penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe make a match...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Ada lima unsur yang dapat membedakan pembelajaran kooperatif dengan
kerja kelompok:1) positive interdepedence, 2) interaction face to face, 3) adanya
tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok, 4)
membutuhkan keluwesan, 5) meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam
memecahkan masalah (proses kelompok)
2.1.1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Robert (E. Slavin,2009:4) menyatakan bahwa ” Make A Macth adalah metode
pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk
saling membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran”.Menurut
Eggen and Kauchah (dalam Trianto, 2009: 59) “Pembelajaran Make A Match
merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja
secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama”.Sedangkan Isjoni (2009:
14) mengemukakan bahwa “Pembelajaran Make A Match merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuanya berbeda”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Make A Match
adalah metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil yang tingkat kemampuanya berbeda untuk saling membantu satu sama
lainnya dalam mempelajari materi pelajaran yang melibatkan siswa bekerja secara
berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama dengan cara mencari pasangan.
2.1.2. Konsep Dasar Kelompok Make A Match
2.1.2.1. Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling
memberikan motivasi bantuan sehingga ada interaksi promotif
2.1.2.2. Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi
pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik
7
tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui
siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan
bantuan.
2.1.2.3. Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis
kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui
siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan.
2.1.2.4. Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk
memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.
2.1.2.5. Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti
kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, memercayai orang lain,
dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.
2.1.2.6. Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan
pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi
masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok
2.1.2.7. Guru memerhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok- kelompok belajar
2.1.2.8. Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan
interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai).
2.1.3. Model-Model Make A Match
Dalam pembelajaran kooperative terdapat beberapa variasi model yang
dapat diterapkan, yaitu: STAD (Student Team Achieverement Division), Jigsaw,
TGT (Teams Games Tournaments), GI (Group ffh Trio Exchange, Group Resume.
Dari beberapa teknik di atas, peneliti menggunakan model Make A Match
dalam penelitian. Hal ini disebabkan karena model Make A Match dapat
digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Matematika, Agama dan Bahasa. Selain itu, model Make A
Match juga cocok untuk semua kelas atau tingkatan dan banyak di`kembangkan.
8
2.1.4. Hakikat Make A Match
Menurut Isjoni (2009:68) ”Make A Match adalah suatu model pembelajaran
dimana guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan
membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih
bermakna.
Menurut Anita Lie(2002:68) menyatakan bahwa:
”Model Make A Match digunakan dalam pengajaran membaca, menulis,
mendengarkan, ataupun berbicara. Dalam model ini, guru memperhatikan skemata
atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan semata
agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan
untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi”.
Menurut Aronson(2008)menyatakan bahwa:
“Make aMatch is a cooperative learning strategy that enables each student of a
“home” group to specialize in one aspect of a learning unit. Students meet with
members from other groups who are assigned the same aspect, and after
mastering the material, return to the “home” group and teach the material to
their group members”.
Artinya Make A Match adalah strategi pembelajaran kooperatif yang
memungkinkan setiap siswa dari rumah kelompok untuk mengambil spesialisasi
dalam satu aspek dari suatu unit belajar. Siswa bertemu dengan anggota dari
kelompok lain yang ditugaskan aspek yang samadan setelah menguasai materi
kembali ke kelompok rumah dan mengajarkan materi kepada anggota kelompok
mareka.
Menurut Slavin (2007) mengemukakan bahwa “Teknik Make A Match
adalah belajar dan diajar oleh teman sendiri yang mana siswa tertentu dalam suatu
kelompok diharuskan memahami suatu konsep tertentu”.
Sedangkan Menurut Melvin L.Silberman (2009:180)” :
9
”Model Make A Match serupa dengan pertukaran kelompok dengan kelompok,
namun ada satu perbedaan penting yakni tiap siswa mengerjakan sesuatu. Make A
Match merupakan alternative menarik bila ada materi belajar yang bisa dibagi-
bagi dan bila bagian-bagiannya harus diajarkan secara berurutan. Tiap siswa
mempelajari sesuatu yang bila digabungkan dengan materi yang dipelajari oleh
siswa lain, membentuk kumpulan pengetahuan atau keterampilan yang padu”.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, Kooperati fmodel
Make A Match adalah suatu teknik dimana guru memperhatikan latar belakang
pengalaman siswa dalam membantu mengaktifkan siswa agar bahan pelajaran
menjadi lebih bermakna dalam suasana gotong royong dan siswa mempunyai
banyak kesempatan untuk mengolah informasi dalam meningkatkan keterampilan
berkomunikasi dengan cara belajar dan diajar oleh teman sendiri yang mana siswa
tertentu dalam kelompok diharuskan memahami suatu konsep tertentu dengan
pertukaran kelompok dengan kelompok, namun tiap siswa mengerjakan sesuatu
materi belajar yang telah dibagi-bagi dan bagianya harus diajarkan secara
berurutan, tiap siswa harus mempelajari sesuatu yang bila digabungkan dengan
materi yang dipelajari oleh siswa lain kemudian membentuk kumpulan
pengetahuan atau keterampilan yang padu.
