peran forum kerukunan umat beragama (fkub)...
TRANSCRIPT
PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB)
DALAM MENANGANI KONFLIK RUMAH IBADAT TAHUN
2015 DI KABUPATEN ACEH SINGKIL
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
RAHMAT SAHPUTRA
1112112000034
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/2017 M
PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FIflB) DALAMMENANGANI KONFLIK RUMAH IBADAT TAHUN 2OI5 DI
KABUPATEN ACEII SINGKIL
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan IImu politik
Untuk Memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rahmat Sahputra
NIM: rr12112000034
Dosen Pembimbing,
Dr. Achmad Ubaedillah. MANIP: 19670803 199603 I 002
./
PROGRAM STUDI ILMU POLITIKFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAII JAKARTA1438 II/2017 M
PERI\TYATAAN BEBAS PLAGIALISME
Skripsi yang berjudul:
PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB) DALAMMENANGANI KONFLIK RUMAH IBADAT TAHT]N 2015 DI
KABUPATEN ACEH SINGKIL
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk mernenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri rufN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Of$ Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kernudian hari terbukti bahwa ka.ya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1.
2.
J.
)
,*.l
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Rahmat Sahputra
NIM : ttt2ttZO}OO3
Program Studi : Ilmu politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GKUB) DALAM
MENANGANI KONFLIK RUMAH IBADAT TAHUN 2015 DI
KABUPATEN ACEH SINGKIL
Dan telah diuji,
Jakarta, 27 Desember 2017
Mengetahui, Menyetujui,PembimbingKetua Program Studi
\-1t,Dr. Idine Rosvidin. M.SiNIP: 19701013 200501 I 003
l
rj
ffi
ilt
Dr. Achmad Ubaedilah. MANIP: 19670803 199603 1002
LEMBAR PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (TKUB) DALAMMENANGANI KONFLIK RUMAH IBADAT TAHUN 2015 DI
KABUPATEN ACEH SINGKIL
Oleh
Rahmat Sahputra11i2112000034
Telah dipertatrankan dalam sidang ujian slaipsi di Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal27 Deserrber 2017 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperolehgelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Itmu politik.
Ketua,
Dr.Iding Rosyidin, MANIP: 19701013 200501 1 003
{fu"Dr.Iding Rosyidin, MANIP: 19701013 200s01 I 003
t_7tw
Pe
DrlA. Bakir lhsan, M.SiNIP: 19720412 200312 I 002 NtrP: 19631024199903 2 001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 27 Desember
2017
Ketua Program StudiFISIP UIN Jakarta
NIP: 19770424200710 2 003
IV
v
ABSTRAKSI
Nama : Rahmat Sahputra
Judul : PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB)
DALAM MENANGANI KONFLIK RUMAH IBADAT TAHUN 2015
DI KABUPATEN ACEH SINGKIL
Skripsi ini menganalisis peran dari FKUB Aceh Singkil dalam menangani
konflik yang terjadi di Aceh Singkil tahun 2015. Konflik yang terjadi di Aceh
Singkil merupakan konflik bernuansa agama karena melibatkan simbol-simbol
agama seperti adanya penyegelan dan pembakaran rumah ibadat, konflik yang
mengakar dari dekade tahun 1979, 2001, hingga kembali meletus di tahun 2015
memiliki akar permasalahan yang sama yakni permasalahan perijinan rumah
ibadat umat non Muslim. Di era setelah runtuhnya rezim Orde Baru Muncul
forum kerukunan umat beragama (FKUB) kehadiran forum tersebut kemudian
hari dianggap mampu menyikapi permasalah-permasalahan yang menyangkut
kerukunan kehidupan beragama ditengah masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian
bersifat deskriptif. Adapun teori yang digunakan ialah teori konflik dan teori
kebijakan publik. Teori konflik digunakan untuk menjelaskan dinamika konflik
yang terjadi agar dapat mengetahui dimana letak FKUB ketika berada dalam
konflik tersebut, sedangkan untuk melihat peran FKUB menggunakan teori
kebijakan publik dan memakai pendekatan implementasi kebijakan model Van
Meter dan Van Horn, begitupun pendekatan regulasi sosial menurut tim PUSAD
Paramadina. Dua teori tersebut digunakan sebagai alat analisis dalam melihat
peran FKUB Aceh Singkil dalam menangani konflik di Aceh Singkil tahun 2015.
Penelitian ini menemukan bahwa FKUB Aceh Singkil sudah berperan baik
dengan mengeluarkan surat rekomendasi bagi sebelas rumah ibadat di Aceh
Singkil yang nantinya surat rekomendasi tersebut menjadi syarat penting bagi
setiap rumah ibadat dalam mendapatkan IMB. Rekomendasi tersebut keluar sesuai
dengan amanat Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007, namun dalam proses
pengimplementasian pergub tersebut FKUB Aceh Singkil masih dipengaruhi oleh
hadirnya regulasi sosial yang mengakibatkan Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 di
Aceh Singkil tidak terimplementasikan dengan baik.
Kata kunci: FKUB, konflik, rumah ibadat.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam dicurakan kepada Nabi Muhammad
SAW, rasul yang telah membawa umatnya semua dari kegelapan pada masa yang
terang benderang hingga saat ini.
Skripsi yang berjudul “ Peran forum kerukunan umat beragama (FKUB)
dalam menangani konflik rumah ibadat tahun 2015 di Kabupaten Aceh Singkil”
disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari betul dalam penyusunan skripsi ini belumlah sempurna,
dan masih banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, penulis menyadari betul penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan,
kritikan dan dorongannya selama ini.
4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan
dorongannya selama ini.
vii
5. Dr. Achmad Ubaedillah, MA selaku dosen pembimbing dalam
penelitian ini, Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya
selama penelitian ini.
6. Dr. A. Bakir Ihsan M.Si selaku penguji 1 dan Dra. Gefarina Djohan,
MA selaku penguji 2 yang telah bersedia menjadi penguji dalam ujian
skripsi ini. Masukan, kritikan yang membangun dari kedua penguji ini
sangat membangun demi kesempurnaan dari hasil akhir skripsi ini.
7. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah.
8. Jeruslim Ray Manik, telah menyempatkan diri menjadi pendamping
selama penulis saat berada di lapangan dan menyediakan transportasi
dan lain-lain.
9. Seluruh narasumber yang telah menyempatkan diri untuk memberikan
informasi dalam penyelesaiaan skripsi ini. Anggota FKUB Aceh
Singkil Drs. Ramlan, Pak Mustafa, Pak Budiman Berutu. Jemaat
GKPPD Aceh Singkil Pak Nourim Berutu, Pak Boas Tumangger.
Jemaat Gereja HKI Aceh Singkil Ibu Massa Berutu. Tokoh pemuda
muslim Aceh Singkil Pak Azwar Ramnu. Kepala Gampong Siatas
Darianto. Mantan Kapolda Aceh Irjen. Pol. Purn. Husein Hamidi.
Sekretaris Kesbangpol Linmas Kabupaten Aceh Singkil Pak Azman,
SH. Kan Kemenag Kabupaten Aceh Singkil Pak Salihin, MA yang
dikemudian hari setelah ujian skripsi berlangsung kembali dihubungi
walaupun hanya melalui alat media komunikasi karena alasan
keterbatasan waktu, dana, dan juga jarak.
10. Ayah tercinta Drs. Surya, MM dan mamak tercinta Indrawati, S.pdi,
serta kakak kandung tercinta Susanti, SE (uning) beserta suami
Mahadhir, ST (bg mahadir), Sulastri,SE (tri) beserta suami Harry Arfan,
SH (bg hary) yang selalu memberikan do‟a, dukungan, dan pertanyaan
setianya yang menghantui setia handphone berdering “Udah bisa daftar
wisuda?”. Juga dua keponakan yang “gemay” Alisha Shafia (3 tahun)
viii
serta Kirana Arfan (1 tahun) menjadi penghibur penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kawan seperjuangan aneuk d‟kuphie Nur hadi (hadi), Fajri Kamal
(bapak kuda), M. Ivan Haris (omes), Reza Satria (gatot), Ridho
Chaharsya M (rido), Alif Hafiz (geuchik), Alvin Murad R (Anu), Anas
M (bg “play” boy), Ariep M.P (cipmang), Chossy Al-hafidz (neneng),
Zaiyard Aulia P (koyok), T. Kevin Varaby (kevin), M. Ridhan
(Dendeng), Putra Aulia Kesuma (putra), Aufa Ghufran (cabul) alm.
Arrayan Aprisma (rayan) dulu kita bersama tertawa setiap waktu, ngopi
siang malam, touring sesuka hati, melawan guru dan cabut kelas
merupakan cerita yang paling dibanggakan saat ngopi haha lupakan!.
Ingin hati mengulang hal tersebut tetapi sungguh sulit. Untuk
berkumpul satu sama lain pun sulit, masing-masing dari kita sudah
memiliki cara pandang berbeda ketika berbicara tentang “iklim dunia
dan preposisinya”. “Rayan, kutitipkan do‟a agar kawan-kawan mu ini
nantinya sukses didunia yang telah dan akan dipilihnya, semoga kita
semua dapat berkumpul dengan cerita yang baru cerita kesuksesan kita
der”. Penulis merasa bangga pernah memiliki cerita bersama mereka.
12. Teman-teman angkatan SMA Labschool Unsyiah angkatan III
(labschool third generation “Lantern”) kekompakan kita InsyaAllah
terus menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Seluruh kanda/yunda keluarga besar HMI KOMFISIP Cabang Ciputat.
14. Kawan-kawan pengurus HMI KOMFISIP Cab. Ciputat 2016-2017
tetaplah istiqomah dengan jalur perjuangan.
15. Para kabid dan wasekbid HMI KOMFISIP Cab. Ciputat 2016-2017
Travelio R A (travel), M. Fikri Aly (ali), Bimo Arfino (masbim), Arif
(„senior m‟ bod), Luthfi H (lutfi), Faizah Z (faizah), Quwatul M (Eza),
Afrilini (lini), Novi D (teteh), Sabrina (sasab). Kalian petarung-
petarung sejati. Kesuksesan kalian akan mengiringi kesuksesan penulis
nantinya.
ix
16. Ketum Galih Adi Widodo, Bendum Fajar Fachrian dan Wabendum Riri
Azil “maaf bukan mau ngasal banting lidah Sekum mu ini lulus duluan
ya heheheh”. Bangga pernah punya cerita dengan orang-orang sehebat
kalian, sampai jumpa dengan cerita kesuksesan kita “der”.
17. Abang dan kakak-kakak yang tersayang Bhayu Nanda (masbay), Afdal
Fitrah (kadal), Irfan Zarfandy (bg irfan), Faisal Husen (bg oye), Sopian
HP (bg sopian), Gerry N A (bg gerry), Hijri P (bg hijri), Achmad
Fanani (bg awe), Zulfikar (bg ijung), Ikhsan F (rakancan), Aisyah (kak
aisyah), Adis Puji (kak adis), Dara A P (kak dara), Dida N (kak dida),
Yeni S (Tum yeni) dari kalianlah penulis bisa mengetahui apa arti dari
perjuangan dan cara menjadi senior yang baik, terimakasih telah
menjadi pendidik yang baik, bangga mengenal kalian di HMI.
18. Teman-teman HMI Fisip 2012 Rizki A (Pelo), Ahmad Mikail (dipo),
M. Amin (Amin), Doni (doni), Fauzan M (arab), Guntomo (tomo),
Mutiarani (tara), Ratna KJ (ratna), Saikhu (doyok), Ikhsan (pekat),
Rusdan (rusdan), A Lutfi (gopay), Arini M, April, Rozi. Semangat yang
pernah kita ukir akan selalu terpatri dalam hati penulis.
19. Teman-teman Ilpol UIN JKT 2012 A Alfi (mba alfi), Ferry, Annisa,
Fauzan, Fachmi, Yusuf, Ruhul, Fahrul (maho), Rizki (bogel), Saeful
(cak ipul), Helmi, Abrar, Hatta. Riuh kelas itu tidak akan pernah
terlupakan kawan semoga sukses ditempat yang kalian kehendaki.
20. Adik-adik tingkat di perkuliahan terutama sama-sama ditempa dalam
kawah candradimuka HMI KOMFISIP Cabang Ciputat angkatan 2013,
2014, 2015, 2016, 2017. Khususon Ulfa (oel), Rowdoh (odoh), Dendi
(masden), Aldo S (aldo), Alfira M J (fira pesek), Sakinah (sakin),
Cahyo (cahyo), Kartika (Tika), M. Abyan (byan), Najmawan (jems),
Eza F (eza lanang), Aden (mas aden), Ghayda (ghay), Tami (tam-tam),
Zahra (Zahra). Canda tawa serta kehangatan yang kalian berikan selalu
menyertai perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
21. Wisma safira brother hood mang mu‟an, Bude eni beserta suami,
Andris Sambung, Vano, Alam, Frizan (pak kibo), Riski H (pa aji),
x
Farhan (pa jonkei), Firman (bg pesek 1), panji (ba pesek 2), Dame dan
Rian (tachibana besodara). Kalian menjadi penghibur penulis selama 5
tahun menempati wisma safira. Suka duka sudah kita lewati bersama.
22. Yang tercinta Cherlinda Hestiane Cahyani dengan cinta dan kasihnya
penulis dapat termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini dan
menjadi pribadi yang benar-benar profesional dapat membedakan mana
tuntutan pribadi, tuntutan khalayak dan tentunya arti penting sebuah
kesabaran. “Terimakasih sayang atas waktumu, kesabaranmu suatu
pembelajaran bagiku, hadirmu suatu kenikmatan bagiku, teruslah
bersamaku”.
Tanpa adanya mereka, peneliti tidak yakin penelitian ini dapat selesai
dengan baik. Penulis berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT
membalas kebaikan mereka. Namun demikian, penulis bertanggungjawab penuh
atas segala kekurangan dalam penelitian ini, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan. “Yakinkan diri dengan iman, maksimalkan usaha
dengan karya , pastikan kita sampai pada tujuan. Tetap muda, semangat, dan
berbahaya” .
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ciputat, 28 Oktober 2017
Rahmat Sahputra
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ..................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat penelitian..................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 7
E. Metode Peneliatian ....................................................................................... 9
E.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 9
E.2 Sumber data ........................................................................................ 10
E.3 Teknik pengumpulan data ................................................................... 11
F. Sistematika penulisan ................................................................................. 12
BAB II KERANGKA TEORI ............................................................................ 14
A. Teori Konflik .............................................................................................. 14
1. Penanganan Berbasis Kekuatan .............................................................. 19
2. Penanganan Berbasis HAK .................................................................... 21
3. Penanganan Berbasis Kepentingan......................................................... 22
B. Teori Kebijakan Publik .............................................................................. 25
B.1 Pengertian Kebijakan Publik .............................................................. 25
B.2 Tahap-Tahap Pembuatan Kebijakan Publik ....................................... 28
B.3 Implementasi Kebijakan Publik .......................................................... 29
BAB III PROFIL ACEH SINGKIL, SEJARAH MINORITAS KRISTEN,
DAN PROFIL FKUB KABUPATEN ACEH SINGKIL ................... 35
A. Profil Kabupaten Aceh Singkil .................................................................. 35
A.1 Sejarah Terbentuknya Kabupaten Aceh Singkil ................................. 35
A.2 Kondisi Geografis ............................................................................... 37
A.3 Pemerintahan ...................................................................................... 39
xii
A.4 Kependudukan .................................................................................... 41
A.5 Ketenagakerjaan.................................................................................. 41
B. Sejarah Minoritas Kristen dan Pertemuan Islam-Kristen di Aceh Singkil 42
C. Profil Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil Periode
2015-2017 .................................................................................................. 45
G.1 Sejarah Terbentuknya FKUB.............................................................. 45
G.2 Susunan dan Manajemen FKUB Kabupaten Aceh Singkil ................ 47
G.3 Acuan Kerja FKUB Kabupaten Aceh Singkil .................................... 48
BAB IV DINAMIKA KONFLIK DAN PERAN FKUB MENANGANI
KONFLIK .............................................................................................. 52
A. Dinamika Konflik....................................................................................... 52
A.1 Fase Menuju Tragedi 06-13 Oktober 2015 ........................................ 55
A.2 Fase Pemulihan Keadaan 14 – 18 Oktober 2015 ................................ 61
A.3 Fase Tampilnya Aparatur Kabupaten Aceh Singkil 19 Oktober 2015 62
A.4 Mediasi Konflik .................................................................................. 64
B. Peran FKUB Aceh Singkil ......................................................................... 67
B.1 Implementasi Kebijakan Pendirian Rumah Ibadat di Aceh Singkil ... 67
B.2 Transformasi Kebijakan Pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil ..... 71
C. Hambatan dan Pendukung FKUB Kab. Aceh Singkil dalam Menjalankan
Tugas ......................................................................................................... 74
C.1 Hambatan-Hambatan ......................................................................... 74
C.1 Pendukung .......................................................................................... 75
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 76
A. Kesimpulan ................................................................................................ 76
B. Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xiii
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel III.B.1 Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten
Aceh Singkil ..................................................................................38
Tabel III.C.1 Jumlah Desa Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten
Aceh Singkil ..................................................................................40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Kehidupan beragama di Indonesia tercermin dengan diakuinya eksistensi
agama-agama yang ada seperti Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha.1
Pada tahun 2000, negara memberikan pengakuan resmi terhadap Agama
Khonghucu melalui keputusan presiden RI No. 6 tahun 2000 tentang pencabutan
inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat cina.2
Sejak Keppres tersebut disahkan maka jumlah agama yang diakui di Indonesia
menjadi 6 agama meliputi Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan
Khonghucu.
Persebaran penganut agama yang ada di Indonesia sampai saat ini tidak
merata. Penganut Agama Islam mayoritas di Pulau Sumatera, Jawa, Madura,
Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa dan beberapa pulau bagian timur
layaknya Maluku Utara sedangkan Agama Kristen mayoritas di Papua, Katolik di
Pulau Flores, dan Hindu di Pulau Bali. Keanekaragaman tersebut yang meliputi
suku, bahasa, adat-istiadat dan agama merupakan fakta yang mestinya kita syukuri
sebagai suatu kekayaan bangsa, akan tetapi keanekaragaman tersebut terdapat
unsur kerawanan tersendiri, kerawanan itu dapat memunculkan konflik
kepentingan antar kelompok tersebut.
1 Tim Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Dinamika kerukunan hidup
Beragama di Daerah “laporan observaasi 1979/1980” proyek pembinaan kerukunan hidup
beragama Departemen Agama R.I (Jakarta : Departemen Agama RI, 1983), h. 3. 2 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia (KEPPRES) Nomor 6 Tahun 2000
Tentang Pencabutan Instruksi presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan
Adat Istiadat Cina.
2
Pengelolaan kehidupan keagamaan di Indonesia pasca Orde Baru
menunjukan perkembangan baik dari sisi positif ataupun negatif, kekerasan
kolektif sempat menyentak kita ialah kekerasan kolektif antar agama yang terjadi
di Ambon dan Poso. Beberapa laporan menunjukkan peningkatan insiden konflik
dan sengketa terkait tempat ibadat serta pembangunannya, penggunaanya,
peruntukannya, dan lain-lain.3
Catatan laporan kebebasan beragama tahun 2008 yang dimuat oleh Centre
for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) setidaknya terdapat 12 kasus
yang menyangkut masalah keberadaan rumah ibadat sepanjang tahun 2008. Dari
kasus-kasus tersebut terdapat dua kasus kekerasan pengrusakan rumah ibadat dan
tujuh kasus yang dapat menghilangkan hak-hak kelompok dalam beribadat.4
Laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi 2013
The Wahid Institute menunjukan setidaknya ada 27 serangan fisik yang dilakukan
oknum non-negara dan 25 kasus penolakan/penutupan/penyegelan gereja5. Kasus-
kasus ini bisa berpotensi hilangnya kebebasan umat beragama untuk menjalankan
ibadahnya. Padahal bila kita melihat Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia
telah menjamin akan adanya kebebasan umat beragama untuk mendirikan dan
menjalankan ajaran agamanya.
