pengaruh pemikiran ahlu al-sunnah wa al-jamaah terhadap perubahan sosial umat islam

26
PENGARUH PEMIKIRAN AHLU AL-SUNNAH WA AL- JAMAAH TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL UMAT ISLAM Oleh: Imam Turmudi, S.Ag, M.Fil.I A. PENDAHULUAN Ajaran agama merupakan sebuah nilai. Ketika teks ajaran agama dalam kitab suci menyatakan sesuatu secara eksplisit dan denotatif (bukan majazi) serta tidak mengandung makna ganda dan makna bias, kandungan tekstual ayat dalam kitab suci tersebut tidak banyak menimbulkan masalah dalam menangkap substansi kandungannya, tetapi akan memunculkan problem serius ketika pernyataan ayat itu bersifat sebaliknya. Begitu juga al-Qur‟an, di dalamnya banyak mengandung ayat majazi yang pada akhirnya melahirkan diferensiasi interpretasi (penafsiran secara majemuk) yang pada giliranya melahirkan beragam aliran pemikiran dalam Islam, baik di bidang ilmu ketuhanan (akidah), hukum-hukum Islam (fiqh), dan juga di bidang tasawuf. Hal ini memang menjadi keniscayaan, karena agama adalah sebuah nilai bagi pemeluknya, keselamatan dunia dan akherat diyakini dapat diperoleh hanya dengan kemampuan menangkap nilai substansial dari ajaran agamanya sebagai kerangka dasar sikap hidup (perbuatan) selama berada di dunia. Nilai-nilai (values), dalam pengertian prinsip moral dan lainnya, nilai- nilai menjadi fokus dari diskusi pada tiga level utama teori sosial. Pertama, nilai-nilai muncul sebagai obyek penelitian, seperti dalam diskusi nilai tukar dari nilai materialis hingga postmodernis. Kedua, nilai-nilai adalah kategori sentral beberapa perspektif teoritis dalam sosiologi, Khususnya fungsionalisme-struktural. Ketiga, teori sosial membahas problem filosofis

Upload: minu-ngingas

Post on 30-Dec-2014

86 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Ajaran agama merupakan sebuah nilai. Ketika teks ajaran agama dalam kitab suci menyatakan sesuatu secara eksplisit dan denotatif (bukan majazi) serta tidak mengandung makna ganda dan makna bias, kandungan tekstual ayat dalam kitab suci tersebut tidak banyak menimbulkan masalah dalam menangkap substansi kandungannya, tetapi akan memunculkan problem serius ketika pernyataan ayat itu bersifat sebaliknya. Begitu juga al-Qur‟an, di dalamnya banyak mengandung ayat majazi yang pada akhirnya melahirkan diferensiasi interpretasi (penafsiran secara majemuk) yang pada giliranya melahirkan beragam aliran pemikiran dalam Islam, baik di bidang ilmu ketuhanan (akidah), hukum-hukum Islam (fiqh), dan juga di bidang tasawuf. Hal ini memang menjadi keniscayaan, karena agama adalah sebuah nilai bagi pemeluknya, keselamatan dunia dan akherat diyakini dapat diperoleh hanya dengan kemampuan menangkap nilai substansial dari ajaran agamanya sebagai kerangka dasar sikap hidup (perbuatan) selama berada di dunia. Nilai-nilai (values), dalam pengertian prinsip moral dan lainnya, nilai-nilai menjadi fokus dari diskusi pada tiga level utama teori sosial. Pertama, nilai-nilai muncul sebagai obyek penelitian, seperti dalam diskusi nilai tukar dari nilai materialis hingga postmodernis. Kedua, nilai-nilai adalah kategori sentral beberapa perspektif teoritis dalam sosiologi, Khususnya fungsionalisme-struktural. Ketiga, teori sosial membahas problem filosofis dari relasi antara pernyataan faktual dan evaluatif dalam refleksi metodologis yang mengangkat isu fundamental hubungan antara teori sosial sistematis dengan orientasi normatif dalam komitmennya. Analisi Max Weber tentang nilai dari ajaran Protestan yang memberi motivasi dan stimulan lebih baik terhadap kemajuan (kemodernan) daripada nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Katholik, semakin menunjukkan adanya korelasi antara nilai yang diyakini sebagai pedoman hidup oleh manusia dengan sikap hidup yang dijalaninya. Weber membedakan antara konsep klasifikasi atau penggunaan konsep dengan konsep tipe ideal (ideal type). Tipe ideal adalah tidak ideal dalam pengertian evaluatif, tetapi merepresentasikan aksentuasi fenomena dalam realitas dalam hubungannya dengan sudut pandang spesifik (dan ditentukan oleh nilai) dari mereka yang tertarik pada fenomena tersebut. Meskipun demikian (atau karenanya), Weber berpendapat bahwa adalah masih mungkin untuk membedakan antara pernyataan ilmiah dengan ekspresi nilai yang tidak punya tempat dalam sains. Sains tidak bisa memberi tahu kita apa yang seharusnya kita inginkan, tetapi hanya (mungkin) memberi tahu apa yang kita inginkan dan bagaimana cara mendapatkannya serta dengan apa kita mendapatkannya. Apapun harga yang pantas kita bayarkan adalah persoalan keputusan kita. Memercayai hal sebaliknya bukan hanya berarti akan mengacaukan sains dengan nilai, tetapi juga melepaskan tanggung jawab moral untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan, sistem nilai alternatif, yang dengannya manusia berhadapan dengan dunia modern. Dan seharusnya kita menentukan pilihan ini: bebas nilai bukan berarti ketidakpedulian moral.Dalam kaitannya dengan ahlu al-sunnah wa al-jamaah dalam pengertian aliran pemikiran teologi Islam (manhaj al-fikr) adalah sejauh mana nilai-nilai yang dibawa aliran ini mempengaruhi para pengikutnya, mempengaruhi pola berpikir dan dampaknya pada realitas sosial. Dengan kata lain, sejauh mana nilai-nilai dari aliran ini membawa perubahan sosial umat Islam. Menurut penulis, kajian ini sebenarnya begitu sangat penting, mengingat jumlah penganut aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah menempati posisi terbesar di dunia. Sementara kondisi umat Islam dari penganut aliran ini secara generalisasi dapat diukur kualitas kehidupannya dengan ukuran-ukuran penganut aliran lain dalam Islam seperti Syi‟ah, dan juga dapat diukur dari kondisi penganut agama dan faham di luar Islam. Tulisan ini merupakan analisa sederhana, namun standar pengkajiannya penulis berusaha menggunakan p

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

PENGARUH PEMIKIRAN AHLU AL-SUNNAH WA AL-

JAMAAH TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL UMAT ISLAM

Oleh:

Imam Turmudi, S.Ag, M.Fil.I

A. PENDAHULUAN

Ajaran agama merupakan sebuah nilai. Ketika teks ajaran agama dalam

kitab suci menyatakan sesuatu secara eksplisit dan denotatif (bukan majazi)

serta tidak mengandung makna ganda dan makna bias, kandungan tekstual

ayat dalam kitab suci tersebut tidak banyak menimbulkan masalah dalam

menangkap substansi kandungannya, tetapi akan memunculkan problem

serius ketika pernyataan ayat itu bersifat sebaliknya.

