pengaruh infusum daun alpukat dalam menghambat … · ii pernyataan mengenai tesis dan informasi...
TRANSCRIPT
PENMEN
NGARUHNGHAMB
R
IN
H INFUSUBAT PEM
GIN
RINI MAD
SEKOLANSTITUT
UM DAUNMBENTUKNJAL TIK
DYASTUT
AH PASCAPERTAN
2010
N ALPUKAKAN KRIS
KUS
TI PURWO
ASARJANNIAN BOG
AT DALASTAL PAD
ONO
NA GOR
AM DA
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Infusum Daun
Alpukat dalam Menghambat Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Rini Madyastuti Purwono B351070021
iii
SUMMARY
RINI MADYASTUTI PURWONO. The effect of Avocado leaves (Persea americana Mill) Infusion in Inhibition of Crystallization Development in Rat Kidney. Under the direction of IETJE WIENTARSIH, SETYO WIDODO dan EVA HARLINA.
ABSTRACK
The objective of this research is to explore the influence of infusum of avocado leaves by the inhibition activity of crystallization formation in the rat kidneys. Twenty heads of white male rats with body weight average of 200-250 grams were used in this research. The animals were divided into four groups, A,B,C dan D, five animals each, respectively. Group A as control received drinking water ad libitum, group B as positive control received ethylene glycol solution, group C received ethylene glycol and 5% of infusum avocado leaves and group D received ethylene glycol and 10% of infusum avocado leaves. Blood sample were aspirated intracadially for kidney function test and kidney slides for histopathologic examination. The results show that the ethylene glycol reduce glomeruler filtration rate and alters the morphologic structure of renal glomeruli and tubules. The crystal formation is formed after ethylene glycol drenching and fragmented/polarized after administration of infusum avocado leaves. The formation and polarization process of crystallization will be discussed in details.
iv
RINGKASAN
RINI MADYASTUTI PURWONO. Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Persea americana Mill) dalam Menghambat Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus. Dibimbing oleh IETJE WIENTARSIH, SETYO WIDODO dan EVA HARLINA.
Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan tumbuhan obat dan saat ini penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung meningkat. Salah satu tumbuhan yang memiliki potensi obat secara empiris adalah tumbuhan alpukat.
Batu ginjal menempati urutan ketiga masalah sistem urinari setelah infeksi saluran kemih dan kelainan prostat. Tingkat kekambuhan setelah serangan pertama adalah 14%, 39% dan 52% pada tahun ke 1, 5 dan 10. Adanya tingkat keterulangan yang tinggi maka upaya-upaya preventif lebih dianjurkan dibandingkan pengobatan. Batu ginjal terdiri dari kristal-kristal kecil yang berikatan dan membentuk masa yang lebih besar. Apabila kristal penyusun batu ginjal dapat dihambat proses agregasinya, maka batu ginjal tidak akan terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kandungan fitokimia infusum daun alpukat dan pengaruhnya dalam menghambat pembentukan kristal ginjal.
Sebanyak dua puluh ekor hewan coba tikus dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor. Group A merupakan kelompok kontrol negatif yang diberi air minum ad libitum. Group B adalah kelompok kontrol positif yang diberi air minum berisi 0,75% etilen glikol dan 2% amonium klorida (inducer) ad libitum. Group C dan D adalah kelompok yang diberi inducer dan dicekok larutan infusum daun alpukat 5% dan 10%. Perlakuan dilaksanakan selama 10 hari.
Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0, 5 dan 11 secara intrakardial. Serum dianalisis untuk mengetahui kadar kreatinin, ureum dan laju flitrasi glomerulus. Pada hari ke- 11 dilakukan nefrotomi, dan ginjal dibuat preparat histopatologi untuk diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilli-Eosin. Pengamatan histopatologi dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan mikroskop cahaya, sedangkan pengamatan kristal dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan.
Hasil pemeriksaan parameter non spesifik simplisia menunjukan kadar air 4,19% dan kadar abu 4,25%. Hasil uji tapis infusum daun alpukat mengandung flavonoid, tanin, kuinon dan saponin.
Pada hari ke-11 rata-rata kadar ureum serum kelompok yang diberi infus daun alpukat lebih rendah dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol positif), sedangkan kadar kreatinin serum kelompok yang diberi infus daun alpukat cenderung lebih rendah (p>0,05) dibanding kelompok kontrol positif.
Penurunan rata-rata nilai kreatinin klirens pada kelompok B karena adanya paparan bahan nefrotoksik yang menyebabkan acute tubular necrosis. Pada tahap selanjutnya akan terjadi vasokontriksi dan mengakibatkan kenaikan tekanan darah sistemik yang berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus.
v
Etilen glikol merupakan bahan yang bersifat nefrotoksik sehingga menimbulkan perubahan histopatologi pada ginjal berupa edema glomerulus dan kelainan tubulus berupa droplet hyalin, endapan protein di lumen dan epitel yang nekrotik. Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase lesio nekrosis tubular ginjal.
Pada kelompok yang diinduksi etilen glikol terbentuk terbentuk kristal yang cukup besar di daerah duktus kolektivus, sedangkan [pada kelompok yang diberi infuse daun alpukat ditemukan Kristal dengan ukuran sangat kecil di dalam tubulus proksimal ginjal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian infusum daun alpukat dapat menghambat terbentuknya kristal di tubulus ginjal dengan mencegah proses agregasi kristal.
Pemberian infusum daun alpukat menghasilkan metabolit asam dihidrofenilasetat, asam metahidroksifenilasetas dan asam 4-hidroksi-3-metoksifenilasetat. Ketiga metabolit merupakan senyawa organik yang memiliki gugus fungsional karboksilat. Adanya gugus karboksilat ini akan cenderung beresonansi dan menghasilkan ion hidrogen yang selanjutnya akan menggeser kesetimbangan reaksi dari kalsium oksalat untuk mengurai kembali menjadi ion-ion. Dengan demikian proses pembentukan endapan kalsium oksalat dapat dihambat karena proses perkembangan inti menjadi massa batu ginjal dapat dihambat.
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Pengaruh infusum daun Alpukat dalam menghambat pembentukan kristal pada ginjal tikus
Nama : Rini Madyastuti Purwono
NRP : B351070021
Program Studi : Ilmu Biomedis Hewan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr.Dra. Hj. Ietje Wientarsih MSc. Apt. Ketua
Dr.drh. Setyo Widodo Dr. drh. Eva Harlina MSi, APVet. Anggota Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Biomedis Hewan
Prof.Dr.Drh.Bambang Pontjo MS APVet Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro MS
vii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
yang berjudul ”Pengaruh Infusum Daun Alpukat dalam Menghambat
Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus” yang merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan Mei 2009 hingga Januari 2010.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih Apt. MSc. selaku ketua komisi
pembimbing, Bapak Dr. Drh. Setyo Widodo dan Dr. Drh. Eva Harlina MSi
sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan tulus telah memberikan
bimbingan, nasihat, dorongan semangat serta menyediakan waktu selama
pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Dr.Drh.Ekowati Handharyani MSi atas kesediaannya untuk menelaah
tesis ini serta menjadi Penguji Luar Komisi pada ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Puji Handoko di Laboratorium
Farmasi, Bapak Soleh, Bapak Kasnadi dan Bapak Endang di Bagian Patologi
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH-IPB, Ibu Hj Asmarida dan Ibu
Sri Hartini di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan
Farmakologi.
Khusus kepada mahasiswa FKH Isnia Nurulazmy dan Ikrar Trisnaning
Hardi Utami. Mahasiswa Farmasi Universitas Pakuan Dina Rubina, Jatnika
Wijaksana dan Resha Vyata, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian
ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
seperjuangan IBH 2007 dan BRP 2007, drh Sosetyoratih, drh Budhi Jasa
Widyananta, drh. Faisal Jamin, drh. Siti Aisyah, drh. Taufik Purna Nugraha,
viii
Dadang Djaenudin dan Lutvi MSi, yang telah memberikan kebersamaan dalam
menjalani masa pendidikan pasca ini dan semangatnya serta dukungannya.
Terima kasih yang setulusnya atas doa dan dorongan semangat yang telah
diberikan kepada Mamah Warsiati, Mas Heri Triyanto, Mas Isnan Triswanto dan
Krisna Wuriyanto.
Akhirnya dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, tulisan ini
kupersembahkan kepada suami Heri Herwanda, Nabila Keyla Nazline dan
Fadhlan Aidil Akbar atas cinta kasih, pengertian, kesabaran, dorongan semangat
dan dukungan yang selalu diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010
Rini Madyastuti Purwono
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 8 Juni 1978 dari Ayah AK
Purwono dan Ibu Warsiati. Penulis merupakan anak keempat dari lima
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Farmasi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, lulus pada
tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis diterima di Mayor Ilmu Biomedis Hewan
pada program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2010. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.