Setara Institute melaporkan pada tahun 2015 adanya peningkatan angka
pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2015
3 Ihsan Ali-Fauzi dkk, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonseia (Jakarta: PUSAD
Paramadina, 2013), h. 2. 4 Tim CRCS, Laporan Tahunan kehidupan beragama di Indonesia Tahun 2008
(Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) sekolah pasca sarjana UGM,
2008), h. 17. 5Tim The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Intoleransi 2013 (Jakarta: The wahid institute, 2014), h. 24.
3
dibanding 2014. Berdasarkan laporan setara Institute selama 2015 terjadi 197
peristiwa dan 236 tindakan. Sementara itu selama 2014, terjadi 134 peristiwa dan
177 tindakan.6
Indonesia mempunyai aturan yang membahas pembangunan rumah ibadat
dan kerukunan antar umat beragama. Peraturan tersebut ialah peraturan bersama
menteri agama dan menteri dalam negeri (PBM) tentang pedoman pelaksanaan
tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan
pendirian rumah ibadat No.8 dan 9 tahun 2006, peraturan tersebut merupakan
peraturan pengganti dari surat keputusan bersama (SKB)1/Ber/MDN-MAG/1969.
PBM ini diturunkan dalam rangka menertibkan ketertiban sipil dalam
konteks penjagaan kerukunan nasional termasuk menanggulangi permasalahan
pendirian rumah ibadat, tetapi sengketa tentang pendirian rumah ibadat masih saja
terjadi bahkan insiden-insiden serupapun meningkat.
Bentuk konflik rumah ibadat dan sektarian bisa berupa (1) Benturan bilateral,
ketika dua kelompok bentrok dalam konflik terbuka, (2) Serangan unilateral, ketika
salah satu kelompok menyerang kelompok lain, dan (3) Kerusuhan terbuka dan
lebih luas sehingga mencakup seluruh kota dan melibatkan lebih banyak pihak.7
Bentrokan tersebut dapat terjadi antar kelompok beragama atau antara
kelompok beragama melawan aparat pemerintah dan penyerangan yang terjadipun
seringkali ditujukan baik kepada perorangan atau kelompok pastinya yang
6Diakses pada tanggal 15 Mei 2016 dari situs
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/18/17250491/Laporan.Setara.Institute.Pelanggaran.Kebe
basan.Beragama.Meningkat.di.2015 7 Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia
(Jakarta: PUSAD Paramadina, 2014), h. 12.
4
menjadi objek ialah rumah ibadat bahkan properti milik pemerintah apabila
penyerangan ditujukan kepada aparat pemerintah.
Insiden-insiden seperti penyegelan, pembongkaran atau pembakaran rumah
ibadat sering terjadi di Indonesia, konflik sengketa rumah ibadat di Indonesia pun
kembali terjadi pada 13 Oktober 2015 di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh.
Aceh Singkil mendadak terkenal se-Indonesia melalui pemberitaan di media cetak
ataupun elektronik. Bukan karena prestasi yang menunjang kemajuan daerah
melainkan terjadinya pencederaan terhadap kearifan yang selama ini telah
dipupuk bersama. Hal ini menyebabkan elit-elit penting seperti Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri, Kapolri, Gubernur Aceh turun langsung melihat kondisi
Aceh Singkil satu hari setelah kerusuhan terjadi.
Tanggal 13 Oktober 2015 ratusan warga bergerak dari Desa Lipat Kajang,
Kecamatan Simpang Kanan menuju Kecamatan Gunung Meriah, menggunakan
berbagai kendaraan sembari membawa berbagai senjata sajam (Sajam) dan bom
molotov. Upaya meredam amarah massa sudah coba dilakukan oleh tokoh
masyarakat ketika mereka tiba di Desa Simpang Amal Gunung Meriah, tetapi
upaya ini tidak membuahkan hasil massa bergerak menuju ke Desa Suka Makmur
disanalah terjadi pengrusakan serta pembakaran satu unit bangunan rumah ibadat
milik umat Kristen yang notabene tidak memiliki izin.
Konflik sosial yang menggunakan simbol agama harus sesegera mungkin
diatasi serta jalan penyelesaiannya yang tidak merusak tatanan dan nilai-nilai
kemanusiaan.
5
Konflik sosial yang dimaksud ialah konflik antar kelompok yang memiliki identitas
yang jelas dan dengan sadar kedua kelompok tersebut atau lebih dari dua kelompok
terlibat perselisihan yang disebabkan oleh tujuan-tujuan yang bertentangan. Dalam
prosesnya pertentangan tersebut ditandai oleh adanya upaya pihak yang terlibat
untuk menetralisasi, mencederai, sampai mengeliminasi eksistensi lawan.8
Konflik sosial di Aceh Singkil terjadi antara kelompok penganut agama
tertentu dan penganut agama yang lainnya karena membawa nilai atau bahkan
simbol-simbol dari keagamaan. Konflik pendirian rumah ibadat termasuk kategori
konflik bernuansa agama yang memiliki keterkaitan dengan perizinan mendirikan
rumah ibadat yang termaktub didalam PBM No.8 dan No.9 Tahun 2006 di
Provinsi Aceh kebijakan turunan dari PBM tersebut ialah Pergub Aceh No. 25
Tahun 2007.
Penjelasan di atas telah membuktikan bahwa hadir dan pengimplementasian dari
peraturan tersebut menimbulkan masalah, konflik yang terjadi di Aceh Singkil dapat
menjadi bahasan utama dalam studi Ilmu Politik karena konflik sosial dikatakan menjadi
konflik politik ketika konflik tersebut mempunyai konotasi politik. Konflik politik sendiri
mempunyai keterkaitan dengan negara/pemerintah, para pejabat politik/pemerintahan,
dan kebijakan.9
Peran masyarakat dalam kasus ini akan terwakilkan oleh forum kerukunan
umat beragama (FKUB) maupun ormas keagamaan dalam mencari simpul perihal
penyelesaian konflik tersebut. Alasannya FKUB sebagai wadah yang secara
teoritis memiliki dua fungsi yaitu representatif dan aspiratif oleh karena itu
pertimbangan penganggotaan FKUB ada pada nilai kearifan, kematangan,
kepribadian, kepemimpinan, dan keteladanan. Ini menjadikan anggota FKUB
8 Moh. Soleh Isre, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003), h. 2. 9 Maswadi Rauf, Konsensus Politik Sebuah Penjajagan Teori (Jakarta : Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), h. 19.
6
menjadi sosok berpengaruh memiliki suara yang berwibawa saat dipandang
masyarakat terutama ketika memediasikan setiap perselisihan yang terjadi
mengenai kerukunan terutama perselisihan mengenai pembangunan rumah ibadat.
Negara berperan penting dalam melindungi hak kebebasan beragama
termasuk dalam hal mendirikan rumah ibadat, dalam penelitian ini akan melihat
bagaiamana negara menjalankan fungsinya (state capacity) dengan cara tersebut
akan terlihat bagaimana negara menangani kasus konflik di Aceh Singkil.
Pada aspek peran negara berdasarkan PBM tersebut FKUB merupakan aktor
terdepan yang menjamin ketertiban sipil dalam hal menjaga dan menyelesaikan
sengketa pendirian rumah ibadat, karena FKUB dinilai sebagai jawaban akan
isntitusi negara yang dapat menampung aspirasi dari kelompok-kelompok yang
terlibat dalam permasalahan sengketa pendirian rumah ibadat, maka penulis
melihat penting untuk melakukan kajian mendalam perihal tersebut melalui
penelitian yang berjudul: Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dalam menangani konflik rumah ibadat Tahun 2015 di Kabupaten Aceh
Singkil.
B. Pertanyaan Penelitian
Fokus terhadap penelitian ini adalah konflik terkait pembakaran gereja dan
peran FKUB Kabupaten Aceh Singkil dalam menanganinya. Untuk memberi
batasan pada penelitian ini penulis memunculkan beberapa pertanyaan bagi
penelitian ini :
1. Bagaimana peran FKUB dalam menangani konflik bernuansa agama
yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil?
7
2. Apa saja faktor penghambat dan pendukung bagi FKUB dalam
menangani konflik tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
1. Mendeskripsikan bagaimana peranan FKUB dalam menangani konflik
bernuansa agama di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh.
2. Menjelaskan faktor penghambat dan pendukung FKUB dalam menangani
konflik bernuansa agama di Kabupaten Aceh Singkil.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dalam penyelesaian sengketa agama sudah banyak dilakukan, diantara hasil
penelitian adalah :
Pertama, skripsi yang berujudul “Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Tanggerang Selatan dalam menangani konflik tempat ibadat: Studi
kasus pembangunan Gereja Protestan Indonesia Barat Obor Banten Serpong
Utara”. Skripsi di tulis oleh Adi Ridwan Syam mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik jurusan Ilmu Politik. Di
dalam skripsi ini menemukan bahwa FKUB TANGSEL sangat sportif dalam
menanggapi isu kebebasan beragama salah satu indikatornya ialah terwujudnya
SKB/SPB/PBM No. 8 dan No. 9 Tahun 2006. FKUB TANGSEL tidak
terpengaruh dengan kelompok penentang dalam memberi rekomendasi
pembangunan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) obor Banten
Serpong Barat. Adapun persamaan penelitian ini ialah berfokus pada FKUB dan
bagaimana peranannya dalam menangani konflik bernuansa agama di Kabupaten
8
Aceh Singkil, perbedaan dengan penelitian ini ialah dinamika konflik yang begitu
rumit berbeda dengan dinamika yang terjadi dan dialami oleh FKUB Tangsel.
Pengimplementasian dari kebijakan Pergub Aceh No.25 Tahun 2007 masih
dipengaruhi oleh adanya regulasi sosial yang dihasilkan pada saat konflik mulai
terlihat. Dan titik tekan dari penelitian ini ialah peran FKUB dalam proses
mengimplementasikan Pergub tersebut
Kedua, The Wahid Institute pernah melakukan penelitian “Berjudul Peranan
FKUB Kota Depok dan Kabupaten Bandung Dalam Hal Penanganan Konflik
tempat ibadat pada tahun 2009”. Hasil dari penelitian tersebut ialah FKUB
berjalan tidak sesuai dengan peraturan yang ada (SKB/SPB/PBM) dan dianggap
tidak tegas dalam menyikapi hal tersebut. Penelitian tersebut juga tidak
menjelaskan mengapa FKUB memiliki pandangan dan sikap seperti itu dan apa
saja faktor penghambat dan pendukungnya dalam membahas penanganan konflik
tersebut. Perbedaan dengan penelitian ini ialah penelitian ini bermaksud
menyelami lebih dalam tentang konflik dan penanganan konflik sengketa rumah
ibadat di Kabupaten Aceh Singkil yang dilakukan oleh FKUB setempat.
Perbedaan dengan penilitian ini ialah FKUB secara tegas menyatakan dan sudah
menjalankan Pergub Aceh No. 25 tahun 2007 akan tetapi tekan-tekan sosial yang
berbentuk kesepakatan dan dinamakan regulasi sosial pada akhirnya menjadi
acuan FKUB Aceh Singkil dalam mengimplementasikan Pergub tersebut.
Ketiga, tesis berjudul “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Dalam Merawat Kehidupan Umat Beragama atas FKUB Bantul Yogyakarta” tesis
karya Abdul Kirom yang merupakan mahasiswa program pascasarjana UIN
9
Sunan Kalijaga tahun 2015. Dalam tesis ini menemukan bahwa FKUB Bantul
sudah berperan sangat aktif dalam merawat kerukunan antar umat beragama di
daerah kerjanya. Dalam tesis tersebut pendekatan lebih ditekankan pada proses
dialog-dialog yang dilakukan oleh FKUB Bantul karena dari dialog yang
dilakukan oleh FKUB mengedepankan rasa toleran dan memunculkan peerasaan
ke-Indonesiaan, di mana FKUB Bantul di sini berinisiatif melakukan dialog
bersama antar tokoh-tokoh agama yang ada di daerahnya. Penelitian ini akan
membahas peran FKUB dalam konflik dengan dinamika yang sangat bergejolak,
dimana telah terjadinya gesekan hingga timbulnya pengrusakan rumah ibadah.
Pedekatan yang digunakan ialah pendekatan implementasi kebijakan publik
karena FKUB merupakan lembaga dibawah naungan pemerintah yang dibentuk
oleh masyarakat dan diwadahi/difasilitasi oleh pemerintah, tugas dan tupoksi dari
FKUB sudah dijelaskan didalam kebijakan pemerintah yaitu Pergub No. 25 tahun
2007.
E. Metode Peneliatian
Berikut metode penelitian yang digunakan penulis sebagai dasar penulisan
penelitian ini :
E.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif ialah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata
lisan maupun yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan
maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang
10
diteliti.10
Tujuan dasar dari jenis penelitian ini ialah untuk mengembangkan
konsep-konsep yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi.
Fenomena sosial yang menyangkut perilaku, kejadian, tempat akan
dieksplorasi berdasarkan pendalaman dengan memakai pendekatan-pendakatan
tertentu. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan gambaran yang utuh tentang
objek yang akan maupun sedang diteliti.
E.2 Sumber data
Dalam pengumpulan data kualitatif, data yang didapatkan melalui cara
wawancara, kajian kepustakaan, jurnal, referensi yang mengacu pada objek
penelitian yaitu FKUB Aceh Singkil. Berikut jenis-jenis data dalam penelitian:
E.2.a Data primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara mendalam dengan
narasumber yang terkait dengan objek yang diteliti dalam hal ini seperti anggota
FKUB Aceh Singkil, masyarakat Muslim, masyarakat Kristen, Pemerintah yang
mampu untuk memenuhi kebutuhan penelitian ini. Data primer merupakan
sumber data yang orisinil. Data juga primer merupakan sumber-sumber dasar
yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian yang lalu.11
E.2.b Data sekunder
10
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatife
Pendekatan,4th
ed.(Jakart: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 166. 11
Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 50.
11
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari
sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan.12
Data
sekunder diperoleh dari sumber yang tidak langsung dapat diperoleh seperti buku,
majalah, koran, ataupun warta online.
E.3 Teknik pengumpulan data
Berikut teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini
E.3.a Dokumentasi
Melalui studi kepustakaan dengan beberapa literatur berupa jurnal-jurnal,
gambar, artikel. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga
memberi peluang kepada peneiliti untuk mengetahui hal-hal yang terjadi pada
waktu silam.13
E.3.b Wawancara
Wawancara sendiri merupakan teknik pengumpulan data yang dilaksanakan
dengan bertatap muka secara langsung dengan narasumber yang diwawancarai.
Hal ini bertujuan untuk menggali data secara mendalam agar menemukan
jawaban-jawaban yang dipertanyakan dalam bahan penelitian.
E.3.c Teknik Analisa Data
Penulis sendiri menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif yang mana
setiap permasalahan yang diangkat digambarkan dengan fakta-fakta dan
disejajarkan antara satu fakta dan fakta yang lain untuk mempermudah penulis
12
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung : PT Refika Aditama, 2010), h. 291. 13
Dr. Juansyah Noor, Metodolegi Penelitian: Skripsi, Tesis, Desertasi dan Karya Ilmiah
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 141.
12
menemukan satu titik kesimpulan yang benar. Dengan memakai pendekatan-
pendekatan untuk melihat sebuah fenomena tersebut. Dalam penelitian ini
pendekatan yang digunakan ialah seperti terori konflik, terori kebijakan publik
dan pendekatan regulasi sosial.
F. Sistematika penulisan
Dalam penelitian skripsi ini peneliti hendak menyusun pokok-pokok
pembahasan kedalam beberapa bagian sistematika penulisan , berikut ulasannya :
Bab I: Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menjelaskan permasalahan
yang melatarbelakangi pembahasan dan perumusan masalah serta tujuan dari
penelitian tentang Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam
menangani konflik sengketa rumah ibadat tahun 2015 di Kab.Aceh Singkil
pendekatan kebijakan publik.
Bab II: Kerangka teori. Dalam bab ini peneliti menjelaskan tentang teori dan
juga konsep yang digunakan, yang nantinya dari pendekatan teori dan konsep
tersebut permasalahan dari skripsi yang berjudul Peran Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) dalam menangani konflik sengketa rumah ibadat tahun 2015
di Kab.Aceh Singkil pendekatan kebijakan publik.
Bab III: Profil. Pada bab ini peneliti menggambarkan secara umum tentang
profil arean penelitian, Sejarah pertemuan antara Islam dan Kristen di Kabupaten
Aceh Singkil, dan profil FKUB Kabupaten Aceh Singkil.
Bab IV: Analisi. Pada bab ini merupakan bagian yang berisi tentang
pembahasan dinamika konflik yang terjadi di Aceh Singkil dan melihat Peran dari
13
FKUB Aceh Singkil dalam menangani konflik sengketa rumah ibadat tahun 2015
di Aceh Singkil pendekatan kebijakan publik.
Bab V: Penutup. Pada bab ini peneliti berusaha untuk menyimpulkan
pembahasan penelitian mengenai Peran Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) dalam menangani konflik sengketa rumah ibadat tahun 2015 di
Kabupaten Aceh Singkil dengan pendekatan kebijakan publik.
14
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Teori Konflik
Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di
setiap interaksi sosial dalam tatanan keseharian. Konflik dapat berperan sebagai
pemicu proses pada penciptaan keseimbangan sosial.1 Konflik sendiri merupakan
hasil dari hubungan sosial yang menyebabkan konflik tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan bermasyarakat.2 Konflik secara etimologi berasal dari bahasa
inggris yaitu conflict, dari bahasa latin berasal dari configure yang berarti saling
mengejutkan atau konflik terjadi karena ada pihak-pihak yang saling mengejutkan
dengan kata lain kekerasan.3
George Simmel berpendapat, Konflik merupakan bentuk interaksi di mana
tempat, waktu serta intensitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan.4
Senada dengan Simmel, Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat,
konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang terjadi akibat adanya
ketegangan antara satu pihak dengan pihak yang lain.5 Menurut Simon Fisher,
1 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Terj. Robert M.Z.Lawang,
(Jakarta: Gramedia Pustaka,1990), h. 52. 2 Maswadi rauf, Konsensus Politik (sebuah penjajagan teori), (T.tp.: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,2000), h. 2. 3Dewi Fortuna, dkk, Konflik Kekerasan Internal, (Jakarta: Yayasan Obor, MOST-
LIPI,LASEMA-CNRS,KITLV,2000), h. 396.. 4 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, cetakan keempat, tahun 2000, Terj.
Yasogama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000), h. 107. 5 Puslitbang Kehidupan Beragama DEPAG RI,Konflik Sosial bernuansa agama di
Indonesia, (Jakarta: DEPAG RI BALITBANG dan DIKLAT Keagaman PUSLITBANG
Kehidupan Beragama bagian proyek peningkatan kerukunan hidup umat bergama,2003), h. 27.
15
konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)
yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.6
Maswadi Rauf berpendapat konflik adalah setiap pertentangan atau
perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok7. Berdasarkan
penjelasan Maswadi Rauf dapat diartikan konflik tersebut merupakan konflik non-
fisik tetapi apabila konflik non-fisik tersebut tidak mencapai kesepakatan damai
maka bisa jadi akan bertranformasi kepada konflik fisik diamana adanya benda-
benda fisik yang hadir didalam setiap perbedaan atau pertentangan pendapat
tersebut.
Louis R. Pondy merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys Model of
Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang melalui lima fase
secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt Conflict, Manifest
Conflict, dan Conflict Aftermath.8
Tahap I konflik yang terpendam (Laten). Konflik ini merupakan awal dari
konflik yang bisa terjadi dalam interaksi individual ataupun kelompok dalam
organisasi, oleh karena set up organisasi dan perbedaan konsepsi, namun masih
dibawah permukaan. Konflik ini berpotensi sewaktu-waktu muncul kepermukaan.
