumah tangga, perusahaan dan
pemerintahan. Dalam hal ini rumah tangga akan didisagregasi kedalam
kelompok-kelompok sosial ekonomi yang saling berbeda tingkatannya.
Penerimaan rumah tangga antara lain datang dari pendapatan faktor-faktor
produksi, berbagai macam bentuk transfer seperti transfer pendapatan diantara
rumah tangga itu sendiri, transfer pendapatan dari pemerintah, dari perusahaan
(biasanya berupa asuransi), atau dari luar negeri. Sementara itu pengeluaran
rumah tangga ditunjukkan untuk konsumsi barang-barang dan pajak pendapatan,
serta sebagian dimasukkan untuk saving dalam neraca modal. Pada perusahaan,
penerimaannya berasal dari keuntungan yang diperoleh dan sebagian dari transfer,
sedangkan pengeluarannya kepada pembayaran pajak dan transfer. Untuk
pemerintah, pengeluarannya berupa subsidi, konsumsi barang dan jasa, transfer ke
rumah tangga dan perumahan. Sebagian juga berupa saving. Disisi lain
penerimaannya berasal dari pajak dan transfer pendapatan dari luar negeri.
24
Tabel 6. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi
PENDAPATAN
BELANJA
1 2 3 4 5 6 7
Aktivitas Komoditas Tenaga
Kerja Modal
Rumah
Tangga Swasta Pemerintah
Neraca
Modal
Transaksi
Luar Negeri Total
1. Aktivitas Penjualan
Domestik
Subsidi
Ekspor Ekspor Produksi
2. Komoditas Permintaan
antara
Konsumsi
Rumah
Tangga
Belanja
Pemerintah Investasi
Permintaan
Domestik
3. Faktor
Tenaga Kerja Upah Faktor
Pendapatan
dari Luar
PDB pada
faktor
pengeluaran Modal Rent
4. Institusi
Rumah Tangga
Pendapatan
Tenaga
Kerja
Keuntungan
yang
dibagikan
Transfer
Antar
Rumah
Tangga
Transfer Transfer
Pendapatan
Rumah
Tangga
Swasta
Keuntungan
yang tdk
dibagikan
Transfer Transfer Pendapatan
Swasta
Pemerintah Pajak Nilai
Tambah
Pajak Tarif
tdk
langsung
Pajak
jaminan
sosial
Pajak
keuntungan
Pajak
langsung Pajak
Pendapatan
Pemerintah
5. Neraca Modal
Tabungan
Rumah
Tangga
Tabungan
Swasta
Tabungan
Pemerintah
Transfer
Modal
Total
Tabungan
6. Transaksi
Luar Negeri Impor
Faktor
Pembayaran Impor
Total Produksi Persediaan
Domestik
Pengeluaran Faktor
Produksi
Pengeluaran
Rumah
Tangga
Pengeluaran
Swasta
Pengeluaran
Pemerintah
Total
Investasi
Pinjaman
Transaksi
Mata Uang
Asing
Sumber : Daryanto (2011)
24
25
Neraca aktivitas (activity) atau sektor produksi (production) merupakan
neraca yang menjelaskan transaksi pembelian bahan-bahan mentah, barang-
barang antara dan sewa untuk memproduksi suatu komoditas. Dibaca secara
kolom semua transaksi tersebut merupakan pengeluaran yang meliputi permintaan
antara, upah, sewa, dan value added dari pajak. Sedangkan pada baris semua
transaksi dianggap sebagai penerimaan yang meliputi penjualan domestik, subsidi
ekspor dan penerimaan. Neraca terakhir adalah neraca eksogen yang memuat
neraca modal, dan transaksi luar negeri atau rest of world. Dalam neraca modal,
dari sisi penerimaan (secara baris) berupa pemasukan dalam bentuk tabungan
rumah tangga, swasta dan pemerintah. Sementara dari sisi pengeluaran (secara
kolom), pada neraca komoditas berupa investasi. Transaksi antara domestik
dengan luar negeri, transfer pendapatan dari faktor-faktor produksi dan transfer ke
luar negeri. Jumlah pengeluaran dan penerimaan pada masing-masing neraca
haruslah sama. Hal ini menujukkan bahwa dalam tabel SNSE selalu terdapat
keseimbangan dari masing-masing neraca.
