pengaruh model kooperatif tipe terhadap hasil...
TRANSCRIPT
1Mahasiswa 2 dan 3 Dosen Pembimbing/Prodi Pendidikan Matematika/STKIP-PGRI Lubuklinggau/2017
PENGARUH MODEL KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE
TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 13 LUBUKLINGGAU
Oleh
Yuana Eriska1, Sukasno, M.Pd.2, Dodik Mulyono, M.Pd3. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan MIPA
STKIP-PGRI Lubuklinggau
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ”Pengaruh Model Kooperatif Tipe TPS Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2014/2015”. Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah ada pengaruh yang signifikan model kooperatif tipe TPS terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau tahun Pelajaran 2014/2015?”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model kooperatif tipe TPS terhadap ketuntasan hasil belajar siswa kelasVII SMP Negeri 13 Lubuklinggau tahun Pelajaran 2014/2015. Metode penelitian yang digunakan berbentuk eksperimen murni. Populasinya seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 117 siswa. Sebagai sampel adalah kelas VII-1 yang diberikan pembelajaran kooperatif tipe TPS dan kelas VII-2 yang diberikan pembelajaran Konvensional. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji-t pada taraf signifikan α = 0,05. Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan model kooperatif tipe TPS terhadap hasil Matematika siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau tahun pelajaran 2014/2015. Rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen sebesar 83,96 sedangkan rata-rata hasil belajar kelas kontrol sebesar 77,7.
Kata kunci: Cooperative Learning, TPS, Matematika.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dan juga merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada siswa
mulai dari SD sampai dengan SMA. Matematika sebagai mata pelajaran disekolah dinilai
memegang peranan penting, baik pola pikir siswa maupun aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Soedjadi (dalam, Hamzah dan Masri, 2010: 108), “Matematika
merupakan ilmu yang bersifat abstrak, aksiomatik, dan deduktif”. Cockroft (dalam, Hamzah
dan Masri, 2010: 108) mengemukakan tentang mengapa matematika diajarkan ?. Hal ini
disebabkan Matematika sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, bagi
sains, perdagangan dan perindustrian, dan karena matematika itu menyediakan suatu daya,
alat komunikasi yang singkat dan tidak ambigius serta berfungsi sebagai alat untuk
mendeskripsikan dan memprediksi. Meskipun matematika memiliki peran penting, namun
bagi anak-anak atau pelajar pada umumnya matematika merupakan pelajaran yang kurang
diminati. Sehingga berdampak terhadap siswa.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi di
SMP Negeri 13 Lubuklinggau sebanyak 117 orang siswa, nilai rata-rata ulangan harian siswa
58,54 sedangkan Kriteria Ketuntasan Minimalnya (KKM) adalah 72 sehingga dari 117 siswa
hanya 34 siswa (29,05%) yang dapat mencapai KKM sedangkan masih terdapat 83 siswa
(73,50%) yang belum mencapai KKM.
Kegiatan Pembelajaran masih berpusat pada guru. Model pembelajaran yang digunakan
kurang menarik sehingga siswa merasa bosan dan mengantuk. Selain itu banyaknya siswa
yang kurang terlibat secara aktif dalam pembelajaran dimana mereka hanya pasif dan
menerima apa yang diajarkan oleh guru, serta jika mengalami kesulitan siswa merasa malu
dan takut untuk bertanya kepada guru. Padahal seharusnya seperti yang tertulis didalam
Standar Nasional Nendidikan Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Penggelolaan Pendidikan
oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah telah dijelaskan pada lampiran Nomor 5 Bidang
Kuriku.lum dan kegiatan kegiatan pembelajaran disana dijelaskan bahwa mutu pembelajaran
disekolah/ madrasah dikembangkan dengan melibatkan peserta didik secara aktif, mendidik,
memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan menggunakan
Model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Menurut Trianto (2012: 81) TPS merupakan
suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas dengan asumsi
bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas
secara keseluruhan dan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi siswa lebih
banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu serta guru menginginkan siswa
mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Model Kooperatif Tipe Think Pair share Terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2014/2015.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah
ada pengaruh yang signifikan model kooperatif tipe Think Pair Share terhadap hasil belajar
matematika siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau tahun 2014/2015 ?”. Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh model kooperatif tipe Think Pair Share
terhadap ketuntasan hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau
tahun 2014/2015.
