pengelolaan - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/buku pengelolaan aat.pdfterjadi...

110

Upload: others

Post on 05-Feb-2020

32 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku
Page 2: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

p PENGELOLAAN

AIR ASAM TAMBANG:

Prinsip-prinsip dan Penerapannya

Page 3: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku
Page 4: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

p PENGELOLAAN

AIR ASAM TAMBANG:

Prinsip-prinsip dan Penerapannya

Ali Munawar, Ph.D.

Penerbit UNIB Press

Page 5: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG:

Prinsip-prinsip dan Penerapannya

Penulis : Ali Munawar ISBN : 978-979-9431-94-3

Editor : Wiryono Penyunting : Bandi Hermawan

Layout/Sampul : Suhendra

Hak Cipta © 2017, pada penulis Hak publikasi pada Penerbit Unib PRESS

Dilarang memperbanyak, memperbanyak sebagian atau

seluruh isi dari buku ini dalam bentuk apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan ke- 01

Tahun 2017

Penerbit: UNIB PRESS

Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu Jl WR Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu-Bengkulu

Pos 38371 Telp/Fax: (+62 736) 3425 584 Email: [email protected]

Undang-Undang No. 19 tahun 2002

tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 tahun 1997 Pasal 44 tentang Hak Cipta

Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan dan memperbanyak suatu ciptaan atau

memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 1 (satu) bulan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum

suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau

Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

denda paling banyak rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Page 6: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku
Page 7: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

vi

K KATA PENGANTAR

Air asam tambang (AAT) merupakan salah satu

persoalan lingkungan serius yang dihadapi oleh

industri pertambangan. Karena tingkat kemasaman

dan konsentrasi logam larut-nya yang tinggi, AAT

dapat meracuni organisme dan merusak bangunan sipil

pada ekosistem akuatik dan mencemari ekosistem

daratan, sehingga tanahnya tidak kondusif untuk

pertumbuhan tanaman dan organisme bermanfaat

tanah. Dampak negatif akibat AAT tersebut dapat

berlangsung lama, jauh setelah masa penutupan

tambang bahkan sampai ratusan tahun atau sepanjang

mineral-mineral sulfida masih tersedia dan teroksidasi,

dan memerlukan dana yang besar untuk remediasinya.

Buku berjudul Pengelolaan Air Asam Tambang:

Prinsip-prinsip dan Penerapannya ini membahas

proses pembentukan AAT, prinsip-prinsip pengelolaan

bahan yang berpotensi menghasilkan AAT, dan

tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi

dampak negatif dari AAT yang sudah terbentuk.

Namun, sebelum memasuki bahasan tentang

pengelolaan AAT, di dalam buku ini dibahas dampak

penambangan batubara terhadap lingkungan secara

Page 8: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

vii

umum. Meskipun sebagian besar bahan bahasan

berasal dari atau terkait dengan kasus-kasus yang

terjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar

pengelolaan AAT yang ada di dalam buku ini dapat

digunakan untuk pengelolaan AAT yang terbentuk di

lokasi penambangan logam atau mineral lainnya. Oleh

karena setiap jenis tambang memiliki sifat dan kondisi

lingkungan yang berbeda, teknik-teknik pengelolaan

AAT yang digunakan di dalam buku ini tidak otomatis

dapat digunakan langsung di seluruh jenis tambang.

Salah satu tujuan penulisan buku ini adalah untuk

memenuhi kewajiban penulis sebagai penerima dana

penelitian Hibah Kompetensi (HIKOM) (sekarang

bernama Penelitian Berbasis Kompetensi) dari

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan

Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi RI pada tahun 2015 sampai dengan

tahun 2017. Namun demikian, bahan yang digunakan

untuk penyusunan buku ini sebagian besar berasal dari

hasil-hasil penelitian penulis sebelumnya dengan

beberapa sumber dana lain, seperti Penelitian Hibah

Bersaing (HB), Penelitian Fundamental (PF), dan

Penelitian Strategis Nasional (STRANAS) dari

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Riset

Unggulan Terpadu (RUT) dari Kementerian Negara

Riset dan Teknologi RI, dan penelitian kerjasama

dengan perusahaan.

Page 9: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

viii

Sehubungan dengan selesainya penulisan buku ini,

penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Direktur Riset dan Pengabdian kepada

Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset

dan Pengembangan, Kementerian Riset,

Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI yang telah

mendanai penelitian kepada penulis;

2. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

(UNIB) dan Pimpinan beserta staf Lembaga

Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

UNIB, yang telah membantu mengurus

administrasi sejak pengusulan proposal penelitian

sampai dengan pelaksanaan dan pelaporan

penelitian;

3. Pimpinan PT. Bukit Asam (PERSERO) Tbk. di

Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan, PT.

Berau Coal di Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan

Timur, dan PT. Bukit Sunur, Bengkulu Tengah,

Bengkulu dan para stafnya yang telah

menyediakan fasilitas selama pelaksanaan

penelitian di lapangan;

4. Ibu Dr. Lana Saria, M.Si., Kepala Subdirektorat

Keselamatan Pertambangan Mineral dan

Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan

Batubara, Kementerian Energi dan Sumberdaya

Mineral RI, yang telah menelaah dan memberikan

masukan terhadap isi buku, sekaligus

memberikan Kata Sambutannya;

Page 10: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

ix

5. Sdr. Andi Muhammad Fajrin, S.TP., M.Phil.,

Environmental Geochemist PT. Kasongan Bumi

Kencana, yang telah menelaah dan memberian

masukan terhadap isi buku;

6. Kawan-kawan peneliti, antara lain: Prof. Dr.

Riwandi, MP., Dr. Wiryono, Dr. Hery Suhartoyo,

Dr. Teja Dwi Sutanto, Dr. Agus M.H. Putranto, Dr.

Yudhy H. Bertham, Dr. Hendri Bustamam, Drs.

Wahyudi Arianto, MP., dan Dr. Mohammad

Nurcholis yang telah bekerjasama dengan penulis

pada kegiatan penelitian di bidang rehabilitasi

lahan pascatambang, dan para teknisi di

Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian

UNIB yang telah membantu dalam pelaksanaan

penelitian; dan

7. Penerbit UNIB Press, yang telah bekerjasama

dalam penerbitan buku ini.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih memiliki

banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik

dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan

buku ini di masa yang akan datang. Kepada Allah SWT

penulis berdoa, semoga karya kecil ini bermanfaat.

Amin.

Bengkulu, 5 Desember 2017

Penulis,

Page 11: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

x

S KATA SAMBUTAN

Dr. Lana Saria, M.Si. Kepala Subdirektorat Keselamatan Pertambangan

Mineral dan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral RI.

Kita bersyukur ke hadirat Allah SWT bahwa atas

perkenan-Nya, telah diterbitkan buku berjudul

Pengelolaan Air Asam Tambang: Prinsip-prinsip dan

Penerapannya, karya Ali Munawar, Ph.D. dari

Universitas Bengkulu (UNIB). Buku ini merupakan

salah satu karya ilmiah yang dapat menjadi sumber

informasi terkait pengelolaan dampak lingkungan

akibat kegiatan pertambangan mineral dan batubara,

terutama yang menghasilkan air asam tambang (AAT).

Oleh karena itu, kami menyambut baik dengan

terbitnya buku ini.

Sampai saat ini buku dengan tema pengelolaan

lingkungan pada kegiatan pertambangan mineral dan

batubara masih sangat terbatas, terlebih yang

membahas AAT, meskipun sudah cukup banyak

teknologi yang ditemukan dan diterapkan. Karya

Page 12: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xi

ilmiah yang membahas AAT memang ditunggu oleh

perusahaan pertambangan dan para pemangku

kepentingan lain di sektor pertambangan.

Pengelolaan AAT harus dimulai sejak awal

kegiatan pertambangan dengan perencanaan yang

matang, yakni sejak tahap eksplorasi, selama tambang

beroperasi, sampai dengan kegiatan pascatambang.

Tanpa perencanaan yang matang sejak awal, maka

permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh AAT

tidak akan pernah berakhir bahkan sampai dengan

perusahaan tersebut meninggalkan wilayahnya.

Diharapkan penerbitan buku ini merupakan

langkah awal yang dapat menjadi motivator bagi

penulis dan juga para peneliti lain untuk membuktikan

bahwa dampak lingkungan akibat kegiatan

pertambangan hanya bersifat sementara. Dengan

kemajuan ilmu dan teknologi, dampak negatif akibat

kegiatan pertambangan dapat dicegah dan

ditanggulangi, dan lingkungan tambang dapat

dipulihkan sesuai dengan kondisi lokasi setempat.

Semoga penulis terus berkarya dan

mempublikasikan hasil-hasil penelitian dan

perkembangan ilmu dan teknologi dalam rangka

mengatasi permasalahan lingkungan pertambangan

mineral dan batubara khususnya dan lingkungan hidup

pada umumnya.

Jakarta, 5 Desember 2017

Page 13: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xii

I DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................. vi

KATA SAMBUTAN .................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................. xii

DAFTAR TABEL ......................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR .................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................... 1

BAB 2 DAMPAK PENAMBANGAN

TERHADAP LINGKUNGAN ...................... 3

2.1. Perubahan Bentang Alam ............................ 3

2.2. Penurunan Kualitas Tanah .......................... 4

2.3. Gerakan Tanah dan Longsor ....................... 9

2.4. Kehilangan Habitat dan Kehidupan

Flora dan Fauna ........................................... 11

2.5. Penurunan Kualitas Udara .......................... 12

2.6. Lubang Tambang (Void) .............................. 13

2.7. Kualitas Air dan Pembentukan Air

Asam Tambang ............................................. 14

BAB 3 AIR ASAM TAMBANG ................................. 17

3.1. Pengertian Air Asam Tambang .................. 17

3.2. Pembentukan Air Asam Tambang ............. 18

3.3. Sumber Air Asam Tambang ....................... 23

3.4. Dampak Air Asam Tambang

terhadap Lingkungan ................................... 25

Page 14: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xiii

BAB 4 PENGELOLAAN AIR ASAM

TAMBANG ..................................................... 29

4.1. Pendekatan Preventif ................................... 29

4.2. Pendekatan Kuratif ....................................... 40

4.2.1. Perlakuan Aktif ..................................... 40

4.2.2. Perlakuan Pasif ..................................... 44

BAB 5 PENUTUP ........................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA ................................................... 69

GLOSARIUM ................................................................ 79

INDEKS ......................................................................... 85

BIODATA PENULIS ................................................... 90

Page 15: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xiv

T DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.Beberapa sifat fisika tanah pada

lahan pascatambang dan tanah hutan ........ 7

Tabel 2.2. Sifat-sifat kimia air dari lobang

tambang terkontaminasi AAT di Unit

Penambangan Banko Barat PT Bukit

Asam, Tanjung Enim, Sumatera

Selatan ............................................................ 15

Tabel 3.1. Mineral sulfida logam di daerah

penambangan, berurutan dari segi

kelimpahan (pirit sebagai penghasil

asam paling dominan) .................................. 19

Tabel 4.1. Bahan-bahan kimia untuk oksidasi,

netralisasi, dan koagulasi/flokulasi ........... 42

Tabel 4.2. Sifat-sifat kimia dan komposisi

unsur dari beberapa limbah organik .......... 60

Page 16: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xv

G DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pengambilan topsoil dengan

eksavator (a) dan tambang batubara

aktif (b) ....................................................... 6

Gambar 2.2. Tanah padat di lokasi tambang

batubara (a) dan pertumbuhan akar

terhambat pada tanah mampat (b). ........ 8

Gambar 2.3. Tampakan erosi tanah (a) dan

sedimentasi (b) di wilayah

pertambangan (Foto: Munawar) ............. 9

Gambar 2.4. Timbunan batuan penutup di

lahan tambang (Foto: Fajrin) ................... 10

Gambar 2.5. Habitat tumbuhan yang masih

utuh (a) dan kondisi setelah

ditambang (b) ............................................ 12

Gambar 2.6. Lobang tambang di lahan

pascatambang untuk pemeliharaan

angsa. .......................................................... 13

Page 17: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xvi

Gambar 3.1. Endapan oksida/hidroksida besi

berwarna merah pada dasar saluran

air dengan pH air sangat asam ............... 27

Gambar 3.2. Tanah kaya bahan pembentuk

asam (a) dan vegetasi mati pada lahan

terkena rembesan AAT dari tanah

pada lahan yang sudah

direklamasi(b) ............................................ 28

Gambar 4.1. Hasil pengeboran lapisan batuan

penutup (Foto: Munawar) ....................... 33

Gambar 4.2. Bahan penghasil asam tertutup

bahan kedap air dan udara. .................... 35

Gambar 4.3. Diagram skematik saluran batu

kapur terbuka (oxic limestone channel,

OLC) ........................................................... 46

Gambar 4.4. Diagram skematik dari saluran

batukapur anoksik (anoxic limestone

drain, ALD) ................................................ 47

Gambar 4.5. Diagram skematis lahan basah

aerobik (a) dan contoh lahan basah

aerobik yang ditanami dengan Typha

angustifolia di Kalimantan Timur (b)

(Foto: Munawar) ....................................... 52

Gambar 4.6. Diagram skematik lahan basah

anaerobik ................................................... 55

Gambar 4.7. Diagaram skematik lahan basah

aliran vertikal (a) dan contoh lahan

basah aliran vertikal yang dibangun

di Kalimantan Timur (b). ......................... 57

Page 18: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xvii

Gambar 4.8. Alur pemilihan sistem perlakuan

pasif yang disesuaikan dengan

kondisi. (Hedin et al., 1994

dimodifikasi dalam Skousen et al.,

1998) ........................................................... 65

Page 19: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

xviii

Page 20: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 1

I BAB 1. PENDAHULUAN

Salah satu persoalan lingkungan serius yang dihadapi oleh industri pertambangan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah pembentukan air asam tambang (AAT). Air asam tambang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS2) yang banyak terkandung pada lapisan batuan penutup maupun lapisan batubara dan berasosiasi dengan bijih logam atau mineral. Pada saat material tersebut terangkat ke permukaan bumi, maka mineral pirit teroksidasi menghasilkan asam sulfat yang sangat masam (pH rendah) dan konsentrasi logam-logam larut tinggi.

Karena tingkat kemasaman dan konsentrasi logam larutnya tinggi, jika AAT mengalir ke ekosistem akuatik dapat menjadi polutan yang meracuni ikan dan organisme akuatik lainnya. Air tercemar AAT juga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan/korosi bangunan-bangunan sipil dan pipa-pipa saluran air irigasi atau air minum dan air menjadi tidak layak konsumsi. Jika terbentuk atau melewati ekosistem daratan (tanah), AAT dapat mencemari dan meracuni organisme tanah, termasuk vegetasi. Oleh karena itu upaya mencegah, mengurangi atau menghambat terbentuknya AAT dari material yang berpotensi

Page 21: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

2 | Ali Munawar, Ph.D

menghasilkan asam (at-source) menjadi sangat penting, sebelum AAT tersebar ke lingkungan yang lebih luas. Demikian juga upaya remediasi AAT yang sudah terbentuk sangat penting untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan.

Buku ini membahas prinsip-prinsip pengelolaan AAT, terutama yang berada dalam lingkungan tambang batubara, mulai dari upaya pencegahan (preventif) melalui penanganan material disposal berpotensi membentuk asam untuk mencegah, mengurangi atau menghambat pembentukan AAT sampai dengan tindakan kuratif (remediatif) terhadap AAT yang sudah terbentuk, dengan beberapa contoh penerapannya di lapangan. Namun sebelum masuk kepada pembahasan pengelolaan AAT, terlebih dahulu dibahas dampak penambangan terhadap lingkungan, khususnya pada tambang batubara.

Page 22: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 3

2 BAB 2. DAMPAK PENAMBANGAN

TERHADAP LINGKUNGAN

Kegiatan penambangan merupakan salah satu penyebab penting terjadinya degradasi lahan di Indonesia. Dari segi luasan daerah yang terusik oleh kegiatan penambangan sesungguhnya tidak terlalu besar, tetapi intensitas gangguan atau dampak negatif penambangan batubara maupun mineral, terutama yang dengan sistem terbuka (open pit/surface mining) sangat signifikan (Bradshaw, 1996). Di antara dampak negatif yang sering terjadi akibat kegiatan penambangan, terutama batubara, dengan sistem terbuka dibahas pada bagian di bawah ini.

2.1 Perubahan Bentang Alam

Penambangan merupakan salah satu bentuk usikan lahan yang mengakibatkan perubahan bentang alam yang sangat drastis. Perubahan bentang lebih signifikan jika penambangan dilakukan dengan sistem terbuka dibandingkan dengan sistem penambangan di bawah tanah (underground mining). Penggalian dan pengangkutan batuan penutup (overburden) tidak saja menghilangkan vegetasi penutup sehingga

Page 23: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

4 | Ali Munawar, Ph.D

permukaan lahan terbuka yang rentan terhadap erosi tanah, tetapi juga mengubah seluruh bentuk muka lahan (lanskap). Penambangan terbuka pada daerah pegunungan mengubah bentuk muka lahan dari yang semula bertopografi bergelombang atau berbukit menjadi datar atau tidak beraturan atau bahkan sebagian menjadi lubang tambang (void) yang sangat dalam. Sebaliknya, meskipun tidak sedrastis perubahan di daerah pegunungan, penambangan terbuka di daerah bertopografi datar dan homogen dapat mengubah bentuk muka lahan menjadi lebih heterogen, misalnya munculnya timbunan batuan penutup maupun batuan limbah.

