peran k.h. ahmad chatib dalam mempertahankan...
TRANSCRIPT
PERAN K.H. AHMAD CHATIB DALAM MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN INDONESIA DI BANTEN TAHUN 1945-1949
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Humaniora
(S.Hum)
Disusun Oleh :
Wahyudin Arief
NIM.1112022000087
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
i
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang peran K.H. Ahmad Chatib dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Banten tahun 1945-1949. K.H. Ahmad
Chatib merupakan ulama kharismatik yang mampu menggerakkan kaum ulama,
pemuda, jawara, dan TNI untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui
perang gerilya. Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah
bagaimana usaha-usaha K.H. Ahmad Chatib dalam menggerakkan dan memimpin
lapisan masyarakat Banten untuk melakukan perang gerilya. Untuk menjawab
permasalahan tersebut, dalam penelitian ini digunakan metode sejarah pada
umumnya, yaitu heuristik, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi. Sedangkan
untuk teori, penulis menggunakan landasan teori gerakan sosial dengan pendekatan
perubahan sosial yang dikemukakan oleh Anthony Giddens.
Temuan dalam penelitian ini adalah pertama, K.H. Ahmad Chatib merupakan
ulama kharismatik yang pernah memimpin gerakan pemberontakan komunis
Banten tahun 1926, dimana pemberontakan itu mempunyai semangat kuat anti
kolonial dan anti priayi, sehingga ia amat dipercayai oleh rakyat Banten. Kedua,
K.H. Ahmad Chatib merupakan mantan komandan batalyon PETA pada masa
pendudukan Jepang, sehingga ia mempunyai dasar teknik berperang. Ketiga, ketika
terjadi Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, ia mampu mengendalikan
perekonomian Banten meskipun daerah itu di blokade secara ketat. Disamping itu,
semangat juang K.H. Ahmad Chtaib dalam mempertahankan kemerdekaan
ditunjukan ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, yaitu ketika tentara Belanda
memasuki wilayah Banten pada tanggal 23 Desember 1948, K.H. Ahmad Chatib
berhasil memimpin dan mengajak kaum ulama, pemuda, jawara, dan TNI untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui perang gerilya
Kata Kunci: K.H. Ahmad Chatib, Ulama, Banten
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji serta syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis selalu diberikan
kesehatan sehingga mampu menyelesaikan skripisi ini. Shalawat beserta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Sang Baginda Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan seluruh umuatnya yang senantiasa istiqomah dalam
menjalankan sunnahnya. Akhirnya skripsi yang berjudul “Peran K.H. Ahmad
Chatib dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Banten tahun 1945-1949” ini
dapat diselesaikan.
Tentunya dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari arahan,
bimbingan, doa, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan
keikhlasannya baik moril maupun materil telah banyak membantu dalam
penyusunan skripsi ini hingga selesai. Oleh tersebab itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Saiful Umam, M.A., Ph.D selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Bapak H. Nurhasan MA, selaku Ketua Program Studi dan Ibu Shalikatus
Sa‟diyah M.Pd selaku Sekretaris Program Studi Sejarah Dan Peradaban
Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi yang penulis
butuhkan. Sungguh beruntung SPI memiliki Kaprodi dan Sekprodi seperti
beliau berdua, semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan
dalam hidupnya.
4. Drs. Imam Subchi M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang banyak
membantu dengan sabar serta selalu memotivasi dalam mengarahkan proses
penelitian ini di tengah-tengah kesibukannya. Penulis ucapkan terima kasih
setinggi-tingginya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Bapak Drs. Azhar Saleh M.A dan Bapak Dr. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag
selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan membimbing
hinga skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Seluruh Dosen Prodi Sejarah dan Perdaban Islam yang telah mendidik dan
memberikan berbagai ilmu pengetahuan kepada penulis selama di bangku
kuliah. Semoga Allah membalas dengan segala kebaikan.
7. Seluruh staff dan pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora telah memberikan pelayanan
dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan penulis. Semoga segala
urusannya dimudahkan oleh Allah SWT.
8. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Arbain dan Ibunda Nurjanah atas segala
jerih payah mereka membesarkan dan mendidik penulis dengan segala
perhatian dan kasih sayang, serta motivasi luar biasa bagi hidup penulis.
Juga kepada kedua adik penulis tercinta, M. Rizki Febriansyah dan Andita
Faradila, semoga kalian menjadi anak yang membaggakan. Amin.
9. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Tangerang Barat
(HIMATANGBAR), Lukman M. Ridwan L.H, Supriyadi, Arief Rihman,
Uci Sanusi, Moh. Didi Maldini, dan yang lainnnya. Melalui diskusi-diskusi
ringan dengan merekalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
Terima kasih atas pengalaman dan ilmu-ilmunya dalam berorganisasi,
berinteraksi dan bersosialisasi.
10. Kawan-kawan HMI KOFAH dan HMI KOMITI yang telah memberikan
warna baru bagi penulis selama berproses di himpunan ini.
11. Teman-teman seangkatan SPI, khususnya Muammar Akbar, Wildan
Albasith, M. Rizal Pahlevi, Risman, dan Jainudin. Mereka adalah teman
seperjuangan yang tak mampu dibayar dengan mata uang manapun, terima
kasih.
12. Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada saudari Ani Apriani
yang tak henti-hentinya memberikan semangat, motivasi, dan inspirasi
selama penulis mengerjakan skripsi. Thanks for everything.
iv
13. Penulis juga dihasruskan mengucapkan terima kasih kepada “Ciputat”
sebuah kota kecil dengan pemikiran dan peradaban yang besar.
Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan
satu per satu, yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan kata
memang tidak akan pernah cukup untuk membalas kebaikan kalian semua. Semoga
Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.
Penulis mengakui dan menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi isi, susunan kalimat, dan sistematika penulisannya.
Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan selanjutnya agar tidak lagi terjadi kesalahan-kesalahan yang terdahulu.
Segala kesempurnaan, penulis kembalikan kepada Sang Maha Sempurna Allah
SWT, mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberkahi segala amal usaha kita.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi yang sekiranya jauh dari sempurna
ini dapat memberikan sepercik manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya. Semoga kita senantiasa dipelihara di jalan yang lurus serta di ridhoi
Allah SWT dan di akhirat kelak mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin
Ya Robbal’Alamin
Ciputat, 09 Mei 2019
Wahyudin Arief
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 6
D. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
E. Manfaat Penelitian ................................................................................ 7
F. Pustaka Terdahulu ................................................................................. 7
G. Landasan Teori ...................................................................................... 9
H. Metodologi Penelitian ......................................................................... 10
I. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
BAB II : BANTEN DALAM SOSIO POLITIK
A. Kondisi Sosial Banten Sebelum Kemerdekaan ................................... 13
B. Kondisi Politik Banten Setelah Kemerdekaan .................................... 17
C. Gerakan Sosial Banten Awal Kemerdekaan ....................................... 20
BAB III : BIOGRAFI K.H. AHMAD CHATIB
A. Kehidupan dan Aktivitas K.H. Ahmad Chatib ................................... 28
B. K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen Banten ..................................... 30
C. Polemik K.H. Ahmad Chatib dengan Pemerintah Pusat ..................... 33
vi
BAB IV : PERAN K.H. AHMAD CHATIB PADA MASA REVOLUSI
FISIK
A. Strategi K.H. Ahmad Chatib dalam Menghadapi Agresi Militer
Belanda I ............................................................................................ 40
B. Strategi K.H. Ahmad Chatib dalam Menghadapi Agresi Militer
Belanda II .......................................................................................... 45
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 54
B. Saran ............................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 57
LAMPIRAN ................................................................................................... 61
vii
DAFTAR ISTILAH
Buduk : Penyakit gatal (kusta)
Daidan : Batalyon
Daidancho : Komandan batalyon
Dai Nippon : Entitas politik pemerintahan Jepang di bawah
Konstitusi Kekaisaran Jepang dari Restorasi Meiji
1868 hingga diberlakukannya Konstitusi 1947
Gerilya : Cara berperang yang tidak terikat secara resmi pada
ketentuan perang (biasanya dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi dan secara tiba-tiba)
Heiho : Pembantu prajurit
Jalma Leutik : Masyarakat umum atau rakyat kecil
Jaro : Kepala desa
Jawara : Pendekar atau jagoan di Banten
Kaigun : Angkatan Laut pada masa Jepang
Kenpeitai : Polisi Militer Jepang
Keresidenan : Daerah yang merupakan bagian dari provisini yang
meliputi beberapa kabupaten yang dikepalai oleh
residen
Kewedanan : Daerah kekuasaan wedana
Kidobutai : Angkatan Udara pada masa Jepang
Laskar : Pasukan
Mas : Gelar yang diberikan kepada bangsawan yang bukan
anggota keluarga sultan
Pamong Praja : Istilah pengganti Pangerah Praja yaitu pegawai negeri
yang mengurus pemerintahan negara
Pendopo : Balai atau ruang besar tempat pertemuan atau
sebagainya
viii
Pesantren : Tempat asrama santri atau tempat murid-murid belajar
mengaji dan sebagainya
Priyayi : Golongan elite di Jawa yang terdiri dari birokrat kelas
atas
Raden : Gelar yang diberiakn kepad bangsawan tingkat bawah
di Jawa
Residen : Kepala daerah keresidenan
Rikugun : Angkatan Darat pada masa Jepang
Ulama : Pengajar dan Pemuka Agama Islam
Wedana : Kepala kewedanan
Tubagus : Gelar yang diberikan kepada bangsawan yang
merupakan kelaurga sultan
ix
DAFTAR SINGKATAN
API : Angkatan Pemuda Indonesia
BKR : Badan Keamanan Rakyat
GERA : Gerilya Rakyat
H. : Haji
K.H. : Kiai Haji
KMB : Konferensi Meja Bundar
KNI : Komite Nasional Indonesia
KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah
KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat
Mr. : Meester in de Rechten
NICA : Netherlands Indies Civil Administration
NIS : Negara Indonesia Serikat
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
ORI : Oeang Republik Indonesia
PKI : Partai Komunis Indonesia
PRP : Partai Rakyat Pasundan
R. : Radem
R.A.A. : Raden Adipati Arya
RI : Republik Indonesia
RIS : Republik Indonesia Serikat
SI : Sarekat Islam
Tb. : Tubagus
TBA : Territoriaal Bestuurs Adviseur
TKR : Tentara Keamanan (Keselamatan) Rakyat
TNI : Tentara Nasional Indonesia
URIDAB : Uang Republik Indonesia Daerah Banten
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk memahami dinamika masyarakat Indonesia modern, khususnya pada
masa revolusi1 yang mempunyai arti penting, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Arti
penting masa itu ialah karena krisisnya sumber-sumber sejarah baik lisan maupun
tulisan. Dalam sumber sejarah berupa lisan, para pelaku sejarahnya telah berusia 90
tahun ke atas, satu persatu telah meninggal dunia. Sedangkan sumber sejarah berupa
tulisan, sangat sedikit para pelaku sejarah yang menuliskan pengalaman mereka di
tingkat lokal, berbeda dengan pelaku sejarah ditingkat nasional. Di samping itu,
sumber-sumber tertulis dari surat kabar pada masa revolusi banyak yang rapuh dan
tidak komplit. Sehingga, sebelum sumber-sumber tertulis itu benar-benar hilang,
penanganan penulisan sejarah tentang masa tersebut di tingkat lokal merupakan
sangat penting untuk dilakukan.
Penulisan sejarah masa revolusi di tingkat lokal telah dilakukan oleh beberapa
peneliti, di antaranya: Anthony Reid menulis daerah Sumatera Utara, Audrey R.
Kahin menulis daerah Sumatera Barat, dan Anton E. Lucas menulis daerah Brebes,
Tegal, dan Pemalang (terkenal dengan peristiwa “Tiga Daerah”), serta Suyatno
menulis daerah Surakarta.
Di Banten juga telah dilakukan penulisan sejarah masa revolusi, di antaranya;
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari menulis tentang “Catatan Masa Lalu
Banten” tahun 1993, Michael C. Williams menulis “Banten: Utang Padi dibayar
1 Dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah revolusi. Ada beberapa nama yang
diberikan untuk penyebutan periode antara 1945-1949. Para ahli strategi dari kelompok militer di
Indonesia yang berkuasa lebih menyukai istilah “perang pemerdekaan”, sedangkan Ir. Soekarno,
presiden pertama Indonesia memberikan nama “revolisi fisik”. Lihat Suharto, Banten Masa
Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Depok:
Universitas Indonesia, 2001), h. 1. Ada beberapa istilah mengenai revolusi, menurut Anthony Reid,
revolusi merupakan sebuah restrukturasi fundamental dari suatu sitem politik dengan kekerasan
dalam jangka waktu yang relatif singkat. Lihat Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”,
dalam Prisma, No. 8 Agustus 1981 hlm. 32. Sedangkan Sartono Kartodirdjo mengartikan Revolusi
Indonesia sebagai masa gegeran (pergolakan) yang ditandai oleh srobotan atau gedoran
(pendaulatan), disamping sebagai masa perjuangan. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi
Indonesia Dipandang dari Prespektivisme Struktural”, dalam Prisma, No. 8 Agustus 1981, hlm. 3.
2
Padi, Utang Darah Dibayar Darah” tahun 1990, Suharto menulis “Banten Masa
Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia” tahun 2001, dan Nina H. Lubis menulis “Banten dalam Pergumulan
Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara” tahun 2003. Di samping itu, banyak juga jurnal
yang menuliskan tentang Banten pada masa revolusi, di antaranya: Else Ensering
menulis “Banten In Time Revolution” tahun 1995, Lasmiyati menulis “Sejarah
Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-1949” tahun 2012, dan M. Ilham
Gilang menulis “Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme (Kajian pada
Materi Sejarah Revolusi Fisik di Banten Tahun 1945-1949” tahun 2016.
Sebenarnya banyak daerah Indonesia yang memainkan peranan penting pada
masa revolusi, namun ada beberapa alasan mengapa penulis memilih daerah
Banten, khususnya K.H Ahmad Chatib dalam penelitian ini. Pertama, Banten
adalah bekas kesultanan yang wilayahnya dikuasai oleh Belanda kemudian
dihapuskan. Kedua, pada Agresi Milier Belanda I wilayah Banten di blokade secara
total namun mampu bertahan dan tetap berada dibawah kekuasaan pemerintah RI.
Ketiga, dari beberapa peneliti tentang Banten pada masa revolusi belum pernah
diteliti secara mendalam tentang peranan residen Banten, yaitu K.H. Ahmad Chatib,
sehingga menarik untuk diteliti dan menjadi penguat atas penelitian-penilitian
sebelumnya.
Kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia ialah bukan semata-
mata pemberian dari penjajah, melainkan sebagai hasil dari serangkaian perjuangan
panjang yang telah dilalui dalam kurun waktu yang cukup lama. Proklamasi 17
Agustus 1945 tidak bisa dilepaskan dari peranan setiap daerah yang melakukan
perlawanan terhadap penjajah kolonial Belanda unuk mencapai tujuan bersama,
yaitu Kemerdekaan Indonesia.
Sesaat setelah berita Proklamasi Kemerdekaan menyebar, terjadi perubahan-
perubahan sosial-politik diberbagai sudut Indonesia, salah satunya terjadi di
Banten. Kelompok sosial seperti ulama, pemuda, dan jawara bersatupadu dalam
merebut kekuasaan dari pemerintah Jepang atau Dai Nippon. Kelompok sosial ini
3
melakukan koalisi dan berhasil merebut kekuasaan ke tangan kaum pribumi
seutuhnya.2
Tindakan pemuda selanjutnya ialah pada tanggal 22 Agustus 1945, Sri Sahuli,
pegawai kantor sosial pemerintahan Jepang, berani memprakarsai penurunan
bendera Jepang yang ada di Hotel Vos, Serang (sekarang kantor Kodim Serang).
Peristiwa ini disusul dengan penurunan bendera di kantor-kantor pemerintah Jepang
lainnya pada keesokan harinya. Adanya gelagat penurunan bendera ini
menunjukkan bahwa para pemuda semakin berani bertindak dan mulai giat
menggerakkan kekuatan rakyat untuk melucuti serdadu Jepang dan merebut
kekuasaan pemerintahan dari tangan orang-orang Jepang.3
Salah satu peristiwa lain yang menarik pasca kemerdekaan ialah di Banten
terjadi kekosongan jabatan residen, karena ditinggal kabur oleh pejabatnya. Pada
tanggal 29 September 1945 Wakil Residen Banten, Raden Tirtasuyatna, diangkat
menjadi Residen Banten oleh Pemerintah RI, menggantikan pendahulunya yang
menjabat Residen, Yuki Yoshi yang pergi meninggalkan Banten karena dianggap
sudah tak aman lagi. Tidak lama setelah pengangkatan Residen Banten,
Tirtasuyatna juga ikut kabur, mengingat dirinya yang bukan putra Banten, dan
memang pada saat itu masyarakat Banten juga telah gusar dengannya.
Dengan adanya kekosongan kekuasaan dalam jabatan Residen Banten itu,
para pemuda segera membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Serang
Banten yang diketuai oleh Ali Amangku dengan anggota Makhadi dan Achmad
Mudjini M. Mereka mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat Banten di
rumah Zulkarnaen. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya K.H. Ahmad Chatib, K.H.
Syam’un, Ali Amangku, Zulkarnaen Surya Kartalegawa.4 Adapun hasil dari
pertemuan tersebut membahas tentang:
2 M. Ilham Gilang, Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme (Kajian pada Materi
Sejarah Revolusi Fisik di Banten Tahun 1945-1949), Jurnal Pendidikan dan Sejarah:
Candrasangkala, Vol. 2, No. 1 (November 2016), h. 38. 3 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit
Saudara, 1993), h. 106. 4 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-1949”, Patanjala,
Vol. 4, No. 3 (September 2012), h. 470.
4
1. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang kepada Zulkarnaen Surya
Kartalegawa.