Tabel 7. Kerangka Dasar SNSE Indonesia
Pengeluaran
Penerimaan
Neraca Endogen Neraca
Eksogen Jumlah
Faktor Institusi Sektor
1 2 3 4 5
Ner
aca
En
dog
en
Faktor
Produksi 1
0 0 T13
Alokasi Nilai
Tambah ke Faktor
Produksi
X1
Pendapatan
Faktor Produksi dari
Luar Negeri
Y1
Distribusi
Pendapatan Faktorial
Institusi 2
T21
Alokasi pendapatan
faktor ke
institusi
T22
Transfer antar institusi
0 X2
Transfer dari luar negeri
Y2
Distribusi pendapatan
institusional
Sektor
Produksi 3
0 T32
Penerimaan
Domestik
T33
Penerimaan
antara
X3
Ekspor dan
Investasi
Y3
Total output
menurut sektor
produksi
Neraca Eksogen 4
L1
Alokasi
Pendapatan
faktor ke luar negeri
L2
Tabungan
pemerintah
swasta dan rumah tangga
L3
Impor dan
pajak tak
langsung
L4
Transfer
lainnya
Y4
Total
Penerimaan
Neraca lainnya
Jumlah 5
Y’1
Distribusi
pengeluaran faktor
Y’2
Distribusi
pengeluaran institusi
Y’3
Total Input Y’4
Total
Pengeluaran lainnya
Sumber : Sutomo (1995)
Penjelasan singkat mengenai arti kerangka SNSE sebagaimana disajikan
oleh Tabel 7. adalah sebagai berikut :
26
Baris 1 : Baris ini menjelaskan mengenai pendapatan yang diterima oleh
faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal, sebagai
akibat adanya proses ekonomi dalam suatu wilayah. Perpotongan
antara baris 1 dengan kolom 3 (T13), menunjukkan alokasi nilai
tambah (Produk Domestik Bruto atau PDB) kepada faktor-faktor
produksi. Sub-matrik ini disebut juga sub-matrik distribusi
pendapatan faktorial (factorial income distribution), yang
menjelaskan mengenai distribusi pendapatan yang diterima oleh
berbagai faktor produksi dari berbagai sektor produksi.
Perpotongan baris 1 dengan kolom 4 (T14) menjelaskan mengenai
pendapatan faktor produksi yang diterima dari luar negeri.
Baris 2 : Baris ini menjelaskan mengenai pendapatan berbagai institusi (salah
satunya adalah rumah tangga). Salah satu pendapatan rumah tangga
adalah yang berasal dari upah dan gaji serta pendapatan kapital
(seperti bunga, surplus usaha, sewa rumah). Upah dan gaji serta
pendapatan kapital merupakan pendapatan rumahtangga yang
berasal dari balas jasa terhadap faktor-faktor produksi tenaga kerja
dan kapital yang diberikan oleh rumahtangga. Hal ini telah
digambarkan oleh perpotongan antara baris 1 dengan kolom 3 (T13)
sebagaimana dijelaskan diatas. Pendapatan berupa upah dan gaji
serta pendapatan kapital tersebut kemudian dibawa kepada
rumahtangga dari mana faktor produksi tersebut berasal. Distribusi
upah dan gaji serta pendapatan kapital ini digambarkan oleh
perpotongan baris 2 dengan kolom 1 (T21). Dengan perkataan lain,
sub-matrik ini merupakan mapping dari sub-matrik pendapatan
faktor-faktor produksi (upah dan gaji serta pendapatan kapital)
kepada berbagai golongan rumahtangga. Perpotongan antara baris 2
dengan kolom 2 (T22) dan dengan kolom 4 (X2) masing-masing
menjelaskan transfer yang diterima oleh institusi (seperti
rumahtangga) dari institusi lain dan dari luar negeri. Penjumlahan
semua pendapatan pada baris 2 (Y2) menjelaskan total pendapatan
yang diterima oleh rumahtangga. Pada tingkat rumahtangga
27
(sebagai bagian dari institusi), sub-matrik ini juga disebut sebagai
sub-matrik distribusi pendapatan rumahtangga.