Penambangan juga dapat berdampak kepada perubahan penggunaan lahan yang sudah ada, misalnya berkurangnya atau hilangnya wilayah pertanian dan hutan. Penambangan terbuka dapat menimpa sumberdaya air permukaan seperti danau dan sungai. Danau terutama yang berukuran kecil menjadi korban (tertutup) oleh kegiatan penambangan, dan badan sungai harus dialihkan atau dibuat sungai yang baru. Sebaliknya, munculnya lubang-lubang tambang dan pembangunan kolam-kolam pengendapan di wilayah penambangan berarti terbentuknya badan-badan air yang baru. Akibatnya terjadi perubahan pola aliran air dan hidrologi yang sangat signifikan di wilayah penambangan.

2.2 Penurunan Kualitas Tanah

Penambangan menyebabkan kerusakan sebagian besar sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Dalam proses mengambilan (ekstraksi) batubara, tanah asli hilang, atau terkubur oleh dan bercampur

Page 24: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 5

dengan bahan-bahan sisa (waste rocks atau disposal), seperti limbah lapisan batuan penutup batubara yang berasal dari lapisan kulit bumi bagian dalam (Bradshaw, 1996). Akibatnya tanah pada lahan yang sudah ditambang pada umumnya mempunyai sifat-sifat yang tidak cocok untuk berbagai penggunaan lahan, terutama untuk media pertumbuhan tanaman.

a. Kehilangan Tanah Pucuk (Top Soil) Menurut peraturan yang berlaku, pada

awal operasi tambang tanah pucuk harus dikupas, disisihkan, dan ditimbun di suatu tempat yang aman, untuk kemudian disebarkan kembali pada saat persiapan reklamasi (revegetasi). Namun dalam praktek kehilangan tanah pucuk akibat penambangan batubara tidak terelakkan, misalnya akibat erosi, terkubur atau tercampur dengan material timbunan atau tanah lapisan bawah (subsoil) (Gambar 2.1).

Kehilangan tanah pucuk terjadi pada saat proses pengambilan lapisan batuan penutup batubara (overburden), yang biasanya dilakukan melalui proses peledakan atau pengerukan dengan eksavator. Proses yang tidak didahului dengan pengupasan tanah pucuk menyebabkan tanah pucuk hilang dan bercampur dengan batuan penutup.

Tanah pucuk merupakan lapisan yang sangat berharga dan penting untuk perkembangan ekosistem daratan, karena mengandung banyak bahan organik, unsur-unsur hara esensial tanaman, mikroba tanah penting, dan sumber berbagai plasma nuftah. Oleh karena itu kehilangan tanah pucuk

Page 25: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

6 | Ali Munawar, Ph.D

merupakan kerugian yang sangat besar dan menyebabkan lambannya pencapaian keberhasilan reklamasi.

(a)

(b)

Gambar 2.1. Pengambilan topsoil dengan eksavator (a) dan tambang batubara aktif (b)

(Foto: Munawar)

b. Pemampatan Tanah (Soil Compaction)

Pemampatan tanah di wilayah pertambangan terjadi akibat beban berat dari kendaraan atau peralatan berat yang digunakan selama eksplorasi, konstruksi, dan operasi penambangan, misalnya untuk pengangkutan batuan penutup, batubara atau bijih mineral, dan bahan-bahan lainnya di wilayah pertambangan, dan penataan lahan bekas tambang. Tanah yang mampat akibat tertimpa beban berat mempunyai berat volume (BV) tinggi mengalami kerusakan struktur dan berkurangnya jumlah pori-pori makro tanah, sehingga tidak kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Munawar (1998), dalam penelitian di lahan bekas tambang batubara di Bengkulu melaporkan bahwa tanah pada lahan pascatambang batubara mempunai sifat-sifat fisik lebih buruk daripada tanah di bawah tegakan hutan asli (Tabel 2.1).

Page 26: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 7

Tabel 2.1. Beberapa sifat fisika tanah pada lahan pascatambang dan tanah hutan

Sifat-sifat Fisika

Kedalaman

(cm)

Tanah

Pascatambang

Tanah Hutan

Berat Volume(g cm-3)

0-30 30-60

1,48 1,57

1,06 1,12

Porositas Total (%)

0-30 30-60

30,22 30,24

51,21 44,70

Ketahanan Tanah (kg m-

2)

0-30 30-60

3,69 3,65

0,97 1,16

Fragmen Batuan

+++ -

Sumber: Munawar (1998)

Tanah pascatambang memiliki BV lebih tinggi, berporositas lebih rendah, dan mempunyai fragmen batuan tinggi. Ini menyebabkan pertumbuhan tanaman buruk karena berkurangnya aerasi tanah dan terhambatnya penetrasi akar tanaman (Gambar 2.2). Pada tanah yang mampat laju infiltrasi dan daya pegang air turun, dan sebaliknya laju air limpasan (run-off) meningkat, sehingga tanahnya lebih rentan terhadap erosi (Barnhisel, 1988; Dollhopf and Postle, 1988).

Page 27: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

8 | Ali Munawar, Ph.D

(a)

(b)

Gambar 2.2. Tanah padat di lokasi tambang batubara (a) dan pertumbuhan akar terhambat

pada tanah mampat (b). (Foto: Munawar)

c. Erosi dan Sedimentasi.

Penebangan dan pengangkutan vegetasi penutup pada saat pembersihan lahan (land clearing) di lokasi tambang dan pembongkaran batuan penutup batubara meninggalkan hamparan lahan terbuka mengakibatkan laju erosi tanah dan sedimentasi tinggi. Selain mengakibatkan terjadinya sedimentasi pada sumber-sumber air permukaan di wilayah sekitar tambang, kandungan partikel padat yang tinggi menyebabkan penurunan kualitas air pada sumber air permukaan dan air tanah, seperti sungai dan danau (Gambar 2.3).

Page 28: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 9

(a)

(b)

Gambar 2.3. Tampakan erosi tanah (a) dan sedimentasi (b) di wilayah pertambangan

(Foto: Munawar)

2.3. Gerakan Tanah atau Longsor

Pengambilan material batuan penutup sebelum mendapatkan batubara maupun bijih mineral di bawah permukaan bumi menghasilkan limbah tanah bawahan dan batuan penutup yang jumlahnya sangat besar. Pada tambang batubara, besarnya limbah tergantung kepada streeping ratio, perbandingan antara masa batuan penutup yang harus dibongkar dan masa lapisan batubara yang diperoleh. Semakin besar batubara yang diperoleh, semakin besar batuan penutup yang harus dibongkar sebagai limbah.

Pada tambang beberapa jenis logam, jumlah bahan yang bernilai ekonomi sangat sedikit, dan sebagian besar bahan yang dibongkar dari dalam bumi menjadi limbah. Sebagai contoh: penambangan timbal (Pb) dan seng (Zn) mengasilkan 90% atau lebih, tembaga (Cu) lebih dari 99%, dan emas (Au) atau perak (Ag) yang ditambang dengan cara bawah tanah (underground

Page 29: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

10 | Ali Munawar, Ph.D

mining) menghasilkan lebih dari 99% limbah batuan dan atau tailings.

Pada tambang bijih logam batuan limbah (waste rock) dan tailings bisanya ditimbun di lokasi tertentu di wilayah pertambangan. Limbah batuan ditimbun pada timbunan disposal dan tailings ditimbun pada fasilitas penimbunan akhir atau dikenal tailing storage facilities (TSF). Karena luas wilayah operasi tambang biasanya terbatas, kadang-kadang batuan limbah ditimbun di permukaan tanah dengan ketinggian tertentu dalam jangka waktu relatif lama, sebelum sebagian atau seluruhnya ditempatkan dalam lobang tambang, sehingga bahan tersebut berpotensi bergerak atau longsor (Gambar 2.4). Penambangan terbuka di daerah pegunungan yang menyimpan sisa batuan penutup (spoil) di daerah berlereng sering gagal dan mengakibatkan longsor (Plass, 2000). Jika ini terjadi dapat mengakibatkan kerusakan infrastruktur seperti jalan atau saluran-saluran air, dan bahkan membahayakan bagi keselamatan pekerja di lokasi penambangan.

Gambar 2.4. Timbunan batuan penutup di lahan tambang. (Foto: Fajrin)

Page 30: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 11

2.4. Kehilangan Habitat dan Kehidupan Flora dan

Fauna.

Oleh karena sebagian besar lapisan batubara maupun bijih mineral berada di bawah permukaan kulit bumi, maka ekstraksinya tidak dapat dilakukan tanpa menghilangkan lapisan batuan penutup, berikut tanah dan vegetasi yang berada di atasnya (Gambar 2.5). Kegiatan pembersihan lahan (land clearing) pada tahap awal kegiatan penambangan ini jelas mengakibatkan hilangnya sebagian atau seluruh habitat flora dan fauna baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah, seperti bakteri dan jamur yang memiliki peran sangat penting dalam proses perkembangan tanah dan daur hara di dalam tanah. Vegetasi merupakan bahan pakan esensial, tempat tumbuh atau berlindung, atau tempat bersarang jenis hewan tertentu, sehingga kehilangan vegetasi mengurangi kualitas dan kuantitas habitat hidup bagi kebanyakan hewan daratan. Fauna liar yang bersifat mobil, seperti burung, monyet, babi hutan, dan lain-lain mungkin dapat meninggalkan habitatnya yang terganggu ke daerah sekitarnya yang tidak terganggu. Sementara beberapa jenis fauna yang sebagian besar hidupnya di dalam tanah, seperti sebangsa reptilia, rodensia, dan hewan-hewan kecil akan terdampak lebih serius. Dampak terhadap habitat juga dapat terjadi di lokasi yang jauh dari tapak penambangan terbuka. Bahan sedimen dan air yang mengandung bahan meracun dapat terbawa aliran ke luar wilayah tambang dapat merusak habitat organisme akuatik

Page 31: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

12 | Ali Munawar, Ph.D

di sungai dan saluran air lain yang berjarak jauh dari lokasi tambang.

(a)

(b)

Gambar 2.5. Habitat tumbuhan yang masih utuh (a) dan kondisi setelah ditambang (b).

(Foto: Munawar)

2.5. Penurunan Kualitas Udara

Penurunan kualitas udara di daerah pertambangan dan sekitarnya terjadi terutama akibat debu terbang & partikel-partikel padat lain yang berhamburan di udara akibat pembongkaran tanah dan lapisan batuan penutup, konstruksi infra struktur tambang, serta lalu-lalangnya peralatan berat dan kendaraan operasional di dalam dan di sekitar sekitar lokasi penambangan. Selain itu, penggunaan bahan bakar pada kendaraan dan peralatan tambang selama tambang beroperasi berpotensi menghasilkan gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), sulfir dioksida (SO2), dan lain-lain yang dipancarkan ke atmosfer. Dilaporkan bahwa batubara merupakan bahan bakar sangat penting (40%) untuk pembangkit listrik dunia, dan menghasilkan 1/3 emisi CO2 global ke atmosfer (Shrestha & Lal, 2008).

Page 32: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 13

2.6. Lubang Tambang (Void)

Sistem penambangan batubara terbuka dengan lapisan batubara yang berada jauh di dalam kulit bumi sering meninggalkan lubang tambang yang cukup dalam, dapat mencapai ratusan meter di bawah permukaan laut. Jika tidak dikelola dengan benar, maka lubang tambang dapat menjadi sumber pencemar bagi lingkungan perairan di sekitar wilayah tambang, antara lain akibat adanya AAT dengan kemasaman dan kandungan logam-logam larut tinggi. Selain itu, tanpa pengamanan yang baik, lubang tambang berpotensi menjadi tempat terjadinya kecelakaan. Sebaliknya dengan pengelolaan yang baik, lubang tambang dapat menjadi sumber air, kolam budidaya ikan, dan tempat rekreasi yang menarik (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Lubang tambang di lahan pascatambang utnuk pemeliharaan angsa

(Foto: Munawar)

Page 33: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

14 | Ali Munawar, Ph.D

2.7. Kualitas Air dan Pembentukan Air Asam

Tambang

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, bahwa erosi dan sedimentasi merupakan salah satu dampak negatif penting yang sangat mudah dilihat oleh mata telanjang. Aliran air permukaan bukan saja membawa bahan padatan yang akan dideposisikan sebagai sedimen, melainkan juga berpotensi membawa bahan-bahan polutan yang berbahaya dan toksik bagi organisme akuatik, seperti logam-logam berat.

Selain itu, pembentukan AAT selama operasi tambang, bahkan setelah tambang yang sudah tutup, merupakan salah satu persoalan lingkungan yang sangat penting di industri pertambangan. Air asam tambang ini terbentuk ketika bahan batuan penutup dan bagian batubara yang mengandung mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS2), terangkat ke permukaan bumi sehingga bersentuhan dengan udara dan air, menyebabkan terjadinya oksidasi mineral sulfida tersebut dan menghasilkan asam sulfat yang sangat masam dan besi terlarut tinggi (Skousen et al., 1998).

Tingkat kemasaman dan komposisi logam-logam larut di dalam AAT sangat beragam, tergantung kepada tipe dan jumlah mineral sulfida dan ada tidaknya material alkalin. Keberadaan material alkalin dapat menjadi bahan penetral asam, sehingga dapat mengurangi jumlah AAT yang terbentuk. Tabel 2.2 menunjukkan beberapa sifat air dari lobang tambang yang terkontaminasi AAT dari Unit Penambangan Banko Barat PT. Bukit Asam (PERSERO) Tbk., Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Page 34: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 15

Tabel 2.2. Sifat-sifat kimia air lobang tambang terkontaminasi AAT di Unit penambangan Banko Barat PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Sifat-sifat Kimia

Satuan

Nilai

pH - 2,50 Daya Hantar Listrik (DHL) µS cm-1 1394,00 Potensial Redoks (Eh) mV 769,00 Kalsium (Ca) larut mg L-1 33,73 Magnesium (Mg) larut mg L-1 83,31 Aluminium (Al) larut mg L-1 7,36 Besi (Fe) larut mg L-1 7,78 Mangan (Mn) larut mg L-1 3,54 Sulfat (SO4) larut mg L-1 407,28

Sumber: Munawar & Riwandi (2010)

Karena tingkat kemasaman yang sangat tinggi (pH rendah), dapat mencapai di bawah 3, jika AAT mengalir ke perairan umum, seperti sungai atau danau, maka akan berdampak serius terutama kepada ekosistem akuatik, seperti kematian ikan dan organisme akuatik lainnya, air tidak layak konsumsi (Sexstone et al., 1999; Skousen et al., 1999) dan penggunaan lainnya, seperti irigasi, industri, dan rekreasi (Widdowson, 1990). Selain itu, air yang sangat masam dapat mengakibatkan korosi pipa-pipa saluran air dan bangunan-bangunan sipil perairan lainnya. Dari beragam dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan batubara seperti yang diuraikan di atas, sangat jelas bahwa dalam rangka penggunaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan, pengelolaan lingkungan pada lahan

Page 35: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

16 | Ali Munawar, Ph.D

bekas tambang batubara menjadi sebuah keharusan, yaitu melalui program reklamasi. Berbagai sumber ( Gaikwad & Gupta, 2008; Poso-Antonio, 2014) melaporkan bahwa AAT merupakan salah satu persoalan lingkungan tambang paling serius yang dihadapi oleh industri pertambangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan AAT menjadi bahan bahasan utama dalam buku ini.

Page 36: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 17

3 BAB 3. AIR ASAM TAMBANG

3.1. Pengertian Air Asam Tambang

Air asam tambang (AAT) dihasilkan oleh pelapukan mineral sulfur atau sulfida yang terdapat di tapak tambang, bijih, atau berbagai jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Lapisan batuan penutup, bahan tambang (batubara atau bijih mineral), atau limbahnya yang kaya mineral sulfida, terutama pirit (FeS2), yang terdedah (exposed) ke permukaan bumi mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan logam-logam larut (McLemore, 2008).

Air asam tambang merupakan terjemahan dari frase istilah bahasa Inggris acid mine drainage (AMD). Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan beberapa istilah lain, seperti acid rock drainage (ARD) dan acid drainage (AD), meskipun kedua istilah terakhir itu lebih umum dan tidak selalu terkait langsung dengan kegiatan tambang. Dua istilah ini sering dipakai untuk air asam yang berasal dari usikan lahan bukan tambang (non-mining land disturbance) seperti konstruksi jalan, atau bahkan terjadi secara alami (McLemore, 2008; Coil et al., 2013)

Page 37: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

18 | Ali Munawar, Ph.D

Secara pengertian istilah-istilah tersebut memiliki satu kesamaan, yaitu air asam yang berasal dari oksidasi mineral-mineral sulfida di dalam bahan atau batuan yang terdedah ke udara dan air. Dengan demikian air asam itu dapat terjadi secara alami atau konsekuensi dari kegiatan pertambangan (Akcil & Koldas, 2006; Johnson & Hallberg, 2005; McLemore, 2008). Tampaknya air asam tambang (AAT) adalah terjemahan yang paling sesuai untuk acid mine drainage (AMD), karena merujuk kepada sumber atau asalnya yakni tambang. Istilah lain yang memiliki arti lebih umum yaitu air terdampak oleh tambang (mine influenced water, MIW). Istilah ini lebih inklusif, artinya meliputi semua jenis air tambang (mine drainage), baik yang bereaksi masam maupun alkalin yang mengandung logam-logam dan kontaminan lain yang berasal dari tambang (McLemore, 2008). Istilah air logam (metalliferous drainage) merupakan bentuk AAT yang bereaksi sekitar netral yang mengandung logam berat, metaloid, dan sulfat tinggi (Australian Government, 2016). Yang terakhir ini bersumber dari tambang mineral, logam, dan metaloid.

