pengaruh terapi aktivitas kelompok: stimulasi sensori …
TRANSCRIPT
Unggul dalam IPTEK
Kokoh dalam IMTAQ
Laporan Hasil Penelitian
PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK: STIMULASI SENSORI SESI I-III TERHADAP PERUBAHAN TANDA DAN
GEJALA HALUSINASI DI RS. JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN, GROGOL
TAHUN 2013
Nama: Dewi Anggraini
NPM: 2009720015
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
ii
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Riset Keperawatan, Agustus 2013 Dewi Anggraini
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap perubahan tanda dan gejala halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Jakarta
7 bab + 78 halaman + 10 Tabel + 2 Skema + 7 Lampiran
ABSTRAK
Proses sensori adalah proses masuknya rangsang melalui alat indera ke otak (serebral) kemudian kembali melalui saraf motoris dan berakhir dengan perbuatan (Sunaryo, 2004). Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori merupakan salah satu terapi modalitas sebagai upaya menstimulasi semua pancaindera (sensori) agar memberi respon yang adekuat (Kelliat& Akemat, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi 1-III terhadap perubahan tanda dan gejala halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Jakarta. Desain penelitian ini mengunakan quasi experiment pre-post without control. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 dengan sampel berjumlah 13 orang. Analisa dilakukan dengan analisa univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisa bivariat uji T dependen dengan 4 kategori tanda dan gejala halusinasi yang akan dinilai, yaitu frekuensi, situasi, respon, dan durasi halusinasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh untuk kategori frekuensi dan durasi, dengan P value 0,000 atau P > 0,005 sebelum dan sesudah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III. Sementara untuk kategori situasi dan respon, didapatkan hasil tidak ada pengaruh, dengan P value 0,000 atau P < 0,005 sebelum dan sesudah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan pentingnya TAK Stimulasi Sensori sebagai salah satu terapi yang efektif bagi pasien untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa khususnya bagi asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi.
Kata Kunci : TAK Stimulasi Sensori Sesi I-III, Halusinasi
Daftar Pustaka : 16 (1997 – 2012)
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yakni Tuhan Semesta Alam,
peneliti panjatkan kepada-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya serta berbagai nikmat yakni nikmat sehat, iman dan islam sehingga
proposal penelitian ini dapat diselesaikan dengan judul “Pengaruh Terapi
Aktivitas Kelompok: Stimulasi Sensori Sesi I-III terhadap Kemampuan
Mengontrol Halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol”.
Shalawat dan salam senantiasa peneliti haturkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarganya dan para sahabatnya. Adapun
penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi mata kuliah terakhir di semester
8.
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti banyak mendapatkan dukungan
dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang
telah memfasilitasi pengetahuan peneliti dengan ilmu-ilmu
keperawatan yang bermanfaat.
2. Bapak Muhammad Hadi, S.KM, M.Kes selaku Ka. Program Studi
Ilmu Keperawatan FKK UMJ.
3. Bapak Giri Widagdo, S.Kp. MKM yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membimbing, berdiskusi, dan memberikan saran
terbaik kepada saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
4. Bu Ns. Ninik Yunitri, S.Kep selaku wali dosen angkatan 2009 yang
salama 4 tahun telah berlaku bijaksana dan menjadi sahabat bagi
anak-anak didiknya.
5. Para dosen keperawatan FIK UMJ yang senantiasa membantu
memberikan masukan yang bermanfaat kepada peneliti.
iv
6. RS. Dr. Soeharto Heerdjan Grogol beserta para perawat, supervisor,
dan staf-stafnya yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di
sana.
7. Para responden yang turut berperan penting dalam kelangsungan
proses penelitian ini.
8. Ayah dan Ibu tercinta (M.Syahlan dan Sri Maryani) yang telah
banyak memberikan dukungan dalam moral maupun materil dalam
penyusunan proposal penelitian ini.
9. Teman-teman PSIK FIK UMJ Angakatan 2009 yang telah
memberikan semangat serta bantuannya yang amat tak ternilai. Juga
seluruh pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, bantuan berupa kritik dan saran dari berbagai
pihak yang sifatnya membangun akan sangat membantu untuk perbaikan di
masa mendatang.
Peneliti berharap semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak. Akhir kata peneliti mengucapkan terimakasih.
Jakarta, Agustus 2013
Peneliti
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1. Tujuan Umum ........................................................................................ 5
2. Tujuan Khusus ....................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Halusinasi ..................................................................................................... 7
1. Pengertian Halusinasi ............................................................................. 7
2. Etiologi Halusinasi ................................................................................. 7
3. Jenis-Jenis Halusinasi ........................................................................... 11
4. Tahapan, Karakteristik, dan Perilaku yang Ditampilkan ...................... 13
vi
5. Rentang Respon .................................................................................... 14
6. Penatalaksanaan Medis ......................................................................... 15
7. Mekanisme Koping ............................................................................... 15
8. Masalah Keperawatan ........................................................................... 16
9. Pohon Masalah ...................................................................................... 16
10. Frekuensi, Situasi, Respon, dan Durasi Munculnya Halusinasi ......... 17
B. Terapi Modalitas
1. Pengertian Terapi Modalitas ................................................................ 18
2. Jenis-Jenis Terapi Modalitas ................................................................ 19
C. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK): Stimulasi Sensori .................................
1. Pengertian Sensori ................................................................................ 21
2. Pengertian TAK: Stimulasi Sensori ...................................................... 22
3. Tujuan .................................................................................................... 23
4. Karakteristik Klien yang Diberikan TAK Stimulasi Sensori ................. 23
5. TAK: Stimulasi Sensori Sesi I, Mendengarkan Musik ......................... 24
6. TAK: Stimulasi Sensori Sesi II, Menonton Video ................................ 28
7. TAK: Stimulasi Sensori Sesi III, Menggambar .................................... 32
D. Terapi Mendengarkan Musik, Menonton Video, dan Menggambar
1. Mendengarkan Musik ............................................................................ 36
2. Menonton Video ................................................................................... 37
3. Menggambar .......................................................................................... 37
vii
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep ........................................................................................ 42
B. Hipotesis ....................................................................................................... 43
C. Definisi Operasional ..................................................................................... 44
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian .......................................................................................... 46
B. Tempat Penelitian ......................................................................................... 46
C. Waktu Penelitian ........................................................................................... 46
D. Populasi Dan Sampel ................................................................................... 46
E. Etika Penelitian ............................................................................................ 49
F. Tekhnik Pengumpulan Data ......................................................................... 51
G. Pengolahan Data .......................................................................................... 52
H. Analisa Penelitian ........................................................................................ 53
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisa Univariat ......................................................................................... 55
B. Analisa Bivariat ........................................................................................... 57
viii
BAB VI PEMBAHASAN
A. Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Data Demografi ........................ 60
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Hasil Observasi Mengontrol
Halusinasi Sebelum dan Sesudah Intervensi TAK: Stimulasi
Sensori Sesi
I-II ....................................................................................................... 63
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 75
B. Saran ......................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xi
LAMPIRAN
Lampiran 1: Lembar Permohonan Kesediaan Menjadi Responden
Lampiran 2: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3: Lembar Demografi
Lampiran 4: Lembar Observasi Pre dan Post Test
Lampiran 5: Lembar Evaluasi TAK Sesi I
Lampiran 6: Lembar Evaluasi TAK Sesi II
Lampiran 7: Lembar Evaluasi TAK Sesi III
ix
Daftar Pustaka
Anisah, Nur. 2010. Pengaruh Terapi Musik terhadap Kecemasan pada Klien dengan Skizofrenia di RS. Jiwa Khusus Bunga Rampai, tidak dipublikasikan.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostastistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Forum Sains Indonesia. 2010. Mengenal Penyakit Skizofrenia, Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2010 dari http://www.ForumSains.com
http://winddyasih.wordpress.com/2008/10/10/isolasi-sosial-menarik-diri/ (diakses tanggal 2 April 2013)
Marudin. 2012. Pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Mendengarkan Musik terhadap Kecemasan pada Klien Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender, Jakarta.
Kaplan H, Saddock B, Grebb J. 1997. Ilmu Pengetahuan Perilaku, Psikiatri Klinis, edisi 7, jilid2. Jakarta : Binarupa Aksara.
Keliat, Akemat. 2004. Keperawatan Jiwa: TAK. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pranoto, Heru dkk. 2002. Laporan Penelitian “Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok, Sosialisasi terhadap Kemampuan Berinteraksi pada Klien Depresi”. Jakarta: FIK UI.
Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Purba, John Edison. 2009. Pengaruh Intervensi Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis (tidak diterbitkan) Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC.
Stuart and Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 8th edition, St. Louis: Mosby Yearbook, Inc.
x
Stuart and Sundeen. 1998. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 6th edition. St. Louis: Mosby Yearbook, Inc.
Tim MPKP RSMM & FIK UI. 2009. Modul Pelatihan Asuhan Keperawatan Jiwa: Pendekatan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Bogor.
Upoyo & Suryanto. 2008.Efforts to Control Hallucination by Group Activity Therapy of Perception Stimulation in Sakura Ward Banyumas Hospital. Purwokerto
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data yang diambil dari WHO (World Health Organization), masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001)
mengatakan paling tidak ada satu dari empat di dunia mengalami masalah mental.
WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Sementara, menurut Dr. Uton Muctar Rafei, Direktur WHO di
wilayah Asia Tenggara, hampir sepertiga dari penduduk wilayah ini pernah
mengalami gangguan Neuropsikiatri, data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),
di Indonesia diperkirakan sebesar 264 dari 1000 anggota rumah tangga menderita
gangguan kesehatan jiwa (Winddyasih, 2008). Di DKI sendiri, jumlah penderita sakit
jiwa hingga triwulan kedua tahun 2010 tercatat sebanyak 150.029 orang. Jika
dibandingkan dengan kasus yang sama tahun 2011 telah mencapai angka 306.621
orang, ini berarti terjadi peningkatan penderita sakit jiwa hingga 100 % (DepKes,
2011).
Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional
berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang
khas seperti kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofenia
2
Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi,
dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala
negatif seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri yang buruk (Forum Sains
Indonesia, 2010).
Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia ialah kemunduran
sosial. Kemunduran sosial tersebut terjadi apabila seseorang mengalami
ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam menyesuaikan diri (maladaptif) terhadap
lingkungannya. Seseorang tersebut tidak mampu berhubungan dengan orang lain atau
kelompok lain secara baik, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang
mengakibatkan timbulnya perilaku maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.
Jumlah penderita skizofrenia di Indonesia adalah tiga sampai lima per 1000
penduduk. Mayoritas penderita berada di kota besar. Ini terkait dengan tingginya
stres yang muncul di daerah perkotaan. Dari hasil survey di rumah sakit di Indonesia,
ada 0,5-1,5 perseribu penduduk mengalami gangguan jiwa (Hawari 2009, dikutip dari
Chaery 2009). Pada penderita skizofrenia 70% diantaranya adalah penderita
halusinasi (Marlindawany dkk., 2008).
Thomas (1991) menulis bahwa halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien
gangguan jiwa seperti: Skizofrenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan
dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Pada pasien gangguan jiwa
dengan kasus Skizofrenia selalu diikuti dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi
(Nasution 2003).
3
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah
kehilangan kontrol dirinya. Dimana pasien mengalami panik dan perilakunya
dikendalikan oleh halusinasinya. Dalam situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri
(suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Untuk
memperkecil dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan penanganan halusinasi yang
tepat (Hawari 2009, dikutip dari Chaery 2009).
Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kesehatan kejiwaan seseorang dapat
dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif, dan rehabilitatif. Upaya
rehabilitatif untuk mengurangi tanda dan gejala pada pasien yang mengalami
halusinasi dapat dilakukan dengan melakukan terapi modalitas yang terdiri dari terapi
individu maupun terapi kelompok. Untuk melihat apakah ada perubahan dalam tanda
dan gejala halusinasi dapat menggunakan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) yang
merupakan salah satu terapi modalitas dalam bentuk terapi kelompok yang ditujukan
untuk mengatasi klien dengan masalah yang sama. TAK dibagi ke dalam empat jenis,
yaitu TAK Sosialisasi, TAK Stimulasi Persepsi, TAK Stimulasi Sensoris, dan TAK
Orientasi Realitas. Salah satu terapi yang digunakan untuk klien dengan gangguan
halusinasi adalah TAK Stimulasi Sensori, yaitu upaya menstimulasi semua
pancaindra (sensori) agar memberi respon yang adekuat (Kelliat& Akemat,2004).
Terapi ini diberikan karena klien tidak mampu berespon dengan lingkungan
sosialnya. Perawat atau terapis dapat mengobervasi reaksi sensori klien berupa
ekspresi emosi atau perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan ucapan.
RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan yang terletak di Grogol Jakarta Selatan dibangun
sebagai rumah sakit rujukan kasus gangguan jiwa dengan cakupan wilayah pelayanan
4
DKI Jakarta, mendapatkan pasien yang halusinasi lebih besar, yaitu sekitar 70%
dibandingkan dengan diagnosa lainnya. Pasien halusinasi yang didata mulai dari
bulan Januari 2013 sampai April 2013 berjumlah 1.851 orang. Dari 11 ruangan, yang
dipilih peneliti untuk melakukan TAK Stimulasi Sensori adalah Ruang Kenanga
dengan populasi halusinasi yang terhitung sejak bulan Januari hingga April 2013
berjumlah 218 orang. Dari 10 pasien yang diambil untuk studi penelitian, didapat
pula 95%-nya mengalami halusinasi. Jadi, bisa dipastikan jumlah pasien yang
menderita gangguan tersebut sangat banyak.