Baris 3 : Baris ini menjelaskan, antara lain, mengenai penerimaan berbagai
sektor sebagai akibat dari penjualan barang dan jasa yang dihasilkan
kepada konsumen. Penerimaan ini dapat berasal dari: a. hasil
penjualan barang dan jasa kepada konsumen akhir di dalam negeri
(digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 2
(T32)); b. hasil dari penjualan barang dan jasa sebagai input antara
(intermediate inputs) di dalam negeri yang akan diolah kembali
untuk menghasilkan barang dan jasa lainnya (digambarkan oleh
perpotongan antara baris 3 dengan kolom 3 (T33)); dan c. hasil
penjualan barang dan jasa ke luar negeri atau ekspor atau pun
penggunaan barang yang dihasilkan sebagai barang modal
(digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 4
(X3)). Penjumlahan seluruh sub-matrik ini menunjukkan total
output yang dihasilkan oleh suatu wilayah (Y3)
Baris 4 : Perpotongan baris 4 dengan kolom-kolom 1, 2, 3, dan 4
menunjukkan bermacam-macam pengertian. Hal ini disebabkan
karena neraca lainnya (baris 4) merupakan neraca gabungan yang
sebenarnya dapat dirinci sesuai dengan kebutuhan. Pada kerangka
SNSE Kabupaten Musi Rawas neraca ini dibagi atas 3 bagian yaitu
pertama adalah neraca kapital, kedua adalah neraca pajak tidak
langsung neto dan ketiga adalah neraca luar negeri.
Untuk membangun sebuah struktur SNSE banyak dibutuhkan data. Secara
umum data-data tersebut dapat diperoleh dari Biro Pusat Statistik masing-masing
negara. Kemudian, untuk melakukan disagregasi pada setiap neraca yang berbeda
kita membutuhkan tiga kumpulan data. Pertama, neraca aktivitas dan komoditas,
biasanya dapat diambil dari tabel transaksi Input-Output. Kedua, disagregasi
value added dari pendapatan tenaga kerja dan keuntungan perusahaan, yang
diperoleh melalui survey tenaga kerja dan keuntungan perusahaan, yang diperoleh
melalui survey tenaga kerja dan sensus sektoral. Paling sulit disini adalah
sewaktu mengukur sektor-sektor aktivitas yang informal, namun sebenarnya dapat
28
diidentifikasikan melalui survei industri. Dan terakhir, ketiga, penentuan
pendapatan dan pengeluaran institusi perusahaan dan rumah tangga. Hal ini
merupakan pekerjaan yang paling sulit juga sewaktu membentuk struktur SNSE.
Dari sisi pengeluaran kita bisa mendapatkannya melalui survei konsumsi yang
ada, pajak yang tersedia pada anggaran belanja negara. Akan tetapi untuk
penerimaan, harus melakukan survei rumah tangga. Jika hal ini tidak tersedia,
maka dapat dikompromikan dengan menggunakan data-data survei pengeluaran
keluarga, atau distribusi pendapatan penduduk kota dan perdesaan, atau dari
sterdapat dalam neraca nasional. Transfer antar pemerintah dan perusahaan,
tersedia di statistik pemerintahan (Sadoulet dan de Janvry, 1995).
2.4.3. Metode Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
SNSE merupakan sebuah matrik yang merangkum sosial ekonomi secara
menyeluruh. Neraca-neraca tersebut di kelompokan menjadi dua bagian yaitu
kelompok neraca-neraca endogen dan kelompok-kelompok neraca eksogen.
Secara garis besar kelompok neraca-neraca endogen di bagi kedalam tiga blok,
yaitu : (1) blok neraca faktor produksi; (2) blok neraca institusi, dan (3) blok
neraca aktivitas (kegiatan produksi). Ketiga blok tersebut selanjutnya disebut
sebagai blok faktor produksi, blok institusi dan blok kegiatan produksi.
Tabel 8. Metode Model Analisis SNSE
PENGELUARAN
Neraca Endogen
Faktor
Produksi Institusi Kegiatan
Neraca
Eksogen Total
PE
NE
RIM
AA
N
Neraca
Endogen
Faktor
Produksi 0 0 T13 T14 Y1
Institusi T21 T22 0 T24 Y2
Kegiatan
Produksi 0 T32 T33 T34 Y3
Neraca Eksogen T41 T42 T43 T44 Y4
Total Y1 Y2 Y3 Y4
Pada Tabel 8. diatas pada sub matrik T13 menunjukkan alokasi nilai
tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi ke faktor-faktor produksi
sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, seperti upah
dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi tenaga kerja. Sub
29
matrik T21 menunjukan alokasi pendapatan faktor produksi ke berbagai institusi,
umumnya terdiri dari rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Dengan kata
lain, matrik ini merupakan matrik yang merekam distribusi pendapatan dari faktor
produksi ke berbagai institusi.