3.2. Pembentukan Air Asam Tambang

Bahan buangan (disposal) tambang yang berpotensi menghasilkan asam berasal dari lapisan batuan penutup atau batubara atau bijih mineral yang mengandung mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS2). Beberapa jenis mineral sulfida yang sering dijumpai di daerah pertambangan disajikan pada Tabel 3.1. Jika material tersebut terdedah (exposed) ke kondisi oksidatif, sebagai

Page 38: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 19

konsekuensi dari penambangan dan pemrosesan bijih logam dan batubara (Johnson & Hallberg, 2005), maka mineral-mineral tersebut teroksidasi akibat adanya air dan udara membentuk larutan sangat masam yang kaya sulfat dan besi larut, yang kemudian mengalir sebagai air yang disebut dengan air asam tambang (AAT).

Tabel 3.1. Mineral sulfida logam di daerah Penambangan, berurutan dari segi kelimpahan (pirit sebagai penghasil asam paling dominan).

Mineral Rumus Mineral Rumus

Pirit (Pyrite) FeS2 Molibdenit (Molybdenite)

MoS2

Markasit (Marcasite)

FeS2 Milerit (Millerite)

NiS

Pirotit (Pyrrhotite) FxSx Galena PbS

Kalkosit (Chalcosite)

Cu2S Sfalerit (Sphalerite)

ZnS

Kovelit (Covellite) CuS Arsenopirit (Arsenopyrite)

FeAsS

Kalkopirut (Chalcopyrite)

CuFeS2 Bornit (Bornite)

Cu2FeS4

Banyak jenis logam berada dalam kulit bumi,

terutama dalam bentuk bijih sulfida (seperti Zn dalam spalerit) yang berasosiasi dengan pirit, sebagai jenis mineral sulfida yang paling melimpah di planet bumi. Demikian juga deposit batubara mengandung beragam konsentrasi (1-20%) sulfur piritik maupun sulfur organik (Johnson & Hallberg, 2005).

Proses pembentukan AAT dapat digambarkan oleh reaksi-reaksi di bawah ini (Akcil & Koldas,

Page 39: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

20 | Ali Munawar, Ph.D

2006; Ford, 2003; Gaikwad & Gupta, 2007; Jennings et al., 2008; Pozo-Antonio et al., 2014).

Jika bersentuhan dengan oksigen (O2) dan air (H2O), mineral pirit (FeS2) akan bereaksi membentuk asam sulfat (H2SO4), yang mengakibatkan penurunan pH dan pembebasan ion Fe2+ (fero) ke dalam air. Akibatnya, padatan terlarut total (total dissolved solids, TDS) dan kemasaman air meningkat. Kemudian, ion-ion Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+

(feri) dan akan mengalami hidrolisis membentuk besi (III) hidroksida [Fe(OH)3], seperti ditunjukkan oleh reaksi-reaski berikut:

Reaksi ini membebaskan ion-ion H+ ke lingkungan, sehingga meningkatkan kemasaman (penurunan pH). Besi (III) hidroksida yang terbentuk dalam reaksi ini biasa disebut sebagai “yellow boy”, yang berupa endapan berwarna oranye-kekuningan, sehingga air menjadi seperti berwarna merah-oranye. Besi ferri (III) tersebut dapat bertindak sebagai oksidator, yang mengoksidasi pirit dan menghasilkan besi ferro (II), sulfat, dan kemasaman, seperti ditunjukkan oleh reaksi berikut:

Reaksi perubahan besi fero (II) menjadi besi feri (III) merupakan tahap pembatas laju (rate limiting step) oksidasi pirit. Reaksi (4) tersebut terjadi pada pH yang sangat rendah, sehingga oksidasi pirit pada kondisi tersebut sangat lambat.

Page 40: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 21

Namun, ditemukan bahwa beberapa jenis bakteri tahan asam, seperti Thiobacillus ferrooxidans, dapat bertindak sebagai katalisator oksidasi besi ferro (III) pada kondisi sangat masam (pH 2,5-3,5). Bahkan peranan bakteri dalam pembentukan asam dijumpai di sebagian besar kasus (Akcil & Koldas, 2006). Oleh karena itu aktivitas bakteria sangat krusial pada pembentukan AAT.

Tingkat kemasaman, komposisi dan konsentrasi logam dalam AAT tergantung kepada jenis dan jumlah mineral sulfida dan ada tidaknya material alkalin di dalam batuan. Keberadaan material alkalin dapat menjadi bahan penetral asam, sehingga dapat mengurangi jumlah AAT yang terbentuk (Skousen, 2002). Sebagai contoh, batuan yang mengandung 5% mineral sulfida mungkin tidak menghasilkan asam akibat kandungan batuan kapur di dalam batuan yang dapat menetralisir seluruh asam yang dihasilkan. Sebaliknya, batuan yang hanya mengandung 2% mineral sulfida dapat menghasilkan banyak asam jika batuan tidak mengandung bahan alkalin. Jika laju pembentukan asam tetap tinggi dan potensial netralisasi di dalam batuan habis, pH akan turun di bawah 3 dan AAT semakin parah.

Pembentukan asam dapat berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan berabad-abad sampai dengan semua mineral sulfida benar-benar habis teroksidasi dan batuannya menjadi lembam (inert), atau telah dilakukan pengelolaan limbah secara khusus atau langkah-langkah pengendalian AAT. Fakta menunjukkan bahwa beberapa tambang bersejarah (historic mines) seperti Iron Mountain Mine di Kalifornia, Amerika Serikat, yang beroperasi pada

Page 41: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

22 | Ali Munawar, Ph.D

tahun 1860-an dan ditutup 1963 diketahui masih menghasilkan AAT yang membunuh ikan salmon pada tahun 1940-an. Bahkan tambang di zaman Kekaisaran Romawi di Inggris Raya masih menghasilkan AAT 2000 tahun setelah penutupan tambang (Coil et al., 2013). Oleh karena itu sesungguhnya pembentukan AAT sudah berlangsung berabad-abad dari tambang bersejarah. Di era modern saat ini kegiatan penambangan terus berlangsung bahkan makin meningkat, konsekuensinya persoalan lingkungan yang disebabkan oleh pembentukan AAT mungkin akan semakin parah dan berbahaya bagi generasi yang akan datang.

Sifat AAT sangat beragam dan unik untuk setiap tambang, karena pembentukannya ditentukan oleh banyak faktor (Akcil & Koldas, 2006; Galkwad & Gupta, 2008). Secara umum AAT memiliki satu atau lebih ciri dari empat komponen, yaitu (i) tingkat kemasaman tinggi (pH rendah), (ii) konsentrasi logam tinggi (terutama Fe, Al, Mn), (iii) konsentrasi sulfat tinggi, dan (iv) kandungan padatan terlarut tinggi.

Oleh karena tingkat kemasaman yang tinggi dan mengandung logam-logam amfoterik, maka tingkat kemasaman AAT ditentukan oleh konsentrasi ion hidrogen dan kemasaman mineral, terutama dari logam Fe, Al, dan Mn larut. Berdasarkan riset panjang di negara-negara bagian timur Amerika Serikat yang kaya akan batubara, Skousen (1996) menganjurkan agar kemasaman AAT dihitung dengan memasukkan unsur konsentrasi logam, seperti berikut:

Page 42: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 23

Kemasaman= 50 (2 Fe2+/56 + 3 Fe3+/56 + 3 Al3+/27 + 2 Mn2+/55 + 1000 (10-pH)

dengan kemasaman dalam mg/L CaCO3 eqivalen, konsentrasi logam dalam mg/L, dan 50 mentransformasi milieqivalen (me) kemasaman menjadi mg/CaCO3 equivalen. Untuk AAT dengan pH < 4,5 (tidak ada alkalinitas), persamaan ini dianggap cukup akurat.

3.3. Sumber Air Asam Tambang

Dalam proses pertambangan, mulai dari pembongkaran dan pengerukan lapisan batuan penutup dan pengolahan bahan tambang (batubara maupun bijih metal/mineral) dan pembuangan limbahnya, ada kemungkinan bahan-bahan yang berpotensi membentuk AAT tersebar dan berada di beberapa lokasi dalam lingkungan tambang. Pengetahuan keberadaan bahan-bahan tersebut penting dalam upaya asesmen beban yang diakibatkan oleh kemasaman dan logam-logam terkandung di dalam AAT dan pengelolaannya.

3.3.1. Penimbunan Batuan Limbah

Batuan limbah (overburden spoil) yang dihasilkan pada operasi penambangan batubara dan batuan buangan (waste rock) dari proses penambangan logam biasanya ditumpuk di atas tanah dalam lokasi tambang. Selama berada dalam tumpukan bahan-bahan tersebut mengalamai pelapukan fisik maupun kimia dapat menyebabkan persoalan lingkungan jika mengandung mineral sulfida, termasuk pembentukan AAT (Shokouhi et al., 2014) yang kemudian dapat merembas

Page 43: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

24 | Ali Munawar, Ph.D

keluar dari bagian bawah tumpukan atau mengalir di bawah tumpukan ke air tanah.

3.3.2. Tumpukan Batubara atau Bijih Mineral

Tumpukan batubara yang sudah dipecah (crushed) menjadi batubara berukuran lebih kecil (lembut), batubara buangan (coarse reject), dan bijih mineral memiliki kondisi yang hampir sama dengan tumpukan batuan limbah. Namun karena partikelnya lebih lepas, maka oksigen lebih mudah masuk dan dapat menyebabkan pembentukan AAT (Shokouhi et al., 2014).

3.3.3. Fasilitas Penimbunan Tailings

Meskipun tailings lebih sering didefinisikan sebagai bahan-bahan pada yang dihasilkan dari penggilingan dan pemrosesan bijih pada penambangan mineral atau logam, istilah ini juga dipakai untuk bahan limbah berukuran butir-halus (kurang dari 1 mm) yang berasal dari pemrosesan batubara (Shokouhi et al., 2014). Karena ukuran partikelnya yang halus tailings pada tambang batua bara maupun mineral atau logam, jika mengandung mineral sulfida, maka bahan ini lebih reaktif dengan air dan udara dan membentuk AAT. Air asam tambang dari tailings dapat berupa alir lindian yang merembas keluar dari bendung maupun sebagai air mengalir lindian yang mengalir ke dalam air tanah.

3.3.4. Lubang Tambang dan Singkapan Terbuka

Dinding lubang tambang yang terbentuk pada penambangan secara terbuka mungkin mengandung mineral-mineral sulfida yang berpotensi membentuk AAT. Pembentukan

Page 44: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 25

terjadi jika batuan dinding tambang yang mengandung mineral sulfida terdedah ke udara, yakni ketika air didalam lubang tambang berkurang atau dipompa keluar. Ketika hujan turun mengalir pada dinding lubang tambang, maka AAT terbentuk dan mengalir ke dalam lubang tambang. Jika dinding lubang dibiarkan terbuka (tidak tergenang air), maka akan terjadi pembentukan AAT.

3.4. Dampak Air Asam Tambang terhadap

Lingkungan

3.4.1. Sumberdaya Air Air asam tambang merupakan polutan atau

pencemar lingkungan yang dapat merusak sumberdaya air di wilayah pertambangan di seluruh dunia (Zipper et al., 2009). Bahkan Gaikwad & Gupta (2007) menyatakan bahwa AAT merupakan satu-satunya sumber polusi non-point paling besar, karena tingkat kemasaman yang tinggi sehingga makhluk hidup tidak mampu bertahan hidup. Karena tingkat kemasamannya ekstrim, AAT dapat memobilisasi logam-logam, seperti Al, Fe, dan Mn, dan logam-logam berat yang lain (Cu, Fe, Hg, Ni, Pb, dan Zn) dan metaloid seperti As yang dibebaskan dari mineral-mineral sulfida dan mineral-mineral lain yang berasosiasi (Johnson & Hallberg, 2005). Air asam tambang juga mengandung garam mineral larut (total dissolved solids, disingkat TDS), termasuk sulfat yang dihasilkan oleh oksidasi mineral, logam-logam, dan komponen mineral larut lain (PIRAMID Consortium, 2003; Zipper et al., 2009).

Page 45: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

26 | Ali Munawar, Ph.D

Pada tahun 1989 diperkirakan 19.300 km sungai dan sekitar 72.000 ha danau dan penyimpan air lainnya di dunia telah rusak oleh AAT. Pada tahun 1996, di Amerika Serikat sendiri sekitar 20.000 km perairan dan sungai terdampak oleh AAT, dan sebagian besar perairan ini tercemar AAT yang berasal dari tambang tua dan terlantar (Skousen et al., 1996). Air sungai yang tercemar AAT menyebabkan korosi pipa dan bangunan logam, merusak dinding, dan membunuh tumbuhan dan organisme akuatik yang lain (Gaikwad & Gupta, 2008). Tingkat kemasaman AAT yang tinggi mampu merusak sistem sangga bikarbonat air oleh tingginya ion H+ menjadi asam karbonat, kemudian menjadi air dan CO2, sehingga pasokan sumber karbon bagi organisme fotosintetik berkurang atau hilang. Tingginya konsentrasi logam berat dan metaloid pada AAT dapat meracun organisme akuatik, yang kemudian dapat berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan. Terjadinya reaksi metilasi merkuri (Hg), logam-logam dan metaloid larut yang lain pada pH rendah mengakibatkan perubahan menjadi bentuk senyawa yang lebih meracun (Lottermoser, 2007).

Ketika AAT mengalir dan mengalami netralisasi oleh bahan alkalin, tingkat kemasaman berkurang dan membentuk endapan oksida/hidroksida besi yang berwarna oranye/merah (ochre) atau disebut juga “yellow boy” (Gambar 3.1). Endapan ini sering dijumpai di dasar saluran air atau sungai (stream bed), yang dapat mengganggu kehidupan jentik-jentik dan merusak rantai makan di dalam ekosistem akuatik. Keberadaan endapan oksida/hidroksida

Page 46: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 27

diketahui dapat mengurangi ketersediaan tempat bertelur ikan, dan dapat berakumulasi pada insang ikan, sehingga mengganggu sistem respirasi yang dapat menyebabkan kematian ikan.

Gambar 3.1. Endapan oksida/hidroksida besi

berwarna merah pada dasar saluran air dengan pH air sangat asam. (Foto: Munawar)

3.4.2. Sumberdaya Tanah

Pada proses reklamasi (rehabilitasi) lahan tambang, bahan-bahan yang dikembalikan sebagai backfill atau dijadikan bahan tanah untuk direvegetasi sering masih mengandung atau bercampur dengan bahan yang berpotensi menghasilkan asam (potentially acid forming materials, PAF). Akibatnya, AAT dapat terbentuk di dalam tanah tersebut, yang kemudian dapat meningkatkan tingkat kemasaman tanah. Pada kondisi sangat masam, mineral-mineral di dalam tanah mudah larut dan dapat membebaskan logam-logam seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg (Environment Australia, 1997; Jenning et al., 2008). Pada kondisi seperti ini, maka tanah menjadi media yang kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman dan organisme tanah

Page 47: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

28 | Ali Munawar, Ph.D

penting yang lainnya. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa program revegetasi pada tanah-tanah yang kaya mineral sulfida (PAF) kurang berhasil (Gambar 3.2). Di samping itu, AAT yang terbentuk di dalam tanah dapat mengalir bersama aliran permukaan (run-off), air rembesan (seepage), atau air lindian (leachate), yang kemudian mengalir mencemari tanah dan sumber-sumber air permukaan, seperti sungai dan danau, dan bahkan air tanah di sekitar daerah tambang.

Choudhury et al. (2017) dalam penelitiannya menggunakan padi lokal di percobaan pot di India Utara menemukan bahwa tanah sawah yang terkontaminasi AAT menghasilkan padi 64% lebih rendah daripada tanah yang tidak terkontaminasi. Peneliti tersebut menjelaskan bahwa penurunan hasil padi tersebut disebabkan oleh peningkatan kemasaman tanah, yang mengakibatkan konsentrasi Al3+ dapat ditukar (Al-dd) menjadi dua kali lipat, beberapa logam berat (Fe, Mn dan Cu) larut jauh di atas batas kritis, dan penurunan ketersediaan unsur fosforus (P), kalium (K), dan seng (Zn) sampai 32-62%.

(a) (b)

Gambar 3.2. Tanah kaya bahan pembentuk asam (a) dan vegetasi mati pada lahan terkena rembesan AAT dari tanah

pada lahan yang sudah direklamasi (b). (Foto: Munawar)

Page 48: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 29

4 BAB 4. PENGELOLAAN AIR ASAM

TAMBANG

4.1 Pendekatan Preventif

Pengelolaan AAT yang terbaik adalah dengan cara mencegah atau menghentikan pembentukan AAT itu sendiri, sebagaimana ungkapan “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Berdasarkan proses atau reaksi-reaksi pembentukan AAT seperti disebutkan pada Bab II di atas, maka pengendalian AAT dapat dilakukan secara preventif, yaitu dengan mencegah, mengurangi atau menghambat pembentukan asam melalui pengelolaan material disposal yang berpotensi membentuk asam.

Teknik preventif yang sudah banyak diteliti dan diterapkan pada umumnya mendasarkan kepada tiga mekanisme atau prinsip, yaitu (i) pencegahan terjadinya reaksi-reaksi pembentukan asam secara kimiawi, (ii) penghambatan pertumbuhan jasad renik yang bertindak sebagai katalisator reaksi pembentukan asam, dan (iii) perlakuan secara fisik atau geoteknik untuk meminimalkan kontak antara bahan berpotensi

Page 49: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

30 | Ali Munawar, Ph.D

membentuk asam (mengandung pirit) dengan air dan udara, dan pelindian. Di bawah ini secara singkat dibahas beberapa teknik preventif yang sudah diterapkan dalam pengelolaan bahan disposal tambang untuk mencegah, mengurangi, atau menghambat pembentukan AAT.

