peran apol-1 pada infeksi trypanosoma
DESCRIPTION
Infeksi TrypanosomaTRANSCRIPT
BAB II
PERAN APOL-1 SEBAGAI SISTEM IMUNITAS TUBUH TERHADAP
INFEKSI TRYPANOSOMA DITINJAU DARI KEDOKTERAN
2.1. Infeksi Trypanosoma
Sekitar 30% populasi dunia diduga terinfeksi parasit. Infeksi parasit
menunjukkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitasnya yang bermakna
terutama di Negara sedang berkembang. Parasit merupakan organisme yang
berlindung dalam atau di organisme dan mendapatkan keuntungan dari inang.
Parasit dapat berupa protozoa (Plasmodium, Trypanosoma, Toksoplasma,
Lesmania dan Amuba), cacing atau, ektoparasit (kutu, tungau) (Baratawidjaja,
2009).
Parasit genus Trypanosoma mencakup tiga spesies, yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu T. rhodesiense, T. gambiense dan T.
cruzi. Penyakit yang disebabkan oleh ketiga spesies tersebut, yaitu
tripanosomiasis, tidak ditemukan di Indonesia (Sutanto, et al., 2008).
Trypanosoma terdapat di daerah tropis, menyebabkan sleeping sickness
atau penyakit tidur di daerah Afrika Tengah, penyakit nagana pada ternak di
Afrika, penyakit surra pada ternak di Asia dan Afrika dan sejumlah penyakit
lainnya pada ternak. Trypanosoma telah menghambat peningkatan ternak pada
daratan seluas kurang lebih 4,5 juta HA di Afrika (Jones, et al., 1996).
7
Gambar 2.1 Sebaran geografis Tripanosomiasis di Afrika(Sumber :http://www.infectionlandscapes.org)
2.1.1 T. rhodesiense dan T. gambiense
Manusia merupakan hospes dari kedua spesies parasit ini. Hospes
reservoir T. rhodesiense adalah binatang liar seperti antilop dan hospes reservoir
T. gambiense adalah binatang peliharaan seperti sapi, babi, kambing dan
sebagainya. Lalat Glossina berperan sebagai tripanosomiasis Afrika atau
Sleeping Sickness (Sutanto, et al., 2008).
Kedua spesies ini ditemukan di daerah Asia tropik, yaitu antara garis
lintang utara 150 dan garis lintang selatan 180. T. rhodesiense terdapat di bagian
timur dan T. gambiense di bagian tengah dan barat (gambar 2.1) (Sutanto, et al.,
2008).
8
2.1.1.1 Morfologi dan Siklus Hidup
Gambar 2.2 Siklus Hidup T. gambiense dan T. rhodesiense(Sumber : www.dpd.cdc.gov)
Pada manusia, kedua spesies tersebut terdapat dalam stadium
tripomastigot yang hidup dalam darah. Bentuk ini ada dua macam, yaitu bentuk
panjang (32 mikron) dan bentuk pendek (16 mikron) yang tidak mempunyai
flagel. Oleh karena itu parasit ini mempunyai sifat polimorf. Stadium
tripomastigot hidup di luar sel (ekstraseluler) dalam darah, limpa, kelenjar
limfe, cairan otak dan di otak. Parasit ini berkembang biak secara belah pasang
longitudinal dan dalam darah tampak bentuk yang membelah. Dalam tubuh lalat
Glossina, stadium tripomastigot yang terisap dengan darah berkembang biak di
usus tengah dan usus belakang (midgut dan hindgut) secara belah pasang
longitudinal. Sesudah 15 hari tampak bentuk langsing (poventricular form) yang
9
membelah lagi kemudian bermigrasi melalui esofagus, faring, mulut, untuk
kemudian masuk dalam kelenjar ludahnya. Dalam kelenjar ludah, parasit ini
melekat pada epitel dan berubah menjadi stadium epimastigot. Stadium
epimastigot berkembang biak berkali-kali menjadi stadium tripomastigot
metasiklik yang masuk ke dalam saluran kelenjar ludah, lalu ke probosis dan
dari sini dapat ditularkan kepada manusia. Untuk T. gambiense, lalat membawa
bentuk infektif sesudah 20 hari, sedangkan untuk T. rhodesiense sesudah 14 hari
(Sutanto, et al., 2008).
Gambar 2.3 Stadium parasit Trypanosoma(Sumber :http://www.infectionlandscapes.org)
Gambar 2.4 Bentuk Trypanosoma dalam darah (kiri) dan pembelahan Trypanosoma dalam darah (kanan)
(Sumber :http://www.infectionlandscapes.org)
10
Infeksi terjadi dengan tusukan lalat Glossina yang mengandung stadium
tripomastigot metasiklik, yaitu sebagai bentuk infektif. Cara penularan ini
disebut anterior inoculative (Sutanto, et al., 2008).