Sub matrik T22 menunjukan transfer pembayaran antar institusi. Misalnya
pemberiaan subsidi dari pemerintah kepada rumah tangga, perusahaan kepada
rumah tangga, atau pembayaran transfer dari rumah tangga ke rumah tangga. Sub
matrik T32 menujukan permintaan terhadap barang dan jasa oleh institusi, sub
matrik tersebut menujukan uang yang dibayarkan pihak institusi ke sektor
produksi untuk membeli barang dan jasa yang dikonsumsi. Submatrik T33
menujukan permintaan barang dan jasa antara industri atau transaksi antar sektor
produksi. Selain submatrik-submatrik tersebut, SNSE juga mencatat submatrik
transaksi transaksi ekonomi di sektor perbankan dan transaksi ekonomi dengan
pihak luar wilayah.
Dalam menggunakan SNSE, perhitungan matrik pengganda (analisis
multiplier) dan dekomposisi matrik pengganda merupakan suatu metode atau
langkah penting yang akan digunakan. Dengan mendapatkan matrik pengganda
dari SNSE maka dapat dilihat dampak dari suatu kebijaksanaan terhadap berbagai
sektor didalam suatu perekonomian, termasuk didalamnya dampak suatu
kebijaksanaan terhadap distribusi pendapatan. Dekomposisi matrik pengganda
tersebut dilakukan untuk memperjelas proses penggandaan dalam suatu
perekonomian, dengan kata lain dekomposisi matrik pengganda dapat
menunjukan tahapan dampak yang terjadi akibat penerapan sebuah kebijaksanaan
terhadap berbagai sektor disuatu perekonomian. Matrik dekomposisi pengganda
dibagi menjadi tiga yaitu matrik pengganda transfer, matrik pengganda open loop,
dan matrik pengganda closed loop, serta sering juga digunakan matrik pengganda
neraca, yang dapat menjelaskan dampak yang terjadi pada neraca endogen akibat
perubahan neraca eksogen.
Analisis Pengganda (Multiplier)
Untuk melakukan analisis pengganda (multiplier), digunakan analisis
pengganda neraca (accounting multiplier) dan pengganda harga tetap (fixed price
multiplier). Analisis accounting multiplier, merupakan analisis yang sama dengan
30
pengganda untuk Matrik Leontief dalam analisis Input-Output. Sedangkan
analisis fixed price multiplier berbeda dengan accounting multiplier,
perbedaannya terletak pada respons rumah tangga terhadap perubahan dalam
neraca eksogen dengan memperhitungkan kecenderungan pengeluaran
(expenditure propensity). Pyatt dan Round (1985) dalam Rustiadi (2009),
melakukan dekomposisi terhadap pengganda neraca dengan formula sebagai
berikut :
Ma = M3.M2.M1
dimana :
M1 = Pengganda transfer, menunjukan pengaruh dari satu blok pada dirinya
sendiri.
M2 = Pengganda open loop atau cross-effect, yang merupakan pengaruh dari
suatu blok ke blok yang lain. Karena injeksi pada salah satu sektor dalam
sebuah blok tertentu akan berpengaruh terhadap sektor lain diblok yang
lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang tersebut.
M3 = Adalah pengganda closed loop, merupakan pengaruh dari suatu blok
yang lain, untuk kemudian kembali pada blok semula.
