pengaruh stres terhadap daya anti inflamasi kalium … · 2018. 1. 29. · psikofisiologi tubuh...

86
PENGARUH STRES TERHADAP DAYA ANTI INFLAMASI KALIUM DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH BETINA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Diajukan oleh : Ines Septi Arsiningtyas NIM : 058114061 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 i

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENGARUH STRES TERHADAP DAYA ANTI INFLAMASI KALIUM

    DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH BETINA

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

    Program Studi Ilmu Farmasi

    Diajukan oleh :

    Ines Septi Arsiningtyas

    NIM : 058114061

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2009

    i

  • PENGARUH STRES TERHADAP DAYA ANTI INFLAMASI KALIUM

    DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH BETINA

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

    Program Studi Ilmu Farmasi

    Diajukan oleh :

    Ines Septi Arsiningtyas

    NIM : 058114061

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2009

    ii

  • iii

  • iv

  • ”Jiwa Dunia dihidupi oleh kebahagiaan orang-orang.

    Juga oleh ketidakbahagiaan, rasa iri, dan cemburu.

    Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya.

    Semuanya satu adanya…

    Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya “

    Paulo Coelho—sang Alkemis

    Skripsi ini kupersembahkan untuk :

    Tuhan Yesus Gembalaku

    Keluargaku tercinta

    Koordinator tim sukses hatiku

    Almamaterku…

    v

  • vi

  • vii

  • PRAKATA

    Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha

    Esa, atas karunia-Nya, skripsi yang berjudul: “Pengaruh Stres terhadap Daya Anti-

    Inflamasi Kalium Diklofenak pada Mencit Putih Betina” ini telah dapat diselesaikan.

    Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi. Keberhasilan dalam

    penyelesaian skripsi ini tidak lepas berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.

    Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

    1. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing dan dosen penguji, atas

    segala bimbingan, bantuan, nasehat dan waktu yang diberikan dalam

    menyelesaikan naskah ini

    2. Bapak.Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen penguji atas segala bantuan dan

    bimbingan yang telah diberikan

    3. Bapak Ipang Djunarko, S. Si., Apt. selaku dosen penguji atas segala bantuan dan

    bimbingan yang telah diberikan.

    4. Ibu Rita Suhadi selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

    Yogyakarta.

    5. Direktur PT. Dexa Medica Palembang yang telah bersedia memberikan

    sumbangan bahan serbuk kalium diklofenak.

    6. Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Heru atas bantuannya di laboratorium selama ini.

    viii

  • 7. Mama dan Papa, dan adikku Nita, atas doa dan dorongan semangat.

    8. Untuk teman-teman dekatku, Rita, Yuan, Kaka, Hesti, dan Rosye, yang

    membantuku menyemangati menyelesaikan naskah ini.

    9. Untuk Widi, Dani, Nixon, Rias, dan Inus, teman-teman seperjuangan dalam

    bimbingan dan menemani berdiskusi

    10. Mas Momon yang bersedia menemani di laboratorium sehingga pengambilan data

    dapat terselesaikan.

    11. Untuk teman-teman yang tidak henti-hentinya memberikanku semangat Mas

    Agung Budyawan, Mas Wawan, Kak Ucok, Tri, komunitas Wiridan Sarikraman,

    Kaum Muda Katolik dan MAGiS.

    12. Semua teman-teman angkatan 2005, terima kasih atas kebersamaannya.

    13. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang juga telah membantu

    selama penyelesaian skripsi ini.

    Semoga Tuhan melimpahkan anugerah-Nya, atas segala kebaikan dan jasa

    yang telah diberikan.

    Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab

    itu, penulis akan menerima dengan senang hati segala masukan, kritikan yang

    membangun dan saran demi kemajuan di masa datang.

    Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi para

    pembaca untuk menambah ilmu pengetahuan dan berperan dalam pengembangan

    untuk kemajuan masyarakat.

    Penulis

    ix

  • INTISARI

    Stres dan kesehatan telah terbukti memiliki keterkaitan. Stres berperan dalam modulasi pelepasan hormon kortisol dan katekolamin oleh sistem saraf pusat yang mempengaruhi fungsi sel termasuk produksi mediator inflamasi. Seiring dengan meningkatnya kejadian stres maka akan berpengaruh juga terhadap respon inflamasi di dalam tubuh. Dengan demikian, daya anti-inflamasi suatu obat anti-inflamasi yang terpengaruhi stres tersebut berpengaruh terhadap progresivitas penyembuhan pasien. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh stres terhadap daya anti inflamasi kalium diklofenak.

    Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Metode perlakuan stres menggunakan restraint test dan metode uji daya anti-inflamasi menggunakan metode induksi udema pada kaki hewan uji dengan suspensi karagenin 1%. Dua puluh delapan ekor mencit betina, umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 g dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok karagenin,kontrol negatif, kontrol positif, kelompok perlakuan masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Data yang diperoleh berupa berat udem kaki mencit yang kemudian dilakukan perhitungan daya anti inflamasi menurut metode Langford dkk., distribusi data diketahui dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan dengan uji homogenitas. Hasilnya dianalisis dengan metode statistik ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres tidak menurunkan secara signifikan daya anti-inflamasi kalium diklofenak. Persen (%) daya anti-inflamasi kelompok aquades, diklofenak dengan perlakuan stres, dan diklofenak tanpa stres berturut-turut sebesar 13,27%, 21,14%, dan 33,60%.

    Kata kunci : daya anti-inflamasi, stres, kalium diklofenak

    x

  • ABSTRACT Stress and health had proven that had an association. Stress had a role in modulated releaasing cortisol and cathecolamine from the central nervous system that affect the cell function include peroduction of inflammation mediator.As increasing stres there is also increasing in releasing the response of inflammatory in the body so there was a need to increase the dose of anti inflammatory drugs. The aim of research was to know the effect of stress to the diclofenac potassium anti-inflammatory effect. The experimental study was conducted according to one way statistic of randomized design. The method used for stress was restraint test and for anti-inflammatory effect of sodium diclofenac was performed by inducing oedema on test animal paw with subplantar injection of 1% carageenan suspension. Twenty eight female mice (with) weighing 20-30 g (2-3 months) consists of 4 groups and each of the groups were consist of 7 mice. The result were data at mice paw’s weight that were used to calculate the percentage of anti-inflammatory effect according to the Langford, et al. then using one sample Kolmogorov-Smirnov test for the distribution and continued with homogeneity test. The result would be analyzed with using One Way ANOVA analysis with 95% significance level. The result showed stress had no decrased the anti-inflammatory effect of diclofenac potassium significantly. The percentage of anti inflammatory effect of aquadest was 13,27%, diclofenac treatment with restraint test was 21,14%, diclofenac treatment without restraint test was 33,60%.

    Key words : Anti-inflammatory effect, stress, diclofenac potassium

    xi

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i

    HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii

    HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ vi

    LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................. vii

    PRAKATA .............................................................................................................. viii

    INTISARI ............................................................................................................... x

    ABSTRACT ............................................................................................................ xi

    DAFTAR ISI ........................................................................................................... xii

    DAFTAR TABEL .................................................................................................. xv

    DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xvii

    DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xviii

    BAB I PENGANTAR ............................................................................................. 1

    A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

    B. Tujuan .......................................................................................................... 3

    xii

  • BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ..................................................................... 4

    A. Stres .............................................................................................................. 4

    B. Stresor .......................................................................................................... 7

    C. Keterkaitan Stres dengan Fisiologi Tubuh ................................................... 9

    D. Reaksi Stres .................................................................................................. 10

    E. Inflamasi ....................................................................................................... 12

    F. Mediator Inflamasi ....................................................................................... 14

    G. Obat Anti-Inflamasi ..................................................................................... 18

    H. Kalium diklofenak ........................................................................................ 19

    I. Metode Perilaku Stres .................................................................................. 20

    J. Metode Uji Daya Anti-Inflamasi ................................................................. 21

    K. Landasan Teori ............................................................................................. 23

    L. Hipotesis........................................................................................................ 24

    BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 25

    A. Jenis Rancangan Penelitian .......................................................................... 25

    B. Variabel ........................................................................................................ 25

    1. Variabel penelitian ................................................................................. 25

    2. Variabel pengacau .................................................................................. 25

    C. Definisi Operasional .................................................................................... 26

    D. Bahan dan Alat yang Digunakan ................................................................. 26

    E. Tata Cara Penelitian ..................................................................................... 27

    1. Penyiapan hewan uji .............................................................................. 28

    xiii

  • 2. Penyiapan bahan uji ............................................................................... 28

    3. Uji pendahuluan rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi

    karagenin ................................................................................................ 29

    4. Uji pendahuluan waktu pemberian diklofenak dengan dosis efektif ..... 29

    5. Perlakuan hewan uji ............................................................................... 30

    6. Perhitungan daya anti inflamasi ............................................................. 32

    F. Analisis Hasil ............................................................................................... 32

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33

    A. Uji Pendahuluan ........................................................................................... 33

    1. Orientasi waktu pemotongan kaki mencit .............................................. 33

    2. Orientasi waktu pemberian larutan kalium diklofenak dengan dosis

    terapi ....................................................................................................... 36

    B. Hasil Uji Daya Anti-Inflamasi ..................................................................... 39

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 47

    A. Kesimpulan .................................................................................................. 47

    B. Saran ............................................................................................................. 47

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 48

    LAMPIRAN ............................................................................................................. 52

    BIOGRAFI PENULIS ............................................................................................. 65

    xiv

  • DAFTAR TABEL

    Tabel I. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%

    data bobot udema kaki mencit pada uji pendahuluan waktu pemotongan

    kaki setelah diinjeksi karagenin 1%

    subplantar…………………………………………………………. 34

    Tabel II. Hasil rata-rata berat udem setelah injeksisuspensi karagenin 1% secara

    sub plantar pada telapak kaki kiri bagian belakang pada rentang waktu

    tertentu…………………………………………….. 35

    Tabel III. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%

    data bobot udema kaki mencit pada uji pendahuluan waktu pemberian

    larutan kalium diklofenak pada dosis

    terapi………………………………………………………………. 37

    Tabel IV. Data rata-rata berat udem kaki mencit pada uji pendahuluan setelah

    pemberian dosis terapi kalium diklofenak pada rentang waktu

    tertentu……………………………….…………………… 37

    Tabel V. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%

    data berat udema kaki mencit pada uji daya anti-

    inflamasi………………………………………………………….. 41

    Tabel VI. Data rata-rata berat udem kaki mencit sesuai dengan kelompok

    perlakuan………………………………………………………...... 41

    Tabel VII. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% 44

    xv

  • data persen (%) daya anti-inflamasi pada setiap masing-masing

    kelompok perlakuan…………………………………………………...

