penjadwalan_proyek
DESCRIPTION
penjadwalan proyekTRANSCRIPT
Penggunaan Metode Network Planning untuk PDM
Dari hasil uraian-uraian sebelumnya, diberikan contoh penjadwalan metode PDM dengan data-data
analisisnya, diagram PDM serta hasil kesimpulannya, seperti di bawah ini.
Tabel 3.4 Data Analisis Network Planning untuk PDM
Kode Kegiatan Durasi (hari) Predecessor Jenis Keterkaitan
A 5 --- ---
B 6 A F – S
C 4 --- ---
D 5 B F – S
E 4 B, C F – S
F 1 C S – S lag 1 hari
G 1 E, H, I F – S
H 5 D F – S lead 3 hari
I 3 F F – S
Ditanya:
1. Susunlah diagram precedence-nya
2. Lakukan analisis network untuk memperoleh nilai ES, EF, LS, LF
3. Tentukan durasi proyek dan kegiatan kritisnya
Penyelesaian
Langkah pertama adalah membuat diagram predence untuk masing-masing kegiatan, dengaan
menampilkan data kegiatan, durasi dan hubungan keterkaitan aantaar kegiatan. Kemudian melakukan
perhitungan maju (forward pass) sehingga didapat Es dan EF dari nilai yang paling maksimum.
Selanjutnya dilakukan perhitungan mundur (backward pass) sehingg didapat nilai LS dan nilai LF dari
nilai yang paling minimum. Bila beberapa kegiatan tidak memiliki predecessor dan successor, maka agar
tidak membuat kondisi dangling, diberikan kegiataan dummy.
Gambar 3.7 Contoh Metode Network Planing untuk PDM
1. Perhitungn forward pass (arah maju) pada Kegiatan/Node
a. Task B
ESB = EFA = 5 hari EFB = ESB + durB = 5 + 6 = 11 hari
b. Task E, terdapat 2 kegiatan yang mendahului B dan C, dipilih nilai maksimum yaitu B
ESE = EFB = 11 hari EFE = ESE + durE = 11 + 4 = 15 hari
c. Task F
ESF = EFC + Lag = 0 + 1 = 1 hari EFF = ESF + durF = 1 + 1 = 2 hari
d. Task H
ESH = EFD – lead = 16 – 3 = 13 hari EFH = ESH + durH = 13 + 5 = 18 hari
Perhitungan di atas dilanjutkan untuk semua kegiatan.
2. Perhitungn forward pass (arah maju) pada Kegiatan/Node
a. Task B, terdapat 2 kegiatan yang mengikuti D dan E, dipilih nilai yang minimum yaitu D
LFB = LSD = 11 hari LSB = LFB – durB = 11 – 6 = 5 hari
b. Task E
LFE = LSG = 18 hari LSE = LFE – durE = 18 – 4 = 14 hari
c. Task C, terdapat 2 kegiatan yang mengikuti E dan F, dipilih nilai yang minimum yaitu E
LFC = LSE = 14 hari LSC = LFC – durC = 14 – 4 = 10 hari
d. Task D
LFD = LSH + Lead = 13 + 3 = 16 hari LSD = LFD – durB = 16 – 5 = 11 hari
e. Total Float kegiatan A = LFA – ESA – DurasiA = 5 – 0 – 5 = 0 hari
f. Total Float kegiatan C = LFC – ESC – DurasiC = 14 – 0 – 4 = 10 hari
g. Total Float kegiatan E = LFE – ESE – DurasiE = 18 – 11 – 4 = 3 hari
Perhitungan di atas dilanjutkan untuk semua kegiatan.
Tabel 3.5 Analisis Durasi, Total Float dan Kegiatan Kritis PDM
KegiatanDurasi
(hari)ES EF LF LS TF
A 5 0 5 5 0 0
B 6 5 11 11 5 0
C 4 0 4 14 10 10
D 5 11 16 16 11 0
E 4 11 15 18 14 3
F 1 1 2 15 14 13
G 1 18 19 19 18 0
H 5 13 18 18 13 0
I 3 2 5 18 15 13
Dari tabell di atas dapat disimpulkan bahwa:
Kegiatan kritisnya pada total floatnya, TF = 0 dengan durasi proyek terpanjang, adalah pada A – B –
D – H – G
Durasi proyek pada lintasan tersebut di atas adalah 19 hari
3.3 PENJADWALAN SUMBER DAYA
Penjadwalan sumber daya seperti tenaga kerja, peralatan, material, dan modal/biaya dapat merupakan
bagian dari master schedule atau dapat juga sebagai bagian yang terpisah darinya sebagai subschedule.