2.1.5. Ciri-ciri Kooperatif model Make A Match
Menurut Aronson (2009) menyatakan bahwa ”Compared with traditional
teaching methods, the jigsaw classroom has several advantages, Most teachers
find jigsaw easy to learn, Most teachers enjoy working with it, It can be used with
other teaching strategies, It works even if only used for an hour per day, It is free
for the taking
Artinya bahwa dibandingkan dengan metode pengajaran tradisional, kelas
jigsaw memiliki beberapa keunggulan, kebanyakan guru menemukan jigsaw
mudah dipelajari, kebanyakan guru senang bekerja dengan itu, hal ini dapat
digunakan dengan strategi pengajaran lainnya, ia bekerja bahkan jika hanya
digunakan selama satu jam per hari, hal ini bebas untuk mengambil.
10
Adapun ciri-ciri yang membedakan antara Kelompok belajar Kooperatf
model Make A Match dengan Kelompok Belajar Konvensional adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Perbedaan kelompok belajar konvensional dengan kelompok
belajar CooperativeLearning model Make A Match
Kelompok Belajar Konvensional Kelompok belajarKooperatif
model Make A Match
Guru sering membiarkan adanya siswa yang
mendominasi kelompok atau
menggantungkan diri pada kelompok
Siswa diharuskan bertanggung
jawab dalam mempelajari
materinya sehingga tidak
menggantungkan diri pada
kelompok
Akuntabilitas individual sering diabaikan
sehingga tugas-tugas sering didorong oleh
salah seorang anggota kelompok sedangkan
anggota kelompok lainnya hanya
mendompleng keberhasilan
Semua anggota kelompok
bekerja sama dalam kelompok
ahli untuk mempelajari materi
Kelompok belajar biasanya homogen Struktur tim kelompok belajar
heterogen dengan 5-6 orang
anggota menggunakan pola
kelompok asal dan kelompok
ahli
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh
guru atau kelompok dibiarkan untuk
memilih pemimpinya dengan cara masing –
masing
Tidak ada siswa yang sebagai
pemimpin hanya sebagai
pengatur agar proses diskusi
tidak keluar dari konteks
Keterampilan sosial sering tidak secara
langsung diajarkan
siswa mempelajari materi dalam
kelompok ahli kemudian
membantu anggota kelompok
asal mempelajari materi
Pemantauan melalui observasi dan
intervensi sering tidak dilakukan oleh guru
pada saat belajar kelompok sedang ber-
langsung
Penilaian yang dilakukan berva-
riasi dapat berupa tes
Guru sering tidak memper-hatikan proses
kelompok yang terjadi
Guru memperhatikan siswa yang
belum tuntas untuk diberi
bantuan
11
2.1.6. Langkah Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Model Make AMatch
Perintahkan siswa untuk kembali ke posisi semula dalam rangka membahas
pertanyaan yang masih tersisa guna memastikan pemahaman yang akurat.
Menurut Anita Lie (2002: 68) , langkah-langkah Kooperatifmodel Make A Match
antara lain:
a. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat
bagian.
b. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan
mengenai topic yang akan dibahas dalam bahan pelajaran.
c. Siswa dibagi dalam kelompok berempat.
d. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama.
e. Siswa disuruh membaca/mengerjakan bagian mereka masing-masing.
f. Siswa saling berbagi mengenai bagian yang diibaca/dikerjakan masing-
masing.
Langkah-langkah Kooperatif model Make A Match menurut Melvin L. Silberman
(2006: 180) adalah sebagai berikut:
a. Pilihlah materi belajar yang bias dipecah menjadi beberapa bagian
b. Hitunglah jumlah bagian yang hendak dipelajari dan jumlah siswa.
Bagikan secara adil berbagai tugas kepada berbagai kelompok siswa.
c. Setelah waktu belajar selesai, bentuklah kelompok-kelompok belajar ala
jigsaw. Kelompok tersebut terdiri dari perwakilan tiap kelompok belajar di
kelas.
d. Perintahkan anggota kelompok jigsaw untuk mengajarkan satu sama lain
apa yang telah mereka pelajari
Diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran. Diskusi dilakukan
antara pasangan atau dengan seluruh kelas.
Menurut Trianto (2002: 72), langkah-langkah pembelajara Kooperatif model
Make A Match:
a. Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotatanya 5-6
orang)
12
b. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah
dibagi-bagi menjadi beberapa subbab
c. Setiap anggota kelompok membaca subbab yang ditugaskan dan
bertanggung jawab untuk mempelajarinya
d. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari subbab yang sama
bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya
e. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas
mengajar teman-temanya
f. Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan
berupa kuis individu
Make A Match II dikembangkan oleh Slavin. Dalam belajar kooperative
Jigsaw tipe II, siswa dikelompokan secara heterogen dalam kemampuan. Siswa
diberi materi yang baru atau pendalaman dari materi sebelumnya untuk dipelajari.
Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi ahli
(expect) pada suatu aspek tertentu dari materi tersebut. Setelah membaca dan
mempelajari materi, ”ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk
mendiskusikan topik yang sama dari kelompok lain sampai mereka menjadi ”ahli”
di konsep yang ia pelajari. Kemudian kembali ke kelompok semula untuk
mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir
diberikan tes atau assessment yang lain pada semua topik yang diberikan.
Langkah-langkah pembelajaran Make A Match II :
a. Orientasi. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diberikan.
Siswa diminta belajar konsep secara keseluruhan untuk memperoleh
gambaran keseluruhan dari konsep.
b. Pengelompokan. Guru membagi kelompok yang isi tiap-tiap grupnya
heterogen
c. Pembentukan dan pembinaan kelompok expert. Setiap kelompok
diharapkan bisa belajar topik yang diberikan dengan sebaik-baiknya
sebelum ia kembali ke dalam grup sebagai tim ahli”expert”.
13
d. Diskusi (Pemaparan) kelompok ahli dalam grup. Peserta didik ahli dalam
konsep tertentu ini, masing-masing kembali dalam grup semula. Salah satu
anggota grup mempresentasikan keahlianya kepada grupnya masing-
masing. Proses ini diharapkan akan terjadi sharing pengetahuan antar
mereka.
e. Tes (Penilaian). Dalam hal ini, guru memberikan tes tulis untuk dikerjakan
oleh siswa yang memuat seluruh konsep yang didiskusikan.
f. Pengakuan kelompok. Penilaian pada pembelajaran ini berdasarkan pada
skor peningkatan individu, tidak didasarkan pada skor akhir yang
diperoleh siswa.
Dari berbagai pendapat, maka dapat digambarkan bagan langkah-langkah
diskusi Make A Match:
Gambar 2.2 Bagan Proses Diskusi Make A Match
Diskusi Pembagian Materi
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A A A
A A A
B B B
B B B
C C C
C C C
D D D
D D D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
A B
C D
Dari keterangan bagan di atas, dapat dijelaskan secara rinci langkah-langkah
pelaksanaan cooperative model Make A Match :
Diskusi Pendalaman Materi
Diskusi Share
14
a. Persiapan diskusi Make A Match
Dalam persipan diskusi Make A Match, kegiatan yang dilakukan adalah
guru menganalisis materi (analisis konsep), guru menemukan materi
prerequisite, guru membahas materi prerequisite terlebih dahulu, guru
mengelompokan materi yang sebanding, guru membagi kelompok
sejumlah materi.
b. Diskusi Pembagian Materi
Dalam diskusi pembagian materi, kegiatan yang dilakukan adalah guru
membagi kelompok sejumlah materi, siswa mendapatkan materi sendiri-
sendiri, guru membagi materi dengan pertanyaan fokus, siswa membaca
materi sesuai dengan tugas pembagianya.
c. Diskusi Pendalaman Materi
Dalam diskusi pendalaman materi, kegiatan yang dilakukan adalah siswa
melakukan diskusi pendalaman materi, guru melibatkan diri ke kelompok-
kelompok, guru mendorong siswa menemukan substansi esensial.
d. Uji Kompetensi Diskusi
Dalam langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah siswa mengerjakan
ujian kompetensi diskusi, guru memperbaiki melalui diskusi dengan guru,
guru memberikan pengayaan kepada siswa.
e. Diskusi Share
Dalam langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah siswa bertukar
pendapat dengan teman dalam satu kelompok, siswa berusaha
menerangkan materinya ke kelompoknya, guru memberikan masukkan.
f. Refleksi
Dalam langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah siswa menyampaikan
kesan terhadap pembelajaran, siswa mencatat atau membuat rangkuman
tentang apa yang telah dipelajari.
g. Uji Kompetensi Individu
Dalam langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah guru memberikan uji
kompetensi secara individu, guru melaksanakan remidi bagi siswa yang
15
belum tuntas, guru memberikan pengayaan
1.7.Kelebihan dan Kelemahan Kooperative Model Make A Match
Kelebihan Kooperative model Make A Match; 1) meningkatkan rasa
tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan pembelajaran orang
lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga
harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota
kelompoknya yang lain, 2) meningkatkan kerjasama secara kooperatif untuk
mempelajari materi yang ditugaskan, 3) dapat mengembangkan tingkah laku
kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan
kemampuan akademis siswa, 4) interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif
dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
siswa, 5) dapat memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas
multibudaya dan memperbaiki hubungan antara siswa normal dan siswa
penyandang cacat.