    Tabel VIII. Rangkuman data persen (%) daya anti-inflamasi antarkelompok dan %

    kenaikan daya anti-inflamasi antarkelompok………………………… 44

    xvi

  • DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Stres sebagai suatu stimulus.......................................................... 4

    Gambar 2. Stres sebagai suatu respon............................................................. 6

    Gambar 3. Diagram Interaksi karakteristik Stresor dengan Internal Proses

    (Kognitif, Respon Fisiologi, dan Perilaku) Menghadapi

    Situasi............................................................................................. 8

    Gambar 4. Hubungan Stres dengan Sistem Endokrin.............................. ....... 10

    Gambar 5. Sindrom Gejala Adaptasi menurut Hans Selye.............................. 11

    Gambar 6. Pathogenesis dan gejala peradangan.............................................. 12

    Gambar 7. Diagram mediator inflamasi turunan dari fosfolipid dengan aksinya

    pada tubuh dan sisi aksi obat anti-inflamasi..................... 17

    Gambar 8. Struktur kalium diklofenak............................................................ 20

    Gambar 9. Diagram batang rata-rata berat udem setelah injeksi suspensi

    karagenin 1% secara sub plantar pada telapak kaki kiri bagian

    belakang pada rentang waktu tertentu........................................... 36

    Gambar 10. Diagram batang rata-rata berat udem kaki mencit pada uji

    pendahuluan setelah pemberian dosis terapi kalium diklofenak pada

    rentang waktu tertentu........................................................... 38

    Gambar 11. Diagram batang berat udem rata-rata kaki mencit sesuai dengan

    kelompok perlakuan....................................................................... 42

    Gambar 12. Diagram batang persen (%) daya anti-inflamasi hasil perlakuan kalium

    diklofenak.......................................................................... 45

    xvii

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Certificate of Co-Analysis kalium diklofenak........................... 52

    Lampiran 2. Skema kerja uji pendahuluan pemotongan kaki mencit setelah

    diinjeksi karagenin 1% 0,05 ml subplantar pada rentang waktu

    tertentu....................................................................................... 53

    Lampiran 3. Skema kerja uji pendahuluan penetapan waktu pemberian kalium

    diklofenak dosis 13 mg/kg BB...................................... 54

    Lampiran 4. Skema kerja pada kelompok perlakuan setelah perlakuan stres

    beserta kontrol............................................................................ 55

    Lampiran 5. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah

    diinjeksi karagenin 1% pada rentang waktu tertentu................. 56

    Lampiran 6. Data berat udema kaki mencit hasil uji pendahuluan akibat

    pemberian kalium diklofenak 13 mg/kgBB pada rentang waktu

    tertentu.......................................................................................... 57

    Lampiran 7. Data berat udema kaki mencit dan % daya antiinflamasi hasil uji

    daya antiinflamasi pada kelompok kontrol dan perlakuan... 58

    Lampiran 8. Data rata-rata berat udem masing-masing kelompok

    perlakuan..................................................................................... 59

    Lampiran 9. Data perhitungan persen (%) daya anti-inflamasi........................ 60

    Lampiran 10. Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemotongan kaki setelah

    injeksi subplantar karagenin 1%...................................... 61

    Lampiran 11. Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemberian kalium 62

    xviii

  • diklofenak pada dosis 13 mg/kg BB............................................

    Lampiran 12. Hasil analisis statistik rata-rata berat udem antara kontrol dengan

    perlakuan......................................................................... 63

    Lampiran 13. Hasil analisis statistik persen (%) daya anti-inflamasi dengan

    kelompok perlakuan...................................................................... 64

    xix

  • xx

  • BAB I

    PENGANTAR

    A. Latar Belakang

    Stres dan kesehatan memilliki keterkaitan, dimana stres adalah suatu reaksi

    psikofisiologi tubuh terhadap jenis-jenis stimulus emosional ataupun fisik yang dapat

    mengancam homeostasis (Forsythe, Cory, John, Dean, Harrisios, 2003). Faktor

    interferensi intrinsik dan ekstrinsik yang mengganggu keseimbangan fisiologis tubuh

    (homeostasis) ini disebut stresor (Levenstein,dkk., 2004). Hubungan antara stres dan

    inflamasi ditujukan berdasarkan pada studi manusia yang menunjukkan bahwa stres

    emosional mengeksaserbasi gejala gangguan inflamasi (Forsythe, dkk., 2003).

    Keterkaitan stres dengan kesehatan adalah stres dapat memodulasi respon

    imun melalui aktivasi sumbu Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dan memicu

    sistem saraf pusat untuk melepaskan kortisol dan katekolamin yang mempengaruhi

    transportasi sel, proliferasi, dan fungsi termasuk produksi sitokin dan mediator

    inflamasi (Forsythe, dkk., 2003) seperti peningkatan interleukin-I beta oleh sel imun

    (Suwito, 2004).

    Besarnya peranan stres dalam memicu berbagai penyakit tanpa disadari oleh

    penderitanya bahkan tak jarang oleh tenaga medis sendiri, berpengaruh pada

    progresivitas penyembuhan (Irawan, 2007). Penggunaan obat anti-inflamasi golongan

    non-steroid seperti diklofenak banyak digunakan di masyarakat. Produk diklofenak

    1

  • 2

    yang beredar di pasaran antara lain Cataflam®, Eflagen® (kalium diklofenak),

    Voltaren®(natrium diklofenak) dan tersedia dalam sediaan tablet, sediaan topikal, dan

    tetes mata (Anonim, 2007). Diklofenak banyak digunakan masyarakat dalam kondisi

    menderita inflamasi baik pada inflamasi ringan seperti radang gusi, hingga gejala

    inflamasi yang berat seperti rheumatoid arthritis. Seiring dengan penggunaan

    diklofenak yang banyak di masyarakat dan banyaknya kejadian stres yang ada di

    sekitar masyarakat, maka penulis ingin melihat keterkaitan antara stres dengan daya

    anti-inflamasi diklofenak, khususnya pada penelitian ini menggunakan kalium

    diklofenak. Hal ini disebabkan durasi dan besarnya peningkatan stres maka akan

    terdapat perbedaan mekanisme fisiologis yang secara kualitatif dan jelas memberikan

    respon inflamasi yang berbeda (Forsythe, dkk., 2003). Seiring dengan meningkatnya

    stres maka terjadi pula peningkatan respon inflamasi di dalam tubuh dengan demikian

    daya anti-inflamasi suatu obat akan terpengaruh.

    1. Perumusan masalah

    Dalam penelitian ini akan dilihat apakah stres memiliki pengaruh menurunkan

    secara signifikan terhadap daya anti-inflamasi kalium diklofenak.

    2. Keaslian penelitian

    Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian mengenai

    pengaruh stres terhadap daya anti-inflamasi kalium diklofenak pada mencit putih

    betina belum pernah dilakukan dan dipublikasikan di Universitas Sanata Dharma.

  • 3

    3. Manfaat penelitian

    a. Manfaat teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan untuk kemajuan ilmu

    pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

    b. Manfaat praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis kepada

    masyarakat sebagai informasi baru tentang pengaruh stres terhadap daya anti-

    inflamasi kalium diklofenak dan menjadi lebih bijak dalam penggunaan kalium

    diklofenak

    c. Manfaat metodologis

    Selain itu metode ini diharapkan menjadi metode alternatif yang dapat

    dilakukan untuk membuktikan pengaruh stres terhadap efek anti-inflamasi suatu obat.

    B. Tujuan

    1. Tujuan umum

    Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi baru pengaruh stres

    terhadap terhadap obat-obat yang memiliki daya anti-inflamasi.

    2. Tujuan khusus

    Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh stres terhadap daya

    anti-inflamasi kalium diklofenak.

  • BAB II

    PENELAAHAN PUSTAKA

    A. Stres

    Stres dapat didefinisikan sebagai ketegangan fisiologis atau psikologis yang

    disebabkan oleh rangsangan merugikan fisik, mental atau emosi, internal atau

    eksternal, yang cenderung menganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah

    organisme tersebut untuk menghindar (Dorland, 2000).

    Dalam perkembangannya terdapat 3 pendekatan mengenai stres, yaitu :

    1. Stres sebagai ’stimulus’

    Pendekatan yang pertama menitikberatkan pada lingkungan dan

    menggambarkan stres sebagai suatu stimulus (gambar 1).

    R

    Ketegangan

    stres

    LINGKUNGAN

    stres

    stres

    stres s S = stimulus

    R = respon

    Gambar 1. Stres sebagai suatu stimulus

    4

  • 5

    Menurut model ini, seorang individu bertemu secara terus menerus sumber-

    sumber stresor yang potensial yang ada di dalam lingkungan. Contoh : kejadian pada

    orang-orang yang mempunyai pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi. Orang

    demikian akan merasa tegang dan tidak enak. Kejadian atau lingkungan yang

    menimbulkan perasaan-perasaan tegang disebut stresor (Smet, 1994).

    Oleh Holmes dan Rahe (1967), kemudian disusun social readjustment rating

    scale (SRRS) yang meninjau nilai berharga untuk membedakan stresor dan telah

    digunakan banyak pada studi mengenai keterkaitan antara stres dan kejadian penyakit

    (Marks, Murray, Evans, dan Willig, 2000). Kelemahan model ini ditunjukkan oleh

    perbedaan individual, tingkat toleransi seseorang dan harapan-harapannya. Selain itu

    tidak ada kriteria yang obyektif yang bisa mengukur situasi yang penuh stres, kecuali

    ukuran pengalaman individu, sedangkan lingkungan yang memberi tekanan dapat

    berupa lingkungan kerja, seperti : kondisi kerja yang miskin fasilitas, kondisi

    pekerjaan yang tidak memuaskan, dll (Smet, 1994).

    2. Stres sebagai ’respon’

    Pendekatan yang kedua memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stresor

    dan menggambarkan stres sebagai suatu respon (Smet, 1994). Teori ini menyangkut

    tentang konsekuensi stres terhadap fisiologi, psikologi dan perilaku, dan terkait

    dengan perkembangan suatu kejadian penyakit (Marks, dkk., 2000). Skema yang

    menjelaskan stres sebagai respon tertera pada gambar 2 :

  • 6

    LINGKUNGAN

    Agen stres

    Respon stres

    Psikologi

    Fisiologi

    Tingkah L k Stimulus Respon

    Gambar 2. Stres sebagai suatu respon

    Dalam konteks ini sering terdapat contoh sebagai berikut : seseorang akan

    merasa stres bila suruh pidato di depan suatu pertemuan. Respon yang dialami itu

    mengandung dua komponen yaitu :

    a. komponen psikologis yang meliputi : perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stres

    b. komponen fisiologis, berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat seperti :

    jantung berdebar-debar, mulut menjadi kering, perut mules, badan berkeringat.

    Respon-respon psikologis dan fisiologis terhadap stresor ini disebut juga

    strain atau ketegangan (Smet, 1994).

