peran aglomerasi dalam penyebaran investasi asing langsung

27
Jurnal Kebijakan Ekonomi Jurnal Kebijakan Ekonomi Volume 15 Issue 2 Article 5 2020 Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia (FDI) Industri Manufaktur Indonesia Indah Sri Rejeki Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Andi Fahmi Lubis Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke Part of the Economics Commons, Public Affairs, Public Policy and Public Administration Commons, and the Urban Studies and Planning Commons Recommended Citation Recommended Citation Rejeki, Indah Sri and Lubis, Andi Fahmi (2020) "Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia," Jurnal Kebijakan Ekonomi: Vol. 15 : Iss. 2 , Article 5. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5 This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Kebijakan Ekonomi by an authorized editor of UI Scholars Hub.

Upload: others

Post on 12-Mar-2022

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal Kebijakan Ekonomi Jurnal Kebijakan Ekonomi

Volume 15 Issue 2 Article 5

2020

Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung

(FDI) Industri Manufaktur Indonesia (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Indah Sri Rejeki Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Andi Fahmi Lubis Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke

Part of the Economics Commons, Public Affairs, Public Policy and Public Administration Commons,

and the Urban Studies and Planning Commons

Recommended Citation Recommended Citation Rejeki, Indah Sri and Lubis, Andi Fahmi (2020) "Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia," Jurnal Kebijakan Ekonomi: Vol. 15 : Iss. 2 , Article 5. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Kebijakan Ekonomi by an authorized editor of UI Scholars Hub.

1

Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI)

Industri Manufaktur Indonesia

Indah Sri Rejeki1

Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Andi Fahmi Lubis

Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Abstract

For Indonesia and other developing countries where domestic savings are limited, foreign

direct investment (FDI) is a main choice in financing industrial manufacturing development.

The problem is that the geographical distribution of FDI is not evenly distributed between

provinces in Indonesia. This research empirically analyzes the role of agglomeration in the

distribution of FDI in Indonesian Manufacturing Industry. Unlike most previous studies, FDI

data available by provinces in Indonesia are aggregated into 2-digit ISIC industry from 2010

to 2014. This is intended to enrich the results of previous studies which mostly assume the effect

of agglomeration on FDI is the same for all sectors. By using the Generalized Least Square

(GLS) regression method, this research has proven the positive influence of agglomeration on

the distribution of FDI. The existence of agglomeration which is measured by localization

index and manufacturing density index certainly enhances a provincial’s attractiveness to

foreign investment. In addition, besides agglomerations, factors affecting the distribution of

manufacturing FDI in Indonesia are infrastructure, PDRB per capita, capital intensity, wages,

and labor productivity.

Keywords: agglomeration, foreign direct investment (FDI), localization, manufacturing

density

JEL classification: R32, F21

Abstrak

Bagi negara Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dimana tabungan domestic

sangat terbatas, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) menjadi salah satu

primadona sumber pembiayaan pembangunan industri manufaktur. Permasalahan yang muncul

adalah persebaran geografis FDI tidak merata antar provinsi di Indonesia. Penelitian ini

menganalisis secara empiris peran aglomerasi dalam penyebaran investasi asing langsung

(FDI) Industri Manufaktur Indonesia. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, data FDI yang

tersedia untuk tiap provinsi diagregasikan kedalam sub sektor 2 digit ISIC dari tahun 2010 –

2014. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya hasil penelitian sebelumnya, dimana sebagian

besar mengasumsikan dampak aglomerasi adalah sama untuk semua sektor. Dengan

menggunakan metode regresi Generalized Least Square (GLS), penelitian ini berhasil

membuktikan adanya pengaruh posistif aglomerasi terhadap penyebaran FDI. Spesialisasi

industri di suatu lokasi meningkatkan daya Tarik lokasi tersebut bagi masuknya FDI. Selain

faktor aglomerasi, faktor-faktor lain yang mempengaruhi persebaran FDI di industri

manufaktur Indonesia adalah PDRB per kapita, intensitas capital, tingkat upah, dan

produktivitas tenaga kerja.

Kata Kunci: agglomerasi; investasi asing langsung (FDI)

PENDAHULUAN

Sektor industri manufaktur mempunyai

peran yang cukup penting dalam

1 Alamat korespondensi: [email protected]

pembangunan ekonomi Indonesia.

Kontribusi sektor industri manufaktur

terhadap PDB nasional merupakan yang

terbesar diantara sektor lainnya. Data

1

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

2

menunjukkan dari tahun 2011 sampai

dengan 2014, kontribusi sektor industri

manufaktur mencapai lebih dari 20% per

tahun, diikuti oleh sektor pertanian dan

perdagangan yang mencapai 13% per tahun

dan sektor pertambangan dan penggalian

sebesar kurang lebih 10% per tahun

(Laporan Kinerja Kementerian

Perindustrian, 2015).

Salah satu upaya pemerintah Indonesia

dalam mempercepat perkembangan

industry manufaktur adalah dengan

menciptakan iklim investasi yang kondusif

bagi masuknya investasi asing langsung

(FDI). Hal ini dikarenakan FDI merupakan

salah satu sumber modal kapital yang

diperlukan untuk pengembangan dan

peningkatan efisiensi industry yang secara

paralel dapat menciptakan lebih banyak

lapangan pekerjaan dan meningkatkan laju

perekomian nasional.

Permasalahan utama terkait investasi asing

perusahaan manufaktur Indonesia adalah

terjadinya ketidakmerataan persebaran

geografis dari realisasi FDI di setiap

propinsi di Indonesia. Terdapat

kesenjangan yang cukup mencolok antara

satu propinsi dengan propinsi lainnya.

Apabila dilihat ke dalam wilayah yang

lebih luas, data BKPM menunjukkan

bahwa dari tahun 2010 – 2014, penyebaran

FDI di Indonesia cenderung terpusat di

Pulau Jawa. Dari tabel 1 diketahui bahwa

realisasi FDI industri manufaktur di Pulau

Jawa mencapai lebih dari 65% per tahun,

dan secara rata-rata, selama kurun waktu

tersebut, persebaran FDI di Pulau Jawa

mencapai 72% sedangkan di luar Pulau

Jawa hanya sekitar 28%.

Adanya ketidakmerataan persebaran

geografis realisasi FDI ini dikhawatirkan

menyebabkan terjadinya kesenjangan

ekonomi antar pulau di Indonesia. Untuk

itu, faktor determinan masuknya investasi

asing dirasa perlu untuk dikaji ulang

sehingga kebijakan pemerintah dalam

rangka pemerataan pembangunan industri

di luar Pulau Jawa dapat tercapai.

Tabel 1. Penyebaran Geografis FDI Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2010 –

2014 Berdasarkan Pulau 2010 2011 2012 2013 2014

Jawa Ribu US $ 2,454,995.60 5,528,359.50 7,851,788.70 11,753,110.00 8,493,104.70

Persentase 73.56 81.42 66.71 74.11 65.23

Sumatera Ribu US $ 318,477.50 614,125.50 2,173,081.90 2,352,695.60 2,128,666.00

Persentase 9.54 9.05 18.46 14.84 16.35

Kalimantan Ribu US $ 367,787.80 198,031.10 736,466.30 487,232.50 858,980.80

Persentase 11.02 2.92 6.26 3.07 6.60

Sulawesi Ribu US $ 172,445.00 364,627.30 964,956.80 1,202,358.60 1,514,472.40

Persentase 5.17 5.37 8.20 7.58 11.63

Bali,

Maluku,

Ribu US $ 9,708.30 78,026.60 34,095.70 34,437.60 16,074.70

Dan Nusa

Tenggara

Persentase 0.29 1.15 0.29 0.22 0.12

Irian Ribu US $ 13,887.90 6,477.70 9,561.90 28,958.60 7,975.00

Persentase 0.42 0.10 0.08 0.18 0.06

Catatan: BKPM (data diolah)

2

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

3

Salah satu faktor yang dianggap dapat

mempengaruhi masuknya FDI ke dalam

suatu wilayah atau negara adalah

aglomerasi. Aglomerasi memungkinkan

perusahaan untuk melakukan produksi

dengan biaya (rata-rata) yang rendah atau

sering disebut sebagai penghematan

aglomerasi. Hoover menyatakan ada dua

macam penghematan aglomerasi: (i)

Localization economies, yaitu biaya rata-

rata perusahaan sejenis (dalam satu

industri) pada lokasi yang sama turun

dikarenakan jumlah produksi industri

tersebut meningkat dan (ii) Urbanization

economies, yaitu biaya total rata-rata tiap

perusahaan pada suatu lokasi turun karena

membesarnya skala ekonomis (penduduk,

output, pendapatan, dan kesejahteraan) dari

lokasi tersebut.

Konsep aglomerasi diperkenalkan pertama

kali oleh Marshall (1920). Menurut

Marshall, perusahaan dalam industri yang

sama dapat memperoleh penghematan

akibat dari pembentukan kluster yang

terkonsentrasi pada lokasi yang sama.

Marshall menyatakan bahwa terjadinya

konsentrasi geografis didorong oleh

ketersediaan tenaga kerja yang

terspesialisasi, ketersediaan input spesifik

yang lebih baik dan lebih murah, serta

terjadinya limpahan pengetahuan

(knowledge spillover) antar perusahaan

dalam industri yang sama.

Berbeda dengan Marshall, Jacobs (1969)

mengemukakan adanya eksternalitas positif

yang berasal dari industri yang berbeda-

beda yang berada dalam satu lokasi yang

sama.

Berdasarkan teori ini, dibandingkan

spesialisasi pada satu industri tertentu,

diversifikasi industri lebih mempercepat

pertumbuhan melalui perpindahan ide-ide

baru dan munculnya inovasi.

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan

Inggris, industri manufaktur juga mengikuti

proses selektif dari segi geografis.

Mayoritas industri manufaktur di Amerika

Serikat terkonsentrasi pada suatu wilayah

yang disebut sabuk manufaktur

(Manufacturing Belt), yaitu di sebagian

kecil Northeast serta bagian timur Midwest

atau di daerah antara Green Bay, St. Louis,

Baltimore, dan Portland. Sabuk manufaktur

tersebut yang terbentuk sejak pertengahan

kedua abad 19 dan terbukti menonjol dan

dan terus bertahan sampai tahun 1950-an.