Konflik laten bersifat mengejutkan, karena datang tiba-tiba dan biasanya sangat
berdampak. Konflik laten ini berlaku seperti api dalam sekam, tak tampak adanya
dipermukaan, tetapi sangat bermasalah secara tersembunyi didalam. Gejalanya
sulit dideteksi karena bersifat tertutup, justru konflik laten sangat berbahaya.
Sama halnya sebuah kekuatan yang disimpan, tentu akan menjadi semakin kuat
6 Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik keterampilan dan strategi untuk bertindak, Terj.
S.N Kartikasari, dkk, (Jakarta: The British Council Indonesia, 2001), h. 4. 7 Maswadi Rauf, Konsensus Politik (sebuah penjajagan teori), (T.tp.: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,2000), h. 2. 8 Jakiatin Nisa,”Resolusi Konflik Dalam Perspektif Kounikasi,” Salam Jurnal Sosial dan
Budaya Syar’i. Vol. II No. 1 Juni 2015. ISSN: 2356-1459 - 153, h. 22
16
dan berdaya tinggi bila sewaktu-waktu meledak. Bahaya laten yang tidak
terdeteksi dan bisa ditengarai akan menjadi konflik laten yang merusak. Dalam
masyarakat yang tertindas misalnya, ketertundukan yang bukan karena kepatuhan
dapat menjadi bahaya laten yang terbalik menyerang pada waktunya. Bentuk-
bentuk dasar dari situasi ini seperti: Saling ketergantungan kerja, perbedaan tujuan
dan prioritas, faktor birokrasi, perbedaan status, dan sumber daya yang terbatas.
Tahap II konflik yang terpersepsi. Fase ini dimulai ketika para aktor yang
terlibat mulai mengkonsepsi situasi-situasi konflik termasuk cara mereka
memandang, menentukan pentingnya isu-isu, membuat asumsi-asumsi terhadap
motif-motif dan posisi kelompok lawan.
Tahap III konflik yang terasa. Fase ini dimulai ketika para individu atau
kelompok yang terlibat menyadari konflik dan merasakan pengalaman-
pengalaman yang bersifat emosi, seperti kemarahan, frustrasi, ketakutan, dan
kegelisahan yang melukai perasaan.
Tahap IV konflik yang termanifestasi. Pada fase ini salah satu pihak
memutuskan bereaksi menghadapi kelompok dan sama-sama mencoba saling
menyakiti dan menggagalkan tujuan lawan. Misalnya agresi terbuka, demonstrasi,
sabotase, pemecatan, pemogokan dan sebagainya.
Tahap V konflik sesudah penyelesaian. Fase ini adalah fase sesudah konflik
diolah. Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik hasilnya berpengaruh baik
pada organisasi (fungsional) atau sebaliknya (disfungsional). 9
9 Jakiatin Nisa,”Resolusi Konflik Dalam Perspektif Kounikasi,” Salam Jurnal Sosial dan
Budaya Syar’i. Vol. II No. 1 Juni 2015. ISSN: 2356-1459 - 163, h. 23.
17
Pada penjelasan berikutnya penulis akan memakai pendekatan konflik
bernuansa agama karena dengan memakai pendekatan tersebut konflik yang
terjadi di Aceh Singkil lebih dapat dipahami berdasarkan ketegori konfliknya.
Konflik keagamaan adalah suatu situasi individu atau kelompok yang terlibat
dalam pertentangan dalam wilayah agama yang dapat memberikan dampak
kekerasan atau bahkan damai. Sumber konflik tersebut meliputi pendirian rumah
ibadat, perkawinan antar agama, perayaan hari besar, penodaan agama, atau
kegiatan aliran sempalan. 10
Konflik keagaman merupakan perseteruan menyangkut nilai, klaim, dan
identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam
slogan atau ungkapan keagamaan.11
Konflik tempat ibadat bisa berbentuk
serangan bilateral yaitu adanya dua kelompok yang terlibat didalam konflik
tersebut, serangan unilateral hal ini terjadi ketika kelompok mulai bergerak dan
menyerang kelompok lain, kerusuhan terbuka yang meluas hingga melibatkan
seluruh kota dan banyak pihak. Konflik tersebut dapat terjadi antara kelompok
agama atau kelompok agama dan pemerintah, ketika konflik terbuka ini meletus
dan mulai mengarah kepada penyerangan sasarannya ialah perorangan atau
kelompok terhadap properti rumah ibadat milik orang ataupun sekelompok orang
tersebut.
Konflik sosial sendiri dapat terjadi ketika keempat elemen penting bertemu
dalam satu waktu keempat elemen tersebut yaitu konteks pendukung (facilitating
conflict), akar konflik (core of conflict), Sumbu (fuse factor), Pemicu (triggerung
10
Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah (Jakarta: Puslitbang kehidupan
keagamaan badan litbang dan diklat kementerian agama RI,2014), h. 17. 11
Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia
(Jakarta: PUSAD Paramadina, 2014), h. 12.
18
factors).12
Dalam konflik sosial bernuansa agama konteks pendukung bisa saja
berupa kompetisi perkembangan demografi keagamaan, urbanisasi, pola
pekerjaan, pola pemukiman. Akar konflik bisa berupa bentuk penderitaan sosial
yang tidak dapat ditolerir lagi dalam perebutan sumber-sumber daya. Sumbu ini
sudah berada didalam area atau diantara kedua kelompok yang berkonflik, akan
tetapi tidak akan bertranformasi menjadi konflik apabila tidak disulut atau
tersulut. Pemicu konflik diartikan sebagai momentum yang nantinya tempat
dimana semua faktor yang dijelaskan sebelumnya dapat bertemu dan
terakumulasikan menjadi sebuah konflik.
Akar permasalahan konflik di Aceh Singkil ialah pada proses implementasi
dari PERGUB Aceh No.25 tahun 2007 merupakan turunan dari PBM No.8 dan
No.9 tahun 2006 terbentur dengan regulasi sosial yang termanifestasi kedalam
kesepakatan tahun 2001. Hal tersebut menjadi pegangan kelompok Muslim dan
disatu sisi kelompok non-Muslim menilai ini sudah kurang relevan untuk
dijadikan acuan dalam pembangunan rumah ibadat.
Konflik pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil merupakan konflik
keagamaan karena didalam konflik tersebut turut terlibat dua poros kelompok
yakni antara kelompok Muslim dan non-Muslim. Bentuk penyerangan yang
termasuk kedalam konflik rumah ibadat dapat berupa intimidasi, penyitaan, penyegelan,
pembakaran, pembunuhan hingga pengeboman.13 Pernyataan ini akan penulis
gambarkan pada bab IV dalam pembahasan dinamika konflik untuk melihat
12
Moh. Soleh Isre, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: DEPAG RI
BALITBANG Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian proyek
peningkatan pengkajian kerukunan hidup umat beragama,2003), h. 5. 13
Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia,
(Jakarta: PUSAD Paramadina Magister perdamaian dan Resolusi Konflik, 2014), h. 13.
19
dimana dan bagaimana letak serta peran FKUB Aceh Singkil dalam menangani
konflik tersebut.
Syamsu rizal panggabean sendiri merumuskan beberapa model dalam
penanganan konflik tersebut. Ilustrasinya berasal dari penanganan konflik
keagamaan di Indonesia. Dari uraian tersebut akan tampak beberapa implikasi dari
masing-masing model.14
Berikut uraian ketiga pendekatan tersebut :
1. Penanganan Berbasis Kekuatan
Model penanganan ini terjadi saat pihak yang berkonflik mengerahkan daya
dan upaya yang ada untuk membela ataupun memenangkan kepentingan mereka.
Penggunaan ancaman, intimidasi, protes, dan kekerasan fisik terhadap lawan
adalah bagian dari pendekatan ini. Upaya lain adalah dengan membuat keputusan
secara sepihak, termasuk melalui pengambilan suara nantinya dapat memastikan
menangnya satu pihak karena jumlah mayoritas. Hal ini menyebabkan pengabaian
terhadap kepentingan orang lain atau musuh/lawan. Kepentingan ini seringkali
ditandai dengan adanya suasana mencekam, permusuhan yang akan menyulitkan
pihak-pihak yang berkonflik untuk mengambil jalur kompromi dan kerjasama
agar konflik tersebut selesai.
Penanganan bermodel ini dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, penanganan
titik tumpunya ada pada otoritas dan pemimpin yang kuat. Didunia modernpun
organisasi-organisasi masih banyak yang bertitik tumpu pada kepatuhan pimpinan
seperti militer, kelompok pemberontak, organisasi bisnis, dan lain-lain. Hal ini
bisa digunakan sebagai alat menangani atau mencegah konflik selama pihak-pihak
14
Syamsu Rizal Panggabean,”Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama:
Kekuatan,Hak,& Kepentingan,” artikel diakses pada 12 Januari 2016 dari http://crcs.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/2015/01/10_Samsu_Rizal_Panggabean_penganganan_konflik.pdf, h. 4.
20
yang berkonflik tunduk pada pimpinannya. Kedua, bentuk yang kedua tidak
bertolak dari ketundukan kepada pemimpin dan otoritas, tetapi pada pertukaran
dan kompetisi instrumental yang dimiliki pihak-pihak yang bertikai, khususnya
dalam konflik yang sifatnya horizontal.15
Instrumen ini bisa berbentuk apa saja
baik itu ancaman, imbalan, hukuman, intimidasi, stimatisasi. Bila dilihat dalam
konteks kekuasaan yang pastinya bervariasi pendekataan ini dapat membawa
pihak yang bertikai kepada pertarungan kekuasaan dan rangkaian aksi balas
dendam.
Di era Orde Baru sendiri pendekatan ini menjadi cara dominan untuk
menengahi (menangani) konflik. Orde Baru menggunakan kebijakan SARA yang
nanti akan diikuti dengan ancaman dan penggunaan represi, sensor ketat, dan
instrumen kekuatan dan kekuasaan yang lainnya. Tuntutan otoritas hanya
kepatuhan semata, konsultasi dianulir begitu saja. Bila kepatuhan dianggap tidak
terjadi maka kekerasan akan digunakan. Konflik antar agama, sektarian, lahan,
industri, demonstrasi dll didekati dengan cara yang sama: mengerahkan kekuatan
aparat militer dan polisi.
Kelemahan dari pendekatan kekuatan ialah bersifat win-lose pihak yang
menang karena kekuatannya dan yang kalah karena lebih lemah, pihak yang kalah
tidak rela dan puas dengan hasilnya.16
15
Syamsu Rizal Panggabean,”Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama:
Kekuatan,Hak,& Kepentingan,” artikel diakses pada 12 Januari 2016 dari http://crcs.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/2015/01/10_Samsu_Rizal_Panggabean_penganganan_konflik.pdf , h. 5. 16
Syamsu Rizal Panggabean,”Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama:
Kekuatan,Hak,& Kepentingan,” artikel diakses pada 12 Januari 2016 dari http://crcs.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/2015/01/10_Samsu_Rizal_Panggabean_penganganan_konflik.pdf , h. 4.
21
2. Penanganan Berbasis HAK
Penangan ini bertitik tumpu pada keunggulan hak salah satu pihak terhadap
pihak lain, hak ini ditopang dari berbagai sumber apakah itu dukungan, Undang-
Undang, peraturan, konvensi, kebijakan, kontrak, kebiasaan dan adat istiadat.
Untuk mendapat apa yang mereka perebutkan masing-masing akan menggunakan
hak mereka dengan mengangkat keunggulan hak mereka terhadap hak pihak
lainnya. Seringkali proses ini memakai jalur litigasi, pengadilan, arbitrase, dll .
kekuatan dari model ini ialah akan timbulnya prinsip-prinsip standar hak yang
diterapkan kepada pihak manapun hingga memiliki legitimasi dan sering
dipandang lebih obyektif.
Penggunaan dari pendekatan ini ditandai dengan ciri mencari dan mengadili
si pelanggar hak dengan kata lain penggunaan pendekatan ini sering mengacu
kepada siapa yang salah dan siapa yang benar. Pihak pelanggar bisa berasal dari
pihak yang berkonflik dalam konflik antar agama atau bahkan aparatnya sendiri
seperti polisi, militer, pemerintah yang dinilai gagal dalam melindungi hak
warganya terlebih warga atau pihak minoritas.
Pendekatan ini akan menghasilkan hasil yang sifatnya menang salah satu
pihak atau kalahnya pihak yang lainnya. Selain itu waktu yang cenderung panjang
karena proses pengadilan yang panjang dari pengadilan tingkat pertama bahkan
hingga masuk ke Mahkamah Agung. Model ini bisa menyebabkan konflik
mengalami peningkatan bukannya mereda dan menurun ketegangannya dan
mempersulit proses rekonsiliasi diantara pihak yang berkonflik.
22
Belum lagi proses penegakan hukum yang bisa saja dipengaruhi
sepertihalnya pada pendekatan kekuatan. Hampir seluruh tahapan proses sistem
peradilan pidana dapat dipengaruhi.
3. Penanganan Berbasis Kepentingan
Menurut John Burton, penanganan berbasis kepentingan ini juga disebut
pendekatan pemecahan masalah berbasis kebutuhan (needs).17
Pendekatan ini
memberi alternatif penyelesaian konflik, alternatif disini maksudnya alternatif dari
penggunaan model pendekatan pertama (berbasis kekuatan ) dan model
pendekatan kedua (berbasis hak). Pendekatan ini ditandai dengan beberapa ciri.
Pertama, ada Usaha merukunkan pihak yang bertikai dan nantinya bisa memenuhi
kepentingan mereka, seperti keinginan, kebutuhan, harapan, dan kekuatiran
mereka. Proses ini juga dinilai lebih murah ketimbang harus memakai pendekatan
berbasis kekuatan yang akan menelan biaya belum lagi penggunaan kekerasan
akan menimbulkan kerusakan dan dan kerugian baik itu korban harta maupun
jiwa. Proses yang akan digunakan pada pendekatan ini lebih mengacu pada proses
negosiasi, mediasi, pemecahan masalah bersama, curah pendapat, dialog, dan lain-
lain.
Kelebihan pendekatan ini Pihak-Pihak yang berkonflik akan bekerja sama
dalam mencari jalan keluar bagi konfliknya, tidak konfrontatif (tidak ada yang
menang dan kalah) melainkan win-win. Pihak-pihak yang bertikai menciptakan
jalan keluarnya sendiri tidak ada paksaan dari pemerintah atau non-pemerintah.
Fokus dari pendekatan ini ialah memecahkan masalah bukan menghukum,
17
Syamsu Rizal Panggabean,”Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama:
Kekuatan,Hak,& Kepentingan,” artikel diakses pada 12 Januari 2016 dari http://crcs.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/2015/01/10_Samsu_Rizal_Panggabean_penganganan_konflik.pdf, h. 10.
23
menyalahkan dan mendominasi siapapun, karena proses yang kolaboratif, tidak
ada konfrontasi dan tidak ada dominasi hubungan pihak yang bertikai tidak rusak
dan rekonsiliasi akan dipermudah oleh keadaan tersebut. Pada akhirnya karena
yang dicapai ialah kesepakatan bersama antar pihak yang berkonflik maka
kesepakatan tersebut lebih bertahan .
Kelebihan dari pendekatan ini ialah bagaimana memperlakukan pihak lain
setara tidak ada yang mengalah tapi tidak juga bermusuhan. Beberapa kemampuan
yang terkait dengan pendekatan ini adalah: empati, memahami dan menghargai
kepentingan orang lain, melindungi pihak yang lebih lemah, dapat mengurus diri
sendiri dan bersedia memberikan balasan dan imbalan kepada pihak yang
menolong mereka.18
Keinginan untuk mencapai kepentingan diri sendiri akan tetapi tidak dengan
menafikkan kepentingan orang lain, kesediaan untuk memenuhi kepentingan
orang lain maka orang lain akan memenuhi kepentingan kita pula. Suasana Trust,
saling bahu membahu ini akan meningkatkan modal sosial dan keadaban
masyarakat madani.
Mekanisme yang ditempuh ialah dialog, dan perundingan, mekanisme ini
memungkinkan pihak-pihak bisa saling tatap muka memberi pengertian akan
perbedaan yang mencuat dan juga menimbulkan rasa saling mengakomodasi
bukan saling adu kekuatan dan terjadinya dominasi disegala lini.
Studi negosiasi menjelaskan tidak semua konflik sosial berlatarbelakang
agama bisa dirundingkan, berbicara masalah iman pasti tidak bisa dirundingkan.
18
Syamsu Rizal Panggabean,”Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama:
Kekuatan,Hak,& Kepentingan,” artikel diakses pada 12 Januari 2016 dari http://crcs.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/2015/01/10_Samsu_Rizal_Panggabean_penganganan_konflik.pdf , h. 12.
24
Tapi pihak ini bisa duduk dalam satu forum dan saling mengakomodasikan
kepentingan mereka karena memiliki kepentingan, perasaan, dan kebutuhan asasi.
Hal tersebut tidak bisa diraih dengan hasil akhir menang-kalah dimana ada pihak
yang menang dan ada yang akan menjadi pihak yang kalah yang menjadi hasil
dari penggunaan cara pendekatan kekuatan dan hak. Maka ada fase dimana untuk
mewadahi model penanganan konflik berbasis kepentingan adalah mediasi.
Menelaah tahapan penyelesaian konflik mediasi merupakan salah satu cara
yang dapat dipakai. Mediasi adalah suatu proses interaksi antara satu pihak-pihak
yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri.19
Dari segi terminologi (istilah) menurut Prof. Dr. Takdir Rahmadi, mediasi
merupakan suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki
kewenangan memutus.20
Para praktisi mediasi yang juga merupakan akademisi mediatorpun punya
peran aktif dan fungsi yang subtansial hingga menawarkan usulan penyelesaian
konflik pada pihak yang berseteru. Simkin merupakan seorang praktisi mediasi
yang berpendapat tidak ada perbedaan antara mediasi dan konsiliasi karena
mediator juga menjalankan peran aktif dan fungsi subtansial.21
Singkat kata
Simkin sendiri berpendapat definisi dari mediasi meliputi pula definisi konsiliasi.
19
Simon Fisher, Mengelola konflik:Keterampilan dan strategi untuk bertindak,
(Jakarta:SMK Grafika Desa Putra,2001), h. 96. 20
Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H ,LL.M, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui
Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 12. 21
Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H, LL.M, Mediasi Penyelesaian sengketa melalui
pendekatan mufakat..., h. 19.
25
Namun perbedaan mencolok hanya terlihat antara media dan arbitrase
dimana mediator tidak punya kewenangan untuk membuat suatu keputusan tapi
sebaliknya arbitrase mempunyai wewenang untuk membuat suatu keputusan.
Nantinya keputusan tersebut akan digunakan untuk menyelesaikan konflik yang
sedang terjadi. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa unsur unsur
essensial dari mediasi ialah:22
1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan
berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.
2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang
disebut mediator.
3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutuskan, tetapi hanya membantu para
pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para
pihak.
Berdasarkan penjelasan diatas dari ketiga pendekatan tersebut pendekatan
berbasis kepentingan merupakan pendekatan yang sangat ideal dalam
mewujudkan perdamaian di Aceh Singkil. Dalam dinamika yang akan penulis
jelaskan pada bab IV akan terlihat bagaimana cara penanganan konflik yang
terjadi di Aceh Singkil pada tahun 2015.
B. Teori Kebijakan Publik
B.1 Pengertian Kebijakan Publik
Konsekuensi dari membuminya istilah globalisasi ialah timbulnya berbagai
masalah dan isu-isu dikhalayak publik, timbul bahkan semakin rumitnya
permasalahan dan isu tersebut menyebabkan perlunya jawaban-jawaban atas
permasalahan yang menjadi persoalan publik, dimana jawaban-jawaban tersebut
pada akhirnya menjadi sebuah agenda publik dan diimplementasikan untuk
22
Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H, LL.M, Mediasi Penyelesaian sengketa melalui
pendekatan mufakat..., h. 13.