    3. Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan

    Pendekatan ketiga menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi

    stresor dan strain, dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan

    lingkungan. Di sini stres bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja tetapi

  • 7

    juga suatu proses dimana seseorang adalah pengantara (agen) yang aktif yang dapat

    mempengaruhi stresor melalui strategi-strategi perilaku, kognitif, dan emosional

    (Smet, 1994).

    Stres terjadi ketika terdapat ketidakcocokan antara ketika merasakan ancaman

    dan merasakan kemampuan untuk menghadapinya (Marks, dkk., 2000). Stres

    merupakan transaksi antara manusia dengan lingkungannya yang di dalamnya

    termasuk penilaian sesorang pada tantangan yang dihadapinya pada situasi tertentu

    sebaik-baiknya dengan menggunakan sumber-sumber yang ada untuk menghadapinya

    seiring dengan respon secara psikologi dan respon fisiologi pada saat merasakan

    tantangan-tantangan tersebut (Bishop, 2004).

    B. Stresor

    Rangsangan yang dapat memicu stres disebut stresor. Stresor ini bervariasi

    menurut intensitas dan durasinya (Morris dan Maisto, 2002). Menurut Selye, stresor

    ini kemudian dibedakan menjadi distress (stres yang merugikan) dan eustress (stres

    yang positif). Walaupun reaksi stressor terhadap fisik tidaklah jauh berbeda, namun

    eustress dianggap menghasilkan kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan

    distress (Bishop, 1994).

    Stresor dapat berupa mikrostresor —seperti percekcokan harian, dan

    gangguan minor, misal : kemacetan lalu lintas, asisten kerja yang sulit, dan target

    akademis— hingga pada stresor yang lebih parah. Pendekatan untuk membedakan

    stresor berdasarkan empat klasifikasi yang ada yaitu :

  • 8

    1. akut, time-limited stresors : misalnya sesorang ada dalam keadaan terancam di

    jalan, atau ketika menjalani ujian mengemudi

    2. rangkaian stresor (stresor sequences) : misalnya sesorang yang menjual rumah

    satu-satunya atau kehilangan rumah satu-satunya

    3. kronik, intermitten stresors : misalnya akan menghadapi deadline penulisan jurnal

    bagi jurnalis, atau tegangan saraf yang meningkat pada masa pre-menstrual

    4. stresor kronik : misalnya seorang dokter yang menghadapi situasi darurat pada

    lingkungan yang padat penduduk dan mengekang dirinya (Marks, dkk., 2000)

    Gambar 3. Diagram Interaksi karakteristik Stresor dengan Internal Proses (Kognitif,

    Respon Fisiologi, dan Perilaku) Menghadapi Situasi (Michael, dan Ronald, 2007)

    Efek : - Rasa khawatir - Piker yang sulit

    terkendali - Kepercayan diri yang

    rendah - Mengharapkan yang

    terburuk - Merasakan tidakada

    harapan

    Karakteristik stresor

    Proses internal Intensitas/tingkat keparahan

    - Ketegangan otot - Detak jantung

    meningkat - Napas pendek - Suseptibilitas

    terhadap penyakit meningkat

    Perilaku menghadapi

    Respon fisiologis - Memicu saraf

    simpatik - Hormon stres

    Penilaian Kognitif - Tergantung

    permintaan (primer) - Dari sumber

    (sekunder) - Konsekuensinya - Arti dari konsekuensi

    kronisitas

    kontrolabilitas

    prediktabilitas

    durasi Situasi permintaan/ sumber (stresor)

    Perilaku self destructive (misal:

    - Perilaku yang rigid atau terjadi disorganisasi

    - Respon yang irrelevant

  • 9

    Stres meliputi interaksi yang kompleks antara karakteristik situasi (stresor),

    proses penilaian kognitif, respon fisiologi, dan perilaku yang dilakukan untuk

    mengahadapi situasi tersebut. Karakteristik stresor yang mempengaruhi respon stres

    dapat dilihat pada gambar 3.

    C. Keterkaitan Stres dengan Fisiologi Tubuh

    Reaksi stres terjadi karena aktivasi sumbu anterior-kelenjar pituitary-sistem

    korteks. Stresor akan bekerja pada kontak dengan saraf dan menstimulasi pelepasan

    hormone adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar pituitary dan akan memicu

    pelepasan glukokortikoid dari adrenal korteks (Pinel, 2000). Stresor akan

    menstimulasi otak untuk melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari

    kelenjar anterior pitutari untuk memicu pelepasan glukortikoid dari adrenal korteks.

    Stresor juga mengaktivasi system saraf simpatik, dimana meningkatkan pelepasan

    epinefrin dan norepinefrin dari adrenal medulla. Efek stres yang semakin berat

    disebabkan karena adanya peningkatan sekresi glukokortikoid. Efek ini meliputi

    peningkatan tekanan darah, kerusakan pada jaringan otot, diabetes steroid, infertilitas,

    penghambatan pertumbuhan, penghambatan reaksi inflamasi, dan supresi sistem

    imun. Penghambatan pada respon inflamasi membuat tubuh semakin sulit untuk

    menyembuhkan diri setelah terkena trauma (Forsythe, dkk., 2003).

  • 10

    Stres

    Sistem Syaraf Simpatik

    Hipotalamus

    Medula Adrenal menghasilkan Epinefrin dan Norepinefrin : - meningkatkan

    aktivitas`kardiovaskular - meningkatkan respirasi - meningkatkan perspirasi - membawa darah menuju otot - menstimulasi aktivitas mental - meningkatkan metabolisme - memicu ketegangan otot

    Kelenjar Pituitari

    Korteks Adrenal menghasilkan kortikosteroid : - meningkatkan pelepasan energi - menekan respon inflamasi - menekan respon imun

    Sistem Hypothalmic-pituitary-adrenocortical

    Sistem Sympathoacdreno-

    Gambar 4. Hubungan Stres dengan Sistem Endokrin (Bishop, 1994)

    D. Reaksi Stres

    Menurut ahli fisiologi Hans Selye, terdapat tiga tahap reaksi terhadap stres

    secara fisik dan psikologi yang disebut general adaptation syndrome (GAS). Seperti

    yang terlihat pada gambar 5, tahap pertama (I) adalah reaksi alarm, dimana tubuh

    mengenali bahwa harus ada perlawanan fisik dan psikologis terhadap bahaya yang

    terjadi (Morris dan Maisto, 2002). Pada tahap ini sistem saraf simpatik diaktifkan,

    dan hormon stres (kortisol, epinefrin, dan norepinefrin) dilepaskan dalam jumlah

    yang besar (Stephen, dan Joseph, 1997). Tahap kedua (II) adalah pertahanan

  • 11

    (resistance), selama tahap ini muncul gejala fisik dan rangkaian tanda yang muncul

    untuk melawan peningkatan disorganisasi psikologi (Morris dan Maisto, 2002), yang

    telah dibawa pada tahap alarm. Apabila stresor ini berlanjut, tubuh akan memulai

    pengaturannya pada level sedang tanda-tanda fisiologi. Apabila gagal, maka akan

    sampai pada tahap ketiga (III) yaitu muncul mekanisme kelelahan (exhaustion),

    dengan adanya tambahan stresor atau kehilangan kemampuan dalam bertahan, tubuh

    akan memasuki tahap yang memungkinkan terjadinya bermacam-macam kejadian

    penyakit atau bahkan kematian (Stephen, dan Joseph, 1997) yang tidak efektif untuk

    mengatasi stres (Morris dan Maisto, 2002).

    III

    III

    Resistensi stres

    waktu

    Gambar 5. Sindrom Gejala Adaptasi menurut Hans Selye

    (Michael, dan Ronald, 2007)

  • 12

    E. Inflamasi

    Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan

    yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat

    mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak

    organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat

    perbaikan jaringan (Harvey, Mycek, dan Champe, 2001).

    Gejala peradangan dimulai dari adanya noksius atau stimulus yang

    menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Dari kerusakan sel ini akan terjadi emigrasi

    leukosit dan proliferasi sel. Seiring dengan terjadinya kerusakan sel, maka akan

    terjadi pembebasan mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan terjadinya

    eksudasi, perangsangan reseptor nyeri, serta gangguan sirkulasi lokal. Dimana

    gangguan sirkulasi lokal akan menyebabkan terjadinya pemerahan dan rasa panas,

    dari eksudasi akan menyebabkan pembengkakan yang berpengaruh pada gangguan

    fungsi, dan adanya perangsangan pada reseptor nyeri akan menyebabkan juga

    gangguan fungsi serta rasa nyeri, Seperti tertera pada gambar 6 di bawah ini :

    nyeri pembengkakan

    panas pemerahan

    Perangsangan reseptor nyeri

    eksudasi Gangguan sirkulasi lokal

    Gangguan fungsi

    Pembebasan bahan mediator

    Proliferasi sel

    Noksius Kerusakan sel Emigrasi leukosit

    Gambar 6. Pathogenesis dan gejala peradangan (Mutshcler, 1986)

  • 13

    Dalam reaksi ini ikut berperan pembuluh darah, saraf, dan sel tubuh di

    tempat jejas. Proses radang memusnahkan, melarutkan atau membatasi agen

    penyebab jejas dan merintis jalan untuk pemulihan jaringan yang rusak pada tempat

    itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, reaksi radang seringkali menimbulkan gejala-

    gejala klinik seperti rasa nyeri. Pemulihan ialah proses dimana sel-sel yang hilang

    atau rusak diganti dengan sel-sel hidup, kadang-kadang melalui regenerasi oleh sel

    parenkim asal, tetapi lebih sering oleh sel fibroblast jaringan ikat yang membentuk

    parut.

    Radang akut adalah radang yang disebabkan oleh rangsangan yang

    berlangsung mendadak (akut) (Sander, 2003). Gejala reaksi radang yang dapat

    diamati berupa kemerahan (rubor), panas meningkat (calor), pembengkakan (tumor),

    nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (functio laesa) (Price dan Wilson, 1995).

    Manifestasi lokal dari radang akut, ada tiga macam yaitu :

    1. Perubahan hemodinamik

    Pertama, didapatkan tekanan hidrostatik yang meningkat dalam pembuluh

    darah akibat meningkatnya aliran darah di daerah yang terluka, sehingga cairan

    keluar menuju daerah yang bertekanan lebih rendah yaitu interstitial. Kedua,

    menurunnya tekanan osmotik dalam tekanan darah, sehingga cairan plasma tertarik

    keluar pembuluh darah ke jaringan interstitial.

  • 14

    2. Perubahan permeabilitas

    Perubahan pembuluh darah meningkat, sehingga terjadi banyak kebocoran

    pembuluh darah, dan akhirnya plasma protein dengan berat molekul yang besar dapat

    menerobos dinding pembuluh darah ke jaringan interstitial.