Untuk proyek yang cukup komlpeks, pemilahan schedule sumber daya dari maser schedule, dengan
detailnya dilakukan pada subschedule, adalah langkah terbaik untuk melakukan monitoring. Tujuan
penjadwalan sumber daya adalah memastikan jumlah atau jenis sumber daya dapat diketahui sejak awal
dan tersedia bila dibutuhkan. Tetapi bila ketersediaan jumlah sumber daya terbatas, maka biasanya durasi
proyek lebih lambat dari yang direncanakan. Sebaliknya, dengan menambah sumber daya durasi proyek
bisa dipercepat. Bila ketersediaan sumber daya cukup tetapi distribusi selama berlangsungnya proyek
berfluktuasi, maka hal ini akan mengurangi tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan sumber daya. Bila
jumlah sumber daya terbatas dan ketersediaannya tidak mencukupi, sedangkaan durasi adalah batasan
kurun waktu proyek, maka penjadwalan dapat dilakukan dengan perataan sumber daya (resources
leveling).
3.3.1 Penjadwalan Sumber Daya yang Terbatas
Sumber daya yang terbatas adalah salah satu alasan mengapa penjadwalan diperlukan. Penjadwalan
dimaksudkan supaya pelaksanaan proyek tetap dapat berlangsung, caranya dengan mengoptimalkan
penggunaan sumber daya yang terabatas tersebut yang diusahakan juga agar durasi proyeknya tidak
terlalu terlambat.
Sumber daya yang terbatas karena ketersediaannya yang memang langka dapat mebuat masalah besar
bagi pelaksanaan proyek, karena hal ini akan mempengaruhi durasi proyek. Makin sedikit
ketersediaannya, durasi proyek akan semakin lama karena banyak kegiatan yang tidak dapat dilakukan.
Akibatnya adalah sanksi dari pemilik proyek yang berupa denda atau pemutusan hubungan kerjas sepihak
karena keterlambatan proyek. Oleh karena itu, perencanaan sumber daya yang langka seperti
perlatan/mesin dengan teknologi tinggi, tukang khusus ukir/pahat, dan material yang harus diimpor,
perlatan yang memerlukan impor dari luar negeri, harus dibuat sebaik mungkin agar kegiatannya tidak
terganggu.
Ada dua jenis batasan yang harus diperhatikan dalam penjadwalan proyek.karena batasan tersebut
berpengaruh terhadap waktu kerja dari suatu kegiatan. Batasan tersebut adalah:
1. Batasan Hubungan Kegiatan, batasan yang diakibatkan oleh hubungan antar kegiatan pada beberapa
kegiatan
2. Batasan Kondisi Sumber Daya, batasan yang diakibatkan oleh ketidaktersediaan sumber daya
Selain itu, ada 4 aturan yang dapat diterapkan dalam penjadwalan proyek dalam hubungannya dengan
alokasi sumber daya yang terbatas, yaitu:
1. Memprioritaskan kegiatan yang mempunyai batasan kegiatan-kegiatan dengn sumber daya yang
maksimum, lalu dilakukan penjadwalan terhadap kegiatan tersebut dengan basis kontinyu
2. Memprioritaskan kegiatan kritis atau mendekati kritis dengn total float paling rendah, lalu dilakukan
penjadwalan terhadap kegiatan tersebut dengn cara basis kontinyu
3. Memprioritaskan kegiatan pada durasi paling pendek, lalu dilakukan penjadwalan terhadap kegiatan
tersebut dengan cara basis kontinyu
4. Setelah salah satu dari 3 aturan di atas terpenuhi, dilakukan kegiatan pada kegiataan dengn prioritas
rendah dengan cara basis terputus, kemudian dilakukan interupsi oleh kegiatan yang lebih tinggi
prioritasnya