Kelemahan Kooperative Model Make A Match adalah :1) prinsip utama
pola pembelajaran ini adalah pembelajaran oleh teman sendiri, ini akan menjadi
kendala karena perbedaan persepsi dalam memahami suatu konsep yang akan
didiskusikan bersama dengan siswa lain, 2) dirasa sulit meyakinkan siswa untuk
mampu berdiskusi menyampaikan materi kepada teman, jika siswa tidak punya
rasa percaya diri, 3) awal penggunaan model ini biasanya sulit dikendalikan,
biasanya butuh waktu yang cukup dan persiapan yang matang sebelum model
pembelajaran ini bisa berjalan dengan baik, 4) aplikasi model ini pada kelas yang
besar (lebih dari 40 siswa) sangatlah sulit.
2.1.8. Memahami Bacaan
Anderson,dkk (1985) dalam Sabarti Achiadah M.K, dkk
( 1992:22 ) memandang membaca sebagai suatu proses untuk memahami makna
suatu tulisan. Sedang Robert dan Wilson dalam Sabarti Achiadah M. K. dkk
(1992:23 ) menyimpulkan bahwa membaca merupakan suatu proses
16
penerjemahan tanda-tanda dan lambang-lambang ke dalam makna serta
pemanduaan makna baru kedalam sistim kognitif dan afektif yang telah dimiliki
pembaca.
W.J.S Poerwodarminto ( 1976:71 ) dalam Drs. Muchlisoh dkk (1992:119)
mengatakan bahwa membaca yaitu melihat sambil melisankan suatu tulisan
dengan tujuan memahami isinya.
Sedang pendapat Dr. Henry Guntur Tarigan (1983:2 ) dalam Drs.
Muchlisoh (1992:119 ) bahwa mengungkapkan membaca yaitu proses
pemerolehan pesan yang disampaikan oleh seorang penulis melalui tulisan.
Pendapat lain dikemukakan oleh A.S Broto (…;58 ) dalam Drs. Muchlisoh
(1992:119 ) bahwa membaca yaitu mengucapkan lambang bunyi.
Dengan demikian hakikat membaca sebenarnya adalah untuk memahami
hasil karya tertulis memerlukan penghayatan dan pemahaman isi dari tulisan
tersebut
.
2.1.9. Pengertian Media
Secara harfiah kata ‘media’ yang dalam bahasa latin disebut medium berarti
perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari
pengirim kepada penerima. Banyak para pakar yang memberi batasan tentang
media.Assosiation of Education and Communication Technology (AECT)
membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk
menyampaiakan pesan dan informasi.Selain itu Gagne (1970) menyatakan, bahwa
media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat
merangsang kegiatan belajar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa media pendidikan
adalah alat atau bahan yang digunakan dalam proses pengajaran atau
pembelajaran (2002: 726). Ruseffendi (1982) menyatakan bahwa media
pendidikan adalah perangkat lunak (soft ware) dan atau perangkat keras (hard
ware) yang berfungsi sebagai alat belajar dan alat bantu belajar.
Sementara itu Brown, dkk (dalam Pengembangan Bahan dan Media
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia: Bahan PTBK Guru Mapel Bahasa dan
17
Sastra Indonesia.Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, hal. 18) membuat
klasifikasi media pembelajaran yang sangat lengkap yang mencakup sarana
belajar (equipment for learning) , sarana pendidikan untuk belajar (educational
media for learning), dan fasilitas belajar (facilities forlearning). Sarana belajar
mencakup tape recorder, radio, OHP, video player, televisi, laboratorium
elektronik, telepon, kamera, dan lain-lain.
Sarana pendidikan untuk belajar mencakup buku teks, buku penunjang,
ensiklopedi, majalah, surat kabar, kliping, program TV, program radio, gambar
dan lukisan, peta, globe, poster, kartun, boneka, papan planel, papan tulis, dan
lain-lain. Fasilitas belajar mencakup gedung, kelas, ruang diskusi, laboratorium,
studio, perpustakaan, tempat bermain, dan lain-lain.
Dari berbagai sumber dan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat berfungsi sebagai alat bantu
belajar siswa sehingga siswa dapat lebih mudah untuk mempelajari materi
pelajaran. Dengan kata lain, ketepatan guru dalam memilih dan menggunakan
media pembelajaran akan menentukan keberhasilan pembelajaran. Hal tersebut
terjadi karena siswa akan lebih terbantu dalam mempelajari dan memahami materi
pelajaran.
2.1.10. Klasifikasi Media Pembelajaran
Menurut Briggs (1986: 23) mengemukakan bahwa media pembelajaran ada 13
bagian yaitu : a) objek, b) model, c) suara, d) langsung, e) rekaman, f) audio, g)
media cetak, h) pembelajaran terprogram, i) papan tulis, j) media transparan, k)
film rangkai, l) film bingkai, m) film televisi dan gambar.