Gambar 2.5 Lalat Glossina (Tse tse), Glossina palpalis (kiri), Glossina morsitans (kanan)(Sumber :http://www.infectionlandscapes.org)
2.1.1.2 Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, antara lain :
1) Fase awal (Initial stage)
Pada fase ini ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada
daerah gigitan lalat Tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk
ulkus atau parut (primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya mereda dalam
waktu 1-2 minggu.
2) Fase penyebaran (Haemoflagellates stage)
Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel
endotel, sel limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya
11
pelunakan jaringan iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial
haemorhagic).
3) Fase kronik (Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini terjadi invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan
mengakibatkan terjadinya meningoencefalitis difusa dan meningomielitis.
Demam dan sakit kepala menjadi lebih nyata. Terjadi juga gangguan
ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang
lain dijumpai juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi
umumnya terjadi dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena
immunosupresi. Jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat. Kematian dapat
terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau diperberat oleh kelemahan tubuh
(Siahaan, 2004).
Pada porte d’entree, parasit berkembang biak di sela-sela jaringan di
bawah kulit dan dalam waktu kira-kira satu minggu timbul syanker
tripanosoma. Stadium tripomastigot masuk ke pembuluh darah dan terjadi
parasitemia. Pada penduduk asli, masa ini di daerah endemi berlalu afebril,
sedangkan penduduk pendatang mengalami demam. Timbulnya demam
diakibatkan oleh parasit yang menyerang kelenjar limfe. Kelenjar limfe menjadi
besar dan nyeri. Hal ini nyata sekali pada daerah servikal belakang yang disebut
gejala winterbottom. Juga terjadi pembesaran kelenjar limfe yang lain seperti di
daerah ketiak dan lengan. Selain itu terjadi pula hepatosplenomegali; penderita
sakit berat dan dapat meninggal. Pada stadium berikutnya, parasit dapat masuk
ke otak dan menyebabkan meningitis, ensefalitis dengan gejala sakit kepala
12
yang berat, kelainan motorik, apatis, letargi, koma dan berakhir dengan
kematian (Sutanto, et al., 2008).
2.1.1.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan parasit kematian (Sutanto, et
al., 2008) :
1) Secara langsung dalam sediaan darah atau cairan otak
2) Dalam biopsi kelenjar dan pungsi sumsum tulang
3) Secara imunologi dengan zat anti fluoresen
2.1.1.4 Pengobatan
Pengobatan pada penyakit tidur Afrika biasanya berhasil baik bila
dimulai pada permulaan penyakit (infeksi dini), yaitu pada stadium darah-limfe.
Untuk itu dapat dipakai suramin atau pentamidin. Bila susunan saraf sudah
terkena, dapat dipakai triparsamid.
Obat yang tersedia umunya toksik untuk manusia, dan beberapa strain
parasit menjadi resisten terhadap obat tersebut. Untuk itu dapat digunakan
melarsopol kematian (Sutanto, et al., 2008).
.
2.1.2 Trypanosoma cruzi
Manusia merupakan hospes parasit ini dan hospes reservoir adalah
binatang peliharaan (anjing dan kucing) atau binatang liar (tupai, armadillo,
13
kera dan lain-lain). Triatoma berperan sebagai hospes perantara. Penyakitnya
disebut tripanosomiasis Amerika atau penyakit Chagas (Sutanto, et al., 2008).
Gambar 2.6 Triatoma infestans(Sumber : Shaefer, 2003)
Penyakit ini ditemukan di Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan
Amerika Serikat (Corpus Christi, Texas). Lihat gambar 2.7.