Penelitian yang dilakukan oleh Aroh, Agustina, dan Sugiharto pada tahun 2011
tentang pengaruh TAK Stimulasi Sensori pada klien dengan gangguan harga diri
rendah di RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, didapatkan hasil bahwa ada peningkatan
dalam kemampuan mengekspresikan perasaan pada klien dengan harga diri rendah
setelah diberikan TAK Stimulasi Sensori.
Penelitian yang Mahrudin (2012) lakukan di RS. Jiwa Islam Klender dengan
memberikan terapi musik terhadap klien perilaku kekerasan yang mengalami
gangguan kecemasan, menunjukan frekuensi tingkat kecemasan mengalami
penurunan, yaitu sebesar 11,63 dengan standar deviasi 0,744.
Dari salah dua orang perawat yang telah peneliti wawancara di Ruang Kenanga RS.
Dr. Soeharto Heerdjan serta observasi oleh peneliti, didapatkan data bahwa rutinitas
yang dilakukan oleh perawat di di sana untuk pasien halusinasi hanyalah memberikan
Strategi Pelaksaan (SP) pada pasien, Terapi Kejang Listrik (Elektro Compulcive
Therapy), serta terapi religi yang biasa dilaksanakan setiap hari selasa dan kamis.
5
Oleh karena itu, peneliti tergugah untuk melakukan suatu terapi modalitas lain yang
jarang dilakukan di rumah sakit tersebut pada klien dengan gangguan halusinasi,
yaitu TAK Stimulasi Sensori. Tujuan dari TAK itu sendiri adalah untuk mengetahui
apakah halusinasi dapat dikontrol setelah diberikan stimulasi-stimulasi sensori lewat
TAK.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah pengaruh TAK: Stimulasi Sensori terhadap kemampuan mengontrol
halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini diharapkan klien dengan gangguan halusinasi
dapat mengontrol halusinasinya setelah diberikan TAK: Stimulasi Sensori.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui sejauh mana klien dengan halusinasi dapat berespon
terhadap sesuatu yang didengar
2) Untuk mengetahui sejauh mana klien dengan halusinasi dapat berespon
terhadap gambar yang dilihat
3) Untuk mengetahui sejauh mana klien halusinasi mampu mengekspresikan
perasaan melalui gambar
6
4) Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien halusinasi yang ada di Ruang
Kenanga RS. Dr. Soeharto Heerdjan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Tenaga Keperawatan di Rumah Sakit Jiwa
Informasi tambahan bagi perawat untuk terus menerapkan TAK di rumah sakit
jiwa kepada klien yang tepat untuk mempercepat proses kesembuhan klien.
2. Institusi
Informasi bagi para dosen maupun mahasiswa agar hasil penelitian diharapkan
dapat digunakan sebagai usaha pengembangan ilmu keperawatan khususnya
keperawatan jiwa tentang pengaruh TAK bagi klien dengan halusinasi.
3. Peneliti
Penambahwan wawasan ilmu pengetahuan dan semoga dapat diamalkan ke
masyarakat.
4.Peneliti Selanjutnya
Awal pengembangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pemberian
TAK stimulasi sensori kepada klien dengan gangguan yang lain seperti isolasi
sosial maupun jenis-jenis skizofrenia lainnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi merupakan gangguan persepsi di mana klien mempersiapkan sesuatu
yang sebenarnya tidak terjadi atau bisa dibilang suatu penerapan panca indera
tanpa adanya rangsangan dari luar. Keyakinan tentang halusinasi adalah sejauh
mana klien itu yakin bahwa halusinasi merupakan kejadian yang benar,
umpamanya mengetahui bahwa hal itu tidak benar dan ragu-ragu atau yakin
sekali bahwa hal itu benar adanya (Maramis, 2004).
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001). Berbeda dengan ilusi
di mana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi
pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus
internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata oleh klien.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa halusinasi adalah keadaan di mana seseorang
memiliki persepsi palsu atas sesuatu ketika tidak ada stimulus yang datang.
2. Etiologi
Menurut Stuart (2009), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
8
1) Faktor Predisposisi
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah
frontal, temporal, dan limbik berhubungan dengan perilaku
psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(serebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung
oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh, dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon
dan kondisi psikologi klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gengguan orientasi realitas adalah penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
9
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita,
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana
alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
d. Usia
Dibandingkan usia anak-anak, dewasa, dan lanjut usia, gangguan
halusinasi lebih sering ditemui pada masa dewasa. Menurut Levinson
dalam Mesra (2007), usia dewasa terbagi ke dalam 3 kategori, yaitu
dewasa awal (17 – 45 tahun), dewasa madya (45 – 65), dan dewasa
akhir (>60 tahun).
Seperti yang dituliskan oleh Sudarmini (2010), bahwa usia dewasa
tersebut utamanya diharapkan telah memiliki koping yang baik untuk
menyelesaikan setiap permasalahnnya, karena pada usia ini seseorang
seharusnya telah dapat menjadi contoh dan panutan bagi keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Selain itu, pada usia dewasa muda juga dituntut
untuk menjadi pribadi yang produktif, sehingga pada usia dewasa muda
beresiko tinggi terjadi gangguan jiwa karena tahap kehidupan ini penuh
dengan stresor dan kecemasan.
e. Pendidikan
Menurut Darmojo (2004) yang dikutip oleh Marudin (2011), disebutkan
bahwa pendidikan yang rendah dapat beresiko terjadinya depresi, yang
pada penelitian sebelumnya depresi lebih banyak terjadi pada usia lanjut
dengan tingkat pendidikan rendah. Pada tingkat pendidikan yang tinggi
10
dapat menghasilkan sosial ekonomi yang baik dan kemandirian yang
makin mantap, sehingga dapat berdampak positif terhadap tingkat
kesehatan jiwa seseorang. Selain itu, penelitian Fakhari (2011) yang
dikutip kembali Marudin (2011), didapatkan hasil bahwa ada hubungan
yang bermakna antara tidak punya pendidikan atau tidak tamat SD
dengan timbulnya gangguan jiwa (p<0,001).
2) Faktor Presipitasi
Secara umum, klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa, dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stresor dan
masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan
(Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibat ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stres Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
11
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stresor.
3. Jenis-jenis Halusinasi
Jenis-jenis halusinasi menurut Stuart dan Sundeen (2001) meliputi:
1) Halusinasi Pendengaran (Auditori)
Karekteristik: Mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan seseorang, suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas
berbicara tentang klien atau klien disuruh untuk melakukan sesuatu yang
kadang membahayakan, selain itu juga terkadang bahkan percakapan
lengkap antara 2 orang atau lebih.
Halusinasi jenis ini biasanya sering terjadi pada kondisi psikotik seperti
skizofrenia, depresi atau terisolasi. Depresi yang sangat kuat bisa
mengganggu fungsi normal dari pikiran manusia. Sedangkan ketika
seseorang terisolasi dari dunia sosial akan berpengaruh buruk terhadap
pikirannya karena tidak ada saluran untuk kebutuhan normal sosialnya.
2) Halusinasi Penglihatan (Visual)
Karakteristik: Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar
geometri, gambar karton, bayangan yang rumit/kompleks, bayangan bisa
menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
12
Halusinasi yang berhubungan dengan melihat sesuatu biasanya dipengaruhi
oleh obat-obatan seperti narkoba, ganja, atau obat tertentu yang bisa
membuat persepsi seseorang terganggu. Trik pikiran yang menganggu
kesadaran dapat menyebabkan seseorang terganggu. Trik pikiran yang
mengganggu kesadaran tersebut dapat menyebabkan halusinasi konstan.
Penyebab lainnya adalah orang yang menderita demensia akan sering
melihat benda-benda bergerak atau memvisualisasikan situasi atau kondisi
dan umumnya hal ini dianggap sebagai tanda demensia definitif.
3) Halusinasi Penghidu
Karakteristik: Mencium aroma tertentu seperti bau darah, urin, atau feses,
umumnya aroma-aroma yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu
sering akibat stroke, tumor, atau kejang.
4) Halusinasi Pengecap
Karakteristik: Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin, atau feses.
5) Halusinasi Perabaan
Karakteristik: Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau di
arteri, pencernaan makanan, atau pembentukan urin.
6) Halusinasi Kinestetik
Karakteristik: Merasa pergerakan sementara atau bergerak tanpa berhenti.
13
4. Tahapan, Karakteristik, dan Perilaku yang Ditampilkan
TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN
Tahap I Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi merupakan suatu kesenangan.
a. Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
c. Pikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontrol kesadaran (jika kecemasan kontrol)
a. Tersenyum, tertawa sendiri.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat.
e. Diam dan berkonsentrasi. Tahap II Menyalahkan, tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipati
a. Pengalaman sensori menakutkan b. Mulai merasa kehilangan kontrol c. Merasa dilecehkan oleh
pengalaman sensori tersebut d. Menarik diri dari orang lain e. Non psikotik
a. Peningkatan SSO, tanda-tanda ansietas, peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
b. Rentang perhatian menyempit
c. Konsentrasi dengan pengalaman sensori
d. Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita
Tahap III Mengontrol tingkat kecemasan berat pengalaman sensori tidak dapat ditolak lagi
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya.
b. Isi halusinasi menjadi antraktif. c. Kesepian bila sensori berakhir. d. Psikotik.
a. Perintah halusinasi ditaati.
b. Sulit berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik/menit.
d. Gejala sisa ansietas berat, berkeringat, tremor, tidak mampu mengikuti perintah.
Tahap IV Menguasai tingkat kecemasan panik secara umum diatur dan dipengaruhi oleh waham.
a. Pengalaman sensori menjadi ancaman.
b. Halusinasi dapat berlangsung selama beberapa jam atau hari (jika tidak diintervensi).
c. Psikotik.
a. Perilaku panik. b. Potensial tinggi untuk
bunuh diri atau membunuh.
c. Tindakan kekerasan, agitasi, menarik diri, atau ketakutan.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon terhadap leih dari satu orang.
(Purba, Wahyuni, Nasution, Daulay, 2009)
14
Tabel 2.1Tahapan, Karakteristik, dan Perilaku Klien Halusinasi
5. Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiologis (Stuart & Laraia, 2001). Ini merupakan respon
persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat, mampu
mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu,
pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Di
antara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal
mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang
diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi
yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus
yang diterima. Rentang respon halusinasi dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
Adaptif
Pikiran Logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten
Dengan pengalaman
Perilaku sesuai
Hubungan positif
Maladaptif
Gangguan proses pikir/delusi
Halusinasi
Tidak mampu mengalami
Emosi
Perilaku tidak terorganisir
Kadang pikiran terganggu
Ilusi
Emosi berlebihan atau kurang
Perilaku yang tidak biasa
Menarik diri
15
(Stuart & Sundeen, 1998 dalam Purba, 2009)
Tabel 2.2 Rentang Respon Halusinasi
6. Penatalaksanaan Medis pada Halusinasi
Penatalaksanaan klien skizofrenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan
tindakan lain, yaitu:
1) Psikofarmakologis
Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran
yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat-obatan
anti-psikosis.
2) Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) (Purba, Wahyuni, Nasution, Daulay,
2009)
7. Mekanisme Koping
Menurut Keliat (1998) perilaku yang mewakili untuk menanggulangi diri
sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
nurobiologik.
1) Retensi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas. Klien hanya mempunyai sedikit energi yang
16
tertinggal untuk aktivitas hidup sehari-hari sehingga klien menjadi malas
beraktivitas.
2) Proteksi. Klien mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda.
3) Menarik diri. Sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami.
8. Masalah Keperawatan
Menurut Keliat (2005), adapaun masalah keperawatan yang muncul pada klien
dengan gangguan sensori persepsi halusinasi adalah:
1) Perubahan persepsi sensori: halusinasi
2) Resiko tinggi perilaku kekerasan
3) Isolasi sosial
4) Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah
9. PohonMasalah
Resiko Kekerasan
Core Problem
Isolasi Sosial
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
Perubahan Sensori Persepsi: Halusinasi
17
Skema 2.1 Pohon Masalah
10. Frekuensi, Situasi, Respon, dan Durasi Munculnya Halusinasi
Menurut Modul Pelatihan Asuhan Keperawatan Jiwa: Pendekatan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (2009), sebelum perawat atau terapis
mengontrol halusinasi, ada baiknya mengkaji frekuensi, situasi, respon, dan
durasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi
khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang
menyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga klien tidak larut dengan
halusinasinya.
1) Frekuensi: Berapa kali halusinasi tersebut muncul atau dirasakan oleh klien
selama sehari atau seminggu, apakah terus-menerus atau hanya sekali-kali,
apakah halusinasi muncul ketika pagi, siang, sore, atau malam, bila
memungkinkan bisa ditanyakan pukul berapa saja halusinasi tersebut
muncul.
2) Situasi: Bila mungkin, minta klien menjelaskan situasi terjadinya, apakah
ketika sedang sendiri, melamun, hendak tidur, atau setelah melakukan
aktifitas tertentu.
3) Respon: Apa yang klien lakukan ketika menyadari bahwa halusinasi
tersebut tengah mengganggunya dan apakah klien masih dapat menghardik
halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi tersebut. Selain
18
itu, dapat juga mengobservasi perilaku klien secara langsung ketika
halusinasi klien timbul.