Di Inggris, konsentrasi spasial serupa

ditemukan di kawasan industri Axial Belt

yang terdapat pada beberapa pusat industri,

seperti di Birmingham, Leeds, Manchester,

dan Sheffield.

Di Indonesia, persebaran geografis industri

manufaktur Indonesia terpusat di wilayah

Indonesia bagian barat. Hasil penelitian

Kuncoro (2004) menunjukkan bahwa

selama tahun 1976 – 2001, sebagian besar

aktivitas industri manufaktur Indonesia

terus berlangsung di Pulau Jawa dan

Sumatera. Menurut Kuncoro, jika 27

propinsi yang ada pada waktu itu

dikelompokkan ke dalam lima pulau utama

(Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,

dan Pulau-pulau Katimin), Jawa dan

Sumatera menyerap lebih dari 90% tenaga

kerja Indonesia selama kurun waktu

tersebut.

3

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

4

Beberapa penelitian empiris telah

dilakukan untuk membuktikan adanya

pengaruh positif aglomerasi terhadap

masuknya FDI ke dalam suatu wilayah atau

negara, menguji apakah konsentrasi spasial

yang terjadi dapat menarik lebih banyak

aliran masuk FDI ke dalam wilayah

tersebut. Beberapa penelitian berhasil

membuktikan adanya pengaruh positif

aglomerasi terhadap FDI industri

manufaktur, sedangkan beberapa penelitian

lain menunjukkan adanya hubungan negatif

aglomerasi terhadap FDI. Hasil yang

berbeda kemungkinan diperoleh akibat dari

penggunaan ukuran yang berbeda sebagai

proksi tingkat aglomerasi atau karena

adanya tingkat kompetisi yang berbeda

antar industry dalam suatu wilayah.

Dengan membedakan aglomerasi ke dalam

spesialisasi dan diversifikasi, Papalia dan

Bertarelli (2008) menguji peran aglomerasi

dalam menarik investasi asing di Italia.

Hasil penelitian keduanya membuktikan

bahwa spesialisasi berpengaruh positif

hanya pada FDI sektor manufaktur,

sedangkan diversifikasi berpengaruh positif

pada sektor pertanian dan konstruksi dan

tidak berpengaruh pada sektor manufaktur.

Penelitian lain dilakukan oleh He (2008)

dengan menggunakan indeks yang

dikembangkan oleh Maurel dan Sedilot

sebagai proksi lokalisasi/aglomerasi

geografis dan tabel input-output untuk

mengukur tingkat hubungan intra-inter

industri. Dengan menggunakan sampel

perusahaan manufaktur yang ada di China,

He berhasil membuktikan bahwa

aglomerasi industri meningkatkan daya

tarik suatu industri bagi masuknya FDI.

Meskipun demikian, hubungan positif ini

hanya terjadi pada industry dimana

didalamnya hubungan intra-industri cukup

kuat. Untuk industri dimana hubungan

inter-industri kuat, FDI yang masuk justru

mengalami penurunan.

Di Indonesia, studi terkait faktor-faktor

determinan yang mempengaruhi masuknya

FDI ke dalam industri manufaktur sudah

banyak dilakukan. Akan tetapi,

sepengetahuan penulis, studi yang

memfokuskan kepada peran aglomerasi

terhadap persebaran FDI masih sangat

jarang. Beberapa studi menggunakan

infrastruktur sebagai variabel control dan

menganalisis pengaruhnya terhadap aliran

masuk FDI (Sodik dan Nuryadin, 2008;

Fitriandi et al, 2014; Soekro dan Widodo,

2015). Selain itu, sebagian besar penelitian

mengasumsikan efek aglomerasi adalah

sama untuk semua sektor.

Ketersediaan fasilitas infrastruktur

dianggap sebagai salah satu faktor penarik

terjadinya konsentrasi geografis industri

manufaktur di suatu wilayah tertentu.

Infrastruktur yang baik memungkinkan

perusahaan memperoleh manfaat berupa

penghematan biaya transportasi sehingga

menurunkan biaya produksi. Penghematan

inilah yang akan meningkatkan daya tarik

suatu wilayah bagi masuknya investasi,

baik investasi domestik maupun investasi

asing.

Penelitian ini dimaksudkan untuk

menganalisis pengaruh aglomerasi

terhadap penyebaran FDI industri

4

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

5

manufaktur Indonesia dengan

menggunakan indeks spesialisasi dan

densitas manufaktur sebagai ukuran

terjadinya penghematan aglomerasi.

Menurut penulis hal ini perlu dilakukan

karena pada industri yang teraglomerasi,

perusahaan selain memperoleh

penghematan yang berasal dari penurunan

biaya transportasi akibat ketersediaan

infrastruktur yang memadai, juga dapat

memperoleh penghematan biaya transaksi

lain yang berasal dari kedekatan jarak,

pemusatan tenaga kerja terampil dan

ketersediaan pemasok tertentu. Di samping

itu, perusahaan yang terdapat di wilayah

aglomerasi juga dapat memperoleh

eksternalitas positif yang berasal dari

pertukaran informasi dan teknologi yang

memicu terjadinya inovasi.

Artikel penelitian ini disusun dalam lima

bagian. Bagian pertama berisi latar

belakang yang menjadi alasan

dilakukannya penelitian, perumusan

masalah penelitian dan tujuan penelitian.

Bagian kedua menjelaskan tinjauan

literatur yang menjadi acuan dalam

penelitian, yang meliputi landasan teori dan

studi empiris terkait peran aglomerasi

dalam meningkatkan daya tarik wilayah

bagi masuknya FDI. Dari tinjauan teori dan

empiris tersebut, dirumuskan hipotesis dari

penelitian ini. Bagian ketiga menjelaskan

tentang jenis dan sumber data yang

digunakan dalam penelitian, termasuk

metode empiris dan penjelasan dari masing-

masing variabel. Bagian keempat

menguraikan hasil estimasi dan

pembahasan mengenai hasil tersebut dan

terakhir, bagian kelima berisi kesimpulan,

implikasi kebijakan serta keterbatasan

penelitian.

TINJAUAN LITERATUR

Secara teoritis, penyebaran geografis dari

realisasi FDI dipengaruhi oleh keunggulan

monopolistik yang dimiliki oleh

perusahaan multinasional dan karakteristik

dari wilayah yang menjadi tujuan dari FDI.

Untuk itu, dalam melihat peran aglomerasi

terhadap persebaran FDI, penelitian ini

mendasarkan pada teori lokasi industri yang

menjelaskan faktor-faktor apakah yang

mempengaruhi persebaran aktivitas

ekonomi secara geografis.

Alfred Weber (1907 – 1933)

mengemukakan suatu teori yang

menyatakan bahwa industri sebaikknya

berlokasi di tempat yang mempunyai biaya

paling minimal. Menurut Weber, pemilihan

lokasi suatu industri tergantung pada total

biaya transportasi dan tenaga kerja, dimana

penjumlahan keduanya harus minimum.

Tempat di mana total biaya transportasi dan

tenaga kerja minimum adalah identik

dengan tingkat keuntungan yang

maksimum.

Menurut Weber, terdapat tiga faktor utama

yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu

faktor tenaga kerja dan biaya transportasi

yang merupakan faktor regional yang

bersifat umum, serta faktor aglomerasi

yang bersifat lokal dan khusus. Beberapa

asumsi utama yang digunakan oleh Weber

adalah lokasi bahan baku berada di tempat

tertentu begitu pula tempat konsumsi

sehingga terdapat suatu persaingan

5

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

6

sempurna. Ada beberapa tempat dimana

tenaga kerja bersifat tidak mudah bergerak.

Dalam menjelaskan keterkaitan biaya

transportasi dan bahan baku, Weber

menggunakan konsep segitiga lokasi

(locational triangle) untuk memperoleh

lokasi optimum yang menunjukkan apakah

lokasi tersebut lebih dekat ke lokasi bahan

baku atau pasar. Dalam menyusun

konsepnya, Weber melakukan

penyederhanaan dengan membayangkan

adanya bentang lahan yang homogen dan

datar serta mengesampingkan upah buruh

dan jangkauan pasar. Dengan asumsi harga

satuan angkutan sama, menurut Weber

biaya transportasi akan tergantung pada

bobot atau volume barang dan jarak

pengangkutan.

Weber mengelompokkan industri menjadi

dua: (i) Industri yang weight losing, yaitu

industri yang hasil produksinya mempunyai

berat yang lebih ringan daripada bahan

bakunya, misalnya industri kertas. Pada

industri ini, biaya transportasi bahan baku

menuju pabrik lebih mahal daripada biaya

transportasi produk jadi menuju pasar. Oleh

karena itu, lokasi produksi sebaiknya

ditempatkan di dekat sumber bahan baku.

(ii) Industri yang weight gaining, yaitu

industri yang bahan bakunya mempunyai

berat lebih ringan daripada hasil

produksinya. Pada industri ini, biaya

transportasi bahan baku menuju pabrik

lebih murah daripada biaya transportasi

produk jadi menuju pasar. Oleh karena itu,

lokasi produksi sebaiknya ditempatkan di

dekat pasar. Pada intinya, lokasi akan

optimal apabila pabrik berada di sentral,

karena biaya dari manapun akan rendah.

Biaya transportasi tersebut berkaitan

dengan dua hal, yaitu biaya transportasi

bahan mentah dari pemasok dan biaya

transportasi hasil produksi ke pasar.

Weber menjelaskan adanya gejala

aglomerasi industri. Gejala aglomerasi

merupakan pemusatan produksi di lokasi

tertentu. Pemusatan produksi dapat terjadi

dalam satu perusahaan atau berbagai

perusahaan yang mengusahakan berbagai

produk. Gejala ini menarik industri dari

lokasi biaya angkut minimum karena

adanya berbagai bentuk penghematan

eksternal yang disebut agglomeration

economies. Perpindahan ini mengakibatkan

kenaikan biaya angkut, sehingga dilihat

dari segi ini tidak lagi optimum.