Gambar 2.7 Distribusi geografik Penyakit Chagas(Sumber : http://www.infectionlandscapes.org)
14
2.1.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup
Di badan manusia, parasit ini terdapat dalam dua stadium yaitu stadium
tripomastigot dan stadium amastigot. Stadium tripomastigot hidup ekstraseluler
dalam darah dan tidak berkembang biak, sehingga di dalam darah tidak
ditemukan bentuk yang membelah. Parasit ini panjangnya 20 mikron dan
menyerupai huruf “C” atau huruf “S” dengan kinetoplas yang besar. Stadium
amastigot, yang besarnya hanya 2-3 mikron, terdapat intraseluler dalam sel RE
dan berkembang biak secara belah pasang longitudinal. Setelah penuh, sel RE
pecah dan stadium amastigot melalui stadium promastigot berubah menjadi
stadium epimastigot, kemudian menjadi stadium tripomastigot yang masuk
kembali ke dalam darah. Stadium amastigot ditemukan dalam sel RE limpa,
hati, kelenjar limfe, sumsum tulang, sel otot jantung dan sel otak. Bila Triatoma
mengisap darah seorang penderita tripanosomiasis, stadium tripamostigot dan
amastigot berubah menjadi stadium epimastigot dalam usus tengah (midgut),
kemudian berkembang biak secara belah pasanag longitudinal dan bermigrasi ke
bagian posterior (hindgut) untuk berubah menjadi stadium tripomastigot
metasiklik yang merupakan bentuk infektif. Siklus in berlangsung selama kira-
kira 10 hari (Sutanto, et al., 2008).
Waktu menusuk orang lain untuk menghisap darahnya, Triatoma
mengeluarkan pula sedikit tinjanya yang mengandung bentuk infektif dan
diletakkan pada kulit. Oleh karena tusukan terasa gatal, maka orang menggaruk
sehingga parasit masuk ke dalam luka dan terjadilah infeksi. Cara infeksi ini
15
disebut posterior contaminative. Parasit dapat pula masuk melalui selaput lendir
mata atau kulit bayi yang utuh (Sutanto, et al., 2008).
Gambar 2.8 Siklus Hidup T. cruzi(Sumber : www.dpd.cdc.gov)
2.1.2.2 Patologi dan Gejala klinis
Pada porte d’entree stadium tripomastigot metasiklik dikelilingi oleh
makrofag kemudian masuk ke dalamnya dan berubah menjadi stadium
amastigot dan membelah. Banyak makrofag yang diserang, sehingga terbentuk
suatu granuloma (chagoma) yang dapat membendung aliran limfe. Bila hal ini
terjadi pada mata, timbul edema kelopak mata pada sebelah mata (edema
unilateral) yang disebut gejala Romana. Melalui stadium promastigot dan
epimastigot, parasit ini masuk ke aliran darah dan berubah menjadi stadium
tripomastigot. Kemudian terjadi parasitemia yang memberi gejala toksik. Parasit
masuk ke alat-alat dalam yang mengandung sel RE, sehingga timbul gejala
16
splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati; juga terjadi kelainan pada
sumsum tulang, karena penuh dengan parasit. Penderita sakit berat, demam, dan
sering ada gejala jantung, sehingga penderita meninggal pada stadium akut
(Sutanto, et al., 2008).
2.1.2.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan :
1) Menemukan parasit dalam darah pada waktu demam atau dalam biopsi
kelenjar limfe, limpa, hati dan sumsum tulang (stadium tripomastigot
dan amastigot)
2) Menemukan parasit pada pembiakan medium NNN (stadium
epimastigot)
3) Xenodiagnosis, dengan percobaan serangga Triatoma atau Cimex
4) Uji imunodiagnostik
Apabila dilihat diagnosis secara parasitologi, apabila terjangkit atau
terinfeksi Trypanosoma maka akan ditemukan stadium Trypanosoma metasiklik
di dalam tubuh hospes tepatnya di darah perifer atau di plasma darah (gambar
2.9). Trypanosoma memiliki flagella, inti (besar dan lonjong) di sentral, serta
kinetoplast (blat atau batang) di pingir, dan terdapat flagela.
17
Gambar 2.9 Stadium Tripomastigot pada darah (dilihat pada mikroskop)(Sumber : Anonim, 2008)
2.1.2.4 Pengobatan
Pengobatan terhadap penyakit ini tidak memuaskan, oleh karena belum
ada obat yang dapat menghancurkan parasit dalam jaringan. Primakuin
merupakan obat terbaik untuk membasmi tripomastigot dalam darah, dengan
demikian mencegah invasi lebih jauh ke dalam jaringan. Selain itu dapat pula
diberikan nitrofurans dan amfoterisin B (Sutanto, et al., 2008).
2.1.3 Trypanosoma Lainnya
T. evansi dapat menyebabkan penyakit surra pada binatang. Hospes
perantaranya ialah lalat Stomoxys calcitrans atau lalat kandang (Sutanto, et al.,
2008).
Spesies yang sering menyerang hewan di Indonesia adalah Trypanosoma
evansi. Hewan yang paling peka dengan spesies ini adalah kuda, sedang yang
paling rentan adalah onta dan anjing, sedang ruminansia kurang begitu rentan.
Predileksi di plasma darah (Soulsby, 1982).
