penyebab mata merah
TRANSCRIPT
Penyebab mata merah
Pada konjungtiva terdapat pembuluh darah :
a. Arteri konjungtiva posterior yang memperdarahi konjungtiva bulbi
b. Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang :
- Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior
longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan
memperdarahi iris dan badan siliar.
- Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea
- Arteri episclera yang terletak diatas sclera, merupkan bagian arteri siliar anterior
yang akan memberikan perdarahan ke dalam bola mata.
Bila terjadi pelebaran pembuluh-pembuluh darah maka akan terjadi mata merah. Selain
melebarnya pembuluh darah, mata merah juga dapat terjadi akibat pecahnya salah satu
dari kedua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di bawah jaringan konjungtiva.
(Ilyas, 2005)
Macam-macam Injeksi
Injeksi Konjungtiva
Melebarnya pembuluh darah arteri konjungtiva posterior atau injeksi konjungtiva ini
dapat terjadi akibat pengaruh mekanis, alergi, ataupun infeksi pada jaringan
konjungtiva. Injeksi konjungtival mempunyai sifat :
1. Mudah digerakkan dari dasarnya. Hal ini disebabkan arteri konjungtiva posterior
melekat secara longgar pada konjungtiva bulbi yang mudah lepas dari dasarnya sclera.
2. Pada radang konjungtiva pembuluh darah ini terutama didapatkan di daerah
forniks.
3. Ukuran pembuluh darah makin besar ke bagian perifer, karena asalnya dari bagian
perifer atau arteri siliar anterior.
4. Berwarna pembuluh darah merah segar.
5. Dengan tetes adrenalin 1:1000 injeksi akan lenyap sementara.
6. Gatal
7. Fotofobia tidak ada
8. Pupil ukuran normal dengan reaksi normal
Injeksi Siliar
Melebarnya pembuluh darah perikornea (a. siliar anterior) atau injeksi siliar atau injeksi
perikornea terjadi akibat radang kornea, tukak kornea, benda asing pada kornea, radang
jaringan uvea, glaucoma, endofthalmitis taupun panoftalmitis. Injeksi siliar mempunyai
sifat :
1. Berwarna lebih ungu dibanding dengan pelebaran pembuuh darah konjungtiva.
2. Pembuluh darah tidak tampak.
3. Tidak ikut serta dengan pergerakan konjungtiva bila digerakkan, karena menempel
erat dengan jaringan perikornea.
4. Ukuran sangat halus terletak di sekitar kornea, paling padat sekitar kornea, dan
berkurang kearah forniks.
5. Pembuluh darah perikornea tidak menciut bila diberi epinefrin atau adrenalin
1:1000
6. Hanya lakrimasi
7. Fotofobia
8. Sakit tekan yang dalam sekitar kornea
9. Pupil ireguler kecil (iritis) dan lebar (glaucoma)
Ø Konjungtivitis Imunologik (Alergi)
Bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non infeksi, dapat
berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi lambat seperti beberapa hari kontak
seperti pada reaksi obat, bakteri dan toksik. Merupakan reaksi antibodi humoral
terhadap alergen, biasanya dengan riwayat atopi.
Gejala utama penyakit alergi adalah radang (merah, sakit, bengkak dan panas),
gatal, silau dan menahun. Tanda karakteristik lainya adalah terdapatnya papil besar
pada konjungtiva, datang bermusim dan mengganggu penglihatan. walaupun penyakit
alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan dan
perlu pengobatan.
Pengobatan terutama dengan menghindarkan faktor penyebab penyakit dan
memberikan astringen, sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah, dan kompres
dingin untuk menghilangkan edema. Pada kasus berat diperlukan antihistamin dan
steroid sistemik. (Ilyas , 2005)
Konjungtivitis Vermal
Konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas (tipe 1) yang mengenai kedua mata
dan bersifat rekuren. Pada mata ditemukan papil besar dengan permukaan kasar pada
konjuntiva tarsal, dengan rasa gatal berat, sekret gelatin yang berisi eosinofil, atau
granula eosinofil, pada kornea terdapat keratitis, neovaskularisasi, dan tukak indolen.
Pada tipe timbal terlihat benjolan didaerah limbus, dengan bercak Horner Trantas yang
berwarna keputihan yang terdapat didalam benjolan.