Matrik pengganda neraca menunjukkan perubahan neraca endogen sebesar
Ma sebagai akibat dari adanya perubahan neraca eksogen sebesar 1 unit, misal
kenaikan permintaan sektor padi untuk diekspor ke luar negeri. Model pengganda
neraca dapat didekati dengan pendekatan rata-rata dengan pendekatan rata-rata
(average) dan pendekatan marjinal (marginal).
a. Pendekatan rata-rata:
Average expenditure propensity (Matrik A)
T =
3332
2221
13
0
0
00
AA
AA
A
Dimana Aij = TijY-1 dan Y-1 adalah matrik diagonal dari nilai-nilai jumlah
kolom. Matrik ini menunjukan pengaruh langsung dari perubahan yang terjadi
pada sebuah sektor terhadap sektor lain, seperti :
Y = AY+X,
31
atau,
Y=(I-A)-1
X
Jika Ma = (I-A)-1
X, maka Y=Ma.X Ma, biasa disebut sebagai pengganda
neraca (accounting multiplier), yang merupakan pengganda dan menunjukan
pengaruh perubahan pada sebuah sektor terhadap sektor lainnya setelah melalui
keseluruhan sistem SNSE.
b. Pendekatan Marjinal
Marginal Expenditure Propensity dapat didekati dengan menggunakan
Matrik C, seperti:
C =
3332
2221
13
0
0
00
CC
CC
C
Sehingga diperoleh formula:
dY = C dY + dX
dY = (I-C)-1 dX
dY = Mc dX
c. Hubungan Matrik C dan Matrik A
Mc disebut sebagai pengganda harga tetap (fixed price multiplier) atau
dapat dirumuskan dengan : cij= ijaij
dimana;
ij = elastisitas pengeluaran sektor j untuk sektor i
cij = elemen matrik C
dY = elemen matrik A
Dekomposisi Pengganda Neraca
Dekompisisi pengganda neraca dilakukan untuk memperlihatkan
tahap/proses perubahan neraca endogen yang diakibatkan oleh perubahan neraca
eksogen secara jelas. Proses perubahan tersebut melalui:
32
a. Pengganda Transfer (Transfer Multiplier)
Menggambarkan dampak yang terjadi di dalam set neraca itu sendiri
sebagai akibat adanya injeksi terhadap salah satu sektor dalam set neraca tersebut.
Misalnya kenaikan permintaan terhadap padi akan menyebabkan kenaikan output
sektor padi itu sendiri serta output sektor-sektor produksi lainnya. Kenaikan
output sektor padi itu sendiri dan output sektor-sektor lainnya tersebut merupakan
hasil dari adanya pengganda transfer yang bekerja di dalam set neraca produksi.
Ma1 adalah pengganda transfer yang menunjukan pengaruh dari satu blok pada
diri sendiri.
Ma1 = (1-A0)-1
dimana :
A0 = Adalah matrik diagonal dari matrik A, yaitu
A0
=
33
22
00
00
000
22
A
A
Sehingga matrik pengganda transfer (Ma1) dalam bentuk matrik dapat
dinyatakan sebagai berikut :
A0
= 1
23
1
22
)1(00
0)1(0
000
A
A
Dengan adanya pengganda transfer (Ma1) maka dapat diketahui pengaruh
injeksi pada suatu sektor terhadap sektor lain dalam satu blok yang sama, setelah
melalui keseluruhan sistem didalam blok tersebut berpengaruh kepada blok lain.
Dalam matrik Ma1 diatas dapat diketahui besarnya pengganda pada masing-
masing blok. Pada blok kegiatan produksi misalnya, besarnya pengganda transfer
adalah (1-A33)-1
. Ini berarti bahwa setiap injeksi pada salah satu sektor produksi
akan berpengaruh pada sektor produksi yang lain sebesar injeksi tersebut, yang
dikalikan dengan (I-A33)-1
tidak lain adalah Matrik Kebalikan Leontief.
Pada blok institusi, besarnya pengganda transfer adalah (I-A22)-1
. Ini
berarti setiap injeksi pada salah satu institusi akan berpengaruh pada institusi yang
lain sebesar injeksi tersebut, dikalikan dengan (I-A22)-1
. Sedangkan pada blok
faktor produksi, besarnya, besarnya pengganda transfer adalah i. Hal tersebut
33
berarti bahwa injeksi pada salah satu faktor produksi hanya akan berpengaruh
terhadap faktor produksi yang diinjeksi tersebut, tidak terhadap faktor produksi
lain. Misalnya dilakukan injeksi terhadap tenaga kerja pertanian penerima upah
dan gaji diperdesaan sebesar Rp.100, maka yang bertambah hanyalah penerimaan
bagi tenaga kerja penerima upah dan gaji di perdesaan itu sendiri, sebesar Rp.100.