4) Durasi: Berapa lama halusinasi terjadi setiap stimulus datang, apakah 1-3
menit, 4-5 menit, atau mungkin > 5 menit. Jika klien tidak dapat menjawab
hal tersebut dengan pasti, dapat juga mengobservasi perilaku klien secara
langsung ketika halusinasi klien timbul sambil melihat jam untuk mengukur
durasi tersebut.
Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan
menentukan jika klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi. Data-data
di atas dapat dikaji dengan cara mewawancara langsung pada klien yang
bersangkutan, menanyakan kepada keluarga, atau orang terdekat klien.
B. Terapi Modalitas
1. Pengertian
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini
diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dari perilaku maladaptif
menjadi perilaku adaptif (Keliat, 2004). Terapi modalitas adalah terapi dalam
keperawatan jiwa, di mana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki klien
(modal-modality) sebagai titik tolak terapi penyembuhannya (Sarka, 2008)
19
2. Jenis-Jenis Terapi Modalitas
1) Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan
pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang
klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan
klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah
hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan
tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
2) Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptif menjadi perilaku
adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti
terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan
berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas
dan interaksi.
Tujuan dari terapi lingkungan ini adalah memampukan klien dapat hidup di
luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi yang diperlukan
untuk beralih dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan rumah tinggalnya.
3) Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatik didasarkan pada model
medikal di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit.
20
Ada beberapa jenis terapi somatik gangguan jiwa, meliputi: pemberian obat
(medikasi psikofarmaka), intervensi nutrisi, Electro Compulsive Therapy
(ECT), foto terapi, dan bedah otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang
tetap diterapkan dalam pelayanan kesehatan jiwa meliputi medikasi
psikoaktif dan ECT.
4) Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah
membantu mempertimbangkan stresor dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berpikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang
stresor tersebut.
5) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota
keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga
adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu, sasaran
utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi (tidak bisa
melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya).
6) Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi klien sehingga
diharapkan klien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat. TAK dibagi ke
dalam empat jenis, yaitu TAK Sosialisasi, TAK Stimulasi Persepsi, TAK
Stimulasi Sensoris, dan TAK Orientasi Realitas.
21
C. Terapi Aktivitas Kelompok: Stimulasi Sensori
1. Pengertian Sensori Secara Umum
Proses sensori adalah proses masuknya rangsang melalui alat indera ke otak
(serebral) kemudian kembali melalui saraf motoris dan berakhir dengan
perbuatan (Sunaryo, 2004). Menurut Hoeman (1996), ada 6 jenis stimulus yang
diterima oleh sensori di ujung-ujung saraf dan ganglia, yaitu taktil (perabaan),
kinestetik (gerak), auditori (pendengaran), visual (penglihatan), olfaktori
(penciuman), dan gustatori (pengecapan). Alat-alat tubuh yang membantu
terjadinya proses sensoris adalah panca indera yaitu mata, telinga, kulit, hidung,
lidah. Sensori yang diterima oleh ujung-ujung saraf tersebut dilanjutkan ke
kemoreseptor yang ada di saraf tulang belakang, lalu diolah di lobus-lobus di
serebrum (otak besar) sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Proses sensori disebut juga pengamatan, yaitu gejala mengenal benda-benda di
sekitar dengan menggunakan alat indera. Pengamatan terjadi pada saat stimulus
(rangsangan) mengenai indera dan menghasilkan kesadaran dan pikiran. Respon
yaitu proses terjadinya kesan dalam pikiran setelah stimulus tidak ada. Proses
awal dari pengamatan disebut perhatian, sedangkan proses akhirnya disebut
persepsi yang menyebabkan kita mempunyai pengertian tentang situasi yang
terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses sensori, yaitu:
a. Keadaan indera yang sehat dan sempurna yang akan mempengaruhi
kesempurnaan proses sensori.
22
b. Perhatian yang tertuju pada objeknya yang memudahkan persepsi dan
apabila perhatian kurang akan mengganggi konsentrasi sehingga proses
sensori tidak sempurna.
c. Rangsangan yang sangat lemah ataupun sangat kuat akan mengganggu
proses sensori.
d. Saraf dan pusat dalam keadaan baik dan sehat.
2. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok: Stimulasi Sensori
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok
klien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau
diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih
(Pedoman Rehabilitasi Klien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam
Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara
kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan
interpersonal (Yosep, 2008).
Salah satu terapi yang digunakan untuk klien dengan gangguan halusinasi
adalah TAK Stimulasi Sensori, yaitu upaya menstimulasi semua pancaindera
(sensori) agar memberi respon yang adekuat (Kelliat& Akemat, 2004). Terapi
ini diberikan karena klien tidak mampu berespon dengan lingkungan sosialnya.
Perawat atau terapis dapat mengobervasi reaksi sensori klien berupa ekspresi
emosi atau perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan ucapan.
23
TAK Stimulasi Sensori dibagi ke dalam 3 sesi yang 1 sesinya diberikan selama
45 menit dalam sehari. Sesi 1 berupa mendengarkan musik, sesi 2 menonton
video/film berdurasi pendek, dan sesi 3 yaitu menggambar.
Jumlah anggota yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar
antara 6 – 12 orang (Lancester, 1980 dalam Keliat & Akemat, 2005). Jika
anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat
kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat dan pengalamannya. Jika
terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
3. Tujuan
Tujuan umum dari terapi ini adalah klien dapat berespon terhadap stimulus
panca indera yang diberikan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1) Klien mampu berespon terhadap suara yang didengar.
2) Klien mampu berespon terhadapgambar yang dilihat.
3) Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar.
4. Karakteristik Klien yang Diberikan TAK: StimulasiSensori
1) Klien dengan gangguan halusinasi
2) Klien dengan afek labil atau tumpul
3) Klien pernah diberikan TAK Stimulasi Persepsi sebelumnya
4) Sudah dilakukan SP (Strategi Pelaksanaan) minimal SP 1 klien
5) Jenis halusinasi klien berupa halusinasi pendengarandan penglihatan
6) Klien dengan halusinasi tahap 1, 2, dan 3
24
5. TAK Stimulasi Sensori, Sesi 1: Mendengarkan Musik
1) Tujuan:
a. Klien mampu mengenali musik yang didengar
b. Klien mampu memberi respons terhadap musik
c. Klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengarkan musik
2) Setting:
a. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
b. Ruangan nyaman dan tenang
3) Alat:
a. Tape recorder
b. Lagu yang ceria atau yang religius
4) Metode:
a. Diskusi
b. Sharing persepsi
5) Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sesuai dengan indikasi:
halusinasi, menarik diri, harga diri rendah, dan gangguan
komunikasi verbal.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
25
b. Orientasi
a) Salam terapeutik: Salam dari terapis kepada klien.
b) Evaluasi/validasi: Menanyakan perasaan klien saat ini.
c) Kontrak:
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan
musik.
Terapis menjelaskan aturan main berikut.
Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
meminta izin kepada terapis.
Lama kegiatan 45 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap Kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama
dan nama panggilan) dimulai dari terapis secara berurutan searah
jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis
mengajak semua klien untuk bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputarkan sebuah lagu, klien
boleh terpuk tangan atau menari sesuai dengan irama lagu. Setelah
lagu selesai, klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut
dan perasaan klien setelah mendengar lagu.
26
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh menari atau tepuk
tangan (kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh diulang
beberapa kali. Terapis mengobservasi respon klien terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan
perasaannya. Sampai semua klien mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap klien selesai menceritakan
perasaanya, dan mengajak klien lain bertepuk tangan.
d. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak Lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan
musik yang disukai dan bermakna dalam kehidupannya.
c) Kontak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu menggambar.
Menyepakati waktu dan tempat.
6) Evaluasi dan Dokumentasi
a. Evaluasi: Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien seusai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Sensori mendengar musik,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan, respon
27
terhadap musik, memberi pendapat tentang musik yang didengar, dan
perasaan saat mendengar musik. Formulir evaluasi sebagai berikut:
Sesi 1: TAK
Stimulasi Sensoris Mendengarkan Musik
Kemampuan memberi respon pada musik
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Memberi respon (ikut bernyanyi/
menari/ menari/ menggerakkan
tangan-kaki-dagu sesuai irama)
3. Memberi pendapat tentang musik
yang didengar
4. Menjelaskan perasaan setelah
mendengar lagu
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi
pendapat, menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu
dan tanda X jika klien tidak mampu.
28
2.4 Tabel Evaluasi TAK Sesi 1: Mendengarkan Musik
b. Dokumentasi: Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat
TAK pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien
mengikuti sesi 1, TAK stimulasi sensori mendengarkan musik. Klien
mengikuti kegiatan sampai akhir dan menggerakkan jari sesuai dengan
irama musik, namun belum mampu memberi pendapat dan perasaan
tentang musik. Latih klien untuk mendengarkan musik di ruang rawat.
6. TAK Stimulasi Sensori, Sesi 2: Menonton
1) Tujuan:
a. Klien dapat memberi respon terhadap tontonan TV/ video (jika
menonton tv, acara tontonan hendaknya dipilih yang positif dan
bermakna terapi untuk klien).
b. Klien menceritakan makna acara yang ditonton.
2) Setting:
a. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran di depan televisi
b. Ruangan nyaman dan tenang
3) Alat:
a. CD player dan video tape
b. Televisi
4) Metode:
a. Diskusi
29
b. Sharing persepsi
5) Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sudah mengikuti TAK Sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
a) Salam terapeutik: Salam dari terapis kepada klien.
b) Evaluasi/validasi: Menanyakan perasaan klien saat ini.
c) Kontrak:
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton TV/ bideo
dan menceritakannya.
Terapis menjelaskan aturan main berikut.
Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta
izin kepada terapis.
Lama kegiatan 45 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap Kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu
menonton TV/ video dan menceritakan makna yang telah ditonton.
b) Terapis memutar TV/ video yang telah disiapkan.
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/ video.
d) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan
menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien.
30
Berurutan searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada di sebelah
kiri terapis. Sampai semua klien mendapat giliran.
e) Setelah selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak
klien lain bertepuk tangan dan memberikan pujian.
d. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak Lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk menonton acara
tv yang baik.
c) Kontak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu menggambar.
Menyepakati waktu dan tempat.
6) Evaluasi dan Dokumentasi
a. Evaluasi: Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien seusai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Sensori menonton,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan, berespon
terhadap tontonan, mengungkapkan perasaan terhadap tontonan, dan
menceritakan isi tontonan. Formulir evaluasi sebagai berikut:
31
Sesi 2: TAK
Stimulasi Sensoris Menonton
Kemampuan memberi respon pada tontonan
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Memberi respon pada saat
menonton (senyum, sedih, dan
gembira)
3. Menceritakan cerita dalam TV/
video
4. Menjelaskan perasaan setelah
menonton
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi
pendapat, menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu
dan tanda X jika klien tidak mampu.
Tabel 2.5 Evaluasi TAK: Menonton Video
b. Dokumentasi: Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat
TAK pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien
32
mengikuti sesi 1, TAK stimulasi sensori menonton. Klien mengikuti
kegiatan sampai akhir, ekspresi datar, dan tanpa respon, klien tidak dapat
menceritakan isi tontonan dan perasaannya. Tingkatkan stimulus di
ruangan, ulang kembali dengan stimulus yang berbeda.
7. TAK Stimulasi Sensori, Sesi 3: Menggambar
1) Tujuan:
a. Klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar.
b. Klien memberi makna gambar.
2) Setting:
a. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
b. Ruangan nyaman dan tenang
3) Alat:
a. Kertas HVS
b. Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
4) Metode:
a. Diskusi
b. Sharing persepsi
5) Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sudah mengikuti TAK Sesi 1
dan 2.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
33
b. Orientasi
a) Salam terapeutik: Salam dari terapis kepada klien.
b) Evaluasi/validasi: Menanyakan perasaan klien saat ini.
c) Kontrak:
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar dan
menceritakannya kepada orang lain.
Terapis menjelaskan jika ada klien yang ingin meninggalkan
kelompok, harus meminta izin kepada terapis.
Lama kegiatan 45 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap Kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu
menggambar dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b) Terapis membagikan kertas dan pensil untuk tiap klien.
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/ video.
d) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan yang
diinginkan saat ini.
e) Setelah semua klien selesai menggambar, terapis meminta masing-
masing klien untuk memperlihatkan dan menceritakan gambar yang
telah dibuatnya kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah
gambar apa dan apa makna gambar tersebut menurut klien.
f) Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat giliran.
34
g) Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak
klien lain bertepuk tangan.
d. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak Lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk mengekspresikan
perasaan melalui gambar.
c) Kontr ak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang sesuai indikasi klien.
Menyepakati waktu dan tempat.
6) Evaluasi dan Dokumentasi
a. Evaluasi: Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien seusai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Sensori menggambar,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan,
menggambar, menyebutkan apa yang digambar dan menceritakan
makna gambar. Formulir evaluasi sebagai berikut:
35
Sesi 3: TAK
Stimulasi Sensoris Menggambar
Kemampuan memberi respon terhadap menggambar
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Menggambar sampai selesai
3. Menyebutkan gambar apa
4. Menceritakan makna gambar
Petunjuk:
1 Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2 Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X
jika klien tidak mampu.