    3. White cell event

    Sel-sel leukosit dalam keadaan normal berjalan di tengah-tengah dari

    pembuluh darah begitu terdapat keradangan di suatu organ, maka pembuluh darah

    sekitar daerah peradangan akan melebar, dan sel-sel radang PMN akan menepi

    (margination). Setelah itu, sel-sel radang keluar dari pembuluh darah karena

    permeabilitas kapiler yang meningkat (emigration). Sel-sel PMN yang berada di luar

    pembuluh darah, dengan sendirinya akan menuju pusat radang karena pengaruh

    mediator kimia (prostaglandin, leukotrien, komplemen C5a) disebut kemotaksis. Lalu

    sel-sel PMN menggerombol pada pusat radang atau mengelilingi pusat radang dengan

    tujuan melokalisir daerah radang (aggregration). Pada akhirnya sel-sel PMN

    memakan kuman atau sel-sel mati dan dicernakan oleh enzim katalitik dari lisosom

    (phagocytosis) (Sander, 2003).

    F. Mediator Inflamasi

    Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan (tromboksan, leukotrien,

    asamhidroperoksieikosatetraenoat/HPETE dan asam hidroksi eikosatetraenoat/HETE)

    diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua jaringan. Umumnya bekerja lokal pada

    jaringan tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi

  • 15

    produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersikulasi

    dengan konsentrasi bermakna dalam darah (Harvey, dkk, 2001)

    Metabolisme asam arakhidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama,

    yaitu sesuai dengan enzim yang mencetuskan reaksi:

    1. Jalur siklooksigenase (COX)

    Mula-mula dibentuk suatu endoperiksida siklik prostaglandin G2

    (PGG2), yang

    kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2

    (PGH2) oleh peroksidase. PGH

    2

    sendiri sangat tidak stabil, lalu membentuk prostasiklin (PGI2) dan tromboksan

    (TXA2), prostaglandin D

    2 (PGD

    2), prostaglandin E

    2 (PGE

    2), prostaglandin F

    2 (PGF

    2).

    Aspirin dan agen antiinflamasi non steroid (AINS) seperti indometasin menghambat

    siklooksigenase dan karena itu menghambat sintesis prostaglandin (Robbin dan

    Kumar, 1995).

    Telah diteliti bahwa ada dua isoenzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1

    (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Di dalam tubuh COX-1 merupakan bentuk

    yang lebih dominan. Enzim COX-1 disebut juga sebagai enzim “constitutive” yang

    mengubah PGH2

    menjadi beberapa jenis prostaglandin (PGE2, PGI

    2) dan tromboksan

    (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. Enzim COX-1 terdapat di

    kebanyakan jaringan, antara lain di ginjal dan saluran cerna. Enzim COX-2 dalam

    keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan

    oleh sel-sel radang dan dalam sel-sel imun, sel endotel pembuluh darah dan fibroblast

  • 16

    sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan mengubah PGH2

    manjadi PGE2

    yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh

    karena itu, COX-2 dikenal sebagai enzim pertahanan. Tapi pada kenyataannya,, baik

    COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi. Menurut perkiraan,

    penghambatan COX-2 lebih memberikan efek antiinflamasi terhadap obat

    antinflamasi non steroid (Lelo, 2002).

    2. Jalur lipoksigenase

    Jalur ini merupakan jalan lain. Reaksi awal pada jalur ini ialah adanya

    tambahan gugus hdroperoksi pada posisi karbon 5-, 12-, 15- yang oleh enzim masing-

    masing membentuk lipoksigenase-5, lipoksigenase-12, lipoksigenase-15.

    Lipoksigenase-5 merupakan enzim utama neutrofil dan metabolit-metabolit hasil

    kerjanya berciri khas. Derivat 5-hidroperoksi asam arakhidonat yang disebut 5-

    HPETE, sangat tidak stabil dan direduksi sebagai 5-HETE (yang bekerja kemotaksis

    untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan leukotrien. Leukotrien pertama yang

    dihasilkan dari 5-HPETE disebut leukotrien A4

    (LTA4), kemudian oleh hidrolisis dan

    akhirnya menjadi leukotrien E(LTE). Leukotrien Benzim membentuk leukotrien B4

    (LTB4) atau leukotrien C

    4 (LTC

    a) dengan penambahan glutation. Leukotrien C

    4

    diubah menjadi leukotrien D4

    (LTD) merupakan agen kemotaksis kuat dan

    menyebabkan agregasi neutrofil. Leukotrien C4

    dan LTD4

    menyebabkan

  • 17

    vasokonstriksi, spasmus bronkus dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Robbin,

    dan Kumar, 1995).

    Glukokortikoid (menginduksi annexin 1

    Liso-gliseril- fosforilkolin

    Dihambat agonis PAF

    Arakhidonat

    Fosfolipase A2

    5-HPETE

    LTA4

    LTB4

    LTC4

    LTD4

    LTE4

    (bronkokonstriktor, meningkatkan permeabilitas

    pembuluh darah)

    12-HETE (Kemotaksin)

    Lipoksin A dan B

    12-Lipoksigenase

    15-Lipoksigenase

    Siklus endoperoksid

    siklooksigenase

    TXA2(trombotik,

    vasokonstriktor)

    PGI2( vasodilator, hiperalgesik, stops platelet aggregation)

    Induksi penghambatan glukokortikoid

    PGF2α (bronkokonstriktor,

    kontraksi miometrial)

    PGD2 (menghambat

    platelet aggregation, vasodilator)

    Dihambat NSAID 5-lipooksigenase

    PGE2(vasodilator, hiperalgesik)

    Dihambat Antagonis

    PG

    Penghambat 5- lipooksigenase

    (contoh : zileutin)

    Penghambat TXA2 synthase

    Dihambat oleh agonis reseptor

    Leukotrien (Contoh : zafirukast,

    montelukast)

    PAF (vasodilator,

    meningkatkan permeabilitas

    pembuluh darah, bronkokonstriksi,

    kemotaksin)

    Dihambat Antagonis

    TXA2

    Fosfolipid

    Gambar 7. Diagram mediator inflamasi turunan dari fosfolipid dengan aksinya pada tubuh dan sisi aksi obat anti-inflamasi (Rang, Dale, Ritter dan Flower, 2007)

    Keterangan gambar 7: PG = prostaglandin; PGI

    2 = prostasiklin; TX = troboksan; LT = leukotrien; HETE = hydroxyeicosatetraenoic acid;

    HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid; PAF = platelet-activating factor; NSAIDs = Non-Steroidal Anti-inflammatory Drugs

  • 18

    Dari gambar 7 dapat dilihat bahwa mediator PGF2α memiliki pengaruh

    bronkokonstriktor, kontraksi miometrial, PGD2 menyebabkan penghambatan agregrsi

    pletelet dan vasodilator, sedangkan PGI2 dan PGE2 menyebabkan terjadinya

    vasodilator dan hiperalgesik. Sedangkan Leukotrien bersifat bronkokonstriktor dan

    meningkatkan permeabilitas pembuluh darah (Rang, Dale, Ritter, dan Flower, 2007).

    G. Obat Anti-inflamasi

    Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat anti inflamasi terbagi dalam

    golongan steroid yang terutama bekerja dengan cara menghambat pelepasan

    prostaglandin dari sel-sel sumbernya, dan golongan obat anti inflamasi non-steroid

    (AINS) yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang

    berperan pada biosintesis prostaglandin (Anonim, 2000).

    Sediaan AINS memiliki struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam

    farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah dilakukan untuk

    mengelompokkan AINS, apakah menurut struktur kimianya, tingkat keasaman, atau

    ketersediaan awal (pro-drug atau bukan). Meskipun secara umum, sebagai anti-

    inflamasi, AINS bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin, namun

    sekarang AINS dikelompokkan menurut selektivitasnya dalam menghambat COX-1

    dan COX-2, apakah selektif sebagai penghambat COX-2 atau non-selektif (Lelo,

    2002).

  • 19

    H. Kalium diklofenak

    Kalium diklofenak merupakan obat anti inflamasi non-steroid (AINS) poten

    dan disertai dengan daya antipiretik dan analgesik. Kalium diklofenak termasuk

    dalam derivate asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung

    cepat dan lengkap. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak

    diakumulasi di cairan sinovia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih

    panjang dari waktu paruh obat tersebut (Wilmana, 1995).

    Diklofenak memiliki mekanisme aksi dengan menghambat sintesis

    prostaglandin dengan menurunkan aktivitas enzim siklooksigenase sehingga akan

    menurunkan pembentukan prekursor prostaglandin (Lacy, Armstrong, Goldman, dan

    Lance, 2006). Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit

    kepala (Wilmana, 1995). Faktor resiko penggunaan kalium diklofenak topical pada

    masa kehamilan termasuk dalam golongan B, sedangkan pada sediaan kalium

    diklofenak oral, termasuk dalam golongan C (trimester ketiga). Diklofenak dapat

    meningkatkan efek/toksisitas digoksin, methotrexate, insulin. Diklofenak juga dapat

    menurunkan efek aspirin, golongan thiasid, dan furosemid apabila digunakan dalam

    waktu yang sama.

    . Secara farmakodinamik, onset Cataflam® (kalium diklofenak) lebih

    cepat dibandingkan garam natrium karena dapat larut pada duodenum. Profil

    farmakokinetika diklofenak, absorpdi pada sediaan gel topikal sebesar 10%, terikat

    pada protein sebesar 99% di albumin, metabolism di hepar dan memilikibeberapa

  • 20

    metabolit, waktu puncak di serum dicapai dalam waktu satu jam. Dieksresikan di

    urine sebesar 65%, dan di feses 35% (Lacy, Armstrong, Goldman, dan Lance, 2006)

    Gambar 8. Struktur kalium diklofenak (O'Neil, dan Smith, 2001)

    I. Metode Perilaku Stres

    1. Restraint Test

    Perlakuan stres dilakukan dengan metode restraint test selama 30 menit,

    yaitu memasukkan tikus dalam pipa paralon dengan ukuran diameter 31,75 mm dan

    panjang 50-100 mm, kemudian kedua ujungnya ditutup dengan kawat kasa dan

    diletakkan horizontal sedemikian rupa sehingga stabil dan tidak berubah posisi.

    Selama proses perlakuan restraint test, mencit tidak memiliki akses ke makanan dan

    minuman (Ghoshal, Wang, Sheridan, dan Jacob, 1998).

    2. Forced Swim Stress

    Forced Swim Stress diasosiasikan dengan paradigma depresi dan kecemasan

    pada hewan uji. Mencit diletakkan pada pipa plastic yang berisi air (25oC) dengan

  • 21

    ketinggian 15 cm selama 30 menit. Hewan uji kemudian dikeringkan dengan handuk

    dan dibiarkan selama 10 menit di dalam kandang (Forsythe, dkk., 2003).

