peran mahakusala-citta dalam mempertahankan …

16
PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN KEYAKINAN UMAT BUDDHA Niken Wardani, S.H., M.Pd.B. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peran Mahakusala-Citta dalam mempertahankan keyakinan umat Buddha, dan untuk menganalisa implikasi Mahakusala-Citta terhadap keyakinan umat Buddha. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan Observasi dan wawancara dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh agama dan beberapa umat Buddha di dukuh Tanduran. Mahakusala-citta atau pikiran baik dilandasi dengan rasa senang (Somannassa), yang dikembangkan melalui dana, sila, dan bhavana akan menjadi pondasi yang kuat untuk mengembangkan panna/kebijaksanaan dan keyakinan terhadap Buddha-sasana. Selain itu dengan mengembangkan mahakusala-citta merupakan pendorong manusia untuk dapat bertumimbal lahir di alam yang lebih baik/tinggi pada kehidupan selanjutnya, yaitu di alam manusia dengan kondisi yang lebih baik dan di alam Dewa-bhumi 6. Mengembangkan mahakusala-citta mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berimplikasi umat menyadari untuk tetap menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh dan tetap menjaga keyakinan yang baik terhadap Buddha-sasana. Kata kunci: Mahakusala-citta, Keyakinan, Umat Buddha Abstract This research has purpose to analyse mahakusala-citta in defending the faith of Buddhist and to analyse the implication of mahakusala-citta to the faith of Buddhist. This research is using qualitative method. Data was submitted by using observation and interview with the interviewee. The interviewee in this research were the prominent figure of Buddhis and some Buddhism fellowship at Tanduran village. Mahakusala-citta or the good mind is based on happy feeling (sommanasa), which is developed through dana, sila, and bhavana will be the strong foundation to develop panna (wisdom) and the faith to Buddha-sasana. Beside that, by developing mahakusala-citta, it can push the human to be reincarnated to the higher realm in the next after life, that is in human life in better condition and in the realm of Deva-bhumi 6. By increasing or developing mahakusala-citta, the Buddhist will be able to solve many problems in life. This thing will implicate to the Buddhist to keep their faith truly and to keep the good mind faith to Buddha-sasana. Keywords: Mahakusala-citta, Faith, Buddhist. Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN

KEYAKINAN UMAT BUDDHA

Niken Wardani, S.H., M.Pd.B. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya

Wonogiri Jawa Tengah

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peran Mahakusala-Citta dalam mempertahankan

keyakinan umat Buddha, dan untuk menganalisa implikasi Mahakusala-Citta terhadap keyakinan

umat Buddha. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan

Observasi dan wawancara dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh agama dan

beberapa umat Buddha di dukuh Tanduran. Mahakusala-citta atau pikiran baik dilandasi dengan rasa senang (Somannassa), yang

dikembangkan melalui dana, sila, dan bhavana akan menjadi pondasi yang kuat untuk

mengembangkan panna/kebijaksanaan dan keyakinan terhadap Buddha-sasana. Selain itu dengan

mengembangkan mahakusala-citta merupakan pendorong manusia untuk dapat bertumimbal lahir di

alam yang lebih baik/tinggi pada kehidupan selanjutnya, yaitu di alam manusia dengan kondisi yang

lebih baik dan di alam Dewa-bhumi 6. Mengembangkan mahakusala-citta mampu mengatasi

persoalan-persoalan hidup yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berimplikasi umat

menyadari untuk tetap menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh dan tetap menjaga

keyakinan yang baik terhadap Buddha-sasana. Kata kunci: Mahakusala-citta, Keyakinan, Umat Buddha

Abstract

This research has purpose to analyse mahakusala-citta in defending the faith of Buddhist and to

analyse the implication of mahakusala-citta to the faith of Buddhist. This research is using qualitative

method. Data was submitted by using observation and interview with the interviewee. The interviewee

in this research were the prominent figure of Buddhis and some Buddhism fellowship at Tanduran

village. Mahakusala-citta or the good mind is based on happy feeling (sommanasa), which is developed

through dana, sila, and bhavana will be the strong foundation to develop panna (wisdom) and the

faith to Buddha-sasana. Beside that, by developing mahakusala-citta, it can push the human to be

reincarnated to the higher realm in the next after life, that is in human life in better condition and in the

realm of Deva-bhumi 6. By increasing or developing mahakusala-citta, the Buddhist will be able to

solve many problems in life. This thing will implicate to the Buddhist to keep their faith truly and to

keep the good mind faith to Buddha-sasana. Keywords: Mahakusala-citta, Faith, Buddhist.

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 2: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

28

PENDAHULUAN

Maslow dalam Jalaluddin (2007:p.155),

menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki

kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar

hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama,

kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk

hidup seperti makan, minum, istirahat, dan

sebagainya. kedua, kebutuhan akan rasa aman yang

mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan

cemas. Kebutuhan ini dimanifestasikan antara lain

dalam bentuk tempat tinggal yang permanen.

Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara

lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia.

Manusia membutuhkan saling perhatian dan

keintiman dalam pergaulan hidup. Keempat,

kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini

dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi

diri antara lain dengan berbuat sesuatu yang

berguna. Pada tahap ini orang ingin agar buah

pikirannyadihargai. Salah satu cara yang ditempuh

adalah dengan belajar agama sebagai

Agama bagi orang dewasa adalah sebagai

filter dan rem, sebagai filter terhadap pengaruh-

pengaruh negatif sebagai dampak dari pergaulan

dengan lingkungan dan interaksi dengan orang-

orang sekitarnya. Orang dewasa memiliki peluang

terhadap adanya persoalan, stress, frustasi dan lain-

lain. Persoalan-persoalan ini muncul dari keluarga,

tempat kerja, lingkungan dan lain-lain, sehingga

agama memiliki peran sebagai rem atau pengendali

untuk tidak terlarut dalam persoalan-persoalan

yang sedang dihadapi. Agama membantu orang

dewasa menemukan solusi atas persoalan-

persoalan tersebut.

Hurlock (2016:p.442), kebahagiaan di masa

usia lanjut dipengaruhi oleh tiga “A” (tree A’s of

happiness), yaitu acceptance (penerimaan),

affection (pengasihan), dan achievement

(penghasilan). Apabila seseorang tidak dapat

memenuhi ketiga A tersebut, hal ini sulit, kalau

tidak ingin dikatakan, tidak mungkin bagi

seseorang usia lanjut untuk bisa hidup bahagia.

Misalnya, apabila mereka merasa diabaikan oleh

anak-anaknya yang sudah dewasa, atau oleh

anggota keluarga yang lain, apabila mereka merasa

bahwa prestasinya pada masa lampau

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

tidak dapat memenuhi harapan dan keinginannya,

atau apabila mereka mengembangkan perasaan

tidak ada satu orangpun yang mencintainya secara

kompleks, maka hal ini tidak dapat dihindari lagi

bahwa mereka pasti akan merasa tidak bahagia.

Berdasarkan hasil observasi dan hasil

wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada umat

Buddha di vihara Dhama Maha Virya kecamatan

Jatisrono, peneliti menemukan beberapa fakta yang

ada. Rata-rata umat Buddha di vihara Dhama

Maha Virya merupakan umat yang lanjut usia, dan

hanya sedikit umat yang berusia muda. Anak-anak

dari para umat ini melakukan pindah ke agama lain

karena perkawinan dan karena pengaruh pergaulan

dengan teman sejawat. Dari beberapa umat yang

lanjut usia ini ada yang mengikuti anak-anaknya

melakukan pendah ke agama lain, dan ada

beberapa umat yang masih tetap bertahan dengan

berkeyakinan menjalankan ajaran Buddha. Fakta

lain yang ditemukan oleh peneliti adalah

pelaksanaan pembinaan dan pendampingan umat

belum dilaksanakan dengan maksimal.