Tabel 2.6 Evaluasi TAK Sesi 3: Menggambar
b. Dokumentasi: Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat
TAK pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien
mengikuti sesi 1, TAK stimulasi sensori menggambar. Klien mengikuti
kegiatan sampai akhir, mampu menggambar, menyebutkan nama
gambar, dan menceritakan makna gambar. Anjurkan klien untuk
mengungkapkan perasaan melalui gambar.
36
D. Terapi Mendengarkan Musik, Menonton video, dan Menggambar
1. Mendengarkan Musik
Terapi musik merupakan terapi yang bersifat non verbal, penyembuhan melalui
suara yaitu penggunaan vibrasi frekuensi atau bentuk suara yang
dikombinasikan. Semua terapi musik mempunyai tujuan yang sama, yaitu
membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi
pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi. Dengan demikian,
terapi musik juga diharapkan dapat membantu mengatasi stres, mencegah
penyakit dan meringankan rasa sakit (Djohan, 2006).
Berikut contoh-contoh musik dan dampak perilaku yang terjadi:
1) Musik klasik, instrumentalia, orkestra, gending jawa: Memberi ketenangan
dan pengendalian diri.
2) Musik mars: Semangat.
3) Musik dangdut dan pop tempo cepat: Gembira.
4) Musik rohani: Dampak religius.
5) Musik pop melankolis: Sedih.
6) Musik rap, metal, rock: Destruktif, marah, kesal, dan bermusuhan.
Dari proses pemilihan yang dilakukan oleh peneliti untuk menentukan lagu
dengan genre mana yang lebih cocok untuk para pasien dengan gangguan
halusinasi, maka peneliti memilih musik dangdut lantaran dinilai cukup umum,
cukup memberikan suasana gembira dengan tempo cepat dan lirik yang ‘ringan’
di telinga, serta musik dangdut adalah musik rakyat yang mudah diterima oleh
37
berbagai kalangan. Dengan pemilihan jenis musik seperti ini, diharapkan para
penderita halusinasi dapat saling membaur untuk menikmati musik bersama-
sama, serta dapat mengurangi gejala halusinasi yang dirasakan.
2. Menonton Video
Untuk memberikan terapi menonton tv/video pada klien dengan masalah
kejiwaan akan efektif jika memilih jenis tayangan yang adaptif, mudah dicerna
dalam bahasa maupun tampilan visual, tidak terlalu banyak menggunakan
tulisan di dalamnya, dan yang paling penting adalah bertujuan untuk
mendapatkan sebuah perubahan perilaku (Saifudin, 2008).
Tayangan tv/video dapat ditonton bersama-sama untuk terapis dan klien, lalu
klien dapat memberikan interpretasi masing-masing mengenai tayangan tersebut
hingga terbentuk suatu kesimpulan.
3. Menggambar
Menurut Anoviyanti dalam jurnalnya tahun 2008, pada umumnya, aktivitas
terapi seni mungkin bagi masyarakat awam hanya terlihat seperti aktivitas kelas
atau kursus seni rupa pada umumnya, namun sebenarnya terdapat perbedaan.
Bagaimanapun juga, pada aktivitas terapi seni proses kreatif lebih dipentingkan
daripada kemampuan individu dalam menghasilkan karya seni yang
sesungguhnya. Tujuan terapi seni bukanlah untuk menghasilkan karya seni yang
estetik ataupun untuk mengasah bakat untuk menghasilkan seorang seniman,
38
akan tetapi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh terapi seni adalah untuk
membantu pasien agar merasa lebih nyaman terhadap diri mereka sendiri.
Dalam mengerjakan karya yang melibatkan kreativitas, semua emosi dan
pikiran yang mengendap akan tereksternalisasi atau tersalurkan, sehingga semua
emosi dan pikiran tersebut pada akhirnya akan menjadi jelas akar
permasalahannya karena terbacanya simbol-simbol dari bentuk yang ada pada
karya tersebut, kadangkala dibentuk, baik secara sadar maupun tidak sadar
memiliki makna yang berhubungan secara langsung dengan akar permasalahan
yang sedang dihadapi oleh pasien tersebut.
Seni juga memiliki kemampuan untuk mencatat dan menyampaikan berbagai
tingkatan emosi, dari rasa nyaman hingga kesedihan yang terdalam, dari
kejayaan hingga trauma. Dari uraian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa,
jika dilihat dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, seni telah menyediakan
jalan bagi pemahaman, membuat suatu pengertian dan menjelaskan pengalaman
batin (inner experiences) tanpa harus menjelaskan pengalaman tersebut dengan
menggunakan kata-kata. Selain itu kemampuan menggambar pada dasarnya
lebih kepada kemampuan yang bersifat naluriah dan intuitif.
Melukis sebagai terapi, berkaitan dengan aspek kontemplatif atau sublimasi.
Kontemplatif atau sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang bersifat
menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat kejiwaan, seperti
39
perasaan, memori, pada saat kegiatan berkarya seni berlangsung. Aspek ini
merupakan salah satu fungsi seni yang dimanfaatkan secara optimal pada setiap
sesi terapi. Kontemplatif dalam arti, berbagai endapan batin yang ditumpuk,
baik itu berupa memori, perasaan, dan berbagai gangguan persepsi visual dan
auditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan. Dengan demikian
pasien tidak terjebak pada suatu situasi dimana hanya diri sendiri terjebak pada
realitas imajiner yang diciptakan oleh diri sendiri. Aspek kontemplatif atau
sublimasi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah katarsis dalam dunia
psikoanalisa.
Hal tersebut, juga sekaligus dapat menjadi media untuk mencari pemicu atau
akar permasalahan melalui berbagai visualisasi atau simbol-simbol yang muncul
selama terapi berlangsung. Berdasar visualisasi yang tercurah selama terapi
berlangsung, seringkali tampak gambar beberapa image yang merupakan
simbolisasi dari ekspresi bawah sadar dari pasien. Kemudian bagi terapis,
beragam visualisasi inilah yang menjadi perangkat untuk menentukan diagnosa
sampai sejauh apakah kerusakan kondisi kejiwaan pasien, dan pengobatan jenis
apakah yang sesuai bagi pasien.
Berdasarkan data sampel yang berasal dari arsip lembaga Madani Home Care
yang dikemukakan oleh Aviyanti (2008), pada awal sesi terapi berlangsung
umumnya, pada gambar tahap awal sesi terapi seni, pasien Skizofrenia
40
menggambar gumpalan-gumpalan, atau lebih tepatnya mereka menggambar
lingkaran masif yang pejal.
Selain itu kecenderungan memunculkan objek-objek dalam bentuk-bentuk dasar
seperti lingkaran, segitiga, dan persegi, hampir pada setiap pasien dan setiap sesi
muncul. Visualisasinya tampak timbul dan tenggelam (fluktuatif), dan juga
divisualisasikan dalam berbagai gaya. Sementara pada pasien depresi yang
diakibatkan oleh zat adiktif, pada awal sesi terapi mereka cenderung melukiskan
bentuk-bentuk yang absurd, namun pada sesi terapi selanjutnya, mereka lebih
mampu menampilkan beberapa bentuk yang dapat diidentifikasi, meskipun jika
dilihat berdasarkan komposisinya masih terlihat absurd.
Selain lingkaran, seperti dijelaskan di atas, juga tampak bentuk-bentuk
geometris dasar seperti persegi dan segitiga. Menurut R.M. Simon dalam
bukunya, Symbolic Images In Art As Therapy yang dikutip oleh Aviyanti
(2008), bentuk persegi merupakan bentuk orisinal yang melingkupi lingkaran. Ia
berpendapat bentuk persegi yang tampak melingkupi lingkaran, memberi kesan
seolah bentuk persegi tersebut tampak seperti tembok yang membatasi
lingkaran.
Kemampuan berpikir, emosional, kemampuan psikomotorik, akan berjalan, atau
katakanlah semua aspek tersebut akan secara spontan berfungsi secara serempak
pada saat proses berkarya seni terjadi. Disini, seni memainkan fungsi
41
sesungguhnya sebagai mediator, bukan sebagai agen utama penyembuh, dalam
arti ia bersifat reflektif, memberi gambaran sampai sejauh manakah kerusakan
aspek kejiwaan pada pasien, dan merekamnya. Sehingga terapis dapat
menentukan pengobatan yang bagaimanakah yang sesuai bagi pasien yang dapat
menghasilkan visualisasi tersebut. Dengan demikian, penulis memandang
bahwa image-image yang tampak dapat pula berfungsi sebagai sebuah diagnosa.
Seperti halnya pada ilmu kedokteran, ataupun psikologi.
Lewat media menggambar atau melukis, peneliti dapat melihat klien mana yang
masih belum dapat mengontrol halusinasinya, siapa yang halusinasinya lebih
kuat, atau siapa yang masih belum dapat mengenal halusinasinya sendiri. Klien
yang masih belum dapat mengontrol halusinasi biasanya tidak menggambar
dengan hanya satu tema saja di dalam kertas. Mereka lebih condong
menggambar sesuatu secara terpisah-pisah dan tidak saling berkaitan dengan
penjelasan yang kurang masuk akal pula. Sementara klien yang menggambar
dengan sinkronisasi tema, obyek, dan warna, serta dapat menjelaskan apa yang
digambar hingga orang lain mengerti, biasanya adalah klien-klien yang sudah
dapat mengenal maupun mengontrol halusinasi yang dirasakan.
42
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antar konsep-konsep yang ingin diamati
atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoadmodjo, 2005).
Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah disampaikan pada bab sebelumnya maka
kerangka konsep untuk penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok: Stimulasi Sensori Sesi I-III terhadap Kemampuan Perubahan Tanda dan
Gejala Halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol” adalah sebagai berikut:
Skema 3.1 Kerangka Konsep
Variabel Dependen
Pre Test:
Perubahan Tanda dan Gejala Halusinasi
Variabel Dependen
Post Test:
Perubahan Tanda dan Gejala Halusinasi
Variabel Independen
TAK: Stimulasi Sensori
Sesi I - III
43
Kerangka kerja ada penelitian ini adalah, sebagai berikut:
Dari bagan-bagan di atas, dikatakan bahwa pasien yang mengalami gangguan
halusinasi diukur terlebih dahulu (pre test) mengenai sejauh mana perubahan tanda
dan gejala halusinasi, setelah itu pasien akan diberikan Terapi Aktivitas Kelompok
yaitu Stimulasi Sensori Sesi I – III, dan kemudian diukur kembali (post test) apakah
ada perubahan tanda dan gejala halusinasinya.
B. Hipotesis Penelitian
Menurut Handoko (2009) hipotesis adalah asumsi atau dukungan mengenai sesuatu
hal yang dibuat untuk menjelaskan hal tersebut yang sering dituntut untuk melakukan
pengecekannya.
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Ada pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Stimulasi Sensori Sesi I-III terhadap
perubahan tanda dan gejala halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol.
44
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Variabel Independen dan Dependen
No. Variabel Definisi Operasional Alat& Cara
Ukur
Hasil Ukur Skala Ukur
1. Perubahan tanda
dan gejala
halusinasi
sebelum
intervensi
Adanya suatu
perubahan dalam
frekuensi, situasi,
respon, dan durasi
halusinasi sebelum
dilakukan TAK:
Stimulasi Sensori
Sesi I-III.
Kuesioner B
Interview
Observasi
Mean
SD
Interval
2. Perubahan tanda
dan gejala
halusinasi
sesudah
intervensi
Adanya suatu
perubahan dalam
frekuensi, situasi,
respon, dan durasi
halusinasi sesudah
dilakukan TAK:
Stimulasi Sensori
Sesi I-III.
Kuesioner C
Interview
Observasi
Mean
SD
Interval
3. TAK: Stimulasi
Sensori Sesi I – III
untuk klien
halusinasi
Sebuah aktifitas
terapeutik dalam
upaya
menstimulasikan
semua pancaindera
(sensori) agar
memberi respons
yang adekuat dengan
menggunakan musik
Alat:
Laptop
3 lagu dangdut
Kertas HVS
3 buah krayon
3 video pendek
Nametag
Cara:
Sesi I:
- -
45
sebagai media untuk
memperbaiki,
memelihara,
mengembangkan
mental, fisik dan
kesehatan emosi.
Mendengar
musik
Sesi II:
Menonton
video pendek
Sesi III:
Menggambar
@45 menit per
sesi.
1 sesi = 1 hari.
46
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Quasi Experiment atau ekperimen
semu dengan one group pretest-postest, yaitu melakukan tes tanpa adanya kelompok
pembanding atau kelompok kontrol (Notoatmodjo, 2010). Tes yang dilakukan
berupa evaluasi verbal (interview) dan observasi untuk mengetahui perubahan tanda
dan gejala halusinasi sebelum dan sesudah diberikan Terapi Aktivitas Kelompok:
Stimulasi Sensori Sesi I-III.
Tabel 4.1 Rancangan Penelitian
Pre-test Perlakuan Post-test
O1 X O2
Keterangan :
O1 = Kemampuan mengontrol halusinasi sebelum diberikan TAK
O2 = Kemampuan mengontrol halusinasi setelah diberikan TAK
X = Intervensi (diberikan TAK : Stimulasi Persepsi yang terdiri dari 5 sesi)
B. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Grogol dengan
alasan telah ditemukan kasus-kasus halusinasi yang perlu diteliti.
47
C. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Maret – 15 Agustus 2013.
