peradaban melayu kuno: sejarah, budaya, dan ekonomi
TRANSCRIPT
Satwika, vol 4 (2020) issue 1, 71-83
Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial
ISSN: 2580-8567 (Print) – 2580-443X (Online)
Journal Homepage: ejournal.umm.ac.id/index.php/JICC
71 10.22219/SATWIKA.Vol4.No1.71-83
Peradaban Melayu Kuno: Sejarah, Budaya, dan Ekonomi Serdang dalam Novel Penari Dari Serdang Karya Yudhistira ANM Massardi
Muhammad Zulaemya,1*, Eggy Fajar Andalasb,2 ab Universitas Muhammadiyah Malang, Jalan Raya Tlogomas 246, Malang, Indonesia, 65144 1 [email protected]; 2 [email protected] * Corresponding Author
INFO ARTIKEL ABSTRAK
Sejarah Artikel: Diterima: 3 April 2020 Direvisi: 6 April 2020 Disetujui: 11 April 2020 Tersedia Daring: 12 April 2020
Dalam sejarah bangsa Indonesia peradaban Melayu menempati posisi yang penting. Berbagai bentuk kebudayaan bangsa saat ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah peradaban Melayu. Meskipun begitu, sangat sedikit hasil penelitian yang dilakukan terhadap kebudayaan Melayu di Indonesia. Berbagai hasil penelitian yang ada lebih berpusat pada kebudayaan Jawa. Melalui novel Penari Dari Serdang, Yudhistira ANM Massardi menggambarkan peradaban yang menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah daerah yang bernama Serdang yang pada kenyataannya memiliki struktur sejarah yang panjang. Artikel ini bertujuan menggabarkan sejarah peradaban Melayu kuno yang tergambarkan dalam novel Penari Dari Serdang karya Yudhistira ANM Massardi. Dengan menggunakan perspektif new historicism yang menekankan pada hubungan dialektis antara aspek sejarah sebagai latar belakang terciptanya karya sastra dan teks sastra, artikel ini berpendapat bahwa karya ini menyoriti dimensi sejarah, budaya, dan ekonomi di Serdang pada masa kejayaan Melayu kuno. Berbagai gambaran yang ada di dalam novel ini memperlihatkan kesejajaran struktur dengan realitas pada dokumen-dokumen sejarah yang ada. Di sisi lain, novel ini juga memberikan kritik terhadap sikap pemerintah saat ini yang abai terhadap sejarah masa lalu yang kaya, utamanya di wilayah Serdang.
Kata Kunci: New historicism Penari dari serdang Melayu kuno Peradaban
ABSTRACT
Keywords: New Historicism Penari dari Serdang Ancient malay Civilization
Throughout Indonesian history, Malay civilization occupies an important position. Various forms of national culture today cannot be separated from the history of Malay civilization. Even so, very few results of research conducted on Malay culture in Indonesia. Various research results that are more centered on Javanese culture. Through the novel Penari Dari Serdang, Yudhistira ANM Massardi described the civilization that became the forerunner to the formation of an area called Serdang which in reality has a long historical structure. This article aims to describe the history of ancient Malay civilization as illustrated in the novel Penari Dari Serdang by Yudhistira ANM Massardi. Using a new historicism perspective that emphasizes the dialectical relationship between historical aspects as a backdrop for the creation of literary works and literary texts, this article argues that this work highlights the historical, cultural and economic dimensions in Serdang during the heyday of ancient Malay. The various images in this novel show the alignment of structure with reality in existing historical documents. On the other hand, this novel also provides criticism of the current government's attitude which is ignorant of its rich past history, especially in the Serdang region.
© 2020, Zulaemy & Andalas This is an open access article under CC-BY license
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
72 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
How to Cite: Zulaemy, M., & Andalas, E. F. (2020). Peradaban Melayu Kuno: Sejarah, Budaya, Ekonomi Serdang dalam Novel Penari Dari Serdang Karya Yudhistira ANM Massardi. JURNAL SATWIKA, 4 (1), 71-83. doi: https://doi.org/10.22219%20/SATWIKA.Vol4.No1.71-83
1. Pendahuluan
Dalam sejarah bangsa Indonesia,
peradaban Melayu menempati posisi yang
penting. Selain bahasa Indonesia modern
yang berasal dari bahasa Melayu Riau,
berbagai bentuk kebudayaan bangsa saat ini
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah
peradaban Melayu (Abdullah, 2017; Azhari,
2013; Hashim, 1988; Putra, 2016). Meskipun
begitu, sangat sedikit hasil penelitian yang
dilakukan terhadap kebudayaan Melayu di
Indonesia. Berbagai hasil penelitian yang ada
lebih berpusat pada kebudayaan Jawa atau
Jawa-sentris (Mohammad, 2017).
Sejatinya, sejak masuknya Islam, kurun
abad ke-14-15 Masehi, ke wilayah Nusantara
bersamaan dengan itu juga mulai dikenal
sistem penulisan aksara, yaitu tulisan Jawi
(Salleh, 1997:227). Pada mulanya, tradisi
penulisan berkembang di lingkup istana dan
menghasilkan catatan genealogi, biografi,
dan catatan harian istana yang pada akhirnya
kemudian menjadi embrio lahirnya sastra
bercorak sejarah di kawasan Melayu
(Zakaria, Ali, Wahid, & Omar, 2018:194).
Meskipun telah banyak karya sastra
bergenre sejarah, keberadaan antara sejarah
sebagai dokumen resmi dan sastra sebagai
karya kreatif dan imajinatif sering
diperdebatkan. Terdapat pemisahan yang
begitu tegas antara hal yang disebut sebagai
sejarah dan hal yang bukan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Teeuw
(1974:3), menyatakan bahwa hendaknya
sastra dipahami dan dibaca sebagai sebuah
karya bercorak imajinatif dan kreatif.
Meskipun begitu, hal yang patut untuk
diperhatikan juga adalah berbagai gambaran
yang ada di dalam karya sastra merupakan
realitas kehidupan sehari-hari (Andalas,
2016a, 2017b, 2018c). Berbagai bahan baku
karya sastra berasal dari kehidupan manusia.
Karenanya, sebuah karya sastra hendaknya
dipahami bukanlah sebagai sebuah karya
sastra yang seluruhnya menggambarkan
realitas, begitupun juga bahwa karya sastra
tidaklah seluruhnya merupakan imajinasi
semata (Andalas, 2018a; Farida & Andalas,
2019a, 2019b; Sugiarti & Andalas, 2018).
Diperlukan sebuah interpretasi yang dapat
menjembatani antara struktur fiksional dan
struktur realitas dalam sebuah karya sastra.
