pengaturan konsumsi dalam prespektif hukum islam (studi atas

114
ABSTRAK Sistem ekonomi muncul karena adanya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga terbentuklah aktifitas-aktifitas ekonomi, diantaranya adalah produksi, distribusi dan konsumsi. Konsumsi merupakan aktifitas yang penting bahkan bisa dikatakan sangat penting dalam peranannya. Segala aktifitas tersebut khususnya perilaku konsumen tidak bisa lepas dari aturan dan tuntutan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Dalam Islam perilaku konsumsi tidak dibatasi pada kebutuhan hidupnya dan kesenangan-kesenangan yang menekankan pada aspek materialnya saja, akan tetapi harus ada keseimbangan antara aspek material dan aspek spiritual. Aktifitas konsumsi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, bahwa norma-norma dasar yang menjadi landasan dalam perilaku konsumsi termasuk menghindari sifat kikir atau bakhil, tidak boleh melakukan kemubaziran dan harus menanamkan sifat kasederhanaan. Yang menjadi masalah disini bagaimana dengan implementasi dari norma-norma yang dikemukakan oleh Yūsuf al-Qaradāwī. Di dalam analisis data, digunakan cara berpikir induksi yakni kerangka dari pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī secara parsial dalam hal perilaku konsumsi sehingga bisa ditarik kesimpulan secara umum dalam pemikirannya tentang perilaku konsumsi tersebut sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini normatif. Dan implementasi dalam pemikirannya yang tidak kikir atau bakhil yaitu memberikan infak baik wajib maupun sunnah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, untuk masyarakat maupun untuk fi sabilillah (di jalan Allah). Tidak mubazir berarti tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang tanpa ada kemaslahatan dan untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk dalam membelanjakan hartanya dengan berlebih-lebihan xvi

Upload: asrul-hamid-al-fachrezy-nasution

Post on 05-Jul-2015

579 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

ABSTRAK

Sistem ekonomi muncul karena adanya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga terbentuklah aktifitas-aktifitas ekonomi, diantaranya adalah produksi, distribusi dan konsumsi. Konsumsi merupakan aktifitas yang penting bahkan bisa dikatakan sangat penting dalam peranannya. Segala aktifitas tersebut khususnya perilaku konsumen tidak bisa lepas dari aturan dan tuntutan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Dalam Islam perilaku konsumsi tidak dibatasi pada kebutuhan hidupnya dan kesenangan-kesenangan yang menekankan pada aspek materialnya saja, akan tetapi harus ada keseimbangan antara aspek material dan aspek spiritual. Aktifitas konsumsi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, bahwa norma-norma dasar yang menjadi landasan dalam perilaku konsumsi termasuk menghindari sifat kikir atau bakhil, tidak boleh melakukan kemubaziran dan harus menanamkan sifat kasederhanaan. Yang menjadi masalah disini bagaimana dengan implementasi dari norma-norma yang dikemukakan oleh Yūsuf al-Qaradāwī.

Di dalam analisis data, digunakan cara berpikir induksi yakni kerangka dari pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī secara parsial dalam hal perilaku konsumsi sehingga bisa ditarik kesimpulan secara umum dalam pemikirannya tentang perilaku konsumsi tersebut sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini normatif.

Dan implementasi dalam pemikirannya yang tidak kikir atau bakhil yaitu memberikan infak baik wajib maupun sunnah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, untuk masyarakat maupun untuk fi sabilillah (di jalan Allah). Tidak mubazir berarti tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang tanpa ada kemaslahatan dan untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk dalam membelanjakan hartanya dengan berlebih-lebihan yaitu melebihi batas dalam hal yang halal. Dan yang terakhir adalah kesederhanaan yang harus ditanamkan dalam setiap kehidupan keseharian manusia, yaitu bersikap tengah-tengah antara sikap bakhil, sikap mubazir serta sikap berlebih-lebihan termasuk juga sikap kemewahan. Implementasi inilah yang harus ada pada setiap orang.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Harta merupakan parameter sumber-sumber alam yang merupakan nikmat

Allah, alat-alat perlengkapan dan kesenangan. Harta bukanlah sesuatu yang buruk

xvi

Page 2: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

dan bukan juga sesuatu yang menjijikkan, tetapi harta adalah sesuatu yang baik

dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia.

Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya

manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam hidup

bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak,

untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.1

Sistem ekonomi muncul karena adanya upaya manusia untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Pemenuhan hidup yang sangat bervariasi melahirkan

berbagai macam sistem kehidupan termasuk sistem ekonomi. Sistem ekonomi

diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia pada berbagai jenis barang

terutama barang kebutuhan pokok.

Maka menjadi semakin jelas ruang lingkup dari bidang garapan ekonomi,

mengingat segala hal yang terdapat di dalamnya adalah merupakan kajian bagi

salah satu sektor perilaku manusia yang berhubungan dengan aspek penting

dalam ekonomi yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi, dan serupa dengan apa

yang disampaikan oleh seorang ekonomi neo klasik Lord Robin, bahwa ekonomi

merupakan kajian tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-

tujuan dan alat-alat pemuas yang mengandung pilihan di dalam penggunaannya.2

1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Pres, 2000), hlm. 11.

2 Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Ekonomi, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 6.

xvii

Page 3: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Maka pengertian yang muncul kemudian adalah kegitan itu tidak hanya selalu

mengacu pada aspek material yang kemudian disebut-sebut sebagai obyek

kegiatan ekonomi belaka, namun lebih dari itu bahwa pengertian kegitan

ekonomi juga mencakup aspek moral, yaitu aspek perilaku manusia yang tidak

hanya dibatasi oleh pengertian kekayaan material saja, kendati pada pengertian

umum ekonomi itu menyangkut akan barang dan jasa yang bersifat material.

Hal ini mengandung isyarat bahwa manusia yang ada pada dasarnya

merupakan decision maker dalam banyak hal termasuk setiap perilakunya akan

dipengaruhi oleh nilai-nilai dan emosionalnya,3 tarik-menarik antara nilai dan

emosional inilah yang mewarnai perilaku manusia dalam mengambil keputusan

pada setiap aktifitas hidupnya,4 bagaimana bangsa-bangsa bertindak untuk

menjaga perdamaian, bagaimana individu berhubungan dengan individu lain dan

bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, kesemuanya merupakan

nilai yang meliputi persoalan moralitas, yaitu persoalan baik dan buruk.

Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan syari’at Islam secara

keseluruhan (kaffah). Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah mahdah saja yang

menyangkut hubungan vertikal antara manusia dan pencipta-Nya, tapi juga

3 Amitai Etzioni, Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, alih bahasa Tjun Suryaman, cet. I (Bandung: PT Rosda Karya, 1992), hlm. V.

4 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafidudin, dkk., cet. I (Jakarta: Rabbani Pres, 1997), hlm. 15.

xviii

Page 4: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

menyangkut semua bentuk aktifitas yang berimplikasi sosial,5 yang aktifitas

tersebut disertai berbagi aturan dan tuntutan sebagaimana yang dituangkan dalam

Fiqh Muamalat, agar dalam aktifitas tersebut tidak semata-mata mencari

keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan etika dan moral,

tanpa sedikitpun melibatkan suansa reliji dan sosial.

Konsumsi merupakan salah satu penggunaan dan pemanfaatan sumber

daya atau barang-barang yang ada atau anugrah-anugrah yang Allah berikan

kepada manusia untuk digunakan. Dalam melakukan konsumsi manusia diberi

kebebasan, namun dalam kebebasanya itu harus berpijak pada aturan-aturan

konsumsi (perilaku-perilaku konsumsi) yang telah diatur dalam ajaran Islam.

Dalam ekonomi konvensional, perilaku ekonomi (konsumsi) diartikan

sebagai teori yang mempertimbangkan pemaksimalan daya guna, dan yang

memaksimalkan adalah manusia ekonomi (homo economicus), tujuan tunggalnya

adalah untuk mendapatkan derajat tertinggi dari perolehan ekonomi, yang

menjadi stimulus dalam hal ini adalah perasaan akan uang.6 Etika filosofi yang

tercermin, berhubungan dengan “keberhasilan ekonomi” diartikan secara umum

bahwa keberhasilan dalam mendapatkan uang adalah nilai tambah dari kebaikan

5 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, alih bahasa Dewi Nurjuliati, dkk., cet. I (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), hlm. 195.

6 Monzer Kahf, A Contribution to The Theory of Consumer Behavior in Islamic Society in Islamic Economic (Jedda: King Abdul Aziz University), hlm. 21.

xix

Page 5: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

ekonomi.7 Pendekatan ini memandang bahwa nilai moral tindakan pribadi dapat

ditentukan hanya oleh akibat dan konsekuensi dari tindakan tersebut, yaitu suatu

tindakan yang dinilai etis jika tindakan tersebut menghasilkan manfaat atau dapat

menguntungkan bagi sebagian besar orang.

Dari asumsi inilah penyusun menganggap bahwa persoalan kritis yang

kemudian muncul dalam ekonomi mengenai teori konsumsi, misalnya dalam

teori utilitarianisme, yang dalam teori ini terkait dengan penentuan terhadap nilai

tindakan etis yang dilakukan dengan cara mengukur sejauh mana manfaat atau

utilitas yang akan diperoleh serta sejauh mana tindakan itu dapat dilakukan.

Dalam kesempatan ini, adalah Yūsuf al-Qaradāwī seorang ulama

mujaddid dan mujtahid di penghujung abad ke-20 ini, selalu memberikan

sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan. Ia selalu mencoba

“membumikan” ajaran Islam dan menggaris bawahi aspek maslahah dalam

penentuan hukum Islam. Dalam kapasitasnya sebagai ulama tafsir-hadis, ia juga

mengetengahkan pemikirannya tentang ekonomi Islam yang mencakup semua

aktifitas ekonomi. Adapun pemikirannya dalam bidang konsumsi, bahwa seorang

konsumen dalam berkonsumsi hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan

yang diperlukan, jadi konsumen tahu kapan ia harus membelanjakan atau

memanfaatkan hasil produksi. Perilaku-perilaku tersebut terikat oleh norma dan

7 Choirudin Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam, Sebuah Perspektif Lingkungan Global,”‘Ulumul Qur’an,” Vol. 3/VII/1997, hlm. 21.

xx

Page 6: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

etika, meskipun Allah telah memberikan kebebasan sehingga konsumen tidak

bebas mutlak dalam membelanjakan hartanya.

Dalam hal konsumi menurut Yūsuf al-Qaradāwī, Islam menggariskan

bahwa membelanjakan harta tidak boleh melampaui batas yang diperlukan,

begitu pula dengan sebaliknya membelanjakan harta yang terlalu hemat bukan

karena tidak mampu tapi karena bakhil. Islam mengajarkan agar para konsumen

bersikap sederhana.8 Mengenai konsumsi, Yūsuf al-Qaradāwī hanya

mengemukakan tiga konsep yang dalam setiap konsepnya mengandung arti lebih

dari satu. Untuk itu, arti apakah yang sebenarnya terkandung dalam setiap

konsepnyaa. Sebab itulah penyusun memilih Yūsuf al-Qaradāwī untuk dikaji

pemikirannya, khususnya dalam perilaku konsumsi.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan pada paparan di atas maka dapat ditarik pokok masalah,

yaitu:

1. Bagaimanakah konsep pengaturan perilaku konsumsi menurut pemikiran

Yūsuf al-Qaradāwī?

2. Bagaimana implementasi dari konsep pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī?

8 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zaenal Abidin dan Dahlia Husin, cet.I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 148.

xxi

Page 7: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menggambarkan pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang pengaturan perilaku

konsumsi.

2. Memberikan penjelasan tentang implementasi dari konsep pemikiran Yūsuf

al-Qaradāwī.

Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Penelitian ini akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap

kajian pemikiran ekonomi Islam.

2. Kajian ini akan bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik dengan kajian

ekonomi Islam, khususnya dalam melihat perkembangan pemikiran

intelektual muslim tentang konsumsi.

D. Telaah Pustaka

Penelitian mengenai pengaturan konsumsi secara khusus jarang sekali

dilakukan. Hal ini disebabklan oleh anggapan bahwa konsep konsumsi hanyalah

suatu kegiatan pemanfaatan barang-barang hasil produksi dan kecenderungan

hanya sebatas materialistik belaka yaitu sebagai “pelampiasan” pemenuhan

kebutuhan hidup manusia semata. Selain dari pada itu, kecenderungan yang lain

adalah konsumsi hanya dianggap sebagai sebagian kecil dari dua substansi

pemanfaatan kekayaan lainnya yaitu produksi dan distribusi. Sehingga dari

xxii

Page 8: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

beberapa referensi yang membahas tentang sistem ekonomi Islam, konsumsi dan

segala pengaturannya hanyalah dipaparkan dalam bagian dari bab saja.

Monzer Kahf9 misalnya, di dalam bukunya “Ekonomi Islam”,

memasukkan pengaturan konsumsi dan etikanya dalam Islam kedalam bab teori

konsumsi. Pembahasannya lebih ditekankan pada penanggulangan isu-isu pokok

mengenai teori perilaku konsumen dan konsep-konsep barang-barang konsumen.