4.1.1. Penanganan Selektif dan Penempatan Batuan Penutup

Proses penanganan selektif dan penempatan terdiri dari dua tahap, yakni analisis geokimia material batuan penutup dan pelaksanaan. Tahapan analisis geokimia ditujukan untuk identifikasi jumlah, lokasi, dan komposisi material pembentuk asam di dalam batuan penutup. Hasil analisis tersebut kemudian dijadikan dasar untuk memilih metode penambangan, peralatan yang tepat, dan teknik penanganan bahan berpotensi membentuk asam yang paling efisien.

Analisis Geokimia Batuan Analisis geokimia batuan bertujuan untuk mengidentifikasi potensi produksi asam dari lapisan-lapisan batuan penutup apakah sebagai penghasil asam, netral, atau penghasil alkalinitas (alkalin). Salah satu cara yang paling banyak dilakukan adalah dengan Analisis Akun Asam-Basa (Acid-Base Accounting, ABA) dan Uji Pembentukan Asam Bersih (Net Acid Generation, NAG). Ada beberapa uji yang diperlukan untuk penetapan apakah suatu bahan berpotensi membentuk asam atau tidak, yaitu: (i) Uji pH1:2 dan daya hantar listrik (DHL)1:2; (ii) Penetapan jumlah total sulfur (S); (iii) Uji Kapasitas

Page 50: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 31

Netralisasi Asam (Acid Neutralizing Capaciy, ANC); (iv) Potensi Menghasilkan Asam Neto (Net Acid Producing Potential, NAPP), yang dihitung berdasarkan kandungan S total dan ANC; dan (v) Uji Hasil Asam Neto (Net Acid Generation, NAG). Secara lengkap prosedur untuk melakukan uji-uji tersebut dapat dilihat pada ARD Test Handbook yang dikeluarkan oleh AMIRA International Tahun 2002 (Ian Wark Research Institute, 2002). Uji-uji tersebut menghasilkan dua parameter penting dari bahan, yaitu kemasaman potensial maksimum (maximum potential acidity, MPA) dan kapasitas menetralisir asam (acid-neutralizing capacity, ANC) yang digunakan untuk menentukan potensi bahan.

Besarnya MPA dihitung dengan rumus:

MPA (kg H2SO4/t) = (Total S%) x 30,6

Nilai ANC menggambarkan kemampuan netralisasi bahan di dalam sampel terhadap asam yang terbentuk dari oksidasi pirit, yang ditetapkan dengan menambahkan asam khlorida (HCl) yang tersandarisasi ke bahan yang diketahui bobotnya, kemudian dititrasi dengan natrium hidroksida (NaOH) terstandarisasi untuk menetapkan HCl yang tidak bereaksi. Jumlah asam (HCl) yang dikonsumsi dihitung sebagai MPA dalam kg H2SO4/t. Selisih antara MPA dan ANC disebut dengan potensial memproduksi asam neto (net acid producing potential, NAPP):

NAPP = MPA – ANC

Jika MPA lebih rendah dari ANC, maka nilai NAPP negatif (-), yang menunjukkan bahwa bahan memiliki ANC tinggi sehingga dapat

Page 51: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

32 | Ali Munawar, Ph.D

menghalangi pembentukan asam. Sebaliknya, jika MPA lebih besar dari ANC maka nilai NAPP positif (+), yang berarti bahwa bahan tersebut berpotensi menghasilkan asam. Selanjutnya bahan-bahan yang diuji dikelompokkan menjadi salah satu dari tiga kategori berikut: (i) bahan yang tidak berpotensi membentuk asam (non-acid forming, disingkat NAF), (ii) bahan yang berpotensi membentuk asam (potentially acid forming, disingkat PAF), dan (3) tidak tentu (Uncertain, disingkat UC).

Non-acid forming (NAF) Suatu sampel masuk kategori NAF, bisa

memiliki kandungan S tinggi atau rendah, tetapi yang lebih penting sampel tersebut memiliki ANC yang lebih dari cukup untuk menetralisir semua asam yang secara teoritis dihasilkan dari oksidasi mineral sulfida. Dengan demikian, bahan yang digolongkan sebagai NAF tidak berpotensi menghasilkan AAT. Suatu bahan disebut NAF jika memiliki NAPP negatif (-) dan pHNAG akhir > 4,5. Jika kandungan S-nya >1%, investigasi lebih rinci diperlukan untuk meyakinkan bahwa nilai ANC yang terukur sama dengan laju produksi asam dari oksidasi mineral sulfida.

Potentially acid forming (PAF) Sebuah sampel digolongkan bahan PAF

selalu memiliki kandungan S dari mineral sulfida tinggi, sehingga potensinya untuk menghasilkan asam melebihi kapasitas netralisasi dari bahan tersebut. Sebuah sampel dikategorikan PAF jika memiliki NAPP positif (+) dan pHNAG akhir <4,5.

Page 52: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 33

Uncertain (UC) Penggolongan ke dalam UC digunakan jika

ada kontradiksi antara hasil uji NAPP dan pHNAG. Misalnya NAPP-nya positif (+) dan pHNAG >4,5; atau NAPP negatif dan pHNAG = 4,5).

Dalam pembuatan model distribusi PAF-NAF, maka sampel batuan dapat diperoleh dari hasil pengeboran (drill cores) pada tahap eksplorasi maupun geoteknik seperti pada Gambar 4.1. Kegiatan pengambilan sampel batuan diharapkan mampu mewakili setiap stratigrafi dan litologi batuan dari area yang akan ditambang. Dari hasil uji tersebut dapat dibedakan karakteristika antar lapisan atau dari permukaan sampai kedalaman lapisan batubara (Sobek, et al., 1996). Setiap lapisan dapat diidentifikasi dengan warna, jenis batuan, dan ketebalan batuan.

Gambar 4.1. Hasil pemboran lapisan batuan (Foto: Munawar)

Di samping mengetahui sifat-sifat geokimia bahan batuan penutup, karakteristik hidrologi pada tapak tambang sangat penting dalam menetapkan lokasi untuk penempatan material

Page 53: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

34 | Ali Munawar, Ph.D

berpotensi penghasil asam. Secara umum, jalan terbaik adalah menjaga bahan-bahan berpotensi membentuk asam dihindarkan dari air agar tidak terjadi pelindian asam ke saluran air. Adapun startegi penempatan adalah memperkecil luas permukaan total material penghasil asam, dan sebaliknya berupaya untuk memaksimalkan luas permukaan bahan-bahan penghasil alkalinitas (bahan alkalin).

Pencampuran dan Penempatan Bahan Jika analisis geokimia menunjukkan adanya

material penghasil alkalinitas untuk menetralisir material penghasil asam, maka pencampuran (blending) kedua material tersebut menjadi pilihan. Ada dua cara pencampuran, yaitu (i) dengan mendorong dan mencampur material alkalin dan penghasil asam bersama-sama dengan peralatan pada saat pengambilan dan penempatan batuan penutup; dan (ii) dengan pelapisan, yakni dengan menempatkan satu lapisan alkalin di atas satu lapisan material penghasil asam.

Selain itu material penghasil asam dapat diisolasi dengan menempatkan material tersebut jauh dari dinding dan di atas lantai lobang backfill, untuk membatasi kontak antara bahan penghasil asam dengan oksigen dan air. Isolasi dapat dilakukan dengan menempatkan bahan alkalin di atas, di bawah, dan di sekeliling bahan penghasil asam. Isolasi yang bagus adalah dengan menempatkan penahan tidak tembus air dan udara atau bahan padat (compacted) di atas atau sekeliling bahan penghasil asam (Gambar 4.2). Jika material pembentuk alkalinitas tidak mencukupi, bahan-bahan alkalin seperti batu kapur pertanian atau

Page 54: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 35

jenis produk-produk kapur yang lain dapat digunakan membantu menetralisir.

Gambar 4.2. Bahan penghasil asam tertutup

bahan kedap air dan udara

Penanganan selektif tidak harus berdiri sendiri, tetapi dapat digunakan secara komplementer dengan teknik-teknik lain.

4.1.2. Penataan Lahan dan Revegetasi

Penataan permukaan lahan dan revegetasi secara bersamaan merupakan metode untuk mengurangi beban asam dari tapak penambangan yang masih beroperasi atau yang sudah selesai. Penutupan bahan berpirit pada suatu tapak penambangan dengan bahan tanah yang bagus dan penanaman vegetasi di atasnya mempunyai dampak utama yang berupa berkurangnya konsentrasi asam di dalam air dan menurunkan jumlah aliran air dari wilayah tambang akibat dari meningkatnya infiltrasi ke dalam tanah dan evapotranspirasi oleh tanaman. Keberadaan vegetasi penutup secara drastis menurunkan laju dan jumlah air

PAF

H2O O2

Page 55: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

36 | Ali Munawar, Ph.D

limpasan (run-off), dibandingkan dengan permukaan lahan yang terbuka, sehingga mengurangi penyebaran AAT.

4.1.3. Penambahan Bahan Alkalin

Penambahan bahan-bahan alkalin diketahui mampu mengendalikan pembentukan AAT. Teknik ini dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan (i) mencampur (blending) langsung bahan alkalin dengan material berpirit untuk menghambat pembentukan asam/oksidasi pirit, dan menetralkan asam yang terbentuk di tempat, (ii) memasukkan bahan alkalin sebagai lapisan ke dalam backfill atau spoil; (iii) menempatkan bahan alkalin dalam bentuk pecahan batu kapur ke dalam parit (saluran) atau terowongan untuk menghasilkan alkalinitas; (iv) ditempatkan di atas atau dekat dengan permukaan bahan pembentuk asam untuk memacu pertumbuhan tanaman dan menciptakan air alkalin yang akan bergerak ke bawah melalui disposal; dan (v) penutupan (capping) bahan penghasil asam dengan bahan alkalin di atas dan di bawahnya. Beberapa contoh reaksi netralisasi asam dengan bahan-bahan alkalin dapat dilihat di bawah ini.

Netralisasi larutan dengan kalsit:

H2SO4 + CaCO3 == CaSO4 + H2O + CO2 Netralisasi larutan dengan dolomite:

2H2SO4 + CaMg(CO3)2 == CaSO4 + MgSO4 + 2H2O + 2CO2 Netralisasi permukaan dengan kalsit

(permukaan-Al)+(permukaan-H)+H2O+2CaCO3 = 2(liat-Ca) + Al(OH)3 + 2CO2

Page 56: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 37

Bahan-bahan alkalin yang dapat digunakan antara lain batu kapur, dolomit, oksida kalsium dan magnesium, sisa-sisa pembakaran batubara (fly ash), batuan fosfat, dan limbah organik. Munawar et al. (2017) dalam percobaan dengan kolum pelindian menemukan bahwa dolomit dan pupuk kandang mampu menekan pembentukan AAT dari batuan kaya sulfida, yang ditandai dengan peningkatan pH sampai dengan 7 dan penurunan Al dan Fe larut secara signifikan, meskipun pemberian keduanya tidak mampu menekan konsentrasi Mn pada AAT.

4.1.4. Pemberian Bakterisida

Bakterisida digunakan untuk mengontrol pertumbuhan bakteri yang menjadi katalisator perubahan Fe2+ menjadi Fe3+, sehingga dapat mengendalikan okidasi pirit. Bakterisida bekerja dengan baik jika mineral sulfida masih segar dan belum teroksidasi, seperti pada refuse conveyor. Dilaporkan bahwa pemberian bakterisida ke tumpukan refuse dan material pirit yang baru dapat mengurangi produksi asam sekitar 60% sampai 90%. Keberadaan senyawa surfaktan anion (natrium sulfat dan alkil bensena sulfonat) dalam bakterisida menyebabkan ion-ion H+ dari lingkungan yang sangat masam bergerak dengan bebas ke dalam atau melewati membran sel bakteri yang menyebabkan kematian.

Penerapan metode ini masih terbatas karena bahannya sangat mudah larut dan bergerak atau terlindi bersama air, sehingga perlu diberikan berulang-ulang untuk mencegah pertumbuhan bakteri lagi. Selain itu

Page 57: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

38 | Ali Munawar, Ph.D

bahan tersebut juga dijerap oleh permukaan mineral liat, sehingga tidak mencapai sasaran antara pirit-bakteri. Pemberian bakterisida biasanya digunakan secara kombinasi dengan metode pengendalian yang lain.

4.1.5. Pemberian Fosfat

Banyak perhatian terhadap penggunaan batuan fosfat untuk mengendalikan oksidasi pirit. Fosfat bereaksi dengan Fe yang dilepaskan selama oksidasi pirit membentuk pelapisan tidak larut. Ada tiga mekanisme bagaimana batuan fosfat atau batuan apatit [(Ca5(F,Cl,OH-0.5CO3)(PO4)3] mengendalikan oksidasi pirit. Pertama, pelarutan batuan fosfat dan membebaskan ion fosfat ke larutan yang kemudian bereaksi dengan Fe(III) (oksidator) atau Fe (II), yang masing-masing akan mengendap sebagai strengite (FePO4.2H2O) atau vivianite (Fe3(PO4)2.8H2O). Kedua, pengendapan Fe(PO4).2H2O yang dapat melapisi permukaan mineral, sehingg menghalangi difusi O2 ke permukaan pirit, akibatnya oksidasi pirit berhenti. Ketiga, peningkatan pH akibat PO43- bertindak sebagai basa lemah, yang dapat membatasi ketersediaan Fe(III) di dalam larutan, sehingga oksidasi pirit berkurang.

4.1.6. Enkapsulasi

Teknik ini merupakan pembungkusan material penghasil asam dengan bahan tidak tembus (impermeable) untuk membatasi kontak antara bahan tersebut dengan air dan udara. Bahan ini dapat berupa plastik sintetik, bahan liat,

Page 58: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 39

campuran abu batubara (fly ash) yang dicampur semen, atau bahan padat lainnya yang menghasilkan lapisan dengan konduktivitas rendah. Bahan pembungkus dapat juga terbuat dari bahan alkalin. Teknik ini dilakukan dengan pemadatan material penghasil asam terlebih dahulu kemudian ditutup dengan material liat atau tanah pucuk dan bahan juga dipadatkan. Kekurangan dari metode ini adalah biaya mahal dan dengan lamanya waktu bahan penutup tersebut dapat mengalami kerusakan.

4.1.7. Pemberian Bahan Organik

Bahan organik dapat menghambat okidasi pirit melalui beberapa mekanisme, yaitu (i) konsumsi O2 oleh pertumbuhan bakteri selain Thiobacillus ferrooxidans atau T. thiooxidans, (2) pengangkutan Fe(III) dari larutan melalui kompleksasi, dan (iii) pembentukan kompleks pirit-Fe(II)-humat.

Penutup organik di atas material bersulfida dapat menekan oksidasi senyawa-senyawa tersebut. Lapisan organik, yang dicirikan oleh alkalinitas dan kapasitas tukar kation yang tinggi dan rendahnya permeabilitas, menjadi penghalang secara fisik maupun kimiawi terhadap difusi O2 ke dalam lapisan sulfida. Keberadaan hara di dalam bahan organik membantu pertumbuhan vegetasi penutup, yang memperindah daerah yang direklamasi. Penggunaan humus dan tanah pucuk yang dicampur dapat mengurangi pembentukan AAT.

Page 59: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

40 | Ali Munawar, Ph.D

4.2 Pendekatan Kuratif

Pengelolaan kuratif atau remediatif merupakan tindakan yang dilakukan setelah AAT terbentuk di wilayah penambangan aktif atau pascatambang. Sejumlah teknik remediasi AAT telah lama dikembangkan dan diterapkan di banyak negara, terutama negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Skousen et al., 1998) .

Secara garis besar teknik remediasi AAT dibedakan menjadi dua, yakni perlakuan aktif (active treatment) dan perlakukan pasif (passive treatment). Prinsip perlakuan pasif adalah dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH AAT dan menurunkan kelarutan logam (Skousen et al., 1999; Zipper et al., 2009), sedangkan pada perlakukan pasif AAT dibiarkan mengalami proses biologis, geokimia, dan gravitasi, sehingga tidak memerlukan pemeliharaan rutin atau pemberian bahan-bahan kimia seperti pada perlakukan aktif. Skousen et al. (2000) menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Oleh karenanya, selama lebih dari tiga dekade terakhir penggunaan metode pasif terus meningkat.

4.2.1. Perlakuan Aktif

Di alam perlakuaan aktif, AAT dinetralisir dengan penambahan bahan kimia atau agen penetralisir yang lain secara terus menerus. Penambahan bahan alkalin ke dalam AAT akan meningkatkan pH, mempercepat laju reaksi oksidasi besi fero (Fe2+), dan menyebabkan pengendapan sebagian besar logam-logam larut sebagai hidroksida atau karbonat. Beberapa

Page 60: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 41

bahan alkalin (penetral asam) yang sering digunakan dalam perlakukan, seperti batukapur, dan kapur tohor disajikan pada Tabel 4.1.

Selain khemikalia alkalin untuk menetralkan AAT, pada kondisi tertentu digunakan juga bahan oksidan dan flokulan/koagulan. Bahan oksidan, seperti hidrogen peroksida, kalium permanganat, dan alun digunakan ketika aerasi natural tidak mencukupi untuk terjadinya oksidasi. Oleh karena itulah, oksidasi menjadi faktor pembatas efisiensi sistem perlakuan AAT. Bahkan dalam banyak hal, biaya perlakuan kimiawi dapat berkurang banyak jika aerasi dan oksidasi menjadi bagian dari sistem perlakuan (Skousen et al., 1996b).

