peran mahakusala-citta dalam mempertahankan …
TRANSCRIPT
PERAN MAHAKUSALA-CITTA DALAM MEMPERTAHANKAN
KEYAKINAN UMAT BUDDHA
Niken Wardani, S.H., M.Pd.B. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
Wonogiri Jawa Tengah
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peran Mahakusala-Citta dalam mempertahankan
keyakinan umat Buddha, dan untuk menganalisa implikasi Mahakusala-Citta terhadap keyakinan
umat Buddha. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan
Observasi dan wawancara dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh agama dan
beberapa umat Buddha di dukuh Tanduran. Mahakusala-citta atau pikiran baik dilandasi dengan rasa senang (Somannassa), yang
dikembangkan melalui dana, sila, dan bhavana akan menjadi pondasi yang kuat untuk
mengembangkan panna/kebijaksanaan dan keyakinan terhadap Buddha-sasana. Selain itu dengan
mengembangkan mahakusala-citta merupakan pendorong manusia untuk dapat bertumimbal lahir di
alam yang lebih baik/tinggi pada kehidupan selanjutnya, yaitu di alam manusia dengan kondisi yang
lebih baik dan di alam Dewa-bhumi 6. Mengembangkan mahakusala-citta mampu mengatasi
persoalan-persoalan hidup yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berimplikasi umat
menyadari untuk tetap menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh dan tetap menjaga
keyakinan yang baik terhadap Buddha-sasana. Kata kunci: Mahakusala-citta, Keyakinan, Umat Buddha
Abstract
This research has purpose to analyse mahakusala-citta in defending the faith of Buddhist and to
analyse the implication of mahakusala-citta to the faith of Buddhist. This research is using qualitative
method. Data was submitted by using observation and interview with the interviewee. The interviewee
in this research were the prominent figure of Buddhis and some Buddhism fellowship at Tanduran
village. Mahakusala-citta or the good mind is based on happy feeling (sommanasa), which is developed
through dana, sila, and bhavana will be the strong foundation to develop panna (wisdom) and the
faith to Buddha-sasana. Beside that, by developing mahakusala-citta, it can push the human to be
reincarnated to the higher realm in the next after life, that is in human life in better condition and in the
realm of Deva-bhumi 6. By increasing or developing mahakusala-citta, the Buddhist will be able to
solve many problems in life. This thing will implicate to the Buddhist to keep their faith truly and to
keep the good mind faith to Buddha-sasana. Keywords: Mahakusala-citta, Faith, Buddhist.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
28
PENDAHULUAN
Maslow dalam Jalaluddin (2007:p.155),
menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki
kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar
hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama,
kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk
hidup seperti makan, minum, istirahat, dan
sebagainya. kedua, kebutuhan akan rasa aman yang
mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan
cemas. Kebutuhan ini dimanifestasikan antara lain
dalam bentuk tempat tinggal yang permanen.
Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara
lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia.
Manusia membutuhkan saling perhatian dan
keintiman dalam pergaulan hidup. Keempat,
kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini
dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi
diri antara lain dengan berbuat sesuatu yang
berguna. Pada tahap ini orang ingin agar buah
pikirannyadihargai. Salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan belajar agama sebagai
Agama bagi orang dewasa adalah sebagai
filter dan rem, sebagai filter terhadap pengaruh-
pengaruh negatif sebagai dampak dari pergaulan
dengan lingkungan dan interaksi dengan orang-
orang sekitarnya. Orang dewasa memiliki peluang
terhadap adanya persoalan, stress, frustasi dan lain-
lain. Persoalan-persoalan ini muncul dari keluarga,
tempat kerja, lingkungan dan lain-lain, sehingga
agama memiliki peran sebagai rem atau pengendali
untuk tidak terlarut dalam persoalan-persoalan
yang sedang dihadapi. Agama membantu orang
dewasa menemukan solusi atas persoalan-
persoalan tersebut.
Hurlock (2016:p.442), kebahagiaan di masa
usia lanjut dipengaruhi oleh tiga “A” (tree A’s of
happiness), yaitu acceptance (penerimaan),
affection (pengasihan), dan achievement
(penghasilan). Apabila seseorang tidak dapat
memenuhi ketiga A tersebut, hal ini sulit, kalau
tidak ingin dikatakan, tidak mungkin bagi
seseorang usia lanjut untuk bisa hidup bahagia.
Misalnya, apabila mereka merasa diabaikan oleh
anak-anaknya yang sudah dewasa, atau oleh
anggota keluarga yang lain, apabila mereka merasa
bahwa prestasinya pada masa lampau
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
tidak dapat memenuhi harapan dan keinginannya,
atau apabila mereka mengembangkan perasaan
tidak ada satu orangpun yang mencintainya secara
kompleks, maka hal ini tidak dapat dihindari lagi
bahwa mereka pasti akan merasa tidak bahagia.
Berdasarkan hasil observasi dan hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada umat
Buddha di vihara Dhama Maha Virya kecamatan
Jatisrono, peneliti menemukan beberapa fakta yang
ada. Rata-rata umat Buddha di vihara Dhama
Maha Virya merupakan umat yang lanjut usia, dan
hanya sedikit umat yang berusia muda. Anak-anak
dari para umat ini melakukan pindah ke agama lain
karena perkawinan dan karena pengaruh pergaulan
dengan teman sejawat. Dari beberapa umat yang
lanjut usia ini ada yang mengikuti anak-anaknya
melakukan pendah ke agama lain, dan ada
beberapa umat yang masih tetap bertahan dengan
berkeyakinan menjalankan ajaran Buddha. Fakta
lain yang ditemukan oleh peneliti adalah
pelaksanaan pembinaan dan pendampingan umat
belum dilaksanakan dengan maksimal.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mahakusala-citta
Citta adalah (kesadaran/pikiran) itu? Yang
disebut citta (kesadaran/pikiran) adalah
“keadaan yang mengetahui obyek” atau
“keadaan yang menerima, mengingat, berpikir
dan mengetahui obyek”. Ada pertanyaan dalam
bahasa Pali“ARAMMANAM CINTETITI:
CITTAM”, yang artinya keadaan yang
mengetahui obyek, yaitu yang selalu menerima
obyek, keadaan itu disebut “kesadaran/pikiran”
(Kaharuddin, 2005:p.7).
Kitab Suci Dhammapada syair 1 dan 2,
Vijjnanda (2015:p.1), menjelaskan tentang peran
penting dari pikiran sebagai berikut:
“Manopubbaṅgamā dhammā,
manoseṭṭhā manomayā
manasā ce paduṭṭhena, bhāsati
vākaroti vā
tato naṁ dukkhamanveti, cakkaṁva
vahato padaṁ”.
Artinya:
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Pikiran adalah pelopor dari segala
sesuatu,
Pikiran adalah pemimpan, pikiran
adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat
dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya
bagaikan roda pedati mengikuti
langkah kaki lembu yang menariknya.
Mahakusala-citta terdiri dari tiga suku kata
yaitu Maha = besar, kusala = baik dan citta =
pikiran, sehingga jika dirangkai Mahakusala-citta
berarti pikiran atau kesadaran baik yang lebih
besar. Rewata (2011:p.11), menjelaskan bahwa
kata bahasa pali, citta, diturunkan dari akar kata-
kerja citi, yang berarti mengkognisi (mengetahui).
Para komentator mendefinisikan citta dalam tiga
cara, yaitu: sebagai agen, sebagai instrument, dan
sebagai aktivitas. Sebagai agen, citta adalah yang
mengkognisi sebuah objek (arammanam cinteti ti
cittam). Sebagai instrument, citta adalah yang
digunakan oleh faktor-faktor mental yang
menyertainya di dalam mengkognisi objek (etena
cinteti ti cittam). Sebagai aktivitas, citta adalah
proses mengkognisi objek itu sendiri
(cintanamattam cittam).