    J. Metode Uji Daya Anti-Inflamasi

    Terdapat dua golongan uji daya anti-inflamasi, yaitu secara in vivo dan in

    vitro. Metode in vivo yang dilakukan untuk uji daya anti-inflamasi antara lain :

    1.Uji udema pada telapak kaki tikus

    Hewan uji yang digunakan adalah tikus dengan berat badan 120-180 g.

    Bahan penginduksi radang yang digunakan adalah karagenin 1% dalam NaCl 0,9%

    b/v dengan volume sebesar 0,1 ml untuk tikus dan 0,05 ml untuk mencit; kapsaisin 1-

    10µg/kg dalam 105 atau dalam tween 80 atau NaCl 0,9%; dekstrin 6% b/v dalam

    gom akasia b/v sebanyak 0,1 ml; dan kaolin yang disuspensikan dalam NaCl 0,9%

    atau gom arab 0,9%.

    Adapun prosedur dari metode ini sebagai berikut : hewan uji dibagi dalam

    beberapa kelompok dimana setiap kelompok terdiri atas 6-8 ekor hewan. Bahan anti

    inflamasi diberikan satu jam sebelum bahan peradang diberikan secara oral atau 30

    menit sebelumnya jika diberikan secara intraperitoneal. Kemudian penghambatan dari

    udema kaki digunakan sebagai ukuran aktivitas anti inflamasi. Udema kaki terbentuk

    karena injeksi subplantar bahan peradang kaki kiri belakang. Volume telapak kaki

    diukur pada selang waktu 1 sampai lima jam. Pada mencit, pengukuran umumnya

    dilakukan dengan mengorbankan mencit lalu memotong kaki pada pergelangannya,

  • 22

    selanjutnya udema diukur dengan membandingkan volume kaki yang dibengkakkan

    dengan kaki yang tidak dibengkakkan.

    Selain karagenin, terdapat juga agen penginduksi lainnya anatra lain

    kapsaisin, formalin, albumin telur, dan prostglandin E2 (Nwafor, Jacks, Ekanem,

    2007).

    2. Cotton Pellet Granuloma

    Hewan uji yang digunakan berupa tikus betina galur Wistar dengan berat badan

    rata-rata 150 g, diinjeksi secara subkutan dengan 25 ml udara, kemudian diinjeksikan 0,5

    ml minyak kapas sebagai senyawa kimia yang merangsang pembentukan udema. Hari

    kedua setelah pembentukkan kantong, udara dihampakan. Pada hari ketiga, kantong

    ditekan secara manual untuk mencegah terjadinya perlekatan. Pada hari keempat,

    kantong dibuka dan cairan eksudat disedot lalu volumenya diuku (Vetrchelvan, dan

    Jegadeesan, 2002).

    . Metode uji daya anti-inflamasi secara in vitro antara lain dengan pengukuran

    mediator-mediator inflamasi. Percobaan invitro ini berdasarkan pada kemampuan

    suatu obat untuk melepaskan diri dari proses oksidasi fosforilasi, tetapi tidak semua

    penghambatan eksudasi fosforilasi adalah antiinflamasi, misalnya 2,4-dinitrofenol.

    Metode in vitro yang sering digunakan antara lain dengan cara pengukuran sitokin

    antara lain mediator IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan IFN-γ dengan menggunakan

    prosedur ELISA pada cairan bronkoalveolar (Forsthye, dkk., 2003).

    Adapun metode yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada konsep metode

    Langford, et. al. yang telah dimodifikasi. Perbedaannya dengan metode Langford, et. al.

  • 23

    adalah pada penggunaan zat peradang serta perlakuan pada kaki bagian belakang, yaitu

    menggunakan zat peradang suspensi ragi 5%; dan pada kedua kaki bagian belakang

    diberi perlakuan yang sama (kedua kaki bagian belakang disuntik zat peradang, baik

    kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol). Pada penelitian ini zat peradang yang

    digunakan adalah suspensi karagenin 1%; perlakuan kaki bagian belakang berbeda antara

    kaki kiri dan kanan (kaki kiri disuntik suspensi karagenin 1% subplantar, sedangkan kaki

    kanan disuntik subplantar tanpa karagenin sebagai kontrol).

    Perhitungan besar kecilnya efek/respon antiinflamasi (yang dinyatakan dalam

    daya, karena menunjukkan kuantitas) menurut metode Langford dinyatakan sebagai

    berikut:

    % daya anti inflamasi =

    Keterangan :

    U = harga rata-rata berat kaki kiri kelompok karagenin (tanpa perlakuan pemberian larutan kalium diklofenak) dikurangi rata-rata berat kaki kanan mencit D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dengan larutan kalium diklofenak dikurangi rata-rata berat kaki kanan mencit

    K. Landasan Teori

    Dalam kondisi stres terjadi ketegangan baik secara fisiologis maupun

    psikologis yang mengganggu fungsi organisme dan berdasarkan penelitian Joko

    Suwito, dkk. (2004), terbukti stresor menyebabkan terjadinya peningkatan hormon

    yang terkait stres yaitu kortisol serta peningkatan sekresi IL-1 beta sebagai mediator

    inflamasi. Besarnya peranan stres ini mempengaruhi progresivitas

  • 24

    penyembuhanError! Reference source not found.. Namun, pada kondisi stres

    terjadi peningkatan kortikosteroid yang dapat mensupresi inflamasi (Bishop, 1994).

    L. Hipotesis

    Stres menurunkan secara signifikan terhadap daya anti inflamasi kalium

    diklofenak yang dinyatakan dengan peningkatan bobot udema kaki yang diradangkan

    dengan karagenin 1% secara subplantar.

  • BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis Rancangan Penelitian

    Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni. Berdasarkan

    cara pengambilan sampel dan jumlah variabel bebas, penelitian ini menggunakan

    rancangan acak dengan pola satu arah.

    B. Variabel

    1. Variabel penelitian

    a. variabel bebas : restraint stress

    b. variabel tergantung : persentase daya anti inflamasi

    2. Variabel pengacau

    a. variabel terkendali

    1) jenis kelamin mencit : betina

    2) umur mencit : 2-3 bulan

    3) berat badan mencit : 20-30 g

    4) galur mencit : lokal

    b. variabel tidak terkendali : kondisi patofisiologis hewan uji, suhu ruangan,

    kelembaban, kebisingan

    25

  • 26

    C. Definisi Operasional

    a. Stres

    Stres merupakan suatu keadaan dimana merasa terancam dengan sesuatu yang

    dapat mempengaruhi keadaan psikologis maupun keadaan fisiologisnya.

    b. Uji daya anti-inflamasi

    Uji daya anti inflamasi adalah uji dengan menggunakan mencit galur lokal

    sebagai hewan uji yang diradangkan telapak kaki kirinya, dan diukur bobot

    kakinya dengan cara memotong kedua kaki belakang mencit, kemudian ditimbang

    dan dibandingkan dengan perlakuan kelompok kontrol negatif karagenin 1%

    subplantar.

    D. Bahan dan Alat yang Digunakan

    1. Bahan

    a. Hewan uji : mencit betina, galur lokal, umur: 2-3 bulan, berat badan : 20-30g.

    Diperoleh dari : peternakan Sleman Yogyakarta.

    b. Zat peradang : karagenin tipe I (Sigma Chemical Co) dari Laboratorium

    Farmakologi dan Toksikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

    c. Pensuspensi karagenin : NaCl fisiologis 0,9% (Otsuka-NS).

    d. Kalium diklofenak yang diperoleh dari PT. Dexa Medica Palembang

    e. Pelarut kalium diklofenak : aquadest produksi dari Laboratorium Kimia

    Organik Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  • 27

    2. Alat yang digunakan

    a. Alat-alat gelas merk Pyrek

    b. Neraca analitik Mettler Toledo AB 204 (Germany)

    c. Spuit injeksi subplantar

    d. Spuit injeksi per oral

    e. Gunting dan pinset

    f. Pipa paralon

    E. Tata Cara Penelitian

    Metode yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada konsep metode

    Langford dkk. yang telah dimodifikasi. Perbedaannya dengan metode Langford dkk

    adalah pada penggunaan zat peradang serta perlakuan pada kaki bagian belakang,

    yaitu menggunakan zat peradang suspensi ragi 5%; dan pada kedua kaki bagian

    belakang diberi perlakuan yang sama (kedua kaki bagian belakang disuntik zat

    peradang, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol), sedangkan pada

    penelitian ini zat peradang yang digunakan adalah suspensi karagenin 1%; perlakuan

    kaki bagian belakang berbeda antara kaki kiri dan kanan (kaki kiri disuntik suspensi

    karagenin 1% subplantar, sedangkan kaki kanan disuntik subplantar tanpa karagenin

    sebagai kontrol).

  • 28

    1. Penyiapan hewan uji

    Hewan diadaptasikan selama 1 minggu sebelum diberi perlakuan. Mencit

    putih betina yang digunakan diberi pakan pelet butiran, air minum. Hewan kemudian

    dikelompokkan secara acak.

    2. Penyiapan bahan uji

    a. Pembuatan larutan karagenin

    Dosis karagenin yang digunakan sebesar 25 mg/kg BB berdasarkan

    penelitian yang pernah dilakukan oleh Nugroho (2007). Pembuatan larutan

    karagenin dengan cara : sebanyak 100 mg karagenin, dilarutkan dalam NaCl

    fisiologis (0,90 %) hingga volume 10 ml akan diperoleh larutan karagenin 1%

    (b/v) setara dengan dosis 25 mg/kg BB. Volume pemberian adalah 0,05 ml, berat

    badan mencit rata-rata 20 gram = 0,02 kg.

    Perhitungan dosis karagenin

    = kgBBmgkg

    mlmgml /2502,0

    10/10005,0=

    ×

    b. Penentuan dosis kalium diklofenak

    Dosis pemakaian kalium diklofenak pada manusia adalah 50-200 mg,

    untuk terapi rheumatoid arthritis digunakan 100-200 mg tid (Anderson, dkk.,

    2001) kemudian dikonversikan ke dalam dosis mencit dengan berat 20 g

    menggunakan faktor konversi 0,0026.