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mahakusala-citta

Citta adalah (kesadaran/pikiran) itu? Yang

disebut citta (kesadaran/pikiran) adalah

“keadaan yang mengetahui obyek” atau

“keadaan yang menerima, mengingat, berpikir

dan mengetahui obyek”. Ada pertanyaan dalam

bahasa Pali“ARAMMANAM CINTETITI:

CITTAM”, yang artinya keadaan yang

mengetahui obyek, yaitu yang selalu menerima

obyek, keadaan itu disebut “kesadaran/pikiran”

(Kaharuddin, 2005:p.7).

Kitab Suci Dhammapada syair 1 dan 2,

Vijjnanda (2015:p.1), menjelaskan tentang peran

penting dari pikiran sebagai berikut:

“Manopubbaṅgamā dhammā,

manoseṭṭhā manomayā

manasā ce paduṭṭhena, bhāsati

vākaroti vā

tato naṁ dukkhamanveti, cakkaṁva

vahato padaṁ”.

Artinya:

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 3: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

Pikiran adalah pelopor dari segala

sesuatu,

Pikiran adalah pemimpan, pikiran

adalah pembentuk.

Bila seseorang berbicara atau berbuat

dengan pikiran jahat,

maka penderitaan akan mengikutinya

bagaikan roda pedati mengikuti

langkah kaki lembu yang menariknya.

Mahakusala-citta terdiri dari tiga suku kata

yaitu Maha = besar, kusala = baik dan citta =

pikiran, sehingga jika dirangkai Mahakusala-citta

berarti pikiran atau kesadaran baik yang lebih

besar. Rewata (2011:p.11), menjelaskan bahwa

kata bahasa pali, citta, diturunkan dari akar kata-

kerja citi, yang berarti mengkognisi (mengetahui).

Para komentator mendefinisikan citta dalam tiga

cara, yaitu: sebagai agen, sebagai instrument, dan

sebagai aktivitas. Sebagai agen, citta adalah yang

mengkognisi sebuah objek (arammanam cinteti ti

cittam). Sebagai instrument, citta adalah yang

digunakan oleh faktor-faktor mental yang

menyertainya di dalam mengkognisi objek (etena

cinteti ti cittam). Sebagai aktivitas, citta adalah

proses mengkognisi objek itu sendiri

(cintanamattam cittam).

Karakter dari citta atau pikiran dijelaskan

oleh Rewata (2011:p.12), bahwa pada citta,

karakteristiknya adalah mengetahui sebuah objek

(vijanana). Fungsinya adalah sebagai pelopor

(pubbangama) bagi factor-faktor mental, dimana

citta memimpin dan selalu disertai oleh cetasika.

Manifestasinya (cara citta menampakkan dirinya di

dalam pengalaman meditator) adalah sebagai

sebuah kesinambungan-proses (sandhana). Sebab

terdekatnya adalah mental dan materi (nama-

rupa); karena kesadaran tidak bisa muncul

sendirian, tanpa kemunculan sama sekali dari

faktor-faktor mental maupun fenomena materi.

Kaharuddin (2005:p.44), menjelaskan

bahwa mahakusala-citta berarti kesadaran/pikiran

yang maha baik. Kesadaran/pikiran ini timbul

sangat luas; dapat timbul pada tiga puluh alam

kehidupan (tidak termasuk alam Asannasatta

karena makhluk yang berdiam di alam ini tidak

memiliki nama-khandha). Kesadaran/pikiran

29 ini dapat menimbulkan kefaedahan dalam

melaksanakan dana dan sila, dapat menimbulkan

jhana, magga, dan phala, sehingga mencapai

obyek Nibbana (yaitu saat Mahakusala-citta

mencapai gotrabhu-nana atau pengetahuan dari

keadaan masak).

Mehm Tin Mon (2014:p.56), Terdapat

delapan jenis Mahakusala-citta, antara lain: 1) Somannassasahagatam nanasampayuttam

asankharikam:

Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani

oleh perasaan senang, dan bersekutu

dengan pengetahuan. 2) Somannassasahagatam nanasampayuttam

sasankharikam:

Satu kesadaran dengan dorongan,

ditemani oleh perasaan senang, dan

bersekutu dengan pengetahuan. 3) Somannassasahagatam nanavipayuttam

asankharikam:

Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani

oleh perasaan senang, dan tidak bersekutu

dengan pengetahuan. 4) Somannassasahagatam nanavipayuttam

sasankharikam:

Satu kesadaran, dengan dorongan

ditemani oleh perasaan senang, dan tidak

bersekutu dengan pengetahuan. 5) Upekkhasahagatan nanasampayuttam

asankharikam:

Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani

oleh perasaan netral, dan bersekutu

dengan pengetahuan. 6) Upekkhasahagatan nanasampayuttam

sasankharikam:

Satu kesadaran, dengan dorongan,

ditemani oleh perasaan netral, dan

bersekutu dengan pengatahuan. 7) Upekkhasahagatan nanavipayuttam

asankharikam:

Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani

oleh perasaan netral, dan tidak bersekutu

dengan pengetahuan. 8) Upekkhasahagatannanavipayuttam

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 4: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

30

sasankharikam:

Satu kesadaran, dengan dorongan,

ditemani oleh perasaan netral, dan tidak

bersekutu dengan pengetahuan.

Mahakusala-citta merupakan bagian dari

sobhana-citta. Mehm Tin Mon (2014:p.55),

menjelaskan bahwa sobhana-citta/sobhana-

indah menghasilkan sifat yang baik dan mereka

bersekutu dengan akar yang indah seperti alobha

(murah hati), adosa (niat baik), dan amoha

(kebijaksanaan). Selanjutnya dijelaskan maha-

kusala citta yang menjadi bagian dari sobhana-

citta muncul ketika orang-orang awam

(puthujjana) dan orang-orang suci dengan

kekecualian arahat melakukan perbuatan bajik

seperti dana (berderma), sila (moralitas) dan

bhavana (meditasi).

Mehm Tin Mon (2014:p.57), menjelaskan

bahwa pada saat kita berderma, jika kita

memiliki ketidakmelekatan (alobha) terhadap

derma tersebut dan niat yang baik (adosa) untuk

kesejahteraan orang yang menerima derma.

Lebih lebih, jika kita juga memiliki pengetahuan

(amoha) tentang kamma dan hasil kamma pada

saat memberi, kita memiliki kesemua dari tiga

akar bermoral yang menemani citta kita. Akar

yang bermoral akan senantiasa memunculkan

kesadaran yang indah (sobhana-citta).

Fungsi Mahakusala-citta

Mahakusala-citta muncul ketika orang-

orang awam (puthujjana) dan orang-orang suci

dengan kekecualian arahat melakukan perbuatan

bajik seperti dana (berderma), sila (moralitas)

dan bhavana (meditasi) (Tin Mon, 2014:p.55).

Kaharuddin (2005:p.54-55), menjelaskan

bahwa sebab yang menimbulkan Mahakusala-

citta adalah “Yonisomanasikara”, yaitu

penyelidikan obyek dengan sewajarnya. Bila

pikiran menyentuh salah satu obyek hasil

cerapan dari salah-satu indriya melalui dvara 6

(enam pintu) dan menyelidiki sampai keadaan

yang sebenarnya, maka ini disebut

“Yonisomanasikara”. Selanjutnya dijelaskan

tentang sebab-sebab yang menimbulkan

mahakusala-citta yang terdiri dari somanassa-

kusala-cittadanupekkha-kusala-citta, antara lain:

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

1) Somanassa-kusala-citta, terdiri

dari 6 macam antara lain yaitu:

Bertumimbal lahir dengan Somanassa

(Somanassapatisandhikata);Mempunyai

keyakinan yang mendalam terhadap

Tiratana(Saddhabahulata);Berpandangan

suci/benar (Visuddhitthita);Nampak

pahala dari kusala-kamma

(Anisamsadassavita);Mempunyai obyek

yang baik (Ittharammanasamayogo);dan

Tidak ada halangan apa-apa (Kassacipilabhavo);

2) Upekkha-kusala-citta, terdiri dari 6 macam

yaitu: Bertumimbal lahir dengan upekkha

(Upekkhapatisandhikata);Mempunyai

sedikit keyakinan

(Appasaddhata);Mempunyai pendangan salah (Avisuddhiditthita);Tidak Nampak

atau tidak mengerti pahala

dari kulasa-kamma (Anisamsa

adassavita);Mempunyai obyek tingkat

sedang (Majjhattakammanasamayogo);

danAdahalangan/sebagiam (Kassacipilikata).

