penghapus penuntutan

8
ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana pada asasnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili. Apabila persidangan dapat membuktikan perbuatan pidana yang didakwakan, yang bersangkutan akan mendapat putusan bersalah untuk dapat dijatuhi pidana. Putusan pidana itu harus dijalankan setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada kenyataannya hukum tidak selalu berproses demikian, di dalam hukum terdapat hal-hal yang menurut hokum, hak menuntut menjadi gugur. Dasar aturan hapusnya hak menuntut dengan maksud adanya kepastian hukum bagi seseorang agar terhindar dari keadaan tidak menentu dalam menghadapi perkara pidana. Peraturan hukum pidana menetapkan aturan tentang hal-hal yang menghapus penuntutan baik yang diatur di dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (dalam peraturan hukum yang lain). Dasar hukum yang mengatur gugurnya hak menuntut di dalam KUHP terdiri atas alasan: 1. ne bis in idem, 2. terdakwa meninggal dunia, 3. daluwarsa, 4. penyelesaian di luar acara, dan 5. tidak adanya aduan pada delik-delik aduan. Sedangkan dasar aturan yang di luar KUHP terdiri atas: (1) abolisi dan (2) amnesti yang diatur dalam Undang-undang Dasar atau Undang- Undang. Di samping itu dalam ilmu pengetahuan hukum acara atau praktek hukum telah berkembang berbagai alasan tidak menuntut perkara antara lain penyampingan perkara serba ringan (dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang- undang No. 13/1961), tidak menuntut perkara demi Kepentingan umum berdasarkan asas opportunitas, tidak menuntut perkara dengan bersyarat atau voorwaardelike niet vervolging dan beberapa alasan tidak menuntut yang lainnya oleh pejabat yang berwenang. 1. Alasan ne bis in idem (Pasal 76 KUHP) Wewenang menuntut dalam perkara pidana akan hapus untuk selama-lamanya, apabila terhadap perkara tersebut telah diperiksa dan diputus dan terhadap keputusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena orang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama oleh hakim Indonesia. Pengertian putusan hakim Indonesia termasuk juga dalam pengertia hakim pengadilan adat. Pelaksanaan Asas ne bis in idem dikandung maksud untuk menjaga keluhuran hakim pengadilan sebagai alat perlengkapan negara, dan mengandung jaminan kepastian hukum. Apabila putusan hakim yang

Upload: lanang-zussaukah

Post on 08-Nov-2015

229 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTANSeseorang yang telah melakukan perbuatan pidana pada asasnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili. Apabila persidangan dapat membuktikan perbuatan pidana yang didakwakan, yang bersangkutan akan mendapat putusan bersalah untuk dapat dijatuhi pidana. Putusan pidana itu harus dijalankan setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada kenyataannya hukum tidak selalu berproses demikian, di dalam hukum terdapat hal-hal yang menurut hokum, hak menuntut menjadi gugur. Dasar aturan hapusnya hak menuntut dengan maksud adanya kepastian hukum bagi seseorang agar terhindar dari keadaan tidak menentu dalam menghadapi perkara pidana. Peraturan hukum pidana menetapkan aturan tentang hal-hal yang menghapus penuntutan baik yang diatur di dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (dalam peraturan hukum yang lain). Dasar hukum yang mengatur gugurnya hak menuntut di dalam KUHP terdiri atas alasan:1. ne bis in idem, 2. terdakwa meninggal dunia, 3. daluwarsa, 4. penyelesaian di luar acara, dan 5. tidak adanya aduan pada delik-delik aduan. Sedangkan dasar aturan yang di luar KUHP terdiri atas: (1) abolisi dan (2) amnesti yang diatur dalam Undang-undang Dasar atau Undang-Undang. Di samping itu dalam ilmu pengetahuan hukum acara atau praktek hukum telah berkembang berbagai alasan tidak menuntut perkara antara lain penyampingan perkara serba ringan (dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang- undang No. 13/1961), tidak menuntut perkara demi Kepentingan umum berdasarkan asas opportunitas, tidak menuntut perkara dengan bersyarat atau voorwaardelike niet vervolging dan beberapa alasan tidak menuntut yang lainnya oleh pejabat yang berwenang. 