Agar lebih jelas, diberikan contoh penjadwalan sumber daya dengan kondisi Batasan Hubungan Kegiatan
dan Batasan Kondisi Sumber Daya, seperti berikut ini,
Gambar 3.8 PDM dengan Tingkat Kebutuhan Sumber Daya yang Cukup
Pada network di atas digambarkan juga kebutuhan sumber daya pada kegiatan Task A, jumlah sumber
dayanya 1 SD (sumber daya), sedangkan Task B, jumlah sumber dayanya 4 SD, dan seterusnya untuk
C, D, E, F. sedangkan untuk penggunaan sumber daya dibatasi maksimum perhari = 7 SD
Durasi normal dengan ketersediaan sumber daya yang cukup adalah 17 hari, dengan kegiatan kritis
pada TF = 0, A – D – F
Tabel 3.6 Diagram Batang dengan Sumber Daya Cukup
A 6 0 1B 8 1 4C 7 4 3D 6 0 2E 3 1 5F 5 0 2
TaskDurasi (hari)
Total Float (hari)
Sumber Daya (SD)
Hari Kerja5 10 15
5 5 5 5 5 5
2520
25 43 24 4
5 2 2 2 29 9 10 10 10 5Sumber DayaPenggunaan Maksimum perhari = 10 SDTotal penggunaan Sumber Daya = 96 SDH
Tabel 3.6 menunjukkan pemakaian sumber daya dalam keadaan normal dimana batasan-batasan pada
proyek diabaikan atau boleh dikatakan kebutuhannya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan masing-masing
kegiatan. Penggunaan sumber daya dalam keadaan di atas maksimum perharinya adalah 10 SD dengan
jumlah totalnya 96 SDH (sumber daya hari). Sedangkan maksimum perminggunya bila 1 minggu 5 hari
kerja adalah 43 SDH derta durasi proyeknya 17 hari.
Kemudian keadaan di atas direvisi lagi karena adanya keterbatasan sumber daya dimana pada proyek
tersebut penggunaannya adalah 7 SD, mengharuskan penjadwalan ulang seperti dibawah ini.
Tabel 3.7 Diagram Batang dengan Sumber Daya Terbatas, Prioritas pada Batasan Sumber Daya Maksimum
A 6 0 1B 8 1 4D 6 0 2E 3 1 5C 7 4 3F 5 0 2
TaskDurasi (hari)
Total Float (hari)
Sumber Daya (SD)
Hari Kerja5 10 15 20 25
75 5 5 5 5
25 31 21 13 6
3 2 2 2 2 25 3 3 3 3 35 6 6 7 7Sumber DayaPenggunaan Maksimum perhari = 7 SDTotal penggunaan Sumber Daya = 96 SDH
Table 3.7 adalah contoh penerapan aturan 1, yakni prioritas dimana kegiatan D dan E mempunyai jumlah
maksimum sumber daya 7 SD dijadwalkan terlebih dahulu. Karena itu kegiatan C dapat dimulai setelah
kegiatan E selesai, sehingga durasi proyek lebih lambat, yaitu menjadi 23 hari. Sedangkan penggunaan
sumber daya maksimum perminggunya dengan jumlah normal dan ketersediaan cukup 43 SDH ketika
dijadwalkan ulang menjadi 31 SDH.
Tabel 3.8 Diagram Batang dengan Sumber Daya Terbatas, Prioritas Penjadwalan pada Total Float Paling Rendah
A 6 0 1D 6 0 2F 5 0 2B 8 1 4E 3 1 5C 7 4 3
TaskDurasi (hari)
Total Float (hari)
Sumber Daya (SD)
Hari Kerja5 10 15 20 25
75 5 5 5 5Sumber DayaPenggunaan Maksimum perhari = 7 SDTotal penggunaan Sumber Daya = 96 SDH
3
25 31 15 13 12
2 3 3 3 3 32 2 2 2 2 25 6 6 7 7
Tabel 3.8 adalah contoh penerapan aturan 2, dengn total float yang paling kecil A, D, F dan bernilai sama
yaitu TF = 0 dijadwalkan terlebih dahulu. Bila dihubungkan dengan keterbatasan hubungan antar
kegiatan, C dapat dimulai setelah kegiatan A selesai. Namun Karen penggunaan sumber daya maksimum
perharinya hanya boleh 7 SDH, maka kegiatan C dapat dimulai bila kegiatan F selesai, sehingga durasi
proyek terlambat, yakni menjadi 24 hari.