18
Spesies-spesies Trypanosoma lainnya antara lain (Soulsby, 1982) :
No Sub Genus Spesies Trypanosoma Makhluk hidup tersering1 Megatrypanum theileri Sapi2 Megatrypanum melophagium Domba3 Herpetosoma lewisi Tikus4 Herpetosoma duttoni Mencit5 Herpetosoma nabiasi Kelinci6 Schizotrypanum cruzi Manusia, anjing, kucing7 Schizotrypanum rangeli Anjing8 Schizotrypanum avium Burung9 Duttonella vivax Sapi, domba, kambing10 Duttonella uniforme Sapi, domba, kambing11 Nannomonas congolense Sapi, kambing, domba,kuda,
babi12 Nannomonas dimorphon Sapi, domba, kuda, babi13 Nannomonas simiae Babi, sapi, kuda14 Pyctomonas suis Babi
15 Trypanozoon brucei Ternak peliharaan
16 Trypanozoon rhodesiense Utamanya pada manusia dan juga pada antilop
17 Trypanozoon gambiense Utamanya pada manusia18 Trypanozoon equinum Bangsa kuda19 Trypanozoon equiverdum Bangsa kuda
Tabel 2.1 Spesies Trypanosoma
Vektor dari pembawa parasit ini oleh lalat penghisap darah (Tabanus,
Chrysops, Stomoxys, Haematopota, Lyperosia, Haematobia), selain itu
artropoda lain seperti nyamuk (Anopheles), lalat (Musca), pinjal, kutu dan
sengkenit (caplak) dapat sebagai vektor, secara mekanik murni (Trypanosoma
sp) tidak mengalami perkembangan di dalam tubuh lalat dan tidak tahan hidup
lebih dari 10-15 menit didalam probosis vektor (Soulsby, 1982).
19
2.2 Sistem Imun
Tubuh manusia dilengkapi dengan sederetan mekanisme pertahanan
yang bekerja sebagai proteksi untuk mencegah masuk dan menyebarnya agen
infeksi. Mekanisme pertahanan ini dibagi menjadi dua kelompok fungsional,
yaitu mekanisme pertahanan non-spesifik dan spesifik.
Respon imun ditengahi oleh berbagai sel dan molekul larut yang
disekresi oleh sel-sel. Sel-sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah
limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), fagosit (neutrofil, eosinofil, monosit, dan
makrofag), sel asesori (basofil, sel mast, dan trombosit), sel-sel jaringan, dan
lain-lain. Bahan larut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen,
mediator radang, dan sitokin (Wahab, 2002).
2.2.1 Sistem Imun Non Spesifik
Pertahanan non-spesifik meliputi kulit dan membrana mukosa, sel-sel
fagosit, komplemen, lisozim, interferon dan berbagai faktor humoral lain.
Semua mekanisme pertahanan ini merupakan bawaan/alamiah (innate); artinya
pertahanan tersebut secara alamiah ada dan tidak adanya dipengaruhi secara
intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi sebelumnya. Mekanisme pertahanan
ini berperan sebagai garis pertahanan pertama dan penghambat kebanyakan
patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang tampak (Wahab, 2002).
2.2.2 Sistem Imun Spesifik
20
Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem produksi antibodi oleh
sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem pertahanan ini bersifat
adaptif dan didapat, yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen infeksi
yang dikenali karena telah terjadi pemajanan terhadap mikroba atau determinan
antigenik tersebut sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam
memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat
mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari (Wahab, 2002).
Antibodi
Antibodi disebut juga immunoglobulin (Ig) atau serum protein
globulin, karena berfungsi untuk melindungi tubuh lewat proses kekebalan
(immune). Ada lima macam immunoglobulin, yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan
IgD.
a) Immunoglobulin G (IgG)
IgG terbentuk 2-3 bulan setelah infeksi, kemudian kadarnya meninggi
dalam satu bulan, menurun perlahan-lahan, dan terdapat selama bertahun-tahun
dengan kadar yang rendah. IgG beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada
darah, sistem getah bening, dan usus.
b) Immunoglobulin A (IgA)
Immunoglobulin A atau IgA ditemukan pada bagian-bagian tubuh yang
dilapisi oleh selaput lendir, misalnya hidung, mata, paru-paru, dan usus. IgA
juga ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya, seperti air mata, air
liur, ASI, getah lambung, dan sekresi usus.