Ia menjelaskan bahwa unsur-unsur pokok dari rasionalisme perilaku konsumen

meliputi konsep keberhasilan, skala waktu perilaku konsumen, dan konsep harta.

Di dalam konsep harta inilah dipaparkan etika konsumsi dalam Islam.

Demikian juga halnya dengan Abdul Manan,10 di dalam bukunya “Teori

dan Praktek Ekonomi Islam”, ia menganalisis bahwasanya perintah Islam

mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar yaitu prinsip keadilan,

prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip

moralitas. Kemudian ia melanjutkan dengan menggolongkan kebutuhan-

kebutuhan manusia dengan urutan prioritas sesuai dengan tuntutan Islam.

Dalam pernyataan yang tegas, Sunarto11 menekankan bahwa pengaturan

konsumsi dan hubungannya dengan produk konsumen melibatkan masalah

kepercayaan yang tinggi, maka sangatlah penting bahwa perilaku tersebut harus

dilingkupi dengan etika. Pembahasan ini kemudian ia jelaskan secara detail di

9 Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein, cet. I (Yogyakarat: Aditya Media, 2000), hlm. 19-40.

10 Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Nastangin (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm, 45.

11 Sunarto, Perilaku Konsumen (Yogyakarta: Amus, 2003), hlm, 2.

xxiii

Page 9: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

dalam disiplin ilmu perilaku konsumen (consumer behavior) baik secara teoritis

maupun aplikatif.

Dalam sebuah tesis, karya Rahman Qadir yang menelaah pemikiran

Yūsuf al-Qaradāwī tentang zakat profesi,12 juga empat skripsi yang menelaah dan

mengalisis pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī, yaitu karya Rahmawati yang berjudul

Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Ekonomi Islam, tahun 200013

penelitian ini menitik beratkan pada etika yang di dalamnya meliputi nilai moral,

akhlak dan perannya dalam kegiatan ekonomi Islam. Skripsi karya Sartono yang

berjudul Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu.14

Penelitian ini menfokuskan pada metode penggalian dan penetapan hukum zakat

madu yang dilakukan oleh Yūsuf al-Qaradāwī Skripsi karya Achmad Subhan

tahun 2002 yang berjudul Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana

Pemberdayaan Ekonomi Umat.15 Skripsi ini mengkaji tentang konsep pengelolaan

zakat dan relevansinya dalam konteks ke-Indonesia-an dan skripsi karya Bahri

Asnawi yang berjudul Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam

(Studi Atas pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tahun 2003.16 Skripsi ini membahas

12 Rahman Qadir, Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Profesi, tesis tidak diterbitkan, IAIN Suann Kalijaga Yogyakarta.

13 Rahmawati, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Etika Ekonomi Islam, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.

14 Sartono, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

15 Achmad Subkhan, Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dan Relevansinya dalam Konteks ke-Indonesia-an, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2000.

16 Bahri Asnawi, Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī), Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.

xxiv

Page 10: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

tentang kemiskinan dan solusi pengentasan kemiskisan yang dikonsep oleh Yūsuf

al-Qaradāwī.

Uraian di atas menunjukan bahwa skripsi berjudul ”Pengaturan Konsumsi

Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī) ini

secara khusus belum pernah ada yang membahas dalam suatu karya ilmiah.

E. Kerangka Teoretik

Al-Qur’an pada dasarnya memberikan otonomi yang luas bentuk free will

dan free choice kepada manusia untuk menentukan nasib dan corak hari

depannya, tetapi dengan tekanan yang kuat agar ia mematuhi hukum-hukum

moral tentang masalah baik dan buruk demi kelestarian eksistensinya di dunia ini.

Manusia beriman haruslah memberikan arah moral bagi setiap perubahan

sosial. Manusia beriman sebagai konsekuensi logisnya adalah manusia yang

berdiri paling depan dalam memberikan alternatif moral bagi suatu perubahan.

Setelah ia lebih dahulu memelopori kehidupan bermoral itu. Keberadaan manusia

bertauhid ditentukan oleh intensitas amal kebaikannya terhadap umat manusia

secara keseluruhan yang terwujud dalam bentuk keadilan, persamaan,

persaudaraan dan kedamaian dalam masyarakat.17

Begitu pula dalam hal konsumsi ketika seorang muslim sedang

menkonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rizki, ia merasa telah memnuhi

17 Ahmad Syarif Ma’arif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi) (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 23.

xxv

Page 11: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

perintah Allah dan yakin bahwa semua yang dikonsumsi asalnya dari Allah dan

kesudahannya berakhir kepada Allah. Meskipun Allah telah memberikan

kebebasan, manusia harus berlaku adil dan seimbang dalam berkonsumsi yang

semuanya itu harus di pertanggungjawabkan kepada Allah.

Mengenai pentingnya pemanfaatan kekayaan, Islam memberi banyak

penekanan pada upaya pengaturan dan penggunaan kekayaan tersebut. Dalam

Islam, tidak ada perbedaan antara pengeluaran belanja yang bersifat spiritual

maupun duniawi, berbeda dengan agama lain, ada perbuatan-perbutan yang

dianggap sebagai perbuatan religius atau spiritual, sementara perbuatan lainnya

non religius atau keduniawian. Islam tidak membuat perbedaan seperti itu antara

jenis keperluan yang satu dengan yang lainnya, karena sebagaimana dipahami

kepatuhan dan ketaatan kepada Allah-lah kaum muslimin menafkahkan harta

mereka misalnya: kepada para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin

sama halnya seperti kerelaan mereka berbelanja untuk menafkahkan dirinya

sendiri, anak-anak, orang tua dan kaum kerabat.

Pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting karena terdapat

perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam, dalam hal konsumsi

terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan

oleh seseorang.

xxvi

Page 12: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

F. Metode Penelitian

Suatu hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian adalah

metodologinya, skripsi sebagai karya ilmiah tidak dapat dilepaskan dari

metodologi ilmiah. Metode yang digunakan adalah:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research),

yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.18

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik yaitu pemaparan yang

diawali dengan menggambarkan konsep yang dikemukakan oleh Yūsuf al-

Qaradāwī tentang pengaturan konsumsi yang kemudian memberikan

pembahasan dan analisa terhadap pemikirannya.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan datanya dengan menelusuri buku-buku dan tulisan-

tulisan dalam bentuk lain yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data yang

penyusun gunakan dalam kajian ini terdiri dari sumber primer dan sekunder.

Adapun data dari sumber primer tersebut antara lain: Daur al-Qiyām wa al-

Akhlāq fī al-Islām.19 Sedangkan sumber bantuan tambahan (sekunder) adalah

18 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 9.

19Yūsuf al-Qaradāwī, Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq fī al-Islām, cet. I (Kairo: Maktabah Wahbah, 1415 H/1995 M).

xxvii

Page 13: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

al-Fatwā Baina al-Indibat wa at-Tasayyub, Fiqh az-Zakat, dan kajian-kajian

yang membantu tentang konsumsi.

4. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis dengan cara berpikir induksi, yaitu

penyusun mangawali dari pemikiran tokoh yang sifatnya khusus (perilaku

konsumsi), kemudian dari yang khusus tersebut ditarik kesimpulan secara

umum.

5. Pendekatan Masalah

Karena penyusun membahas pemikiran tokoh dengan cara

mengumpulkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsepnya dan

diorientasikan pada nilai-nilai yang ada dalam obyek pembahasan, maka

penyusun menggunakan pendekatan normatif.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan pokok-pokok

pembahasan secara sistematik yang berisi pendahuluan, pembahasan, dan

penutup yang terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya.

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah diadakannya penelitian, pokok masalah yang menjadi dasar dan dicari

jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka untuk menelaah

xxviii

Page 14: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

buku-buku yang berkaitan dengan topik kajian yang telah dilakukan orang lain

yang menjadi obyek penelitian, kerangka teoretik yang menjelaskan teori dan

dijadikan sebagai landasan pembahasan, metode penelitian yang menerangkan

metode-metode yang digunakan, dan sistematika pembahasan yang mengatur

urut-urutan pembahasan. Bab ini diuraikan sebagai gambaran mendasar yang

menentukan isi penelitian.

Bab kedua membahas secara rinci gambaran umum tentang konsumsi

dengan sub-sub: konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dan perilaku

konsumsi dalam Islam dan prioritas dalam konsumsi. Pembahasan ini sangat

penting karena untuk memberikan gambaran awal mengenai konsep konsumsi.

Bab ketiga menjelaskan dan memaparkan pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī

yang meliputi: kehidupan dan aktifitas ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī serta

pemikirannya tentang konsumsi. Pada bab ini difokuskan pada pemikiran Yūsuf

al-Qaradāwī sebagai obyek kajian penelitian, dan ini berhubungan erat dengan

bab-bab sebelumnya serta merupakan jawaban dari pokok masalah yang pertama.

Bab keempat, setelah diuraikan pada bab-bab sebelumnya mengenai

gambaran pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī tentang konsumsi yang menjadi obyek

penelitian, maka pada bab ini dilakukan analisis terhadap konsep pemikiran dan

implementasinya sebagai jawaban atas pokok masalah yang kedua.

xxix

Page 15: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Bab kelima merupakan penutup yang menjelaskan kesimpulan dari

pembahasan dan saran-saran, kemudian ditutup dengan daftar pustaka dan

lampiran-lampiran penting lainnya.

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG KONSUMSI

A. Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Konvensional

Penjelasan tentang perilaku konsumsi berkaitan dengan hukum

permintaan yang menyebutkan bahwa jika harga suatu barang naik maka cateris

paribus jumlah yang diminta konsumen terhadap barang tersebut akan turun,

demikian juga sebaliknya bila harga tersebut turun maka jumlah yang diminta

konsumen tersebut akan naik.20

Teori perilaku konsumsi yang digunakan dalam ekonomi modern adalah

teori utility, yang membahas tentang kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh

seseorang dari mengkonsumsikan barang-barang.21 Pada dasarnya ada dua

pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen, yaitu

pendekatan marginal utility dan pendekatan indifference.

Pendekatan marginal utility bertitik tolak pada anggapan yang berarti

bahwa kepuasan setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan

lain. Dengan adanya teori pendekatan ini konsumen selalu berusaha mencapai

20 Boediono, Ekonomi Mikro (Yogyakarta: BPFE, 1997), hlm. 17.

21 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi, cet. XII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 152.

xxx

Page 16: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

kepuasan total yang maksimum. Sedangkan pendekatan indifference ini,

pendekatan yang memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa

diukur. Karena barang-barang yang dikonsumsi mempunyai dan menghasilkan

tingkat kepuasan yang sama. Anggapan yang diperlukan dalam pendekatan

indifference ini adalah bahwa tingkat kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih

tinggi atau lebih rendah tanpa menyatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah.22

Perilaku konsumsi di atas berupaya untuk mencapai kepuasan maksimum

yang hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran keuangan yang dimilikinya.

Dengan kata lain konsumen dapat mengkonsumsi apa saja sepanjang

anggarannya memadai untuk itu, serta konsumen cenderung menghabiskan

anggarannya demi mengejar kepuasan tertinggi yang bisa dicapainya demi

mengejar kepuasan maksimum.

Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana karena

kebutuhannya juga sangat sederhana. Tetapi dalam peradaban modern telah

menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kebutuhan. Peradaban

materialistik dunia barat kelihatanya memperoleh kesenangan khusus dengan

membuat bermacam-macam dan banyak kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan

oleh manusia. Sehingga kesejahteraan seseorang pun nyaris diukur dengan

bermacam-macam sifat kebutuhan.

B. Perilaku Konsumsi dalam Islam

Pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli

ekonomi yang mepertunjukan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan

22 Boediono, Ekonomi, hlm. 18.

xxxi

Page 17: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

prinsip produksi dan konsumsi. Para ahli ekonomi, dapat dianggap kompeten

untuk mengembangkan hukum-hukum, nilai-nilai dan distribusi atau hampir

setiap cabang lain dari subyek tersebut. Perbedaan antara ekonomi modern dan

ekonomi Islam dalam hal konsumsi adalah terletak pada cara pendekatannya

dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran

materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.

Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat aturan-aturan

mengenai segenap perilaku manusia. Begitu pula dalam masalah konsumsi,

manusia diatur supaya dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang

membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya.

Konsumsi merupakan salah satu penggunaan dan pemanfataan sumber

daya atau barang-barang yang ada atau yang telah tersedia di alam dunia ini.

Penggunaan dan pemanfaatan sumber daya dalam Islam diatur supaya digunakan

secara baik.

Dalam al-Qur’an petunjuk mengenai konsumsi dideskripsikan secara jelas

mengenai penggunaan barang-barang yang baik dan bermanfaat serta melarang

adanya pemborosan dan pengeluaran terhadap hal-hal yang tidak penting,

sebagaimana ayat yang berbunyi :

23الطيبات. لكم أحل قل لهم أحل ماذا يسألونك

24رزقناكم. ما طيبات من كلوا امنوا الذين أيها يا

23 Al-Maidah (5): 4.

24 Al-Baqarah (2): 172.

xxxii

Page 18: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

25طيبا. حالال الله رزقكم مما فكلوا

Dengan kata lain al-Qur’an menetapkan satu kata terhadap prinsip-prinsip

umum yang mengatur penggunaan dalam suatu masyarakat muslim untuk

memanfaatkan (konsumsi) kekayaan mereka pada hal-hal yang dianggap baik dan

menyenangkan, 26 dan sebaliknya, al-Qur’an telah menetapkan ketentuan atau

aturan-aturan tegas tentang apakah barang itu sesuai atau dibolehkan bagi

mereka, karena keleluasaan untuk menentukan tingkat kesucian atas penggunaan

barang-barang, khususnya makanan sepenuhnya diserahkan kepada kaum

muslimin itu sendiri.

