pengaruh jenis dan konsentrasi antibiotik … · pelaksanaan penelitian. 2. dr. ir. agus purwito,...

50
PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIBIOTIK TERHADAP KONTAMINASI DAN PERKEMBANGAN EKSPLAN Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di Oleh Cantika A34302057 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: vodiep

Post on 13-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIBIOTIK

TERHADAP KONTAMINASI DAN PERKEMBANGAN

EKSPLAN Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di

Oleh

Cantika

A34302057

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIBIOTIK

TERHADAP KONTAMINASI DAN PERKEMBANGAN

EKSPLAN Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di

Skripsi sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Cantika

A34302057

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

RINGKASAN

CANTIKA. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Antibiotik Terhadap Kontaminasi dan Perkembangan Eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di. (Dibimbing oleh SYARIFAH IIS AISYAH dan DINY DINARTI)

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis antibiotik dalam

beberapa konsentrasi terhadap kontaminasi bakteri, toksisitasnya terhadap

jaringan dan perkembangan eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Benih Leuwi Kopo dan Laboratorium

Kultur jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan

Januari – Juni 2006.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Lingkungan Acak

Kelompok yang disusun secara faktorial terdiri dari dua faktor. Faktor pertama

adalah jenis antibiotik yang terdiri dari cefotaxime, ceftriaxone dan

chlorampenicol. Faktor kedua adalah konsentrasi antibiotik yaitu 500 mg/l dan

1000 mg/l. Jenis antibio tik memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh peubah

sedangkan konsentrasi hanya memiliki pengaruh yang nyata pada peubah

kontaminasi bakteri. Interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik hanya terjadi

pada eksplan berinisiasi.

Antibiotik chlorampenicol nyata menekan kontaminasi bakteri pada 6, 9

dan 12 MSP dan konsentrasi 1000 mg/l nyata menekan kontaminasi bakteri pada

6 dan 9 MSP. Kematian eksplan akibat toksisitas antibiotik hanya terjadi pada

perlakuan chlorampenicol. Persentase eksplan berinisiasi pada perlakuan

cefotaxime nyata memiliki nilai terbesar pada 3 MSP. Interaksi perlakuan

cefotaxime 1000 mg/l nyata memiliki nilai persentase eksplan berinisiasi terbesar

pada 3 MSP. Persentase eksplan bertunas pada perlakuan cefotaxime nyata

memiliki nilai terbesar pada 6 MSP.

Jenis bakteri yang menyebabkan kontaminasi eksplan terdiri dari 4 jenis

yaitu Pseudomonas sp., Planococcus citreus, Pseudomonas putida dan Kurthia

Gibsonii. Ke empat jenis bakteri ini berpotensi untuk hidup dalam media tanam

atau tanah. Bakteri Pseudomonas sp. merupakan bakteri utama yang

menyebabkan kontaminasi eksplan karena 61.74% dari eksplan yang ditanam

terkontaminasi bakteri ini.

Judul : PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIBIOTIK

TERHADAP KONTAMINASI DAN PERKEMBANGAN

EKSPLAN Heliconia psittacorum L. f. cv. Lady Di

Nama : Cantika

NRP : A34302057

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MSc.Agr. Ir Diny Dinarti, MSi.

NIP: 131 956 695 NIP: 131 999 963

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr.

NIP: 130 422 698

Tanggal lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Juli 1984. Penulis adalah anak

dari Bapak Lalu Sukarno dan Ibu Evi Nursanti.

Tahun 1996 penulis lulus dari SD Negeri Polisi V Bogor, kemudian pada

tahun 1999 penulis menyelesaikan studi di SMP Negeri 1 Bogor. Selanjutnya

penulis lulus dari SMU Negeri 1 Bogor pada tahun 2002.

Tahun 2002 penulis diterima di IPB melalui ujian Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Hortikultura,

Departemen Budi daya Pertanian yang sekarang berubah nama menjadi

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di Himpunan Profesi

Departemen Budidaya Pertanian (HIMAGRON) tahun kepengurusan 2003/2004.

Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Hortikultura dan mata kuliah

Kultur Jaringan dan Benih Artifisial untuk Program Diploma 3 pada tahun 2006.

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi

kekuatan dan hidayah-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian mengenai penggunaan antibiotik ini terdorong oleh keinginan

mengatasi kontaminasi bakteri pada kultur jaringan heliconia.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Benih Leuwi Kopo dan

Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut

Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian

Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSc.Agr dan Ir. Diny Dinarti, MSi selaku

dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam

pelaksanaan penelitian.

2. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc sebagai dosen penguji.

3. Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. Selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam

pelaksanaan studi di IPB.

4. Ibu Elly, Ibu Cicih dan seluruh staf Leuwi kopo yang telah membantu

dalam pelaksanaan penelitian.

5. Keluarga tercinta Ayah, Ibu, Aa, Dede, Teh Opie dan Lala atas doa dan

dukungannya dalam pelaksanaan penelitian.

6. Helmi yang selalu memberikan semangat dan dukungan, teman-teman

Lab. Kuljar, Iis, Urip, Yogo, Ray, Nono, Mba Tami, Mba Niken, Mba

Nila, Mba Iin dan Bu Acih.

7. Teman-teman yang memberi semangat, Ido, Kiki, Ade, Memel, Nisa,

Asep, keluarga Pondew dan seluruh rekan-rekan Hortikultura 39.

8. Teman-teman Hortikultura 38, PMT-TB 39 dan Agronomi 39.

Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, September 2006

Penulis

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 Tujuan..................................................................................................... 2 Hipotesis ................................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3 Botani ..................................................................................................... 3 Syarat Tumbuh ....................................................................................... 4 Teknik Kultur Jaringan........................................................................... 5

Lingkungan Kultur ................................................................................. 6 Media Kultur .......................................................................................... 7 Zat Pengatur Tumbuh ............................................................................. 8 Prosedur Aseptik .................................................................................... 8 Antibiotik ............................................................................................... 9 Cefotaxime ............................................................................................. 10 Ceftriaxone ............................................................................................. 11 Chlorampenicol ...................................................................................... 11

BAHAN DAN METODE ................................................................................. 12 Waktu dan Tempat ................................................................................. 12 Bahan dan Alat ....................................................................................... 12 Metode Penelitian................................................................................... 12 Pelaksanaan ............................................................................................ 13 Pengamatan ............................................................................................ 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 18

Kondisi Umum ....................................................................................... 19 Kontaminasi Cendawan.......................................................................... 20 Kontaminasi bakteri ............................................................................... 21 Toksisitas Antibiotik .............................................................................. 23 Inisiasi Eksplan ...................................................................................... 24 Eksplan Bertunas .................................................................................... 26 Perbandingan seluruh Perlakuan dengan Kontrol .................................. 27 Jenis Bakteri .......................................................................................... 27 Pembahasan Umum ................................................................................ 30

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 33 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34 LAMPIRAN ...................................................................................................... 37

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Rekapitulasi Sidik Ragam .......................................................................... 20

2. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi bakteri Pada Tiap Jenis Antibiotik .................................................................................................... 21

3. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Pada Tiap Konsentrasi ................................................................................................... 22

4. Persentase Eksplan Heliconia Mati Karena Toksisitas Antibiotik............... 23

5. Persentase Eksplan Heliconia Berinisiasi Pada Tiap Jenis Antibiotik ......... 24

6. Interaksi Antara Jenis dan Konsentrasi Antibiotik Terhadap Persentase Eksplan Heliconia Berinisiasi ...................................................................... 24

7. Persentase Eksplan Heliconia Bertunas Pada Tiap Jenis Antibiotik............ 26

8. Jumlah Eksplan Heliconia Terkontaminasi Beberapa Jenis bakteri Pada Tiap Perlakuan.............................................................................................. 28

Lampiran

1. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri............................ 37

2. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Mati Karena Toksisitas Antibiotik ........... 37

3. Sidik Ragam Ekplan Heliconia Berinisiasi .................................................. 38

4. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Bertunas ................................................... 38

5. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Perbandingan Dengan Kontrol ............................................................................................ 39

6. Data Kontaminasi Bakteri Perbandingan Dengan Kontrol .......................... 39

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di ....................................................... 4

2. Rumus Bangun Antibiotik ............................................................................ 11

3. Bagan Proses Identifikasi Bakteri ................................................................ 16

4. Kontaminasi Cendawan 2 MSP.................................................................... 21

5. Kematian Eksplan Heliconia Akibat Toksisitas Antibiotik ......................... 23

6. Inisiasi Eksplan Heliconia 4 MSP ................................................................ 25

7. Eksplan Heliconia Bertunas 12 MSP ........................................................... 26

8. Grafik Jumlah Eksplan Terkontaminasi Bakteri Perbandingan Dengan Kontrol ............................................................................................ 27

10. Gambar Ciri – Ciri Bakteri yang Mengkontaminasi Eksplan ..................... 30

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Heliconia berasal dari Amerika bagian tropis yaitu Caribea dan Mexico.

Umumnya jenis ini tumbuh baik pada daerah lembab meskipun beberapa jenis

dapat tumbuh di daerah kering. Heliconia merupakan tanaman perdu yang

memiliki bentuk bunga yang tegak atau menjuntai. Heliconia secara umum

diperbanyak secara vegetatif karena perbanyakan secara generatif sulit dilakukan

dikarenakan masa dormansi biji yang sangat panjang (Berry dan Kress, 1991).

Sudah lebih dari 250 jenis dan banyak kultivar baru heliconia yang sudah

diidentifikasi. Adanya kultivar baru yang bervariasi menghasilkan bentuk bunga

heliconia yang lebih unik dan warna-warna yang lebih menarik dan digemari oleh

masyarakat (Oey,1996).

Teknik kultur jaringan merupakan solusi tepat untuk menghasilkan bibit

heliconia yang sehat dalam jumlah yang banyak dalam waktu relatif singkat.

Menurut Rodrigues (2005) masalah utama dalam kultur jaringan heliconia adalah

jumlah kontaminasi bakteri yang sangat besar, sehingga pengembangan dalam

kultur jaringan masih jarang dilakukan. Kontaminasi bakteri pada kultur heliconia

umumnya bersifat internal. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) bakteri internal

yang terdapat dalam eksplan, responnya muncul setelah beberapa hari bahkan

sampai satu bulan sehingga sangat mengecewakan, karena pada umumnya sudah

terjadi induksi kalus.