LANDASAN TEORI
TPS diperkenalkan oleh Frank Lyman pada tahun 1985. Lie (2008: 57) menyatakan
bahwa “Model kooperatif Think-Pair-Share merupakan model pembelajaran yang memberi
siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain”. Menurut
Suyatno (2009: 54) secara ringkas sintak pembelajaran TPS, yaitu thinking (berpikir), pairing
(berpasangan), dan sharing (berbagi).
TPS adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. TPS merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat
variasi suasana pola diskusi kelas dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi
membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan dan prosedur yang
digunakan dalam TPS dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan
saling membantu serta guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang
telah dijelaskan dan dialami (Trianto, 2012: 81).
Menurut Alma (2008: 91) menyatakan TPS merupakan teknik sederhana yang
mempunyai keuntungan dapat mengoptimalkan partisipasi siswa mengeluarkan pendapat, dan
meningkatkan pengetahuan. Siswa meningkatkan daya pikir (think) lebih dahulu, sebelum
masuk kedalam kelompok berpasangan (pair), kemudian berbagi dalam kelompok (share).
Setiap siswa saling berbagi ide, pemikiran atau informasi mereka ketahui tentang
permasalahan yang diberikan oleh guru, dan bersama-sama mencari solusinya.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa TPS adalah
suatu jenis pembelajaran yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dimana
secara ringkas sintak pembelajaran TPS yaitu thinking (berpikir), pairing (berpasangan),
dan sharing (berbagi) sehingga pembelajaran ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang lain, mengoptimalkan partisipasi siswa
mengeluarkan pendapat, saling berbagi ide, pemikiran atau informasi mengenai pertanyaan
yang diajukan oleh guru, serta saling membantu untuk mencari solusinya sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan dan daya pikir.
Menurut Trianto (2012: 81) langkah-langkah pembelajaran model kooperatif tipe TPS
adalah sebagai berikut:
a. Berpikir (Thinking) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang berkaitan dengan pelajaran dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah.
b. Berpasangan (Pairing)
Guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh.
c. Berbagi (Sharing) Guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan.
Menurut Suprijono (2013: 46) bahwa langkah-langkah pembelajaran model kooperatif
tipe TPS sebagai berikut:
a. Thinking Guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh siswa. Guru memberi kesempatan kepada mereka memikirkan jawabannya
b. Pairing Guru meminta siswa berpasang-pasangan dan memberikan kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk berdiskusi.
c. Sharing Hasil diskusi ditiap-tiap pasangan hasilnya dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas
Menurut Slavin (2005: 257) mengatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran model
kooperatif tipe TPS sebagai berikut:
a. Berpikir (Thinking) Guru memberikan pertanyaan kepada kelas dan siswa diminta untuk memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri.
b. Berpasangan (Pairing) Siswa diminta berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban.
c. Berbagi (Sharing) Guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati dengan seluruh kelas.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa langkah-
langkah model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah sebagai berikut:
a. Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pelajaran.
b. Guru meminta siswa menggunakan waktu 5 sampai 10 menit untuk memikirkan
jawabannya.
c. Guru meminta siswa berpasangan dengan temannya yang lain.
d. Guru meminta siswa yang telah berpasangan untuk mendiskusikan jawaban yang telah
mereka peroleh untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban.
e. Guru meminta pasangan-pasangan siswa untuk berbagi jawaban yang mereka sepakati
dengan siswa di kelas.