Penulis mulai diangkat menjadi PNS pada Institut Pertanian Bogor pada
tahun 2006 hingga saat ini. Saat ini penulis membantu Mata kuliah sediaan
farmasi dan terapi umum pada tingkat sarjana dan ilmu reseptir pada jenjang
Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH).
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... Xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... Xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. Xiv
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................................ 3
Tujuan ..................................................................................................... 3
Manfaat ................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4
Alpukat (Persea americana Mill) .......................................................... 4
Flavonoid ................................................................................................ 7
Ekstrak dan Infus ..................................................................................... 8
Hewan Percobaan ................................................................................... 8
Kristal Urin ............................................................................................. 10
Batu Kalsium Oksalat ............................................................................. 12
Etilen Glikol ........................................................................................... 14
Ginjal ............................................................................................................................. 16
Histologi Ginjal ......................................................................................................... 18
METODE PENELITIAN ..................................................................................... 20
Waktu dan Tempat ................................................................................. 20
Bahan dan Alat ..................................................................................... 20
Determinasi dan Pengumpulan Daun Alpukat ....................................... 20
Pembuatan serbuk simplisia Daun Alpukat ............................................ 20
Penapisan Fitokimia ................................................................................ 21
Pembuatan Larutan Infus Daun Alpukat ................................................ 22
xi
Induksi Hewan Coba .............................................................................. 22
Desain Penelitian .................................................................................... 22
Analisis Ureum Serum ........................................................................... 23
Analisis Kreatinin Serum ....................................................................... 23
Analisis Klirens Kreatinin ...................................................................................... 23
Pembuatan Preparat Hematoksilin-Eosin .......................................................... 24
Evaluasi Histopatologi ............................................................................................. 24
Analisa data ................................................................................................................. 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................... 25
Kadar air, Kadar Abu dan Penapisan Fitokimia .............................................. 25
Kadar Ureum Serum ................................................................................................ 26
Kadar Kreatinin Serum ............................................................................................ 28
Nilai Klirens Kreatinin ............................................................................................ 30
Evaluasi Histopatologi Ginjal Tikus ................................................................... 32
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 39
Kesimpulan .................................................................................................................. 39
Saran .............................................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 40
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data Biokimia Tikus ..………………………………………………... 10
2 Komposisi penyusun batu ginjal ……………………………………... 13
3 Literatur pengguna etilen glikol dan amonium klorida sebagai induser urolitiasis pada tikus …………………………………………………..
16
4 Parameter renal ekskretori tikus ……………………………………… 17
5 Hasil uji penapisan fitokimia simplisia dan infusum daun alpukat …... 25
6 Rerata kadar ureum serum (mg/dl) tikus dari seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ……………………………….….
27
7 Rerata kadar kreatinin serum (mg/dl) tikus dari seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ………………………………….
29
8 Rerata nilai klirens kreatinin (ml/mnt) seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11………………………………………………
31
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman Alpukat (Persea americana) Mill …………………...…….. 5
2 Struktur dari metabolit sekunder flavonoid, isoflavon Dam neoflavonoid …………………………………………………..…........
7
3 Hewan coba tikus galur Sprague Dawley ……………………………. 9
4 Tahapan utama dalam kristalisasi garam kalsium …………………… 11
5 Metabolisme etilen glikol setelah pemberian peroral ……………..…. 15
6 Anatomi ginjal tikus ………………………………………………….. 17
7 Histologi ginjal normal ………………………………………………. 18
8 Rerata kadar ureum (mg/dl)serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ……………………………………
27
9 Rerata kadar kreatinin (mg/dl)serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ……………………………………
29
10 Rerata Nilai klirens kreatinin (ml/mnt) serum tikus Seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ………………………..
31
11 Edema glomerulus dan tubulus nekrotik pada kelompok B Pasca pemberian etilen glikol …………………………………………
33
12 Tubulus nekrotik dengan endapan protein di lumen Pada kelompok B …………………………………………………..…
34
13 Hyalin droplet di epitel tubulus proksimal dan tubulus Nekrotik pada ginjal tikus kelompok B ………………………………
34
14 Kristalisasi pada ginjal tikus kelompok B di daerah Duktus kolektivus …………………………………………………….
35
15 Kristal dengan ukuran kecil di lumen tubulus distal ginjal Kelompok C ………………………………………………………….
37
16 Kristal dengan ukuran sangat kecil di lumen tubulus distal ginjal Kelompok D ……………………………………………………
37
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil determinasi tanaman alpukat ….……………………………...... 45
2 Analisis statistik kadar ureum serum ………………………………….. 46
3 Analisis statistik kadar kreatinin serum ……………………………….. 54
4 Analisis statistik klirens kreatinin ……………………………………... 61
xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki plasma nutfah berupa
tumbuhan yang tergolong cukup beragam di dunia. Dari 40 ribu jenis tumbuhan
yang ada di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Dari 30 ribu jenis
tumbuhan di Indonesia, 90% merupakan tanaman obat, namun baru 17% yang
sudah dimanfaatkan secara komersil sebagai bahan baku obat tradisional. Saat ini
penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung meningkat, sejalan dengan
kecenderungan kembali ke alam (back to nature). Sumber daya alam yang
melimpah merupakan peluang dalam pengembangan bahan alam sebagai obat
alternatif (obat tradisional) dalam menyembuhkan penyakit.
Saat ini penggunaan obat tradisional semakin banyak digunakan karena
harga yang relatif murah, praktis dalam pemakaian, bahan baku yang mudah
diperoleh dan efek samping yang relatif kecil (Sofowara dan Abayoni 1982).
Dengan meningkatnya penggunaan obat tradisional, mendorong para ahli untuk
meneliti zat aktif melalui serangkaian pengujian standar di laboratorium.
Pengujian laboratorium yang harus dilakukan antara lain uji penapisan fitokimia
untuk mengetahui kandungan senyawa pada bahan tersebut, uji toksisitas untuk
mengetahui keamanan apabila dikonsumsi untuk pengobatan, uji eksperimental
terhadap hewan percobaan dan uji klinis untuk memastikan efek farmakologi.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi obat secara empiris adalah daun
tanaman alpukat (Persea americana Mill). Alpukat (Persea americana Mill)
merupakan keluarga Lauraceae. Daun alpukat selama ini hanya dikenal sebagai
limbah yang tidak pernah dimanfaatkan, namun sebagian masyarakat telah
menggunakan daun alpukat sebagai diuretik, analgesik, anti radang, anti
hipertensi, anti hipoglikemia, anti diare, mengobati sakit tenggorokan dan
perdarahan (Brai et al. 2007). Penapisan fitokimia telah dilakukan oleh Wientarsih
et al. (2008), dan hasilnya adalah ekstrak etanol daun alpukat mengandung
flavonoid yang memberikan aktivitas diuretik.
xvi
Menurut Barnes et al. (2002), kombinasi kalium dan flavonoid
memberikan aktivitas diuretik yang cukup kuat. Pada umumnya tanaman yang
mempunyai kandungan kalium mempunyai efek sebagai penghancur batu saluran
kemih secara in vitro. Menurut Alfianti (2009), kandungan kalium dalam ekstrak
etanol daun alpukat cukup tinggi. Simanjuntak (2007), menyatakan infusum daun
alpukat lebih banyak melarutkan kalsium oksalat pada batu ginjal dibandingkan
dengan infusum herba meniran. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wientarsih et
al. (2008) memberikan hasil bahwa ekstrak etanol daun alpukat dosis 100
mg/kgbb dan 300 mg/kgbb mempunyai aktivitas diuretik dan menghambat
terjadinya mineralisasi kalsium oksalat pada tikus putih.
Menurut Bahdarsyam (2003), Indonesia merupakan salah satu negara yang
dilalui sabuk batu sehingga memiliki tingkat insiden batu ginjal yang cukup
tinggi. Batu ginjal menempati urutan ketiga setelah infeksi saluran kemih dan
kelainan prostat. Tingkat kekambuhan setelah serangan pertama adalah 14%, 39%
dan 52% pada tahun ke 1, 5 dan 10 secara berurutan. Semakin tinggi resiko untuk
terjadinya keterulangan batu ginjal maka upaya-upaya preventif lebih dianjurkan
dibandingkan pengobatan.