Salah satu metode untuk menangani kontaminasi yang sangat tinggi adalah

dengan penggunaan bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk

menghambat dan membunuh bakteri. Bahan kimia yang dijadikan bahan sterilan,

seperti HgCl2, umumnya sangat toksik baik bagi eksplan, hewan, manusia dan

beresiko dalam pencemaran lingkungan (Pierik, 1987). Menurut Guri et al. (1998)

antibiotik adalah salah satu bahan yang sudah diketahui dapat mengatasi

kontaminasi bakteri dalam kultur jaringan. Meskipun memiliki banyak kelemahan

seperti misalnya, hanya efektif pada beberapa bakteri saja, toksik terhadap

jaringan tanaman dan bersifat sensitif terhadap panas, antibiotik masih digunakan

dalam mengatasi kontaminasi bakteri internal.

Penggunaan antibiotik cefotaxime dalam media kultur jaringan untuk

Heliconia rauliniana dapat mengurangi persentase kontaminasi yang disebabkan

oleh bakteri Pseudomonas sp. dan Klebsiella sp. dalam bahan tanaman tanpa

menyebabkan toksik pada jaringan tanaman (Rodrigues, 2005). Keberhasilan

dalam memperoleh eksplan yang bebas kontaminasi memberikan peluang untuk

mengembangkan heliconia secara in vitro, sehingga menghasilkan bibit yang

sehat dan cepat dalam waktu yang relatif singkat.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis antibiotik dalam

beberapa taraf konsentrasi terhadap persentase kontaminasi bakteri, toksisitasnya

terhadap jaringan dan perkembangan eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady

Di.

Hipotesis

1. Antibiotik cefotaxime memberikan respon yang terbaik dalam mengurangi

persentase kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia.

2. Konsentrasi antibiotik 1000 mg/l memberikan respon yang terbaik dalam

mengurangi persentase kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia.

3. Terdapat interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik dalam

mengurangi persentase kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani

Heliconia merupakan tanaman Angiospermae dengan ordo

monocotyledons, kelas Zingiberales, Famili Heliconiaceae, genus Heliconia dan

spesies Heliconia spp. Sampai saat ini terdapat 250 spesies heliconia yang sudah

teridentifikasi. Ada dua macam bentuk bunga heliconia yaitu bunga yang tegak

dan menjuntai. Jenis bunga yang tegak di antaranya Heliconia striata dan

H. psittacorum sedangkan bunga yang tumbuh menjuntai di antaranya H. rostrata

dengan seludang bunganya yang berwarna kuning merah dan H. chartacea dengan

seludang berwarna pink (Oey, 1996).

Heliconia dapat diperbanyak melalui tunas yang tumbuh dari rimpang dan

memiliki daun yang tegak tersusun dari batang dan daun yang seringkali diakhiri

dengan kumpulan bunga majemuk dengan warna-warna menarik yang berasal dari

seludang bunganya. Tanaman ini tersusun dari tiga macam tipe daun yaitu daun

tegak dengan petiol yang panjang menyerupai pisang, daun yang tumbuh

horizontal dengan batang pendek seperti tanaman jahe dan daun berbentuk

oblique menyerupai tanaman Canna (Oey,1996 ).

Heliconia memiliki seludang bunga berwarna merah cerah, kuning atau

kombinasi keduanya. Selain itu seludang bunga ada yang berwarna hijau dan

pink. Seludang ada yang bertekstur halus, terselimuti bulu-bulu halus atau bulu-

bulu yang tebal seperti woll. Pada beberapa jenis keistimewaannya tidak berasal

dari keindahan warna seludang dan bunganya, melainkan dari warna daunnya

(Oey, 1996).

Helionia psittacorum L.f. cv. Lady Di merupakan jenis heliconia dengan

malai bunga tegak. Seludang bunganya berjumlah 5-8 helai, berwarna merah

dengan sedikit merah pucat pada bagian luar. Bunganya berwarna kuning dengan

bercak hijau tua bergaris putih pada bagian ujung. Ovary dan pedikel berwarna

kuning atau krem. Tinggi tanaman berkisar 76.2 – 152.4 cm (Berry dan Kress,

1991).

Gambar 1. Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di

Syarat Tumbuh

Heliconia berasal dari Amerika bagian tropis. Beberapa jenis heliconia

dapat hidup di daerah beriklim kering, namun sebagian besar berasal dari daerah

yang lembab dan basah. (Oey, 1996). Heliconia sangat membutuhkan air, tanah

yang berlimpah dan sinar matahari. Heliconia dapat tumbuh dimana saja pada

temperatur di atas 5 ºC. Pada suhu dingin semua daun akan mati dikarenakan

rhizome yang stres dan lembab, hal ini dapat dicegah dengan mempertahankannya

dalam kondisi kering dan menyemprotkan fungisida. Jika suhu kembali hangat,

rhizome dapat tumbuh dan menghasilkan tunas kembali (Berry dan Kress, 1991).

Secara umum heliconia berkembang biak secara vegetatif. Perbanyakan ini

memiliki kelemahan, seperti membutuhkan waktu yang panjang, jumlah bibit

sedikit dan kemungkinan meluasnya patogen yang akan menurunkan kualitas

tanaman (Atehortua, 1997). Tanaman ini dapat diperbanyak dengan pemisahan

anakan, penanaman rhizome dan biji. Perkembangbiakan dengan biji sangat jarang

dilakukan karena hanya beberapa spesies saja yang menghasilkan biji dan

memerlukan waktu lama untuk berkecambah hingga satu tahun (Berry dan Kress,

1991).

Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di, ditemukan di hutan tropis lalu

menyebar ke Florida, Hawai, Barbados dan Costarica. Kultivar ini berbunga pada

bulan April hingga November dan memerlukan sinar matahari penuh setiap

harinya serta dapat hidup pada 40% naungan (Rimando, 2003).

Teknik Kultur Jaringan Tanaman

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman

seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ serta

menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat

memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh (Gunawan, 1992).

Teknik kultur jaringan tanaman telah memberikan sumbangan yang besar

tehadap perkembangan industri dan pertanian. Perkembangan di bidang pertanian

antara lain, pembentukan tanaman haploid, perbanyakan klonal, mutasi tanaman,

tanaman bebas patogen, produksi metabolit sekunder, ilmu genetika,

kryopreservasi dan penyimpanan koleksi gen secara in vitro (Dods dan Robert,

1995).

Menurut Gunawan (1992), pada prinsipnya perbanyakan melalui kultur

jaringan dilakukan untuk tanaman yang 1) persentase perkecambahan biji yang

rendah, 2) hibrida-hibrida yang unik, 3) Selalu diperbanyak secara vegetatif

seperti pada tanaman kentang dan pisang.

Menurut Trigiano dan Gray (2000) terdapat 4 tahap dalam kultur jaringan

tanaman yaitu, tahap inisiasi, proliferasi tunas, pengakaran dan aklimatisasi.

Tahap inisiasi mencakup persiapan eksplan, sterilisasi eksplan hingga

mendapatkan eksplan yang bebas dari kontaminasi. Tahap proliferasi tunas adalah

tahap pertumbuhan dan perkembangan tunas sehingga dihasilkan tunas yang

sehat, steril dan siap dipindahkan ke media pengakaran. Pada tahap pengakaran,

eksplan yang telah bertunas ditanam dalam media dengan zat pengatur tumbuh

untuk menghasilkan akar. Setelah tanaman berakar, tanaman dipindahkan ke

lapang yang sebelumnya diadaptasikan dahulu pada tahap aklimatisasi.

Menurut Gunawan (1992), salah satu faktor pembatas dalam keberhasilan

kultur jaringan adalah kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa

kultur. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, organisme kecil yang masuk ke

media, botol kultur , alat tanam yang kurang steril, lingkungan kerja, ruang kultur

yang kotor dan kecerobohan dalam pelaksanaan. Keanekaragaman sumber

kontaminasi menyebabkan prosedur aseptik yang harus diperhatikan melalui

sterilisasi lingkungan kerja, sterilisasi alat-alat dan media sterilisasi bahan

tanaman.

Lingkungan Kultur

Lingkungan yang digunakan untuk proses kultur jaringan sebaiknya

memiliki fasilitas penyinaran, temperatur dan sirkulasi udara yang memadai untuk

menjamin pertumbuhan dan perkembangan kultur yang ditanam secara in vitro

(Wetherel, 1982). Cahaya sangat penting untuk pengendalian perkembangan

eksplan. Unsur-unsur dari cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas cahaya,

panjang penyinaran dan intensitas cahaya. Cahaya putih merupakan cahaya yang

baik untuk pertumbuhan kultur. Lampu fluorescent sangat baik dan efisien dalam

penggunaan energi bila dibandingkan dengan lampu pijar dilihat dari penyebaran

cahaya dan panas yang dikeluarkan. Intensitas cahaya yang baik untuk penyinaran

adalah 1000 – 4000 lux. Total cahaya yang dibutuhkan suatu tanaman merupakan

fungsi dari periode penyinaran, berapa lama cahaya yang akan diberikan

tergantung dari jenis tanaman dan respon yang diinginkan (Gunawan, 1992).

Suhu di dalam ruang kultur diharapkan dapat diatur. Suhu antara periode

gelap dan terang hendaknya dapat diatur berbeda sehingga proses fisiologis yang

diinginkan dapat terjadi. Suhu yang baik untuk kultur jaringan antara 25-28 ºC

yang merupakan suhu ruangan normal. Beberapa perlakuan khusus memerlukan

suhu rendah, seperti pada pengumbian kentang yang memerlukan suhu 18-20 ºC

(Gunawan, 1992).

