koreksi fiskal

26
Koreksi Fiskal Laporan keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus disesuaikan dengan peraturan fiskal ketika laporan keuangan tersebut sebagai dasar pada SPT PPh yang disampaikan ke kantor pajak. Hal ini disebabkan laporan keuangan perusahaan mengacu pada standar akuntansi komersial. Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan melakukan penyesuaian fiskal (koreksi fiskal). Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu: Beda Tetap Beda Tetap, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh dikurangkan pada penghasilan kena pajak, contohnya : sumbangan, entertain (tanpa daftar nominatif), pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan dan lain-lain. Beda Waktu. Beda waktu, yaitu perbedaan pembebanan suatu biaya dimana jangka waktu pembebananya berbeda. Misal : Biaya penyusutan, perusahaan menetapkan masa manfaat aktiva

Upload: devycendana

Post on 11-Dec-2015

38 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Ringkasan Perpajakan 2 mengenai Koreksi Fiskal

TRANSCRIPT

Page 1: Koreksi Fiskal

Koreksi Fiskal

Laporan keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus disesuaikan dengan peraturan fiskal

ketika laporan keuangan tersebut sebagai dasar pada SPT PPh yang disampaikan ke kantor pajak.

Hal ini disebabkan laporan keuangan perusahaan mengacu pada standar akuntansi komersial.

Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan melakukan penyesuaian fiskal

(koreksi fiskal).

Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan

pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu:

Beda Tetap

Beda Tetap, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh

dikurangkan pada penghasilan kena pajak, contohnya : sumbangan, entertain (tanpa

daftar nominatif), pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan dan

lain-lain.

Beda Waktu.

Beda waktu, yaitu perbedaan pembebanan suatu biaya dimana jangka waktu

pembebananya berbeda.

Misal :

Biaya penyusutan, perusahaan menetapkan masa manfaat aktiva 10 tahun, tapi

berdasarkan fiskal Cuma 4 tahun, maka akan terjadi pembebanan yang berbeda.

Koreksi fiskal dapat juga dijelaskan sebagai berikut :

a. Koreksi fiskal positif diantaranya:

• Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham

• Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

• Pengeluaran dalam bentuk natura

• Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham

• Sumbangan atau bantuan

Page 2: Koreksi Fiskal

• Pajak Penghasilan

• Sanksi administrasi (Pajak)

• Penyusutan/amortisasi

• Dll

b. Koreksi fiskal negatif diantaranya:

• Penyusutan/amortisasi

• Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya

Penyusutan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil perhitungan

apa lebih besar atau malah lebih kecil.

Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan audit akuntan publik atas

laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan mempunyai pos yang berbeda atas

koreksi fiskal nya. Laporan audit pada perusahaan go public di perpustakaan BEJ dapat kita

pinjam dan baca untuk menambah wawasan tentang koreksi fiskal.

LAPORAN KEUANGAN FISKAL

Pengertian Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan

digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak

karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan

laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk

menilai hasil usaha (Income statement) dan keadaan keuangan  (Balance Sheet) dari satu entitas,

sedangkan laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak dan

beban pajak yang harus dibayar ke Negara. Laporan keuangan komersil berdasarkan prinsip

akuntansi  yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) atau

standar lain, sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan

Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain. Perbedaan penggunaan standar atau prinsip dasar

dalam penyusunan Laporan Keuangan – terutama laporan rugi laba- , mengakibatkan perbedaan

Page 3: Koreksi Fiskal

perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi komersil dan laba rugi fiskal,

yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan beban pajak komersial dan beban pajak

seharusnya dibayar ke Negara.

Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan

pajak yaitu :

a. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini

laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam

melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan

perpajakan dan menurut praktek pembukuan.

b. Ketentuan pajak untuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar

indepensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk

menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.

c. Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan

keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan

pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.

Pengertian dan ketentuan Kompensasi Kerugian Fiskal dalam Undang-Undang No.36 Tahun

2008 tetang Pajak Penghasilan diatur sebagai berikut :

a. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat

kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil/Lebih Bayar tetapi ada kerugian) .

b. Kerugian Fiskal timbul apabila penghasilan bruto yang dikurangi oleh pengurangan yang

diperbolehkan mengalami kerugian,

c. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto fiskal atau laba neto

fiskal dimulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian

tersebut berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

d. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal berlaku untuk tahun

pajak mulai tahun 2009, untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-

undang no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.

Page 4: Koreksi Fiskal

Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan dapat

menghitung Kompensasi kerugian  sesuai ketentuan tersebut.

Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan kena pajak adalah penghasilan Wajib Pajak yang menjadi dasar untuk menghitung pajak penghasilan.

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPh.

Tabel Penghasilan Tidak Kena Pajak

Page 5: Koreksi Fiskal

NORMA PERHITUNGAN PENGHASILAN NETO

Dasar Hukum

1. Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan

keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

2. KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan

Penghasilan Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung penghasilan

neto dengan menggunakan norma penghitungan

3. PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan

bagi WP Orang Pribadi (OP)

Besarnya Norma

1. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha

2. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang,

Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.

3. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.

4. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.

Yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan

Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran

brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta

rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka

waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh)

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP menggunakan tahun

buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Page 6: Koreksi Fiskal

Kewajiban

1. Menyampaikan surat perberitahuan penggunaan norma kepada Direktur Jenderal Pajak

dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. (Pasal 14 ayat

(2) UU PPh). Bagi yang tidak menyampaikan dianggap memilih menggunakan pembukuan.

(UU PPh Pasal 14 ayat 4).

2. Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I

PER-4/PJ/2009.

Sanksi Menggunakan Norma Penghitungan Tanpa Pemberitahuan

Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan

Penggunaan Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh

persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang

bersangkutan. Pasal 3 ayat 2 KEP-536/PJ./2000

Kredit Pajak

Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa :

a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;

b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;

c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;

d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;

e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).

Untuk PPh Lebih Bayar yang diatur dalam PPh pasal 28A, apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.

Page 7: Koreksi Fiskal

Untuk PPh Kurang Bayar yang diatur dalam PPh Pasal 29, apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak, kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Dasar Hukum Kredit Pajak

a. UU No. 6/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18/2009 (UU KUP)b. UU No. 7/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 36/2008 (UU PPh).c. Keputusan Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri

Berdasarkan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UU PPh dinyatakan bahwa:  Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang

diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Agar dapat melakukan kredit pajak dengan baik, ada baiknya kita perlu memperhatikan dasar pengakuan penghasilan. Dari dua ayat tadi kita dapat peroleh pengertian bahwa:

a. Penghasilan yang “diterima” mengindikasikan bahwa penghasilan diakui pada saat dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan “diperoleh” menunjukkan penghasilan diakui pada saat terjadinya walaupun uang belum diterima (accrual basis). Pajak penghasilan di luar negeri ini bisa jadi telah dibayar (cash basis) atau belum dibayar atau terutang (accrual basis) oleh wajib pajak

b. Pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan sebagai pengurang (kredit pajak) pajak yang terutang atas seluruh penghasilan pada tahun pajak yang sama

c. Batas kredit ditentukan menurut undang-undangd. Besarnya kredit pajak tidak boleh melebihi jumlah batas kredit pajak

Jenis-Jenis Kredit Pajak

Jenis-Jenis Kredit Pajak yaitu: Kredit Pajak PPh Pasal 22. Kredit Pajak PPh Pasal 23. Kredit Pajak PPh Pasal 24. Kredit Pajak PPh Pasal 25.

Page 8: Koreksi Fiskal

Kredit Pajak PPh Pasal 22

Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga-lembaga Negara lainnya. Pajak ini berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.Tarif Pajak

Atas Impor:            1. Ada API (Angka Pengenal Impor) @ 2.5% x nilai impor (CIF + BM)            2. Tdk ada API @ 7.5% x nilai impor            3. Lelang @ 7.5% x harga jual lelang

Atas pembelian barang yang dipungut oleh Pemungut Pajak @ 1.5% x harga pembelian Yang wajib dipungut oleh industri dan eksportir yang bergerak di sektor perhutanan,

perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul: 0.5% x harga pembelian (tdk termasuk PPN)

Atas penjualan hasil produksi atau pembelian yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang tertentu:

o Di bidang industri semen: 0.25% x DPP PPNo Di bidang industri baja: 0.3% x DPP PPNo Di bidang industri kertas: 0.1% x DPP PPNo Atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor: 0.45% x DPP PPNo Tarif PPh Pasal 22 yang ditetapkan untuk Pertamina dan Badan Usaha lainnya

yang bergerak di bidang bahan bakar minyak:                                                         SPBU Swasta                   SPBU Pertamina     Premix         0.3% x penjualan               0.25% x penjualan   Solar           0.3% x penjualan               0.25% x penjualan   Premix/       0.3% x penjualan               0.25% x penjualan   Super TT   Minyak tanah                                  0.3% x penjualan   Gas LPG                                         0.3% x penjualan   Pelumas                                          0.3% x penjualan

Page 9: Koreksi Fiskal

Kredit Pajak PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari: modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Ps. 21 yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah atau Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, BUT.