21
c) Immunoglobulin M (IgM)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel-
sel B. Pada saat antigen masuk ke dalam tubuh, Immunoglobulin M (IgM)
merupakan antibodi pertama yang dihasilkan tubuh untuk melawan antigen
tersebut. IgM terbentuk segera setelah terjadi infeksi dan menetap selama 1-3
bulan, kemudian menghilang.
d) Immunoglobulin D (IgD)
Immunoglobulin D atau IgD juga terdapat dalam darah, getah bening,
dan pada permukaan sel-sel B, tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. IgD ini
bertindak dengan menempelkan dirinya pada permukaan sel-sel T, mereka
membantu sel-sel T menangkap antigen.
e) Immunoglobulin E (IgE)
Immunglobulin E atau IgE merupakan antibodi yang beredar dalam
aliran darah. Antibodi ini kadang juga menimbulkan reaksi alergi akut pada
tubuh. Oleh karena itu, tubuh seorang yang sedang mengalami alergi memiliki
kadar IgE yang tinggi. IgE penting melawan infeksi parasit, misalnya
skistosomiasis, yang banayk ditemukan di negara-negara berkembang.
2.2.3 Sistem Imun Terhadap Infeksi Parasit
Parasit berinteraksi dengan inang dalam berbagai cara seperti simbiosis
mutualisme. Banyak parasit mempunyai siklus hidup kompleks yang sebagian
terjadi di dalam tubuh manusia. Kebanyakan infeksi parasit bersifat kronis yang
disebabkan oleh imunitas nonspesifik lemah dan kemampuan parasit untuk
22
bertahan terhadap imunitas spesifik. Disamping itu banyak antibiotik dan obat
anti parasit tidak efektif lagi untuk membunuh parasit. Masyarakat yang hidup
di daerah endemik berulang-ulang terpajan sehingga memerlukan kemoterapi
berulang kali yang sulit dilakukan (Baratawidjaja, 2009).
Infeksi parasit protozoa dan cacing lazim diderita anak-anak di Negara-
negara tropis serta menimbulkan masalah kesehatan yang cukup penting.
Penyakit yang ditimbulkan oleh parasit sangatlah beraneka ragam, begitu pula
respons imun yang efektif terhadap setiap jenis parasit. Pertahanan hospes non-
spesifik relatif tidak efektif terhadap parasit. Mekanisme pertahanan terhadap
infeksi parasit memerlukan antibodi, sel T, dan makrofag yang distimulasi sel T.
Pada umumnya, respons humoral penting terhadap organisme yang menginvasi
aliran darah seperti infeksi malaria dan tripanosomiasis, sedangkan imunitas
seluler berperan pada parasit yang menginvasi jaringan, seperti Leismaniasis
dan Toksoplasmosis (Wahab, 2002).
Antibodi dihasilkan pada berbagai tipe infeksi parasit, tetapi pada
umumnya parasit mampu mengembangkan cara-cara untuk mengelakkan
penghancuran oleh antibodi. Kadar IgM biasanya meningkat pada
tripanosomiasis dan malaria (Wahab, 2002).
Limfosit T mempunyai peran yang penting pada respons hospes
terhadap parasit. Makrofag yang distimulasi limfokin efektif memfagosit
protozoa intraseluler seperti T. cruzi, Leismania donovani, Toxoplasma gondii,
dan Plasmodium sp., serta cacing seperti cacing filaria dan skistosoma. Sel T
23
sitotoksik (Tc) secara langsung dapat menghancurkan sel dan fibroblast jantung
yang terinfeksi T. cruzi (Wahab, 2002).
Trypanosoma terus menerus menguji sistem imun dengan memproduksi
pirogen dan mantel antigen yang berubah-rubah/mutasi sehingga sulit untuk
dikenal dan dieliminasi sistem imun. Toksoplasma melindungi diri dari sistem
imun, dapat menutupi diri dengan laminin dan matriks protein ekstraselular
yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif. Respons selular terhadap
Toksoplasma nampak sangat efektif. Protozoa lain seperti Lesmania mempunyai
predileksi untuk menginfeksi makrofag dan memerlukan respons selular untuk
eradikasinya. IFN yang diproduksi sel Th1 diduga merupakan sitokin terpenting
untuk membunuh parasit (Baratawidjaja, 2009).
Sel T, terutama sel Tc, dapat menghancurkan parasit intraselular,
misalnya T. cruzi. Limfokin yang dilepas sel T yang disensitisasi dapat
mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan ekspresi reseptor Tc, faktor C3
dan faktor komplemen lain yang dapat meningkatkan sitotoksisitas. Peran
imunitas humoral dan selular terhadap parasit terlihat pada tabel 2.2.