Batu ginjal adalah benda-benda padat yang ditemukan di dalam ginjal
yang terbentuk melalui proses fisikokimiawi dari zat-zat yang terkandung di
dalam air kemih. Batu ginjal terdiri dari kristal-kristal kecil yang terakumulasi.
Kristal dapat mengendap di dalam saluran kemih ketika urin dalam kondisi
supersaturasi. Sebelum menjadi batu ginjal, kristal harus mengalami proses
pengikatan di ginjal (Verkoelen et al. 2005). Pada kondisi normal dan sehat
pembentukan kristal tetap terjadi, kristal akan berikatan dengan permukaan sel
epitel tubulus yang selanjutnya akan difagositosis oleh makrofag atau lisosom sel
tersebut (Tsujita 2007).
Sekitar 80% batu ginjal merupakan batu kalsium yang umumnya terdiri
dari kalsium oksalat (CaOx) (Katzung 1995). Kristal kalsium oksalat sangat
umum ditemukan pada kondisi hiperoksaluria. Hiperoksaluria sekunder dapat
diperoleh dari pola makan atau gaya hidup yang berlebihan dalam mengkonsumsi
makanan kaya oksalat seperti coklat, kacang-kacangan dan bayam serta diet tinggi
xvii
protein hewani (Shekarriz et al. 2008). Selanjutnya kristal harus mengalami
interaksi dengan epitel sel untuk menjadi nefrolit (batu ginjal).
Ketersediaan bahan daun alpukat yang berlimpah merupakan suatu
peluang dalam memberikan alternatif pengobatan asli Indonesia. Daun alpukat
yang mengandung kalium dan flavonoid diharapkan mempunyai aktivitas
menghambat pembentukan kristal di ginjal.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kandungan fitokimia infusum
daun alpukat dan pengaruh pemberian infusum daun alpukat dalam menghambat
pembentukan kristal pada ginjal tikus yang diinduksi etilen glikol.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data ilmiah tentang daun
alpukat, sebagai landasan menjadikan daun alpukat sebagai obat alternatif dalam
pencegahan terjadinya keterulangan kasus batu ginjal. Melalui penggunaan obat
herbal ini diharapkan pencegahan penyakit batu ginjal tidak mahal lagi dan dapat
mengurangi resiko toksik dari bahan-bahan kimia sehingga dapat meningkatkan
kesehatan masyarakat Indonesia.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat akan khasiat daun alpukat serta nilai tambah bagi pohon alpukat
secara ekonomis.
xviii
TINJAUAN PUSTAKA
Alpukat (Persea americana Mill)
Pohon alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama
alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur atau Jawa Tengah), jamboo pokat
(Batak), pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman alpukat berasal dari dataran
rendah Amerika Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia antara tahun 1920-
1930. Indonesia telah membudidayakan 20 varietas alpukat dari Amerika Tengah
dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas-varietas unggul.
Pohon alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu
5-1500 m di atas permukaan laut, tetapi tanaman ini akan tumbuh subur dengan
hasil yang memuaskan pada ketinggian 200-1000 m di atas permukaan laut.
Tanaman alpukat ras Meksiko dan Guatemala lebih cocok ditanam di daerah
dengan ketinggian 1000-2000 m, sedangkan ras Hindia Barat pada ketinggian 5-
1000 m di atas permukaan laut (Prihatman 2000).
Taksonomi alpukat (Persea americana Mill) menurut Prihatman (2000)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivis : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Ranales
Keluarga : Lauraceae
Marga : Persea
Spesies : Persea americana Mill
Negara-negara penghasil alpukat terbesar di dunia adalah Amerika
(Florida, California, Hawai), Australia, Cuba, Argentina, dan Afrika Selatan
sedangkan di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, sebagian Sumatera,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara.
xix
Gambar 1 Tanaman Alpukat (Persea americana Mill).
Morfologi
Alpukat merupakan tanaman hortikultura yang dapat tumbuh dan ditanam
di daerah yang agak kering dan basah serta dapat tumbuh dengan baik pada
tanah yang gembur, tidak mudah digenangi air, dan pH tanah berkisar antara
5,5-6,5.
Alpukat (Persea americana Mill) merupakan famili Lauraceae. Tanaman
ini berbentuk pohon, tinggi 3-10 m, ranting teguh berambut halus, perbungaan
berupa malai terletak dekat ujung ranting dan berbunga banyak. Buah berbentuk
bola lampu sampai berbentuk bulat telur, panjang 5-20 cm, lebar 5-10 cm, tanpa
sisa bunga, warna buah hijau atau kuning kehijauan, berbintik-bintik ungu atau
ungu sama sekali. Buah memiliki biji satu berbentuk bola, garis tengah 2,5-5
cm. Tanaman alpukat dapat diperbanyak dengan menggunakan biji.
Pemeliharaan tanaman ini mudah seperti tumbuhan lain, dibutuhkan cukup air
dengan penyiraman untuk menjaga kelembaban tanah dan pemupukan terutama
pupuk dasar. Tanaman ini menghendaki tempat yang cukup sinar matahari.
xx
Deskripsi Daun
Daun alpukat merupakan daun tunggal, bertangkai, letak tersebar dan
menumpuk di ujung ranting. Daun berbentuk oval sampai lonjong, panjang 10-
20 cm, lebar 3 cm, panjang tangkai 1,5-5 cm. Panjang helaian daun 10- 20 cm,
lebar 3-10 cm. Pangkal daun dan ujung daun meruncing, pinggir daun rata,
kadang-kadang agak menggulung ke atas. Permukaan daun licin, warna hijau
sampai hijau kecoklatan atau coklat keunguan, penulangan menyirip, panjang
tangkai daun 1,5 sampai 5 cm.
Kandungan Kimia
Tanaman alpukat mengandung senyawa kimia pada setiap bagiannya yaitu :
1. Kulit ranting mengandung beberapa zat kimia yaitu minyak terbang seperti
metilkavikol, alpapien, tanin, dan flavonoid.
2. Daun mengandung saponin, alkaloida, flavonoid, polifenol, quersetin dan
gula alkohol persit.
3. Buah alpukat mengandung betakaroten, klorofil, vitamin E, dan vitamin B-
kompleks yang berlimpah
4. Biji alpukat mengandung protein dan lemak
Manfaat Alpukat
Menurut Winarto (2007), manfaat dan khasiat daun alpukat antara lain
untuk mengobati sariawan, kencing batu, sakit kepala, nyeri saraf (neuralgia),
nyeri lambung, saluran napas membengkak (bronchial swellings), sakit gigi,
menstruasi tidak teratur dan melembabkan kulit kering. Biji alpukat berguna
sebagai anti radang, adstringent dan analgesik. Kulit ranting berkhasiat untuk
pelancar menstruasi, emolient, anti bakteri dan penyembuh batuk (Hariana 2007).
Maryati et al. (2007) menyatakan bahwa hasil penapisan fitokimia daun
alpukat (Persea americana Mill) menunjukkan adanya golongan senyawa
flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid atau triterpenoid. Penelitian
oleh Brai et al. (2007) menunjukan bahwa ekstrak air dan ekstrak metanol daun
alpukat dapat menurunkan berat badan dan kadar lemak hati pada tikus
hiperlipidemia. Penelitian yang dilakukan oleh Antia et al. (2005)
m
h
F
b
(
f
i
d
f
a
d
b
e
t
a
a
a
t
memperlihat
hipoglikemi
Flavonoid
Flavo
berlebih di
15 atom kar
(C3) sehin
fllavonoid d
isoflavon. L
diidentifikas
flavonol, dan
Gambar 2
Anto
adalah pigm
dan biru . P
buah tertent
epidermis.Se
tempat sinte
Lin
adalah maka
atau mengo
aktivitas ant
thrombotic,
tkan bahw
k terhadap t
onoid meru
alam. Flavo
rbon, dimana
ngga memb
dapat digol
Lebih dari
si, namun ad
n flavon.