Flokulan dan koagulan digunakan secara terbatas, yakni jika komposisi mineral, tingkat aerasi, atau waktu retensi AAT di dalam kolam pengendapan tidak cukup untuk mengendapkan logam. Flokulan/koagulan berfungsi untuk mengurangi gaya-tolak listrik pada permukaan partikel, sehingga mendorong terjadinya konsolidasi antar partikel-partikel halus menjadi partikel yang lebih besar, yang kemudian dapat mengendap. Bahan flokulan dan koagulan berfungsi menggabungkan partikel-partikel halus dengan cara menjembatani jarak antara pertikel dengan bahan kimia, membentuk partiklel yang lebih besar (Skousen et al., 1996a, 1996b). Proses koagulasi dan flokulasi menyebabkan pembentukan partikel-partikel yang lebih besar, sehigga mendorong pengendapan (Skousen et al., 1996b). Bahan flokulan dan oksidan dapat bekerja dengan baik, tetapi harganya mahal. Oleh karena itu, kedua bahan tersebut dapat digunakan hanya

Page 61: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

42 | Ali Munawar, Ph.D

dalam jangka waktu singkat (Skousen et al., 1996a).

Tabel 4.1. Bahan-bahan kimia untuk oksidasi, netralisasi, dan koagulasi/flokulasi

Nama Rumus Kimia

Keterangan

Oksidan:

Kalsium Hipokhlorit

Ca(ClO)2 Oksidan kuat

Natrium Hipokhlorit

NaClO Okidan kuat

Kalsium peroksida CaO2 Trapzene, penetral asam

Hidrogen peroksida

H2O2 Okidan kuat

Kalium Permanganat

KMnO4 Sangat efektif, biasa digunakan

Penetral Asam:

Batukapur CaCO3 Digunakan pada Saluran Pengatus Anoksik dan Saluran Batukapur Terbuka

Kapur Hidroksida Ca(OH)2 Reagensia bagus, perlu pencampuran

Kapur Tohor (Quick Lime)

CaO Sangat reaktif

Briket Abu Soda Na2CO3 Sistem untuk lokasi jauh, tetapi mahal

Soda Kaustik NaOH Sangat larut, dapat digunakan dalam bnetuk padat atau cair

Amoniak NH3

atau NH4OH

Sangat reaktif dan larut

Abu Terbang CaCO3, Ca(OH)2

Nilai netralisasinya beragam

Koagulan/Flokulan:

Alun (alumunium sulfat)

Al2(SO4)3 Bahan masam, membentuk Al(OH)3

Koperas (fero sulfat)

FeSO4 Bahan masam, bereaksi lebih lambat daripada alum

Feri sulfat Fe2(SO4)3 Prioduk yang lebih reaktif dari fero

Natrium aluminat NaAlO2 Koagulan alkalin

(Sumber: Skousen et al., 1998)

Page 62: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 43

Bekerjanya perlakuan aktif melibatkan reaksi oksidasi AAT, netralisasi oleh bahan alkalin (penambahan alkalinitas) dan sedimentasi (penambahan flokulan/koagulan). Reaksi oksidasi sangat penting karena penambahan oksigen ke AAT diperlukan untuk terjadinya pengendapan logam sebagai hidroksida atau karbonat, dan penambahan flokulan dapat mengakibatkan pembentukan lumpur (sludge) yang lebih cepat mengendap. Penerapannya di lapangan ada bebarapa cara, dari yang sangat sederhana sampai dengan yang kompleks. Pertama, kapur dari karung disebarkan atau ditaburkan secara manual pada saluran-saluran tempat AAT berada, sebelum mengalir lebih lanjut ke kolam pengendapan atau sebelum mengalir ke perairan umum. Kedua, pencampuran mekanis dengan menggunakan kapur yang ditempatkan di dalam kotak (liming box) yang dilengkapi dengan kelep yang dapat membuka dan menutup sesuai gerakan pengaduk (rotary) sederhana. Ketika AAT mengalir melewati pengaduk, maka kelep terbuka dan kapur keluar bercampur dengan AAT. Campuran AAT-kapur dialirkan ke kolam yang didesain sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya pengadukan (pencampuran) dengan baik. Campuran yang berbentuk seperti lumpur berwarna kemerahan dialirkan ke kolam pengendapan, untuk mengendapkan logam-logam di dalam lumpur, dan baru kemudian airnya dialirkan ke perairan umum. Ketiga, teknik perlakuan yang lebih modern dengan Pengaduk Aerator. Prinsipnya sama dengan teknik kedua, tetapi pada teknik ini

Page 63: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

44 | Ali Munawar, Ph.D

pengaturan pencampuran bahan kapur dan aliran AAT didesain lebih akurat dan pengadukan campuran digunakan aerator yang digerakkan dengan tenaga listrik, sehingga pencampuran AAT-kapur berlangsung lebih baik, dan menghasilkan endapan lumpur yang lebih banyak. Dari kolam aerator, campuran yang berwarna kemerahan dialirkan ke kolam pengendapan yang luas, sehingga waktu tinggalnya (detention time) lebih lama, sebelum air mengalir ke perairan umum. Teknik perlakukan aktif memiliki beberapa keutamaan dan kelemahan. Di antara keutamaannya, antara lain: (i) efektif dan menghilangkan asam dan logam larut lebih cepat, (ii) pemantauan dapat dilakukan yang lebih reguler, (iii) pengendalian proses lebih tepat, dan (iv) tidak memerlukan tempat luas. Beberapa kelemahan perlakukan aktif meliputi (i) perlu modal besar (mahal), karena membutuhkan peralatan, bahan kimia, dan tenaga kerja lebih banyak agar sistem ini tetap beroperasi (Skousen, 1996; Lottermoser, 2007) dan (ii) harus dilakukan selama waktu yang tidak dapat ditentukan. Di Amerika Serikat industri pertambangan menghabiskan lebih dari 1 juta US$ per hari untuk pembiayaan perlakukan aktif (Evangelou, 1985; Kleinman, 1990; Lottermoser, 2007).

4.2.2. Perlakuan Pasif Perlakuan pasif merupakan teknik pengelolaan AAT yang semakin banyak diterapkan. Beberapa kelebihan perlakukan pasif dibandingkan dengan perlakuan pasif, antara lain yaitu (i) tidak memerlukan tenaga listrik; (ii) tidak memerlukan

Page 64: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 45

peralatan mekanis dan kemikalia berbahaya; (iii) tidak memerlukan operasi dan perawatan setiap hari; (iv) kenampakannya lebih alami dan estetis dan mendukung tanaman dan fauna liar; dan (iv) tidak mahal (Ford, 2003) Ada beberapa tipe perlakukan pasif AA, dan yang paling banyak digunakan adalah sistem Saluran Batukapur Terbuka (Open Limestone Channel, OLC), Saluran Batukapur Anoksik (Anoxic Limestone Drains, ALD), Lahan Basah Arobik, Lahan Basah Anaerobik, dan Sistem Penghasil Alkalinitas Suksesif (Faulkner dan Skousen, 1994; Ford, 2003). Sistem perlakuan pasif dapat menjadi komponen dari sebuah strategi perlakuan AAT secara sendiri-sendiri atau pun sebagai bagian dari kombinasi dengan perlakukan yang lain untuk mengoptimalkan penerapan sebuah sistem pengelolaan AAT (Ford, 2003; Zipper, 2009).

a. Saluran Batukapur Terbuka (OLC)

Prinsipkerja OLC adalah mengalirkan AAT pada saluran (ditch) terbuka yang diisi batukapur terbuka ke udara, sehingga terjadi reaksi netralisasi AAT oleh batukapur. Secara skematis OLC ditunjukkan oleh Gambar 4.3. Ide di belakang sistem ini adalah bahwa batukapur yang terlapisi oleh endapan besi (Fe) (armored) masih terus terlarut oleh air bersifat asam (Ziemkievicz et al., 201997). Pada OLC saluran diisi dengan pecahan batukapur berdiameter rata-rata 10 cm (Skousen et al,, 1996). Air asam tambang dialirkan sepanjang OLC sebelum dialirkan ke perairan umum. Sistem OLC ini bekerja dengan baik jika

Page 65: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

46 | Ali Munawar, Ph.D

ditempatkan pada lahan dengan kemiringan > 20% sehingga tenaga gerakan abrasif AAT yang bergerak cepat dapat membasuh dan membersihkan lapisan endapan Fe dari permukaan batuan kapur (Skousen et al., 1996; Zipper et al., 2009). Air asam tambang yang mengalir keluar dari OLC akan terlihat tercemar oleh Fe hidroksida tersuspensi berwarna oranye. Oleh karena itu setelah keluar dari OLC, AAT dialirkan ke kolam pengendapan atau lahan basah sebelum dialirkan ke perairan umum.

Pecahan batukapur ditempatkan sepanjang sisi dan dasar dari salauran.

Gambar 4.3. Diagram skematik saluran batu kapur terbuka (oxic limestone channel, OLC)

Sistem OLC tidak dapat berlaku pada setiap situasi. Meskipun dapat bekerja efektif secara sendirian, OLC tetapi lebih sering menjadi bagian dari sistem kombinasi perlakukan pasif yang lain (Zipper & Jage, 20101). Pengaliran AAT pada OLC paling tidak dapat mengurangi beban potensial pada perlakuan setelahnya.

b. Saluran Batukapur Anoksik (ALD) Berbeda dengan OLC, pada sistem saluran batukapur anoksik (anoxic limestone-drain, disingkat ALD) AAT dialirkan pada tumpukan kapur yang ditempatkan di dalam

batukapur

Page 66: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 47

galian/saluran tertutup untuk menghindari kontak dengan oksigen, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya oksidasi besi (penyumbatan oleh oksida besi) selama AAT mengalir. Secara skematis ALD ditunjukkan oleh Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Diagram skematik dari saluran batukapur anoksik (anoxic limestone drain, ALD)

Pengatus batukapur anoksik dibangun dengan menggali tanah dan diisi dengan batukapur dan kemudian ditutup dengan bahan yang dapat menghalangi masuknya oksigen dan menghindari kehilangan CO2, seperti plastik atau tanah liat yang dimampatkan atau keduanya setebal kurang lebih 60 cm (Nairn et al., 1991), dan di atasnya dapat ditanami dengan tanaman penutup. Penutupan batukapur tersebut dimaksudkan agar laju kelarutan batukapur lebih besar oleh karena tekanan parsial CO2 yang tinggi dan meniadakan pengendapan besi (Fe) hidroksida pada permukaan batukapur (Hedin et al., 1994; Johnson & Hallberg, 2005). Prinsip kerja ALD adalah batukapur yang berada di dalam saluran akan meningkatkan pH dan menambah alkalinitas AAT yang

Page 67: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

48 | Ali Munawar, Ph.D

mengalir tanpa kontak langsung dengan oksigen. Air asam yang mengalir akan melarutkan batukapur dan membebaskan alkalinitas bikarbonat. Peningkatan alkalinitas disebabkan oleh pelarutan batukapur dalam kondisi anareobik, sehingga AAT yang keluar dari saluran bersifat alkalin, seperti yang ditunjukkan oleh reaksi kimia di bawah ini. Pada saat keluar dari saluran ALD, air alkalin tersebut dialirkan ke tempat (lahan) terbuka agar logam-logam larut mengalami oksidasi, hidrolisis, dan mengendap, sebelum dialirkan lebih kanjut ke perairan umum. Tempat pengendapan ini dapat berupa lobang galian biasa, kolam pengendapan, atau lahan basah, tergantung kepada jumlah dan jenis logam larut yang ada di dalam air (Skousen, 1996).

CaCO3 + H+ Ca2+ + HCO3-

Ada beberapa faktor penting yang perlu diketahui sebelum memilih ALD sebagai perlakuan AAT, yaitu: (a) laju aliran (flow), (b) kandungan oksigen larut, (c) tingkat kemasaman dan alkalinitas, (d) konsentrasi Fe dalam bentuk feri (3+) dan fero (2+), dan (e) konsentrasi Al (Skousen, 1996). Laju aliran air perlu dijadikan pertimbangan penting karena keterbatasan ukuran dan ketersediaan lahan di wilayah pertambangan. Sistem pengendalian pasif ini bekerja paling baik jika laju aliran kurang dari 100 gpm, tetapi jika kemasaman mineral (konsentrasi Fe, Al, dan Mn) rendah aliran lebih besar dari 100 gpm masih memungkinkan. Konsentrasi oksigen

Page 68: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 49

berkaitan dengan status oksidasi/reduksi AAT yang diukur sebagai potensial redoks (Eh). Brodie et al. (1991) menyarankan agar ALD digunakan jika Eh sama dengan atau kurang dari 0 (nol). Tingkat kemasaman menentukan alkalinitas yang perlu ditambahkan untuk mengubah H+ menjadi air dan agar logam mengendap. Dilaporkan jika tingkat kemasaman lebih besar dari 300 mg L-1, ALD tidak dapat bekerja dengan baik. Agar ALD bekerja efektif, sebagian besar Fe harus dalam bentuk fero atau tereduksi, karena jika dalam bentuk feri akan terjadi pengendapan yang menyumbat saluran (clogging) dan besi hidroksidsa mengendap di permukaan batukapur (armoring). Aluminium mengendap pada pH>5 dan pada konsentrasi tinggi (>25 mg L-1) dapat menyebabkan pengendapan Al di dalam saluran drainase (Skousen, 1996). Studi yang dilakukan ole Hedin et al., (1991) menunjukkan adanya peningkatan pH dari 3 menjadi 7 dan penurunan konsentrasi Al dan Fe secara tajam, sesuai dengan alkalinitas yang dihasilkan. Namun demikian, konsentrasi Mn dan SO4 tidak berubah dengan sistem ini. Metode ALD dapat bertahan 20 sampai 80 tahun jika didesain dan dibangun dengan tepat (Brodie et al., 1993). Lebih jauh Brodie et al. (1993) menyatakan bahwa jika ALD dibangun dengan tepat, batukapur di dalam ALD tidak akan terlapisi endapan Fe dan Al. Kemudian Brodie dan kawan-kawannya (Parker & Robertson, 1999) memberi petunjuk

Page 69: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

50 | Ali Munawar, Ph.D

untuk penetapan penggunaan ALD, sebagai berikut: 1. Jika alkalinitas >80 mg L-1 dan Fe >20 mg

L-1, ALD bermanfaat, tetapi harus diikuti dengan sistem lahan basah yang didesain untuk menampung laju endapan yang besar;

2. Jika alkalinitas >80 mg L-1 dan Fe <20 mg L-1, ALD tidak perlu, cukup dengan sistem lahan basah yang dirancang dengan baik;

3. Jika alkalinitas <80 mg L-1 dan Fe >20 mg L-1, ALD perlu sebagai tahap awal sebuah sistem lahan basah;

4. Jika alkalinitas <80 mg L-1 dan Fe <20 mg L-1, ALD direkomendasikan, tetapi tidak perlu;

5. Jika alkalinitas <80 mg L-1 dan Fe <20 mg L-1, ALD diperlukan jika konsentrasi Fe mendekati 20 mg L-1;

6. DO >20 mg L-1 atau kondisi oksidasi Fe terjadi (seperti pH>6, Eh>100 mV), ALD tidak perlu karena akan terjadi pelapisan batukapur (armoring);

7. Konsentrasi besi feri cukup tinggi di dalam aliran resapan kaya oksigen, ALD tidak tepat karena kemungkinan terjadi pelapisan batukapur.

Page 70: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 51

Kebutuhan batukapur untuk pembangunan ALD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

M = (Q pb td/Vv) + (Q C T/x)

M = bobot batukapur dalam ton Q = laju aliran AAT dalam m3 per hari Pb = berat volume batukapur dalam ton per m3 td = waktu retensi dalam hari, 0,625 hari

merupakan praktek baku Vv = rasio bongkahan-ruang dalam desimal C = konsentrasi alkalinitas (effluent) di dalam ton

per m3 T = masa hidup ALD, umumnya 25 tahun x = kandungan CaCO3 dalam desimal.

c. Lahan Basah Buatan

Pada teknik Lahan Basah Buatan (LBB) AAT dialirkan ke ekosistem yang dicirikan oleh tanah atau sedimen jenuh air dengan dukungan tumbuhan yang teradaptasi dengan kondisi lingkungan anaerobik. Lahan basah dapat bertindak sebagai sistem pemurnian air dan penampung hara yang efektif, karena waktu tinggal (retention) yang lama dan luasnya permukaan sedimen yang bersentuhan dengan AAT (Brinx, 1993). Lahan basah buatan (constructed wetland) dapat dibangun dengan sistem kendali yang tinggi, sehingga memungkinkan dilakukan ujicoba dengan komposisi substrat, jenis vegetasi, dan pola aliran yang diketahui secara pasti. Di samping itu, dengan lahan basah buatan memungkinkan pemilihan tempat, ukuran yang dikehendaki, pengendalian lintasan hidrolik, dan lama retensi.

Page 71: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

52 | Ali Munawar, Ph.D

Lahan basah buatan biasa dibedakan menjadi lahan basah aerobik (LBAE) dan lahan basah anaerobik (LBAN) atau lahan basah aliran vertikal (LBAV).

Lahan Basah Aerobik Lahan basah aerobik merupakan teknik pengendalaian pasif yang paling populer, karena mudah dirancang dan dibangun, dan sering memberikan pemandangan yang menarik, karena terdiri dari kolam yang luas dengan aliran permukaan horizontal yang ditumbuhi vegetasi yang indah (Gambar 4.5). Teknik ini dirancang sedemikian rupa sehingga waktu singgah AAT cukup sehingga terjadi oksidasi logam dan hidrolisis, yang menyebabkan pengendapan oksida dan hidroksida logam dan pengikatan secara fisik hidroksida logam Fe, Al, dan Mn (Skousen et al.. 1996; Skousen dan Ziemkiewicz, 1996; PIRAMIDA Consortium, 2003; Johnson & Hallberg, 2005), dan penyerapan logam oleh tanaman (PIRAMIDA Consortium, 2003).