Wellek and Waren (2014:38),
menyatakan bahwa sebuah karya sastra dapat
dilihat sebagai deretan karya yang tersusun
secara kronologi dan menjadi bagian dari
proses sejarah. Dengan kata lain, karya sastra
menjadi dokumen sekaligus representasi dari
berbagai realitas sejarah yang terjadi dalam
kehidupan manusia (Andalas, 2017a, 2018b;
Iman & Andalas, 2019; Sulistyorini &
Andalas, 2017). Berdasarkan hal tersebut
perlu adanya sebuah kerangka pemikiran
yang memperhatikan antara kesejajaran
terhadap dimensi fiksional dan realitas dalam
sebuah karya sastra. Novel Penari Dari
Serdang merupakan salah satu karya sastra
bergenre sejarah yang perlu untuk
diperhatikan.
Novel Penari Dari Serdang (2019)
karya Yudhistira ANM Massardi merupakan
salah satu novel yang berkisah tentang
sejarah Melayu kuno di wilayah Serdang,
Sumatera Utara. Melalui pengisahan cinta
antara Bagus dan Chaya penulis
menggambarkan kejayaan Melayu kuno.
Bagus digambarkan sebagai seorang
sastrawan yang berasal dari ibu kota dan
Chaya sebagai seorang guru tari. Keduanya
dipertemukan dalam sebuah acara lomba
sastra dan kebudayaan di kota Serdang.
Melalui pengisahan kedua tokoh tersebut,
pengarang menceritakan mengenai sejarah
kebudayaan Melayu yang ada di Serdang.
Banyak cerita yang membuat Bagus
tertarik terhadap kebudayan Melayu kuno
yang berada di Serdang melalui penuturan
Chaya. Hingga akhirnya, Bagus menyadari
sebuah fakta bahwa berbagai kekayaan
peradaban Melayu kuno yang menjadi cikal
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
73 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
bakal wilayah Serdang telah rusak,
terbengkalai, bahkan lenyap. Melalui Tengku
Natshya, sahabat karib Chaya sekaligus cucu
dari Sultan Sulaiman, diungkapkan jika
pemerintah hanya memberikan sedikit
perhatian terhadap hal tersebut.
Melalui novel Penari Dari Serdang,
Yudhistira ANM Massardi menggambarkan
peradaban yang menjadi cikal bakal
terbentuknya sebuah daerah yang bernama
Serdang. Wilayah ini memiliki struktur
sejarah yang panjang. Sayangnya, kekayaan
tersebut tidak diperhatikan oleh pemerintah
setempat. Berbagai gambaran mengenai
peradaban Melayu kuno dalam novel ini
penting untuk diperhatikan. Berbagai
kekayaan budaya yang ada di dalamnya
menjadi media bagi pembelajaran dan sarana
pemertahanan tradisi bagi generasi saat ini
(Andalas, 2016b:122-123; Ariani & Andalas,
2018; Qur'ani & Andalas, 2019:238).
Berdasarkan catatan Azhari (2013:iii-iv),
peradaban Melayu kuno di Indonesia telah
ada sejak abad ke-7 dan terdapat sekitar 50
kerajaan di Nusantara yang berakar pada
kebudayaan Melayu. Berbagai peninggalan
kejayaan peradaban Melayu kuno salah
satunya banyak terdapat di kota Serdang,
Sumatera Utara.
Berdasarkan studi literatur yang
dilakukan, penelitian terhadap eksplorasi
kekayaan peradaban Melayu kuno yang
terdapat dalam novel Penari Dari Serdang
karya Massardi (2019) belum pernah
dilakukan. Padahal, novel ini kaya akan nilai-
nilai sejarah peradaban Melayu kuno yang
dapat meningkatkan pengetahuan generasi
saat ini. Selain itu, Purnamasari (2019) dalam
studinya mengenai kajian new historicism
terhadap novel Arok Dedes menemukan
kesejajaran realitas antara hal yang
tergambarkan dalam dokumen sejarah
dengan penggambaran dalam novel yang
ditelitinya. Hal ini memperlihatkan bahwa
realitas fiksional dalam karya sastra tidak
dapat dipahami sebagai hasil fiksi
seluruhnya. Studi yang dilakukan oleh
Ardhianti (2016) dan Sahliyah (2017) juga
mendukung hal yang disampaikan oleh
Purnamasari (2019). Keduanya
menggambarkan mengenai realitas politik,
budaya, sosial, dan ekonomi dalam novel
yang bertalian erat dengan realitas sejarah.
Berdasarkan hal tersebut, sebagai
gambaran dari kejayaan peradaban Melayu
kuno, novel Penari Dari Serdang penting
untuk diteliti. Sebagai karya sastra bergenre
sejarah, novel ini kaya akan gambaran
mengenai sejarah peradaban Melayu kuno
yang hidup di wilayah Sumatera Utara.
Artikel ini bertujuan menggambarkan sejarah
peradaban Melayu kuno yang ada dalam
novel Penari Dari Serdang karya Massardi
(2019).
Penelitian ini menggunakan perspektif
new histroricism. New historicism
merupakan kritik sastra yang melihat
hubungan antara realitas dalam karya sastra
dalam kaitannya dengan realitas sosial,
ekonomi, dan budaya dalam kehidupan
nyata (Brannigan, 1999:421). Dengan kata
lain, penelitian ini berasumsi bahwa novel
Penari Dari Serdang merupakan cermin dari
realitas yang terjadi di masa lalu dan
dokumen yang merekam berbagai peristiwa
tersebut dalam bentuk karya imajiner.
Pendekatan ini, salah satunya,
diperkenalkan oleh Stephen Greenbalt. Ia
menyatakan bahwa perspektif ini
memusatkan perhatiannya pada latar
belakang ekonomi dan sosial yang
melatarbelakangi sebuah karya sastra karena
pembahasan terhadap hal tersebut tidak
harus selalu berupa teks yang nyata
(Greenblatt, 1982; Greenblatt & Gallagher,
2005). Hal ini karena pada realitasnya, karya
sastra sering menjadi wacana tandingan
terhadap versi sejarah yang diciptakan atau
ditulis oleh rezim yang berkuasa pada saat
sejarah tersebut ditulis. Melalui asumsi ini,
perspektif new historicism memerlukan
kerangka kerja intertekstualitas dengan
membandingkan antara karya sastra dengan
teks-teks non sastra (Barry, 2010:203).