2 Struktur neoflavon
osianin (dari
men berwarna
Pigmen ini ju
tu, batang, d
ebagian besa
esisnya ada d
dan Wen (2
anan yang m
obati penyak
ti alergi, an
vasodilatasi
wa ekstrak
ikus yang di
upakan meta
onoid memp
a dua cincin
bentuk susu
longkan me
2000 flav
da tiga kelom
dari metanoid.
i bahasa Yu
a yang umum
uga terdapat
daun dan b
ar flavonoid
di luar vakuo
2006), flavo
memberikan
kit. Beberap
ntiviral, anti
i dan anti kar
air daun
iinduksi den
abolit sekun
punyai keran
benzene (C
unan C6-C
enjadi 3 ya
vonoid yang
mpok yang u
abolit sekun
unani antho
mnya terdap
t di berbaga
ahkan akar.
d tersimpan d
ola..
onoid merup
kontribusi t
pa penelitian
inflamasi, h
rsinogenik (
alpukat m
gan aloksan
nder yang te
ngka dasar k
C6) terikat pa
C3-C6. Ber
aitu flavono
g berasal
umum dipel
nder Flavo
os , bunga
at di bunga b
ai bagian tum
Flavonoid
di vakuola s
pakan nutrac
erhadap kes
n tentang fl
hepatoprotek
Seyoum et a
memberikan
monohidrat
erdapat dala
karbon yang
ada satu rant
rdasarkan s
oid, neoflav
dari tumbu
lajari, yaitu
onoid, isofl
dan kyanos
berwarna me
mbuhan lain
sering terda
el tumbuhan
ceutical. Nu
ehatan, bisa
flavonoid, m
ktif, anti ok
al. 2006).
xxi
n aktivitas
t.
am jumlah
terdiri dari
tai propane
strukturnya
vonoid dan
uhan telah
antosianin,
lavon dan
s, biru-tua)
erah, ungu,
n misalnya,
apat di sel
n walaupun
utraceutical
a mencegah
menunjukan
ksidan, anti
xxii
Menurut Singh (2005), pemberian derivate flavonoid dapat memperbaiki
kerusakan-kerusakan pada ginjal dengan kapasitas aktivitas antioksidannya dan
penangkap radikal bebas (radical scavenging). Aktivitas antioksidan akan
menghambat enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan oksigen spesies
seperti lipooksigenase, siklooksigenase, monooksigenase dan NADPH oksidase.
Ekstrak dan Infus
Infus adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut air dengan pemanasan
hingga 90ºC selama 15 menit. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan
kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan
pelarut cair (Anonim 2000). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan.
Ekstraksi secara umum ada dua metode yaitu dengan cara dingin dan cara
panas. Metode ekstraksi cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah
proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Perkolasi adalah
ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya
dilakukan pada temperatur ruangan, sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-
5 kali dari bahan. Metode ekstraksi dengan cara panas yaitu refluks, soxhlet,
digesti, dekok dan infus (Anonim 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstraksi adalah ukuran simplisia
dan pelarut. Pelarut air masih banyak digunakan karena caranya mudah. Untuk
produksi komersil, umumnya digunakan pelarut air dengan kandungan alkohol
rendah dan dikeringkan dengan cara semprot kering.
Hewan Percobaan
Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan
untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan
berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik
(
m
m
g
t
d
u
d
p
A
T
M
M
d
k
d
(Malole et a
memenuhi
manusia, be
galur genetis
Hew
toksikologi a
didapat, dan
untuk tujuan
dipelihara, m
penelitian (M
Men
Animalia, F
Theria, Ordo
Muridae, Su
Malole et a
digunakan u
kecil, dan e
disajikan dat
al. 1989). H
kriteria tert
erkembangbi
s murni, sert
Gambar 3
wan coba ya
adalah menc
n mudah dita
n penelitian
merupakan h
Malole et al.
nurut Suckow
ilum : Chord
o : Rodentia
ubfamili : M
l. (1989), tik
untuk penel
ekornya leb
ta biokimia
Hewan perco
tentu, antar
iak dengan c
ta murah sec
Hewan coba
ang umum d
cit dan tikus
angani (Lu 1
, karena hew
hewan yang
1989).
w et al. (20
data, Subfilu
, Subordo : M
Murinae, Gen
kus Galur Sp
itian. Memp
bih panjang
tikus.
obaan yang
ra lain kem
cepat, mudah
cara ekonom
tikus jantan g
digunakan d
putih. Hewa
1995). Tikus
wan ini tela
relatif sehat
06), taksono
um : Vertebr
Myomorpha
nus : Rattus
Sprague-Daw
punyai ciri
dari badan
digunakan d
miripan fun
h didapat da
mis (Subahag
galur Sprague
dalam penel
an ini dipilih
s putih telah
ah diketahui
t dan cocok u
omi tikus pu
rata, Kelas :
a, Superfami
dan Spesies
wley merupa
berwarna p
nnya (Gamb
dalam penel
ngsi fisiolog
an dipelihara
io et al. 199
e-Dawley.
litian farmak
h karena mur
digunakan
i sifat-sifatn
untuk berba
utih adalah:
Mammalia,
li : Muroida
s : Rattus sp
akan galur y
utih albino,
bar 1). Pad
xxiii
litian harus
gis dengan
a, memiliki
7).
kologi dan
rah, mudah
secara luas
nya, mudah
agai macam
Kingdom:
, Subclass :
ae, Famili ::
p. Menurut
yang umum
berkepala
da Tabel 1
xxiv
Tabel 1 Data biokimia tikus
Parameter Biokimia Nilai Natrium 137 - 154 mmol/L Kalium 4,0 - 6,6 mmol/L Klorida 99 – 108 mEq/L Fosfat 2.1 - 2.8 mmol/L Glukosa 4.5-8.95 mmol/L Bilirubin 0.51 – 6.67 mcmol/L BUN (Urea) 25.94 g/dl – 77.78 mg/dl Kolesterol 0.50 – 0.91 mmol/L Total Bilirubin 0.51 – 6.67 mol/L Protein 60 - 79 g/L Albumin 32 – 38 g/L Globulin 28 – 40 g/L Alb/Glob.Ratio 0.9 – 1.1 Creatinin 0.2 - .0.8 mg/dl Serum Alk.Phosphate 71 – 299 mU/ml SGOT (ASAT) 77 – 622 mU/ml SGPT (ALAT) 28 – 418 mU/ml Sumber : Dhawan et al. (1997)
Kristal Urin
Kristal urin adalah perubahan fase dari senyawa yang terlarut dalam urin
melewati titik keseimbangan fase likuid menjadi fase solid dalam lingkungan
supersaturasi. Ketika ion penyusun batuan dalam urin konsentrasinya sangat
tinggi, maka ion akan cenderung saling berdekatan membentuk struktur kristal
yang tidak mudah larut. Beberapa faktor lingkungan dalam urin sangat berperan
dalam pembentukan kristal yaitu pH, suhu dan konsentrasi ion. Ketika konsentrasi
suatu ion penyusun batu ginjal dalam urin rendah dan masih mampu untuk
melarut membentuk larutan garamnya maka kondisi urin disebut undersaturasi.
Supersaturasi adalah kondisi urin yang mengandung ion penyusun batuan ginjal
dalam jumlah berlebih. Ketika kondisi lingkungan supersaturasi, maka kondisi ini
merupakan faktor utama yang berperan dalam pembentukan kristal spontan. Oleh
karena itu salah satu upaya pencegahan terjadinya batu ginjal yang efektif adalah
dengan mencegah terbentuknya kondisi supersaturasi (Stoller dan Meng 2007).
Proses pembentukan kristal dalam ginjal meliputi beberapa tahapan dan
merupakan proses yang sangat kompleks. Tahapan pembentukan dimulai dari
nukleasi, agregasi dan pertumbuhan. Proses pembentukan nukleasi hingga
xxv
menjadi batuan ginjal disajikan pada Gambar 4. Tahap pertama pembentukan
kristal adalah nukleasi, dimana ion di dalam urin akan bersatu membentuk
senyawa yang tidak larut (presipitat). Presipitat ini akan berkembang menjadi
struktur kristal. Struktur kristal yang terbentuk akan mengalami proses agregasi
membentuk struktur kristal yang lebih besar, dan pada tahap akhir akan terbentuk
batu ginjal.
Gambar 4 Tahapan pembentukan kristalis garam kalsium. Sumber: Tiselius et al. (1996).
Proses perubahan dari ion menjadi kristal memerlukan ikatan kimia dalam
interaksi ion-ion penyusun batu ginjal. Adanya kekuatan Van der Waals, viscous
binding dan solid bridge akan menarik dan mempertahankan partikel ion untuk
bersatu. Kekuatan potensial zeta (daya tolak menolak elektrostatik) akan
mempengaruhi agregasi dan disagregasi partikel kristal. Faktor-faktor penghambat
kristal seperti sitrat, pirofosfat dan polimer asam merubah kekuatan potensial zeta
yang akan mempengaruhi agregasi dan disagregasi partikel.