Sedangkan Amir Hamzah Sulaiman (Nyoman S. Degeng 1993: 5)
menggolongkan media sebagai berikut: a) Alat-alat audio, alat-alat yang
menghasilkan bunyi atau suara. b) Alat-alat visual yaitu alat-alat yang dapat
memperlihatkan bentuk atau rupa yang kita kenal sebagai alat peraga.
Alat-alat visual dibedakan menjadi:
18
a. Alat-alat visual dua dimensi yang dibagi-bagi menjadi alat-alat visual dua
dimensi pada bidang yang tidak transparan dan alat-alat visual dua dimensi
pada bidang transparan dan
b. Alat-alat visual tiga dimensi.
Sementara Rudy Bratz dalam Arief S. Sadiman (1986:20)
mengklasifikasikan media pembelajaran, yaitu : a) media audio visual gerak,
b) media audio visual diam, c) media audio visual semi gerak, d) media visual
gerak, e) media visual diam, f) media semi gerak, g) media audio dan h)
media cetak. Selanjutnya Gagne dalam Arief S. Sadiman (1986: 23)
mengklasifikasikan media pembelajaran, yaitu a) benda didemonstrasikan, b)
komunikasi lisan, c) media cetak, d) gambar diam, e) gambar gerak, f) film
bersuara, dan g) mesin belajar. Masih banyak lagi yang dikemukakan oleh
para ahli, secara umum mereka berpendapat media pendidikan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : visual, audio dan audio visual.
Berdasarkan uraian tentang klasifikasi media pembelajaran di atas, maka media
Baba termasuk media cetak.Media cetak biasanya diartikan sebagai bahan yang
diproduksi melalui percetakan professional atau pun produksi sendiri.Penggunaan
media cetak ada beberapa keuntungan dan kelemahannya. Keuntungan media
cetak adalah : a) media cetak relative murah; b) penggunaannya mudah; c) lebih
luwes dalam pengertian mudah digunakan, dibawa atau dipindahkan.
Kelemahannya dari media cetak adalah : a) jika tidak dirancang dengan baik
membosankan; dan b) kurang memberikan suasana yang hidup.
2.1.11. Fungsi Media Pembelajaran
Menurut Derek Rowtree dalam Imam Supardi (1987: 11) fungsi media
pembelajaran sebagai berikut:
a. Membangkitkan motivasi belajar.
b. Menyediakan stimulus belajar bagi siswa.
c. Membantu siswa untuk mengulang atau mempelajari kembali pelajaran
yang telah diterima.
d. Dapat memberikan umpan balik dengan segera baik siswa maupun guru.
19
Sedangkan menurut Nyoman S. Degeng (1993:24) secara garis besar fungsi
media pembelajaran sebagai berikut:
a. Menghindari terjadinya verbalisme.
b. Membangkitkan minat/motivasi.
c. Menarik perhatian siswa.
d. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan ukuran.
e. Mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar.
f. Mengaktifkan pemberian rangsangan untuk belajar.
Berdasarkan fungsi-fungsi di atas selanjutnya dapat dikemukakan bahwa
fungsi media pendidikan adalah : a) mengurangi verbalisme, b) mengatasi
keterbatasan ruang, waktu dan ukuran, c) dapat memberikan umpan balik dengan
segera baik siswa maupun guru dan d) mengefektifkan pemberian rangsangan
untuk belajar.
2.1.12. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan salah satu sarana untuk lebih
mengefektifkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pemilihan media, yang perlu diperhatikan antara lain:
tujuan, ketepatgunaan, keadaan siswa, ketersediaan, mutu teknis dan biaya yang
tersedia dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Tujuan: pendidikan yang dipilih hendaknya menunjang tujuan pengajaran
yang telah dirumuskan.
b. Ketepatgunaan: jika materi yang kita pelajari sesuai dengan tujuan yang
telah dirumuskan, maka guru harus memilih media yang sesuai.
c. Keadaan: harus sesuai keadaan, kemampuan siswa dan besar kecilnya
kelas.
d. Ketersediaan: ada atau tidaknya media yang diperlukan apabila mungkin
guru membuat sendiri.
e. Mutu teknis: harus betul-betul sesuai dan cocok untuk dugunakan sebagai
alat Bantu di sekolah.
f. Biaya: biaya yang dikeluarkan sesuai dengan hasil yang dicapai.
20
Sedangkan menurut Dick Caray dalam Arief S. Sadiman (1986:36) hal-hal yang
menjadi kriteria dalam pemilihan media pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan tujuan perilaku belajar.
b. Ketersediaan sumber setempat.
c. Ketersediaan dana, tenaga, fasilitas untuk membeli dan memproduksi.
d. Keluwesan, keaktifan, ketahanan media untuk waktu yang lama.
e. Efektifitas biaya dalam jangka waktu yang panjang.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa kriteria pemilihan media
pembelajaran perlu memperhatikan antara lain : tujuan, keadaan, ketersediaan
sumber setempat, mutu teknis dan dana.