Udara dalam ruang kultur perlu dijaga agar tetap bersih dan bebas dari

kontaminan. Diperlukan adanya aliran udara yang bertekanan dari dalam ke luar

ruangan agar terjadi pertukaran udara yang bebas dari kontaminasi. Kelembaban

relatif lingkungan kultur dapat diatur. Bila kelembaban ruangan rendah,

penguapan air dari media kultur akan terlalu besar, maka kelembaban ruangan

perlu dinaikkan. Kelembaban ruang kultur yang tinggi, akan menyebabkan

terjadinya pertumbuhan mikroba yang akan mengkontaminasi kultur dan alat-alat

laboratorium

Keadaan yang lembab juga dapat mengundang satu spesies tungau hidup

di dalam ruang kultur. Tungau tersebut berukuran sangat kecil (0,1-0,3 mm), hal

ini memungkinkan tungau untuk berpindah tempat dari kultur satu ke kultur yang

lain melalui celah pada penutup wadah. Tungau tersebut dalam perjalannya

membawa spora-spora mikroba masuk ke ruang kultur. Terjadinya kontaminasi

mikroba yang tersebar dalam kultur – kultur yang sebelumnya telah bebas

mikroba, merupakan salah satu tanda terdapatnya tungau kultur (Wetherel, 1982).

Media Kultur

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat

bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman

menyediakan tidak hanya unsur-unsur makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat

yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya

didapat dari atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan, 1992).

Komponen yang diperlukan untuk kultur jaringan tanaman terdiri dari

unsur makro, unsur mikro, pengkelat besi, vitamin, sumber karbon dan zat

pengatur tumbuh. Unsur makro yang diperlukan antara lain nitrogen, phospor,

kalium, magnesium dan sulfur. Unsur mikro yang diperlukan yaitu besi, mangan,

seng, boron, copper, molibdenum dan klor (Dods dan Robert, 1995).

Pengkelat besi seperti NaEDTA sangat diperlukan dalam pelarutan sumber

besi (Fe). Selain itu EDTA memberikan pengaruh terhadap sistem enzim dalam

morfogenesis kultur (Bonga 1982 dalam Dods dan Robert, 1995). Vitamin

memiliki fungsi sebagai katalis dalam sistem enzim dan hanya dibutuhkan dalam

jumlah sedikit. Jenis vitamin yang umum digunakan adalah thiamin, niacin dan

pyridoxin (Gamborg et al. 1976 dalam Dods dan Robert, 1995). Sumber karbon

dalam media diperoleh dari penambahan sukrosa atau D-glikosa dengan

konsentrasi 20-30 g/l. Myo inositol merupakan karbohidrat yang digunakan untuk

meningkatkan pertumbuhan eksplan (Dods dan Robert, 1995).

Senyawa kompleks seringkali ditambahkan pada media kultur jaringan.

Persenyawaan organik kompleks yang dimaksud antara lain, air kelapa, casein

hydrolysate, ekstrak ragi, jus tomat, ekstrak kentang dan ekstrak pisang

(Gunawan, 1992). Agar-agar juga ditambahkan ke dalam media untuk

memudahkan dalam menanam eksplan (Beyl, 2000).

Beberapa komponen untuk media ada yang bersifat sensitif terhadap

panas, sehingga perlu ditambahkan setelah media di autoklaf sebelum media

membeku.Untuk itu diperlukan suatu filter berukuran mikro untuk mensterilkan

komponen tersebut dari bakteri dan spora cendawan. Syarat tempat yang baik

untuk inkubasi media adalah ruangan gelap dan sejuk untuk menghidari terjadinya

degradasi senyawa yang sensitif terhadap cahaya, seperti IAA (Beyl, 2000).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh dibutuhkan dalam konsentrasi yang rendah. Fungsi

dari zat pengatur tumbuh adalah untuk merangsang inisiasi, perkembangan tunas

dan akar pada eksplan baik dalam media padat atau cair (Beyl, 2000). Zat

pengatur tumbuh mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,

jaringan dan organ (Gunawan, 1992).

Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk

pemanjangan sel dan pembesaran jaringan, dominasi apikal, pembentukan akar

dan somatik embriogenesis (Beyl, 2000). Auksin digunakan untuk pertumbuhan

kalus, suspensi sel dan organ. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya

tergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen,

kemampuan mensintesa auksin dan golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan

(Gunawan, 1992).

Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang berfungsi dalam mendorong

pembentukan sel, merangsang inisiasi dan pertumbuhan tunas. Sitokinin dalam

konsentrasi yang tinggi dapat menginduksi pembentukan tunas, namun

menghambat pertumbuhan akar (Beyl, 2000).

Giberelin adalah zat pengatur tumbuh yang tidak terlalu umum digunakan

dalam media kultur. Salah satu giberelin yang sering digunakan adalah GA3, yang

sensitif terhadap panas. Giberelin berperan dalam mendorong pemanjangan sel

dan perkembangan meristem pada beberapa spesies (Beyl, 2000).

Prosedur Aseptik

Inisiasi kultur yang bebas dari kontaminan merupakan langkah yang

sangat penting dalam metode kultur jaringan. Bahan tanaman dari lapang

mengandung debu, kotoran-kotoran dan berbagai kontaminan hidup pada

permukaannya. Kontaminan hidup dapat berupa cendawan, bakteri, serangga dan

telurnya serta spora (Gunawan, 1992).

Bakteri tidak saja berada pada bahan tanam bagian permukaan, tetapi pada

bagian dalam bahan tanaman. Bila berada di permukaan bahan tanam respon

kontaminasinya sangat cepat, dalam tempo dua kali 24 jam sudah bisa tampak

kontaminasinya. Kontaminasi yang bersifat internal responnya muncul setelah

beberapa hari bahkan sampai 1 bulan sehingga sangat mengecewakan karena

umumnya sudah terbentuk induksi kalus (Santoso dan Nursandi, 2003).

Prinsip dalam sterilisasi bahan tanam bahwa sel tanaman dan kontaminan

adalah sama-sama benda hidup. Kontaminasi harus dihilangkan tanpa mematikan

sel tanaman. Bahan–bahan sterilisasi pada umumnya bersifat toksik terhadap

jaringan tanaman. Pada beberapa jenis tanaman, ditemukan juga kontaminan yang

berasal dari dalam jaringan tanaman, terutama bakteri. Kontaminan internal ini

sangat sulit diatasi, karena sterilisasi permukaan tidak menyelesaikan masalah.

Pada bahan tanaman yang mengandung kontaminan internal, harus diberi

perlakuan antibiotik atau fungisida sistemik (Gunawan, 1992).

Media kultur merupakan media yang ideal untuk pertumbuhan tanaman,

namun ideal pula untuk pertumbuhan bakteri dan cendawan, oleh karena itu media

kultur dan alat-alat yang akan digunakan harus melalui proses sterilisasi terlebih

dahulu. Penanaman eksplan harus dilakukan di tempat yang steril yaitu laminar

air flow cabinet, dengan prosedur-proseder aseptik yang telah ditentukan (Beyl,

2000).

Antibiotik

Antibiotik adalah antimikroba yang selektif yang diaplikasikan pada

jaringan hidup atau secara sistemik membunuh atau menghambat pertumbuhan

bakteri (Wikipedia, 1993). Antibiotik dihasilkan dari makhluk hidup seperti

tumbuhan, cendawan atau bakteri. Antibiotik tidak bersifat toksik terhadap

organisme namun bersifat menghambat pertumbuhan atau membunuh pada

konsentrasi yang rendah pada satu atau beberapa organisme (Mol, 1975).

Antibiotik sudah digunakan didalam dunia pertanian, seperti penanganan penyakit

tanaman, aplikasi pada tanah, penyemprotan untuk meningkatkan pertumbuhan

tanaman, pasca panen produk pangan dan kultur jaringan tanaman (Bryden et al.,

1994).

Antibiotik dalam kultur jaringan memiliki efek positif dan negatif. Efek

positif dari penggunaan antibiotik adalah membantu mempercepat pertumbuhan

jaringan yang dikulturkan, meningkatkan morfogenesis kalus dan mempercepat

pengakaran. Efek negatif dari antibiotik adalah bersifat toksik pada plastida dan

mitokondria, mengurangi pembentukan klorofil dan menghambat pembentukan

asam amino (Seckinger dan Tores, 2004). Penggunaan antibiotik seringkali

menyebabkan fenomena yang berbahaya terhadap bahan tanaman. Penggunaan

yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan.

Penggunaan antibiotik dapat menyebabkan resistensi beberapa mikroorganisme

tertentu (Pierik, 1987).

Semua problem kontaminasi dapat diatasi dengan penggunaan antibiotik

baik jenis ataupun kombinasi dari beberapa antibiotik yang diaplikasikan ke

dalam media kultur. Pada kenyataannya jaringan tanaman sensitif terhadap

antibiotik dan memberi respon yang beragam untuk masing-masing jenis, namun

di lain kasus antibiotik dapat meningkatkan pertumbuhan dari jaringan yang

dikulturkan (George dan Sherrington, 1984).

Cefotaxime

Cefotaxime adalah salah satu antibiotik dari golongan sefalosporin

generasi ketiga yang sangat aktif dalam mengatasi bakteri terutama gram negatif.

Kemampuannya dalam menghambat bakteri gram positif lebih rendah bila

dibandingkan dengan gram negatif. Golongan sefalosporin adalah antibiotik yang

menghambat sintesis dinding sel bakteri. (Seckinger dan Tores, 2004).

Adanya mikroorganisme internal seperti Pseudomonas sp. menyebabkan

timbulnya kesulitan di dalam mengembangkan studi tentang evolusi heliconia

dalam kultur jaringan. Penggunaan antibiotik cefotaxime terbukti efektif dalam

mengatasi kontaminasi bakteri Pseudomonas sp. dan Klebsiela sp. (Rodrigues,

2005). Rumus bangun Cefotaxime dapat dilihat pada Gambar 2.

Ceftriaxone

Ceftriaxone adalah antibiotik dari golongan sefalosporin generasi ketiga,

yang aktif dalam penghambatan sintesis dinding sel bakteri. Responnya hampir

sama dengan antibiotik cefotaxime, namun memiliki paro waktu yang lebih

panjang. Pada manusia, ceftriaxone terikat 95% pada protein dibandingkan

dengan cefotaxime yang terikat 30% pada manusia (Morin dan Gorman, 1982).

Ceftriaxone digunakan dalam mengatasi kontaminasi bakteri pada kultur

jaringan heliconia. Penggunaan ceftriaxone dengan dosis 200 mg/l, dapat

mengatasi kontaminasi bakteri hingga 33% dan tidak toksik terhadap jaringan

tanaman (Marulanda dan Isaza, 2004). Rumus bangun Ceftriaxone dapat dilihat

pada Gambar 2.