Menurut Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan

oleh lima prinsip, yaitu: prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip

kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan prinsip moralitas.27

1. Prinsip keadilan

Firman Allah:

وال طيب**ا حالال األرض فى مم**ا كل**وا الن**اس ياايه**ا

28مبين عدو لكم . إنه الشيطان خطوات تتبعوا

25 An-Nahl (16): 114.

26Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeryono, Nastangin, cet. II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 19.

27 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), hlm. 45.

28 Al- Baqarah (2): 168.

xxxiii

Page 19: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Prinsip ini mengandung arti ganda, baik mengenai mencari rizki

secara halal dan yang dilarang menurut hukum. Barang-barang yang baik

adalah segala sesuatu yang bersifat menyenangkan, manis, baik, enak

dipandang mata, harum dan lezat.29

Hal ini diperkuat oleh ayat :

نعم**ة واش**كروا طيب**ا حالال الل**ه رزقكم مم**ا فكلوا

30. تعبدون إياه كنتم إن الله

2. Prinsip kebersihan

Islam mengajarkan barang yang dikonsumsikan harus bersih dan suci,

sesuai dengan firman Allah SWT:

لهم يح**ل و المنك**ر عن وينهاهم بالمعروف يأمرهم

عنهم ويض***ع الخب***ائث عليهم يح***رم و الطيب***ات

31. عليهم كانت التي واألغالل إصرهم

Hal ini diperkuat oleh ayat :

. إن**ه الش**يطان خط**وات تتبعوا وال الله رزقكم مما كلوا

عدو لكم

32مبين

Kebebasan yang diberikan Islam dalam pemanfaatan atau

pembelanjaan harta untuk membeli barang-barang yang baik dan yang halal

29 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 19.30

? An-Nahl (16): 114.

31 Al-A’raf (7): 157.

32 Al-An’am (6): 142.

xxxiv

Page 20: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

demi kepentingan hidup manusia agar tidak melanggar batas-batas kesucian

yang telah ditetapkan.

Dengan demikian tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan

dan diminum dalam semua keadaan. Jadi semua yang diperbolehkan makan

dan minum itu adalah yang bersih dan bermanfaat.

3. Prinsip kesederhanaan

Islam menetapkan satu jalan tengah antara dua hidup yang ekstrim

yaitu antara paham materialisme dan kezuhudan. Di satu sisi dilarang

membelanjakan harta secara berlebih-lebihan semata-mata menuruti hawa

nafsu, di sisi lain juga dilarang berbuat menjauhkan diri dari kesenangan

menikmati barang yang baik dan halal di dalam kehidupan. Sebagaimana

dalam firman Allah SWT. :

الل**ه أح**ل م**ا طيب**ات تحرم**وا ال امنوا الذين أيها يا

33المعتدين يحب ال الله إن تعتدوا وال لكم

34تسرفوا وال واشربوا وكلوا

Menurut Muhammad, arti penting dari ayat ini adalah kenyataan

bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh,

begitu pula bila perut diisi secara berlebihan tentunya akan berpengaruh pada

pencernaan dalam perutnya.35

33 Al-Maidah (5): 87.

34 Al-A’raf (7) : 31.

35 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam, cet. I (Yogyakarta: BPFE, 2004), hlm. 166.

xxxv

Page 21: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

4. Prinsip kemurahan hati

Dalam Islam diperintahkan agar dalam mengkonsumsi suatu barang

yang halal, yang telah disediakan Allah karena kemurahan hati-Nya, selama

dimaksudkan untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang baik dengan

tujuan menunaikan perintah-Nya dengan keimanan yang kuat dalam

tuntunannya. Maka dalam hal ini terdapat peralihan berangsur yang sifatnya

elastis dan memperhitungkan barang yang dikonsumsinya. Terdapat

pengecualian terhadap barang yang merusak kesejahteraan diri maupun

kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT:

وم**ا الخ**نزير ولحم وال**دم الميت**ة عليكم ح**رم إنما

إثم فال عاد وال باغ غير اضطر فمن الله لغير به اهل

36. رحيم غفور الله إن عليه

5. Prinsip moralitas

Prinsip yang terakhir ini adalah prinsip penting yang menjelaskan

tentang kondisi moralitas bagi seorang konsumen muslim dalam melakukan

aktifitas ekonomi, konsumsi terhadap makanan bertujuan untuk keuntungan

langsung tetapi juga bagaimana tujuan akhirnya, yakni untuk meningkatkan

nilai-nilai moral dan spiritual. Hal ini penting karena Islam menghendaki

perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang bahagia.

Prinsip ini didasarkan pada kaidah al-Qur’an, bahwa seseorang akan

merasakan sedikit kenikmatan atau keuntungan yang diperoleh dari minum-

minuman keras dan makan-makanan yang terlarang lainnya, disebabkan hal

36 Al-Baqarah (2): 173.

xxxvi

Page 22: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

tersebut dilarang dan karena adanya bahaya yang mungkin timbul lebih besar

dari pada kenikmatan atau keuntungan yang mungkin diperolehnya.

C. Prioritas dalam Konsumsi

Islam mengajarkan bahwa manusia selama hidupnya akan mengalami

tahapan-tahapan dalam kehidupan. Secara umum tahapan kehidupan dapat

dikelompokkan menjadi dua tahapan yaitu dunia dan akherat. Oleh karena itu

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mencapai kebahagiaan di dunia

dan di akherat. Hal ini berarti pada saat seseorang melakukan konsumsi harus

memperhatikan ajaran-ajaran Islam yang memiliki nilai dunia dan akherat.

Meskipun barang-barang yang dikonsumsikan barang yang halal dan

bersih, akan tetapi dalam mengkonsumsi tidak boleh melakukan permintaan

terhadap semua barang yang ada untuk dikonsumsi, sehingga menyebabkan

pendapatannya habis, dengan kata lain pengeluaran tidak seimbang dengan

pendapatannya. Dan harus diingat bahwa manusia mempunyai kebutuhan jangka

pendek (dunia) dan kebutuhan jangka panjang (akherat) yang sangat penting dan

harus dipenuhi.

Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat digolongkan pada tiga golongan

yaitu keperluan, yang meliputi semua hal yang diperlukan untuk memenuhi

segala kebutuhan yang harus dipenuhi, kesenangan sebagai komoditi yang

penggunaannya menambah efisiensi pekerja, akan tetapi tidak seimbang dengan

biaya komoditi tersebut, dan kemewahan yang menunjukan kepada komoditi

serta jasa yang penggunaannya tidak menambah efisiensi seseorang bahkan

mungkin bisa menguranginya.

xxxvii

Page 23: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Dalam ekonomi konvensional, permintaan konsumen cenderung kearah

kebutuhan duniawi yang dapat menyebabkan kebutuhan akherat yang lebih kecil

dari yang seharusnya dapat dilakukan atau mungkin tidak dapat terpenuhi sama

sekali. Seperti penjelasan yang berada pada halaman 17, bahwa konsumen dapat

mengkonsumsi apa saja sepanjang anggarannya memadai untuk itu, dan

cenderung untuk menghabiskan anggarannya demi mengejar kepuasan

maksimum. Akan tetapi dalam pandangan Islam hal tersebut sangat tidak efisien.

Oleh karena itu konsumen harus benar-benar mengetahui akan adanya pilihan-

pilihan kebutuhan yang harus dipilih, agar kebutuhan-kebutuhan yang lebih

penting dapat terpenuhi lebih dahulu.

Berkaitan dengan masalah ekonomi pendapat seseorang dialokasikan pada

beberapa bentuk pengeluaran yaitu konsumsi, tabungan dan sebagian dari

pendapatan tersebut dikurangkan untuk infak dan sadaqah, maka dengan

demikian besar pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan

hidup manusia harus seimbang.37

Dalam pandangan al-Qur’an, pembelanjaan atau pengeluaran konsumsi

biasanya menggunakan kata dengan istilah “infak”. Pengeluaran infak diharapkan

akan mendatanagkan maslahah bagi diri sendiri maupun bagi orang lain atau

masyarakat. Dalam pandangan pemikiran kata infak oleh para ahli tafsir diartikan

secara berbeda antara arti satu dengan arti yang lain. Ada yang mengartikan

bahwa infak dalam al-Qur’an adalah peneluaran yang berupa zakat yang wajib,

37 Seimbang mengandung arti sama besar tetapi terpenuhi kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau prioritasnya.

xxxviii

Page 24: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

sadaqah sunnah maupun nafkah atas keluarganya. Dan sebagian yang lain

mengartikan bahwa infak adalah mencakup pengeluaran wajib maupun sunnah.

Dengan kata lain kata infak mencakup nafkah atau konsumsi untuk diri

sendiri dan keluarga, nafkah (zakat atau sadaqah) untuk kemakmuran masyarakat

nafkah untuk perjuangan di jalan Allah.38

1. Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga

Konsumsi untuk diri sendiri meliputi kebutuhan-kebutuhan pokok

yang harus dipenuhi dan kebutuhan fungsional yang terpenuhi setelah

memenuhi kebutuhan pokok, fungsional ini tidak bersifat primer, tetapi

merupakan kasenanagan dan kelengkapan.

Dalam memenuhi kebutuhan pokok para konsumen tidak

diperbolehkan mengkonsumsi semua barang yang ada karena pemenuhan

kebutuhan dalam ajaran Islam harus sesuai dengan kebutuhan yang

diperlukan dan seimbang antara pendapatan dengan pengeluaran. Sehingga

tidak ada kata berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut.

Begitu juga para konsumen tidak dibenarkan untuk melakukan sikap

terlalu menghemat baik untuk kepentingan diri maupun keluarga, padahal

sebenarnya mampu untuk mengeluarkan nafkah tersebut sehingga kebutuhan

pokoknya kurang terpenuhi. Hal ini merupakan sifat kikir atau bakhil yang

harus dihindari, sebagaimana sabda Nabi SAW.

38 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam, hlm. 177.

xxxix

Page 25: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

ت**وعي وال هك**ذا و هكذا أنفحي أو أنضحي أو أنفقي

39 عليك الله فيحصى تحصى وال عليك الله فيوعى

2. Tabungan

Masa depan bagi manusia merupakan sesuatu yang belum tentu, oleh

karena itu manusia harus mempersiapkan masa depannya. Dalam hal ini yaitu

manusia harus memenuhi kebutuhan jangka pendek (dunia) dan jangka

panjang (akherat). Dalam ekonomi, penyiapan untuk masa depan bagi

manusia dapat dilakukan dengan melalui tabungan atau menabung.

Menabung merupakan aktifitas menyimpan sebagian pendapatan yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan mendadak

untuk masa yang akan datang.

Dalam hal menabung atau menyimpan harta ada tiga alternatif yang

dapat dilakukan, yaitu:40

a. Memegang kekayaanya dalam bentuk uang kas.

Pola pertama ini sangat dilarang dalam Islam, karena harta yang

dipegangnya akan habis dimakan zakat dan harta tersebut tidak produktif

yang mengakibatkan terganggunya siklus ekonomi.

b. Memegang tabungan dalam bentuk aset tanpa berproduksi.

Pola kedua ini boleh dilakukan, dengan catatan mengikuti cara-

cara yang dianjurkan dan dibolehkan oleh ajaran Islam. Contoh pola ini

adalah deposito bank syari’ah, perhiasan atau dalam bentuk rumah.

39 Al-Imām Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.), VI: 346. Hadis ini diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar.

40 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam, hlm. 180.

xl

Page 26: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

c. Menginvestasikan ke proyek atau usaha yang menguntungkan dan tidak

dilarang dalam ajaran Islam.

Pola ketiga ini adalah pola yang sangat dianjurkan karena pola ini

akan sangat membantu aliran uang secara baik dan menyebabkan kondisi

kesehatan ekonomi.

3. Konsumsi untuk masyarakat (sebagai tanggung jawab sosial)

Dalam ajaran Islam konsumsi yang dimaksudkan untuk masyarakat

atau sebagai tanggung jawab sosial adalah kewajiban untuk mengeluarkan

sadaqah dan atau zakat. Karena hal ini merupakan pelaksanaan dalam

menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi.

Zakat merupakan suatu input bagi upaya investasi yang dilakukan

oleh umat Islam. Dalam pengertian ini zakat dapat diwujudkan dalam bentuk

uang atau sebagai modal sehingga arus perekonomian tidak tersumbat. Oleh

karena itu dalam Islam penumpukan terhadap harta atau harta-harta tidak

diproduksikan sangat dilarang, sebab dapat menghambat bahkan bisa

menutup arus peredaran, dan juga akan mendorong manusia cenderung pada

sifat-sifat menyimpang dari ajaran Islam, seperti: tamak, rakus, tidak zakat,

tidak sadaqah, dan sejenisnya.