Menurut Weber, industri tersebut baru akan

pindah apabila penghematan yang

disebabkan aglomerasi lebih besar daripada

kenaikan biaya angkut akibat

perpindahanmtersebut.

Istilah aglomerasi yang diperkenalkan

Weber kemudian disempurnakan oleh

Marshall (1920). Aglomerasi Marshall

mendasarkan pada pemikiran tentang

terjadinya penghematan aglomerasi

(agglomeration economies) atau dalam

istilah Marshall disebut sebagai industri

yang terlokalisir (localized industries).

Agglomeration economies atau localized

industries menurut Marshall muncul ketika

sebuah industri memilih lokasi produksi

yang memungkinkan dapat berlangsung

dalam jangka panjang sehingga masyarakat

akan banyak memperoleh keuntungan

6

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

7

apabila mengikuti tindakan mendirikan

usaha disekitar lokasi tersebut (Tilaar,

2010).

Penghematan aglomerasi sebagai

penghematan akibat adanya lokasi yang

berdekatan (economies of proximity)

diasosiasikan dengan pengelompokan

perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen

secara spasial untuk meminimisasi biaya-

biaya, seperti biaya transportasi, informasi

dan komunikasi. Menurut Marshall,

konsentrasi geografis didorong oleh

ketersediaan tenaga kerja yang

terspesialisasi, ketersediaan input spesifik

yang lebih baik dan lebih murah, serta

terjadinya limpahan pengetahuan

(knowledge spillover) antar perusahaan

dalam industri yang sama.

Ide pertama Marshall mendasarkan pada

anggapan bahwa perusahaan tertarik pada

lokasi yang mempunyai cukup banyak

supply tenaga kerja. Pada saat yang sama,

tenaga kerja tertarik pada industri yang

terkonsentrasi untuk mengurangi resiko

menganggur.

Dalam kondisi keseimbangan, kondisi

tersebut mengurangi resiko peningkatan

upah yang tinggi, meningkatkan

ketersediaan supply tenaga kerja, dan

menguntungkan perusahaan dengan

membayar upah yang lebih rendah. Ide

kedua mendasarkan padapemikiran bahwa

ketersediaan input yang produktif lebih

besar pada daerah yang terkonsentrasi.

Perusahaan memperoleh keuntungan dari

ketersediaan pemasok input tertentu

sehingga mengurangi biaya transaksi. Yang

terakhir, ide ketiga mendasarkan pada

anggapan bahwa jarak yang tereduksi

dengan adanya konsentrasi geografis akan

memperlancar arus informasi dan

pengetahuan.

Teori tentang eksternalitas spesialisasi

Marshall kemudian dikembangkan oleh

Arrow dan Romer, sehingga dikenal juga

sebagai teori eksternalitas MAR. Teori

eksternalitas MAR menyatakan bahwa

konsentrasi industri pada suatu wilayah

mendorong terjadinya limpahan

pengetahuan antar perusahaan pada industri

yang sama yang ada di wilayah tersebut.

Spesialisasi industri yang terjadi pada suatu

wilayah tersebut mendorong terjadinya

transmisi dan pertukaran pengetahuan, ide,

dan informasi, baik melalui proses imitasi

maupun perpindahan tenaga kerja terampil.

Berbeda dengan teori eksternalitas MAR,

Jacobs (1969) mengemukakan adanya

eksternalitas positif yang berasal dari

industri yang berbeda-beda yang berada

dalam satu lokasi yang sama. Eksternalitas

positif yang dikenal dengan istilah

eksternalitas Jacobs ini mendasarkan pada

ide bahwa keragaman dari berbagai industri

yang berdekatan secara spasial mendorong

transfer pengetahuan dan mempercepat

pertumbuhan. Berdasarkan teori ini,

dibandingkan spesialisasi pada satu industri

tertentu, diversifikasi industri lebih

mempercepat pertumbuhan melalui

perpindahan ide-ide baru dan munculnya

inovasi antara industri satu ke industri yang

lain.

7

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

8

Krugman (1991) berusaha menurunkan

efek aglomerasi dari interkasi antara

besarnya pasar, biaya transportasi dan

increasing return dari perusahaan. Teori

yang disebut sebagai New Economic

Geography ini menekankan pada

mekanisme kausalitas sirkular untuk

menjelaskan konsentrasi spasial dari

kegiatan ekonomi. Teori ini mendasarkan

pada pemikiran mengapa industri

manufaktur secara umum hanya

terkonsentrasi pada satu atau beberapa

wilayah saja pada suatu negara (disebut

dengan wilayah core), sedangkan wilayah

lainnya didiami oleh sektor primer yang

merupakan pemasok bahan baku untuk

industri tersebut (disebut dengan wilayah

periphery).

Menurut Krugman (1991b), eksternalitas

yang terjadi pada wilayah core-periphery

merupakan eksternalitas pecuniary yang

disebabkan oleh keterkaitan permintaan

atau penawaran, dan bukan hanya limpahan

teknologi. Eksternalitas pecuniary hanya

dapat terjadi pada kondisi persaingan tidak

sempurna dan increasing returns to scale.

Dengan pertimbangan skala ekonomis,

proses produksi industri manufaktur hanya

dapat dilakukan pada beberapa lokasi saja.

Lokasi yang dipilih terutama disebabkan

oleh permintaan yang relatif tinggi di lokasi

tersebut dan biaya transportasi minimal

akan diperoleh jika perusahaan berdekatan

dengan pasar.

Pada perkembangannya, Krugman

membandingkan dua kekuatan saling

bertentangan yang dapat mempengaruhi

konsentrasi industri manufaktur, yaitu

kekuatan sentripetal dan kekuatan

sentrifugal. Dalam model tersebut,

kekuatan sentripetal (faktor pendorong

aglomerasi) berasal dari adanya variasi

konsumsi atau beragamnya intermediate

goods pada sisi produksi. Sedangkan

kekuatan sentrifugal (faktor penghambat

aglomerasi) berasal dari tekanan yang

dimiliki oleh konsentrasi geografis dari

pasar input lokal yang menawarkan harga

lebih tinggi. Jika biaya transportasi cukup

rendah, maka akan terjadi aglomerasi.

Menurut Krugman, sumber-sumber

kekuatan sentripetal sama dengan

sumbersumber ekonomi external yang

diungkapkan oleh Marshall, yaitu

kedekatan dengan pemasok dan konsumen

sehingga terjadi penurunan biaya

transportasi, pengumpulan tenaga kerja

dengan keahlian yang sejenis, dan pure

external economies melalui limpahan

pengetahuan. Kekuatan sentrifugal

bersumber dari faktor-faktor produksi yang

tidak bergerak (immobile factors) seperti

tanah, sumber daya alam, dan juga

penduduk yang menghalangi terjadinya

konsentrasi kegiatan produksi.

Dari sisi penawaran, perusahaan harus

berlokasi dekat dengan sumber daya alam

dan tenaga kerja, sedagkan dari sisi

permintaan, perusahaan harus berlokasi

dekat dengan pasar yang tidak

terkonsentrasi. Konsentrasi aktivitas

perekonomian dapat menyebabkan harga

sewa tanah dan perumahan menjadi

meningkat, sehingga membuat perusahaan

ataupun tenaga kerja enggan untuk

berlokasi dan bermukim di suatu wilayah.

8

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

9

Konsentrasi tersebut juga dapat

menyebabkan timbulnya pure external

diseconomies, yang dapat terjadi jika suatu

wilayah sudah sangat terkonsentrasi atau

penuh sesak dengan lapangan usaha dan

juga penduduk. Pada akhirnya, kepadatan

populasi dan aktivitas produksi merupakan

hasil dari keseimbangan kekuatan

sentripetal dan sentrifugal. Jika faktor-

faktor produksi tidak bergerak (immobile

factors) tetap bertahan di wilayah

periphery, perusahaan dari wilayah core

dapat berpindah ke wilayah periphery untuk

memenuhi kebutuhan wilayah tersebut dan

juga menghindari konsentrasi geografis

yang terlalu tinggi.

Dalam model eksternalitas teknologi,

transfer pengetahuan antar perusahaan

memberikan insentif bagi aglomerasi

ekonomi. Informasi dianggap sebagai

barang public sehingga tidak ada

persaingan untuk memperolehnya. Dengan

mengasumsikan bahwa masing-masing

perusahaan menghasilkan informasi yang

berbeda-beda, manfaat interaksi meningkat

seiring dengan jumlah perusahaan. Karena

interaksi informal, perluasan pertukaran

informasi menurun dengan meningkatnya

jarak. Hal ini memberikan insentif bagi

perusahaan untuk berlokasi berdekatan

dengan perusahaan lain sehingga

menghasilkan aglomerasi.

Dalam pandangan teori neo klasik, Kojima

(1982) menyatakan bahwa keunggulan

komparatif (comparative advantage) dari

suatu wilayah menjadi faktor panarik

masuknya FDI ke dalam wilayah tersebut.

Kojima mengidentifikasi biaya tenaga kerja

sebagai keunggulan komparatif dari suatu

wilayah. Menurut Santiago (1987),

kemudahan akses menuju sentral bisnis,

biaya transportasi dan ketersediaan

infrastruktur lah yang menjadi faktor

keunggulan komparatif dari wilayah.

Dalam pandangan new economic

geography, Krugman (1991)

mengidentifikasi penghematan aglomerasi

sebagai salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi daya Tarik wilayah bagi

masuknya FDI. Agglomerasi meningkatkan

konsentrasi FDI di wilayah tertentu

dikarenakan aglomerasi meningkatkan

return dari perusahaan yang ada di

dalamnya (Shaver dan Flyer, 2000;

Coughlin dan Segev, 2000). Aglomerasi

juga membantu mengurangi biaya

transportasi (Guimaraes et al, 2000). Akan

tetapi, ketika aglomerasi mencapai level

tertentu, wilayah/kota akan mengalami

disekonomis atau kehilangan keunggulan

komparatifnya dikarenakan eksternalitas

negative dari aglomerasi, seperti misalnya

kenaikan tingkat upah dan harga lahan

(Chan et al 2008 dalam Kang, 2000).