Retensi kristal menjadi faktor utama yang berperan dalam berkembangnya
suatu kristal menjadi batuan yang solid. Retensi kristal merupakan interaksi antara
sel epitel dan partikel kristal. Adanya perlukaan pada sel epitel akibat paparan
bahan nefrotoksik dapat meningkatan afinitas kristal pada permukaan membran
sel (Wiessner et al. 2001). Perlukaan sel akan mengakibatkan perubahan struktur
dari lipid membran, sehingga sel kehilangan polaritas dan terjadi perubahan pada
permukaan membran sel. Hal ini semua merupakan kodisi ideal untuk
memperoleh daya afinitas kristal yang kuat dengan epitel sel membran.
xxvi
Selain mengandung ion dalam kondisi supersaturasi, urin juga
mengandung faktor-faktor inhibitor kristal ginjal. Beberapa faktor inhibitor
tersebut antara lain adalah sitrat, magnesium, pirofosfat, osteopontin dan
nefrokalsin. Kurangnya faktor inhibitor sangat berperan dalam pembentukan batu
ginjal. Umumnya faktor inhibitor menghambat pembentukan batu ginjal dari
mulai tahap nukleasi, agregasi dan retensi kristal (Pearle dan Nakada 2009).
Batu Ginjal Kalsium Oksalat (CaOx)
Batu kalsium oksalat merupakan batuan yang paling banyak ditemukan
dengan kasus ± 75-85%. Dalam dunia veteriner khususnya hewan kecil, tingkat
insiden kasus batu ginjal kalsium oksalat sebesar 30 -35% pada kucing dan 50-
55% pada anjing (Tilley&Smith 2004). Batu kalsium oksalat terdapat dalam dua
tipe yaitu monohidrat dan dihidrat. Faktor resiko batu kalsium oksalat adalah
hiperkalsiuria, hiperoksaluria dan hipositraturia. Hiperoksaluria primer terjadi
karena adanya defek secara genetis. Hiperoksaluria sekunder umumnya diperoleh
dari makanan kaya akan oksalat seperti coklat dan kacang-kacangan.
Kejenuhan di dalam urin terjadi karena ion oksalat bertemu kalsium
membentuk kristal kalsium oksalat yang tidak dapat larut kembali. Kristal ini
selanjutnya akan mengalami nukleasi, agregasi dan tumbuh menjadi batuan solid
yang mengandung campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Macam-
macam batu ginjal beserta komposisinya dapat dilihat pada Tabel 2.
Kondisi hiperoksaluria merupakan pencetus terbentuknya kristal ginjal
kalsium oksalat. Oksalat bersifat sitotoksik sehingga dapat menyebabkan kondisi
perlukaan pada sel epitel dan tubular nekrosis akut. Hiperoksaluria digolongkan
menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Hiperoksaluria primer umumnya bersifat
genetis seperti defisiensi enzim alkohol dehidrogenase. Hiperoksaluria sekunder
diperoleh dari sumber makanan dan degradasi vitamin C.
xxvii
Tabel 2 Komposisi penyusun batu ginjal
Kelompok Nama Senyawa Rumus Kimia Karbonat Kalsium karbonat CaCO3 Sistin Oksalat Sistin SCH2CH(NH2)COOH Kalsium oksalat monohidrat CaC2O4.H2O Kalsium oksalat dihidrat CaC2O4.2H2O Fosfat Kalsium fosfat Ca5(PO4)3(OH) Hidroksiapatit Ca10(PO4)6(OH)2 Karbonit-apatit Ca10(PO4,CO3OH)6(OH)2 Kalsium hidrogen fosfat dihidrat CaHPO4.2H2O Trikalsium fosfat Ca3(PO4)2 Oktakalsium fosfat CaH(PO4)3.5H2O Magnesium amonium fosfat heksahidrat MgNH4PO4.6H20 Silika asam urat
Magnesium hidrogen fosfat trihidrat MgHPO4.3H2O
Silikon dioksida SiO2 Urat Asam urat C5H4N4O3 Asam urat dihidrat C5H4N4O3.2H2O Amonium asam urat C5H4N4O3NH4 Sodium asam urat monohidrat C5H3N4O3Na.H2O
Sumber : Stockham dan Scott (2008)
Diduga ada dua kondisi yang terlibat dalam proses pembentukan batu
ginjal yaitu supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang
menyusun batu terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume dan
kimia urin yang menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi, asam
urat dan mineral kalsium fosfat membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat
kemudian merekat di inti untuk membentuk campuran batu (Ratu et al. 2006).
Nukleusasi kalsium oksalat diinduksi oleh satu atau beberapa kondisi,
salah satunya adalah hiperoksaluria. Kondisi hiperoksaluria akan meningkatkan
supersaturasi kalsium oksalat di dalam urin dan menghasilkan kristal kalsium
oksalat yang terdeposit pertama kalinya di papilla. Oksalat dalam tubuh diperoleh
dari makanan, degradasi vitamin C dan dihasilkan oleh liver sehingga pada
kondisi normal juga terdapat oksalat. Pada kondisi hiperoksaluria, paparan
terhadap sel epitel dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, kerusakan
mitokondria, respon inflamasi dan perubahan dalam ekspresi kristalisasi inhibitor.
Oksalat dapat merangsang pembentukan kristal dengan mempersiapkan sel-sel
debris untuk nukleusasi (Morengo dan Romani 2008).
xxviii
Etilen Glikol
Etilen glikol atau 1, 2 etanadiol merupakan derivat alkohol dihidroksi.
Etilen glikol atau glikol alkohol mempunyai rumus molekul C2H6O2, berat
molekul 62.07 gram/mol, tidak berbau, tidak berwarna, cair, berasa manis dan
toksik. Etilen glikol merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai cairan anti
beku, penghilang es, pelapis permukaan, pemindah panas, pendingin industri,
pengemulsi hidrolik dan surfaktan. Pada daerah yang mengalami musim salju,
etilen glikol digunakan untuk mencegah pembekuan pada air radiator mobil.
Kasus keracunan pada hewan peliharaan banyak terjadi secara tidak sengaja
akibat mengkonsumsi cairan tersebut karena rasanya yang manis.
Metabolisme etilen glikol terdiri dari empat tahapan dan tahap pertama
terjadi di liver. Pada tahap ini etilen glikol di metabolisme menjadi glikoaldehid
dengan bantuan enzim alkohol dehidrogenase (ADH), sedangkan pada tahap
kedua glikoaldehid dengan cepat dirubah menjadi glikolat. Tahap ketiga adalah
metabolisme berlanjut dari glikolat menjadi glioksilat dimana pada tahap ini
proses metabolisme berjalan lambat yang diikuti dengan akumulasi glikolat.
Glikolat bertanggung jawab terhadap terjadinya kondisi metabolik asidosis
sehingga merupakan penanda pada kondisi terjadinya keracunan etilen glikol.
Tahap keempat, metabolisme glioksilat menjadi oksalat, yang selanjutnya dengan
cepat membentuk kalsium oksalat dan akan terakumulasi dalam bentuk kristal
khususnya di daerah ginjal (Walder 1994). Ginjal merupakan organ yang paling
peka terhadap etilen glikol dan merupakan target organ primer. Tahapan
metabolisme etilen glikol disajikan pada Gambar 5, yang berawal di organ hati.
Keracunan etilen glikol pada manusia dan hewan dimulai dengan metabolik
asidosis, komplikasi kardiopulmonari, gagal ginjal akut, koma, yang diikuti
kematian (Jacobsen dan Martin 1986). Gagal ginjal terjadi karena nekrosis sel
tubular proksimal dan adanya kristal kalsium oksalat di ginjal. Hipokalsemia
dapat terjadi karena kalsium membentuk batuan sehingga tidak dapat direabsorpsi
oleh ginjal (Cox et al. 2004).
xxix
Gambar 5 Metabolisme etilen glikol setelah pemberian peroral.Sumber : Cox et al. 2004.