  • 29

    Dosis pada manusia 70 kg BB = 100 mg

    Konversi ke mencit 20 g BB = 100 mg/70 kg BB × 0,0026

    = 0,26 mg/ 20 g BB

    = 13 mg/kg BB

    3. Uji pendahuluan rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin

    Hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari

    3 ekor, diberi perlakuan kaki kiri bagian belakang 0,05 ml suspensi karagenin dan

    kemudian dikorbankan dengan jangka waktu tertentu yaitu 1, 2, 3, dan 4 jam setelah

    penyuntikan suspensi karagenin. Setelah dikurbankan, kedua kaki belakang dipotong

    pada sendi torsocural dan ditimbang. Waktu pemotongan kaki ditentukan pada saat

    kaki mengalami peningkatan udema yang berarti berdasarkan uji statistik

    Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi normal, yang apabila terdistribusi

    normal dilanjutkan dengan uji analisis varian ANOVA dengan tingkat kepercayaan

    95%, jika signifikasinya kurang dari

  • 30

    Kelompok II : 30 menit sebelum diinjeksi karagenin 1%

    Kelompok III : 45 menit sebelum diinjeksi karagenin 1%

    Kelompok IV : 60 menit sebelum diinjeksi karagenin 1%

    Setelah pemberian larutan kalium diklofenak sesuai dengan rentang waktu

    yang diinginkan, kemudian dilakukan injeksi suspensi karagenin 1% secara sub

    plantar pada telapak kaki kiri bagian belakang mencit. Satu jam setelah injeksi

    suspensi karagenin tersebut, kemudian mencit dikorbankan dan kaki mencit dipotong

    pada sendi torsocural-nya, kemudian berat udem yang dihasilkan ditimbang. Waktu

    pemberian kalium diklofenak ditentukan saat kaki mengalami penurunan udem yang

    berarti berdasarkan dari uji statistik yang dilakukan.Untuk mengetahui distribusi

    kenormalan data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov, apabila data

    terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji ANOVA dengan tingkat

    kepercayaan 95% (signifikasi 0,05). Jika data yang didapat signifikan berbeda

    bermakna (

  • 31

    Kelompok IV : perlakuan stres dan pemberian kalium diklofenak

    Kecuali pada kelompok I, pada menit ke-15, kaki kirinya diinjeksi dengan

    karagenin 1% secara subplantar sebanyak 0,05 ml. Kaki kanan sebagai kontrol hanya

    disuntik dengan spuit injeksi tanpa karagenin. Pada kelompok kontrol tidak

    dipejankan kalium diklofenak. Untuk kelompok III diberikan larutan kalium

    diklofenak 1 jam sebelum dilakukan injeksi suspensi karagenin 1% pada telapak kaki

    kiri bagian belakang secara sub plantar. Pada kelompok IV, perlakuan stres dilakukan

    dengan metode restraint test selama 30 menit, yaitu dimasukkan dalam pipa paralon

    dengan ukuran diameter 31,75 mm dan panjang 50-100 mm kemudian kedua

    ujungnya ditutup dengan kawat kasa dan diletakkan horizontal sedemikian rupa

    sehingga stabil dan tidak berubah posisi. Selama proses perlakuan restraint test,

    mencit tidak memiliki akses ke makanan dan minuman (Ghoshal, et al., 1998).

    Kemudian diberi larutan kalium diklofenak dengan dosis 13 mg/kg BB, dan 30 menit

    kemudian telapak kaki kiri bagian belakang diinjeksi suspensi karagenin 1% secara

    sub plantar. Satu jam setelah injeksi suspensi karagenin pada telapak kaki kiri bagian

    belakang mencit secara subplantar, kemudian mencit dikorbankan dan baik kaki kiri

    maupun kanan (sebagai kontrol) dipotong pada sendi torsocural, dan kemudian

    ditimbang berat udemnya dan diperbandingkan untuk selanjutnya dilakukan

    perhitungan persen (%) daya anti-inflamasi.

  • 32

    6. Perhitungan daya anti-inflamasi

    Persentase daya anti inflamasi dihitung dengan cara

    % daya anti inflamasi =

    Keterangan : U = harga rata-rata berat kaki kiri kelompok karagenin (tanpa perlakuan pemberian larutan kalium diklofenak) dikurangi rata-rata berat kaki kanan mencit D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dengan larutan kalium diklofenak dikurangi rata-rata berat kaki kanan mencit

    F. Analisis Hasil

    Data yang diperoleh dari hasil penimbangan bobot kedua kaki belakang

    mencit dan dalam bentuk persentase daya anti inflamasi dianalisis dengan metode

    Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dilanjutkan dengan uji

    homogenitas. Jika data terdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan analisis

    varian (ANOVA) satu arah taraf kepercayaan 95%. Analisis dilakukan untuk

    mengetahui ada perbedaan pada kelompok perlakuan. Jika diperoleh nilai p0,05 diartikan perbedaan

    tersebut tidak bermakna.

  • BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Uji Pendahuluan

    Uji pendahuluan dilakukan agar metode yang digunakan tepat, dan dapat

    terpercaya. Uji pendahuluan ini dilakukan sebelum uji perilaku selanjutnya, dan

    mendukung hasil dari uji daya antiinflamasi kalium diklofenak. Uji pendahuluan yang

    dilakukan meliputi uji pendahuluan waktu pemotongan kaki mencit, dan rentang

    waktu pemberian larutan kalium diklofenak pada dosis terapi. Uji pendahuluan

    bertujuan mengefisiensikan dan mengoptimalkan proses pengambilan data untuk

    langkah penelitian selanjutnya.

    1. Orientasi waktu pemotongan kaki mencit

    Uji pendahuluan waktu pemotongan kaki mencit bertujuan mengetahui

    waktu optimum pemotongan kaki mencit setelah pemberian injeksi suspensi

    karagenin 1% yang dapat menimbulkan udem terbesar. Dari hasil uji pendahuluan ini

    dapat diketahui keefektifan daya antiinflamasi kalium diklofenak.

    Uji pendahuluan ini dilakukan dengan menginjeksikan suspensi karagenin 1%

    sebanyak 0,05 ml secara subplantar pada telapak kaki kiri bagian belakang mencit

    dimana kemudian dibandingkan dengan kaki kanan yang tidak diberi injeksi suspensi

    karagenin 1% pada selang waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan 4 jam.

    33

  • 34

    Untuk mengetahui distribusi data yang diperoleh dari hasil uji pendahuluan

    pemotongan kaki ini, maka diuji menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Data ini

    dapat dilihat pada lampiran 9, signifikasi yang diperoleh adalah sebesar 0,617 (>0,05)

    maka data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa distribusi data normal, dilanjutkan

    dengan uji homogenitas data, signifikasi yang diperoleh 0,601 (>0,05). Dengan

    demikian data yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen. sehingga analisis

    selanjutnya menggunakan uji ANOVA pola satu arah dengan taraf kepercayaan 95%.

    Tabel I. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% data bobot udema kaki mencit pada uji pendahuluan waktu pemotongan kaki setelah diinjeksi karagenin 1% subplantar

    Keterangan Df F Probabilitas (p) Berat udem antarkelompok perlakuan

    3 0,887 0,488

    Berdasarkan tabel I, dari uji ANOVA diperoleh signifikasinya adalah 0,488

    (>0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa antara perlakuan 1, 2, 3, dan 4 jam tidaklah

    berbeda bermakna. Dengan demikian waktu injeksi karagenin yang dilakukan adalah

    1 jam setelah pemberian kalium diklofenak. Karagenin telah dapat menginduksi

    inflamasi dalam waktu 1 jam. Hasil yang didapat berbeda dengan penelitian yang

    telah dilakukan oleh Nugroho (2007), yaitu karagenin memberikan efek induksi udem

    yang signifikan pada jam ketiga setelah injeksi suspensi karagenin 1% secara sub

    plantar. Berdasarkan Brooks dan Day (1991), mekanisme induksi karagenin yang

    mungkin terjadi terdiri dari 2 fase, fase pertama merupakan pelepasan histamin, 5-HT

  • 35

    dan kinin yang terjadi pada 1 jam pertama, sementara pada fase kedua terjadi

    pelepasan prostaglandin pada jam ke 2-3 sehingga seharusnya pemotongan kaki

    mencit dilakukan pada jam ke-3 setelah injeksi suspensi karagenin. Sedangkan pada

    penelitian ini didapat pada waktu 1 jam sudah dapat terjadi udem yang tidak berbeda

    bermakna dengan kelompok lainnya. Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh

    faktor pengerjaan (misal : cara pemotongan kaki), dan faktor biologis hewan uji

    (kesehatan, iklim), kondisi pada saat pengerjaan di ruangan yang berbeda, antara lain

    suhu, kelembaban ruangan.

    Tabel II. Hasil rata-rata berat udem setelah injeksi suspensi karagenin 1% secara sub plantar pada telapak kaki kiri bagian belakang pada rentang waktu tertentu

    kelompok Mean udema (g) ± SE 1 jam 0,0351±0,0077 2 jam 0,0489±0,0126 3 jam 0,0183±0,0030 4 jam 0,0489±0,0270

    Hasil uji pendahuluan waktu pemotongan kaki, didapatkan masing-masing

    rata-rata berat udem setelah injeksi suspensi karagenin 1% secara sub plantar

    berurutan dari 1, 2, 3 dan 4 jam adalah 0,0351 g, 0,0489 g, 0,0183 g, dan 0,0489 g.

    Berdasarkan tabel I, dari uji ANOVA diperoleh signifikasinya adalah 0,488 (>0,05),

    sehingga dapat dikatakan bahwa antara perlakuan 1, 2, 3, dan 4 jam tidaklah berbeda

    bermakna. Dengan demikian waktu injeksi karagenin yang dilakukan adalah 1 jam

    setelah pemberian kalium diklofenak. Hasil rata-rata berat udem kemudian

    dirangkum dalam diagram batang, seperti yang tertera pada gambar 9 berikut ini :

  • 36

    Gambar 9. Diagram batang rata-rata berat udem setelah injeksi suspensi karagenin 1% secara sub plantar pada telapak kaki kiri bagian belakang pada rentang waktu tertentu 2. Orientasi waktu pemberian larutan kalium diklofenak dengan dosis terapi

    Uji pendahuluan waktu pemberian larutan kalium diklofenak bertujuan

    mengetahui waktu yang tepat dalam pemberian larutan kalium diklofenak pada dosis

    terapi sebelum diinjeksi dengan suspensi karagenin 1% secara sub plantar. Waktu

    pemberian natrium diklofenak ditentukan saat kaki mengalami penurunan udem yang

    berarti.

    Uji pendahuluan kalium diklofenak dilakukan dengan memberikan larutan

    kalium diklofenak per oral dengan dosis 13 mg/kg BB dengan selang waktu 15, 30,

    45, dan 60 menit sebelum injeksi suspensi karagenin 1% sub plantar pada telapak

    kaki kiri bagian belakang mencit.