Begitu juga al-Qur‟an, di dalamnya banyak mengandung ayat majazi

yang pada akhirnya melahirkan diferensiasi interpretasi (penafsiran secara

majemuk) yang pada giliranya melahirkan beragam aliran pemikiran dalam

Islam, baik di bidang ilmu ketuhanan (akidah), hukum-hukum Islam (fiqh),

dan juga di bidang tasawuf.

Hal ini memang menjadi keniscayaan, karena agama adalah sebuah nilai

bagi pemeluknya, keselamatan dunia dan akherat diyakini dapat diperoleh

hanya dengan kemampuan menangkap nilai substansial dari ajaran agamanya

sebagai kerangka dasar sikap hidup (perbuatan) selama berada di dunia.

Nilai-nilai (values), dalam pengertian prinsip moral dan lainnya, nilai-

nilai menjadi fokus dari diskusi pada tiga level utama teori sosial. Pertama,

nilai-nilai muncul sebagai obyek penelitian, seperti dalam diskusi nilai tukar

dari nilai materialis hingga postmodernis. Kedua, nilai-nilai adalah kategori

sentral beberapa perspektif teoritis dalam sosiologi, Khususnya

fungsionalisme-struktural. Ketiga, teori sosial membahas problem filosofis

Page 2: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

dari relasi antara pernyataan faktual dan evaluatif dalam refleksi metodologis

yang mengangkat isu fundamental hubungan antara teori sosial sistematis

dengan orientasi normatif dalam komitmennya.1

Analisi Max Weber tentang nilai dari ajaran Protestan yang memberi

motivasi dan stimulan lebih baik terhadap kemajuan (kemodernan) daripada

nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Katholik, semakin menunjukkan adanya

korelasi antara nilai yang diyakini sebagai pedoman hidup oleh manusia

dengan sikap hidup yang dijalaninya.

Weber membedakan antara konsep klasifikasi atau penggunaan konsep

dengan konsep tipe ideal (ideal type). Tipe ideal adalah tidak ideal dalam

pengertian evaluatif, tetapi merepresentasikan aksentuasi fenomena dalam

realitas dalam hubungannya dengan sudut pandang spesifik (dan ditentukan

oleh nilai) dari mereka yang tertarik pada fenomena tersebut. Meskipun

demikian (atau karenanya), Weber berpendapat bahwa adalah masih mungkin

untuk membedakan antara pernyataan ilmiah dengan ekspresi nilai yang tidak

punya tempat dalam sains. Sains tidak bisa memberi tahu kita apa yang

seharusnya kita inginkan, tetapi hanya (mungkin) memberi tahu apa yang kita

inginkan dan bagaimana cara mendapatkannya serta dengan apa kita

mendapatkannya. Apapun harga yang pantas kita bayarkan adalah persoalan

keputusan kita. Memercayai hal sebaliknya bukan hanya berarti akan

mengacaukan sains dengan nilai, tetapi juga melepaskan tanggung jawab

moral untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan, sistem nilai alternatif,

yang dengannya manusia berhadapan dengan dunia modern. Dan seharusnya

kita menentukan pilihan ini: bebas nilai bukan berarti ketidakpedulian moral.2

Dalam kaitannya dengan ahlu al-sunnah wa al-jamaah dalam pengertian

aliran pemikiran teologi Islam (manhaj al-fikr) adalah sejauh mana nilai-nilai

yang dibawa aliran ini mempengaruhi para pengikutnya, mempengaruhi pola

1 Williem Outhwaite (ed), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta: Kencana Prenada

2 Ibid.

Page 3: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

berpikir dan dampaknya pada realitas sosial. Dengan kata lain, sejauh mana

nilai-nilai dari aliran ini membawa perubahan sosial umat Islam. Menurut

penulis, kajian ini sebenarnya begitu sangat penting, mengingat jumlah

penganut aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah menempati posisi terbesar di

dunia. Sementara kondisi umat Islam dari penganut aliran ini secara

generalisasi dapat diukur kualitas kehidupannya dengan ukuran-ukuran

penganut aliran lain dalam Islam seperti Syi‟ah, dan juga dapat diukur dari

kondisi penganut agama dan faham di luar Islam.

Tulisan ini merupakan analisa sederhana, namun standar pengkajiannya

penulis berusaha menggunakan parameter yang se-faktual mungkin, di

samping mendasarkan pada referensi yang cukup diakui.

B. TINJAUAN UMUM

1. Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah

a. Pengertian

Ahlu al- Sunnah Wa al-Jama’ah berasal dari kata ahl (ahlun) yang

berarti golongan atau pengikut.3 Sedang Al-Sunnah memiliki arti,

pertama, sunnah berarti metode atau tariqah yaitu mengikuti metode

para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat

mutasyabihat dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat

tersebut kepada Allah sendiri, tidak mereka-reka daya nalar manusia

semata-mata. Kedua, sunnah berarti hadis Nabi Muhammad, yaitu

meyakini kebenaran hadis sahih sebagai dasar keagamaan. Rangkaian

kata sunnah dengan jamaah menjadi ahl al-sunnah wa al-jama’ah

memberi arti bahwa dasar keagamaan yang dianut bersumber kepada

al-Qur‟an dan sunnah Nabi dan sunnah para sahabat atau lazim

3 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Pemikiran, dan Perkembangannya,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 187.

Page 4: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

dengan ungkapan ijma’ sahabat, yaitu tradisi yang telah melembaga

dalam kehidupan social keagamaan para sahabat Nabi setelah Nabi

Muhammad wafat, khususnya zaman khulafa rasyidun.4

Sejalan dengan pengertian di atas, Abu al-Fadl bin al-Syekh „Abd.

al-syakur al-Sanuri mendefinisikan kata ahlu al-Sunnah wa al-jamaah

dengan golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed)

mengikuti Sunnah Rasul Saw dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya,

baik dalam lingkup akidah, ibadah, maupun dalam lingkup akhlak.5

س ي ص ل ز ه ن ت بػ ج ان ت انس م ا ى ث ا ث ذ ح ز ئ ح ى ه س ه ػ للا ه ص ب ان ت ا

ال ق ان ق ه ب ال خ ت انب ذ بل ال ػ ت انذ ق بئ ذ ان ؼ بب ت ف ح انص ق ت ت .ط ش

Tatkala itu telah terjadi penamaan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bagi

orang-orang memegangi sunnah Nabi saw dan thariqah (cara hidup)

para sahabat dalam akidah agama, amal perbuatan badaniyah, dan

akhlak hati.6

Sunnah Nabi yang dimaksud adalah semua ucapan, perbuatan, dan

ketetapan Nabi Muhammad Saw di bidang keagamaan. Sedang yang

dimaksud dengan cara hidup para sahabat adalah tradisi keagamaan

para sahabat sekaligus pemikiran keagamaan yang dikembangkannya.