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ

TENTANG KONSUMSI

xli

Page 27: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

A. Biografi Yūsuf al-Qaradāwī

1. Kelahiran dan Pendidikan Yūsuf al-Qaradāwī

Nama lengkap Yūsuf al-Qaradāwī adalah Muhammad Yūsuf al-

Qaradāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di sebuah desa kecil di

Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta. Ia berasal dari keluarga yang

taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketika usia dua tahun, ayahnya

meninggal dunia yang kemudian diasuh oleh pamannya yang keluarganya

pun taat menjalankan ajaran Islam, ia diasuh sebagaimana layaknya terhadap

anak kandungnya sendiri. Sehingga Yūsuf al-Qaradāwī menganggapnya

sebagai orang tuanya sendiri, maka tidak heran kalau Yūsuf al-Qaradāwī

menjadi seorang yang kuat beragama.41

Kecerdasan Yūsuf al-Qaradāwī sudah mulai tampak sejak usianya

terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia dididik menghafalkan al-

Qur’an secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh

sudah hafal al-Qur’an dengan fasih. Karena kemahirannya dalam bidang al-

Qur’an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil oleh orang-orang dengan

sebutan Syekh Qaradāwī. Dan dengan kemahirannya serta suaranya yang

merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah (salat

yang mengeraskan bacaannya).42

Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qaradāwī telah lulus dari Ma’had Tanta,

selama empat tahun. Kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan dalam

41 Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf ”.

42 Ibid.

xlii

Page 28: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

waktu lima tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya

ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin,

jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan predikat terbaik.

Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qaradāwī masuk ke Ma’had al-Buhus ad-

Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi di

bidang bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat

pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian melanjutkan studinya ke

lembaga tinggi riset dan penelitian masalah-masalah Islam dan

perkembangannya, selama tiga tahun. Dan pada saat yang sama ia mengikuti

kuliah pada program pasca sarjana (Dirāsāt al-'Ūlā) di Universitas yang sama

dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis, berhasil diselesaikan pada tahun

1960. Setelah itu Yūsuf al-Qaradāwī melanjutkan program doktor yang

selesai dalam dua tahun, gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972

dengan disertasi “Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan

Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah

buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa

modern.

Yūsuf al-Qaradāwī terlambat dalam meraih gelar doktor dari yang

diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya

rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar, di sana

Yūsuf al-Qaradāwī sempat mendirikan fakultas Syari’ah di Universitas

Qatar. Pada saat yang sama Yūsuf al-Qaradāwī mendirikan Pusat Kajian

Sejarah dan Sunnah Nabi.

xliii

Page 29: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qaradāwī

ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan

Ikhwanul Muslimin.43 Setelah keluar dari tahanan, beliau hijrah ke Daha,

Qatar yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya.

Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qaradāwī pernah mengenyam

pendidikan penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia

masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya

dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Pada April tahun 1956, ia

ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober Yūsuf al-

Qaradāwī kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.44

2. Aktifitas Ilmiah Yūsuf al-Qaradāwī

Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang tokoh umat Islam yang sangat

menonjol di zaman ini, ia pernah berprofesi sebagai penceramah dan pengajar

di berbagai masjid. Selain itu al-Qaradāwī menjadi pengawas pada Akademi

Para Imam, lembaga yang berada di bawah Kementerian Wakaf di Mesir.

Setelah itu al-Qaradāwī pindak ke urusan bagian Administrasi Umum untuk

Masalah-masalah Budaya Islam di Al-Azhar. Di tempat ini beliau bertugas

untuk mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang menyangkut

teknis pada bidang dakwah.45

43 Al-Ikhwan al-Muslimun: sebuah gerakan yang didirikan pada bulan Maret 1928 di Kairo, Mesir oleh al-Imam al-Hasan al-Banna yang bertujuan untuk mempromosikan Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing. David Commins, “Hasan al-Banna (1906-1949), para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 133.

44 Yūsuf al-Qaradāwī, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004.45

xliv

Page 30: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Dalam bidang dakwah, Yūsuf al-Qaradāwī aktif manyampaikan

pesan-pesan keagamaan mulai program khusus di radio dan televisi Qatar,

antara lain melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang

keagamaan.

Yūsuf al-Qaradāwī mulai aktif dakwahnya sejak masa remajanya,

yaitu sejak masih duduk di sekolah menengah pertama di Tanta. Saat itu ia

masih berumur enam belas tahun. Memulai dakwahnya dari desanya yang

kemudian di lingkungan sekitarnya. Dalam dakwahnya banyak menggunakan

sarana yang bervariasi di antaranya adalah dari mimbar sebagai sarana

tradisional yang memiliki jejak sejarah panjang, yakni dari masjid-masjid,

dari masjidlah Yūsuf al-Qaradāwī menyampaikan khutbah dan pelajaran-

pelajarannya, menyampaikan nasehat dan fatwa-fatwanya. Hingga kini Yūsuf

al-Qaradāwī menjadi khatib tetap di Masjid Umar bin Khathab yang

pelaksanaannya langsung di televisi Qatar.46

Al-Qaradāwī juga telah menjadikan media sebagai mimbar

dakwahnya, diantaranya radio-radio, yang dalam penyampaiannya ada yang

berhubungan dengan Tafsir al-Qur’an, ada yang berkenaan dengan

keterangan-keterangn tentang Hadis, ada juga yang berhubungan nasehat-

nasehat tentang moral, ada pula yang berhubungan dengan tanya jawab

masalah agama secara umum; di televisi, diantaranya dalam acara Hadyu al-

Islam yang ditayangkan setiap hari jum’at di stasiun televisi di Qatar yang

465 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh Yūsuf al-Qaradāwī, alih bahasa Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 4.

6 Ibid., hlm. 10.

xlv

Page 31: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

berlangsung sampai sekarang, ada yang di televisi global yang di dalamnya

bercampur antara kebaikan dan kejahatan, program siaran ini bernama asy-

Syarī’ah wal Hayāh (syari’ah dan kehidupan). Di televisi al-Jazirah, al-

Qaradāwī dianggap sebagai acara yang paling sukses, ada pula di acara

televisi di Dubai yang acara ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepadanya yang dijawab tanpa persiapan sebelumnya. Ini semua

menggambarkan kedalaman ilmu pengetahuanm Yūsuf al-Qaradāwī. Hingga

sebuah surat kabarnya yang terbit di mesir memberikanya gelar sebagai

“ensiklopedi berjalan”. Bisa dikatakan tidak ada satu stasiun televisi pun yang

ada di wilayah Arab yang tidak menyiarkan ceramah-ceramah Yūsuf al-

Qaradāwī.47

Selain itu Yūsuf al-Qaradāwī juga menyebarkan dakwahnya melalui

media cetak. Tulisan-tulisan tersebar di berbagai majalah, surat kabar. Media

terakhir yang dijadikan sarana dakwah adalah media internet.48

3. Karya-karya Yūsuf al-Qaradāwī 49

Sebagai seorang ilmuwan dan da’i, Yūsuf al-Qaradāwī juga aktif

menulis artikel keagamaan di berbagai media cetak. Aktif melakukan

penelitian tentang Islam di berbagai dunia Islam maupun di luar dunia Islam.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, ia banyak menulis

buku-buku dalam berbagai masalah pengetahuan Islam, jelas tidak

mengherankan sekiranya mendapatkan predikat seorang mufti Islam dewasa

47 Ibid., hlm. 12.

48 Ibid.

49 Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449-1450.

xlvi

Page 32: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

ini. Di antara karya-karyanya yang paling populer di kalangan perguruan

tinggi dan pesantren ialah:

a. Al-Halāl wa al- Harām fi al-Islām (tentang masalah yang halal dan haram

dalam Islam)

b. Fiqh az-Zakāh (berbagai masalah zakat dan hukumnya)

c. Al-Ibadah fi al-Islām (hal ihwal ibadah dalam Islam)

d. An-Nas wa al-Haqq (tentang manusia dan kebenaran)

e. Al-Iman wa al-Hayah (mengenai keimanan dan kehidupan)

f. Al-Hulul al-Mustauradah (paham hulul [Tuhan mengambil tempat pada

diri manusia] yang diimpor dari non Islam)

g. Al-Hill al-Islām (kebebasan Islam)

h. Syarī’ah al-Islām Sālihha li at-Tatbīq fi Kulli Zamānin wa Makānin

(mengenai syari’at islam, elastisitas dan kesesuaian dalam penerapannya

pada setiap masa dan tempat)

i. Al-Ijtihād fi asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah (ijtihad dalam syari’at Islam)

j. Fiqh as-Siyam (fikih puasa).

4. Metode Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī

Yūsuf al-Qaradāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.50 Oleh

karena itu, untuk membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya

tidak dapat dilepas begitu saja, namun jelas pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī 50 Dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual, istilah

pemikiran merupakan sesuatu yang ambisius, dapat diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu, ia dapat diterapkan kepada seorang philosopher, thinker, scholar/intelektual, yang merujuk kepada figure pelajar. Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998, hlm. 58.

xlvii

Page 33: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

tidak dapat dilepas dari pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan

pada pribadi Yūsuf al-Qaradāwī. Sikap moderat tersebut tidak dapat

diabaikan, karena hampir dalam semua karya Yūsuf al-Qaradāwī selalu

mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah (Islam pertengahan).

Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari pemahaman

Yūsuf al-Qaradāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan

antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas

dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan.

Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi terhadap al-

Qur’an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qaradāwī telah berhasil dengan sangat jenius

menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut.

Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran

Islam sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada

saat yang sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-

pendapatnya yang digalinya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Yūsuf al-

Qaradāwī dengan gencar mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihan-

kelebihannya oleh umat-umat lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhati-

hati dan sangat selektif terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau

Timur, termasuk dari karangan umat Islam sendiri, Yūsuf al-Qaradāwī tidak

pernah terjebak dalam dikotomi Barat dan Timur.51

Dalam masalah ijtihad, Yūsuf al-Qaradāwī merupakan seorang ulama

kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid

51 Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili, No. 25, Th. VII (31 Mei 2000), hlm. 80.

xlviii

Page 34: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

yang berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak

membaca dan menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam

serta membaca kritik-kritik pihak lawan Islam.52

Yūsuf al-Qaradāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama yang tak

jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya. Keresahan

menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat

terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya

menulis. Sekali lagi, Yūsuf al-Qaradāwī berkeyakinan bahwa mengambil

jalan pertengahan (sikap moderat) adalah yang terbaik dan yang paling sesuai

dengan warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui

tulisan.53

Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk

pembaharuan hukum Islam. Yūsuf al-Qaradāwī berkomentar bahwa mereka

adalah orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak

memahami parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern

ekstrem yang menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus

dihapuskan meskipun telah mengakar dengan budaya masyarakat, sama

dengan golongan di atas yang tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam yang

sebenarnya. Yang diinginkannya adalah pembaharuan yang tetap berada di

bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam, menurutnya bukan berarti

ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada bidang pemikiran dan

52 Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449.

53 Yūsuf al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih bahasa Yogi P. Izza, (Solo: Intermedia, 2001), hlm. 327.

xlix

Page 35: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi bidang pemikiran

sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.54

Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qaradāwī dalam

berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut: 55

a. Tidak fanatik dan tidak taqlid.

Ini merupakan prinsip pertama, yaitu terlepas dari fanatisme

mazhab dan taqlid buta terhadap siapa pun, baik kepada ulama terdahulu

maupun ulama setelahnya. Karena telah dikatakan “tidaklah berbuat

taqlid kecuali orang fanatik atau orang tolol”. Pada hakekatnya tidak

fanatik dan tidak taqlid bukanlah menodai mereka, akan tetapi merupakan

penghormatan sepenuhnya kepada para imam dan fuqaha kita. Bahkan

mengikuti metode dan cara mereka, melaksanakan pesan mereka agar kita

tidak taqlid kepada mereka atau kepada orang lain, dan mengambil

sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil.

Sikap ini tidak mutlak dimiliki oleh seorang ulama yang

independen dalam pemahaman yang telah mencapai derajat mujtahid

seperti imam-imam terdahulu, namun cukup bagi seorang ulama yang

independen dalam sikap ini beberapa hal berikut:

1) Tidak mengemukakan pendapat atau keputusan yang tidak ada dalil

yang kuat atau dalil yang tidak kontradiktif dan tidak menjadi seperti

sebagian orang yang mendukung satu pendapat tertentu karena

54 Ibid.

55 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), I: 21.

l

Page 36: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

pendapat tersebut merupakan pendapat mazhabnya yang tanpa melihat

dalil atau bukti kebenarannya.

2) Mampu melakukan tarjih di antara berbagai pendapat yang berbeda

atau berlawanan dengan mempertimbangkan dalil-dalil dan

argumentasi masing-masing serta memperhatikan sandaran mereka,

baik dari dalil naqli maupun aqli.