Karakter dari citta atau pikiran dijelaskan
oleh Rewata (2011:p.12), bahwa pada citta,
karakteristiknya adalah mengetahui sebuah objek
(vijanana). Fungsinya adalah sebagai pelopor
(pubbangama) bagi factor-faktor mental, dimana
citta memimpin dan selalu disertai oleh cetasika.
Manifestasinya (cara citta menampakkan dirinya di
dalam pengalaman meditator) adalah sebagai
sebuah kesinambungan-proses (sandhana). Sebab
terdekatnya adalah mental dan materi (nama-
rupa); karena kesadaran tidak bisa muncul
sendirian, tanpa kemunculan sama sekali dari
faktor-faktor mental maupun fenomena materi.
Kaharuddin (2005:p.44), menjelaskan
bahwa mahakusala-citta berarti kesadaran/pikiran
yang maha baik. Kesadaran/pikiran ini timbul
sangat luas; dapat timbul pada tiga puluh alam
kehidupan (tidak termasuk alam Asannasatta
karena makhluk yang berdiam di alam ini tidak
memiliki nama-khandha). Kesadaran/pikiran
29 ini dapat menimbulkan kefaedahan dalam
melaksanakan dana dan sila, dapat menimbulkan
jhana, magga, dan phala, sehingga mencapai
obyek Nibbana (yaitu saat Mahakusala-citta
mencapai gotrabhu-nana atau pengetahuan dari
keadaan masak).
Mehm Tin Mon (2014:p.56), Terdapat
delapan jenis Mahakusala-citta, antara lain: 1) Somannassasahagatam nanasampayuttam
asankharikam:
Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani
oleh perasaan senang, dan bersekutu
dengan pengetahuan. 2) Somannassasahagatam nanasampayuttam
sasankharikam:
Satu kesadaran dengan dorongan,
ditemani oleh perasaan senang, dan
bersekutu dengan pengetahuan. 3) Somannassasahagatam nanavipayuttam
asankharikam:
Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani
oleh perasaan senang, dan tidak bersekutu
dengan pengetahuan. 4) Somannassasahagatam nanavipayuttam
sasankharikam:
Satu kesadaran, dengan dorongan
ditemani oleh perasaan senang, dan tidak
bersekutu dengan pengetahuan. 5) Upekkhasahagatan nanasampayuttam
asankharikam:
Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani
oleh perasaan netral, dan bersekutu
dengan pengetahuan. 6) Upekkhasahagatan nanasampayuttam
sasankharikam:
Satu kesadaran, dengan dorongan,
ditemani oleh perasaan netral, dan
bersekutu dengan pengatahuan. 7) Upekkhasahagatan nanavipayuttam
asankharikam:
Satu kesadaran, tanpa dorongan, ditemani
oleh perasaan netral, dan tidak bersekutu
dengan pengetahuan. 8) Upekkhasahagatannanavipayuttam
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
30
sasankharikam:
Satu kesadaran, dengan dorongan,
ditemani oleh perasaan netral, dan tidak
bersekutu dengan pengetahuan.
Mahakusala-citta merupakan bagian dari
sobhana-citta. Mehm Tin Mon (2014:p.55),
menjelaskan bahwa sobhana-citta/sobhana-
indah menghasilkan sifat yang baik dan mereka
bersekutu dengan akar yang indah seperti alobha
(murah hati), adosa (niat baik), dan amoha
(kebijaksanaan). Selanjutnya dijelaskan maha-
kusala citta yang menjadi bagian dari sobhana-
citta muncul ketika orang-orang awam
(puthujjana) dan orang-orang suci dengan
kekecualian arahat melakukan perbuatan bajik
seperti dana (berderma), sila (moralitas) dan
bhavana (meditasi).
Mehm Tin Mon (2014:p.57), menjelaskan
bahwa pada saat kita berderma, jika kita
memiliki ketidakmelekatan (alobha) terhadap
derma tersebut dan niat yang baik (adosa) untuk
kesejahteraan orang yang menerima derma.
Lebih lebih, jika kita juga memiliki pengetahuan
(amoha) tentang kamma dan hasil kamma pada
saat memberi, kita memiliki kesemua dari tiga
akar bermoral yang menemani citta kita. Akar
yang bermoral akan senantiasa memunculkan
kesadaran yang indah (sobhana-citta).
Fungsi Mahakusala-citta
Mahakusala-citta muncul ketika orang-
orang awam (puthujjana) dan orang-orang suci
dengan kekecualian arahat melakukan perbuatan
bajik seperti dana (berderma), sila (moralitas)
dan bhavana (meditasi) (Tin Mon, 2014:p.55).
Kaharuddin (2005:p.54-55), menjelaskan
bahwa sebab yang menimbulkan Mahakusala-
citta adalah “Yonisomanasikara”, yaitu
penyelidikan obyek dengan sewajarnya. Bila
pikiran menyentuh salah satu obyek hasil
cerapan dari salah-satu indriya melalui dvara 6
(enam pintu) dan menyelidiki sampai keadaan
yang sebenarnya, maka ini disebut
“Yonisomanasikara”. Selanjutnya dijelaskan
tentang sebab-sebab yang menimbulkan
mahakusala-citta yang terdiri dari somanassa-
kusala-cittadanupekkha-kusala-citta, antara lain:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
1) Somanassa-kusala-citta, terdiri
dari 6 macam antara lain yaitu:
Bertumimbal lahir dengan Somanassa
(Somanassapatisandhikata);Mempunyai
keyakinan yang mendalam terhadap
Tiratana(Saddhabahulata);Berpandangan
suci/benar (Visuddhitthita);Nampak
pahala dari kusala-kamma
(Anisamsadassavita);Mempunyai obyek
yang baik (Ittharammanasamayogo);dan
Tidak ada halangan apa-apa (Kassacipilabhavo);
2) Upekkha-kusala-citta, terdiri dari 6 macam
yaitu: Bertumimbal lahir dengan upekkha
(Upekkhapatisandhikata);Mempunyai
sedikit keyakinan
(Appasaddhata);Mempunyai pendangan salah (Avisuddhiditthita);Tidak Nampak
atau tidak mengerti pahala
dari kulasa-kamma (Anisamsa
adassavita);Mempunyai obyek tingkat
sedang (Majjhattakammanasamayogo);
danAdahalangan/sebagiam (Kassacipilikata).
Mahakusala-citta dengan delapan jenis
citta tersebut akan membawa hasil atau akibat
yang disebut dengan Mahakusala-vipaka-citta,
yang berperan sebagai salah satu pendorong
manusia untuk dapat bertumimbal lahir dalam
alam manusia atau manussa-bhumi 1 dan di
alam dewa atau deva-bhumi 6(Kaharuddin,
2005:p.280). Manfaat Mahakusala-citta
Manfaat memiliki mahakusala-citta salah
satunya dijelaskan dalam Ubhayattha Sutta
(Itivuttaka-Khuddhaka Nikaya), tentang
ketekunan. Diterangkan bahwa ada satu hal jika
dikembangkan dan terus dilaksanakan akan
membuat orang memperoleh dan
mempertahankan dua jenis kesejahteraan yang
akan bertahan dimasa depan : Ketekunan dalam
melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat.
Ketekunan akan membawa manfaat ganda :
kesejahteraan sekarang dan kesejahteraan dalam
kehidupan yang akan datang.
Selanjutnya dalam Kitab Sutta Pitaka
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan (Anguttara Nikaya) AN. III: 248. Tentang manfaat memiliki pikiran baik adalah sebagai berikut:
“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri; (2) Para bijaksana, sete lah menyelidiki, memujinya; (3) Ia memperoleh reputasi baik; (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan; (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu” (Bodhi, 2015: 277).