26
menghadapi bahkan menyelesaikan persoalan yang terjadi. Begitu pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa tak menutup kemungkinan
telah terjadi banyak revolusi berbagai konten dalam ilmu pengetahuan apapun itu
tak terkecuali studi tentang kebijakan publik pun pastinya telah mengalami hal
yang sama. “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjukkan perilaku
seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga
pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.23
Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu yang memberikan hambatan dan peluang terhadap kebijakan, untuk
mencapai suatu maksud tertentu.24
Hoogewerf berpendapat, bahwa kebijakan publik merupakan proses
membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan. David
Easton dalam bukunya The Political System berpendapat, kehidupan politik
mencakup bermacam-macam kegiatan yang memengaruhi kebijakan dari pihak
yang berwenang, yang diterima untuk suatu masyarakat, dan yang memengaruhi
cara untuk melaksanakan kebijakan itu.25
Kesediaan semua pihak untuk sedikit merendahkan tuntutannya dan
menerima bagian-bagian dari tuntutan pihak lain. Merupakan hambatan bagi
tercapainya konsensus apabila adanya sikap yang dianut secara fanatis, bila ini
23
Prof. Dr. Budi Winarno, MA, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Jakarta: PT Buku
Kita, 2007), h. 16. 24
Riant Nugroho, Public Policy, Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi dan
Kimia Kebijakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), h. 126. 25
Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka,2009),
h. 21
27
telah terjadi dan tidak bisa ditanggulangi bisa dipastikan musyawarah akan
berujung pada kebuntuan.
Kemampuan inilah yang menjadi bagian dari toleransi dan muncul sebagai
persyaratan penting dalam berdemokrasi, hambatan pula bagi berdirinya
demokrasi ialah ketika ada segelintir orang atau kelompok yang mengaku
pendapatnya paling benar dan meng-anulir pendapat kelompok lain.
Penjelasan di atas berkaitan dengan apa yang dikemukakan Anderson “a
purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a
problem or matter concern”,26
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok untuk memecahkan
suatu masalah. Konsep kebijakan sendiri bertitik tumpu pada apa yang dilakukan,
bukan apa yang diusulkan, dan nantinya membedakan kebijakan dari keputusan
yang merupakan pilihan alternatif.
Senada dengan Carl Friedrich menurut Anderson kebijakan merupakan arah
tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau
sekonsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa
yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan.27
Bagi Anderson konsep kebijakan publik ini mempunyai beberapa
implikasi, yaitu :
1. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang
terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat
didalam sistem politik.
2. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-
pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.
26
James E. Anderson, Public Policymaking, (New York: Cengage Learning, 2014), h. 7. 27
Prof. Dr. Budi Winarno, MA, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Jakarta: PT Buku
Kita,2007), h. 19.
28
3. Kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah untuk
menimbulkan suatu perubahan karena apabila tidak mengalami perubahan
bahwa hal ini bisa dikatakan nonregulasi. Karena kebijakan itu bukanlah
tentang apa yang diinginkan oleh pemerintah melainkan rakyat.
4. Kebijakan publik memiliki sisi positif dan negatif, sisi positifnya ialah seperti
bentuk tindakan pemerintahan yang jelas layaknya kebijakan yang dapat
mempengaruhi suatu masalah tertentu. sisi negatifnya ialah kebijakan bersifat
otoritatif dan memaksa dimana kebijakan public ini memaksa ketaatan
masyarakat luas dan ini yang membedakan kebijakan public dan kebijakan lain
seperti kebijakan organisasi.
Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami bila konsep ini
dirinci menjadi kebeberapa bentuk kategori :28
1. Tuntutan kebijakan (policy decisions).
Hal ini lebih kepada desakan yang dilakukan aktor swasta atau pemerintah yang
ditujukan untuk pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan itu
berupa desakan agar pejabat pemerintah mengambil atau tidak tindakan atas
suatu masalah.
2. Keputusan kebijakan publik (policy demands).
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang mengesahkan
atau memberi arah dan subtansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik.
3. Pernyataan kebijakan (policy statements).
Pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik.
4. Hasil kebijakan publik (policy outputs).
Hasil kebijakan lebih berpijak pada manifestasi nyata kebijakan public,
sedangkan dampak kebijakan public lebih kepada akibat-akibat bagi
masyarakat.
B.2 Tahap-Tahap Pembuatan Kebijakan Publik
Perlu pengkajian dan melibatkan variabel dalam menyelesaikan masalah,
tahap tersebut saling bergantung yang diatur berdasarkan urutan waktu. Ada
beberapa tahapan pembuatan kebijakan yakni:29
1. Tahap perumusan masalah.
2. Tahap formulasi kebijakan.
3. Tahap adopsi kebijakan.
4. Tahap implementasi kebijakan.
5. Tahap evaluasi kebijakan
28
Prof. Dr. Budi Winarno, MA, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Jakarta: PT Buku
Kita,2007), h. 21. 29
Prof. Dr. Budi Winarno, MA, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Jakarta: PT Buku
Kita,2007), h. 32.
29
B.3 Implementasi Kebijakan Publik
Suatu kebijakan dibuat bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja,
melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.30
Implementasi merupakan tahapan setelah ditetapkannya UU yang mana aktor-
aktornya menjalankan kebijakan tersebut untuk mencapai tujuannya.
Implementasi dapat diartikan sebagai suatu proses keputusan yang dituju agar
diterima oleh lembaga pemerintah dan bisa dijalankan.
Merilee S. Grindle berpendapat, tugas implementasi adalah membentuk
suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu,
tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system” di mana
sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada
tujuan-tujuan yang diinginkan.
Implementasi menurut Van Meter dan Van Horn adalah tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, tindakan-
tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah sebuah keputusan menjadi
tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu.31
B.3.a Model Implementasi Van Meter dan Van Horn
Implementasi Van Meter dan Van Horn, menawarkan model dasar yang
mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan
30
M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina
Aksara, 1988), h. 77. 31
Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus, (Yogyakarta: CAPS,
2014), h. 149
30
dan pencapaian (performance), sesungguhnya implementasi kebijakan sebagai
tindakan yang dilakukan individu atau kelompok pemerintah atau swasta untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.32
Model implementasi kebijakan publik, pada dasarnya dapat dibuat
pemilahan model-model implemantasi. Pemilahan pertama implementasi
kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah” (top-downer) yaitu kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah untuk
rakyat. Pemilah yang kedua implementasi kebijakan yang berpola dari “bawah ke
atas” (bottom-upper), yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tetapi rakyat
sendiri yang melaksanakannya.33
Dalam pandangan Van Meter dan Van Horn, memberikan harapan untuk
menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan
kebijakan dapat dilaksanakan, dibandingkan sekedar menghubungkan variabel
bebas dan variabel terikat dalam suatu cara yang semena-mena. Variabel yang
disediakan oleh Van Meter dan Van Horn ialah :
B.3.a.1 Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan
Indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam implementasi
kebijakan. Indikator kebijakan menilai sejauh mana ukuran dan tujuan kebijakan
telah direalisasikan. Ukuran dasar dan tujuan kebijakan yang akan dilaksanakan
harus diidentifikasi terlebih dahulu, karena implementasi dapat dikatakan gagal
32
Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus..., h. 149. 33
Riant Nugroho, Public Policy, Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi dan
Kimia Kebijakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), h. 678.
31
apabila tujuannya tidak dipertimbangkan dengan baik dan dapat dikatakan gagal
ketika para pelaksana tidak menyadari ukuran dasar dan tujuan kebijakan.34
B.3.a.2 Sumber-Sumber Kebijakan
Sumber-sumber kebijakan berpengaruh dalam keberhasilan implementasi,
tergantung dari bagaimana memanfaatnya sumber daya yang tersedia. Dalam
implementasi kebijakan sumber daya finansial sangat dibutuhkan, seperti dana
atau perangsang (incentive) agar mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif.35
B.3.a.3 Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran dan tujuan dipahami
oleh para individu, yang bertanggung jawab pencapaian tujuan, karena sangat
penting memberi perhatian untuk kejelasan tujuan kebijakan. Sehingga ketepatan
komunikasi dan konsistensi dari tujuan kebijakan yang dikomunikasikan dengan
adanya sumber informasi. Komunikasi dapat dikatakan sulit, apabila sumber
informasi yang berbeda memberikan interpretasi yang tidak konsisten, atau
sumber yang sama memberikan interpretasi yang bertentangan terhadap ukuran
dan tujuan kebijakan, para pelaksana akan kesulitan untuk melaksanakan tujuan
dari kebijakan yang ingin dicapai.36
Maka, implementasi membutuhkan mekanisme-mekanisme serta prosedur
lembaga, agar tercapainya tujuan secara efektif dan mendorong pembuat
keputusan untuk memerintahkan para pelaksana agar bertindak secara konsisten
34
Budi winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus..., h. 159. 35
Budi winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus..., h. 161. 36
Budi winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus..., h. 162.
32
dengan ukuran dan tujuan kebijakan. Semakin baiknya komunikasi, antara pihak-
pihak yang terlibat dari implementasi, akan semakin kecil kegagalan yang terjadi.
B.3.a.4 Karakteristik Badan-Badan Pelaksana
Dalam pembahasan karakteristik badan pelaksana, tidak lepas dari struktur
birokrasi, norma-norma dan pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi. Para
pelaksana dalam menjalankan tugas harus dilandasi dengan sikap disiplin dan
harus mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugasnya yang telah ditetapkan
sebelumnya, karena sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi yang ingin
dicapai.37
B.3.a.5 Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik
Kondisi ekonomi, sosial dan politik Van Meter dan Van Horn adalah
menilai sejauh mana lingkungan mendorong keberhasilan implementasi, apakah
sumber-sumber ekonomi dalam yuridiksi mendukung implemetasi secara efektif,
apakah elite mendukung implementasi kebijakan serta sejauh mana kelompok
kepentingan mendukung. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak
kondusif akan menimbulkan masalah dari kegagalan kinerja implementasi. Maka
lingkungan sosial, ekonomi dan politik harus kondusif.
B.3.a 6 Kecenderungan/Sikap Pelaksana (Implementors)
Sikap menerima atau menolak sangat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan dalam implementasi kebijakan, karena menyangkut permasalahan
yang dihadapi. Sikapnya dipengaruhi oleh kepentingan organisasi dan
kepentingan pribadi. Terdapat tiga unsur yang mempengaruhi kemampuan dan
37
Budi winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus..., h. 166.
33
keinginan untuk melaksanakan kebijakan, yaitu pemahaman terhadap kebijakan,
arah respon apakah penerimaan netral atau penolakan, dan intensitas terhadap
kebijakan. Para pelaksana harus memahami betul tujuan dari sebuah kebijakan.
Adanya kesadaran untuk menyadari sebuah kebijakan akan menentukan
keberhasilan implementasi. Kegagalan dalam implementasi dikarenakan adanya
ketidaktaatan dan ketidakpahaman para pelaksana terhadap tujuan dari sebuah
kebijakan. Sedangkan, penerimaan dan kepahaman dari para pelaksana secara
yang menyebar, memungkinkan keberhasilan implementasi, kerena mempunyai
kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan.38
Dapat dikatakan bahwa implementasi merupakan proses yang sulit, apabila
salah melangkah sedikit, akan mendapat kesulitan bahkan kegagalan dalam
implementasi kebijakan. Tanpa adanya implementasi tidak ada langkah yang
dilakukan bagi pelaksana kebijakan.
Dalam penelitian ini teori kebijakan publik dipakai untuk melihat sejauh
mana tingkat implementasi kebijakan publik diranah lembaga dan badan
pelaksana aparatur negara tak terkecuali FKUB sendiri apalagi dalam cakupan
penelitian ini konflik yang terjadi Di Kabupaten Aceh Singkil merupakan konflik
yang disebabkan oleh perizinian pendirian rumah ibadah yang tertuang didalam
PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 serta PERGUB Aceh No.25 tahun 2007.
Untuk melihat bagaiamana peran aparatur negara dalam menyikapi,
menangani, atau bahkan menjadi penyebab terjadinya pembiaran akan
38
Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus..., h. 168.
34
permasalahan gereja. Ada tiga pendekatan yang menjadi standar CRF (Center
Religious Freedom):39
1. Ada/tidaknya peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama
2. Apakah pemerintah memfavoritkan agama tertentu
3. Apakah terdapat dinamika atau konvensi sosial yang membatasi kebebasan
beragama
Tiga point di atas merupakan cara mudah untuk melihat bagaimana peran
negara ketika terlibat kedalam masalah rumah ibadat point satu dan dua
memasuki ranah regulasi negara dimana hadirnya PBM No.8 dan 9 tahun 2006
dan Pergub No.25 Tahun 2007, Kepolisian, FKUB, dan aparat lokal hingga ke
tingkat desa. Sedangkan point ketiga memasuki wilayah regulasi sosial dimana
munculnya unsur penolakan tekanan-tekanan sosial, baik dari tokoh agama,
warga sekitar, Ormas, seringkali negara tunduk pada tekanan sosial hal itulah
yang menyebabkan regulasi sosial ini menjadi penting ketika berbicara konflik.
Pendekatan kebijakan publik ini akan menggambarkan bagaimana peran
negara dalam menangani konflik sengketa rumah ibadat yang terjadi di Aceh
Singkil peran negara ini meliputi semua unsur seperti FKUB.
Melalui pendekatan ini pula peneliti ingin memperlihatkan adanya integrasi
regulasi sosial kedalam regulasi negara yang terjadi di Aceh Singkil hingga
implementasi kebijakan publik (regulasi negara) dapat dipengaruhi oleh regulasi
sosial. Inilah yang membedakan penelitian ini terhadap penelitian-penelitian
penyelesaian konflik bernuansa agama lainnya.
39
Ihsan Ali Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta:CRCS,2011), h. 25.
35
BAB III
PROFIL ACEH SINGKIL, SEJARAH MINORITAS KRISTEN, DAN
PROFIL FKUB KABUPATEN ACEH SINGKIL
A. Profil Kabupaten Aceh Singkil
A.1 Sejarah Terbentuknya Kabupaten Aceh Singkil
Seorang putra kelahiran Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh Selatan Alm.
Almelz yang merupakan anggota DPR RI periode tahun 1957 menyampaikan
kepada salah seorang wedana pertama wilayah Singkil yaitu A.Mufti AS dan
tokoh masyarakat Singkil Anhar Muhammad Hosen bahwa dengan aset yang
dimiliki Singkil, maka kewedanan Singkil sudah layak statusnya untuk dijadikan
sebuah kabupaten. Berkat pendapat dari Almelz tersebut mulailah masyarakat
Singkil mencetuskan pemekaran tersebut pada tanggal 21 Maret 1957. Alim
ulama, partai politik, dan ormas-ormas dalam pertemuan untuk pertama kali
sepakat membentuk Panitia Aksi Penentu Kabupaten Otonomi Singkil (PAPKOS)
yang dimotori Tengku M. Bakri sebagai ketua I.
Pada tahun 1964 digelarnya musyawarah wilayah Singkil kedua dibalai
Syekh Abdurrauf Singkil, pada saat itu pesertanya ialah para tokoh masyarakat
Singkil yang ada diwilayah Singkil atau yang menetap diluar Singkil seperti
Jakarta, Medan, Sibolga, Banda Aceh dalam musyawarah itu didapatlah beberapa
kesepakatan yaitu:
1. Perjuangan PAPKOS tahun 1957 dilanjutkan.
2. Membentuk dan mengutus delegasi untuk menghadap kembali Pemerintah
Propinsi Otonomi Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan.
36
3. Personil panitia tahun 1957 yang sudah tidak ada supaya diganti dengan yang
lain, hingga disepakatilah susunan PAPKOS yang baru tersebutlah nama
Alibasyah dan Kamaluddin masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris.1
Tahun 1967 digelar pertemuan untuk yang ketiga kalinya membahas hal
yang sama yakni tuntutan untuk menjadikan status Singkil menjadi kabupaten
yang otonom. Pertemuan ketiga ini diinisiasikan karena pergerakan panitia sempat
terhambat oleh adanya Gerakan 30 S-PKI akan tetapi setelah pertemuan yang
ketiga digagas panitia PAPKOS kembali berfungsi. Dalam pertemuan ketiga
tersebut dihadiri oleh peserta yang sama pada pertemuan yang kedua namun
ditambah dengan kehadiran Bupati dan MUSPIDA tingkat dua Kabupaten Aceh
Selatan.
Tahun 1968 delegasi mulai diutus menuju Banda Aceh mereka berusaha
mengaspirasikan ke DPRD Kab. Aceh Selatan, DPRD Prov D.I Aceh hingga
akhirnya delegasi diizinkan bertemu dengan Gubernur Muzakir Walad
diruangannya didampingi oleh Wakil Gubernur Marzuki Nyakman.
Atas usaha seluruh panitia tersebut akhirnya pemerintah menyetujui
peningkatan status daerah Singkil dari kewedanan menjadi perwakilan kabupaten,
dengan dikeluarkannya:2
1. Surat Keputusan DPRD-GR Kabupaten Aceh Selatan No.003/DPRD-GR/1968.
2. Surat Keputusan DPRD-GR Prov D.I Aceh No.20/DPRD-GR/1968 tanggal 6
Juni 1968.
3. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 04/DESES/1969
tanggal 1 Mei 1969.
1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh, Aceh Singkil Dalam Angka 2015 No.Katalog
BPS: 1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. (Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh
Singkil,2015), h..xxiii 2 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh, Aceh Singkil Dalam Angka 2015 No.Katalog
BPS: 1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. (Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh
Singkil,2015), h.xxiii
37
Sebagai kepala perwakilan pertama adalah bapak Ibrahim Abduh, namun
perjuangan terhambat oleh kebijakan Bupati Aceh Selatan Drs.Sukardi Is pada
saat itu telah berkuasa selama sebelas tahun. Bahkan setiap PNS yang terlibat
dengan PAPKOS akan dipecat apabila tidak bersedia menandatangi surat
penyataan untuk mengundurkan diri dari keanggotaan PAPKOS.
Bupati terus berganti dari Sukardi Is kepada Ridwansyah beralih kepada
Sayed Mudhlar Ahmad hingga Sari Subqi kesemuanya tidak mendukung
pemekaran Singkil menjadi kabupaten. Perjuangan masyarakat Singkil
menjadikan daerahnya menjadi kabupaten terwujud pada tahun 1999 dengan
dikeluarkannya U.U.No.14 tahun 1999 pada tanggal 20 April 1999 dengan resmi
Wilayah Singkil menjadi Kabupaten Aceh Singkil dan Makmursyah Putra, SH
dilantik di Jakarta pada tanggal 27 April 1999 oleh MENDAGRI sebagai bupati
pertama Kabupaten Aceh Singkil.
A.2 Kondisi Geografis
Letak Geografis Kabupaten Aceh Singkil berada pada posisi 2002
‟-2
027‟20”
Lintang Utara dan 97004‟-97
045‟00” Bujur Timur. Kabupaten Aceh Singkil
sendiri memiliki batas wilayah secara administrasi meliputi sebelah Utara
berbatasan dengan Kota Subulussalam, Sebelah Selatan berbatasan dengan
Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Sumatera Utara dan sebelah
barat berbatasan dengan Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan.3
Luas daerah mencapai 1.857,88 km2
wilayah seluas ini membuat pembagian
Kecamatan di Aceh Singkil pun dibutuhkan, Aceh Singkil terdiri dari 11
3 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh, Aceh Singkil Dalam Angka 2015 No.Katalog
BPS: 1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. (Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh
Singkil,2015), h.3
38
Kecamatan, 16 Mukim, dan 120 Desa. Aceh Singkil terbagi kepada dua wilayah
yaitu daratan dan kepulauan, Kabupaten Aceh Singkil memiliki luas wilayah yang
begitu luas sehingga jarak dari Ibukota Kabupaten ke Ibukota Kecamatan
bervariasi, kecamatan terjauh adalah Pulau Banyak berjarak 96 Mil dari ibukota
Aceh Singkil sedangkan kecamatan yang ada didaratan ialah Kecamatan Kota
Baharu yang berjarak 80km dari ibukota Kabupaten. Berikut luas wilayah
berdasarkan kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil :4
Tabel III.B.1
Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil
*) : Mil Laut Sumber: BPS Kabupaten Aceh Singki
4Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh, Aceh Singkil Dalam Angka 2015 No.Katalog BPS:
1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. (Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh
Singkil,2015), h.6.