Terdapat kelebihan dan kekurangan pada model TPS dalam proses pembelajaran,
Hartina (11 Maret 2014) menyatakan bahwa, kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe
TPS adalah:
a. Memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan.
b. Siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah.
c. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang.
d. Siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar.
e. Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran.
Fadholi (06 April 2014) kekurangan dari model kooperatif tipe think pair share
sebagai berikut:
a. Siswa yang pasif, dengan model ini mereka akan ramai dan mengganggu teman-temannya.
b. Mengantungkan pada pasangan. c. Jumlah siswa yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok. d. Ketidaksesuaian antara waktu yang direncanakan dengan pelaksanaan. e. Jika ada perselisihan tidak ada penengah
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan
data penelitiannya (Arikunto, 2010: 203). Sedangkan menurut Sugiyono (2010:2) “Metode
penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tetentu”. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen murni (True Experiment) kategori Random, Pre-test, Post-test Desain.
Eksperimen murni kategori Random, Pre-test, Post-test Desain adalah sebuah eksperimen
yang dilaksanakan sudah ada kelompok kontrol, subjek dipilih secara random dan observasi
dua kali (Pre-test dan Post-test). Adapun desain eksperimen menurut Arikunto (2010: 126)
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pola:
R
E 01 X 02
K 03 04
Keterangan: E = Kelas Eksperimen K = Kelas Kontrol R = Sampel dipilih secara random 01 dan 03 = Pre-test (sebelum melakukan pembelajaran)
X = Perlakuan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share
02 dan 04 = Post-test (setelah melakukan pembelajaran) Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titk perhatian suatu
penelitian (Arikunto, 2010:161). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel
bebas (X) dan variabel terikat (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau.
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010:173). Populasi dalam
penelitian ini adalah subjek siswa kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau Tahun Pelajaran
2014/2015 yang terdiri dari empat kelas yang berjumlah 117 siswa. Pengambilan sampel
penelitian dilakukan secara acak (random) dengan cara pengundian, yaitu peneliti memberi
hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh kesempatan (chance) dipilih menjadi
sampel (Arikunto, 2010: 177). Cara demikian dilakukan bila anggota populasi mempunyai
kemampuan yang sama. Setiap subjek yang terdaftar sebagai populasi, diberi nomor urut
mulai dari 1 sampai dengan banyaknya subjek (kelas), kemudian mengundi dua nomor
sehingga terpilih 2 kelas yang akan dijadikan sampel yaitu kelas ekesperimen dan kelas
kontrol. Berdasarkan hasil pengundian, terpilih 2 kelas sebagai sampel. Kelas VII.1 sebagai
kelas kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 27 orang, sedangkan kelas VII.2 sebagai kelas
eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 29 orang.
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik tes. Tes yang
diberikan berbentuk uraian dan banyak soal adalah 6 soal pada materi dimensi tiga. Teknik
analisis data yang digunakan yaitu menggunakan uji-t.
HASIL PENELITIAN
Pre-test digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa baik pada kelas
eksperimen maupun kelas kontrol pada materi pokok pecahan. Soal Pre-test yang digunakan
berbentuk essay terdiri dari enam soal. Berdasarkan perhitungan (lampiran hal 145 dan 149)
rekapitulasi data hasil pre-test kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Rekapitulasi data hasil Pre-Test
Kelas Nilai Rata-rata (푥̅) Simpangan Baku(s) Eksperimen 25,1 8,48
Kontrol 27,5 9,60
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata (푥̅) siswa kelas eksperimen
sebesar 25,1 dan kelas kontrol sebesar 27,5. Hal itu berarti secara diskriptif menunjukkan
bahwa rata-rata (푥̅) hasil tes awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak memiiki
perbedaan yang berarti.
