penyakit imunodefisiensi

6
Penyakit Imunodefisiensi Penyakit imunodefisiensi dapat disebabkan oleh kerusakan herediter yang memengaruhi perkembangan sistem imun, atau dapat terjadi akibat efek sekunder penyakit lain (misalnya: infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas, atau kemoterapi). Secara klinis, pasien imunodefisiensi menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan bentuk tertentu kanker. Jenis infeksi pada seorang pasien sangat bergantung pada komponen sistem imun yang terkena. Pasien dengan kelainan imunoglobulin, komplemen, atau sel fagositik secara khas mengalami infeksi bakteri piogenik berulang, sebaliknya pasien dengan gangguan pada imunitas yang diperantarai oleh sel cenderung menderita infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri intrasel. Yang akan dibahas secara ringkas disini adalah beberapa imunodefisiensi primer yang lebih penting, yang diikuti dengan gambaran rinci mengenai sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS, acquired immunodeficiency syndrome), suatu contoh imunodefisiensi sekunder yang paling merusak. 1. Imunodefisiensi primer Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara genetik dan memengaruhi mekanisme imunitas spesifik (misalnya, humoral atau selular) ataupun mekanisme pertahanan pejamu non spesifik yang diperantarai oleh protein komplemen dan sel seperti sel fagosit dan NK. Defek pada imunitas spesifik sering kali diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan pada komponen primer yang terserang (yaitu sel B atau T); namun, dengan melihat interaksi yang luas antara limfosit T dan limfosit B, pembedaan ini tidak tegas. Secara khusus, defek pada sel T hampir selalu menyebabakan gangguan sintesis antibodi, sehingga defisiensi sel T tersendiri biasanya tidak dapat dibedakan dengan defisiensi kombinasi sel T dan sel B. Sebagian besar imunodefisiensi primer membutuhkan perhatian masa awal kehidupan (antara usia 6 bulan dan 2 tahun), biasanya karena kerentanan janin terhadap infeksi yang berulang. a. Agamaglobulinemia terkait-x: penyakit Bruton.