3) Mampu berijtihad secara parsial, yaitu ijtihad untuk menentukan

masalah-masalah tertentu, terlebih masalah yang belum diputuskan

oleh para ulama terdahulu dan mampu menetapkan hukum dengan

cara menggalinya dari nas-nas umum yang sahih atau

mengqiyaskannya kepada masalah yang serupa yang ada nas

hukumnya atau juga dengan menggunakan kaidah istihsan,56

maslahah mursalah,57 atau dengan cara yang lainnya.

b. Mempermudah, tidak mempersulit.

Hal ini dasarkan atas dua alasan. Alasan pertama mengenai

masalah taharah dan tayamum, dalam surat al-Maidah Allah berfirman:

56 Istihsan dalam pengertian umum ialah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedang menurut istilah ahli ushul, berarti pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy (qiyas yang illatnya samar-samar yang ada pada pokok, yang kemudian dipetik dari padanya), atau dalil kully kepada hukum lakhsis. Ini disebabkan ada dalil yang menyebabkan mujtahid menyalahkan cara berpikirnya, dan mementingkan pemindahannya. Karena itu jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada nas hukumnya, ada dua cara pembahasan yang berlawanan, yaitu: a) dari segi zahir yang berkehendak adanya suatu hukum, dan b) dari segi zahir yang berkehendak adanya suatu hukum lain. Dalam hal ini, pada diri mujtahid telah terdapat dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafiy. Kemudian karena berpindahnya kepada yang zahir (nyata), maka hal ini menurut syara', disebut Istihsan. A. Hanafi, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1975), hlm. 142.

57 Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan yang tersebar. Menurut istilah adalah perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat Islam atau untuk menarik manfaat dan menolak kerusakan seperti kesempitan, sedangkan tidak terdapat dalil syara' pun yang menunjukkan ada atau tidak adanya hukum tersebut, Ibid.

li

Page 37: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

يري**د ولكن ح**رج من عليكم ليجع**ل الله مايريد

58تشكرون. لعلكم عليكم نعمته وليتم ليطهركم

Dalam surat al-Baqarah ayat 185 juga dijelaskan mengenai pemberian

dispensasi kepada orang sakit serta musafir untuk berbuka, firman Allah:

59العسر بكم يريد وال اليسر بكم الله يريد

Selain kedua ayat di atas, disebutkan pula di dalam surat an-Nisa’ ayat 28

yang membicarakan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, yakni

Allah memberikan kemurahan untuk mengawini budak-budak wanita

yang beriman bagi orang yang tidak mampu kawin dengan wanita

merdeka.

ضعيفا االنسان وخلق عنكم يخفف ان الله 60يريد

Dan di dalam surat al-Hajj ayat 78 juga disebutkan berkaitan dengan hal

ini Nabi SAW pun bersabda

61.تنفروا وال وبشروا تعسروا وال يسروا

Alasan yang kedua yaitu karakteristik zaman yang terus tambah,

dimana zaman sekarang menggambarkan sikap hidup materialisme yang

lebih dominan dari pada spiritualisme, individualisme lebih dominan dari

pada kebersamaan (sosialisme), pragmatisme lebih dominan dari pada

akhlak. Maka sudah seharusnya bagi ahli fatwa untuk memberikan

58 Al-Maidah (5): 6.

59 Al-Baqarah (2): 185. 60 An-Nisa’ (4): 28.

61 Al-Imām Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hambal, (ttp.: Dar al-Fikr, t.t.),

IV: 417. Hadis dari Abu Burdah dari ayahnya dari kakeknya.

lii

Page 38: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

kemudahan kepada mereka sesuai dengan kemampuannya, dan banyak

memberikan rukhsoh (yang meringankan) dari pada ‘azimah (yang keras

atau berat) agar mereka makin gemar dalam menjalankan agama dan

mengokohkan kakinya dijalan yang lurus.

c. Berbicara dengan bahasa aktual.

Yaitu berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah

dicerna oleh masyarakat penerima fatwa, dengan menjauhi istilah-istilah

yang sukar dimengerti atau ungkapan-ungkapan yang aneh, sebagaimana

yang Allah firmankan:

62 لهم ليبين قومه بلسان إال رسول من ارسلنا وما

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang mufti dalam

penguasaan bahasa, antara lain:

1) Berbicara secara rasional dan tidak berlebihan

2) Tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti

3) Menyebutkan hukum disertai hikmah dan sebab ketentuan

hukumnya (‘illat) yang dikaitkan dengan epistimilogi Islam.

d. Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.

Prinsip keempat yang digunakan adalah tidak menyibukkan

dirinya dalam masyarakat kecuali dengan sesuatu yang bermanfaat bagi

mereka. Hal ini harus dipatuhi oleh seorang mufti, yang terkadang dan

bahkan sering terjadi seorang mufti mendapatkan pertanyaan-pertanyaan

yang tidak serius, bahkan cenderung berupa ejekan. Seorang mufti harus

62 Ibrahim (14): 4.

liii

Page 39: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

pandai mensikapi masalah tersebut, dengan cara mengesampingkan

pertanyaan tersebut dan bahkan tidak menghiraukan sama sekali. Sebab

hal itu dapat menimbulkan bahaya yang tidak membawa manfaat, dapat

meruntuhkan, dapat memecah, tidak membangun dan tidak

mempersatukan umat.

e. Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat.

Prinsip kelima yang digunakan adalah bersikap moderat

(pertengahan) antara tafrit (memperingan) dengan ifrat (memperkuat).

Seorang mufti tidak menginginkan masyarakatnya hendak melepaskan

ikatan-ikatan hukum yang telah tetap dengan alasan menyesuaikan diri

dengan perkembangan zaman seperti yang dilakukan oleh orang-orang

yang mengabdikan pada modernisasi. Selain itu juga tidak ingin

masyarakatnya hendak membakukan dan membekukan fatwa-fatwa,

perkataan dan ungkapan-ungkapan terdahulu karena menganggap suci

segala sesuatu yang dulu.

f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.

Seorang mufti dalam menjawab pertanyaan dituntut untuk

memberikan keterangan dan penjelasan, karena dengan begitu orang yang

bodoh menjadi mengerti, orang yang lupa menjadi sadar, orang yang ragu

menjadi mantap, orang yang bimbang menjadi yakin, orang yang pandai

menjadi bertambah ilmunya, dan orang yang beriman semakin bertambah

imannya.

liv

Page 40: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufti

dalam memberikan keterangan dan penjelasan adalah sebagai berikut:63

a. Fatwa tidak ada artinya jika tidak disertai dalil. Karena keindahan dan

ruh fatwa itu terletak pada dalil itu sendiri.

b. Menyebutkan hikmah dan sebab hukum.

c. Mengkomparasikan sikap dan pandangan Islam dengan sesuatu yang

di luar Islam.

d. Memberikan pengantar atau pendahuluan ketika hendak menjelaskan

hukum yang dirasa aneh atau asing.

e. Memberikan alternatif lain untuk hukum yang diharamkan.

f. Menghubungkan sesuatu yang telah ditentukan dengan sesuatu yang

lain dalam hukum Islam. Dengan demikian dapat dilihat secara jelas

keadilan, kebaikan dan keunggulan syari’at Islam.

g. Tidak wajib dijawab atas pertanyaan yang tidak ada urgensinya dan

tidak membawa manfaat sama sekali.

Dalam bidang ekonomi Islam,64 Yūsuf al-Qaradāwī tidak lama

menfokuskan terhadap masalah ekonomi Islam baik secara teoritis maupun

praktis. Dari sisi teoritis telah banyak disampaikan ceramah dan pelatihan

tentang ekonomi Islam dan mengarang beberapa buku tentang ekonomi Islam

yang banyak tersebar di beberapa negara Islam. Dari sudut praktis Yūsuf al-

Qaradāwī merupakan sosok pendukung utama pendirian bank-bank Islam,

63 Yūsuf al-Qaradāwī, Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. I (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 1996), hlm. 110.

64 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh, hlm. 15.

lv

Page 41: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

baik sebelum bank itu berdiri maupun setelahnya. Dalam kitabnya bai’ al-

murabahah, ia berkata “sesungguhnya kepedulian saya terhadap ekonomi

Islam merupakan gambaran kepedulian saya terhadap salah satu sisi syari’ah

Islam dan usaha-usaha penerapannya di dalam segala lapangan kehidupan

serta usaha menjadikannya sebagai pengganti hukum-hukum positif yang ada

saat ini.”

Selain hal di atas, dalam pengambilan hadis yang digunakan oleh

Yūsuf al-Qaradāwī lebih mengunggulkan hadis yang mengandung ketentuan

hukum yang meringankan dari pada hadis yang mengandung ketentuan

hukum yang memberatkan. Karena prinsip-prinsip hukum Islam adalah

meringankan, bukan memberatkan.65

B. Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Konsumsi

1. Tidak kikir atau bakhil

Harta yang ada di dalam semesta ini adalah anugrah yang diberikan

Allah SWT. kepada manusia. Dan setiap manusia mempunyai hak yang

disahkan menurut Islam untuk memiliki harta, namun kepemilikan harta itu

bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah

untuk mewujudkan kemaslahatan umum.

Perintah diwajibkan untuk membelanjakan harta tercantum setelah

anjuran beriman kepada Allah dan nabi-Nya. Kombinasi antara iman dan

infak banyak terdapat di dalam ayat al-Qur’an, sebagaiman firman Allah :

65 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 235.

lvi

Page 42: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

رزقن**اهم ومم**ا الص**لوة ويقيم**ون ب**الغيب يؤمنون الذين66. ينفقون

Dalam membelanjakan harta, Islam menggariskan bahwa tidak boleh

melampaui batas, misalnya dalam menafkahkan hartanya untuk orang

banyak dalam jumlah lebih besar dari pada nafkah pribadinya dan sebaliknya

dalam membelanjakan harta tidak boleh terlalu menghemat baik untuk

kepentingan diri maupun keluarganya. Sebagaimana firman Allah:

البسط كل والتبسطها عنقك الى مغلولة يدك والتجعل

فتقعد

67 محسورا ملوما

Allah melarang makhluknya menjerat leher dengan cara hidup terlalu

hemat sebagaimana telah melarang hidup boros dan berfoya-foya. Dalam hal

ini tidak hanya terbatas pada pakaian, tetapi mencakup juga sandang, pangan,

papan dan segala kebutuhan pokok.

Adapun dalam membelanjakan harta menurut Yūsuf al-Qaradāwī ada

beberapa sasaran, yaitu sebagai berikut:68

a. Fi sabilillah.

Bentuk membelanjakan harta atau menafkahkan harta fi sabilillah

(di jalan Allah) terdapat bermacam-macam bentuk variasi:

66 Al-Baqarah (2): 3

67 Al-Isra’ (17): 29.

68 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai & Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 214.

lvii

Page 43: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

1) Dalam bentuk perintah dan peringatan. Allah

memerintah kita supaya jangan menjatuhkan diri kedalam kebinasaan.

Dalam artian menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi dengan

mengabaikan problematika umat. Dalam firman Allah disebutkan:

69 التهلكة الى بأيديكم والتلقوا الله سبيل فى وانفقوا2) Dalam bentuk pengingkaran seperti dalam firman Allah:

الس**موات م**يراث ولل**ه الله سبيل فى تنفقوا اال ومالكم70واألرض

3) Dalam bentuk anjuran dengan pokok yang baik, seperti diungkapkan

dalam ayat:

كمثل الله سبيل فى اموالهم ينفقون الذين مثل

حب**ة مائ**ة سنبلة كل فى سنابل سبع انبتت حبة

71عليم واسع والله يشاء لمن يضاعف والله

4) Dalam bentuk ancaman yang keras dengan sanksi Allah dan azab-Nya

yang pedih, seperti diungkap dalam ayat yang artinya :

ينفقونه**ا وال والفض**ة ال**ذهب يك**نزون وال**ذين

. ي**وم اليم بع**ذاب فبش**رهم الل**ه س**بيل فى

69 Al-Baqarah (2): 195.

70 Al-Hadid (57): 10.

71 Al-Baqarah (2): 261, lihat juga ayat 245.

lviii

Page 44: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

و جب**اههم بها فتكوى جهنم نار في عليها يحمى

ألنفس**كم ك**نزتم م**ا ه**ذا وظه**ورهم جن**وبهم

72تكنزون كنتم ما فذوقوا

Dari ayat-ayat di atas maka pengalokasian nafkah yang wajib

dibelanjakan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,

anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang

dalam perjalanan.

Mengenai berapa nafkah yang dikeluarkan, seperti dalam firman

Allah menjelaskan.

73 العفو قل ينفقون ماذا ...