Mahakusala-citta dengan delapan jenis

citta tersebut akan membawa hasil atau akibat

yang disebut dengan Mahakusala-vipaka-citta,

yang berperan sebagai salah satu pendorong

manusia untuk dapat bertumimbal lahir dalam

alam manusia atau manussa-bhumi 1 dan di

alam dewa atau deva-bhumi 6(Kaharuddin,

2005:p.280). Manfaat Mahakusala-citta

Manfaat memiliki mahakusala-citta salah

satunya dijelaskan dalam Ubhayattha Sutta

(Itivuttaka-Khuddhaka Nikaya), tentang

ketekunan. Diterangkan bahwa ada satu hal jika

dikembangkan dan terus dilaksanakan akan

membuat orang memperoleh dan

mempertahankan dua jenis kesejahteraan yang

akan bertahan dimasa depan : Ketekunan dalam

melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat.

Ketekunan akan membawa manfaat ganda :

kesejahteraan sekarang dan kesejahteraan dalam

kehidupan yang akan datang.

Selanjutnya dalam Kitab Sutta Pitaka

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 5: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan (Anguttara Nikaya) AN. III: 248. Tentang manfaat memiliki pikiran baik adalah sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri; (2) Para bijaksana, sete lah menyelidiki, memujinya; (3) Ia memperoleh reputasi baik; (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan; (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu” (Bodhi, 2015: 277).

Keyakinan Iman adalah percaya akan sesuatu yang

menurut akal budimu hal itu benar; karena jika

akal budimu menyetujuinya, tidak akanada

pertanyaan tentang iman buta (Voltaire dalam

Dhammananda, 2002:p.251).

Dalam agama Buddha keyakinan disebut

dengan istilahSaddhaatau Sradha. Keyakinan

disini bukan berarti kepercayaan yang membabi-

buta atau asal percaya saja, akan tetapi merupakan

“suatu keyakinan yang didasarkan pada pengertian

yang muncul karena bertanya dan menyelidiki”.

Karena keyakinan itu muncul akibat pengertian,

maka keyakinan umat Buddha pada sesuatu yang

diyakini adalah tidak sama kualitasnya. Tidak ada

pengertian yang sama pada orang berbeda-beda,

dan akibatnya kualitas keyakinan setiap individu

berbeda (Tjeng, 2008:p.20).

Keyakinan dalam agama Buddha yang

didasarkan pada Ehipassiko yaitu setelah kita

datang, kita melihat selanjutnya mempraktekan

mengalami atau membuktikan kebenaran

tersebut. Umat Buddha memiliki keyakinan

terhadap Sad-saddha yang berarti keyakinan

terhadap enam hal. Enam hal tersebut dijelaskan

oleh (Tjeng, 2008:p.21), yang terdiri dari: 1)

Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2)

Keyakinan terhadap Tri Ratna;3) Keyakinan

terhadap Bodhisatva, Arahat, dan Para Buddha; 4) Keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan; 5)

Keyakinan terhadap Kitab Suci; dan 6)

Keyakinan terhadap Nibbana.

Cheng Yen (2015:p.141), menjelaskan

31 bahwa yakin terhadap jalan benar dan berbagai

faktor pencerahan. Jika akar keyakinan tumbuh,

kita akan dapat mencegah segala noda banti, serta

tidak akan terpengaruh oleh keraguan dan

menyimpang kearah pemahaman kecil. Inilah

kekuatan keyakinan. Selanjutnya dijelaskan bahwa

jika akar keyakinan tumbuh, kita akan dapat

mencegah segala noda batin. Maksud dari

mencegah adalah mengantisipasi. Jika keyakinan

benar dan pikiran benar dapat berkembang,

makaakar keyakinan kita akan semakin kokoh.

Dengan demikian, kita akan dapat mengantisipasi

timbulnya berbagai noda batin. Umat Buddha

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

(Poerwadarminta, 2007:p.1334), Umat adalah 1) Para penganut suatu agama atau nabi; -Islam;

-Kristen; 2) Orang banyak; khalayak ramai;

publik; dan 3) (-Manusia), sekalian bangsa

manusia.

Berdasarkan pengertian umat tersebut

diatas maka umat Buddha adalah para penganut

agama Buddha, orang-orang yang memeluk

agama Buddha. Dengan kata lain umat Buddha

adalah orang yang secara sipil tercatat di dalam

kantor pencatatan sipil sebagai orang yang

beragama Buddha. Kerangka Berpikir

Keyakinan umat Buddha diperngaruhi oleh

beberapa faktor lingkungan dan belum

maksimalnya umat Buddha lanjut usia dalam

menjalankan ajaran Dhamma. Hal tersebut akan

mengakibatkan lemahnya keyakinan umat Buddha

lanjut usia. Disini diperlukan adanya suatu

pembinaan dan pendampingan oleh tokoh agama

untuk menjalankan atau mempraktekan ajaran

Dhamma (Mahakusala-citta) dalam kehidupan

sehari-hari yang dapat diaplikasikan ke dalam

kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di

vihara Dhama Maha Virya. Dengan adanya

kolaborasi yang baik tersebut maka umat Buddha

lanjut usia masih tetap bertahan dengan

keyakinannya dan tetap menjalankan ajaran

Agama Buddha., selain itu para umat Buddha

lanjut usia dapat menjalani kehidupannya yang

memasuki masa-masa akhir dengan damai dan

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 6: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

32

bahagia apapun keadaan yang ada.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,

(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana

peneliti adalah sebagai instrumen kunci, analisa

data bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada

generalisasi (Sugiyono, 2013:p.1).

Pendekatan yang dipergunakan adalah

dengan case studies (studi kasus). Penelitian kasus

adalah suatu proses pengumpulan data dan

informasi secara mendalam, mendetail, intensif,

holistik, dan sistematis tentang orang, kejadian,

social setting (latar sosial), atau kelompok dengan

menggunakan berbagai metode dan teknik serta

banyak sumber informasi untuk memahami secara

efektif bagaimana orang, kejadian, latar alami

(social setting) itu beroperasi atau berfungsi sesuai

dengan konteksnya (Yusuf, 2013:p.339).

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksankan di Vihara Dhama

Maha Virya dukuh Tanduran. kecamatan

Jatisrono, kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Adapun penelitian akan dimulai pada bulan

Februari sampai dengan bulan Juli tahun 2018.

Sumber Data

Dalam penelitian kualitatif, data

dikumpulkan berupa data deskriptif, misalnya

dokumen pribadi, catatan lapangan, tindakan

responden, dokumen, dan lain-lain (Prastowo,

2014:p.43). Dalam penelitian ini data diperoleh

dari hasil observasi yang dilakukan pada

kehidupan sehari-hari umat Buddha Vihara

Dhama Maha Virya. Selain itu data diperoleh

dengan melakukan wawancara dengan beberapa

informan yang terdiri dari tokoh agama Buddha

Vihara Dhama Maha Virya, dan umat lanjut usia

Vihara Dhama Maha Virya.

Teknik Pengumpulan Data Prinsip pengumpulan data penelitian

kualitatif menurut Gunawan (2015:p.142),

adalah 1) menggunakan multi sumber bukti,

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

menggunakan banyak informan dan memerhatikan

sumber-sumber bukti lain; 2) menciptakan data

dasar studi kasus, mengorganisir dan

mengkoordinasikan data yang telah terkumpul,

biasanya studi kasus memakan waktu yang cukup

lama dan data diperolehnya pun cukup banyak

sehingga perlu dilakukan pengorganisasian data,

supaya data yang terkumpul tidak hilang saat

dibutuhkan nanti; dan 3) memelihara rangkaian

bukti, tujuan agar bisa ditelusuri dari bukti-bukti

yang ada, berkenaan dengan studi kasus yang

sedang dijalankan, penting ketika menelusuri

kekurangan data lapangan. Teknik Analisa Data

Proses analisa data dilakukan dalam tiga

tahap, seperti dijelaskan dalam Sugiyono

(2013:p.90), yaitu: 1) analisa data sebelum di

lapangan; 2) analisa data selama dilapangan

model Miles and Huberman; dan 3) analisa data

selama di lapangan model Spradley. Dalam

analisa data sebelum di lapangan, peneliti telah

melakukan analisa data sebelum peneliti

memasuki lapangan. Analisa dilakukan terhadap

data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder

yang akan digunakan untuk menentukan fokus

penelitian. Keabsahan Data

Uji keabsahan data meliputi uji credibility

(validitas interbal), transferability (validitas

eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmbility (obyektivitas) (Sugiyono,

2013:p.121).