Dan karena, corak dan ciri pemikiran keagamaan Abu al-Hasan

al-„Asy‟ari dan Abu Manshur al-Maturidi dianggap berpegang dan

berdasar kuat pada sunnah Nabi Muhammad Saw, sunnah para

sahabat Nabi, juga pada pemikiran dan perilaku para tabi‟in maka

pengikut kedua tokoh pemikir Islam ini disebut dengan golongan

Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam Sahilun A Nasir dijelaskan:7

انس ا م اا ط ه ق ذ :ا ر ب انض ل ا ة ش بػ ش ل ا ى ب اد ش بن ف ت بػ نج ا ت ق ت د س ت ن

4 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik,

(Jakarta: Gramedia, 1994), 67-68. 5 Sahilun A. Nasir, Pemikiran ..., 187.

6 Sahilun A. Nasir, Pemikiran …, 189.

7 Ibid., 187.

Page 5: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Berkata Imam al-Zubaidi, jika dikatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah,

maka maksudnya adalah semua orang yang mengikuti Imam al-

Asy‟ari dan al-Maturidi.

Untuk tujuan penulisan makalah ini, yang dimaksud dengan ahlu

al-Sunnah wa al-Jamaah adalah pemikiran Abu al-Hasan al-Asy‟ari

dan Abu Manshur al-Maturidi tentang ilmu kalam atau teologi Islam.

Yaitu ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-

kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi

bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari

kepercayaan salaf dan ahli sunnah.8

b. Sejarah Singkat

Sejak meninggalnya Utsman bin Affan, ruang lingkup pemikiran

kalam terus bergulir menjadi perdebatan yang panjang di dalam

perjalanan sejarah perkembangan pemikiran Islam. Berangkat dari ciri

status dosa besar dan dosa kecil, berkembang menjadi perdebatan

tentang status kafir dan mukmin, lalu berujung pada perdebatan

tentang ketakberdayaan dan kebebasan manusia. Dalam hal ini seperti

dikutip oleh Sahilun A Nasir, Syaikh Muhammad Abduh

menjelaskan:9

ي ف ف ال نخ ا ش ظ ت ن أ س ي ل ا ت ب ك س ل ا ل ال ق ت اس بس ت خ ل ا ت ن أ س ب بن ؼ ف ا ت اد س إ ب ب

ت بس ت خ ل ا ا ب ت ى ن ة ش ب نك ا ب ك ت اس ي ت ن أ س ي , ف ف ه ت خ , بر ت س ا بء ط ػ اب م اص ب

ش ص انب س انح ػ ز خ ا ك ى ن لاص ا ى ه ؼ ن ض ت اػ , غ ب ي شا ث ك ا ش , ى ي ف ه انس ا

ك –ل نق ا ه ػ – س انح ت اد س ا ه ػ ػ ة س بد انص بن ػ ا ف بس ت خ ي ذ ب نؼ ا ا أ س ه ػ ب بو ق ,

س ل ا ا ن اا ب ر ز انه ش ب انج م ا ء ل ؤ ع ص ب بت باد س ل ا ه ػ ف ب ك ش ح ف ش انش ج ب ص أ غ ك

اس ت . ش ط ض ا ل

Dan adalah masalah yang mula-mula menimbulkan pertikaian di

antara mereka itu adalah masalah ikhtiar, kebebasan kemajuan

manusia dengan kehendaknya dan perbuatan-perbuatan yang bisa

diikhtiarkan itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa

8 Ibid., 2

9 Ibid., 203

Page 6: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

besar, sedang dia tidak tobat (sampai meninggalnya). Dalam masalah

tersebut, pendapat Washil bin „Atho‟, berbeda dengan pendapat

gurunya, Hasan al-Bashri, Dia kemudian memisahkan diri dari

gurunya, lalu mengajarkan pula pokok-pokok pendiriannya, baik yang

diterimanya dari gurunya ataupun pendapatnya sendiri. Akan tetapi

dalam masalah itu, kebanyakan kaum salaf, di antaranya termasuk

Hasan al-Bashri sendiri, setuju dengan pendapat, bahwa manusia itu

bebas melakukan perbuatan-perbuatan pilihannya yang ditimbulkan

oleh ilmu dan kemauannya. Sedangkan golongan Jabariah membantah

pendapat itu dan berpendirian bahwa manusia itu dalam segala

kehendak perbuatannya tak ubahnya seperti ranting-ranting pohon

kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.10

Pertarungan politik juga ikut berperan aktif mempengaruhi

intensifnya pergulatan pemikiran ilmu kalam.

Adalah aliran Mu‟tazilah, sebuah mazhab teologi Islam pertama

yang tersistematisasi yang lahir di paroh pertama abad kedelapan.

Fazlur Rahman menjelaskan tentang aliran Mu‟tazilah sebagai

berikut:

Kaum Mu‟tazilah berpendapat bahwa seorang muslim yang

melakukan dosa besar (semisal mencari, membunuh, atau berzina),

bukan lagi seorang muslim, tetapi bukan pula kafir: ia menempati

“posisi di antara dua posisi tersebut”. Kaum Mu‟tazilah menyebut diri

mereka sebagai “Kaum Pengikut Keesaan dan Keadilan Tuhan”.

Keesaan Tuhan yang mereka maksud adalah bahwa Tuhan adalah zat

tanpa sifat; orang yang mengangap Tuhan memiliki sifat abadi di

samping zat-Nya berarti menyekutukan Tuhan. Posisi Mu‟tazilah

berada di garis batas Islam, dan menerbitkan kontroversi di kalangan

penganut agama lain seperti Kristen, Buddha, dan Yahudi.

Tampaknya di samping berhadap-hadapan dengan agama-agama lain,

kaum Mu‟tazilah juga terkena pengaruh tertentu dari mereka. Ajaran

Mu‟tazilah mengenai Zat dan Sifat Tuhan tampaknya dipengaruhi

oleh ajaran Kristen tentang konsep trinitas, yaitu bagaimana tiga

10

Ibid., 204

Page 7: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

persona membentuk satu Tuhan. Ihwal keadilan Tuhan, mereka

berpendapat bahwa Tuhan, dengan sifat adil-Nya, memberikan

kebebasan dan kehendak penuh kepada manusia. Oleh karena itu,

manusia bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, sementara

Tuhan tidak berperan sama sekali. Mereka lebih jauh meyakini bahwa

sebagaimana pada hari kiamat kelak Tuhan tidak akan menyiksa orang

yang berbuat baik, Dia juga tidak akan memaafkan orang yang

berbuat jahat karena jika tidak demikian, akan kaburlah perbedaan

antara kebaikan dan kejahatan. Karena sifat Maha Pengampun dan

Maha Pemaaf Tuhan sebagaimana banyak dinyatakan al-Qur‟an telah

disangkal oleh kaum Mu‟tazilah, masyarakat umum mulai menjauhi

ajaran mereka. Setelah sempat mengalami kemapanan selama

beberapa dekade dalam abad kesembilan, kaum Mu‟tazilah jatuh dari

kekuasaannya semasa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil (wafat

861M).