  • 37

    Tabel III. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% data bobot udema kaki mencit pada uji pendahuluan waktu pemberian larutan kalium diklofenak pada dosis terapi

    Keterangan Df F Probabilitas (p) Berat udem antarkelompok perlakuan

    3 0,512 0,685

    Untuk mengetahui distribusi data dari uji pendahuluan waktu pemberian

    larutan kalium diklofenak yang didapat, maka dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov.

    didapat nilai signifikasi yang diperoleh sebesar 0,955 (lampiran 10), karena nilai

    signifikasi lebih besar dari 0,05 maka data yang diperoleh terdistribusi normal,

    dilanjutkan dengan uji homogenitas data didapatkan signifikasi sebesar 0,616 (>0,05)

    maak data yang diperoleh homogen. Dengan demikian dilanjutkan dengan uji

    ANOVA pola satu arah dengan taraf kepercayaan 95%, dan nilai signifikasi yang

    didapat adalah 0,0685. Nilai signifikasi yang didapat lebih besar dari 0,05 maka data

    yang didapat tidak berbeda signifikan.

    Tabel IV. Data rata-rata berat udem kaki mencit pada ujij pendahuluan setelah pemberian dosis terapi kalium diklofenak pada rentang waktu tertentu

    Kelompok Mean udema (g) ± SE 15 menit 0,0279±0,0043 30 menit 0,0178±0,0103 45 menit 0,0229±0,0132 60 menit 0,0254±0,0147

    Dari tabel IV, dapat dilihat bahwa pada menit ke-30 dihasilkan berat udem

    yang paling kecil ( 0,018 g), dibandingkan dengan perlakuan 15, 45, dan 60 menit.

  • 38

    Hal ini berarti pada menit ke-30 kalium diklofenak dapat diabsorpsi sehingga dapat

    memberikan penurunan berat udem secara maksimal. Dengan demikian dapat diambil

    kesimpulan bahwa waktu pemberian larutan kalium diklofenak dengan dosis 13

    mg/kg BB dapat diberikan 30 menit sebelum injeksi suspensi karagenin 1% secara

    sub plantar. Hasil rata-rata berat udem pada uji pendahuluan waktu pemberian kalium

    diklofenak terangkum dalam diagram batang pada gambar 10 di bawah ini:

    Gambar 10. Diagram batang rata-rata berat udem kaki mencit pada uji pendahuluan setelah pemberian dosis terapi kalium diklofenak pada rentang waktu tertentu.

  • 39

    B. Hasil Uji Daya Anti-Inflamasi

    Kelompok yang dibandingkan adalah kelompok karagenin 1%, kontrol

    negatif (aquadest), kontrol positif (kalium diklofenak), dan kelompok pra perlakuan

    stres kemudian diberi kalium diklofenak. Besarnya daya anti-inflamasi dapat dilihat

    berdasarkan hasil persen daya anti-inflamasi yang dihitung berdasarkan metode

    Langford dkk (1972) dengan modifikasi. Alasan pemilihan metode ini adalah karena

    metode ini mempunyai kevalidan yang cukup baik, selain itu juga sederhana, dalam

    hal instrumen yang dibutuhkan, proses perlakuan, pengamatan, pengukuran sampai

    dengan pengolahan data.

    Suspensi karagenin 1% merupakan suatu zat iritan yang digunakan sebagai zat

    penginduksi udem. Kemampuan induksi udem ini sering digunakan untuk

    memprediksi daya anti-inflamasi suatu obat anti-inflamasi baik dari golongan steroid

    maupun non-steroid. Respon udem yang dihasilkan oleh karagenin cukup

    menghasilkan respon yang peka, dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan pada

    kaki mencit setelah diinjeksi secara sub plantar.

    Aquades digunakan sebagai kontrol negatif karena merupakan pelarut kalium

    diklofenak, dan dilakukan untuk mengetahui apakah pelarut ini memiliki pengaruh

    terhadapa aktivitas anti-inflamasi kalium diklofenak atau tidak, juga digunakan

    sebagai pembanding daya anti-inflamasi.

  • 40

    Kalium diklofenak diketahui memiliki kemampuan untuk bekerja efektif

    dalam penghambatan kerja enzim siklooksigenase sehingga asam arakidonat tidak

    bisa diubah menjadi prostaglandin.

    Metode restraint test dipilih untuk memberikan stres terhadap mencit,

    sehingga dapat diketahui pengaruh stres terhadap daya anti-inflamasi kalium

    diklofenak. Restraint test diasosiasikan dengan pemberian stresor psikososial yang

    dapat membuat stres terhadap mencit. Stresor ini dapat berpengaruh pada terjadinya

    peningkatan mediator inflamasi. Restraint test merupakan jenis stresor yang akut,

    karena diberikan pada waktu tertentu.

    Pada uji perlakuan digunakan 28 mencit yang dibagi menjadi empat kelompok

    masing-masing terdiri dari 7 ekor mencit. Dosis kalium diklofenak yang digunakan

    merupakan dosis terapi yaitu 100mg/70 kgBB (dikonversi ke dosis mencit menjadi 13

    mg/kgBB). Namun, dari empat kelompok didapatkan standar error yang sangat

    besar, sehingga dilakukan pemilihan data dengan cara mengeluarkan data berat udem

    yang tidak termasuk dalam batas atas dan batas bawah penambahan rata-rata berat

    udem pada masing-masing kelompok. Pada lampiran 7, dapat dilihat pada masing-

    masing kelompok terdapat dua data berat udem yang ditolak, sehingga untuk

    perhitungan selanjutnya digunakan jumlah replikasi masing-masing kelompok yang

    terdiri dari 5 mencit.

  • 41

    Tabel V. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% data berat udema kaki mencit pada uji daya anti-inflamasi

    Keterangan Df F Probabilitas (p) Berat udem antarkelompok perlakuan

    3 1,876 0,174

    Data rata-rata berat udem yang didapat kemudian diuji statistik menggunakan

    uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi data yang dihasilkan dan

    didapatkan signifikasinya 0,998 (dapat dilihat di lampiran 11) karena lebih besar dari

    0,05 maka data yang didapat dikatakan terdistribusi normal dan dari uji homogenitas

    signifikasi yang didapat 0,192, berarti data yang diperoleh homogen. Dari hasil ini

    kemudian dilakukan uji ANOVA (tabel V) satu arah dengan taraf kepercayaan 95%,

    didapatkan signifikasi sebesar 0,174 (>0,05), berarti data rata-rata berat udem tidak

    berbeda signifikan. Antara kelompok aquades, kontrol positif, dan kelompok dengan

    perlakuan restraint test menghasilkan rata-rata berat udem yang tidak berbeda

    bermakna. Pada table VI tertera rata-rata berat udem masing-masing kelompok :

    Tabel VI. Data rata-rata berat udem kaki mencit sesuai dengan kelompok perlakuan

    Kelompok Mean udema (g) ± SE karagenin 0,0376±0,0024

    Kontrol aquades 0,0362±0,0079 diklofenak dengan stres 0,0224±0,0051 diklofenak tanpa stres 0,0343±0,0052

  • 42

    Rata-rata berat udem yang diperoleh, kemudian dirangkum dalam diagram

    batang seperti yang terlihat di gambar 11:

    Gambar 11. Diagram batang berat udem rata-rata kaki mencit sesuai dengan kelompok perlakuan

    Dari hasil perlakuan menunjukkan bahwa rata-rata berat udem terdapat pada

    kelompok kontrol negatif aquades (0,030 g), diikuti kelompok karagenin (0,035 g).

    Pada kelompok positif kalium diklofenak tanpa pra perlakuan restraint test, rata-rata

    berat udem yang dihasilkan paling kecil (0,023 g), menunjukkan bahwa kalium

    dikofenak memiliki daya anti-inflamasi yang tinggi. Sedangkan pada kelompok

    dengan pra perlakuan restraint test, rata-rata berat udem yang didapat adalah 0,027 g.

    Hal ini menunjukkan berat udem yang lebih kecil dari kelompok karagenin, tapi tidak

  • 43

    berbeda jauh, dapat dikatakan bahwa kalium diklofenak tersebut memiliki daya anti-

    inflamasi namun tidak besar.

    Dari hasil rata-rata berat udem ini kemudian dilakukan perhitungan persen

    (%) daya anti-inflamasi kelompok kontrol negatif, kontrol positif kalium diklofenak,

    dan kelompok dengan pra perlakuan restraint test. Data persen (%) daya anti-

    inflamasi diuji secara statistik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, nilai

    signifikasi yang dihasilkan adalah 0,975 (>0,05) dengan demikian dapat dikatakan

    bahwa datanya terdistribusi normal, dilanjutkan dengan uji homogenitas data, dan

    didapatkan signifikasinya 0,469 (>0,05) berarti data yang didapat homogen

    (lampiran12).

    Dilanjutkan dengan uji statistik ANOVA, didapatkan signifikasi 0,172 (>0,05)

    berarti data yang didapat tidak berbeda bermakna antarkelompok perlakuan, sehingga

    dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara persen (%) daya anti-

    inflamasi kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan restraint test. Dapat

    disimpulkan bahwa stres tidak mempengaruhi daya anti-inflamasi kalium diklofenak.

    Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2008), stres terbukti

    mempengaruhi daya analgesik petidin. Dapat dikatakan bahwa stres mempengaruhi

    rasa nyeri yang dihasilkan. Pada penelitian ini dihasilkan bahwa stres tidak

    mempengaruhi daya anti-inflamasi kalium diklofenak, padahal nyeri sebenarnya

    merupakan salah satu tanda inflamasi, selain kemerahan (rubor), panas meningkat

    (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (functio laesa).

    Dengan demikian walaupun stres mempengaruhi daya analgesik, namun tidak

  • 44

    mempengaruhi tanda inflamasi lainnya, dan tidak mempengaruhi daya anti-inflamasi

    kalium diklofenak.

    Tabel VII. Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% data persen (%) daya anti-inflamasi pada setiap masing-masing kelompok perlakuan

    Keterangan Df F Probabilitas (p) Berat udem antarkelompok perlakuan

    2 2,045 0,172

    Dari tabel VIII, dapat dilihat bahwa kelompok kontrol positif tanpa pra

    perlakuan stres memiliki persen (%) daya anti-inflamasi yang paling besar (33,60%),

    pada kelompok dengan perlakuan stres didapatkan persen (%) daya anti-inflamasinya

    21,14%, sedangkan persen daya anti-inflamasi aquades adalah 13,27%.

