summary of final report lubuklinggau orthoimagery creation project, 2012, bappeda lubuklinggau

16
PEMBUATAN CITRA TEGAK RESOLUSI TINGGI KOTA LUBUK LINGGAU SEBAGAI PETA DASAR PENYUSUNAN RDTR 1 Gambaran Umum Kegiatan pembuatan citra tegak resolusi tinggi kota lubuklinggau ditujukan untuk mendukung kegiatan penyusunan RDTR Kota Lubuklinggau, dimana citra tegak resolusi tinggi ini berfungsi sebagai peta dasar dalam kegiatan pemetaan RDTR. 1.1 Konsepsi Umum Citra Tegak Resolusi Tinggi. Citra tegak resolusi tinggi merupakan citra resolusi tinggi (resolusi spasial 2,5 meter atau lebih besar) yang telah dikoreksi segala kesalahan geometriknya, sebagai akibat dari mekanisme perekaman citra. Kesalahan geometrik citra dapat berasal dari sumber internal satelit dan sensor (sensor miring/off nadir) ataupun sumber eksternal, yang dalam hal ini adalah topografi permukaan bumi. Perekaman off nadir dan perbedaan ketinggian berbagai obyek di permukaan bumi menyebabkan adanya kesalahan citra yang disebut relief displacement. Relief displacement sendiri dapat didefinisikan sebagai pergeseran posisi obyek dari tempat seharusnya, yang disebabkan oleh ketinggian obyek dan kemiringan sensor cita (gambar 1).

Upload: bramantiyo-marjuki

Post on 26-Jul-2015

50 views

Category:

Science


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

PEMBUATAN CITRA TEGAK RESOLUSI TINGGI KOTA LUBUK LINGGAU SEBAGAI PETA DASAR PENYUSUNAN RDTR

1 Gambaran Umum

Kegiatan pembuatan citra tegak resolusi tinggi kota lubuklinggau ditujukan untuk mendukung kegiatan penyusunan RDTR Kota Lubuklinggau, dimana citra tegak resolusi tinggi ini berfungsi sebagai peta dasar dalam kegiatan pemetaan RDTR.

1.1 Konsepsi Umum Citra Tegak Resolusi Tinggi.

Citra tegak resolusi tinggi merupakan citra resolusi tinggi (resolusi spasial 2,5 meter atau lebih besar) yang telah dikoreksi segala kesalahan geometriknya, sebagai akibat dari mekanisme perekaman citra. Kesalahan geometrik citra dapat berasal dari sumber internal satelit dan sensor (sensor miring/off nadir) ataupun sumber eksternal, yang dalam hal ini adalah topografi permukaan bumi. Perekaman off nadir dan perbedaan ketinggian berbagai obyek di permukaan bumi menyebabkan adanya kesalahan citra yang disebut relief displacement. Relief displacement sendiri dapat didefinisikan sebagai pergeseran posisi obyek dari tempat seharusnya, yang disebabkan oleh ketinggian obyek dan kemiringan sensor cita (gambar 1).

Proses perbaikan relief displacement dan kesalahan geometrik lain sehingga menghasilkan citra tegak (ortho) disebut orthorektifikasi.

1.2 Prasyarat Umum Citra Tegak Resolusi Tinggi untuk RDTR

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011 tentang penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Perkotaan, RDTR harus dibuat pada skala 1 : 5.000. Konsekuensinya adalah peta dasar

Page 2: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

harus dibuat pada skala yang sama atau lebih besar lagi. Dalam hal tidak adanya peta dasar yang mencukupi, maka citra tegak resolusi tinggi dapat digunakan sebagai alternatif peta dasar. Citra tegak resolusi tinggi ini harus mempunyai akurasi geometrik yang sebanding atau malah lebih baik dari peta dasar skala 1 : 5.000

1.3 Metode Pembuatan Citra Tegak Resolusi Tinggi

Diagram alir metode Pembuatan Citra Tegak resolusi tinggi Lubuk Linggau dapat dilihat pada gambar berikut.

Page 3: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

2 Metode Pembuatan Citra Tegak Resolusi Tinggi.

2.1 Alat dan Bahan

Citra yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari empat dataset sebagai berikut :

1. Satu Scene Citra Quickbird Multispektral 4 Band Level Standar 2A plus RPC Information. Dengan resolusi spasial 2,4 meter dan tanggal perekaman 11 Juni 2012.