Chlorampenicol

Chlorampenicol adalah antibiotik yang terbuat dari kultur Streptomyces

venezuela pada tahun 1947. Bersifat bakteriostatik, broad spectrum yang aktif

pada bakteri gram negatif dan positif. Chlorampenicol secara relatif bersifat

toksik, terutama setelah penggunaan jangka panjang, oleh karena itu tidak

dianjurkan digunakan pada manusia (Mol, 1975).

Chloramphenicol aktif dalam penghambatan sintesis protein bakteri

(Mardigan dan Martinko, 2006). Chlorampenicol pada dosis 150 mg/l dapat

menghambat pertumbuhan bakteri pada eksplan heliconia, namun dalam jangka

waktu tertentu eksplan teroksidasi akibat dari toksisitas antibiotik (Rodrigues,

2005). Rumus bangun Chlorampenicol dapat dilihat pada Gambar 2.

(A) (B) (C)

Gambar 2. Rumus Bangun Antibiotik : (A) Cefotaxime, (B) Ceftriaxone, (C) Chlorampenicol.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai Bulan Januari 2006 hingga Juni 2006

berlokasi di Laboratorium Teknologi Benih Leuwi Kopo dan Laboratorium Kultur

Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Darmaga, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas dari rimpang

heliconia, media tanam campuran arang sekam, pupuk organik dan tanah yang

steril, bakterisida Agrept, fungisida Dithane, media kultur jaringan Murashige and

Skoog, BAP 2 mg/l, IBA 10 mg/l, PVP (Polyvinyl Pyrolydone) 1 g/l, detergent,

antibiotik cefotaxime, ceftriaxone, chlorampenicol, clorox, alkohol 70%, air

steril, aquades, pemadat (agar-agar), spirtus, plastik, karet gelang dan tissue.

Alat yang digunakan terdiri dari botol kultur, otoklaf, laminar air flow,

mata pisau scalpel, scalpel, gunting, pinset, syringe, hand sprayer, timbangan

analitik dan cawan petri.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan lingkungan acak

kelompok yang disusun secara faktorial terdiri dari dua faktor. Faktor pertama

adalah jenis antibiotik dan faktor kedua adalah taraf konsentrasi antibiotik.

Jenis antibiotik yang digunakan adalah cefotaxime (C1), ceftriaxone (C2)

dan chlorampenicol (C3). Konsentrasi antibiotik terdiri dari dua taraf yaitu

500 mg/l (K1) dan 1000 mg/l (K2). Terdapat satu perlakuan tanpa antibiotik

sebagai perlakuan kontrol. Setiap perlakuan diulang tiga kali, satu perlakuan

terdiri dari 5 botol kultur, setiap botol kultur terdiri dari satu eksplan sehingga

didapatkan 115 satuan percobaan.

Model rancangan yang digunakan adalah :

Yijk = µ + αi + β j + (αβ)ij + γk + ε ijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan untuk konsentrasi antibiotik dan kultivar

µ = Nilai tengah umum

αI = Pengaruh jenis antibiotik ke- i

β j = Pengaruh konsentrasi ke - j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi jenis ke- i dan konsentrasi ke-j

γk = Pengaruh ulangan ke-k

ε ijk = Galat umum percobaan

Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan apabila hasil uji F

tersebut berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple

Range Test (DMRT).

Pelaksanaan

Pemeliharan Tanaman Induk dan Pertumbuhan Tunas

Bahan tanam yang akan dijadikan eksplan diharapkan seragam dan bebas

dari penyakit baik yang disebabkan olah cendawan atau bakteri, untuk itu tanaman

tersebut ditanam dalam screen house terlebih dahulu, hingga tunas yang akan

dijadikan eksplan dapat diperoleh dengan seragam. Penyiraman dengan

bakterisida dan fungisida seminggu sekali dimaksudkan untuk menjaga tanaman

bebas dari penyakit dan memperkecil tingkat kontaminasi.

Tanaman heliconia dibersihkan terlebih dahulu dari media asalnya hingga

rimpang dan akarnya bersih. Tanaman yang sudah bersih dikering anginkan

selama 2 hari dan ditanam dalam media tanam yang steril. Bagian rimpang dan

akar direndam dengan larutan fungisida Dithane M-45 2 g/l dan bakterisida

Agrept 2 g/l. Tanaman dikering anginkan selama 1 hari, lalu ditanam dalam media

steril.

Tanaman diberi pupuk daun Gandasil-D dengan dosis 2 g/l untuk

memelihara tanaman dan mendorong tumbuhnya tunas. Pemupukan dilakukan

2 minggu sekali dan diaplikasikan ke media tanam.

Penyiapan Alat, Bahan dan Media

Untuk menanam eksplan, diperlukan media MS dengan tambahan ZPT

berupa BAP 2 mg/L, IBA 10 mg/L dan PVP untuk mencegah pencokelatan 1 g/L.

Media MS dibuat dengan mencampurkan larutan stok, ZPT dan PVP dengan

konsentrasi yang sudah ditentukan lalu ditera dengan labu erlenmeyer dengan

menambahkan air aquades dan larutan gula. Media tersebut dicampurkan dengan

bubuk agar sebagai bahan pemadat media lalu dipanaskan agar terjadi

homogenisasi bubuk agar dengan air. Media disterilisasikan ke dalam otoklaf

selama 30 menit dengan suhu 121°C dengan tekanan 15-17,5 Psi. Setelah selesai

di otoklaf, media dimasukkan dalam laminar air flow cabinet dan dibiarkan

hingga suhunya mencapai 50º C. Setelah itu antibiotik dengan masing – masing

konsentrasi dimasukkan ke dalam media dan dituangkan ke dalam botol kultur.

Antibiotik cefotaxime dan ceftriaxone yang digunakan berbentuk serbuk

injeksi yang harus diencerkan terlebih dahulu dengan air bidestilata steril untuk

membuat larutan stok. Larutan stok yang dibuat disimpan di dalam lemari es

karena sangat sensitif terhadap panas dan cahaya. Larutan stok dapat bertahan

dalam kondisi stabil jika disimpan pada suhu rendah 5° C selama 22 hari. Lalu

antibiotik dimasukkan dalam media sesuai dengan konsentrasi dengan

menggunakan syringe. Antibiotik chlorampenicol yang digunakan adalah dalam

bentuk kapsul, sehingga isi kapsul langsung dicampurkan dalam media. Alat-alat

yang digunakan perlu disterilkan terlebih dahulu di dalam otoklaf selama 1 jam.

Penyiapan Eksplan

Penyiapan bahan tanam dilakukan dengan cara mengumpulkan tunas dari

rimpang heliconia yaitu H. psittacorum L.f. cv. Lady Di. Tunas yang diambil

sebagai bahan tanaman adalah tunas yang masih muda dari rimpang dengan tinggi

tunas kurang lebih 3 - 5 cm. Setelah bahan tanaman terkumpul, rimpang tersebut

dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air mengalir selama 15 menit.

Rimpang yang telah dibilas dibalut dengan campuran fungisida Dithane dan

bakterisida Agrept dalam bentuk pasta selama 1 malam. Eksplan dibilas dengan

air hingga bersih dan diinkubasikan selama 3 hari di lemari es dengan tujuan

mematikan bakteri serta menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan.

Sterilisasi Bahan Tanaman

Bahan tanam yang sudah dibalut dengan Dithane dan Agrept dalam bentuk

pasta, dicuci dengan air steril. Bagian-bagian yang mati dari bahan tanam tersebut

dikelupas dan dibuang. Bahan tanam yang sudah dibersihkan dimasukkan

ke dalam laminar air flow cabinet. Eksplan direndam dalam larutan alkohol 70 %

selama 30 detik, lalu eksplan dilewatkan ke api bunsen kurang lebih 1 detik dan

dibilas dengan air steril. Selanjutnya eksplan direndam dalam larutan Clorox 30%

yang dicampur dengan 3 tetes Tween 80 selama 20 menit, lalu dibilas dengan air

steril dan pelepah terluar dari bahan tanam dikelupas. Setelah itu bahan tanam

tersebut direndam di dalam Clorox 15% selama 30 menit dan dibilas dengan air

steril dan pelepah terluar dikelupas kembali dan dibersihkan dari bagian – bagian

yang telah rusak atau mati. Setelah itu eksplan dipotong hingga tersisa 1 cm,

sehingga didapatkan tunas yang akan ditanam di media perlakuan.

Penanaman Eksplan

Eksplan ditanam dengan menggunakan alat bantu pinset yang disterilkan

dalam bunsen terlebih dahulu. Sebelum penanaman, eksplan direndam dahulu

pada larutan antiseptik selama 5 menit. Eksplan dipotong hingga berdiameter

0.5 cm dan tinggi 1.0 cm lalu ditanam dalam media MS padat yang telah diberi

antibiotik. Botol kultur ditutup rapat dengan plastik dan diletakkan dalam rak-rak

kultur. Suhu di ruangan kultur berkisar 18 – 20 ºC dengan intensitas cahaya 100-

400 footcandle.

Pemindahan Media

Antibiotik memiliki batas waktu dalam menghambat pertumbuhan bakteri,

oleh karena itu pada selang waktu tertentu perlu dilakukan pemindahan pada

media antibiotik baru. Pemindahan ini dilakukan dua kali yaitu minggu ke-2 dan

minggu ke-4. Selang waktu ini didasarkan pada kenaikan tingkat kontaminasi

bakteri yang terjadi pada eksplan. Jika tingkat kontaminasi lebih dari 30%, maka

dilakukan pemindahan eksplan. Sterilisasi lanjut juga dilakukan untuk

mengurangi tingkat kontaminasi yang akan terjadi setelah pemindahan media.

Sterilisasi lanjut dilakukan pada eksplan yang terkontaminasi bakteri dan masih

terlihat hijau. Eksplan yang steril langsung dipindahkan pada media baru. Metode

sterilisasi lanjut dilakukan dengan perendaman alkohol 70% selama 1 menit,

perendaman clorox 7% selama 20 menit dan clorox 3% selama 30 menit, lalu

eksplan dibilas dengan air steril tiga kali dan eksplan ditanam kembali pada media

baru.