Gambar 4.5. Diagram skematis lahan basah aerobik (a) dan contoh lahan basah aerobik yang ditanami dengan Typha angustifolia di Kalimantan Timur (b).

(Foto: Munawar)

Page 72: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 53

Teknik lahan basah aerobik efektif untuk pengendalian AAT yang bersifat agak asam atau alkalin (Johnson & Hallberg, 2005). Oleh karena itu lahan basah aerobik lebih tepat jika dibangun mengikuti teknik perlakuan lain sebelumnya yang dapat menghasilkan alkalinitas cukup tinggi. Reaksi remediatif yang terjadi di dalam lahan basah aerobik secara ringkas adalah sebagai berikut:

4 Fe2+ + O2 + 4 H+ 4Fe3+ + 2H2O 4Fe3+ + 12H2O 4 Fe(OH)3 + 12H+

Karena lahan basah aerobik didesain untuk mendorong pengendapan logam melalui proses oksidasi, maka biasanya dangkal dan ditanami tumbuhan akuatik tingkat tinggi. Selain secara estetis tampak indah, lahan basah aerobik juga untuk mengatur aliran air, menyaring dan menstabilkan akumulasi endapan besi feri, dan dengan demikian aliran air berlangsung secara horizontal (surface flow). Johnson & Hallberg (2005) menyatakan bahwa tanaman akuatik juga meningkatkan luas permukaan untuk pengendapan senyawa-senyawa besi dan mineral lain. Di samping itu, aliran oksigen dari bagian atas ke perakaran tanaman akuatik dapat mempercepat laju oksidasi besi fero. Endapan besi feri bermuatan neto positif yang terdapat di dalam lahan basah aerobik dilaporkan mampu menjerap ion-ion logam lain dan metaloid, seperti ion arsenat (AsSO43-) membentuk mineral skorodit (FeAsO4) (Bigham & Nordstrom, 2000; Johnson & Hallberg, 2005).

Page 73: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

54 | Ali Munawar, Ph.D

Hasil analisis ferihidrit (Fe3O7OH.5H2O) yang terdapat di dalam lahan basah aerobik Mansour et al., (2017) menemukan adanya beberapa jenis logam jarang (trace metals) dan metaloid seperti As, Mo, Pb, Al, dan Cu. Ini indikasi bahwa oksida besi tersebut telah menjerap atau mengendap bersama (coprecipitation) dengan unsur-unsur logam/metaloid tersebut tersebut. Penurunan konsentrasi logam oleh lahan basah aerobik tergantung kepada konsentrasi logam larut, keterbukaannya kepada udara, pH, alkalinitas, keberadaan biomasa jasad renik aktif, dan lama tinggal di dalam lahan basah (Skousen et al., 1998). Brodie (1993) melaporkan bahwa lahan basah aerobik yang menerima AAT alkalin (pH 4,5-6,3; Fe <70 mg L-1; Mn <17 mg L-1; dan Mn <30 mg L-1) mampu mengurangi logam-logam dalam AAT sampai di bawah baku mutu. Lahan Basah Anaerobik Lahan basah anaerobik, atau disebut juga lahan basah kompos (compost wetland) atau kompos-bioreaktor (compost bioreactor), terdiri dari kolam besar dengan lapisan bawah berupa substrat organik yang relatif tebal (20-60 cm) dan batukapur di bagian bawahnya, seperti yang ditujukkan oleh Gambar 4.6. Lapisan organik dapat terdiri dari campuran beberapa jenis bahan organik, tergantung kepada ketersediaan dan bahan yang sudah terpilih, meskipun pada umumnya terdiri dari bahan yang relatif mudah terdekomposisi, seperti kotoran hewan (pupuk kandang) dan bahan yang sulit terdekomposisi (rekalsitran), seperti gambut, serpihan kayu,

Page 74: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 55

serbuk gergaji atau jerami. Pada lapisan organiknya dapat atau tanpa ditanami dengan tumbuhan air (Johnson & Hallberg, 2005), seperti rumput ekor kucing (cattail, Typha spp).

Air

Bahan organik

Batu kapur

Gambar 4.6. Diagram skematik lahan basah

anaerobik

Netralisasi AAT pada lahan basah anaerobik terjadi karena peningkatan alkalinitas bikarbonat yang dihasilkan pada reduksi mikrobial oleh bakteri pereduksi sulfat (BPS), yang mampu mereduksi sulfat menjadi sulfida dengan mengoksidasi sumber bahan organik (Gibert et al., 2004; Liamleam and Annachhatre, 2007). Bahan organik merupakan donor elektron bagi BPS, sebelum BPS melakukan reduksi sulfat dari AAT, yang menghasilkan hidrogen (H2S) sulfida dan meningkatkan alkalinitas, dengan CH2O sebagai bahan senyawa organik sederhana yang mudah terdegradasi dan pelarutan batukapur, seperti yang ditunjukkan oleh reaksi berikut:

2CH2O + SO42- H2S + 2HCO3- CaCO3 + H+ Ca2+ + HCO3-

Bikarbonat yang dihasilkan menetralisir kemasaman AAT, sehingga meningkatan pH

Page 75: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

56 | Ali Munawar, Ph.D

yang menyebabkan terjadinya pengendapan besi, seperti di dalam reaksi berikut:

HCO3- + H+ H2O + CO2 (larut dalam cair)

Kondisi reduktif pada lapisan bawah lahan basah dapat menghindari terjadinya oksidasi logam dan pengendapan oksida besi pada saat melewati lapisan batukapur. Respirasi mikrobial di dalam susbtrat organik menghasilkan hirogen sulfida (H2S), yang kemudian akan bereaksi dengan berbagai jenis logam larut yang biasa dijumpai di dalam AAT membentuk sulfida logam (MeS) tidak larut, sekaligus mengurangi konsentrasi sulfat larut (Drury, 1999; Luptakova and Kusnierova, 2005; Machener and Wildeman, 1992; Song et al., 2001; Zagury et al., 2006). Reaksi antara sulfida dan logam dapat digambarkan oleh Drury (1999) dan Zagury et al. (2006) sebagai berikut:

Me2+ + S2- == MeS

Me2+ sebagai kation logam, seperti Pb, Co, Cd, Cu, Ni, Fe, dan Zn

Kondisi anaerobik dari AAT selama melewati lapisan organik dan terjadinya peningkatan konsentrasi CO2-nya dapat meningkatkan kelarutan batukapur. Lahan Basah Aliran Vertikal Lahan basah aliran vertikal (LBAV) dikembangkan pertama kali oleh Kepler & McCleary (1994), yang sebenarnya merupakan bentuk varian dari lahan basah anaerobik

Page 76: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 57

(Johnson & Hallberg, 2005) yang dikombinasikan dengan ALD untuk mengkompensasi kekurangan kedua sistem tersebut. Lahan basah aliran vertikal terdiri dari lapisan batukapur di dasar dan lapisan bahan organik di atasnya, dengan atau tanpa vegetasi. Pada LBAV lapisan batukapur dilengkapi dengan sistem drainase untuk memaksa AAT mengalir ke bawah melewati bahan organik dan batukapur, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.7. Bahan organik mengambil oksigen larut dan mereduksi besi feri (Fe3+) menjadi ion ferro (Fe2+) larut, sehingga tidak terjadi pelapisan endapan (armoring) batukapur oleh oksida besi (Watzlaf et al., 2004).

Gambar 4.7. Diagaram skematik lahan basah aliran vertikal (a) dan contoh lahan basah aliran vertikal

yang dibangun di Kalimantan Timur (b). (Foto: Munawar)

Lahan basah aliran vertikal menghasilkan alkalinitas melalui dua mekanisme, yakni reduksi sulfat oleh bakteri dan pelarutan batukapur (Nairn et. al., 2000). Dua mekanisme tersebut terjadi secara berurutan (suksesif), sehingga sistem ini disebut juga sistem penghasil alkalinitas suksesif (successive-

Page 77: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

58 | Ali Munawar, Ph.D

alkalinity producing system, disingkat SAPS). Pertama, yakni ketika AAT mengalir melewati lapisan organik akan terjadi konsumsi oksigen larut oleh bakteri aerobik yang mampu menggunakan senyawa organik sebagai sumber enerji dan reduksi sulfat oleh BPS pada zone anaerobik dalam lapisan organik yang menghasilkan kurang lebih dua mole alkalinitas per mole sulfat yang direduksi. Kedua, alkalinitas dihasilkan oleh pelarutan batukapur oleh AAT dalam kondisi anaerobik. Karena pada lapisan batukapur di dalam LBAV berada dalam kondisi reduktif, maka logam-logam larut, seperti besi tidak mengendap meskipun alkalinitas AAT meningkat, sampai besi keluar dari sistem dan bersentuhan dengan udara. Oleh karena itu, pembangunan sistem yang oksidatif, seperti kolam pengendapan sederhana atau lahan basah aerobik setelah LBAV dapat membantu pengendapan logam-logam larut (Jahnson & Hallberg, 2005). Lahan basah buatan aerobik diketahui efektif mengendapkan dan mengumpulkan dan mengendapkan logam. Dalam penelitian penerapan lahan basah buatan di lapang untuk remediasi AAT yang sangat masam (pH sekitar 3), Munawar (2008) melaporkan bahwa kombinasi antara LBAE dan LBAV dengan menggunakan bahan-bahan tersedia lokal, seperti limbah organik dari pabrik pulp & paper, pupuk kandang, batukapur, dan tanaman air jenis Typha angustifolia dapat meningkatkan pH dari sekitar 3 menjadi pH> 6 dan menurunkan konsentrasi Fe dan Mn larut. Kinerja lahan basah buatan tersebut sangat ditentukan oleh peran

Page 78: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 59

dari bahan-bahan yang relatif mudah didapatkan di sekitar lokasi tambang. Beragam jenis bahan organik di alam juga memiliki sifat-sifat yang sangat beragam, sehingga peranan dalam remediasi AAT juga sangat beragam. Munawar & Riwandi (2010) melakukan karakterisasi beberapa jenis bahan organik tersedia lokal dan hasilnya disajikan pada Tabel 4.2. di bawah ini. Munawar dan Riwandi (2010) menyatakan bahwa di antara sifat-sifat bahan organik yang mempengaruhi kemampuan remediasi terhadap AAT adalah rasio karbon dan nitrogen (C/N), ketersediaan asam-asam organik berberat molekul rendah, jumlah tapak jerapan (adsorption sites), dan kandungan C-organik. Munawar dan Riwandi (2010) menyatakan bahwa di antara sifat-sifat bahan organik yang mempengaruhi kemampuan remediasi terhadap AAT adalah rasio karbon dan nitrogen (C/N), ketersediaan asam-asam organik berberat molekul rendah, jumlah tapak jerapan (adsorption sites), dan kandungan C-organik. Ketersediaan asam-asam organik berberat molekul rendah bermanfaat bagi pereduksi sulfat. Semakin muda bahan, semakin tinggi kandungan senyawa asam-asam tersebut. Daya hantar listrik (DHL) yang tinggi berkorelasi dengan besarnya tapak jerapan bahan organik tersebut.

Page 79: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

60 | Ali Munawar, Ph.D

Table 4.2. Sifat-sifat kimia dan komposisi unsur dari beberapa limbah organic

Sumber: Munawar and Riwandi (2010).

Lebih lanjut Munawar & Riwandi (2010) menyatakan bahwa secara umum penambahan bahan organik mampu meningkatkan pH AAT, tetapi peningkatannya tergantung sifat-sifat bahan organik. Bahan organik yang mempunai pH tinggi dan kandungan kation basa (Ca, Mg, dan Na) tinggi, seperti pupuk kandang dan tandan buah sawit kosong (Tabel 4) secara konsisten meningkatkan pH >7. Tingginya DHL kedua bahan tersebut diduga telah menyebabkan aktivitas mikrobial yang tinggi, sehingga mengakibatkan kondisi AAT lebih reduktif, yang memungkinkan terjadinya pengendapan logam-logam larut sebagai logam-sulfida, seperti Fe-sulfida. Munawar & Riwandi (2010) berpendapat bahwa penurunan konsentrasi ion Fe dalam AAT oleh bahan organik melalui 2 mekanisme. Pada tahap awal

Page 80: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 61

reaksi, Fe larut diikat oleh kompleks jerapan koloida organik. Selanjutnya, ketika kondisi reduktif telah berkembang dan mantap, pengendapan logam sulfida menjadi lebih dominan dalam menurunkan konsentrasi logam larut di dalam AAT dan meningkatkan alkalinitasnya. Berdasarkan fakta ini maka Munawar & Riwandi (2010) dan para penliti lain (Zagury et al., 2006) berpendapat bahwa pencampuran yang seimbang antara bahan organik yang mengandung asam-asam organik dan fraksi sakharida yang mudah dikonsumsi oleh bakteri pereduksi sulfat (BPS), seperti pupuk kandang, dengan bahan organik yang mengandung senyawa-senyawa rekalsitran (lignoselulosa) seperti serbuk gergaji dapat lebih menjamin kebutuhan sumber enerji bagi BPS. Oleh karena itu, meskipun serbuk gergaji dan bahan-bahan lain sejenisnya secara individual tidak dapat memperbaiki AAT, penambahan bahan-bahan tersebut ke dalam limbah organik mudah lapuk seperti pupuk kandang ayam sangat diperlukan untuk menjamin sumber C bagi BPS dalam jangka panjang dan juga memiliki sifat-sifat fisik yang cocok untuk perlakuan AAT (Cocos et al., 2002). Faktor lain yang sangat penting dan menentukan kinerja lahan basah untuk remediasi AAT adalah lama reaksi antara AAT dan bahan-bahan yang ada di dalam lahan basah, atau yang disebut dengan waktu retensi (retention time). Semakin lama waktu retensi, semakin efektif kinerja lahan basah, tetapi waktu lama berarti membutuhkan luasan lahan basah yang sangat besar. Ketersediaan lahan

Page 81: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

62 | Ali Munawar, Ph.D

merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh kebanyakan perusahaan tambang untuk penerapan teknik lahan basah buatan. Peran Tumbuhan Akuatik dalam Lahan Basah Meskipun peran tanaman akuatik dalam remediasi AAT pada lahan basah masih kontroversial dan dianggap kurang penting (Batty, 2003; Johnson & Hallberg, 2005), sejumlah penelitian menunjukkan sebaliknya. Bose et al. (2008) menyatakan bahwa tanaman memainkan peranan penting dalam geokimia lahan basah terkait dengan gerakan unsur. Kajian oleh Cheng et al. (2002) menemukan bahwa Cyperus alternifolius dan Vallarsia mengurangi sepertiga Cd, Cu, Pb, Mn, dan Zn dari lahan basah. Temuan serupa juga dilaporkan oleh peneliti-peneliti lain, seperti Kamal et al. (2004), Weiss et al. (2006), Paredes et al. (2007), dan Munawar et al. (2011). Munawar et al. (2011) dalam studi simulasi sistem lahan basah melaporkan bahwa keberadaan tanaman akuatik jenis Typha angustifolia pada lahan basah memacu difusi oksigen ke sekeliling perakaran tanaman, yang kemudian menyebabkan pengendapan Fe di permukaan akar dan penurunan Fe larut dalam lahan basah berkorelasi positif nyata dengan produksi biomasa tanaman (R=0,92). Selain peran tanaman akuatik sebagai penyerap logam, ada beberapa fungsi penting lain di dalam sistem lahan basah. Pertama, tanaman dapat membantu memantapkan permukaan lantai dasar lahan basah, melakukan fungsi filtrasi fisik, mencegah terjadinya

Page 82: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 63

penyumbatan, dan menyediakan tempat hidup yang luas untuk pertumbuhan mikroba (Skousen and Ziemkiewicz, 1996; Batty, 2003). Kedua, tanaman juga meningkatkan waktu tinggal AAT yang masuk ke dalam lahan basah, sehingga memberikan kesempatan terjadinya pengikatan logam (Nyquist and Greger, 2003). Ketiga. tanaman air yang tumbuh merupakan sumber C untuk bakteri pereduksi sulfat (SO4), yang kemudian menghasilkan endapan sulfida logam (Skousen and Ziemkiewicz, 1996; Batty, 2003). Keempat, yang tidak kalah penting adalah bahwa lahan basah yang ditanami dengan tumbuhan air memiliki nilai khusus, yakni menjadi habitat satwa liar dan secara estetika dapat membuat sistem remediasi ini lebih enak dan nyaman dipandang mata (Brink, 1994; Skousen and Ziemkiewicz, 1996; Batty, 2003).

d. Pemilihan Penerapan Teknik Perlakuan Pasif

Sebagaimana kebanyakan teknologi di bidang ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), di dalam pengelolaan AAT tidak ada satu teknik pun yang dapat diterapkan di semua kondisi. Karena sifatnya yang sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, AAT dapat dikelola dengan sistem yang menggunakan satu jenis teknik atau lebih secara bersama-sama. Salah satu pendekatan paling komprehensif dan praktikal penggunaan sistem perlakuan AAT secara pasif telah direkomendasikan oleh Hedin dan Nairn (1992). Keduanya telah mengembangkan alur pembuatan keputusan untuk memilih teknik perlakuakn pasif yang

Page 83: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

64 | Ali Munawar, Ph.D

didasarkan kepada besarnya debit aliran (flow) AAT, sifat-sifat kimia AAT, dan beban kontaminan terhitung sebagaimana disajikan pada Gambar 4.8. Debit aliran harus diukur, tidak boleh diperkirakan secara visual, dan variasinya harus dihitung. Air asam tambang harus ditampung sedekat mungkin dengan oulet dan diukur pH, kemasaman, alkalinitas, dan kandungan logam (Al, Fe dan Mn). Jika digunakan ALD, analisis AAT harus meliputi oksigen larut (dissolved oxygen, DO) dan konsentrasi besi fero dan alumnium. Setelah beban kontaminan dihitung berdasarkan kepada besarnya aliran dan analisis airnya, air dapat dikelompokkan dan dapat didesain perlakuan pasifnya.