Sedangkan faktor produksi yang lain tidak mengalami perubahan.
b. Pengganda Open Loop
Menggambarkan dampak yang terjadi pada suatu set neraca sebagai akibat
adanya perubahan pada salah satu sektor dalam set neraca lain. Misalnya kenaikan
permintaan padi akan menyebabkan kenaikan permintaan terhadap tenaga kerja.
Di sini terlihat bahwa perubahan pada neraca sektor padi yang berada dalam set
neraca produksi, menyebabkan perubahan pada set neraca sektor tenaga kerja
yang berada dalam set neraca lain, yaitu neraca faktor produksi. Perubahan ini
terjadi berkat adanya pengganda open loop. Ma2 adalah pengganda open loop atau
cross-effect, yang merupakan pengaruh dari satu blok ke blok yang lain. Injeksi
pada salah satu sektor dalam sebuah blok tertentu akan berpengaruh terhadap
sektor lain di blok yang lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang
lain. Matrik tersebut didefinisikan sebagai berikut :
Ma2 = (1-A*+A*2
)
atau,
A* = Ma2 = Ma1
33
22
00
00
000
22
A
A
c. Pengganda Closed Loop
Menggambarkan dampak yang terjadi pada suatu set neraca yang
diakibatkan oleh adanya perubahan pada set neraca lain, dimana perubahan pada
set neraca lain tersebut sebelumnya merupakan dampak pada perubahan pada set
neraca yang pertama, sehingga dampak ini merupakan dampak yang kembali pada
set neraca semula. Misalnya, kenaikan permintaan sektor padi (set neraca
produksi), mengakibatkan kenaikan sektor output padi (set neraca produksi),
selanjutnya menaikkan permintaan sektor tenaga kerja (set neraca faktor
34
produksi), sehingga pendapatan tenaga kerja (set neraca institusi meningkat), dan
berikutnya konsumsi rumah tangga akan naik pula yang akan diikuti dengan
meningkatnya permintaan akan padi (set neraca produksi). Ma3 adalah pengganda
closed loop, menggambarkan pengaruh dari suatu blok ke blok yang lain, yang
kemudian kembali pada blok semula. Matrik pengganda tersebut didefinisikan
sebagai berikut :
Ma3 = (1-A*3)-1
dimana :
Ma3 merupakan matrik diagonal, dengan diagonal utamanya secara
berurutan dari kiri atas ke kanan bawah berisi (1-A*13A*32A*A*21)-1
,
(1-A*21A*13A*32)-1
dan (1-A*32A*21A*13)-1
. Artinya injeksi pada salah satu faktor
produksi akan berpengaruh pada sektor-sektor lain pada blok institusi, kemudian
berpengaruh pada blok kegiatan produksi, dan akhirnya berpengaruh kembali
kepada sektor-sektor dalam blok faktor produksi. Demikian pula dengan blok
institusi dan kegiatan produksi. Injeksi pada salah satu sektor dalam blok institusi
pada akhirnya akan berpengaruh closed loop pada sektor-sektor dalam blok
institusi itu sendiri, setelah berpengaruh pada blok kegiatan produksi dan faktor
produksi, dengan pengganda sebesar (1-A*21A*13A*32)-1
.