Merupakan penyakit yang dapat rekuren dan bilateral terutama pada musim
panas. Mengenai pasien muda antara 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama. Pada
bentuk palpebra, pasien biasanya mengeluh gatal, timbul papil yang besar dan sekret
yang mukoid, konjungtiva tarsal bawah edema, hiperemi, dengan kelainan kornea lebih
berat. Sedangkan pada bentul limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang
membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan trantas dot yang merupakan
degenerasi epitel kornea atau eosinofil dibagian epitel limbus kornea, terbentuk panus,
dengan sedikit eosinofil.
Antihistamin dan desensitisasi mempunyai efek yang ringan. Vasokonstriktor,
kromolin topikal dapat mengurangi pemakaian steroid, siklosporin dapat bermanfaat.
Obat antiinflamasi nonsteroid tidak banyak bermanfaat. Pengobatan dengan steroid
topikal tetes dan salep akan dapat menyembuhkan. Hati-hati pemakaian steroid lama.
Bila tidak ada hasil dapat diberikan radiasi, atau dilakukan pengangkatan giant papil.
Penyakit ini biasanya sembuh sendiri tanpa diobati. Dapat diberi kompres dingin,
natrium karbonat, dan obat vasokonstriktor. Kelainan kornea dan konjungtiva dapat
diobati dengan natrium kromolin topikal. Bila terdapat tukak maka diberi antibiotik
untuk mencegah infeksi sekunder disertai sikoplegik. (Ilyas, 2005)
Konjungtivitis Flikten
Merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi terhadap bakteri atau
antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan karena alergi (hipersensitivitas tipe
IV) terhadap tuberkuloprotein, stafilokokus, limfogranuloma venerea, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi lain ditubuh. Kelainan ini sering pada anak-anak yang hidup
didaerah padat dengan kurang gizi sering mendapat radang saluran nafas.
Kadang-kadang konjungtivitis flikten terlihat unilateral dan kadang-kadang
mengenai kedua mata. Pada konjungtiva tampak bintik putih yang dikelilingi daerah
hiperemi. Pada pasien akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi suatu
tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang terletak
didekat limbus. Abses ini menjalar kearah sentral atau kornea dan terdapat tidak hanya
satu.
Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan mata sakit,
fotofobia, bila kornea ikut terkena selain sakit pasien juga merasa silau disertai
blefarospasme. Dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu, dengan kemungkinan terjadi
kekambuhan. Keadaan akan lebih berat jika terkena kornea. Diagnosis banding adalah
pinguekula iritan, ulkus kornea, okular rosazea, dan keratitis herpes simplek.
Pengobatan konjungtivitis flikten adalah dengan diberi steroid topikal, midriatik
bila terjadi penyulit pada kornea, pakai kaca mata hitam karena silau sehingga sakit.
Diperhatikan higiene mata dan diberi antibiotik salep mata waktu tidur dan air mata
buatan. Sebaikanya dicari penyebabnya seperti tuberkulosis, blefaritis stafilokokus
kronik dan lainya. Karena sering pada anak yang kurang gizi maka sebaiknya diberi
vitamin dan makanan tambahan. (Ilyas, 2005)
Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Radang konjungtiva nonspesifik ringan umumnya menyertai demam jerami
(rinitis alergika). Biasanya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan,
dan lainya. Pasien mengeluh gatal, mata berair, mata merah, dan sering mengatakan
matanya seakan-akan ”tenggelam dalam jaringan sekitar” terdapat sedikit penambahan
pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan bila serangan akut sering kemosis
berat (yang menjadi penyebab ”tenggelamnya tadi”), mungkin terdapat sedikit kotoran
mata, sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva, jika alergenya menetap
timbul konjungtivitis papiler.
Pengobatan adalah meneteskan vasokonstriktor lokal selama tahap akut
(epinefrin, larutan 1:1000 secara topikal, akan menghilangkan kemosis dan gejalanya
dalam 30 menit). Kompres dingin juga membantu mengurangi gatal dan antihistamin
hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung terhadap pengobatan cukup baik, namun
sering kambuh kecuali antigenya dapat dihilangkan. Untungnya, frekuensi serangan dan
beratnya gejala cenderung menurun dengan bertambahnya usia.
Konjungtivitis Atopik
Pasien dermatitis atopik (exzema) sering juga menderita keratokonjungtivitis
atopik. Tanda dan gejalanya adalah sensasi terbakar, sekret mata berlendir, merah,
fotofobia. Tepi palpebra eritematosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.