1. Alasan ne bis in idem (Pasal 76 KUHP) Wewenang menuntut dalam perkara pidana akan hapus untuk selama-lamanya, apabila terhadap perkara tersebut telah diperiksa dan diputus dan terhadap keputusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena orang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama oleh hakim Indonesia. Pengertian putusan hakim Indonesia termasuk juga dalam pengertia hakim pengadilan adat. Pelaksanaan Asas ne bis in idem dikandung maksud untuk menjaga keluhuran hakim pengadilan sebagai alat perlengkapan negara, dan mengandung jaminan kepastian hukum. Apabila putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap berupa dibebaskan dari tuduhan karena ketika perkara itu diajukan tidak cukup bukti, dituntut lagi karena ditemukan alat bukti baru maka satu perkara akan mendapat beberapa keputusan yang kemungkinannya berlainan satu sama lainnya. Keputusan yang demikian akan menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap pengadilan dan orang yang telah diputus bebas akan tetap khawatir karena ada kemungkinan dituntut lagi. Tanpa ada ketentuan Pasal 76 KUHP, maka tidak ada kepastian hukum terhadap putusan pengadilan. Berlakunya asas ne bi in idem mengandung dua pokok aturan sebagai syarat penggunaan pasa 76 KUHP yaitu: (1) orang yang sama dituntut melakukan satu perbuatan, dan (2) mengenai perkara yang sama itu telah diputus oleh hakim dengan mempunyai kekuatan yang tetap. Persoalan tentang arti perbuatan yang dilakukan untuk memenuhi syarat pasal 76 KUHP itu sama dengan arti perbuatan yang menjadi persoalan dalam pasal 63 - 66 KUHP. Paling sedikit terdapat tiga pendapat dalam memberikan arti perbuatan (feit) menurut hokum. 1. perbuatan dalam arti sempit yakni perbuatan materiil sebagaimana diajarkan oleh pandangan materieele feit yang menitikberatkan kepada "kelakuan" saja. Apabila pandangan tentang arti perbuatan yang disempitkan ini diikuti akan membawa konsekuensi bahwa bekerjanya asas ne bis in idem akan menjadi luas, karena tiap- tiap perkara yang didakwakan atas dasar inti kelakuan yang sama dengan putusan perkara yang terdahulu, maka akan tertutup kemungkinan dituntut lagi sekalipun perbuatan itu menjurus perbuatan pidana lain yang memenuhi unsur-unsur delik tidak boleh diajukan ke pengadilan oleh aturan pasal 76 KUHP. 2. perbuatan dalam arti luas yang menjurus pengertian suatu perbuatan pidana atau delik sebagaimana masuk dalam rumusan formal undang-undang, sehingga asalkan tuntutan yang berikutnya itu secara formal masuk dalam rumusan delik yang lain berarti bukan lagi menuntut kedua kalinya terhadap perkara terdahulu. Apabila pandangan yang kedua ini diikuti berarti bekerjanya asas ne bis in idem menjadi sempit, karena setiap suatu komplek kejadian merupakan beberapa perbuatan yang dapat dimasukkan dalam rumusan beberapa perbuatan pidana atau beberapa delik sehingga masing-masing delik dapat saja diadili sendiri-sendiri sehingga mungkin boleh diajukan ke pengadilan lagi berhubung tidak bertentangan dengan aturan pasal 76 KUHP.3. perbuatan merupakan kelakuan dan akibat atau keadaan tertentu yang menyertai kelakuan yang bersangkutan sehingga masing-masing dapat dipikirkan sebagai perbuatan pidana berdiri sendiri yang merupakan perbuatan-perbuatan jahat untuk diadili terlepas satu sama lain. Apabila mengikuti pandangan yang ketiga ini berarti tuntutan perkara yang kedua merupakan tuduhan delik lain yang dimungkinkan untuk dituntut lagi sebagai perkara lain dan tidak bertentangan dengan aturan pasal 76 KUHP. Putusan H.R. tahun 1932 termasuk mengikuti pandangan yang ketiga ini. Pendirian H.R. tahun 1932 berdasarkan pertimbangan bahwa komplek kejadian mengenai seorang yang dalam keadaan mabuk mengemudikan motor pada waktu malam hari tanpa penerangan lampu itu, dianggap melakukan dua perbuatan pidana karena ciri yang melekat pada perbuatan memiliki dua ciri yang berlainan yaitu ciri yang pertama melekat pada perbuatannya atau orangnya dalam keadaan mabok mengendarai motor, dan ciri yang kedua melekat pada sarananya sepeda motor yang tidak dinyalakan