Protozoa Plasmodium Lesmania TripanosomaEntamoeba histolitika
MalariaLesmaniasis (mukokutan,diseminasi)
Tripanosomiasis AfrikaAmebiasis
Antibodi dan CD8/CTTh1 CD4 mengaktifkan makrofag untuk membunuh parasit yang dimakanAntibodiAnibodi, fagositosis
Metazoa Skistosoma
Filaria
Skistosomiasis
Filariasis
ADCC atas peran eosinofil,MakrofagCMI; peran antibodi
24
Tabel 2.2 Peran imunitas humoral dan selular terhadap parasit (Sumber : Baratawidjaja, 2009)
2.3 ApoL-1 sebagai Sistem Imun terhadap Infeksi Trypanosoma
2.3.1 Definisi ApoL-1
Apolipoprotein L-1 (ApoL-1) adalah protein kecil pembawa lipid yang
termasuk komponen HDL (High Density Lipoprotein). ApoL-1 disintesis di hati
selain itu juga di jaringan lain, termasuk pankreas, ginjal, dan otak. Walaupun
fungsi intraseluler yang belum dijelaskan, ApoL-1 beredar dalam plasma yang
memiliki kemampuan untuk membunuh T. brucei yang menyebabkan penyakit
tidur (sleeping sickness) (The University of Reading, 2008).
Gen ApoL-1 termasuk ke dalam famili gen ApoL, yang diketahui ada
enam macam pada manusia dan empat belas pada tikus. Pada manusia, famili
gen ApoL sebesar 127 kb yang berisi ApoL 1-4 dan klaster kedua, yang
mengandung ApoL 5-6. Keduanya ditemukan pada kromosom 22. Klaster ApoL
1-4 muncul baru-baru ini via duplikasi gen tandem selama evolusi primata.
Smith dan Malik baru-baru ini telah membuktikan seleksi positif dalam semua
anggota famili gen ApoL, pada beberapa spesies primata, menunjukkan bahwa
gen ini berkembang pesat karena memiliki peran pada sistem imunitas hospes
terhadap patogen. ApoL-6 dapat menginduksi apoptosis, sedangkan ApoL-1
menyebabkan autofagiketika yang diekspresikan secara berlebihan dalam sel-sel
kanker, yang menunjukkan peran protein ApoL pada kematian sel host. ApoL-1
adalah satu-satunya anggota dari keluarga gen ApoL yang mengandung peptida
sinyal N-terminalakanonikal. ApoL1 adalah unik di antara protein ApoL karena
25
dapat disekresikan di luar sel, mungkin karena sinyal peptida N-terminal.
Protein ApoL lainnya tidak memiliki sinyal peptida dan memiliki lokalisasi
yang dapat diprediksikan di dalam sel (Page, et al., 2001).
Semua empat gen (ApoL 1-4) memiliki unsur sterol putatif yang
menunjukkan bahwa transkripsi gen ini dapat dikoordinasikan dengan reseptor
lipoprotein densitas rendah (LDL) dan gen dalam jalur yang melibatkan sintesis
trigliserida dan kolesterol. ApoL-1, ApoL-2, dan ApoL-3 dinyatakan dengan
derajat tertinggi di paru-paru. Jaringan lain dengan ekspresi tinggi adalah
pankreas, prostat, limpa, hati, dan plasenta (Duchateau, et al., 1997).
Dua varian transkripsi encoding dua isoform yang berbeda telah
ditemukan untuk ApoL-1. Baru-baru ini, dua varian urutan coding di ApoL-1
telah terbukti berhubungan dengan penyakit ginjal secara resesif. Distribusi
varian paling terkait dengan risiko penyakit ginjal dianalisis pada populasi
Afrika dan ditemukan lebih lazim di barat dibandingkan dengan populasi laut
Afrika dan absen di Ethiopia (Duchateau, et al., 1997).
ApoL-1 juga baru-baru ini terbukti memiliki fungsi intraseluler,
menyebabkan kematian autofagis sel manusia (Wan et al.2008). Autofagi
digunakan oleh sel untuk “makan diri sendiri” selama kelaparan dan untuk
mendaur ulang isi seluler. Isi sitosolik dikumpulkan di dalam sebuah
autofagosom, dan dikirimkan melalui penyatuan endosom dengan lisosom untuk
degradasi (Mizushima, 2007). Meskipun autofagi umumnya dianggap proses
pro-survival, protein autofagi dapat menyebabkan Program Cell Death (PCD)
dengan mekanisme yang berbeda dari apoptosis (Degterev, et al., 2008).