Identifikasi Bakteri Penyebab Kontaminasi

Identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Fakultas

Kedokteran Hewan IPB (Gambar 3). Metode yang dilakukan dalam identifikasi

ini adalah :

Spesimen

Pewarnaan Gram

Blood Agar Mc Conkey Agar

Pewarnaan Gram Nutrien Agar Pewarnaan gram

Pewarnaan Gram

Gram Positif (+) Gram Negatif (-)

Batang Kokus Batang Kokus

Uji Katalase Uji biokimia

Uji Glukosa Uji TSIA Urease Uji IMVIC

Oksidase Fermentasi Karbohidrat

MSA Glukosa Laktosa Sukrosa Maltosa Manitol

Identifikasi Identifikasi

Gambar 3. Bagan proses identifikasi bakteri

Setelah dilakukan uji - uji seperti terlihat diatas, hasil analisis

dibandingkan dengan buku panduan identifikasi bakteri ”Bergey’s Manual and

Determinative Bacteriology” sehingga diketahui jenis bakteri sesuai dengan

ciri – ciri yang terdapat dalam buku.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 3 bulan. Peubah yang

diamati antara lain :

a. Jumlah eksplan terkontaminasi bakteri

b. Jumlah eksplan terkontaminasi cendawan

c. Jumlah eksplan mati akibat toksisitas antibiotik

d. Jumlah eksplan berinisiasi

e. Jumlah eksplan bertunas

f. Jenis bakteri yang menyebabkan kontaminasi eksplan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian ini diawali dengan pemeliharan tanaman yang akan dijadikan

eksplan bertempat di screen house Leuwi Kopo, Darmaga. Keadaan tanaman

setelah di repotting ke media steril, pada awalnya terlihat tidak vigor, namun

setelah 1 minggu tanaman sudah mulai beradaptasi dan menjadi vigor. Tanaman

dipupuk dengan pupuk daun secara intensif, sehingga pada hari ke-7 setelah

penanaman dalam screen house, primordia tunas sudah terlihat. Primordia tunas

adalah gumpalan sel yang berwarna putih yang akan tumbuh menjadi tunas. Pada

hari ke-14, primordia tunas tumbuh menjadi tunas lateral berukuran 1 – 2 cm dan

pada hari ke – 20 tunas lateral yang sudah berukuran 3 -5 cm, dipanen untuk

dijadikan eksplan pada media kultur jaringan.

Eksplan diberi perlakuan fungisida dan bakterisida secara intensif di dalam

screen house untuk mengurangi tingkat kontaminasi. Eksplan yang sudah dipanen

perlu di bersihkan dahulu dengan berbagai macam disinfektan lalu diinkubasikan

selama 3 hari sebelum ditanam dan disterilisasi. Pada proses sterilisasi, ditemukan

eksplan-eksplan yang berukuran kecil dan hangus karena proses sterilisasi.

Eksplan yang telah hangus tidak dapat ditanam pada media kultur.

Pada minggu pertama setelah penanaman, eksplan terkontaminasi

cendawan dan bakteri. Kontaminsi bakteri semakin meningkat setiap minggunya,

hal ini dikarenakan semakin menurunnya aktifitas antibiotik, oleh karena itu

dilakukan sterilisasi lanjutan dan pemindahan pada media antibiotik yang baru

pada 2 MSP dan 4 MSP. Sterilisasi lanjutan ini pada awalnya bertujuan agar

bakteri yang mengkontaminasi eksplan tercuci dan mati karena bahan – bahan

disinfektan yang digunakan, akan tetapi kontaminasi masih terjadi pada minggu

berikutnya, namun ada eksplan yang menjadi steril.

Pada 1 MSP, beberapa eksplan sudah mulai berubah warna dari putih krem

menjadi hijau muda. Eksplan yang lebih dahulu mengalami perubahan warna

adalah eksplan pada perlakuan cefotaxime dan kontrol. Eksplan pada perlakuan

chlorampenicol, tidak menunjukkan perubahan warna. Eksplan pada perlakuan

kontrol tidak mengalami inisiasi, karena pada 3 MSP seluruh eksplan sudah

mengalami kematian akibat kontaminasi baik cendawan ataupun bakteri.

Pada rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) diketahui bahwa jenis antibiotik

yang diaplikasikan, berpengaruh nyata pada setiap peubah, sedangkan konsentrasi

antibiotik hanya berpengaruh nyata pada peubah kontaminasi bakteri

6 dan 9 MSP. Interaksi hanya terjadi pada eksplan berinisiasi pada 3 MSP.

Inisiasi tunas mulai terjadi pada 3 MSP, cirinya adalah pembesaran

pangkal tunas yang ditanam dan terlihat seperti gembungan. Eksplan yang sudah

berinisiasi jika terkena kontaminasi bakteri lama kelamaan akan berubah warna

menjadi coklat kehitaman dan eksplan menjadi mati. Tidak semua eksplan yang

telah terkontaminasi bakteri mengalami kematian, ada beberapa eksplan yang

tetap tumbuh pada saat inisiasi bahkan sampai bertunas, hal ini terjadi karena

bakteri yang sudah muncul dihambat perkembangannya oleh antibiotik, sehingga

eksplan dapat terus berkembang tanpa terganggu oleh aktifitas bakteri.

Eksplan yang steril pada tahap inisiasi mulai tumbuh menjadi tunas pada

6 MSP. Beberapa eksplan pada media chlorampenicol berubah warna menjadi

kecoklatan pada 6 MSP, hal ini disebabkan sifat toksik dari senyawa antibiotik

terhadap jaringan tanaman. Eksplan pada media antibiotik cefotaxime dan

ceftriaxone mengalami pertumbuhan tunas yang cukup baik dan tidak bersifat

toksik terhadap eksplan hingga 12 MSP.

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam

Jenis Konsentrasi Interaksi( C) (K) (C*K)

3 MSP tn tn tn 63.95 19.796 MSP ** * tn 21.08 8.269 MSP ** * tn 18.98 8.55

12 MSP ** tn tn 19.45 8.90

8 MSP tn tn tn 219.09 10.1310 MSP * tn tn 157.32 9.5612 MSP * tn tn 121.22 10.91

3 MSP * tn * 52.44 12.965 MSP tn tn tn 21.37 6.447 MSP tn tn tn 67.61 17.05

6 MSP * tn tn 157.32 10.109 MSP tn tn tn 345.33 14.52

12 MSP tn tn tn 298.80 15.78

Peubah %KK %KK

Keterangan: a) Data berdasarkan hasil transformasi dengan rumus v(x+0.5) b) Data berdasarkan hasil transformasi dengan rumus v(x+1.5) c) Data berdasarkan hasil transformasi dengan rumus v(x+2)

d) Nilai kk setelah ditransformasi * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1% tn tidak berbeda nyata

Kontaminasi Cendawan

Kontaminasi cendawan hanya terjadi pada 1 MSP dan 2 MSP.

Kontaminasi cendawan terjadi pada eksplan yang kurang steril dalam proses

sterilisasi baik di lapang maupun dalam Laminar air flow cabinet. Kontaminasi

cendawan juga terjadi karena kurang sterilnya peralatan yang digunakan untuk

menanam.

Persentase eksplan yang terkontaminasi cendawan adalah 8.69 % dari

seluruh eksplan yang ditanam. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode sterilisasi

yang diterapkan sudah cukup baik dalam mengatasi kontaminasi cendawan. Pada

penelitian Marulanda dan Isaza (2004) mengenai teknik sterilisasi pada heliconia,

jumlah kontaminasi cendawan mencapai 13.3% hingga 73.3% pada berbagai

metode yang diaplikasikan.

Eksplan yang terkontaminasi cendawan berubah menjadi coklat kehitaman

dan akhirnya mati. Cendawan cepat sekali berkembang biak, dalam 7 hari hifa

sudah menutupi seluruh permukaan eksplan. Jenis cendawan yang menjadi

kontaminan ada beberapa macam, namun sebagian besar memiliki ciri hifa

berwarna putih yang menyerupai rambut halus (Gambar 4).

Gambar 4. Kontaminasi cendawan 2 MSP

Kontaminasi Bakteri

Persentase eksplan terkontaminasi bakteri cenderung meningkat setiap

minggunya. Jenis antibiotik menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

persentase eksplan yang terkontaminasi bakteri pada 6, 9 dan 12 MSP.

Chlorampenicol nyata menekan kontaminasi bakteri bila dibandingkan dengan

cefotaxime dan ceftriaxone (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Pada Tiap Jenis Antibiotik.

Jenis

Antibiotik 3 MSP 6 MSP 9 MSP 12 MSPCefotaxime 40.0 63.4b 70.0b 93.4aCeftriaxone 26.6 86.6a 96.6a 96.6a

Chlorampenicol 16.6 30.0c 46.6c 46.6b

Persentase (%)

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Chlorampenicol berdaya jangkau luas pada bakteri baik gram positif atau

gram negatif (Subronto dan Tjahjati, 2002). Chlorampenicol memiliki masa stabil

yang panjang, aktifitasnya menurun 50% dalam 290 hari pada temperatur 20º C

(Seckinger dan Tores, 2004), oleh karena itu hingga 12 MSP antibiotik ini tetap

aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

Persentase eksplan terkontaminasi bakteri pada perlakuan ceftriaxone pada

3 MSP cenderung rendah dan tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan jenis

antibiotik lain. Pada 6 MSP persentase kontaminasi bakteri semakin meningkat

dan nyata memiliki persentase eksplan terkontaminasi bakteri terbesar, hal ini

disebabkan oleh semakin menurunnya aktifitas antibiotik.

Pada 3 MSP, antibiotik dengan konsentrasi 500 mg/l tidak memiliki

perbedaan yang nyata dengan konsentrasi 1000 mg/l. Persentase eksplan yang

terkontaminasi bakteri pada perlakuan 1000 mg/l lebih kecil bila dibandingkan

dengan perlakuan 500 mg/l, perbedaan ini nyata pada 6 MSP dan 9 MSP

(Tabel 3).

Tabel 3. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Pada Tiap Konsentrasi Antibiotik.