lampunya dikendarai di jalan umum. Terdakwa melakukan perbuatan concorsus realis (meerdaadse samenloop) untuk diadili dengan penerapan pemberatan pidana. Menurut Pompe tentang penafsiran feit yang didasarkan atas pendapat H.R. tahun 1932 dapat dipergunakan terhadap persoalan pasal 76 KUHP (Pompe 1959 : 551). Pendapat Pompe yang demikian itupun belum dapat memecahkan persoalan pada pasal 76 KUHP. Pertentangan penafsiran perbuatan dari pasal 63 - 66 KUHP masih tetap menjadi persoalan perbarengan dalam praktek, dengan demikian berarti memindahkan saja kesulitan serupa di bidang lain. Persoalan hukum mengenai perbarengan mempunyai titik kesamaan dengan persoalan ne bis in idem dalam kemungkinan "tuntutan berulang-ulang" atas perbuatan yang dianggap masuk kualifikasi rumusan delik atau peraturan hukum pidana lebih dari satu tuduhan. Penyusunan tuduhan kumulatif atau alternatif mengurangi persoalan. Suatu tuduhan terhadap perbuatan pencurian dengan kekerasan, jelas tidak mungkin dipecah menjadi tuduhan pertama berupa perbuatan pencurian dan tuduhan kedua berupa penganiayaan. Demikian pula suatu tuduhan penipuan dengan surat, juga jelas tidak dapat dipecah dengan tuduhan pertama berupa tuduhan penipuan dan tuduhan pemalsuan surat. Tuduhan yang kedua dari contoh-contoh ini akan terhalang oleh aturan ne bis in idem dalam pasal 76 KUHP. Selain persoalan mengenai bentuk tuduhan alternatif seperti contoh tersebut di atas, juga sama persoalannya mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana (tempus delicti) dan tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) dalam arti kegagalan tuntutan mengenai syarat tempat/waktu yang tidak terbukti dengan putusan 'bebas, tidak boleh diulang untuk tuntutan kedua kalinya mengenai tempat/waktu yang lain. 2. Alasan terdakwa meninggal dunia menurut pasal 77 KUHP. Alasan menghentikan penuntutan karena terdakwa meninggal dunia dikarenakan adanya pandangan kesalahan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Pada masa dahulu hak untuk menuntut perkara pidana terhadap orang yang sudah meninggal dunia masih dapat diteruskan, dan apabila mendapat keputusan pidana denda atau perampasan barang, dapat dibebankan kepada ahli warisnya.Pandangan tentang dapat diteruskannya penuntutan bagi terdakwa yang telah meninggal dunia kemungkinan masih ada gunanya apabila pemeriksaan perkara memperoleh keputusan yang berisi "bebas dari tuduhan", dan bukan putusan berupa pidana atau tindakan. Pokok pikiran yang demikian ini didasarkan alasan bahwa dalam proses perkara pidana mempunyai landasan utama untuk mencari kebenaran hukum secara materiel. Putusan pembebasan mempunyai arti penting memulihkan nama baik dari persangkaan terhadap seseorang yang didakwa melanggar hukum. Wewenang menuntut pidana menjadi hapus karena terdakwa meninggal dunia menurut pasal 77 KUHP juga berlaku apabila penuntutan telah dimulai ketika terdakwa masih hidup tetapi kemudian meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir perkara pidana itu, termasuk pula terdakwa yang meninggal dunia setelah mengajukan permohonan banding atau kasasi. 3. Alasan daluwarsa ( 78 - 81 KUHP). Latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menghapuskan wewenang penuntutan digantungkan pada kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak mempunyai nilai untuk hukum pembuktian. Sejalan dengan melemahnyadaya ingat seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di masa yang lalu, maka kepentingan untuk melakukan penuntutan dari sisi preverensi general juga semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut pembentuk UU lebih memilih tidak menuntut karena daluwarsa dengan tenggang waktu tertentu, seperti rumusan pasal 78 KUHP.Dalam KUHP tidak ada ketentuan mengenai saat kapan tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku, melainkan diserahkan pada teori atau perkembangan ilmu pengetahuan hokum. Berdasarkan teori hukum pidana tentang penentuan tempus delicti pada umumnya diikuti pandangan bahwa perbuatan pidana ditentukan dari waktu kelakuan dan waktu akibat, tergantung pada rumusannya' sebagai delik