Keyakinan Iman adalah percaya akan sesuatu yang
menurut akal budimu hal itu benar; karena jika
akal budimu menyetujuinya, tidak akanada
pertanyaan tentang iman buta (Voltaire dalam
Dhammananda, 2002:p.251).
Dalam agama Buddha keyakinan disebut
dengan istilahSaddhaatau Sradha. Keyakinan
disini bukan berarti kepercayaan yang membabi-
buta atau asal percaya saja, akan tetapi merupakan
“suatu keyakinan yang didasarkan pada pengertian
yang muncul karena bertanya dan menyelidiki”.
Karena keyakinan itu muncul akibat pengertian,
maka keyakinan umat Buddha pada sesuatu yang
diyakini adalah tidak sama kualitasnya. Tidak ada
pengertian yang sama pada orang berbeda-beda,
dan akibatnya kualitas keyakinan setiap individu
berbeda (Tjeng, 2008:p.20).
Keyakinan dalam agama Buddha yang
didasarkan pada Ehipassiko yaitu setelah kita
datang, kita melihat selanjutnya mempraktekan
mengalami atau membuktikan kebenaran
tersebut. Umat Buddha memiliki keyakinan
terhadap Sad-saddha yang berarti keyakinan
terhadap enam hal. Enam hal tersebut dijelaskan
oleh (Tjeng, 2008:p.21), yang terdiri dari: 1)
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2)
Keyakinan terhadap Tri Ratna;3) Keyakinan
terhadap Bodhisatva, Arahat, dan Para Buddha; 4) Keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan; 5)
Keyakinan terhadap Kitab Suci; dan 6)
Keyakinan terhadap Nibbana.
Cheng Yen (2015:p.141), menjelaskan
31 bahwa yakin terhadap jalan benar dan berbagai
faktor pencerahan. Jika akar keyakinan tumbuh,
kita akan dapat mencegah segala noda banti, serta
tidak akan terpengaruh oleh keraguan dan
menyimpang kearah pemahaman kecil. Inilah
kekuatan keyakinan. Selanjutnya dijelaskan bahwa
jika akar keyakinan tumbuh, kita akan dapat
mencegah segala noda batin. Maksud dari
mencegah adalah mengantisipasi. Jika keyakinan
benar dan pikiran benar dapat berkembang,
makaakar keyakinan kita akan semakin kokoh.
Dengan demikian, kita akan dapat mengantisipasi
timbulnya berbagai noda batin. Umat Buddha
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Poerwadarminta, 2007:p.1334), Umat adalah 1) Para penganut suatu agama atau nabi; -Islam;
-Kristen; 2) Orang banyak; khalayak ramai;
publik; dan 3) (-Manusia), sekalian bangsa
manusia.
Berdasarkan pengertian umat tersebut
diatas maka umat Buddha adalah para penganut
agama Buddha, orang-orang yang memeluk
agama Buddha. Dengan kata lain umat Buddha
adalah orang yang secara sipil tercatat di dalam
kantor pencatatan sipil sebagai orang yang
beragama Buddha. Kerangka Berpikir
Keyakinan umat Buddha diperngaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan dan belum
maksimalnya umat Buddha lanjut usia dalam
menjalankan ajaran Dhamma. Hal tersebut akan
mengakibatkan lemahnya keyakinan umat Buddha
lanjut usia. Disini diperlukan adanya suatu
pembinaan dan pendampingan oleh tokoh agama
untuk menjalankan atau mempraktekan ajaran
Dhamma (Mahakusala-citta) dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat diaplikasikan ke dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di
vihara Dhama Maha Virya. Dengan adanya
kolaborasi yang baik tersebut maka umat Buddha
lanjut usia masih tetap bertahan dengan
keyakinannya dan tetap menjalankan ajaran
Agama Buddha., selain itu para umat Buddha
lanjut usia dapat menjalani kehidupannya yang
memasuki masa-masa akhir dengan damai dan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
32
bahagia apapun keadaan yang ada.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, analisa
data bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi (Sugiyono, 2013:p.1).
Pendekatan yang dipergunakan adalah
dengan case studies (studi kasus). Penelitian kasus
adalah suatu proses pengumpulan data dan
informasi secara mendalam, mendetail, intensif,
holistik, dan sistematis tentang orang, kejadian,
social setting (latar sosial), atau kelompok dengan
menggunakan berbagai metode dan teknik serta
banyak sumber informasi untuk memahami secara
efektif bagaimana orang, kejadian, latar alami
(social setting) itu beroperasi atau berfungsi sesuai
dengan konteksnya (Yusuf, 2013:p.339).
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksankan di Vihara Dhama
Maha Virya dukuh Tanduran. kecamatan
Jatisrono, kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Adapun penelitian akan dimulai pada bulan
Februari sampai dengan bulan Juli tahun 2018.
Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, data
dikumpulkan berupa data deskriptif, misalnya
dokumen pribadi, catatan lapangan, tindakan
responden, dokumen, dan lain-lain (Prastowo,
2014:p.43). Dalam penelitian ini data diperoleh
dari hasil observasi yang dilakukan pada
kehidupan sehari-hari umat Buddha Vihara
Dhama Maha Virya. Selain itu data diperoleh
dengan melakukan wawancara dengan beberapa
informan yang terdiri dari tokoh agama Buddha
Vihara Dhama Maha Virya, dan umat lanjut usia
Vihara Dhama Maha Virya.
Teknik Pengumpulan Data Prinsip pengumpulan data penelitian
kualitatif menurut Gunawan (2015:p.142),
adalah 1) menggunakan multi sumber bukti,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
menggunakan banyak informan dan memerhatikan
sumber-sumber bukti lain; 2) menciptakan data
dasar studi kasus, mengorganisir dan
mengkoordinasikan data yang telah terkumpul,
biasanya studi kasus memakan waktu yang cukup
lama dan data diperolehnya pun cukup banyak
sehingga perlu dilakukan pengorganisasian data,
supaya data yang terkumpul tidak hilang saat
dibutuhkan nanti; dan 3) memelihara rangkaian
bukti, tujuan agar bisa ditelusuri dari bukti-bukti
yang ada, berkenaan dengan studi kasus yang
sedang dijalankan, penting ketika menelusuri
kekurangan data lapangan. Teknik Analisa Data
Proses analisa data dilakukan dalam tiga
tahap, seperti dijelaskan dalam Sugiyono
(2013:p.90), yaitu: 1) analisa data sebelum di
lapangan; 2) analisa data selama dilapangan
model Miles and Huberman; dan 3) analisa data
selama di lapangan model Spradley. Dalam
analisa data sebelum di lapangan, peneliti telah
melakukan analisa data sebelum peneliti
memasuki lapangan. Analisa dilakukan terhadap
data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder
yang akan digunakan untuk menentukan fokus
penelitian. Keabsahan Data
Uji keabsahan data meliputi uji credibility
(validitas interbal), transferability (validitas
eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmbility (obyektivitas) (Sugiyono,
2013:p.121).