2.2.1 Media Pembelajaran Kartu Kata
Media pembelajaran adalah alat atau materi lain yang menyajikan bentuk
informasi secara lengkap dan dapat menunjang proses belajar mengajar. Kartu
Kata yang dimaksud dalam tulisan ini adalah satu jenis media yang kartu
berukuran 4 cm x 5 cm, yang ditulis dengan kata-kata.Kata-kata tersebut
selanjutnya dibuka dan disebarkan, siswa disuruh untuk membaca setelah
dirangkai menjadi suatu kalimat.
Membaca lancar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah salah satu jenis
membaca yang dilakukan secara lancar.Tujuan kegiatan membaca adalah agar
pembaca memahami suatu kalimat dan dapat membaca dengan intonasi kalimat
yang tepat dan ketepatan membaca huruf per huruf. Soedarso (1988) menjelaskan
bahwa dalam membaca lancar terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat
pula, bahkan pemahaman inilah yang menjadi pangkal penolakan pembahasan,
bukannya kecepatan.
Kesalahan umum yang sering dilakukan oleh seseorang dalam membaca
adalah mereka terlalu menekuni detail sehingga kehilangan ide sentralnya.
Menemukan ide pokok suatu paragraf atau bacaan adalah kunci untuk mengerti
apa isi bacaan. Lebih lanjut Soedarso menjelaskan bahwa pada hakikatnya,
membaca lancar adalah keterampilan memilih isi bahan yang harus dibaca sesuai
dengan tujuan kita, yang ada relevansinya dengan kita, tanpa membuang-buang
21
waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak kita perlukan. Karena
kebiasaan yang salah yang kita bawa dari kecil ketika kita belajar membaca, cara
membaca kita menjadi lambat. Keadaan tersebut dipacu oleh beberapa kebiasaan
yang salah, di antaranya vokalisasi ,gerakan bibir, gerakan kepala, menunjuk
dengan jari, regresi dan subvokalisasi. Vokalisasi atau membaca dengan bersuara,
menggerakkan bibir, menunjuk kata demi kata dengan jari, dan menggerakkan
kepala dari kiri ke kanan, seperti dilakukan semasa kanak-kanak, merupakan
kebiasaan yang menghambat kecepatan membaca. Dengan menggerakkan bibir
ataupun bersuara (mengucapkan kata demi kata) kecepatan membaca menjadi
amat berkurang, yaitu hanya seperempatnya jika kita membaca secara diam.
Kecepatan menjadi berkurang karena orang lebih memperhatikan pengucapannya
daripada menangkap ide yang terkandung dalam sebuah tulisan.
Dijelaskan oleh Rose bahwa mata menerima informasi jauh lebih cepat
daripada telinga.Oleh karena itu, kita tidak boleh ‘mendengar’ perkataan dalam
benak kita ketika kita sedang membaca.Apabila hal tersebut tetap kita lakukan
berarti kita benar-benar telah melambatkan pembacaan kita.Kita hanya dapat
‘mendengar’ perkataan sekitar 250 kata per menit, tetapi kita dapat melihat kata
dengan kecepatan 2.000 kata per menit atau lebih. Hal sama dijelaskan juga oleh
Hernowo (editor) dalam Quantum Reading: Cara Cepat dan Bermanfaat untuk
Merangsang Munculnya Potensi Membaca (2005: 142). Hal yang sama juga
terjadi pula ketika seseorang menggerakkan kepala dan menunjuk teks bacaan
dengan tangan. Hal ini disebabkan gerakan mata serta proses di otak jauh lebih
cepat daripada gerakan kepala dan tangan itu. Lebih lanjut Soedarso menjelaskan
bahwa kebiasaan-kebiasaan yang melibatkan fisik itu dapat diatasi bahkan
dihilangkan asalkan pada diri siswa kita latihkan cara-cara penanggulangannya.
Waktu yang kita gunakan untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif
tersebut sekitar dua minggu.
Hambatan lain yang sulit diatasi adalah regresi atau mengulangi pembacaan
beberapa kata ke belakang. Ditegaskan lagi oleh Rose (dalam K.U.A.S.A.I Lebih
Cepat Pembelajaran Accelerated Learning, karya terjemahan Femy Syahrani)
bahwa dengan membaca ulang seperti itu berarti kecepatan membaca
22
seseorangakan terpotong sepertiganya (1999: 68). Hal sama dijelaskan oleh
Hernowo (editor) dalam Quantum Reading: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk
Merangsang Munculnya Potensi Membaca (2005: 143). Kebiasaan regresi ini
disebabkan melamun atau kurang berkonsentrasi sewaktu membaca. Dengan kata
lain, secara mental siswa mengerjakan hal lain di tempat lain sementara ia sedang
membaca di sini. Kebiasaan beregresi akan dapat dihilangkan dengan
memanfaatkan media ‘teks berjalan’. Huruf-huruf yang cepat menghilang
membuat siswa bergegas menyelesaikan pembacaan sehingga mereka tidak
berkesempatan melakukan regresi (mengulang).