Tabel 3.9 Diagram Batang dengan Prioritas Penjadwalan pada Total Float Paling Rendah, Penjadwalan Selanjutnya
dengan Cara Basis Non-Kontinyu
A 6 0 1D 6 0 2F 5 0 2D 8 1 4E 3 1 5C 7 4 3
TaskDurasi (hari)
Total Float (hari)
Sumber Daya (SD)
Hari Kerja5 10 15 20 25
Sumber DayaPenggunaan Maksimum perhari = 7 SDTotal penggunaan Sumber Daya = 96 SDH
25 6 6 7 7 75 5 5 5 5
25 31 18 13 9
3 3 3 3 3 35 2 2 2 2
Table 3.9 adalah contoh penerapan aturan 4, dengan prioritas pada kegiatan dengan total float paling
rendah dan penjadwalan dengan basis non-kontinyu, dengan ketersediaan sumber daya cukup serta
batasan hubungan keterkaitan antar kegiatan tidak ada. Pada contoh ini, kegiatan C diintrupsi pada hari
ke-13 oleh kegiatan F sampai selesai, lalu dilanjutkan kembali oleh kegiatan C, sehingga durasi proyek
menjadi 23 hari.
Dari contoh-contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemakaian sumber daya dengn keterbtasan yang
sama, yaitu maksimum 7 orang, maka aturan 1 dan 4 adalah proyek dengan durasi paling rendah, yaitu 23
hari dari 17 hari yang direncanakan. Akan tetapi, aturan 1 memberikan hasil paling sederhana dan
pelaksanaanya tidak rumit.
Karena adanya penjadwalan sumber daya yang terbatas ini menyebabkan durasi proyek lebih lambat dari
yang direncanakan. Keadaan ini dapat meningkatkan biaya proyek dan kemungkinan lainnya adalah
mengganggu arah kas proyek yang dapat menyebabkan pengelola merugi atau kondisi keuangannya
terganggu distribusinya. Pilihan terhadap penjadwalan sumber daya dengn cara Batasan Hubungan
Keterkaitan dan Batasan Kondisi sumber Daya ini harus dievaluasi lebih rinci, apakah ketersediaan
sumber daya tersebut memang benar-benar tidak bisa didapat sama sekali atau langka sehingga pilihan ini
memang harus dilakukan.
3.3.2 Perataan Sumber Daya (Resources Leveling)
Perataan sumber daya adalah meratakan frekuensi alokasi sumber daya dengan tujuan memastikan bahwa
jumlah/jenis sumber daya dapat diketahui dari awal dan tersedia bila dibutuhkan. Biasanya bila jumlah
sumber daya dikurangi, durasi akan bertambah, sebaliknya bila sumber daya ditambah, durasi akan
berkurang. Tujuan dari perataan sumber daya adalah untuk menjadwalkan kegiatan pada proyek yang
disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya dan pola penyebaran yang logis sehingga durasi proyek
tidak melampaui batas berlebihan. Variasi penyebaran sumber daya dari satu periode ke periode lainnya
diusahakan dapat tetap pada batas minimum kebutuhannya, sehingga hasil yang dicapai dapat memenuhi
sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan sumber daya yang ada.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perataan sumber daya adalah mengidentifikasi sumber daya yang
terbatas dan yang dibutuhkan untuk seluruh jumlah durasi dari suatu proyek. Ini karena alokasi sumber
daya yang langka dan ketersediaannya terbtas harus diprioritaskan.
Bila ketersediaannya tidak mencukupi, pengadaannya akan menimbulkan biaya yang lebih tinggi.
Perataan sumber daya yang dimaksudkan agar alokasi tingkat pemakaian sumber daya dapat di ketaahui
sehingga penyelesaian proyek menjadi lebih logis. Dalam perataan sumber daya, biasanya durasi proyek
di anggap tetap, sedangkan jumlah sumber daya diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengn
ketersediaan.
Ada beberapa pola distribusi sumber daya selama durasi proyek, yaitu:
1. Pola kebutuhan sumber daya sepanjang durasi proyek dengan bentuk berfluktuasi
Gambar 3.9 Pola Distribusi Sumber Daya Berfluktuasi
Luas area 600 SDH adalah jumlah sumber daya yang dibutuhkan selama durasi proyek 60 hari. Pola
di atas dapat dilakukan bila sumber daya tertentu, yang dibutuhkan dengan jumlah maksimum 15
pada hari-hari tertentu, dikurangi pada hari yang lain. Namun untuk sumber daya langka hal ini agk
sulit dilakukan karena mobilisasi sumber daya tersebut terganggu dengn pemakaian sumber daya
yang berfluktuasi seperti di atas.