Perspektif new historicism merupakan
pendekatan yang heterogen. Meskipun
begitu, terdapat beberapa kesamaan asumsi
dasar, yaitu 1) setiap tindakan berelevansi
dengan praksis budaya, 2) penyandingan
antara teks sastra dan non-sastra tidak
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
74 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
dilakukan secara terpisah, dan 3) tidak
adanya pengakuan “tegas” terhadap unsur
fiksional dan realitas terhadap teks dalam
merumuskan kebenaran mutlak sebuah teks
(Mumtaz, 2014:14; Taum, 2013:2). Sastra
tidak bisa dipandang sebagai hal yang begitu
saja terlepas dari sejarah dan karya imajinatif
semata (Foucault, 2012:85).
Greenblatt and Gallagher (2005:6-7),
mengemukakan bahwa realitas yang
terdapat dalam dunia karya sastra bukanlah
sebuah alternatif melainkan sebuah cara
untuk mengintensifkan sebuah dunia yang
sekarang kita huni. Greenblatt juga
mengatakan jika new historicism melibatkan
sesuatu yang dikenal dengan “thick
description” atau deskripsi yang mendalam.
Istilah yang diperkenalkan oleh Antropolog
Amerika, Clifford Geertz. Dalam pengertian
ini, peneliti tidak hanya mencari realitas
yang ada di dalam sejarah melainkan juga
mencari makna yang mendasar dari proses
sejarah yang melatarbelakangi kejadian
tersebut.
2. Metode
Penelitian ini berjenis kualitatif.
Pendekatan yang digunakan adalah new
historicism. Dalam pendekatan ini
interpretasi dilakukan dengan menekankan
pada aspek sejarah sebagai latar belakang
terciptanya karya sastra dan relevansinya
terhadap teks sastra. Hubungan ini dipandang
sebagai hubungan dialektis yang tidak
mengedepankan salah satu teks lebih penting
dibandingkan teks yang lainnya.
Sumber data yang digunakan adalah
novel Penari Dari Serdang (2019) karya
Yudhistira ANM Massardi. Data dalam
penelitian ini berupa kutipan-kutipan, kata-
kata, atau kalimat yang menunjukkan tentang
aspek sejarah, aspek ekonomi, serta aspek
sosial dalam peradaban sejarah Melayu kuno
di kota Serdang yang terdapat dalam novel
Penari dari Serdang karya Yudhistira ANM
Massardi.
Teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah teknik simak-catat. Dalam
pengumpulan data dilakukan pencarian dan
pembacaan secara dekat terhadap sumber
data yang digunakan kemudian dilakukan
pencatatan terhadap data-data yang relevan
dengan tujuan penelitian (Sugiarti, Andalas,
& Setiawan, 2020:82-85). Setelah data
terkumpul dilakukan analisis. Teknik analisis
dilakukan dengan penyajian data, interpretasi
berdasarkan teori yang digunakan, dan
penarikan kesimpulan. Adapun tahapan
tersebut, yaitu 1) pengumpulan data dan
klasifikasi data dalam novel Penari Dari
Serdang, 2) reduksi data, berupa hasil yang
telah diklasifikasi selanjutnya
dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan
penelitian, 3) menyajikan data dalam novel
Penari dari Serdang karya Yudhistira ANM
Massardi dengan cara mendeskripsikannya
sesuai dengan teori new historicism, yakni
sejarah, budaya dan ekonomi, berupa kata
atau kalimat, paragraph, serta tuturan tokoh
sesuai dengan rumusan masalah, 4)
menyimpulkan hasil analisis data dalam
novel Penari dari Serdang karya Yudhistira
ANM Massardi sesuai dengan kajian
penelitian.
3. Hasil dan Pembahasan
Novel Penari dari Serdang karya
Yudhistira ANM Massardi berkisah tentang
sejarah Melayu yang terdapat di Sumatera
Utara, tepatnya daerah Serdang. Novel ini
dibagi menjadi 89 bagian, dengan beberapa
bagian terfokus pada sejarah Melayu di
semenanjung Nusantara tanpa adanya sisipan
kisah romantis antara Bagus dan Chaya.
Kisah-kisah yang dipaparkan dalam novel ini
menjadi acuan tentang bagaimana
perkembangan sejarah Melayu di daerah
Serdang. Berikut adalah hasil paparan dari
berbagai aspek yang melatarbelakangi
perkembangan sejarah Melayu di kota
Serdang dalam novel Penari Dari Serdang.
3.1 Sejarah Melayu Serdang
Sejarah seperti yang dikatakan oleh
Budianta (2006:4), bahwa “sejarah terdapat
di dalam sebuah karya sastra bukan hanya
menjadi latar belakang sebuah cerita, tetapi
juga ada susunan serta rentetan cerita nyata di
dalam sejarah yang kemudian dituangkan ke
dalam sebuah karya sastra”. Dengan kata
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
75 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
lain, keterkaitan antara sastra dengan sejarah
terletak pada hubungan intertekstualitasnya.
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa sejarah peradaban
Melayu kuno yang diketahui telah masuk ke
Nusantara mulai dari abad ke 7 dan lebih dari
puluhan kerajaan yang berdiri di
semenanjung Nusantara berakar pada
kebudayaan Melayu. Menurut kutipan dari
novel Penari dari Serdang “kedatangan
Melayu menghubungkan poros Jambi-
Palembang-Padang-Medan-Aceh-Riau-Jawa
Tengah-Jawa Barat-Malaysia-Brunei
Darussalam. Beberapa kutipan dalam novel
Penari dari Serdang menjelaskan secara
rinci tentang perkembangan sejarah Melayu
terutama di pulau Sumatera. berdasarkan
hasil wawancara dengan antropolog Dr.
Kusnin Asa dalam kutipan berikut.
“Sejak pertengahan Abad IV Masehi,
Sumatera merupakan jantung peradaban
bangsa-bangsa dari wilayah barat dan
utara Asia Tenggara. Orang- orang Arya
dari India telah melakukan asimilasi
dengan bangsa-bangsa di kawasan
Mikronesia dan menjadi bangsa
polinesia.” (Massardi, 2019:153).
Sesuai dengan penuturan dari Dr.