2. Masalah keamanan diserahkan kepada K.H. Ahmad Chatib.
3. Urusan yang berhubungan dengan badan-badan perjuangan atau organisasi
perjuangan pemuda diserahkan kepada Ali Amangku dan API.5
Dengan adanya perundingan tersebut, para pemuda mengusulkan kepada
pemerintah pusat agar segera mengangkat K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen
Banten. Usulan pemuda Banten disambut baik oleh pemerintah pusat, tanggal 19
September 1945 K.H. Ahmad Chatib secara resmi diangkat oleh Ir. Sukarno sebagai
Residen Banten.6 Banten di bawah kepemimpinan K.H. Ahmad Chatib mendapat
dukungan dari elemen pemuda, ulama, intelektual pribumi, dan angkatan
bersenjata. Lalu, untuk menjaga keamanan di daerah Banten dibentuklah Badan
Keamanan Rakyat (BKR) Karesidenan Banten yang dipimpin oleh K.H. Syamun.7
Namun karena kebijakan K.H. Ahmad Chatib yang mengangkat kembali
pejabat lama untuk mengisi jabatan yang kosong, terjadi intrik-intrik ketidakpuasan
oleh para pemuda yang mengatasnamakan Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Tje
Mamat. Pada tanggal 27 Oktober Dewan Rakyat mendatangi Keresidenan dan
mengancam agar K.H. Ahmad Chatib untuk membatalkan surat pengangkatan
aparat-aparat pemerintahan di seluruh karesidenan Banten, dan menggantinya
dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat.8 Permintaan tersebut
dikabulkan, dan keesokan harinya diumumkan dihadapan para pejabat sekaligus
mengumumkan bahwa kekuasaan di seluruh Karisidenan Banten diambil alih oleh
Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Tje Mamat.9
Perubahan personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan
Rakyat itu akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan
yang ditimbulkan oleh Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Mulai dari peculikan
Bupati Hilman Jayadiningrat sampai kepada pembunuhan-pembunuhan bekas
5 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 107. 6 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik, .........., h. 471. 7 M. Ilham Gilang, Sejarah Lokal, …......., h. 38. 8 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 111. 9 Suharto, Revolusi Sosial di Banten, .........., h. 12.
5
pejabat kolonial Belanda dan Jepang yang dianggap oleh Dewan Rakyat sebagai
warisan kolonial.
Di samping itu pada saat terjadi Agresi Militer I, tentara Belanda di bawah
naungan pasukan sekutu melakukan blokade darat dan laut pada Keresidenan
Banten. Para pejabat keresidenan pun putus komunikasi dengan Permerintah RI di
Yogyakarta. Agar perekonomian tetap berjalan, K.H. Ahmad Chatib selaku Residen
Banten meminta izin kepada pemerintah pusat untuk mencetak uang daerah sendiri
bernama Uang Republik Indonesia Daerah Banten (URIDAB).10
Perlawanan terhadap Belanda mencapai puncaknya pada tahun 1948 pada
saat Agresi Militer Belanda II, yaitu terjadi perang griliya yang dipimpin langsung
oleh K.H. Achamd Chatib. Ketika perang gerilya berlangsung, para ulama kembali
menunjukkan peranannya yang sangat besar. Mereka dipercaya rakyat sebagai
pamong praja yang tidak mudah goyang pendiriannya. Mereka memberi contoh
ketabahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sehingga meneguhkan
semangat perlawanan rakyat Banten.11
K.H. Ahmad Chatib sendiri dilahirkan di Kampung Gayam, Kecamatan
Cadasari, Kabupaten Pandeglang, tahun 1895. Ayahnya seorang ulama terkenal di
Pandeglang, K.H. Muhammad Waseh. Ia belajar agama Islam di dua pesantren di
Banten, yaitu pesanteren Kadupiring dan pesantren di Caringin pimpinan K.H.
Asnawi.12 Untuk mengetahui peranan K.H. Ahamd Chatib dan proses
perjuangannya secara lebih terperinci dan mendalam, penulis mencoba melaukakan
penelitian skripsi yang berjudul Peran K.H. Ahmad Chatib dalam Mempertahankan
kemerdekaan Indonesia di Banten Tahun 1945-1949.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan di
identifikasi adalah masalah yang berkaitan dengan “Peran K.H. Ahmad Chatib
10 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik, .........., h. 467. 11 Suharto, “Banten Pasca Agresi Militer Belanda Kedua”, Makara, Sosial Humaniora, Vol.
13, No. 2, (Desember 2009), h. 87. 12 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah”,
dalam Audrey Kahin (ed). (tej.). Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti,
1990), h. 252.
6
dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Banten tahun 1945-1949”
yaitu:
1. Banten sebelum Kemerdekaan
2. K.H. Ahmad Chatib sebagai residen Banten pertama setelah kemerdekaan
Indonesia
3. K.H. Ahmad Chatib menghadapi Agresi Militer Belanda I & II.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, masalah yang akan dibahas akan dibatasi seputar
peranan K.H. Ahmad Chatib dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di
Banten. Kajian ini difokuskan pada permasalahan yang meliputi kondisi Banten
menjelang kemerdekaan, posisi dan peran K.H. Ahmad Chatib selaku Residen
Banten serta upaya mempertahankan Kemerdekaan di Banten.
Untuk menjabarkan permasalahan tersebut, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi Banten menjelang kemerdekaan?
2. Bagaimana biografi K.H. Ahmad Chatib?
3. Bagaimana strategi K.H. Ahmad Chatib dalam menghadapi Agresi Militer
Belanda I & II?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kondisi sosial-ekonomi, dan politik Banten menjelang
kemerdekaan Indonesia.
2. Mengetahui biografi dan latar belakang kehidupan K.H. Ahmad Chatib
4. Menjabarkan bagaiamana K.H. Ahmad Chatib mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I & II di
Banten.
7
E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi yang
positif bagi semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:
1. Bagi Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan dalam menambah
pengetahuan dan menjadi sumber referensi bagi penelitian sejenis di masa
yang akan datang.
2. Bagi Fakultas Adab dan Humaniora
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora serta memperkaya penulisan sejarah
Indonesia pada masa revolusi, khususnya di daerah-daerah.
3. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan koleksi
sehingga menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas tentang
studi kajian sejarah yang ada dalam kehidupan masyarakat.
4. Bagi Pemerintah Daerah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi
Pemerintah Daerah Banten untuk lebih mengenalkan tokoh K.H. Ahmad
Chatib yang mempunyai peranan besar dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, khususnya kepada masyarakat Banten.
F. Pustaka Terdahulu
Dalam praktiknya, penelitian ini dilandasi atas beberapa buku maupun karya
ilmiah yang sudah ada sebelumnya, terutama karya-karya yang membahas
mengenai Banten. Karya Suharto yang berjudul “Banten Masa Revolusi 1945-
1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan republik Indonesia”.13 Secara
tidak langsung, penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap untuk menggambarkan
kondisi Banten pada masa Agresi Militer I & II. Dalam hasil penelitian tersebut,
Suharto menjabarkan secara rinci mulai dari kondisi masyarakat, pembentukan
13 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, (Depok: Universitas Indonesia, 2001).
8
militer, Banten pada masa Agresi Militer I & II, hingga Banten kembali ke
pangkuan RI. Yang membuat perbedaan skripsi ini dengan penelitian tersebut
adalah bahwa skripsi ini lebih menekankan kepada peranan salah satu tokoh yang
sangat berpengaruh dalam merebut kemerdekaan Indonesia di Banten yang mana
dalam penelitian Suharto tidak dituliskan secara jelas.
Buku “Catatan Masa Lalu Banten”,14 karangan Halwany Michrob dan
Mudjahid Chudari. Dalam buku ini Halwany dan Chudari sebenarnya sudah
menjelasakan sejarah panjang Banten, mulai dari Banten sebelum Islam hingga
Banten awal Kemerdekaan RI. Dalam bab akhirnya terutama yang berkaitan masa
mempertahankan kemerdekaan, Halwany dan Chudari sedikit menggambarkan
kondisi dan para tokoh pada masa kemerdekaan Indonesia di Banten, namun lebih
sedikit bila dibandingkan dengan tulisan Suharto. Hal ini dikarenakan tulisan
Halwany dan Chudari mengambil rentan waktu yang cukup panjang, sehingga buku
ini banyak fokus yang dimiliki. Yang menjadi pembeda dari buku ini ialah penulis
lebih memfokuskan terhadap satu tokoh pada periode tertentu saja, sehingga
penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap dari serangkaian sejarah Banten yang
ditulis sebelumnya.
Selanjutnya kajian yang meneliti mengenai proses revolusi di Banten lebih
lengkap dijelaskan oleh Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi,
Utang Darah dibayar Darah”, dalam buku Pergolakan Daerah Pada Awal
Kemerdekaan yang disunting oleh Audrey R. Kahin.15 Beberapa yang menonjol
dari tulisan ini adalah penjelasannya yang mendalam bila dibandingkan dengan
tulisan lain yang menjelaskan mengenai revolusi di Banten. Terlebih dijelaskan
pula mengenai peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti peristiwa tahun 1926 yang
kemudian dihubungkan dengan penjelasan dan fakta yang kaya. Namun lagi-lagi
seperti kebanyakan kajian lainnya, penjelasan mengenai peran ulama di Banten
14 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit
Saudara, 1993). 15 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah”,
dalam Audrey Kahin (ed). (tej.). Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti.
1990).
9
pada masa tersebut masih menjadi peran figuran dan hanya disinggung sedikit, dan
tentu saja hal ini yang membedakan tulisan Williams dengan skripsi ini.
Berbeda dengan studi-studi di atas, penulisan ini secara teoritis menjelaskan
pola-pola peranan satu tokoh ulama sekaligus Residen Banten pertama, yakni K.H.
Ahmad Chatib yang berpengaruh pada masa mempertahankan kemeredekaan
Indonesia di Banten tahun 1945-1949. Studi ini mengambil sekop di wilayah
Banten yang sudah dikumpulkan dalam sumber-sumber tertulis. Dengan demikian,
penelitian ini memiliki signifikasi yang tinggi dan memberi kontribusi bagi
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Banten untuk mengenal lebih
beberapa tokoh ulama yang berpengaruh pada masa awal kemerdekaan.
G. Landasan Teori
Menurut Sarono Kartodirjo, penggambaran kita mengenai suatu peristiwa
sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya,
dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan dan
sebagainya.16 Dengan pendekatan tersebut, maka akan memudahkan penulis untuk
mengetahui bahwa ilmu sosial sebagai ilmu bantu dalam sejarah.
Untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa revolusi di Banten,
digunakan teori gerakan sosial dengan pendekatan perubahan sosial yang
dikemukan Anthony Giddens. Perubahan sosial yang dimaksud adalah suatu upaya
kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan
bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-
lembaga yang mapan.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Tarrow, ia mendefinisikan gerakan
sosial sebagai politik perlawanan yang dilakukan oleh rakyat biasa yang bergabung
dengan kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh. Menggalang kekuatan
bersama dengan tujuan melawan para elite, pemegang otoritas ataupun pihak-pihak
16 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4.
10
lawan yang lain. Perlawanan ini berubah menjadi sebuah gerakan sosial ketika
didukung oleh jaringan sosial yang kuat.17
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian
sejarah pada umumnya, yaitu heuristik atau pengumpulan data, kritik sumber baik
intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran dan yang terakhir adalah tahap
historiografi atau penulisan sejarah.18
Dalam proses heuristik penulis akan menggunakan metode library research
atau kepustakaan. Penulis mencari sumber-sumber sejarahnya berupa sumber
tertulis baik primer maupun sekunder. Untuk sumber primer penulis menggunakan
surat kabar tahun 1945-1949, yaitu Surat Kabar Merdeka19 yang kerap
memberitakan kondisi Banten antara tahun 1945 sampai 1949. Selain sumber
primer berupa surat kabar, penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa foto-
foto yang terdapat di BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah) Provinsi
Banten.20
Untuk sumber sekunder penulis menggunakan buku-buku yang membahas
terkait peran ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Banten yang
penulis dapatkan dari berbagai perpustakaan. Salah satunya Banten Masa Revolusi
1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan republik Indonesia, yang
penulis dapatkan dari perpustakaan Universitas Indonesia. Selebihnya data-data
sekunder yang penulis gunakan berupa buku, artikel dan skripsi yang penulis
temukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan UI dan
beberarapa jurnal ilmiah dari situs internet. Namun, dalam proses heuristik ini
17 Fadillah Putra, dkk., Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan
Gerakan Sosial di Indonesia, (Malang: Averroes Press, 2006), Hal. 1 18 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), h.
89. 19 Merdeka adalah surat kabar yang didirikan oleh B.M. Diah pada 1 Oktober 1945. Tersedia
di Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Raya NO. 28A Jakarta 20 BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah) Provinsi Banten beralamat di Jl. Raya
jakarta, Km. 4, Pakupatan, Panancangan, Kota Serang, Banten 42124. Lebih lanjut lihat:
http;//bpad.bantenprov.go.id
11
penulis mendapatkan hambatan dalam pencarian sumber mengenai pengasingan
K.H. Ahmad Chatib di Boven Digul dan kehidupan akhir K.H. Ahmad Chatib,
teruama setelah tidak lagi menjabat sebagai Residen Banten
Tahapan berikutnya adalah verifikasi atau kritik sumber. Dalam tahapan ini
penulis menguji keabsahan sumber baik dari melalui kritik ekstern maupun kritik
intern. Dalam kritik ekstren penulis mengkritisi secara fisik mengenai sumber-
sumber yang penulis dapatkan. Surat kabar yang ditemukan penulis dari
Perpustakaan Nasional berupa surat kabar Merdeka, Warta Indonesia dan Antara
yang telah difoto copy. Sehingga secara fisik dokumen tersebut tidak dapat
dikatakan otentik karena sudah tidak dalam bentuk aslinya, namun bagi penulis
sumber tersebut tetap memuat unsur-unsur primer.21
Tahap selanjutnya yaitu penulis melakukan interpretasi dari sumber-sumber
yang telah diuji kebenarannya. Tahap ini merupakan penggabungan antara sumber-
sumber yang didapat dengan teori-teori yang mendukung beserta pendapat penulis
mengenai aspek yang dikaji. Dalam proses analisis atau penguraian, penulis
memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah penulis himpun baik
sumber primer maupun sumber sekunder. Seperti kebijakan Residen K.H. Ahmad
Chatib mengangkat pejabat lama untuk mengisi jabatan yang kosong namun
bertolak belakang dengan keinginan para pemuda, membuat program untuk terakhir
strategi K.H. Ahmad Chataib dalam perang gerilya pada saat terjadi Agresi Militer
belanda. Dari beberapa fakta hasil analisis tersebut maka sintesisnya adalah bahwa
K.H. Ahmad Chatib sangat besar peranannya dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia di Banten.
Tahap terakhir yaitu historiografi, dalam tahap penulis menguraikan fakta-
fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik
kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang menjadi
kajian utama penulisan ini.
21 Louis Gottschak, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1969),
h. 45.
12
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab. Adapun susunan
penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Bab pertama atau pendahuluan yang memuat penjabaran singkat latar
belakang yang akan menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pustaka
terdahulu, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan menjelaskan mengenai kondisi sosial Banten sebelum
kemerdekaan, kondisi politik Banten setelah kemerdekaan, dan gerakan sosial
banten awal kemerdekaan
Bab ketiga akan menjelaskan tentang aktivitas politik K.H. Ahmad Chatib
pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sampai awal kemerdekaan. Dalam bab
ini akan dibagi pembahasannya megenai kehidupan dan aktivitas K.H. Ahmad
Chatib, K.H. Ahmad Chatib sebagai residen banten, dan polemik K.H. Ahmad
Chatib dengan pemerintah pusat.
Bab keempat akan menguraikan tentang analisis pola gerakan K.H. Ahmad
Chatib dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Banten kemudian akan
dikaji tentang kebijakan K.H. Ahmad Chatib saat Banten di blokade oleh Belanda
dan strategi K.H. Ahmad Chatib dalam perang gerilya.
Bab kelima berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analis data dan
memberikan saran atas penelitian yang telah diperoleh agar menjadi masukan untuk
penulisan selanjutnya.
13
BAB II
BANTEN DALAM SOSIO POLITIK
A. Kondisi Sosial Banten Sebelum Kemerdekaan
Daerah Banten yang terletak di bagian barat Pulau Jawa, pada masa revolusi
merupakan sebuah keresidenan yang terdiri dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten
Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang. Secara garis besar, Banten
dibagi menjadi dua wilayah yang sangat berbeda, yaitu bagian selatan yang
merupakan daerah pegunungan serta jarang penduduknya, dan bagian utara yang
merupakan dataran rendah serta padat penduduknya. Golongan etnik terbesar di
Banten adalah suku sunda yang mendiami daerah selatan Banten yaitu orang Baduy
yang mempunyai adat istiadat sendiri, sedangkan di Banten bagian utara
kebanyakan orang-orang pendatang dan keturunan Jawa yang datang dari Demak
dan Cirebon.1
Berbicara mengenai struktur sosial, klasifikasi masyarakat Banten didasarkan
atas kepemilikan tanah, karena daerahnya yang cenderung agraris. Oleh karena itu,
penduduk setempat memiliki matapencaharian rata-rata sebagai petani. Di luar itu,
ada yang bekerja sebagai nelayan, tukang, pekerja industri dan pedagang.2 Pada
abad ke-19, terjadi pengelompokan terhadap masyarakat Banten, kelompok
pertama disebut jalma leutik, yaitu petani, tukang, pedagang dan buruh. Kelompok
ini merupakan mayoritas. Kelompok kedua disebut priyayi, mereka yang memiliki
darah bangsawan dan para elit birokrasi. Para elit birokrasi berada di bawah para
bangsawan, namun masih lebih tinggi dari para jalma leutik.
Banten pada masa kesultanan yang didirikan pada tahun 1525, mempunyai
daerah kekuasaan yang lebih luas, yaitu meliputi daerah Jasinga, Tangerang dan
Lampung. Akan tetapi setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal tahun 1682 pamor
Kesultanan Banten menurun, karena perebutan-perebutan kekuasaan di keluarga
1 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, (Depok, Universitas Indonesia, 2001), h. 4. 2 Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, dalam Prisma, No. 8 Agustus 1981,
h. 57.
14
sultan, yang kemudian dimanfaakan oleh Belanda dan akhirnya tahun 1808
Kesultanan Banten berakhir, wilayahnya dikuasi oleh Belanda.
Setelah Kesultanan Banten dikuasi Belanda, perlawanan di daerah-daerah
terus bertambah, diantaranya pemberontakan Pandeglang (1811 M), peristiwa
geger Cilegon atau yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan petani
Banten (1888 M) Cikande Udik (1845 M), peristiwa Kolelet (1866 M),
pemberontakan Wakhia (1850 M), sampai kepada pemberontakan komunis Banten
(1926 M).3 Pada tahun 1926 Banten menjadi ajang pemberontakan komunis yang
mencemaskan pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan ini mempunyai
semangat kuat anti kolonial dan anti priayi, banyak kaum ulama yang terlibat di
dalamnya.4 Pemberontakan tersebut gagal dan banyak masyarakat Banten yang
ditangkap kemudian di buang ke Boven Digul,5 salah satunya K.H. Ahmad Chatib.6
Peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda ke pendudukan Jepang
memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia yang sedang berjuang
memperoleh kemerdekaan. Kemenangan pasukan Dai Nippon atas pasukan militer
Belanda pada tahun 1942 menjadi awal baru semangat para pejuang untuk
melepaskan diri dari cengkraman penjajahan Belanda. Kedatangan Jepang ke
Nusantara disambut dengan meriah oleh masyarakat Indonesia karena dianggap
sebagai saudara tua yang telah membantu bangsa Indonesia melepaskan diri dari
penjajahan Belanda.7
Setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia, dibentuklah suatu
pemerintahan militer yang bersifat sementara sesuai dengan Undang-undang No.
1/1942 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret
3 Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. (Jakarta: YPM
Press, 2011), h. 44. 4 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Ulama, Sultan, Jawara, (Jakarta: LP3ES,
2003), h. 142. 5 Boven Digul adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
di Pulau Papua atau yang disebut sebagai tempat pembuangan/pengasingan bagi para tahan politik
yang melawan pemerintah kolonial Belanda terutama orang-orang yang terlibat dalam
pemberontakan komunis 1926. 6 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten,
(Yogyakarta: Syarikat, 2003), h. 163. 7 Iwan Hermawan, “Lubang Tambang Batu Bara Bayah: Jejak Romusha Di Banten Selatan”,
Kapata Arkeologi Vol. 3, No. 2, 2017, h. 226.
15
1942. Pada dasarnya, susunan pemerintahan masa pendudukan Jepang tetap
mempertahankan sistem lama. Pada masa penjajahan Belanda, sejak tahun 1834,
daerah kesultanan Banten dijadikan sebagai satu karesidenan, meliputi kabupaten
Serang, kabupaten Pandeglang dan kabupaten Lebak. Pada tanggal 29 April 1942,
R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat diangkat sebagai Residen Banten yang
berkedudukan di Serang.8
Wilayah karesidenan Banten sebagai daerah ujung barat pulau Jawa,
merupakan pintu masuk yang sangat strategis, serta atas dasar pertimbangan
ideologi, politik, sosial ekonomi dan strategi militer, Banten dijadikan benteng
pertahanan wilayah pendudukan Jepang di pulau Jawa bagian barat. Basis-basis
pertahanan yang terpenting dengan kesatuan tempur cukup besar ditempatkan di
Pulau Sangiang, sebagai pangkalan Angkatan Laut (Kaigun) di Selat Sunda, dengan
markas komando di Anyer; kekuatan Angkatan Udara (Kidobutai) di Gorda,
menghadap ke pantai Laut Jawa; kesatuan Angkatan Darat (Rikugun) di tempatkan
di Sajira (Rangkasbitung). Di Serang ditempatkan satu Sub Detasemen Kempetai
(Polisi Militer), untuk meliputi seluruh daeran Banten.9
Untuk mengambil hati rakyat, Jepang melakukan berbagai cara pendekatan,
misalnya: memberi pelajaran baris berbaris kepada para pemuda, membangun
beberapa gedung sekolah antara lain di kota Serang dibangun sebuah Chugakko
(SMP), di Pandeglang dibangun sebuah Sihan gakko (Sekolah Guru) dan sebuah
Nogyo gakko (Sekolah Menengah Pertanian Pertama).10 Program pendidikan yang
dilakukan pemerintah pendudukan Jepang bagi penduduk di Banten merupakan
sebagai usaha men-Jepang-kan penduduk yang dilakukan lewat sekolah-sekolah
yang para gurunya telah dipersiapkan melalui kursus pendidikan guru yang "dipola"
sesuai dengan propaganda Jepang.
Disamping itu, Simbol-simbol nasional diizinkan untuk dipamerkan bersama
dengan simbol-simbol negara Jepang. Bendera merah putih berkibar berdampingan
8 Euis Thresnawaty, “Lintasan Sejarah Pemerintahan Kabupaten Serang Abad XVI-XX”,
dalam Patanjala, Vol. I No. 2, Juni 2009, h. 183. 9 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit
Saudara, 1993), h. 98. 10 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 99.
16
dengan bendera matahari terbit, demikian pula lagu kebangsaan Indonesia Raya
dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Jepang. Selain itu, Jepang juga membebaskan
pemimpin-pemimpin nasional yang ditahan oleh Belanda.11 Untuk memperoleh
simpati rakyat Indonesia, selain mengobarkan spirit anti Belanda, Jepang juga
selalu menyiarkan propagandanya dalam bahasa Indonesia, dan dalam setiap siaran
radio untuk Indonesia selalu diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Propaganda yang demikian itu telah membentuk opini bangsa Indonesia bahwa
Jepang memang akan membebaskannya dari penjajahan bangsa Barat.12 Setelah
pemerintah Jepang membentuk Pembela Tanah Air (PETA), di daerah Banten
empat daiden (batalyon), dua diantara batalyonnya adalah ulama Banten yaitu K.H.
Ahmad Chatib dan K.H. Syam’un.13
Perubahan sosial politik mulai terasa setelah Jepang berkuasa selama satu
tahun. Sikap mereka yang semula ramah dan simpati berubah kejam, menekan
rakyat dengan berbagai peraturan ketat. Tindakan tersebut antara lain melarang
pengibaran bendera merah putih, mengharuskan mengibarkan bendera Hinomaru
atau Kooki pada saat hari-hari yang dianggap penting, penggunaan tahun sumera,
waktu menurut Tokyo.14 Selain itu, pemerintah Jepang juga melarang rakyat
menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berkumpul lebih dari dua orang. Di antara
peraturan-peraturan itu, ada satu ketentuan yang sangat ditentang oleh para ulama,
yaitu kewajiban untuk melakukan seikerei yaitu membungkuk ke arah timur untuk
memberi hormat kepada Kaisar Jepang, yang dianggap dewa matahari. Sikap
tersebut oleh para ulama diartikan sebagai penyembahan kepada selain Allah yang
termasuk syirik (mempersekutukan Allah). Penyembahan hanyalah kepada Allah,
bukan kepada yang lain; apabila sikap itu dilakukan kepada selain Allah maka
termasuk syirik, dosa yang terbesar dalam Islam.15
11 Iwan Hermawan, Lubang Tambang Batu Bara Bayah, .........., h. 226. 12 Dewi Yulianti, Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945, 2010, h. 8. Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/19444/1/ARTIKEL_PROPAGANDA_JEPANG.pdf pada tanggal 09
Februari 2019, pukul 19.00 WIB. 13 Suharto, Revolusi Sosial di Banten, 1945-1949: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Dampaknya.
Laporan Hasil Penelitian, (Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996), h. 2. 14 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, .........., h. 149. 15 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 100.
17
Pendudukan Jepang secara langsung telah menyebabkan terjadinya
perubahan sosial yang besar dalam masyarakat. Salah satu perubahan sosial yang
paling mecolok adalah perubahan dalam pelapisan sosial. Pada masa penjajahan
Belanda, terdapat tiha lapisan dalam masyarakat yang didasarkan atas ras. Lapisan
pertama terdiri dari golongan orang Belanda dan Eropa lainnya. Lapisan kedua
adalah orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India), dan yang terakhir adalah bangsa
Indonesia. Akan tetapi, setelah Jepang berkuasa, susuan itu berubah. Orang Jepang
sebagai pemenang perang menduduki lapisan teratas. Selanjutnya diikuti oleh
bangsa Timur Asing dan Indonesia pada lapisan kedua. Orang Belanda dan Eropa
yang kalah perang dan dianggap mush utama Jepang berada dilapisan terakhir.
Sebagai akibatmya, banyak harta benda dan perusahaan serta perkebunan milik
orang Belanda yang disita oleh Jepang.16
B. Kondisi Politik Banten Setelah Kemerdekaan
Kabar tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu baru sampai kepada orang-
orang Jepang di Banten pada tanggal 15 Agustus 1945 sore. Kolonel Ban
Yokiyoshi, Shuchoken (Residen) Banten, pada tanggal 16 Agustus meninggalkan
Banten menuju Jakarta untuk memenuhi panggilan atasannya tanpa
memberitahukan kepada Raden Tumenggung Rangga Tirtasoejatna, Fuku
Shuchoken (Wakil Residen) Banten, baik secara lisan maupun tulisan. Disamping
itu, tentara Jepang di Banten diintruksikan agar tetap berada di markas atau asrama
masing-masing dan melaksanakan perintah Sekutu, yaitu menjaga status quo.17
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebar luas di kalangan
masyarakat Banten setelah datangnya para pemuda dari Jakarta utusan Chaerul
Saleh pada tanggal 20 Agustus 1945, mereka adalah Pandu Kartawiguna, Ibnu
Parna, dan Abdul Muluk yang menemui K.H. Ahmad Chatib dan Ali Amengku,
tokoh Banten. Para utusan ini menyerahkan selembaran teks proklamasi, maklumat
oleh proklamator Soekarno-Hatta, dan beberapa ekslamper surat kabar terbitan
Jakarta yang memuat tentang berita upacara kemerdekaan Indonesia, mereka
16 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, .........., h. 152. 17 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h.. 77.
18
diharapkan untuk meneruskan berita itu secara berantai kepada seluruh masyarakat
di Keresidenan Banten. Maka Ali Amangku mendirikan Angkatan Pemuda
Indonesia (API), sedangkan API Puteri dipimpin oleh Sri Sahuli.18
Setelah mendengar kabar berita kemerdekaan dari utusan Jakarta, beberapa
pemuda yang tergabung dalam API (Angkatan Pemuda Indonesia) berinisiatif
untuk membentuk suatu badan penerangan yang bertugas menyebarluaskan berita
kemerdekaan ke seluruh penjuru Banten. Para anggota ini kemudian dikirim untuk
menggerakan pemuda dan mendatangi para ulama di pesantren-pesantren dengan
tujuan agar mereka memberikan penerangan kepada masyarakat. Selain
menyampaikan berita kemerdekaan, badan penerangan ini juga mengobarkan
semangat juang masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, juga
menanamkan pemahaman bahwa kemerdekaan ini bukanlah pemberian Jepang.
Dalam waktu lima hari seluruh masyarakat Banten sudah mengetahui tentang berita
kemerdekaan Republik Indonesia.19
Selain itu, utusan itu juga menyampaikan pesan Chaerul Saleh antara lain
bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari Jepang dan agar para pemuda
segera merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945
beberapa pemuda, di antaranya ketua API Puteri, Sri Sahuli, berani memprakarsai
penurunan bendera Jepang yang ada di Hotel Vos, Serang (sekarang kantor Kodim
Serang). Peristiwa ini disusul dengan penurunan bendera di kantor-kantor
pemerintah Jepang lainnya pada keesokan harinya.20
Adanya gerakan penurunan bendera Jepang di berbagai tempat menunjukan
bahwa para pemuda semakin berani dan dengan giat menggerakan semangat rakyat
Banten untuk melucuti tentara Jepang. Melihat gelagat ini banyak orang Jepang
yang melarikan diri dari Banten menuju Jakarta. Di samping itu beberapa pegawai
pemerintah atau pangerah praja yang berasal dari daerah Priyangan pun melarikan
18 Hendri F. Isnaeni, “Proklamasi Kemerdekaan sampai di Banten”, Historia, Jumat, 17
Agustus 2018. Diakses dalam https://historia.id/politik/articles/proklamasi-kemerdekaan-sampai-
di-banten-Pdjxl pada tanggal 18 Februari 2019, pukul 20.57 WIB. 19 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, .........., h. 167. 20 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 106.
19
diri,21 hal ini bukan berarti mereka setia kepada Jepang, melainkan mereka merasa
takut menjadi luapan kemarahan rakyat Banten karena bekas pejabat kolonial yang
tidak disenangi. R. Tirtasoejatna yang baru menerima pengangkatan jabatan dari
Yukiyoshi juga melarikan diri ke Bogor, meskipun ia telah ditunjuk oleh
Pemerintah RI sebagai Residen.
Sejak R. Tirtasoejatna melarikan dari Banten, jabatan Residen menjadi
kosong, sedangkan waktu itu belum ada penunjukan sebagai gantinya. Dalam
situasi yang tidak menentu ini, para pemuda yang tergabung dalam API menyusun
rencana kerja pada akhir bulan Agustus 1945 untuk menangani masalah Pemerintah
Daerah. Pertemuan dilaksanakan di rumah Zulkarnaen Surya Kertalegawa di
Serang yang dihadiri oleh perwakilan golongan muda, ulama dan jawara.
Pertemuan itu antara lain memutuskan hal berikut: pengambilalihan kekuasaan dari
tangan Jepang diserahkan kepada Zulkarnaen Kertalegawa, urusan yang ada
hubungannya dengan badan-badan perjuangan atau organisasi kepemudaan
diserahkan kepada Ali Amengku. Pertemuan secara aklamasi memilih K.H. Ahmad
Chatib sebagai Residen Banten yang menangani pemerintahan sipil.22
Dalam perundingan itu pun para pemuda mengusulkan kepada pemerintah
Republik Indonesia agar segera mengangkat K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen
Banten, yang menangani administrasi dan pemerintahan sipil di Banten.23
Pemerintahan ini didukung oleh elemen pemuda, ulama, intelektual pribumi, dan
angkatan bersenjata. Lalu, untuk menjaga keamanan di daerah Banten dibentuklah
Badan Keamanan Rakyat (BKR) Karesidenan Banten yang dipimpin oleh K.H
Syam’un.24
Pada tanggal 19 September 1945, K.H. Ahmad Chatib resmi diangkat
menjadi Residen Banten oleh Presiden Soekarno melalui.25 Untuk membantu
21 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah”,
dalam Audrey Kahin (ed). (tej.). Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti.
1990), h. 61. 22 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 86. 23 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 107. 24 M. Ilham Gilang, Sejarah Lokal Dalam Mengembangkan Patriotisme (Kajian Pada Materi
Sejarah Revolusi Fisik Di Banten Tahun 1945-1949), dalam Candrasangkala: Jurnal Prndidikan
dan Sejarah, Vol. 2, Mo.1, 2016, h. 38. 25 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 107.
20
kelancaran pemerintahan, K.H. Ahmad Chatib menunjuk Zulkarnain Surja
Kertalegawa sebagai Wakil Residen. Dan untuk jabatan bupati di daerah Serang,
Pandeglang dan Lebak, K.H. Ahmad Chatib meminta agar para bupati lama untuk
sementara tetap dalam jabatannya dan meneruskan tugasnya sebagai Bupati;
dengan pertimbangan, dalam masa transisi, para bupati lamalah yang lebih
mengetahui administrasi pemerintahan di daerahnya. Para bupati itu adalah: Raden
Hilman Djajadiningrat (Bupati Serang), Mr. Djumhana (Bupati Pandeglang) dan
Raden Hardiwinangun (Bupati Lebak). Dikemudian hari, kebijakan inilah yang
memicu terjadinya aksi Dewan Rakyat.
Menurut Suharto, tampilnya ulama dalam politik lokal Banten merupakan
usaha yang telah lama mereka perjuangkan setelah kedudukannya dimusnahkan
oleh kolonialisme Belanda. Pada kondisi lain, rakyat menghendaki tampilnya para
ulama sebagai amirul mukminin, sehingga adanya kekosongan pemerintahan pada
masa awal kemerdekaan merupakan kesempatan paling baik bagi kaum ulama
untuk tampil kembali sebagai umaro.26
C. Gerakan Sosial Banten Awal Kemerdekaan
Sebagai salah satu daerah di Indonesia, Banten juga ikut berpartisipasi dalam
sebuah remembered history.27 Letak Banten yang yang masih satu jalur dengan
pesisir utara pulau Jawa menjadi pemicu utama pentingnya kajian tentang masa
revolusi di Banten. Hal ini sejalan dengan pernyataan Anthony Reid yang
mengatakan bahwa gerakan-gerakan revolusi dimulai dari daerah-daerah yang
terletak di pesisir utara pulau Jawa.28 Terlebih lagi jika dilihat mengenai
karakteristik masyarakat Banten yang masih cenderung tertutup dan susah diatur
dan kemudian berpotensi menimbulkan persaingan antara kelompok sosial.29
26 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 125. 27 Istilah yang digunakan oleh Sartono untuk menyebut sejarah yang diingat, atau yang masih
dalam ingatan orang-orang. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah
Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1990), h. 36. 28 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, .........., h. 134. 29 Rosian Anwar, Sejarah Kecil, “Petite Histoire” Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2004), h. 133.
21
Peristiwa tahun 1926 dan tahun 1888 yang terjadi di Banten memberikan bukti
bahwa persaingan antara kelompok sosial telah berlangsung lama sebelum masa
revolusi. Adapaun gerakan sosial di Banten setelah kemerdekaan adalah sebagai
berikut:
1. Pengambilalihan Kekusaan dari Tangan Jepang
Setelah resmi menjadi Residen Banten, K.H. Ahmad Chatib segera menyusun
personalia Pemerintah Daerah untuk Keresidenan Banten. Selain mengeluarkan
kebijakan bahwa semua pegawai lama tetap pada jabatan masing-masing, Ahmad
Chatib juga segera membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dan
Badan Keamanan Rakyat (BKR). Sesuai intruksi pemerintah pusat di Jakarta agar
setiap Kepala Daerah membentuk KNID dan BKR. Kedua badan tersebut dibentuk
pada tanggal 23 Agustus 1945 sebagai organisasi resmi yang membantu aparatur
pemerintah dalam menangani bidang politik, militer dan keuangan negara.30
K.H. Syam'un yang ditunjuk menangani bidang militer segera merealisir
pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Keresidenan Banten. Anggota
BKR ini terdiri dari bekas anggota PETA, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API, dan
lain-lain barisan kelaskaran. Susunan organisasi BKR masih menggunakan bentuk
yang terdapat dalam Daidan (kesatuan batalion) pada PETA di masa pendudukan
Jepang.31 Tujuan dibentuknya BKR adalah untuk memelihara keselamatan dan
keamanan masyarakat.
Dalam hal persenjataan, pasukan BKR tidak mempunyai banyak senjata api,32
Oleh sebab untuk mendapatkan senjata yang diperlukan pasukan yang akan menjadi
pasukan inti perjuangan rakyat Banten, K.H. Syam'un menyusun suatu rencana
untuk "meminta" dari pasukan Jepang. Untuk keperluan itu K.H. Syam'un
mengadakan perundingan dengan K.H. Ahmad Chatib, yang kemudian disepakati
untuk mencoba berunding dengan Kenpetai di Serang, agar pihak Jepang
menyerahkan senjatanya kepada BKR.
30 A.H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia. Jilid I (Jakarta: Seruling Masa, 1970), h. 145. 31 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 108. 32 Hal ini dikarenakan para Shidokan (pelatih) tentara PETA sudah melucuti senjata anak
buahnya ketika para Daidancho (Komandan Batalyon) dari Banten sedang memenuhi panggilan
rapat pimpinan di Bogor pada tanggal 18 Agustus 1945, lebih lanjut lihat Suharto, Banten Masa
Revolusi, 1945-1949, .........., h. 77.
22
Pada tanggal 5 Oktober 1945 perundingan ini terlaksana yang dihadiri
Residen Banten, K.H. Ahmad Chatib dan Wakil Residen, Zulkarnaen Suria
Kertalegawa. Hasil perundingan itu adalah bahwa pihak kenpetai menyetujui usul
K.H. Chatib asalkan BKR dan residen bersedia menjamin keselamatan seluruh
orang Jepang yang masih ada di Keresidenan Banten. Berdasarkan persetujuan ini,
maka Residen mengumumkan agar semua orang Jepang yang masih berada di
Keresidenan Banten segera berkumpul di kota Serang, di markas Kenpetai,
selambat-lambatnya sebelum tangggal 9 Oktober 1945 untuk diangkut ke Jakarta
dengan pengawalan pasukan BKR.
2. Gerakan Dewan Rakyat
Setelelah K.H. Ahmad Chatib menjadi residen dan mengangkat kembali
pejabat lama (pejabat semasa pemerintahan Belanda ataupun Jepang) untuk mengisi
jabatan yang kosong, terjadi intrik-intrik ketidakpuasan diantara sebagian kalangan
pemuda, terutama pemuda yang menamakan dirinya sebagai Dewan Rakyat yang
dipimpin oleh Tje Mamat. Para pemuda itu menginginkan adanya "pembaharuan
total", dan mencap orang-orang lama ini sebagai warisan kolonial ataupun
penghianat bangsa.33 Tje Mamat yang juga menjabat sebagai ketua KNID
Kabupaten Serang, yang mempunyai tugas untuk membantu residen dalam
menjalankan pemerintahan, ternyata tidak sepemikiran, bahkan menentangnya. Ia
dengan keras menuntut agar “orang-orang lama” yang dicap sebagai “warisan
kolonial” segera diganti dengan “orang-orang baru”
Tje Mamat alias Mohamad Mansur yang menjadi ketua Dewan Rakyat lahir
di Anyer dan pernah menjadi sekretaris PKI cabang Anyer pada tahun 1926. Setelah
kegagalan dalam pemberontakan Komunis di Banten tahun 1926, ia melarikan diri
ke Malaya, disana ia diterima dalam Partai Republik Indonesia (PARI), partai baru
yang didirikan oleh Tan Malaka.34 Pada tahin 1930 ia kembali ke Indonesia untuk
mendirikan klub studi politik bersama Arif Siregar di Palembang. Pada tahun 1932
ia pulang ke Banten dan menjadi Prokol (pengacara yang tidak memerlukan izin
khusus), sehingga seringkali ia membela jawara di pengadilan. Pada masa
33 Suharto, Revolusi Sosial di Banten, 1945-1949, .........., h. 11. 34 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 112.
23
pendudukan Jepang, Tje Mamat memelihara hubungan baik dengan kelompok-
kelompok di luar Banten, termasuk kelompok gerakan bawah tanahnya Mr. Yusuf,
seorang pengacara radikal. Pada tahun 1944 Tje Mamat dan banyak kawananannya
ditangkap Kanpeitai (poisi militer Jepang), Tje Mamat sendiri dijebloskan ke
dalam penjara dan disiksa, dua dari pimpinan kelompok ini, H. Sinting, seorang
eks-Digulis, dan Hidayat meninggal di dalam penjara. Pengalaman kelompok ini
semasa penjajahan Jepang meninggalkan kebencian yang mendalam, serta
bersumpah akan memutuskan tiap hubungan apapun dengan kelompok ataupun
perorangan yang pro Jepang.35
Pembentukan Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Tje Mamat dengan cepat
mendapat dukungan dari petani dan jawara. Dewan Rakyat yang dimasuki oleh
orang-orang radikal dan revolusioner mengintimidasi dan menghasut rakyat agar
membalas dendam terhadap orang-orang Jepang, pamong praja dan polisi.
Dikalangan petani, pembentukan Dewan Rakyat sangat mengesankan dengan
semboyan-semboyan yang sangat populis, yaitu “rakyat akan menjadi hakim”,
“satu untuk semua dan semua untuk satu”, “hutang padi dibayar dengan padi,
hutang darah dibayar dengan darah”. Tampaknya semboyan tersebut sangat jitu
dikalangan petani dan jawara. Bertambah banyaknya lambang dan lencana seperti,
bendera merah, lambang palu-arit, dan segitiga merah di atas dasar putih yang
menjadi lambang Dewan Rakyat itu sendiri.36
Tanda pertama ketegangan sosial yang kemungkinan akan menjadi
kekacauan yang meluas kemana-mana terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945, saat
itu para petani Cinangka mendatangi camat setempat, Tubagus Mohammad Arsad,
untuk meminta agar bahan sandang yang dia kuasai diserahkan kepada mereka.
Ketika camat menolak rumahnya pun di rampok sehingga ia kabur dan meminta
bantuan kepada Wedana Anyer, Raden Sukrawardi. Akan tetapi ketika camat dan
wedana beserta rombongan polisi mendatangi Cinangka, mereka diserang oleh para
petani yang bersenjatakan tongkat. Raden Sukrawardi terbunuh, yang lainnya
berhasil meloloskan diri. Insiden Cinangka ini merupakan tembakan pembukaan
35 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, ..........,h. 63. 36 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 72.
24
perjuangan yang akan segera berkembang antara pangerah praja dan kaum sosial
revolusioner.37
Pada bulan September 1945 ketegangan diseluruh Banten tambah meningkat.
Peristiwa kekerasan di Cinangka menggelisahkan para pangerah praja dan para
pejabat kepolisian setempat. Dewan Rakyat yang sebagian besar anggotanya adalah
jawara dari daerah Ciomas, mengintimidasi penduduk dengan golok mereka dan
menjarah harta benda, terutama milik para orang-orang pribumi yang pernah
bekerjasama dengan Jepang.38 Kelompok jawara muncul secara terang-terangan,
sementara pejabat semakin diejek dan ditantang, para kaum revoluisoner sudah
mantap niatnya untuk bertempur. Sehingga, penarikan Jepang dari Banten dalam
pandangan mereka merupakan suatu kemenangan yang lengkap untuk pertama
kalinya dalam sejarah kerusuhan sosial dan politik di Banten.39
Sasaran Dewan Rakyat selanjutnya ialah penjara utama di Serang yang terjadi
pada tanggal 13 Oktober 1945. Banyak jawara yang dipenjarakan di sana pada masa
pendudukan Jepang, diantaranya Ahmad Sadeli, Mad Duding, dan Wadur
kemudian dibebaskan. Pada saat yang sama, enam orang Eropa terbunuh di penjara,
salah satunya mantan KNIL, Kapten Faber.40 Akibat mundurnya tentara Jepang dari
Banten, dan karena tidak adanya perlawanan dari siapapun, maka dengan cepat
Dewan Rakyat mengambil fungsinya sebagai badan ekskutif utama.
Pada tanggal 27 Oktober pukul 10 pagi, kantor residen disergap oleh Tje
Mamat dan para pengikutnya, di antaranya adalah dua truk berisi jawara dari
Tangerang. Pada saat itu yang hadir adalah: K.H. Ahamd Chatib, K.H. Syam'un dan
Abdulhadi, seorang mantan Digulis. Dengan ancaman kasar mereka memaksa
Residen Banten untuk membatalkan surat pengangkatan aparat-aparat
pemerintahan di seluruh karesidenan Banten, dan menggantinya dengan orang-
orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat. Pembatalan dan pengangkatan pejabat-
pejabat baru itu harus dibacakan di depan umum besok tanggal 28 Oktober 1945.
Apabila hal ini tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan melenyapkan orang-
37 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 72. 38 Else Ensering, “Banten In Time Revolution”, dalam Archipel, Vol. 50, Paris, 1995, h. 152. 39 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 67. 40 Else Ensering, “Banten In Time Revolution, .........., h. 151.
25
orang "yang tidak disenangi rakyat”. Karena sergapan yang tiba-tiba dan ancaman
pembunuhan kepada semua yang hadir, K.H. Ahmad Chatib, K.H. Syam'un dan
Abdulhadi tidak dapat berbuat selain "terpaksa" menyetujui keinginan Dewan
Rakyat.
Karena keadaan yang tidak menentu itu, K.H. Ahmad Chatib terpaksa
menyetujui keinginan Dewan Rakyat. K.H. Ahmad Chatib terpaksa menyusun
aparat pemerintah daerah yang disesuaikan dengan tuntutan Dewan Rakyat.
Susunan aparat itu sebagai berikut: K.H. Achamd Chatib tetap sebagai residen,
K.H. Syam’un sebagai Bupati Serang merangkap pimpinan tertinggi TKR, K.H.
Abdulhalim sebagai Bupati Pandeglang, dan K.H. Hasan sebagai Bupati Lebak.
Untuk jabatan wedana, camat dan bahkan sampai lurah diserahkan kepada kaum
ulama. Keesokan harinya, pukul 10 pagi, dihadapan beberapa pejabat di halaman
keresidenan diumumkan bahwa mulai hari itu kekuasan diseluruh Keresidenan
Banten diambil alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Tje Mamat.41 Di
samping itu juga dibentuk semacam "Majlis Ulama" yang berfungsi sebagai badan
penasehat residen dan juga mengawasi residen. Anggota majlis ini terdiri dari 40
orang ulama yang berpengaruh di keresidenan Banten, kemudian Komite Nasional
Indonesia (KNI) dibubarkan.
Pada tanggal 28 Oktober 1945 malam, beberapa orang dar Laskar Gulkut42
yang dipimpin oleh Salim Nonong, seorang anggota TKR yang masuk anggota
Dewan Rakyat, menyerbu dan menangkap Bupati Serang, Hilman Djajadiningrat,
kemudian memasukannya ke dalam penjara. Dua hari kemudia Dewan Rakyat
menyerbu Datasemen Polisi Serang untuk merampas senjata, namun hanya
mendapatkan beberapa pucuk karena senjata sudah diserahkan kepada TKR.43 Aksi
41 Suharto, Revolusi Sosial di Banten, 1945-1949, .........., h. 12. 42 Gulkut = gulung bukut. bukut = pamongpraja; artinya, Laskar Gulkut ini dibentuk untuk
menggulung para pamongpraja yang dianggap warisan kolonial, dan kolaburator/penghianat bangsa.
Atau sering juga disebut Laskar Gutgut, Gut-gut = jawara-jawara; artinya mereka terdiri dari jawara-
jawara. Karena memang anggota laskar ini adalah para "jawara", yang biasanya berseragam baju
hitam-hitam dengan lencana di dada berbentuk segi tiga dengan tanda palu arit di tengahnya. Lebih
lanjut lihat Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 131. 43 Rupanya pimpinan polisi saat itu, Oscar Kusumadiningrat, mempunyai pertimbangan
untuk membantu TKR agar senjata-senjata itu jangan jatuh ke tangan Dewan Rakyat; menurut
firasatnya, dia pribadi, termasuk "orang asing" yang berasal dari Priyangan dan juga "warisan
26
Dewan Rakyat yang lain ialah mengatur penggeledahan rumah-rumah priyai dan
merampas cadangan beras, gula, garam, dan tepung yang kemudian dibagikan
kepada petani dengan pembagian yang sederhana hingga Desember 1945.44 Yang
terpenting ialah pandangan umum mulai bergeser kepada Dewan Rakyat terutama
Tje Mamat.
Melihat adanya penculikan-penculikan pejabat dan perampokan itu, Residen
K.H. Ahmad Chatib mengintruksikan kepada Bupati Serang K.H. Syam'un untuk
secepatnya menumpas gerakan Dewan Rakyat ini. K.H. Syam'un segera memanggil
Ali Amangku dan Tb. Kaking, sebagai pimpinan TKR, untuk menyusun siasat
penumpasan. Langkah pertama adalah membebaskan R. Hilman Djajadiningrat dari
penjara Serang. Usaha ini tidak mengalami banyak kesulitan, karena penjagaan
Laskar Gulkut di tempat itu tidak begitu kuat. Langkah berikutnya adalah
menyerang "markas besar" Dewan Rakyat di daerah Ciomas.
Sewaktu pasukan TKR bergerak dari Serang ke Ciomas, di perjalanan
mendapat perlawanan dari Laskar Gulkut yang mengakibatkan dua orang anggota
TKR terbunuh. Tapi akhirnya, pasukan TKR dapat mendesak "pasukan jawara"
sampai di dekat kantor Kawedanaan Ciomas.45 Ternyata kantor Kawedanaan
Ciomas dijadikan markas dan juga pertahanan Dewan Rakyat. Ali Amangku
memerintahkan pasukan TKR untuk mengepung kantor kawedanaan itu sambil
menyerang dengan tembakan-tembakan gencar. Dengan demikian pertahanan
Laskar Gulkut dapat dipatahkan, dan sebagian besar anggotanya dapat ditawan
sedangkan sisanya dapat melarikan diri ke daerah Lebak.
Kunjungan Soekarno dan Hatta pada bulan Desember ke Banten memainkan
peranan penting dalam bidang politik dan situasi Banten. Dalam pidato mereka di
Serang dan Rangkasbitung, para proklamator tersebut mengingatkan para hadirin,
bahwa kedaulatan rakyat tidak harus ditafsirkan secara harfiah. Sebaliknya, rakyat
harus ingat pada tanggungjawabnya kepada negara. Hatta, diluar kebiasaanya
dalam berpidato, mengatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan berseru
kolonial", karena ia pernah menjadi aparat pemerintahan Hindia Belanda dan pendudukan Jepang.
Lihat Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 112. 44 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 112. 45 A. H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia, Jilid I, .........., h. 125.
27
agar dibubarkan. Di sisi lain, Tje Mamat menjawab di lain tempat bahwa Dewan
Rakyat adalah satu-satunya yang mewakili demokrasi rakyat yang sejati.46
Pada tanggal 2 Januari 1946, Dewan Rakyat di Rangkasbitung menuntut
pergantian Bupati K.H. Hasan, TKR Rangaksbitung menjawabnya dengan sebuah
ultimatum yang menuntut agar Dewan Rakyat membubarkan diri. Ketika usaha ini
gagal, maka pertemuan pun pecah. Pasukan Dewan Rakyat karena tidak terlatih dan
lemah dalam hal persenjataan, dengan cepat dapat dikalahkan. Gencatan senjata
yang terjadi kemudian mengakibatkan terpecahnya Dewan Rakyat. Beberapa
pipinan revolusionernya termasuk Tje Mamat, Alirakhman, dan Ahmad Bassaif
ditangkap. Sampai saat itu kedudukan Residen K.H. Ahmad Chatib tetap tidak
tertandingi, dan kaum ulama bisa terus menduduki semua pos pemerintahan yang
penting di keresidenan.
Dengan ditumpasnya Dewan Rakyat pada bulan Januari 1946, radikalisme di
daerah Banten mengalami kemunduran yang hebat. Secara politik dan organisasi,
Dewan Rakyat memang tidak mampu membuat struktur dan program jangka
panjang. Penghapusan Dewan Rakyat berarti bahwa untaian revolusi sosial dalam
sejarah Banten di dalam revolusi telah memudar, namum tidak padam.
Regionalisme dan anti-kolonialisme menjadi unsur yang lebih penting, baik dalam
perjuangan revoluisoner maupun dalam berlanjutnya ketegangan antara Banten dan
pemerintah RI di Yogyakarta di kemudian hari.47
46 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 76. 47 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 78.
28
BAB III
BIOGRAFI K.H. AHMAD CHATIB
K.H. Ahmad Chatib merupakan residen pertama Banten pasca kemerdekaan
yang memerintah pada tahun 1945-1949. Namun, tidak banyak yang mengenal
K.H. Ahmad Chatib, makamnya yang terletak di komplek pemakaman Banten
Lama tidak cukup mendukung untuk mengenalkan jati dirinya. Ulama masyhur
yang pernah memimpin pemberontakan komunis Banten pada tahun 1926 ini putra
dari K.H. Waseh, pimpinan pemberonakankan petani Banten atau lebih dkenal
dengan peristiwa Geger Cilegon pada tahun 1888 melawan kolonialisme Belanda.
Kenangan terhadap tokoh ini hanya tertinggal menjadi nama jalan di
Kelurahan Cipare, Serang, ini dikarenakan tidak banyaknya penelitian yang spesifik
membahas tentang K.H. Ahmad Chatib. Padahal, berdasarkan temuan penulis dari
berbagai sumber sejarah terkait sejarah Banten awal kemerdekaan, kontribusi K.H.
Ahmad Chatib sebagai ulama yang paling berpengaruh sekaligus residen pertama
Banten sangat besar peranannya dalam menegakan serta mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari serangan tentara sekutu melalui Agresi Militer Belanda
I & II.
Peranan K.H. Ahmad Chatib sudah sepantasnya dijadikan panutan bagi
masyarakat Banten. Untuk itu penulis ingin mengangkat peranan K.H Ahmad
Chatib dalam mempertahakan kemerdekaan Indonesia.
A. Kehidupan dan Aktivitas K.H. Ahmad Chatib
K.H. Ahmad Chatib dilahirkan di Kampung Gayam, Desa dan Kecamatan
Cadasari, Kabupaten Pandeglang, tahun 1895. Ayahnya seorang ulama terkenal di
Pandeglang, K.H. Muhammad Waseh. Ia belajar agama Islam di dua pesantren di
Banten, yaitu pesanteren Kadupiring dan pesantren di Caringin pimpinan K.H.
Asnawi.1 Ia meghabiskan masa kecilnya dengan pendidikan yang tidak mudah,
1 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah”,
dalam Audrey Kahin (ed). (tej.). Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti,
1990), h. 252.
29
yaitu di tengah-tengah penjajahan kolonilisme Belanda, sehingga hal tersebut yang
membentuk peribadinya menjadi tangguh dan kuat dalam mengahdapi cobaan
kehidupan.
Karena kepintaran dan kecerdasannya K.H.Ahmad Chatib menjadi murid
kesayangan dan pada tahun 1912 ia menikah dengan Ratu Hasanah, Putri K.H
Asnawi, seorang ulama paling berpengaruh di Banten pada saati itu. Setelah meikah
dan tinggal di Caringin, ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji ke Mekah
dan menetap di sana selama tiga tahun untuk belajar agama Islam pada para ulama
setempat.2 Yang paling menonjol pada K.H. Ahmad Chatib adalah sikapnya yang
keras dan tegas terhadap penjajah.3
Setelah pulang ke Indonesia dan menetap di Caringin pada tahun 1916, untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, ia mengajar pendidikan agama di
pesantren milik mertuanya dan sejak tahun 1919 hingga 1922 ia juga berdagang
pakaian dan kayu.4 Di samping pekerjaan tersebut, ia juga masuk dan aktif menjadi
anggota SI (Sarekat Islam) dan pada tahun 1917 terpilih menjadi ketua SI Labuan.
Ia dikenal sebagai orang yang keras, bersemangat dan tidak mau berkompromi
dalam melawan Belanda. Disamping jati dirinya itu, sebagai seorang keturunan
Sultan Banten dan menantu K.H. Asnawi, telah membawa dirinya menjadi
pimpinan agama yang terpenting di Banten. Setelah berkenalan dan berdialog
dengan Puradisastra, Ketua PKI Seksi Banten, K.H. Ahmad Chatib tertarik,
kemudian mengikuti maksud dan tujuan PKI.5 K.H. Ahmad Chatib yang bergabung
dalam PKI Oktober 1925, dalam pertemuan PKI mengatakan sebagai berikut:
“Layaknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun.
Begitupun dunia yang ternodai ia musti dicuci dengan darah”.6
2 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, (Depok, Universitas Indonesia, 2001), h. 88. 3 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit
“Saudara” Serang, 1993), h. 107. 4 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 253. 5 Suharto, Banten Masa Revolusi, .........., h. 88. 6 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten:
Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta: Syarikat, 2003), h. 1.
30
Sebagai mantan ketua SI Labuan, K.H. Ahmad Chatib menggerakkan para
pengikutnya dari daerah Labuan-Caringin termasuk semua anggota awal SI serta
para keluarganya untuk bergabung dengan PKI, bahkan putra Kyai Asnawi dan
sekaligus kawan akrabnya, yaitu Tb. Emed ikut bergabung. Masuknya K.H. Ahmad
Chatib dalam PKI membuat para ulama lain dan masyarakat Banten mengikuti
langkahnya. Berdasarkan laporan Residen Banten De Vries, pada penghujung 1925
anggota PKI di Banten mencapai 1200 orang.7
Karena aktivitasnya yang membahayakan pemerintah Hindia Belanda, pada
tanggal 23 Oktober 1926, sebelum pemberontakan PKI pecah, satu pasukan Polisi
Hindia Belanda dikirim ke Caringin untuk menangkap K.H. Ahmad Chatib
kemudian dibuang di Boven Digul.8 Pada tahun 1938 ia dibebaskan, kemudian
kembali ke Serang dan aktif melakukan kegiatan keagamaan, serta memimpin
pesantern milik mertuanya di Caringin.
Pada zaman pendudukan Jepang, untuk membantu kesulitan masyarakat Banten
dalam mengatasi kesulitan pengangkutan hasil kebun ke luar daerah, ia mendirikan
sebuah badan usaha yang diberi nama Perusahaan pengangkutan Rakyat. Setelah
Jepang mendirikian PETA, ia sebagai orang yang paling berpengaruh di Banten di
panggil untuk mengikuti pelatihan dan setelah itu diangkat sebagai daindacho
tentara PETA yang berkedudukan di Labuan.
B. K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen Banten
K.H. Ahmad Chtaib resmi diangkat menjadi Residen Banten oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 19 September 1945 melalui radiogram.9 Radiogram
7 Bonnie Triyana, “Tubagus Alpian, Tokoh Kecil dalam Sejarah Besar”, Historia, 12
November 2017. Diakses dalam: https://historia.id/politik/articles/tubagus-alpian-tikih-kecil-
dalam-sejarah-besar-P0mZG pada tanggal 14 Maret 2019 pukul 21.00 WIB . 8 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit, ........., h. 87. 9 Tentang tanggal diangkatanya K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen terdapat beberapa
pendapt. Suharto dalam penelitiannya menyebutkan tanggal 2 September 1945, ia mengkritik
Michael C. Williams yang menyebut tangal 6 Oktober 1945. Suharto membantah Williams dengan
alasan bahwa pembentukan KNID dan BKR Banten sebagai kelengkapan Pemerintah Daerah
dilaksanakan pada awal bulan September 1945, karenanya tidak mungkin kedua badan tersebut
dibentuk sebelum ada residen. Sedangkan menurut Halwany dan Chudari dalam bukunya Catatan
Masa Lalu Banten, KNID dan BKR Banten belum dapat dibentuk, karena pucuk pimpinan
pemerintah yang resmi di daerah yakni residen belum ada. Lihat Halwany Michrob dan Mudjahid
Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit Saudara, 1993), h. 107.
31
pengangkatanya diantarkan ke rumahnya di Labuan oleh Ajip Dzukhri. Dalam
perjalanan ke Serang untuk mengemban tugas residen, ia singgah di Ciomas untuk
merekrut beberapa orang jawara untuk dijadikan regu pengawalnya. Sedangkan
untuk asisten pribadinya diangkat Ajip Dzukhri, menantu K.H. Ahmad Chatib
sendiri.
Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh Residen K.H Ahmad Chatib adalah
tentang susunan personalia Pemerintahan Daerah di Keresidenan Banten yang
isinya bahwa semua pegawai pemerintah yang lama (pejabat pada masa Belanda
dan Jepang) tetap pada jabatannya masing-masing. Mereka menjadi pegawai
pemerintah RI, dengan pertimbangan bahwa dalam keadaan transisi para pejabat
lamalah yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan daerahnya. Jawatan atau
yang sebelumnya dipegang oleh orang Jepang, setelah merdeka digantikan oleh
wakilnya yang orang Indonesia secara otomatis diangkat menjadi kepala Jawatan
atau Dinas.
Residen K.H. Ahmad Chatib juga membentuk Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) Keresidenan Banten, sesuai intruksi dari Presiden Soekarno.
Anggota KNID ini diketua oleh R. Dzulkarnaen Suria Kertalegawa dan angotanya
di isi oleh wakil-wakil dari golongan ulama, kaum intelektual, pemuda, wanita,
petani, dan nelayan. KNID berfungsii sebagai Badan Perwakilan Rakyat yang
bertugas membantu residen dalam membuat garis-garis kebijakan politik
pemerintahan keresidenan. Disamping itu, K.H. Ahmad Chatib juga membentuk
Badan Kemanan Rakyat (BKR) Keresidenan Banten sesuai aturan BKR pusat pada
bulan September 1945. Kemudian para Bupati Serang, Bupati Pandeglang, dan
Bupati Lebak secara serentak membentuk KNID dan BKR di kabupaten masing-
masing sesuai intruksi residen.
Setelah semuanya tersusun sesuai rencana, K.H. Ahmad Chatib sebagai
residen harus menghadapi revolusi sosial atau pemberontakan Dewan Rakyat yang
di ketuai oleh Tje Mamat, sahabatnya sewaktu menjadi anggota PKI. Pada tanggal
27 Oktober 1945 Tje Mamat bersama anggota Dewan Rakyat dan para pengikutnya
dengan membawa senjata tajam mendatangi kantor keresidenan, Tje Mamat
memaksa K.H. Ahmad Chatib untuk menyerahkan kekuasaannya kepadanya,
32
karena tidak setuju dengan K.H. Ahmad Chatib yang mengangkat kembali para
pejabat lama. Sikap K.H. Ahmad Chatib yang tidak menginginkan pertumpahan
darah antar putra Banten akhirnya menuruti kemauan Dewan Rakyat.
Tindakan-tindakn Dewan Rakyat setelah berkuasa sangat merugikan banyak
kalangan di Banten, namun pada akhirnya Dewan rakyat yang menggerakan
revolusi sosial tersebut dapat di redam dan dibubarkan oleh Pemerintah Daerah
pada januari 1946. K.H. Ahmad Chtaib menyatakan bahwa Keresidenan Banten
beserta rakyat dan para ulamanya yang menduduki jabatan resmi di pemerintahan
siap mempertahankan kadaulatan RI. Dikatakan pula bahwa bahwa rakyat Banten
adalah warga negara RI dan hanya megakui Soekarno sebagai presiden negara
Indonesia yang merdeka.10 Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Tje Mamat,
K.H. Ahmad Chatib tetap pada porosnya sebagai residen Banten, dan tidak ingin
Banten di kuasai oleh satu golongan saja.
Terpilihnya K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen Banten, yang juga seorang
ulama, turut membawa para ulama lain yang berkompeten di bidangnya untuk
mengisi jabatan resmi Pemerintahan Daerah. Alasan kebijakan K.H. Ahmad Chatib
mengangkat para ulama dalam Pemerintahan adalah dari latar belakang sejarah,
yang merupakan telah lama mereka perjuangkan. Rangkaian peristiwa perlawanan
rakyat yang terjadi di Banten sejak Kesultanan Banten dihapuskan oleh pemerintah
kolonial, merupakan sebuah tujuan untuk menampilkan kembali pemerintahan
kaum ulam dalam panggung politik, dengan kata lain, mereka ingin menjadi tuan
di rumahnya sendiri. Kesempatan itu datang ketika Indonesia merdeka, terlebih
ketika seorang ulama, K.H. Ahmad Chtaib diangkat menjadi Residen Banten.
Namun perlu diingat disini, setelah kesultanan Banten dihapuskan pada tahun
181211 sampai dengan era kemerdekaan 1945 mempunyai jarak waktu yang sangat
lama, sehingga para ulama yang diangkat dalam jabatan resmi tidak mempunyai
pengalaman dibidang administrasi pemeritahan. Maka, jalan kelaur yang paling
bijaksana dari K.H. Ahmad Chatib ialah memberi kesempatan para pejabat lama
10 Merdeka, 31 Oktober 1945. 11 Dihapuskannya Kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1812. Lihat Halwany
Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, .........., h. 10.
33
untuk tetap bekerja seperti semula. Harapan residen ialah bahwa kedua macam
pejabat dan pegawai itu bekerja sesuai dengan kemampan atau keahlian
dibidangnya masing-masing. Kaum ulama mendapat bagian tugas dibidang
keagamaan dan keamanan, sedangkan pejabat lama atau kaum intelek menangani
bidang administrasi pemerintahan.12
C. Polemik K.H. Ahmad Chatib dengan Pemerintah Pusat
Setelah keadaan relatif tenang, pada bulan September 1946 K.H. Ahmad
Chatib membuat program untuk mengurus dan memperbaiki bangunan-bangunan
kuno, Panitia Pembangunan Banten di ketuai oleh Residen Serang dan beberapa
orang pembantu. Antusiasme rakyat Banten tehadap kebijikan ini dibuktikan
dengan memberikan bantuan berupa material, uang serta tenaga secara suka rela.
Sebagai langkah pertama ialah membersihkan hutan-hutan dan semua tempat bekas
kesultanan.13 Selanjutnya panitia mendirikan tempat peristirahatan dan pasar di
sekitar Masjid Agung Banten. Selain itu panitia juga berniat membuka kembali
bekas pelabuhan Karangantu dan membuat saluran air sampai ke Kalimati di dekat
Masjid Agung.14
Perkembangan yang terjadi di Banten tentang revitalisasi bangunan kuno
tersebut dimanfaatkan oleh tentara NICA melalui siaran radionya di Bandung
bahwa Kesultanan Banten akan dipulihkan kembali. Residen K.H. Ahmad Chatib
disebut-sebut sebagai orang yang berhak menerima gelar sultan dan berupaya
memishakan diri dari Negara RI. Selain itu diberitakan pula bahwa rakyat Banten
tidak suka menerima ORI (Oeang Republik Indonesia).15
Melihat isyarat akan munculnya cita-cita kedaerahan itu, Wakil Presiden
Mohammad Hatta mengunjungi Banten pada Oktober 1946 untuk meninjau dan
menemui K.H. Ahmad Chatib. Setelah mengetahui situasinya, Mohammad Hatta
berpendapat bahwa daerah itu harus sungguh-sungguh diperhatikan oleh
Pemerintah Pusat. Meskipun di awal kemerdekaan rakyat Banten menghendaki
12 Merdeka, 1 Januari 1946 13 Merdeka, “Bangoenan Banten Koeno”, 23 September 1946. 14 Berita Indonesia, 30 Desember 1946. 15 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 131.
34
pemerintahan kaum ulama karena pengaruhnya, namun pada akhirnya rakyat tidak
merasa puas terhadap Pemerintah Daerah. Menurut Hatta, susunan pamong praja di
daerah itu harus segera diperbaiki yang menurutnya tidak sulit karena di daerah itu
tidak terdapat aliran-aliran yang menentang pemerintah.16
Pada awal bulan November K.H. Ahmad Chatib dipanggil Pemerintah Pusat
di Yogyakarta untuk dimintai keterangan. Didepan Pemerintah Pusat ia membantah
berita-berita yang dikeluarkan oleh NICA tentang menghidupkan kembali
Kesultanan Banten. Dalam kesempatan ini ia menegaskan sebagi berikut:
“Segala lapisan Ra’jat Banten telah bersoempah akan berdiri dibelakang
presiden. Dari pada berpisah lebih baik mati. Dari pada menjadi boedak lebih baik
hantjoer leboer dalam perdjoeangan.” Tentang pemerintahan di Banten ia
menginginkan suatu pemerintahan yang terhormat, abadi, yang untuk itu dituntut
agar dipenuhi beberapa syarat yaitu berjuang dengan cita-cita yang tinggi, berbadan
dan berjiwa sehat, mempunyai ilmu yang sempurna, berani, tahan uji, cepat, dan
giat. Dalam menciptakan daerah yang diinginkan ia mengatakan: “...haroeslah kita
memenoehi sjarat2: beragama, patoeh kepada pemerintah, menoentoet keadilan,
berangan2 luas dan mendjelmakan kesentaoesaan”. Ia mengajak dan menyatakan:
“Marilah kita mendjadi manoesia jang ber-Toehan, berboedi loehoer, berdjoeang
tidak karana menjari oepah. Marilah kita berdjoeang melawan Nica,
mengantjoerkan jang dzolim dan membinasakan moesoeh. Kita soeka damai tapi
tidak soeka dihina. Tuan pasti melindoengi pemerintah kita, melindoengi oemat
Indonesia.17
Disamping itu, Wakil Ketua KNID Keresiden Banten turut mendamping K.H.
Ahmad Chatib menghadap pemerintah pusat, menyatakan bahwa rakyat Banten
membutuhkan tenaga intelektual yang bertanggung jawab dan konsen di
bidangnya.18 Setelah diambil kesimpulan atas kunjungan Keresidenan Banten itu,
maka pemerintah pusat segera melakukan tindakan perubahan personalia baik
dibidang politik maupun militer.
16 Berita Indonesia, 30 Oktober 1946. 17 Merdeka, 7 November 1946, dalam Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, ......, h.
132. 18 Merdeka, 7 November 1946
35
Dalam bidang politik, untuk membatasi ruang gerak residen K.H. Ahmad
Chatib dan membantunya dalam menjalankan pemerintahan, pada bulan Desember
1946 diangkatlah Mr. Mas Joesoep Ardiwinata sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat
yang berkedudukan di Serang dan Soebari sebagai Wakil Residen baru
menggantikan Dzulkarnaen Suriakertalegawa.19 Selain itu, kekuasaan kaum ulama
dibatasi. Mereka yang menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan secara
berangsur-angsur digeser dan tempatnya digantikan dengan pejabat profesional
yang didatangkan oleh pemerintah pusat. Dalam bidang militer, pada waktu yang
bersamaan dikirim ke Banten Letnan Kolonel Soekanda Bratamenggala untuk
mengambil alih komando, menggantikan kolonel K.H. Sjam’un yang semenjak
bulan Januari 1946 merangkap sebagai Bupati Serang.20
Pemerintah pusat banyak mendatangkan para pejabat dari daerah Periangan
untuk bertugas di Banten. Dalam rangka profesionalisasi, kaum ulama yang
menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan lambat laun dipindahkan ke instansi
lain yang sesuai dengan keahlian mereka, yaitu di Jawatan Agama, Jawatan
Penerangan, atau di kantor kabupaten untuk belajar administrasi kepamongprajaan.
Disamping itu, ada pula beberapa ulam yang mengundurkan diri dan kembali ke
profesi semula, yaitu sebagai dai. Kaum ulama menyadari, akan peran dan
kewajiban mereka sesungguhnya. Mereka dapat menerima kebijakan pemerintah
dan menggantikannya dengan pejabat yang lebih profesional karena dianggap
sesuai dengan keinginan rakyat Banten.
Majlis Ulama, yang didirikan K.H. Ahmad Chatib pada bulan Oktober 1945
yang berfungsi sebagai badan penasehat dan mengawasi residan yang berjumlah 40
orang ulama paling berpengaruh di Banten,21 mengadakan rapat untuk menanggapi
kebijakan pemerintah pusat. K.H. Ahmad Chatib dalam rapat tersebut menegaskan
peran dan tempat kaum ulama, ia mengatakan bahwa dalam perjuangan setiap
bangsa, para ulama adalah kaki kiri dari pemerintah dan pamong praja adalah kaki
19 Michael C. Williams, “Banten: Utang Padi dibayar Padi, .........., h. 65. 20 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 137. 21 Abdul Hamid, “The kyai in Banten: Shifting Roles in Changing Times”, dalam Ota
Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (ed), Islam in Contention: Rethinking Islam and
State in Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), h. 424.
36
kanannya. Jika salah satu kaki itu lemah atau patah, maka pincanglah suatu
pemerintahan. Wakil Gubernur Jawa Barat, Josoep Ardiwinita yang hadir juga
dalam rapat itu mengatakan dalam sambutannya bahwa pentingnya kaum ulama
dalam perjuangan.22
Hasil rapat Majlis Ulama Banten ialah mengirimkan sebuah mosi kepada
Pemerintah RI, Perdana Mentri RI, dan Gubernur Jawa Barat yang isinya mendesak
pemerintah pusat untuk mengirimkan pegawai-pegawai yang sesuai dengan
suasana daerah Banten, yaitu pegawai-pegawai yang dicintai rakyat.23 Rakyat
Banten membutuhkan tenaga-tenaga ahli, seperti pertanian, ahli irigasi, ahli teknik,
dan ahli kesehatan untuk membantu daerah itu yang hasilnya benar-benar
ditunggu.24
Setelah urusan dengan pemerintah pusat yang menata daerah itu selesai,
Banten diganggu oleh Soeria Kertalegawa dengan proklamasinya. Dalam sebuah
rapat umum di alun-alun Bandung pada tanggal 4 Mei 1947, Kertalegawa ingin
mendirikan Negara Pasundan sebagai bagian dari federasi Indoneisa yang dibentuk
Oleh Belanda pada Agresi Militer ke I. Dalam kesempatan itu, Kertalegawa
minyinggung daerah Banten yang akan dimasukkan ke dalam lingkungan negara
yang akan didirikan itu.
Menanggapi rencana Soeria Kertalegawa itu, dalam rapatnya yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1947, bahwa segenap partai politik, badan
perjuangan, wakil jawatan pemerintah, dan angkatan muda di Keresidenan Banten
memutuskan menentang dengan keras atas rencana Kertalegawa dan teman-
temannya. Rakyat Banten tetap setia pada Pemerintah RI dan siap untuk
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.25
Sedangkan Van Mook mencurigai Suria Kertalegawa sebagai oportunis,
walaupun partainya, PRP (Partai Rakyat Pasundan), yang didirikan pada tanggal
20 November 1946 mendapat perlindungan dari para pejabat sipil dan militer
Belanda, seperti Kolonel Thomson di Bogor, Residen Priangan M. Klaassen, dan
22 Antara, 5 Maret 1947. 23 Antara, 10 Maret 1947. 24 Soeara Merdeka, 15 Maret 1947. 25 Merdeka, “Rakjat Banten Mempertahankan Negara Kesatoean”. 7 Mei 1947.
37
pemangku jabatan gubernur Jakarta, C.W.A. Abbenhui. Mereka sangat aktif
mendukung Kertalegawa, bahkan ketika ia memproklamasikan Negara Pasundan
dalam rapat umum di Bandung dan Bogor pada tanggal 4 Mei 1947. 26
Pemerintah RI menanggapi kebangkitan Partai Rakyat Pasundan (RPP) dan
proklamasi Kertalegawa dengan serentetan pernyataan yang menghukup gerakan
itu.27 Tidak hanya presiden Soekarno, Pemerintah Hindia menanggapi proklamasi
itu dengan sikap lunak. Van Mook jelas berpendapat bahwa gerakan Pasundan tidak
layak diberi persetujuan resmi. Namun, ia melihat potensi di dalamnya, sehingga ia
mengizinkan gerakan itu meneruskan kegiatannya. PRP dikabarkan pula berusaha
mendekati K.H. Ahmad Chatib, residen republik di Banten. Namun, K.H. Ahmad
Chtaib dengan tegas menolak negara Pasundan tersebut.28 Dengan ia mengatakan:
“Saja, Achmad Chatib, memprotes keras perboeatan Kertalegawa jang
telah membohong dan membawa-bawa nama saja ke dalam gerakan
pengehianatannja. Sebagai seorang komoenis dan meoslim saja tantang
sekeoat2nja adanja monarchi dan provinsialisme”.
Kemudian, kepada presiden Soekarno ia mengirimkan kawat yang isinya
sebagai berikut:
“...dasar perdjoeangan saja selama 30 tahoen lebih. Saja tetap mendjadi
moesoeh siapapoen djuga jang berideologi pendjadjah dan memetjah
Kesatoean Repoeblik. Biarpoen 1001 kali dikatakan itoe dan ini, saja
tetap seorang Repoeblikien dan saja akan toentoet siapapoen djoega
jang menodai nama saja.”29
Tak ketinggalan rakyat Kabupaten lebak juga menentang keras proklamasi
Kertalegawa tersebut dalam rapat raksasa yang diadakan di alun-alun
Rangkasbitung pada tanggal 11 Mei 1947 yang dikunjungi oleh ribuan penduduk
dari berbagai lapisan. Rapat menyatakan tetap setia kepada Republik Indonesia dan
Presiden Soekarno.30 Selain itu, di Serang juga di adakan rapat raksasa yang
menyatakan menentang pemecahan RI oleh Belanda. Rapat ini juga menyatakan
26 Robbert Bridson, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan Antara Otonomi dan
Hegemoni. Terjemahan Hasan Basri. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 138. 27 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 141. 28 Robbert Bridson, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949, .........., h. 139. 29 Merdeka, “Kiai Achmad Chatib Menentang Kertalegawa”. 10 Mei 1947. 30 Merdeka, “Rakjat Kaboepaten Lebak menentang Gerakan Kertalegawa”. 12 Mei 1947.
38
berdiri di belakang Presiden Soekarno.31 Akhirnya, usaha Soeria Kertalegawa gagal
untuk memasukkan Banten ke dalam Negara Pasundan itu gagal, sehubungan
dengan Persetujuan Renville yang ditandatangani oleh Pemerintah RI dan Belanda.
31 Merdeka, “Rakjat Serang menentang Gerakan Kertalegawa”. 14 Mei 1947.
39
BAB IV
PERAN K.H. AHMAD CHATIB PADA MASA REVOLUSI FISIK
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan pengakuan kepada seluruh dunia
bahwa telah lahir sebuah negara baru yang diberi nama Indonesia. Dengan di
proklamirkannya kemerdekaan Indonesia bukan berarti negara ini sudah bersih dari
penjajahan. Kemerdekaan yang baru dicapai, ternyata masih harus mendapatkan
tantangan dan hambatan yang berat. Belanda dengan NICA-nya datang kembali ke
Indonesia dengan cara membonceng pasukan sekutu,1 atau sering di sebut dengan
Agresi Militer Belanda I. Pada awalnya, kedatangan pasukan sekutu disambut
dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Akan tetapi setelah diketahui bahwa
pasukan sekutu diboncengi oleh NICA yang bertujuan ingin menegakkan kembali
kekuasaan Hindia Belanda, maka sikap pihak Indonesia berubah menjadi curiga
dan menimbulkan sikap waspada.2
Sejak awal kedatangannya, Belanda menyadari tidak mudah untuk menguasai
Indonesia apalagi terlihat dari rakyat Indonesia yang masih menggelorakan
semangat kemerdekaannya. Maka dari itu, pada Agresi Militer Belanda II, Belanda
menggunakan strategi politik yang dikenal dengan divide et empera atau politik
memecah belah wilayah Republik Indonesia yang baru merdeka dengan cara
mendirikan negara bagian. Kemudian sejak saat itu terjadi dualisme pemerintahan
di satu wilayah, yaitu pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Hindia
Belanda, sehingga pada masa revolusi terjadi banyak pemberontakan yang
mengakibatkan daerah-daerah kecil dikuasai oleh pemerintah Belanda.3
Ketika Belanda secara serentak melancarkan agresi militer pertamanya
terhadap wilayah Republik Indonesia tahun 1947, Keresidenan Banten tidak
diserang. Pada saat itu, Keresidenan Banten yang terdiri atas Kabupaten Serang,
Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak hanya diblokade secara ketat
1 Susan Blacburn, Sejarah Jakarta 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta, 2001), h. 181. 2 Marwati Djoened dkk., Sejarah Nasional Indonesia, jilid IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),
h. 122. 3 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, (Depok, Universitas Indonesia, 2001), h. 159.
40
sehingga menyulitkan hubungan daerah itu dengan pemerintah pusat Republik
Indonesia di Yogyakarta dan daerah lain. Wilayah tersebut baru diserang dan
diduduki oleh Belanda melalui agresi militernya yang kedua bulan Desember
1948.4
A. Strategi K.H. Ahmad Chatib dalam Menghadapi Agresi Militer
Belanda I
Setelah selesai bertempur melawan kempetai di Serang pada bulan Oktober
1945 yang berakhir dengan kaburnya tentara Jepang dari Banten, bangsa lain yang
segera dihadapi Banten adalah tentara Inggris dan Belanda. Tentara sekutu sebagai
pemenang atas Perang Dunia II yang diwakili Inggris datang ke Indonesia pada
bulan September 1945,5 tiga divisi Inggris menduduki Jawa dan Sumatera untuk
mengurus 350.000 tentara Jepang dan beberapa ratus ribu interniran Sekutu.6
Tentara NICA yang ikut dalam rombongan tersebut merupakan tentara
Belanda yang berkeinginan menjajah kembali. Mereka melakukan teror dan
kekacauan. Sikap tentara NICA menimbulkan perlawanan di setiap daerah dari para
pejuang, termasuk di Banten. Mengamati adanya kejadian-kejadian yang
melanggar perikemanusiaan di daerah-daerah yang didatangi tentara sekutu seperti
di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, rakyat Banten menyatakan sikap
politiknya. Mereka dengan semangat tinggi bersedia pergi ke luar daerahnya untuk
membantu sesama bangsa melawan penganggu kemerdekaan Indonesia.7
Setelah dikuasainya Jakarta oleh Belanda, dan untuk menciptakan suatu
daerah yang aman, Belanda memperluas daerah kekuasaannya ke arah barat
Tangerang, sebagi pintu gerbang barat bagi Jakarta dan pintu gerbang timur bagi
Banten, dikuasai pada akhir bulan Mei 1946, sedangkan pemerintahan sipil
Kabupaten Tangerang mundur dan pindah ke Balaraja.8 Di sebelah selatan, untuk
4 Suharto, “Banten Pasca Agresi Militer Belanda Kedua”, Makara, Sosial Humaniora, Vol.
13, No. 2, (Desember 2009), h. 85. 5 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., 159. 6 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid II: Diplomasi atau
Bertempur, (Bandung: Disjarah AD dan Angkasa, 1977), h. 3. 7 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 159. 8 Merdeka, “Kaboepaten Tangerang Pindah”.3 Juni 1947
41
mengisolasi Banten, Belanda menduduki Bogor dan kemudian Pelabuhanratu.
Dengan dikuasainya tempat-tempat tersebut, pintu keluar dan masuk ke daerah
banten di tutup.9 Mereka juga melakukan blokade laut, dengan alasan:
1. Untuk mencegah masuknya senjata dan alat-alat militer ke Indonesia.
2. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik
asing lainnya.
3. Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan dan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh bukan bangsa Indonesia.10
Agresi militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947 yang dilaksanakan
serentak keseluruh wilayah RI tidak menguasai Banten. Banten hanya didesak ke
arah barat dan blokade terhadap daerah ini diperketat. Ada beberapa kemungkinan
mengapa daerah ujung barat pulau Jawa ini tidak di serang. Pertama, jika dilihat
dari segi ekonomi, Banten bukanlah daerah yang menguntungkan jika dikuasai,
kedua, dari segi politik, Belanda sangat meragukan Banten apakah daerah itu
setelah dikuasai dapat dijadikan daerah yang berdiri sendiri di luar RI,11 mengingat
kebencian rakyat Banten terhadap Belanda. Tampaknya kedua alasan itu Belanda
hanya mengisolasi daerah itu rapat-rapat, tujuannya untuk melumpuhkannya
kemudian dilepaskan dari Republik Indonesia.
Akibat blokade ini kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Banten
mengalami goncangan. Adanya krisis di Banten inilah yang menjadi tujuan
Belanda. Kebutuhan hidup sehari-hari sulit ditemui, kalaupun ada harganya sangat
mahal. K.H. Ahmad Chatib sebagai Residen Banten sangat bertanggung jawab
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya di daerah Banten.
Untuk itu beberapa strategi dan kebijakan K.H. Ahmad Chatib dalam menghadapi
Agresi Militer I adalah sebagi berikut:
9 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 168. 10 Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, VI, Jaman Jepang dan Jaman
Republik Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), h. 216. 11 Meskipun dari segi ekonomi dan politik Belanda tidak banyak mendapat keuntungan,
namun dalam rangka mendirikan negara federal di Indonesia, Banten akhirnya diserang juga melalui
agresi militer keduanya untuk menghabisi wilayah RI.
42
1. Ketahanan Pangan
Untuk mengatasi kebutuhan hidup masyarakat, K.H Ahmad Chatib selaku
Residen Banten melakukan berbagai cara untuk melepaskan dari jeratan masalah
tersebut. Pemerintah daerah berusaha meningkatkan penghasilan daerah dengan
berbagai cara, salah satunya membuat aturan-aturan baik terhadap pedagang
maupun terhadap masyarakat agar hasil-hasil daerah Banten dapat digunakan
dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, K.H. Ahmad Chatib juga memperluas daerah pesawahan untuk
mencukupi kebutuhan rakyat Banten, serta membuka 12 ha tanah untuk pembuatan
garam. Hasilnya, pada pertengahan 1946 Banten telah menghasilkan garam sendiri.
Melalui 6 ha tanah, dapat menghasilkan garam sekitar 30 ton, sehingga kebutuhan
akan garam dapat dipenuhi.12 Selain itu, juga dibuka pabrik minyak kelapa dengan
produksi sebulan menghasilkan 400 ton dan sebagian digunakan untuk ekspor dan
dibuka pertambangan yang fungsinya untuk memenuhi kebutuhan akan batubara.
Dalam satu bulan dapat diproduksi sebanyak 50 ton batu bara yang berfungsi
menjalankan kereta api untuk perhubungan antara kota Banten guna mengangkut
hasil bumi dari daerah pegunungan ke pelabuhan.13
Untuk memenuhi kebutuhan akan bensin, di Silalangu, 6 km dari stasiun
Maja, diusahakan pembuatan bensin dari karet dengan proses destilasi.
Pembuatannya sangat sederhana, mula-mula latex karet dimasak dalam drum tanpa
menggunakan pengukur tekanan, uapnya dialirkan melalui pipa yang berasal dari
waterleiding. Untuk mendinginkan uap, pipa tersebut dimasukan ke dalamselokan
dan pada ujung pipa ditempatkan sebuah drum untuk menampung hasilnya yang
berupa bensin.14
12 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-1949”,
Patanjala, Vol. 4, No. 3 (September 2012), h. 474. 13 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 5: Agresi Militer Belanda I,
(Bandung: Disjarah AD dan Angkasa, 1978), h. 446. 14 Hasil perusahaan di Silalalngu adalah sebagai berikut, setiap 100 kg karet dalam fase
pertama dihasilkan 80 liter minyak kotor. Untuk ini diperlukan 0.8 meter kubik air dan 1 meter kubik
kayu bakar. Dalam destilasi kedua, dari 80 liter dihasilkan bensin kotor 40 liter, benzol 20 liter,
minyak tanah 5 liter, solar 5 liter, aspal aspal 5 liter, dan cokes 5 liter. (Biro Republik Indonesia
bagian Penerangan, Jakarta, “Laporan umum tentang Banten, Februari 1948,” Inventaris BP KNIP,
No. 153), lihat Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 170.
43
Kebutuhan akan obat-obatan dipenuhi dengan membuat sendiri beberapa
jenis obat, seperti obat batuk dibuat dari daun sirih, obat buduk (gatal) dibuat
menggunakan balerang yang terbuat dari balerang yang dicampur dengan minyak
kelapa sawit, perban dibuat dari kulit pohon pisang bagian dalam, vaksin cacar
dibuat oleh dr. Satrio, pejabat bagian kesehatan Brigade Tirtayasa.15
2. Pembuatan URIDAB (Uang Republik Indonesia Daerah Banten)
Suasana perang yang terus berkecamuk antara tentara sekutu dengan pejuang
kemerdekaan menyebabkan sulitnya pengedaran ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pembayaran yang sah yang ditetapkan oleh pemerintah pusat di beberapa
wilayah tertentu. Langkanya ORI tersebut dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh
NICA untuk mengedarkan mata uangnya. Oleh karena itu Pemerintah RI
memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah tertentu untuk menerbitkan
uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah
yang bersangkutan. Penerbitan tersebut dijamin oleh Pemerintah berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.19/1947 tanggal 26 Agustus 1947 dan pada waktunya
dapat ditukar dengan ORI.
Untuk memenuhi kebutuhan dan alat pembayaran yang sah di daerah, K.H.
Ahmad Chatib sebagai Residen Banten berinsiatif melakukan kebijakan mencetak
URIDAB (Uang Republik Indonesia Daerah Banten) agar masalah ekonomi pada
saat itu dapat diatasi.16 Setelah ada persetujuan dari pemerintah pusat, bahwa
Serang-Banten dijadikan sebagai tempat mencetak Uang Republik Indonesia
Daerah melalui Residen Banten K.H. Ahmad Chatib, maka mulailah dilakukan
pencetakan uang yang diberi nama URIDAB.17 Percetakan URIDAB meliputi
pecahan 1, 5, 10, 25 rupiah. Pecahan tersebut dicetak dalam jumlah yang tidak
terhitung. Masa pencetakan URIDAB dari Februari sampai 11 Agustus 1948.
Menurut Suharto, pengeluaran uang itu didasarkan pada jaminan adanya tambang
15 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 171. 16 M. Ilham Gilang, Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme (Kajian pada Materi
Sejarah Revolusi Fisik di Banten Tahun 1945-1949), Jurnal Pendidikan dan Sejarah:
Candrasangkala, Vol. 2, No. 1 (November 2016), hal. 39. 17 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten, .........., h. 476.
44
emas di Cikotok. Pembuatan mata uang itu dilakukan setelah Pemerintah Daerah
Banten tidak dapat membayar gaji pegawai karena tidak ada uang.18
Pembuatan mata uang URIDAB dilakukan oleh pemerintah daerah Banten
dan dilaksanakan secara gotong-royong. Alat yang digunakan berupa alat cetak
sederhana maka uang tersebut dapat diperbanyak dengan jumlah yang tidak
diketahui. URIDAB ditandatangani oleh K.H. Ahmad Chatib sebagai residen
banten dan Yusuf Adiwinata sebagai Kepala Pejabat Keuangan Dewan Pertahanan
Daerah Banten.Tetapi karena uang URIDAB itu begitu sederhana, maka mudah
sekali dipalsukan. Pemalsu-pemalsu URIDAB diketahui terdiri dari orang-orang
Cina yang berdomisili di Tangerang dengan dukungan Belanda. Karenanya dengan
mudah mereka memasukkan uang palsu tersebut ke daerah Banten melalui pos-pos
penjagaan Belanda di perbatasan. Akibatnya, terjadilah inflasi, dan yang lebih parah
lagi rakyat tidak menaruh kepercayaan terhadap nilai URIDAB.
Untuk menghadapi situasi moneter tersebut, pasukan penjaga perbatasan
yang dipimpin oleh Mayor R.R. Jaelani diperintahkan untuk mengatasi keadaan itu,
orang-orang yang masuk ke daerah Tangerang diperiksa oleh pihak TRI Tangerang
dengan amat teliti. Uang, barang, dan surat izin lalu lintas diperiksa dengan
seksama. Menurut perintah Pemerintah Sipil Tangerang, orang yang masuk tidak
boleh membawa uang lebih dari f 500, dan uang NICA tidak boleh masuk sama
sekali. Sementara itu barang-barang makanan dan lainnya tidak boleh dikeluarkan
dari Tangerang, jika tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Bagian Ekonomi atau
dari TRI.19
Di samping itu, dibentuk pula pasukan khusus yang ditugaskan untuk
mempelajari kode-kode rahasia dari URIDAB dan mengadakan penelitian uang di
pasar-pasar. Sebelum pasar dibuka, para petugas ini memeriksa uang yang akan
dibelanjakan, dan apabila diketahui bahwa uangnya palsu maka uang tersebut
segera dimusnahkan. Di samping itu juga dilakukan pemeriksaan ketat terhadap
orang-orang yang datang dari daerah pendudukan, dan dilakukan penangkapan
18 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 173. 19 Merdeka, “Mendjaga Keamanan Di Daerah Tangerang”. 15 Maret 1947.
45
terhadap orang yang diketahui menyelundupkan URIDAB palsu. Dengan cara
semacam itu, akhirnya sedikit demi sedikit inflasi URIDAB dapat diatasi.20
Blokade total oleh Belanda ternyata tidak menggoyahkan Banten untuk lepas
dari Republik Indonesia. Kebencian rakyat banten terhadap Belanda benar-benar
ditunjukan. Banten tetap berintegrasi dengan Republik Indonesia, bahkan dalam
keadaan sulit, Banten masih dapat membantu Pemerintah Pusat dengan batangan-
batangan emas yang dihasilkan dari tambang emas Cikotok.21
Aksi Militer Belanda atau lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda I ini
membuat PBB terlibat langsung. Amerika Serikat dan Inggris yang tidak menyukai
“aksi polisionil” tersebut, menggiring Belanda untuk segera menghentikan
penaklukan sepenuhnya terhadap RI. India, Australia, dan Uni Soviet juga sangat
aktif mendukung RI di dalam PBB. Sekutu-sekutu utama Belanda terutama Inggris,
Australia, dan Amerika Serikat yang paling diandalkan Belanda untuk memberi
dukungan ternyata malah tidak menyukai Agresi Militer tersebut.22 Akhirnya H.J.
Van Mook atas nama pemerintah Belanda melayangkan pengumuman gencatan
senjata yang berlaku pada 4 Agustus 1947 mulai pukul 24.00.
B. Strategi K.H. Ahmad Chatib dalam Menghadapi Agresi Militer
Belanda II
Setelah ditandatanganinya perjanjian Renville, hubungan antara Pemerintah
RI dan Belanda tetap tegang. TNI telah memperkirakan bahwa Belanda akan
melakukan serangan kembali, namuh waktunya tidak bisa di prediksi. Gejala akan
datangnya serangan itu telah dirasakan oleh Pimpinan TNI, Jendral Soedirman,
semenjak Belanda mencoba untuk mengulur-ulur waktu perundingan mengenai
pelaksanaan persetujuan itu.
Berhubung serangan tentara Belanda telah diperkirakan akan terjadi lagi,
maka TNI mengadakan persiapan-persiapan. Belajar dari pengalaman agresi militer
20 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit
Saudara), h. 130. 21 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 176. 22 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 -2008. (Jakarta: Serambi, 2009), h. 474.
46
Belanda pertama, maka sistem pertahanan linier23 diganti dengan sistem perang
wilayah (wehrkreise), yang pada pokoknya membagi daerah pertempuran dalam
lingkaran-lingkaran yang dapat beridiri sendiri. Dalam segi militer, konsep strategi
ini dilengkapi dengan taktik perang gerilya. Selain itu pasukan-pasukan yang
sebelumnya hijrah akibat dari persetujuan Renville, harus menyusup ke daerah
musuh untuk kembali ke daerah asalnya. Rencana itu tertuang dalam intruksi
Panglima Besar TNI tanggal 9 November 1948 yang dikenal dengan “Perintah
Siasat No. 1” yang isinya sebagai berikut: Pertama, perintah untuk memperlambat
gerak maju atau serangan Belanda, pengungsian, dan bumi hangus secara total.
Kedua, tugas membuat kantong-kantong perlawanan di setiap kewedanan militer.24
Tanggal 19 Desember 1948 Tentara Belanda melaksanakan Agresi Militer
yang kedua, saat itu Belanda berusaha untuk menduduki daerah-daerah Republik
Indonesia dan kota-kota yang dianggap strategis, dalam rangka memperluas
kekuasaanya untuk dapat kembali menjajah negara maupun Bangsa Indonesia.
Dalam Agresi Militer Belanda II ini, tampaknya ingin memperlihatkan bahwa
tentara Belanda, setidaknya dalam jangka pendek, bisa memenangkan perang
konvensional terbatas itu secara meyakinkan dan untuk pertama kalinya sebagian
besar daerah-daerah di Jawa dan Sumatra secara resmi diduduki. Namun, aksi
tersebut menempatkan Belanda pada opini internasional di kursi terdakwa.25
Aparat pemerintah sipil telah diperingatkan oleh pimpinan militer agar siap
menghadapi segala kemungkinan. Akhirnya pada tanggal 19 Desember 1948
dibawah pimpinan Letnan Jendral Spoor, Ibu kota pemerintah Republik Indonesia,
Yogyakarta, diserang dan diduduki. Pimpinan-pimpinan Republik Indonesia
termasuk presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta ditawan.
Banten, suatu daerah yang tidak diserang dan diduduki oleh Belanda pada
Agresi Militer Pertamanya, akhirnya diserang juga pada Agresi Militer Belanda II
pada tanggal 23 Desember 1948. Sebelum belanda memasuki kota Serang, sekitar
23 Sistem pertahanan linier adalah sistem pertahanan konfensional. Dalam sistem ini pasukan
pasukan yang bertahan berada pada pos-pos yang diperkuat untuk mempertahankan suatu daerah
dari kemungkinan dari serangan musuh. 24 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 178. 25 Gert Oostindie, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 Kesaksian perang pada sisi
sejarah yang salah (Terj), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 10.
47
pukul 09.00 pagi datang pesawat terbang Belanda yang menjatuhkan pamflet di
Pasar Royal dan di Asrama Sekolah Guru di Serang, ada tiga lembar pamflet yang
masing-masing tertanda Jendral Spoor. Pamflet pertama ditujukan untuk rakyat
Banten, isinya kira-kira sebagai berikut; “Tentara Belanda akan masuk ke Serang,
kami yakin bahwa orang Banten itu adalah masyarakat yang patuh terhadap
agamanya, yaitu Islam. Kami akan menyediakan kapal secara cuma-cuma untuk
menunaikan ibadah haji. Harap tenang dan sambutlah kami dengan baik”. Pamflet
kedua ditujukan untuk pegawai negeri, isinya kira-kira sebagi berikut; “Pamong
praja supaya menjalankan tugas di kantornya masing-masing dan harap tenang.
Kami akan masuk dan tidak berbuat apa-apa agar disambut dengan baik”. Pamflet
ketiga ditujukan untuk polisi dan tentara yang isinya kira-kira sebagai berikut;
“Polisi dan tentara supaya meletakan senjata. Jangan mengadakan perlawanan,
karena kami pun tidak masuk dengan kekerasan. Sambutlah kami dengan baik”.26
Sebelum Ibu Kota Banten, Serang, diduduki Belanda, Karesidenan Banten
menepi ke daerah pedalaman di selatan Banten. Dari sini K.H. Ahmad Chatib
sebagai Residen Banten melaksanakan aktivitas pemerintahan bersaman TNI. Hal
serupa dilakukan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak. Pemilihan daerah ini karena keadaan alamnya berupa pegunungan yang
cenderung aman. Terlebih penduduk sekitar menerima dan membantu perjuangan
ini dengan cara memberi beberapa sumbangan berupa kerbau, padi, buah-buahan,
dan sebagainya.27
Sekitar pukul 12.00 siang, pasukan Brigade Infenteri I Divisi 7 Desember
memasuki Kota Serang, berkekuatan sekitar 1.000 personel dengan senjata lengkap
dan dibawah komando Kolonel Blanken. Tentara Belanda bergerak dalam dua fase.
Fase pertama mereka menyerebu secepat mungkin mengikuti jalan raya untuk
menduduki kota-kota dan pusat perhubungan. Pada fase kedua mereka melancarkan
operasi pembersihan sektor demi sektor kekuatan TNI. Selanjutnya, Belanda
membentuk pemerintahan sipil dan merehabilitasi jalanan yang rusak.28 Kemudian,
26 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 185. 27 M. Ilham Gilang, Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme, .........., h. 39. 28 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 183.
48
Belanda memberlakukan “jam malam”, mulai pukul 06.00 petang sampai 06.00
pagi. Jika ada yang berkeliaran, maka Belanda tidak segan untuk menembak.29
Setelah Banten diduduki Belanda pada bulan Desember 1948, Belanda
membentuk pemerintah sipil yang diberi nama Territoriaal Bestuurs Adviseur
(TBA). Pemerintah tersebut berpusat di Serang di bawah pimpinan N. Makkes
(mulai bulan April 1949 digantikan oleh Mas Asikin Nitiatmaja). Pembentukan
pemerintah TBA ini tidak mudah karena beberapa hal. Pertama, sebagian besar
pamong praja mulai residen hingga camat dan pegawainya meninggalkan kota
menuju daerah pedalaman yang masih aman. Kedua, kaum intelektual Banten lebih
suka berada di luar daerah itu dari pada kembali ke daerahnya.30 Agar pemerintahan
TBA terus berjalan, Belanda pun mempekerjakan pegawai sipil yang tertawan atau
menyerah, menerima masyarakat yang melamar menjadi pegawai, dan
mendatangkan tenaga-tenaga dari Jakarta.
Anehnya, para pamong praja dari pemerintahan TBA ini tidak berani keliling
di daerahnya, mereka takut berhubungan dengan masyarakat. Mereka berada di
kantor pada waktu siang hari, dan kembali ke tempat-tempat yang dirasa aman pada
waktu malam hari, yaitu di tempat-tempat yang ada tentara Belanda.31
1. Keresidenan Banten Di Pedalaman
Agresi Militer Belanda II ke daeah Banten sudah diantisipasi oleh pimpinan-
pimpinan setempat, baik dari kalangan sipil maupun militer. Oleh karena itulah
sebelum Ibu Kota Residan Banten, Serang, diduduki oleh Belanda, Residen K.H.
Ahmad Chatib, Wakil Gubernur Jawa Barat Joesoep Adiwinata, bersama sebagian
besar aparat pemerintah daerah Banten (republik), dan Kepala Polisi Keresidenan
Banten Joesoef Martadilaga beserta anak buahnya meninggalkan kota dan
mengungsi ke daearah pedalaman Banten bersama TNI.32 Hal serupa dilakukan
juga oleh aparat Pemerintah Daerah Pandeglang dan Lebak sebelum kedatangan
tentara Belanda.
29 Merdeka, 18 Februari 1949. 30 Suharto, “Banten Pasca Agresi Militer, .........., h. 86. 31 Merdeka, 11 Oktober 1949. 32 Merdeka, 19 Januari 1949.
49
Peran kaum ulama juga sangat penting pada fase Agresi Militer Belanda II
ini. Mereka sangat dipercaya rakyat, mereka juga memberikan contoh ketabahan
dalam menghadapi kesulitan. Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara
Republik Indonesia tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan
masyarakatnya, akan tetapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera
menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan
negara Republik Indonesia.33
K.H. Ahmad Chatib selain sebagai Residen Banten, ia juga seorang ulama
banyak memberi pengaruh dan teladannya. Pendiriannya yang kuat dalam berjuang,
ia pantang mundur ketika sebagian pegawai pemerintahannya memihak kepada
Belanda, seperti ucapannya berikut ini:
“Seandainya semua rakyat Banten mengikuti kepada Belanda, baik
berilah saya sebuah senjata untuk sekadar penjagaan diri saya dari
gangguan binatang buas. Saya lebih senang menjadi orang hutan saja
dari pada dijajah kembali oleh Belanda. Tetapi saya yakin bahwatidak
akan terjadi sedemikan”.34
Keyakinan K.H. Ahmad Chatib didasarkan pada pengetahuanya terhadap
rakyat Banten yang taat pada agama dan patuh pada para ulama yang menjadi
pemimpin mereka. Sebagian besar pamong praja yang terdiri dari para ulama
mengungsi ke pedalaman bersama TNI, mereka memberi contoh ketabahan dalam
menghadapi segala macam kesulitan sehingga meneguhkan kembali semangat
perlawanan rakyat Banten. Karena peran ulama pula, militer terjamin hidupnya
walaupun tanpa perbekalan dan persiapan sama sekali.35
Pemerintah Daerah Keresidenan Banten (republik) tidak menyerah kepada
Belanda meskipun daerahnya banyak diduduki oleh Belanda. Di pedalaman,
pemerintah daerah menjalankan pemerintahan semampunya. Para pemimpin
33 Amin Farih, “Nahdlatul Ulama (Nu) Dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan
Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, (Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang,
November 2016), h. 265. 34 Majalah Merdeka, Th II, No.14, 2 April 1949: 7, dalam M. Ilham Gilang, “Sejarah Lokal
dalam Mengembangkan Patriotisme (Kajian pada Materi Sejarah Revolusi Fisik di Banten Tahun
1945-1949)”, Jurnal Pendidikan dan Sejarah: Candrasangkala, Vol. 2, No. 1 (November 2016), h.
40. 35 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid X: Perang Gerilya Semesta
II, (Bandung: Angkasa, 1979), h. 206.
50
pemerintahan daerah berusaha menyusun kembali pemerintahan daerah untuk
mengimbangi pemerintah TBA. Daerah yang dipilih untuk menjalankan roda
pemerintahan adalah Banten Selatan. Alasan dipilihnya daerah itu ialah karena jauh
dari tentara Belanda sehingga tempat ini aman dan dinilai cukup strategis untuk
markas komando perang griliya.
Setelah tersusun kembali Pemerintahan Daerah Banten (republik) di
pedalaman, maka di Keresidenan Banten terdapat dua pemerintahan sipil, yaitu
Pemerintan TBA (Belanda) dan Pemerintahan Daerah Banten (republik).
Pemerintahan Daerah pimpinan K.H. Ahmad Chtatib terus berjuang agar seluruh
Keresidenan Banten kembali ke panguan Pemerintah RI.36
Rakyat yang daerahnya disinggahi dan ditempati oleh Rombongan K.H.
Ahmad Chatib merasa sangat gembira. Mereka dengan ikhlas menjamu para
pemimpin dan tentara di daerahnya. Residen K.H. Ahnad Chatib tahu betul akan
mentalitas rakyatnya. Rakyat Banten adalah orang-orang yang taat beragama serta
mematuhi para pemimpin mereka. Mereka tidak mudah mengikuti aliran-aliran
lain, oleh karena itu sulit bagi Belanda untuk mempengaruhi rakyat Banten. Banyak
rakyat Banten yang tinggal di Serang, setelah menerima pembagian pakaian, setelah
sampai di rumah segera menyerahkannya ke badan-badan tertentu. Karena bagi
rakyat Banten, makanan dan pakaian yang diberikan oleh Belanda adalah
personifikasi oleh pemberinya.
Pemerintah di pedalaman juga mendapat dukungan dari orang-orang yang
tempat tinggalnya didudki oleh Belanda. Di kota-kota, banyak rakyat Banten
memberikan sumbangan materil kepada pejuang-pejuang di pedalaman. Selain itu,
di kota, seperti di Pandeglang juga terdapat orang-orang yang berjuang untuk
kepentingan repubik dengan cara lain. Mereka berusaha memasuki Badan
Perwakilan Rakyat (BPR) yang dibentuk oleh pemerintah TBA Banten agar badan
tersebut tidak dimasuki oleh orang-orang yang benar-benar berpihak kepada
Belanda. Usaha mereka berhasil, hal itu terlihat ketika pemerintah TBA berusaha
agar Banten menjadi negara bagian NIS atau masuk negara Pasundan. BPR terang-
36 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 203.
51
terangan menolaknya, dan menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada
Pemerintah Pusat RI.37
Aparat pemerintah Banten yang ada di pedalaman dapat melaksanakan
tugasnya karena mereka mendapat sokongan baik moril maupun materi, dari
berbagai pihak yang masih setia kepada K.H. Ahmad Chatib dan Pemerintah Pusat.
Soal kebutuhan pangan, tidak ada masalah karena daerah Banten bagian selatan
merupakan daerah penghasil bahan makanan. Selain itu, atas usaha Pemerintah
Daerah, pasar-pasar diadakan di daerah pedalaman. Sebagai alat pembayaran yang
sah, digunakanlah ORI, URIDAB atau dengan cara Barter.
2. Strategi K.H. Ahmad Chatib dalam Perang Gerilya
Tidak adanya perlawanan TNI pada saat tentara Belanda menduduki Serang
pada tanggal 23 Desember 1948 dan strategi politik “Bumi Hangus” tidak
dilaksanakan, membuat rakyat Banten yang tidak mengerti siasat TNI kecewa.
Bahkan ada juga yang marah melihat mundurnya TNI. Namun, kemarahan itu
segera mereda dan akhirnya hilang setelah mereka mengetahui alasan mundurnya
TNI, mendengar berita tentang bertempur di luar kota, serta K.H. Ahmad Chatib
membuat Pemerintahan Daerah di pedalaman Banten.
Selama dua bulan, para pejuang sipil maupun militer melakukan konsolidasi
untuk mematangkan taktik perang gerilya. Setelah itu, Pemerintah Sipil, TNI, dan
rakyat Banten melakukan penyerangan di wilayah Banten bagian utara dan selatan.
Demi memperkuat perjuangan, Residen K.H. Ahmad Chatib membentuk pasukan
Gerilya Rakyat (GERA) yang dipimpin langsung oleh dirinya. GERA ini terdiri
dari unsur militer dan sipil.38
Sesudah organisasi pertahanan dibentuk, kegiatan grilya dimulai. Setiap
malam diadakan serangan-serang sporadis ke pos-pos penjagaan Belanda secara
bergantian. Di setiap belokan jalan, terutama di Banten Selatan, jalan raya dipasangi
ranjau darat. Belanda merasakan gangguan kemananan di pingir-pinggir kota yang
37 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 205. 38 M. Ilham Gilang, “Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme .........., h. 40.
52
mereka duduki. Pada malam tanggal 10 Maret 1948, kaum gerilya di Banten Utara
melancarkan serangan di beberapa bagian kota Serang.39
Wilayah Banten bagian Utara, antara Serang dan Balaraja, merupakan sektor
yamh terberat karena keadaan medannya yang rata, sehingga tidak memungkinkan
untuk bergerilya.40 Berbeda dengan wilayah Banten di bagian selatan, daerah ini
menjadi medan pertempuran yang merepotkan pihak militer Belanda. Serangan
dilakukan dengan berbagai cara, yakni penyerangan pada malam hari ke pospos
penjagaan Belanda, penghadangan konvoi Belanda, pemasangan ranjau darat. Di
Kabupaten Pandeglang penyerangan terjadi hampir selama 24 jam, dimana para
pejuang selain menyerang pos-pos penjagaan Belanda, juga melakukan
pembakaran dan pengahancuran jembatan-jembatan di daerah antara Pandeglang-
Menes dan Rangkasbitung-Bogor. Daerah-daerah ini yang sangat merepotkan
pihak militer Belanda.41
Semangat dan keyakinan rakyat Banten tidak tergoyahkan, meskipun pihak
Belanda terus mempengaruhi melalui surat-surat yang berisi ajakan dan
bekerjasama dengan pihak Belanda. Revolusi Fisik di Banten ini mereda setelah
terjadi gencatan senjata antara Pemerintah RI dan pihak Belanda, pada tanggal 10
Agustus 1949. Gencatan senjata ini merupakan hasil dari Perundingan Roem-
Royen. Kemudian secara perlahan Pemerintahan Sipil dan pihak Militer RI kembali
ke kota-kota di daerah Banten.
Dalam fase konsolidasi antara pihak RI dengan Belanda dan setelah gencatan
senjata dilaksanakan, TNI mendapatkan musuh baru dari bangsa sendiri, yaitu
gerakan Bambu Runcing di Banten Selatan yang dipimpin oleh Charul Saleh.
Gerombolan itu dalam perjalananya dari Bogor ke daerah Cibaliung, telah
melakukan pembunuhan-pembunuhan. Beberapa prajurit TNI dan beberapa pejabat
Pemerintah Daerah Banten (republik) menjadi korban, diantaranya Wakil Residen
banten K.H. Ahmad Fathoni,42 Kepala Kepolisian Banten Komisaris Polisi Joesoep
39 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid X, .........., h. 208. 40 Suharto, Banten Masa Revolusi, 1945-1949, .........., h. 214. 41 M. Ilham Gilang, “Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme, .........., h. 40. 42 K.H. Ahmad Fathoni menjabat sebagai Wakil Residen Pemerintah Daerah Banten
(republik) berada di pedalaman, sedangkan Soebari Wakil Residen sebelumya memihak pada
pemerintahan TBA bentukan Belanda. Merdeka, 4 November 1949.
53
Martadilaga, sepuluh orang prajurit TNI dari sektor Malimping, dan tujuh orang
prajurit TNI dari sektor Cibaliung. Namun pada akirnya gerombolan ini dapat
ditumpas oleh TNI.43
43 Merdeka, 25 November 1949.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, akhirnya terjawab
pertanyaan besar terkait rumusan masalah yang menjadi fokus kajian penulis.
Penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang dapat ditari menjadi kesimpulan,
di antaranya:
1. Setelah Kesultanan Banten dikuasi Belanda, perlawanan di daerah-daerah
terus bertambah, dua di antaranya pemberontakan petani Banten tahun
1888 dan pemberontakan komunis Banten tahun 1926. Pemberontakan ini
mempunyai semangat kuat anti kolonial dan anti priayi, banyak kaum
ulama yang terlibat di dalamnya termasuk K.H. Ahmad Chatib. Pada masa
pendudukan Jepang, K.H. Ahmad Chatib diangkat menjadi daindacho
tentara PETA yang berkedudukan di Labuan, Pandeglang.
2. K.H. Ahmad Chatib dilahirkan di Kampung Gayam, Kecamatan Cadasari,
Kabupaten Pandeglang, tahun 1895. Ayahnya seorang ulama terkenal di
Pandeglang, K.H. Muhammad Waseh. Ia belajar agama Islam di dua
pesantren di Banten, yaitu pesanteren Kadupiring dan pesantren di
Caringin pimpinan K.H. Asnawi. Karena kepintaran dan kecerdasannya
K.H. Ahmad Chatib menjadi murid kesayangan K.H. Asnawi dan
dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ratu Hasanah pada tahun 1912.
Selama masa hidupnya, ia sebagai ulama dan pejuang mencurahkan
seluruh hidupnya untuk perjuangan agama dan bangsa Indonesia. Pada
tanggal 19 September 1945 K.H. Ahmad Chtaib resmi diangkat menjadi
Residen Banten oleh Presiden Soekarno, di fase inilah ia memulai
perjuangannya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari
ancaman Belanda melalui Agresi Militer Belanda I dan II.
3. Pada saat terjadinya peristiwa Agresi Militer Belanda I, Banten tidak
diserang namun hanya diblokade secara ketat sehingga hubungan dengan
pemerintah pusat menjadi terhambat. Adapun strategi K.H. Ahmad Chatib
55
dalam menghadapi blokade ini ialah membuat kebijakan ketahanan pangan
dengan cara memperluas area pesawahan, membuka lahan untuk
pembuatan garam, dan membuat URIDAB (Uang Republik Indonesia
Daerah Banten) karena sulitnya peredaran uang ORI yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat.
Banten, suatu daerah yang tidak diserang dan diduduki oleh Belanda pada
Agresi Militer Pertamanya, akhirnya diserang juga pada Agresi Militer
Belanda II pada tanggal 23 Desember 1948. Sebelum Ibu Kota Residan
Banten, Serang, diduduki oleh Belanda, Residen K.H. Ahmad Chatib,
Wakil Gubernur Jawa Barat Joesoep Adiwinata, bersama sebagian besar
aparat pemerintah daerah Banten (republik), dan Kepala Polisi
Keresidenan Banten Joesoef Martadilaga beserta anak buahnya
meninggalkan kota dan mengungsi ke daearah pedalaman Banten. Setelah
tersusun kembali Pemerintahan Daerah Banten (republik) di pedalaman,
K.H. Ahmad Chatib berhasil mengajak golongan ulama, pemuda, dan
jawara untuk melakukan perang gerilya melawan Belanda, hingga pada
akhirnya seluruh Keresidenan Banten kembali ke pangkuan Pemerintah
Republik Indonesia.
B. Saran
Sehubungan dengan penelitian yang penulis lakukan tantang peran K.H.
Ahmad Chatib dalam mempertahankan kemerdekaan indonesia di banten tahun
1945-1949, maka penulis menyampaikan beberapa saran diantaranya, sebagai
berikut:
1. Disarankan bagi peneliti berikutnya yang akan membahas tentang K.H.
Ahmad Chatib untuk melakukan riset yang lebih mendalam baik dari
kelengkapan data, metodelogi ataupun analisis. Masih banyak sisi lain
yang perlu diteliti lebih lanjut terutama kehidupan K.H. Ahmad Chatib
saat berada di pengasingan Boven Digul serta kehidupannya menjelang
akhir jabatan Residen Banten, sehingga dapat memperoleh gambaran yang
56
lebih jelas tentang perjuanagan K.H. Ahmad Chatib dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Banten tahun 1945-1949.
2. Untuk pemerintah Provinsi Banten disarankan untuk membentuk sebuah
tim untuk meneliti perjuangan K.H. Ahmad Chatib agar dapat diusulkan
menjadi pahlawan nasional. Karena berdasarkan penelitian yang penulis
lakukan, K.H. Ahmad Chatib mempunyai jasa yang sangat besar dalam
mempertahankan Republik Indonesia, khususnya di Banten, serta sudah
memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional berdasarkan
Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
57
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Anwar, Rosian, 2004. Sejarah Kecil, “Pattie Historie” Indonesia. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Blacburn, Susan. 2001. Sejarah Jakarta 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
Bridson, Robbert. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan
Antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. Hasan Basri. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Djoened, Marwati, dkk.1984. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV. Jakarta: Balai
Pustaka.
Gottschak, Louis. 1969. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta:
UI Press.
Hamid, Abdul. 2010. “The kyai in Banten: Shifting Roles in Changing Times”,
dalam Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (ed), Islam in
Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia. Jakarta: The Wahid
Institute.
Irfani, Fahmi, 2001. Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya.
Jakarta: YPM Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah
Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bintang Budaya.
Lubis, Nina H. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara.
Jakarta: LP3ES.
Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari. 1993. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang: Penerbit Saudara.
58
Nasution, A.H. 1970. Tentara Nasional Indonesia, Jilid I. Jakarta: Seruling Masa.
___________ . 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid II: Diplomasi
atau Bertempur. Bandung: Disjarah AD dan Angkasa.
___________ .1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid V: Agresi
Militer Belanda I. Bandung: Disjarah AD dan Angkasa.
_____________ . 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid X: Perang
Gerilya Semesta II. Bandung: Angkasa.
Notosusanto, Nugroho. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, VI, Jaman Jepang dan
Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Oostindie, Gert. 2016. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 Kesaksian
perang pada sisi sejarah yang salah (Terj). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Putra, Fadillah dkk. 2006. Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan
dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. Malang: Averroes Press.
Sokanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Suharto. 2001. Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesi. Depok: Universitas Indonesia.
Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926
di Banten. Yogyakarta: Syarikat.
Williams, Michael C. 1990. “Banten: Utang Padi dibayar Padi, Utang Darah
Dibayar Darah”, dalam Audrey Kahin (ed). (tej.). Pergolakan Daerah Pada
Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti.
B. Jurnal
Ensering, Else. 1995. “Banten In Time Revolution”. Archipel, Vol 50. Paris,
1995.
Farih, Amin. 2016. “Nahdlatul Ulama (Nu) Dan Kontribusinya Dalam
Memperjuangkan Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)”. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24
59
No. 2. Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, November
2016.
Hermawan, Iwan. 2017. “Lubang Tambang Batu Bara Bayah: Jejak Romusha Di
Banten Selatan”. Kapata Arkeologi Vol. 3, No. 2. November 2017.
Kartodirdjo, Sartono. 1981. “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari
Prespektivisme Struktural”, dalam Prisma, No. 8 Agustus 1981.
Lasmiyati. 2012. “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-
1949”. Patanjala, Vol. 4, No. 3. September 2012.
Gilang, M. Ilham. 2016. “Sejarah Lokal dalam Mengembangkan Patriotisme
(Kajian pada Materi Sejarah Revolusi Fisik di Banten Tahun 1945-1949”.
Jurnal Pendidikan dan Sejarah: Candrasangkala, Vol. 2, No. 1. November
2016.
Reid, Anthony. 1981. “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”. Prisma, No. 8.
Agustus 1981.
Suharto. 1996. “Revolusi Sosial di Banten, 1945-1949: Kondisi, Jalan Peristiwa,
dan Dampaknya”. Naskah Publikasi. Depok: Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia.
Soeharto. 2009. “Banten Pasca Agresi Militer Belanda Kedua”. Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 13, No. 2. Desember 2009
Thresnawaty, Euis. 2009. “Lintasan Sejarah Pemerintahan Kabupaten Serang
Abad XVI-XX”. Patanjala, Vol. I, No. 2, Juni 2009.
C. Sumber Daring (Online)
Bonnie Triyana, “Tubagus Alpian, Tokoh Kecil dalam Sejarah Besar”, Historia,
12 November 2017. Diakses dalam:
https://historia.id/politik/articles/tubagus-alpian-tikih-kecil-dalam-sejarah-
besar-P0mZG pada tanggal 14 Maret 2019 pukul 21.00 WIB.
Isnaeni, Hendri F. 2018. “Proklamsi Kemerdekaan sampai di Banten”. Historia,
17 Agustus 2018. Diakses dalam:
https://historia.id/politik/articles/proklamasi-kemerdekaan-sampai-di-
banten-Pdjxl pada tanggal 18Februari 2019, pukul 20.57 WIB.
60
Yulianti, Dewi. 2010. Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945. Diakses
dalam:
http://eprints.undip.ac.id/19444/1/ARTIKEL_PROPAGANDA_JEPANG.p
df. pada tanggal 9 Februari 2019, pukul 19.00 WIB.
D. Surat Kabar
Antara, 5 Maret 1947.
Antara, 10 Maret 1947
Berita Indonesia, 30 Desember 1946.
Merdeka, 31 Oktober 1945.
Merdeka, 1 Januari 1946
Merdeka, “Bangoenan Banten Koeno”, 23 September 1946.
Merdeka, 7 November 1946
Merdeka, “Mendjaga Keamanan Di Daerah Tangerang”. 15 Maret 1947.
Merdeka, “Rakjat Banten Mempertahankan Negara Kesatoean”. 7 Mei 1947.
Merdeka, “Kiai Achmad Chatib Menentang Kertalegawa”. 10 Mei 1947.
Merdeka, “Rakjat Kaboepaten Lebak menentang Gerakan Kertalegawa”. 12 Mei
1947.
Merdeka, “Rakjat Serang menentang Gerakan Kertalegawa”. 14 Mei 1947.
Merdeka, 18 Februari 1949.
Merdeka, 11 Oktober 1949.
Merdeka, 4 November 1949.
Merdeka, 25 November 1949.
Soeara Merdeka, 15 Maret 1947.
61
LAMPIRAN
Lampiran 1 Foto K.H. Ahmad Chatib1
1 Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
61
Lampiran 2 Surat Kabar Merdeka “Lapangan Terbang Banten dibom”
22 Agustus 1946.2
Lampiran 3 Surat Kabar Merdeka “Banten Menegaskan Pendirian”
22 Marert 1946.3
2 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 3 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
62
Lampiran 4 Surat Kabar Merdeka “Oesaha Menjiarkan Oeang NICA”
12 Maret 1946.4
4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
63
Lampiran 5 Surat Kabar Antara “Tangerang Melawan” 5 Juni 19465
Lampiran 6 Surat Kabar Merdeka “Kaboepaten Tangerang Pindah” 3 Juni
1946.6
5 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 6 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
64
Lampiran 7 Surat Kabar Merdeka “Oeang Repoeblik Moelai Berlakoe Tgl. 26
Okt.” 24 Oktober 1946.7
7 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
65
Lampiran 8 Surat Kabar Merdeka “Tiadalah Goenanja Belanda Memerangi
Indonesia” 7 Mei 19478
8 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
66
Lampiran 9 Surat Kabar Merdeka “Kiai Achmad Chatib Menentang
Kertalegawa” 6 Mei 1947.9
9 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
67
Lampiran 10 Surat Kabar Merdeka “Poetra-Poetra Indonesia Soenda di Soematra
tidak Menjetoejoei Perboetan Kertalegawa” 7 Mei 194710
10 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
68
Lampiran 11 Surat Kabar Antara “Rakjat Kaboepaten Lebak Menentang
Gerakana Kartalegawa” 12 Mei 1947.11
Lampiran 12 Surat Kabar Merdeka “Tentara Belanda” 14 Mei 1947.12
11 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 12 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
69
Lampiran 13 Surat Kabar Merdeka “Bangoenan Banten Koeno” 23 September
1947.13
Lampiran 14 Foto Bangunon Banten Kuno.14
13 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 14 Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
70
Lampiran 15 URIDAB Pecahan 1 Rupiah.15
Lampiran 16 URIDAB Pecahan 5 Rupiah.16
15 : Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-
1949”, Patanjala, Vol. 4, No. 3, h. 476. 16 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-
1949”, Patanjala, Vol. 4, No. 3, h. 477.
71
Lampiran 17 URIDAB Pecahan 10 Rupiah.17
Lampiran 16 URIDAB Pecahan 25 Rupiah.18
17 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-
1949”, Patanjala, Vol. 4, No. 3, h. 477. 18 Lasmiyati, “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-
1949”, Patanjala, Vol. 4, No. 3, h. 477.
72
Lampiran 19 Makam K.H. Ahmad Chatib di Komplek Pemakaman Kesultanan
Banten.19
19 Doukumen Pribadi