Rasionalisme-ekstrem Mu‟tazilah menimbulkan reaksi dari ajaran

al-Asy‟ari, seorang teolog yang semula menganut ajaran Mu‟tazilah

tetapi kemudian beralih ke mazhab sunni yang lebih mengutamakan

hadis”.11

Jadi salah satu latar belakang munculnya pemikiran Ahlu al-

Sunnah wa al-Jamaah oleh al-Asy‟ari adalah reaksi atas pemikiran

Mu‟tazilah yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai dan tradisi

Islam awal.

Al-Asy‟ari yang nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Isma‟il

al-Asy‟ari lahir di Basrah (Irak) pada tahun 873 M dan meninggal

dunia tahun 935 M. Perpindahan pendirian dari Mu‟tazilah ke Ahlu al-

Sunnah wa al-Jamaah karena menganggap ajaran Mu‟tazilah begitu

11

Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis, (Bandung:

Mizan, 1999), 21

Page 8: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

ekstrem dalam meletakkan posisi akal dalam memahami agama.

Namun pada akhirnya al-Asy‟ari sendiri tampaknya hanyalah

mengintegrasikan atau tepatnya mensintesiskan dua kutub pemikiran

ekstrem yang ada, yaitu pemikiran ahlu ra’yu (yang diwakili oleh

Mu‟tazilah) dan ahlu al-hadis (yang hakekatnya adalah jabariyah,

sebuah paham bahwa manusia tidak mempunyai daya ikhtiar, semua

yang ada pada makhluk pada hakekatnya kehendak Allah Swt).

Namun demikian sebagai jalan tengah, pemikiran al-Asy‟ari

mendapat pengikut terbesar sepanjang sejarahnya.

Dalam perjalanan waktu, pemikiran al-Asy‟ari terus mendapat

dukungan dan penyempurnaan oleh para pemikir sesudahnya, dan

yang paling menonjol dan diakui oleh golongan Ahlu al-Sunnah wa

al-Jama‟ah sendiri adalah Abu Mansur al-Maturidi.

Abu Mansur al-Maturidi yang nama lengkapnya Imam Abu

Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-

Anshari yang wafat pada tahun 944 M adalah salah satu pembela dan

penjaga faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, di samping juga

pemikirannya banyak mempengaruhi pemikiran umat Islam di bidang

ilmu kalam.

c. Pemikiran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah

Yang dimaksud pemikiran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dalam

makalah ini adalah pemikiran Abu Hasan al-Asy‟ari dan Abu

Manshur al-Maturidi yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan

sosial masyarakat Islam. Pemikiran itu antara lain:12

1) Tuhan dan Sifat-sifat-Nya

12

Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru,

2008), 405-411

Page 9: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Yaitu bahwa Allah memang memiliki sifat, seperti berfirman,

melihat, mendengar, dan sebagainya, tetapi sifat-sifat itu harus

dipahami secara simbolis. Ini karena memang Allah itu

bukanlah makhluk maka sifat-Nya pun berbeda dengan sifat

makhluk.

2) Kebebasan dalam berkehendak

Menurut al-Asy‟ari manusia dipandang lemah, manusia dalam

kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan

kekuasaan Tuhan.13

Dalam faham al-Asy‟ari , untuk terwujudnya perbuatan

perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang

berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan

perbuatan ialah daya Tuhan.14

Sebagaimana uraian al-Asy‟ari dalam kutipan Sahilun A

Nasir berikut ini: 15

ش ش انب ل ق ك أ ش نق ا اا ػ ض ف ت ب ث أ ل ق ان شا ظ ش انش ق ه خ بد ب نؼ ا اا ق ا ا

خ ت ب ث ا ز انه ص ج ان ش انش ق ه خ ش خ ل ا ش انخ ق ه خ ى ذ ح ا ق بن ا ت ػ ص ,

ك بل ي بء ش م ج ض ػ للا ا ت س ذ نق ا ك ه ػ غ ج با بن فاال خ بء ش بل ي

ئابء بش ي ا ه س ان ش بء ا بل ت ش ب ش للا ,ف أ خ بء ش ا ا ل بئ بت ش ي م ج ض بػ

. بئ ش ا للا بء ش ذ ق ل ا

Mereka menganggap al-Qur‟an sama seperti perbuatan

manusia, mereka menetapkan dan meyakini bahwa manusia itu

yang membuat perbuatan jahat. Itu sama halnya dengan

pendapat orang-orang Majusi, yang menetapkan adanya dua

pencipta. Yang satu pencipta kebaikan dan pencipta lainnya,

membuat kejahatan. Dan orang-orang Qadariyah menganggap

bahwa Allah Azza wa Jalla itu menciptakan kebaikan saja,

sedangkan setan yang membuat kejahatan. Mereka

beranggapan bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla

berkehendak sesuatu yang tidak ada dan sesuatu yang ada itu

bukanlah sesuatu yang dikehendaki. Hal itu tentunya

13

Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Pers, 1986), 106 14

Ibid., 111 15

Sahilun A. Nasir, Pemikiran …, 220 - 221.

Page 10: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh kaum

muslimin, bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah tentu

terwujud dan sebaliknya. Seandainya Allah menghendaki akan

wujudnya Dia adalah Maha Kuasa mewujudkannya. Dan Allah

Swt. Berfirman: “Tidaklah kamu dapat menghendaki sesuatu,

kecuali Allah menghendaki juga.”16

Maka beritahukanlah

bahwa kita tidak dapat berkehendak terhadap adanya sesuatu,

kecuali adanya sesuatu tersebut telah dikehendaki oleh Allah

juga.”17

Sedang menurut al-Maturidi, perbuatan manusia

timbul berkat qudrah Allah tapi hamba punya qudrah yang

diciptakan Allah bersamaan dengan perbuatan itu. Dan manusia

mempunyai pilihan untuk menggunakan dan mengarahkan

qudrah tersebut kepada ketaatan atau kemaksiatan.18

3) Akal dan wahyu

Menurut penjelasan al-Asy‟ari semua kewajiban dapat

diketahui hanya melalui wahyu. Akal tak dapat menentukan

sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat

mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi

perbuatan jahat adalah wajib.19

Penentuan baik dan buruk haruslah di dasarkan pada

wahyu, karena akal tidak cukup mampu untuk menentukan hal

yang baik dan hal yang buruk. Jadi dalam menentukan baik dan

haruslah buruk haruslah berdasarkan wahyu.20

4) Keadilan Tuhan

Aliran al-Asy‟ariyah memberi makna keadilan Tuhan

dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan

mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak

hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti

16

Al-Qurān, 81(At-Takwir): 29. 17

Sahilun A. Nasir, Pemikiran…, 221. 18

Abu al-Khair Muhammad Ayyub Ali, Aqidah al-Islam wa al- Imam al-Maturidy (Surabaya: Bina Ilmu, tt), 115