Page 84: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 65

Perairan Umum

Gambar 4.8. Alur pemilihan sistem perlakuan pasif yang

disesuaikan dengan kondisi (Hedin et al., 1994 dimodifikasi dalam Skousen et al., 1998)

Page 85: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

66 | Ali Munawar, Ph.D

5 BAB 5. PENUTUP

Air asam tambang (AAT) merupakan salah satu persoalan paling serius yang dihadapi oleh industri pertambangan dunia, termasuk Indonesia. Ia terbentuk pada saat mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS2), yang terkandung di dalam batuan penutup atau berasosiasi dengan bijih logam terdedah ke permukaan bumi dan bersentuhan dengan air dan oksigen sehingga mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan logam-logam larut, terutama besi tinggi. Karena tingkat kemasamannya yang tinggi, AAT mampu melarutkan logam-logam dan metaloid, termasuk logam berat yang ada di sekitarnya, sehingga AAT merupakan bahan pencemar bagi lingkumgan, terutama ekosistem akuatik, yang dapat mengakibatkan kematian ikan dan organisme akuatik lainnya, serta merusak bangunan sipil, seperti dam dan instalasi air, dan ekosistem daratan sehingga mengakibatkan tanah tercemar oleh AAT tidak kondusif untuk pertumbuhan vegetasi. Banyak teknik atau metode pengelolaan AAT yang dikenal dan sudah diterapkan, baik preventif maupun kuratif. Teknik preventif dimaksudkan untuk mencegah atau mengurangi laju pembentukan AAT. Teknik kuratif dilakukan antara lain dengan pengelolaan batuan penutup dan/atau bahan lain yang

Page 86: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 67

berpotensi membentuk asam, yang dimulai dari tahap eksplorasi tambang, operasi tambang, dan penutupan tambang (pascatambang). Sebelum operasi penambangan, pengelolaan dimulai dengan melakukan karakterisasi sifat-sifat geokimia batuan dari hasil pengeboran pada saat eksplorasi, dengan metode Acid-Base Accounting (ABA) sehingga pada operasi penambangan dapat dipisahkan antara bahan berpotensi penghasil asam dari yang lain, dan selanjutnya diisolasi agar bahan tersebut tidak terdedah ke atmosfer dan air dengan menggunakan bahan-bahan kedap air dan udara, seperti plastik atau tanah liat yang dimampatkan. Selain itu pembentukan AAT dapat dilakukan dengan mencampur bahan pembentuk asam dengan berbagai meterial alkalin, seperti bahan kapur pertanian dan bahan organik, dan bahan-bahan untuk mematikan bakteri katalis dengan bakterisida. Upaya kuratif dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak negatif dari AAT yang sudah terbentuk. Teknik ini biasa dibedakan menjadi metode aktif dan metode pasif. Metode aktif dilakukan dengan perlakuan terhadap AAT dengan pemberian bahan-bahan alkalin secara terus menerus di lapangan, seperti di saluran-saluran yang airnya sudah tercemar AAT, sehingga kemasaman menurun (pH meningkat) dan logam-logam-logam larutnya mengendap. Adapun metode pasif dilakukan dengan jalan membiarkan AAT mengalami reaksi fisika, kimia, dan biologis secara alami, sehingga tingkat kemasamannya turun dan logam-logam larutnya mengendap sebelum dialirkan ke saluran-saluran umum. Dari berbagai riset panjang diketahui bahwa metode aktif sangat mahal, memerlukan tenaga kerja dan dana tinggi, dan harus dilakukan sepanjang tahun. Oleh karena itu dalam beberapa dekade terakhir metode

Page 87: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

68 | Ali Munawar, Ph.D

pasif lebih berkembang. Metode pasif yang paling banyak digunakan antara lain, pembuatan saluran batukapur terbuka (oxic limestone channel, disingkat OLC), saluran batukapur tertutup (anoxic limestone drain, disingkat ALD), lahan basah baik aerobik (aerobic wetland) maupun lahan basah anaerobik (anaerobic wetland), dan beberapa hasil perkembangan teknik lahan basah buatan, seperti sistem produksi alkalinitas berurutan (successive-alkalinity production system, disingkat SAPS) dan lahan basah aliran vertikal (vertical wetland, VWL). Di dalam penerapannya, teknik-teknik pengelolaan AAT dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun kombinasi, tergantung kepada sifat-sifat AAT maupun kondisi lingkungan, termasuk ketersediaan dana. Meskipun studi pengelolaan AAT itu sudah cukup panjang dilakukan di banyak negara dan menghabiskan dana sangat besar, terutama di negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, masih banyak persoalan lingkungan terkait dengan AAT yang belum terpecahkan dengan baik, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu penelitian bidang pengelolaan AAT di Indonesia masih sangat diperlukan pada saat ini dan di masa yang akan datang. Selama masih ada bahan atau limbah yang mengandung mineral-mineral sulfida, terutama pirit, yang terdedah ke atmosfer dan air, maka selama itu pula AAT akan terbentuk. Pengalaman di negara-negara lain menunjukkan bahwa persoalan AAT dapat berlangsung sangat lama, jauh setelah tambang ditutup bahkan sampai berabad-abad lamanya.

Page 88: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 69

D DAFTAR PUSTAKA

Akcil, A. and S. Koldas. 2006. Acid mine drainage

(AMD): causes, treatment and case studies, Review Article, Journal of Cleaner Production, 14: 1139-1145.

Anonim. 2007. Pedoman reklamasi lahan bekas tambang. Departemen Pertambangan dan Energi, Directorat Jenderal Pertambangan Umum.

Anonim. 2008. Acid mine drainage prevention and mitigation techniques. http://www.yahoo.com/amdpvm.htm

Australian Government. 2016. Preventing Acid and Metalliferous Drainage. Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. 211pp.

Barnhisel, R.I. 1988. Correction of physical limitations to reclamation. In. L.R. Hossner (Ed.). Reclamation of Surface-Mined Lands Volume I. CRC Press Inc., Boca Raton. p. 191-211.

Bigham, J.M. and D.K. Nordstrom. 2000. Iron and alumninium hydroxysulphate from sulfatewaters. In Sulfat Minerals, Crystallography, Geochemistry, and Environmental Significance. Reviews in Mineralogy and Geochemistry, Vol. 40. C.N.

Page 89: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

70 | Ali Munawar, Ph.D

Alpers, J.I. Jambor, D.K. Nordsrom, eds. Mineralogical Society of America, Washington DC, pp. 351-403.

Baso, S., Jarutti, V. & Ramanathan, A.L. 2008. Metal uptake and transport by Typha angustata L. grown on metal contaminated waste amended soil: An implication of phytoremediation. Geoderma 145: 136–142.

Batty, L.C. 2003. Wetland plants-more than just a pretty face? Land Contamination & Reclamation, 11 (2): 173-180.

Bradshaw, A. 1996. Restoration of mined lands – using natural processes. Ecological Engineering 8:255-269.

Brix, H. 1997. Functions of macrophytes in constructed wetlands. Water Science Technol. 29: 71-78.

Cheng, S., Grosse, W., Karrenbrock, F. & Thoennessen, M. 2002. Efficiency of constructed wetlands in decontamination of water polluted by heavy metals. Ecological Eng. 18(3): 317-325.

Coil, D., E. McKittrick, A. Mattox, N. Hoagland, B.H. Hogman, and K. Zamzow. 2013. Acid Mine Drainage. Creative Commons Attribution Non-Commercial. p. 1-4.

Darmono, D. 2009. Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa: Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia. Departemen Eenergi dan Sumber Daya Mineral. 584p.

Dollhopf, D.J. and R.C. Postle. Physical parameters that influence successful minesoil reclamation. In. L.R. Hossner (Ed.). Reclamation of Surface-Mined Lands Volume I. CRC Press Inc., Boca Raton, p. 81-104.

Edraki, M., T. Baumgartl, D. Mulligan, W. Fegan, and A. Munawar. 2017. Geochemical characteristics of rehabilitated tailings and associated seepages at

Page 90: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 71

Kidston gold mine, Queensland, Australia. International Journal of Mining, Reclamation and Environment, DOI: 10.1080/17480930.2017.1362542.

Environment Australia. 1997. Managing sulphidic mine waste and acid drainage. Best Practice Environmental Management in Mining. 69p.

Evangelou, V.P. (Bill). 1985. Pyrite oxidation and its control. CRC Press, Boca Raton, New York, London, Tokyo.

Ford, K.L. 2003. Passive treatment systems for acid mine drainage. Technical Note 409. BLM?ST?ST-02/001+3596. Bureau of Land Management Web-based report availabel on line at http://www.blm.gov/nstc/library/techno2.htm

Gaikwad, R.W. and D.V. Gupta, 2007. Acid mine drainage (AMD) management. Journal of Industrial Control 23 (2), pp. 285-297.

Gibert, O., de Pablo, P., Cortina, J.L., and Ayora, C. 2004. Chemical characterisation of natural organic substrates for biological mitigation of acid mine drainage. Water Res. 38, 4186-4196.

Hedin, R.S., G.R. Watzlaf, and Nairn. 1994. Passive teartment of coal mine drainage with limestone. J. Environ. Quality. 23: 1338-1345.

Jennings, S.R., D.R. Neuman, D.R. and P.S. Blicker. 2008. Acid Mine Drainage and Effects on Fish Health and Ecology: A Review. Reclamation Research Group Publication, Bozeman, MT.

Johnson, B.D., and K.B. Hallberg. 2005. Acid mine drainage remediation options: a review. Science of the Total Environment. 338, 3-14.

Juhaeti, T., Syarif, F. & N. Hidayati. 2005. Inventarisasi

tumbuhan potensial untuk fitoremediasi lahan

Page 91: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

72 | Ali Munawar, Ph.D

dan air terdegradasi penambangan emas. Biodiversitas, 6 (1): 31-33.

Kamal, M., Ghaly, A.E., Mahmoud, N. & Coˆte´, R. 2004. Phytoaccumulation of heavy metals by aquatic plants. Environment International 29: 1029– 1039

Lottermoser, B.G. 2007. Mine Wastes: Characterization, Treatment, Environmental

Impacts. 2nd Ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 304p.

Maine, M.A., Su-ne, N., Hadad, H., Sanchez, G. & Bonetto, C. 2007. Influence of vegetation on the removal of heavy metals and nutrients in a constructed wetland. Journal of Environmental Management XX, 1-9.

McLemore, V.T. 2008. Basic of Metal Mining Influence Water Volume 1. Society for Mining, Metallurgy, and Exploration Inc. 103pp.

Munawar, A. 1998. Changes in soil properties due to coal mining activities in Bengkulu. In Proceedings of the Second International Symposium on Asian Tropical rain Forest Management, PUSREHUT-UNMUL dan JICA, Samarinda, Indonesia, December 9-11, 1997, p. 59-72.

Munawar, A. 2007. Pemanfaatan sumberdaya biologis local untuk pengendalian pasif air asam tambang: Lahan Basah Buatan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 7(1): 31-42.

Munawar, A. & Riwandi. 2010. Chemical characteristics of organic wastes and their potential use for acid mine drainage remediation. Jurnal Natur Indonesia 12 (2): 167-172.

Munawar, A., A.M.H. Putranto, and Y.H. Bertham 2017. Reducing acid mine drainage formation using locally-available soil ameliorants. Advance Science Letters 23 (3): 2251-2253.

Page 92: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 73

Nyquist, J. & Greger, M. 2003. MIMI-wetland plants for treatment of acid mine drainage. The MISTRA-programme MIMI. 35+p.

Paredez, D., Velez, M.E., Kuschk, P. & Mueller, R.A. 2007. Effects of type of flow, plants and addition of organic carbon in the removal of zinc and chromium in small-scale model wetlands. In Movais, J.M. (Ed). Water Science & Technology. Wetland Systems for Water Pollution Control X. Selected papers from the 10th IWA International Specialized Conference on Wetland Systems for Water Pollution Control, held at Lisbon, 23-29 September 2006. IWA Publishing. p: 199-205.

Parker, G. & A. Robertson. 1999. Acid Drainage. A Critical Review of Acid Generation from Sulfide Oxidation: Processes, Treatment and Control; An Investigation of Strategies Used Overseas for the Environmental Management of Sulfidic Mine Wastes. Australian Minerals & Energy Environment Foundation. Occasional Paper No. 11. 227p+

PIRAMID Consortium. 2003. Engineering guidelines for the passive remediation of acidic and/or metalliferous mine drainage and similar wastewaters. European Comission 5th Framework RTD Project No. EVKI-CT-1999-000021 “Passive in-situ remediation of acidic mine/industrial drainage (PIRAMID). University of Newcastle Upon Tyne, Newcastle Upon Tyne UK. 166pp.

Plass, W.T. 2000. History of surface mining reclamation and associated legislation. In Barnhisel. R.I., R.G. Darmody, and W.L. Daniels. (Eds). Reclamation of Drastically Disturtbed Lands. American Society of Agronomy Inc., Crop Science Society of

Page 93: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

74 | Ali Munawar, Ph.D

America Inc., and Soil Science Society of America Inc., Madison, Wisconsin USA, pp: 1-20.

Poso-Antonio, S., I. Puente-Luna, S. Laguela-Lopez, and M. Viega-Rios. 2014. Techniques to correct and prevent acid mine draiange: A Review. DYNA 81(184), pp. 73-80.

Saria, L. 2006. Evaluation the effect of mixed humus and topsoil layers for reducing acid minedrainage in coal mine waste dumped sites. Doctor Dissertation, Kyushu University, Fukuoda, Japan.

Sexstone, J., J.G. Skousen, J. Calabrese, D.K. Bhumbla, J. Cliff, J.C. Sencindiver, and G.K. Bissonnette. 1999. Iron removal from acid mine drainage by wetland. In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Reclamation (ASSMR) 16th Annual Meeting In Conjunction with Wetern Region Ash Group 2nd Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:609-620.

Sheoran, A.S. 2006. Performance of three aquatic plants species in bench-scale acid mine drainage wetland test cells. Mine Water Environ. 25(1), 23-36.

Sheoran, A.S. 2004. Treatment of acid mine drainage by constructed wetland: an ecological engineering approach. Ph.D. Thesis, Jai Narain Vyas Univ, Jodhpur (India).

Shokouhi, A., D.J. Williams, and A.K. Kho. 2014. Settelement and collapse behaviour of coal mine spoil and washery wastes. In Proceedings Tailings and Mine Waste 214. Keystone, Colorado, USA, October 5-8, 2014.

Shrestha, R. & R. Lal (Lead Authors; Arjun Heimsath, Topic Editor). 2008. Offsetting carbon dioxide emissions through minesoil reclamation. In: C.J.

Page 94: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 75

Cleveland (Ed.), Encyclopedia of Earth. Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment. Washington, D.C.

Skousen, J. 1996. Chapter 2. Acid Mine Drainage. In Skousen, J. G. & P. F. Ziemkiewics. 1996. Acid Mine Drainage Control and Treatment. Second Ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. p: 9-12.

Skousen, J., K. Politan, T. Hilton, and A. Meek. 1996a. Chapter 15. Acid mine drainage treatment systems: chemicals and cost. In Skousen, J. G. & P. F. Ziemkiewics. 1996. Acid Mine Drainage Control and Treatment. Second Ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. p: 163-171

Skousen, J. R. Lilly, and T. Hilton. 1996b. Chapter 16: Special chemicals for treating acid mine drainage. In Skousen, J. G. & P. F. Ziemkiewics. 1996. Acid Mine Drainage Control and Treatment. Second Ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. p: 173-180.

Skousen, J. 1996. Chapter 25. Anoxic Limestone Drain for Acid Mine Drainage Treatment. In Skousen, J. G. & P. F. Ziemkiewics. 1996. Acid Mine Drainage Control and Treatment. Second Ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. p: 261-266.

Skousen, J., A. Rose, G. Geidel, J. Foreman, R. Evans, W. Hellier, and Members of the Avoidance and Remediation Working Group of the ADTI. 1998.

Page 95: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

76 | Ali Munawar, Ph.D

Handbook of technologies for avoidance and remediation of acid mine drainage. The National Mine Land Reclamation Center, West Virginia, Morgantown, WV.

Skousen, J., A. Sexstone, J. Cliff, P. Sterner, J. Calabrese, and P. Ziemkiewicz. 1999. Acid mine drainage treatment with a combined wetland/anoxic limestone drain: Greenhouse and Field Systems. In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Reclamation (ASSMR) 16th Annual Meeting in Conjunction with Wetern Region Ash Group 2nd Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:621-633.

Skousen, J.G., J.C. Sencindiver, and R.M. Smith. 1987. A review of Procedures for Surface Mining and Reclamation in Areas with Acid-Producing Materials. The West Virginia Surface Mine Drainage Task Force, the West Virginia Universoity Energy and Water Center, and the West Virginia Mining and Reclamation Association. 39+p.