Post-test digunakan untuk mengetahui kemampuan akhir siswa. kemampuan akhir
siswa adalah kemampuan siswa dalam penguasaan materi pecahan yang merupakan hasil
belajar siswa setelah melakukan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil perhitungan
(lampiran hal 53 dan 157 rekapitulasi data hasil post-test siswa dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Rekepitulasi Data Hasil Post-test
Kelas Nilai Rata-rata (푥̅) Simpangan Baku(s) Eksperimen 83,96 10,72
Kontrol 77,7 11,93
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata (푥̅) siswa kelas eksperimen
sebesar 83,96 dan kelas kontrol sebesar 77,7. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang besar antara rata-rata (푥̅) hasil tes akhir kelas eksperimen dengan hasil rata-rata (푥̅) hasil
tes akhir kelas kontrol.
Adapun grafik perbandingan nilai rata-rata (푥̅) pre-test dan post-test pada kelas
eksperimen (pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share) dan kelas kontrol (pembelajaran menggunakan metode Konvensional) dapat dilihat
pada grafik 4.1.
Grafik 4.1 Grafik perbandingan skor rata-rata pre-test dan post-test
0102030405060708090
Eksperimen Kontrol
25.1 27.5
8177.7
Pre-test
Post-test
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat nilai rata-rata (푥̅) pre-test kelas eksperimen
adalah 25,1 , sedangkan nilai rata-rata (푥̅) post-test adalah 83,96, berarti terjadi peningkatan
nilai rata-rata (푥̅) pada kelas eksperimen adalah sebesar 58,9. Nilai rata-rata (푥̅) pre-test
kelas kontrol adalah 27,5, sedangkan nilai rata-rata (푥̅) post-test adalah 77,7 berarti terjadi
peningkatan nilai rata-rata pada kelas kontrol adalah sebesar 50,2. Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan nilai rata-rata (푥̅) hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada
peningkatan nilai rata-rata (푥̅) kelas kontrol.
1. Kemampuan Awal Siswa
Analisis kemampuan awal siswa bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa
sebelum diberikan perlakuan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
TPS pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Analisis
kemampuan awal siswa dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata. Sebelum
dilakukan uji kesamaan dua rata-rata terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas dari hasil pre-test yang diberikan kepada siswa. Uji normalitas dan homogenitas
dilakukan untuk mengetahui uji kesamaan dua rata-rata yang akan digunakan.
a. Uji Normalitas Data
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah data hasil pre-test siswa berdistribusai
normal atau tidak. Berdasarkan ketentuan perhitungan statistik mengenai uji normalitas data
dengan tarap kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), jika 휒 < 휒 maka data berdistribusi
normal. Hasil uji normalitas data pre-test untuk kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas Nilai Pre-test
Kelas 휒 Dk 휒 Kesimpulan Eksperimen 4,1796 5 11,07 Normal
Kontrol 1,3317 5 11,07 Normal
Dari tabel 4.3 menunjukan nilai 휒 data pre-test untuk kelas ekspriman dan kelas
kontrol lebih kecil dari pada nilai 휒 . Berdasarkan ketentuan pengujian normalitas
dengan menggunakan uji kecocokan 휒 (chi-kuadrat) dapat disimpulkan bahwa pre-test untuk
masing masing kelas menunjukan kedua kelompok distribusi normal pada taraf kepercayaan
훼 = 0,05 (5%), karena 휒 < 휒 .
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui keadaan kedua varians homogen atau
tidak. Berdasarkan ketentuan perhitungan statistik (lampiran D) tentang uji homogenitas
varians dengan taraf kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), jika 퐹 < 퐹 maka varians data dari
dua kelompok adalah homogen. Hasil uji homogenitas varians pre-test untuk kelas
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Uji Homogenitas Nilai Pre-test
Tes 퐹 Dk 퐹 Kesimpulan Pre-test 1,28 28:26 1,93 Homogen
Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa varians kedua kelompok data (kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol) pre-test adalah homogen, karena 퐹 < 퐹 .
c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata – rata ini digunakan untuk menguji kesamaan antara dua rata-
rata data, dalam hal ini antara data kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Kriteria pengujian
adalah terima 퐻 jika 푡 < 푡 dan tolak 퐻 jika 푡 ≥ 푡 pada taraf
signifikansi 훼 = 0,05 (5%) dan dk = (푛 + 푛 − 2). Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji
homogenitas, maka kedua kelompok data pre-test adalah normal dan homogen. Dengan
demikian, uji kesamaan dua rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk data
pre-test dapat menggunakan uji-t. Hipotesis statistik yang diuji dalam perhitungan uji-t untuk
pre-test adalah sebagai berikut.