Upload: agustriati-muniz

Post on 16-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

Penyakit ImunodefisiensiPenyakit imunodefisiensi dapat disebabkan oleh kerusakan herediter yang memengaruhi perkembangan sistem imun, atau dapat terjadi akibat efek sekunder penyakit lain (misalnya: infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas, atau kemoterapi). Secara klinis, pasien imunodefisiensi menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan bentuk tertentu kanker. Jenis infeksi pada seorang pasien sangat bergantung pada komponen sistem imun yang terkena. Pasien dengan kelainan imunoglobulin, komplemen, atau sel fagositik secara khas mengalami infeksi bakteri piogenik berulang, sebaliknya pasien dengan gangguan pada imunitas yang diperantarai oleh sel cenderung menderita infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri intrasel. Yang akan dibahas secara ringkas disini adalah beberapa imunodefisiensi primer yang lebih penting, yang diikuti dengan gambaran rinci mengenai sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS, acquired immunodeficiency syndrome), suatu contoh imunodefisiensi sekunder yang paling merusak.1. Imunodefisiensi primerSebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara genetik dan memengaruhi mekanisme imunitas spesifik (misalnya, humoral atau selular) ataupun mekanisme pertahanan pejamu non spesifik yang diperantarai oleh protein komplemen dan sel seperti sel fagosit dan NK. Defek pada imunitas spesifik sering kali diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan pada komponen primer yang terserang (yaitu sel B atau T); namun, dengan melihat interaksi yang luas antara limfosit T dan limfosit B, pembedaan ini tidak tegas. Secara khusus, defek pada sel T hampir selalu menyebabakan gangguan sintesis antibodi, sehingga defisiensi sel T tersendiri biasanya tidak dapat dibedakan dengan defisiensi kombinasi sel T dan sel B. Sebagian besar imunodefisiensi primer membutuhkan perhatian masa awal kehidupan (antara usia 6 bulan dan 2 tahun), biasanya karena kerentanan janin terhadap infeksi yang berulang.a. Agamaglobulinemia terkait-x: penyakit Bruton.Penyakit Bruton adalah salah satu bentuk penyakit imunodefisiensi primer yang lebih sering terjadi. Penyakit ini ditandai dengan kegagalan sel pra-B untuk berdiferensiasi menjadi sel B; akibatnya, sesuai dengan namanya, tidak ditemukan gama globulin di dalam darah. Selama diferensiasi sel B normal, yang pertama kali ditata ulang adalah gen imunoglobulin rantai-berat, kemudian diikuti dengan penataan ulang rantai-ringan. Pada agamaglobulinemia Bruton, pematangan sel B berhenti setelah dimulainya penataan ulang gen rantai-berat karena mutasi pada tirosin kinase yang terlibat dalam transduksi sinyal sel pra-B. Disebut sebagai Bruton tyrosine kinase (BTK) karena menyebabkan kelanjutan pematangan sel-B. Karena rantai ringan tidak diproduksi, molekul imunoglobulin yang lengkap mengandung rantai berat dan rantai ringan tidak dapat dirangkai dan diangkut menuju membran sel, meskipun rantai berat bebas dapat ditemukan dalam sitoplasma. Karena BTK terkait pada kromosom X, gangguan tersebut terutama terjadi pada lelaki; namun, kasus sporadis telah dilaporkan terjadi pada perempuan.Secara klasik, penyakit ini ditandai dengan:1) Sel B tidak terdapat dalam sirkulasi atau jumlahnya sangat berkurang, disertai dengan penurunan kadar semua imunoglobulin dalam serum. Sel pra-B ditemukan dalam jumlah normal dalam sumsum tulang.2) Sentrum germinativum kurang atau tidak berkembang dalam jaringan limfoid perifer, termasuk kelenjar getah bening, plak peyer, apendiks, dan tonsil.3) Sel plasma tidak ditemukan di seluruh tubuh.4) Respons yang diperantarai oleh sel T normal.Penyakit Bruton tidak akan tampak jelas sebelum mencapai usia sekitar 6 bulan, yaitu pada saat imunoglobulin maternal habis. Pada sebagian besar kasus, infeksi bakteri berulang, seperti faringitis akut dan kronis, sinusitis, otitis media, bronkitis, dan pneumonia dianggap mendasari defek imun. Secara khas, organisme penyebabnya adalah patogen bakteri yang dapat disingkirkan melalui opsonisasi antibodi (misalnya, Haemophilus influenzae, streptococus pneumoniae, atau staphylococus aureus). Pasien penyakit Bruton membersihkan sebagian besar infeksi virus, jamur, protozoa karena imunitas yang diperantarai oleh sel-T milik mereka masih utuh. b. Imunodefisiensi Variabel UmumPenyakit ini merupakan suatu kelompok gangguan kongenital atau didapat yang heterogen yang ditandai dengan hipogamaglobulinemia, gangguan respons antibodi terhadap infeksi (atau vaksin), dan jumlah infeksi yang semakin meningkat; secara superfisial manifestasi klinis sama dengan manifestasi pada agamaglobulinemia Bruton. Diagnosis penyakit ini biasanya ditegakkan setelah semuanya tersisihkan (setelah penyebab lain imunodefisiensi disingkirkan); dasar defisiensi imunoglobulinnya berbeda-beda (sesuai dengan sebutannya).c. Defisiensi IgA tersendiriPenyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit imunodefisiensi primer, defisiensi IgA menyerang kira-kira 1 di antara 700 orang kulit putih. Ingat kembali bahwa IgA merupakan imunoglobulin utama dalam sekresi mukosa sehingga terlibat dalam pertahanan saluran pernapasan dan pencernaan. d. Sindrom Hiper-IgM Pada respon imun normal terhadap antigen protein, yang pertama kali diproduksi adalah antibodi IgM dan IgD, yang diikuti dengan elaborasi antibodi IgG , IgA, dan IgE secara berurutan. Kemunculan jenis antibodi yang berurutan ini disebut dengan isotype switching dan penting untuk menghasilkan kelompok antibodi yang secara efektif dapat mengaktivasi komplemen dan/ atau mengopsonisasi patogen bakteri. Pasien sindrom hiper-IgM menghasilkan kadar antibodi IgM terhadap antigen yang normal (atau bahkan lebih dari normal), tetapi kurang mampu menghasilkan isotipe IgG, IgA, atau IgE lain; kelainan yang mendasarinya adalah ketidakmampuan sel T untuk menginduksi isotype switching sel-B. Pasien sindrom hiper-IgM bentuk terkait-X pada lelaki akan mengalami infeksi piogenik yang berulang, karena rendahnya kadar antibodi IgG yang mengopsonisasi. Karena sinyal CD40 terlibat dalam aktifasi makrofag, pasien ini rentan pula terhadap berbagai macam patogen yang memerlukan respons DTH yang intak, termasuk Pneumocystis carinii. e. Hipoplasia Timus: Sindrom DiGeorgeSindrom DiGeorge diakibatkan oleh suatu kelainan kongenital dalam perkembangan timus yang disertai dengan pematangan sel-T yang tidak sempurna. Tidak ditemukan adanya sel T dalam kelenjar getah bening, limpa serta darah perifer. Janin dengan kelainan ini sangat mudah terserang infeksi, virus, jamur, dan protozoa. Gangguan ini terjadi akibat malformasi perkembangan yang akan memengaruhi saccus faringeal III dan IV, yaitu struktur yang kelak akan membentuk timus, kelenjar paratiroid, serta bagian dari wajah dan arkus aorta. Oleh karena itu, selain adanya kelainan pada timus dan sel-T, dapat pula terjadi hipoplasia kelenjar paratiroid yang mengakibatkan tetani hipokalsemik, serta abnormalitas perkembangan lineamediana tambahan. Transplantasi jaringan timus telah berhasil mengobati beberapa janin ini. Pada janin lainnya (dengan kelainan parsial), imunitas dapat membaik secara spontan dengan bertambahnya umur.f. Imunodefisiensi Kombinasi BeratImunodefisiensi kombinasi berat (SCID, severe combined immunodeficiency) mewakili sekumpulan sindrom yang berbeda secara genetik yang semuanya menunjukkan adanya defek, baik dalam respon imun humoral maupun imun selular. Janin yang terserang mudah mengalami infeksi berulang yang berat oleh berbagai macam patogen, seperti bakteri, fungus, jamur, dan protozoa; infeksi oportunistik oleh candida, pneumocystis, sitomegalovirus, dan pseudomonas juga menyebabkan penyakit serius (dan kadang-kadang mematikan). Empat puluh persen hingga 50% kasus SCID lainnya diturunkan secara resesif autosomal, dengan sekitar separuhnya disebabkan oleh mutasi dalam adenosin deaminase (ADA), enzim yang terlibat dalam metabolisme purin. Defisiensi ADA menyebabkan akumulasi metabolit adenosin dan deoksiadenosin trifosfat, yang menghambat sitensis DNA dan bersifat toksik terhadap limfosit. Para pasien yang terserang dapat mengalami limfopenia yang nyata, baik disertai dengan defisiensi sel-T maupun sel-B; pasien lainnya dapat mengalami peningkatan jumlah sel T imatur dan/atau mempunyai sel B nonfungsional dalam jumlah besar, karena kurangnya bantuan dari sel-T. Pada saat ini, pasien SCID diterapi dengan transplantasi sumsum tulang, meskipun terapi gen untuk menggantikan gen yang bermutasi sedang diteliti pula. g. Imunodefisiensi Dengan Trombositopenia Dan Ekzema: Sindrom Wiskott-AldrichSindrom Wiskott-Aldrich adalah suatu penyakit resesif terkait-X yang ditandai dengan trombositopenia, ekzema, dan sangat rentan terhadap infeksi berulang, yang berakhir pada kematian dini; satu-satunya pengobatan adalah transplantasi sumsum tulang, penyakit ini merupakan suatu sindrom yang aneh karena gambaran klinis serta gangguan imunologisnya sulit dirasionalisasikan secara meyakinkan berdasarkan atas pengenalan kelainan genetik yang mendasarinya. Para pasien mudah pula menderita limfoma malignum. Gen yang bertanggung jawab terpetakan pada kromosom-X dan mengkode suatu protein (protein sindrom Wiscott-Aldrich) yang menghubungkan pemberian sinyal intrasel dan sitoskeleton. Meskipun mekanismenya belum diketahui, ketiadaan atau defek protein dapat memerantai efeknya melalui pengaturan morfologi sel yang abnormal (termasuk perubahan bentuk trombosit?) atau melalui penentuan sasaran yang keliru oleh limfosit ke jaringan limfoid perifer.h. Defisiensi Genetik Komponen KomplemenKomponen komplemen memainkan peranan yang penting dalam respons peradangan dan respons imunologi. Akibatnya, defisiensi herediter komponen komplemen, terutama C3 (yang sangat penting, baik untuk jalur klasik maupun jalur alternatif), akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik.

2. Imunodefisiensi Sekunder