KonsentrasiAntibiotik 3 MSP 6 MSP 9 MSP 12 MSP

500 33.4 73.4a 80.0a 84.41000 22.2 46.4b 62.2b 73.4

Persentase (%)

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Kenaikan persentase kontaminasi bakteri dapat disebabkan oleh adanya

resistensi bakteri, karena dalam konsentrasi hingga 1000 mg/l, bakteri tetap

bertahan hidup (Tabel 3). Pada penelitian Rodrigues (2005) perlakuan antibiotik

cefotaxime 500 mg/l dapat menurunkan kontaminasi bakteri pada eksplan

heliconia sebesar 30%.

Bahan kimia dan nutrisi yang digunakan dalam media kultur jaringan

bukan media yang tepat dalam pertumbuhan bakteri (Leifert dan Cassels, 2001).

Jika bakteri tetap saja tumbuh, berarti telah terjadi resistensi bakteri, dimana

bakteri dapat bertahan dalam kondisi kekurangan nutrisi untuk hidupnya.

Toksisitas Antibiotik

Eksplan heliconia yang mengalami kematian karena toksisitas antibiotik

hanya terjadi pada perlakuan chlorampenicol. Kematian eksplan mulai terlihat

sejak 7 MSP dan mengalami peningkatan hingga 12 MSP (Tabel 4).

Tabel 4. Persentase Eksplan Heliconia Mati Karena Toksik Antibiotik.

Jenis Antibiotik 8 MSP 10 MSP 12 MSPCefotaxime 0.0 0.0b 0.0bCeftriaxone 0.0 0.0b 0.0b

Chlorampenicol 10.0 13.4a 23.4a

Persentase (%)

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Chlorampenicol merupakan jenis antibiotik yang menghambat sintesis

protein bakteri, meskipun penghambatan ini dinilai tidak berpengaruh terhadap

organisme eukariot, namun penggunaan dalam konsentrasi tinggi dan jangka

waktu yang panjang dapat berpengaruh dan bersifat toksik terhadap sel eukariot

(Schlegel dan Schmidt, 1994). Cefotaxime, ceftriaxone dan antibiotik ß-laktam

lainnya memiliki toksisitas yang selektif, toksik terhadap bakteri dan berpengaruh

kecil terhadap sel inang (Morin dan Gorman, 1982).

Pada eksplan yang mati akibat toksisitas antibiotik, tidak ditemukan atau

sedikit sekali terdapat eksudat bakteri namun lama kelamaan eksplan tersebut

berubah warna menjadi coklat, menyusut dan akhirnya mati (Gambar 5).

Gambar 5. Kematian Eksplan Heliconia Akibat Toksisitas Antibiotik

Inisiasi Eksplan

Inisiasi eksplan terjadi mulai 3 MSP, hingga eksplan bertunas pada

7 MSP. Eksplan berinisiasi pada perlakuan cefotaxime nyata lebih besar pada

3 MSP (Tabel 5). Penurunan persentase tunas yang berinisiasi disebabkan

kematian eksplan akibat kontaminasi.

Tabel 5. Persentase Eksplan Heliconia yang Berinisiasi Pada Tiap Jenis Antibiotik.

Jenis

Antibiotik 3 MSP 5 MSP 7 MSPCefotaxime 63.4a 60.0 33.4Ceftriaxone 30.0b 46.6 26.6

Chlorampenicol 26.6b 63.4 63.4

Persentase (%)

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik terhadap persentase

eksplan berinisiasi terjadi pada 3 MSP. Eksplan pada media chlorampenicol

konsentrasi 1000 mg/l tidak berinisiasi (Tabel 6).

Tabel 6. Interaksi Antara Jenis dan Konsentrasi Antibiotik Terhadap Persentase Eksplan Heliconia Berinisiasi .

Jenis

Antibiotik 500 1000

Cefotaxime 53.4ba 73.4aCeftriaxone 33.4bac 26.6bcChlorampenicol 53.4ba 0.0c

Cefotaxime 53.4 66.6Ceftriaxone 40.0 53.4Chlorampenicol 66.6 60.0

Cefotaxime 26.6 40.0Ceftriaxone 13.4 40.0Chlorampenicol 66.6 60.0

Konsentrasi (mg/l)

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada minggu yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Interaksi chlorampenicol 500 mg/l dan ceftriaxone 500 mg/l lebih efektif

dalam inisiasi pertunasan bila dibandingkan dengan konsentrasi 1000 mg/l, hal ini

disebabkan oleh terjadinya pengaruh antibiotik pada konsentrasi yang lebih tinggi.

Interaksi cefotaxime 1000 mg/l menghasilkan persentase tunas berinisiasi yang

tertinggi, dikarenakan kontaminasi bakteri yang terjadi lebih sedikit bila

dibandingkan cefotaxime 500 mg/l dan kontaminasi bakteri dapat menghambat

pertumbuhan tunas.

Meskipun eksplan pada perlakuan chlorampenicol berinisiasi, warna

eksplan tidak menghijau seperti perlakuan yang lain (Gambar 6). Menurut

Schlegel dan Schmidt (1994) antibiotik yang menghambat sintesis protein bakteri

dapat menyebabkan penurunan kadar kloroplas dan mitokondria sepanjang

pertumbuhan pada sel eukariot.

Eksplan pada perlakuan cefotaxime memiliki jumlah eksplan berinisiasi

terbesar pada 3 MSP, namun mengalami penurunan akibat kontaminasi. Eksplan

yang berinisiasi pada perlakuan cefotaxime dan ceftriaxone berwarna hijau dan

terlihat segar (Gambar 6). Hasil penelitian Yu et al. (2001), cefotaxime dengan

konsentrasi 150 mg/l menunjukkan persentase somatik embriogenesis yang besar

pada kultur akar pepaya. Keadaan ini menunjukkan bahwa cefotaxime dapat

membantu dalam perkembangan eksplan dalam kultur in vitro.

Gambar 6. Inisiasi Eksplan Heliconia 4 MST (A) Cefotaxime 1000 mg/l,

(B) Ceftriaxone 1000 mg/l dan (C) Chlorampenicol 1000 mg/l.

Eksplan Bertunas

Eksplan bertunas pada 6 MSP hanya terjadi pada perlakuan cefotaxime,

dan memiliki persentase eksplan bertunas terbesar pada tiap minggunya. Pada

9 dan 12 MSP, persentase eksplan bertunas tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata terhadap jenis antibiotik (Tabel 7).

Tabel 7. Persentase Eksplan Heliconia Bertunas Pada Tiap Jenis Antibiotik.

Jenis Antibiotik 6 MSP 9 MSP 12 MSPCefotaxime 13.4a 10.0 10.0Ceftriaxone 0.0b 0.0 34.0

Chlorampenicol 0.0b 34.0 34.0

Persentase (%)

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Eksplan bertunas merupakan respon lanjut dari inisiasi eksplan dan tidak

semua eksplan yang berinisiasi mengalami pertunasan (Gambar 7). Munculnya

kontaminasi bakteri pada saat eksplan berinisiasi dapat menghambat pertunasan

dan menyebabkan kematian eksplan. Persentase eksplan yang hidup dan bertunas

pada perlakuan cefotaxime memiliki nilai tertinggi meskipun menurun pada

9 MSP (Tabel 7).

Gambar 7. Eksplan Heliconia Bertunas 12 MSP; (A) Cefotaxime 1000 mg/l,

B) Ceftriaxone 1000 mg/l dan (C) Chlorampenicol 1000 mg/l.

Perbandingan Seluruh Perlakuan dengan Kontrol

Persentase eksplan heliconia terkontaminasi bakteri dibandingkan dengan

kontrol dianalisis dengan rancangan lingkungan acak kelompok, namun jenis dan

konsentrasi antibiotik dianggap sebagai satu faktor perlakuan.

Perlakuan kontrol, nyata memiliki persentase eksplan terkontaminasi

bakteri terbesar, meskipun nilainya tidak nyata bila dibandingkan dengan

perlakuan ceftriaxone 500 mg/l 1 MSP (Tabel Lampiran 6, Gambar 8).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Kontrol C1K1 C1K2 C2K1 C2K2 C3K1 C3K2

Perlakuan

Per

sen

tase

(%

)

1 MSP 3 MSP

Gambar 8. Grafik Perband ingan Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi

Bakteri Antara Kontrol dan Perlakuan Antibiotik

Kontaminasi bakteri internal merupakan masalah terbesar dalam kultur

jaringan heliconia (Rodrigues, 2005). Jika eksplan sudah terkontaminasi bakteri

internal, perlu dilakukan sterilisasi dengan fungisida sistemik atau dengan

penggunaan antibiotik (Gunawan, 1992).

Jenis Bakteri

Identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah eksplan yang terkontaminasi

bakteri sebanyak 82 eksplan dari keseluruhan eksplan yang ditanam. Sebanyak 71

eksplan atau 61.74% dari seluruh eksplan yang ditanam terkontaminasi oleh

bakteri Pseudomonas sp. (Tabel 8).

Keterangan : C1K1 : Cefotaxime 500 mg/l

C1K2 : Cefotaxime 1000 mg/l

C2K1 : Ceftriaxone 500 mg/l

C2K2 : Ceftriaxone 1000 mg/l

C3K1 : Chlorampenicol 500 mg/l

C3K2 : Chlorampenicol 1000 mg/l

Tabel 8. Jumlah Eksplan Heliconia yang Terkontaminasi Beberapa Jenis Bakteri Pada Setiap Perlakuan.

PERLAKUAN A B C D

Kontrol 13 0 0 0C1K1 13 0 2 0C1K2 10 0 1 1C2K1 12 0 1 2C2K2 11 1 1 1C3K1 8 0 0 0C3K2 4 1 0 0

JUMLAH 71 2 5 4Persentase (%) 61.74 1.74 4.35 3.48

Keterangan : A=Pseudomonas sp. (Berlendir bening hingga putih susu). B=Planococcus citreus (Sangat putih, ujung koloni tidak beraturan). C=Pseudomonas putida (Lendir putih, media berubah warna menjadi pink hingga merah). D=Kurthia gibsonii (Berlendir putih, menggenangi permukaan media).