퐻 : 휇 = 휇 ∶ Tidak terdapat perbedaan kemampuan awal kelas eksperimen dengan
kemampuan awal kelas kontrol.
퐻 : 휇 ≠ 휇 ∶ Terdapat perbedaan kemampuan awal kelas eksperimen dengan kemampuan
awal kelas kontrol.
Berdasarkan hasil perhitungan hasil analisis uji-t mengenai kemampuan awal siswa
menunjukkan bahwa 푡 < 푡 dengan taraf kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), yaitu
푡 = −1,64 dan 푡 = 2,02, maka 퐻 diterima dan 퐻 ditolak berarti tidak terdapat
perbedaan yang signifikan rata-rata nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan kata lain
kelas eksperimen dan kelas control mempunyai kemampuan awal yang sama.
Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa Sesuai kelompok yang
diteliti dalam keadaan sepadan (dimulai pada kondisi awal yang sama). karena kedua kelas
sama-sama belum melaksanan pembelajaran, sehingga pada tahap selanjutnya dapat
dilaksanakan pembelajaran pada masing-masing kelas, dimana kelas eksperimen diberi
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dan
pada kelas kontrol diberi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.
2. Kemampuan Akhir Siswa
Analisis keampuan akhir siswa bertujuan untuk mengetahui kemampuan akhir siswa
setelah diberikan perlakuan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Think Pair Share pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.
Analisis kemampuan akhir siswa dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan dua
rata-rata. Sebelum dilakukan uji kesamaan dua rata-rata terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dan uji homogenitas dari hasil post-test yang diberikan kepada siswa. Uji
normalitas dan uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui uji kesamaan dua rata-rata yang
akan digunakan. Adapun perhitungan uji normalitas dan uji homogenitas dapat diuraikan
sebagai berikut.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah data hasil post-test siswa berdistribusai
normal atau tidak. Berdasarkan ketentuan perhitungan statistik yang digunakan oleh peneliti
mengenai uji normalitas data dengan taraf kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), jika 휒 <
휒 maka data berdistribusi normal dan jika 휒 ≥ 휒 maka data tidak
berdistribusi normal. Hasil uji normalitas tes akhir (post-test) untuk kedua kelompok yaitu
kelompk eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Nilai Post-test
Kelas 휒 Dk 휒 Kesimpulan Eksperimen 5,3594 5 11,07 Normal
Kontrol 2,3716 5 11,07 Normal
Dari tabel 4.6 menunjukan nilai 휒 data post-test untuk kelas ekspriman dan
kelas kontrol lebih kecil dari pada nilai 휒 . Berdasarkan ketentuan pengujian normalitas
dengan menggunakan uji kecocokan 휒 (chi-kuadrat) dapat disimpulkan bahwa post-test
untuk masing masing kelas menunjukan kedua kelompok distribusi normal pada taraf
kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), karena 휒 < 휒 .
