peran kebijakan fiskal dalam peningka tan … · 2016. 3. 31. · peran kebijakan fiskal dalam...
TRANSCRIPT
PERAN KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENINGKA TAN PRODUKTIVITAS PEMBIBITAN SAPI NASIONAL
(THE ROLE OF FISCAL POLICY IN ENHANCING THE NATIONAL CATTLE BREEDING PRODUCTIVITY)
Oleh Purwoko
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Jl. Dr. Wahidin no 1, Jakarta Pusat 10710, Email: [email protected]
Abstract
Indonesian government failed to reach the target of self-sufficiency in beef in 2014. Low productivity of cattle breeding is believed to be the main obstacle. The objective of study is to identify strategies for improving the productivity of cattle breeding and fiscal policy to support the strategy. Descriptive statistics methods is used in this study, supported by a SWOT analysis as a tool. The analysis of this study showed that most of the cattle breeding in Indonesia is carried out by farmers in the form of households, in the region ofjava, Bali and Nusa Tenggara, which are prone to drought in the dry season. Meanwhile, oil palm plantations in Sumatra and Kalimantan which are rich of biomass, has not been used for cattle breeding. Investors are less interested in cattle breeding business because of low profit margins, long capital turnover, and high-risk business. Fiscal policy can be exploited to encourage efforts to increase the productivity of the national cattle breeding, either through fiscal incentives or budget allocations. Fiscal incentives can be given for utilizing the palm plantation for breeding, procurement of specialized transportation means for transporting livestock, or importing productive cows ready for mating. The budget allocation can be prepared for building a reservoir and irrigation for farm areas experiencing drought in the dry season; improving the production of frozen semen, and improving the quality and quantity of community farmers.
Key Words: budget allocation, cattle breeding, fiscal incentive, fisca l policy, selfsufficient in beef
]EL Classification Number: £62; H32
Abstraksi
Pemerintah Indonesia gaga/ mencapai target swasembada daging sapi pada tahun 2014. Rendahnya produktivitas usaha pembibitan sapi diyakini sebagai kendala utamanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi peningkatan produktivitas usaha pembibitan sapi serta kebijakan fiskal untuk mendukung strategi terse but. Penelitian ini menggunakan metode ana/isis statistik deskriptif, yang didukung dengan ana/isis SWOT sebagai a/at bantu. Hasi/ ana/isis menunjukkan bahwa sebagian besar usaha pembibitan sapi di Indonesia dilakukan oleh peternak dalam skala rumah tanggayang berada di Pulaujawa, Bali, dan Nusa Tenggara, yang rawan kekeringan di musim kemarau. Sementara itu, kebun sawit di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang kaya bio massa belum banyak dimanfaatkan untuk usaha pembibitan sapi. Investor kurang berminat berusaha di bidang pembibitan sapi karena margin keuntungannya rendah, perputaran modalnya lama, dan risiko usahanya tinggi. Kebijakan fiskal dapat dimanfaatkan untuk mendorong upaya pembibitan sapi nasional, baik melalui pemberian insentiffiskal maupun alokasi anggaran. Insentif fiskal dapat diberikan untuk pembibitan sapi di lahan sawit, pengadaan sarana transportasi khusus untuk sapi, atau impor indukan sapi betina produktif siap kawin. Alokasi anggaran dapat disiapkan untuk membangun waduk dan irigasi untuk daerah peternakan yang mengalami kekeringan di musim kemarau; peningkatan produksi semen beku, serta peningkatan kualitas dan kuantitas masyarakat peternak.
Kata kunci: alokasi anggaran, insentiffiska/, kebijakanfiskal, pembibitan sapi, swasembada daging sapi
Nomor Klasifikasi]EL: £62; H32
1
1 Pendahuluan
Komoditi daging sapi menjadi perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia sejak beberapa tahun
terakhir, karena terbatasnya pasokan daging sapi di pasar, dan harga daging sapi terus merangkak naik
hingga menembus seratus ribu rupiah per kilogram. Kaidah hukum ekonomi berlaku di sini. Jika
permintaan atas suatu produk naik sementara penawaran produknya kurang, maka harga produk tersebut
akan naik. Fenomena inilah yang terjadi pada produk daging sapi. Namun isunya menjadi semakin ramai
ketika ada pihak-pihak yang terkait dengan bisnis daging sapi dijadikan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) . Hal ini mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan
masalah pasokan dan perdagangan daging sa pi di Indonesia.
Masalah kelangkaan daging di pasar ini menarik untuk dicermati. Senyampang pemerintah
mentargetkan swasembada daging pada tahun 2014, yang terjadi justru kelangkaan daging di pasaran.
Lebih miris lagi ketika membaca statement Kepala BPS di harian Kompas (2013) yang menyatakan bahwa
dalam kurun waktu 2011-2013, populasi sapi di dalam negeri berkurang hingga 2,56 juta ekor. Kenyataan
ini menjadi ironis ketika melihat populasi perusahaan yang terdaftar sebagai perusahaan pembibitan dan
penggemukan sapi meningkat tajam pada periode yang sama. Logikanya, semakin banyak perusahaan
seharusnya semakin banyak pula populasi ternak sapi yang dibudidayakan, tapi yang terjadi justru
sabaliknya, populasi ternak sapi terus menurun.
Sebagai ilustrasi betapa ruwetnya masalah daging sapi, berikut ini diuraikan kasus seputar daging sapi yang terjadi pada bulan September 2013. Sejak bulan April 2013 pemerintah telah membuka keran
impor daging sapi dalam rangka menambah pasokan daging di pasar dan menjaga agar harga daging stabil
pada kisaran Rp.90.000,-- per kilogram. Persetujuan impor diberikan kepada empat perusahaan importir
untuk mengimpor 1.210 ton daging kualitas premium dan 24.750 ekor sapi siap potong. Namun
realisasinya sangat jauh di bawah ijin yang diberikan. Impor sapi potong hanya 8.990 ekor yang sudah
direalisasikan. Salah satu importir daging yang mendapat kuota impor 3.000 ton daging beku, dalam
kenyataannya hanya mengimpor 952 ton. Tidak ada informasi logis yang dapat menjelaskan, kenapa di saat
harga daging meningkat, persetujuan impor telah diberikan oleh pemerintah, namun tidak direalisasikan
oleh importir yang ditunjuk. Ada dugaan, ulah importir ini yang menjadi pemicu tergerusnya populasi sapi
potong di Indonesia. Dengan mengimpor daging jauh di bawah kuota yang diberikan pemerintah, maka
terjadi kelangkaan daging di pasar. Harga daging meningkat. RPH dan para jagal tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini dengan memotong sa pi yang ada di pasar lokal, termasuk sapi betina yang masih produktif
pun ikut dipotong juga. Maka terjadilah penurunan populasi sapi potong sebagaimana yang disampaikan
oleh Kepala BPS.
Besarnya volume permintaan daging sapi dan mahalnya harga daging sapi pada beberapa tahun
terakhir membuat usaha penggemukan sapi semakin banyak diminati oleh peternak, baik peternak skala
perusahaan maupun skala rumah tangga. Mereka memilih usaha penggemukan sapi, karena secara
ekonomis memang lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha pembibitan sapi. Permasalahan
timbul ketika usaha pembibitan sapi yang ada tidak mampu memenuhi permintaan sapi bakalan oleh usaha
penggemukan sapi, sehingga para pengusaha penggemukan sapi harus mengimpor sapi bakalan sebagai
bahan baku usahanya. Kondisi ini tentunya menjadi tantangan bagi usaha pembibitan sapi untuk
meningkatkan produksinya, namun juga sekaligus menjadi ancaman ketika ternyata kualitas sapi bakalan
impor lebih baik, dan harganya lebih murah dibandingkan dengan kualitas dan harga sa pi bakalan lokal.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kajian ini dirancang untuk mengidentifikasi strategi dan
rekomendasi kebijakan fiskal dalam rangka peningkatan produktivitas usaha pembibitan sapi nasional,
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
2
• Mengidentifikasi profil usaha pembibitan sapi di Indonesia;
• Mengidentifikasi profil usaha pembibitan sapi di Australia;
• Menganalisis peta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari usaha pembibitan sapi di Indonesia;
• Menganalisis strategi dan rekomendasi kebijakan dalam rangka peningkatan produktivitas usaha
pembibitan sapi, khususnya yang terkait dengan kebijakan fiskal.
Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan fiskal untuk mendukung upaya
upaya peningkatan produktivitas pembibitan sapi nasional.