Kusnin Asa mengenai bagaimana
perkembangan dari sejarah melayu di pulau
Sumatera dapat dilihat bahwa pertengahan
Abad IV adalah awal mula Sumatera menjadi
gerbang masuknya berbagai bangsa,
termasuk juga bangsa Melayu. Hal ini karena
letaknya di bagian pesisir Barat Nusantara
sehingga memudahkan para imigran untuk
memasuki kawasan Nusantara sekaligus
menjadikan pulau Sumatera menjadi awal
peradaban pelbagai bangsa. Abad V hingga
Abad VI menjadi kejayaan atas kerajaan-
kerajaan besar di Nusantara, seperti Kantoli
(Kendali) yang menjadi kerajaan pertama
dan berakar budaya Melayu (Massardi,
2019:154). Sebagaimana fungsi dari sejarah,
yaitu sebagai tafsiran dan penjelasan yang
memberikan pengertian pemahaman tentang
apa yang telah terjadi pada masa lampau
(Kartodirjo, 1992:12), maka apa yang
diungkapkan oleh Dr. Kusnin Asa telah
menjelaskan sebuah fakta mengenai suatu
deretan abad mengenai awal mula sejarah
Melayu muncul di Nusantara hingga
membangun kerajaan-kerajaan yang
sebagian besar berkembang dengan cepat
dan mencapai kejayaan masing- masing.
Kerajaan-kerajaan terseebut menguasai
seluruh semenajung Nusantara, mulai dari
gugusan pulau-pulau di Indonesia, Malaysia,
hingga Singapura. Fakta yang didapatkan
tidak berakhir hanya tentang perkembangan
Melayu pada abad-abad tersebut, melainkan
juga fakta mengenai pulau Sumatera sebagai
pintu strategis gerbang Barat Nusantara yang
menjadi pusat peradaban Melayu Kuno
bangsa-bangsa daerah Barat dan Utara Asia
Tenggara.
Kesultanan Serdang yang telah kita
ketahui berhasil mencapai puncak
kejayaannya pada saat pemerintahan Sultan
Sulaiman dan zaman keemasan pada saat
pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah.
Pada masa ini Kesultanan Serdang mencapai
awal kemakmuran atas kerjasama
perdagangan yang diterapkan dalam
kesultanan. Meskipun begitu, dalam kondisi
ini kesultanan mengalami pergejolakan-
pergejolakan sehingga terjadi peperangan.
Dalam novel, salah satu buku yang dibaca
oleh Bagus tentang Sultan Sulaiman ia
dapatkan setelah berkunjung ke
perpustakaan bekas kediaman Sultan Muda
Perkasa.
“Peristiwa yang digerakkan dengan
semangat menumpas feodalisme itu,
menelan ratusan korban keluarga para
bangsa Melayu, khususnya dari Kerajaan
Langkat. Mereka dirampok, dibantai, dan
diperkosa, Istana Kesultanan Langkat dan
Kesultanan Serdang habis dibakar.”
(Massardi, 2019:91)
Kutipan tersebut menjelaskan tentang
sebuah kisah dikala Sultan Sulaiman muda
ingin merebut kembali tiga daerah yang
sudah dirampas oleh Belanda. Perlawanan
itu bertujuan untuk mengembalikan lahan
yang digunakan oleh masyarakat Serdang
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
76 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
untuk perkebunan karet dan tembakau pada
17 Mei 1872. Sultan Sulaiman yang
semenjak dilantik, berumur 15 tahun, hingga
beberapa tahun setelahnya ketika menjabat
sebagai Sultan, namanya sudah masuk dalam
daftar Belanda sebagai orang yang
diwaspadai. Ia diwaspadai karena gerakan-
gerakan yang dilakukannya menentang
kebijakan Belanda. Namun, karena hal itu,
Kesultanan Serdang hampir runtuh ketika
terjadi pergejolakan besar dalam perebutan
wilayah. Dalam percakapan berikutnya,
Chaya pun mengatakan jika Indonesia
sebenarnya mempunyai hutang yang besar
terhadap bangsa Melayu karena bagaimana
pun Bahasa Melayu menjadi cikal bakal dari
Bahasa Indonesia.
Data-data yang ditemukan dalam novel
menjadi pelengkap dari buku sejarah resmi
yang ditulis oleh Azhari (2013) berjudul
Kesultanan Serdang. Berdasarkan telaah
terhadap keduanya diperoleh fakta bahwa
kedua teks ini saling melengkapi satu sama
lain. Dalam novel Penari dari Serdang hanya
diceritakan persoalan perkembangan
berbagai kerajaan yang berdiri di Sumatera
secara ringkas dan buku Kesultanan Serdang
menjelaskannya secara lebih rinci. Dalam
buku tersebut penulis menuliskan berikut.
“Pada abad ke-18 berdiri pula Kesultanan
Sedang yang wilayah kekuasaannya
berdampingan dengan Kesultanan Deli
(Abad-17). Kedua kesultanan ini juga
masih memiliki hubungan kekerabatan,
karena menurut Sinar, sultan pertama di
wilayah Serdang adalah salah seorang
cucu dari Seri Paduka Gocah Pahlawan
yang bernama Tuanku Umar Johan
Pahlawan (pendiri kesultanan Deli).”
(Azhari, 2013:1)
Seperti yang telah dibahas dalam kutipan
tersebut bahwa Kesultanan Serdang akhirnya
berdiri 13 abad setelah beberapa Kerajaan
yang juga berbasis Melayu akhirnya
mendapatkan kejayaan. Perjalanan dari
sejarah Kesultanan Serdang itu sendiri masih
dipengaruhi oleh Kesultanan sebelumnya,
yaitu Kesultanan Deli karena Kesultanan
Serdang didirikan oleh cucu dari pendiri
Kesultanan Deli. Kesultanan Serdang juga
memiliki tokoh penting sekaligus menjadi
pusat atas terbentuknya Kesultanan Serdang,
yaitu seorang Panglima Armada Kesultanan
Aceh Darussalam, Tuanku Sri Paduka Gocah
Pahlawan (Sinar, 1986:19). Namun seiring
dengan perjalanan waktu, realitas sejarah
yang telah terjalin tersebut menyebabkan
kemudahan tersendiri bagi Kesultanan
Serdang yang memiliki kekerabatan dengan
Kesultanan sebelumnya. Kesultanan Serdang
pada akhirnya mencapai puncak kejayaannya
pada saat diperintah oleh seorang sultan
bernama Sultan Sulaiman Shariful Alamsyah
yang diangkat menjadi seorang sultan dikala
umurnya masih 15 tahun.Akibat peristiwa ini
Belanda yang berkuasa dan menetap di
sekitar kawasan Serdang merasa tidak senang
sehingga pemerintah Belanda mencatat
namanya karena tuntutan daerah kekuasaan
yang mereka rebut dari Kesultanan Serdang
(Azhari, 2013:4).