Hasil Penelitian Lokasi Penelitian
Vihara Dhama Maha Virya berada di
wilayah yang sangat tepencil di wilayah
kabupaten Wonogiri bagian timur yaitu di dukuh
Tanduran, RT. 07, Rw. 03 kelurahan Jatisari,
kecamatan Jatisrono kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah. Berbatasan darat dengan kecamatan
Sidoharjo di sebelah barat, kecamatan Jatipurno
disebelah utara, kecamatan Slogohimo disebelah
timur, dan kecamatan Jatiroto di sebelah selatan. Sejarah Vihara Dhama Maha Vidya
Vihara Dhama Maha Virya mulai berdiri
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1985 yang didirikan secara mandiri
oleh umat Buddha di dukuh Tanduran dengan
bergotong-royong, dan diresmikan oleh Bhante
Giri. Vihara Dhama Maha Virya berada di bawah
bimbingan Majelis Theravada Indonesia. Jumlah
umat pada awal berdirinya vihara Dhama Maha
Virya adalah sebanyak 125 orang. Sebelum vihara
Dhama Maha Virya berdiri, umat melakukan
kegiatan keagamaan seperti sembahyang di rumah
ketua atau tokoh umat Buddha pada waktu itu yaitu
Romo Sawi Karso Cangkring yang biasa dipanggil
dengan nama Romo Sawi. Romo Sawi merupakan
tokoh agama Buddha yang sangat giat dan tekun
membina umat Buddha di wilayah Jatisrono dan
wilayah lain di kabupaten Wonogiri.
Setelah Romo Sawi meninggal vihara
Dhama Maha Virya dipimpin oleh Romo Hadi
Suwito yang biasa dipanggil dengan Mbah
Tugimim sampai dengan sekarang. Pada saat ini
jumlah umat mengalami penurunan yaitu sebanyak
50 orang. Umat yang masih ada saat ini sebagian
besar adalah umat yang sudah berusia tua,
sementara generasi muda hampir tidak ada. Hal
yang terjadi adalah banyak dari anak-anak mereka
yang ketika menginjak dewasa melakukan pindah
agama karena oleh akibat dari pernikahan berbeda
agama. Seperti disampaikan oleh Mbah Tugimin
sebagai berikut:
“Mbiyen ki umate yo akeh, ning karono do rabi…bojone agamane beda do katut melu bojone dewe-dewe. Dadi
umat sing enom ki iwis ora ono kari sing tuo-tuo ngene iki”.
Mbah Tugimin menyampaikan bahwa dulu
umat di vihara Dhama Maha Virya cukup banyak,
tetapi sampai saat ini umat hanya tinggal sedikit
dan hanya yang berusia tua saja. Hal ini
dikarenakan adanya pernikahan yang terjadi antara
generasi muda umat Buddha dengan umat agama
lain, kemudian para generasi muda tersebut
melakukan pindah agama mengikuti agama dari
pasangannya masing-masing tersebut, sehingga
pada saat ini tinggal umat yang tua-tua saja yang
masing menganut keyakinan agama Buddha.
Selanjutnya mbah Tugimin menyampaikan:
“Kulo dewe niku contone, anak kulo
niku sedoyo agamane beda kalih kulo..
33
wong yo jaman semono kulo niki mboten saged nglarang karepe bocah....bocah- bocah niku gadah pilihan piyambak-piyambak, mangkeh nek kulo larang malah nesu...nek bocah niku nesu sok-sok malah enten kedadean sing mboten sekeco....dados nggih sampun sing penting bocah podo seneng. ning kulo
niki nggih mboten nopo-nopo, anak-
anak kulo nggih mboten napao-nopo
tetep rukun sak kluargo”
Sebagian besar para orang tua tidak bisa
melarang anak-anaknya melakukan pernikahan
beda agama dan mengikuti agama pasangannya
masing-masing, karena mereka merasa anak-
anak sudah punya pilihan hidup masing-masing.
Jika di larang kemungkinan anak akan ngambek
dan kalau seperti itu maka menurut beberapa
kejadian yang pernah terjadi malah akan terjadi
hal yang tidak diinginkan.
Selanjutnya mbah Tugimin menjelaskan
bahwa, dengan adanya perbedaan yang ada
tersebut hendaknya disikapi dengan bijaksana.
Mbah Tigumin sendiri juga menjalani hidup
dengan tradisi dan kebiasaan agama Buddha
bersama dengan istrinya. Mbah Tugimin memiliki
prinsip dan memiliki keyakinan yang kuat sesuai
dengan apa yang telah diajarkan oleh sesepuh
agama Buddha dukuh Tanduran pada waktu itu.
Menurut mbah Tugimin dulu sesepuh
agama Buddha di dukuh Tanduran yaitu mbah
Sawi Karso Cangkring pernah memberikan
nasehat kepada para umat Buddha yaitu:
“Kabeh anak putuku iki mbesuk bakal ono dayoh, ning kowe kabeh ojo kalah karo dayoh iku, nek kowe kalah karo dayoh bakal bubar lan lan ilang opo kang mbok sinau saklawase, bakal ketinggalan batinmu”.
Nasehat tersebut mengatakan bahwa pada
masa yang akan datang nanti akan ada sesuatu yang
baru, dengan hal yang baru tersebut diharapkan umat
Buddha tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap
ajara Guru Agung Sang Buddha. Apabila para umat
tergoyahkan atau keyakinannya tidak kuat maka
kualitas batin masing-masing akan menurun dan
Buddha-sasana akan hilang. Bagi mbah Tugimin
pesan tersebut bukan hanya sekedar pesan, namun
memiliki maksud bahwa
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
34
mbah sawi pada waktu itu sekaligus memberikan
tugas yang sangat penting kepada mbah Tugimin.
Tugas tersebut adalah bahwa mbah
Tugimin harus memiliki tekat kuat dan pendirian
atau keyakinan yang kuat, untuk memimpin
umat Buddha di dukuh Tanduran speninggalnya
mbah Sawi. Selain itu adanya pesan tersebut
mengingatkan bahwa mbah Tugimin harus tetep
melestarikan ajaran Agama Buddha di dukuh
Tanduran, membina umat jangan sampai ajaran
agama Buddha itu ditinggalkan dan menjadi
hilang dari dukuh Tanduran.
Kondisi Umat Buddha Vihara Dhama
Maha Vidya Umat Buddha Vihara Dhama Maha Virya
pada saat ini adalah sebanyak 50 orang, yang
terdiri dari 27 umat laki-laki dan 23 umat
perempuan. Sebagian besar umat merupakan
umat lanjut usia atau dalam istilah Jawa disebut
dengan “sepuh”, dan hanya ada beberapa umat
yang masih berusia muda.
Kondisi umat Buddha di dukuh Tanduran
sebagian besar adalah umat lanjut usia dengan
latar belakang pendidikan yang rendah. Hal ini
disampaikan oleh mbah Tugimin dalam
wawancara pada tanggal 8 April 2018:
“Kulo niku namung lulusan SR nek coro sakniki nggih SD. Menawi umat mriki nggih roto-roto niku, malah enten sing mboten sekolah barang kados mbah Sadinem, trus sing mpun sepah-sepah niku, nggih kados meketen niki kawontenanipun bu”.
Dengan melihat latar belakang pendidikan
umat yang rendah tersebut dan dengan hasil
observasi oleh peneliti, bahwa umat memiliki
pengetahuan tentang ajaran agama Buddha yang
sangat terbatas. Peneliti melihat bahwa pada saat
ada pihak dari luar yang hadir pada kegiatan-
kegiatan keagamaan misalnya di kebaktian rutin
pada malam kamis, antusias umat sangat terasa.
Hal ini nanpak pada saat peneliti hadir pada
acara sebulan pendalaman Dhamma dan mengisi
Dhammadesana disana, umat mengikuti kegiatan
dengan antusias dan ketika acara sudah selesai
dan sudah tiba waktunya untuk pulang, umat
tidak mengijinkan peneliti untuk pulang dan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
masih mengajak untuk berbincang-bincang. Ini
mencerminkan bahwa umat sangat mengharapkan
adanya pihak dari luar yang terlibat untuk
membina umat di dukuh Tanduran. Kegiatan Keagamaan
Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan
umat Buddha Vihara Dhama Maha Virya antara
lain: 1. Puja bakti/Sembahyang
Umat Buddha Dhama Maha Virya
melakukan puja bakti secara rutin setiap
hari Rabu malam atau malam Kamis.