No Kecamatan Luas (km2) Jarak ke Ibukota
Kabupaten (km)
1 Pulau Banyak 15,02 26*)
2 Pulau Banyak
Barat
278,63 96*)
3 Singkil 135,94 0
4 Singkil Utara 142,23 10
5 Kuala Baru 45,83 18
6 Simpang Kanan 289,96 49
7 Gunung Meriah 224,30 40
8 Danau Paris 206,04 83
9 Suro Baru 127,60 64
10 Singkohor 159,63 73
11 Kota Baharu 232,69 80
Aceh Singkil 1.857,88
39
A.3 Pemerintahan
Hasil PILKADA tahun 2012 di Aceh Singkil menetapkan bahwa H.
Safriadi, SH dan Dulmusrid menjadi pemenang dalam PILKADA tersebut masing
masing dari mereka menjadi Bupati dan Wakil Bupati periode 2012-2017. 5
Melalui adanya penyelenggaraan pemilihan legislatif tahun 2014 maka
muncul nama-nama baru hasil dari pemilihan tersebut yang menduduki kursi
DPRK Kabupaten Aceh Singkil periode 2014-2019 ada dua puluh lima anggota
DPRK yang terpilih saat itu diantaranya dua puluh dua orang laki-laki dan tiga
orang perempuan.
Menurut UU No. 14 Tahun 1999 Aceh Singkil telah sah menjadi kabupaten
yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan. Secara
administratif Kabupaten Aceh Singkil terdiri dari 11 Kecamatan dan 120 Desa
berikut pembagian jumlah desa berdasarkan kecamatan di Kabupaten Aceh
Singkil:
5 Diakses pada 26 Juni 2017dari http://aceh.tribunnews.com/2012/04/15/safriadidulmursid-
raih-3758-persen-suara
40
Tabel III.C.1
Jumlah Desa Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil
Sumber: BPS Kabupaten Aceh Singkil
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dalam menjalankan fungsinya sebagai
pelayan masyarakat dan pembangunan daerah membutuhkan faktor penunjang
yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS di Kabupaten Aceh Singkil sebagian
besar merupakan lulusan S1, D3, dan SMA hanya sebagian kecil yang merupakan
lulusan SD. Jumlah total pegawai negeri sipil di Aceh Singkil sebanyak 3.410
No Kecamatan Desa
1 Pulau Banyak 3
2 Pulau Banyak Barat 4
3 Singkil 16
4 Singkil Utara 7
5 Kuala Baru 4
6 Simpang Kanan 25
7 Gunung Meriah 25
8 Danau Paris 7
9 Suro 12
10 Singkohor 7
11 Kota Baharu 10
Aceh Singkil 120
41
jiwa yang terbagi keberbagai instansi baik itu disetiap kecamatan hingga instansi
kabupaten seperti badan, dinas, inspektorat yang ada didalam naungan Pemerintah
Kabupaten Aceh Singkil.
A.4 Kependudukan
Populasi jumlah penduduk Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2014
tercatat sebesar 112.161 jiwa, terdiri dari 56.589 jiwa laki-laki dan 55.572 jiwa
perempuan.6 Dengan persentasi penduduk terbanyak berada di Kecamatan
Gunung Meriah yaitu 29,88% sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk
terkecil yakni Kecamatan 2,12%. Pada tahun 2014 besarnya sex ratio Kabupaten
Aceh Singkil adalah sebesar 101,8 ini mengartikan jumlah penduduk laki-laki
1,8% lebih banyak ketimbang jumlah penduduk perempuan.
Kerapatan penduduk di Aceh Singkil sendiri sebanyak 60 jiwa/km2 dengan
kerapatan penduduk paling tinggi jumlahnya ada di Kecamatan Pulau Banyak 194
jiwa/km2 dan kecamatan yang terendah kerapatan penduduknya ada Di
Kecamatan Pulau Banyak Barat dengan angka 15 jiwa/km2.
A.5 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan gambaran aktivitas masyarakat dalam
mencapai kesejahteraan dan kelancaran perekonomian. Indikator ketenagakerjaan
ini dapat menjadi gambaran yang dapat menjelaskan aktivitas masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam mencapai kesejahteraan.
Jumlah penduduk yang berusia 15 tahun keatas pada tahun 2013 Di Aceh
Singkil sebanyak 67.576 jiwa dan yang termasuk dalam kategori angkatan kerja
6Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh, Aceh Singkil Dalam Angka 2015 No.Katalog BPS:
1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. (Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh
Singkil,2015), h. 47.
42
sebesar 39.921 jiwa. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 2013
sebesar 59,08% mengalami penurunan dibandingkan dengan TPAK tahun 2012.
Pada tahun 2013 TPAK penduduk laki-laki sebesar 82,60% dan TPAK
perempuan sebesar 35,24%. Menurunnya nilai TPAK Aceh Singkil menyebabkan
angka pengangguran meningkat.7
B. Sejarah Minoritas Kristen dan Pertemuan Islam-Kristen di Aceh
Singkil
Sangat sedikit literatur yang menuliskan sejarah Kristen di Aceh Singkil hal
tersebut menyulitkan penulis dalam mengembangkan pengetahuan tentang sejarah
pertemuan Kristen dan Islam di Aceh Singkil. Besar kemungkinan pada paruh
kedua abad ketujuh dibelakang pesisir pantai Sibolga Barat Laut Sumatera, sudah
ada beberapa gereja yang kemungkinan telah dibangun oleh Kristen Nestorian
dari Persia. Orang-orang kristen lain juga ditemukan di Aceh.8
Salah satu cara Agama Kristen menyebarkan pengaruhnya adalah melalui
misionaris dan gereja lokal yang dikembangkan Para misionaris, menyadari
bahwa untuk bisa berhasil mereka harus menjaga karakter komunal masyarakat
tradisional. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya aliran-aliran Kristen yang
berdasarkan suku tidak terkecuali di Aceh Singkil.
Agama Kristen pertama kali masuk kewilayah Aceh Singkil pada tahun
1930 melalui seorang penginjil berasal dari Salak Pakpak Bharat, bernama
7Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh, Aceh Singkil Dalam Angka 2015 No.Katalog BPS:
1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. (Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh
Singkil,2015), h. 49. 8 Van Klinken, Gerry 2010, Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa: Nasionalisme
Minoritas Kristen (terj). (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 9-10.
43
Evangelist I.W. Banuera.9 Pada tahun 1932 Evangelis berkerja sama dengan
perkebunan sawit Socfindo untuk membangun gereja di Aceh Singkil.
Dalam perkembangannya Aceh Singkil tidak bisa dilepaskan dari
masyarakat Pakpak Suak Boang. Orang Pakpak yang tinggal di Aceh Singkil
mayoritas memeluk agama Islam, tetapi juga ada yang memeluk agama Kristen
dan menjadi pengikut Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) hingga
saat ini. Mereka berasal dari marga yang sama yaitu Pakpak Silima Suak, hal
tersebut menyebabkan didalam satu keluarga di Aceh Singkil ada yang memeluk
agama Islam dan ada juga agama Kristen. Suatu hal yang lumrah apabila ada
dalam satu keluarga yang menjadi tokoh Islam ada juga yang menjadi tokoh
Kristen.10
Gereja di Aceh Singkil sendiri sudah ada sejak tahun 1930an gereja tertua
yang ada di Aceh Singkil ialah GKPPD Kuta Kerangan Gereja tersebut sudah
berdiri sejak tahun 1931. Seiring dengan berkembangnya zaman karena tuntutan
pemenuhan jemaat yang terus bertambah jumlahnya akibat perkawinan dan angka
natalitas yang juga meningkat. Hingga tahun 2015 tercatat ada 24 Gereja 19 di
antaranya tidak berizin dan 5 diantaranya merupakan hasil dari perjanjian tahun
2001.
Sarana peribadatan yang ada di Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2014
terdiri dari 144 unit Mesjid, dan Meunasah sebanyak 153 unit. Jumlah penduduk
bila dikategorikan kedalam kategori pemeluk agama ada pengklasifikasian
9 Halili, dkk., Kepemimpinan Tanpa Prakarsa Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012 (T.tp.: Pustaka Masyarakat Setara, t.t.), h. 156. 10
Wawancara dengan Pak Boas Tumangger (jemaat GKPPD Sanggar Beru) Pada tanggal
09 Mei 2017.
44
kembali akan adanya pemeluk Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan lainnya.
Banyaknya pemeluk Islam di Aceh Singkil ialah 115.377 jiwa, Kristen sebesar
14.447 jiwa, Katolik sebanyak 1.164 jiwa hindu ada 10 jiwa budha ada 9 jiwa .
lainnya ada 267 jiwa11
. Yang dimaksud dengan agama lainnya ini ialah paham
kepercayaan dari leluhur nenek moyang yaitu Permalim/Pambi. “iya
Pambi/Permalim itu semacam kepercayaannya pula itu dia dek ada tempat mereka
ibadatnya itu cuma kan kenak bongkar juga kemaren kan? ya gimanalah kita buat itukan?
agamanya ga diakuinya itu sama negara kita kan?”12
.
Sejak pertama kali agama Kristen masuk kewilayah Aceh Singkil tercatat
kehidupan antar beragama berjalan dengan damai. Relasi antara umat Islam dan
umat Kristenpun berjalan dengan amat baik. Integrasi budayapun terjadi disana,
kearifan lokal menunjukkan upaya membangun rasa senasib sepenanggungan
sudah dimulai semenjak nenek moyang dahulu. Adanya budaya makan bersama
dipasar tradisional saat datangnya hari raya idul fitri, perayaan tahun baru masehi,
ataupun perayaan hari natal.
Budaya tersebut sudah berkurang intensitasnya pasca tahun 1998 hingga
sekarang. Acara tersebut diadakan seperti musyawarah warga akan tetapi
makanan-makanan disuguhkan dan semua warga duduk berkeliling ditengah-
tengahnya duduk dan hadir tokoh masyarakat bahkan tokoh lintas agama, tokoh
tersebut akan dipersilahkan memberikan sambutan sebelum acara makan bersama
dimulai.
11
Data diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Aceh Singkil. 12
Wawancara dengan Pak Darianto (Tokoh masyarakat Desa Siatas) pada tanggal 06 Mei
2017.
45
Selain budaya makan bersama, ikatan kebersamaan di Aceh Singkil pun
terjalin lewat tingginya perasaan tenggang rasa hal ini juga terlihat ketika masing-
masing umat agama saling berkunjung dengan salah satu tetangganya yang akan
merayakan hari-hari besar agama, seperti umat Kristen akan berkunjung dengan
membawa beras hitam dan gula aren sebagai bahan membuat wajik karena wajik
merupakan suguhan wajib umat Islam di Aceh Singkil saat merayakan idul fitri.
Begitupun sebaliknya ketika umat Kristen akan mengadakan hari besar
tetangganya yang merupakan umat Islam akan mengunjungi dengan membawa
tepung dan minyak goreng sebagai bahan adonan kue kembang goyang, kue
kembang goyang adalah penganan wajib yang ada ketika umat Kristen Aceh
Singkil merayakan tahun baru masehi atau natalan. Begitulah bentuk tenggang
rasa yang sebenarnya sudah terjalin secara alamiah didalam kalangan masyarat
Aceh Singkil yang mempunyai perbedaan secara suku dan agama.
C. Profil Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil
Periode 2015-2017
G.1 Sejarah Terbentuknya FKUB
Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun, setiap orang bebas beribadat menurut agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan tersebut.13
Pemerintah
mempunyai kewajiban untuk melindungi apapun bentuk usaha penduduknya
melaksanakan ajaran dan ibadat para pemeluknya, selama hal tersebut tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak ada usaha menodai
agama, ataupun mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Agar pelaksaan
13
Lihat UUD tahun 1945, pasal 29.
46
ajaran agama tersebut dapat berjalan dengan rukun dan tertib pemerintahpun harus
melakukan bimbingan dan pelayanan.
Pembangunan nasional di bidang agama pemerintah tidak tinggal diam
untuk mengarahkan kebijakannya seperti peningkatan kualitas pelayanan,
pemahaman agama ataupun kehidupan beragama, dimulai dengan peningkatan
kerukunan dalam internal umat beragama atau bahkan kelingkup yang lebih besar
yakni antar umat beragama.
Pemerintah daerah memiliki kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang
perencanaan, pengalokasian, serta melindungi masyarakat, menjaga persatuan,
kesatuan dan kerukunan nasional bahkan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Selain itu pelaksaan tugas dan wewenang kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, tidak terkecuali kerukunan umat bergama yang merupakan bagian
penting dari kerukunan nasional.
Berdasarkan PBM No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 tentang pedoman
pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan
pendirian rumah ibadat. Dalam bab II yang termaktub dalam PBM tersebut telah
dijabarkan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Dalam pasal 8 membahas dari pembentukan FKUB, pasal 9 menjelaskan
tugas dari FKUB tingkat provinsi berlanjut ke pasal 10 pula menjelaskan tugas
dari FKUB tingkat kabupaten dan dalam pasal 11 menjelaskan tentang
47
keanggotaan FKUB tingkat provinsi ataupun kabupaten dan tugas dari dewan
penasehat FKUB.
G.2 Susunan dan Manajemen FKUB Kabupaten Aceh Singkil
Dalam PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 bab III pasal 10 yang mengatur tentang
keanggotaan FKUB, keanggotaan FKUB terdiri dari beberapa pemuka agama
yang merupakan perwakilan dari berbagai agama yang ada di Indonesia.
Di tingkat kabupaten anggota FKUB berjumlah 17 orang, susunan
kepengurusan FKUB Aceh Singkil masa bakti 2013-2017 telah dilantik karena
ketua FKUB Aceh Singkil masa bakti 2013-2017 meninggal dunia maka
dilakukan pergantian. Hasil forum musyawarah anggota menunjuk Drs. Ramlan
sebagai pengganti Alm. Pak Kasman Chaniago.14
Kepengurusan FKUB Aceh Singkil masa bakti 2013-2017 berdasarkan
surat keputusan Bupati Aceh Singkil No.43 tahun 2013 tentang pembentukan
forum kerukunan umat beragama Aceh Singkil masa bakti 2013-2017
mengesahkan Kasman Chaniago sebagai Ketua FKUB Kabupaten Aceh Singkil
masa bakti 2013-2017.
Berdasarkan keputusan Bupati Aceh Singkil Provinsi Aceh No.63 Tahun
2015 tentang perubahan kedua atas keputusan Bupati Aceh Singkil No. 43 tahun
2014 tentang pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Aceh
Singkil Masa Bakti 2013-2017 Ketua FKUB Aceh Singkil digantikan oleh Drs.
Ust. Ramlan yang menggantikan Ust.Kasman Chaniago yang telah meninggal
dunia.
14
Wawancara dengan Ust.Ramlan (Ketua FKUB Kabupaten Aceh Singkil)
48
Tetapi dalam perjalannya ditahun 2015 terjadi perombakan kembali di tubuh
fungsionaris FKUB Kabupaten Aceh Singkil karena alasan beberapa anggota
FKUB Aceh Singkil telah berpindah domisili.
“setelah kejadian itu memang ada pergantian kayak Pendeta (Pdt). Erde Berutu itu
pindah ke Kab. Pakpak jadi beliau digantikan sama Pdt.Yusman Banchin terus
ada lagi Domeniktus Padang dia pindah ke Kota Subulussalam beliau digantikan
oleh Budiman Berutu”. 15
Pada bab III pasal 11 PBM No.8 dan 9 tahun 2006 pun mencantumkan
keberadaan dari dewan penasehat FKUB, dewan penasehat FKUB terdiri dari
orang-orang yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota, begitupun halnya
dengan keberadaan dewan penasehat FKUB Aceh Singkil memiliki tugas
membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan
umat beragama dan dapat memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan PEMDA
serta instansi terkait diwilayah kerjanya.
Berdasarkan pasal 11 dalam bab III PBM No.8 dan 9 tahun 2006 dewan
penasehat FKUB tingkat Kota/Kabupaten akan diketuai oleh Wakil
Walikota/Wakil Bupati begitupun dewan penasehat FKUB Kab. Aceh Singkil
ditunjuk menjadi ketua Dewan Penasehat FKUB Kab.Aceh Singkil.
G.3 Acuan Kerja FKUB Kabupaten Aceh Singkil
PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 telah mengatur dari tugas kepala daerah
mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, tak heran di dalamnya pun
mengatur tentang tatacara pembentukan agen pelaksana dari penjaga kerukunan
kehidupan beragama di dalam masyarakat yaitu FKUB tidak hanya mengatur tata
15
Wawancara dengan Pak Mustafa (Wakil Sekretaris FKUB Aceh Singkil) pada tanggal 05
Mei 2017.
49
cara pembentukan kepersonaliaan FKUB, PBM tersebut juga memaparkan tugas
dari para fungsionaris tersebut dalam bekerja menjaga dan menjamin terciptanya
kerukunan kehidupan beragama ditengah-tengah masyarakat luas.
Aceh merupakan provinsi yang memiliki masyarakat hukum dan diberi
kewenangan khusus dalam mengatur diri sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip
NKRI serta UUD 1945 hal tersebut termaktub didalam UU No.11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, berdasarkan hal tersebut pemerintah aceh
mengeluarkan peraturan turunan dari PBM No.8 dan 9 tahun 2006 peraturan
tersebut ialah Peraturan Gubernur Aceh No.25 Tahun 2007.
Pergub tersebut digunakan oleh FKUB seluruh Aceh dalam melakukan
tugasnya didaerah masing-masing tak terkecuali FKUB Aceh Singkil. FKUB
Aceh Singkil dalam melakukan tugasnya berdasar pada Pergub Aceh No. 25
tahun 2007 yang merupakan turunan dari PBM No.8 dan 9 Tahun 2006.16
Pergub No. 25 tahun 2007 terdiri dari 6 bab yang lebih mengarah kepada
teknis pendirian rumah ibadat yang termaktub dalam Bab II yakni Syarat
Pendirian Rumah Ibadat, berikut bunyinya :17
BAB II
SYARAT PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Pasal 2
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan/gampong;
(2) Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat
beragama, tidak menganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mematuhi
peraturan perundang-undangan;
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah
kelurahan/gampong sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi,
16
Wawancara dengan Pak Mustafa (Wakil Sekretaris FKUB Aceh Singkil) pada 05 Mei
2017. 17
Lihat Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 25 Tahun 2007.
50
pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan
atau Kabupaten/Kota atau Provinsi;
Pasal 3
(1) Pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung;
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian
rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 150 (Seratus lima puluh) orang disahkan oleh pejabat setempat
sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (3);
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang
yang disahkan oleh Lurah/Geuchik setempat;
c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
dan
d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota;
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi
sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi bangunan rumah ibadat;
Pasal 4
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d
merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam
bentuk tertulis;
Pasal 5
(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh IMB rumah ibadat;
(2) Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
Pasal 6
Pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan kerena perubahan
rencana tata ruang wilayah;
Wewenang dan tugas dari FKUB Aceh Singkil jelas tertera dalam pasal 2
sedangkan pasal 3 dan pasal 4 merupakan bentuk penjelasan dari pasal 2, FKUB
hendak mengkaji terlebih dahulu permohonan pembangunan rumah ibadat yang
dilayangkan oleh setiap panitia pembangunan. Acuan dari proses pengkajian
tersebut jelas tertera pada pasal 3 dengan melampirkan nama (identitas) pengguna
aktif sebanyak 150 orang dan dukungan dari warga sekitar yang merupakan
masyarakat yang berbeda agama sebanyak 120 nama (identitas) aktif.