Saat terutangnya pajak       Terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan bersangkutan, mana yang terjadi terlebih dulu.

Pemotong Pajak Badan Pemerintah Subjek Pajak badan dalam negeri Penyelenggara kegiatan BUT Orang pribadi sebagai WP dalam negeri tertentu (akuntan, arsitek, dokter, notaris, orang

pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa).

Tarif Pajak 15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain yang

telah dipotong PPh ps. 21 (yang diperoleh oleh WP badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan)

15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan bangunanà final tax)

imbalan sehubungan dengan jasa lain, misal jasa manajemen, jasa kesehatan, dll. sebesar 2%

Kredit Pajak PPh Pasal 24

PPh pasal 24 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri         Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.         Indonesia menganut Tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per country limitation

Penggabungan Penghasilan yang berasal dari LN dilakukan sbb: Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya

penghasilan tersebut (accrual basis) Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan

tersebut (cash basis)

Page 10: Koreksi Fiskal

Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut di tetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan .

Batas Maksimum Kredit Pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan berikut: Jumlah Pajak yang terutang atau dibayar di Luar Negeri

( Penghasilan Luar Negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak ) x PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal 17) Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

Batas Maksimum Kredit Pajak untuk setiap Negara (per Country Limitation):        Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka perhitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara.

Rugi Usaha di Luar Negeri        Dalam menghitung penghasilan kena pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di luar Negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima di dalam negeri (Indonesia).

Kredit Pajak Luar Negeri

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak yang sama. Besarnya kredit pajak Luar Negeri adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang.

Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan. Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:

a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;

b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

Page 11: Koreksi Fiskal

c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;

d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;

e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;

f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;

g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan

h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Kredit PPh Pasal 25

Ketentuan umum mengenai penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 ini diatur dalam peraturan-peraturan berikut:

Pasal 25 UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 Tahun 2008; Peratuan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 255/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor

208/PMK.03/2009 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25;

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

PPh Pasal 25 Wajib Pajak Lama

Dalam hal ini yang dimaksud dengan WP lama adalah WP yang sudah menyampaikan SPT Tahunan PPh, baik orang pribadi maupun WP badan (perusahaan/company).

Menurut Pasal 25 ayat (1) UU PPh, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun pajak berjalan dihitung sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lain dikurangi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang telah dipotong/dipungut pihak lain serta PPh Pasal 24 (kredit pajak luar negeri). Maksud dari kata ‘tahun pajak berjalan’ adalah tahun pajak berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh. Sedangkan ‘...SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lain..’ adalah SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya.

Misalnya saat ini kita sedang berada di Tahun Pajak 2013, tepatnya di bulan Maret 2013,

Page 12: Koreksi Fiskal

maka tahun 2013 inilah yang disebut dengan tahun pajak berjalan. Dan karena PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 ini dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya, dengan demikian PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 ini dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012.

PPh Pasal 25 Kondisi Biasa

Dalam kondisi biasa, PPh Pasal 25 untuk tahun berjalan dapat dihitung dengan mudah. Rumusnya = PPh yang terutang dikurangi dengan kredit PPh Pasal 21 (khusus untuk orang pribadi), kredit PPh Pasal 22, kredit PPh Pasal 23 dan kredit PPh Pasal 24, kemudian hasilnya dibagi dengan 12 (dua belas) bulan. Semua angka yang ada dalam rumus ini diambil dari angka-angka yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya.

Misalnya PT ABC pada bulan April 2013 melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 dengan keterangan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak (penghasilan neto) dan PPh yang terutang, yang dilaporkan di Induk SPT Tahunan PPh, masing-masing sebesar Rp 500.000.000,00 dan Rp 125.000.000,00 (asumsi tarif PPh Badan yang digunakan 25%);Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dilaporkan di Formulir 1771-III (Kredit Pajak Dalam Negeri) total berjumlah Rp 100.000.000,00;Kredit PPh Pasal 24 yang dilaporkan di Lampiran Khusus 7A (Kredit Pajak Luar Negeri) berjumlah Rp 10.000.000,00.

Dari ketiga keterangan tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 ini bisa dihitung sebesar = (Rp 125.000.000,00 – Rp 110.000.000,00) ÷ 12 bulan = Rp 1.250.000,00. Dengan demikian, PPh Pasal 25 yang harus disetorkan PT ABC setiap bulan di tahun 2013 ini Rp 1.250.000,00.