Etilen glikol dapat mengakibatkan gagal ginjal permanen yang disertai
infark seluruh nefron yang disebut nekrosis korteks akut. Hiperoksaluria akibat
intoksikasi etilen glikol dapat menginduksi terjadinya kerusakan pada tubular
renal dan nefrolitiasis kalsium oksalat. Hiperoksaluria merupakan model yang
banyak digunakan dalam berbagai studi mengenai nefrolitiasis kalsium oksalat
(Green et al. 2005). Kelebihan dari penggunaan model etilen glikol adalah murah
dan mudah dalam pemberiannya. Penggunaan etilen glikol sebagai penginduksi
dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan zat kimia lain seperti amonium
klorida (Fan et al. 1999). Berbagai penelitian yang menggunakan etilen glikol
sebagai induser dapat dilihat pada Tabel 3.
xxx
Tabel 3 Penggunaan etilen glikol dan amonium klorida sebagai induser urolitiasis pada tikus jantan
Peneliti Strain Tikus Perlakuan Periode Kristal Ginjal Boeve et al. 1993 Winstar 0.8% EG + 1% AC 24 hari 0% Khan et al. 1995 SD 0.5 % EG 24 hari 16.7% 0.75% EG 24 hari 50% 1% EG 15, 29 hari 75% dan 50%Lee et al. 1992 SD 0.75% EG + 2% AC 7 hari 100% Li et al. 1992 Wistar 0.5% EG 28 hari 71.4 % Lyon et al. 1966 SD 1% EG 28 hari 62.5% 1% EG 28 hari 23.1% 1% EG + 1% AC 28 hari 83.3% Sumber: Fan et al.(1999)
Ginjal
Organ ginjal merupakan bagian dari sistem urinari yang memiliki peranan
dalam proses filtrasi, metabolisme dan ekskresi hasil-hasil metabolisme. Ginjal
adalah organ tubuh yang fungsi utamanya adalah memelihara keseimbangan
cairan, elektrolit dan mengatur tekanan darah (Hartono 1992).
Tikus memiliki ginjal dengan tekstur permukaan halus dan warna merah
kecoklatan. Berat ginjal tikus umumnya mencapai 0,76% dari total berat
badannya. Ginjal sebelah kanan memiliki posisi cranial dibandingkan ginjal
sebelah kiri. Palpasi ginjal lebih mudah dilakukan pada hewan usia muda
dibandingkan dewasa karena pada yang dewasa diselimuti lapisan lemak
(Boorman et al. 1990). Ginjal tikus unilobular (memiliki satu piramid), tidak
seperti manusia yang umumnya memiliki 10-14 lobul (Tucker 2003). Ginjal
unilobular tidak hanya dimiliki oleh golongan rodentia tetapi dimiliki juga oleh
golongan lagomorpha dan insectivora (Fox et al. 2002). Anatomi ginjal tikus
unilobular disajikan pada Gambar 6.
Ginjal tikus memasuki ureter secara langsung dengan kondisi unipapila
dan satu kalik. Korteks ginjal merupakan zona yang terdiri dari piramida-piramida
ginjal. Korteks terdiri dari semua glomerulus dan medula terdiri dari ansa Henle,
vasa rekta dan bagian akhir dari duktus kolektivus. Fornice pada ginjal tikus
memiliki bentuk yang spesifik dengan posisi evaginasi memanjang pada renal
pelvis, dimana epitelnya memiliki kesamaan dengan epitel pada duktus
pengumpul. Fornice tikus berada dekat dengan loop Henle dan berperan dalam
xxxi
Gambar 6 Anatomi ginjal tikus. P: papilla, M:medulla, C: korteks, Rp:renal pelvis. Sumber : Suckow et al. (2006).
menentukan konsentrasi urea di dalam papila (Suckow et al. 2006). Ginjal tikus
dewasa memiliki kurang lebih 30.000 nefron. Nefron merupakan unit dasar ginjal
yang memiliki fungsi dasar membersihkan atau menjernihkan plasma darah dari
substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh. Biasanya substansi tersebut berasal
dari hasil metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan ion-ion natrium,
kalium, klorida serta ion-ion hidrogen dalam jumlah yang berlebihan (Guyton
1994). Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus berbentuk lobus
dan terdapat lapisan viseral yang menutupinya. Pada Tabel 4 disajikan data
parameter ekskretori renal pada hewan coba tikus.
Tabel 4 Parameter renal ekskretori pada tikus
Parameter Nilai
Blood urea nitrogen 21 Volume urin 5.5-6.2 ml/24 jam/100 g bb Na+ ekskresi 191.6 µmol/24 jam/100 g bb K+ ekskresi 794 µmol/24 jam/100 g bb Protein 30-100 mg/100 ml Osmolaritas Urin 1659 mOsm/kg H2O Spesifik Gravity 1.050-1.062 GFR 1.01-1.236 ml/min/100 g bb U/P insulin 431 mg/ml Inulin klir 857 µl/min/100 g PAH klirens 1.341 ml/min/100 g Fraksi filtrasi 35-45% Laju aliran urin 4.8-5.2 µl/min/100 g Sumber: Suckow et al. (2006)
xxxii
Sel-sel penyusun lapisan viseral disebut podosit. Kapsul Bowman memiliki
dinding tipis dan terdapat epitel squamosa yang lebih tebal pada sisi saluran
kemih. Tikus memiliki dua tipe loop Henle yaitu pendek dan panjang (Suckow et
al. 2006).
Histologi Ginjal
Ginjal dibungkus oleh kapsula yang terdiri dari jaringan ikat kolagen padat
yang dengan mudah dikupas. Tepi medial melekuk sangat dalam yang disebut
hilus ginjal. Jika ginjal dipotong sejajar dengan permukaannya, akan membagi
ginjal menjadi dua bagian yang sama tebal. Parenkim ginjal terdiri dari korteks
dan medula. Korteks ginjal tampak merah gelap bergranula sedangkan medula
lebih cerah daripada korteks (Geneser 1994). Histologi ginjal normal disajikan
pada Gambar 7.
Gambar 7 Histologi ginjal normal. p: tubulus proksimal, d: tubulus distal. Sumber :
http://www.siumed.edu/~dking2/crr/RN003b.htm
Nefron merupakan unit fungsional ginjal yang memiliki enam segmen
yang cukup jelas: korpuskel renalis, tubuli konvoluti, tubuli proksimalis, segmen
Henle tipis, segmen Henle tebal dan tubuli distalis. Tubuli konvoluti proksimalis
dan distalis terdapat pada korteks, di sekitar korpuskel renalis. Tubuli rekti
proksimalis, distalis dan segmen tipis membentuk jerat Henle. Tubuli rekti
xxxiii
proksimalis tebal yang turun, segmen tipis yang turun dan naik membentuk
segmen nefron yang tipis. Segmen tebal yang naik merupakan bagian dari tubuli
rekti distalis.
Korpuskel renalis terdiri atas bagian permulaan nefron yang melebar,
terdapat di daerah Korteks. Korpuskel renalis terdiri dari glomerulus, yang
dibungkus oleh kapsula Bowman. Lapisan luar kapsula yaitu lapis parietalis
merupakan batas luar korpuskel ginjal. Lapis dalam yaitu lapis viseralis
membungkus kapiler glomerulus. Ruang di antara kedua lapisan disebut ruang
kapsula (ruang urin). Proses filtrasi dalam pembentukan ultrafiltrat yang berasal
dari darah, melalui kapiler glomerulus, melalui dinding-dinding dan lapis viseral
yang selanjutnya di simpan di dalam ruang kapsula (Geneser 1994).
Tubuli proksimalis pada nefron memiliki dua segmen utama yaitu bagian
yang berliku-liku (pars konvoluti) dan bagian yang lurus (pars rekti). Pada
sayatan melintang tubuli proksimalis, sel epitel berbentuk piramida dengan inti
bulat terletak di pinggir. Permukaan bebasnya memiliki mikrovili panjang disebut
brush border, mirip sikat yang mempersempit lumen tubuli proksimalis.
Tubuli distalis dan tubuli proksimalis bercampur di dalam korteks, tetapi
dengan ciri histologik dapat dibedakan. Sayatan melintang maupun miring pada
tubuli distalis tampak lebih sedikit, karena memang panjangnya kurang dari tubuli
proksimalis. Lumen dari tubuli distalis lebih besar, karena epitelnya lebih rendah,
selnya sempit dan intinya tampak lebih banyak dibandingkan sayatan melintang
tubuli proksimalis. Tubuli distalis tidak mempunyai brush border pada permukaan
epitel, dan sitoplasmanya tampak lebih pucat serta kurang asidofilik (Dellman dan
Brown 1992).
xxxiv
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasi dan Laboratorium
Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi dan Laboratorium
Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, FKH-IPB serta
Laboratorium Mikro SEAFAST IPB. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan
Mei 2009 hingga Januari 2010.
Bahan dan Alat
Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih galur Sprague Dawley
dengan jenis kelamin jantan. Bahan yang digunakan adalah simplisia daun
alpukat, etanol 70%, aquadest, NaOH 10%, H2SO4, kloroform, amoniak, pereaksi
Mayer, pereaksi Dragendorf, pereaksi Wagner, FeCl3 1%, etilen glikol, amonium
klorida, eter, kit kreatinin, kit urea, PGA, betadine, NaCl 0,9%, furosemide, BNF
10%, alkohol bertingkat, alkohol absolut, xylol bertingkat, xylol absolut, paraffin,
pewarna Hematoksilin-Eosin dan nitrogen cair. Alat yang digunakan adalah
beaker glass, termometer, vacuum drying, timbangan, corong, kompor, sonde oral
tikus, kandang tikus, syringe, vacutainer blood, tabung eppendorf,
spektrofotometer UV/VIS, mikropipet, dan tabung reaksi.