Pseudomonas sp. merupakan bakteri yang dapat berkembang biak secara

bebas di lingkungan alam, bakteri gram negatif, berbentuk batang dan dapat

bersifat patogen terhadap manusia, hewan dan tanaman. Pseudomonas

solanacearum merupakan species yang menjadi patogen banyak tanaman (Holt et

al., 1994). Pseudomonas solanacearum adalah bakteri penyebab penyakit layu

pada tanaman heliconia (Sewake dan Uchida, 1995). Genus Pseudomonas hidup

di tanah dan membutuhkan energi dari luar. Jumlah genus ini di dalam tanah

tergantung banyaknya substrat yang ditambahkan untuk energinya (Rao, 1994).

Pseudomonas sp. masuk ke jaringan tanaman pada proses pemeliharaan tanaman.

Bakteri dapat menyebar melalui tanah yang digunakan sebagai media tanam dan

gulma yang tumbuh disekitar screen house.

Planococcus citreus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat atau

kokus yang berhabitat di lautan yang sangat toleran dengan kondisi garam yang

tinggi dan tidak bersifat patogen terhadap tanaman (Holt et al., 1994). Apabila

bakteri hidup dalam suatu organisme hidup dapat bersifat patogen karena

organisme tersebut dapat menjadi sumber makanannya (Pelczar dan Chan, 1986).

Eksplan yang terkontaminasi Planococcus citreus mengalami perubahan warna

menjadi coklat dan seperti menyusut (Gambar 9). Menurut Rodriguez (1988)

Planococcus sp. dapat ditemukan pada tanah yang hiper salin, barang-barang

yang mengandung garam tinggi dan makanan laut makarel. Penyebarannya

ke dalam tanaman dapat melalui sumber air yang digunakan dalam penyiraman

atau dari media tanam yang digunakan.

Perbedaan kontaminasi eksplan yang disebabkan oleh Pseudomonas

putida dengan Pseudomonas sp adalah bakteri tersebut memproduksi zat warna

atau pigmen yang dapat merubah warna media yang awalnya bening menjadi pink

hingga merah darah. Margalith (1992) menyatakan bahwa bakteri dapat

menghasilkan zat warna dengan mereduksi senyawa NO3 atau memiliki pigmen

dalam tubuhnya. Menurut Holt et al. (1994) Pseudomonas putida memilki pigmen

flourescent secara alami dalam tubuhnya.

Pseudomonas putida di dalam tanah bersifat menguntungkan untuk

pertumbuhan tanaman. Pseudomonas putida berkembangbiak di dalam akar dan

rizosfer, meningkatkan penyediaan nutrisi, mengeliminasi mikroorganisme

patogen dan memproduksi metabolit untuk pertumbuhan tanaman (Vancura,

1989). Meskipun bakteri ini bersifat menguntungkan, namun responnya dapat

berbeda pada kultur in vitro karena eksplan yang terkontaminasi bakteri ini tetap

saja mengalami kematian. Beberapa strain dari Pseudomonas putida memproduksi

senyawa yang berbahaya untuk tanaman.

Kurthia Gibsonii adalah bakteri gram positif berbentuk batang yang hidup

pada kotoran hewan dan makanan yang berbahan baku daging. Bakteri ini tidak

bersifat patogen (Holt et al., 1994). Penyebarannya dapat melalui pupuk organik

yang terdapat pada media tanam atau air yang sudah tercemari bakteri ini. Pada

awalnya bakteri ini tidak menyebabkan perubahan apapun terhadap eksplan,

namun bakteri ini sangat cepat berkembang hingga menutupi permukaan media

dan eksplan menjadi tergenang. Keadaan ini menyebabkan eksplan tidak dapat

bertahan dan berkembang lagi dan akhirnya mati.

Gambar 9. Gambar Jenis bakteri yang mengkontaminasi eksplan ; (A)

Pseudomonas sp., (B) Planococcus citreus, (C) Pseudomonas putida, (D) Kurthia Gibsonii

Pembahasan Umum

Chlorampenicol merupakan antibiotik berspektrum luas, aktif dalam

menghambat bakteri gram negatif, positif , ricketsia dan beberapa bakteri yang

tidak bisa dihambat oleh antibiotik lain (Subronto dan Tjahjati, 2002) dan bersifat

stabil dalam jangka waktu yang cukup lama (Seckinger dan Tores, 2004).

Keadaan ini menjadikan antibiotik chlorampenicol sangat aktif dalam

menghambat kontaminasi eksplan dalam jangka waktu yang lama.

Chlorampenicol adalah antibiotik yang aktivitasnya menghambat sintesis

protein pada bakteri (Madigan dan Martinko, 2006). Chlorampenicol aktif dalam

proses elongasi sintesis protein dengan menghambat enzim peptidyltransferase

yang merupakan media transfer asam amino (Leshem, 1973). Chlorampenicol

secara tidak langsung juga dapat berpengaruh pada sintesis protein tanaman dan

menyebabkan kematian eksplan.

Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan jenis antibiotik dari golongan

ß-laktam yang aktifitasnya menghambat dinding sel bakteri (Morin dan Gorman,

1982). Aktifitas ß- laktam adalah menyebabkan kerusakan peptidoglikan yang

menyebabkan lisisnya sitoplasma bakteri (Heritage et al., 1999). Struktur dinding

sel bakteri berbeda dengan sel tanaman, hal ini menyebabkan penggunaan

antibiotik ini cenderung aman untuk digunakan pada tanaman. Meskipun berasal

dari golongan antibiotik cefalosporin, ternyata memiliki respon yang berbeda

dalam menghambat kontaminasi bakteri.

Ceftriaxone diakui secara farmakologik lebih unggul karena memilki

waktu paruh yang panjang (Morin dan Gorman, 1982). Ceftriaxone lebih efektif

menghambat kontaminasi bakteri dibandingkan cefotaxime, meskipun pada

6 MSP terlihat jelas penurunan aktifitas antibiotiknya (Tabel 2).

Cefotaxime menghasilkan senyawa diasetil yang aktif dalam

penghambatan bakteri gram negatif (Morin dan Gorman, 1982), oleh karena itu,

jumlah kontaminasi bakteri pada cefotaxime menjadi lebih rendah pada 6, 9 dan

12 MSP, bila dibandingkan dengan ceftriaxone (Tabel 2). Meskipun aktifitas

antibiotik cefotaxime mengalami penurunan, senyawa diasetil tetap aktif dalam

menghambat bakteri internal dan bakteri yang tumbuh dari masa dormansinya.

Cefotaxime aman untuk jaringan tanaman, oleh karena itu inisiasi dan

pertumbuhan tunas dapat berlangsung dengan baik. Penurunan inisiasi dan

pertunasan terjadi karena adanya kontaminasi bakteri internal yang terjadi pada

saat semakin menurunya aktifitas antibiotik.

Tingkat kontaminasi bakteri pada perlakuan antibiotik masih tetap tinggi,

oleh karena itu dilakukan identifikasi bakteri. Identifikasi bakteri dilakukan agar

sumber bakteri dan jenis antibiotik yang tepat untuk menghambat bakteri tersebut

dapat diketahui. Chlorampenicol merupakan antibiotik yang paling efektif dalam

menghambat Pseudomonas sp., yang menjadi penyebab utama kontaminasi

(Tabel 8).

Perkembangan persentase kontaminasi bakteri pada semua perlakuan,

ternyata menunjukkan adanya penurunan aktivitas antibiotik yang menyebabkan

ketidakmampuan untuk menghambat bakteri internal yang patogenik serta

terjadinya resistensi bakteri. Menurut Morin dan Gorman (1982), adanya

penghambatan perakitan dinding sel atau perusakan pada sifat perlindungan

dinding sel oleh antibiotik, tidak berarti bakteri tidak dapat bertahan hidup. Pada

kenyataannya bakteri dapat bertahan dengan perubahan morfologi bakteri,

produksi hidrolase atau fenomena lain yang menunjukkan resistensi bakteri.

Nogrady (1994) menyatakan bahwa ada 3 lapisan dalam dinding sel bakteri yaitu

membran luar, ruang periplasma dan peptidoglikan. Aktifitas antibiotik ß- laktam

adalah menghambat peptidoglikan yang merupakan tempat sintesis dinding sel

bakteri, namun bakteri dapat menghasilkan senyawa ß- laktamase untuk

menghancurkan antibiotik tersebut di ruang periplasma. Ketidakmampuan

antibiotik dalam menembus peptidoglikan menyebabkan resistensi bakteri

terhadap antibiotik ß-laktam.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan jenis antibiotik chlorampenicol memiliki persentase

kontaminasi bakteri terkecil, namun menyebabkan toksik pada jaringan tanaman.

Cefotaxime memberikan respon terbaik dalam inisiasi dan pertunasan eksplan

heliconia. Konsentrasi 1000 mg/l memberikan respon yang terbaik dalam

menghambat kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia.

Interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik tidak terjadi pada eksplan

terkontaminasi bakteri. Interaksi perlakuan cefotaxime 1000 mg/l memberikan

respon terbaik dalam inisiasi eksplan heliconia pada 3 MSP. Bakteri

Pseudomonas sp adalah bakteri utama yang menyebabkan kontaminasi pada

eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang penggunaan jenis antibiotik

kanamycin, gentamicin, neomicin, carbenicillin atau antibiotik lain yang dapat

mengendalikan kontaminasi eksplan akibat bakteri Pseudomonas sp. pada kultur

jaringan heliconia.

Antibiotik cefotaxime tidak menyebabkan toksik terhadap jaringan

tanaman dan tidak menghambat perkembangan eksplan, sehingga perlu dilakuan

penelitian untuk menggunakannya dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Eksplan

yang sudah steril pada media chlorampenicol, perlu dipindahkan ke media bebas

chlorampenicol sebelum menyebabkan toksik pada eksplan.

Media perlakuan antibiotik hendaknya disimpan dalam ruang gelap dan

penyimpanan kultur pada perlakuan antibiotik disimpan pada tempat dengan

intensitas cahaya rendah, untuk mengurangi terjadinya degradasi zat antibiotik.

Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan perlakuan antibiotik pada media

cair.

DAFTAR PUSTAKA

Atehortua, L. 1997. Heliconias : A New Challange for the Columbian Floricultural Industry. Biotechnology and Development Monitor 3:2021.