D. Populasi dan Sampel
1) Populasi
Dari 11 ruangan yang ada di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, peneliti hanya
mengambil populasi yang ada di Ruang Kenanga. Populasi halusinasi
dikalkulasikan mulai dari bulan Januari 2013 hingga April 2013, yakni sebesar
218 orang. Responden yang akan diteliti adalah klien yang menderita gangguan
halusinasi dan sudah memenuhi kriteria peneliti di RS. Jiwa Dr. Soeharto
Heerdjan.
2) Sampel
Dalam pengambilan sampel ini menggunakan cara purposive sampling yaitu
suatu tekhnik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Untuk kriteria sampel
yang diambil adalah sebagai berikut :
a. Klien dengan gangguan halusinasi
b. Klien yang berusia 18 – 60 tahun
c. Klien halusinasi pada anak dan napza tidak termasuk responden
d. Klien dengan afek labil atau tumpul
e. Klien pernah diberikan TAK Stimulasi Persepsi sebelumnya
f. Sudah dilakukan SP (Strategi Pelaksanaan) minimal SP 1 pasien
g. Jenis halusinasi klien berupa halusinasi pendengaran dan penglihatan
51 54
48
h. Klien dengan halusinasi tahap 1, 2, dan 3
i. Jenis kelamin wanita
j. Klien yang inap di Ruang Kenanga
Untuk mencari Standar Deviasi dari populasi yang ada, maka digunakan rumus:
SD= √n (pxq)
SD = Standar Deviasi
n = Jumlah populasi
p = Probabilitas yang diinginkan
q = (p-1)
SD = √ 218 (0,5 – 0,5)
SD = √ 218 (0,25)
SD = √ 54,5
SD = 7,3
Untuk menetukan besarnya sampel yang akan diambil, menurut (Lemesan, dalam
Mahrudin, 2012 ) dapat di gunakan rumus sebagai berikut :
n = SD2 (Z1-ŀ/2 + Z1-く)2
(た1 – た2)2
Keterangan :
n = besarnya sample atau jumlah sampel
SD = standar deviasi
µ1 = rata-rata keadaan sebelum intervensi
49
µ2 = rata-rata keadaan sesudah intervensi
Z1 = nilai standar normal yang besarnya tergantung ŀ
ŀ = tingkat kemaknaan
bila ŀ = 0,05 maka Z = 1,96
ß = power test. bila ß = 0,9 maka Z = 1,282
n = 7,32 (1,96 + 1,282)2
(16,12 – 23,24)2
= 53,29 x 10,51
7,122
= 560
50,69
= 11 + 10% (drop out)
= 12 Responden
Untuk memenuhi kriteria penelitian, batas minimal sampel yang akan
digunakan adalah sebesar 12 responden. Namun, menurut etika penelitian
(justice) bahwa setiap populasi di Ruang Kenanga tersebut berhak
mendapatkan intervensi atau perlakuan yang sama, maka peneliti akan
mengambil sampel 13 responden dari seluruh populasi di Ruang Kenanga
dengan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan.
50
E. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapat rekomendasi dari PSIK FKK
UMJ dan permintaan izin ke bagian Diklat RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan
Grogol yang tembusannya disampaikan kepada direktur RS. Jiwa tersebut.
Menurut Notoatmodjo (2010), setelah mendapat persetujuan, peneliti dapat
melakukan penelitian dengan memperhatikan etika penelitian sebagai berikut:
1) Informed Consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian
dengan memberikan lembar persetujuan (Informed Consent). Sebelum
responden diberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden, peneliti
melakukan pendekatan dan perkenalan kepada calon responden,
menyampaikan judul penelitian, menjelaskan maksud dan tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta hak responden untuk mengikuti penelitian atau
menolak keikut sertaannya dalam penelitian tersebut. Dijelaskan pula bahwa
data maupun identitas responden akan dijamin kerahasiaannya. Jika
responden bersedia, maka responden diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan tersebut. Jika responden tidak bersedia maka peneliti harus
menghormati keputusan tersebut.
2) Benificiency
Penelitian ini memberikan keuntungan dan manfaat bagi pasien, memberikan
alternatif terhadap upaya untuk meningkatkan komunikasi verbal dan respon
sensorik pasien, serta mempermudah dalam pelaksanaannya karena
penelitian ini menggunakan intervensi yang dapat dilakukan setiap saat.
51
3) Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama
pada lembar pengumpulan data, cukup memberi nomor kode pada masing-
masing lembar tersebut.
4) Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok
data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai riset dan
responden berhak mengetahui hasil riset. Hasil riset disampaikan oleh
peneliti sampai dengan 5 tahun.
F. Pengumpulan Data (Alat dan Cara)
Sebagai alat pengumpulan data pada penelitian ini, peneliti telah membuat
instrumen yang dikembangkan berupa kuesioner yang berisi 4 pertanyaan, yaitu
frekuensi timbulnya halusinasi, situasi timbulnya halusinasi, respon ketika
halusinasi, dan durasi ketika halusinasi sebagai alat pengumpulan data dengan
pertimbangan beberapa keuntungan yaitu mudah untuk mengelolanya,
memudahkan peneliti untuk mengumpulkan jawaban dengan pilihan jawaban
yang telah disediakan dengan memberikan tanda silang (X) pada lembar jawaban
yang dipilih, jawaban efektif serta efesien waktu.
Pengumpulan data dilakukan di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Grogol dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Peneliti telah mengajukan surat permohonan izin penelitian dari institusi
kepada Direktur RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan.
52
2) Setelah peneliti mendapatkan surat persetujuan dari direktur, selanjutnya
peneliti diberikan surat persetujuan dari direktur dan surat pengantar yang
ditujukan kepada kepala bangsal rumah sakit.
3) Pasien yang bersedia menjadi responden telah diminta menandatangani surat
persetujuan dari responden setelah diberikan penjelasan tentang tujuan dan
manfaat penelitian.
G. Pelaksanaan Proses
Sebelum dilakukan TAK Stimulasi Sensori, terlebih dahulu peneliti
mengobservasi klien dan mengisinya dalam lembar pre test. Setelah dilakukan
pre test yang dilaksanakan selama kurang lebih 5 hari terhitung sejak tanggal 10-
15 Juni 2013 pada pukul 08.00 – 15.00, maka pada tanggal 17 Juni 2013 setiap
kelompok yang sudah ditetapkan jumlah respondennya dikumpulkan dalam
ruangan yang sama untuk kemudian diberikan TAK Stimulasi Sensori sesi I:
mendengarkan musik pada pukul 09.00 – 09.45 di ruang tengah Ruang Kenanga.
Tanggal 18 Juni 2013 dilakukan TAK Stimulasi Sensori sesi II: menonton video
yang dilakukan sekitar 30 menit setiap 1 kelompok atau ±2 jam untuk 4
kelompok dari pukul 09.30 – 11.35. Untuk sesi yang terakhir yaitu menggambar,
peneliti melaksanakannya tanggal 19 Juni 2013 selama 45 menit dari pukul 09.30
– 10.15.
Setelah dilakukan TAK Stimulasi Sensori selama 3 hari, responden diobservasi
kembali sejak tanggal 24 – 29 Juni 2013 dengan menggunakan lembar observasi
yang telah disediakan (post test) untuk menentukan skor akhir.
53
H. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul dilakukan seleksi dan diteliti. Data yang memenuhi
syarat akan dianalisa dan dilakukan pengolahan data dengan prosedur:
a. Editing, yaitu proses untuk memeriksa kelengkapan jawaban dari lembar
penilaian yang telah diperoleh.
b. Coding, yaitu kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka atau bilangan.
c. Processing, yaitu pemprosesan data yang dilakukan dengan cara mengentri
data dari lembar penilaian ke paket program komputer.
d. Cleaning, yaitu membersihkan data yang merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah dientri apakah ada kesalahan atau tidak.
I. Analisa Data
Agar lebih bermakna, data yang diperoleh akan dianalisa dengan uji statistik.
Analisa dilakukan melalui 2 tahap yaitu:
1) Analisa Univariat
Digunakan untuk membuat analisa data numerik berupa mean, median dan
standar deviasi dari data pasien gangguan halusinasi yang diberikan TAK
Stimulasi Sensori Sesi I-III.
2) Analisa Bivariat
Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji T beda dua mean
dependent, yang digunakan untuk menguji perbedaan mean antara dua
kelompok data yang dependen yang diketahui nilai deviasinya (d) untuk
selisih sampel 1 dan sampel 2 atau rata-rata deviasi dari nilai deviasinya.
54
Selanjutnya data tersebut dihitung standar deviasinya (SD-d) untuk
mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dapat digunakan melalui dua
cara yaitu :
a. Berdasarkan hasil uji T, bila t hitung > t tabel maka Ho ditolak
b. Berdasarkan nilai P, bila P < 0,05 (ŀ = 0,05) maka Ho ditolak
Untuk mencari nilai SDd dengan menggunakan rumuas sebagai berikut :
Keterangan :
SDd : standar deviasi
n : jumlah sampel
Xi : sampel 1,2,3,....
X : mean
Rumus T test :
Keterangan :
Ė : Rata-rata deviasi/selisih sampel 1 dengan sampel 2
SDd : Standar deviasi dari deviasi
n : Jumlah sampel
T = đ
SDd / n
55
BAB V
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini dilakukan oleh peneliti tentang pengaruh TAK Stimulasi Sensori:
sesi I-III terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan
dan mengikuti data demografi:
A. Analisa Univariat
Dalam analisa univariat ini menjelaskan secara deskriptif mengenai variabel-
variabel. Penelitian secara deskriptif meliputi karakteristik demografi klien, dalam
penelitian ini yaitu usia, pendidikan, dan jenis halusinasi pada klien yang dirawat di
RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan. Adapun jenis kelamin tidak dimasukkan ke dalam
data demografi dikarenakan ruangan pasien yang akan diteliti adalah Ruang
Kenanga yang seluruhnya berisi wanita.
Tabel 5.1
Distribusi responden berdasarkan usia, pendidikan, dan jenis halusinasi
Variabel Katagori Frekuensi Prosentase (%) Usia responden 17-45 tahun
46-60 tahun 8 5
61,5 38,5
Pendidikan SD SMP SMA PT
2 4 6 1
15,4 30,8 46,2 7,7
Jenis halusinasi Penglihatan Pendengaran
5 8
38,5 61,5
56
Dari tabel 5.1 distribusi frekuensi responden didapatkan umur yang paling banyak
ditemukan pada kelompok usia 17-45 tahun sebanyak 8 orang (61,5%), pendidikan
SMA terbanyak sebesar 6 orang (46,2%), dan dalam kategori jenis halusinasi,
didapatkan data jenis halusinasi terbanyak yaitu halusinasi pendengaran sebanyak 8
orang (61,5%).
Berikut ini merupakan data tingkat kemampuan mengontrol halusinasi pada klien di
RS. Dr. Soeharto Heerdjan sebelum dan sesudah diberikan TAK Stimulasi Sensori:
Sesi I-III yang berhasil peneliti himpun dari penelitian.
Table 5.2 Distribusi kemampuan mengontrol halusinasi pada responden di RS. Jiwa Dr.
Soeharto Heerdjan
Variabel yang Diteliti
Frekuensi (n=8) Persen (%)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Frekuensi: 1-3 kali 5 5 38,5 38,5 4-5 kali 3 7 23,1 53,8 >5 kali 5 1 38,5 7,7 Situasi : Sendiri 4 8 30,8 61,5 Sendiri & keramaian 5 1 38,5 7,7 Sblm/Ssdh aktifitas 4 4 30,8 30,8 Respon : Dapat menghardik 0 1 0 7,7 Mengikuti stimulasi 10 1 76,9 7,7 Melakukan kegiatan lain 3 11 23,1 84,6 Durasi : 1-3 menit 9 12 69,2 92,3 4-10 menit 3 1 23,1 7,7 >10 menit 1 0 7,7 0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa adanya sedikit peningkatan kemampuan
mengontrol dalam setiap kategori pada saat sebelum dan sesudah diberikan TAK
57
Stimulasi Sensori: Sesi I-III. Seperti pada kategori frekuensi, sebelum diberikan
TAK, responden yang mengalami frekuensi halusinasi >5 dalam sehari kali terlihat
perubahan menjadi sekitar 4-5 kali setelah diberikan TAK. Pada kategori situasi,
responden yang mengalami halusinasi pada saat sendiri dan keramaian mengalami
sedikit peningkatan dengan mengalami halusinasi hanya pada saat sendiri. Dalam
kategori respon, terlihat adanya peningkatan yang lebih menonjol, seperti pada
responden yang awalnya mengikuti stimulasi, setelah diberikan TAK mereka lebih
memilih untuk melakukan kegiatan lain untuk mencegah stimulasi. Sementara
durasi terjadinya halusinasi juga mengalami sedikit peningkatan dari yang mulanya
berkisar 4-10 menit atau bahkan ada yang >10 menit, berubah menjadi hanya sekitar
1-3 menitan.
B. Analisa Bivariat
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian one group pre tes post
tes untuk mengetahui pengaruh TAK Stimulasi Sensori : Sesi I-III terhadap
kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan sesudah intervensi dengan
menggunakan uji T dependen.
58
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan sesudah
TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III
Variabel Kemampuan Mengontrol Halusinasi
Mean SD SE N P Velue
Frekuensi Sebelum 2,00 0,913 0,253 13 0,104 Sesudah 1,69 0,630 0,175 Situasi Sebelum 2,00 0,816 0,226 13 0,040 Sesudah 1,69 0,947 0,263 Respon Sebelum 2,23 0,439 0,122 13 0,047 Sesudah 2,77 0,599 0,166 Durasi Sebelum 1,38 0,650 0,180 13 0,104 Sesudah 1,08 0,277 0,077
Pada tabel 5.3 di atas terlihat statistik deskriptif berupa rata-rata frekuensi tingkat
kemampuan mengontrol halusinasi pre intervensi dan post intervensi. Variabel pada
tingkat kemampuan mengontrol halusinasi sebelum TAK: Stimulasi Sensori Sesi I-III
dengan 4 kategori, yaitu frekuensi, situasi, respon, durasi.