26
Petunjuk lebih lanjut untuk fungsi protein ApoL berasal dari studi
ekspresi, pemindaian genetik, dan studi kaitan penyakit. Gen-gen ApoL telah
terlibat dalam skizofrenia (Mimmack, et al 2002), kanker payudara
(Dombkowski, et al 2006), kanker serviks (Ahnet, et al 2004), dan osteoarthritis
(Okabe, et al 2007). Namun, peran spesifik dari protein ApoL dalam penyakit
ini tidak diketahui. Gen-gen ApoL diregulasi kembali oleh beberapa molekul
pensinyalan pro-inflamasi, termasuk interferon (IFN)-alpha (Hayashiet, et al
2005), IFN-beta (Stojdl, et al 2003), IFN-gamma (Sana, et al 2005), dan faktor
alpha nekrosis tumor (TNF-alpha) (Monajemi, et al 2002). Pengaturan ini
menunjukkan bahwa protein ApoL berpartisipasi pada sistem kekebalan tubuh,
selain peran ApoL-1 yang disekresikan pada kekebalan pada Trypanosoma.
2.3.2 Peran ApoL-1 pada Infeksi Trypanosoma
Sekitar tahun 1900 Laveran dan Mesnil menemukan bahwa
tripanosomiasis Afrika tidak bertahan dalam darah beberapa primata dan
manusia. Mungkin sebagai adaptasi terhadap lingkungan alam mereka, kera
besar Afrika dan manusia telah memiliki anggota baru dari keluarga
apolipoprotein-L, disebut ApoL-1. Protein ini adalah satu-satunya keluarga
yang akan dikeluarkan dalam darah, di mana ia mengikat subset dari partikel
HDL yang juga mengandung protein spesifik lain pada manusia, haptoglobin-
related protein atau HPR (Vanhollebeke , et al., 2006).
High density lipoprotein (HDL) pada manusia mengandung
Apolipoprotein L-1 (ApoL-1), dan haptoglobin-related protein (HPR) yang
27
merupakan imunitas bawaan (alamiah) terhadap infeksi T. b. brucei. HPR dan
ApoL-1 bersifat sitotoksik terhadap T. b. brucei. Kedua komponen berperan
sebagai Faktor Litik Trypanosoma (FLT), yang membunuh T. b. brucei melalui
pengikatan reseptor, endositosis, dan lokalisasi lisosomal. FLT diaktifkan dalam
lisosom asam dan memfasilitasi gangguan membran lisosomal. Lokalisasi
lisosomal diperlukan untuk T. b. brucei dalam pembunuhan oleh FLT.
Trypanosoma brucei rhodesiense, yang dibedakan dari T. b. brucei, tahan
terhadap pembunuhan TLF dan menyebabkan sleeping sickness manusia (Oli, et
al., 2006).
Manusia mengekspresikan subset dari HDL yang disebut Faktor Litik
Trypanosoma (FLT). FLT terdiri dari Apolipoprotein A1 (Apo-A1), ApoL-1,
dan HPR, yang diekspresikan melalui pengenalan transgen pada tikus untuk
mengeksplorasi peran fisiologis secara in vivo. Coexpression Apo-A1 dan HPR
memiliki efek pada integrasi ApoL-1 ke HDL, dan kedua protein yang
diperlukan untuk meningkatkan aktivitas spesifik FLT, yang terukur in vitro.
Ketiga apolipoprotein tersebut bertindak kooperatif untuk mencapai kapasitas
maksimal fungsi FLT (Molina, et al., 2008).
T. b. brucei memiliki reseptor permukaan spesifik untuk kompleks
haptoglobin-hemoglobin (Hb-Hp), sebagai cara untuk menangkap heme ke
hemoproteins yang berkontribusi terhadap pertumbuhan sel dan ketahanan
terhadap stres oksidatif dari host. Reseptor ini tidak membedakan antara Hp dan
HPR, partikel HDL HPR yang mengandung serum manusia secara efisien
diambil oleh parasit, menyebabkan internalisasi simultan ApoL-1, HPR dan Hb
28
yang diturunkan heme. Setelah di lisosom, ApoL-1 ditargetkan ke membran
lisosom, di mana colicin seperti pori anionik memicu masuknya ion klorida dari
sitoplasma. Efek osmotik terkait dengan fluks ion ini menyebabkan
pembengkakan yang tidak terkendali, pada akhirnya menyebabkan kematian
parasit (Vanhollebeke, et al., 2006).