Hasil Penelitian Lokasi Penelitian

Vihara Dhama Maha Virya berada di

wilayah yang sangat tepencil di wilayah

kabupaten Wonogiri bagian timur yaitu di dukuh

Tanduran, RT. 07, Rw. 03 kelurahan Jatisari,

kecamatan Jatisrono kabupaten Wonogiri, Jawa

Tengah. Berbatasan darat dengan kecamatan

Sidoharjo di sebelah barat, kecamatan Jatipurno

disebelah utara, kecamatan Slogohimo disebelah

timur, dan kecamatan Jatiroto di sebelah selatan. Sejarah Vihara Dhama Maha Vidya

Vihara Dhama Maha Virya mulai berdiri

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 7: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1985 yang didirikan secara mandiri

oleh umat Buddha di dukuh Tanduran dengan

bergotong-royong, dan diresmikan oleh Bhante

Giri. Vihara Dhama Maha Virya berada di bawah

bimbingan Majelis Theravada Indonesia. Jumlah

umat pada awal berdirinya vihara Dhama Maha

Virya adalah sebanyak 125 orang. Sebelum vihara

Dhama Maha Virya berdiri, umat melakukan

kegiatan keagamaan seperti sembahyang di rumah

ketua atau tokoh umat Buddha pada waktu itu yaitu

Romo Sawi Karso Cangkring yang biasa dipanggil

dengan nama Romo Sawi. Romo Sawi merupakan

tokoh agama Buddha yang sangat giat dan tekun

membina umat Buddha di wilayah Jatisrono dan

wilayah lain di kabupaten Wonogiri.

Setelah Romo Sawi meninggal vihara

Dhama Maha Virya dipimpin oleh Romo Hadi

Suwito yang biasa dipanggil dengan Mbah

Tugimim sampai dengan sekarang. Pada saat ini

jumlah umat mengalami penurunan yaitu sebanyak

50 orang. Umat yang masih ada saat ini sebagian

besar adalah umat yang sudah berusia tua,

sementara generasi muda hampir tidak ada. Hal

yang terjadi adalah banyak dari anak-anak mereka

yang ketika menginjak dewasa melakukan pindah

agama karena oleh akibat dari pernikahan berbeda

agama. Seperti disampaikan oleh Mbah Tugimin

sebagai berikut:

“Mbiyen ki umate yo akeh, ning karono do rabi…bojone agamane beda do katut melu bojone dewe-dewe. Dadi

umat sing enom ki iwis ora ono kari sing tuo-tuo ngene iki”.

Mbah Tugimin menyampaikan bahwa dulu

umat di vihara Dhama Maha Virya cukup banyak,

tetapi sampai saat ini umat hanya tinggal sedikit

dan hanya yang berusia tua saja. Hal ini

dikarenakan adanya pernikahan yang terjadi antara

generasi muda umat Buddha dengan umat agama

lain, kemudian para generasi muda tersebut

melakukan pindah agama mengikuti agama dari

pasangannya masing-masing tersebut, sehingga

pada saat ini tinggal umat yang tua-tua saja yang

masing menganut keyakinan agama Buddha.

Selanjutnya mbah Tugimin menyampaikan:

“Kulo dewe niku contone, anak kulo

niku sedoyo agamane beda kalih kulo..

33

wong yo jaman semono kulo niki mboten saged nglarang karepe bocah....bocah- bocah niku gadah pilihan piyambak-piyambak, mangkeh nek kulo larang malah nesu...nek bocah niku nesu sok-sok malah enten kedadean sing mboten sekeco....dados nggih sampun sing penting bocah podo seneng. ning kulo

niki nggih mboten nopo-nopo, anak-

anak kulo nggih mboten napao-nopo

tetep rukun sak kluargo”

Sebagian besar para orang tua tidak bisa

melarang anak-anaknya melakukan pernikahan

beda agama dan mengikuti agama pasangannya

masing-masing, karena mereka merasa anak-

anak sudah punya pilihan hidup masing-masing.

Jika di larang kemungkinan anak akan ngambek

dan kalau seperti itu maka menurut beberapa

kejadian yang pernah terjadi malah akan terjadi

hal yang tidak diinginkan.

Selanjutnya mbah Tugimin menjelaskan

bahwa, dengan adanya perbedaan yang ada

tersebut hendaknya disikapi dengan bijaksana.

Mbah Tigumin sendiri juga menjalani hidup

dengan tradisi dan kebiasaan agama Buddha

bersama dengan istrinya. Mbah Tugimin memiliki

prinsip dan memiliki keyakinan yang kuat sesuai

dengan apa yang telah diajarkan oleh sesepuh

agama Buddha dukuh Tanduran pada waktu itu.

Menurut mbah Tugimin dulu sesepuh

agama Buddha di dukuh Tanduran yaitu mbah

Sawi Karso Cangkring pernah memberikan

nasehat kepada para umat Buddha yaitu:

“Kabeh anak putuku iki mbesuk bakal ono dayoh, ning kowe kabeh ojo kalah karo dayoh iku, nek kowe kalah karo dayoh bakal bubar lan lan ilang opo kang mbok sinau saklawase, bakal ketinggalan batinmu”.

Nasehat tersebut mengatakan bahwa pada

masa yang akan datang nanti akan ada sesuatu yang

baru, dengan hal yang baru tersebut diharapkan umat

Buddha tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap

ajara Guru Agung Sang Buddha. Apabila para umat

tergoyahkan atau keyakinannya tidak kuat maka

kualitas batin masing-masing akan menurun dan

Buddha-sasana akan hilang. Bagi mbah Tugimin

pesan tersebut bukan hanya sekedar pesan, namun

memiliki maksud bahwa

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 8: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

34

mbah sawi pada waktu itu sekaligus memberikan

tugas yang sangat penting kepada mbah Tugimin.

Tugas tersebut adalah bahwa mbah

Tugimin harus memiliki tekat kuat dan pendirian

atau keyakinan yang kuat, untuk memimpin

umat Buddha di dukuh Tanduran speninggalnya

mbah Sawi. Selain itu adanya pesan tersebut

mengingatkan bahwa mbah Tugimin harus tetep

melestarikan ajaran Agama Buddha di dukuh

Tanduran, membina umat jangan sampai ajaran

agama Buddha itu ditinggalkan dan menjadi

hilang dari dukuh Tanduran.

Kondisi Umat Buddha Vihara Dhama

Maha Vidya Umat Buddha Vihara Dhama Maha Virya

pada saat ini adalah sebanyak 50 orang, yang

terdiri dari 27 umat laki-laki dan 23 umat

perempuan. Sebagian besar umat merupakan

umat lanjut usia atau dalam istilah Jawa disebut

dengan “sepuh”, dan hanya ada beberapa umat

yang masih berusia muda.

Kondisi umat Buddha di dukuh Tanduran

sebagian besar adalah umat lanjut usia dengan

latar belakang pendidikan yang rendah. Hal ini

disampaikan oleh mbah Tugimin dalam

wawancara pada tanggal 8 April 2018:

“Kulo niku namung lulusan SR nek coro sakniki nggih SD. Menawi umat mriki nggih roto-roto niku, malah enten sing mboten sekolah barang kados mbah Sadinem, trus sing mpun sepah-sepah niku, nggih kados meketen niki kawontenanipun bu”.