Untuk kategori frekuensi, mean yang didapat adalah 0,308, dengan standar deviasi
0,630, dan P Value sebesar 0,104. Untuk kategori situasi, mean yang didapat adalah
0,308, dengan standar deviasi 0,480, dan P Value sebesar 0,40. Untuk kategori respon,
didapatkan mean sebesar 0,538, standar deviasi sebesar 0,877, dan p value sebesar
0,047. Sementara untuk kategori durasi, mean yang didapat sebesar 0,308, standar
deviasi 0,630, dan p value sebesar 0,104. Oleh karena p <0,05 maka untuk kategori
situasi dan respon ada pengaruh setelah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III
terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta,
sementara untuk kategori frekuensi dan durasi yang mana p value-nya >0,05, maka
59
didapatkan hasil tidak ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap
kemampuan mengontrol halusinasi di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan.
60
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian tentang pengaruh TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap mengontrol hausinasi. Peneliti akan
membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori dan hasil penelitian terdahulu.
A. Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Data Demografi
a. Usia
Berdasarkan hasil penelitian di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, usia
terbanyak adalah 17 - 45 tahun sebanyak 8 orang (61,5%).
Menurut Levinson dalam Mesra (2007), usia dewasa terbagi ke dalam 3
kategori, yaitu dewasa awal (17 – 45 tahun), dewasa madya (45 – 65), dan
dewasa akhir (>60 tahun). Hal ini menunjukan bahwa responden halusinasi
terbanyak adalah pada masa perkembangan dewasa awal. Seperti yang
dituliskan oleh Sudarmini (2010), bahwa usia dewasa tersebut utamanya
diharapkan telah memiliki koping yang baik untuk menyelesaikan setiap
permasalahnnya, karena pada usia ini seseorang seharusnya telah dapat
menjadi contoh dan panutan bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain
itu, pada usia dewasa muda juga dituntut untuk menjadi pribadi yang
61
produktif, sehingga pada usia dewasa muda beresiko tinggi terjadi gangguan
jiwa karena tahap kehidupan ini penuh dengan stresor dan kecemasan.
Selain itu, usia remaja adalah usia di mana seseorang sedang mencari jati
diri, sehingga ketika ada yang terlewati muncullah sebuah respon psikologis
seperti malu hingga menarik diri dari hubungan sosial dengan lingkungan
sekitar yang berdampak pada gangguan mental individu.
b. Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian di RS. Dr. Soeharto Heerdjan, tingkat
pendidikan responden terbanyak adalah pendidikan SMA sebesar 6 orang
(46,2%).
Menurut Darmojo (2004), disebutkan bahwa pendidikan yang rendah dapat
beresiko terjadinya depresi, yang pada penelitian sebelumnya depresi lebih
banyak terjadi pada usia lanjut dengan tingkat pendidikan rendah. Pada
tingkat pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan sosial ekonomi yang
baik dan kemandirian yang makin mantap, sehingga dapat berdampak positif
terhadap tingkat kesehatan jiwa seseorang. Selain itu, penelitian Fakhari
yang dikutip kembali Marudin (2011), didapatkan hasil bahwa ada hubungan
yang bermakna antara tidak punya pendidikan atau tidak tamat SD dengan
timbulnya gangguan jiwa (p<0,001).
62
Dalam penelitian yang telah penulis lakukan, didapatkan bahwa responden
halusinasi yang terbanyak terdapat pada responden dengan tingkat
pendidikan SMA dibandingkan dengan responden yang berpendidikan
rendah seperti SD atau SMP. Namun, pendidikan yang rendah atau
menengah bukan semata-mata menjadi faktor timbulnya halusinasi. Ada
banyak faktor yang mendukung, seperti support system, koping yang kurang
sesuai, dan lain sebagainya. Selain itu, persepsi dari masing-masing individu
pun berbeda, sehingga kadang berfluktuatif. Hal tersebutlah yang membuat
seseorang mengalami gangguan persepsi seperti halusinasi.
c. Jenis Halusinasi
Berdasarkan hasil penelitian di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, jenis
halusinasi terbanyak adalah halusinasi pendengaran yang dimiliki oleh 8
responden (61,5%).
Dari jurnal penelitian Upoyo & Suryanto (2008), juga didapatkan hasil
bahwa jenis halusinasi terbanyak di Rumah Sakit Banyumas adalah
halusinasi dengar dengan jumlah 10 dari 14 klien (75,02%). Seperti yang
dijabarkan pula oleh Nasution (2004), halusinasi pendengaran merupakan
bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi pada responden gangguan
jiwa (skizofrenia). Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor
dari gangguan halusinasi dan 1 syarat diagnostik minor untuk metankolia
63
involusi, psikosa mania depresif, dan sindroma otak organik.
Peneliti banyak menemukan responden dengan halusinasi pendengaran
dengan suara-suara yang berasal dari tuhan, setan, tiruan, atau relatif,
sehingga hal ini menghasilkan tindakan/perilaku seperti yang telah diuraikan
di tahapan halusinasi yang ada di bab 2. Munculnya suara-suara tersebut
hingga berpengaruh kepada persepsi mereka, biasanya disebabkan karena
kurangnya sentuhan, perhatian, dan kehangatan dari keluarga, kurangnya
kedekatan diri dengan tuhan, atau masih menyisakan trauma atas
peninggalan orang yang dicintai, yang akhirnya mengakibatkan kemampuan
responden untuk bersosialisasi tidak adekuat hingga berakhir dengan
menarik diri.
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Hasil Observasi Mengontrol
Halusinasi Sebelum dan Sesudah Intervensi TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-
III
Dari tabel 5.2, dapat dilihat bahwa terdapat 4 kategori yang diobservasi, yaitu
frekuensi, situasi, respon, dan durasi, untuk mengukur kemampuan mengontrol
halusinasi pada saat sebelum dan sesudah diberikan TAK Stimulasi Sensori:
Sesi I-III.
Untuk kategori frekuensi halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan TAK
adalah 1-3 kali dan >5 kali (38,5), sementara jumlah terendah adalah 4-5 kali
64
(23,1%). Lalu setelah diberikan TAK, terdapat perubahan yang terlihat, yaitu
jumlah terbanyak ada pada frekuensi 4-5 kali (53,8%), sedangkan terendah ada
pada frekuensi >5 kali (7,7%).
Untuk kategori situasi halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan TAK adalah
pada 2 situasi, yaitu sendiri dan sebelum/sesudah aktifitas (30,8%), sementara
terendah adalah pada situasi sendiri/keramaian (38,5%). Setelah diberikan TAK,
data terbanyak adalah pada situasi sendiri (61,5%), sementara untuk situasi
sendiri/keramaian menjadi situasi dengan data terendah (7,7%).
Untuk kategori respon halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan TAK adalah
mengikuti stimulasi halusinasi (76,9%), sementara untuk respon dapat
menghardik dijadikan terendah (0%). Namun setelah diberikan TAK, terdapat
sedikit peningkatan yang terlihat, seperti untuk data tertinggi adalah melakukan
kegiatan lain (84,6%), sedangkan data terendah adalah dapat menghardik dan
mengikuti stimulasi (7,7%).
Terakhir, untuk kategori durasi halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan
TAk adalah 1-3 menit (69,2%), sementara data terendah adalah >10 menit
(7,7%). Setelah diberikan TAK, terlihat sedikit perubahan pada prosentasenya,
yaitu durasi terbanyak adalah 1-3 menit (92,3%), sementara data terendah adalah
>10 menit (0%).
Hal ini menunjukkan adanya perubahan pada kemampuan mengontrol halusinasi
65
sebelum dan sesudah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III.
B. Analisa Bivariat
Dari hasil uji statistik T dependen, didapatkan hasil mean dan standar deviasi untuk
keempat ketegori observasi (frekuensi, situasi, respon, dan surasi), yaitu sebagai
berikut:
Untuk kategori frekuensi halusinasi, mean yang diperoleh sebelum dilakukan TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III adalah sebesar 2,00 dan standar deviasinya sebesar
0,913. Setelah diberikan TAK, mean yang diperoleh sebesar 1,69 dan standar
deviasi sebesar 0,630. Maka dapat dilihat perbedaan nilai mean antara sebelum dan
sesudah dilakukan TAK adalah 0,308 dan standar deviasi 0,630. Sementara, dari uji
statistik T dependen didapatkan nilai p value 0,104 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap frekuensi halusinasi.
Ada banyak faktor yang membuat tidak adanya pengaruh, beberapa di antaranya
adalah kemampuan konsentrasi responden yang kurang baik untuk mengingat
berapa kali mereka mendapatkan stimulus halusinasi dalam jangka waktu 24 jam,
fasilitas di ruangan tidak menunjang seperti jam yang akan mempermudah mereka
mengetahui pada pukul berapa saja mereka mendapat stimulasi halusinasi dan
berapa kali dalam 24 jam, lalu kesadaran pada diri masing-masing responden untuk
sembuh pun kurang sehingga mereka hanya tahu bahwa TAK hanyalah sebuah
terapi yang mereka lakukan untuk mengisi waktu luang dan bukan untuk sembuh
66
walaupun peneliti telah mengatakan tujuan awal TAK yang akan dilakukan. Selain
itu pula, penelti hanya dapat meneliti frekuensi responden pada pagi dan sore hari
saja, sehingga pada saat malam hari responden sukar untuk diobservasi. Pola
halusinasi pun sudah terbentuk dengan rutinitas kegiatan mereka yang selalu sama
setiap harinya. Oleh karena itu untuk beberapa responden, frekuensi atau jumlah
munculnya halusinasi dalam sehari dimungkingkan tetap tidak ada perubahan
menjadi lebih baik walaupun sudah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III.
Untuk kategori situasi halusinasi, mean yang diperoleh sebelum dilakukan TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III adalah sebesar 2,00 dan standar deviasinya sebesar
0,816. Setelah diberikan TAK, mean yang diperoleh sebesar 1,69 dan standar
deviasi sebesar 0,947. Maka dapat dilihat perbedaan nilai mean antara sebelum dan
sesudah dilakukan TAK adalah 0,308 dan standar deviasi 0,480. Sementara, dari uji
statistik T dependen didapatkan nilai p value 0,040 maka dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap situasi halusinasi. Ketika
pelaksanaan TAK dan observasi, kebetulan dalam lingkungan tempat meneliti
terdapat banyak mahasiswa-mahasiswa dari berbagai institusi keperawatan sedang
melakukan praktik klinik di sana, sehingga kami sering mengajak responden untuk
bercakap-cakap dan bersosialisasi seperti tujuan umum TAK itu sendiri. Dengan
begitu, kesempatan untuk responden melamun atau sendirian hingga muncul
stimulasi halusinasi kembali sangat kecil.
Untuk kategori respon halusinasi, mean yang diperoleh sebelum dilakukan TAK
67
Stimulasi Sensori: Sesi I-III adalah sebesar 2,63 dan standar deviasinya sebesar
0,816. Setelah diberikan TAK, mean yang diperoleh sebesar 2,77 dan standar
deviasi sebesar 0,599. Maka dapat dilihat perbedaan nilai mean antara sebelum dan
sesudah dilakukan TAK adalah -0,538 dan standar deviasi 0,877. Sementara, dari
uji statistik T dependen didapatkan nilai p value 0,047 maka dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap respon halusinasi.
Responden yang diteliti adalah responden yang pernah dirawat inap di beberapa
bangsal di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, sehingga mereka sudah pernah
diberikan TAK-TAK sebelumnya, seperti TAK Stimulasi Persepsi, Sensori,
Orientasi Realitas, dan Strategi Pelaksanaan (SP) khusus pasien halusinasi. Dengan
pengalaman diberikan TAK-TAK dan SP tersebut, sedikit banyak mereka telah
mengetahui respon yang harus dilakukan ketika stimulasi halusinasi muncul.
Peneliti juga tak jarang mengingatkan para responden untuk selalu mencari kegiatan
lain ketika stimulasi halusinasi muncul agar responden tidak terbawa stimulasi
tersebut. Kegiatan yang dimaksud adalah dengan kegiatan-kegiatan sederhana,
seperti mengobrol, menulis, berdoa, menghardik (seperti yang telah diajarkan di
SP), bernyanyi bersama, dan lain sebagainya. Dengan adanya teman bicara dan
kegiatan, respon yang dikeluarkan para responden pun lebih positif.
Untuk kategori durasi halusinasi, mean yang diperoleh sebelum dilakukan TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III adalah sebesar 1,38 dan standar deviasinya sebesar
0,650. Setelah diberikan TAK, mean yang diperoleh sebesar 1,08 dan standar
deviasi sebesar 0,277. Maka dapat dilihat perbedaan nilai mean antara sebelum dan
68
sesudah dilakukan TAK adalah 0,308 dan standar deviasi 0,630. Sementara, dari uji
statistik T dependen didapatkan nilai p value 0,104 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III terhadap durasi halusinasi.