2. Pola kebutuhan sumber daya sepanjang durasi proyek dengan jumlah sama/tetap
Gambar 3.10 Pola Distribusi Sumber Daya dengan Bentuk Tetap
Luas area 600 SDH adalah jumlah sumber daya yang dibutuhkan selama durasi proyek 60 hari. Pola
ini mempunyai tingkat pemakaian sumber daya yang sama selama durasi proyek. Akan tetapi, agak
sulit melakukan penjadwalan proyek dengan tingkat kebutuhan sumber daya yang selalu sama.
3. Pola kebutuhan sumber daya sepanjang durasi proyek dengan bentuk bervariasi
Gambar 3.11 Pola Distribusi Sumber Daya dengan Bentuk Bervariasi
Luas area 500 SDH adalah jumlah sumber daya yang dibutuhkan selama durasi proyek 60 hari. Pola
ini mempunyai tingkat pemakaian sumber daya yang disesuaikan dengan kondisi proyek, dimana
pada awal proyek jumlahnya sedikit, kemudian pada pertengahan proyek dibutuhkan sumber daya
maksimum 10 perhari, dan turun lagi hingga akhir proyek.
Metode perataan sumber daya bertujuan mendapatkan pola kebutuhan sumber daya yang sesuai. Metode
ini dapat dilakukan dengn cara:
1. Memulai seluruh kegiatan proyek berada di antara waktu mulai paling awal dan waktu mulai paling
lambat, sehingga durasi proyek tidak bertambah.
2. Berdasarkan ketersediaan waktu yang dibatasi dengan mengtur sumber daya yang di buruhkan yang
jumlah dan pola penyebarannya diatur sedemikian rupa.
3. Berdasarkan ketersediaan sumber daya yang terbatas Karena kelangkaan dan menambah durasi
proyek sehingga proyek dapat menjadi lebih lambat dari yang direncanakan.
4. Berdasarkan penjadwalan dengan membuat diagram batang nonkontinu dengan mengintrupsi suatu
kegiatan oleh kegiatan yany lainnya.
Dari semua hal di atas, perataan sumber daya dimaksudkan untuk meningkatkanproduktifitas, efektifitas
dan efisiensi penggunaannya, menjaga pola penyebaran yang logis dari segi kuantitas serta menempatkan
kualitas sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan proyek dan diharapkan dengan durasi yang tidak
berubah. Dengan demikian alokasi distribusi yang proporsional akan memberikan keuntungan dari proyek
sehingga pemanfaatan sumber dayanya terencana dengan baaik dan hal ini akan mempengaruhi juga
sebagai kinerja proyek secara keseluruhan.
Gambar 3.12 Diagram Alir Proses Perataaan Sumber Daya
3.4 MENGUKUR KINERJA BIAYA DAN WAKTU DENGAN METODE EARNED VALUE
Dalam penentuan kinerja proyek dengan cara Earned Value atau Nilai Hasil, informasi yang ditampilkan
berupa indikator dalam bentuk kuantitatif, yang menampilkan informasi progress biaya dan jadwal
proyek. Indikator ini menginformasikan posisi kemajuan proyek dalam jangka waktu tertentu serta dapat
memperkirakan proyeksi kemajuan proyek pada periode selanjutnya. Indikator-indikator tersebut adalah
sebagai berikut:
1. BCWS (Budgeted Cost of Work schedule), menggambarkan anggaran rencana sampai pada periode
tertentu terhadap volume rencana proyek yang akan dikerjakan.
2. BCWP (Budgeted Cost of Work Performed), menggambarkan anggaran rencana proyek pada periode
tertentu terhadap apa yang telah dikerjakan pada volume pekerjaan aktual.
3. ACWP (Actual Cost of Work Performed), menggambarkan anggara aktual yang dihabiskan untuk
pelaksanaan pekerjaan pada keadaan volume pekerjaan aktual.
Berbekal ketiga indikator tersebut, pengukuran kinerja biaya dan waktu untuk metode Earned Value
menggunakan 3 jenis kurva S sebagai nilai kumulatif biaya dengan fungsi waktu, yang terintegrasi dalam
satu tampilan yang terdiri atas nilai kumulatif biaya: BCWS, BCWP dan ACWP.