2. Satu Scene Citra Quickbird Pankromatik 1 Band Level Standar 2A plus PRC Information. Dengan resolusi spasial 0,6 meter dan tanggal perekaman 11 Juni 2012.

3. Satu Scene Citra RapidEye Multispektral 5 band Level Standar 1B plus RPC Information. Dengan resolusi spasial 6,5 meter dan tanggal perekaman 21 Februari 2011.

4. Satu Scene Citra WorldView-1 Pankromatik 1 Band Level Standar 2A plus RPC Information. Dengan resolusi spasial 0,5 meter dan tanggal perekaman 17 September 2012.

5. Digital Elevation Model (DEM) wilayah LubukLinggau yang diunduh dari Portal GDEX. DEM ini merupakan produk DEM global yang diturunkan dari citra stereo ASTER dengan resolusi spasial 15 meter, yang saat ini sudah sampai pada versi kedua.

Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain

1. ENVI versi 5.0, untuk melakukan orthorektifikasi, Pan Sharpening. 2. Global Mapper versi 14, untuk melakukan mosaicking dan tiling.

2.2 Orthorektifikasi

Orthorektifikasi adalah proses koreksi geometrik citra satelit atau foto udara untuk memperbaiki kesalahan geometrik citra yang bersumber dari pengaruh topografi, geometri sensor dan kesalahan lainnya. Hasil dari orthorektifikasi adalah citra tegak (planar) yang mempunyai skala seragam di seluruh bagian citra. Orthorektifikasi sangat penting untuk dilakukan apabila citra akan digunakan untuk memetakan dan mengekstrak informasi dimensi, seperti lokasi, jarak, panjang, luasan, dan volume.

Proses orthorektifikasi dilakukan mengunakan tiga jenis informasi, yaitu informasi orientasi internal dan eksternal sensor pada saat merekam, informasi elevasi permukaan bumi, dan informasi koordinat obyek di bumi (Ground Control Points). Dalam kenyataannya, informasi orientasi sensor pada saat perekaman tidak diberikan oleh vendor citra, sebagai penggantinya vendor memberikan informasi simulasi orientasi sensor yang disebut dengan RPC (Rational Polynomial Coefficient). Sedangkan informasi ketinggian diperoleh dari digital elevation model (DEM). Adapun informasi koordinat obyek di bumi diperoleh dari GPS. Agar orthorektifikasi dapat memberikan akurasi maksimal, DEM dan GCP yang digunakan harus mempunyai akurasi yang baik. GCP dan DEM yang baik secara akurasi dan resolusi biasanya diperoleh dari survey Differential GPS dan IFSAR/LIDAR.

Hasil orthorektifikasi berupa citra ortho/tegak yang mana seluruh kesalahan geometrik sudah dihilangkan. Dengan demikian bisa diibaratkan citra ortho sudah seperti peta dan dapat dimanfaatkan untuk menurunkan data spasial.

Page 4: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

2.3 Panchromatic Sharpening

Pan Sharpening adalah proses pemaduan antara citra resolusi tinggi pankromatik dengan citra resolusi rendah multispectral untuk menghasilkan citra multispektral resolusi tinggi. Pan Sharpening dilakukan untuk meningkatkan kualitas resolusi spasial citra sekaligus menghasilkan citra warna multi saluran untuk berbagai kepentingan. Saat ini kebanyakan system satelit penginderaan jauh komersil sudah mampu mendukung perekaman secara multispektral dan pankromatik pada saat yang bersamaan, sehingga proses pan sharpening bisa dilakukan dengan lebih mudah. Beberapa sensor yang sudah mendukung pan-sharpening antara lain LANDSAT, SPOT, ALOS, IKONOS, Quickbird, Worldview, GeoEye, OrbView-3, EO-ALI, Formosat-2, Kompsat-2, dan lain – lain.