Metodologi
Determinasi dan Pengumpulan Daun Alpukat
Daun alpukat diperoleh dari Balai Penelitian Tumbuhan Rempah dan Obat
(BALITRO) Bogor dan dilakukan determinasi di Pusat Penelitian LIPI Cibinong.
Pembuatan Serbuk Simplisia Daun Alpukat
Daun alpukat yang dipilih adalah yang terletak di tengah dan daun yang
sudah tua. Daun dibersihkan dengan air mengalir hingga bersih dan dikeringkan
dengan cara dijemur. Simplisia kering daun alpukat diserbukan dan diayak dengan
ayakan mesh 16 sehingga diperoleh serbuk daun alpukat. Kemudian serbuk
xxxv
disimpan dalam wadah bersih dan ditutup rapat. Pembuatan simplisia dilakukan di
Balai Penelitian Tanaman Tropis Bogor.
Penapisan Fitokimia
Kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman dapat diketahui
melalui perlakuan metode pemisahan, pemurnian, dan identifikasi kandungan di
dalam tanaman dengan penapisan fitokimia (Harbone 1987). Kandungan senyawa
organik yang umum diidentifikasi adalah alkaloid, tanin, flavonoid, saponin,
steroid, dan triterpenoid.
Uji Flavonoid.
Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambah metanol hingga terendam,
lalu dipanaskan. Ke dalam larutan ditambahkan NaOH 10% atau H2SO4 pekat.
Apabila terbentuk warna merah karena penambahan NaOH 10%, menunjukan
adanya senyawa fenolik hidrokuinon, sedangkan warna merah akibat penambahan
H2SO4 pekat menunjukkan adanya flavonoid.
Uji Alkaloid.
Sebanyak 0.1 g serbuk daun alpukat ditambah 5 ml kloroform dan 3 tetes
amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 2 tetes H2SO4 2M.
Fraksi asam dibagi menjadi tiga tabung, kemudian masing-masing ditambahkan
pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi
Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi Wagner.
Uji Tanin.
Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambahkan 5 ml aquades,
dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dan ke dalam filtratnya
ditambahkan 5 tetes FeCl3 1% (b/v). Apabila terbentuk warna biru tua atau hitam
kehijauan menunjukan adanya tanin.
xxxvi
Uji Kuinon.
Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambahkan etanol 70%, kemudian
ditambah gelatin dan disaring. Ke dalam filtrat ditambahkan NaOH 1 N. Jika
terbentuk warna merah berarti mengandung kuinon.
Uji Saponin.
Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambah 5 ml aquadest, dipanaskan
5 menit, kemudian dikocok selama 5 menit. Busa yang terbentuk setinggi kurang
lebih 1 cm dan tetap stabil setelah didiamkan selama 10 menit menunjukkan
adanya saponin.
Pembuatan Larutan Infusum Daun Alpukat
Ekstraksi daun alpukat dilakukan dengan metode panas yaitu infusum
dengan menggunakan pelarut air. Serbuk simplisia daun alpukat yang telah
ditimbang selanjutnya dimasukkan dalam wadah panci infusum dan dicampur
dengan pelarut air. Selanjutnya dilakukan pemanasan hingga 90°C selama 15
menit. Setelah dingin dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring
dan filtrat ditampung.
Induksi Hewan Coba (Touhami et al. 2007; Khan et al. 1995)
Induksi kristalisasi pada hewan coba tikus dilakukan dengan
menggunakan etilen glikol dan amonium klorida. Konsentrasi induser yang
digunakan adalah larutan 0.75% etilen glikol dan 2% amonium klorida.
Pemberian induser dicampur dalam air minum dan diberikan ad libitum selama 10
hari.
Desain Penelitian
Sebanyak 20 ekor tikus jantan strain Sprague Dawley dibagi menjadi
empat kelompok perlakuan yaitu:
1. Kelompok A : kelompok kontrol, hanya diberi minum aquades ad libitum
2. Kelompok B : kelompok kontrol positif, diberi minum aquades ad libitum yang
mengandung induser.
xxxvii
3.Kelompok C : kelompok perlakuan , diberi minum aquades yang mengandung
induser dan dicekok infusum daun alpukat konsentrasi 5%.
4.Kelompok D : kelompok perlakuan 2, diberi minum aquades yang mengandung
induser dan dicekok infusum daun alpukat konsentrasi 10%.
Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0, 5 dan ke-11 secara
intrakardial. Darah tikus yang telah diambil didiamkan terlebih dahulu pada suhu
ruangan kurang lebih satu jam untuk mendapatkan serum, selajutnya di
sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Serum dianalis
terhadap kadar ureum dan kreatinin dengan menggunakan Kit komersil Human®.
Organ ginjal diambil untuk dibuat preparat histopatologi dan diwarnai dengan HE.
Analisis Ureum
Sebanyak 10µl serum dipipet dan ditambahkan 1000 µl enzim reagen,
kemudian diaduk hingga homogen menggunakan vortex. Serum kemudian
disimpan dalam water bath untuk menjaga temperatur 37°C agar reaksi berjalan
dengan baik. Analisis konsentrasi ureum dalam serum menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm.
Analisis Kreatinin
Sebanyak 0,1 ml serum dipipet dan ditambahkan enzim reagen sebanyak
1,0 ml, kemudian diaduk hingga homogen menggunakan vortex. Serum kemudian
dipanaskan dalam water bath untuk menjaga temperatur 37°C. Analisis
konsentrasi kreatinin dalam serum menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 492 nm.
Analisis Klirens Kreatinin
Laju filtrasi glomerulus diukur berdasarkan nilai klirens kreatinin. Analisis
klirens kreatinin dilakukan dengan menempatkan tikus dalam kandang metabolit
dan urin ditampung selama 24 jam. Volume urin selama 24 jam diukur dan diukur
pula kadar kreatinin urin. Klirens kreatinin dihitung dengan menggunakan rumus:
Kadar kreatinin dalam urin 24 jam x volume urin 24 jam [ml/menit] Kadar kreatinin serum x 1440
xxxviii
Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi organ ginjal diawali dengan sampling
atau pemotongan organ, lalu potongan organ dimasukan dalam tissue casette dan
difiksasi dalam larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Proses
selanjutnya adalah dehidrasi dengan mencelupkan jaringan ke dalam larutan
alkohol 70%, 80%, 90% dan 100%, kemudian dilanjutkan dalam larutan alkohol
absolut I, II dan III. Tahapan selanjutnya adalah penjernihan jaringan (clearing)
dengan memasukan jaringan ke dalam xylol I, II dan III. Selanjutnya dilakukan
embedding yaitu penanaman jaringan dalam blok-blok parafin. Blok parafin yang
telah mengeras dipasang dalam mikrotom untuk selanjutnya dilakukan
pemotongan jaringan (sectioning). Potongan jaringan yang sudah berada di gelas
objek dideparafinisasi dan rehidrasi untuk selanjutnya dilakukan pewarnaan
Hematoksilin-Eosin. Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan dengan
menggunakan mikroskop cahaya dan polarisasi.
Evaluasi Histopatologi
Evaluasi histopatologi dilakukan terhadap glomerulus maupun tubulus
seluruh kelompok hewan coba dan disajikan secara deskriptif. Selain itu juga
diamati adanya kristal yang terbentuk.
Analisis Data
Hasil evaluasi parameter pengamatan dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar air, Kadar Abu dan Penapisan Fitokimia
Hasil pemeriksaan parameter spesifik menunjukan bahwa serbuk daun
alpukat yang dihasilkan agak kasar, berwarna hijau tua, rasa sepat, dan berbau
aromatik yang khas. Hasil pemeriksaan parameter non spesifik serbuk daun
alpukat yaitu kadar air sebesar 4,19 % dan kadar abu sebesar 4,25%. Kadar air
berfungsi menjaga kualitas simplisia agar tidak ditumbuhi jamur dan tidak
m
k
p
m
H
T
T
e
e
d
p
a
d
y
A
y
a
3
d
f
melebihi 5%
kadar abu u
sebagai per
pemeriksaan
Pena
mengetahui
Hasil penap
Tabel 5.