Apabila efek eksternalitas positif lebih

besar dibandingkan efek kenaikan tingkat

upah atau harga lahan, maka FDI tetap

masuk ke dalam wilayah tersebut.

Penelitian telah banyak dilakukan untuk

membuktikan pengaruh positif aglomerasi

terhadap investasi asing langsung, baik

pada level negara, kawasan, wilayah

maupun level provinsi. Sebagian besar

penelitian bertujuan untuk menguji ada atau

tidaknya peran aglomerasi terhadap

9

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

10

keterpilihan lokasi FDI (Shaver dan Flyer,

2000; Bronzini, 2004; Papalia dan

Bertarelli, 2009; Lamin dan Livanis, 2013).

Beberapa penelitian lain bertujuan menguji

peran aglomerasi dalam meningkatkan

daya tarik wilayah bagi masuknya lebih

banyak FDI, melihat seberapa besar

pengaruh aglomerasi terhadap FDI yang

masuk ke dalam suatu wilayah (Tuan dan

Linda, 2004; He, 2008; Brude, 2014).

Untuk tujuan penelitian yang pertama,

beberapa proksi yang berbeda digunakan

untuk mengukur keberadaan penghematan

aglomerasi, menganalisis pengaruhnya

terhadap probabilitas suatu wilayah terpilih

sebagai lokasi FDI. Dengan menggunakan

discrete choice model, hasil yang positif

menunjukkan adanya pengaruh positif

aglomerasi terhadap kemampuan atau

ketidakmampuan wilayah menarik

investasi asing. Wilayah dikatakan mampu

menarik investasi jika ada FDI yang masuk

ke dalam wilayah tersebut, dan begitu pula

sebaliknya, wilayah dikatakan tidak mampu

menarik arus masuk FDI apabila tidak ada

FDI yang masuk ke dalam lokasi tersebut.

Untuk tujuan penelitian yang kedua,

beberapa proksi yang berbeda digunakan

untuk mengukur keberadaan penghematan

aglomerasi, menganalisis pengaruhnya

terhadap jumlah FDI yang masuk, baik

dalam satuan nilai maupun jumlah proyek.

Hasil penelitian yang bertanda positif dan

signifikan menunjukkan pengaruh positif

dari aglomerasi terhadap daya tarik wilayah

untuk masuknya FDI. Wilayah dikatakan

mempunyai daya tarik apabila arus FDI

yang masuk ke dalam lokasi tersebut lebih

banyak dibandingkan FDI yang masuk ke

wilayah lain.

Beberapa proksi yang berbeda yang

digunakan oleh peneliti sebelumnya untuk

mengukur aglomerasi, antara lain: (i) rasio

antara jumlah tenaga kerja manufaktur atau

jumlah penduduk per luas lahan (Caughlin

et al, 1991; Pelegrin dan Catalina, 2008);

(ii) jumlah perusahaan manufaktur yang

ada di suatu wilayah (Basile, 2002); (iii)

tingkat industrialisasi yang diukur dengan

rata-rata tertimbang output manufaktur

terhadap GDP (Wheeler dan Mody, 1992);

(iv) infrastruktur dari endowment atau stok

FDI sebelumnya (Wheeler dan Mody,

1992, Fitriandi et al, 2014); (v) rasio tenaga

kerja sektor tertentu terhadap total tenaga

kerja nasional (Head et al, 1995); (vi)

jumlah perusahaan asing yang ada di suatu

wilayah pada periode sebelumnya

(Bronzini, 2004), dan (vii) indeks

spesialisasi Marshall dan diversifikasi

Jacobs (Bronzini, 2007; Papalia dan

Bertarelli, 2008).

METODE

Penelitian ini menggunakan data sekunder

yang diperoleh dari BKPM (Badan

Koordinasi Penanaman Modal), BPS

(Badan Pusat Statistik) Indonesia dan

sumber-sumber lainnya. Data BKPM

dalam penelitian ini berupa data realisasi

investasi asing langsung pada industri

manufaktur Indonesia, sedangkan data BPS

berasal dari survey tahunan industri besar

dan menengah yang mempunyai tenaga

kerja minimal 20 orang. Dari data IBS,

diperoleh data jumlah tenaga kerja, nilai

10

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

11

output, status kepemilikan, nilai kapital dan

nilai ekspor dari tahun 2010 sampai dengan

2014.

Selain kedua sumber data tersebut,

penelitian ini juga menggunakan data upah

minimum provinsi yang diperoleh dari

Publikasi Kementerian Ketenagakerjaan

dan data luas lahan per provinsi yang

diperoleh dari publikasi Kementerian

Dalam Negeri.

Untuk perhitungan variabel aglomerasi,

dalam hal ini adalah indeks spesialisasi,

dilakukan pengagregasian data menurut

ISIC 2 digit sebagai agregasi level sektor

dan provinsi sebagai agregasi level

wilayah.

Metode estimasi

Penelitian ini menggunakan data panel

sektor industri manufaktur dan provinsi di

Indonesia dengan periode waktu tahunan

dari tahun 2010 – 2014. Metode estimasi

yang digunakan adalah regresi data panel

dengan model empiris sebagai berikut:

𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑑 = 𝛼 + 𝛽1𝐼𝑁𝑇𝑅𝐴𝑖𝑗, βˆ’1

+ 𝛽2𝐷𝐸𝑁𝑆𝑖, 𝑑 βˆ’ 1

+ 𝛽3𝑃𝐷𝑅𝐡𝑖, 𝑑 βˆ’ 1

+ 𝛽4𝐸𝑋𝑃𝑇𝑖𝑗 , 𝑑 βˆ’ 1

+ 𝛽5𝐾𝐿𝑗 , 𝑑 βˆ’ 1

+ 𝛽6π‘ˆπ‘€π‘ƒπ‘–, 𝑑 βˆ’ 1

+ 𝛽7𝑃𝑅𝑂𝐷𝑇𝐾𝑖𝑗 , 𝑑 βˆ’ 1

+ 𝛽8𝐻𝐻𝐼𝑖𝑗 , 𝑑 βˆ’ 1

+ πœ€π‘–π‘—π‘‘(1)

Keterangan:

FDI : aliran masuk FDI pada industri

manufaktur

INTRA : indeks spesialisasi Marshall

DENS : indeks densitas manufaktur

PDRB : PDRB per kapita

EXPT : tingkat perdagangan, diukur

dengan intensitas ekspor

KL : intensitas modal

UMP : upah minimum provinsi

PRODTK: produktivitas tenaga kerja

HHI : tingkat kompetisi provinsi

i : provinsi

j : sub sektor industri 2 digit ISIC

t : tahun pengamatan

Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan satu variabel

terikat dan beberapa variabel bebas yang

terdiri dari satu variabel bebas utama dan

beberapa variabel kontrol. Variabel bebas

utama merupakan variabel bebas yang

menjadi fokus perhatian dalam penelitian

ini, sedangkan variabel kontrol merupakan

variabel-variabel lain selain variabel bebas

utama yang juga mempengaruhi variabel

terikat.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

aliran masuk investasi asing langsung/FDI

industri manufaktur Indonesia yang diukur

dengan nilai realisasi FDI di setiap provinsi

untuk masing-masing sub sektor industri.

Dikarenakan fokus penelitian adalah

melihat pengaruh aglomerasi terhadap

penyebaran FDI, maka variabel bebas

utama pada penelitian ini adalah aglomerasi

ekonomi yang dibedakan atas spesialisasi

ekonomi dan densitas manufaktur.

Spesialisasi ekonomi atau localization

economies merupakan variabel yang

digunakan untuk menganalisis adanya

eksternalitas yang terjadi pada industri yang

sama (intra-industry externality). Merujuk

11

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

12

pada teori aglomerasi Marshall,

sebagaimana penelitian yang dilakukan

oleh Papalia dan Bertarelli (2009), dalam

penelitian ini digunakan indeks spesialisasi

dari industri dengan 2 digit ISIC yang sama.

Perusahaan yang terspesialisasi dianggap

mampu menarik masuknya perusahaan

baru dikarenakan adanya efek koordinasi

dan complemantary products. Menurut

Hoover, perusahaan memperoleh

eksternalitas dari konsentrasi perusahaan

sejenis apabila perusahaan dengan industri

yang sama menggunakan pemasok input

spesifik yang sama dan terjadi pemusatan

tenaga kerja terampil. Indeks spesialisasi

industri regional relatif terhadap komposisi

industri nasional dinyatakan sebagai

berikut:

𝐼𝑁𝑇𝑅𝐴𝑖𝑗 =πΌπ‘†π‘–π‘—βˆ’1

𝐼𝑆𝑖𝑗+1

𝑑𝑖 π‘šπ‘Žπ‘›π‘Ž 𝐼𝑆𝑖𝑗 =

πΏπ‘–π‘—βˆ‘ 𝐿𝑖𝑗𝑗

⁄

πΏπ‘—π‘βˆ‘ 𝐿𝑗𝑁𝑗

⁄ (2)

Lij merupakan jumlah tenaga kerja provinsi

i pada sub sektor j dan LjN adalah jumlah

tenaga kerja nasional pada sub sektor j.

Ukuran aglomerasi yang kedua adalah

manufacturing density. Densitas

manufaktur merupakan variabel untuk

menganalisis adanya efek demonstrasi dari

aglomerasi.

Caughlin et al (1991) menyatakan bahwa

keberadaan aktivitas manufaktur di suatu

wilayah memberikan gambaran tersedianya

pemasok dan pelanggan dalam jumlah yang

cukup besar dimana didalamnya terdapat

hubungan industri yang kuat sehingga

memberikan daya tarik bagi masuknya

perusahaan baru. Sama halnya Pelegrin dan

Catalina (2008), indeks densitas

manufaktur yang digunakan dalam

penelitian ini diukur dengan banyaknya

tenaga kerja manufaktur per km persegi.