19 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIP-

Pres), 1986), 76 20

Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, tt), Buku 1, 85

Page 11: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-

Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila yang

difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-

Nya.21

5) Kedudukan orang berdosa

Dalam hal dosa besar al-Asy‟ari menempuh jalan tengah,

dan berpendapat bahwa orang mukmin yang mengesakan

Allah Swt tetapi dia fasik, hal itu terserah kepada Allah Ta‟ala.

Bila Dia menghendaki, maka ia memaafkannya dan

memasukkannya ke dalam surga. Dan bila menghendaki, maka

Dia menyiksanya (dimasukkan ke dalam neraka) karena

perbuatan fasiknya, kemudian sesudah itu memasukkannya ke

dalam surga.22

2. Perubahan Sosial

a. Pengertian dan Ruang Lingkup

Perubahan sosial (social change) adalah setiap perubahan

yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan.23

Selo Sumardjan sebagaimana dikutip oleh Soerjono

Soekamto dalam Sosiologi Suatu Pengantar mendefinisikan

perubahan sosial dengan segala perubahan-perubahan pada

lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,

yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-

nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam

masyarakat.24

Sedang menurut penulis perubahan sosial adalah

21

Abdul Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,2009), 186. 22

Sahilun A. Nasir, Pemikiran…, 253. 23

Piotr Sztompka, Sosiologi …, 3. 24

Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar(Jakarta: Rajawali Pers, 1999), 337

Page 12: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang

menyangkut semua aspek kehidupan.

Perhatian sosiologi secara intensif terhadap perubahan sosial

muncul di awal abad 19, hal ini dikarenakan oleh: (1) kesadaran

tentang pengaruh sosial yang radikal dari industrialisasi terhadap

masyarakat Eropa, dan (2) apresiasi terhadap jurang perbedaan

yang mendasar antara masyarakat industrial Eropa yang disebut

sebagai “masyarakat primitif”. Teori perubahan sosial berpusat

pada ciri-ciri kapitalis atau perkembangan industrial dan ketiadaan

perkembangan sosial yang nyata dalam masyarakat yang telah

menjadi bagian dari wilayah kekuasaan kolonial Eropa. Namun

memasuki abad 21 teori perubahan sosial menjadi lebih populer

dengan berbagai macam pemikiran post-fordism dan post-

modernitas, yang berusaha menangkap apa yang diterima sebagai

perubahan sosial yang mendasar dan sistemik.25

Sedang analisa perubahan social dalam tulisan ini didasari

oleh (1) mengidentifikasi pengaruh paham Ahlu al-Sunnah wal

Jama‟ah, khususnya pemikiran al-Asy‟ari dan al-Maturidi

terhadap perubahan social masyarakat Islam. Dan (2),

mengidentifikasi perbedaan yang mendasar antara masyarakat

Islam yang berhaluan faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama‟ah

dengan masyarakat yang berada di luar faham Ahlus Sunnah Wal

Jamaah dalam melakukan perubahan sosial.

b. Bentuk Proses Sosial

Yang juga penting untuk dipahami dalam mengkaji perubahan

sosial adalah proses sosial. Pitirim Sorokin sebagaimana dikutip

oleh Sztompka mendefinisikan proses sosial dengan setiap

25

Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi, (Yogjakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), 510-511

Page 13: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

perubahan subyek tertentu dalam perjalanan waktu, entah itu

perubahan tempatnya dalam ruang, atau modifikasi aspek

kuantitatif atau kualitatifnya.26

Jadi, konsep proses sosial

menunjukkan: (1) berbagai perubahan; (2) mengacu pada sistem

sosial yang sama; (3) saling berhubungan sebab akibat; (4)

perubahan itu saling mengikuti satu sama lain dalam rentetan

waktu (berurutan menurut rentetan waktu).27

Untuk kepentingan

tulisan ini, proses sosial yang penulis maksud adalah perubahan

yang terjadi pada umat Islam penganut aliran Ahlu al-Sunnah wa

al-Jamaah secara mayoritas dengan mengukur kualitas semua

aspek kehidupan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif,

Ada dua bentuk khusus proses sosial yang menjadi perhatian

sosiolog, yaitu perkembangan sosial dan peredaran sosial.28

(1) Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial melukiskan proses perkembangan

potensi yang terkandung di dalam sistem sosial. Konsep

perkembangan sosial memuat tiga ciri, yaitu: (a) menuju ke

arah tertentu dalam arti keadaan sistem tak terulang sendiri di

setiap tingkatan; (b) keadaan sistem pada waktu berikutnya

mencerminkan tingkat lebih tinggi dari semula (misalnya,

terjadi peningkatan diferensiasi struktur, kenaikan output

ekonomi, kemajuan ekonomi, atau pertambahan penduduk),

atau di setiap saat dan kemudian keadaan sistem semakin

mendekati ciri-ciri umum (misalnya, masyarakat makin

mendekati ciri-ciri keadilan sosial, kesejahteraan umum, atau

demokratis); dan (c) perkembangan ini dipicu oleh

kecenderungan yang berasal dari dalam sistem (misalnya,

26

Piotr Sztompka, Sosiologi …, 6 27

Ibid., 7 28

Ibid.

Page 14: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

pertambahan penduduk yang diikuti peningkatan kepadatan,

penanggulangan kontradiksi internal dengan menciptakan

bentuk-bentuk kehidupan baru yang lebih baik, menyalurkan

kreatifitas bawaan ke arah inovasi yang berarti).29

Dalam

kaitan tulisan ini, perkembangan sosial diukur dari

peningkatan secara terus menerus terhadap penataan kualitas

kehidupan pengikut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah secara

umum.

(2) Peredaran Sosial

Dalam peredaran sosial, proses sosial tidak lagi menuju

arah tertentu tetapi juga tidak serampangan. Proses ini ditandai

dua ciri: (a) mengikuti pola edaran : Keadaan sistem pada

waktu tertentu kemungkinan besar muncul kembali pada

waktu mendatang dan merupakan replika dari apa yang telah

terjadi di masa lalu; dan (b) perulangan ini disebabkan

kecenderungan permanen di dalam sistem karena sifatnya

berkembang dengan cara bergerak ke sana kemari. Dengan

demikian, walaupun dalam jangka pendek terjadi perubahan,

tetapi dalam jangka panjang perubahan tidak terjadi karena

sistem kembali ke keadaan semula.30

Dari sini penulis juga

mengidentifikasi kondisi dalam periode tertentu yang pernah

tercatat dalam sejarah tentang pasang surutnya kualitas sosial-

keagamaan dari masyarakat penganut Ahlu al-Sunnah wa al-

Jamaah.