yang formal ataukah delik yang materiel, atau jika tidak dapat ditentukan jenis rumusan deliknya ditentukan oleh waktu kelakuan dimulai sampai waktu berakhirnya akibat terjadi. Menurut pasal 79 KUHP dapat ditarik kesimpulan bahwa mulai berlakunya tentang tenggang waktu daluwarsa dihitung pada hari berikutnya sesudah perbuatan pidana dilakukan sesuai dengan teori tempus delicti tersebut di atas, kecuali mengenai tiga hal, yaitu:1. saat hasil kejahatan pemalsuan/pengrusakan uang dipergunakan dari kejahatan pasal 244, 253, 263 KUHP, 2. saat sesudah dibebaskan/meninggal dunia orang yang langsung menjadi korban perampasan kemerdekaan dari kejahatan pasal 328, 329, 330, 333 KUHP, dan 3. saat penyerahan daftar Burgerlijke Stand ke panitera pengadilan sebagai pelanggaran pasal 556, 558a KUHP. Sepanjang perjalanan masa daluwarsa dapat terjadi penghentian daluwarsa oleh karena tindakan penuntutan (stuiting van de verjaring, pasal 80 KUHP) dan oleh karena penundaan daluwarsa berhubung adanya perselisihan prae-judiciil (schorsing van de verjaring, pasal 81 KUHP). Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asalkan tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan menurut cara yang ditentukan oleh aturan umum. Penafsiran tiap tindakan penuntutan dianggap telah jelas, namun perkembangan doktrin masih ada perbedaan pendapat yang menyangkut pejabat penuntut dan batasan tindakan penuntutan itu sendiri. Pejabat penuntut diartikan jaksa selaku penuntut umum sehingga pejabat pengusut dalam penyidikan tidak termasuk tindakan penuntutan, namun sekalipun pejabat itu jaksa jika masih dalam urusan pengusutan untuk melengkapi penyidikan dianggap tidak termasuk tindakan penuntutan. Tinjauan dari sudut pemikiran hukum acara pidana dan hukum pidana materiel dapat diartikan bahwa tindakan penuntutan merupakan permintaan jaksa untuk diadakan pemeriksaan dan putusan oleh hakim, sehingga apabila jaksa atau hakim memandang orang yang terlibat sebagai terdakwa bukan sebagai terpidana, maka disitu masih dalam fase tindakan penuntutan yang dimulai dari pemberitahuan oleh jaksa tentang adanya perkara pidana kepada hakim, penahanan atau perpanjangannya yang dilakukan oleh jaksa dan sebelum hakim mengambil keputusannya. Tindakan penuntutan secara konkrit dalam perkara pidana ialah: 1. apabila jaksa memberitahukan kepada hakim mengenai adanya perkara pidana yang antara lain mengirimkan daftar perkara, 2. terdakwa ditahan oleh jaksa atau perpanjangan penahanan yang dimintakan kepada hakim, dan 3. apabila semua tindakan itu diberitahukan/diketahui oleh terdakwa, maka hal itu ada tindakan penuntutan sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 KUHP. Pada masa dahulu sebelum berlaku Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pengertian tindakan penuntutan oleh jaksa itu disempitkan lagi sehubungan dengan adanya delik aduan yang mengharuskan adanya pernyataan pengaduan. Sejak berlakunya KUHAP yang menentukan -semua perkara pidana umum mulai tingkat awal harus melalui wewenang Polri, sehingga dalam hal delik aduan juga harus mengikuti ketentuan itu berarti tidak ada pengaruhnya terhadap pengertian tindakan penuntutan lagi. Selanjutnya penundaan penuntutan yang dapat menunda jalannya daluwarsa merupakan suatu keadaan istimewa; karena pada umumnya perkara pidana tidak mutlak dipengaruhi oleh perkara lain yang akan diajukan kepada pengadilan. Perselisihan prae judisiil merupakan pengecualian dalam perkara pidana karena adanya beberapa pasal tertentu dalam KUHP yang mengisyaratkan pada perkara pidana masih membutuhkan hasil keputusan pengadilan dari perkara lain. Ketentuan pasal 81 KUHP memberikan kemungkinan perkara pidana ditangguhkan sehubungan dengan penyelesaian lebih dahulu pada perkara lain yang menurut hukum harus diputuskan oleh pengadilan tersendiri. Kemungkinan penundaan perkara pidana tersebut, antara lain mengenai perkara jinah pasal 284 ayat (5) KUHP menunggu putusan cerai oleh hakim perdata, atau mengenai perkara penghinaan dengan fitnah pasal 314 ayat (1) KUHP masih menunggu putusan penghinaan dengan pencemaran/nista oleh hakim