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data pada kedua kelas yang
diteliti mempunyai varians yang homogen atau tidak. Berdasarkan ketentuan perhitungan
statistik tentang uji homogenitas varians dengan taraf kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), jika
퐹 < 퐹 maka varians data dari dua kelompok adalah homogen. Hasil uji
homogenitas varians post-test untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada
tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Uji Homogenitas Nilai Post-test
Tes 퐹 Dk 퐹 Kesimpulan Post-test 1,23 28:26 1,93 Homogen
Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa varians kedua kelompok data (kelas eksperimen
dan kelas kontrol) post-test adalah homogen, karena 퐹 < 퐹 .
c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan
pada kemampuan akhir siswa (post-test) yaitu pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Kriteria pengujian adalah terima 퐻 jika 푡 < 푡 dan tolak 퐻 jika 푡 ≥
푡 , pada taraf signifikansi n 훼 = 0,05 (5%) dan dk = (푛 + 푛 − 2). Berdasarkan hasil uji
normalitas dan uji homogenitas, maka kedua kelompok data kemampuan akhir siswa (post-
test) adalah normal dan homogen. Dengan demikian, uji kesamaan dua rata-rata antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol untuk data kemampuan akhir siswa (post-test) dapat
menggunakan uji-t.
Hipotesis statistik yang digunakan oleh peneliti yang diuji dalam perhitungan uji-t
untuk kemampuan akhir siswa (post-test) adalah sebagai berikut.
0H : Rata-rata hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model TPS kurang dari
atau sama dengan rata-rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol (휇 ≤ 휇 )
aH : Rata-rata hasil belajar matematika siswa yang menggunakan
model TPS lebih dari rata-rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol ( 1 > 2 ).
Hasil uji-t untuk data kemampuan akhir siswa ( post-test) antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil Uji Hipotesis Nilai Post-test
Tes 푡 dk 푡 Kesimpulan
Post-test 5,01 28,26 1,68 푡 > 푡 , 퐻
ditolak
Pada tabel 4.8 dapat dilihat hasil analisis uji-t mengenai kemampuan akhir siswa
menunjukkan bahwa 푡 > 푡 dengan taraf kepercayaan 훼 = 0,05 (5%), yaitu
푡 = 5,01 dan 푡 = 1,68, maka 퐻 ditolak dan 퐻 diterima. Hal ini berarti rata-rata
hasil belajar matematika yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (kelas eksperimen) lebih dari rata-rata hasil belajar matematika siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional (kelas kontrol).
Pembahasan
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan sebanyak 5 kali pertemuan, dengan rincian, satu
kali pre-test diawal pertemuan, tiga kali pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS dan pada akhir pembelajaran diberikan post-tes. Pada kelas
eksperimen diberi perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS sedangkan pada
kelas kontrol diberi perlakuan dengan pembelajaran konvensional.
Pada pertemuan pertama, siswa dibagi dalam beberapa kelompok dimana 1 kelompok
terdiri atas 2 orang siswa. Kelompok yang telah dibentuk sebanyak empat belas kelompok,
kelompok tersebut dibentuk oleh peneliti sebelum proses pembelajaran dimulai, dari empat
belas kelompok tersebut terdapat satu kelompok yang beranggotakan tiga orang siswa, karena
jumlah siswa kelas VII-1 yang dipilih sebagai kelas eksperimen berjumlah 29 orang siswa.
Kelompok disusun secara heterogen, dengan melihat tingkat prestasi dan jenis kelamin siswa.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS mengalami sedikit hambatan. Pembelajaran yang baru bagi
guru maupun siswa membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Pembagian kelompok yang
dilakukan oleh guru sedikit membuat mereka gaduh, karena ada beberapa siswa yang merasa
tidak cocok dengan pasangannya. Selain itu, pengaturan tempat duduk pada saat perpindahan
siswa dari tempat duduknya semula ke tempat duduk pasangannya menimbulkan kegaduhan,
kemudian waktu yang diberikan oleh guru untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan yang
diberikan ataupun untuk berdiskusi dengan pasangannya mengenai materi atau persoalan
bersama pasangan satu bangku dengannya tetapi masih suka memanfaatkan kegiatan ini untuk
berbicara diluar materi ataupun menganggu dan bermain-main dengan pasangannya dan
malas memikirkannya serta diskusi yang dilakukan tidak berjalan dengan baik karena siswa
yang seharusnya berbagi dengan pasangannya masih sibuk mengerjakan nya sendiri dan
ketika diminta oleh guru untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati dengan seluruh
kelas masih banyak siswa yang malu ataupun takut untuk mempresentasikan hasil diskusinya
di depan kelas.