Rumus perhitungan densitas manufaktur

adalah sebagai berikut:

𝐷𝐸𝑁𝑆𝑖 =𝐿𝑖

πΏπ‘’π‘Žπ‘  π‘™π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘›π‘–β„ (3)

Li adalah jumlah tenaga kerja industri

manufaktur yang ada di provinsi i. Selain

variabel utama, sebagaimana disampaikan

sebelumnya, penelitian ini juga

menggunakan beberapa variabel bebas lain

yang disebut sebagai variabel kontrol. Ada

banyak faktor yang dapat mempengaruhi

penyebaran FDI selain faktor aglomerasi

sehingga dengan mengontrol variabel-

variabel lain yang mungkin juga

mempengaruhi penyebaran FDI,

diharapkan hasil estimasi yang diperoleh

konsisten dan tidak bias. Pada penelitian

ini, variabel kontrol yang digunakan antara

lain PDRB, tingkat perdagangan, intensitas

kapital, tingkat upah, tingkat produktivitas

tenaga kerja dan tingkat kompetisi industri.

PDRB dalam penelitian ini adalah PDRB

per kapita untuk tiap provinsi di Indonesia.

Menurut Dunning (2000), salah satu

motivasi melakukan FDI adalah market

seeking, yang berarti melakukan investasi

dengan tujuan untuk memperoleh potensi

pasar yang lebih besar. PDRB per kapita

selain menggambarkan ukuran pasar

(market size) juga dapat menggambarkan

kemampuan/daya beli dari masyarakat

(Chunlai, 2012). Semakin tinggi PDRB per

kapita menggambarkan semakin tinggi

12

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

13

tingkat perekonomian suatu provinsi dan

dengan demikian, semakin tinggi PDRB

per kapita semakin menarik suatu wilayah

bagi masuknya FDI.

Tingkat keterbukaan perdagangan suatu

provinsi dalam penelitian ini dilambangkan

dengan variabel EXPT dan diukur dengan

menggunakan rasio ekspor terhadap PDRB.

Beberapa studi menunjukkan bahwa

keterbukaan perdagangan berpengaruh

positif terhadap aliran masuk FDI ke suatu

negara (Asiedu, 2002). Biasanya, diawali

dengan perdagangan, bisnis internasional

akan melakukan investasi asing langsung

sebagai pengganti ataupun pelengkap dari

perdagangan (UNCTAD, 2002).

Semakin tinggi intensitas ekspor

menggambarkan semakin besar

penggunaan produk lokal oleh negara lain.

Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan

masuknya investasi asing untuk industri

tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini, variabel EXPT diharapkan juga

berpengaruh positif terhadap FDI.

KL merupakan variabel yang digunakan

untuk menunjukkan intensitas modal dari

masing-masing sub sektor industri. KL

diukur dengan menggunakan rasio asset

tetap terhadap jumlah tenaga kerja tiap

sektor. Semakin tinggi nilai KL

menunjukkan industri adalah capital and

technological intensive. Menurut He (2008)

pengaruh positif variabel ini terhadap

jumlah FDI menunjukkan bahwa investor

asing lebih memilih daerah dimana industri

adalah lebih padat modal. Hal ini

didasarkan pada anggapan bahwa pada era

globalisasi seperti sekarang, keberadaan

mesin-mesin memungkinkan proses

produksi lebih cepat dan efisien. Oleh

karena itu, semakin industri adalah capital

and technological intensive, semakin

banyak arus FDI yang masuk.

Tingkat upah dalam penelitian ini

dinyatakan dengan variabel UMP dan

diukur dengan upah minimum provinsi.

UMP menggambarkan biaya tenaga kerja

yang harus dikeluarkan oleh perusahaan

multinasional. Dunning (2000) menyatakan

bahwa salah satu motivasi melakukan FDI

adalah resource seeking, yang berarti

melakukan investasi untuk memperoleh

sumber daya yang tidak tersedia di negara

asal atau tersedia di negara asal tetapi

mencari di wilayah lain dengan harga yang

lebih rendah. Semakin tinggi UMP semakin

tinggi biaya produksi yang harus

dikeluarkan (Lee, et al, 2016). Oleh karena

itu variabel UMP diharapkan berpengaruh

negatif terhadap persebaran FDI.

Untuk menggambarkan kualitas tenaga

kerja perusahaan manufaktur Indonesia,

penelitian ini menggunakan variabel

tingkat produktivitas tenaga kerja yang

dinyatakan dengan variabel PRODTK.

PRODTK diukur sebagai rasio output

terhadap jumlah tenaga kerja per sub sektor

industri. Semakin tinggi produktivitas

tenaga kerja, semakin efisien proses

produksi. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini variabel PRODTK diharapkan

berpengaruh positif terhadap FDI. Semakin

tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin

banyak investasi asing yang masuk.

13

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

14

HHI, merupakan variabel yang digunakan

untuk mengukur tingkat kompetisi pasar.

HHI dalam penelitian ini diukur dengan

menggunakan Herfindahl-Hirschman

indeks share tenaga kerja sektor

manufaktur. Nilai HHI berkisar antara nol

hingga satu. Jika H mendekati nol, maka

berarti terdapat sejumlah besar perusahaan

dengan ukuran yang hamper sama dalam

industri, dan konsentrasi pasar adalah

rendah. Sebaliknya, industri bersifat

monopoli jika H sama dengan satu.

Dalam penelitian ini, semua variabel bebas

diestimasi dalam bentuk logaritma natural

dan diukur dengan menggunakan nilai pada

periode sebelumnya (t-1). Hal ini

dikarenakan perusahaan multinasional

dalam menentukan lokasi FDI didasarkan

pada informasi dari karakteristik lokasi

yang tersedia pada periode sebelumnya.

HASIL DAN ANALISIS

Perkembangan Investasi Asing Langsung

Perusahaan Manufaktur Indonesia

Pemerintah Indonesia berusaha

meningkatkan arus investasi sebagai salah

satu sumber pendanaan yang diperlukan

dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi,

meningkatkan produktivitas industri,

menurunkan angka kemiskinan dan

menurunkan tingkat pengangguran. Dari

tahun 2010 – 2014, arus investasi asing

langsung yang masuk di setiap sektor

industri manufaktur Indonesia cenderung

mengalami peningkatan.

Meskipun semenjak tahun 2014 aliran

masuk FDI tampak mulai tersebar ke

beberapa propinsi di luar Pulau Jawa,

secara umum, aliran masuk FDI masih

cenderung terpusat di Pulau Jawa, terutama

di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Grafik

perkembangan FDI industri manufaktur

dapat dilihat pada gambar 4.1. Dari gambar

terlihat bahwa pulau Jawa dan Sumatera

masih menjadi daerah favorit bagi investor

asing atau dengan kata lain aliran masuk

FDI masih terpusat di wilayah Indonesia

bagian barat.

Apabila dilihat dari sub sektor industri, data

BKPM menunjukkan bahwa sub sector

industri barang dari logam, mesin dan

Catatan: BKPM (data diolah)

Gambar 1. Grafik Perkembangan FDI industri manufaktur Indonesia per Pulau

Tahun 2010 – 2014 (dalam $)

14

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

15

peralatan merupakan sub sektor dengan

nilai investasi asing terbesar dibandingkan

sub sektor lainnya, diikuti oleh sub sektor

industri kimia, karet dan plastik serta

industri makanan, minuman, dan tembakau.

Secara lengkap, data investasi per sub

sektor industri tampak pada tabel 4.1. (2?)

Analisis Aglomerasi Industri Manufaktur

Indonesia

Menurut Fujita (1991), aglomerasi

merupakan proses pengelompokan dari

aktivitas ekonomi secara spasial, yang

terjadi dan terbentuk secara komulatif oleh

beberapa alasan. Pandangan tersebut

dilengkapi oleh Ellison dan Glaeser (1997)

yang menyatakan bahwa agglomerasi tidak

selalu terjadi dalam satu industri,

agglomerasi dapat terjadi pada beberapa

industri yang berbeda dan tidak saling

terkait.

Pada negara maju seperti contohnya

Amerika Serikat dan Inggris, industri

pengolahan juga mengikuti proses selektif

dari segi geografis. Mayoritas industry

pengolahan di Amerika Serikat telah lama

berkonsentrasi pada suatu wilayah yang

disebut sabuk manufaktur (Manufacturing

Belt), yaitu di sebagian kecil Northeast

serta bagian timur Midwest atau di daerah

antara Green Bay, St. Louis, Baltimore, dan

Portland. Sabuk manufaktur tersebut yang

telah terbentuk sejak pertengahan kedua

abad 19 terbukti menonjol dan terus

bertahan hingga 1950-an. Di Inggris,

konsentrasi spasial serupa ditemukan di

kawasan industri Axial Belt yang terdapat

pada beberapa pusat industri terutama di

Birmingham, Leeds, Manchester, dan

Sheffield. Pada negara sedang berkembang,

konsentrasi industri dan penduduk terutama

terjadi di sekitar ibu kota negara, seperti di

Bangkok, New Delhi, Mexico City, Sao

Paulo, dan Jakarta (Kuncoro, 2004).

Dari hasil perhitungan manufacturing

density, data menunjukkan bahwa industry

manufaktur Indonesia terkonsentrasi di

Pulau Jawa. Share jumlah tenaga kerja

Tabel 2. Perkembangan FDI menurut sub sektor industri Tahun 2010 – 2014 Sub Sektor Nilai Investasi (Ribu US $)

2010 2011 2012 2013 2014

Makanan, minuman &

tembakau

1,025,746.7 1,104,642.7 1,782,947.7 2,117,740.2 3,139,575.4

Tekstil, Pakaian Jadi dan

Kulit

285,176.6 752,268.5 632,004.7 846,901.0 633,150.4

Kayu dan sejenisnya 43,055.9 51,140.8 76,286.0 39,494.6 63,654.5

Kertas, Percetakan dan

Penerbitan

46,411.4 257,529.6 1,306,607.0 1,168,884.2 706,494.6

Kimia, Karet dan Plastik 897,670.7 1,837,356.2 3,430,084.0 3,614,536.7 2,867,282.8

Barang galian non logam 28,395.8 137,147.7 145,760.8 874,130.4 916,881.3

Logam dasar 229,557.2 907,498.2 1,684,056.6 2,267,435.0 1,428,881.5

Barang dari logam, mesin

dan peralatan

753,725.8 1,677,325.1 2,612,018.0 4,817,970.1 3,111,582.4

Industri Lainnya 27,562.0 64,738.9 100,186.5 111,700.7 151,770.7

Catatan: BKPM (data diolah)

15

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

16

industry manufaktur per km2 lahan

menunjukkan bahwa sebagian besar

industri manufaktur berada di Provinsi DKI

Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,

dan Jawa Timur.