Dengan melihat latar belakang pendidikan

umat yang rendah tersebut dan dengan hasil

observasi oleh peneliti, bahwa umat memiliki

pengetahuan tentang ajaran agama Buddha yang

sangat terbatas. Peneliti melihat bahwa pada saat

ada pihak dari luar yang hadir pada kegiatan-

kegiatan keagamaan misalnya di kebaktian rutin

pada malam kamis, antusias umat sangat terasa.

Hal ini nanpak pada saat peneliti hadir pada

acara sebulan pendalaman Dhamma dan mengisi

Dhammadesana disana, umat mengikuti kegiatan

dengan antusias dan ketika acara sudah selesai

dan sudah tiba waktunya untuk pulang, umat

tidak mengijinkan peneliti untuk pulang dan

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

masih mengajak untuk berbincang-bincang. Ini

mencerminkan bahwa umat sangat mengharapkan

adanya pihak dari luar yang terlibat untuk

membina umat di dukuh Tanduran. Kegiatan Keagamaan

Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan

umat Buddha Vihara Dhama Maha Virya antara

lain: 1. Puja bakti/Sembahyang

Umat Buddha Dhama Maha Virya

melakukan puja bakti secara rutin setiap

hari Rabu malam atau malam Kamis.

Kegiatan puja bakti ini dilaksanakan

mulai pada pukul 19.00 WIB sampai

dengan selesai. Puja bakti dilaksanakan

dengan melafalkan paritta-paritta pali,

antara lain: Namakara Gatha, Puja Gatha,

ubbabhaganamakara/Vandana, Tisarana,

Pancasila, Buddhanussati,

Dhammanussati, Sanghanussati,

Saccakiriya gatha, dan Ettavata. Dalam

rangkaian acara puja bakti tersebut biasanya

diisi dengan dhammadesana atau kotbah

Dhamma. Dhammadesana biasanya

dilakukan oleh salah satu tokoh agama

Buddha atau ketua vihara Dhama Maha

Virya, pada saat-saat tertentu dimana ada

tamu dari luar misalnya mahasiswa atau

dosen dari Sekolah Tinggi Agama Buddha

Negeri Raden Wijaya yang berkesempatan

hadir pada acara tersebut maka ketua vihara

memberikan kesempatan kepada mahasiswa

atau dosen yang hadir tersebut untuk

mengisi Dhammadesana. Hal ini dilakukan

untuk memberikan suatu bentuk

penghargaan atau penghormatan atas

kehadiran tamu tersebut. Dengan kata lain

umat Buddha Vihara Dhama Maha Virya

merasa senang dan merasa mendapatkan

perhatian apabila ada tamu yang datang

pada saat dilaksanakan puja bakti tersebut.

Kegiatan lain yang rutin dilaksanakan

adalah sebulan pendalaman Dhamma.

Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin

yang dilaksanakan selama satu bulan

penuh untuk menyambut datangnya hari

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 9: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

raya Waisak. Kegiatan ini berupa puja

bakti, dhammadesana, diskusi Dhamma,

dan lain-lain yang dilaksanakan selama

satu bulan menjelang hari raya Waisak.

Kegiatan sebulan pendalaman Dhamma

ini merupakan satu bentuk penghormatan

kepada Guru Agung Buddha Gotama.

Bentuk penghormatan yang dapat

dilakukan oleh umat Buddha adalah

dengan tetap melestarikan, memperlajari,

dan mempraktekan Dhamma ajaran Guru

Agung Buddha Gotama supaya ajaran

yang Agung ini tetap lestari dan terus

dipraktekan oleh umat Buddha untuk

mendapatkan kehabagiaan hidup. 2. Kegiatan Keagamaan Di luar Vihara

Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan

diluar vihara antara lain adalah kegiatan

anjangsana. Anjangsana dilakukan ketika

ada salah satu umat yang merayakan hari-

hari tertentu antara lain: syukuran,

selamatan, pattidana, dan lain-lain. kegiatan

ini berupa puja bakti atau sembahyang

dengan melafalkan paritta-paritta sesuai

dengan keperluan yang dimaksud. Kegiatan

ini dilaksanakan dirumah masing-masing

umat yang memiliki keperluan atau umat

yang mengundang. Dalam acara ini biasanya

tuan rumah juga menyediakan makanan dan

minuman kepada para umat yang hadir, hal

ini memiliki tujuan bahwa selain

memperingati acara-acara tertentu tuan

rumah juga melakukan dana makanan dan

minuman kepada para umat yang hadir. 3. Kegiatan Keagamaan Pribadi.

Beberapa umat Buddha di vihara Dhama

Maha Virya, selain melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang dilaksnakan di

vihara maupun diluar vihara, juga

melakukan aktivitas keagamaan secara

pribadi. Kegiatan ini biasanya dilakukan

di dalam rumah maisng-masing, yaitu

berupa meditasi yang dilaksukan secara

individu. Salah satu umat lansia Mbah

Timan menyampaikan:

“....menawi kulo nek kon teng vihara

35

niku pun mboten mampu...sikile pun mboten betah nek simpun suwe-suwe.... saged’e nggih sembahyang piyambak teng griyo...mengkeh nek pas surup-surup niko nopo nek pas tengah wengi niko medal sekedap nopo teng teras ngoten moco-moco kalih semedi sedelok...namung kersane pikiran niku ayem ngoten mawon...nek le moco dowo-dowo kados neng vihara nggih pun mboten saged napase”

Dari pernyataan tersebut bahwa ada

beberapa umat yang sudah lanjut usia

tidak mengikuti kegiatan keagamaan di

vihara, tetapi mereka melakukan aktivitas

keagamaan sendiri di rumah disesuaikan

dengan kondisi masing-masing. 4. Perayaan Hari Raya Keagamaan

Umat Buddha di vihara Dhama Maha Virya

melaksanakan perayaan hari raya

keagamaan pada setiap hari raya keagamaan

Buddha anrata lain: hari raya Waisak, hari

raya Asadha, hari raya Kathina, hari raya

Magha Puja, hari raya Metta, dan lain-lain.

Umat Buddha di vihara Dhama Maha Virya

memperingati hari raya keagamaan dengan

cara yang sederhana yaitu dengan

melaksanakan sembahyang atau puja bakti

membacakan paritta-paritta suci dan

meditasi. Khusus pada perayaan hari raya

Waisak umat Buddha vihara Dhama Maha

Virya ikut berpartisipasi melaksanakan

ritual puja bakti yang dilaksanakan di candi

Borobudur.

Analisa Data dan Pembahasan 1. Peran Mahakusala-Citta dalam

mempertahankan keyakinan umat Buddha.

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,

Pikiran adalah pemimpan, pikiran adalah

pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat

dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan

mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti

langkah kaki lembu yang menariknya, merupakan

arti dari Kitab Suci Dhammapada syair 1 dan 2,

Vijjnanda (2015:p.1), menjelaskan tentang peran

penting dari pikiran sebagai berikut:

“Manopubbaṅgamādhammā,

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 10: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

36

manoseṭṭhā manomayā

manasā ce paduṭṭhena, bhāsati

vākaroti vā

tato naṁ dukkhamanveti, cakkaṁva

vahato padaṁ”.

Seperti disampaikan pada kutipan tersebut

di atas, bahwa pikiran merupakan faktor utama

yang menentukan kualitas hidup manusia dalam

menjalani hidupnya. Apabila pikiran baik selalu

kita kembangkan dalam hidup sehari-hari maka

hidup kita akan menjadi baik dan kamma baik yang

dihasilkan akan menciptakan hidup yang baik, dan

begitu juga sebaliknya. Mahakusala-citta yang

akan menjadi pokok pembahasan pada bagian ini

adalah jenis pikiran yang dikembangkan dengan

baik. Menurut ajaran Buddha jenis pikiran baik ini

dapat dijaga atau dikembangkan melalui beberapa

jalan, yaitu dengan menjalankan dana, sila, dan

bhavana. seperti dikutip dalam Tin Mon,

(2014:p.55) yaitu, mahakusala-citta muncul ketika

orang-orang awam (puthujjana) dan orang-orang

suci dengan kekecualian arahat melakukan

perbuatan bajik seperti dana (berderma), sila

(moralitas) dan bhavana (meditasi).