3.2 Budaya Melayu Serdang
Budaya yang ada di dalam novel Penari
dari Serdang lebih mengarah kepada
bagaimana hasil budaya orang Melayu kuno
dalam membangun sebuah tempat yang
diberi nama Serdang. Latar belakang budaya
merupakan aspek utama dalam new
historicism seperti yang dikatakan oleh
Budianta (2006:8) bahwa “unsur budaya
yang terdapat dalam karya sastra yang secara
tidak langsung budaya telah menjadi
pemanis dalam karya sastra...bukan sekadar
pelengkap, namun budaya akan membuat
karya sastra akan lebih menarik untuk
dinikmati”. Salah satu data budaya yang
ditemukan dalam novel Penari dari Serdang
adalah sebagaimana kutipan berikut.
“Itu rumah kediaman Sultan Serdang
terakhir, mendiang Sultan Muda Perkasa.
Beliau juga pakar sejarah dan kebudayaan
Melayu. Buku-buku karnyanya menjadi
rujukan penting bagi studi kebudayaan
Melayu. Semua buku koleksinya
disumbangkan kepada masyarakat
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
77 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
melalui perpustakaan itu.” (Massardi,
2019:11)
Kutipan tersebut diambil dalam
percakapan antara Chaya dan Bagus ketika
mengelilingi kota Serdang. Kutipan ini
menunjukkan sebuah fakta jika pada
dahulunya kediaman para Sultan sudah
dijadikan tempat untuk proses pembelajaran
maupun pengajaran. Beberapa hal juga
disinggung dalam percakapan itu adalah para
sultan pun tetap turut andil dalam pelestarian
budaya maupun sejarah Melayu sehingga
mereka juga tetap ikut menulis tentang
budaya maupun sejarah Melayu yang berada
maupun berkembang di Serdang. Dukungan
yang diberikan dengan menyediakan tempat
penyimpanan buku maupun barang-barang
yang menjadi peninggalan dari sejarah
Melayu sebelumnya. Bahkan, Sultan Muda
Perkasa menjadikan kediamannya sebagai
perpustakaan. Kutipan tersebut sebagai bukti
bahwa sultan memiliki peran penting dalam
pemerintahan kesultanan hingga banyak dari
para sultan yang menjadi sastrawan, ulama,
penulis produktif, hingga pemikir agama
yang cerdas. Sultan Sulaiman dan beberapa
sultan lainnya merelakan kediaman serta
beberapa lahan kesultanan sebagai tempat
pengajaran dan pembelajaran maupun tempat
beribadah untuk orang-orang umum. Mereka
juga mendirikan perpustakaan untuk
menyimpan tulisan dari para sultan terdahulu
hingga sebagai tempat penyimpanan barang-
barang berharga milik kesultanan.
Selo Soemarjdan dan Soeleman
Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai
semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Melalui kebudayaan yang
merupakan karya dari masyarakat yang
bersifat kebendaan maupun yang
kebudayaan secara ragawi yang yang akan
diperlukan oleh masyarakat sekitar untuk
dipergunakan dalam mengelola alam
sekitarnya agar hasil alaam yang diperoleh
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
masyarakat sekitar (Ranjabar, 2006:21).
Kebudayaan lainnya yang ditampilkan
dalam novel Penari dari Serdang adalah
tarian. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut.
“...aneka tari Melayu tradisional yang
berpedoman pada koreografi ciptaan
Guru Sauti, maestro tari Melayu
kelahiran Perbaungan. Jenis-jenis tarinya
antara lain Tari Lenggang Patah
Sembilan, Tari Lenggok Mak Inang, Tari
Dua Lagu, Tari Campak Bunga, Tari
Melenggok, Tari Pelipur Lara, dan Tari
Serampang Duabelas.” (Massardi,
2019:82)
Sebagaimana kebudayaan adalah hasil
karya dari masyarakat yang bersifat ragawi
maupun kebendaan, maka tarian adalah salah
satu kebudayaan secara ragawi. Tarian juga
bisa dikatakan sebagai warisan identitas
suatu tempat. Tarian biasa dipersembahkan
untuk acara keadatan maupun hal-hal
lainnya. Oleh karenanya, tarian harus terus
dilestarikan dan juga diajarkan kepada
generasi penerus. Seperti yang telah
disebutkan dari kutipan di atas mengenai
beberapa bentuk tarian Melayu yang ada
dalam sejarah Serdang. Cerita Chaya yang
menjadi pengajar tari menjadi landasan
bahwa sampai saat ini tarian-tarian itu masih
terus berusaha untuk dilestarikan. Wujud
tarian Melayu Tradisional yang penting
untuk dilestarikan, melalui penjelasan Chaya
mengenai tarian khas Melayu dalam novel,
beberapa di antara tujuh tarian, yaitu Tari
Serampang Duabelas. Tarian ini penting
untuk dijarkan kepada anak-anak.
Tarian Serampang Duabelas dilakukan
secara berpasang-pasangan karena tarian ini
mengisahkan tentang kisah percintaan dua
sejoli pada pandangan pertama mereka dan
pada akhirnya menikah dan direstui oleh
seluruh keluarga. Tarian Serampang
Duabelas diiringi oleh lagu Pulo Sari, tarian
ini memiliki gerakan yang bertempo cepat
karena dahulu mendapat pengaruh dari
Portugis dan Sepanyol. Sesuai dengan
namanya, tarian Serampang Duabelas terbagi
atas duabelas ragam gerakan yang
megekpresikan proses percintaan sejak awal
bertemu hingga mengungkapkan perasaan
mereka satu sama lain. Ada hal lain dalam
gerakan tarian itu selain mengungkap
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
78 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
perasaan masing-masing, yaitu cermin atas
perilaku setia terhadap adat. Fakta dari tarian
Serampang Duabelas adalah tarian ini terus
diadakan perbaikan untuk penyempurnaan
mulai tahun pertama kali diciptakan 1940
hingga terakhir kali diperbaiki pada tahun
1960 (Massardi, 2019:82).
Kebudayan Melayu kuno lain juga
ditemukan dalam buku Kesultanan Serdang
sebagai karya nonsastra yang disandingkan
atas novel Penari dari Serdang. Sebagai
gerbang Nusantara, terutama Pulau
Sumatera, fakta yang di kemukakan oleh J.C
Van Leur adalah Barat laut Sumatera, yaitu
di Barus, sudah ada koloni-koloni Arab yang
singgah untuk berdagang dan juga
berdakwah (Azhari, 2013:19-20). Hasil dari
kebudayaan yang berkembang dan
didominasi oleh doktrin para pedagang dari
Arab menyebabkan sejarah Melayu lekat
hubugannya dengan ke-Islaman. Budaya
Islam yang berkembang dalam sejarah
melayu disebutkan dalam kutipan berikut.