(3) Kemajuan Sosial (social progress)

Kemajuan sosial juga menjadi kajian paling menarik

sepanjang sejarah pemikiran. Dan pemikiran ini menambahkan

29

Piotr Sztompka, Sosiologi …, 7. 30

Ibid., 8

Page 15: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

dimensi penilaian kategori yang lebih obyektif dan lebih netral

terhadap aspek kehidupan normatif. Pada dasarnya yang

dimaksud dengan kemajuan adalah (a) proses menjurus; dan

(b) terus menerus membawa sistem sosial semakin mendekati

keadaan yang lebih baik atau lebih menguntungkan (atau

dengan kata lain menuju penerapan nilai pilihan tertentu

berdasarkan etika seperti kebahagiaan, kebebasan,

kesejahteraan, keadilan, atau kepada prestasi masyarakat ideal

dalam bentuk masyarakat utopia).31

Dalam kaitan ini penulis

dengan menggunakan standar tertentu membandingkan umat

di luar faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dengan kelompok

masyarakat yang berfaham di luarnya. Tujuan utamanya untuk

mengetahui perbandingan kemajuan yang telah dicapai oleh

faham teologi ini.

c. Dinamika Proses Sosial

Konsep dasar dari dinamika sosial adalah (1) perubahan sosial

akan berbeda artinya antara keadaan suatu masyarakat tertentu

dalam jangka waktu yang berbeda; (2) proses sosial merupakan

rentetan kejadian atau peristiwa sosial (perbedaan keadaan

kehidupan sosial); (3) perkembangan sosial, kristalisasi sosial, dan

artikulasi kehidupan dalam berbagai dimensinya berasal dari

kecenderungan internal; (4) kemajuan sosial atau setiap

perkembangan sosial dipandang sebagai sesuatu yang

menguntungkan.32

Di sini penulis akan menguraikan dinamika proses sosial dari

masyarakat atau umat Islam yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-

Jamaah.

31

Ibid. 32

Piotr Sztompka, Sosiologi…, 12

Page 16: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

C. LANDASAN TEORI

Landasan teori yang digunakan dalam penulisa ini adalah teori Max

Weber. Berangkat dari fenomena empiris, Weber mengamati adanya

hubungan terus menerus yang mencolok: di periode awal kapitalisme, agen

penting (pimpinan perusahaan, tenaga teknis dan komersial terlatih, tenaga

kerja terampil) cenderung di dominasi oleh orang Protestan. Dalam hal ini

Weber menarik kesimpulan bahwa factor yang menentukan peran khusus

orang Protestan dalam menggerakkan kapitalisme adalah:

Karakter intrinsik permanen, keyakinan agama mereka, dan tidak hanya

dalam situasi politik historis sementara saja.33

Keterkaitan dengan agama Katolik, sebagaimana dikutip oleh Piotr

Sztompka, Weber menjelaskan:

Orang Katolik lebih tenang, kurang serakah, dan berpenghasilan lebih.

Mereka enggan menjalani hidup bergairah yang penuh resiko, walaupun

kehidupan semacam ini menimbulkan peluang untuk mendapatkan

kehormatan dan kekayaan.34

Singkatnya, menurut Weber, ada korelasi signifikan antara nilai ajaran

agama yang diyakini dengan sikap perilaku pemeluknya.

D. ANALISIS

a. Pemikiran Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah dan Pengaruhnya

Terhadap Kehidupan Sosial Umat Islam

Sejak faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah diformulasikan sebagai

manhaj dalam teologi Islam oleh al-Asy‟ari, dalam waktu cepat memiliki

pengikut yang besar, bahkan dalam perjalanan singkat berikutnya aliran

ini memiliki penganut terbesar hingga saat ini. Untuk saat ini, hanya

aliran Syiah sajalah aliran lain yang secara real formal masih ada.

33

Ibid., 276 34

Ibid,. 278

Page 17: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Dari berbagai aspek kehidupan nyata (sosial, politik, ekonomi,

pendidikan, budaya, keadilan, keamanan, kesejahteraan, dan sebagainya)

masyarakat, juga bangsa penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah,

secara mayoritas tampak memiliki keadaan yang hampir sama.

Masyarakatnya pasif, gairah kehidupan lemah, kesejahteraan rendah,

korupsi merajalela, miskin ilmu pengetahuan, dekadensi juga besar

meskipun meski terselubung seperti di wilayah negara-negara Islam

Timur Tengah, menjadi konsumen pasif dari negara maju, pendidikan

yang kurang bermutu, tidak mampu mengelola alam, kurang memiliki

kesadaran kesehatan, sikap toleransi rendah, sensitifitas negatif yang

cukup tinggi, pemimpinnya para tiran, adalah realitas yang dimiliki

hampir oleh semua masyarakat Islam yang berfaham ahlu al-Sunnah wa

al-jamaah. Adanya kesamaan-kesamaan itu, menurut penulis pasti ada

nilai yang yang sama atau hampir sama, sehingga memiliki pola

kehidupan yang hampir sama.

Nilai-nilai dasar sebagai prinsip dalam faham Ahlu al-Sunnah wa al-

Jamaah itu antara lain, pertama, keyakinan bahwa Allah memiliki sifat.

Tetapi sifat ini dipahami secara majazi (konotatif) karena sifat Tuhan

pastilah berbeda dengan sifat yang ada pada makhluk-Nya. Dalam dasar

pemahaman ini hamper tidak ada dampak social, perbedaan sifat antara

makhluk dan Khalik sudah menjadi kemafhuman umum para penganut

faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.