Untuk mengatasi masalah tersebut di akhir pembelajaran peneliti memberi penjelasan
kembali mengenai proses pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe TPS hingga
siswa dapat lebih mengerti mengenai pembelajaran dengan menggunakan model TPS dan
memberikan motivasi agar siswa tidak malu ataupun takut untuk mempresentasikan hasil
diskusi mereka.
Pada pertemuan selanjutnya yakni pertemuan kedua, hambatan-hambatan yang terjadi
secara perlahan-lahan dapat berkurang karena siswa sudah mulai tertarik dengan model
kooperatif tipe TPS. Siswa mulai terbiasa untuk bekerjasama dan memecahkan bahan diskusi
secara bersama-sama dalam satu kelompok. Siswa justru saling membutuhkan, saling
membantu dan saling menghormati satu sama lain karena adanya tuntutan masalah yang harus
dikerjakan bersama, selain itu, hambatan penataan ruangan sedikit berkurang karena siswa
sudah dapat menyesuaikan diri pada posisi duduk yang berpindah-pindah. Begitupula dengan
pertemuan terakhir yakni pertemuan ketiga tidak terdapat hambatan yang berarti, justru siswa
sangat tertarik dengan belajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. Siswa
mulai bisa beradaptasi, dan kemampuan bicara siswa dalam mempresentasikan hasil
diskusinya lebih meningkat, hal ini terlihat pada saat proses akhir pembelajaran, ketika
peneliti memberikan pertanyaan mengenai situasi belajar yang telah dilakukan sebanyak tiga
kali pertemuan, banyak siswa yang berani mengeluarkan pendapat/mempresentasikan hasil
diskusinya ataupun bertanya dengan pasangan lain ketika jawaban mereka berbeda. Peneliti
melihat bahwa selain dari perubahan minat siswa terhadap pelajaran, juga terdapat perubahan
dalam segi kognitif (pengetahuan). hal ini berdampak positif pada aspek afektif (sikap) siswa,
yakni kemampuan dan keberanian berbicara (sharing)siswa dapat ditingkatkan.
Setelah melakukan pembelajaran dilakukan tes akhir untuk melihat hasil belajar siswa.
Hasil post-test pada kelas eksperimen didapat nilai rata-rata siswa adalah 84 sedangkan hasil
post-test pada kelas kontrol didapat nilai rata-rata siswa adalah 77,7. Setelah dilakukan uji
hipotesis dengan uji-t menghasilkan bahwa 푡 > 푡 dengan nilai 5,01 > 1,68, ini
membuktikan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima yaitu rata-rata hasil belajar
matematika yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih dari rata-rata
hasil belajar matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Terdapat
Pengaruh yang signifikan pada penggunaan Model Kooperatif Tipe TPS Terhadap Hasil
Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 13 Lubuklinggau Tahun Pelajaran
2014/2015. Rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen sebesar 83,96 sedangkan rata-rata
hasil belajar kelas kontrol sebesar 77,7.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. 2008. Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung:
Alfabeta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta. Baharuddin dan Esa, Nur W. 2012. Teori belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Hamzah, Masri K. 2010. Menggelola kecerdasan dalam pembelajaran. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Depok :
Raja Grafindo Persada. Salamah, Umi. 2007. Membangun Kompetensi Matematika 1 untuk Kelas VII SMP dan MTs.
Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Slavin, Robert E. 2005.Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT. Tarsito.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suherman, Erman dan Jaya Sukjaya. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi
Pendidikan Matematika. Bandung: Wacana Prima. Suprijono, Agus. 2013. Cooperatif Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta :
Pustaka Belajar. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Trianto. 2012. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Pregresif. Jakarta: Kencana.