Dana atau berderma adalah memberikan

sesuatu berupa makanan. Minuman atau benda

lain yang dibutuhkan dan bermanfaat untuk

pihak lain. berdana yang baik adalah dana yang

dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas.

Menurut ajaran Buddha melakukan dana harus

dilandasi dengan rasa senang (Somannassa).

Rasa senang berbuat baik hendaknya harus

muncul sebelum berdana (pubba-cetana), rasa

senang pada saat berdana (munca-cetana), dan

rasa senang setelah melakukan berdana

(aparapara-cetana). Melakukan dana dengan

dilandasi oleh ketiga hal tersebut dan disertai

dengan pengetahuan yang benar bahwa

perbuatan berdana adalah baik (panna), akan

membawa hasil kamma (vipaka) yang sangat

besar pada kehidupan yang akan datang.

Umat Buddha di dukuh Tanduran

melaksanakan dana sesuai dengan kemampuan

masing-masing. Berdasarkan hasil pengamatan

yang dilakukan oleh peneliti, bahwa sebagian

besar umat yang pekerjaannya petani sehingga

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

jumlah penghasilan dari bertani tersebut hanya

cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Namun

pada beberapa peristiwa yang dijumpai dilapangan

peneliti mendapati para umat tetap melakukan

dana, misalnya adalah para umat melakukan dana

kepada tetangga yang sedang memiliki keperluan

mantu. Jumlah dana yang diberikan masing-

masing umat berbeda-beda tergantung dapi

kemampuan masing-masing umat. Berdasarkan

hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan

mbah Timan pada 19 Mei 2018, sebagai berikut:

“.......anggenipun nyumbang nggih

benten-benten, gumantung kekiyatan piyambak-piyambak. Niki nggih mboten kagem umat Buddha ke mawon, niki wau ingkah gadah damel niku umat Islam, nggih sami mawon wong urip teng ndeso kedah guyup, agomo nopo mawon sami...guyup”.

Pernyataan serupa yang juga disampaikan

oleh ibu Karni pada kegiatan wawancara denga

peneliti pada tanggal 23 Juni 2018, yaitu:

“.....mangkeh menawi enten ingkang

ninggal nggih sedanten sami layat...

paring urun dana saksadaripun,

ngaten”.

Pada kesempatan yang lain mbah Tugimin

menyampaikan, umat Buddha di dukuh Tanduran

melakukan dana dibedakan ada beberapa macam,

yaitu: 1) dana untuk kebutuhan vihara, misalnya

iuran dana sosial yang rencananya akan

dipergunakan untuk perbaikan vihara jika sudah

terkumpul banyak, dana pada bulan Asadha yang

dikumpulkan dari umat yang kemudian akan

didanakan kepada anggota sangha pada saat

perayaan hari raya Asadha; 2) dana sosial, yaitu

dana yang diberikan kepada masyarakat secara

individu pada acara-acara tertentu seperti misalnya

mantu, layatan, supitan, dan lain-lain.

Sebagai ketua vihara dan juga tokoh

agama yang menjadi panutan para umat, mbah

Tugimin senantiasa memberikan dorongan

kepada para umat untuk melakukan dana sesuai

dengan ajaran guru agung sang Buddha. Bahwa

berdana sebaiknya dilakukan dengan ikhlas dan

hati yang senang, walaupun hanya sedikit yang

penting dilakukan dengan tulus.

“.....menawi saget sedoyo umat sami

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 11: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

dana saksadaripun, mboten kedah katah ingkang baken ikhlas. Ngoten nek kulo ngandani rencang-rencang...kersane urip niku nggih mboten mung urip, nanging urip sing iso nguripi marang liyane...niku urip sing enten gunane.... wong niku nek pun saged mbantu tiyang sanes...niku raosipun niku mantep... mantep karono enten gunane tumrap

wong liyo....ngoten”.

Kutipan tersebut disampaikan oleh mbah

Timan pada kegiatan wawancara dengan

penelitin pada tanggal 19 Mei 2018.

Hasil wawancara yang dilakukan pada

tanggal 23 Juni 2018 dengan informan ibu Karni:

“.......wonten pertemuan ibu-ibu wandani kolo-kolo nggih kulo sampeaken, poro ibu-ibu supados milai berdana, sekedik mboten masalah sing penting niku ikhlas trus niat ingkang sae...nggih meniko kangge ngurangi ego, kesombongan, ugi srakah...dumeh duite akeh, dumeh panen’e akeh.... ngoten.”

Dari kutipan tersebut bahwa, memberikan

dana kepada pihak lain adalah sangat penting

untuk mengurangi rasa sombong dan

keserakahan, selain itu juga menumbuhkan rasa

peduli terhadap sesama, bahwa hidup kita

berguna untuk pihak lain.

Jalan yang kedua adalah menjalankan sila

yaitu dengan melaksanakan atau mempraktekan

lima sila atau Pancasila Buddhis bagi umat Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Dinama

Pancasila Buddhis ini merupakan pedoman sila

bagi umat perumah tangga. Menjalankan

Pancasila Buddhis artinya umat memiliki tekad

untuk menjalankan lima sila yang terdiri dari: 1) bertekad menghindari pembunuhan terhadap

makhluk hidup; 2) bertekad menghindari

pencurian; 3) bertekat menghindari kata-kata

kasar dan berbohong; 4) bertekad menghindari

perbiatan asusila, dan 5) bertekad menghindari

minuman dan atau makanan yang memabukkan

atau mengakibatkan lemahnya kesadaran.

Melalui jalan ini maka pikiran baik akan

senantiasa terjaga. Hasil wawancara peneliti

dengan informan Mbah Timan pada tanggal 19

Mei 2018, sebagai berikut:

37

“Nek kulo nggih, kersane pikiran niku tetep lurus sing penting mboten sah menggalih sing neko-neko. Dieleng-eleng mawon nopo sing didawuhke swargi mbah Sawi dek jaman mbiyen... sing penting limang perkoro iku kudu di ugemi; ora oleh mateni kewan, ora oleh nyolong, ora oleh ngapusi, tumindak sing becik mbebener, lan ora nginum.... nek kulo sepriki tesik kulo eling niku,

dawuh’e wong sing pun mboten enten”.

Dari pernyataan mbah Timan tersebut dapat

di telaah bahwa yang pertama, umat Buddha di

dukuh Tanduran dalam mempelajari dan

mempraktekan Dhamma dengan cara yang sangat

sederhana. Yaitu memegang teguh apa yang

diajarkan oleh pemimpin atao tokoh agama. Ajaran

yang pernah didengarkan selalu diingai-ingat,

dipraktekan, dan dipegang teguh sebagai pedoman

hidup sehari-hari. Hal yang kedua adalah umat

mempraktekan Pancasila Buddhis dalam

kehidupan sehari-hari untuk menjaga agar pikiran

tetap terjaga dengan baik. Hal ini senada dengan

hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan

Mbah Sadinem, umat lanjut usia yang sudah jarang

mengikuti kegiatan rutin di vihara karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan:

“..........sing penting wong niku mbebener mawon, culiko, ngapusi, colong jupuk niku mawon sing kudu diguwak....kulo niku anak putu sami gemati kalih kulo nggih mergi kulo niku mboten neko-neko kalih anak putu. Sing penting gawe bungah mpun tuwo.... pikiran-pikiran sing ra penting niku

rasah diopeni, sing penting nggih

ayem tentrem niku bu.”

Jalan yang ketiga yang dilakukan untuk

menjaga pikiran tetap baik adalah dengan

bhavana. Bhavana atau meditasi adalah sebuah aktifitas yang dilakukan oleh badan dan batin dengan tujuan tertentu. Meditasi untuk umat awan

biasanya bertujuan untuk ketenangan batin dan

untuk pandangan terang. Meditasi dilaksanaan

dengan media obyek tertentu sesuai dengan umat

yang melakukan meditasi. Obyek meditasi

misalnya bisa berupa obyek betuk, obyek

pernapasan, dan obyek yang abstrak. Obyek-obyek

tersebut berfungsi untuk menuntun pikiran tetap

berada pada keadaan yang baik, dan

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 12: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

38

menghindarkan dari bentuk-bentuk pikiran yang

tidak baik.