CONTOH PENGHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

Si A adalah Pengusaha Warung Makan di Jogjakarta yang memiliki penjualan pada tahun 2010 sebesar Rp180.000.000,-. Si A statusnya kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Si A menyelenggarakan pencatatan untuk menghitung pajaknya. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sebagai angsuran dalam tahun berjalan dihitung sebagai berikut:

• Jumlah peredaran setahun Rp180.000.000,-• Presentase penghasilan norma (lihat daftar presentase norma) = 20%• Penghasilan neto setahun = 20% x Rp 180.000.000,- = Rp 3.000.000,-• Penghasilan Kena Pajak = penghasilan neto dikurangi PTKP Rp 36.000.000,- – Rp

19.800.000,- = Rp 6.200.000,-• Pajak Penghasilan yang terutang : 5% x Rp 6.200.000,- = Rp 310.000,-PPh Pasal 25 (angsuran) yang harus dibayar si A setiap bulan: Rp 310.000,- : 12 = Rp 25.833,-

Page 13: Koreksi Fiskal

LANGKAH – LANGKAH PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam melakukan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri secara umum. Perhitungan ini berguna untuk mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

1. Langkah Pertama : Identifikasi Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final .

Penghasilan yang sudah dikenakan Pajak Penghasilan final tidak dihitung lagi PPh nya dalam SPT Tahunan. Demikian juga PPh Final yang sudah dipotong atau dibayar tidak akan dikreditkan dalam SPT Tahunan. Beberapa jenis penghasilan yang dikenakan PPh final di antaranya adalah bunga deposito/tabungan, hadiah undian, laba dari transaksi penjualan tanah/bangunan, dan penghasilan dari transaksi penjaualan saham di bursa efek.

Kewajiban Pajak Subjektif

Pajak Penghasilan adalah jenis pajak subjektif di mana pengenaan pajaknya lebih melihat subjeknya dulu daripada objeknya. Coba kita tengok Pasal 1 UU Pajak Penghasilan, yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Penekanannya yang pertama adalah subyek pajak, baru kemudian obyeknya yaitu penghasilan. Urutan pasal-pasal dalam UU Pajak Penghasilan juga menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif. Ketentuan mengenai subyek pajak diatur lebih dulu di Pasal 2, 2A dan Pasal 3. Baru kemudian diatur mengenai objeknya di Pasal 4.

Sehubungan dengan subyek pajak ini, dalam Pajak Penghasilan dikenal istilah Kewajiban Pajak Subjektif. Istilah ini mengandung arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak Penghasilan dilihat dari sudut subyeknya. Apabila subyek pajak ini menerima atau memperoleh penghasilan, maka ia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Tetapi sebaliknya, apabila sesuatu, seseorang atau badan tidak memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif, maka walaupun ia memiliki penghasilan, ia tidak dapat dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan UU Pajak Penghasilan.Jadi, kewajiban pajak subjektif ini sangat penting maknanya dalam Pajak Penghasilan karena merupakan entry point dalam pengenaan Pajak Penghasilan. Dengan demikian, kapan seseorang, sesuatu atau badan mulai memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif adalah sangat penting dalam Pajak Penghasilan. Begitu juga dengan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. 

Mulai dan Akhir Kewajiban Pajak Subjektif  

Page 14: Koreksi Fiskal

Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan tempat di Pasal 2A yang khusus mengatur kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. Selengkapnya, saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut : 

Untuk subjek pajak orang pribadi dalam negeri :

dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. 

Untuk subjek pajak badan dalam negeri :

dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 

Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT :

dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. 

Untuk subjek pajak luar negeri non BUT :

dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. 

Kewajiban Pajak Subjektif dan PTKP  

Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik setiap tahun. Jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan ini dinamakan tahun pajak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 UU PPh. Tahun pajak ini pada umumnya adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Nah, jika kewajiban pajak subjektif bermula atau berakhir di pertengahan akhir pajak, maka pengenaan pajak ini tidak utuh dalam satu tahun pajak tetapi dalam bagian tahun pajak. Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, pengenaan Pajak Penghasilan dalam bagian tahun pajak ini tidak menimbulkan masalah dalam perhitungan pajaknya. Namun tidak demikian dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri karena ada unsur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Hak untuk mendapatkan PTKP dikaitkan dengan kewajiban pajak subjektif. Jika seseorang kewajiban pajak subjektifnya meliputi satu tahun penuh, maka PTKP nya pun satu tahun penuh. Apabila, kewajiban pajak subjektifnya misalnya cuma dua bulan, maka ia berhak atas PTKP dua bulan. Dari konsep ini lahir istilah PPh terutang disetahunkan dalam perhitungan PPh Pasal 21

Page 15: Koreksi Fiskal

dalam kasus orang luar negeri yang baru berada di Indonesia pada pertengahan tahun atau orang yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya pada pertengahan tahun. Begitu juga dalam kasus orang yang meninggal dunia. 