Menurut Landiyanto (2005), terbentuknya

kluster industri di suatu wilayah yang

terjadi akibat proses agglomerasi

menyebabkan wilayah tersebut menjadi

terspesialisasi pada suatu industri.

Spesialisasi industri menunjukkan bahwa

aktivitas ekonomi pada suatu wilayah

dikuasai oleh beberapa industri tertentu

(OECD, 2000). Suatu wilayah dapat

diartikan sebagai wilayah yang

terspesialisasi apabila dalam sebagian kecil

industry pada wilayah tersebut memiliki

pangsa pasar yang besar terhadap

keseluruhan industri.

Struktur industri yang terspesialisasi pada

industri tertentu menunjukkan bahwa

wilayah tersebut memiliki keunggulan

berupa daya saing pada industri tersebut.

Hasil perhitungan indeks spesialisasi dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa provinsi

DKI Jakarta sebagai pusat aktivitas industri

manufaktur di Indonesia terspesialisasi

pada sub sektor industri barang dari logam,

mesin dan peralatan. Banten di urutan

kedua terspesialisasi pada sub sektor

industri tekstil, pakaian jadi dan kulit. Jawa

Barat terspesialisasi pada sub sektor

industri barang dari logam, mesin dan

peralatan, sementara Jawa Tengah dan

Jawa Timur terspesialisasi pada sub sektor

industri makanan, minuman dan tembakau.

Analisis Deskriptif

Tabel 4.2 menunjukkan hasil statistik

deskriptif dari setiap variabel yang

digunakan dalam penelitian. Dari tabel

tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua

provinsi di Indonesia mendapatkan aliran

masuk FDI. FDI dengan nilai minimum 0

dan nilai ratarata yang jauh dari nilai

maksimum menunjukkan bahwa sebagian

besar provinsi di Indonesia tidak

memperoleh aliran masuk FDI, beberapa

memperoleh FDI dalam jumlah yang

sedikit, dan hanya beberapa provinsi lain

yang mendapatkan FDI dalam jumlah yang

besar.

Mengikuti indeks spesialisasi yang

digunakan dalam Papalia dan Bertarelli

(2009), semakin tinggi indeks

menunjukkan bahwa subsektor semakin

terspesialisasi secara relative pada provinsi

Tabel 4.2. Statistik Deskriptif Variable Obs Mean Std. Dev. Min Max

fdi 2357 2.750 4.277 0.000 14.980

intra 2356 -0.512 1.035 -5.070 0.683

density 2356 1.615 1.676 0.002 6.156

pdrb 2356 10.296 0.574 9.140 11.823

expt 2356 0.097 0.233 0.000 2.383

kl 2356 1.575 0.124 1.330 1.971

ump 2356 13.905 0.280 13.353 14.708

prodtk 2356 12.097 2.032 0.000 17.453

hhi 2356 0.248 0.134 0.091 0.620

16

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

17

tertentu. Dengan kata lain semakin tinggi

nilai indeks menunjukkan semakin banyak

perusahaan sejenis yang terkonsentrasi

secara geografis pada provinsi tertentu

sehingga skala ekonomis yang diperoleh

dari kedekatan dengan perusahaan sejenis

semakin besar.

Variabel density menunjukkan kepadatan

aktivitas industri manufaktur pada suatu

wilayah. Semakin tinggi nilai density

menunjukkan semakin banyak aktivitas

manufaktur yang terkonsentrasi secara

geografis per km2 wilayah. Dengan kata

lain semakin tinggi nilai density, semakin

banyak tenaga kerja yang bekerja pada

industri manufaktur per km2 wilayah

tertentu. Nilai minimum variabel density

sebesar 0,002 (mendekati 0) menunjukkan

bahwa di Indonesia, terdapat provinsi

dimana aktivitas industry manufaktur

sangat sedikit.

Variabel PDRB dalam hal ini adalah PDRB

per kapita menunjukkan tingkat

perekonomian suatu provinsi dan

kemampuan daya beli masyarakat. Nilai

rata-rata PDRB yang lebih mendekati nilai

minimumnya menunjukkan bahwa daya

beli rata-rata provinsi di Indonesia masih

rendah.

Variabel expt menunjukkan tingkat

keterbukaan perdagangan yang diukur

dengan intensitas ekspor subsektor industri

di setiap provinsi Indonesia. Nilai

minimum variabel ini sebesar 0

menunjukkan bahwa terdapat subsektor

industri tertentu yang sama sekali tidak

melakukan kegiatan ekspor. Nilai rata-rata

variabel expt yang lebih mendekati nilai

minimumnya menunjukkan bahwa

sebagian besar aktivitas industri di

Indonesia ditujukan untuk melayani

konsumsi dalam negeri.

Variabel kl menunjukkan tingkat capital

intensif dari subsektor industri. Nilai

ratarata variabel ini yang lebih mendekati

nilai minimumnya menunjukkan bahwa

sebagian besar industri manufaktur di

Indonesia cenderung labor intensif atau

berteknologi rendah.

Variabel prodtk menunjukkan elastisitas

produktivitas tenaga kerja. Nilai minimal

variabel prodtk sebesar 0 menunjukkan

bahwa di Indonesia, terdapat subsektor

dimana tingkat produktivitas tenaga kerja

adalah sama setiap tahunnya. Semakin

tinggi nilai variabel prodtk menunjukkan

bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan

produktivitas tenaga kerja.

Variabel hhi menunjukkan tingkat

kompetisi wilayah. Semakin tinggi nilai

variabel hhi menunjukkan bahwa industri

dalam wilayah tersebut semakin

terkonsentrasi, dan ini berarti semakin

tinggi tingkat kompetisi. Nilai rata-rata

variabel hhi yang lebih mendekati nilai

minimum menunjukkan bahwa rata-rata

tingkat kompetisi industri di provinsi

Indonesia masih rendah. Hhi bernilai 1

menunjukkan bahwa industri bersifat

monopoli.

Analisis Regresi

Untuk menguji pengaruh aglomerasi

terhadap penyebaran FDI industri

manufaktur Indonesia, penelitian ini

17

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

18

menggunakan metode estimasi regresi data

panel. Setelah dilakukan pengujian

pemilihan model terbaik, ditemukan adanya

heteroskedastisitas dan korelasi antar unit

cross-section pada model. Dilakukan

perbaikan dengan menggunakan metode

estimasi Generalized Least Square. Tabel

4.3 menunjukkan hasil estimasi dengan

menggunakan metode tersebut.

Hasil regresi menunjukkan bahwa secara

bersama-sama, variabel bebas berpengaruh

terhadap aliran masuk FDI. Hal ini

ditunjukkan dari nilai F-statistic yang

signifikan pada Ξ± = 1 persen. Berdasarkan

hasil uji parsial t dapat diketahui bahwa

hampir semua variable bebas yang

digunakan dalam penelitian berpengaruh

signifikan terhadap arus masuk FDI.

Tingkat spesialisasi, densitas manufaktur,

PDRB per kapita, intensitas modal, tingkat

upah (UMR) dan produktivitas tenaga kerja

berpengaruh secara signifikan terhadap

arus masuk FDI. Hanya variabel intensitas

ekspor dan tingkat persaingan wilayah yang

tidak berpengaruh terhadap arus masuk

FDI.

Tingkat Spesialisasi/localization

economies

Variabel tingkat spesialisasi berpengaruh

positif terhadap aliran masuk FDI pada

derajad Ξ± = 1 persen. Dari hasil regresi

diperoleh elastisitas FDI terhadap tingkat

spesialisasi adalah sebesar 0,5397. Hal ini

berarti jika jumlah tenaga kerja yang ada

pada subsektor industri yang sama dan

berlokasi pada provinsi yang sama

meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi

Tabel 4.3. Hasil Estimasi Data Panel Variabel independen Koefisien Estimasi

PLS FE RE GLS

INTRA (indeks spesialisasi) .6698*** -.03800 .1469* .5397***

0.000 0.612 0.036 0.000

DENS (manufacturing

density)

.4868*** -.9324* .6278*** .6398***

0.000 0.018 0.000 0.000

PDRB (market size) 1.1183*** 1.6811** .8638** .9987***

0.000 0.009 0.002 0.000

EXPT (tingkat keterbukaan) .2499 -.4116 -.3293 .9303

0.473 0.063 0.137 0.721

KL (intensitas kapital) .0537 -1.1633* -.8009 1.0511*

0.936 0.044 0.146 0.046

UMP (tingkat upah) -2.0765*** -.8982** -0.9629*** -1.6550***

0.000 0.005 0.000 0.000

PRODTK (produktivitas

tenaga kerja)

.3685*** .5135 .1115** .2037***

0.000 0.129 0.001 0.000

HHI (tingkat kompetisi) -1.3186 3.1708* -.2876 .0026

0.147 0.034 0.794 0.996

konstanta 15.4263*** .3635 6.2719 10.5604**

0.000 0.980 0.060 0.002

Sumber : Hasil stata; * signifikan statistic pada 0.05, ** signifikan statistic pada 0.01,

*** signifikan statistic pada 0.001

18

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

19

variabel-variabel lain adalah konstan

(ceteris paribus), maka arus masuk FDI

akan meningkat sebesar 0,5397 persen.

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian

Bronzini (2004) dan Papalia & Bertarelli

(2009).