Distribusi Pendapatan Neraca Endogen
Pada distribusi pendapatan neraca endogen akan dianalisis jumlah
pendapatan seperti: jumlah pendapatan faktor produksi Y1=T13+X1, jumlah
pendapatan institusi Y2=T21+T22+X2, dan jumlah pendapatan kegiatan produksi
Y3=T32+T33+X3
Distribusi Pengeluaran Neraca Endogen
Pada distribusi pengeluaran neraca endogen akan dianalisis jumlah
pengeluaran seperti jumlah faktor produksi Y1’+T21+L1, jumlah pengeluaran
institusi Y2’=T22+T32+L2, dan jumlah pengeluaran kegiatan produksi,
Y3’=T13+T33+L3, dengan, Matrik T ;
35
T =
3332
2221
13
0
0
00
TT
TT
T
Analisis Jalur Struktural (Structural Path Analysis)
Menurut Defourny dan Thorbecke (1988) dalam Hafizrianda (2010)
metode dekomposisi yang konvensional tidak mampu untuk menguraikan
multiplier ke dalam transaksi komponennya atau untuk mengidentifikasi transaksi
dengan menyertakan suatu keterkaitan secara berurutan. Dekomposisi multiplier
yang konvensional hanya mampu menguraikan pengaruh-pengaruh dalam dan
antara neraca endogen saja. Dalam structural path analysis (SPA) kita bisa
melacak interaksi dalam suatu perekonomian yang dimulai dari suatu sektor
tertentu dan berakhir pada sektor tertentu lainnya. Metode SPA mampu
menunjukkan bagaimana pengaruh transmisi dari satu sektor ke sektor yang
lainnya secara bersambungan dalam suatu gambar. Didalam SPA, masing-masing
elemen pada multiplier SNSE dapat didekomposisi kedalam pengaruh langsung,
total dan global. Jadi, pada dasarnya SPA itu adalah sebuah metode yang
dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh jaringan yang berisi jalur yang
menghubungkan pengaruh suatu sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem
sosial ekonomi. Pengaruh dari suatu sektor ke sektor lainnya tersebut dapat
melalui sebuah jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (circuit). Disebut jalur
dasar apabila jalur tersebut melalui sebuah sektor tidak lebih dari satu kali, seperti
terlihat pada Gambar 2. dibawah ini.
Gambar 2. Jalur Dasar dalam Analisis Jalur
Misalkan sektor i mempengaruhi sektor j. Pengaruh dari i ke j bisa terjadi
secara langsung, bisa pula terjadi melalui sektor-sektor lain, katakanlah x dan y.
Apabila dalam jalur i ke j tersebut i, x, y, dan j hanya dilalui satu kali maka hal
j
i j
y x
i
atau
36
seperti ini disebut sebagai jalur dasar. Ada kalanya suatu sektor, setelah
mempengaruhi sektor yang lain, pada akhirnya akan kembali lagi mempengaruhi
sektor itu sendiri. Misalkan pengaruh sektor i ke j di atas ternyata belum selesai.
Jika j mempengaruhi z, dan z mempengaruhi i, maka jalur dari i ke x ke y ke j ke
z dan kembali ke i disebut sirkuit. Dalam jalur ini setiap sektor dilalui hanya satu
kali, kecuali i. sektor i dilalui dua kali, yakni pada awal jalur dan pada akhir jalur,
lihat Gambar 3. dibawah ini.
Gambar 3. Sirkuit dalam Analisis Jalur
2.5. Analisis Kelembagaan
Analisis ini merupakan analisis yang dilakukan secara mikro, melalui
analisis ini akan dibahas bentuk-bentuk organisasi kelembagaan yang dapat
memberikan gambaran keadaan masyarakat, baik untuk mengetahui penyebab
rendahnya tingkat kesejahteraan yang disebabkan oleh tidak ada atau tidak
berfungsinya kelembagaan yang ada, juga sekaligus mengetahui model
kelembagaan apa yang paling cocok atau paling baik sebagai pemecahan
organisasi kelembagaan dalam upaya menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat
seperti peningkatan produktifitas tenaga kerja, pendapatan dan lainnya terutama
bagi masyarakat yang memiliki lahan. Untuk mengetahui bentuk organisasi
kelembagaan yang ada di lokasi penelitian, maka dilakukan :
(1) Analisis biaya-biaya transaksi, yaitu dengan menghitung
(mengkuantifikasikan) biaya-biaya transaksi dalam bentuk kerjasama atau
koordinasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pihak-pihak lainnya,
dari praproduksi sampai pada pemasaran hasil produksinya.
(2) Untuk lebih mempertegas analisis kelembagaan ini, kemudian akan dilakukan
pula analisis dari interaksi masyarakat dalam sistem kelembagaan tersebut,
x y
z
j
i
37
yang mana dalam hal ini dilakukan untuk melihat apakah model lahan
komunal (milik masyarakat secara bersama) merupakan model yang sesuai
untuk mengembangkan pengelolaan lahan yang didasarkan pada pelibatan
masyarakat dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan
keberlanjutan manfaatnya. Untuk itu digunakan pendekatan analisis
deskriptif (description analysis) yaitu dengan menelaah hubungan-hubungan
yang saling berkaitan dengan sistem kelembagaan, yang dilihat dengan
ukuran pendapatan masyarakat, produktifitas lahan, penilaian masyarakat
pada bentuk pengelolaan yang dilakukan, dan partisipasi mereka dalam pola
yang dikembangkan tersebut.