    Tabel VIII. Rangkuman data persen (%) daya anti-inflamasi antarkelompok dan % kenaikan daya anti-inflamasi antarkelompok

    kelompok jumlah replikasi (n) Persen (%) daya anti-inflamasi

    ± SE % kenaikan

    antarkelompok

    aquades 5 13,27±11,30 -

    diklofenak dengan stres 5 21,14±9,65

    59.31

    diklofenak tanpa stres 5 33,60±12,75

    153,21

    Hasil perhitungan persen (%) daya anti-inflamasi antarkelompok dirangkum

    dalam diagram batang pada gambar 12, sebagai berikut :

  • 45

    Gambar 12. Diagram batang persen (%) daya anti-inflamasi hasil perlakuan kalium diklofenak

    Pada stresor golongan akut, dapat menyebabkan stres, namun pada waktu

    yang singkat respon stres ini membantu tubuh untuk beradaptasi dengan perubahan

    dan adaptasi ini dapat membantu hewan untuk merespon stres antara lain untuk

    menginhibisi proses inflamasi dan resistensi terhadap infeksi (Pinel, 2000), namun

    apabila dalam jangka yang panjang, maka proses ini menjadi maladaptif dan dapat

    menyebabkan gangguan pada tubuh manusia, misal memperparah penyakit dan dapat

    menurunkan sistem imun tubuh. Dalam penelitian ini stres yang dihasilkan dari

    restraint test merupakan stresor golongan akut, sehingga pada hal ini kemungkinan

    mencit masih dalam tahap adaptasi menyesuaikan respon tubuh terhadap stresor yang

  • 46

    ada, sehingga dapat menginhibisi terjadinya inflamasi, dan dengan demikian stres

    tidak mempengaruhi daya anti-inflamasi kalium diklofenak.

    Dalam tahap akut ini dimungkinkan ada pelepasan glukokortikoid yang cukup

    mampu menghambat proses inflamasi. Adanya pelepasan glukokortikoid

    menghambat kerja enzim fosfolipase A2 sehingga pembentukan arakhidonat

    terhambat dan proses selanjutnya hingga produksi mediator inflamasi tidak terjadi.

    Dan cara kerja glukokortikoid dalam penghambatan inflamasi bekerja dengan lambat

    karena harus menginduksi annexin terlebih dahulu untuk menghentikan proses

    penghentian produksi mediator inflamasi, tidak seperti kalium diklofenak yang

    termasuk dalam obat anti-inflamasi golongan non-steroid (AINS), menghambat

    enzim siklooksigenase untuk mengubah arakhidonat masuk ke dalam siklus

    enderperoksid, yang jalur produksi mediator inflamasinya lebih pendek sehingga

    golongan AINS lebih efektif dalam menghambat inflamasi.

    Standar error (SE) yang terlalu besar, dapat dimungkinkan karena beberapa

    faktor, antara lain, kualitas bahan karagenin yang digunakan, faktor pengerjaan (cara

    pemotongan kaki, suhu dan kelembaban ruangan), faktor hewan uji (kesehatan, iklim)

    yang tidak dapat dikendalikan. untuk memperkecil SE yang dapat dilakukan adalah

    memperbanyak jumlah sampel, mengendalikan kondisi pengerjaan seperti

    pengendalian suhu, kelembaban ruangan, mengkondisikan pemeliharaan hewan uji,

    baik dari segi makanan, dan minuman.

  • BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan

    Stres tidak menurunkan secara signifikan daya anti-inflamasi kalium diklofenak dosis

    13 mg/kg BB. Persen (%) daya anti-inflamasi kelompok dengan perlakuan stres

    sebesar 21,14%

    B. Saran

    1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh stres secara akut

    maupun kronis terhadap daya anti-inflamasi kalium diklofenak dengan menggunakan

    metode penelitian yang lebih valid.

    2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh stres secara akut

    maupun kronis obat anti-inflamasi golongan steroid.

    3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh stres baik akut maupun

    kronis terhadap daya kerja obat anti-inflamasi golongan non-steroid lainnya dan

    golongan obat lainnya.

    47

  • 48

    DAFTAR PUSTAKA Ader, D.N., Suzanne B.J., Shih-Wen, H., and William, R., 1991, Group Size, Cage

    Shelf Level, and Emotionality in Non-Obese Diabetic Mice: Impact on Onset and Incidence of IDDM, Psychosomatic Medicine, 53:313-32, USA.

    Anderson, P.O., Knoben, J.E., and Troutman, W.G., 2001, Handbook of Clinical

    Drug Data, 10th ed., 24, McGraw-Hill, USA. Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 357, Departemen Kesehatan

    Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

    Anonim, 2007, Informasi Spesialite Obat Indonesia, 237-238, PT. Ikrar

    Mandiriabadi, Jakarta Bishop, G.D., 1994, Health Psychology : Integrating Mind and Body, 395-396, Allyn

    and Bacon, Boston London Toronto Sydney Tokyo Singapore. Brooks, P.M., and Day, R.O., 1991, Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs

    Difference and Similarities. J N Engl Med,; 324:1716-25., dalam Vetrichelvan, T., Jegadeesan, M., 2002, Effect Of Alcoholic Extract Of Achyranthes Bidentata Blume On Acute And Sub Acute Inflammation, Indian Journal of Pharmacology, 34 : 115-118.

    Carlson, N,R., 1994, Physiology of Behaviour, 5th ed., Paramount Publishing, USA. Evans, F.J., and Williamson, E.M., 1996, Selection, Preparation and

    Pharmacologically Evaluation of Plant Material, 131-137, John Wiley, New York.

    DiRosa, M., Giroud, J.P., and Willoughby, D.A., 1971, Studies of The Acute

    Inflammatory Response Induced in Rats in Different Sites by Carrageenan and Turpentine. J. Pathol. 104: 15 – 29, dalam Kumar, A., Ilavarasan, R., Jayachandran, T., Deecaraman, M., Kumar, M. R., Aravindan, P., et al., 2008, Anti-Inflammatory Activity of Syzygium cumini Seed, African Journal of Biotechnology, vol. 7: 941-943.

    Dorland, W.A., and Newman, 2000, Dorland’s Illustrated Medical Dictionary,

    diterjemahkan oleh Huriawati Hartanto, dkk., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

  • 49

    Forsythe, P., Cory E., John, R.G., Dean, B., and Harissios, V., 2003, Opposing

    Effects of Short- and Long-term Stress on Airway Inflammation: Stress and Allergic Airway Inflammation, AJRCCM Articles in Press, Diterbitkan pada 6 November 2003, Canada.

    Harvey, A.R., Mycek, J.M., and Champe, C.D., 1997, Lippicott’s Ilustrated Review:

    Pharmacology, diterjemahkan oleh Azwar Agoes, Farmakologi : Ulasan Bergambar, edisi II, 404-406, Penerbit Widya Medika, Jakarta.

    Ghoshal, K., Wang, Y., Sheridan, J.F., and Jacob, S.T., 1998, Metallothionein

    Induction In Response to Restraint Stress : Transcriptional Control, Adaptation to Stress, and Role of Glucocorticoid, The Journal Of Biological Chemistry Vol. 273, No. 43, Issue of October 23, pp. 27904–27910.

    Irawan, E. "Stres dan Reaksi Tubuh." www.waspada.co.id. September 14, 2007.

    (diakses September 17, 2008). Keßler, M., 2006, in LAB Mice: Physiological and Behavioral Effects, Dissertation,

    Faculty of Biology Ludwig Maximilians University Munich. Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug

    Information Handbook : A Comprehensive Resources for all Clinicians and Healthcare Professionals, forth edition, 454-456, Lexi-Comp, USA

    Langford, F. D., Holmes, P. A., and Emele, J. F., 1972, Objective Method for

    Evaluation of Analgetics/Anti-inflammatory Activity, J. Pharm, Sci., 61, 75-77.

    Lelo, E.A., 2002, Pertimbangan Baru Dalam Pemilihan Selektivitas Penghambatan

    COX-2 Sebagai Antinyeri Dan Antiinflamasi, dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.

    Levenstein, S., Prantera, C., Varvo, V., Scribano, M.L., Andreoli, A., Luzi, C., et al.,

    2000, Stress and Exacerbationin Ulcerative Colitis: a Prospective Study of Patients Enrolled in Remission., Am J Gastroenterol;95:1213–1220.

    Marks, D.F., Murray, M., Evans, B. and Willig, C., 2000, Healthy Psychology:

    Theory, Research and Practice, 100-115, Sage Publications, British. Michael, P.W., and Ronald, S.E., 2007, Psychology, The Science of Mind and

    Behaviour, third edition, 488, McGraw-Hill, USA.

  • 50

    Morris, C.G., and Maisto, A.A., 2002, Psychology: an Introduction, 11th edition, 479, Prentice Hall, USA.

    Mutshcler, E., 1986, Arzneimittelwirkungen, diterjemahkan oleh Widianto, M. B. dan

    Ranti, A. S., Dinamika Obat, edisi V,177-197, Penerbit ITB, Bandung. Nwafor, P.A., Jacks, T.W., and Ekanem, A.U., 2007, Analgesik and Anti-

    Inflammatory Effects of Methanolic Extract of Pausinystalia macroceras Stem-Bark in Rodents, International Journal of Pharamcology 3 (1): 86-90, Asian Network for Scientific Information.

    Nugroho, B.S., 2007, Daya Antiinflamasi Jus Tomat (Solanum lycopersicum L.) pada

    Mencit Putih Jantan, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. O'Neil, M.J., and Smith, A., 2001, The Merck Index : An Encyclopedia of Chemicals,

    Drugs, and Biologicals, 13th ed., 542, Merck Reserach Laboratories Division of Merc & Co,. Inc,. USA.

    Peters, E.M.J., Bori, H., Arne, K., Evelin, H., Hannes, B., Armin, B., et al., 2004,

    Neurogenic Inflammation in Stress-Induced Termination of Murine Hair Growth Is Promoted by Nerve Growth Factor, American Journal of Pathology, Vol. 165, No. 1.

    Pinel, J.P.J., 2000, Biopsychology, 4th ed., 478, A Pearson Education Company, USA. Price, S.A., dan Wilson, L.M., 1995, Pathophsyiology, diterjemahkan oleh Peter

    Anugrah, Patofisiologi, edisi IV, buku I, 36-57, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

    Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2003, Pharmacology, 5th ed.,

    231-237, Bath Press, USA. Robbin, L.S., dan Kumar, V.N., 1995, Basic Pathology I, diterjemahkan oleh Staf

    Pengajar Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku Ajar Patologi I, edisi 4, 27-33, EGC, Jakarta.

    Smet, B., 1994, Psikologi Kesehatan, 107-118, PT Grasindo, Jakarta. Sander, M.A., 2003, Patologi Anatomi, jilid 1, 12-13, UMM Press, Malang. Stephen, D.F., and Joseph H.P., 1997, Psychology, 2nd ed., 347-349, Simon and

    Cshuster/A Viacom Company, USA.

  • 51

    Suwito, J., Putra, S.T., Sudiana, I.K., dan Mu’afiro, A., 2004, Pengaruh Stresor Psikososial Terhadap Peningkatan Kadar Kortisol dan IL-1 Beta Serum Pada Tikus Jantan Galur Wistar, Artocarpus, vol 4: 1, 14-20.

    Santoso, W.K., 2008, Pengaruh Stres terhadap Efek Analgesik Petidin pada Mencit

    Putih Jantan Galur Swiss Webster, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

    Turner, R.A., 1965, Screening Methods in Pharmacology, 163, Academic Pres