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Marshall, konsentrasi geografis dari

perusahaan-perusahaan yang bergerak pada

subsektor industri yang sama dapat

memberikan eksternalitas positif sehingga

meningkatkan keunggulan komparatif dan

kompetitif wilayah. Hal ini disebabkan

karena berkumpulnya industri yang sama

mendorong pemasok bahan baku dan

konsumen untuk mendekati pasar, sehingga

memungkinkan terjadinya penghematan

biaya transportasi bahan baku dan biaya

distribusi produk. Konsentrasi industri juga

menyebabkan berkumpulnya tenaga kerja

dengan keahlian yang sama pada wilayah

tersebut. Hal tersebut menimbulkan

kemudahan dalam mendapatkan tenaga

kerja terampil, sehingga biaya perekrutan

dan pelatihan dapat ditekan. Jarak yang

berdekatan juga memungkinkan terjadinya

transfer ilmu pengetahuan antar

perusahaan, baik melalui mobilitas tenaga

kerja maupun proses imitasi. Dengan

adanya kondisi tersebut, spesialisasi akan

meningkatkan daya saing dari wilayah

sehingga menarik bagi para investor untuk

melakukan investasi.

Pada penelitian ini, hasil positif variabel ini

menunjukkan bahwa provinsi dimana di

dalamnya terdapat semakin banyak industri

sejenis yang berkumpul pada lokasi yang

sama, lebih menarik bagi perusahaan

multinasional untuk masuk ke dalamnya.

Hal ini disebabkan karena wilayah yang

terspesialisasi memberikan penghematan

aglomerasi terhadap perusahaan yang

berlokasi di dalamnya sebagaimana teori

yang dikemukakan oleh Marshall.

Densitas manufaktur

Variabel densitas berpengaruh positif

terhadap aliran masuk FDI pada derajad

Ξ±=1 persen. Dari hasil regresi diperoleh

elastisitas FDI terhadap tingkat densitas

perusahaan manufaktur adalah sebesar

0,6398. Hal ini berarti jika aktivitas industri

manufaktur per km2 meningkat sebesar 1

persen, dengan asumsi variabel-variabel

lain adalah konstan (ceteris paribus), maka

arus masuk FDI akan meningkat sebesar

0,6398 persen. Hasil tersebut sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Pelegrin dan Catalina (2008).

Menurut Pelegrin dan Catalina, arus masuk

FDI dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas

industri manufaktur pada periode

sebelumnya. Perusahaan multinasional

menghadapi resiko bisnis dan

ketidakpastian yang lebih besar

dibandingkan perusahaan domestik. Resiko

dan ketidakpastian tersebut menurut Lee et

al (2016) dapat dikurangi dengan memasuki

wilayah yang didalamnya terdapat

hubungan industri yang kuat.

Keberadaan aktivitas industri manufaktur

pada suatu wilayah dianggap dapat

memberikan sinyal adanya efisiensi

produksi pada wilayah tersebut sehingga

menjadikan wilayah tersebut lebih menarik

bagi perusahaan multinasional.

19

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

20

PDRB per kapita

Variabel PDRB per kapita berpengaruh

positif terhadap aliran masuk FDI pada

derajad Ξ± = 1 persen. Dari hasil regresi

diperoleh elastisitas FDI terhadap PDRB

per kapita adalah sebesar 0,9987. Hal ini

berarti jika PDRB per kapita meningkat

sebesar 1 persen, dengan asumsi variabel-

variabel lain adalah konstan (ceteris

paribus), maka arus masuk FDI akan

meningkat sebesar 0,9987 persen. Hasil

tersebut sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sodik dan Nuryadin (2008),

Chunlai (2012), dan Huang et al (2016).

PDRB per kapita selain menggambarkan

ukuran pasar (market size), juga dianggap

dapat menggambarkan kemampuan/daya

beli dari masyarakat. Semakin tinggi PDRB

per kapita menggambarkan semakin tinggi

tingkat perekonomian suatu provinsi. Hasil

penelitian ini membuktikan bahwa pangsa

pasar yang besar masih menjadi daya Tarik

provinsi di Indonesia bagi masuknya

investasi asing.

Intensitas ekspor

Variabel intensitas ekspor tidak

berpengaruh signifikan terhadap aliran

masuk FDI. Hasil tersebut tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Asiedu (2002) yang berhasil membuktikan

adanya pengaruh positif ekspor terhadap

FDI. Biasanya, diawali dengan

perdagangan, bisnis internasional akan

melakukan investasi asing langsung

sebagai pengganti ataupun pelengkap dari

perdagangan (UNCTAD, 2002). Semakin

tinggi intensitas ekspor menggambarkan

semakin besar penggunaan produk lokal

oleh negara lain. Hal ini dapat

meningkatkan kemungkinan masuknya

investasi asing untuk industry tersebut.

Intensitas capital

Variabel intensitas kapital berpengaruh

positif terhadap aliran masuk FDI pada

derajad Ξ± = 10 persen. Variabel ini

menggambarkan intensitas modal dari

setiap sub sektor industri di Indonesia.

Semakin tinggi nilai intensitas capital

menggambarkan industri adalah

technological intensif. Dari hasil regresi

diperoleh elastisitas FDI terhadap intensitas

kapital adalah sebesar 1.0511. Hal ini

berarti jika rasio modal per tenaga kerja

meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi

variabel-variabel lain adalah konstan

(ceteris paribus), maka arus masuk FDI

akan meningkat sebesar 1.0511 persen.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

arus FDI yang masuk ke dalam industry

manufaktur Indonesia mulai bergeser dari

sub sektor industri yang padat tenaga kerja

menjadi sub sektor yang padat modal. Pada

provinsi dimana industri yang bersifat

technological intensif semakin banyak,

semakin besar arus FDI yang masuk. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian He

(2008). Pada kondisi globalisasi seperti

sekarang, keberadaan dari mesin-mesin dan

peralatan dianggap dapat menghemat biaya

produksi dikarenakan proses produksi yang

dapat berjalan secara lebih efisien.

Tingkat upah

Tingkat upah menggambarkan besarnya

biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan

oleh perusahaan multinasional. Variabel

20

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

21

tingkat upah dalam penelitian ini diukur

dengan menggunakan upah minimum

provinsi. Variabel upah berpengaruh

negatif terhadap aliran masuk FDI pada

derajad Ξ± = 1 persen. Dari hasil regresi

diperoleh elastisitas FDI terhadap tingkat

upah adalah sebesar -1.6550. Hal ini berarti

jika tingkat upah meningkat sebesar 1

persen, dengan asumsi variabel-variabel

lain adalah konstan (ceteris paribus), maka

arus masuk FDI akan berkurang sebesar

1.6550 persen. Hasil tersebut sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Lee

et al (2016).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

biaya tenaga kerja yang murah masih

menjadi salah satu keunggulan komparatif

yang harus dimiliki oleh provinsi di

Indonesia untuk dapat menarik lebih

banyak aliran masuk FDI. Hal ini sejalan

dengan teori yang dikemukakan oleh

Kojima (1982) dalam Kang (2012).

Produktivitas tenaga kerja

Dalam penelitian ini, variabel produktivitas

tenaga kerja berpengaruh positif terhadap

aliran masuk FDI pada derajad Ξ± = 1 persen.

Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI

terhadap produktivitas tenaga kerja adalah

sebesar 0,2037. Hal ini berarti jika

produktivitas tenaga kerja meningkat

sebesar 1 persen, dengan asumsi

variabelvariabel lain adalah konstan

(ceteris paribus), maka arus masuk FDI

akan meningkat sebesar 0,2037 persen.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Sodik dan Nuryadin (2008).

Adanya pengaruh positif produktivitas

tenaga kerja terhadap arus masuk FDI

menunjukkan bahwa wilayah dengan

tingkat produktivitas tenaga kerja yang

lebih tinggi mempunyai keunggulan

kompetitif yang lebih besar dikarenakan

proses produksi yang berjalan secara lebih

efisien dan efektif. Sesuai dengan pendapat

Hayter (2000) dalam Sodik dan Nuryadin

(2008), perusahaan multinasional dalam

menentukan lokasi sangat terkait erat

dengan manfaat yang dapat diperoleh

perusahaan seperti efisiensi biaya produksi

dan optimalisasi produktivitas sumber daya

yang ada. Dengan demikian, wilayah

dimana tingkat produktivitas tenaga kerja

adalah lebih tinggi akan mampu menarik

lebih banyak FDI masuk.

Tingkat kompetisi

Variabel tingkat kompetisi dalam penelitian

ini diukur dengan menggunakan Herfindahl

Index. Menurut He (2008), herfindahl-

hirschman index digunakan untuk

mengukur tingkat konsentrasi industri

dalam pasar. Semakin tinggi indeks

menunjukkan semakin besar hambatan bagi

perusahaan baru untuk memasuki pasar.

Perusahaan multinasional umumnya

menghindari adanya hambatan masuk yang

besar. Dalam penelitian ini, hhi indeks tidak

berpengaruh terhadap aliran masuk FDI

kedalam industry manufaktur Indonesia.

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji

peran aglomerasi terhadap penyebaran

investasi asing langsung (FDI) perusahaan

manufaktur Indonesia. Studi literatur

21

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

22

tentang motivasi FDI oleh Dunning

menyatakan bahwa salah satu motivasi

perusahaan multinasional melakukan

investasi asing langsung adalah efficiency

seeking, yaitu melakukan investasi untuk

mendapatkan keuntungan dari skala

ekonomis. Studi literature tentang

penentuan lokasi industri, salah satu nya

yang dikembangkan oleh Weber

menyatakan bahwa perusahaan memilih

lokasi yang memberikan biaya paling

minimal, dimana penjumlahan biaya

transportasi dan tenaga kerja adalah paling

sedikit. Oleh karena itu, menurut Weber

terdapat tiga hal penting yang harus

diperhatikan dalam menentukan lokasi

produksi, yaitu biaya transportasi,

perbedaan tingkat upah, dan penghematan

aglomerasi. Adanya penghematan

aglomerasi menurut Weber dapat menarik

perusahaan dari lokasi dengan biaya

minimal sehingga meningkatkan biaya

angkut dan menyebabkan kondisi tidak lagi

optimum. Apabila besarnya penghematan

aglomerasi lebih besar dibandingkan

peningkatan biaya angkut akibat

perpindahan tersebut, maka menurut

Weber, industri sebaikkan dipindahkan ke

lokasi yang baru dimana didalamnya

terdapat aglomerasi industri.