51
Pasal 4 menjelaskan bahwa FKUB pada nantinya akan mengeluarkan surat
rekomendasi secara tertulis yang ditujukan kepada pemohon apabila syarat
administrasi telah dipenuhi untuk selanjutnya menjadi syarat untuk mengurusi
IMBnya melalui instansi terkait.
52
BAB IV
DINAMIKA KONFLIK DAN PERAN FKUB MENANGANI KONFLIK
A. Dinamika Konflik
Konflik permasalahan sengketa rumah ibadat di Aceh Singkil telah dimulai
pada tahun 1979, di saat yang bersamaan hadir sebuah perjanjian yang
ditandatangani oleh ulama sebagai perwakilan Umat Islam dan para tokoh Agama
Kristen yang isinya bahwa pihak Umat Kristen sepakat untuk tidak mendirikan
atau merenovasi gereja sebelum mendapatkan izin dari pemerintah daerah tingkat
dua. Perjanjian tersebut tercetus pada tanggal 11 Juli 1979 di Lipat Kajang, tepat
tanggal 13 Oktober 1979 dengan ditandatanganinya sebuah ikrar bersama untuk
menjaga kerukunan serta mentaati perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.1
Dalam acara ikrar tersebut hadir sebelas pemuka agama Islam, dan sebelas
pemuka agama Kristen, serta disaksikan oleh unsur musyawarah pimpinan daerah
(Muspida) Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Dairi (Sumatera Utara),
Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) dan juga unsur musyawarah
pimpinan kecamatan (Muspika) Kecamatan Simpang Kanan.
Tanggal 11 Oktober 2001 kembali dicetuskan sebuah perjanjian setelah
adanya tragedi dibakarnya sebuah gereja di Kecamatan Suro, penyebabnya ialah
pembangunan gereja tanpa izin yang sudah melanggar janji yang disepakati
sebelumnya oleh para pemuka masing-masing agama. Perjanjian pada tahun 2001
tersebut difasilitasi oleh unsur Muspida dan Muspika serta menghasilkan
1 Tim UPTD PAI & Da‟i Dinas Syari‟at Islam Aceh, Catatan kronologis kejadian awal
kerusuhan antar umat beragama di Kabupaten Aceh Singkil mulai dari tahun 1979-2015 “36
Tahun” (Banda Aceh: UPTD PAI & Da‟i Dinas Syari‟at Islam Aceh,2015), h. 1.
53
kesepakatan yaitu hanya ada 01 Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD
Kuta Kerangan) dan 04 undung-undung yaitu : 2
1. GKPPD Biskang Kecamatan Danau Paris
2. GKPPD Gunung Meriah Kecamatan Gunung Meriah
3. GKPPD Keras Kecamatan Suro
4. GKPPD Lae Gecih Kecamatan Simpang Kanan
Tahun 2012 jumlah gereja di Aceh Singkil sudah mencapai dua puluh empat
unit dan tersebar ditujuh kecamatan, tanggal 30 April 2012 atas nama Forum
Umat Islam (FUI) Kabupaten Aceh Singkil melakukan aksi damai untuk
menyampaikan kepada pemerintah setempat tentang maraknya bangunan gereja
liar (ilegal).
Pemerintah setempat langsung merespon pada tanggal 01 Mei 2012, tim
penertiban yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh Singkil melakukan monitoring ke
lokasi dan setelah itu menyegel lima unit gereja. Rumah Ibadat non Muslim di
Aceh Singkil semakin bertambah, penambahan tersebut tidak berdasarkan izin
sesuai aturan yang ada sehingga timbul keresahan dikalangan kaum Muslim Aceh
Singkil.3 Tanggal 01 Mei - 08 Mei tahun 2012 ada dua puluh Gereja yang disegel
oleh tim penertiban yang diutus oleh Pemerintah Aceh Singkil.
Segala macam cara telah diupayakan oleh pihak pemeluk agama kristen
seperti meminta perlindungan pemerintah provinsi sampai pemerintah pusat.
Tercatat bahwa pihak pengurus GKPPD sempat melayangkan surat permohonan
2 Tim UPTD PAI & Da‟i Dinas Syari‟at Islam Aceh, Catatan kronologis kejadian awal
kerusuhan antar umat beragama di Kabupaten Aceh Singkil mulai dari tahun 1979-2015 “36
Tahun” (Banda Aceh: UPTD PAI & Da‟i Dinas Syari‟at Islam Aceh,2015), 1. 3 Cuplikan Wawancara Tim Program Inside Metro TV dengan Pak Razali AR (PJS Bupati
Aceh Singkil tahun 2012), Video diakses dari Youtube.com pada 12 Februari 2013.
54
kepada Bapak Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh perihal permohonan
perlindungan hukum terhadap penutupan Gereja di Kabupaten Aceh Singkil.
Pada periode ini Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan Jakarta sempat
mengirim surat kepada Bupati Aceh Singkil tentang peristiwa penyegelan Gereja
di Kabupaten Aceh Singkil, akan tetapi pemerintah setempat tetap berpegang pada
dasar hukumnya yakni UU No.44 Tahun 1999 tentang keistimewan Aceh yang
menetapkan istimewa dalam bidang agama, adat istiadat, pendidikan, dan ulama
ada pula UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengkafer UU
No.18 Tahun 2001 dengan UU tersebut maka Aceh bebas menjalankan hukum
Allah bagi seluruh rakyatnya dan tidak ada yang harus merasa sakit hati.4 Dari
semua gereja yang ada pada saat itu yang diakui hanya gereja-gereja yang
dihasilkan pada kesepakatan (regulasi sosial) tahun 2001.
Pada periode tahun 2012 ketika masalah sengketa rumah ibadat ini mencuat
kembali, telah terjadi penambahan akan keberadaan Gereja di Aceh Singkil
sedangkan didalam perjanjian tersebut dikatakan hanya ada 1 Gereja dan 4
Undung-undung (gereja kecil), hal tersebut yang membuat pihak muslim Aceh
Singkil merasa terusik sampai melakukan protes kepada pemerintah setempat.
Selama perkembangan hingga 2012 jumlah gereja sudah lebih dari 20 unit
hal tersebut disebabkan oleh jumlah umat kristen mengalami kenaikan dari tahun
ke tahunnya.5 Kenaikan jumlah umat kristen tersebut dikarena adanya angka
4 Catatan kronologis kejadian awal kerusuhan antar umat beragama Di Kabupaten Aceh
Singkil mulai dari tahun 1979-2015 “36 Tahun”.(Aceh: UPTD PAI & Da‟i Dinas Syari‟at Islam
Aceh,2015), h. 2. 5 Cuplikan Wawancara Tim Program Inside Metro TV dengan Veryanto Sitohang (Aktivis
LSM Aliansi SUMUT Bersatu “ASB”), Video diakses dari Youtube.com pada 12 Februari 2013.
55
kelahiran yang meningkat, sehingga kebutuhan akan tempat ibadat ikut meningkat
untuk menampung jemaat dimasing-masing gerejanya.
Penyegelan gereja ini turut disesalkan oleh umat kristen sendiri karena
menurut mereka niat baiknya untuk menyembah tuhan seperti dipersulit. Apabila
yang dikhawatirkan ialah proses kristenisasi ini sulit untuk ditangkap oleh akal
sehat, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) sendiri merupakan gereja
protestan yang ingin mempertahankan budaya Pakpak dan dalam setiap kegiatan
peribadatannya memakai bahasa Pakpak.6 Sulit untuk melakukan kristenisasi
kepada orang-orang yang tidak sama sekali memahami bahasa pakpak untuk bisa
menerima budaya pakpak itu sendiri. Dari periode penyegelan hingga memasuki
fase terjadi bentrokan tahun 2015 permasalahan penyegelan ini tidak ada
kejelasan bagaiamana kelanjutan setelah penyegelan tersebut dilangsungkan.7
A.1 Fase Menuju Tragedi 06-13 Oktober 2015
Kegaduhan pada tahun 2015 berawal dari aduan kepada pemerintah
setempat tentang adanya pembangunan rumah ibadah di wilayah Desa Silulusan
Sanggaberu yang disinyalir tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Anggota
FKUB dan dewan penasehat bereaksi cepat memonitoring langsung ke desa
tersebut ternyata benar di sana sedang berlangsung pembangunan tersebut.
FKUB menyurati bupati setempat perihal hasil monitoring yang dilakukan
bersama dewan penasehat FKUB ke Desa Silulusan Sanggaberu dengan
rekomendasi untuk menghentikan sementara pembangunan tersebut dan dapat
6 Cuplikan Wawancara Tim Program Inside Metro TV dengan Pdt. Erde Berutu (Pendeta
GKPPD Kuta Kerangan), Video diakses dari youtube.com pada 12 Februari 2013.. 7 Wawancara dengan Pak Mustafa (Wakil Sektretaris FKUB Aceh Singkil) pada tanggal 05
Mei 2017.
56
mengikuti aturan yang telah ada. Menyikapi rekomendasi tersebut Pemerintah
Aceh Singkil menyurati Camat Gunung Meriah untuk dapat menghentikan
pembangunan gereja tersebut sampai izinnya dikeluarkan.
Tanggal 27 Juli 2015 FKUB kembali mengadakan rapat koordinasi dengan
unsur pimpinan daerah setempat dalam rangka menyikapi aduan-aduan akan
maraknya pembangunan gereja. Pada rapat tersebut FKUB merekomendasikan
agar setiap Camat dapat menindaklanjuti aduan tersebut dan upaya-upaya dialog
sebisa mungkin dikedepankan, serta menghimbau kesemua pihak untuk mentaati
aturan yang telah ada.8
Tanggal 13 Agustus 2015 pengurus FKUB dan dewan penasehat kembali
melakukan monitoring ke Desa Silulusan Sanggaberu Kecamatan Gunung Meriah
untuk mengklarifikasi aduan tentang pembangunan rumah ibadat umat Kristiani
disana masih berlanjut. Temuan tim yang memonitoring tersebut benar bahwa
pembangunan rumah ibadat tersebut belum berhenti.
Pada hari Selasa tanggal 06 Oktober 2015 aksi damai menuntut Pemerintah
Aceh Sigkil untuk segera membongkar gereja dan undung-undung yang tidak
berizin di Aceh Singkil yang tertuang pada PERGUB Aceh No. 25 Tahun 2007
serta PBM No.8 dan 9 Tahun 2006 aksi damai tersebut dilakukan oleh massa yang
menamakan diri sebagai Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil.
Waktu yang diberikan oleh massa atas pemenuhan tuntutannya ialah satu
minggu untuk pembongkarannya terhitung mulai 06 Oktober 2015, apabila
tuntutan massa ini tidak diindahkan oleh pemerintah setempat maka massa akan
8 Laporan FKUB Aceh Singkil atas peristiwa 13 Oktober 2015 arsip FKUB Aceh Singkil
diperoleh pada tanggal 07 Mei 2017.
57
mengambil tindakan sendiri.9 Namun dari sisilain dapat dilihat persoalan tersebut
masih berpusat pada jumlah gereja yang ada di Aceh Singkil karena tidak sesuai
dengan regulasi sosial kesepakatan yang telah disepakati pada tahun 2001, karena
massa meminta pemerintah agar dapat membongkar seluruh gereja yang tidak
berizin.
FKUB pada saat itu bereaksi dengan melakukan rapat pada tanggal 08
Oktober 2015 di kantor bupati.10
Hasil dari rapat tersebut ialah FKUB
merekomendasikan kepada Pemerintah Aceh Singkil untuk dapat melakukan
penertiban terhadap gereja-gereja yang tidak berizin dan dapat meredam emosi
dari massa yang melakukan aksi pada tanggal 06 Oktober 2015.
Tanggal 08 Oktober beredar pesan gelap yang mengajak seluruh umat Islam
Aceh Singkil untuk dapat berkumpul pada hari Selasa tanggal 13 Oktober 2015
perihal akan adanya aksi dan pembongkaran seluruh gereja yang tidak memiliki
izin. Wakil Bupati Aceh Singkil menanggapi hal tersebut dengan mengkoordinir
rapat pada tanggal 10 Oktober dan menyepakati rekomendasi yang dilayangkan
oleh FKUB. Sepulang bupati dari luar daerah tanggal 12 Oktober barulah didalam
rapat yang dikoordinir oleh Bupati Aceh Singkil menghasilkan kesepakatan
bahwa akan ada 10 gereja yang tidak berizin yang akan ditertibkan dengan cara
dibongkar pada saat itu dan juga menentukan kesepuluh gereja mana saja yang
akan ditertibkan. Akan tetapi forum yang dihadiri oleh tujuh puluh satu orang
9 Wawancara dengan Pak Drs.Ramlan (Ketua FKUB Aceh Singkil) pada tanggal 05 Mei
2017. 10
Wawancara dengan Pak Mustafa (Wakil Sekretaris FKUB Aceh Singkil) pada tanggal 05
Mei 2017.
58
tersebut semuanya merupakan perwakilan muslim tidak ada keterwakilan dari
pihak Kristen.11
Penetapan kesepakatan tersebut berlandaskan pada pemetaan yang
dilakukan pada saat forum tersebut berlangsung, dengan pertimbangan 10 gereja
yang akan ditertibkan tersebut dapat dialihkan ke 14 gereja yang akan diberi
kesempatan mengurus administrasi perizinan untuk pelaksanaan peribadatan
sehari-harinya. Pemetaan ini dilakukan dibantu oleh Dandim Aceh Singkil.12
Ancaman dari massa aksi yang memberi batas waktu satu minggu mulai dari
tanggal 06 Oktober 2015 akan jatuh tempo pada tanggal 13 Oktober 2015
sedangkan rapat yang membuahkan hasil baru selesai dimusyawarahkan pada
tanggal 12 Oktober malam karena pembahasan yang alot. Dalam forum tanggal 12
Oktober tersebut tidak hadir perwakilan yang mengatas namakan diri dari massa
aksi tanggal 06 Oktober.13
Sedangkan dalam forum tersebut menghasilkan
keputusan bahwa eksekusi hasil perjanjian tanggal 12 Oktober tersebut akan
dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2015 dengan pertimbangan persiapan dana,
personil, peralatan penunjang, dan lainnya.
Rasa tidak percaya massa terhadap Pemerintah Aceh Singkil bisa dilihat
pada 12 Oktober malam sudah ada upaya dari pemerintah dan beberapa tokoh
agama maupun tokoh masyarakat akan tetapi massa tidak mau dipertemukan,
semua unsur ditolak untuk berdialog dengan massa, yang diterima hanyalah tokoh
agama dan tokoh masyarakat dengan catatan para tokoh ini bukanlah
11
Wawancara dengan Pak Ramlan (Ketua FKUB Kab.Aceh Singkil) pada tanggal 05 Mei
2017. 12
Wawancara dengan Pak Ramlan pada tanggal 05 Mei 2017. 13
Wawancara dengan Azwar Ramnur (Sekretaris FPI Aceh Singkil) pada tanggal 07 Mei
2017.
59
perpanjangan tangan dari Pemerintah Aceh Singkil. Beberapa tokoh bertemu
seperti pimpinan pondok pesanteren Babussalam, Ketua FPI Aceh Singkil, Ketua
Forum Umat Islam dan beberpa tokoh lain. Dalam pertemuan pada 12 Oktober
malam tersebut perwakilan massa tetap bersikukuh pada tuntutannya harus tetap
ada pembongkaran.
Pertemuan dengan para tokoh ini tidak menghasilkan sebuah hasil tentang
bagaimana jalan keluar untuk meredam massa aksi ditanggal 13 Oktober. Hal
tersebut memaksa Bupati, Dandim, dan Kapolres untuk bermalam di Mako
Koramil Lipat Kajang Atas.
Ditempat bersamaan bupati melalui ajudannya meminta Sekretaris FPI Aceh
Singkil saat itu Sdr. Azwar untuk dipertemukan dengan Ketua PPI Aceh Singkil
yakni Sdr. Suryadi dan rekannya Sdr. Musliman, saat pertemuan
terimplementasikan DANDIM berbicara dengan tegas. “pasukan saya sudah siap dua
mobil, kalo kalian bergerak kami hadang, perintah cuma satu kalo melawan kami
tembak”.14
Sdr. Suryadi pun mengubah pola aksinya yakni hanya aksi damai, pawai
dan do‟a bersama dimesjid setempat. Konsentrasi massa saat itu berada di Lipat
Kajang Atas dan tidak menyepakati bahwa aksi dirubah menjadi pawai dan do‟a
dimesjid, massa menolak hasil pertemuan tersebut dan situasi mulai tidak
terkendali.
Konsentrasi massa berada di Mesjid Almukhlisin, Lipat Kajang Atas,
Kecamatan Simpang Kanan.15
Massa berdatangan dari berbagai kampung yang
14
Petikan Wawancara dengan Pak Azwar), pada tanggal 07 Mei 2017. 15
Wawancara dengan Pak. Azwar, pada tanggal 07 Mei 2017.
60
ada di Kecamatan Simpang kanan adapun dari luar Kecamatan Simpang kanan
seperti Kecamatan Suro, Gunung Meriah, dan Singkil.
13 Oktober pagi massa mulai berdatangan ketitik konsentrasi Sdr. Suryadi
menyurati Kapolsek Lipat Kajang Atas atas arahan Danramil, menyatakan massa
takterkendali dan bukan lagi dibawah kendali Sdr. Suryadi. Pihak kepolisianpun
sudah mencoba upaya dialog akan tetapi massa tidak ada yang bisa diajak untuk
berdialog.
Tokoh agama manapun yang mencoba meredam tidak berhasil massa mulai
bergerak dan kendaraan terdepan disinyalir sebagai pemandu tidak diketahui
siapa yang memimpin.16
Arakan massa mengarah kearah Kuta Kerangan tetapi
sudah ada blokade dari aparat setempat, massa mengarah ke Kecamatan Gunung
Meriah saat itu massa sempat dihadang oleh beberapa tokoh Agama Islam untuk
coba ditenangkan, akan tetapi sebagian arakan massa telah terlebih dahulu
merangsek kedalam sebelum dihadang oleh tokoh-tokoh agama tersebut. Ketika
sebagian massa sudah berhenti oleh arahan tokoh agama terlihat dilangit sudah
mengepul asap putih dan ternyata Gereja HKI Gunung Meriah sudah dibakar oleh
massa didalam.
Tidak ada yang mampu berbuat apa-apa saat itu termasuk polisi yang
berjaga sekitar dua puluh lima orang.17
Polisi sudah berupaya menghentikan
upaya massa yang merangsek kedalam karena kalah jumlah massa tetap memaksa
masuk kearah Gereja HKI Gunung Meriah, kejadian tersebut disaksikan langsung
16
Wawancara dengan Pak. Azwar, pada tanggal 07 Mei 2017. 17
Wawancara dengan Bu Massa Berutu (Pengurus Gereja Huria Kristen Indoensia Gunung
Meriah) pada tanggal pada tanggal 08 Mei 2017.
61
oleh sebagian jemaat Gereja HKI Gunung Meriah yang kebetulan berkumpul
disudut halaman gereja setelah menjalankan ibadahnya tanpa ada perlawanan.
Setibanya massa didaerah Simpang Dangguran sebagian massapun ada
yang memaksa masuk kearah Dangguran ternyata pihak Kristen yang sudah siaga
memblokade jalan dengan tebangan pohon disepanjang jalan yang mengarah
kepermukiman dan gereja mereka, saat itulah terjadi penembakan yang
menewaskan Sdr. Syamsul yang tertembak tepat disebelah mata, pada saat itu
juga aparat Kepolisian dan TNI mengamankan setidaknya empat puluh tujuh
orang massa dari Islam.