“...,para ulama ini juga mendirikan
pesantren-pesantren sebagai sarana
pendidikan Islam. Para wali ini dekat
dengan kalangan istana. Merekalah orang
yang memberikan pengesahan atas sah
tidaknya seseorang naik tahta. Mereka
juga adalah penasihat sultan sehingga
diberi gelar sunan atau susuhunan (yang
dijunjung tinggi).” (Azhari, 2013:21)
Islam mulai berkembang dengan pesat di
Nusantara berkat para mubaligh (orang yang
berdakwah) yang dengan giat menyebarkan
agama Islam. Mereka tidak hanya
menyebarkan agama Islam melalui
perdagangan, namun mereka juga menikahi
penduduk setempat sehingga penduduk
setempat yang telah memeluk Islam juga ikut
andil dalam penyebaran agama Islam pada
sanak famili maupun kenalan yang ada di
lingkungannya. Kebudayaan Islam dan
sejarah Melayu memiliki keterkaitan erat
yang bisa dilihat hingga saat ini. Adapun
fakta yang merujuk tentang perkembangan
kebudayaan Islam di Nusantara
berdampingan dengan tumbuhnya kerajaan-
kerajaan di Pulau Sumatera dan juga di
Nusantara adalah perkataan dari Marco Polo,
seorang penjelajah yang pada abad ke-13
tepatnya tahun 1292. Marco Polo singgah di
Perlak dan mengatakan jika ia bertemu
dengan orang-orang yang telah menganut
agama Islam.
Dalam buku Kesultanan Serdang karya
(Azhari, 2013), disebutkan jika pusat dari
kebudayaan Islam yang tumbuh di Sumatera
lalu menyebar hingga terbentuknya
Kesultanan Deli yang merupakan cikal bakal
dari Kesultanan Serdang, berpusat di dalam
istana kerajaan, di mana Sultan Sulaiman
yang menjadi raja disaat Kesultanan
Serdang mencapai puncak kejayaan
menjadikan istana kerajaan sebagai tempat
berlangsungnya kesenian, pembelajaran,
pengajaran. Sultan Sulaiman juga
mendirikan tempat ibadah umum yang bisa
dipergunakan oleh masyarakat pada
umumnya.
3.3 Ekonomi Melayu Serdang
Aspek ekonomi sama pentingnya
dengan aspek budaya karena sama-sama
melekat dan berkaitan dengan kehidupan
sosial sehari-hari. Budianta (2006:11)
menyatakan bahwa aspek ekonomi begitu
berpengaruh di dalam berbagai aspek
kehidupan. Ekonomi sebagaimana dijelaskan
juga oleh Iskandar (2010:1) bahwa ekonomi
adalah segala hal yang menyangkut
mengenai rumah tanggga, mulai dari
perkembangan yang nampak dalam rumah
tangga hingga perkehidupan yang terjalin.
Kata rumah tangga tidak hanya dibatasi oleh
keadaan rumah tangga yang berisikan
seorang ayah, ibu, dan anak, melainkan
hingga ketahap yang lebih luas, seperti rumah
tangga bangsa, negara, maupun dunia.
Serdang, sebuah kota di daerah Sumatera
Utara merupakan sebuah wilayah yang telah
ada sejak Kesultanan Serdang. Seorang dari
keturunan Tionghoa bernama Tjong A Fie,
salah satu konglomerat perkebunan di
Serdang waktu itu banyak membantu
pembangunan infrastruktur di Kota Serdang.
Hal ini diperkuat oleh perkataan dari Chaya
ketika mengajak Bagus berkeliling kota:
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
79 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
“... di depan museum rumah Tjong A Fie,
konglomerat perkebunan yang banyak
membiayai pembangunan infrastruktur di
Kota Medan sejak masa kolonial.”
(Massardi, 2019:21)
Kutipan dari percakapan di atas
dibuktikan dengan fakta yang terdapat di
dalam novel tersebut sekligus menjadi data
tambahan, yaitu
“Perjalanan berlanjut ke Gedung Balai
Kota Lama, yang dibangun pada 1908 oleh
Hulswit dan Fermont, kemudian
direnovasi pada 1923 oleh Eduard
Cuypers. Lokasinya merupakan Titik Nol
kilometer kota Medan. Gedung itu
awalnya dibangun untuk De Javasche
Bank (sekarang Bank Indonesia), lalu
dibeli oleh pemerintah Kota Medan.
Loncengnya disumbangkan oleh
konglomerat perkebunan Tjong A Fie
pada 1913. Gedung itu sekarang menjadi
bagian dari kompleks hotel dan
perkantoran Grand Aston City Hall
Medan, dan digunkan sebagai restoran.”
(Massardi, 2019:18)
Data tersebut dapat dimaknai bahwa
pada masa Melayu lampau beberapa orang
yang ikut singgah di pulau Sumatera
menetap dan tinggal di beberapa bagian
pulau Sumatera, terutama beberapa wilayah
yang dekat dengan pelabuhan seperti kota
Serdang. Beberapa keturunan tak terkecuali
mereka yang berdarah Tionghoa pun
mendapat peran penting dalam
pembangunan budaya di Serdang. Salah
satunya adalah konglomerat perkebunan,
Tjong A Fie, yang banyak disebutkan
membantu banyak pembangunan di kota
Serdang. Data di atas pun memberikan
informasi mengenai beberapa keturunan
yang memilih tinggal di kota Serdang selain
dari bangsa Melayu. Selain dari data yang
telah disebutkan di atas, beberapa kutipan
juga membahas mengenai pembangunan
yang dibantu pembiayaannya oleh Tjong A
Fie, seperti pembangunan masjid.
“..., pada 1906-1909 Sultan melengkapi
kawasan itu dengan membangun Masjid Al-
Mashun, yang lebih dikenal sebagai Masjid
Raya Medan. ..., konon konglomerat Tjong A
Fie turut membantu pendanaannya.”
(Massardi, 2019:25)
Kutipan tersebut dimaknai bahwa
hingga hal yang mengandung kepercayaan
pun tidak mengganggu toleransi antar sesama
masyarakat Serdang untuk saling membantu,
karena tidak dijelaskan apakah Tjong A Fie
menganut kepercayaan apa. Karena
bagaimana pun, Melayu dan juga Islam tidak
bisa dipisahkan dari peradaban kota Serdang
dan hal inillah yang memungkinkan
mayoritas masyarakat Serdang pada waktu
itu menganut kepercayaan Islam.