pidana. Demikian pula untuk perkara pasal 311 ayat (3), pasal 332 ayat (4), pasal 385 KUHP. 4. Penyelesaian di luar acara (Pasal 82 KUHP) Wewenang menuntut perkara pidana gugur atau hapus `karena penyelesaian di luar acara. Ketentuan Pasa 182 KUHP seringkali disebut lembaga penebusan (afkoop) atau juga disebut lembaga hukum perdamaian (schikking) hanya dimungkinkan pada perkara tertentu yaitu: a. perkara pelanggaran yang diancam dengan pidana denda secara tunggal; b. pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda beserta dengan biaya lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi barang yang terkena perampasan; dan c. harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup, umur. Penggunaan lembaga penebusan atau perdamaian tersebut tidak berlaku bagi orang yang belum cukup umur pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun. Di negara Belanda pada tahun 1921 diadakan stelse transactie yang menambahkan penyelesaian di luar acara datam pasal 74 WvS Belanda dengan pengertian yang luas dibandingkan dengan "afkoop". Stelsel transactie harus berupa pembayaran denda yang ditentukan tersendiri oleh penuntut umum, jadi bukan suatu pembayaran maksimum ancaman dendanya. Penentuan pembayaran denda oleh penuntut umum inilah yang dianggap tidak sesuai dengan kewenangan hakim memutus perkara di Hindia Belanda, sehingga tidak masuk dalam KUHP. 5. Alasan tidak adanya'pengaduan pada delik aduan. Beberapa delik dalam KUHP ada yang menentukan hanya dapat dituntut apabila orang yang terkena membuat pengaduan. Sistimatika beberapa pasal KUHP tersebut memang tidak ditempatkan dalam bab VIII buku I KUHP, namun seringkali dalam praktek keluarga korban melaporkan kepada polisi dan pihak kepolisian segera mengadakan penyidikan agar cukup bahan bukti, akan tetapi perkara yang cukup bahan buktinya itu setelah diajukan penuntutan ke pengadilan dilupakan syarat permohonan pengaduan. Perkara delik aduan yang tidak dipenuhi syarat pengaduan menjadi alasan wewenang penuntutan hapus atau gugur. Pembatasan penuntutan terhadap delik aduan dimungkinkan dalam hal syarat pengaduan yang telah diajukan oleh pihak yang berkepentingan berhadapan dengan kewenangan tidak menuntut perkara berdasarkan asas opportunitas yang diatur oleh hukum acara pidana, karena pertimbangan untuk kepentingan umum oleh penuntut umum atau atas nama Jaksa Agung berhak mendeponer perkara. Delik aduan dibedakan menjadi delik aduan yang absolut dan delik aduan yang relatif. Delik aduan yang absolut jika ada suatu, pengaduan yang bersifat umum dan dengan demikian pengaduan tidak terbatas pada orang tertentu yang diadukan saja, seperti ketentuan delik aduan pasal 284 KUHP harus diartikan pengaduan terhadap pelaku laki-laki berarti pula pengaduan terhadap pelaku perempuan. Jurisprudensi mengenai pasal 284 KUHP kemungkinan dipergunakan kewenangan asas opportunitas oleh penuntut umum untuk melakukan penuntutan kepada salah satu dari peserta perjinahan berdasarkan kepentingan umum. Dalam hukum Romawi kejahatan perjinahan hanya diajukan penuntutannya terhadap pihak pelaku perempuan. Delik aduan yang relatif ada jika syarat pengaduan harus ditujukan kepada orang tertentu, seperti kejahatan pencurian di kalangan keluarga menurut pasal 367 KUHP. Menurut peraturan hukum pidana pihak yang berhak mengadu tidak selalu harus pihak (korban) yang terkena kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasa172 - 75 KUHP kecuali ketentuan khusus dalam pasal 284 dan pasai 332 KUHP. 6. Abolusi dan amnesti. Pemberian abolusi menghentikan penuntutan berhubung pernyataan Presiden terhadap orang tertentu atau segolongan tertentu yang menjadi terdakwa tentang dihapuskannya penuntutan sebelum ada keputusan pengadilan. Pemberian amnesti adalah pernyataan Presiden terhadap semua terdakwa dan terhukum baik yang dikenal ataupun tidak dikenal untuk dihapuskan penuntutan dan pelaksanaan putusan pidana serta semua akibat hukumnya. Kewenangan amnesti dan abolusi serta rehabilitasi diberikan oleh Presiden berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Drt. No. 11 tahun 1954 L.N. 1954 No. 146.