Kegiatan puja bakti ini dilaksanakan
mulai pada pukul 19.00 WIB sampai
dengan selesai. Puja bakti dilaksanakan
dengan melafalkan paritta-paritta pali,
antara lain: Namakara Gatha, Puja Gatha,
ubbabhaganamakara/Vandana, Tisarana,
Pancasila, Buddhanussati,
Dhammanussati, Sanghanussati,
Saccakiriya gatha, dan Ettavata. Dalam
rangkaian acara puja bakti tersebut biasanya
diisi dengan dhammadesana atau kotbah
Dhamma. Dhammadesana biasanya
dilakukan oleh salah satu tokoh agama
Buddha atau ketua vihara Dhama Maha
Virya, pada saat-saat tertentu dimana ada
tamu dari luar misalnya mahasiswa atau
dosen dari Sekolah Tinggi Agama Buddha
Negeri Raden Wijaya yang berkesempatan
hadir pada acara tersebut maka ketua vihara
memberikan kesempatan kepada mahasiswa
atau dosen yang hadir tersebut untuk
mengisi Dhammadesana. Hal ini dilakukan
untuk memberikan suatu bentuk
penghargaan atau penghormatan atas
kehadiran tamu tersebut. Dengan kata lain
umat Buddha Vihara Dhama Maha Virya
merasa senang dan merasa mendapatkan
perhatian apabila ada tamu yang datang
pada saat dilaksanakan puja bakti tersebut.
Kegiatan lain yang rutin dilaksanakan
adalah sebulan pendalaman Dhamma.
Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin
yang dilaksanakan selama satu bulan
penuh untuk menyambut datangnya hari
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
raya Waisak. Kegiatan ini berupa puja
bakti, dhammadesana, diskusi Dhamma,
dan lain-lain yang dilaksanakan selama
satu bulan menjelang hari raya Waisak.
Kegiatan sebulan pendalaman Dhamma
ini merupakan satu bentuk penghormatan
kepada Guru Agung Buddha Gotama.
Bentuk penghormatan yang dapat
dilakukan oleh umat Buddha adalah
dengan tetap melestarikan, memperlajari,
dan mempraktekan Dhamma ajaran Guru
Agung Buddha Gotama supaya ajaran
yang Agung ini tetap lestari dan terus
dipraktekan oleh umat Buddha untuk
mendapatkan kehabagiaan hidup. 2. Kegiatan Keagamaan Di luar Vihara
Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan
diluar vihara antara lain adalah kegiatan
anjangsana. Anjangsana dilakukan ketika
ada salah satu umat yang merayakan hari-
hari tertentu antara lain: syukuran,
selamatan, pattidana, dan lain-lain. kegiatan
ini berupa puja bakti atau sembahyang
dengan melafalkan paritta-paritta sesuai
dengan keperluan yang dimaksud. Kegiatan
ini dilaksanakan dirumah masing-masing
umat yang memiliki keperluan atau umat
yang mengundang. Dalam acara ini biasanya
tuan rumah juga menyediakan makanan dan
minuman kepada para umat yang hadir, hal
ini memiliki tujuan bahwa selain
memperingati acara-acara tertentu tuan
rumah juga melakukan dana makanan dan
minuman kepada para umat yang hadir. 3. Kegiatan Keagamaan Pribadi.
Beberapa umat Buddha di vihara Dhama
Maha Virya, selain melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang dilaksnakan di
vihara maupun diluar vihara, juga
melakukan aktivitas keagamaan secara
pribadi. Kegiatan ini biasanya dilakukan
di dalam rumah maisng-masing, yaitu
berupa meditasi yang dilaksukan secara
individu. Salah satu umat lansia Mbah
Timan menyampaikan:
“....menawi kulo nek kon teng vihara
35
niku pun mboten mampu...sikile pun mboten betah nek simpun suwe-suwe.... saged’e nggih sembahyang piyambak teng griyo...mengkeh nek pas surup-surup niko nopo nek pas tengah wengi niko medal sekedap nopo teng teras ngoten moco-moco kalih semedi sedelok...namung kersane pikiran niku ayem ngoten mawon...nek le moco dowo-dowo kados neng vihara nggih pun mboten saged napase”
Dari pernyataan tersebut bahwa ada
beberapa umat yang sudah lanjut usia
tidak mengikuti kegiatan keagamaan di
vihara, tetapi mereka melakukan aktivitas
keagamaan sendiri di rumah disesuaikan
dengan kondisi masing-masing. 4. Perayaan Hari Raya Keagamaan
Umat Buddha di vihara Dhama Maha Virya
melaksanakan perayaan hari raya
keagamaan pada setiap hari raya keagamaan
Buddha anrata lain: hari raya Waisak, hari
raya Asadha, hari raya Kathina, hari raya
Magha Puja, hari raya Metta, dan lain-lain.
Umat Buddha di vihara Dhama Maha Virya
memperingati hari raya keagamaan dengan
cara yang sederhana yaitu dengan
melaksanakan sembahyang atau puja bakti
membacakan paritta-paritta suci dan
meditasi. Khusus pada perayaan hari raya
Waisak umat Buddha vihara Dhama Maha
Virya ikut berpartisipasi melaksanakan
ritual puja bakti yang dilaksanakan di candi
Borobudur.
Analisa Data dan Pembahasan 1. Peran Mahakusala-Citta dalam
mempertahankan keyakinan umat Buddha.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
Pikiran adalah pemimpan, pikiran adalah
pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat
dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan
mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti
langkah kaki lembu yang menariknya, merupakan
arti dari Kitab Suci Dhammapada syair 1 dan 2,
Vijjnanda (2015:p.1), menjelaskan tentang peran
penting dari pikiran sebagai berikut:
“Manopubbaṅgamādhammā,
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
36
manoseṭṭhā manomayā
manasā ce paduṭṭhena, bhāsati
vākaroti vā
tato naṁ dukkhamanveti, cakkaṁva
vahato padaṁ”.
Seperti disampaikan pada kutipan tersebut
di atas, bahwa pikiran merupakan faktor utama
yang menentukan kualitas hidup manusia dalam
menjalani hidupnya. Apabila pikiran baik selalu
kita kembangkan dalam hidup sehari-hari maka
hidup kita akan menjadi baik dan kamma baik yang
dihasilkan akan menciptakan hidup yang baik, dan
begitu juga sebaliknya. Mahakusala-citta yang
akan menjadi pokok pembahasan pada bagian ini
adalah jenis pikiran yang dikembangkan dengan
baik. Menurut ajaran Buddha jenis pikiran baik ini
dapat dijaga atau dikembangkan melalui beberapa
jalan, yaitu dengan menjalankan dana, sila, dan
bhavana. seperti dikutip dalam Tin Mon,
(2014:p.55) yaitu, mahakusala-citta muncul ketika
orang-orang awam (puthujjana) dan orang-orang
suci dengan kekecualian arahat melakukan
perbuatan bajik seperti dana (berderma), sila
(moralitas) dan bhavana (meditasi).
Dana atau berderma adalah memberikan
sesuatu berupa makanan. Minuman atau benda
lain yang dibutuhkan dan bermanfaat untuk
pihak lain. berdana yang baik adalah dana yang
dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas.
Menurut ajaran Buddha melakukan dana harus
dilandasi dengan rasa senang (Somannassa).