2. Langkah Kedua : Identifikasi Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak

Ada beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan di antaranya adalah bantuan, sumbangan dan warisan. Penghasilan-penghasilan ini tidak dikenakan Pajak Penghasilan sehingga harus kita keluarkan dari daftar penghasilan yang menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan.

 

3. Langkah Ketiga : Identifikasi Jenis Penghasilan Selain Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final dan Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak

Penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final dan juga yang bukan termasuk penghasilan yang bukan objek pajak inilah yang merupakan dasar kita melakukan perhitungan Pajak Penghasilan dalam satu tahun pajak yang akan dituangkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

 

4. Langkah Keempat : Identifikasi Jenis Penghasilan Yang Objek Pajak Tidak Final

Setelah kita mendapatkan penghasilan yang merupakan objek pajak tetapi tidak final sebagaimana dalam langkah ketiga, maka selanjutnya kita identifikasikan penghasilan-penghasilan ini ke dalam tiga jenis penghasilan yaitu :

1. Penghasilan dari Usaha/Pekerjaan Bebas2. Penghasilan dari Pekerjaan

3. Penghasilan Lain-lain

5. Langkah Kelima : Hitung Penghasilan Neto Masing-masing Jenis Penghasilan

Page 16: Koreksi Fiskal

Penghasilan neto tiap-tiap jenis penghasilan dihitung dengan cara penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang atau biaya. Masing-masing jenis penghasilan berbeda jenis pengurangnya. Untuk penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas, pengurangnya adalah biaya-biaya usaha yang terkait dengan usaha/pekerjaan bebas seperti biaya pegawai, biaya administrasi, biaya pemasaran, biaya penyusutan atau biaya sewa. Perhatikan juga dalam bagian ini biaya yang dapat dibebankan (deductible) dan biaya yang tidak dapat dibebankan (non deductible). Untuk penghasilan dari pekerjaan, pengurangnya adalah iuran pensiun/THT yang berasal dari gaji dan biaya jabatan. Sementara itu penghasilan lain-lain, seperti dividen, komisi atau hadiah pengurangnya adalah biaya yang terkait dengan perolehan penghasilan tersebut.

 

6. Langkah Keenam : Jumlahkan Seluruh Penghasilan Neto

Penghasilan neto masing-masing jenis penghasilan kita jumlahkan (termasuk penghasilan istri yang digabung dan penghasilan anak yang belum dewasa).

 

7. Langkah Ketujuh : Hitung Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari total penghasilan neto dikurang dengan zakat atas penghasilan, kompensasi kerugian dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP ditetapkan sebagai berikut :

Sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :

Rp15.840.000,-  untuk diri Wajib Pajak Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung

Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenugnya, maksimal tiga orang untuk tiap keluarga

Page 17: Koreksi Fiskal

Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus misalnya orang tua dan anak kandung. Keluarga semenda dalam garis keturunan lurus adalah misalnya mertua dan anak tiri. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan  dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Penerapan ketentuan di atas ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Misalnya Wajib Pajak B pada tanggal 1 Januari 2006 berstatus kawin dengan tanggungan satu orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2006, maka besarnya PTKPyang diberikan kepada Wajib pajak B untuk tahun pajak 2006 tetap dihitungberdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

8. Langkah Kedelapan : Hitung Pajak Penghasilan Terutang

Pajak Penghasilan (PPh) terutang dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif Pasal 17 atau tarif umum.

Tarif Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh.

Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp120.324.000,00.

Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1).

Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.

Page 18: Koreksi Fiskal

Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.

Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak  badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :   

  Lapisan Penghasilan Kena Pajak   Tarif Pajak

Sampai dengan Rp50.000.000,00  10%

Di atas  Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00

   

  15%

Di atas  Rp100.000.000,00

  30%

Tarif Pajak Orang Pribadi   Dalam Negeri

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

  Lapisan Penghasilan Kena Pajak   Tarif Pajak

Sampai dengan Rp25.000.000,00  5%

Di  atas  Rp25.000.000,00  sampai dengan Rp50.000.000,00

   

  10%

Di  atas    

Page 19: Koreksi Fiskal

  Rp50.000.000,00  sampai dengan Rp100.000.000,00

  15%

Di  atas  Rp100.000.000,00  sampai dengan Rp200.000.000,00

  25%

Di atas  Rp200.000.000,00

  35%