Kedua, faham tentang kebebasan dan kehendak manusia. Dalam hal

ini al-Asy‟ari mengatakan: manusia mempunyai kemampuan berbuat atu

tidak berbuat, karena manusia sendiri dapat merasakan pada dirinya

perbedaan antara gerak reflek yang dikarenakan terkejut setelah

mendengar suara yang cukup mengejutkan dengan gerak yang memang

lahir dari keinginannya sendiri. Perbedaan kedua gerak ini diketahuinya,

karena gerak yang lahir dari keinginannya bersumber dari kemampuan

yang ada pada dirinya dan kemampuan yang seperti itu tentunya lahir

Page 18: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

dari orang yang memiliki kemampuan. Berdasar arumentasi di atas

katanya (al-Asy‟ari): perbuatan (kasab) adalah suatu kemampuan yang

berasal dari kekuatan manusia yang diciptakan Allah pada manusia.35

Jadi, setiap perbuatan manusia terjadi dengan kehendak dan “ridlo”

Tuhan, baik perbuatan itu baik maupun buruk.36

Dari uraian di atas pemahamannya adalah, kehendak manusia berada

di antara kebebasan dan keterikatan. Dampak social yang muncul dari

pemahaman ini adalah optimalisasi kekuatan kreatifitas serta kekuatan

sumber daya manusia bukanlah murni cita-cita serta upaya maksimal dari

manusia itu sendiri. Keyakinan akan adanya pembatasan sebuah upaya

telah menanamkan kepercayaan diri yang mengambang. Ketika di luar

faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah kekuatan manusia dioptimalkan

untuk membangun budaya dan peradaban, dengan keyakinan realitas

hidup tergantung pada niat dan perilaku manusia, faham al-Asy‟ari ini

justru mengingkari kekuatan murni manusia. Dampaknya, hampir tidak

ada umat Islam penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah yang

memiliki prestasi besar di bidang keduniaan. Sikap ini membuat umat

Islam secara keseluruhan menjadi umat yang inferior dan terbelakang.

Bahkan hampir tidak memiliki andil yang signifikan untuk membantu

problem-problem kehidupan. Lebih dari itu, ketika menghadapi kejahatan

baik yang disenagaja maupun tidak, selalu disandarkan pada pemahaman

bahwa itu hasil dari perbuatan Tuhan, sehingga penegakkan keadilan dan

penentangan terhadap kejahatan menjadi asangat lemah.

Ketiga, tentang akal dan wahyu. Ketika akal berhasil menciptakan

formulasi ilmu, yang salah satunya berhasil melahirkan teknologi yang

memiliki efek sosial secara total dan universal, kelompok ahlu al-Sunnah

wa al-Jamaah masih memperdebatkan bolehkah menafsirkan al-Qur‟an

dengan ilmu pengetahuan, haramkah sekulerisme, liberalisme dan

35

Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, tt), Buku I, 80 36

Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), 128

Page 19: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

kapitalisme, bagaimana mencari titik temu antara Islam dan ilmu

pengetahuan (sains). Menurut penulis, pertanyaan-pertanyaan di atas

adalah pertanyaan yang lucu dan memalukan. Lebih-lebih bila diukur

dari substansi pertanyaannya, karena pertanyaan itu secara umum justru

sudah dijalani tetapi tanpa disadari. Bahwa akal memiliki kemampuan

dan wahyu harus menjadi pijakan eksplorasi kreatifitas akal, sudah

menjadi kesepakatan umat Islam secara umum. Namun Ketika hubungan

akal dan wahyu dipahami dari sudut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah

bahwa akal harus tunduk kepada wahyu tanpa penafsiran yang luas dan

terbuka (penafsiran yang luas dan terbuka inipun dipahami sebagai

penyimpangan keagamaan), maka pesan-pesan wahyu hanya menjadi

sebuah puisi mati. Dampak sosialnya adalah sikap dangkal memahami

agama, serta wawasan sempit melingkupi aktifitas keagamaan.

Pluralisme yang masih menjadi masalah, perbenturan antar faham dalam

Islam yang tidak pernah reda, adalah dampak dari pemaknaan korelasi

antara wahyu dan akal yang memerlukan penafsiran ulang. Menurut

penulis, wahyu bukanlah membingkai kebebasan akal, tetapi memberi

petunjuk dan bimbingan terhadap kebebasan akal, sebuah anugerah

terbesar yang hanya diberikan kepada manusia. Meminjam istilah Fazlur

Rahman, wahyu (al-Qur‟an) adalah Islam normatif, artinya ajaran-

ajarannya yang hidup yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-

prinsip dasar, sedang penafsiran terhadap wahyu adalah Islam sejarah.

Islam sejarah mengandung maksud penafsiran yang dilakukan terhadap

ajaran Islam dalam bentuknya yang eragam (dan berkembang, pen),37

sehingga wahyu itu hidup dan selalu berkomunikasi dengan jamannya.

Keempat, kriteria baik dan buruk. Dalam hal ini al-Asy‟ari

mengatakan:

37

Abd A‟la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2009), 16

Page 20: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

semua kewajiban agama ditetapkan melalui wahyu bukan melalui akal.

Akal manusia tidak dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang

buruk.38

Dalam batas-batas tertentu akal memang memiliki keterbatasan,

termasuk dalam mengukur baik dan buruk. Tetapi jika baik dan buruk

hanya dapat ditentukan oleh wahyu semata, ada banyak hal kriteria baik

dan buruk tidak dijelaskan dalam wahyu, tetapi hal itu terjadi dalam

kehidupan. Dan di sini sebenarnya peran akal bisa berfungsi secara

mandiri (meski tentu saja harus berpijak pada landasan normatif wahyu)

dengan mengukur dan mempertimbangkan manfaat dan keburukannya.

Dampak sosial yang terjadi dari pemahaman ini antara lain, ada

banyak penetapan norma agama yang bersifat mengambang. Korupsi bisa

dianggap imbalan jasa, musik dianggap haram tanpa analisa, penetapan

hukum bunga bank yang tidak konsisten (konon masyarakat Timur

Tengah lebih suka menabung di bank Eropa tanpa mau mengambil

bunga), dan sebagainya. Anehnya, perilaku yang sebenarnya tidak

dibenarkan menurut wahyu malah menjadi kebiasaan, seperti kesukaan

menggali informasi gossip dari media, menonton pertandingan tinju, sifat

konsumtif tinggi, menjual barang palsu, menjual makanan dengan zat

pengawet yang membahayakan (menjual makanan dengan bahan

berbahaya lebih banyak dilakukan oleh pedagang Islam, yang mestinya

hukumnya sama dengan membunuh secara terencana dalam tenggang

waktu yang tidak seketika).

Dari uraian masalah di atas mestinya akal bisa dikerahkan secepat

mungkin untuk mengukur baik dan buruknya. Kemudian hukum dan

normanya dibentuk berdasar analisa pemikiran, karena akal, dalam hal-

hal tertentu ini, mampu untuk menetapkan ukuran tentang baik dan

buruk.

38

Asy-Syahrastani, Al-Milal…, jilid 1, 85

Page 21: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Kelima. Keadilan Tuhan. Tentang keadilan Tuhan menurutal-Asy‟ari,

semua kewajiban yang dibebankan agama kepada manusia, bukan

manfaat kewajiban itu kembali kepada Allah. Dengan demikian juga

semua yang merusak tidak mengurangi kebesaran Allah, karena Allah

maha kuasa, untuk memberikan pahala dan menimpakan dosa dan Allah

kuasa memberikan kelebihan kepada seseorang karena kemurahan-Nya.