Rasa senang berbuat baik hendaknya harus
muncul sebelum berdana (pubba-cetana), rasa
senang pada saat berdana (munca-cetana), dan
rasa senang setelah melakukan berdana
(aparapara-cetana). Melakukan dana dengan
dilandasi oleh ketiga hal tersebut dan disertai
dengan pengetahuan yang benar bahwa
perbuatan berdana adalah baik (panna), akan
membawa hasil kamma (vipaka) yang sangat
besar pada kehidupan yang akan datang.
Umat Buddha di dukuh Tanduran
melaksanakan dana sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Berdasarkan hasil pengamatan
yang dilakukan oleh peneliti, bahwa sebagian
besar umat yang pekerjaannya petani sehingga
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
jumlah penghasilan dari bertani tersebut hanya
cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Namun
pada beberapa peristiwa yang dijumpai dilapangan
peneliti mendapati para umat tetap melakukan
dana, misalnya adalah para umat melakukan dana
kepada tetangga yang sedang memiliki keperluan
mantu. Jumlah dana yang diberikan masing-
masing umat berbeda-beda tergantung dapi
kemampuan masing-masing umat. Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan
mbah Timan pada 19 Mei 2018, sebagai berikut:
“.......anggenipun nyumbang nggih
benten-benten, gumantung kekiyatan piyambak-piyambak. Niki nggih mboten kagem umat Buddha ke mawon, niki wau ingkah gadah damel niku umat Islam, nggih sami mawon wong urip teng ndeso kedah guyup, agomo nopo mawon sami...guyup”.
Pernyataan serupa yang juga disampaikan
oleh ibu Karni pada kegiatan wawancara denga
peneliti pada tanggal 23 Juni 2018, yaitu:
“.....mangkeh menawi enten ingkang
ninggal nggih sedanten sami layat...
paring urun dana saksadaripun,
ngaten”.
Pada kesempatan yang lain mbah Tugimin
menyampaikan, umat Buddha di dukuh Tanduran
melakukan dana dibedakan ada beberapa macam,
yaitu: 1) dana untuk kebutuhan vihara, misalnya
iuran dana sosial yang rencananya akan
dipergunakan untuk perbaikan vihara jika sudah
terkumpul banyak, dana pada bulan Asadha yang
dikumpulkan dari umat yang kemudian akan
didanakan kepada anggota sangha pada saat
perayaan hari raya Asadha; 2) dana sosial, yaitu
dana yang diberikan kepada masyarakat secara
individu pada acara-acara tertentu seperti misalnya
mantu, layatan, supitan, dan lain-lain.
Sebagai ketua vihara dan juga tokoh
agama yang menjadi panutan para umat, mbah
Tugimin senantiasa memberikan dorongan
kepada para umat untuk melakukan dana sesuai
dengan ajaran guru agung sang Buddha. Bahwa
berdana sebaiknya dilakukan dengan ikhlas dan
hati yang senang, walaupun hanya sedikit yang
penting dilakukan dengan tulus.
“.....menawi saget sedoyo umat sami
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dana saksadaripun, mboten kedah katah ingkang baken ikhlas. Ngoten nek kulo ngandani rencang-rencang...kersane urip niku nggih mboten mung urip, nanging urip sing iso nguripi marang liyane...niku urip sing enten gunane.... wong niku nek pun saged mbantu tiyang sanes...niku raosipun niku mantep... mantep karono enten gunane tumrap
wong liyo....ngoten”.
Kutipan tersebut disampaikan oleh mbah
Timan pada kegiatan wawancara dengan
penelitin pada tanggal 19 Mei 2018.
Hasil wawancara yang dilakukan pada
tanggal 23 Juni 2018 dengan informan ibu Karni:
“.......wonten pertemuan ibu-ibu wandani kolo-kolo nggih kulo sampeaken, poro ibu-ibu supados milai berdana, sekedik mboten masalah sing penting niku ikhlas trus niat ingkang sae...nggih meniko kangge ngurangi ego, kesombongan, ugi srakah...dumeh duite akeh, dumeh panen’e akeh.... ngoten.”
Dari kutipan tersebut bahwa, memberikan
dana kepada pihak lain adalah sangat penting
untuk mengurangi rasa sombong dan
keserakahan, selain itu juga menumbuhkan rasa
peduli terhadap sesama, bahwa hidup kita
berguna untuk pihak lain.
Jalan yang kedua adalah menjalankan sila
yaitu dengan melaksanakan atau mempraktekan
lima sila atau Pancasila Buddhis bagi umat Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Dinama
Pancasila Buddhis ini merupakan pedoman sila
bagi umat perumah tangga. Menjalankan
Pancasila Buddhis artinya umat memiliki tekad
untuk menjalankan lima sila yang terdiri dari: 1) bertekad menghindari pembunuhan terhadap
makhluk hidup; 2) bertekad menghindari
pencurian; 3) bertekat menghindari kata-kata
kasar dan berbohong; 4) bertekad menghindari
perbiatan asusila, dan 5) bertekad menghindari
minuman dan atau makanan yang memabukkan
atau mengakibatkan lemahnya kesadaran.
Melalui jalan ini maka pikiran baik akan
senantiasa terjaga. Hasil wawancara peneliti
dengan informan Mbah Timan pada tanggal 19
Mei 2018, sebagai berikut:
37
“Nek kulo nggih, kersane pikiran niku tetep lurus sing penting mboten sah menggalih sing neko-neko. Dieleng-eleng mawon nopo sing didawuhke swargi mbah Sawi dek jaman mbiyen... sing penting limang perkoro iku kudu di ugemi; ora oleh mateni kewan, ora oleh nyolong, ora oleh ngapusi, tumindak sing becik mbebener, lan ora nginum.... nek kulo sepriki tesik kulo eling niku,
dawuh’e wong sing pun mboten enten”.
Dari pernyataan mbah Timan tersebut dapat
di telaah bahwa yang pertama, umat Buddha di
dukuh Tanduran dalam mempelajari dan
mempraktekan Dhamma dengan cara yang sangat
sederhana. Yaitu memegang teguh apa yang
diajarkan oleh pemimpin atao tokoh agama. Ajaran
yang pernah didengarkan selalu diingai-ingat,
dipraktekan, dan dipegang teguh sebagai pedoman
hidup sehari-hari. Hal yang kedua adalah umat
mempraktekan Pancasila Buddhis dalam
kehidupan sehari-hari untuk menjaga agar pikiran
tetap terjaga dengan baik. Hal ini senada dengan
hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan
Mbah Sadinem, umat lanjut usia yang sudah jarang
mengikuti kegiatan rutin di vihara karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan:
“..........sing penting wong niku mbebener mawon, culiko, ngapusi, colong jupuk niku mawon sing kudu diguwak....kulo niku anak putu sami gemati kalih kulo nggih mergi kulo niku mboten neko-neko kalih anak putu. Sing penting gawe bungah mpun tuwo.... pikiran-pikiran sing ra penting niku
rasah diopeni, sing penting nggih
ayem tentrem niku bu.”
Jalan yang ketiga yang dilakukan untuk
menjaga pikiran tetap baik adalah dengan
bhavana. Bhavana atau meditasi adalah sebuah aktifitas yang dilakukan oleh badan dan batin dengan tujuan tertentu. Meditasi untuk umat awan
biasanya bertujuan untuk ketenangan batin dan
untuk pandangan terang. Meditasi dilaksanaan
dengan media obyek tertentu sesuai dengan umat
yang melakukan meditasi. Obyek meditasi
misalnya bisa berupa obyek betuk, obyek
pernapasan, dan obyek yang abstrak. Obyek-obyek
tersebut berfungsi untuk menuntun pikiran tetap
berada pada keadaan yang baik, dan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
38
menghindarkan dari bentuk-bentuk pikiran yang
tidak baik.