Kemudian dilakukan analisis terhadap penyimpangan yang terjadi pada biaya dan waktu/jadwal dengan
cara mengukurnya, diuraikan di bawah ini.
1. Penyimpangan Jadwal/Waktu
a. SV (Scheduling Variance) = BCWP – BCWS
SV > 0, progres aktual > rencana: terjadi percepatan proyek terhadap rencana (schedule
underrun)
SV < 0, progres aktual < rencana: terjadi keterlambatan proyek terhadap rencana (schedule
overrun)
b. SPI (Schedule Performance Index) = BCWP / BCWS
SPI > 1, progres aktual > rencana: terjadi percepatan proyek terhadap rencana (schedule
underrun)
SPI < 1, progres aktual < rencana: terjadi keterlambatan proyek terhadap rencana (schedule
overrun)
2. Penyimpangan Biaya
a. CV (Cost Variance) = BCWP – ACWP
CV > 0, biaya volume aktual > biaya aktual (cost underrun)
CV < 0, biaya volume aktual < biaya aktual (cost overrun)
b. CPI (Cost Performance Index) = BCWP / ACWP
CPI > 1, biaya volume aktual > biaya aktual (cost underrun)
CPI < 1, biaya volume aktual < biaya aktual (cost overrun)
Dengan menghitung indeks-indeks seperti di atas akan terlihat bahwa proyek akan terlambat atau lebih
cepat dan biaya yang harus dikeluarkan akan berlebih atau kurang dari yang dianggarkan, maka kemajuan
proyek untuk waktu yang akan datang perlu diramalkan dengan cara seperti di bawah ini.
1. Perkiraan penyelesaian proyek (Estimated Completion Date)
ECD = (Sisa Waktu / SPI) + Waktu Terpakai
Presentase Keterlambatan/Percepatan
ECD = 100% - ECD / Jadwal Rencana x 100%
2. Perkiraan biaya penyelesaian proyek (Estimated at Complated)
EAD = (Sisa Anggaran / CPI) + ACWP
EAD = (Total Biaya – BCWP) / CPI + ACWP
Presentasi biaya penambahan/penurunan biaya aktual terhadap anggaran biaya
EAD = 100% – EAC / Total Biaya x 100%
3. Earned Value (Nilai Hasil) = BCWPnth (biaya penyelesaian volume pekerjaan pada periode tertentu)
Ketiga hal di atas adalah indikator yang dapat dihitung pada baseline/milestone yang telah ditentukan,
sehingga nilai-nilai yang didapat menunjukan progress proyek yang pada periode tersebut dan progres
proyek dari segi biaya dan waktu untuk penyelesaian pada masa yang akan datang.
Gambar 3.13 Grafik Kinerja Biaya dan Waktu, Kondisi 1
Kondisi 1: Dari gambar 3.13 pada baseline minggu ke-4 sebagai periode waktu yang diukur kinerjanya
terlihat bahwa nilai BCWP < BCWS. Dapat disimpulkan bahwa proyek tersebut mengalami
penyimpangan waktu (schedule overrun). Untuk periode yang sama dengan nilai ACWP < BCWP,
menunjukkan biaya aktual yang dikeluarkan lebih kecil dari penyelesaian volume pekerjaannya, berarti
tidak terjadi penyimpangan biaya (cost underrun). Nilai Hasil (Earned Value) minggu ke-4, BCWPnya di
bawah BCWS tapi di atas ACWP, di bawah yang seharusnya. Pada akhir proyek minggu ke-12, kinerja
biaya terus membaik, ACWP < BCWP (cost underrun), tetapi BCWP < BCWS, yang berarti progres
waktunya tetap terlambat hingga selesai pada minggu ke-15 (schedule overrun).
Gambar 3.14 Grafik Kinerja Biaya dan Waktu, Kondisi 2
Kondisi 2: Dari gambar 3.14 pada baseline minggu ke-4 terlihat bahwa nilai BCWP < BCWS, dapat
disimpulkan bahwa proyek tersebut mengalami keterlambatan (schedule overrun). Nilai ACWP > BCWP
menunjukkan biaya aktual lebih besar daripada penyelesaian volume pekerjaan pada minggu ke-4,
dimana terjadi penyimpangan biaya (cost overrun). Untuk Nilai Hasil (Earned Value) minggu ke-4,
BCWPnya di bawah ACWP dan BCWS, di bawah yang seharusnya. Hingga akhir proyek, kinerja biaya
tetap buruk, dengan ACWP > BCWP (cost overrun), sedangkan BCWP < BCWS, yang berarti progres
waktunya tetap terlambat hingga selesai pada minggu ke-15, yang seharusnya selesai pada minggu ke-12
(schedule overrun).