Kata al-‘afwu bermakna kelebihan dari kebutuhan

74تعول بمن وابدأ غنى ظهر عن ماكان الصدقة خير

Menurut sebagian ulama dalam mengartikan menafkahkan harta di

jalan Allah berarti semua amal yang mendekatkan diri kepada Allah

secara umum. Sedangkan menurut empat mazhab, bahwa di jalan Allah

72 Al-Taubah (9): 34-35.

73 Al-Baqarah (2): 219.

74 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalānī, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh al-Bukhārī), (ttp.: Salafiyah, t.t.), hlm. 294, hadis nomor 1426, “Kitāb az-Zakāh,” “Bāb Lā Sadaqata Illā ‘an Zahri Ganiyyi.” Hadis ini sahih dan diriwayatkan dari Abu Hurairah.

lix

Page 45: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

dibatasi pada masalah-masalah yang dihubungi dengan jihad saja, yaitu

perjuangan yang ikut bertempur dimedia perang.75

Adapun pendapat Yūsuf al-Qaradāwī mengenai arti nafkah “di

jalan Allah” diperluas, sehingga akan meliputi segala masalah yang baik,

dan tidak dipersempit pada masalah-masalah yang ada hubungannya

dengan jihad, misalnya untuk militer dan perlengkapannya saja. Arti jihad

terhadap itu sangat luas, jihad tidak hanya dengan pedang atau

perlengakapan militer lainnya, akan tetapi dengan pena atau lidah sudah

termasuk bagian dari jihad, dibidang ekonomi, politik, pendidikan atau

sosial pun termasuk bagian dari jihad..76

Dengan demikian arti jihad dalam ekonomi khususnya konsumsi

termasuk berusaha dan mencegah untuk tidak bakhil atau kikir, juga

termasuk berfoya-foya dan melakukan kemubadziran.

b. Untuk diri dan keluarga.

Bentuk nafkah yang kedua adalah nafkah untuk diri sendiri dan

keluarga yang ditanggungnya. Sudah seharusnya menjadi kewajiban bagi

diri manusia yang telah dikaruniai oleh Allah sebagai makhluk yang

paling sempurna ciptaan-Nya dibanding makhluk-makhluk yang lain

untuk menjaga mempertahankan hidup sebagai rasa syukur, bukan hanya

pada diri sendiri tetapi termasuk keluarganya. Seorang muslim tidak

diperbolehkan mengharamkan harta halal dan harta yang baik untuk

75 Yūsuf al-Qaradāwī, Fatawa Qardawi: Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih bahasa Abdurahman Ali Bauzir, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), hlm. 169.

76 Ibid,. hlm. 170.

lx

Page 46: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

dikonsumsi bagi dan keluarganya, padahal sudah jelas mampu

mendapatkannya. Perintah diwajibkannya manusia untuk menikmati

kenikmatan yang halal, seperti makanan, minuman dan perhiasan, dalam

al-Qur’an diterangkan secara global

من والطيب**ات لعب**اده أخ**رج ال**تي الله زينة حرم من قل77 الرزق

Dalam hal ini juga tidak membenarkan kesengsaraan yang

disengaja dijalani, dengan alasan untuk beribadah atau untuk menghemat

uang karena hal tersebut termasuk sikap yang membinasakan kehidupan

manusia.

Kehidupan istri dan anak-anaknya merupakan bagian dari

kehidupan diri sendiri yang sudah sepantasnya untuk diberi nafkah, dan

bukan hanya sekedar nafkah tetapi nafkah yang baik.

المقترقدره على و قدره الموسع على ومتعوهن

78 المحسنين على حقا بالمعروف متاعا

Bukan hanya nafkah baik yang harus diberikan, namun termasuk

membangun rumah yang luas dan nyaman. Dalam pembangunan rumah

ini seseorang harus mempunyai sikap yang sama dalam memberikan dan

mengkonsumsi nafkah yang diberikan, yaitu sikap tidak boros atau

mubazir.

77 Al-A’raf (7): 32.

78 Al-Baqarah (2): 236.

lxi

Page 47: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Keindahan dalam rumah bukan berarti mendorong untuk bersikap

boros, karena keindahan ini sifatnya relatif yaitu tergantung pada tempat

dan waktu.

2. Tidak mubazir

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk

memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di

jalan Allah. Dengan kata lain, bahwa Islam adalah agama yang memerangi

kekikiran dan kebakhilan.

Mubazir adalah menghambur-hamburkan uang tanpa ada

kemaslahatan atau tanpa mendapatkan pahala. Di dalam kamus, tabzir artinya

“pemborosan dan penghamburan harta”.

Menurut sebagian orang, menghambur-hamburkan uang selalu

berkaitan dengan sikap boros dalam membelanjakan barang yang haram.

Pendapat lain bahwa menghambur-hamburkan berkaitan dengan

membelanjakan barang haram. Tapi pendapat yang paling kuat adalah,

menghambur-hamburkan uang itu berkaitan dengan segala jenis

pembelanjaan yang tidak diizinkan oleh syari’at, baik untuk kepentingan

agama maupun kepentingan dunia.

Betapa banyak ditemukan bahwa mannusia membenjakan hartanya

untuk membeli minuman keras, narkotika, dan barang memabukkan lainnya,

sedang ia hidup dalam kamiskinan.

Sikap mubazir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik

kemaslahatan pribadi ataupun kemaslahatan orang lain. Lain halnya jika harta

lxii

Page 48: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

atau uang itu dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala,

dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Dan pola hidup

sederhana tidak hanya dituntut dalam kehidupan pribadi akan tetapi pola

hidup sederhana juga dituntut dalam kehidupan bernegara.

Sikap boros termasuk sikap yang merusak harta, meremehkan, atau

kurang merawatnya sehingga rusak dan binasa. Perbuatan ini termasuk

kriteria menghambur-hamburkan uang yang dilarang contohnya adalah

menelantarkan hewan hingga kelaparan atau sakit, menelantarkan tanaman

hingga rusak, menelantarkan biji-bijian, makanan atau buah-buahan hingga

rusak dimakan bakteri atau serangga dan membiarkan bangunan rusak

dimakan usia. Termasuk menelantarkan tanaman tanah perkebunan tanpa

ditanami, menelantarkan sumber daya hewani padahal kulit, susu atau bagian

lainnya bisa dimanfaatkan, dan lain-lain.79 Islam tidak hanya menentang sikap

berlebih-lebihan dalam beribadah seperti puasa, sholat, membaca al-Qur’an,

bangun malam sehingga menggangu kesehatan badan karena, Islam adalah

agama yang memperhatikan kesehatan badan dengan cara menunjukkan pola

hidup sederhana.

3. Kesederhanaan

Islam mewajibkan setiap orang mambelanjakan harta miliknya untuk

memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di

jalan Allah dengan sikap sederhana, dalam firman Allah :

79 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm. 157.

lxiii

Page 49: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

وك**ان يق**تروا ولم يس**رفوا لم انفق**وا إذا وال**ذين80 قواما ذلك بين

Sikap sederhana semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang

sangat minim, dengan cara menahan atau mengurangi pengeluarannya.

Kesederhanaan dalam konsumsi ini berlaku bagi siapa saja dan untuk siapa

saja.

Pada prinsipnya setiap individu dalam syari’at Islam bebas untuk

mengkonsumsi rizki yang baik dan yang dihalalkan Allah, tapi dengan syarat

tidak membahayakan diri, keluarga atau pun masyarakat. Kebebasan yang

diberikan Allah bukan berarti dengan semauanya sendiri untuk

membelanjakan hartanya tanpa melihat batasan-batasan yang telah disebutkan

di depan, yang bisa mengakibatkan seseorang berhutang.

Menurut Yūsuf al-Qaradāwī bukan cuma sikap sederhana yang harus

diterapkan tapi termasuk menghindari dari sikap kemewahan. Kemewahan

merupakan sikap yang dilarang karena menenggelamkan diri dalam

kenikmatan dan bermegah-megahan.

. كريم وال بارد يحموم. ال من وظل وحميم سموم في

81 مترفين ذلك قبل كانوا إنهم

80 Al-Furqan (25): 67

81 Al-Waqi’ah (56): 42-45.

lxiv

Page 50: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang hidup mewah

dalam perspektif al-Qur’an dianggap sebagai musuh dalam setiap risalah,

lawan setiap gerakan perbaikan dan kemajuan. Kemewahan di sini yaitu

terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana

hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis

makanan dan minuman serta apa saja yang memadai rumah dari perabot dan

hiasan, seni dan patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan

sejenisnya.

Dalam Islam kemewahan merupakan faktor utama dari kerusakan dan

kehancuran bagi diri sendiri dan masyarakat, sementara standar kemewahan

antara seorang dengan orang lain sangat berbeda dan tergantung pada

pendapatan masing-masing. Walaupun standar kemewahan terkait dengan

pendapatan individu, namun Islam menetapkan beberapa jenis barang yang

tergolong sebagai tanda kemewahan, di antaranya adalah:82

a. Cawan emas dan perak.

Cawan emas dan perak ini tidak hanya untuk makan dan minum,

akan tetapi cawan emas dan perak ini termasuk untuk perhiasan rumah,

terutama patung-patung perak dan emas.

يجرج**ر فإنم**ا فض**ة او ذهب من اناء في شرب من

بطنه في

83جهنم نار

82 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma & Etika, hlm 153.

83 Muslim, Jāmī’ as-Sahīh, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), V:135, “Kitāb al-Libās wa az-Zīnati,” “Bāb Tahrīm Isti’māl Inā’ az-zahabi wa al-Fidoh.” Menurut Turmuzi hadis ini hasan sahih,

lxv

Page 51: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

b. Kasur dari bahan kain sutra murni.

Selain dilarang memakai cawan emas dan perak Nabi SAW. juga

melarang memakai sutra atau duduk di atasnya. Diberitahukan kepada

Nabi oleh sahabat:

انية فى نشرب ان وسلم عليه الله صلى النبي نهانا

الحري**ر لبس وعن فيه**ا، نأك**ل وان والفض**ة الذهب

والديباج

84عليه نجلس وان

c. Gelang emas dan pakaian sutra bagi laki-laki.

Termasuk pena emas, jam tangan dari emas, korek api dan emas

dan sejenisnya.

Yūsuf al-Qaradāwī menekankan kesederhanaan dalam hal

konsumsi tidak hanya pada seseorang dan keluarganya, namun

kesederhanaan dalam pembelanjaan ditekankan pada kepentingan

masyarakat atau umum dan dalam pembelanjaan negara.85

BAB IV

ANALISIS PEMIKIRAN YŪSUF AL-QARADĀWĪ

diriwayatkan dari Ummi Salamah.

84 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VII:45, “Kitāb al-Libās,” “Bāb Iftirāsy al-Harīr.” Hadis ini diriwayatkan dari Khuzaifah.

85 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 278.

lxvi

Page 52: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

TENTANG KONSUMSI

A. Perilaku Konsumsi dan Implementasinya

Tujuan Islam (maqasid asy-syari’ah) adalah bukan semata-mata bersifat

materi, sebaliknya tujuan itu didasarkan pada konsep-konsepnya sendiri mengenai

kesejahteraan (falah) dan kehidupan yang baik (hayat tayyibah) yang memberikan

nilai sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi dan menuntut

suatu kapuasan yang seimbang baik dalam kebutuhan materi maupun rohani.

Keimanan merupakan urutan pertama dalam syari’ah karena memberikan

cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian yaitu perilaku,

gaya hidup, selera dan prefensi manusia, sikap-sikap terhadap manusia, sumber

daya dan lingkungannya. Keimanan tersebut didasarkan pada tiga prinsip

fundamental, yaitu: tauhid (keesaan tuhan), khalifah (perwakilan) dan ‘adalah

(keadilan). Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam,

tetapi juga membentuk ujung tombak maqasid. Menurut al-Ģazali, yang termasuk

maqasid asy-syari’ah adalah segala sesuatu yang dianggap penting bagi manusia

untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan

harta benda.

Harta adalah salah satu unsur kekuatan umat dan salah satu pilar

kebangkitannya. Dengan harta, umat bisa merealisasikan rencananya, bertambah

pamasukannya dan menaikkan tingkat penghasilan penduduknya. Bahkan

pemilikan harta dan pemanfaatan sumber daya alam punya peran besar dalam

lxvii

Page 53: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

mewujudkan kesejahteraan di dalam kehidupan umat, kendati demikian harta juga

menjadi ancaman bahaya bagi umat dan generasinya.86

Harta merupakan tujuan syari’ah yang berada pada urutan terakhir karena

harta bukanlah merupakan tujuan itu sendiri, melainkan harta adalah sebuah alat

untuk merealisasikan kesejahteraan manusia. Harta tidaklah dapat mewujudkan

kesejahteraan kecuali dialokasikan secara efisien dan didistribusikan secara adil.

Dalam pemenuhan kebutuhan yang merata akan menjadikan semua generasi

mampu memberikan sumbangan yang besar ke arah realisasi dalam mengejar

falah dan kehidupan yang baik.

Dalam firman Allah:

في**ه مس**تخلفين جعلكم مما وأنفقوا ورسوله بالله آمنوا... 87

Konsekuensinya bahwa harta yang telah dipegang atau sudah menjadi

miliknya harus diinfakkan atau dinafkahkan, karena harta adalah milik Allah dan

manusia hanya sebagai pemegang amanat untuk memanfaatkan atau

membelanjakan harta yang sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan atau

menurut hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah.

Karena penyusun membahas tentang pemikiran tokoh yaitu Yūsuf al-

Qaradāwī tentang konsumsi dimana telah dikeluarkan beberapa prinsip yang telah

dipaparkan di bab sebelumnya, yang kemudian pada bab ini penyusun mencoba

manganalisis terhadap prinsip-prinsip Yūsuf al-Qaradāwī tersebut.