Umat Buddha di dukuh Tandura,
mempraktekan dana, sila dalam hidup sehari-
hari dengan didukung oleh bhavana atau
meditasi. Latihan meditasi secara bersama-sama
dilaksanakan di vihara setiap malam kamis
setelah puja bakti selesai. Latihan ini
dilaksanakan secara bersama-sama, secara
sederhana umat mempraktekan latihan meditasi
ini secara sederhana dengan menggunakan
obyek pernapasan. Peneliti mengamati
pelaksanaaan latihan meditasi ini dilakukan
tanpa adanya meditator yang ahli dalam bidang
meditasi, jadi hanya dilakukan sebisanya saja
oleh masing-masing umat.
Hasil wawancara peneliti dengan mbah Timan pada tanggal 19 mei 2018, yaitu:
”Le do latian meditasi nggih sak saget-
saget’e mawon...kados sing nate
diaajarke swargi mbah sawi, ngeningke
cipto...pikiran nyatu karo badan, pikiran
ora oleh nglambrang metu soko
awak...yo neng kono kui pikiran’.
Mbah Tugimin menyampaikan pada
peneliti dalam wawancara yang dilaksanakan
pada tanggal 8 April 2018, tentang pentingnya
untuk tetap mempraktekan meditasi yang
dilaksanakan secara rutin setelah puja baktu
“.......sing penting do latihan meditasi sak iso-iso’ne, perkoro hasile pie... bakune ajaran Guru Agung Sang Buddha ki ora ilang kudu tetep dilestareake, sopo meneh nek ora awak’e dewe. Nek kesel yo leren ora kudu sak jam rong jam....dilakokke ajek bar puja bakti ki wis apik...nek ora nko
ndak do lali trus ilang...”.
Selanjutnya mbah Tugimin menjelaskan
pada kesempatan terpisah bahwa, beliau sebagai
ketua vihara menyadari dengan kemampuan dan
pengalaman beliau yang terbatas, beliau tetap
memberikan semangat kepada para umat untuk
tetap menjalankan ajaran Agama Buddha dengan
tekun. Beliau ketika menyampaikan
Dhammadesana atau sedang memimpin latihan
meditasi sebisa-bisanya dan semaksimal mungkin
dengan sesungguhan hati. Selain itu beliau juga
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
memberikan contoh keteladanan pada dirinya
sendiri, misalnya beliau menyampaikan bahwa
pada waktu-waktu tertentu dirumahnya sendiri
juga melakukan meditasi pribadi pada malam
hari. Dengan lankah seperti ini beliau yakin
bahwa umat juga akan memiliki semangat yang
sama yaitu tetap mempertahankan keyakinan
pada Buddha-Dhamma.
“.....menawi kulo pribadi, niku asring semedi piyambak teng griyo, niku nggih pitados menopo ingkang dipun dawuhaken poro guru, kersane pikiran niku langkung tenang semeleh mboten nglambrang....luwih-luwih niki lak mpun tuwo pun meh wancine.....
hahaha.....ngendikane tiyang nek ajeng tilar niku sakit lha pamrih’e saget
ngadepi tilar kanti tenang...nek pun
ngaten kersanipun saget papan
ingkang langkung sae...”.
Kutipan tersebut disampaikan oleh mbah
Tugimin dalam wawancara pada tanggal 8 April
2018, bahwa tujuan melakukan meditasi agar
supaya pikiran menjadi selalu baik dan tenang,
selain itu apabila pikiran sudah terbiasa tenang
maka ketika orang itu akan meninggal akan dapat
mengkondisikan pikiran tetap baik dan tenang,
pikiran yang tenang pada saat meninggal inilah
yang akan memperngaruhi atau menentukan
tempat kelahiran yang baru bagi yang meninggal.
Hal ini sejalan dengan Kaharuddin (2005: 280),
yang menyampaikan bahwa Mahakusala-vipaka-
citta sebagai salah satu pendorong manusia untuk
dapat bertumimbal lahir dalam alam manusia atau manussa-bhumi 1 dan di alam dewa atau deva-
bhumi 6. 2. Implikasi Mahakusala - Citta
terhadap keyakinan umat Buddha.
Para guru yang mengajarkan ajaran apapun
di dunia ini pastinya mengajarkan para umatnya
untuk senantiasa mengembangkan dan memiliki
pikiran yang baik. Karena dengan pikiran yang
baik manusia dapat mengkondisikan hidupnya
menjadi baik. Dengam memiliki pikiran yang baik
manusia juga mampu mempengaruhi kondisi
lingkungan sekitar, orang-orang disekitarnya
menjadi baik. Demikianlah kekuatan dari pikiran
mampu menciptakan apa yang manusia inginkan.
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Seperti di jelaskan dalam Kitab Sutta
Pitaka (Anguttara Nikaya) AN. III: 248. Tentang
lima manfaat memiliki pikiran baik:
“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri; (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya; (3) Ia memperoleh reputasi baik; (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan; (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu” (Bodhi, 2015: 277).
Dari kutipan tersebut bahwa dengan
memiliki pikiran yang baik manusia akan
selamat, selamat pada kehidupan sekarang,
selamat pada saat kematian, dan selamat pada
kehidupan yang akan datang.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh
peneliti dengan informan mbah mbah Sadinem
pada tanggal 10 Juni 2018, sebagai berikut:
“.......nek pun wengi mpun sepi, nek mboten pas kesel nggih sok ngening... sak saget-saget’e sing penting pikirane saget ayem semeleh...wong mpun tuo, kadang-kadang sok rumongso pripun ngoten...sok kelingan swargi mbah kakung sok kroso wedi, nek pas ngoten niku kulo sok ngening dewe...trus rodo ayem pikirane mboten wedi kedah dijogo kersane tetep sae...”.
Kutipan wawancara tersebut sejalan dengan
isi dari Kitab Suci Sutta Pitaka (Anguttara Nikaya)
AN. III: 248. (Bodhi, 2015:p.277), Tentang
manfaat memiliki pikiran baik, yang salah satunya
adalah memperoleh ketenangan pikiran, khususnya
bagi mereka yang sudah lanjut usia harus
senantiasa menjaga pikiran agar tetap dalam
kondisi baik, tidak boleh hanyut dengan perubahan kondidsi fisiknya yang mulai lemah. Hal ini jika pikiran ikut melemah dan tidak
dikembangkan pikiran yang baik maka akan
semakin memperburuk hidupnya. Seorang yang
sudah usia lanjut sebaiknya menjaga pikirannya
untuk selalu bahagia dan menerima apaadanya
yang terjadi di sekitarnya, karena ketika usia mulai
tua kenyataan-kenyataan yang tidak
39 menyenangkan akan mulai muncul, misalnya fisik menurun, penyakit, dan kenyataan akan datangnya kematian, beberapa hal tersebut akan
memperngaruhi pikiran orang-orang yang sudah
lanjut. Maka untuk mengurangi kegelisahan dan
ketakutan tersebut harus dibiasakan menjaga
pikiran untuk selalu baik, yaitu dengan
melakukan dana mengurangi keterikatan,
menjalankan sila mengurangi hawa nafsu, dan
melatih ketenangan pikiran dengan meditasi.
Hal senada juga disampaikan oleh mbah
Tugimin dalam wawancara secara terpisah,
bahwa:
“....kulo niki mpun tuo, kudune sing mimpin vihara niku nggih sing enom... lha ning kahanan entene nggih tiyang tuo-tuo ngeten niki nggih pripun malih. Bakune sing penting leh kulo nindake nggih ngeten niki sing penting niat kulo pikiran kulo sae...nek niate niku pun sae mengkeh poro umat nuki le nampi nggih sae...menawi sok enten masalah, sing penting digoleki dalan sing becik... penting dilandasi pikiran sing bening
rak mesti oleh dalan padang...”.