Gambar 3.15 Grafik Kinerja Biaya dan Waktu, Kondisi 3
Kondisi 3: Dari gambar 3.15 pada baseline minggu ke-4 terlihat bahwa nilai BCWP > BCWS, ini
menunjukan bahwa proyek tersebut lebih cepat dari rencana (schedule underrun). Nilai ACWP > BCWP
menunjukkan biaya aktual yang dikeluarkan lebih besar daripada penyelesaian volume pekerjaan yang
sudah dilakukan, sehingga terjadi penyimpangan biaya (cost overrun). Nilai Hasil (Earned Value) minggu
ke-4, BCWPnya lebih tinggi dari BCWS dan di bawah ACWP, di bawah yang seharusnya. Hingga akhir
proyek terlihat bahwa ternyata volume penyelesaian pekerjaan melampaui volume rencana, BCWP >
BCWS, sehingga pekerjaan proyek mengalami percepatan (schedule underrun). Nilai ACWP > BCWP
hingga minggu ke-10 menunjukan bahwa biaya aktual yang dikeluarkan lebih besar dari penyelesaian
volume pekerjaan yang sudah dilakukan (cost overrun).
Gambar 3.16 Grafik Kinerja Biaya dan Waktu, Kondisi 4
Kondisi 4: Gambar 3.16 adalah kondisi paling ideal yang menjadi target dalam suatu penyelesaian
proyek. Dari gambar tersebut, pada baseline minggu ke-4 hingga minggu ke-9,5 terlihat bahwa nilai
BCWP > BCWS. Ini menunjukan bahwa proyek tersebut lebih cepat dari rencana semula, lebih cepat 2,5
minggu (schedule underrun). Nilai ACWP < BCWS < BCWP menunjukkan bahwa biaya aktual yang
dikeluarkan lebih kecil rencana anggaran biaya (RAB) dan biaya penyelesaian volume pekerjaan,
sehingga terjadi penghematan (cost underrun). Nilai Hasil (Earned Value) pada minggu ke-4 sangat baik
karena BCWP > BCWS > ACWP.
Kondisi-kondisi di atas adalah kemungkinan yang dapat terjadi selama proyek berlangsung. Oleh karena
itu, pengelola proyek harus tetap memonitor kinerja dari awal hingga akhir proyek dengan membuat
baseline pada periode-periode tertentu agar kinerja sepanjang durasi proyek secara iteratif dapat terus
diperbaharui supaya sasaran dan tujuan proyek tercapai.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penggunaaan metode earned value untuk menganalisis progres
proyek, didapat kesimpulan bahwa, tampilan motede earned value lebih progresif disbanding kurva S
konvensional, yang berguna untuk memonitor dan mengevaluasi progress proyek pada baseline tertentu
dan masa mendatang. Metode ini dapat memprediksi kerugian biaya dan waktu karena irama kerja yang
cenderung lambat, sehingga tambahan durasi proyek dan biaya akhirnya dapat dihitung dengan
pendekatan matematis, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan tindakan koreksi yang akan
dilakukan.
Kondisi paling ideal untuk pelaksanaan proyek adalah kondisi 4 yang selalu dihrapkan manajer proyek
dari hasil monitoring dan evaluasi pada baseline yang telah ditentukan, sbliknya kondisi 2 adalah kondisi
paling buruk yang bisa terjadi selama pelaksanaan proyek. Dengan memperhatikan kondisi-kondisi di atas
dan dengan menentukan baseline pada periode tertentu, maka penyimpangan dapat terdeteksi sejak awal.
Dengan demikian, tindakan koreksi yang dilakukan lebih akurat dan tepat sasaran yaitu dapat dilakukan
dengan cara pertukaran antara waktu dengan biaya (duration-cos-trade off), lembur, penambahan tenaga
kerja atau peralatan dengan pengaturan jumlah sumber daya, perbaikan metode kerja agar proyek dapat
selesai tepat waktu.