Marshall (1920) mengembangkan

pemikiran Weber tentang penghematan

aglomerasi. Menurut Marshall,

penghematan aglomerasi sebagai

penghematan akibat adanya lokasi yang

berdekatan (economies of proximity)

diasosiasikan dengan pengelompokan

perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen

secara spasial untuk meminimisasi biaya-

biaya, seperti biaya transportasi, informasi

dan komunikasi. Marshall menyatakan

bahwa terkonsentrasinya perusahaan

sejenis secara geografis dapat mendorong

terjadinya penghematan aglomerasi melalui

penggunaan bersama input bahan baku,

pemusatan tenaga kerja terampil, dan

persebaran ilmu pengetahuan/ teknologi

antar perusahaan. Penghematan aglomerasi

meningkatkan keuntungan komparatif dan

kompetitif wilayah sehingga memberikan

insentif masuknya investasi baru.

Dengan menggunakan data tingkat

spesialisasi subsektor industri pada level 2

digit ISIC dan indeks densitas aktivitas

manufaktur per km2 untuk setiap provinsi

di Indonesia dari tahun 2010 - 2014,

penelitian ini berhasil membuktikan adanya

pengaruh positif aglomerasi terhadap

penyebaran FDI industri manufaktur

Indonesia. Semakin terkonsentrasi industri

secara spasial dan semakin terspesialisasi

suatu industri di suatu provinsi, semakin

besar arus FDI yang masuk ke dalam

provinsi tersebut. Selain aglomerasi, faktor-

faktor lain yang mempengaruhi besarnya

arus masuk FDI ke dalam industri

manufaktur Indonesia adalah PDRB per

kapita, intensitas modal, tingkat upah dan

tingkat produktivitas tenaga kerja.

Dengan mempertimbangkan hasil yang

diperoleh, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran tentang faktor-

faktor yang mungkin dapat mempengaruhi

persebaran geografis dari realisasi FDI,

khususnya peran aglomerasi terhadap FDI

industri manufaktur Indonesia. Implikasi

22

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

23

dari hasil penelitian ini adalah bahwa

pembentukan pusat-pusat industri yang

terspesialisasi berdasar keunggulan

komparatif tiap-tiap provinsi dapat

dikembangkan sehingga pemerataan

penyebaran investasi asing ke semua

wilayah Indonesia dapat tercapai.

Kelemahan dalam penelitian ini adalah

belum mempertimbangkan efek

ketergantungan spasial yang mungkin

terjadi di antara provinsi yang saling

berdekatan. Investor kemungkinan juga

akan mempertimbangkan keunggulan

komparatif dari provinsi lain yang

berdekatan dengan provinsi yang dipilih

dalam menentukan lokasi FDI

DAFTAR PUSTAKA

Belkhodja, O. (2016). FDI Location

Decision: Evidence from Firms

Investing in China. International

Journal of Business and

Management, 11(6), 47.

Bernhard, B., Geisler, C., & Dohlmann, C.

(2017). The location choice of foreign

direct investments : Empirical

evidence and methodological

challenges. Journal of World

Business, 52(1), 62–82.

Biro Perencanaan. (2016). Laporan Kinerja

Kementerian Perindustrian Tahun

2015.

Bronzini. (2004). www.econstor.eu. In

Foreign Direct Investment and

Agglomeration: Evidence from Italy.

Chunlai, C. (2012). Location determinants

and provincial distribution of FDI. In

L.

Garnaut, Ross; Song (Ed.), China:

New Engine of World Growth. ANU

Press.

Cookson, G., Piesse, J., & Strange, R.

(2014). The FDI location decision :

Distance and the effects of spatial

dependence. International Business

Review, 23, 797–810.

Crozet, M., Mayer, T., Mucchielli, J.

(2004). How do firms agglomerate?

A study of FDI in france. Regional

Science & Urban Economics, 34, 27–

54.

Driffield, Nigel; Munday, M. (2000).

Industrial Performance,

Agglomeration, and Foreign

Manufacturing Investment in the UK.

Journal of International Business

Studies, 31(1), 21–37.

Dunning, J. H. (2000). The eclectic

paradigm as an envelope for

economic and business

theories of MNE activity.

International Business Review, 9(2),

163–190.

Dunning, J. H. (2003). The Role of Foreign

Direct Investment in Upgrading

China's Competitiveness. Journal of

International Business and Economy.

Fitriandi, P., Kakinaka, M., & Kotani, K.

(2014). Foreign direct investment and

infrastructure development in

Indonesia: Evidence from province

level data. Asian

Journal of Empirical Research, 4(1),

74–94.

GΓΆtz, M., & Jankowska, B. (2014). How to

Investigate Polish Clusters ’

23

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

24

Attractiveness for Inward FDI ?

Addressing Ambiguity Problem.

International Journal of Management

and Economics, (43), 74–93.

Guimaraes, P., Woodward, D., &

Introduction, I. (2000).

Agglomeration and the Location of

Foreign Direct Investment in

Portugal. Journal of Urban

Economics, 47(August 1997), 115–

135.

Hasli, A., Ho, C. S. F., & Ibrahim, N. A.

(2015). Determinants of FDI inflow

in Asia. Journal of Emerging

Economies and Islamic Research,

3(3), 1–9.

He, C. (2008). Foreign Manufacturing

Investment in China : The Role of

Industrial Agglomeration and

Industrial Linkages. China and World

Economy, 16(1), 82–99.

Head, K., Riesat, J., & Swensonb, D.

(1995). Agglomeration benefits and

location choice : Evidence from

Japanese manufacturing investments

in the United States. Journal of Inter,

38, 223–247.

Hilmawan, R. (2013). Lokasi Industri dan

Fenomena Aglomerasi di Indonesia :

Perspektif Ekonomi Regional.

Hoaby, S. E. (2006). Can the New

Economic Geography explain

Inequality Between the Great Plains

and Great Lakes ?, (July), 1–35.

Huang, H., & Dennis, Y. (2016). Spatial

inequality of foreign direct

investment in China : Institutional

change, agglomeration economies,

and market access. Applied

Geography, 69, 99–111.

Javorcik, B. S. (2004). Does foreign direct

investment increase the productivity

of domestic firms? in search of

spillovers through backward

linkages. American Economic

Review, 94(3), 605–627.

Kakinaka, M. K. (2014). Foreign direct

investment and infrastructure

development in Indonesia : Evidence

from province data. Asian Journal of

Empirical Research, 4(1)(May), 79–

94.

Kuncoro, Mudrajad; Wahyuni, S. (2009).

FDI Impacts On Industrial

Agglomeration: The Case of Java,

Indonesia. Journal of Asia Business

Studies, 3(2), 65–77.

Kuncoro, M. (2004). Adakah Perubahan

Konsentrasi Spasial Industri

Manufaktur Indonesia? Jurnal

Ekonomi Dan Bisnis Indonesia,

19(4), 1–19.

Landiyanto, E. (2005). Spesialisasi Dan

Konsentrasi Spasial Pada Sektor

Industri Manufaktur Di Jawa Timur.

In ResearchGate.

Lee, I. H. (Ian), Hong, E., & Makino, S.

(2016). Location decisions of inward

FDI in subnational regions of a host

country: Service versus

manufacturing industries. Asia

Pacific Journal of Management,

33(2), 343–370.

Liu, K., Daly, K., & Varua, M. E. (2012).

Regional Determinants of Foreign

Direct Investment in Manufacturing

24

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

25

Industry. International Journal of

Economics and Finance, 4(12), 178–

193.

Markusen, J. R., & Venables, A. J. (1999).

Foreign direct investment as a

catalyst for industrial development.

European Economic Review, 43,

335–356.

Nilsson-hakkala, K., Sembenelli, A., &

Alberto, C. C. (2011). Multinationals

Competition and Productivity

Spillovers through Worker Mobility

Papalia, R. B., & Bertarelli, S. (2009). The

Role of Local Agglomeration

Economies and Regional

Characteristics in Attracting FDI :

Italian Evidence. International

Journal of the Economics of Business,

16(2), 161–1866.

Pelegrin, Angels; Bolance, C. (2008).

Regional Foreign Direct Investment

in Manufacturing

Do Agglomeration Economies Matter

? Regional Studies, 42(4),

Popovici, O. C. (2014). FDI theories . A

location-based approach. The

Romanian Economic Journal,

XVII(53), 3–24.

Ramadhani, M. A. (2015). Pengaruh

Produk Domestik Bruto, Nilai Tukar

dan Upah Tenaga Kerja Terhadap

Pertumbuhan Foreign Direct

Investment. Jurnal Administrasi

Bisnis, 27(2).

Shaver, J Myles; Flyer, F. (2000).

Agglomeration Economies, Firm

Heterogeneity and Foreign Direct

Investment in the United States.

Strategic Management Journal,

21(12), 1175–1193.

Shi, Z. C., & Chun, X. (2016). The Effects

of Technology Import on High-Tech

Industrial Structure Upgrading in

China. Journal of Research in

Business, Economics and

Management, 5(2), 551–558.

Sodik, Jamzani & Nuryadin, D. (2008).

Determinan Investasi di Daerah:

Studi Kasus Propinsi di Indonesia.

Jurnal Ekonomi Pembangunan.

13(1). 15-31.

Soekro, Shinta & Widodo, T. (2015).

Pemetaan dan Determinan Intra-

ASEAN Foreign Direct Investment

(FDI): Studi Kasus Indonesia. Bank

Indonesia Working Paper.

WP/12/2015.

Vasile, S., & Aniela, D. (2015). A regional

level hierarchy of the main Foreign

Direct Investments ’ Determinants

Empirical study, the case of

Romanian manufacturing sector –.

Procedia - Social and Behavioral

Sciences, 181, 321–330.

Yang, Chih Hai; Chiu, Chung Yueh; Tsou,

M. W. (2016). Location Choice of

Multinational and Local Firms in

Vietnam: Birds of a Feather Flock

Together? The Japanese Economic

Review, 68(1), 95–114.

Yang, C. (2016). Relocating

labour - intensive manufacturing

firms from China to Southeast Asia :

a preliminary investigation. Journal

of the Global South

25

Rejeki and Lubis: Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Published by UI Scholars Hub, 2020

26

26

Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 15, Iss. 2 [2020], Art. 5

https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5