Sama halnya dengan frekuensi, durasi (lamanya waktu setiap munculnya halusinasi)
pun tidak berpengaruh setelah dilakukannya TAK. Faktor-faktor yang muncul juga
sama dengan frekuensi halusinasi, seperti kemampuan konsentrasi responden yang
kurang baik untuk mengingat berapa kali mereka mendapatkan stimulus halusinasi
dalam jangka waktu 24 jam, fasilitas di ruangan tidak menunjang seperti jam yang
akan mempermudah mereka mengetahui pada pukul berapa saja mereka mendapat
stimulasi halusinasi dan berapa kali dalam 24 jam, lalu kesadaran pada diri masing-
masing responden untuk sembuh pun kurang sehingga mereka hanya tahu bahwa
TAK hanyalah sebuah terapi yang mereka lakukan untuk mengisi waktu luang dan
bukan untuk sembuh walaupun peneliti telah mengatakan tujuan awal TAK yang
akan dilakukan. Selain itu pula, penelti hanya dapat meneliti durasi responden pada
pagi dan sore hari saja, sehingga pada saat malam hari responden sukar untuk
diobservasi. Peneliti pun sering merasa kesulitan untuk mengobservasi apakah
responden tersebut sedang mendapatkan stimulasi halusinasi atau tidak dikarenakan
ekspresi mereka yang sulit ditebak, khususnya untuk halusinasi penglihatan.
Sebenarnya, untuk kategori durasi ini erat kaitannya dengan kategori situasi.
Peneliti atau perawat lainnya seringkali mengajak mereka untuk melakukan
kegiatan atau bercakap-cakap untuk mengurangi stimulasi halusinasi, namun
terkadang beberapa responden tampak masih terus mengikuti stimulasi walaupun
69
tengah bercakap-cakap atau melakukan aktifitas. Sehingga, TAK yang diberikan
belum dapat berpengaruh secara optimal.
Ada banyak faktor yang membuat mengapa dari 4 kategori hanya 2 kategori saja
yang berpengaruh setelah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III, selain karena
yang telah disebutkan di atas, juga karena responden jarang diberikan TAK-TAK
yang sesuai dengan diagnosa secara rutin setiap minggu. Peneliti pun memberikan
TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III hanya satu kali, sehingga kecil kemungkinan
untuk mereka mengontrol halusinasi yang dirasakan. Apabila TAK tersebut
diberikan secara rutin setiap minggu dalam sebulan atau lebih, pengaruh positif
yang dirasakan responden kemungkinan akan jauh lebih optimal.
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok
responden bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau
diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih
(Pedoman Rehabilitasi Responden Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam
Yosep, 2007). Salah satu terapi yang digunakan untuk responden dengan gangguan
halusinasi adalah TAK Stimulasi Sensori, yaitu upaya menstimulasi semua
pancaindera (sensori) agar memberi respon yang adekuat (Kelliat& Akemat, 2004).
Terapi ini diberikan karena responden tidak mampu berespon dengan lingkungan
sosialnya. Perawat atau terapis dapat mengobervasi reaksi sensori responden berupa
ekspresi emosi atau perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan ucapan.
Keliat (2005) mengungkapkan bahwa anggota kelompok yang nyaman adalah
70
kelompok kecil yang anggotanya berkisar 5-12 orang. Dengan jumlah kelompok
yang ideal, masing-masing anggota kelompok dapat berinteraksi dengan anggota
kelompok yang lain, dapat mengungkapkan perasaan, pengalaman, dan
pendapatnya (Isnaeni, 2008).
TAK Stimulasi Sensori dibagi ke dalam 3 sesi yang 1 sesinya diberikan selama 45
menit dalam satu hari. Sesi 1 berupa mendengarkan musik yang pada saat itu lagu
yang diberikan adalah 3 buah lagu dangdut, sesi 2 menonton video/film berdurasi
pendek yang bersumber dari Youtube, dan sesi 3 yaitu menggambar bebas tanpa
diberikan tema maupun obyek.
Untuk sesi I (mendengarkan musik), peneliti memilih untuk menggunakan musik
dangdut sebagai instrumen penelitian karena menurut penelitian yang dilakukan
oleh Djohan (2006), musik dangdut dan pop tempo cepat dapat menciptakan
perasaan gembira lantaran dinilai cukup umum, cukup memberikan suasana
gembira dengan tempo cepat dan lirik yang ‘ringan’ di telinga, dan selain itu musik
dangdut adalah musik rakyat yang mudah diterima oleh berbagai kalangan. Dengan
pemilihan jenis musik seperti ini, para penderita halusinasi dapat saling membaur
untuk menikmati musik bersama-sama, serta dapat mengurangi gejala halusinasi
yang dirasakan.
Untuk sesi kedua (menonton video), peneliti memberikan terapi menonton
video/film berdurasi pendek yang adaptif, mudah dicerna dalam bahasa maupun
tampilan visual, tidak terlalu banyak menggunakan tulisan di dalamnya, seperti
71
yang ditulis juga oleh Saifudin (2008). Namun pada TAK Stimulasi Sensori sesi 2
ini, peneliti membagi 13 responden ke dalam 4 kelompok kecil yang 1
kelompoknya berisi 3-4 orang. Jadi dalam sehari, peneliti melakukan 4 kali sesi 2
pada 4 kelompok tersebut. Hal itu dilakukan karena dengan jumlah yang banyak,
konsentrasi dan emosi responden akan kurang terhadap tayangan. Dengan jumlah
yang hanya 3-4 orang dalam setiap kelompok tersebut juga ternyata mempermudah
responden untuk mengutarakan perasaan dan kesan terhadap tayangan yang
diberikan hingga membentuk suatu kesimpulan.
Untuk sesi III (menggambar), Anoviyanti (2008) dalam jurnalnya mengatakan
bahwa melukis sebagai terapi berkaitan dengan aspek kontemplatif atau sublimasi.
Kontemplatif atau sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang bersifat
menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat kejiwaan, seperti
perasaan, memori, pada saat kegiatan berkarya seni berlangsung. Aspek ini
merupakan salah satu fungsi seni yang dimanfaatkan secara optimal pada setiap sesi
terapi. Kontemplatif dalam arti, berbagai endapan batin yang ditumpuk, baik itu
berupa memori, perasaan, dan berbagai gangguan persepsi visual dan auditorial,
diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan. Dengan demikian, pasien tidak
terjebak pada suatu situasi dimana hanya diri sendiri terjebak pada realitas imajiner
yang diciptakan oleh diri sendiri.
Pada sesi menggambar yang responden lakukan, peneliti dapat melihat bahwa pada
responden halusinasi yang sudah mengenal dan mengontrol halusinasinya dapat
menggambar dengan warna yang sesuai dan obyek yang jelas, seperti rumah,
72
pohon, bunga, jendela, pintu, dan lain-lain dalam 1 rangkaian gambar yang dapat
diinterpretasikan. Sementara bagi responden halusinasi yang masih sering
mengikuti stimulasi atau belum bisa mengontrol halusinasi, hanya menggambar
obyek-obyek yang berbeda tanpa ada hubungan dari obyek yang 1 ke obyek yang
lain, tidak dapat mengaplikasikan warna sesuai obyek yang dibuat, dan tidak dapat
menginterpretasikan keseluruhan gambar atau dapat menginterpretasikan namun
penjelasannya tidak masuk akal. Namun, terlepas dari itu semua, sesi menggambar
yang dihadirkan di tengah-tengah mereka terbukti dapat membuat mereka semua
gembira dan sebagian besar dapat mengutarakan perasaan masing-masing.
Untuk pelaksanaan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III itu sendiri tak membutuhkan
waktu, namun memang peneliti mengakui bahwa instrumen yang digunakan untuk
setiap sesi sedikit banyak. Untuk sesi mendengarkan musik, peneliti menyiapkan
seperangkat speaker mini yang mudah dibawa, serta menyiapkan beberapa lagu
dangdut yang sedang populer. Lalu, untuk sesi menonton video, peneliti telah
mencari beberapa video pendek dari situs Youtube dengan durasi per-video sekitar
1-3 menit demi mempertahankan konsentrasi responden pada video tersebut,
seperangkat speaker mini, serta laptop. Namun, jika tersedia LCD dan proyektor,
akan lebih baik. Sementara untuk sesi menggambar, peneliti hanya menyiapkan
beberapa lembar kertas HVS yang akan menjadi wadah untuk responden
menggambar dan tiga set krayon untuk digunakan bersama-sama oleh para
responden.
73
Sebelum memulai observasi pre dan post test, peneliti telah menyaring responden-
responden mana saja yang cocok untuk menjadi responden, menurut diagnosa, afek,
tahapan halusinasi, juga jenis halusinasi (pendengaran dan penglihatan), sehingga
saat dikumpulkan bersama dalam sebuah kelompok TAK, responden dapat
mengikuti alur TAK dan berinteraksi dengan baik. Namun untuk sesi
mendengarkan musik dan menggambar, peneliti memberikan kesempatan untuk
responden-responden dengan diagnosa lain untuk ikut bersama-sama mengikuti
TAK karena 2 sesi tersebut sifatnya umum untuk siapa saja.
Penelitian terkait tidak ada yang membahas tentang pelaksanaan dari TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III dan pengaruhnya terhadap kemampuan mengontrol
halusinasi. Dari standar deviasi hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 4 kategori
yang diukur pada sebelum dan sesudah diberikan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III,
yaitu frekuensi, situasi, respon, dan durasi halusinasi, pengaruh yang terlihat
hanyalah pada kategori situasi dan respon, sementara untuk frekuensi dan durasi
tidak ada perubahan yang berarti.
C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari keterbatasan dalam melaksanakan penelitian ini, antara lain :
1. Dalam pelaksanaan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III hanya dapat dilakukan
selama kurang lebih satu minggu karena keterbatasan waktu penelitian dengan
jadwal sidang skripsi sehingga hasil penelitian kurang maksimal.
2. Pada saat pelaksanaan TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III sering terjadi
74
kesulitan karena kurang kooperatifnya pasien pada saat mengikuti TAK. Hal
tersebut juga dapat disebabkan karena kurangnya konsentrasi pasien pada saat
TAK sedang berlangsung yang disebabkan kondisi mereka yang labil.
3. Peneliti hanya dapat mengobservasi responden pada pagi dan sore hari,
sehingga peneliti kesulitan untuk melihat perkembangan cara mengontrol
responden dalam halusinasi pada saat malam hari.
75
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian terhadap 13 klien halusinasi dan dilakukan intervensi TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dari data demografi dapat disimpulkan bahwa :
a. Umur terbanyak adalah 17-45 tahun sebesar 61,5%.
b. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA sebesar 46,2%.
c. Jenis halusinasi terbanyak adalah halusinasi pendengaran sebesar 61,5%.
2. Karakteristik responden berdasarkan 4 kategori mengontrol halusinasi adalah
sebagai berikut:
a. Untuk kategori frekuensi halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan TAK
adalah 1-3 kali dan >5 kali (38,5), sementara jumlah terendah adalah 4-5 kali
(23,1%). Lalu setelah diberikan TAK, terdapat perubahan yang terlihat, yaitu
jumlah terbanyak ada pada frekuensi 4-5 kali (53,8%), sedangkan terendah
ada pada frekuensi >5 kali (7,7%).
b. Untuk kategori situasi halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan TAK
adalah pada 2 situasi, yaitu sendiri dan sebelum/sesudah aktifitas (30,8%),
76
sementara terendah adalah pada situasi sendiri/keramaian (38,5%). Setelah
diberikan TAK, data terbanyak adalah pada situasi sendiri (61,5%),
sementara untuk situasi sendiri/keramaian menjadi situasi dengan data
terendah (7,7%).
c. Untuk kategori respon halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan TAK
adalah mengikuti stimulasi halusinasi (76,9%), sementara untuk respon
dapat menghardik dijadikan terendah. Namun setelah diberikan TAK,
terdapat sedikit peningkatan yang terlihat, seperti untuk data tertinggi adalah
melakukan kegiatan lain (84,6%), sedangkan data terendah adalah dapat
menghardik dan mengikuti stimulasi (7,7%).
d. Terakhir, untuk kategori durasi halusinasi, data terbanyak sebelum diberikan
TAk adalah 1-3 menit (69,2%), sementara data terendah adalah >10 menit
(7,7%). Setelah diberikan TAK, terlihat sedikit perubahan pada
prosentasenya, yaitu durasi terbanyak adalah 1-3 menit (92,3%), sementara
data terendah adalah >10 menit.
3. Dari hasil uji statistik, menunjukan ada perbedaan nilai rata-rata sebelum dan
sesudah TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III, yaitu:
a. Untuk kategori frekuensi dan durasi, dengan P value 0,000 atau P > 0,005
maka disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi
I-III terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto
Heerdjan.
77
b. Untuk kategori situasi dan respon, dengan P value 0,000 atau P < 0,005
maka disimpulkan bahwa ada pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I-III
terhadap kemampuan mengontrol halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto
Heerdjan.
B. Saran
1. Untuk rumah sakit jiwa, adanya upaya perbaikan atau pemasangan sarana atau
prasarana seperti pengeras suara dan televisi yang bertujuan untuk menstimulasi
sensori mereka. Selain itu, setiap kamar atau bangsal sebaiknya diberikan jam
dan kalender digital yang tentunya sudah diberi penjagaan berupa besi dan letak
yang cukup tinggi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pasien mengetahui
atau mengorientasi waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun untuk menjadi
pengingat mereka.