3.5 DURATION – COST TRADE OFF
Penyesuaian durasi proyek (Duration – Cost Trade Off) dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah
seperti proses penjadwalan durasi proyek yang tidak sesuai dengn durasi kontrak, terjadi keterlambatan
pada pelaksanaan kegiatan proyek, untuk memperoleh bonus apabila penyelesaian proyek dipercepat,
untuk mempercepat jadwal proyek karena menghindari cuaca buruk. Sebagai konsekuensi akibat dari
penyesuaian durasi proyek lebih cepat, biasanya adalah dengan menambah biaya, berupa biaya: direct
cost dan indirect cost.
3.5.1 Macam-macam Duration – Cost Trade Off
1. Project Crashing
Project Crashing dilakukan agar pekerjaan selesai dengan pertukaran silang waktu dan biaya dengan
menambah jumlah sift kerja, jumlah jam kerja, jumlah tenaga kerja, jumlah ketersediaan bahan, sertaa
memakai peralatan yang lebih produktif dan metode instalasi yang lebih cepat sebagai komponen
biaya direct cost. Project Crashing atau Crash Program dilakukan dengan cara perbaikan jadwal
dengan menggunakan network planning yang berada pada jalur kritis.
Konsekuensi project crashing adalah meningkatnya biaya langsung (direct cost). Di sini sumber daya
yang berada di lintasan tidak kritis dapat dioptimalkan dengan memindahkannya ke lintasan kritis.
Pemindahan sumber dayanya dibatasi pada titik jenuh, sehingga proses ini dapat memberikan hasil
yang efektif.
Gambar 3.17 Hubungan Waktu dan Biaya dengan Direct Cost
Keterangan:
tn : normal time tc : crash time
Cn : normal cost Cc : crash cost
Bila waktu penyelesaian proyek lebih lama dari waktu normal dimana t > t n, maka proyek akan
terlambat, yang berarti biaya bertambah dan penggunaan sumber daya menjadi tidak efektif. Bila
waktu dipercepat dengan waktu penyelesaian kurang dari waktu normal, dimana t < tn, maka biaya
juga akan meningkat karena jumlah sumber daya ditambah sesuai kebutuhan. Untuk mendapatkan
keadaan demikian maka dilakukan project crashing terhadap kegiatan-kegiatan yang berada dalam
lintasan kritis.
Untuk memperbaiki jadwal pada network planning di lintasan kritis digunakan cost slope terkecil
dengan rumusan sebagai berikut:
Cost Slope= CrashCost−Normal CostNormalTime−CrashTime
= ΔCostΔTime
2. Least Cost Analysis
Least Cost Analysis adalah suatu analisi untuk memperoleh durasi proyek yang optimal, yaitu durasi
dengan biaya total proyek yang minimal. Pada analisis ini, bila durasi proyek dipersingkat biasanya
direct cost akan naik dan indirect cost akan turun. Sering pula diperhitungkan adanya bonus bila hal
ini dapat mempersingkat waktu penyelesaian proyek, sebagai penghargaan dari pemilik proyek.
Untuk melakukan perbaikan jadwal dengan menggunakan metode ini, tambahan biaya sebagai
pertukaran antara biaya dengan waktu yang dipercepat adalah biaya totalnya seperti diuraikan pada
gambar berikut ini.
Gambar 3.18 Total Project Crash
Dari gambar 3.18 terlihat bahwa biaya total proyek adalah direct cost + indirect cost – bonus, dimana
nilai optimal yang diambil adalah nilai total proyek terkecil sehingga durasi proyek yang lebih singkat
didapat sebagai hasil dari proses Least Cost Analysis.
Dalam proses ini juga dapat ditunjukan bahwa direct cost akan cenderung naik seiring dengan
berkurangnya durasi proyek, sebaliknya indirect cost akan cenderung menurun dengan berkurangnya
durasi proyek. Bonus biasanya akan diberikan oleh pemilik proyek sebagai penghargaan atas
pelaksanaan proyek yang lebih cepat kepada pengelola proyek dengan besaran yang terus membesar
bila proyek lebih cepat.
Sebagai kesimpulannya, untuk mempercepat durasi proyek dengan project crashing dibutuhkan
tambahan biaya untuk penggantinya, dengan langkah pertama melakukan tambahan biaya
langsung/direct cost dengan perbaikan jadwal pada lintasan kritis, setelah itu langkah kedua adalah
melakukan leas cost analysis dengan perhitungan biaya total proyek juga dengan perbaikan jadwal
pada lintasan kritisnya.