Kemudian untuk mengetahui bentuk dan pola aktivitas pengelolaan lahan
masyarakat, dalam hal ini dilakukan :
(1) Analisis secara deskriptif (descriptive analysis), untuk melihat usaha tani
yang dilakukan di lokasi penelitian dan bagaimana pola pengusahaannya.
(2) Untuk mengetahui informasi tentang peran serta (partisipasi) masyarakat
lokal, dilakukan pengukuran secara deskriptif kualitatif. Caranya adalah
dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung ke lapangan.
2.6. Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian mengenai pembangunan wilayah dengan
menggunakan analisis SNSE dan peran komoditas perkebunan terhadap
pembangunan wilayah telah banyak dilakukan dan menunjukkan hasil bahwa
pengembangan komoditas perkebunan memberikan efek multiplier kepada
perekonomian wilayah. Penelitian yang dilaksanakan oleh Sutomo (1995)
mengenai kemiskinan rumahtangga dan pembangunan ekonomi wilayah di
Provinsi Riau dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggunakan alat
analisis SNSE menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita rumah tangga
di Provinsi Riau tahun 1990 lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi NTT,
selain itu distribusi pendapatan kedua provinsi dalam keadaan yang sangat tidak
merata. Untuk kemiskinan di wilayah Provinsi NTT banyak disebabkan
miskinnya wilayah bersangkutan sehingga menjadi terbatas dalam melakukan
kegiatan ekonominya, sedangkan untuk kemiskinan di Provinsi Riau ditinjau dari
38
sisi wilayahnya kemiskinan disebabkan karena adanya kebocoran regional. Selain
itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Hadi (2001) yang menggunakan alat
analisis SNSE mengenai kebijaksanaan pembangunan di Indonesia Bagian Barat
dan Indonesia Bagian Timur menunjukkan bahwa sektor ekonomi di Indonesia
bagian Timur mempunyai ketergantungan lebih besar terhadap sektor ekonomi di
Indonesia Bagian Barat.
Hasil penelitian dari Hafizrianda (2007) di Provinsi Papua mengenai
dampak pembangunan sektor pertanian terhadap distribusi pendapatan dan
perekonomian regional dengan menggunakan metode SNSE menemukan bahwa
pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi
pendapatan di Propinsi Papua karena dari sebagian besar kebijakan pertanian yang
disimulasikan mencakup kebijakan dalam bidang investasi dan ekspor, hasilnya
dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dalam perekonomian Papua.
Selanjutnya Model SNSE digunakan oleh Aris (2011) untuk meneliti dampak
pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap kemiskinan dan perekonomian
di Kabupaten Indragiri Hilir menemukan bahwa sektor kelapa memberikan
kontribusi yang besar terhadap pembentukan output, PDRB dan penyerapan
tenaga kerja, dengan kontribusi sebesar 13,44 persen terhadap output total
wilayah, sebesar 17,86 persen terhadap PDRB total wilayah dan sebesar 27,92
persen terhadap serapan tenaga kerja total wilayah.
Selain itu, penelitian oleh Ramdani (2003), bahwa analisis Input-Output
sektor tanaman perkebunan di Kabupaten Musi Rawas belum jenuh, yang
tercermin dari nilai output multiplier sektor perkebunan sebesar 1,63 dan nilai
pengganda pendapatan sebesar 1,32. Hal ini juga menunjukkan bahwa produk
tanaman perkebunan sudah sebagian besar diolah sebelum dipasarkan sehingga
meningkatkan nilai tambah produk sektor ini. Penelitian yang dilakukan oleh
Lestari (2010) mengenai strategi pengembangan komoditas perkebunan di
Kabupaten Musi Rawas dengan menggunakan pendekatan tipologi Klassen
menemukan bahwa yang termasuk komoditas prima adalah kelapa sawit;
komoditas potensial adalah karet; komoditas berkembang terdiri dari kopi, kelapa,
pinang, aren, tebu, kakao, kemiri; komoditas terbelakang adalah kayu manis.