Data yang ditemukan di dalam novel
Penari dari Serdang ini tidak ditemukan di
dalam buku Kesultanan Serdang mengenai
seorang keturunan Tionghoa yang bernama
Tjong A Fie yang telah banyak berkontribusi
terhadap pembangunan bangunan penting
pada masa Kesultanan Serdang. Data yang
ditemukan tentang perekonomian
masyarakat Serdang pada waktu itu lebih
menyorot kepada Sultan Sulaiman yang di
mana ketika pemerintahan Kesultanan
Sulaiman kemakmuran masyarakat Serdang
tercapai. Hal ini dibuktikan seperti kutipan
berikut.
“Perhatian terhadap kemajuan rakyat
dibuktikan dengan melakukan
pembangunan di bidang pertanian, ...,
Sultan Sulaiman menyediakan lahan
persawahan untuk rakyat dan ia juga
membangun pengairan untuk menjamin
siklus air di persawahan tersebut.”
(Azhari, 2013:23)
Sultan Sulaiman, seorang raja yang pada
masa pemerintahanya Kesultanan Serdang
mencapai puncak kejayaan. Namun, bukan
hanya jaya pada pemerintahannya saja,
melainkan juga dari pasar atau perekonomian
masyarakat Serdang. Hal ini ditandai dengan
berbagai usaha yang telah dilakukan oleh
Sultan Sulaiman, mulai dari membuat irigasi
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
80 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
untuk pengairan sawah sehingga
mempermudah masyarakat dalam
pengelolaan sawah-sawah mereka.
Perekonomian kota Serdang juga
didukung oleh keadaan wilayah Pulau
Sumatera, utamanya Sumatera Utara yang
menjadi gerbang masuk para pedagang dan
menjadi pusat perdagangan yang sangat
ramai di Asia Tenggara (Azhari, 2013:32).
Karenanya, raja memiliki hubungan
diplomatik dengan dinasti di luar Nusantara.
Beberapa faktor juga merujuk kepada
kekuatan politik maupun kekuatan panglima
tempur yang telah berhasil merebut dan
menaklukkan beberapa negeri yang berada di
Pantai Barat dan Timur Sumatera.
4. Kesimpulan
Novel Penari Dari Serdang karya
Yudhistira ANM Massardi merupakan
dokumen sejarah peradaban Melayu kuno.
Karya ini menyoriti dimensi sejarah, budaya,
dan ekonomi di Serdang pada masa kejayaan
Melayu kuno. Melalui pengisahan kisah cinta
Bagus dan Chaya penulis memberikan
gambaran mengenai berbagai realitas
kehidupan masyarakat di kota Serdang pada
masa lalu. Berdasarkan studi yang dilakukan
dapat dipahami bahwa berbagai gambaran
yang ada di dalam novel ini memperlihatkan
kesejajaran struktur dengan realitas pada
dokumen-dokumen sejarah yang ada. Di sisi
lain, novel ini juga memberikan kritik
terhadap sikap pemerintah saat ini yang abai
terhadap sejarah masa lalu yang kaya,
utamanya di wilayah Serdang.
5. Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Rektor Universitas Muhammadiyah
Malang dan Kaprodi Pendidikan Bahasa
Indonesia atas dukungannya terhadap
penelitian ini. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada reviewer
anonim yang telah memberikan masukan
terhadap artikel ini sehingga menjadi lebih
baik.
6. Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2017). Glokalisasi Identitas
Melayu: Potensi dan Tantang Budaya
Dalam Reproduksi Kemelayuan.
MANHAJ: Jurnal Penelitian dan
Pengabdian, 6(2), 1-7. Retrieved
from
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/in
dex.php/manhaj/article/view/742/65
9
Andalas, E. F. (2016a). Citra Antikolonial
dalam Film Avatar (2009): Sebuah
Tinjauan Poskolonial. Puitika, 12(1),
1-10. Retrieved from
http://jurnalpuitika.fib.unand.ac.id/in
dex.php/jurnalpuitika/article/view/26
Andalas, E. F. (2016b). Sastra Lisan Lakon
Lahire Panji Pada Pertunjukan
Wayang Topeng Malang Padepokan
Mangun Dharma (Kajian Sastra
Lisan Ruth H Finnegan). (Master
Master Thesis), Universitas
Airlangga, Surabaya.
Andalas, E. F. (2017a). Dampak dan Fungsi
Sosial Mitos Mbah Bajing bagi Kehi-
dupan Spiritual Masyarakat Dusun
Kecopokan Kabupaten Malang Jawa
Timur. Puitika, 13(1), 21-31.
Retrieved from
http://jurnalpuitika.fib.unand.ac.id/in
dex.php/jurnalpuitika/article/view/48
Andalas, E. F. (2017b). Eskapisme Realitas
dalam Dualisme Dunia Alice Telaah
Psikologi-Sastra Film Alice in
Wonderland (2010). KEMBARA:
Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya, 3(2), 185-195.
doi:https://doi.org/10.22219/KEMB
ARA.Vol3.No2.185%20-%20195
Andalas, E. F. (2018a). Literasi Ekologis:
Tanggung Jawab Moral Ilmu Sastra
dalam Pengelolaan Ekologi
Manusia. Paper presented at the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra
Indonesia (SENASBASA), Malang.
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
81 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
Andalas, E. F. (2018b). Meninjau Kembali
Identitas Budaya Jawa Di Era
Globalisasi: Panji Sebuah
Representasi Identitas Lokal Jawa
Timur. Paper presented at the
Seminar Kebudayaan Jawa (Budaya
Jawa dalam Tantangan Globalisasi
dan Pengembangan Budaya
Nasional), Malang.
http://www.academia.edu/download/
61763945/10._MeninjauKembaliIde
ntitasBudayaJawadiEraGlobalisasi-
PanjiSebuahRepresentasiIdentitasLo
kalJawaTimur420200112-7657-
2q6nor.pdf
Andalas, E. F. (2018c). Reimajinasi
Kebenaran Kajian Sastra dan Budaya
dalam Perspektif Cultural Studies. In
E. F. Andalas & H. B. Qur'ani (Eds.),
Narasi Katulistiwa: Sehimpun Telaah
Kritis Atas Kepingan-Kepingan
Kisah Manusia dalam Drama
Indonesia. Malang: Kota Tua.
Ardhianti, M. (2016). Kajian New
Historicism Novel Hatta: Aku Datang
Karena Sejarah Karya Sergius
Sutanto Buana Sastra, 3(1), 1-10.
Retrieved from
http://jurnal.unipasby.ac.id/index.ph
p/bastra/article/view/652/519
Ariani, M. F., & Andalas, E. F. (2018).
Kearifan Lokal Malangan dalam
Kumpulan Cerpen Aloer-Aloer
Merah Karya Ardi Wina Saputra.