Proses pan-sharpening dilakukan menggunakan algoritma map algebra tertentu yang mana biasanya hasil pan sharpening antara satu algoritma dan algoritma yang lain berbeda. Beberapa metode yang telah dikembangkan antara lain, IHS transformation, Brovey transformation, Wavelet Transformation, CN Transformation, High Pass Filter transformation, UNB transformation, SFIM, ESRI transformation, Simple mean transformation, Ehlers transformation dan Gram-Schmidt Transformation. Dalam kegiatan ini, metode pan-sharpening yang akan digunakan adalah metode brovey dan HIS.

Contoh proses pan-sharpening dapat dilihat pada gambar di bawah.

2.4 Mosaicking

Mosaicking atau pembuatan mosaik citra merupakan proses penggabungan banyak citra untuk membentuk satu citra yang meliput wilayah lebih luas (ERDAS Field Guide). Mosaik citra diperlukan biasanya untuk melihat sebaran obyek dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan konvensional citra. Pembuatan mosaik citra dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu mosaik terkontrol dan mosaik tidak terkontrol (Sutanto, 1986). Mosaik terkontrol menggunakan citra yang sudah tergeoreferensi sebagai masukannya, sehingga proses mosaik dilakukan secara otomatis sesuai dengan

Page 5: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

koordinat masing – masing citra penyusun. Akurasi hasil mosaik terkontrol akan sangat tergantung pada akurasi geometrik citra penyusunnya. Kesalahan yang umum terjadi dari penggunaan teknik mosaik terkontrol adalah munculnya ketidak selarasan (displacement) dari obyek – obyek yang sama pada bagian tepi citra atau pada bagian citra yang bertampalan (overlap). Hal ini diakibatkan citra yang dimosaik mempunyai akurasi yang tidak seragam, sehingga tidak tepat bertampalan. Untuk menghindari kesalahan tersebut, citra harus dipastikan mempunyai akurasi yang seragam dan berada dalam batas toleransi kesalahan yang dapat diterima satu sama lain. Sedangkan mosaik tidak terkontrol menggunakan pendekatan yang berkebalikan dengan mosaik terkontrol. Teknik ini menggunakan citra yang belum terkoreksi sebagai masukannya, sehingga proses mosaik dilakukan secara manual atau otomatis dengan menggunakan algoritma tertentu. Kelebihan dari teknik ini adalah adanya ketidak selarasan obyek dapat dihindari karena proses mosaik dilakukan secara manual. Namun demikian teknik ini bukan berarti tanpa kelemahan. Kelemahan dari teknik ini muncul ketika citra direktifikasi. Sebagai akibat dari mosaik citra yang kesalahan geometriknya belum dikoreksi, maka hasil mosaik citra akan mengakumulasikan kesalahan – kesalahan geometrik dari citra – citra penyusunnya, sehingga pada tahap koreksi geometrik biasanya tidak dapat diselesaikan dengan persamaan polynomial orde rendah (affine), melainkan menggunakan orde tinggi (lebih dari 3). Semakin tinggi orde yang digunakan, semakin banyak titik kontrol tanah yang dibutuhkan, dan persamaan akan menjadi semakin sensitif terhadap sebaran titik kontrol. Area yang tidak terdapat titik kontrol akan mempunyai kesalahan posisi yang besar.

Dalam pemetaan ini, metode mosaicking yang digunakan adalah pendekatan mosaik terkontrol. Untuk mengantisipasi adanya perbedaan posisi obyek antara satu citra dengan citra lain, dalam tahap koreksi geometrik akan dipastikan bahwa citra mempunyai akurasi yang seragam dan tidak ada perbedaan posisi obyek pada bagian – bagian yang bertampalan.

2.5 Diagram Alir Kegiatan

Dengan melihat pada uraian di atas, maka urutan pengerjaan kegiatan pembuatan citra tegak resolusi tinggi Lubuk Linggau adalah sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah.

Page 6: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

3 Hasil Pembuatan Citra Tegak

3.1 Orthorektifikasi

Proses orthorektifikasi dilakukan menggunakan informasi RPC dari masing – masing citra, DEM dari citra ASTER resolusi 15 meter untuk informasi ketinggian, dan dua puluhan GCP yang diambil dari hasil pengukuran GPS geodetik di lapangan. Berikut ini adalah Daftar GCP yang digunakan untuk mengorthorektifikasi ke empat citra.

Gambar 5.1 GCP Citra Quickbird Pankromatik dan Multispektral

Page 7: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

Gambar 5.2 GCP Citra WorldView-1 Pankromatik dan RapidEye

Dari masing – masing daftar GCP dapat dilihat bahwa RMSE untuk seluruh citra sudah dibawah 0.5 meter. Dengan RMSE dibawah 5 meter, diharapkan citra hasil orthorektifikasi dapat memenuhi syarat sebagai peta dasar untuk pemetaan skala 1 : 5000.

Page 8: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

Adapun sebaran GCP yang digunakan dapat dilihat dari peta di bawah ini.

Berikut ini adalah kenampakan citra hasil orthorektifikasi.

Gambar 6.1 Citra Quickbird Multispektral dan Pankromatik hasil orthorektifikasi.

Page 9: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

Gambar 6.2 Citra Quickbird WorldView 1 hasil orthorektifikasi.

Gambar 6.3 Citra RapidEye hasil orthorektifikasi.

3.2 Pan Sharpening

Proses pansharpening dilakukan dua kali. Yang pertama untuk adalah citra Quickbird multispektral difusikan dengan Quickbird Pankromatik. Dan yang kedua adalah citra RapidEye multispektral difusikan dengan citra WorldView 1 Pankromatik. Dari hasil percobaan dengan beberapa algoritma pan

Page 10: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

sharpening, algoritma terbaik untuk citra Quickbird adalah algoritma Gram-Scmidt. Sedangkan untuk RapidEye hasil terbaik ditunjukkan oleh algoritma Brovey.

Penentuan algoritma terbaik tidak semata – mata hanya berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan warna dan kedetilan spasial saja, tapi juga keterpaduan (blending) antara citra multispektral dan pankromatik. Untuk Citra Quckbird, hasil pan sharpening secara umum sudah cukup baik dan dapat dilihat di gambar 7.2. Sedangkan untuk Citra RapidEye, dikarenakan perbedaan resolusi spasial dan spectral yang berbeda, maka hasil yang diperoleh tidak sebaik pada citra Quickbird. Algoritma Gram-Schmidt dapat mempertahankan kualitas warna citra RapidEye, namun keterpaduannya kurang baik yang ditunjukkan dengan adanya kenampakan terkotak – kotak (blocky) di citra hasil pansharpening. Hal ini akan sangat menganggu nantinya dalam pemanfaatan citra untuk interpretasi penutup/penggunaan lahan. Sedangkan untuk algoritma Brovey, walaupun terdapat perubahan warna dari citra asli, namun keterpaduan citra multispektral dan pankromatiknya cukup baik, sehingga diputuskan hasil algoritma Brovey yang terbaik (gambar 7.1).

Gambar 7.1 Hasil Pansharpening Citra Rapid Eye dan WorldView 1

Page 11: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

Gambar 7.2 Hasil Pansharpening Citra Quickbird.

3.3 Mosaicking

Mosaicking dilakukan setelah pansharpening selesai. Metode mosaicking yang digunakan adalah mosaic terkontrol menggunakan software Global Mapper versi 14. Sebagai tambahan informasi untuk bagian citra yang tidak berpotongan/overlap, digunakan citra tambahan dengan resolusi spasial 2,5 meter. Hasil mosaic dapat dilihat pada gambar 8 di bawah.

Page 12: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

Gambar 8. Hasil Mosaicking

3.4 Tiling

Tiling merupakan pemecahan citra menjadi potongan yang lebih kecil. Tiling biasanya dilakukan apabila ukuran citra dirasa terlalu besar, sehingga menyulitkan dalam distribusi dan diseminasi. Proses tiling dalam kegiatan ini dilakukan untuk memecah citra menjadi potongan luasan sesuai dengan grid skala 1 : 5.000, yang mana tiap potongan nantinya akan dilakukan interpretasi visual untuk mengekstrak data yang diperlukan dalam penyusunan RDTR. Proses tiling dilakukan di software Global Mapper 14. Hasil tiling dapat dilihat pada gambar 9 di bawah.

Page 13: Summary of Final Report Lubuklinggau Orthoimagery Creation Project, 2012, BAPPEDA Lubuklinggau

Gambar 9. Hasil Tiling