Umat Buddha di dukuh Tandura,

mempraktekan dana, sila dalam hidup sehari-

hari dengan didukung oleh bhavana atau

meditasi. Latihan meditasi secara bersama-sama

dilaksanakan di vihara setiap malam kamis

setelah puja bakti selesai. Latihan ini

dilaksanakan secara bersama-sama, secara

sederhana umat mempraktekan latihan meditasi

ini secara sederhana dengan menggunakan

obyek pernapasan. Peneliti mengamati

pelaksanaaan latihan meditasi ini dilakukan

tanpa adanya meditator yang ahli dalam bidang

meditasi, jadi hanya dilakukan sebisanya saja

oleh masing-masing umat.

Hasil wawancara peneliti dengan mbah Timan pada tanggal 19 mei 2018, yaitu:

”Le do latian meditasi nggih sak saget-

saget’e mawon...kados sing nate

diaajarke swargi mbah sawi, ngeningke

cipto...pikiran nyatu karo badan, pikiran

ora oleh nglambrang metu soko

awak...yo neng kono kui pikiran’.

Mbah Tugimin menyampaikan pada

peneliti dalam wawancara yang dilaksanakan

pada tanggal 8 April 2018, tentang pentingnya

untuk tetap mempraktekan meditasi yang

dilaksanakan secara rutin setelah puja baktu

“.......sing penting do latihan meditasi sak iso-iso’ne, perkoro hasile pie... bakune ajaran Guru Agung Sang Buddha ki ora ilang kudu tetep dilestareake, sopo meneh nek ora awak’e dewe. Nek kesel yo leren ora kudu sak jam rong jam....dilakokke ajek bar puja bakti ki wis apik...nek ora nko

ndak do lali trus ilang...”.

Selanjutnya mbah Tugimin menjelaskan

pada kesempatan terpisah bahwa, beliau sebagai

ketua vihara menyadari dengan kemampuan dan

pengalaman beliau yang terbatas, beliau tetap

memberikan semangat kepada para umat untuk

tetap menjalankan ajaran Agama Buddha dengan

tekun. Beliau ketika menyampaikan

Dhammadesana atau sedang memimpin latihan

meditasi sebisa-bisanya dan semaksimal mungkin

dengan sesungguhan hati. Selain itu beliau juga

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

memberikan contoh keteladanan pada dirinya

sendiri, misalnya beliau menyampaikan bahwa

pada waktu-waktu tertentu dirumahnya sendiri

juga melakukan meditasi pribadi pada malam

hari. Dengan lankah seperti ini beliau yakin

bahwa umat juga akan memiliki semangat yang

sama yaitu tetap mempertahankan keyakinan

pada Buddha-Dhamma.

“.....menawi kulo pribadi, niku asring semedi piyambak teng griyo, niku nggih pitados menopo ingkang dipun dawuhaken poro guru, kersane pikiran niku langkung tenang semeleh mboten nglambrang....luwih-luwih niki lak mpun tuwo pun meh wancine.....

hahaha.....ngendikane tiyang nek ajeng tilar niku sakit lha pamrih’e saget

ngadepi tilar kanti tenang...nek pun

ngaten kersanipun saget papan

ingkang langkung sae...”.

Kutipan tersebut disampaikan oleh mbah

Tugimin dalam wawancara pada tanggal 8 April

2018, bahwa tujuan melakukan meditasi agar

supaya pikiran menjadi selalu baik dan tenang,

selain itu apabila pikiran sudah terbiasa tenang

maka ketika orang itu akan meninggal akan dapat

mengkondisikan pikiran tetap baik dan tenang,

pikiran yang tenang pada saat meninggal inilah

yang akan memperngaruhi atau menentukan

tempat kelahiran yang baru bagi yang meninggal.

Hal ini sejalan dengan Kaharuddin (2005: 280),

yang menyampaikan bahwa Mahakusala-vipaka-

citta sebagai salah satu pendorong manusia untuk

dapat bertumimbal lahir dalam alam manusia atau manussa-bhumi 1 dan di alam dewa atau deva-

bhumi 6. 2. Implikasi Mahakusala - Citta

terhadap keyakinan umat Buddha.

Para guru yang mengajarkan ajaran apapun

di dunia ini pastinya mengajarkan para umatnya

untuk senantiasa mengembangkan dan memiliki

pikiran yang baik. Karena dengan pikiran yang

baik manusia dapat mengkondisikan hidupnya

menjadi baik. Dengam memiliki pikiran yang baik

manusia juga mampu mempengaruhi kondisi

lingkungan sekitar, orang-orang disekitarnya

menjadi baik. Demikianlah kekuatan dari pikiran

mampu menciptakan apa yang manusia inginkan.

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 13: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

Seperti di jelaskan dalam Kitab Sutta

Pitaka (Anguttara Nikaya) AN. III: 248. Tentang

lima manfaat memiliki pikiran baik:

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri; (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya; (3) Ia memperoleh reputasi baik; (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan; (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu” (Bodhi, 2015: 277).

Dari kutipan tersebut bahwa dengan

memiliki pikiran yang baik manusia akan

selamat, selamat pada kehidupan sekarang,

selamat pada saat kematian, dan selamat pada

kehidupan yang akan datang.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh

peneliti dengan informan mbah mbah Sadinem

pada tanggal 10 Juni 2018, sebagai berikut:

“.......nek pun wengi mpun sepi, nek mboten pas kesel nggih sok ngening... sak saget-saget’e sing penting pikirane saget ayem semeleh...wong mpun tuo, kadang-kadang sok rumongso pripun ngoten...sok kelingan swargi mbah kakung sok kroso wedi, nek pas ngoten niku kulo sok ngening dewe...trus rodo ayem pikirane mboten wedi kedah dijogo kersane tetep sae...”.

Kutipan wawancara tersebut sejalan dengan

isi dari Kitab Suci Sutta Pitaka (Anguttara Nikaya)

AN. III: 248. (Bodhi, 2015:p.277), Tentang

manfaat memiliki pikiran baik, yang salah satunya

adalah memperoleh ketenangan pikiran, khususnya

bagi mereka yang sudah lanjut usia harus

senantiasa menjaga pikiran agar tetap dalam

kondisi baik, tidak boleh hanyut dengan perubahan kondidsi fisiknya yang mulai lemah. Hal ini jika pikiran ikut melemah dan tidak

dikembangkan pikiran yang baik maka akan

semakin memperburuk hidupnya. Seorang yang

sudah usia lanjut sebaiknya menjaga pikirannya

untuk selalu bahagia dan menerima apaadanya

yang terjadi di sekitarnya, karena ketika usia mulai

tua kenyataan-kenyataan yang tidak

39 menyenangkan akan mulai muncul, misalnya fisik menurun, penyakit, dan kenyataan akan datangnya kematian, beberapa hal tersebut akan

memperngaruhi pikiran orang-orang yang sudah

lanjut. Maka untuk mengurangi kegelisahan dan

ketakutan tersebut harus dibiasakan menjaga

pikiran untuk selalu baik, yaitu dengan

melakukan dana mengurangi keterikatan,

menjalankan sila mengurangi hawa nafsu, dan

melatih ketenangan pikiran dengan meditasi.

Hal senada juga disampaikan oleh mbah

Tugimin dalam wawancara secara terpisah,

bahwa:

“....kulo niki mpun tuo, kudune sing mimpin vihara niku nggih sing enom... lha ning kahanan entene nggih tiyang tuo-tuo ngeten niki nggih pripun malih. Bakune sing penting leh kulo nindake nggih ngeten niki sing penting niat kulo pikiran kulo sae...nek niate niku pun sae mengkeh poro umat nuki le nampi nggih sae...menawi sok enten masalah, sing penting digoleki dalan sing becik... penting dilandasi pikiran sing bening

rak mesti oleh dalan padang...”.