JURNAL SATWIKA, 2(2), 107-118.
doi:https://doi.org/10.22219/SATWI
KA.Vol2.No2.107-118
Azhari, I. (2013). Kesultanan Serdang:
Perkembangan Islam pada Masa
Pemerintahan Sulaiman Shariful
Alamsyah Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama Republik
Indonesia.
Barry, P. (2010). Pengantar Komprehensif
Teori Sastra dan Budaya: Beginning
Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Brannigan, J. (1999). Introduction: History,
Power, and Politics In the Literary
Artifact. New York: New York
University Press.
Budianta, M. (2006). Budaya, Sejarah, dan
Pasar: New Historicism dalam
Perkembangan Kritik Sastra. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Farida, N., & Andalas, E. F. (2019a).
Eksistensi Kearifan Lokal Madura di
Era Modern dalam Celurit Hujan
Panas Karya Zainul Muttaqin.
Atavisme, 22(2), 217-232.
doi:https://doi.org/10.24257/atavism
e.v22i2.581.217-232
Farida, N., & Andalas, E. F. (2019b).
Representasi Kesenjangan Sosial-
Ekonomi Masyarakat Pesisir Dengan
Perkotaan Dalam Novel Gadis Pantai
Karya Pramodya Ananta Toer.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan
Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
5(1), 74-90.
doi:https://doi.org/10.22219/KEMB
ARA.Vol5.No1.74-90
Foucault, M. (2012). Arkeologi
Pengetahuan. Jakarta: IRCiSoD.
Greenblatt, S. (1982). The Power of Forms in
The English Renaissance (S.
Greenblatt Ed.). Okla: Pilgrim Books.
Greenblatt, S., & Gallagher, C. (2005).
Practicing New Historicsm. Chicago:
The University of Chicago Press.
Hashim, M. Y. (1988). Di Antara Fakta dan
Mitos: Tradisi Pensejarahan Di
Dalam Hikayat Siak Atau Sejarah
Raja-Raja Melayu SEJARAH:
Journal of the Department of History,
1(1), 63-116.
doi:https://doi.org/10.22452/sejarah.
vol1no1.3
Iman, N., & Andalas, E. F. (2019).
Representasi Kehidupan Religius
Masyarakat Islam Kejawen Di
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
82 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
Yogyakarta Pada Tahun 1868 M–
1912 M dalam Novel Dahlan: Sebuah
Novel Karya Haidar Musyafa. Pena
Literasi, 2(1), 189-200. Retrieved
from
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/pe
naliterasi/article/view/4448
Iskandar, P. (2010). Economics: Pengantar
Mikro dan Makro. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Kartodirjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu
Sosial dalam Metodologi Sejarah
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Massardi, Y. A. N. M. (2019). Penari Dari
Serdang Jakarta Gramedia Pustaka
Utama
Mohammad, G. S. (2017). Jawasentris
dalam Penulisan Sejarah Nasional
Indonesia. Paper presented at the 60
Tahun Seminar Sejarah Nasional
Indonesia, Yogyakarta.
http://www.academia.edu/download/
59765721/Ghamal_Satya_Mohamm
ad_Universitas_Indonesia_Jawasentr
is_dalam_Penulisan_Sejarah_Nasion
al_Indonesia20190617-72068-
x8893x.pdf
Mumtaz, F. (2014). Membongkar Kubur
Sugiarti Siswadi (Sebuah Kajian New
Historicism) (Master Master Thesis),
Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Retrieved from
https://repository.usd.ac.id/124/2/09
6322014_full.pdf
Purnamasari, B. W. A. (2019). Novel Arok
Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer
Dengan Kajian New Historicism
Stephan Greenblatt. BAPALA, 5(2),
1-10. Retrieved from
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/i
ndex.php/bapala/article/view/28172/
25774
Putra, B. A. (2016). Historiografi Melayu:
Islam Dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu. Tsaqofah dan
Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan
Sejarah, 1(1), 91-102. Retrieved
from
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/in
dex.php/twt/article/view/866/739
Qur'ani, H. B., & Andalas, E. F. (2019).
Nilai-Nilai Moral Cerita Rakyat di
Banten. Basastra: Jurnal Kajian
Bahasa dan Sastra Indonesia, 8(3),
238-252.
doi:http://dx.doi.org/10.24114/bss.v8
i3.15885
Ranjabar, J. (2006). Sistem Sosial Budaya
Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sahliyah, C. (2017). Kajian New Historicism
Novel Kubah Karya Ahmad Tohari.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra, 17(1), 108-116.
doi:https://doi.org/10.17509/bs_jpbs
p.v17i1.6962
Salleh, S. H. (1997). Kesusasteraan melayu
Abad Kesembilan Belas. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sinar, T. L. (1986). Sari Sejarah Serdang 2.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sugiarti, S., & Andalas, E. F. (2018).
Perspektif Etik dalam Penelitian
Sastra. Malang: UMM Press.
Sugiarti, S., Andalas, E. F., & Setiawan, A.
(2020). Desain Penelitian Kualitatif
Sastra. Malang: UMM Press.
Sulistyorini, D., & Andalas, E. F. (2017).
Sastra Lisan: Kajian Teori dan
Penerapannya dalam Penelitian.
Malang: Madani.
Taum, Y. Y. (2013). Representasi Tragedi
1965: Kajian New Historicism Atas
Teks-Teks Sastra dan Nonsastra
tahun 1966-1998 (Ringkasan
Disertasi). Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Retrieved from
https://www.academia.edu/3540108/
REPRESENTASI_TRAGEDI_1965
Jurnal Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 4, No. 1, April 2020, pp. 71-83
83 Zulaemy dan Andalas (Peradaban Melayu Kuno...)
_KAJIAN_NEW_HISTORICISM_
ATAS_TEKS-
TEKS_SASTRA_DAN_NONSAST
RA_TAHUN_1966_-
_1998_Ringkasan_Disertasi_
Teeuw, A. (1974, Juni). Sastra dalam
Ketegangan Antara Tradisi dan
Pembaharuan. Basis, XXVII.
Wellek, R., & Waren, A. (2014). Teori
Kesusastraan. Jakarta: Grasindo.
Zakaria, N. b., Ali, A. H. b., Wahid, A. b., &
Omar, A. b. (2018). Sejarah Melayu
Sebagai Lambang Tradisi Akal Budi
Bangsa yang Tinggi. JURNAL
MELAYU SEDUNIA, 1(1), 191-209.
Retrieved from
https://ejournal.um.edu.my/index.ph
p/jurnalmelayusedunia/article/view/1
3389/8519