86 Yūsuf al-Qaradāwī, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam,alih bahasa Didin Hafiduddin, dkk., cet. I (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 109.

87

? Al-Hadīd (57): 7

lxviii

Page 54: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

1. Tidak Kikir atau Bakhil

Manusia adalah makhluk yang memiliki fitroh mencintai harta benda.

88 لشديد الخير لحب وإنه

Sifat tersebut terlihat pada manusia yang suka mngumpulkan harta. Hal

itulah yang menjadikan Islam untuk menetapkan aturan-aturan mengenai harta.

Pendefinisian bakhil pada intinya sama, namun dalam penjelasan tersebut

ada yang secara rinci dan ada yang secara global. Menurut Yūsuf al-Qaradāwī,

bakhil adalah tidak memberikan infaq baik wajib maupun sunnah, baik untuk diri

sendiri maupun untuk keluarga, untuk masyarakat maupun fi sabilillah (di jalan

Allah). Sedangkan menurut Afzalurrahman, kebakhilan adalah manakala

seseorang tidak menafkahkan hartanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya

sesuai kebutuhan masing-masing dan manakala seseorang tidak menafkahkan

hartanya untuk tujuan kebaikan dan kedermawanan.

Kebakhilan bisa jadi tidak memberikan infak untuk kebutuhan yang wajib

dipenuhi sebagai kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan, atau dari

salah satu dari ketiganya tidak terpenuhi. Atau bisa jadi kebutuhan tersebut

terpenuhi dengan jumlah yang sangat minim, sehingga kebutuhan tersebut kurang

walaupun sebenarnya mereka mampu untuk memenuhinya. Dan masih banyak

contoh-contoh yang lainnya, seperti tidak menunaikan zakat, ini yang sifatnya

wajib apalagi yang sifatnya sunnah, seperti membiarkan tetangganya menangis

karena kelaparan. Dilihat dari perilaku-perilaku yang seharusnya mereka lakukan

88 Al-Ādiyāt (100): 8.

lxix

Page 55: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

adalah perilaku yang diperbolehkan dan dihalalkan. Dan pada umumnya Islam

menganggap perilaku yang tidak seharusnya mereka lakukan atau kebakhilan

tersebut sebagai suatu kejahatan.

Dengan tidak membelanjakan harta yang telah dikaruniakan dan

dianugrahkan oleh Allah berarti mereka melakukan tiga kesalahan.

a. Tidak bersyukur kepada Allah.

Dengan tidak membelanjakan harta yang dikaruniakan oleh Allah

untuk diri sendiri, kerabat dan teman-teman berarti mereka tidak bersyukur

kepada Allah. Dalam al-Qur'an manusia diingatkan bahwa penggunaan

kekayaan yang sebaik-baiknya adalah kekayaan yang dibelanjakan, bukan

kekayaan yang disimpan atau ditimbun. Orang-orang yang menimbun

hartanya berarti berarti mereka termasuk orang yang tidak bersyukur, karena

mereka tidak menggunakan hartanya untuk tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan tidak memberikan sebagian harta mereka kepada masyarakat

berarti mereka telah mencabut hak-hak masyarakat untuk memanfaatkannya.

Sehingga timbul penyalahgunaan karunia Allah yang diperuntukkan untuk

kemaslahatan umat manusia.

b. Menyembunyikan harta mereka dari masyarakat.

Mereka menyangka bahwa tindakan kebakhilan ini baik buat mereka,

sedangkan di dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa perbuatan tersebut buruk

dan tidak mendatangkan manfaat. Dengan tidak menafkahkan harta mereka

sebenarnya mereka telah mengabaikan bahwasanya bagi masyarakat

pemanfaatan harta tersebut sangat penting dalam proses produksi. Dengan

lxx

Page 56: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

demikian, berarti mereka memboroskan kekayaan masyarakat umum yang

sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kekayaan selanjutnya.

c. Dengan menyembunyikan harta mereka berarti mereka telah

merendahkan tingkat penggunaan dan dengan demikian turut mengurangi

tingkat produksi dan kesempatan kerja dalam masyarakat.

Jika kebakhilan merajalela di masyarakat, sehingga masyarakat

melakukan penimbunan harta, kemudian tidak ada yang bersedia menjadi

konsumen, sehingga daya beli masyarakat berkurang, tidak ada yang bersedekah

sehingga orang miskin terlantar dan bertambah, maka cepat atau lambat roda

perekonomian akan berhenti.

Kebakhilan sangatlah merugikan suatu bangsa, produksi yang selalu

berjalan untuk konsumsi akan berhenti dan tidak menghasilkan apa-apa, yang

kemudian mengalami kerugian dan bisa mengakibatkan matinya suatu bangsa.

Menurut Keynes, bahwa konsumsi dapat meningkat jika pertumbuhan

tenaga kerja meningkat. Dan dapat disimpulkan bahwa pengurangan dalam

konsumsi atau kebakhilan dapat menyebabkan menurunnya kesempatan kerja.

2. Tidak Mubazir

Mubazir adalah membelanjakan harta di dalam hal yang tanpa ada

kemaslahatan dan hal yang diharamkan. Mubazir dalam Islam sangatlah dilarang,

disamping menyia-nyiakan harta juga dapat menghilangkan kemaslahatan harta

bagi diri pribadi maupun bagi masyarakat lain. Konsep tidak mubazir ini

mengandung arti bahwa sesuatu yang dikonsumsi harus bersih dan suci, supaya

lxxi

Page 57: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

tidak meninggalkan moral, karena Islam selalu menjunjung tinggi nilai-nilai

moral. Menurut Yūsuf al-Qaradāwī terdapat tiga hal dalam membelanjakan harta:

a. Membelanjakan harta untuk hal atau sesuatu yang dilarang oleh

agama

Sebagai seorang Muslim, harus berhati-hati dalam segala hal karena

dalam setiap perilaku akan menimbulkan dampak, baik positif maupun

negatif yang akan diterima baik oleh dirinya maupun oleh orang lain, dan

dalam setiap perilaku akan dipertanggungjawabkan, termasuk dalam perilaku

konsumsi.

Dalam membelanjakan harta yang harus diperhatikan adalah kualitas

barangnya, barang tersebut dapat menimbulkan dampak yang baik atau buruk.

Selain dari kualitas barang, yang juga harus diperhatikan adalah dari segi

kuantitas dari barang tersebut, yang dalam mengkonsumsinya tidak boleh

kurang ataupun lebih dari yang diperlukan.

Salah satu contoh membelanjakan harta untuk sesuatu yang dilarang

oleh agama adalah membelanjakan hartanya untuk mendapatkan barang yang

memabukkan, seperti minuman keras, narkotika, dan sejenisnya, walaupun

dalam mengkonsumsi barang tersebut sedikit dan tidak mengakibatkan si

peminum atau pemakai mabuk, namun dalam agama tetap dilarang karena

merusak sesuatu yang harus dijaga yaitu merusak tubuh dan akal, contoh lain

adalah judi.

b. Membelanjakan harta untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama

lxxii

Page 58: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Dalam hal ini membelanjakan harta untuk memenuhi kebutuhan yang

sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan barang tersebut baik serta halal

untuk dikonsumsi, sesuatu yang baik dan halal itulah yang dibolehkan oleh

agama, selama tidak meninggalkan tanggung jawab yang lebih besar

c. Membelanjakan harta untuk hal yang dimubahkan oleh agama

Pembelanjaan harta di sini mempunyai sifat untuk menyenangkan hati

yang tidak lepas dari sesuatu yang baik dan halal, tidak berlebih-lebihan dan

juga tidak terlalu berhemat. Dengan kata lain membelanjakan harta yang

sesuai dengan pandapatannya, supaya terjadi keseimbangan antara

pendapatan dengan pengeluaran.

Selain pembelanjaan yang sesuai dengan pendapatan dalam

pembelanjaan harta di sini berkaitan dengan kebiasannya. Jika dilihat dari

membelanjakan harta dengan kebiasaannya belum tentu seimbang.

Menurut Jumhur membelanjakan harta dengan cara kebaiasaannya

termasuk dari menunjukkan sikap boros, karena dalam kebiasaan yang

dilakukan oleh seseorang dalam membelanjakan harta sangat berbeda-beda.

Tetapi menurut pengikut Imam Syafi’i, membelanjakan harta sesuai dengan

kebiasaannya tidak termasuk dari perbuatan yang boros.

Pemborosan menurut Afzalurrahman mengandung tiga arti:89

a. Membelanjakan harta untuk hal-hal yang diharamkan, seperti judi,

minuman keras, dan sejenisnya, apalagi dalam jumlah yang sangat banyak.

89 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang,

lxxiii

Page 59: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

b. Pengeluaran yang berlebih-lebihan untuk barang-barang yang halal, baik

di dalam maupun di luar batas kemampuan seseorang.

c. Pengeluaran untuk tujuan-tujuan amal saleh tetapi dilakukan semata-mata

untuk riya' atau pamer.

Untuk mencegah pemborosan harta, Islam memerintahkan kaum muslim

agar tidak menyerahkan milik mereka pada orang yang tidak bijaksana serta

belum dewasa.

90 قياما لكم الله جعل التى اموالكم السفهآء تؤتوا وال

Ini memberikan indikasi bahwa sesungguhnya seluruh kekayaan

dimaksudkan untuk dimanfaatkan dan sama sekali tidak boleh dihambur-

hamburkan atau di serahkan pada orang-orang yang berakal lemah, baik orang

yang belum dewasa maupun orang dewasa yang bisa jadi salah dalam

memanfaatkan harta tersebut.

3. Kesederhanaan

Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara sikap bakhil dan sikap

berlebihan. Setiap manusia mempunyai kestandaran dalam kehidupannya,

misalnya dalam standar kehidupan itu sendiri dan standar pendapatan. Standar

kehidupan lebih mengacu pada cita-cita yang tinggi serta prinsip yang mengatur

kehidupan seseorang, misalnya membantu dan menolong orang miskin.

Sedangkan standar pendapatan mengacu pada jumlah minimum dari kebutuhan

dan kesenangan yang dianggap mutlak oleh seseorang. Mungkin seseorang

90 An-Nisa' (4): 5.

lxxiv

Page 60: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

mempunyai standar kehidupan yang tinggi, akan tetapi standar pendapatannya

rendah. Dan untuk memperbaiki standar-standar tersebut seseorang mutlak

diperlukan usaha-usaha yang simultan, namun pada zaman ini setiap usaha yang

dilakukan seseorang hanya untuk meningkatkan standar pendapatannya tanpa

memeperhatikan standar hidupnya.

Islam secara fundamental menentang kecenderungan masyarakat yang

lebih mementingkan untuk mencapai dan memperbaiki standar pendapatan

dengan mengabaikan standar kehidupannya. Padahal standar pendapatan sama

pentingnya dengan standar kehidupan, dengan demikian kedua standar tersebut

harus jalan bersamaan. Sebab jika standar pendapatan meningkat dengan tanpa

meningkatkan dan memperbaiki standar kehidupan, maka hal tersebut akan

menjadikan seseorang bersikap mementingkan diri sendiri, jahat, dan sejenisnya.

Dan dapat dikatakan bahwa perbaikan standar pendapatan bukanlah tujuan satu-

satunya jalan, yang karenanya semua hal lain dalam hidup ini harus dikorbankan.

Islam tidak menuntut orang untuk menolak kesenangan dan segala yang baik

dalam hidup ini.

وال لكم الل**ه أحل ما طيبات تحرموا ال امنوا الذين أيها يا

تعتدوا

91المعتدين يحب ال الله إن

Islam hanya memerintahkan untuk bersikap sederhana (tidak berlebihan)

di dalam menikmati kesenangan duniawi dan menjauhi sikap kebakhilan dan

91 Al-Maidah (5): 87.

lxxv

Page 61: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

pemborosan, serta menikmati segala yang baik dalam hidup tanpa bersikap

amoral dan curang. Dengan kata lain, boleh menikmati standar pandapatan yang

segala tinggi sepanjang standar kehidupan masih tetap tinggi.

Standar pendapatan yang meningkat sehingga lebih besar daripada

pengeluarannya, sangat dianjurkan pada mereka untuk ditabung, yang nantinya

dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan mendadak

serta dapat digunakan untuk masa yang akan datang atau masa depannya. Dalam

menabung juga seseorang tidak boleh melakukan dengan cara berlebihan,

sehingga dapat menyebabkan kurangnya kebutuhan sekarang. Sikap sederhana

bukan hanya ditekankan pada pemenuhan kebutuhan saja, namun termasuk juga

dalam menabung. Bahkan dalam sedekahpun harus memberikan yang terbaik,

bukan bersikap royal yakni terlalu mengulurkannya, atau melakukannya untuk

tujuan pamer atau untuk membuat orang terkesan.

Keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran ini sangat penting. Hal

ini berlaku bagi semua orang, baik yang mampu maupun miskin untuk

mengeluarkan hartanya sesuai dengan kemampuannya. Orang yang mampu atau

kaya dapat mempertahankan standar hidupnya secara layak (baik dalam

kebutuhan dan kesenangan) meskipun dengan kondisi penghasilan yang kurang.