Selanjutnya ibu Karni juga menyampaikan,

bahwa kadang-kadang untuk hal tertentu dalam

mengelola vihara, beliau mengalami beda pendapat

dengan tokoh agama lain, yang bisa

mempengaruhi emosi pribadi. Pada situasi-situasi

seperti itu apabila tidak bisa mengendalikan

pikiran maka yang terjadi adalah pertengkaran

antara tokoh agama, ibu Karni sering mengalami

hal ini, dan jalan yang ditempuh adalah dengan

diam untuk sementara supaya pikiran agak tenang

baru kemudian dilakukan tindakan untuk

menyelesaikan masalah. Hal ini berarti

permasalahan akan dapat diselesaikan dengan

solusi yang baik jika kondisi pikiran itu tenang,

apabila dalam menyelesaikan masalah dalam

kondisi pikiran yang emosi maka solusi yang

diambil tentu saja kurang baik.

Dari beberapa uraian tersebut, dengan

dilandasi oleh pikiran yang baik, maka akan

mampu mengatasi permasalahan yang muncul

dengan jalan yang baik, baik itu permasalahan

vihara maupun permasalahan pribadi.

Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 14: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

40

yang dilakukan peneliti pada kehidupan sehari-

hari salah satu informan mbah Timan, peneliti

mendapatkan sebuah potret bahwa, sosok mbah

Timan ini yang merupakan ketua vihara, namum

penampilannya sangat sederhana. Misalnya dari

cara berpakaian saja dalam beberapa acara yang

berbeda harinya hanya mengenakan baju yang

itu-itu saja dan tidak terkesan mahal, kemudian

peneliti melanjutkan ke dalam wawancara:

“.....mboten nopo-nopo, niki kulo ngge teng vihara ndak malem kemis, nggih kulo ngge nek enten acara teng njobo... mboten nopo-nopo, mboten isin biasa mawon....jane bocah-bocah nggih numbaske, ning niki kulo niku tiyange nggih biasa mawon ngeten niki...sing penting atine seneng, gadah rasuk’an katah ning ati lan pikirane mboten seneng malah nggrameh to bu....nopo- nopo niku sing penting pikirane kok

bu...angger pikirane niku seneng le

nglakoni urip niku nggih semeleh...

mboten ngagas sing neko-neko”.

Pikiran yang dijaga untuk selalu baik dan

seimbang, akan mempengaruhi kualitas hidup

yang dijalani. Dengan keadaan yang seadanya

manum pikiran terjaga dengan baik, maka akan

bahagia dalam menjalani hidup, yang artinya

kualitas hidup menjadi baik, begitu juga

sebaliknya.

“.....teng nggen Dhammadesana niku, kulo wanti-wanti kalih sedoyo umat.... supados pikiran kudu dijogo, kudu tetep eling lan nindakaken ajaran Guru Agung Sang Buddha....sing gampang- gampang mawon, raketang sitik dana, raketang sewulan pisan nindakne poso...atthasila, raketang seminggu pisan yo latian meditasi teng ngomah’e dewe-dewe po neng vihara...niku kudu kersane ajaran tetep lestari, mboten ilang, lan sing baku keyakinan umat mriki niku tetep nggremboko”.

Dari kutipan tersebut, dengan tetap

menjaga pikiran dan mengembangkan pikiran

baik melalui dana, menjalankan sila, dan melatih

pikiran dengan meditasi maka akan membentuk

keyakinan yang baik, keyakinan terhadap

Buddha-sasana, keyakinan untuk senantiasa

mempraktekan ajaran, dan belajar Kitab Suci.

Hal ini sejalan dengan konsep Keyakinan

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

dalam agama Buddha yang didasarkan pada

Ehipassiko yaitu setelah kita datang, kita melihat

selanjutnya mempraktekan mengalami atau

membuktikan kebenaran tersebut. Umat Buddha

memiliki keyakinan terhadap Sad-saddha yang

berarti keyakinan terhadap enam hal. Enam hal

tersebut dijelaskan oleh (Tjeng, 2008:p.21), yang

terdiri dari: 1) Keyakinan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa; 2) Keyakinan terhadap Tri Ratna;3)

Keyakinan terhadap Bodhisatva, Arahat, dan Para

Buddha; 4) Keyakinan terhadap Hukum

Kesunyataan; 5) Keyakinan terhadap Kitab Suci;

dan 6) Keyakinan terhadap Nibbana.

Kesimpulan

1. Peran Mahakusala-citta dalam

mempertahankan keyakinan umat Buddha

di Vihara Dhama Maha Virya Kecamatan

Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa

Tengah, bahwa pikiran baik dilandasi

dengan rasa senang (Somannassa), yang

dikembangkan melalui dana, sila, dan

bhavana akan menjadi pondasi yang

kuat untuk mengembangkan panna/

kebijaksanaan dan keyakinan terhadap

Buddha-sasana. Selain itu dengan

mengembangkan mahakusala-citta

merupakan pendorong manusia untuk

dapat bertumimbal lahir di alam yang lebih

baik/tinggi pada kehidupan selanjutnya,

yaitu di alam manusia dengan kondisi yang

lebih baik. 2. Implikasi Mahakusala-Citta terhadap

keyakinan umat Buddha di Vihara Dhama

Maha Virya Kecamatan Jatisrono,

Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, bahwa

dengan mengembangkan mahakusala-citta

mampu mengatasi persoalan-persoalan

hidup yang dirasakan dalam kehidupan

sehari-hari. Ketika permasalahan hidup

secara mental dapat diatasi dengan

mengembangkan pikiran baik tersebut maka

kualitas hidup yang menjadi baik, sehingga

dapat menjalani hidup dengan bahagia

apapun keadaannya. Hal ini berimplikasi

umat menyadari untuk tetap menjalankan

ajaran agama dengan sungguh-sungguh

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Page 15: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …

Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan

dan tetap menjaga keyakinan yang baik terhadap Buddha-sasana.

DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar. 2011. Pokoknya

Kualitatif

Dasar-dasar Merancang dan Melakukan

Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya: Jakarta.

Cheng Yen, Shih. 2015. 37 Faktor

Pencerahan. Jing Si Mustika Abadi

Indonesia: Jakarta.

Dhammadhiro. 2005. PARITA SUCI

Kumpulan Wacanapali UntukU pacara dan

Puja. Yayasan Sangha Theravada

Indonesia. Jakarta.

Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan

Umat Buddha. Pustaka Karaniya: Jakarta.

Gunawan, Imam. 2015. Metode Penelitian

Kualitatif Teori & Praktek.

Bumi Aksara: Jakarta.

Hurlock, Elizabeth B. 2016.

Psikologi Perkembangan Suatu

Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga: Jakarta.

Jalaluddin. 2007. Psikologi Agama. Raja

Grafindo Persada: Jakarta.

Kaharuddin, 2005.

Abhidhammatthasangaha. Yanwreko Wahana Karya: Jakarta

NN. 2013. UUD 1945 Hasil Amandemen &

Proses Amandemen UUD 1945

Secara Lengkap. Sinar Grafika:

Jakarta. Poerwadarminta. 2007. Kamus Umum Bahasa

Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Rewata Dhamma, U. 2011. Panduan

Komprehensif Tentang Abhidhamma,

Etika, Psikologi, dan Filsafat Ajaran

Buddha. Karaniya: Jakarta. Sugiyono, 2013. Memahami Penelitian Kualitatif.

Alfabeta: Bandung. Tin Mon, Mehm, 2014. The assence of

Buddha Abhidhamma. Manggala

Indah: Jakarta.

Tjeng Ing, Virana. 2008. Keyakinan Umat

Buddha (Menjadi Buddhis Sejati).Santusita: Jakarta.

Vijjnanda, Handaka. 2015. DHAMMAPADA Syair

Kebenaran. Ehipassiko Foundation: Jakarta. Yusuf, Muri. 2015. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.

Prenada media Group: Jakarta. Jurnal: Journal of Edupres,Volume 1 September2011 Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 13 No. 1

Juni 2016

41

Page 16: PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN …