pengaruh kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan...
TRANSCRIPT
1
PENDAHULUAN
Dewan komisaris mempunyai peran penting dalam pelaksanaan good
corporate governance (GCG). Peran ini semakin penting setelah terjadinya
beberapa white collar crime (Enron, Worldcom, dan sebagainya) yang melibatkan
pimpinan perusahaan pada jenjang tertinggi (Muntoro, 2011). Di Indonesia,
peningkatan kebutuhan akan GCG sangat terasa setelah terjadinya krisis
multidimensi sejak tahun 1997(Muntoro, 2011). Herwidayanto (2000) dalam
Muntoro (2011) mengatakan bahwa diduga salah satu penyebab terjadinya krisis
di Indonesia adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan terhadap direksi
perusahaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dewan komisaris .
Menurut Arifin (2005) kegagalan beberapa perusahaan dan timbulnya kasus
malpraktik keuangan akibat krisis tersebut adalah buruknya praktik good
corporate governance. Kasus PT Kimia Farma yang terbukti melakukan
pelanggaran mark up laba bersih yang overstated, yakni penggelembungan laba
bersih tahun 2001 sebesar Rp 32,668 miliar (Nisa, 2012). Selain itu, masih
banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan emiten di pasar modal
yang ditangani Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) yang menunjukkan
rendahnya mutu praktik GCG di negara kita (Arifin, 2005).
Bahkan, karena lemahnya peraturan pada waktu itu, misalnya karena tidak
adanya ketentuan mengenai harus adanya anggota komisaris independen, dewan
komisaris tidak saja kurang efektif dan kurang berdaya, melainkan juga turut
berperan dalam pengambilan keputusan yang tidak selalu memperhatikan
kepentingan perusahaan, pemegang saham (terutama pemegang saham minoritas),
dan pemangku kepentingan lainnya termasuk masyarakat luas (Muntoro, 2011).
Dalam hal ini tugas dewan komisaris sangat penting dalam mengawasi
kebijakan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan itu sendiri yang dilakukan oleh
pihak manajemen. Dewan komisaris juga dituntut untuk bisa memberikan nilai
pada perusahaan dan harus bisa memberikan manfaat kepada stakeholder.
Efektifitas peran dewan komisaris diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
2
lain kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan
frekuensi rapat dewan komisaris independen.
Kompetensi dewan komisaris perlu diperhatikan, walaupun tidak
mengharuskan seseorang untuk masuk dalam dunia bisnis tetapi akan lebih baih
baik jika dewan komisaris mempunyai kompetensi yang baik di bidang ekonomi.
Bray dan Howard serta Goland yang dikutip oleh Kusumastuti et al (2007)
menyatakan bahwa pendidikan universitas membantu seseorang dalam kemajuan
karirnya, di mana seseorang berpendidikan tinggi akan memiliki jenjang karir
lebih tinggi dan lebih cepat. Dengan ini, maka dewan komisaris bisa mengelola
bisnis dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan pengetahuan ekonomi
yang dimiliki yang nantinya bisa memberikan hasil yang maksimal untuk para
pemegang saham. Dechow et al (1996) dalam Wiwik et al (2007) menemukan
bahwa perusahaan yang memiliki persentase besar anggota non eksekutif pada
dewan komisaris tidak terlalu mendukung penyelenggaraan praktek akuntansi
seperti yang diselenggarakan SEC. Cadbury (1992) dalam Wiwik et al (2007)
mengatakan bahwa anggota dewan komisaris sangat penting bagi terciptanya
dewan komisaris yang efektif. Kompetensi dewan komisaris akan mempengaruhi
bagaimana nilai perusahaan tersebut di mata investor jika dibandingkan dengan
nilai bukunya.
Beasley (1996) dalam Machfoedd‟z (2006) menguji hubungan antara
proporsi dewan komisaris independen dengan kecurangan pelaporan keuangan.
Penelitian tersebut membandingkan perusahaan yang melakukan kecurangan
dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan, hasil penelitian
menemukan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki persentase
dewan komisaris eksternal yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak memiliki kecurangan. Dengan ini, peran dewan
komisaris dalam melaksanakan praktek corporate governance sangat berpengaruh
terhadap kinerja keuangan. Proporsi dewan komisaris juga menjadi hal yang
sangat penting, karena merupakan ujung tombak dalam melakukan praktek
corporate governance. Oleh karena itu dewan komisaris harus bersifat
independen, mempunyai integritas tinggi, dan harus lebih mementingkan
3
kepentingan perusahaan guna meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
Semakin baik independensi, maka akan membuat nilai perusahaan lebih baik di
mata investor dibandingkan dengan nilai buku perusahaan tersebut.
Frekuensi rapat dewan komisaris juga memiliki kontribusi dalam
pengawasan pelaporan keuangan. Lipton dan Lorsch (1992) dan Yatim et al
(2006) berpendapat bahwa dewan komisaris yang sering bertemu akan melakukan
kewajibannya dengan rajin dan tentunya bermanfaat bagi shareholders. Frekuensi
rapat dewan komisaris dapat digunakan sebagai wadah untuk mendapatkan semua
informasi mengenai perkembangan perusahaan yang bisa dijadikan bahan untuk
pengawasan internal perusahaan lebih lanjut.
Kusumastuti et al(2007) meneliti pengaruh board diversity terhadap nilai
perusahaan dalam perspektif corporate governance. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa persebaran anggota dewan (board diversity) mempengaruhi
nilai perusahaan yang diukur dengan rasio Tobin‟s Q. Nasser (2008) meneliti
pengaruh dewan komisaris independen terhadap nilai perusahaan dalam hal
manajemen laba, dimana penelitian ini membuktikan bahwa dewan komisaris
independen berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan.
Waryanto (2010) membuktikan bahwa independensi dan jumlah rapat dewan
komisaris secara bersama –sama mempengaruhi pengungkapan CSR hanya
sebesar 41,7%, sehingga dapat diartikan bahwa kedua karakteristik GCG tersebut
masih belum bisa meningkatkan mekanisme pengawasan dengan baik untuk
mendorong pengungkapan CSR secara luas.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba meneliti kembali
penelitian sebelumnya, khususnya penelitian Kusumastuti et al (2007), Nasser
(2008), dan Waryanto (2010). Dalam penelitian ini, corporate governance akan
lebih menekankan pada peran dewan komisaris, karena banyak penelitian
sebelumnya hanya berkonsentrasi pada bagian komite-komite yang membantu
dewan komisaris.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris pengaruh
kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan
frekuensi rapat dewan komisaris terhadap nilai perusahaan. Melihat kelengkapan
4
data dalam annual report yang dimiliki oleh industri manufaktur, maka penelitian
ini menggunakan sampel industri manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2010. Nilai perusahaan akan diukur dengan Tobin‟s Q.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bukti empiris
dalam memahami corporate governance, khususnya untuk peran dewan komisaris
dalam meningkatkan nilai perusahaan. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi dalam merekruitmen dewan komisaris dan lebih
memperhatikan intensitas rapat untuk menyampaikan informasi mengenai
perkembangan perusahaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada investor dalam pengambilan keputusan investasi.
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Corporate Governance
FCGI (2002) dalam Wahyudi (2010) mendefinisikan Good corporate
governance atau tata kelola perusahaan adalah seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola), perusahaan,
pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Dalam hal
ini corporate governance merupakan sistem yang mengatur kinerja dan
pertanggungjawaban pihak manajemen terhadap dewan komisaris karena
keduanya terpisah. Good corporate governance juga mengawasi adanya praktek
manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen yang nantinya akan
mempengaruhi nilai perusahaan.
Organ perusahaan, yang terdiri dari Rapat Umum Peemegang Saham
(RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi, mempunyai peran penting dalam
melaksanakan CGC secara efektif. Organ perusahaan harus menjalankan
fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-
masing organ mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
5
tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan (KNKG, 2006).
Dewan komisaris merupakan bagian internal dalam corporate governance, karena
dalam hal ini dewan komisaris merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan
corporate governance.
Setyawati (2011) mengatakan bahwa dewan komisaris adalah sebuah dewan
yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada
direktur Perseroan Terbatas (PT). Di Indonesia Dewan Komisaris ditunjuk oleh
RUPS dan di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dijabarkan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab dari dewan komisaris.
Tugas dan wewenang dewan komisaris :
1. Melakukan pengawasan atas jalannya usaha PT dan
memberikan nasihat kepada direktur.
2. Dalam melakukan tugas, dewan direksi berdasarkan kepada
kepentingan PT dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT.
3. Kewenangan khusus dewan komisaris, bahwa dewan
komisaris dapat diamanatkan dalam anggaran dasar untuk
melaksanakan tugas-tugas tertentu direktur, apabila direktur
berhalangan atau dalam keadaan tertentu.
Menurut KNKG (2006) dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang
bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan
dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan
melaksanakan good corporate governance. Namun demikian, dewan komisaris
tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan opersaional. Kedudukan
masing-masing anggota dewan komisaris adalah setara. Tugas komisaris utama
sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris.
Fungsi dewan komisaris menurut KNKG (2006), sebagai berikut :
1. Dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil
keputusan operasional
2. Untuk hal yang diperlukan perusahaan, dewan komisaris
dapat memberikan sangsi pemberhentian sementara kepada anggota
6
direksi, dengan ketentuan harus segera ditindaklanjuti dengan
penyelenggaraan RUPS.
3. Dalam hal terjadi kekosongan dalam direksi atau dalam
keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan dan anggaran dasar, untuk sementara dewan komisaris dapat
melaksanakan fungsi direksi.
4. Dalam rangka melaksanakan fungsinya, anggota dewan
komisaris baik secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri berhak
mempunyai akses dan memperoleh informasi tentang perusahaan
secara tepat waktu dan lengkap.
5. Dewan komisaris harus memiliki tata tertib dan pedoman
kerja (charter) sehingga pelaksanaan tugasnya dapat terarah dan efektif
serta dapat digunakan sebagai salah satu alat penilaian kinerja mereka.
6. Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas,
menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas
pengelolaan perusahaan oleh direksi, dalam rangka memperoleh
pembebasan dan pelunasan tanggung jawab (acquit et decharge).
7. Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris harus
membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada dewan
komisaris untuk memperoleh keputusan.
Nilai Perusahaan
Samuel (2000) dalam Wahyudi (2010) menjelaskan bahwa enterprise value
(EV) atau dikenal juga dengan firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep
penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan
secara keseluruhan. Nilai perusahaan salah satunya dapat diukur dengan Tobin‟s
Q. Nilai Tobin‟s Q yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa perusahaan dinilai
oleh investor lebih rendah dari nilai aset yang dimiliki. Jika nilai Tobin‟s Q lebih
dari 1, maka perusahaan dinilai lebih tinggi dari nilai aset yang dimiliki. Hal ini
7
terlihat dari meningkatnya harga saham perusahaan di pasar modal sehingga
meningkatkan nilai perusahaan (Supatmi et al, 2010).
Perumusan Hipotesis
Kompetensi dewan komisaris
Wiwik et al (2007) mengatakan bahwa kompetensi yang dibutuhkan oleh
dewan komisaris dalam melaksanakan peran monitoring-nya adalah pengetahuan
mengenai bidang usaha perusahaan dan pemahaman mengenai proses corporate
governance. Nurdin (2004) dalam Kusumastuti et al (2005) menyebutkan
penelitian dari Harvard University di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa
kesuksesan semata-mata tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang
lain (soft skill).
Komisaris yang memiliki kompetensi di bidang ekonomi dan bisnis lebih
baik dalam mengelola perusahaan dibandingkan dengan komisaris yang tidak
memiliki kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis. Dalam hal ini, dengan
banyaknya anggota dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang
ekonomi dan bisnis (latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja
sebelumnya), maka keputusan yang nantinya diambil untuk perusahaan akan lebih
baik karena dikelola oleh dewan komisaris yang paham di bidang ekonomi dan
bisnis untuk memperketat pengawasan terhadap dewan direksi. Pengawasan yang
ketat dapat menciptakan kinerja direksi menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga
kinerja keuangan perusahaan akan semakin meningkat. Oleh karena itu dengan
meningkatnya kinerja keuangan perusahaan, maka investor akan merespon baik
perusahaan dengan cara menghargai nilai saham perusahaan lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai buku perusahaan.
Kusumastuti et al (2007) menliti pengaruh board diversity terhadap nilai
perusahaan dalam perspektif corporate governance. Hasil penelitian ini
8
membuktikan bahwa latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis tidak
berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Wiwik et al (2007) menemukan bahwa
kompetensi dan independensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
pelaksanaan good corporate governance. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik
hipotesis:
H1 : Kompetensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap probabilitas
perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor.
Proporsi Dewan Komisaris Independen
Meskipun pedoman corporate governance tidak menentukan jumlah
komisaris independen, dalam peraturan Bapepam LK Nomor IX. I. 5 tentang
pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit, emiten atau
perusahaan publik wajib memiliki sekurang-kurangnya satu orang komisaris
independen sedangkan Bursa Efek Indonesia mewajibkan sekurang-kurangnya
30% dari dewan komisaris adalah dewan komisaris independen. Kriteria
komisaris independen secara rinci diatur dalam Bapepam-LK, yaitu (Bapepam
LK, 2010) :
a. Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
b. Tidak mempunyai saham emiten atau perusahaan publik baik langsung
maupun tidak langsung.
c. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan komisaris, direksi dan
pemegang saham utama emitmen atau perusahaan publik.
d. Tidak mempunyai hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan
publik baik langsung maupun tidak langsung.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barnhart & Rosenstein (1998) dalam
Nasser (2008) membuktikan bahwa semakin tinggi perwakilan dari outside
director (komisaris independen) maka semakin tinggi independensi dan
efektifitas corporate board. Oleh karena itu pengawasan akan semakin objektif
dan direksi tidak bisa melakukan tindak kecurangan, dengan tindak kecurangan
direksi yang semakin kecil maka investor akan merespon dengan baik kinerja
9
perusahaan dengan menghargai nilai saham perusahaan lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai buku perusahaan.
Dewan komisaris bertugas sebagai pengawas manajemen dalam
pelaksanaan corporate governance. Oleh karena itu peran dewan komisaris
independen sangat dibutuhkan untuk melakukan pengawasan kebijakan
perusahaan secara objektif. Semakin banyak proporsi dewan komisaris
independen, maka akan semakin kecil kemungkinan direksi melakukan
kecurangan. Rendahnya tingkat kecurangan yang dilakukan dewan direksi akan
meningkatkan kinerja keuangan perusahaan dan dengan meningkatnya kinerja
keuangan, maka investor akan menilai lebih tinggi nilai saham perusahaan
dibandingkan dengan nilai buku perusahaan.
Hasil penelitian Nasser (2008) membuktikan bahwa dewan komisaris
independen memiliki pengaruh negative dan signifikan terhadap manajemen laba.
Sehingga dengan implikasi ini dewan komisaris independen mempunyai peran
dalam meningkatkan nilai perusahaan dengan cara mengurangi praktek
manajemen laba. Berdasarkan hipotesis diatas, dapat ditarik hipotesis:
H2 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap
probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor.
Frekuensi Rapat Dewan komisaris
Bapepam-LK juga mewajibkan emiten dan perusahaan publik untuk
mengungkapkan pelaksanaan tata kelola perusahaan dalam laporan tahunan
seperti frekuensi rapat dewan komisaris dan direksi, frekuensi kehadiran anggota
dewan komisaris dan direksi dalam rapat tersebut, frekuensi rapat dan kehadiran
komite audit, pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban dewan komisaris dan
direksi serta remunerasi dewan komisaris dan direksi (Bapepam-LK, 2010).
Penelitian Xie at.al (2003) dalam Waryanto (2010) menemukan bahwa
semakin sering dewan komisaris bertemu atau mengadakan rapat, maka akrual
kelolaan perusahaan semakin kecil. Hal ini berarti semakin sering dewan
komisaris mengadakan rapat, maka fungsi pengawasan terhadap manajemen
menjadi semakin efektif.
10
Rapat dewan komisaris merupakan suatau proses yang ditempuh oleh dewan
komisaris dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan perusahaan. Rapat
dewan komisaris juga merupakan media komunikasi antar anggota dewan
komisaris dalam mengawasi kinerja manajemen dalam tata kelola perusahaan,
yang nantinya akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Semakin banyak
frekuensi rapat dewan komisaris, semakin banyak dan cepat juga dewan komisaris
menrima informasi mengenai perkembangan perusahaan. Frekuensi rapat yang
semakin banyak membuat dewan direksi akan semakin ketat dalam pengawasan.
Oleh karena dewan direksi akan bekerja lebih efektif dan sesuai dengan kebijakan
perusahaan yang akan menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang baik dan
sehat. Kinerja keuangan perusahaan yang baik akan mendapat respon baik dari
para investor dengan menilai lebih tinggi nilai saham perusahaan dibandingkan
dengan nilai buku perusahaan.
Putri (2009) dalam Waryanto (2010) menemukan bahwa jumlah pertemuan
komite audit sebagai bagian dari dewan komisaris perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap pengungkapan informasi laba perusahaan. Berdasarkan uraian
diatas, dapat ditarik hipotesis :
H3 : Frekuensi rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap probabilitas
perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor
METODE PENELTIAN
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010. Sampel penelitian ini diambil
menggunakan metode purposive sampling berdasarkan kriteria:
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun
2010.
2. Perusahaan manufaktur yang menerbitkan annual report tahun 2010
11
3. Memiliki kelengkapan data penelitian.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan yaitu jenis data sekunder berupa laporan tahunan
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010
yang diambil dari situs resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.go.id).
Pengukuran Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel dependen nilai perusahaan yang diukur
dengan Tobins‟Q. Nilai perusahaan diukur menggunakan Tobins‟Q karena untuk
menilai respon pasar terhadap kinerja perusahaan. Tobins‟Q adalah perbandingan
antara market value of equity ditambah debt dengan book market value ditambah
dengan hutang (Susanti, 2010), dengan rumus sebagai berikut :
DBVE
DMVEsQTobin'
Keterangan :
Tobin‟s Q = Nilai Perusahaan
MVE = Nilai Equitas Pasar (Equity Market Value)
D = Nilai Buku dari Total Hutang
BVE = Nilai Buku dari Ekuitas ( Equity Book Value)
Tobins‟Q dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu skor (1) ; untuk
perusahaan yang memiliki nilai Tobins‟Q >1 dan Kode (0) ; untuk perusahaan
yang memiliki nilai Tobins‟ Q ≤ 1 (Susanti, 2010).
Variabel independen dalam penelitian ini ada 3, antara lain proporsi dewan
komisaris yang berlatar pendidikan ekonomi dan bisnis, proporsi dewan komisaris
12
independen, dan frekuensi rapat dewan komisaris. Berikut pengukuran untuk
variabel penelitian tersebut :
1. Kompetensi dewan komisaris , diukur dengan menggunakan jumlah
dewan komisaris yang berlatar belakang pendidikan dan atau mempunyai
pengalaman kerja ekonomi dan bisnis terhadap total dewan komisaris
(Anggarini, 2010).
2. Proporsi dewan komisaris indpenden, diukur dengan presentase dewan
komisaris eksternal terhadap total jumlah dewan komisaris (Antonia,
2008).
3. Frekuensi rapat dewan komisaris, diukur dengan jumlah rapat yang
diadakan dewan komisaris selama 1 tahun. (Waryanto, 2010)
Variabel kontrol dalam penelitian ini menggunan ukuran perusahaan yang
diproksi dalam log total aset (Waryanto, 2010). Semakin besar ukuran
perusahaan, maka tanggung jawab direksi akan semakin besar. Besarnya
tanggung jawab direksi akan diikuti dengan semakin ketatnya pengawasan
terhadap kinerja direksi yang akan menuntut direksi untuk bekerja lebih
efektif dan efisien. Meningkatnya efektifitas dan efisien kinerja dewan
direksi akan menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang baik.
Kinerja keuangan perusahaan yang baik dapat mengundang respon baik
dari investor dengan cara memberikan nilai saham yang nilai saham yang
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai buku perusahaan.
Teknik dan Langkah-langkah Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian ini menggunakan regresi linier logistik.
Langkah-langkah analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Statistik deskriptif data
Analisis deskriptif adalah penggambaran tentang statistik data seperti nilai
maksimum, nilai minimum, mean serta standar deviasi(Ghozali,2006: 19).
13
2. Pengujian Goodnes of Fit
Dilakukan dengan uji hosmer and lemeshow‟s goodness of fit test
dengan kriteria: H0 diterima, maka Ha ditolak jika signifikansi > 0,05
berarti tidak ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai
observasinya. uji goodness of fit untuk menunjukkan kesesuaian antara
empiris dengan model (Ghozali,2006).
3. Uji Hipotesis
Uji regresi logistik dilakukan untuk menguji apakah probabilitas
terjadinya variabel terikat dapat dipredikai dengan variabel bebasnya
(Ghozali, 2006)
LTAFREKIDPNKDKaY 4321
Dimana:
Y = Nilai perusahaan
a = Konstanta
β = Koefisien regresi
KDK = Kompetensi dewan komisaris
IDPN = Proporsi dewan komisaris independen
FREK = Frekuensi rapat dewan komisaris
LTA = Ukuran perusahaan
ε = Error
Hipotesis statistik adalah sebagai berikut :
Ho : βi = 0
Ha : βi ≠ 0
14
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Setelah melalui proses seleksi kelengkapan data pada sampel penelitian dari
113 sampel data perusahaan manufaktur, maka penelitian ini hanya menggunakan
85 sampel data perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
tahun 2010. Seleksi ini dilakukan karena kurang lengkapnya data utnuk variabel
independen. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan membandingkan nilai
minimum, nilai maksimum, dan rata-rata dari sampel. Analisis statistik deskriptif
menggunakan variabel independen kompetensi dewan komisaris (KDK), proporsi
dewan komisaris independen (IDPN), dan frekuensi rapat dewan komisaris
(FREK). Variabel dependen yang digunakan adalah nilai perusahaan (TOBINS)
dan variabel kontrol yang digunakan adalah Log Total aset (LTA).
Tabel 1. Statistik Deskriptif
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KDK 85 .00 1.00 .4696 .25954
IDPN 85 .00 1.00 .4056 .13420
FREK 85 1.00 42.00 6.3529 6.78532
LTA 85 22.30 32.27 27.9940 1.59323
Valid N (listwise) 85
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
Statistik frekuensi
15
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
Rata-rata dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi
dan bisnis dalam sampel perusahaan sebesar 46,96% . Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi
dan bisnis yang memimpin perusahaan hampir mencapai 50% atau hampir
setengah dari seluruh jumlah anggota dewan komisaris yang ada dalam suatu
perusahaan. Namun ada juga perusahaan yang tidak memiliki dewan komisaris
berkompeten dibidang ekonomi dan bisnis yang ditunjukkan dengan nilai
minimum 0% (ada 9 perusahaan) dan ada juga perusahaan yang seluruh dewan
komisarisnya berkompeten dibidang ekonomi dan bisnis yang ditunjukkan dengan
nilai maximum 100% (6 perusahaan).
Hasil olah data statistik deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata proporsi
dewan komisaris independen (IDPN) dari sampel perusahaan manufaktur yang
diamati adalah 40,56%, dimana menurut peraturan Bursa Efek Indonesia, untuk
perusahaan yang listing BEI harus memiliki komisaris independen sekurang-
kurangnya 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Dari data diatas dapat
disimpulkan bahwa sampel perusahaan manufaktur yang terdafdar di Bursa Efek
Indonesia pada tahun 2010 tergolong baik karena sudah memenuhi syarat
minimal. Disamping itu masih ada perusahaan yang tidak mempunyai dewan
komisaris independen seperti PT Sunson Textile Manufacture Tbk (SSTM) dan
hanya satu perusahaan yang seluruh dewan komisarisnya adalah dewan komisaris
independen yaitu PT Arwana Citramulia Tbk.
Dari hasil uji statistik deskriptif menunjukkan rata-rata frekuensi rapat
dewan komisaris yang dilakukan dewan komisaris perusahaan manufaktur di
Indonesia sebanyak 6,3529 atau 6 kali dalam setahun, yang artinya dewan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0 41 48.2 48.2 48.2
1 44 51.8 51.8 100.0
Total 85 100.0 100.0
16
komisaris secara rata-rata mengadakan rapat setiap 2 bulan dalam setahun. Ada 5
perusahaan mengadakan rapat minimal 1 kali dalam setahun dan ada perusahaan
yang mengadakan rapat maximal 42 kali dalam setahun yaitu PT Alumindo dan
PT Indal Aluminium Industry Tbk. Apabila perusahaan mengadakan rapat
sebanyak 42 kali, dapat dikatan hampir setiap 2 minggu dalam setahun
perusasahaan mengadakan rapat dewan komisaris.
Nilai rata-rata ukuran perusahaan (total asset) sebesar 27,9940 dengan
standard deviasi sebesar 1,59323.
Hasil pengujian statistik deskriptif menemukan bahwa sampel perusahaan
manufaktur tahun 2010 didominasi oleh perusahaan yang memiliki nilai Tobins
„Q > 1 dengan prosentase 51.80 %. Artinya sampel dalam penelitian ini di
dominasi oleh perusahaan yang nilai sahamnya dihargai oleh investor lebih tinggi
dibandingkan nilai buku perusahaan, dengan prosentase jumlah perusahaan
sebesar 51.80%.
Tabel 2. Uji goodness of fit
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 110.465a .082 .109
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
a. Estimation terminated at iteration number 4 because
parameter estimates changed by less than .001.
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
Dari data diatas nilai Cox dan Snell R square dapat juga digunakan untuk
menilai model fit. Hasil output SPSS diatas memberikan nilai Cox dan Snell R
17
Square sebesar 0,082 dan nilai Ngelkerke R Square sebesar 0,109. Arti dari output
diatas adalah variabilitas Tobins „Q yang dapat dijelaskan oleh variabilitas
kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen , dan
frekuensi rapat dewan komisaris sebesar 10.9% , sedangkan 89.1% dapat
dijelaskan oleh factor lain.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 4.149 7 .762
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
Uji goodness of fit menemukan nulai signifikansi sebsesar 0.762 atau berada
diatas 0.05. Data diatas dapat menyimpulkan bahwa model peneletian dapat
diterima atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara model penelitian
dengan data (Ghozali, 2006).
Tabel 3. Hasil uji regresi logistik
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a KDK 1.853 .919 4.064 1 .044 6.378
IDPN -1.280 1.721 .553 1 .457 .278
FREK .007 .033 .040 1 .841 1.007
LTA .282 .153 3.389 1 .066 1.325
Constant -8.201 4.372 3.518 1 .061 .000
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
a. Variable(s) entered on step 1: KDK, IDPN, FREK, LTA.
Hasil diatas menunjukkan bahwa kompetensi dewan komisaris (KDK)
berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi
oleh investor (TOBINS) karena nilai signifikansi dari variabel tersebut < 0,05.
18
Artinya apabila dalam sebuah perusahaan dipimpin oleh banyak dewan komisaris
yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis, maka probabilitas
perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor akan semakin tinggi.
Kompetensi disini tidak hanya dilihat dari latar belakang pendidikan saja, tetapi
juga melihat pengalaman pekerjaan dewan komisaris sebelumnya dalam bidang
ekonomi dan bisnis. Dewan komisaris yang berkompeten dapat
mempertimbangkan keputusan berdasarkan pengalaman, sehingga dapat lebih
berhati-hati dalam mengambil keputusan yang bertujuan untuk memperketat
pengawasan terhadap kinerja dewan direksi untuk menghasilkan kinerja keuangan
yang baik. Kinerja keuangan yang baik dapat menciptakan output yang baik yaitu
laporan keuangan yang sehat yang dapat mengundang respon baik dari para
investor dalam bentuk nilai saham yang bisa lebih tinggi dibandingkan dengan
jilai buku perusahaan. Cadbury et al (1993) dalam Wiwik et al (2007)
mengatakan bahwa faktor pengalaman lebih penting sebagai unsur kompetensi
bagi dewan komisaris. Dewan komisaris yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan di bidang ekonomi atau keuangan dapat melakukan pengendalian
secara efektif, sehingga dapat mengurangi kecurangan dalam pelaporan keuangan.
Wiwik et al (2007) menemukan bahwa kompetensi dewan komisaris berpengaruh
positif terhadap pelaksanaan good corporate governance. Namun hasil penelitian
ini bertentangan dengan dengan Kusumastuti et al (2007) membuktikan bahwa
latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis tidak berpengaruh terhadap nilai
perusahaan
Variabel independen proporsi dewan komisaris independen (IDPN)
berpengaruh negative terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi
oleh investor (TOBINS). Nilai siginifikan variabel komisaris independen 0,457
atau > 0,05. Artinya dewan komisaris independen kurang objektif dalam
melakukan pengawasn terhadap dewan direksi, sehingga kinerja dewan direksi
kurang begitu efektif dan efisien yang akhirnya berdampak kepada menurunnya
kinerja keuangan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang
memiliki dewan komisaris independen hanya untuk memnuhi syarat minimal
jumlah dewan komisaris independen yang ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia,
sehingga membuat kinerja perusahaan tidak efektif dan akan sulit mendapat
19
respon baik dari investor untuk menilai lebih tinggi nilai saham perusahaan
dibandingkan dengan nilai buku perusahaan . Klein (1998), Bhagat dan Black
(1997,1998) dalam juwitasari (2008) menemukan bahwa proporsi independent
non-executive directors tidak memiliki efek yang konsisten terhadap market-
adjusted share-price performance.
Frekuensi rapat dewan komisaris (FREK) tidak berpengaruh terhadap nilai
perusahaan (TOBINS)., karena nilai signifikansi sebsesar 0,841 atau dengan kata
lain < 0,05. Sehingga dengan hsail tersebut dapat dikatakan bahwa frekuensi rapat
dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap probabilitas perusahaan
untuk dinilai lebih tinggi oleh investor. Frekuensi rapat dilakukan hanya sebagai
formalitas dan tidak membahas detail, sehingga rapat tidak efektif dalam
membahas perkembangan perusahaan atau informasi-informasi terbaru mengenai
perusahaan. Sehingga pengawasan dan pengambilan keputusan tidak berjalan
dengan baik yang akan menghasilkan besarnya tingkat kecurangan dewan direksi.
Hal ini akan menyulitkan investor untuk menilai saham perusahaan lebih tinggi
disbanding dengan nilai buku perusahaan. Oleh karena itu semakin besar aktivitas
yang dilakukan oleh dewan komisaris tidak menjamin terjadinya peningkatan
kinerja perusahaan (Juwitasari, 2008).
Hasil olah data SPSS diatas menemukan nilai ukuran perusahaan atau log
total asset (LTA) terhadap nilai perusahaan (TOBINS) sebsesar 0,282, dengan
tingkat signifikansi 0,066 atau <0,05. Dari hasil pengujian regresi logistik, dapat
dijelaskan bahwa total asset (LTA) berpengaruh positif terhadap nilai
perusasahaan (TOBINS). Tanda positif yang sudah menjelaskan adanya pengaruh
antara total asset terhadap nilai perusahaan.semakin besar ukuran perusahaan,
maka semakin tinggi juga probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh
investor Meskipun mempunyai hubungan positif, tetapi total asset tidak
mempunyai hubungan yang signifikan atau dapat diartikan bahwa total asset tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan. Dalam hal ini total asset
tidak mempengaruhi nilai perusahaan di mata investor karena walaupun
perusahaan mempunyai nilai buku aset yang tinggi, bukan berarti perusahaan
tersebut akan mempunyai nilai pasar saham yang tinggi. Indriani (2005) dalam
20
Juwitasari (2008) mengindikasikan bahwa ukuran perusahaan bukan menjadi
variabel yang langsung mempengaruhi nilai perusahaan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian analisa data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kompetensi
dewan komisaris berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk
dinilai lebih tinggi oleh investor, sedangkan proporsi dewan komisaris independen
dan frekuensi rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap probabilitas
perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh perusahaan.
Implikasi teori
Berdasarkan kesimpulan diatas, belum konsisten karena penelitian ini
bertentangan dengan penelitian sebelumnya yaitu Kusumastuti et al (2007) yang
membuktikan bahwa dewan komisaris yang berlatar belakang pendidikan
ekonomi dan bisnis tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Implikasi terapan
Berdasarkan kesimpulan maka penulis menyarankan untuk perusahaan dan
investor yaitu:
1. Perusahaan bisa memperhatikan proses rekruitmen dengan
mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan atau pengalaman kerja
dibidang ekonomi dan bisnis, sehingga dapat memberi kontribusi yang
baik terhadap kinerja keuangan perusahaan.
2. Perusahaan bisa lebih memperhatikan isi dan intensitas rapat dewan
komisaris dalam menyampaikan informasi mengenai perkembangan
perusahaan.
3. Sebelum mengambil keputusan investasi, investor dapat memperhatikan
perusahaan dengan melihat kompetensi dewan komisaris dan kinerja
keuangan perusahaan.
21
Keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian berikutnya
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain :
1. Tobins‟Q dikelompokkan menjadi 2 yaitu perusahaan yang mempunyai
nilai Tobins‟Q > 1 dan nilai Tobins „Q ≤1 dijelaskan 3 variabel saja.
Tobins‟Q hanya dapat menilai respon pasar. Tobins‟Q tidak dapat
menjelaskan dampak bagi perusahaan dari hasil nilai Tobins‟Q tesebut jika
diukur secara rasio, sehingga kemungkinan hasil penelitian akan berbeda.
2. Periode penelitian yang dilakukan hanya 1 periode yaitu tahun 2010
Saran untuk penelitian berikutnya yaitu :
1. Penelitian berikutnya disarankan menambahkan variabel control yaitu
ROE, ROA, atau profitabilitas.
2. Untuk lebih dapat menjelaskan variabel dependen, penelitian berikutnya
disarankan menambahkan variabel independen seperti nilai remunerasi
yang dibayarkan kepada dewan komisaris dan lamanya waktu yang sudah
dilalui oleh dewan komisaris dalam menempuh pendidikan dan atau
pengalaman kerja sebelumnya dibidang ekonomi dan bisnis.
3. Penelitian berikutnya disarankan menggunakan kinerja keuangan
perusahaan sebagai variabel perantara.
22
DAFTAR PUSTAKA
Andriani wiwik, Sukartini, dan Reno Fithri Meuthia, “Pengaruh Kompetensi dan
Independensi Dewan Komisaris Terhadap Pelaksanaan Good Corporate
Governance”, Jurnal Akuntansi dan Manajemen Vol 2 No. 2 Desember
2007.
Anggarini, Vota, 2010, Pengaruh Karakteristik Komite Audit Terhadap Financial
Distress. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Antonia, Edgina ,2008, Analisis Pengaruh Reputasi Auditor, Proporsi Dewan
Komisaris, Leverage, Kepemilikan Manajerial, dan Proporsi Komite Audit
Independen Terhadap Manajemen Laba. Tesis Program S2 Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro.
Arifin, 2005, "Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate
Governance Pada Perusahaan Di Indonesia ", Journal of Accounting and
Economics, 29.
Dyah, Putri, 2010, Pengaruh Struktur Governance Terhadap Fee Audit
Eksternal.Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam, 2006, Analisis Multivariate Lanjutan Dengan Program SPSS,
Semarang
Kementerian Keuangan RI Bapepam-LK, 2010, Kajian Tentang Pedoman Good
Corporate Governance Di Negara-Negara Anggota ACMF .
Komite Nasional Kebijakan Governance, 2010, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia.
Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra, 2007, “Pengaruh Board Diversity Terhadap
Nilai Perusahaan Dalam Perspektif Corporate Governance”, Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, Vol 9, No. 2, Nopember 2007:88-98.
Machfoedz, M. dan Sillagan, H., 2006, “ Mekanisme Corporate Governance,
Kualitas Laba, dan Nilai Perusahaan”, Simposium Naional Akuntansi 9
Padang.
Muntoro, Ronny, 2011, “Membangun Dewan Komisaris Yang Efektif “.
23
Nasser, Etty, 2008, “Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Dewan Komisaris
Independen Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Manajemen Laba dan
Kebijakan Hutang Sebagai Variabel Intervening”, Media Riset Akuntansi,
Auditing dan Informasi, Vol.8, No. 1, April 2008: 1-27.
Riyanto, Ganang, 2011, Analisis Pengaruh Mekanis Good Corporate Governance
dan Privatisasi Terhadap Kinerja Keuangan. Skripsi Program S1 Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro.
Sabila, Nisa, 2012, Pengaruh Kualitas Corporate Governance Terhadap Kinerja
Perusahaan Peserta Corporate Governance Perception Index (CGPI). Artikel
Ilmiah Program S1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas.
Setyawati, Novita, 2011, Analisis Pengaruh Board Of Directors, Board Of
Commisioners, dan Komisaris Independen Terhadap Profitabilitas Industri
Asuransi Yang Go Public Periode 2005-2009. Skripsi Program S1 Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
Supatmi, A.A.T. Pratiwi, dan R. Prabowo, 2010, ”Asosiasi Related Party
Transation dan KinerjaPerusahaan (studi pada lembaga keuangan yang
terdaftar di BEI 6tahun 2008)”, Proceeding : Seminar Akbar Forum
Manajemen Indonesia, Surabaya.
Susanti, Rika, 2010, Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Nilai
Perusahaan. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Wahyudi, Johan, 2010, Pengaruh Pengungkapan Good Corporate Governance,
Ukuran Dewan Komisaris, dan Cross-Directorship Dewan Terhadap Nilai
Perusahaan. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Waryanto, 2010, Pengaruh Karakteristik Good Corporate Governance Terhadap
Pengungkapan Corporate Social Responsibility Di Indonesia. Skripsi
Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.