2 Literatur Review
2.1 Budidaya Sapi Potong
Usaha budidaya sapi potong adalah usaha pemeliharaan sapi yang ditujukan untuk menghasilkan
daging sapi. Yuliati dkk (2014) mengklasifikasikan usaha budidaya sapi potong menjadi dua kelompok
usaha utama, yaitu usaha pembibitan sapi dan usaha penggemukan sapi. Usaha pembibitan sapi adalah
usaha pemeliharaan indukan sapi yang ditujukan untuk menghasilkan anak sapi atau sapi bakalan. Usaha
penggemukan sapi merupakan usaha pemeliharaan sapi bakalan yang ditujukan untuk menghasilkan sapi
yang siap untuk dipotong. Sapi bakalan, yang merupakan produk dari usaha pembibitan sapi, digunakan
sebagai bahan baku pada usaha penggemukan sapi. Hadi, Prayogo U. dan Nyak llham (2002) menyatakan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan usaha penggemukan sapi di Indonesia, selain menggunakan sapi
bakalan hasil produksi dalam negeri, masih diperlukan sapi bakalan impor dari Australia.
2.1.1 Karakteristik Usaha Pembibitan Sapi
Usaha pembibitan sapi memerlukan waktu yang relatif panjang untuk menghasilkan bibit atau sapi
bakalan yang siap untuk dijual. Ruang lingkup kegiatan usaha pembibitan sapi mencakup kegiatan
memelihara indukan sapi, mengawinkan indukan sapi, menangani kelahiran anak sapi, memelihara anak
sapi mulai dari masa menyusui, menyapih, hingga menjadi sapi bakalan yang siap untuk digemukkan.
Usaha mengawinkan sapi tidak selalu berhasil pada kesempatan pertama. Kadang diperlukan beberapa kali
proses perkawinan atau penyuntikan, sebelum akhirnya sapi menjadi bunting. Untuk itu peternak harus menunggu beberapa bulan untuk menjadikan sapinya bunting. Dari awal sapi bunting hingga melahirkan
dibutuhkan waktu sembilan bulan. Setelah itu, diperlukan waktu sekitar 4-6 bulan untuk menyusui anak
sapi, sebelum anak sapi tersebut disapih. Untuk membesarkan anakan sapi lepas sapih hingga menjadi sapi
bakalan yang siap jual diperlukan waktu sekitar 8-12 bulan. Dengan demikian diperlukan waktu sekitar 18-
24 bulan untuk bisa memetik hasil usaha pembibitan sapi. Sepanjang waktu tersebut, indukan sapi harus
diberi pakan, termasuk juga anakan sa pi, yang harus diberi pakan mulai sa pi dilahirkan hingga siap dijual.
Usaha pembibitan sapi termasuk usaha yang memiliki risiko kegagalan tinggi. Risiko pertama adalah
risiko kegagalan dalam perkawinan sapi. Tidak semua perkawinan sapi, baik melalui inseminasi kawin
alam maupun inseminasi buatan, berhasil menjadikan sapi bunting. Banyak faktor bisa menjadi penyebab
kegagalan, seperti faktor kesehatan induk, keahlian peternak dalam menentukan apakah indukan sedang
dalam kondisi birahi waktu dikawinkan, faktor kesehatan pejantan, kondisi kebersihan lingkungan, dsb.
Risiko kedua adalah risiko dalam masa bunting. }anin yang berkembang dalam kandungan sapi sangat
rentan terkena gangguan, baik gangguan fisik maupun kesehatan induk. Untuk itu, pemeliharaan indukan
pada masa kehamilan perlu mendapat perlakuan khusus, baik dari sisi pakan maupun penempatan di
kandang. Risiko ketiga adalah risiko dalam penanganan kelahiran anak sapi. Proses kelahiran merupakan
saat-saat kritis, yang bila salah penanganan dapat menyebabkan kematian, baik pada anakan maupun
indukan sa pi. Risiko keempat adalah risiko dalam pembesaran anak sapi. Anak sapi yang baru lahir berada
3
dalam kondisi relatiflemah, sehingga perlu penanganan khusus. Kelalaian penanganan pada anak sa pi yang
baru dilahirkan dapat menyebabkan kematian atau cacat pada anakan sapi.
Usaha pembibitan sapi memberikan keuntungan yang relatif kecil. Untuk mendapatkan anakan sa pi
diperlukan waktu panjang, sekitar 1,5-2 tahun. Hal ini berarti bahwa selama kurun waktu tersebut indukan
harus diberi pakan dan sarana pemeliharaan yang lain. Hasil yang diharapkan dari usaha pembibitan sapi
adalah anakan atau sapi bakalan. Keuntungan usaha pembibitan diperoleh ketika menjual sapi bakalan,
hasilnya dikurangi dengan biaya pakan untuk induk dan anakan sapi, biaya tenaga ke rja, penyusutan
infrastruktur, dll, menjadikan keuntungan usaha pembibitan sapi relatifkecil.
Itulah beberapa alasan yang menyebabkan usaha pembibitan sapi kurang menarik bagi investor,
karena perputaran modalnya lama, risiko usahanya tinggi, dan keuntungannya relatif kecil. Belum banyak
perusahaan yang secara serius menekuni usaha pembibitan sapi di Indonesia. Pada saat ini, usaha
pembibitan sapi di Indonesia banyak dilakukan di peternakan rakyat, oleh masyarakat peternak pada skala
rumah tangga. Bagi mereka, memelihara sapi merupakan usaha sampingan, untuk memanfaatkan jerami
padi dan limbah pertanian lainnya yang umumnya bisa diperoleh secara gratis. Kalaupun harus membeli,
harganya relatif murah.
Menyikapi kenyataan tersebut, Djuddawi, Rachmiyati. at al. (2013) menekankan bahwa usaha
pembibitan sapi di Indonesia, yang dilakukan di peternakan rakyat, adalah penghasil sapi bakalan yang
diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sapi bakalan dalam negeri. Untuk itu disarankan agar masalah
pemurnian bibit sa pi perlu mendapatkan perhatian yang serius dan difokuskan pada sapi lokal.
2.1.2 Karakteristik Usaha Penggemukan Sapi
Usaha penggemukan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk membuat
sa pi menjadi gemuk, sehingga menghasilkan daging yang banyak ketika sapi dipotong. Usaha penggemukan
sapi pada umumnya tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 3-6 bulan saja. Pada periode ini, sapi diberi
pakan dengan formula tertentu, khusus untuk penggemukan, sehingga pada akhir periode pemeliharaan,
berat badan sapi bertambah secara signifikan. Pada usaha penggemukan sapi ini, biasanya bobot sapi bisa
bertambah sekitar 0,8-1,5 kg pe r hari, tergantung jenis sapi yang dipelihara serta formulasi pakan yang
diberikan. Berbeda dengan usaha pembibitan sapi yang dinilai memiliki prospek kurang baik oleh para
investor, usaha penggemukan sapi banyak diminati oleh investor, dan juga masyarakat. karena perputaran
modalnya cepat, risiko kegagalan kecil, dan margin keuntungannya relatiftinggi.
Dibandingkan dengan usaha pembibitan sapi yang memerlukan waktu 1,5-2 tahun untuk
mendapatkan hasil usaha, pada usaha penggemukan sapi cukup butuh waktu 3-6 bulan saja untuk bisa
mendapatkan hasil. Hal ini berarti untuk satu siklus usaha pembibitan sapi bisa menghasilkan 3-8 kali
siklus usaha pada penggemukan sapi. Tidak mengherankan, apabila investor dan peternak sapi yang
rasionallebih memilih usaha penggemukan sapi dibandingkan usaha pembibitan sapi.
Risiko kegagalan usaha penggemukan sapi relatif lebih kecil dibandingkan risiko usaha pembibitan
sa pi. Sapi bakalan yang dipelihara pada usaha penggemukan sapi pada umumnya sudah berusia 6-24 bulan,
sudah cukup kuat untuk bisa bertahan hidup. Risiko kematian sapi sangat kecil dibandingkan anak sapi
yang baru dilahirkan hingga lepas sapih. Hal ini juga menjadi alasan kenapa petani memilih usaha
penggemukan sapi.
Margin keuntungan usaha penggemukan sapi relatif lebih tinggi dibandingkan usaha pembibitan.
Usaha penggemukan sapi memerlukan waktu pendek, sehingga volume pakan yang diperlukan juga relatif
sedikit. Rasio konversi berat pakan ke berat tubuh sapi lebih terukur. Dengan demikian dalam melakukan
analisa usaha menjadi lebih jelas.
4
2.2 Potret Peternakan Sapi Potong di Indonesia
2.2.1 Potret Usaha Pembibitan Sapi
Untuk menghasilkan sapi bakalan, Indonesia masih mengandalkan usaha pembibitan sapi yang
dilakukan oleh peternak skala rumah tangga. Walaupun usaha ini dilakukan pada skala kecil, namun
jumlahnya sangat banyak, terse bar di berbagai daerah, terutama di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Djumena,
Erlangga (2013) menyatakan bahwa pada tahun 2011, rumah tangga petani yang memiliki ternak sapi di
Indonesia jumlahnya mencapai 5,9 juta keluarga, dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 14,2 juta
ekor. Sebagian besar peternak hanya memiliki 1-3 ekor sapi per keluarga. Bagi mereka, sapi adalah
tabungan keluarga, yang sewaktu-waktu dapat dijual apabila keluarga memerlukan dana yang cukup besar,
misalnya untuk biaya sekolah, perkawinan, atau biaya pengobatan hila ada keluarga yang sakit.
Dalam satu rumah tangga, biasanya ada satu atau dua anggota keluarga yang ditugasi untuk
memelihara sa pi. Sa pi yang dipelihara bisa milik sendiri atau milik orang lain dengan sistem gaduh (paron).
Usaha pembibitan sapi dalam skala rumah tangga ini sulit untuk dikembangkan lebih lanjut karena
keterbatasan tenaga kerja serta bahan baku pakan. Para peternak umumnya mengandalkan limbah pertanian seperti jerami padi, batang jagung, daun tebu dan limbah kedelai, sebagai pakan utama sapi
mereka. Lahan penggembalaan saat ini semakin sempit seiring dengan kemajuan perekonomian, di mana
lahan penggembalaan banyak dimanfaatkan untuk usaha lain yang lebih produktif.
Populasi sapi di Indonesia berkembang dalam jumlah yang tidak begitu signifikan dari tahun ke
tahun. Pertumbuhan populasi sapi hanya tumbuh secara alamiah. Ada satu hal yang perlu dicermati dari
data perkembangan populasi sapi potong yang diilustrasikan dalam gambar 1, di mana pada tahun 2012-
2013 terjadi penurunan populasi ternak sa pi di Indonesia. Informasi yang beredar pada periode ini terjadi
kelangkaan populasi sapi potong, dalam arti permintaan sapi potong lebih besar dibandingkan dengan
populasi yang disiapkan oleh para peternak. Hal ini terjadi karena ada permasalahan dengan kuota impor
sapi bakalan. Dampaknya, banyak terjadi pemotongan sapi betina produktif. Fenomena inilah yang
menyebabkan terjadinya penurunan populasi ternak sapi di tahun 2012-2013. Sapi betina yang diharapkan
menghasilkan anak sapi berkurang, sehingga jumlah anak sapi yang dilahirkan pun berkurang pula.
18000 I 15981
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014*
Sumber: BPS, 2014 Gambar 1. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia (ribuan ekor)
5
Sebaran populasi ternak sapi di Indonesia sebagian besar berada di daerah yang rawan kekeringan
pada musim kemarau. Sebagian besar populasi sapi di Indonesia berada di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan
Nusa Tenggara (gambar 2). Usaha pembibitan sapi di daerah-daerah ini umumnya terkendala ketersediaan
pakan, terutama di musim kemarau. Namun bagi masyarakat daerah-daerah ini, usaha ternak sapi menjadi
andalan untuk mendapatkan penghasilan keluarga. Sapi merupakan tabungan yang sewaktu-waktu dapat
dijual untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Di musim kemarau, kadang peternak harus
mengorbankan ayam, bebek, kambing, atau bahkan sapi untuk membeli pakan sapi demi kelangsungan
usaha ternak sapinya.
6 ,000.00
5,000.00
4 ,000.00
3 ,000.00
2 .• 000.00
1 ,000.00
Sumber: BPS, 2014
'!o..q, ... ~
c.§><fli
.... 'tt..:q.~ q,:it ~~ !b~ ~~ ,~<:' . ~~~
~v">~ ~~
~~ ~ttl~
':J..::;.
~~v ~1»
~~ q~~
- ------ ----------'
Gambar 2. Data Populasi Sa pi di Indonesia per Wilayah tahun 2013 (ribuan ekor)
Belum banyak perusahaan yang berminat untuk berusaha di bidang pembibitan sapi secara
komersial. Pacta tahun 2013, hanya 33 perusahaan yang tercatat sebagai perusahaan di bidang pembibitan
sapi nasional (BPS, 2014). Tiga alasan yang membuat para pengusaha enggan menekuni bisnis pembibitan
sapi, yaitu karena margin keuntungannya tipis, risiko kegagalan usaha besar, dan perputaran modalnya
lama.
35 ================!~ 30 19
25 ~==~===:;:==;:=J= 20j_
15
0 7 I 7
106 ---5
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumber: BPS, 2014 Gambar 3. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pembibitan Sapi
6
Gambar 3 memberikan gambaran tentang perkembangan jumlah perusahaan yang bergerak di
bidang usaha pembibitan sapi. Hingga tahun 2009, belum banyak perusahaan yang tergerak untuk
berinvestasi pada usaha pembibitan sapi, Namun mulai 2010, jumlah perusahaan pembibitan sapi tumbuh
secara cukup signifikan. Dalam kurun waktu 2010-2013 jumlah perusahaan pembibitan tumbuh 3,3 kali
lipat dibandingkan tahun 2009.
Sementara itu, sebagaimana dalam gambar 4, ada daerah-daerah yang kaya bio massa seperti
perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet di daerah Sumatera dan Kalimantan, yang belum banyak
dimanfaatkan untuk usaha peternakan sapi. Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan
perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan mencapai 10,1 juta hektar.
7 000.0
6 000.0
5 000.0
4 000.0
3 000.0
2 000.0
1000.0
Sumber: BPS, 2014
/ .. ~ '>v
~~
0 -~:f;.' tfi~ !<..~~
~~ h~ ""e: s.:.~·
~v4' 4.1'
336.7 ,.~_ 16.1_ 92.4
¢.~ ~# '>v
-v ~
~1} ::>~
q_'b~
Gambar 4. Luas Lahan Kelapa Sawit Tahun 2013 (ribuan hektar)
Hasil studi Manti, Ishak at al. (2003) menunjukkan bahwa usaha budidaya sapi di lahan sawit
menunjukkan propek yang baik. lntegrasi usaha pembibitan sapi dan perkebunan kelapa sawit
memberikan ban yak manfaat an tara lain:
• Dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi untuk pengumpulan tandan buah segar dalam area
perkebunan;
• Tanaman gulma atau rumput yang tumbuh di antara pohon-pohon sawit menjadi pakan yang murah
bagi peternakan sapi;
• Hasil sampingan perkebunan yang sebelumnya dianggap sebagai limbah, seperti pelepah, daun, bungkil
sawit, juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan sa pi;
• Ternak sapi menghasilkan kotoran yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk perkebunan kelapa
sa wit;
• Pemeliharaan satu ekor induk sapi pada satu ancak (sekitar 15 hektare) dapat menghasilkan Return
Cost Ratio (R/C) 2,37; 3 ekor induk sapi dapat menghasilkan R/C 2,46; 6 ekor induk sapi ditambah
dengan satu ekor pejantan meningkatkan R/C menjadi 3,13.
2.2.2 Potret Usaha Penggemukan Sapi
7
Usaha penggemukan sapi di Indonesia banyak diminati oleh investor dan juga peternak pada skala
rumah tangga, karena perputaran modalnya cepat, margin keuntungannya tinggi, dan risiko kegagalan
usahanya rendah. Tingginya minat pengusaha pada bisnis penggemukan sapi juga dipicu kenyataan bahwa
permintaan sapi potong masih tinggi. Produksi daging dalam negeri masih belum mampu memenuhi
permintaan pasar domestik. Untuk memenuhi kebutuhan daging di pasar domestik, selain impor sapi
bakalan, masih diperlukan juga impor daging beku dan sa pi siap potong.
Banyaknya pelaku usaha di bidang penggemukan sapi membuat sapi bakalan domestik menjadi
rebutan para pengusaha penggemukan sapi. Sapi bakalan domestik menjadi langka di pasara n. Harga sapi
bakalan domestik menjadi naik. Sapi bakalan domestik ini banyak dicari oleh masyarakat peternak skala
rumah tangga, yang umumnya hanya memerlukan beberapa ekor sa pi untuk setiap angkatan penggemukan
sa pi.
Perusahaan yang melakukan usaha penggemukan sapi secara komersial, pada umumnya lebih
memilih untuk membeli sapi bakalan impor, karena sapi bakalan bisa diperoleh dalam jumlah besar,
kualitas lebih seragam, dan harganya pun lebih murah. Namun mereka juga membutuhkan sapi bakalan
lokal, terutama untuk memenuhi permintaan pasar untuk sa pi kurban (ldul Adha).
120 109
100
80
60
40
20
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sumber: BPS, 2014 Gambar 5. Perkembangan Populasi Perusahaan Penggemukan Sapi
Jumlah perusahaan penggemukan sapi semakin meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 5). Bahkan,
pada tahun 2012 jumlah perusahaan penggemukan sapi tumbuh dengan pesat dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini menunjukkan besarnya minat masyarakat dan pengusaha untuk menekuni usaha
penggemukan sapi potong.
2.2.3 Tataniaga Ternak dan Daging Sa pi
Gam bar 6 memberikan ilustrasi alur perdagangan sapi dan daging sa pi di pasar domestik.
Sapi bakalan yang dihasilkan oleh masyarakat maupun perusahaan pembibitan sapi dijual melalui
pasar lokal. Produksi mereka habis terserap oleh perusahaan penggemukan sapi, baik yang dilakukan oleh
masyarakat peternak maupun perusahaan penggemukan sapi.
Untuk memenuhi kebutuhan sapi bakalan, para perusahaan penggemukan sapi juga mengimpor sapi
bakalan, utamanya dari Australia. Sapi potong yang dihasilkan oleh usaha penggemukan sapi dijual ke RPH
8
sebagai sapi yang siap untuk dipotong. RPH memotong sapi, dan dagingnya dijual ke masyarakat melalui
pasar daging sapi nasional. Untuk memenuhi kebutuhan daging oleh masyarakat, selain menerima pasokan
daging dari RPH, para pedagang daging juga mendapat pasokan daging dari importir, yang mengimpor
daging beku dari Australia untuk dijual di pasar lokal.
PEMBIBITAN SAPI OLEH MASYARAKAT
(5,9 JUTA KEL)
PEMBIBITAN SAPI KOMERSIAL
(33 PERUSAHAAN)
PEMBIBITAN SAPI LUAR NEGERI
RPH SAPI LUAR NEGERI
PENGGEMUKAN SAPI OLEH
MASYARAKAT
PENGGEMUKAN SAPI KOMERSIAL
(109 PERUSAHAAN)
IMPORTIR
Sumber: Penulis, dari berbagai sumber
Silpi~tong "--.. RUMAH POTONG
HEWAN SAPI Q~ing sa pi' 1------- "- "-.. PASAR DAGING SAPI
~' DOMESTIK
9P8 g
Sapi P,6tong
sa pi
Gambar 6. Alur Perdagangan Sapi dan Daging Sapi Nasional
Pokok persoalannya adalah usaha pembibitan sapi tidak bisa memenuhi permintaan sapi bakalan
yang dibutuhkan usaha penggemukan sapi. Pemerintah menentukan kuota untuk impor sapi bakalan untuk
memenuhi kebutuhan usaha penggemukan sapi. Kuota impor diperlukan agar tidak terjadi kelebihan sapi
bakalan, yang dapat mengganggu kelancaran usaha pembibitan sapi. Kuota impor juga penting untuk
menjaga agar usaha penggemukan sapi tidak kekurangan sapi bakalan. Kuota impor sapi siap potong dan
daging sa pi diperlukan untuk stabilisasi pasokan daging di pasar nasional. Uraian tentang alur perdagangan
sapi dan daging sapi di atas menunjukkan betapa strategisnya kebijakan penentuan kuota impor sapi dan daging daging sapi ini. Kesalahan dalam menentukan kuota dapat merugikan peternak sapi, dan atau
konsumen daging sa pi.
2.2.4 Balai Inseminasi Buatan
Balai Inseminasi Buatan (BIB) merupakan lembaga pendukung usaha pembibitan sapi. Fungsi utama
dari BIB adalah menghasilkan semen beku, yang diperlukan sebagai embrio pacta kawin suntik. Pacta saat
ini Kementerian Pertanian memiliki dua Unit Pelaksana Teknis Balai lnseminasi Buatan, yaitu BIB
Lembang, di Bandung dan BIB Singosari di Malang. Selain itu, ada beberapa Balai Inseminasi Buatan yang
merupakan Unit Pelaksana Teknis dari beberapa Propinsi, antara lain BIBD Ungaran, Provinsi Jawa Tengah,
BIBD Sleman, Provinsi DI Yogyakarta, BlBD Denpasar, Provinsi Bali, dan BIBD Surabaya, Provinsi Jawa
Timur.
Untuk memproduksi semen beku sapi, BIB menggunakan bibit induk pejantan sapi lokal dan impor:
Pacta saat ini, BIB yang ada telah mampu memenuhi kebutuhan semen beku nasional. Bahkan Fikri (2014),
sebagaimana yang ditulis dalam koran Tempo, menyatakan bahwa mulai 2013, BIB Lembang telah
mengekspor sebanyak 1,4 juta unit semen beku sapi ke Malaysia, Kazakstan dan Timor Leste. Ekspor
9
semen beku dilakukan karena BIB lembang over produksi, terkait dengan semakin menyusutnya populasi
sa pi be tina sebagai akseptor kawin suntik.
2.3 Potret Pembibitan Sapi Potong di Australia
Australia merupakan salah satu negara produsen sapi terbesar dunia. Destina (2013) menyatakan
bahwa lebih dari 60% produk peternakan sapi Australia diekspor, termasuk di antaranya di ekspor ke
Indonesia. Peternakan sapi di Australia memiliki produktivitas yang tinggi. Para peternak sapi umumnya
menerapkan teknologi budidaya yang tinggi, termasuk di antaranya dalam hal breeding, nutrisi, dan pakan.
Selain itu, infrastruktur untuk mendukung peternakan juga tersedia dengan baik, seperti jalan, irigasi, serta
sarana dan prasarana peternakan. Dukungan pemerintah untuk investasi juga kondusif, sehingga para
investor bersemangat untuk melakukan usaha peternakan, walaupun tidak ada subsidi yang diberikan oleh
pemerintah.
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran Bandung yang berkesempatan untuk
mengikuti Program Kuliah Lapangan di peternakan sapi Newry Station, Wahyu Ramdani (2012),
menuturkan bahwa Newry Station yang beroperasi di kawasan Northern Territoty, memiliki lahan seluas
246.700 hektar, yang digunakan untuk memelihara sekitar 15.000 indukan sapi.
Lahan tersebut dibagi menjadi 45 paddock (kavling lahan gembalaan). Untuk mempersiapkan
rumput di paddock sebagai pakan sapi, peternak menggunakan peralatan mekanis seperti traktor untuk
mengolah tanah, mesin untuk menyemai, dan mesin untuk menyiram tanaman. Lahan mulai digarap pada
musim semi. penyemaian dilakukan di awal musim panas, sehingga tanaman rumput dapat tumbuh optimal
dan dinikmati oleh ternak sapinya di sepanjang musim panas.
Pemberian pakan sapi dilakukan dengan cara melepas kawanan sapi di paddock tertentu, dan
dibiarkan merumput dengan bebas. Dalam kondisi normal, sapi dibiarkan merumput di padang gembalaan,
hingga tiba masanya untuk di panen.
Dalam waktu-waktu tertentu, sapi memerlukan treatmen khusus, seperti seleksi sapi menurut jenis
kelamin, seleksi sapi menurut kelompok umur, pemberian vaksin, pemberian nutrisi khusus, perawatan
kesehatan, hingga test kehamilan. Untuk keperluan ini, sapi digiring dari paddock ke yard, yaitu kandang
dengan pagar besi di mana sapi dari satu paddock dikumpulkan. Penggiringan sapi dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana yang sesuai, seperti kuda, motorcross, motor atv, atau helikopter. Di lokasi
yard ini telah tersedia berbagai peralatan untuk perawatan khusus, seperti alat pendeteksi kehamilan, alat
vaksinasi, alat bedah, dsb.
Anakan sapi biasanya dipiara dalam paddock hingga mencapai usia 6 bulan, kemudian sapi
dipindahkan ke feedlot, yaitu suatu area untuk penggemukan sapi. Di sini sapi diberi pakan yang banyak
mengandung biji-bijian, seperti canola meal, wheat, dan berbagai jenis gandum. Komposisi bahan pakan
sudah diperhitungkan dengan formula tertentu sehingga dapat menghasilkan daging berkualitas baik,
antara lain Jebih tinggi protein, kaya serat, rendah karbohidrat, dan rendah Jemak. Jangka waktu
pemeliharaan sapi di feedlot bervariasi antara 100-400 hari, disesuaikan dengan permintaan konsumen.
Untuk mengontrol sapi yang jumlahnya bisa mencapai ribuan ekor per paddock, peternakan sapi di
Australia menggunakan chip yang dipasang pada telinga sapi. Berbagai informasi dicatat dalam chip ini,
mulai dari asal-usul sapi dari indukan mana, tanggallahir, jenis kelamin, berat badan, dsb. Chip ini juga bisa
digunakan untuk memantau di mana sapi ini berada. Pemantauan dapat dilakukan melalui komputer yang
ada di kantor peternakan. Chip ini dipasang pada saat sa pi lahir, dan dibiarkan terus terpasang hingga sapi
tersebut dipotong.
10
3 Metodologi Penelitian
3.1 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk mencari kebijakan fiskal yang tepat untuk mendukung upaya
peningkatan produktivitas pembibitan sapi nasional. Dengan dukungan kebijakan fiskal yang tepat,
diharapkan produksi sapi bakalan akan meningkat, sehingga impor sapi bakalan dapat dikurangi dan jalan
menuju swasembada daging sapi semakin terbuka.
Fokus kajian ditujukan pacta usaha pembibitan sapi, karena diduga di sinilah letak permasalahan
utama dari peternakan sapi di Indonesia. Usaha pembibitan sapi tidak mampu menghasilkan sapi bakalan
yang dibutuhkan oleh usaha penggemukan sapi di Indonesia, sehingga perusahaan penggemukan sapi
harus mengimpor sapi bakalan.
Gambar-7 memberikan ilustrasi kerangka pemikiran dari penelitian ini. Kegiatan penelitian diawali
dengan deskripsi potret peternakan sapi di Indonesia, baik untuk usaha pembibitan maupun penggemukan
sa pi, dilanjutkan dengan potret peternakan sapi di negara lain, sebagai pembanding.
Potret Peternakan Sapi
di Indonesia
) Analisis SWOT
Pot ret Peternakan Sapi di Negara Lain
Sumber: Peneliti, rangkuman dari berbagai sumber Gambar-7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Analisis Strategi '
Rekomendasi ---;>'
Kebijakan "' Kebijakan Fiskal
Berdasarkan deskripsi tentang potret peternakan sapi di Indonesia dan di negara lain, dilakukan analisis tentang kekuatan dan kelemahan dari usaha pembibitan sapi di Indonesia. Selanjutnya dilakukan
analisis pula ten tang peluang-peluang serta ancaman yang ada.
Dengan mengkombinasikan antara faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
sudah diidentifikasi, dilakukan analisis strategi kebijakan yang diperkirakan dapat digunakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif.
Dari berbagai alternatif kebijakan yang ada dilakukan analisis kebijakan mana yang diperkirakan
layak untuk dilaksanakan dan kebijakan mana yang tidak layak untuk dilaksanakan. Kebijakan yang layak
dilaksanakan diusulkan sebagai rekomendasi kebijakan.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Data primer
terkait dengan potret usaha pembibitan sapi di lapangan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan
berbagai pihak yang terkait, termasuk di antaranya adalah peternak pembibitan sapi, peternak
penggemukan sapi, balai inseminasi buatan, dinas yang menangani peternakan di tingkat propinsi dan
kabupatenjkota, dan akademisi. Data sekunder mencakup data perkembangan jumlah sapi potong, jumlah
11
peternak, perkembangan harga daging, serta isu-isu terkini terkait peternakan sapi, diperoleh dari berbagai
media, baik media cetak maupun media elektronis.
3.3 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik deskriptif, dengan
menggunakan alat analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menjadi kekuatan dan kelemahan dari usaha pembibitan sapi di Indonesia, serta peluang dan ancaman dari
faktor eksternal, Dengan mengombinasikan dari berbagai faktor yang ada, dilakukan analisis untuk
memilih strategi yang tepat dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.4 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan metode perencanaan strategis yang dilakukan organisasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan suatu proyek tertentu, dengan jalan melakukan pemetaan dan
analisis terhadap kekuatan (strengths), dan kelemahan (weaknesses) dari organisasi yang bersangkutan,
serta peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dari lingkungan eksternal organisasi.
Analisis SWOT merupakan singkatan dari strengths, weaknesses, opportunities, dan threats, yaitu
faktor-faktor yang dianalisis di dalam metode ini. Ruang lingkup kegiatan analisis SWOT mencakup
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
• penentuan tujuan yang spesifik yang ingin dicapai organisasi, atau suatu proyek atau spekulasi bisnis
yang akan dikerjakan oleh organisasi;
• mengidentifikasi faktor internal yang mendukung (strengths) dan yang tidak mendukung (weaknesses)
dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
• mengidentifikasi faktor eksternal yang dapat mendorong (opportunities) dan yang potensial menjadi
penghambat (threats) dalam mencapai tujuan;
• Memasukkan faktor-faktor yang sudah teridentifikasi ke dalam tabel, pada cell strengths, weaknesses,
opportunities, dan threats dalam matriks berikut.
Internal Stren~:ths Weaknesses
Faktor-faktor internal yang Faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan dalam menjadi kelemahan dalam pencapaian tujuan organisasi pencapaian tujuan organisasi
Eksternal
Opportunities Stratef:i SO: StrateJ:i WO:
Peluang eksternal yang dapat Memanfaatkan kekuatan untuk Melakukan perbaikan atas dimanfaatkan untuk memaksimalkan peluang kelemahan yang ada untuk mendukung pencapaian memanfaatkan peluang tujuan organisasi
I '
Threats Strate~:i ST: Strate~:i WT:
Ancaman potensial dari Memanfaatkan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan eksternal organisasi yang mengatasi ancaman untuk menghindari ancaman dapat menghambat pen-capaian tujuan organisasi
Sumber:
12
Gambar 8. Analisis SWOT
Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Strategi-strategi yang dapat dipilih oleh
organisasi dalam rangka mencapai tujuan dapat dibuat dengan mengombinasikan faktor-faktor yang ada di
keempat cell terse but. Pola penyusunan strategi dapat dilakukan sebagai berikut:
• bagaimana kekuatan (strengths) yang dimiliki organisasi dapat dimanfaatkan untuk mengambil
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada (Strategi SO);
• bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) organisasi agar dapat menangkap peluang
(opportunities) yang ada (Strategi WO);
• selanjutnya bagaimana dengan kekuatan (strengths) yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk
mengeliminasi ancaman (threats) yang ada (StrategiST),
• dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang sekaligus mampu
mengeliminasi ancaman (threats) yang ada (Strategi WT).
4 Data dan Analisis
4.1 Perbandingan Karakteristik Usaha Pembibitan dan Penggemukan Sapi di Indonesia
Usaha pembibitan dan penggemukan sapi, pada dasarnya merupakan kegiatan usaha pada satu
industri yang sama, yaitu usaha peternakan sapi. Usaha pembibitan sapi merupakan industri hulu,
sementara usaha penggemukan sapi adalah industri di hilirnya. Output dari usaha pembibitan sapi, yaitu
sapi bakalan, digunakan sebagai input pada usaha penggemukan sapi. Permasalahan timbul ketika kedua
industri ini tumbuh dengan perkembangan yang berbeda. di mana industri hilir berkembang lebih pesat
dibandingkan dengan industri hulunya. Kondisi ini menyebabkan industri hilir kesulitan untuk
mendapatkan bahan baku, dan harus mencari pasokan bahan baku dari impor. Tabel 1 menunjukkan
perbandingan karakteristik usaha pembibitan dan penggemukan sapi.
Tabel1. Perbandingan karakteristik usaha an tara Usaha Pembibitan dan Penggemukan Sapi
~- . "' Keterangan Pembibitan Sapi Penggemukan Sapi
., ~-~~;-
Perputaran Modal Usaha 18-24 bulan 3-6 bulan
Risiko Usaha Tinggi Rendah
Margin Keuntungan Rendah Tinggi
Sifat usaha Usaha sampingan keluarga Usaha komersial
Peminatan investor Rendah Tinggi
Sumber: Peneliti
Gambar 9 menunjukkan ketimpangan jumlah perusahaan komerial pada industri peternakan sapi.
Jumlah perusahaan penggemukan sapi jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perusahaan
pembibitan sa pi.
13
120 •nn
100 +-------------------------------------------------------------~
80 +-~--~9---~------------------------------------------~
60
40
20
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
• Pembibitan • Penggemukan
Sumber: BPS, 2014 Gambar 9. Perkembangan Populasi Perusahaan Pembibitan dan Penggemukan Sa pi Potong di Indonesia
Dengan melihat perbandingan karakteristik usaha antara usaha pembibitan dan penggemukan sapi,
dapat dimaklumi apabila banyak perusahaan lebih memilih usaha penggemukan sapi dibandingkan dengan
usaha pembibitan sa pi.
Kondisi peternakan sapi yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa permasalahan utama dari
peternakan sapi di Indonesia berada pada usaha pembibitan sa pi. Permasalahan tersebut antara lain:
• Usaha pembibitan sapi belum mampu memenuhi permintaan sapi bakalan yang dibutuhkan oleh usaha
penggemukan sapi;
• Usaha pembibitan sapi saat ini banyak dilakukan oleh peternak skala rumah tangga, sebagai usaha
sampingan. Hal ini menyebabkan usaha pembibitan sulit untuk digenjot produksinya;
• Usaha pembibitan sapi saat ini banyak dilakukan di lokasi yang relatif langka bahan pakan pada musim
kemarau. Hal ini juga menjadi kendala dalam peningkatan produktivitas pembibitan sapi;
• Minat perusahaan pada usaha pembibitan sapi rendah, karena perputaran modalnya lambat, risiko
kegagalan usaha tinggi, dan margin keuntungannya rendah.
4.2 Kebijakan Pemerintah Terkait Swasembada Daging Sapi
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mencanangkan
kebijakan swasembada daging sapi. Kala itu, tahun 2005, pemerintah menargetkan swasembada daging
sapi dapat dicapai di tahun 2010, namun target ini tidak bisa dicapai. Pada masa pemerintahan yang kedua,
Presiden SBY kembali mencanangkan kebijakan swasembada daging sa pi. Kebijakan yang dilandasi dengan
Peraturan Menteri Pertanian nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 ini mentargetkan beberapa sasaran
yang ingin dicapai pada tahun 2014, antara lain meningkatnya populasi sapi potong menjadi 14,2 juta ekor,
dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 12,48% per tahun; produksi daging sapi dalam negeri sebesar
420.300 ton, atau meningkat 10,4% per tahun; penurunan sapi impor hingga mencapai <10% dari kebutuhan masyarakat.
14
Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi Tahun
2014 ini merupakan pedoman atau acuan bagi pelaksana kebijakan dan kegiatan PSDS 2014, baik di tingkat
pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, agar memiliki persepsi yang sama tentang target dan sasaran
yang hendak dicapai di masing-masing tingkatan.
Ruang lingkup pelaksanaan PSDS 2014 meliputi lima aspek, yang terdiri dari aspek teknis, ekonomis,
kelembagaan, kebijakan dan Jokasi. Aspek teknis mengatur bidang perbibitan, pakan, budidaya, kesehatan
hewan, dan kesehatan masyarakat veteriner. Aspek ekonomis mengatur distribusi dan pemasaran sa pi dan
daging sapi, termasuk pengaturan stock dalam negeri, mengkaji permintaan dan supply ternak sapi dalam
negeri, yang dikaitkan dengan kebijakan impor yang tepat. Aspek kelembagaan mengatur hubungan antar
kelembagaan yang tepat dari seluruh stakeholder yang terkait, mencakup kelembagaan untuk (i) ilmuwan,
pakar, dan penyuluh; (ii) pelaku usaha, mencakup skala kecil, menengah, dan besar; dan (iii) pemerintah
tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten I kota, yang berperan sebagai regulator, fasilitator, dinamisator, dan
motivator. Aspek kebijakan mengatur berbagai kebijakan pemerintah yang diperlukan untuk mendukung
terlaksananya berbagai kegiatan PSDS 2014, antara lain mencakup ketersediaan pakan, kredit usaha,
kepastian usaha, hingga harga daging. Aspek lokasi mengatur operasionalisasi pelaksanaan PSDS, yang
pada dasarnya dilakukan di seluruh propinsi di Indonesia, namun dalam memilih kegiatan yang dilakukan
seyogyanya tiap-tiap daerah dapat memilih kegiatan yang sesuai dengan potensi sumber daya dan pasar
yang ada di daerah masing-masing.
Road map PSDS 2014 sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
19/Permentanj0T.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014, dapat
digambarkan dalam tabel 2 berikut:
Tabel2.T p s -----~ - - ---o'-----'nL----~ - - - bada S - .,...
Sapi Lokal Tahun Kebutuhan
Ekor"')
2010 662,9 12.794,9
2011 615,6 13.169,5
2012 583,2 13.521,6
2013 563,2 13.870,5
2014 552,3 14.231,7 Sumber: Kementerian Pertanian. 2010 *) dalam ribuan ekor **) dalam ribuan ton setara daging
Daging **)
282,9
316,3
349,6
384,2
420,3
~
. - Sapi lmpor
Ekor '•) Daging *"') Daging lmpor **)
260,0 46,3 73,7
196,9 35,2 67,2
149,0 26,7 57,9
112,8 20,3 45,9
85,4 15,4 31,2
Dalam rangka mencapai swasembada sapi sebagaimana dijelaskan dalam road map, pemerintah
telah menetapkan tiga belas kegiatan operasional, yang terdiri dari:
1. Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal
2. Pengembangan pupuk organik dan biogas
3. Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman
4. Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH
5. Optimalisasi 18 dan lnKA
6. Penyediaan dan pengembangan pakan dan air
7. Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan
8. Penyelamatan sapi betina produktif
9. Penguatan wilayah s umber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan
10. Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC
15
11. Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (Program KUPS)
12. Pengaturan stock sapi bakalan dan daging
13. Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging
4.3 Analisis Kekuatan dan Kelemahan dari Faktor Internal Pembibitan Sapi Indonesia
Dengan mengacu pacta uraian paparan tentang potret peternakan sapi di Indonesia dan di Australia,
berikut ini dipaparkan analisis tentang kekuatan dan kelemahan pembibitan sa pi di Indonesia:
4.3.1 Kekuatan
• Indonesia memiliki masyarakat peternak pembibitan sapi yang jumlahnya besar. Sekitar 5,9 juta
keluarga di Indonesia memiliki ternak sapi, baik yang dikelola secara serius maupun hanya sebagai
usaha sambilan.
• Indonesia memiliki BIB dengan kualitas dan kuantitas produk yang memadai. Kementerian Pertanian
memiliki dua UPT Balai Inseminasi Buatan, yaitu di Lembang, Bandung dan Singosari, Malang. Selain itu,
ada beberapa UPT Balai Inseminasi Buatan tingkat Daerah Provinsi, antara lain di jawa Tengah, jawa
Timur, DI Yogyakarta, dan Bali. Selain memenuhi kebutuhan semen beku dalam negeri, BIB juga telah
mengekspor semen beku, antara lain ke Malaysia, Kazakstan, dan Timor Timur.
4.3.2 Kelemahan
• Banyak sentra usaha pembibitan sapi di Indonesia yang mengalami kekeringan di musim kemarau.
Kesulitan untuk memperoleh pakan sapi di musim kemarau sering terjadi di daerah-daerah seperti
Gunung Kidul dan NTT. Beberapa daerah lain juga dilanda kekerangan, dengan intensitas yang
bervariasi.
• Sebagian besar usaha pembibitan sapi diusahakan dalam skala rumah tangga sebagai usaha sampingan,
belum dikelola secara profesional. Kemampuan keluarga peternak untuk mengelola ternak sapi terbatas
hanya 2-3 ekor per keluarga. jumlah ternak sulit untuk ditingkatkan, karena kete rbatasan kemampuan
SDM dan ketersediaan bahan pakan.
• Belum banyak perusahaan yang berusaha dibidang pembibitan sapi yang dikelola secara profesional.
Data tahun 2014 menunjukkan baru 33 perusahaan yang berusaha di bidang pembibitan sapi,
sementara itu perusahaan yang bergerak dibidang penggemukan sa pi mencapai 107 penisahaan.
• Sarana transportasi yang kurang memadai menyebabkan perdagangan sapi dalam negeri berbiaya
mahal. Pengiriman sapi jarak jauh umumnya menggunakan truk dengan sistem carteran. Belum ada
moda transporasi khusus dan bersifat reguler yang fungsi utamanya memutasikan ternak dari satu
lokasi ke lokasi yang lain.
• Populasi indukan sapi sulit dikembangkan. Keterbatasan kemampuan keluarga peternak untuk
memelihara sapi, membuat peternak tidak ada keinginan untuk meningkatkan jumlah sapinya. Agar
tidak merepotkan peternak akan menjual sapinya manakala me rasa kewalahan untuk memeliharanya.
• Program-program pemerintah yang terkait dengan program pembibitan sapi, seperti KUPS, UPPO, dan
Penyelamatan Sapi Betina Produktif dalam pelaksanaannya kurang efektif dalam meningkatkan
populasi sapi potong di Indonesia. Banyaknya penyelewengan dalam pelaksanaan program diduga menjadi penyebab rendahnya efektivitas program.
16
4.4 Analisis Peluang dan Ancaman dari Faktor Eksternal
Berdasarkan paparan tentang potret peternakan sapi di Indonesia dan di Australia di atas, berikut
ini dipaparkan analisis peluang dan ancaman yang datang dari faktor-faktor eksternal.
4.4.1 Peluang
• Indonesia memiliki daerah-daerah yang kaya bio masa, yang bisa dimanfaatkan untuk peternakan sapi.
Banyak lahan perkebunan sawit, karet, kakao, dll, utamanya di daerah Sumatera dan Kalimantan, yang
memiliki bio masa dalam volume yang besar, dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi. Lahan-lahan ini
belum banyak dimanfaatkan untuk sentra usaha pembibitan sa pi.
• Usaha penggemukan sapi secara profesional banyak diminati pengusaha dan masyarakat peternak.
Semakin banyaknya peminat usaha penggemukan sapi, tentu membutuhkan sapi bakalan yang semakin
banyak. Peluang pasar untuk usaha pembibitan sapi masih terbuka Iebar.
• Usaha penggemukan sapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan sapi bakalan lokal. Populasi sapi
yang dipelihara keluarga peternak cenderung konstan, sementara usaha penggemukan sapi semakin
menarik dan memerlukan ban yak sa pi bakalan.
4.4.2 Ancaman
• Australia mampu memproduksi sapi bakalan dengan biaya rendah. Murahnya biaya pakan yang berupa
padang rum put di Australia sulit untuk ditandingi oleh peternak sa pi lokal di Indonesia.
• Usaha penggemukan sapi secara profesional oleh perusahaan besar lebih memilih mengimpor sapi
bakalan dibandingkan dengan sapi bakalan lokal. Sapi bakalan impor harganya murah, kualitasnya
seragam, dan bisa dibeli dalam jumlah besar.
• Beberapa daerah sentra pembibitan sapi di Indonesia sering mengalami kekeringan di musim kemarau.
Dampaknya, terjadi kelangkaan pakan sapi, membuat sapi menjadi kurus-kurus. Bahkan, ada peternak
yang harus menjual sapinya untuk bisa membeli pakan untuk sapi yang lain.
Gambar 10 memberikan ilustrasi peta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap usaha
pembibitan sa pi di Indonesia dalam bentuk matriks analisis SWOT.
17
Internal Stren~bs
• Indonesia memiliki masyarakat peternak pembibitan sapi yang jumlahnya besar
• Indonesia memiliki BIB dengan kualitas dan kuantitas produkyang memadai
Eksternal
Ot!l:!!!l:t~miti!:li Strateei SQ:
• Indonesia memiliki daerah-daerah Memanfaatkan kekuatan untuk
yang kaya bio masa, yang bisa di- memaksimalkan peluang
manfaatkan untuk pembibitan sa pi
• Permintaan sapi bakalan lokal masih tinggi untuk memenuhi usaha penggemukan sapi di Indonesia
• Usaha penggemukan sapi secara profesional banyak diminati peng-usaha dan masvarakat peternak
~ Strategj ST:
• Australia mampu memproduksi Memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi
sapi bakalan dengan kualitas baik ancaman
dan biaya rendah
• Usaha penggemukan sa pi secara profesional oleh perusahaan besar lebih memilih mengimpor sapi bakalan dengan harga murah
• Kekeringan sering terjadi di daerah sentra usaha pembibitan sa pi pacta musim kemarau -
Sumber: Peneliti. Hasil analisis
Gambar 10. Matriks Analisis SWOT
Weaknesses
• Banyak sentra usaba pembibitan sapi di Indonesia yang mengalami keke-ringan di musim kemarau
• Sebagian besar usaha pembibitan sapi diusahakan dalam skala rumah tangga sebagai usaha sampingan, belum dike lola secara profesional
• Belum banyak perusahaan yang berusaha dibidang pembibitan sa pi yang dikelola secara profesional
• Sarana transportasi yang kurang memadai menyebabkan perdagangan sa pi dalam negeri berbiaya mahal
• Kurangnya populasi indukan sapi me-nyebabkan produksi sapi bakalan rendah
Strateei WQ:
Melakukan perbaikan atas kelemahan yang ada untuk memanfaatkan peluang
Strategj WI:
Meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
--
4.5 Strategi Peningkatan Produktivitas Pembibitan Sapi Nasional
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan produktivitas pembibitan sapi
nasional dapat diperoleh dengan mengombinasikan faktor-faktor yang teridentifikasi dalam matriks SWOT,
sebagai berikut:
4.5.1 Strategi SO
• Peningkatan kualitas dan kuantitas peternak pembibitan sapi untuk memenuhi sapi bakalan oleh
usaha penggemukan sapi
18
• Usaha pembibitan sapi oleh masyarakat diarahkan untuk memanfaatkan daerah-daerah yang kaya bio
mas a
4.5.2 Strategi ST
• Indonesia harus bisa menghasilkan bibit sapi dengan harga pokok murah, agar bisa bersaing dengan
sa pi bakalan Australia
4.5.3 Strategi WO
• Untuk menutupi kekurangan pasokan sapi bakalan, Perusahaan pembibitan sapi perlu diarahkan
untuk terjun di bidang pembibitan sa pi
• Perusahaan pembibitan sapi diarahkan untuk memanfaatkan daerah-daerah yang kaya bio massa
• Capacity building perlu diberikan kepada peternak skala rumah tangga agar bisa mengelola usaha
secara profesional, untuk mengimbangi usaha penggemukan sapi yang telah dikelola secara
profesional
• Sarana transportasi khusus untuk pengangkutan ternak perlu dibangun untuk menekan biaya
transportasi domestik.
• Upaya untuk peningkatan jumlah indukan sapi betina perlu digalakkan untuk mendongkrak
pertumbuhan produksi sa pi bakalan lokal
4.5.4 Strategi WT
• Pembangunan wadukfsaluran irigasi untuk mengairi daerah sentra usaha pembibitan sapi, agar
mampu memproduksi sa pi bakalan dengan harga yang lebih murah
• Usaha pembibitan sapi perlu dikelola secara profesional agar mampu menghasilkan sapi bakalan
dengan harga murah
• Perlu ada iklim usaha yang menarik agar investor mau terjun di bidang pembibitan sa pi
• Untuk mengurangi impor sapi bakalan, jumlah indukan sapi perlu diperbanyak
Strategi Peningkatan Produktivitas Peternakan Sapi Nasional digambarkan dalam matriks analisis
SWOT pada gambar 11.
19
Internal Stren~:ths Weaknesses
• Indonesia memiliki masyarakat • Banyak sentra usaha pembibitan sapi peternak pembibitan sapi yang di Indonesia yang meng-alami jumlahnya besar kekeringan di musim kemarau
• Indonesia memiliki BIB dengan • Sebagian besar usaha pembibitan sapi kualitas dan kuantitas produk yang diusahakan dalam skala rumah tangga memadai sebagai usaha sampingan, belum
dikelola secara profesional
• Belum banyak perusahaan yang berusaha dibidang pembibitan sapi yang dike lola secara profesional
• Sarana transportasi yang kurang memadai menyebabkan perdagangan sa pi dalam negeri berbiaya mahal
• Kurangnya populasi indukan sa pi
Eksternal menyebabkan produksi sapi bakalan rendah
Qpportunities Strateei SQ: Strateei WQ:
• Indonesia memiliki daerah-daerah • Peningkatan kualitas dan kuantitas • Untuk menutupi kekurangan pasokan yang kaya bio masa, yang bisa masyarakat peternak di bidang sa pi bakalan, investor perlu diarahkan dimanfaatkan untuk peternakan pembibitan sapi untuk memenuhi sapi untuk terjun di bidang usaha sa pi bakalan oleh usaha penggemukan sapi pembibitan sa pi di daerah-daerah
yang kaya bio massa • Permintaan sa pi bakalan lokal • Usaha pembibitan sapi oleh
masih tinggi untuk memenuhi masyarakat diarahkan untuk • Capacity building perlu diberikan usaha penggemukan sapi di memanfaatkan daerah-daerah yang kepada peternak skala rumah tangga Indonesia kaya bio masa agar bisa mengelola usaha secara
profesional • Usaha penggemukan sapi secara
profesional banyak diminati • Sarana transportasi khusus untuk pengusaha dan masyarakat pengangkutan ternak perlu dibangun peternak untuk menekan biaya transportasi
domestik.
• Upaya untuk peningkatan jumlah indukan sapi betina perlu digalakkan untuk mendongkrak pertumbuhan produksi sapi bakalan lokal
I.b.rn!.ts Strateei ST: Strateei WI:
• Australia mampu memproduksi • BIB perlu dioptimalkan untuk • Pembangunan waduk/saluran irigasi sapi bakalan dengan kualitas baik menghasilkan sapi bakalan dengan untuk mengairi daerah sentra usaha dan biaya rendah harga pokok murah, agar bisa bersaing pembibitan sapi, agar mampu
dengan sa pi bakalan Australia memproduksi sapi bakalan dengan • Usaha penggemukan sapi secara harga yang lebih murah
profesional oleh perusahaan besar Jebih memilih mengimpor sapi • Usaha pembibitan sa pi perlu dikelola bakalan dengan harga murah secara profesional agar mampu
menghasilkan sapi bakalan dengan • Kekeringan sering terjadi di hargamurah
daerah sentra usaha pembibitan sapi pada musim kemarau • Perlu ada iklim usaha yang menarik
agar investor mau terjun di bidang pembibitan sapi
• lmpor indukan sapi berkualitas diperlukan untuk meningkatkan kualitas sapi bakalan lokal
---
Sumber: Peneliti. Hasil analisis
Gambar 11. Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Nasional
20
Dengan mengacu pada tabel strategi peningkatan produktivitas sapi nasional (gambar 13), rekomendasi kebijakan dapat dipetakan berkaitan dengan ternak, peternak, usaha peternakan, dan
infrastruktur, sebagai berikut:
Ternak:
• Perlu digalakkan upaya untuk peningkatan populasi indukan sapi betina (Strategi WO)
• Indonesia perlu mengimpor indukan sapi betina berkualitas untuk meningkatkan populasi indukan
dan kualitas sapi bakalan lokal (Strategi WT)
• Indonesia harus bisa menghasilkan bibit sapi berkualitas dengan harga pokok murah (Strategi WT)
Peternak:
• Peningkatan kualitas dan kuantitas masyarakat peternak di bidang pembibitan sapi (Strategi SO)
• Capacity building perlu diberikan kepada peternak skala rumah tangga agar bisa mengelola usaha
secara profesional (Strategi WO)
Usaha Peternakan:
• Investor perlu diarahkan untuk terjun di bidang usaha pembibitan sapi di daerah-daerah yang kaya
bio masa (Strategi WO)
• Perlu ada iklim usaha yang menarik agar investor mau terjun di bidang pembibitan sapi (Strategi
WT)
• Perlu dibangun wadukjirigasi di daerah peternakan yang kering di musim kemarau, dalam rangka
(Strategi WO)
• Usaha pembibitan sapi perlu dikelola secara profesional (Strategi WT)
• Optimalisasi peran BIB untuk menghasilkan sa pi bakalan dengan harga pokok murah (StrategiST)
Infrastruktur:
• Pembangunan waduk/saluran irigasi untuk mengairi daerah sentra usaha pembibitan sapi (Strategi
WT)
• Perlu dibangun Sarana transportasi khusus untuk pengangkutan ternak (Strategi WO)
5 Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Usaha pembibitan sapi di Indonesia banyak diusahakan peternak dalam skala rumah tangga,
sebagai usaha sampingan untuk memanfaatkan limbah pertanian. Sebagian besar peternak memiliki 1-3
ekor per rumah tangga. Keterbatasan kemampuan SDM dan ketersediaan bahan pakan menyebabkan usaha
pembibitan sapi skala rumah tangga ini sulit untuk dikembangkan lebih lanjut. Belum banyak pengusaha
yang tertarik di bidang pembibitan sapi, karena perputaran modalnya lama, risiko usahanya tinggi, dan
margin keuntungannya rendah. Sebagian besar populasi ternak sapi berada di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara, yang rawan kekeringan di musim kemarau. Lahan perkebunan, utamanya sawit, yang kaya bio
massa di Pulau Sumatera dan Kalimantan, belum banyak dimanfaatkan untuk usaha pembibitan sa pi.
Usaha pembibitan sa pi di Australia diusahakan dengan skala besar yang dilepas di lahan gembalaan
yang luas, sekitar satu ekor per kilometer persegi. Dengan dukungan teknologi yang tinggi, infrastruktur
yang memadai dari pemerintah, menyebabkan perusahaan tidak memerlukan banyak tenaga kerja.
21
Efisiensi usaha tinggi, sehingga perusahaan mampu memproduksi sapi bakalan dengan harga yang lebih
murah dibandingkan dengan sapi bakalan produksi Indonesia.
Usaha penggemukan sapi banyak diminati peternak, baik skala rumah tangga maupun perusahaan,
karena perputaran modalnya cepat, rikiso usahanya rendah, dan margin keuntungannya tinggi. Perusahaan
yang bergerak dibidang penggemukan sapi jumlahnya tiga kali lipat lebih dibandingkan perusahaan di
bidang pembibitan sapi. Keterbatasan kemampuan usaha pembibitan sapi lokal dalam menyediakan sapi
bakalan menyebabkan usaha penggemukan sapi harus mengimpor sapi bakalan, utamanya dari Australia.
Tingginya minat investor dan masyarakat pada usaha penggemukan sapi menyebabkan kebutuhan sapi
bakalan meningkat. Peluang usaha untuk pembibitan sapi sangat menjanjikan.
Perusahaan penggemukan sapi lebih suka sapi bakalan impor, karena harganya lebih murah,
kualitasnya lebih seragam, dan bisa dibeli dalam jumlah besar. Tantangan bagi usaha pembibitan sapi
untuk bisa menghasilkan sa pi bakalan yang Jebih berkualitas dengan harga yang lebih murah.
Analisis SWOT usaha pembibitan sapi menunjukkan bahwa Indonesia memiliki masyarakat
peternak pembibitan sapi yang jumlahnya besar serta memiliki BIB dengan kualitas dan kuantitas produk
yang memadai. Namun sayang, belum banyak perusahaan yang berminat di usaha pembibitan sapi. Usaha
pembibitan sapi oleh masyarakat belum dikelola secara profesional, dan banyak diusahakan di daerah
yang sering dilanda kekeringan di musim kemarau. Kurangnya populasi indukan sapi menyebabkan
produksi sapi bakalan rendah.
Usaha pembibitan sapi di Indonesia memiliki peluang untuk dikembangkan. Usaha penggemukan
sapi yang banyak diminati pengusaha, mengalami kesulitan untuk mendapatkan sapi bakalan lokal.
Indonesia memiliki daerah-daerah yang kaya bio masa, yang bisa dimanfaatkan untuk pembibitan sapi.
Namun ancaman terhadap usaha pembibitan sapi juga perlu diwaspadai. Usaha pembibitan yang ada rawan
kesulitan pakan di musim kemarau. Australia mampu memproduksi sapi bakalan dengan biaya rendah.
Dikhawatirkan usaha penggemukan sapi lebih tertarik untuk menggunakan sapi bakalan impor.
Perlu ada kebijakan-kebijakan terobosan dari Kementerian Pertanian dalam rangka peningkatan
produktivitas pembibitan sapi nasional. Perlu disiapkan kebijakan fiskal yang dapat mendukung kebijakan
Kementerian Pertanian dalam rangka peningkatan produktivitas pembibitan sapi nasional.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penelitian ini menyarankan agar Kementerian Pertanian
meningkatkan produktivitas pembibitan sapi nasional, antara lain melalui pemanfaatan lahan perkebunan
sawit untuk usaha pembibitan sapi secara profesional; peningkatan populasi indukan sapi melalui impor
indukan sapi betina siap kawin; pengadaan sarana transportasi khusus untuk pengangkutan ternak; serta
pembangunan waduk atau saluran irigasi untuk daerah-daerah peternakan yang mengalami kekeringan di
musim kemarau. Alokasi anggaran yang memadai perlu disiapkan membiayai upaya peningkatan
produktivitas pembibitan sapi tersebut.
Insentif fiskal dapat diberikan kepada pelaku usaha untuk mendorong percepatan usaha pembibitan
sapi di kebun sawit, untuk pengadaan sarana transportasi khusus untuk pengangkutan ternak; serta untuk
impor indukan sapi betina siap kawin.
22
Daftar Pustaka:
Destina, Yoan. 2013. "Beternak Sapi Ala Petani Australia". Dalam http: I /balittra.litbang.pertanian.go.id /index.php ?option -com content&view-article&id -1180&1temi
d=5 Diakses tanggal9 Januari 2015
Djuddawi, Rachmiyati. at al. 2013. Buku Saku Pembibitan Ternak Sapi Potong. Direktorat Perbibitan
Ternak. Kementerian Pertanian. Jakarta
Djumena, Erlangga. 2013. "BPS: Jumlah Sapi Lokal Terus Turun". Dalam <http://bisniskeuangan.
kompas.com/read/2013/09/07/1345074/BPS.]umlah.Sapi.Lokal.Terus.Turun>. Diakses tangga;l 5
February 2015
Fikri, Ahmad. 2014. "Balai Inseminasi Mulai Ekspor Semen Beku Sapi". Dalam
http://www.tempo.co/read/news/2014/01/16/092545524/Balai-lnseminasi-Mulai-Ekspor
Semen-Beku-Sapi diakses tanggal10 Februari 2015.
Hadi, Proayogo U, dan Nyak Ilham. 2002. Problem dan prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi
Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21(4) 2002. Pp 148-157
Manti, Ishak, at al. 2003. "Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit (SISKA) . Dalam
peternakan http: 1/peternakan.litbang.pertanian.go.id /fullteks llokakarya /probklu03-
24.pdf?secure=1 diakses 16 February 2015
Ramdani, Wahyu. 2012. "Pengalaman PKL Mahasiswa Indonesia di Peternakan Sapi Australia". Dalam
http: I /d uniasapi.com /id /serba -serbi /285 5--pengalaman -pkl-mahasiswa -indonesia -di -peternakan
sapi-australia.html Diakse pada 12 Februari 2015
Yuliati, Ista, Zaenal Fanani dan Budi Hartono. 2014. "Analisis Proffitabilitas Usaha Penggemukan Sa pi Potong". dalam http:/ /fapet.ub.ac.id/wp-content/uploads/20 14/03/Jurnal-AnalisisProfitabilitas-Usaha-Penggemukan-Sapi-Potong.pdf diakses 4 Mei 2015
----. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 19 /PermentanjOT.140/2/2010 Ten tang Pedoman Umum
Program Swasembada Daging Sapi 2014.
----. Tanpa tahun. "Newry Station" dalam en.wikipedia.org/wikijnewry_station diakses 16 Februari 2015
23