A.2 Fase Pemulihan Keadaan 14 – 18 Oktober 2015
Jenderal. Polisi. Badrodin Haiti turun langsung meninjau lapangan yang
didampingi oleh Kapolda Aceh dan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda
(Pangdam IM) saat itu. Penyelesaian sementara dilimpahkan kepada Kapolda
Aceh dan Pangdam IM saat itu mereka sampai berdiam di Aceh Singkil kurang
lebih lima hari dalam proses penyelesaian konflik tersebut.
Kapolda Aceh dan Pangdam IM saat itu mengambil alih seutuhnya dalam
hal penyelesaian konflik tersebut. Dari segi SOP kepolisian Kapolres Aceh
Singkil tetap disalahkan karena telah gagal membaca dan mengamankan kondisi
saat itu konsekuensinya ialah KAPOLRES Aceh Singkil dicopot dari
jabatannya.18
Langkah pertama yang dilakukan oleh KAPOLDA Aceh dan PANGDAM
IM yakni mengerahkan pasukan untuk melakukan penyekatan wilayah agar tidak
18
Wawancara dengan Irjen.Pol.Purn. Husein Hamidi (mantan Kapolda Aceh), pada tanggal
26 Mei 1994
62
ada kejadian balasan untuk mengembalikan rasa aman masyarakat akibat dari
tragedi 13 Oktober tersebut.
Kapolda Aceh dan Pangdam IM di Aceh Singkil melakukan rapat
koordinasi dengan PEMDA Aceh Singkil dalam rapat tersebut FKUB
merekomendasikan untuk melepas empat puluh tujuh orang yang diamankan oleh
aparat serta menjemput kembali penduduk yang mengungsi ke Tapanuli Tengah,
hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan
kondisi aman di Kabupaten Aceh Singkil.
Kapolda Aceh dan Pangdam IM mengambil alih penuh proses meredam
konflik karena melihat Pemerintah Aceh Singkil sudah tidak mampu
menanggulangi konflik ini. Pada akhirnya disepakati kesepakatan yang dihasilkan
dari tanggal 12 Oktober dimana akan ada sepuluh Gereja yang akan ditertibkan
dengan cara dirobohkan dan empat belas diantaranya diberikan kesempatan untuk
mengurus administrasi perizinannya. Kapolda Aceh dan Pangdam IM saat itu
bertugas hanya sebagai fasilitator yang menjembatani komunikasi antar pihak-
pihak yang terlibat dalam konflik yaitu umat Muslim, Pemerintah Aceh Singkil,
umat Kristen.19
A.3 Fase Tampilnya Aparatur Kabupaten Aceh Singkil 19 Oktober 2015
Setelah kesepakatan tanggal 12 Oktober tersebut disepakati berdasarkan hak
otonom dari Kabupaten Aceh Singkil Kapolda Aceh dan Pangdam IM
menyerahkan perihal eksekusi hasil kesepakatan tersebut kepada Pemerintah
Kabupaten Aceh Singkil.
19
Wawancara dengan Irjen. Pol. Purn. Husein Hamidi, pada tanggal pada tanggal 26 Mei
2017.
63
Pihak ummat Kristen merasa dirugikan karena dari kesepakatan tanggal 12
Oktober 2017 itu gereja yang ditertibkan dengan cara dirobohkan tidak sesuai
dengan kebutuhan mereka. Ada 14 gereja yang diberi kesempatan untuk
mengurusi adminstrasi perizinannya akan tetapi dari empat belas tersebut hanya
sebelas gereja yang memenuhi syarat sesuai amanat Pergub Aceh No.25 tahun
2007 seperti GKPPD Siatas yang penggunanya mencapai dialihkan ke GKPPD
Guha, GKPPD Sanggar Beru dialihkan ke GKPPD situbuh-tubuh sedangkan
ketika proses pelengkapan administrasi yang dipandu oleh FKUB Kab. Aceh
Singkil GKPPD Situbuh-tubuh dan GKPPD Guha tidak memenuhi syarat kedua
Gereja ini tidak lulus ferifikasi data berdasarkan Pergub Aceh No. 25 tahun 2007
ini yang amat membuat pihak kristen kecewa terhadap pemerintah.20
Pihak gereja GKPPD Sanggaberu tetap mencoba mengurusi perihal
administrasi perijinan untuk memperoleh rekomendasi pembangunan rumah
ibadat. Ketika syarat sudah lengkap dan proposal diajukan FKUB Aceh Singkil
tidak bisa berbuat apa-apa mereka tetap mengarah kepada kesepakatan 12 Oktober
2015 bahwa nama GKPPD Sanggaberu tidak termasuk kedalam empat belas
gereja yang diberikan waktu untuk mengurusi administrasi perizinannya.21
Setelah disepakati kesepakatan tersebut barulah FKUB melakukan
sosialisasi tentang proses administrasi untuk mendapatkan rekomendasi dari
FKUB Aceh Singkil kepada panitia-panitia pembangunan gereja tersebut.
20
Wawancara dengan Pak Norim Berutu (Jemaat GKPPD Siatas ) pada tanggal 06 Mei
2017. 21
Wawancara dengan Pak Boas Tumangger (Jemaat GKPPD Sanggaberu) pada tanggal 09
Mei 2017.
64
FKUB Aceh Singkil turut merangkul seluruh elemen institusi yang ada
didalam Pemerintahan Aceh Singkil. Tak terkecuali dalam hal pembentukan tim
verifikasi data yang melibatkan aparatur sipil negara (ASN) dari BPS dan Dinas
Pencatatan Sipil Kab. Aceh Singkil.
A.4 Mediasi Konflik
Dalam Ilmu-Ilmu Sosial, dikenal dua pendekatan yang saling bertentangan
untuk memandang masyarakat. Kedua pendekatan ini meliputi struktural-
fungsional (konsensus) dan pendekatan struktural-konflik.22
Bila pendekatan
konsensus itu diartikan dengan masyarakat yang berbeda tetapi berhubungan
secara fungsional, berbeda halnya dengan pendekatan konflik dimana ada
masyarakat yang berbeda dan saling bertentangan.
Pada dasaranya konflik yang mengandung kekerasan terjadi pada
masyarakat yang belum memiliki konsensus, beginilah situasi di Aceh Singkil
Tahun 2015. Konsensus paska tragedi 2015 terkesan bersifat sementara hal ini
dapat dilihat hingga saat inipun masih ada salah satu pihak yang merasa seperti
tidak diakomodir kepentingannya.
Kapolda dan Pangdam IM saat itu melakukan tugasnya yaitu pemulihan
kondisi, melalui tiga pendekatan yang dipaparkan oleh Syamsu rizal panggabean
maka dapat diartikan bahwa dalam menangani konflik pendekatan kekuatan yang
digunakan karena aparat militer dengan otoritasnya sebagai aparat negara lebih
leluasa melakukan tekanan-tekanan kepada pihak manapun tanpa harus melihat
kepentingan semua pihak. Untuk meredam konflik dalam jangka waktu pendek
pendekatan berbasis kekuatan ini memang ampuh, tapi mengingat kelemahan-
22
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik , 8th ed. (Jakarta: PT Grasindo,2010), h. 190.
65
kelemahan yang akan berdampak dari pengaplikasian pendekatan tersebut
hendaknya ini menjadi acuan bersama untuk menyelesaikan permasalahan ini tak
terkecuali FKUB Aceh Singkil.
Pihak Kristen masih terus menyayangkan tindakan Pemerintah Aceh Singkil
yang melakukan penertiban beberapa gereja mereka dengan cara pembongkaran,
menurut mereka ada beberapa gereja yang dipaksakan untuk masuk kedalam
daftar nama gereja yang dibongkar seperti GKPPD Sanggar Beru dan GKPPD
Siatas. sedangkan jemaat GKPPD Sanggar beru dan GKPPD Siatas masing-
masing akan dialihkan ke GKPPD Situbuh-tubuh dan GKPPD Guha.23
Yang lebih disayangkan lagi ialah ketika proses pelengkapan administrasi
sebagai syarat untuk memperoleh rekomendasi dari FKUB dan memperoleh IMB
ternyata GKPPD Situbuh-tubuh dan GKPPD Guha tidak memenuhi syarat
berdasarkan Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007.
Hingga tahun 2017 GKPPD Siatas dan GKPPD Sangga Beru tidak ada
kejelasan dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka dalam beribadat, dan
dimulai dari proses pembongkaran tersebut kedua gereja ini hanya mengandalkan
tanah kebun milik warga disana mereka bahu-membahu membangun tenda yang
sekilas memang tidak layak untuk dikatakan sebagai rumah ibadat.
Kapolda Aceh dan Pangdam IM saat itu ditugaskan oleh pemerintah pusat
melalui KAPOLRI untuk mengembalikan kekondusifan situasi Aceh Singkil
paska tragedi 13 Oktober 2015. Kapolda Aceh dan Pangdam IM hanya
mengaplikasikan kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah Aceh Singkil tanggal
23
Wawancara dengan Pak Budiman Berutu (Anggota FKUB perwakilan dari Protestan)
pada tanggal 09 Mei 2017.
66
12 Oktober 2015, penjelasan carut marut perjanjian tersebut akan penulis jelaskan
pada bagian selanjutnya. Sedangkan untuk perihal eksekusi dan peremasalah
teknis Kapolda Aceh dan Pangdam IM menyerahkan kembali kepada Pemerintah
Aceh Singkil. Kapolda Aceh dan Pangdam IM hanya menekan kelompok Islam
untuk menghentikan tekanan-tekanan dan meredam kelompok Kristen untuk
sedikit menurunkan tensinya agar kekondusifan di Aceh Singkil kembali tercipta.
Pemaparan dinamika konflik bermaksud agar terlihat secara gamblang
dimana letak FKUB Aceh Singkil ketika konflik telah termanifestasi dan pada
saat proses penyelesaiaan, pemaparan dinamika konflik diatas merupakan bentuk
penjelasan dari model yang ditawarkan oleh Louis R. Pondy kemudian dikenal
dengan “Pondys Model of Organizational Conflict”24
conflict yang berkembang
melalui beberapa fase.
Fase laten dapat tergambarkan pada fase setelah kejadian tahun 2012 yakni
dengan adanya penyegelan terhadap gereja yang dilakukan oleh pemerintah
setempat dan tidak ada upaya tindak lanjut, menyebabkan kasus tersebut tidak
berujung, hingga pada waktunya memasuki fase persiapan konflik ditahun 2015
konflik dengan permasalahan yang sama yakni masalah perijinan pendirian
rumah ibadat kembali terkonsepsi hal ini dapat dilihat dengan upaya
memobilisasi masa oleh salah satu kelompok. Aktor konflik mulai mengkonsepsi
keadaan mengadakan propaganda tentang rumah ibadat (gereja) ilegal.
24
Jakiatin Nisa,”Resolusi Konflik Dalam Perspektif Kounikasi,” Salam Jurnal Sosial dan
Budaya Syar’i. Vol. II No. 1 Juni 2015. ISSN: 2356-1459 - 663, h.22.
67
Fase tersebut berlanjut kepada arah konflik mulai termanifestasi hal ini
dapat dilihat dengan adanya, penggerakan massa hingga kelompok dari terjadinya
demosntrasi hingga berujung pembakaran gereja pada Oktober 2015.
Pada proses penyelesaiaan konflik tersebut, masih menggunakan
pendekatan kekuatan dimana ketaatan pada otoritas tertinggi masih dipakai dan
pengambilan keputusan secara sepihak, dalam proses penyelesaiaan tersebut
kehadiran militer dan aparat keamanan negara (TNI dan POLRI). Setelah
kehadiran militer dan aparat keamanan tersebut situasi kembali kondusif baru
setelah itu segala penyelesaiaan diserahkan dan diambil alih kembali oleh
pemerintah setempat beserta FKUB Aceh Singkil.
B. Peran FKUB Aceh Singkil
B.1 Implementasi Kebijakan Pendirian Rumah Ibadat di Aceh Singkil
Pengaturan pendirian rumah ibadat bukanlah intervensi negara atau
pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat pengadministrasian semata.25
Kelengkapan administrasi inipun bukan yang tertera didalam PBM saja, akan
tetapi masalah teknis harusnya menjadi syarat-syarat bagi pembangunan rumah
ibadat.
Keseriusan pemerintah pusat dalam mengupayakan terciptanya kerukunan
nasional memang bisa dilihat dari penerapan PBM No.8 dan 9 Tahun 2006 itu
sendiri. Seiring dengan diberlakukan PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 banyak
muncul ketidaksamaan pemahaman dalam membaca dan menafsirkan PBM.26
Hal
25
Tim puslitbang KEMENAG R.I, Kasus-Kasus Aktual Hubungan Antar Umat Beragama
di IndonesiaI (Jakarta: Puslitbang kehidupa keagaamaan balitbang kemenang R.I,2015), h. 4. 26
BALITBANG dan Diklat DEPAG R.I, Buku tanya jawab Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri NO.9 tahun 2006 No.8 tahun 2006 tentang pedoman
pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
68
ini dinilai berbahaya dalam proses implementasi kebijakan apabila tidak terjadi
ketidaksamaan pemahaman yang akan mempengaruhi proses pelaksaan pada
setiap lembaga yang bertindak sebagai pelaksana.
Dalam cakupan konflik yang terjadi di Aceh Singkil sebenarnya
pemahaman meliputi ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan,
komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana, karakteristik badan
pelaksana sesua dengan pendekatan implementasi kebijakan publik model Van
Meter dan Van Horn sudah teraplikasikan dengan baik. Karena memang didalam
tubuh keorganisasian (kepersonaliaan) FKUB Aceh Singkil kebanyakan adalah
mantan-mantan praktisi birokrasi yang memang memahami seluk beluk birokrasi
negara.27
Pemahaman FKUB Aceh Singkil terhadap pergub aceh tersebut dapat
terlihat dari rekomendasi dan proses pengeluaran rekomendasi tersebut
dikeluarkan. Setidaknya ada sebelas rekomendasi rumah ibadat yang dikeluarkan
FKUB Aceh Singkil28
. Dikeluarkannya rekomendasi tersebut berdasarkan amanah
pergub aceh no. 25 tahun 2007.
Komunikasi yang terjalin antar institusipun dirasa sangat baik seperti saat
proses verifikasi data pelengkapan administrasi keempat belas gereja yang diberi
kesempatan untuk mengurusi izinnya, FKUB Aceh Singkil berinisiatif mengajak
seluruh elemen Pemerintah Aceh Singkil untuk bersmusyawarah dan
beragama pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat (Jakarta:
T.pn, 2007), h. Vi
27
Wawancara dengan Pak Azman, SH (Sekretaris KESBANGPOL LINMAS Kab. Aceh
Singkil), pada tanggal 07 Mei 2017. 28
Wawancara dengan Pak Salihin, MA ( KEMENAG Kab. Aceh Singkil), pada tanggal 08
Januari 2018.
69
menghasilkan sebuah kesepakatan dengan dibentuknya tim khusus investigasi
data yang diperbantukan dari BPS dan Dinas Pencatatan Sipil Kab. Aceh Singkil.
FKUB Aceh Singkil amat terbantu dengan adanya dewan penasehat FKUB yang
ikut serta membantu FKUB Aceh Singkil dalam menjaga komunikasi yang baik
dengan Kepala Daerah dan seluruh elemen Pemerintahan Aceh Singkil.29
Sumber-sumber kebijakan FKUB Kab. Aceh Singkil sendiri masih sangat
minim dalam hal pemenuhan fasilitas penunjang kerja. Hal tersebut bila dilihat
dari pendekatan implementasi kebijakan publik juga akan berpengaruh kepada
kinerja FKUB Aceh Singkil. Akan tetapi dalam keterbatasan itu FKUB telah
berupaya menjalankan amanat dari PBM No.8 dan 9 tahun 2007 serta Pergub
Aceh No.25 tahun 2007. Begitupun kegiatan-kegiatan penunjang untuk menjamin
kerukunan kehidupan beragama.
Berdasarkan pendekatan kecenderungan pelaksana (Implementors) FKUB
Kab. Aceh Singkil di satu sisi sudah bertindak sangat sportif dengan tidak
menghiraukan tekanan-tekanan dari kelompok penekan yang mayoritas berasal
dari kelompok Islam bahkan dari beberapa anggota FKUB yang mewakili Agama
Islam yang masih mempermasalahkan ketika sebelas rekomendasi30
pendirian
Gereja hendak dikeluarkan. Ini bentuk ketegasan Ketua FKUB Aceh Singkil yang
menitik beratkan pengeluaran rekomendasi yang ada tersebut sudah tidak bisa
29
Wawancara dengan Pak Ramlan (Ketua FKUB Aceh Singkil) pada tanggal 05 Mei 2017. 30
Dalam kesepakatan 12 Oktober 2015 terdapat 14 gereja yang akan diberikan kesempatan
mengurus administrasi perizinannya dan 10 diantaranya akan ditertibkan dengan cara dirobohkan,
saat perjalanan ferifikasi data oleh tim yang telah ditunjuk terdapat 2 gereja yang tidak memenuhi
syarat dari PERGUB Aceh No.25 tahun 2007 yang akhirnya tetap dirobohkan dan 1 diantaranya
sudah memiliki izin sejak zaman penjajahan Belanda. Maka rekomendasi yang dikeluarkan oleh
FKUB Aceh Singkil hanya 11 rekomendasi bagi gereja yang memenuhi syarat yang tercantum
dalam PERGUB tersebut.
70
dianulir atau tidak perlu ditinjau ulang akan adanya pengeluaran sebelas
rekomendasi tersebut karena sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati
dan kesebelas Gereja tersebut sudah memenuhi syarat yang tertuang didalam
Pergub Aceh No.25 Tahun 2007.31
Kesepakatan tersebut bukanlah hasil dari kebijakann Pergub Aceh No.25
Tahun 2007 ataupun turunan dari PBM No. 8 dan 9 tahun 2006. Kesepakatan
tersebut dibuat dan disepakati oleh umat islam, karena dalam forum terciptanya
kesepakatan tersebut perwakilan dari umat Kristen tercatat tidak berada didalam
forum ketika forum berlangsung. Forum tersebut dipimpin oleh Bupati Aceh
Singkil tanggal 12 Oktober 2015 setelah kesepakatan tersebut disepakati oleh
kedua belah pihak yang dijembatani oleh Kapolda Aceh dan Pangdam IM
kesepakatan tersebut diapalikasikan untuk menjadi salah satu acuan yang paling
mempengaruhi pengeluaran rekomendasi kesebelas gereja di Aceh Singkil oleh
FKUB setempat.
Kecenderungan pelaksana (Implementor) seperti yang telah penulis jabarkan
diatas yang kemudian dapat diartikan kedalam pendekatan yang diberikan oleh
Van Meter dan Van Horn sebagai tanggapan akan adanya kesetiaan-kesetiaan
ekstra organisasi atau hubungan-hubungan yang ada dan yang lebih disenangi.32
Kecenderungan yang muncul ini tidak bisa kita abaikan karena FKUB Aceh
Singkil dalam perjalanan mengimplementasikan kebijakan Pergub Aceh tersebut
mempunyai hubungan secara struktural (hirarki) dalam birokrasi, dan semua
31
Wawancara dengan Pak Budiman Berutu (anggota FKUB perwakilan dari Protestan)
pada tanggal 09 Mei 2017. 32
Budi Winanro, Kebijakan Publik Teori dan Proses, 1st ed. (Jakarta: Media Pressindo,
2007), h. 166.
71
unsur institusi lembaga pemerintah yang ada ditubuh Pemerintah Aceh Singkil,
apalagi kesepakatan tersebut lahir dari forum yang dipimpin oleh Bupati Aceh
Singkil.