Beyl, B. 2000. Getting Started with Tissue Culture – Media Preparation, Sterile Technique and laboratory Equipment. P. 21-53. In : R. N. Trigiano and D. J. Gray (Eds). Plant Tissue Culture and laboratory Exercises. CRC Press. London.

Berry, F. and W. J. Kress. 1991. Heliconia an Identification Guide. Smithsonian Institution Press. Washington. 331p.

Bryden, D., P. Fahy, L. C. Jones, P. J. McDonald, M. L. Moffet, J. A. Seberry, R. B. Taylor, R. K. Howard and C. Princehorn. 1994. Antibiotic in Agronomy and Horticulture. http://www7. health. gov.au/ nhmrc/ publications/synopses/dp15syn.htm. [4 September 2005].

Dods, J. H. and L. W. Robert. 1995. Experiment in Plant Tissue Culture 3rd ed. Cambridge University Press. Amerika. 256p.

George, E. F. and L. W. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture Handbook and Directory of Comercial Laboratories. Exegetics Ltd. England. 709p.

Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 165hal.

Guri, Z. Assaf, Patel and Kishor N. 1998. Compositions and methods to prevent microbial contamination of plant tissue culture media. http://Patf. uspto. gov/netacgi/nph-parser?sect1=PT01. Diakses tanggal 15 Juni 2006.

Heritage, J., E. G. V. Evans and R. A. Kilington. 1999. Microbial in Action. Cambridge University Press. UK. 290p.

Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley dan S. T. Wiliam. 1994. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology 9th ed. Lippincott Wiliam and Wikins. Philadelphia. 785hal.

Leifert, C. And A. C. Cassels. 2001. Microbial Hazard in Plant Tissue and Cell Cultures. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 37:133-138.

Leshem, Y. 1973. The Molecular and Hormonal Basis of Plant Growth Regulator. Pergamon Press. New York. 156p.

Madigan, M. T. and J. M. Martinko.2006. Brock Biology of Microorganisme 11th ed. Pearson education, Inc. South of America. 1019p.

Margalith, P. Z. 1992. Pigment Microbiology. Chapman and hall. London. 156p.

Marulanda, M. L. and L. Asaza. 2004. Establecimento In Vitro De Heliconias Con Fines De Produccion Masiva. www.utp.edu.co/php/refistas/scientia et technica/docs fte/115817193-197pdf. [25 September 2005]

Mol, H. 1975. Antibiotics and Milk, A Contribution to The Problem and Solution. A.A Balkema. Roterdam. 206p.

Morin, R. B. and M. Gorman.1982. Kimia dan Biologi Antibiotik B-Laktam. Penerjemah : Sri Mulyani. IKIP Semarang Press. Semarang. 553hal.

Nogrady, T. 1995. Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia Edisi kedua. Penerjemah : I. Rasyid dan A. Musadad. ITB Press. Bandung. 630hal.

Oey, E. M. 1996. Tropical Flower of Southeast Asia. Periplus. Singapore. 63p.

Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerjemah : R. S. Hadioetomo, T. Imas, S. S. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 443.

Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Njhoff publisher. Netherland. 344p.

Rao, S. N. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Institut Riset Pertanian India. India. 352hal.

Rimando, T. J. 2003. Ornamental Horticulture a Little Giant in The Tropics. SEAMEO Philiphines. 333p.

Rodrigues, P.H.V. 2005. In vitro estblisment of Heliconia rauliniana. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_issuetoc&pid=0103901620050001& lng= en&nrm= iso. [19 Maret 2005].

Rodriguez, F. 1988. Halopilic Bacteria Vol. 1. CRC Press. Florida. 149p.

Santoso, U. dan F. Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. 191 hal.

Schelegel, H. G. and k. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum Edisi ke-6. Penerjemah : R. M. T. Baskoro. Gajah mada University Press. Yogyakarta. 668hal.

Seckinger and Tores. 2004. World Congress of In Vitro Biology. http://www.phytotechlab.com/TABSTYLE/webdocs/SIVB%20May%202004.pdf. [31 Agustus 2005].

Sewake, K. T. and J. Y. Uchida. 1995. Disease of Heliconia in Hawai. www.

heliconia society pt.org/resource.htm. [25 September 2005].

Subronto dan I. Tjahjati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 430hal.

Trigiano, R. N. and D. J. Gray. 2000. Introduction to Plant Tissue Culture, p. 3-7. In : R. N. Trigiano and D. J. Gray. 2000. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercises. CRC Press. London. 454p.

Vancura, V. 1981. Inoculation of Plants With Pseudomonas putida, p. 185-190. In : V. Vancura and F. Kunc (Eds). Interelationship Between Microorganisms and Plants in Soil. El Sevier. Tokyo.

Wetherel, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Penerjemah: Koensoemardiyah dan D. Gunawan. IKIP Semarang Press. Semarang. 110hal.

Wikipedia. 1993. Antibiotic. <http://en.wikipedia.org/wiki/Antibiotics. [26> Juli 2006].

Yu, T. A., S. D. Yeh and J. S. Yang. 2001. Effects of carbenicilin and Cefotaxime on Papaya Regeneration. http://e journal. sinica. edu. tw/ bbas/ content/ 2001/4/bot 424-07.pdf. [20 Januari 2006].

Tabel Lampiran 1. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri*

Sumber db JK KT F Pr>F3 MSP Ulangan 2 0.26 0.13 1.45 0.28

Jenis Antibiotik 2 0.49 0.24 2.72 0.11Konsentrasi 1 0.18 0.18 1.97 0.19Jenis*Konsentrasi 2 0.10 0.05 0.54 0.60Galat 10 0.89 0.09

6 MSP Ulangan 2 0.09 0.05 1.80 0.21Jenis Antibiotik 2 1.67 0.83 31.72 0.00Konsentrasi 1 0.50 0.50 19.02 0.00Jenis*Konsentrasi 2 0.01 0.01 0.23 0.80Galat 10 0.26 0.03

9 MSP Ulangan 2 0.00 0.00 0.04 0.97Jenis Antibiotik 2 1.08 0.54 16.61 0.00Konsentrasi 1 0.22 0.22 6.74 0.03Jenis*Konsentrasi 2 0.08 0.04 1.24 0.33Galat 10 0.33 0.03

12 MSP Ulangan 2 0.00 0.00 0.02 0.98Jenis Antibiotik 2 1.36 0.68 17.67 0.00Konsentrasi 1 0.09 0.09 2.26 0.16Jenis*Konsentrasi 2 0.01 0.01 0.15 0.86Galat 10 0.38 0.04

Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+0.5)

Tabel Lampiran 2. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Mati Akibat Toksisitas

Antibiotik*

Sumber db JK KT F Pr>F8 MSP Ulangan 2 0.00 0.00 0.00 1.00

Jenis Antibiotik 2 0.13 0.06 3.75 0.06Konsentrasi 1 0.01 0.01 0.42 0.53Jenis*Konsentrasi 2 0.01 0.01 0.42 0.67Galat 10 0.17 0.02

10 MSP Ulangan 2 0.01 0.01 0.45 0.65Jenis Antibiotik 2 0.23 0.11 7.27 0.01Konsentrasi 1 0.00 0.00 0.00 1.00Jenis*Konsentrasi 2 0.00 0.00 0.00 1.00Galat 10 0.16 0.02

12 MSP Ulangan 2 0.05 0.02 1.06 0.38Jenis Antibiotik 2 0.62 0.31 14.14 0.00Konsentrasi 1 0.01 0.01 0.32 0.58Jenis*Konsentrasi 2 0.01 0.01 0.32 0.73Galat 10 0.22 0.02

Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+1.5)

Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Berinisiasi*

Sumber db JK KT F Pr>F3 MSP Ulangan 2 0.14 0.07 1.09 0.37

Jenis Antibiotik 2 0.80 0.40 6.13 0.02Konsentrasi 1 0.16 0.16 2.45 0.15Jenis*Konsentrasi 2 0.72 0.36 5.58 0.02Galat 10 0.65 0.06

5 MSP Ulangan 2 0.16 0.08 4.12 0.05Jenis Antibiotik 2 0.13 0.06 3.23 0.08Konsentrasi 1 0.03 0.03 1.44 0.26Jenis*Konsentrasi 2 0.06 0.03 1.42 0.29Galat 10 0.20 0.02

7 MSP Ulangan 2 0.02 0.01 0.10 0.91Jenis Antibiotik 2 0.75 0.37 3.27 0.08Konsentrasi 1 0.11 0.11 0.92 0.36Jenis*Konsentrasi 2 0.16 0.08 0.69 0.52Galat 10 1.14 0.11

Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+2) Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Bertunas *

Sumber db JK KT F Pr>F6 MSP Ulangan 2 0.01 0.01 0.45 0.65

Jenis Antibiotik 2 0.18 0.09 7.27 0.01Konsentrasi 1 0.00 0.00 0.00 1.00Jenis*Konsentrasi 2 0.00 0.00 0.00 1.00Galat 10 0.12 0.01

9 MSP Ulangan 2 0.06 0.03 0.59 0.57Jenis Antibiotik 2 0.06 0.03 0.59 0.57Konsentrasi 1 0.04 0.04 0.72 0.42Jenis*Konsentrasi 2 0.08 0.04 0.72 0.51Galat 10 0.52 0.05

12 MSP Ulangan 2 0.06 0.03 0.59 0.57Jenis Antibiotik 2 0.06 0.03 0.59 0.57Konsentrasi 1 0.04 0.04 0.72 0.42Jenis*Konsentrasi 2 0.08 0.04 0.72 0.51Galat 10 0.52 0.05

Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+2) Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri

Perbandingan Kontrol

Sumber db JK KT F Pr>F1 MSP Ulangan 2 1.52 0.76 1.41 0.28

Sampel 6 26.95 4.49 8.32 0.00Galat 12 6.48 0.54

3 MSP Ulangan 2 1.81 0.90 1.23 0.33Sampel 6 28.57 4.76 6.45 0.00Galat 12 8.86 0.74

Tabel Lampiran 6. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri

Perbandingan dengan Kontrol

Perlakuan 1 MSP 3 MSPKontrol 66.6a 86.6aC1K1 26.6bc 40.0bC1K2 26.6bc 40.0bC2K1 53.4ba 33.4bC2K2 13.4c 20.0bC3K1 6.6c 26.6bC3K2 0.0c 6.6b

Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.