2. Untuk perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa, dengan penerapan TAK
Stimulasi Sensori: Sesi I-III diharapkan klien mengalami perubahan perilaku
dari maladaptif menjadi adaptif serta dapat mencegah terjadinya kekambuhan
dari gangguan yang diderita pasien. Selain itu, diharapkan juga setiap malam
mengajak pasien untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat guna memutus
mata rantai halusinasi, karena peneliti melihat kekosongan jadwal pasien setiap
malam hingga pola halusinasi pun tetap tidak berubah.
3. Perawat di rumah sakit jiwa juga perlu mengadakan program pendidikan
kesehatan kepada keluarga tentang bagaimana mengatasi dan memelihara
78
kesehatan jiwa pasien selama di rumah nanti.
4. Untuk peneliti yang akan meneliti keperawatan jiwa terkait dengan Terapi
Aktifitas Kelompok pada pasien halusinasi, dapat dibuat tahapan halusinasi
yang sama pada criteria inklusi agar tingkat keberhasilan TAK semakin tinggi.
Lampiran 1
PERMOHONAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
Responden yang saya hormati,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta :
Nama : Dewi Anggraini
NPM : 2009720015
Akan melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I – III
terhadap Perubahan Tanda dan Gejala Halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdja,
Grogol". Bersama ini saya mohon bapak/ibu untuk bersedia menjadi responden, dan mengisi
lembar persetujuan serta menjawab seluruh pertanyaan pada lembar pertanyaan sesuai dengan
petunjuk yang ada. Jawaban yang bapak/ibu berikan akan saya jaga kerahasiaannya dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian.
Atas perhatian dan partisipasi bapak/ibu dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.
Jakarta, Juni 2013
Peneliti
Dewi Anggraini
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Judul Penelitian : "Pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I - III terhadap Perubahan Tanda
dan Gejala di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol"
Nama Peneliti : Dewi Anggraini
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bersedia ikut berpartisipasi dalam
pengumpulan data yang dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Setelah membaca dan memahami penjelasan yang diberikan saya mengerti penelitian ini tidak
akan berakibat negatif, tidak rnembahayakan fisik dan kesehatan saya, serta berguna untuk
pengembangan ilmu keperawatan di Indonesia. Saya mengerti bahwa informasi yang saya
berikan dijamin kerahasiaannya dan hanya yang saya berikan adalah jawaban yang sebenarnya.
Jakarta, Juni 2013
Mengetahui
Ka. Ru. Rawat Inap Kenanga Responden
Ns. Erni Ernawati, S.Kep ( )
Lampiran 3
LEMBAR DEMOGRAFI
A. Data Demografi
1. No. Responden :
2. Umur :
3. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
4. Pendidikan : SD PTN
SMP Dan lain-lain
SMU
5. Jenis halusinasi :
6. Nama bangsal :
Lampiran 4
LEMBAR OBSERVASI PRE DAN POST TEST
PRE – TEST
No. Aspek yang Dinilai Hasil Responden
1. Frekuensi Timbulnya
Halusinasi
a. 1 – 3 kali
b. 2 – 4 kali
c. > 4 kali
d. Dan lain-lain (sebutkan)……..
2. Situasi Timbulnya Halusinasi a. Sendiri
b. Melamun
c. Setelah melakukan kegiatan
d. Dan lain-lain (sebutkan)……
3. Respon Ketika Halusinasi a. Dapat menghardik
b. Mengikuti stimulasi halusinasi
c. Dan lain-lain (sebutkan)……
4. Durasi Ketika Halusinasi a. 1-3 menit
b. 5-10 menit
c. >10 menit
POST – TEST
No. Aspek yang Dinilai Hasil Responden
1. Frekuensi Timbulnya
Halusinasi
a. 1 – 3 kali
b. 2 – 4 kali
c. > 4 kali
d. Dan lain-lain (sebutkan)……..
2. Situasi Timbulnya Halusinasi a. Sendiri
b. Melamun
c. Setelah melakukan kegiatan
d. Dan lain-lain (sebutkan)……
3. Respon Ketika Halusinasi a. Dapat menghardik
b. Mengikuti stimulasi halusinasi
c. Dan lain-lain (sebutkan)……
4. Durasi Ketika Halusinasi a. 1-3 menit
b. 5-10 menit
c. >10 menit
Lampiran 5
Sesi 1: TAK
Stimulasi Sensoris Mendengarkan Musik
Kemampuan memberi respon pada musik
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Memberi respon (ikut bernyanyi/
menari/ menari/ menggerakkan
tangan-kaki-dagu sesuai irama)
3. Memberi pendapat tentang musik
yang didengar
4. Menjelaskan perasaan setelah
mendengar lagu
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X jika
klien tidak mampu.
Lampiran 6
Sesi 2: TAK
Stimulasi Sensoris Menonton
Kemampuan memberi respon pada tontonan
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Memberi respon pada saat
menonton (senyum, sedih, dan
gembira)
3. Menceritakan cerita dalam TV/
video
4. Menjelaskan perasaan setelah
menonton
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X jika
klien tidak mampu.
Lampiran 7
Sesi 3: TAK
Stimulasi Sensoris Menggambar
Kemampuan memberi respon terhadap menggambar
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Menggambar sampai selesai
3. Menyebutkan gambar apa
4. Menceritakan makna gambar
Petunjuk:
1 Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2 Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X jika klien
tidak mampu.
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Judul Penelitian : "Pengaruh TAK Stimulasi Sensori: Sesi I - III terhadap Mengontrol
Halusinasi di RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol"
Nama Peneliti : Dewi Anggraini
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bersedia ikut berpartisipasi dalam
pengumpulan data yang dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Setelah membaca dan memahami penjelasan yang diberikan saya mengerti penelitian ini tidak
akan berakibat negatif, tidak rnembahayakan fisik dan kesehatan saya, serta berguna untuk
pengembangan ilmu keperawatan di Indonesia. Saya mengerti bahwa informasi yang saya
berikan dijamin kerahasiaannya dan hanya yang saya berikan adalah jawaban yang sebenarnya.
Jakarta, Juni 2013
Mengetahui
Ka. Ru. Rawat Inap Kenanga Responden
Ns. Erni Ernawati, S.Kep ( )
SOP TAK Stimulasi Sensori,Sesi 1: Mendengarkan Musik
1) Tujuan:
a. Klien mampu mengenali musik yang didengar
b. Klien mampu memberi respons terhadap musik
c. Klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengarkan musik
2) Setting:
a. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
b. Ruangan nyaman dan tenang
3) Alat:
a. Tape recorder
b. Lagu yang ceria atau yang religius
4) Metode:
a. Diskusi
b. Sharing persepsi
5) Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sesuai dengan indikasi: halusinasi,
menarik diri, harga diri rendah, dan gangguan komunikasi verbal.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
a) Salam terapeutik: Salam dari terapis kepada klien.
b) Evaluasi/validasi: Menanyakan perasaan klien saat ini.
c) Kontrak:
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan musik.
Terapis menjelaskan aturan main berikut.
Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta
izin kepada terapis.
Lama kegiatan 45 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap Kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan
nama panggilan) dimulai dari terapis secara berurutan searah jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak
semua klien untuk bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputarkan sebuah lagu, klien boleh
terpuk tangan atau menari sesuai dengan irama lagu. Setelah lagu selesai,
klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut dan perasaan klien
setelah mendengar lagu.
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh menari atau tepuk tangan
(kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh diulang beberapa kali.
Terapis mengobservasi respon klien terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya.
Sampai semua klien mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap klien selesai menceritakan
perasaanya, dan mengajak klien lain bertepuk tangan.
d. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak Lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik
yang disukai dan bermakna dalam kehidupannya.
c) Kontak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu menggambar.
Menyepakati waktu dan tempat.
6) Evaluasi dan Dokumentasi
a. Evaluasi: Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien seusai dengan
tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Sensori mendengar musik, kemampuan
klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan, respon terhadap musik,
memberi pendapat tentang musik yang didengar, dan perasaan saat
mendengar musik. Formulir evaluasi sebagai berikut:
Sesi 1: TAK
Stimulasi Sensoris Mendengarkan Musik
Kemampuan memberi respon pada musik
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Memberi respon (ikut bernyanyi/
menari/ menari/ menggerakkan
tangan-kaki-dagu sesuai irama)
3. Memberi pendapat tentang musik
yang didengar
4. Menjelaskan perasaan setelah
mendengar lagu
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X jika
klien tidak mampu.
b. Dokumentasi: Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat
TAK pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien
mengikuti sesi 1, TAK stimulasi sensori mendengarkan musik. Klien
mengikuti kegiatan sampai akhir dan menggerakkan jari sesuai dengan
irama musik, namun belum mampu memberi pendapat dan perasaan
tentang musik. Latih klien untuk mendengarkan musik di ruang rawat.
SOP TAK Stimulasi Sensori, Sesi 2: Menonton
1) Tujuan:
a. Klien dapat memberi respon terhadap tontonan TV/ video (jika menonton tv,
acara tontonan hendaknya dipilih yang positif dan bermakna terapi untuk
klien).
b. Klien menceritakan makna acara yang ditonton.
2) Setting:
a. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran di depan televisi
b. Ruangan nyaman dan tenang
3) Alat:
a. CD player dan video tape
b. Televisi
4) Metode:
a. Diskusi
b. Sharing persepsi
5) Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sudah mengikuti TAK Sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
a) Salam terapeutik: Salam dari terapis kepada klien.
b) Evaluasi/validasi: Menanyakan perasaan klien saat ini.
c) Kontrak:
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton TV/ bideo dan
menceritakannya.
Terapis menjelaskan aturan main berikut.
Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta izin
kepada terapis.
Lama kegiatan 45 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap Kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menonton
TV/ video dan menceritakan makna yang telah ditonton.
b) Terapis memutar TV/ video yang telah disiapkan.
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/ video.
d) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan
menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien.
Berurutan searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada di sebelah kiri
terapis. Sampai semua klien mendapat giliran.
e) Setelah selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak klien
lain bertepuk tangan dan memberikan pujian.
d. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak Lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk menonton acara tv
yang baik.
c) Kontak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu menggambar.
Menyepakati waktu dan tempat.
6) Evaluasi dan Dokumentasi
a. Evaluasi: Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien seusai dengan
tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Sensori menonton, kemampuan klien yang
diharapkan adalah mengikuti kegiatan, berespon terhadap tontonan,
mengungkapkan perasaan terhadap tontonan, dan menceritakan isi tontonan.
Formulir evaluasi sebagai berikut:
Sesi 2: TAK
Stimulasi Sensoris Menonton
Kemampuan memberi respon pada tontonan
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Memberi respon pada saat
menonton (senyum, sedih, dan
gembira)
3. Menceritakan cerita dalam TV/
video
4. Menjelaskan perasaan setelah
menonton
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X jika
klien tidak mampu.
b. Dokumentasi: Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat
TAK pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien
mengikuti sesi 1, TAK stimulasi sensori menonton. Klien mengikuti
kegiatan sampai akhir, ekspresi datar, dan tanpa respon, klien tidak dapat
menceritakan isi tontonan dan perasaannya. Tingkatkan stimulus di
ruangan, ulang kembali dengan stimulus yang berbeda.
SOP TAK Stimulasi Sensori, Sesi 3: Menggambar
1) Tujuan:
a. Klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar.
b. Klien memberi makna gambar.
2) Setting:
a. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
b. Ruangan nyaman dan tenang
3) Alat:
a. Kertas HVS
b. Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
4) Metode:
a. Diskusi
b. Sharing persepsi
5) Langkah Kegiatan:
a. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sudah mengikuti TAK Sesi 1 dan 2.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
a) Salam terapeutik: Salam dari terapis kepada klien.
b) Evaluasi/validasi: Menanyakan perasaan klien saat ini.
c) Kontrak:
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar dan
menceritakannya kepada orang lain.
Terapis menjelaskan jika ada klien yang ingin meninggalkan
kelompok, harus meminta izin kepada terapis.
Lama kegiatan 45 menit.
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap Kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menggambar
dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b) Terapis membagikan kertas dan pensil untuk tiap klien.
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/ video.
d) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan yang diinginkan
saat ini.
e) Setelah semua klien selesai menggambar, terapis meminta masing-masing
klien untuk memperlihatkan dan menceritakan gambar yang telah dibuatnya
kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah gambar apa dan apa
makna gambar tersebut menurut klien.
f) Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat giliran.
g) Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak klien
lain bertepuk tangan.
d. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak Lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk mengekspresikan
perasaan melalui gambar.
c) Kontr ak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang sesuai indikasi klien.
Menyepakati waktu dan tempat.
6) Evaluasi dan Dokumentasi
a. Evaluasi: Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien seusai dengan
tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi Sensori menggambar, kemampuan klien
yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan, menggambar, menyebutkan apa
yang digambar dan menceritakan makna gambar. Formulir evaluasi sebagai
berikut:
Sesi 2: TAK
Stimulasi Sensoris Menonton
Kemampuan memberi respon pada tontonan
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien
1. Mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
2. Menggambar sampai selesai
3. Menyebutkan gambar apa
4. Menceritakan makna gambar
Petunjuk:
1 Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2 Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon, memberi pendapat,
menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda X jika
klien tidak mampu.
b. Dokumentasi: Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK
pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti sesi 1,
TAK stimulasi sensori menggambar. Klien mengikuti kegiatan sampai akhir,
mampu menggambar, menyebutkan nama gambar, dan menceritakan makna
gambar. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaan melalui gambar.