Selanjutnya ibu Karni juga menyampaikan,
bahwa kadang-kadang untuk hal tertentu dalam
mengelola vihara, beliau mengalami beda pendapat
dengan tokoh agama lain, yang bisa
mempengaruhi emosi pribadi. Pada situasi-situasi
seperti itu apabila tidak bisa mengendalikan
pikiran maka yang terjadi adalah pertengkaran
antara tokoh agama, ibu Karni sering mengalami
hal ini, dan jalan yang ditempuh adalah dengan
diam untuk sementara supaya pikiran agak tenang
baru kemudian dilakukan tindakan untuk
menyelesaikan masalah. Hal ini berarti
permasalahan akan dapat diselesaikan dengan
solusi yang baik jika kondisi pikiran itu tenang,
apabila dalam menyelesaikan masalah dalam
kondisi pikiran yang emosi maka solusi yang
diambil tentu saja kurang baik.
Dari beberapa uraian tersebut, dengan
dilandasi oleh pikiran yang baik, maka akan
mampu mengatasi permasalahan yang muncul
dengan jalan yang baik, baik itu permasalahan
vihara maupun permasalahan pribadi.
Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
40
yang dilakukan peneliti pada kehidupan sehari-
hari salah satu informan mbah Timan, peneliti
mendapatkan sebuah potret bahwa, sosok mbah
Timan ini yang merupakan ketua vihara, namum
penampilannya sangat sederhana. Misalnya dari
cara berpakaian saja dalam beberapa acara yang
berbeda harinya hanya mengenakan baju yang
itu-itu saja dan tidak terkesan mahal, kemudian
peneliti melanjutkan ke dalam wawancara:
“.....mboten nopo-nopo, niki kulo ngge teng vihara ndak malem kemis, nggih kulo ngge nek enten acara teng njobo... mboten nopo-nopo, mboten isin biasa mawon....jane bocah-bocah nggih numbaske, ning niki kulo niku tiyange nggih biasa mawon ngeten niki...sing penting atine seneng, gadah rasuk’an katah ning ati lan pikirane mboten seneng malah nggrameh to bu....nopo- nopo niku sing penting pikirane kok
bu...angger pikirane niku seneng le
nglakoni urip niku nggih semeleh...
mboten ngagas sing neko-neko”.
Pikiran yang dijaga untuk selalu baik dan
seimbang, akan mempengaruhi kualitas hidup
yang dijalani. Dengan keadaan yang seadanya
manum pikiran terjaga dengan baik, maka akan
bahagia dalam menjalani hidup, yang artinya
kualitas hidup menjadi baik, begitu juga
sebaliknya.
“.....teng nggen Dhammadesana niku, kulo wanti-wanti kalih sedoyo umat.... supados pikiran kudu dijogo, kudu tetep eling lan nindakaken ajaran Guru Agung Sang Buddha....sing gampang- gampang mawon, raketang sitik dana, raketang sewulan pisan nindakne poso...atthasila, raketang seminggu pisan yo latian meditasi teng ngomah’e dewe-dewe po neng vihara...niku kudu kersane ajaran tetep lestari, mboten ilang, lan sing baku keyakinan umat mriki niku tetep nggremboko”.
Dari kutipan tersebut, dengan tetap
menjaga pikiran dan mengembangkan pikiran
baik melalui dana, menjalankan sila, dan melatih
pikiran dengan meditasi maka akan membentuk
keyakinan yang baik, keyakinan terhadap
Buddha-sasana, keyakinan untuk senantiasa
mempraktekan ajaran, dan belajar Kitab Suci.
Hal ini sejalan dengan konsep Keyakinan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dalam agama Buddha yang didasarkan pada
Ehipassiko yaitu setelah kita datang, kita melihat
selanjutnya mempraktekan mengalami atau
membuktikan kebenaran tersebut. Umat Buddha
memiliki keyakinan terhadap Sad-saddha yang
berarti keyakinan terhadap enam hal. Enam hal
tersebut dijelaskan oleh (Tjeng, 2008:p.21), yang
terdiri dari: 1) Keyakinan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa; 2) Keyakinan terhadap Tri Ratna;3)
Keyakinan terhadap Bodhisatva, Arahat, dan Para
Buddha; 4) Keyakinan terhadap Hukum
Kesunyataan; 5) Keyakinan terhadap Kitab Suci;
dan 6) Keyakinan terhadap Nibbana.
Kesimpulan
1. Peran Mahakusala-citta dalam
mempertahankan keyakinan umat Buddha
di Vihara Dhama Maha Virya Kecamatan
Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah, bahwa pikiran baik dilandasi
dengan rasa senang (Somannassa), yang
dikembangkan melalui dana, sila, dan
bhavana akan menjadi pondasi yang
kuat untuk mengembangkan panna/
kebijaksanaan dan keyakinan terhadap
Buddha-sasana. Selain itu dengan
mengembangkan mahakusala-citta
merupakan pendorong manusia untuk
dapat bertumimbal lahir di alam yang lebih
baik/tinggi pada kehidupan selanjutnya,
yaitu di alam manusia dengan kondisi yang
lebih baik. 2. Implikasi Mahakusala-Citta terhadap
keyakinan umat Buddha di Vihara Dhama
Maha Virya Kecamatan Jatisrono,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, bahwa
dengan mengembangkan mahakusala-citta
mampu mengatasi persoalan-persoalan
hidup yang dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika permasalahan hidup
secara mental dapat diatasi dengan
mengembangkan pikiran baik tersebut maka
kualitas hidup yang menjadi baik, sehingga
dapat menjalani hidup dengan bahagia
apapun keadaannya. Hal ini berimplikasi
umat menyadari untuk tetap menjalankan
ajaran agama dengan sungguh-sungguh
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dan tetap menjaga keyakinan yang baik terhadap Buddha-sasana.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar. 2011. Pokoknya
Kualitatif
Dasar-dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya: Jakarta.
Cheng Yen, Shih. 2015. 37 Faktor
Pencerahan. Jing Si Mustika Abadi
Indonesia: Jakarta.
Dhammadhiro. 2005. PARITA SUCI
Kumpulan Wacanapali UntukU pacara dan
Puja. Yayasan Sangha Theravada
Indonesia. Jakarta.
Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan
Umat Buddha. Pustaka Karaniya: Jakarta.
Gunawan, Imam. 2015. Metode Penelitian
Kualitatif Teori & Praktek.
Bumi Aksara: Jakarta.
Hurlock, Elizabeth B. 2016.
Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga: Jakarta.
Jalaluddin. 2007. Psikologi Agama. Raja
Grafindo Persada: Jakarta.
Kaharuddin, 2005.
Abhidhammatthasangaha. Yanwreko Wahana Karya: Jakarta
NN. 2013. UUD 1945 Hasil Amandemen &
Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap. Sinar Grafika:
Jakarta. Poerwadarminta. 2007. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Rewata Dhamma, U. 2011. Panduan
Komprehensif Tentang Abhidhamma,
Etika, Psikologi, dan Filsafat Ajaran
Buddha. Karaniya: Jakarta. Sugiyono, 2013. Memahami Penelitian Kualitatif.
Alfabeta: Bandung. Tin Mon, Mehm, 2014. The assence of
Buddha Abhidhamma. Manggala
Indah: Jakarta.
Tjeng Ing, Virana. 2008. Keyakinan Umat
Buddha (Menjadi Buddhis Sejati).Santusita: Jakarta.
Vijjnanda, Handaka. 2015. DHAMMAPADA Syair
Kebenaran. Ehipassiko Foundation: Jakarta. Yusuf, Muri. 2015. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.
Prenada media Group: Jakarta. Jurnal: Journal of Edupres,Volume 1 September2011 Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 13 No. 1
Juni 2016
41