Terdapat papila halus, namun papila raksasa tidak berkembang seperti
keratokonjungtivitis vernal, dan sering terdapat ditarsus inferior, berbeda dengan papila
raksasa pada keratokonjungtivitis vernal yang terdapat ditarsus superior. Tanda-tanda
kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit seperti eksaserbasi
konjungtivitis terjadi berulang kali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti
dengan vaskularisasi. Pada kasus berat seluruh kornea tampak kabur dan
bervaskularisasi dan ketajaman penglihatan menurun, penyakit ini mungkin sampai
keratokonus.
Biasanya ada riwayat alergi pada pasien atau keluarga. Kebanyakan pasien
pernah menderita dermatitis atopik sejak bayi. Parut pada lipatan fleksura lipat siku dan
pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya,
keratokonjungtivitis atopik berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi
dan remisi. Seperti pada konjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung tidak aktif jika
pasien berusia lebih dari 50 tahun.
Penanganan keratokonjungtivitis atopik sering mengecilkan hati. Setiap infeksi
sekunder harus diobati. Harus diusahakan kontrol lingkungan. Antihistamin oral
termasuk terfenadine (60-120 mg dua kali sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari)
atau hydroxyzine 50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat.
Obat anti radang nonsteroid yang baru seperti ketorolac, iodoxamide ternyata dapat
mengatasi gejala pada pasien. Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi
tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk mengembalikan tajam penglihatan. (Ilyas, 2005)
Konjungtivitis Papilaris Raksasa
Konjungtivitis papilaris raksasa dengan tanda dan gejala mirip pada konjungtivitis
vernal dapat timbul pada pasien yang memakai mata buatan dari plastik atau lensa
kontak. Ini mungkin penyakit hipersensitivitas tipe lambat yang kaya basofil, mungkin
dengan komponen IgE humoral. Mengganti plastik dengan kaca untuk prostesis mata
dan memakai kaca mata daripada lensa kontak biasanya menyembuhkan. Jika tetap
ingin memakai lensa kontak,diperlukan tindakan tambahan. Perawatan lensa kontak
yang baik, termasuk agen-agen bebas pengawet sangat penting. Disinfektan hidrogen
peroksida dan pembersihan lensa kontak enzimatik juga menolong. Jika semua gagal,
pemakaian lensa kontak harus dihentikan. (Ilyas, 2005)
Konjungtivitis Iatrogenik
Konjungtivitis akibat pengobatan yang diberikan oleh dokter. Berbagai obat dapat
memberikan efek samping pada tubuh, demikian pula pada mata yang dapat terjadi
dalam bentuk konjungtivitis.
Sindrome Steven Johnson
Suatu penyakit eritem multiform yang berat (mayor). Penyakit ini ditemukan
pada orang muda usia sekitar 35 tahun. Penyebabnya diduga suatu reaksi alergi pada
orang yang mempunyai predisposisi alergi terhadap obat-obat sulfonamid, barbiturat,
salisilat. Ada yang beranggapan penyakit ini idiopatik dan sering ditemukan sesudah
suatu infeksi herpes simplek.
Kelainan ditandai dengan lesi pada kulit dan mukosa. Kelainan pada kulit berupa
lesi eritem yang dapat timbul mendadak dan tersebar secara simetris. Mata merah
dengan demam dan kelemahan umum dan sakit pada sensi merupakan keluhan
penderita dengan sindrom ini. Sindrom ini disertai gejala vesikel pada kulit,
bula,stromatitis ulseratif. Pada mata terdapat vaskularisasi kornea, parut konjungtiva,
konjungtiva kering, simblefaron, tukak dan perforasi kornea dapat memberikan penyulit
endoftalmitis. Kelainan mukosa dapat berupa konjungtivitis pseudomembran. Pada
keadaan lanjut dapat terjadi kelainan, yang sangat menurunkan penglihatan.
Pengobatan bersifat simtomatik dengan pengobatan umum berupa
kortikosteroid sistemik dan infus cairan antibiotik. Pengobatan lokal pada mata berupa
pembersihan sekret yang timbul, midriatika, steroid topikal tidak banyak berpengaruh
dan penggunaan berkepanjangan akan berakibat perlunakan dan perforasi kornea. , dan
mencegah simbleferon. Pemberian kortikosteroid harus hati-hati terhadap adanya
herpes simplek. (Arif Mansjoer, 1999)
Dapus :
Ilyas, Sidharta.2005. Ilmu Penyakit Mata.Edisi 3.Jakarta:Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius Fakultas
Universitas Indonesia