B.2 Transformasi Kebijakan Pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil
Hadirnya negara sebagai penentu kebijakan, menertibkan ketertiban sipil
dan keamanan merupakan dambaan yang sangat ideal dinegara manapun. Negara
memiliki wewenang dalam menyusun regulasi dan menegakkannya dengan aparat
keamanan.33
Konflik yang terjadi Di Aceh Singkil sudah terjadi dari fase Orde Baru
(1970an-1998), fase transisi demokrasi (1998-2004), hingga fase demokrasi baru
(2004- sekarang). Bila kita melihat dari ketiga fase ini fase transisi demokrasi
dirasa wajar bila tumbuh dan berkembangnya konflik yang telah menjamur karena
memang pada fase ini upaya konsolidasi demokrasi sedang berjalan jadi situasi
politik masih chaos belum lagi munculnya fragmentasi sipil. Itulah Penyebab
keran konflik cenderung terbuka dan sulit dikendalikan ditambah lagi pemimpin
direzim yang baru belum menemukan pijakan politik yang bisa absah diterima
oleh semua kelompok politik untuk melembagakan konflik politik yang muncul.34
Konflik di Aceh Singkil Tahun 2015 merupakan permasalah yang sudah
dimulai dari tahun 1979 sebenarnya bila melihat penjelasan dalam bab ini jelas
akar permasalahannya merupakan permasalahan perizinan pendirian rumah ibadat
kembali meletus pada tahun 2015 ini merupakan pengulangan fase-fase
33
Ikhsan Ali Fauzi dkk, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS,2011), h. 26. 34
Kris Nugroho, “Konsolidasi Demokrasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Th
XIV, No 2, April 2001, 25-34, h. 28.
72
sebelumnya dan membuktikan bahwa dalam periode tahun 2012 hingga kembali
terjadi tahun 2015, pada akar permasalahan dari konflik ini belum pernah
terselesaikan.
Pemberlakuan PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 serta aturan turunan dari
Pergub Aceh No.25 Tahun 2007 di Aceh sebenarnya merupakan jawaban dari
permasalahan ini dan FKUB menjadi garda terdepan sebagai agen yang harus
menjamin tegaknya kebijakan ini sesuai amanat dari PBM itu sendiri dalam upaya
mewujudkan kerukunan kehidupan beragama. Akan tetapi carut marut penegakan
aturan terkait pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil ternyata terlihat berbeda.
Penerapan regulasi negara dalam hal ini PBM dan Pergub Aceh tersebut
bertranformasi dengan adanya regulasi sosial, seperti adanya kesepakatan-
kesepakatan yang meniadakan kepentingan bersama dengan kata lain kesepakatan
tersebut lahir karena adanya tekanan-tekanan sosial.
Regulasi negara dan regulasi sosial ini sebenarnya bisa berjalan beriringan
akan tetapi di Aceh Singkil regulasi sosial malah menjajaki regulasi negara.
Seperti halnya penertiban GKPPD Siatas dan GKPPD Sangga Beru kedua gereja
tersebut secara administrasi apabila disesuaikan dengan Pergub Aceh No. 25
tahun 2007 telah memenuhi syarat untuk mendirikan gerejanya, akan tetapi
karena hasil dari regulasi sosial (kesepakatan), kedua gereja tersebut tetap
ditertibkan dengan cara dibongkar.
“kesepakatan itu udah dikeluarkan dan sudah menjadi hal yang mesti dilaksanakan,
FKUB tetap keluarkan itu rekomendasi tapi kan rekomendasi gereja yang
dikeluarkan cuma gereja-gereja yang yang ada didalam kesepakatan itulah kan.
Baru itu data nanti dicek lagi pake Pergub itu itu kan amanah Pergub Aceh.
73
Makanya ada gereja yang di dalam kesepakatan itu ga dikasih rekomnya karena
gak bisa lengkapi syarat dari pergub itu”35
.
Sebagai implementors dari Pergub Aceh dan PBM FKUB Aceh Singkil
merupakan pasukan garda terdepan didalam pelaksanaan menjaga kerukunan
kehidupan beragama di Aceh Singkil. Saat konflik meletus FKUB Aceh Singkil
tidak tampak taringnya.36
Hal tersebut disebabkan oleh dinamika konflik yang
begitu besar hingga FKUB tidak dapat melangkah kemanapun saat konflik terjadi
keadaan pada saat itu sangat chaos.
Disepakatinya kesepakatan tanggal 12 Oktober tersebut memunculkan
keprihatinan dalam diri Ketua FKUB Aceh Singkil menurutnya kesepakatan
tersebut sedikit memaksa Umat Kristen agar dapat menggabung gerejanya
menjadi satu dengan gereja lain. Penggabungan ini tidak bisa diterima oleh Umat
Kristen sendiri karena antar gereja yang digabung tersebut berbeda cara
beribadatnya walaupun secara keimanan tetap menyembah tuhan hal tersebut
telah menjadi kesepakatan dan menjadi harga mati untuk dilaksanakan.
Kecenderungan FKUB dalam mengimani kesepakatan 12 Oktober juga
tidak bisa dianulir dikemudian hari karena didalam kesepakatan itu Bupati Aceh
Singkil hadir dalam forum tersebut dan ikut menyepakatinya.“apalah kita bilang
dek kita juga ga bisa buat apa-apa untuk ini karena kesepakatan sudah dibuat ya
kita menjalankan aja gak mungkin kita melawan pak Bupati kan ?”.37
35
Wawancara dengan Pak Azman, SH (Sekretaris KESBANGPOL LINMAS Kab. Aceh
Singkil) 36
Wawancara dengan Sdr. Azwar (Sekretaris FKUB Aceh Singkil) 37
Petikan wawancara dengan Pak Ramlan (Ketua FKUB Aceh Singkil) pada tanggal 05
Mei 2017.
74
FKUB Aceh Singkil pun menyayangkan nasib dari sebelas gereja yang
telah dikeluarkan surat rekomendasinya akan tetapi masih tertahan untuk
mendapatkan IMB, hingga saat ini memang tidak ada satupun gereja di Aceh
Singkil yang mengantongi izin walaupun amanat dari PERGUB No.25 tahun
2007 telah dipenuhi oleh pihak gereja yang diberikan kesempatan untuk
mengurusi IMBnya.
Pendekatan yang dijadikan CRF (Center Religious Freedom) pada point
tiga membuktikan bahwa dengan adanya dinamika dan konvensi sosial dapat
membatasi kebebasan beragama. Seharusnya pengimplementasian Pergub Aceh
No. 25 tahun 2007 dapat menjadi konsensus bagi pendirian rumah ibadat di
Provinsi Aceh terutama Kabupaten Aceh Singkil.
C. Hambatan dan Pendukung FKUB Kab. Aceh Singkil dalam
Menjalankan Tugas
C.1 Hambatan-Hambatan
Dalam mengemban tugas FKUB menemui berbagai hambatan seperti:
Pertama, konflik yang telah melibatkan unsur fisik menjadi hambatan utama bagi
FKUB menangani konflik tersebut. Keterbatasan tersebut menyangkut dengan
kekuatan FKUB yang memang belum kuat ketika dihadapkan dengan konflik
tersebut. Kedua, prasarana penunjang yang tidak memadai seperti belum
terpenuhinya kebutuhan sekretariat resmi yang khusus untuk memusatkan
informasi FKUB Aceh Singkil, sarana transportasi bagi FKUB Aceh Singkil yang
belum ada menyebabkan terhambatnya tugas dari FKUB dalam
mengkomunikasikan bahkan saat terjun kelapangan tetap harus menunggu
rombongan dari pemerintah setempat agar mendapatkan sarana transportasi.
75
Ketiga, jarak antar kecamatan yang memang berjauhan hingga sulit dalam
mengumpulkan anggota FKUB apabila terdapat pembahasan yang harus cepat
diselesaikan terkait isu-isu kerukunan di Aceh Singkil. Percobaan menggunakan
alat komunikasipun tidak menjawab karena kekhawatiran akan adanya kesalah
pahaman dalam mengartikan isi konten yang akan disampaikan nantinya.
C.1 Pendukung
Selain menemukan hambatan dalam bertugas, FKUB Aceh Singkil
menemukan kemudahan dalam melaksanakan tugasnya seperti: Pertama,
kehadiran Kapolda Aceh dan Pangsam IM dalam mengkondusifkan situasi paska
tragedi tersebut berlangsung karena FKUB Aceh Singkil tidak mempunyai
kekuatan untuk bisa sampai terjun sejauh apa yang dilakukan oleh Kapolda dan
Pangdam IM melihat konflik tersebut telah melibatkan unsur-unsur fisik. Kedua,
sikap yang komunikatif yang ditunjukkan oleh seluruh lembaga yang ada
dilingkungan kerja Pemerintahan Aceh Singkil. Ketiga, sikap kooperatif yang
ditunjukkan oleh setiap panitia pembangunan Gereja memudahkan anggota FKUB
Aceh Singkil dalam menyelesaikan proses administrasi perizinan pendirian rumah
ibadat.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehadiran negara pada hakikatnya adalah untuk menenteramkan
masyarakatnya, kehadiran negara juga dapat menertibkan ketertiban sipil. Negara
menjadi unsur yang paling penting dalam melindungi kebebasan beragama, dan
yang tidak terlupakan ialah terjaminnya hak mendirikan rumah ibadat. Menyusun
kebijakan sudah menjadi tugas negara dan mengakkannya dengan unsur aparat
keamanan. Negara dengan unsur regulasi yang matang dan aparat keamanan yang
kuat senantiasa akan mampu menekan angka kelompok-kelompok untuk
melakukan tindakan sepihak. Untuk melihat bagaimana peran negara menjadi
penengah saat konflik dalam konteks konflik sengketa rumah ibadat yang menitik
beratkan pada Peran FKUB Kabupaten Aceh Singkil Dalam Menangani Konflik
Sengketa rumah ibadat Tahun 2015 di Kabupaten Aceh Singkil: Pendekatan
Kebijakan Publik.
Berlandaskan pada tema besar di atas maka penulis menyimpulkan
penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1. Konflik yang terjadi di Aceh Singkil tahun 2015 merupakan konflik sosial
bernuansa agama dengan akar permasalahan konflik tersebut ialah perijinan
pendirian rumah ibadat.
2. Penyelesaian konflik tersebut masih menggunakan pendekatan kekuatan,
yakni menggunakan otoritas militer terhadap sipil. Dalam penanganan
konflik di Aceh Singkil pada tahun 2015 FKUB Aceh Singkil berperan
77
penting dalam mengeluarkan rekomendasi sebagai wujud penyelesaian
konflik tersebut, tetapi dalam proses penanganan konflik tersebut ada
beberapa unsur penting yang sangat membantu peran FKUB seperti
hadirnya negara di sana melalui keterlibatan pihak keamanan yang berhasil
menengahi konflik secara langsung.
3. FKUB Aceh Singkil telah mengeluarkan sebelas rekomendasi terhadap
gereja-gereja tersebut sesuai dengan amanat Pergub Aceh No.25 tahun
2007, dalam mengeluarkan rekomendasi tersebut FKUB Aceh Singkil masih
dipengaruhi oleh regulasi sosial yang tertuang dalam kesepakatan tanggal 12
Oktober 2015. Pengimplementasian amanat pergub yang dilakukan oleh
FKUB Aceh Singkil hanya berlaku kepada gereja-gereja yang tertera dalam
kesepakatan tersebut. FKUB Aceh Singkil tidak mempunyai kekuatan untuk
menganulir kesepakatan tersebut, karena kesepakatan tersebut disepakati
oleh para tokoh masyarakat dan tokoh agama serta Bupati Aceh Singkil saat
forum tersebut dilaksanakan. Hal ini menunjukkan pengimplementasian
Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 belum maksimal di Kabupaten Aceh
Singkil.
B. Saran
Konflik yang telah berulang kali terjadi harusnya menjadi cambukan kepada
pemerintah daerah ataupun pusat untuk bisa duduk bersama dan mencari solusi
dari konflik yang sudah berulang kali terjadi di Aceh Singkil. Konflik ini muncul
kembali ditahun 2015 stelah sekian lama pernah meletus di tahun 2001 dan di
tahun 1979. Dari periode tahun ketahun tersebut bisa dilihat bahwa permasalahan
yang menjadi isu hingga bergerak kepada proses memobilisasi massa adalah
78
sama, tertibkan gereja yang tidak berijijn, bongkar gereja, setelah itu muncul isu
konversi agama yang diangkat seperti halnya kristenisasi.
Diera deomokrasi yang sudah sestabil ini sudah selayaknya penyelesaian
konflik tidak berbasis kekuatan atau bahkan otoritas kembali dipakai,
penyelesaian konflik berbasis kekuatan hanya akan menghasilkan win and lose
ketika ini terjadi maka akan ada sebagian kelompok yang merasa semakin tidak
diakomodir dan akan membangun lini massa yang tidak terduga nantinya.
Penulis ingin memberi rekomendasi kepada pihak-pihak terkait termasuk
FKUB Aceh Singkil :
1. FKUB Aceh Singkil merekomendasikan kepada pemerintah setempat untuk
mengagendakan safari kesetiap rumah ibadat antar umat beragama setiap
seminggu sekali, karena cara tersebut dapat mengokohkan kembali posisi
FKUB dan menambah rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah
sekaligus meredam isu-isu yang berkembang ditengah masyarakat terkait
kerukunan antar umat beragama. Cara tersebut harus dilakukan secara
berkala dengan mengedepankan proses dialog dalam nuansa kekeluargaan.
2. Isu keagamaan sangat mudah memunculkan konflik kepermukaan, untuk itu
perlu adanya pelatihan-pelatihan mediasi kepada pengurus FKUB seluruh
Aceh tidak terkecuali FKUB Aceh Singkil, karena persinggungan kehidupan
antar umat beragama di Aceh begitu besar terutama Aceh Singkil.
3. Umat Kristen sudah seharusnya melalui perwakilannya yang menjadi
anggota pengurus FKUB dapat berkomunikasi dan memperoleh informasi
setidaknya bagaimana cara mengambil hati dari kelompok-kelompok yang
79
tadinya menentang keberadaan gerejanya untuk melakukan pendekatan
dengan cara prefentif.
4. Hadirnya regulasi sosial sebenarnya sudah membuka upaya dialog antara
kedua belah pihak, situasi dan kondisi pasca konflik pada Oktober 2015
berangsur pulih untuk mencapai konsensus dan terciptanya kedamaian di
Aceh Singkil maka FKUB dapat menjadi agen dalam menerapkan
pengangan konflik berbasis kepentingan.
5. Pemerintah bersama perangkatnya termasuk FKUB hendaknya saling bahu
membahu menggalakkan kembali kearifan lokal yang setadinya memang
tercipta untuk menanggulangi konflik perbedaan dan bernuansa agama di
Aceh Singkil seperti budaya makan bersama yang sudah mulai ditinggalkan
oleh masyarakat setempat.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anderson, James E. 2014. Public Policy Making. New York: Cengage Learning.
Badan Pusat Statistik Aceh. 2015. Aceh Singkil dalam Angka No. Katalog BPS:
1102001.1102 ISSN: 2302-4089 2015. Aceh Singkil: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Aceh Singkil.
Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
DEPAG RI, Balitbang dan DIKLAT. 2007. Buku Tanya Jawab Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 2006 dan
No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI.
Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk
Bertindak. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra.
Fauzi, Ihsan Ali. 2011. Kontroversi Gereja di Jakarta. Yogyakarta: CRCS.
Gerry, Klinken Van. 2010. Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa: Nasionalisme
Minoritas Kristen. Yogyakarta: LKIS.
Galtung, Johan. 2005. Mencari Solusi yang Ampuh Bagi Konflik. Jakarta: Yayasan
Obor.
Islamy, M.Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bina Aksara.
Isre, Moh.Soleh. 2003. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Departemen Agama.
Johnson, Doyle Pau. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
KEMENANG RI, Puslitbang. 2014. Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai
Daerah. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI
KEMENAG RI, Tim Puslitbang. 2015. Kasus-Kasus Aktual Hubungan Antar
umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Balitbang Kemenang RI.
xiv
Mcdaniel, R Edwin. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba
Humanika.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Noor, Juansyah. 2011. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis,Desertasi dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana
Nugroho, Riant. 2014. Public Policy, Teori, Manajemen, Dinamika, Analisa,
Konvergensi dan Kimia Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Panggabean, Rizal dan Ihsan Ali-Fauzi. 2013. Pemolisian Konflik Keagamaan di
Indonesia. Jakarta: PUSAD Paramadina.
Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus Politik (Sebuah Penjajagan Teori). Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Rahmadi, Takdir. 2011. Mediasi Penyelesaian sengketa melalui pendekatan
mufakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sutina dan Bagong Suyanto. 2008. Metode penelitian sosial:berbagai alternative
pendekatan. Jakarta: Kecana Prenada Media Group.
Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama..
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Tim Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. 1983. Dinamika Kerukunan
Kehidupan Beragama di Daerah “Laporan Observasi 1979/1980” Proyek
Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama. Jakarta:
Departemen Agama RI.
Tim CRCS. 2008. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun
2008. Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya CRCS sekolah
pascasarjana UGM.
Tim The Wahid Institute. 2014. Laporan Tahunan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013. Jakarta: The Wahid Institute.
Wirawan, I Wayan Ardhi. 2016. Konflik dan Kekerasan Komunal: Komunitas
Hindu di Nusa Tenggara Barat Pasca Otonomi. Yogyakarta:
Deepublish/publisher.
Winarno, Budi. 2007. Kebijaka Teori: Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita.
------. 2014. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS.
Z.Rubin, Jeffrey dan Dean G.Pruit. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
xv
Karya Ilmiah
Kirom, Abdul. 2015. Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Dalam Merawat Kehidupan Umat Beragama. Tesis Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi
Agama dan Resolusi Konflik.
Syam, Adi Ridwan. 2014. Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Tangerang Selatan dalam Menangani Konflik Tempat Ibadat: Studi
Kasus Pembangunan Gereja Protestan Indonesia Barat Obor Banten
Serpong Utara. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jurnal
Nisa, Jakiatin. 2015. “Resolusi Konflik dalam Perspektif Komunikasi.” Salam
Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i Vol.II No.1. Juni 2015. ISSN:2356-1459-
16.
Nugroho, Kris. 2001. “Konsolidasi Demokrasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan
Politik Th XIV,No 2, April 2001, 25-34.
Internet
Laporan Setara Intitute, Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat pada 2015.
diakses pada 15 Mei 2016
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/18/17250491/Laporan.Setara.Insti
tute.Pelanggaran.Kebebasan.Beragama.Meningkat.di.2015.
Panggabean, Syamsu Rizal. Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama:
Kekuatan, Hak, & Kepentingan. artikel diakses pada 12 Januari 2016 dari
http://crcs.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/2015/01/10_Samsu_Rizal_Panggabean_penganganan_konfl
ik.pdf
Wawancara
Wawancara dengan Irjen. Pol. Purn. Husein Hamidi (Mantan Kapolda Aceh), 26
Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Azman (Sekretaris KESBANGPOL LINMAS Kabupaten
Aceh Singkil), 07 Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Azwar Ramnur (Tokoh Masyarakat Muslim- Sekretaris
FPI Aceh Singkil), 07 Mei 2017.
xvi
Wawancara dengan Pak Boas Tumangger (Jemaat GKPPD Sanggar Beru) , 09
Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Budiman Berutu (Anggota FKUB Aceh Singkil
Perwakilan Protestan), 09 Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Darianto (Tokoh masyarakat Kampung Siatas), 06 Mei
2017.
Wawancara dengan Ibu Massa Berutu (Pengurus Gereja HKI Suka Makmur), 08
Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Mustafa (Wakil Sekretaris FKUB Aceh Singkil), 05 Mei
2017.
Wawancara dengan Pak Nourim Berutu (Jemaat GKPPD Si Atas), 06 Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Ramlan (Ketua FKUB Aceh Singkil), 05 Mei 2017.
Wawancara dengan Pak Salihin, MA (Kepala KEMENANG Kabupaten Aceh
Singkil), 08 Januari 2018.