2.3.3 Mekanisme Lisis Trypanosoma oleh FLT
Infeksi T. brucei menyebabkan kerusakan eritrosit dan melepaskan Hb
dalam plasma. Hb mengikat HDL3 yang terikat HPR, yang pada gilirannya
memungkinkan T. brucei mengikat reseptor, serapan dan aktivitas litik. T.
brucei memerlukan haem dari hemoglobin untuk produksi protein untuk
melawan respon oksidatif dari makrofag.
Gambar 2.10 Mekanisme lisis oleh FLT diawali kerusakan eritrosit akibat infeksi Trypanosoma
(Sumber : Richard J. Wheeler, 2008)
Awalnya, lisis Trypanosoma oleh FLT membutuhkan penyerapan dari
partikel litik oleh endositosis yang diperantarai reseptor. Trypanosoma
29
memperoleh lipid dalam bentuk HDL dan lipoprotein densitas rendah (LDL),
yang diendositosis oleh reseptor lipoprotein parasit. Pada suatu eksperimen
menunjukkan bahwa FLT-1 dan HDL berlomba untuk reseptor lipoprotein
afinitas rendah yang sama tetapi FLT juga memiliki reseptor FLT afinitas tinggi
berkapasitas rendah tambahan. Observasi ini telah diperluas dengan penemuan
reseptor Hp-HbTrypanosoma afinitas tinggi baru-baru ini (THpHbR), yang
digunakan oleh parasit untuk mencari heme, yaitu adalah auxotrophs. Parasit
yang mengalahkan reseptor tersebut tidak dapat mengendositosis bentuk
rekombinan dariHp-Hb dan Hpr-Hb, dan menunjukkan kelemahan lisis oleh
serum manusia normal. Hasil ini menunjukkan bahwa FLT terikat Hpr-Hb
adalah 'Trojanhorse' yang menumpang pada jalur endositik Hp-Hb parasit
tertentu untuk meningkatkan serapannya. Setelah endositosis, FLT dibawa ke
lisosom, yang merupakan lokasi utama dari aktivasi FLT. Pengasaman lisosom,
pembentukan pori dengan FLT dan lisis Trypanosoma berikutnya diblokir oleh
amonium klorida basa lemah atau klorokuin. Harrington, et al 2007
mengusulkan bahwa pada pH asam ada generasi oksigen radikal bebas katalis
HPR-Hb (Hp-Hb), yang menyebabkan peroksidasi lipid dan hilangnya integritas
membran lisosom. Ketika partikel HDL dikirimkan dari partikel endosit ke
lisosom, perubahan pH dari 7 menjadi 5 menginduksi perubahan penyesuaian
diri di dalam domain yang menangani membran ApoL-1. Kondisi ini
menyebabkan hinge yang menghubungkan jembatan garam untuk membuka,
yang melepaskan ApoL-1 dari partikel HDL untuk menyisipkan ke dalam
membran lisosom. Setelah dimasukkan ke dalam membran lisosom, ApoL-1
30
mempekerjakan domain protein pembentuk porinya untuk menciptakan sebuah
pori spesifik anion, yang mengarah pada pembengkakan lisosom dan pada
akhirnya melisis patogen. (Wheeler, et al., 2005).
Setelah aktivasi lisosomal dari FLT, telah ditetapkan bahwa lisis
Trypanosoma melibatkan masuknya awal ion-ion Cl- ke dalam lisosom, diikuti
dengan masuknya Na+ dan ion-ion Cl- dari lingkungan ekstraseluler ke dalam
sitoplasma parasit, yang kemudian diikuti dengan kompensasi masuknya air
(Thomson, et al., 2009).
Gambar 2.11 Mekanisme lisis Trypanosoma oleh FLT(Sumber : Richard J. Wheeler, 2008)
2.3.4 Resistensi Infeksi Trypanosoma terhadap ApoL-1 dan FLT
Dua subspesies Trypanosoma telah mengevolusikan sebuah cara untuk
menolak lisis oleh ApoL-1, yang menyebabkan sleeping sickness atau “penyakit
tidur” pada manusia. Mekanisme resistensi dari Trypanosoma gambiense tidak
diketahui, tetapi mekanisme Trypanosoma rhodesiense telah ditemukan (Xong,
31
et al 1998). Trypanosoma rhodesiense menyandikan protein SRA (Serum
Resistance-Associated) yang secara langsung mengikat ApoL-1 dalam lisosom
Trypanosoma untuk mencegah lisis. SRA berinteraksi dengan ApoL-1 dengan
menggunakan sebuah interaksi pada domain ApoL-1 yang berinteraksi dengan
SRA tersebut. SRA adalah versi dari antigen permukaan utama dan variabel
parasit, Permukaan Variant Glycoprotein atau VSG (Vanhollebeke , et al.,
2006).
32