Dari uaraian di atas dapat kita ambil simpulan tentang manfaat menggunakan
media pembelajaran kartu katasecara langsung atau tidak langsung beberapa
kebiasaan salah tersebut akan dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi.
Dengan demikian diharapkan akan terjadi peningkatan kemampuan membaca
sekaligus peningkatan keberhasilan pembelajaran membaca lancar.
2.2.2. Kelebihan Kartu Kata
Dalam penggunaan Kartu Kata ini, apabila sesuai dengan materi yang diajarkan,
situasi dan kondisi siswa, guru dan kelas maka banyak kelebihannya yaitu antara
lain:
a. Siswa bersungguh-sungguh mempelajari materi pelajaran.
b.Dengan kata-kata itu akan memperkuat asosiasi.
c.Siswa memiliki keterampilan yang diajarkan.
d.Menambah kepercayaan diri terhadap siswa. (Sudaryo, dkk, 1991: 48)
2.2.2.1. Kekurangan Kartu Kata
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam penggunaan Kartu
Kata, maka hal-hal yang menjadi kekurangn / kelemahan kartu kataini harus
diperhatikan, yaitu antara lain:
a. Siswa hanya mau belajar jika ditugaskan saja
b. Apa bila siswa kurang dalam persipan, membuat:
1. Suasana menakutkan, takut salah, panik pada waktu ditanya.
23
2. Siswa yang belum siap mungkin membuat mereka tidak masuk sekolah.
c. Waktu yang terbatas, membuat tidak dapat giliran bagi semua pelajar.
d. Membutuhkan bahan /alat yang cukup di dalam melatih/latihan keterampilan
sesuai sasaran yang dicapai.
Tabel 2.3
Langkah penerepan metode Make A Match dengan kartu kata
TAHAPAN AKTIVITAS KETERANGAN
Pendahulua
n
1. Guru mengajak semua siswa berdo’a
bersama-sama.
2. Menyiapkan alat dan media pembelajaran
yang digunakan.
3. Mengkondisikan kelas.
4. Mengecek kehadiran siswa.
5. Menuliskan tujuan pelajaran
6. Melakukan appersepsi yaitu dengan
menampilkan gambar di depan kelas
Inti Eksplorasi:
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai
2. Guru menjelaskan materi pembelajaran
dengan menggunakan media yang telah
disiapkan guru berupa gambar.
3. Guru melakukan tanya jawab dengan
siswa.
4. Guru menyiapkan beberapa kartu yang
berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, satu bagian kartu
soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
Elaborasi :
1. Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu
24
yang bertuliskan soal/jawaban.
2. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari
kartu yang dipegang.
3. Setiap siswa mencari pasangan kartu yang
cocok dengan kartunya yang dipegangnya.
4. Setiap siswa yang dapat mencocokkan
kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
5. Jika siswa tidak dapat mencocokkan
kartunya dengan kartu temannya (tidak
dapat menemukan kartu soal atau kartu
jawaban) akan mendapatkan hukuman,
yang telah disepakati bersama.
6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar
tiap siswa mendapat kartu yang berbeda
dari sebelumnya, demikian seterusnya.
7. Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau
3 siswa lainnya yang memegang kartu
yang cocok.
Konfirmasi :
1. Guru melakukan kegiatan refleksi
2. Guru dan siswa menyimpulkan pelajaran
bersama-sama
3. Siswa mengerjakan soal evaluasi yang
diberikan guru, soal evaluasi tersebut
dikerjakan secara individu
4. Guru memberikan saran dan nasihat
Penutup 1. Guru mengajukan pertanyaan materi yang
diajarkan.
2. Siswa mengumpulkan tugas sesuai materi
yang diajarkan.
3. Guru menutup kegiatan dengan berdoa.
25
a. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Aminah(2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Keterampilan
Membaca Lancar melalui Permainan Kartu Kata pada Siswa Kelas I Sekolah
Dasar SDN Petompon 02 Semarang” menyatakan bahwa kesulitan belajar
membaca lancar yang dialami peserta didik,beraneka macam, sesuai dengan
tingkatan kelas dan kompetensi dasar dari masing-masing dan teknik remedial
teaching yang diberikan oleh guru kurang bervariasi dan mengakibatkan peserta
didik mudah jenuh dalam mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia.
Somantri Tisep Dali (2011) tentang “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Dalam Mata Pelajaran B.Indonesia Melalui Model Pembelajaran Make A Match”
mengemukakan bahwa teknik Make A Match dapat meningkatkan hasil belajar
B. Indonesia kelas 2, hal ini dapat dibuktikan pada hasil belajar siswa yang
meningkat. Pada siklus satu mengalami peningkatan nilai rata-rata 9,4 angka yaitu
dari nilai rata-rata 55 sebelum penerapan model pembelajaran Make a Match
menjadi 64,4. Padasiklus II terjadi hasil belajar siswa mencapai rata-rata 80,88,
dan ketuntasan belajar mencapai 76%.