Pahala, nikmat dan belas kasihan, semuanya ini merupakan karunia, azab

dan siksa semuanya keadilan.39

Dalam pandangan ini, Allah Maha Adil, dan keadilanNya tergantung

atas kemauan Allah sendiri. Jika orang baik disiksa di neraka dan orang

jahat dimasukkan ke dalam surga bukanlah bentuk ketidak adilan Tuhan.

Karena Tuhan atas kemaha-kuasaan-Nya tidak terpaksa oleh apapun

juga.

Dampak sosial dari pemahaman di atas adalah betapa orang

menggampangkan dosa. Bahkan dosa sosialpun seakan-akan mudah saja

lenyap dengan ritual mahdzah yang dilakukan secara istiqomah. Contoh

nyata yang terjadi adalah uang korupsi digunakan membangun tempat

ibadah, atau bahkan biaya haji, perzinaan tetap dilakukan namun ibadah

mahdzah tetap ditekuni. Atas nama keadilan (dalam arti kebebasan

kehendak Allah) kejahatan yang diperbuat memiliki peluang besar untuk

diampuni. Efek dari ini semua adalah tetap harmonisnya kebersamaan

antara kejahatan dan kebaikan.

Pengembangan dari faham ini antara lain pada sisi usaha manusia.

Bisa saja orang pekerja keras tetapi terus miskin dan pemalas menjadi

kaya. Karena Allah menghendaki demikian.

Keenam, kedudukan orang mukmin yang mengerjakan dosa besar.

Orang mukmin yang melakukan dosa besar, menurut al-Asy‟ari dianggap

39

Asy-Syahrastani, Al-Mila..., 86

Page 22: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

tidak keluar dari Islam. Kemudian, orang yang mengerjakan dosa besar

yang meninggal tanpa bertobat, keadaan dirinya terserah kepada Allah.

Apakah ia diampuni karena rahmat-Nya atau memperoleh syafaat nabi-

Nya.40

Kalau ia berbuat aku tidak mengatakan bahwa tobatnya wajib

diterima Allah sesuai dengan hukum akal karena tidak ada yang wajib

bagi Allah. Namun menurut syara‟ bahwa tobatnya akan diterima dan

demikian juga orang-orang yang sangat menderita dikabulkan. Allah

adalah raja segala raja yang menguasai seluruh makhluk-Nya dan berbuat

sekehendak-Nya, meletakkan apa yang diinginkan-Nya.41

Uraian ini hampir sama dengan uraian di atas. Yaitu membuat orang

merasa mudah terhapus dosanya. Sehingga kejahatan yang dilakukan

tanpa meninggalkan rasa dosa dan rasa bersalah.

Dari semua uraian di atas, tampaknya prinsip-prinsip ahlu al-Sunnah

wa al-Jamaah belum banyak memberikan kontribusi dalam perubahan

sosial yang mengarah ke kebaikan kehidupan. Namun demikian yang

perlu dipertanyakan adalah prinsip-prinsip itu yang tidak membumi atau

pemahaman umat penganutnya yang memerlukan pemahaman dan

penafsiran baru untuk konteks kekinian.

b. Nilai Positif dari Ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah

Menurut penulis sebenarnya faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah

menawarkan solusi keagamaan dan problem kehidupan yang sangat

efektif dan proposional secara faham keagamaan (Islam).

(1) Tentang Ketuhanan

Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah mengajarkan bahwa kita harus

memiliki kesadaran yang mendasar tentang eksisitensi Tuhan yang

juga hubungannya dengan manusia. Dari sini dapat kita jadikan

40

Asy-Syahrastani, al-Milal…, 85 41

Ibid.

Page 23: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

pedoman dalam menjalani hidup agar berorientasi pada tujuan

yang sesuai dengan tuntunan Allah.

(2) Tentang kebebasan dan kehendak manusia. Ajaran al-Asy‟ari ini

mengajak untuk kreatif, optimal dalam berusaha tetapi jauh dari

sifat putus asa

(3) Tentang hubungan akal dan wahyu. Ajaran yang disampaikan

adalah agar kemampuan akal selalu berlindung di bawah petunjuk

Tuhan

(4) Tentang baik dan buruk. Ahlu al-sunnah wa al-Jamaah

membangun kesadaran akan keterbatasan akal dalam menilai baik

dan buruk (bukan berdasar prasangka dan perkeriaan dan

keinginan).

(5) Tentang keadilan Tuhan. Ajaran ini membangun kesadaran agar

manusia tidak bangga dengan kebaikannya. Realitas yang baik

belum tentu bersumber dari nilai (niat) yang benar. Kalau

perbuatan baik saja belum tentu diterima oleh Allah, Apalagi

perbuatan yang tidak baik.

(6) Tentang pelaku dosa besar. Di sini kita dianjurkan agar selalu

berharap pada kemurahan Allah, karena atas kebebasan kehendak

Allah terbuka untuk kita melakukan taubat dan berusaha mendekat

kepada-Nya.

E. KESIMPULAN

Kondisi umat Islam penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dari

segi sosial, politik, ekonomi, humaniora, kesehatan, pendidikan, ilmu

pengetahuan bahkan moralitas secara umum masih cukup memprihatinkan.

Tampaknya memang ada katerkaitan antara prinsip-prinsip dasar dalam

faham ini dengan sikap hidup penganutnya. Untuk itu diperlukan formulasi

ulang atau mungkin reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran dari faham Abu al-

Page 24: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Hasan al-Asy‟ari ini, agar nilai-nilai substansial yang dikandungnya memberi

motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan social.

F. CATATAN AKHIR

Saat mengawali penulisan ini, penulis berniat memasukkan pemikiran

al-Maturridi kedalam pembahasan ini, penulis juga ingin melengkapi data-

data statistic kondisi social ekonomi dan politik negara-negara yang

penduduknya penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah secara

mayoritas, tanpa terasa, hal tersebut di atas belum tersusun, tiba-tiba batas

waktu penyelesaian tugas ini harus berakhir. Jadi, kemampuan yang penulis

miliki hanyalah semampu ini.

Page 25: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunah wal Jamaah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah

Baru, 2008

Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2009

A‟la, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Dian Rakyat-

Paramadina, 2009

Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, Al-Milal wa al-Nihal, Terjemahan,

Surabaya: Bina Ilmu, tanpa tahun

Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih

dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1994

Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan

Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia (UI)-Pres, 1986

Nasution Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 1986

Nicholas Abercrombie, Stepehen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi,

Terjemahan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Outhwaite, William (ed), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Terjemahan,

Edisi ke 2, Jakarta: Prenada, 2008

Rahman, Fazlur, Islam, Terjemahan, Bandung: Penerbit Pustaka, 2000

Page 26: Pengaruh Pemikiran Ahlu Al-sunnah Wa Al-jamaah Terhadap Perubahan Sosial Umat Islam

Rahman, Fazlur, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis,

Bandung: Mizan, 1999

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Edisi ke IV, Jakarta: Rajawali

Pers, 1990

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Terjemahan, Jakarta: Prenada, 2005