Skousen, J., A. Sexstone, K. Garbutt, and J. Sencindiver. 1996. Section 3. Passive Treatment of Acid Mine Drainage. Chapter 24. Wetlands for Treating Acid Mine Drainage. In Skousen, J. G. & P. F. Ziemkiewics. 1996. Acid Mine Drainage Control and Treatment. Second Ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. p: 249-261

Skousen, J.G. & Ziemkiewicz, P.F. 1996. Acid mine Drainage Control and Treatment. 2nd. Ed. West Virginia University and the National Mine Land

Page 96: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 77

Reclamation Center, Morgantown, Weset Virginia. 362+p

Skousen, J.G., and P. Ziemkievicz. 1996. Acid mine drainage control and treatment. 2nd Ed. West Virginia University and National Mine Land Rclamation Center, Morgantown, West Virginia.

Skousen, J., A. Rose, G. Geidel, J. Foreman, R. Evans, W. Hellier, and members of the Avoidance and Remediation Working Group of the ADTI. 1998. Handbook of technologies for avoidance and remediation of acid mine drainage. The National Mine Land Reclamation Center, West Virginia, Morgantown, WV.

Skousen, J.G., A. Sexstone, and P.F. Ziemkiewicz. 2000. Acid mine drainage control and treatment. In. R.B. Barnhisel, R.G. Darmody, and W.L. Daniels. Reclamation of drastically disturbed lands. Agronomy Series No. 41. American Society of Agronomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America, Incs, Madison, Wisconsin, USA. P: 131-168

Sobek, A.A., J.G. Skousen, S.E. Fisher. 1996. Chemical and physical properties of overburden and minesoils. In Skousen, J.G. and P.F. Ziemkiewicz (Eds.) Acid Mien Drainage Control and Treatment. 2nd Ed., West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. p. 21-45.

Waybrant, K.R., Blowes, D.W. & Ptacek, C.J. 1998. Selection of ractive mixtures for use in permeable reactive walls for treatment of mine drainage. Environ. Sci. Technol 32: 1972-1979.

Weise, J.S. & Weis, P. 2004. Metal uptake, transport, and release by wetland plants: implication for

Page 97: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

78 | Ali Munawar, Ph.D

phytoremediation and restoration. Environmental International 39(5): 685-700.

Widdowson, J. P. 1990. The impacts of surface mining avctivities on soil and water. In T. F. Rijnberg, M. O. (Ed.). 1990. Proceedings of the Joint Seminar on Environmental Impacts of Mining in Watershed Management. Tanjung Enim, 5-14th November, 1990.

Zagury, G.J., Neculita, C.M. & Bussiere, B. 2007. Passive treatment of acid mine drainage in bioreactors: Short review, applications, and research needs. OttawaGeo2007/OttawaGéo2007: 1439-1446. http://www.polymtl.ca/enviro-geremi/ pdf/articles/CGS2007084.pdf On line on 16 April 2011.

Zipper, C., J. Skousen, and J. Jage. 2009. Passive treatment of acid mine drainage. West Cooperative Extension Publication No.460-133, Originally posted June 2001. Updated/revised 2009.

Page 98: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 79

G GLOSARIUM

Air Asam Tambang (AAT) – Atusan (drainage) masam

yang dihasilkan oleh oksidasi sulfur atau mineral-

mineral sulfida yang berada pada batuan

pentutup batubara, bijih logam, atau beberpa jenis

limbah di daerah tambang.

Acid-Base Accounting (ABA) – Teknik analitis untuk

menentukan kemasaman potensial berdasarkan

analisis sulfur dan potensial netralisasi dari suatu

sampel batuan atau tanah.

Acid Rock Drainage (ARD) – Atusan kaya sulfat, ber-

pH rendah, dan kaya logam yang terjadi selama

pengusikan lahan yang mengandung mineral

sulfida. Ini terbentuk pada kondisi alami dari

oksidasi pirit atau mineral-mineral sulfida lain,

yang tingkat kemasamannya melampau tingkat

alkalinitas. Sebagai contoh pada pembangunan

jalan tol yang disertai dengan pemangkasan

bagian lahan yang mengandung mineral sulfida.

Page 99: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

80 | Ali Munawar, Ph.D

Air Terpengaruh Tambang (Mine Influenced Water,

MIW) – Sumberdaya air yang telah terpengaruh

oleh tambang dan/atau kegiatan prosesing bijih

logam/mineral, yang meliputi atusan alkalin dan

netral, atusan masam, dan air asam tambang,

Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) – Kelompok bakteri

yang bertanggung jawab mereduksi sulfat,

terutama dari genus Desulfovibrio dan

Desulfotomaculum.

Batuan penutup (overburden) – Bahan padu

(consolidated) atau tidak padu (unconsolidated)

yang berada di atas bahan deposit berharga

dan/atau bijih logam yang layak tambang,

terutama yang ditambang dari permukaan bumi.

Batuan sisa – Batuan yang telah ditambang tetapi tidak

lagi memiliki nilai secara ekonomis, dan oleh

karena itu dipisahkan dari tahap prosesing bijih

logam. Istilah ini biasanya digunakan untuk sisa

yang lebih besar dari ukuran pasir sampai dengan

ukuran bongkah atau sering disebut juga

tumpukan batuan.

Kemasaman – Asam yang dapat dititrasi menurut

metode baku. Biasanya dilaporkan dalam

miligram per liter CaCO3, tetapi juga dalam

miliekivalen per liter ion hidrogen/hidronium

(H+)

Lahan Basah Aerobik (LBAE) – Kolam/kubangan

(dapat alami ataupun buatan) dengan permukaan

lebar yang berisi air dengan aliran permukaan

horisontal, dan biasanya ditumbuhi/ditanami

Page 100: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 81

jenis tanaman akuatik, seperti buntut kucing

(cattails).

Lahan Basah Aliran Vertikal (LBAV) – Kolam dengan

permukaan lebar yang terdiri dari lapisan

batukapur di dasar dan lapisan bahan organik di

atasnya, dengan atau tanpa vegetasi. Pada LBAV

lapisan batukapur dilengkapi dengan sistem

drainase untuk memaksa AAT mengalir ke

bawah melewati bahan organik dan batukapur.

Lahan Basah Anaerobik (LBAN) – Kolam dengan

permukaan lebar yang bagian bawahnya berupa

lapisan bahan organik dan berisi air dengan aliran

horisontal di dalam lapisan organik.

Longsor – Peristiwa runtuhnya masa tanah atau bahan

batuan akibat tarikan gaya gravitasi yang dipicu

oleh tenaga yang mengusik bahan-bahan

tersebut.

Lubang tambang – Lubang pada kulit bumi yang

terbentuk akibat penggalian bahan tambang,

terutama dengan sistem penambangan terbuka.

Mineral sulfida – Mineral sulfida logam yang

berpotensi menghasilkan kemasaman tinggi jika

terdedah ke kondisi aerobik.

Oksidasi – Proses kimiawi yang melibatkan reaksi yang

menghasilkan peningkatan kondisi oksidasi dari

suatu unsur seperti besi dan sulfur.

Penambangan terbuka (surface mining) –

Penambangan yang para pekerjanya, peralatan,

dan kegiatannya pada kondisi terbuka ke udara.

Page 101: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

82 | Ali Munawar, Ph.D

Penambangan bawah tanah (under ground moning) –

Penambangan yang para pekerjanya, peralatan,

dan kegiatannya dilakukan di bawah

tanah/perut bumi.

Perlakuan aktif – Pemberian bahan kemikalia alkalin,

seprrti kapur atau soda terhadap air asam

tambang (AAT) untuk meningkatkan pH dan

mengendapkan logam-logam yang

dikandungnya.

Perlakuan pasif – Air asam tambang (AAT) dibiarkan

mengalami proses biologis, geokimia, dan

gravitasi pada jenis perlakuan tertentu yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan pH dan

penurunan konsentrasi logam larut.

Rehabilitasi – Proses membuat lahan yang telah rusak

pulih kembali menjadi produktif. Biasanya

ekosistem yang terbentuk memiliki struktur dan

fungsi yang berbeda dengan ekosistem aslinya,

seperti keragaman jenis yang lebih rendah dan

ada jenis tanaman baru.

Reklamasi – Mengembalikan lahan yang sudah

terganggu menjadi produktif, yang meliputi

semua kegiatan pengelolaan bahan limbah,

penataan muka lahan sampai penanaman

kembali. Sering juga diartikan sebagai proses

menggantikan ekosistem asli dan mengubahnya

menjadi penggunaan lahan yang baru.

Remediasi – Upaya menghilangkan bahan-bahan

beracun atau berbahaya dari suatu tapak

tambang. Ia juga merupakan proses koreksi atau

Page 102: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 83

menghilangkan bahan-bahan berpotensi meracun

dari tanah atau air dengan menggunakan bakteri

(bioremediasi) atau tanaman (fitoremediasi).

Revegetasi - Proses penanaman pada lahan

pascatambang dengan tanaman tahunan atau,

meskipun jarang, dengan tanaman semusim.

Saluran Batukapur Anoksik (Anoxic Limestone Drain,

ALD) – saluran tertututp yang diisi dengan

batukapur yang dapat meningkatkan pH dan

menambah alkalinitas, sehingga tidak terjadi

pengendapan lapisan besi hidroksida pada

permukaan batuan kapur.

Saluran Batukapur Terbuka (Open Limestone Channel,

OLC) – Saluran yang dibangun memanjang diisi

dengan pecahan batukapur, sebagai tempat

dialirkannya air atau AAT sehingga terjadi

peningkatan alkalinitas air dan menaikkan pH.

Sistem penghasil alkalinitas suksesif (Successtive

Alkalinity Production System, SAPS) – Sistem

perlakuan pasif yang menggunakan sistem

saluran pada bagian bawah kolam, yang tertutup

oleh batukapur dan lapisan bahan organik. Air

yang tertampung dipaksa mengalir melalui bahan

organik untuk menyaring oksigen dan besi (III),

kemudian air mengalir ke lapisan batukapur

untuk menghasilkan alkalinitas karbonat.

Spoil – Batuan limbah (waste rock)

Page 103: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

84 | Ali Munawar, Ph.D

Streeping ratio - Perbandingan antara masa batuan

penutup yang harus dibongkar dan masa lapisan

batubara yang diperoleh.

Tailings – bahan sisa padat yang berasal dari

penggilingan dan prosesing konsentrat bijih.

Istilah ini biasanya digunakan untuk buangan

yang berukuran pasir sampai liat yang dianggap

terlalu sedikit kandungan bahan berharga,

sehingga tidak perlu diproses lebih kanjut.

Tailings storage facilitiy (TSF) – Kolam pengendapan

sangat besar untuk tempat penampungan tailings

yang mengendap dari suspensi yang berasal dari

aliran buangan dari tahap prosesing bijih logam

sebelum supernatannya dialirkan ke perairan

umum.

Tanah bawahan (subsoil) – Lapisan atau horison (B)

tanah di bawah permukaan tanah pucuk atau

lapisan tanah di bawah lapisan olah.

Tanah pucuk/atasan (topsoil) – Lapisan tanah

permukaan atau horison (A) tanah, yang

umumnya berwarna gelap karena pengaruh

kandungan bahan organik yang tinggi dan

merupakan bagian tanah yang diolah dengan

alat-alat pertanian.

Page 104: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 85

I INDEKS

A

Acid-Base Accounting (ABA), 30, 67

Aci drainage (AD), 17

Acid mine drainage (AMD), 17

Acid neutralizing capacity (ANC), 31, 32, 33

Acid rock drainage (ARD), 17

Air asam tambang (AAT), 1,2, 14-19, 21-27, 29-30, 32,

37. 39-41, 44-49, 51, 53, 54-56, 58-59, 61-67.

Anoxic Limestone Drain (ALD), 44, 46-51, 56-57, 64-65,

68

B

Bahan organik, 5, 39, 55, 57, 59

Bakterisida, 37

Bakteri pereduksi sulfat (BPS), 5-57, 61

Batuan limbah (waste rock), 11, 24, 37, 39

Batuan penutup (overburden), 3, 5, 9-12, 17-18, 30

Batubara, 9, 11-12, 15-17, 19, 39

Batukapur, 45-46, 51, 54-57

Besi hidroksida, 20, 26, 46

Page 105: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

86 | Ali Munawar, Ph.D

Berat volume (BV), 7

Bijih mineral, 11, 17, 19

D

Daya hantar listrik (DHL, 59-60

Disposal, 2, 18

E

Endapan besi, 45, 49,56

Enkapsulasi, 38

Erosi, 8

F

Fauna , 10-11

Flokulan, 41-23

Flora, 10-11

Fly ash, 39

Fosfat, 38

G

Gas rumah kaca, 12

H

Habitat, 11

K

Kemasaman, 14, 22-23, 28

Koagulan, 41-43

Kolam pengendapan, 43-44, 64-65, 68

Kualitas udara, 12

Page 106: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 87

Kuratif, 40

L

Lahan basah aerobik (LBAE), 45-46, 51-54, 58

Lahan basah aliran vertikal (LBAV), 51-52, 56-57, 68

Lahan basah anaerobik (LBAN), 45-47, 52, 54-55, 68

Lanskap, 4

Logam berat, 18, 26

Longsor, 9

Lubang tambang, 13, 24-25

Lumpur, 43

M

Material alkalin, 14, 21, 26, 34, 36-37, 39, 41, 43

Maximum potential acidity (MPA), 31, 32

Mineral sulfida, 1, 14, 17, 19, 21, 24, 25, 28, 66

N

Net acid generation (NAG), 31

Net acid producing potential (NAPP), 32-33

Non-acid forming (NAF), 31-33

O

Oksidan, 41-42

P

Padatan terlarut total, 20, 25

Pemampatan tanah, 6, 34

Pembersihan lahan, 11-12, 17-18, 30

Page 107: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

88 | Ali Munawar, Ph.D

Penambangan bawah tanah, 3, 9

Penambangan terbuka, 3, 13

Perlakukan aktif, 40, 44-45, 65

Perlakukan pasif, 40, 44-45

pH, 1, 15, 20-23, 30, 37-38, 40, 47, 49-50, 54-55, 57-58,

60, 64, 67

pHNAG, 31-33

Pirit, 17, 19-20

Plasmanuftah, 5

Potentially acid forming (PAF), 27, 32-33

Preventif, 29-30, 66

R

Reklamasi, 5, 27

Revegetasi, 5, 27-28, 35

Run-off, 7, 28

S

Saluran batukapur terbuka (OLC), 45-46, 65, 78

Sedimentasi, 8

Sistem Penghasil Alkalinitas Suksesif (SAPS), 45, 57-

58, 65, 68

T

Tanah pucuk, 5

Tailings, 24

Tailing storage facilities, 10

Page 108: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 89

V

Vegetasi, 11

W

Waktu tinggal, 44

Y

Yellow boy, 20, 26

Page 109: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

90 | Ali Munawar, Ph.D

b BIODATA PENULIS

Ali Munawar dilahirkan di Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Jawa Tengah dan pendidikan sarjana di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia menyelesaikan pendidikan pascasarjana di University of

Kentucky, Lexington, Amerika Serikat dengan gelar Master of Science dan Doctor of Phylosophy di bidang Ilmu Tanah, masing-masing pada tahun 1987 dan 1991. Pada tahun 2000, ia melakukan studi banding bidang Reklamasi Lahan Pasctambang di negara bagian Kentucky dan Virginia Barat, Amerika Serikat dan tahun 2008 ia mendapatkan beasiswa Postdoctoral Research Fellowship di Centre for Mined Land Rehabilitation (CMLR), University of Queensland, Brisbane, Queensland, Australia dari Pemerintah Australia melalui Program 2008 Endeavour Fellowship Award. Pada tahun 2012, 2013, dan 2014 ia mendapatkan beasiswa dari the International Mining for Development Centre (IM4DC) Australia untuk

Page 110: PENGELOLAAN - repository.unib.ac.idrepository.unib.ac.id/19070/1/Buku Pengelolaan AAT.pdfterjadi pada tambang batubara, prinsip-prinsip dasar pengelolaan AAT yang ada di dalam buku

Pengelolaan Air Asam Tambang | 91

mengikuti seminar dan workshop bidang rehabilitasi lahan pascatambang di beberapa kota di Australia

Sebagai Guru Besar Ilmu Tanah di Universitas Bengkulu (UNIB), selain mengajar dan memimbing mahasiswa, ia aktif melakukan penelitian dengan tema utama di bidang rehabilitasi lahan pascatambang dan kesuburan tanah. Ia telah memenangi beberapa dana penelitian kompetitif nasional, seperti Hibah Bersaing (HB), Penelitian Fundamental (PF). Riset Unggulan Terpadu (RUT), Strategis Nasional (STRANAS), dan Hibah Kompetensi (HIKOM).

Selama di UNIB ia pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Dekan Fakultas Pertanian, dan Direktur Eksekutif Proyek Pengembangan Pendidikan Sarjana (Development for Undergraduate Education, DUE). Selain itu, ia pernah menjadi Reviewer Dewan Pendidikan Tinggi (DPT), konsultan di Food and Agriculture (FAO) & perusahaan tambang, dan menjadi Spesialis Ilmu Tanah pada Program Silvikultur Intensif Kementerian Kehutanan. Ia telah menulis beberapa buku, yaitu Kesuburan Tanah (1998) dan Rehabilitasi Lahan Kritis (2010) yang ia tulis bersama penulis lain dan Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman (2011) yang ia tulis sendiri. Prestasi akademiknya mendapatkan penghargaan, antara lain Gamma Sigma Delta dari University of Kentucky Chapter pada tahun 1991 dan Dosen Teladan tingkat Fakultas Pertanian dan Universitas Bengkulu, masing-masing pada tahun 1994 dan 1996.