Riswati (2011) Pembelajaran Cooperatif Learning Tipe Make a Match
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran IPS Materi Kegiatan
Ekonomi di Indonesia. Mengemukakan bahwa hal ini terlihat dari meningkatnya
nilai rata-rata dan ketuntasan belajar siswa. Hasil penelitian tindakan
kelompok yang telah dilaksanakan, pada siklus 1 nilai rata-rata kelompok siswa
meningkat menjadi 65,7 dengan ketuntasan belajar mencapai 68% (23 dari 34
siswa mencapai KKM). Sedangkan pada siklus II nilai rata-rata kelompok
lebih meningkat menjadi 78,8 dengan ketuntasan belajar sebesar 88% (29 dari 34
siswa mencapai KKM).
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti mempunyai persamaan, yaitu sama-
sama meneliti kesulitan belajar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Akan
tetapi, penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan subjek penelitian kelas II
SD Negeri 2 Kutosari Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen
26
b. Kerangka Berfikir
Didalam penelitian ini sebagai variabel masalah adalah hasil belajar
Bahasa Indonesia sedangkan sebagai variabel tindakan adalah penggunaan
Kartu Kata. Maka berdasarkan kajian teori kerangka berpikir di atas diduga
bahwa melalui pemanfaatan Kartu Kata dapat meningkatkan hasil belajar
Bahasa Indonesia kompetensi dasar memahami bacaan. Hal tersebut dapat
dilihat dari bentuk Penelitian Tindakan Kelas seperti skema berikutini :
Gambar 2.2. Kerangka berpikir PTK dari kondisi awal sampai akhir.
Penjelasan Gambar
i. Kondisi Awal
Kondisi ini adalah kondisi dari hasil tes formatif siswa kelas II dan
berdasarkan hasil pengamatan peneliti melaksanakan kegiatan belajar mengajar
menggunakan metode pembelajaran yang sehari-hari ternyata hasilnya sangat
rendah. Maka perlu mengadakan perubahan cara ataupun bentuk lain yang dapat
meningkatkan hasil belajar.
ii. Tindakan
Setelah melihat kenyataan bahwa hasil belajarnya rendah maka pada kegiatan
ini peneliti sebagai guru melakukan kegiatan belajar mengajar menggunakan alat
peraga kartu kata dalam perbaikan pembelajaran, sehingga kegiatan guru selaku
pengajar dalam melaksanakan pembelajarannya langsung mengumpulkan data
Menggunakan metode make a
match denganmedia kartu kata
dalampembelajaran Bahasa
Indoesia
Hasil Belajar Bahasa
Indonesia rendah
maka perlu adanya
penggunaan solusi lain
Guru:
Belum menggunakan
media kartu kata dalam
pembelajaran Bahasa
Indoenesia
Hasil belajar meningkat
KONDISI
AWAL
TINDAKAN
KONDISI
AKHIR
1. Siswa aktif
2. Lebih mudah
memahami
3. Presentasi nilai
naik.
4. Kegiatan lebih
menyenangkan
n
27
untuk tindakan perbaikan pembelajaran berikutnya yang dibantu oleh teman sejawat
selaku observer untuk mengamati kegiatan belajar mengajar.
Pada kegiatan ini peneliti menggunakan tahapan-tahapan (siklus), yaitu
direncanakan dengan menggunakan 2 siklus.Siklus I sebagai perbaikan
pembelajaran dari kondisi awal dan siklus II sebagai tindakan dan perbaikan
pembelajaran dari siklus I Setiap siklus menggunakan langkah-langkah
perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi diri.
iii. Kondisi Akhir
Dalam kondisi akhir ini merupakan dugaan dari peneliti setelah melakukan
tindakan perbaikan pembelajaran. Dengan menggunakan Kartu Kata dan
melakukan perencanaan yang matang serta melakukan tindakan perbaikan tersebut
diharapkan hasil belajar siswa akan meningkat sesuai dengan yang diharapkan
Dengan penggunaan kartu kata dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
yang tepat dan menarik, akan memotivasi minat belajar siswa, media
merupakan perantara pesan, dan siswa kelas II, berdasarkan perkembangan
belajar menurut Peaget masih dalam tah
c. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori yang diuraikan di atas maka patut diduga bahwa
penggunaan model membelajaran kooperatif tipe Make A Match berbantuan
media kartu kata dapat meningkatkan kemampuan memahami bacaan bagi siswa
kelas II SD Negri 2 Kutosari Kecamatan Kebumen Semester 2 Tahun Pelajaran
2012/2013.