Sementara orang miskin dapat mempertahankan standar hidup yang wajar (terdiri

dari kebutuhan-kebutuhan dan sedikit kesenangannya) dengan sedikit

kekayaannya.

Pengeluaran untuk tiap kebutuhan bagi setiap orang berbeda, berdasarkan

tanggung jawab ekonomi masing-masing, baik untuk keluarganya yang kecil

lxxvi

Page 62: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

maupun untuk keluarganya yang besar. Sepanjang pengeluarannya tidak boros

dan tidak pula kikir, namun menyesuaikan dengan pendapatan yang diterimanya.

Pada hakekatnya ajaran Islam bertujuan menggugah orang agar

mengeluarkan harta yang mereka miliki sesuai dengan kemampuan mereka.

Pengeluaran yang tidak boleh melebihi pendapatan yang diperolehnya, sebab

dapat membawa pada pemborosan. Juga dilarang membelanjakan hartanya jauh

di bawah kemampuannya, yang dapat menyeret mereka pada kekikiran. Sikap

sederhana dalam mengeluarkan harta dapat memperlancar sirkulasi kekayaan

sebagai akibat dari penimbunan harta dan dapat memperkuat kekuatan ekonomi.

Maskawih memberikan batasan-batasan sifat sederhana, antara lain:

adanya rasa malu, tenang (dapat mengendalikan hawa nafsu atau keinginan),

dermawan, puas (tidak berlebihan), loyal (tidak kikir), serta berperilaku mulia.92

Batasan ini mengandung asumsi bahwa setiap individu pada dasarnya berhak

mendapatkan kehidupan yang menyenangkan.

Selain dari pemikiran-pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī yang telah

disebutkan di atas, Yūsuf al-Qaradāwī juga memasukkan konsepnya yaitu

kemewahan yang harus dihindari dan dijauhi. Kemewahan merupakan faktor

utama dari kerusakan dan kehancuran, selain merusak individu, sikap bermegah-

megah juga merusak masyarakat. Merusak individu karena yang dikejar dari

kemegahan hidup di dunia ini tidak lebih daripada kepuasan nafsu birahi dan

kepuasan perut, dan bisa melalaikan dari norma dan etika mulia. Merusak

92 Ibnu Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1985), hlm. 304.

lxxvii

Page 63: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

masyarakat karena golongan minoritas yang hidup mewah menindas hak-hak

asasi golongan mayoritas dengan kemewahannya.

Menurut Muhammad, dalam memenuhi kebutuhan barang mewah,

seseorang harus memperhatikan keadaan masyarakat sekelilingnya. Bila

masyarakat sekelilingnya bertaraf hidup rendah, maka penggunaan barang

mewah dilarang. Selain kehidupan mewah yang tidak memberikan manfaat bagi

lingkungan sosial (masyarakat) tidak perlu diajarkan.93

BAB V

PENUTUP

93 Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), hlm. 173.

lxxviii

Page 64: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

A. Kesimpulan

1. Konsep pengaturan perilaku konsumsi menurut perilaku Yūsuf al-

Qaradāwī diantaranya adalah tidak bersikap kikir atau bakhil, tidak mubazir

dan kesederhanaan.

2. Implementasi dari pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dalam

penyusunan skripsi ini adalah implementasi teoritis, dalam pemikirannya

yang tidak kikir atau bakhil berarti memberikan infak baik wajib maupun

sunnah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, untuk

masyarakat maupun untuk fi sabilillah (di jalan Allah). Tidak kikir atau

bakhil ini dimaksudkan agar manusia bersikap adil dalam menggunakan

hartanya. Tidak mubazir berarti tidak membelanjakan hartanya untuk sesuatu

yang tanpa ada kemaslahatan dan untuk sesuatu yang diharamkan, termasuk

dalam membelanjakan hartanya dengan berlebih-lebihan yaitu melebihi batas

dalam hal yang halal. Dan yang terakhir adalah Kesederhanaan yang harus

ditanamkan dalam setiap kehidupan keseharian manusia, yaitu bersikap

tengah-tengah antara sikap bakhil, sikap mubazir serta sikap berlebih-lebihan

termasuk juga sikap kemewahan. Membelanjakn harta untuk kebutuhan dan

kesenangan dalam Islam tidak dilarang, namun dalam kebutuhan dan

kesenangan tersebut harus sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan

yang dibutuhkan.

B. Saran

lxxix

Page 65: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

1. Pembahasan mengenai perilaku konsumsi yang telah dirumuskan

oleh Yūsuf al-Qaradāwī di dalam skripsi ini sangat simple, sangat mudah

dipahami dan mudah jika rumusan konsep pemikirannya untuk diamalkan di

dalam kehidupan kesehariannya, sehingga dalam kesehariannya akan selalu

bersikap sederhana.

2. Pembahasan mengenai konsumsi dalam wacana di dalam skripsi

ini mungkin jauh dari kesempurnaan untuk disajikan secara utuh dan

komprehensif. Penyusun menyadari, tentunya banyak yang tercecer dan

tertinggal, karenanya penyusun mengharapkan untuk kajian berikutnya

dikemudian hari dapat mengambil apa yang dirasa kurang, dan akan sangat

berguna untuk dapat memenuhi apa yang penyusun harapkan sebelumnya,

yakni mengkaji permasalahan konsumsi dalam wacana ekonomi Islam dalam

kajian yang lebih utuh dan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

A. Kelompok Al-Qur’an

Al-Qur’an al-Karim

Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama, 1992.

B. Kelompok Hadis

Al-Asqalānī, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bāri (Bi Syarhi Sahīh al-Bukhārī), ttp. : Salafiyah, t.t.

lxxx

Page 66: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Ibn Hanbal, Al-Imam Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, ttp.: Dar al-Fikr, t.t.

Muslim, Jami’ as-Sahih, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

C. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh

Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeryono, Nastangin, cet. II, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Pres, 2000.

Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, alih bahasa Machnun Husein, cet. I, Yogyakarata : Aditya Media, 2000.

--------, A Contribution to The Theory of Consumer Behavior in Islamic Society in Islamic Economic, Jedda : King Abdul Aziz University.

Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, cet. I Yogyakarta: BPFE, 2004.

Maskawih, Ibnu, Tahdzib al-Akhlaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1985.

Al-Qaradāwī, Yūsuf, Fatwa-fatwa Kontemporer (Fatawa Mu’asirah), alih bahasa Drs. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996), I.

----, Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.

----, Daur al-Qiyām wa al-Akhlāq fī al-Islām, cet. I, Kairo : Maktabah Wahbah, 1415 H/1995 M.

----, Fatawa al-Qaradāwī: Permasalahan, Pemecahan & Hikmah, alih bahasa Abdurahman Ali Bauzir, cet. I, Surabaya: Risalah Gusti, 1993.

----, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, alih bahasa Didin Hafidudin, dkk., cet. I, Jakarta: Rabbani Pres, 1997.

lxxxi

Page 67: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

----, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zaenal Abidin dan Dahlia Husin, cet.I, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Qadir, Rahman, Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Profesi, tesis tidak diterbitkan, IAIN Suann Kalijaga Yogyakarta.

Rahmawati, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Etika Ekonomi Islam, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.

Sartono, Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī Tentang Zakat Madu, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yūsuf al-Qaradāwī, alih bahasa Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2001.

D. Kelompok Buku-buku Lain

Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, alih bahasa Dewi Nurjuliati, dkk., cet. I, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995.

Assyaukanie, A. Luthfi, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, Ulumul Qur’an: Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998.

Asnawi, Bahri Pengentasan Kemiskinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī), Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.

Boediono, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: BPFE, 1997.

Commins, David, “Hasan Al-Banna (1906-1949), Para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1995.

Chandra, Sri Vira, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili: Meniti Jalan Menuju Mardatillah.

Ensiklopedi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), V: 1448, artikel “al-Qaradāwī, Yūsuf “.

Etzioni, Amitai, Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, alih bahasa Tjun Suryaman, cet. I, Bandung: PT Rosda Karya, 1992.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1990.

Ma’arif, Ahmad Syarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985.

lxxxii

Page 68: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Al-Qaradāwī, Yūsuf, Umat Islam Menyongsong Abad 21 (Ummatuna Baina Qarnain), alih bahasa Yogi P. Izza, Solo: Intermedia, 2001.

----, "Tentang Pengarang", http:// www. ISNET, akses 9 Juli 2004.

Raharjo, Dawam, Islam dan Transformasi Ekonomi, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999.

Sunarto, Perilaku Konsumen, Yogyakarta : Amus, 2003.

Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Mikroekonomi, cet. XII, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Subkhan, Achmad, Konsep Pengelolaan Zakat Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi Umat (Studi Atas Pemikiran Yūsuf al-Qaradāwī dan Relevansinya dalam Konteks ke-Indonesia-an, Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2000.

Yusuf, Choirudin Fuad, “Etika Bisnis Islam, Sebuah Perspektif Lingkungan Global,” ‘Ulumul Qur’an, Vol. 3/VII/1997.

Lampiran IIBIOGRAFI ULAMA

Al-BukhariAl-Bukhori lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H. Nama lengkapnya Abu

Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Barzibah al-Bukhori. Pada umur 10 tahun, dia sudah mulai menghafal hadis. Dia adalah orang yang pertama menyusun kitab sahih, yang kemudian jejaknya diikuti ulama-ulama lain sesudahnya. Kitab tersebut bernama al-Jami’ as-Sahih, yang terkenal dengan Sahih al-Bukhori.

Muhammad Abdul MannanMuhammad Abdul Mannan memperoleh master dan doktornya dari

universitas Michigan, Amerika Serikat dan memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai pengajar dan peneliti di universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Abdul Mannan sangat terkenal atas karyanya di bidang Islam dan keuangan secara umum.

lxxxiii

Page 69: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

Yūsuf al- QaradāwīYūsuf al- Qaradāwī, ia lahir pada tanggal 9 September 1926. Pendidikan

formalnya dimulai dari masuk Ma’had Tanta, selama empat tahun, kemudian di Ma’had Sanawi yang diselesaikan dalam waktu lima tahun. Yūsuf al-Qaradāwī kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972.

AfzalurrahmanAfzalurrahman adalah seorang cendikiawan muslim dan ahli ekonomi yang

terkemuka di dunia. Saat ini dia menjabat sebagai Deputy Secretary General dari The Muslim School Trust, London.

MuhammadMuhammad lahir di Pati pada tanggal 10 April 1966 M. Gelar kesarjanaannya

diperoleh di IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) pada tahun 1990 M. Gelar master diperoleh pada program Magister Studi Islam, konsentrasi pada Ilmu Ekonomi Islam, di Universitas Islam Indonesia pada tahun 1999 M. Dan saat ini dia sedang menyelesaikan program doktoral pada bidang yang masa dengan program magisternya yaitu Ilmu Ekonomi di Universitas Islam Indonesia.

Lampiran I TERJEMAHAN

BAB II

FN Hlm Terjemah4

5

6

9

19

19

19

20

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu yang baik”.

Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu.

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.

lxxxiv

Page 70: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

11

12

13

14

15

17

20

20

20

21

22

22

23

27

Maka makanlah yang halal lagi baik dan rezki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya saja menyembah.

Yang menyuruh mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban belenggu yang ada pada mereka.

Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.

Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika (disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berinfaqlah atau bermurah hatilah atau berdermalah dan janganlah kamu bakhil, maka Allah akan bakhil kepadamu dan janganlah kamu perhitungan maka Allah akan perhitungan denganmu.

BAB III

FN Hlm Terjemah18

19

20

39

39

40

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak memberikan kamu dan menyempurnakan nimatNya bagimu supaya kamu bersyukur.

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Allah hendak memberikan keinginan kepadamu dan manusia

lxxxv

Page 71: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

21

22

6

27

29

30

31

32

33

40

41

44

45

45

46

46

46

47

dijadikan bersifat lemah.

Mudahkanlah dan jangan kalian dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat jera.

Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ģaib, yang mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena kaum itu kamu menjadi tercela dan menyesal.

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian harta bendamu) pada jalan Allah padahal Allahlah yang mempusakai (menguasai) langit dan bumi.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu kedalam neraka jahannam lalu dibakar dengannya bersama dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.

Apa yang mereka nafkahkan, katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”.

lxxxvi

Page 72: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

34

37

38

40

41

43

44

47

48

49

51

52

53

53

Sebaik-baik sadaqah adalah dari harta yang nampak cukup (melebihi kebutuhan) dan nampak pada orang yang memberi bahan makanan pokok. Katakanlah “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulalah yang mengharamkan) rezki yang baik”.

Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka, orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.

Dalam (siksaan) angin yang sangat panas dan air yang panas yang mendidih dan dalam raungan asap yang hitam tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah.

Orang yang minum dengan bejana perak sesungguhnya menggelegak dalam perutnya api neraka jahannam.Nabi SAW. melarang kami untuk minum dari bejana emas dan perak, untuk makan padanya, untuk memakai kain sutera dan pakaian yang terbuat dari campuran sutera serta untuk duduk diatasnya.

BAB IV

FN Hlm Terjemah2

3

4

56

59

62

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.

Dan sesungguhnya di sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada di dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok

lxxxvii

Page 73: Pengaturan Konsumsi Dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Atas

6 64

kehidupan.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.

lxxxviii