Tabel 5 Haam
Pelar
ekstraksi. Pe
ekstrak apak
digunakan p
serbuk simp
polar sehing
Hasi
americana M
dan alkaloid
yang terdiri
Almeida et a
yang terda
arabinopiran
3-O- -gluko
derivat dari
flavonoid ya
MetabolFla
TKSaAlTri
% sebagai pe
untuk menge
rsyaratan b
n ini kedua k
apisan fitokim
senyawa m
pisan fitokim
asil uji penapmericana Mill)
rut merupa
emilihan pel
kah senyaw
pelarut air da
plisia. Denga
gga dapat ter
l uji penap
Mill), menun
d. Menurut
dari dua in
al. (1998), te
apat dalam
nosida, quers
opiranoside.
flavonoid. P
ang diperole
lit Sekunder avonoid
Tanin Kuinon aponin lkaloid iterpen
ersyaratan ba
etahui kandu
baku Mater
kadar abu da
mia merupak
etabolit seku
mia simplisi
pisan fitokim)
akan faktor
larut tergant
wa polar, no
an memberik
an demikian
ekstrak deng
pisan fitokim
njukan adany
Sastrohami
nti fenolat y
elah berhasi
infusum
setin 3-O-
. Quersetin t
Pada penelit
eh. Aktifitas
aku Departe
ungan miner
ria Medika
an air adalah
kan suatu m
under yang
ia dan infus
mia simplisia
yang haru
tung kepada
on polar ata
kan hasil pen
n senyawa m
gan menggun
mia terhadap
ya golongan
idjojo (1996
yang dihubun
il menginden
daun alpu
-L-ramnopir
termasuk go
tian ini tidak
farmakolog
SimpliasiaPositif
Positif Positif Positif Negatif Positif
men Keseha
ral dan tidak
Indonesia
terbakukan.
metode kimia
terkandung
sum daun a
dan infusum
us diperhat
senyawa ya
au semipola
napisan yang
metabolit yan
nakan pelaru
p infusum
n senyawa fl
6), flavonoid
ngkan denga
ntifikasi deri
ukat yaitu
ranosida (qu
olongan flav
k sampai m
gi dari flavo
atan (2004),
k boleh mel
(1978). P
.
yang digun
dalam suatu
alpukat disaj
m daun alpuk
tikan dalam
ang ingin dit
ar. Pada pen
g hampir mi
ng terkandu
ut air.
daun alpuk
lavonoid, tan
d memiliki
an tiga satu
ivat senyawa
quersetin
uersitrin) dan
vonolol dan m
mengidentifik
onoid adalah
InfusuPositi
PositiPositiPositiNegatNegat
xxxix
sedangkan
ebihi 4,9%
Pada hasil
akan untuk
u simplisia.
ajikan pada
kat (Persea
m kegiatan
tarik dalam
nelitian ini
irip dengan
ung bersifat
kat (Persea
nin, kuinon
atom C15
uan karbon.
a flavonoid
3-O- -D-
n quersetin
merupakan
kasi derivat
h antialergi,
um if
if if if tif tif
xl
antiviral, antiinflamasi, hepatoprotektif, antioksidan, antithrombotic, vasodilator
dan anti karsinogenik (Seyoum et al. 2006).
Tanin merupakan senyawa polifenol yang membentuk kompleks dengan
protein tertentu dan membentuk polimer stabil yang tak larut dalam air (Harbone
1987). Aktivitas biologis dan farmakologis dari tanin yang telah diketahui antara
lain astringensia, anti tumor, anti oksidasi, anti hipertensi, anti bakteri, anti jamur,
anti diabetes, dan anti helmintik (Riocaesar 2010).
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar
seperti kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon
isoprenoid. Benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon biasanya terhidroksilasi dan
bersifat senyawa fenol, sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan
kuinon bebasnya (Harbone 1987).
Pengujian Fungsi Ginjal
Pengujian fungsi ginjal dapat dilakukan melalui keterwakilan laju filtrasi
glomeruler (LFG) dan tubuler. LFG dapat diukur melalui pengujian kadar ureum,
kreatinin dan klirens kreatinin, sedangkan fungsi tubuler dengan melakukan
pengujian Anti Diuretic Hormone Response Test dan uji deprivasi air. Pada
penelitian ini diukur kadar ureum, kreatinin dan klirens kreatinin (Kaneko et al.
2008).
Kadar Ureum Serum
Ureum diproduksi di hati yang berasal dari metabolisme amoniak dan
merupakan hasil katabolisme protein. Ureum akan diekskresikan melalui ginjal
dan difiltrasi dengan bebas melalui glomerulus. Selanjutnya metabolit ini akan
mengalami reabsorpsi pasif di dalam tubulus. Secara normal sekitar setengahnya
akan direabsorpsi tetapi tergantung kepada kondisi hidrasi dan laju pembentukan
urin di dalam tubulus (Bush 1991). Ureum dapat memberikan informasi mengenai
LFG secara kasar, karena berbagai faktor non renal dapat meningkatkan kadarnya
dalam darah. Rerata kadar ureum serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada
hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Tabel 6.
xli
Tabel 6 Rerata kadar ureum (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11
Kelompok Kadar Kreatinin Serum (mg/dl)
Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-11 A (Kontrol) 38,444±3,564c 49,950±8,728c 50,550±10,050c
B (Induksi) 40,488±6,869c 61,242±4,741c 144,317±28,665a C (Infusum 5%) 46,296±4,833c 51,870±9,815c 92,982±22,809b D (Infusum 10%) 35,945±20,18c 41,043±25,203c 57,978±37,528c
Keterangan : Huruf superkrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Menurut Hrapkiewicz dan Medina (2007), kadar ureum normal tikus
Sprague Dawley dewasa adalah 32,1 - 44,94 mg/dl, sedangkan rerata kadar ureum
seluruh kelompok sebelum perlakuan adalah 35,945 - 46,296 mg/dl. Berbedanya
kadar ureum serum tikus yang digunakan dibanding nilai referensi kemungkinan
dipengaruhi oleh perbedaan strain, berat badan dan jenis kelamin. Ilustrasi dari
rerata kadar ureum (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-
0, 5 dan 11 disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Rerata kadar ureum (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11.
Berdasarkan tabel dan gambar di atas, rerata kadar ureum kelompok A
pada hari ke-0 adalah 38,444 mg/dl, pada hari ke-5 perlakuan mengalami
kenaikan menjadi 49,950 mg/dl dan pada akhir perlakuan nilai ureum menjadi
50,550 mg/dl. Pada kelompok B terjadi kenaikan nilai rataan kadar ureum, dari
40,488 mg/dl menjadi 61,242 mg/dl, dan terjadi peningkatan yang tinggi pada hari
ke-11 yaitu 144,317 mg/dl. Pada kelompok C, rerata kadar ureum sebelum
perlakuan adalah 46,296 mg/dl, pada hari ke-5 perlakuan menjadi 51,870 mg/dl
xlii
dan naik menjadi 92,982 mg/dl pada hari ke-11, sedangkan pada kelompok D
rerata kadar sebelum perlakuan adalah 35,945 mg/dl dan pada pada hari ke-5
menjadi 41,043 mg/dl dan naik menjadi 57,978 mg/dl pada hari ke-11.
Berdasarkan perhitungan statistik, kadar rataan ureum kelompok C dan D berbeda
nyata (p<0,05) dengan kelompok B. Gambar di atas menunjukkan pada kelompok
induksi etilen glikol (kelompok B) terjadi peningkatan kadar ureum serum yang
nyata (p<0,05) dibanding kontrol. Setelah pemberian infusum terjadi penekanan
peningkatan kadar ureum dan penekanan terkuat terjadi pada kelompok D.
Rerata kadar ureum serum pada kelompok B menunjukkan peningkatan
selama periode perlakuan dan kondisi ini disebut azotemia. Menurut Bush (1991),
kondisi yang dapat menyebabkan renal azotemia adalah acute tubular necrosis
(ATN) yang bisa disebabkan oleh bahan nefrotoksik. Peningkatan rerata ureum
pada kelompok B menunjukkan kuatnya bahan yang bersifat nefrotoksik. Dengan
demikian infusum daun alpukat dapat mengoreksi peningkatan kadar ureum
darah.
Kadar Kreatinin Serum
Kreatinin adalah molekul yang mempunyai berat molekul 113 dan berasal
dari hasil degradasi kreatin dan kreatin fosfat yang terjadi di dalam otot (Kaneko
et al. 2008). Kreatinin diekskresikan seluruhnya ke dalam urin dan kadarnya
sangat dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Meningkatnya kreatinin dalam darah
merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal dan meningkatnya metabolisme otot.
Kadar kreatinin serum dan urin dapat digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (Lu 1995). Rerata kadar kreatinin serum tikus seluruh kelompok
perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Rerata kadar kreatinin (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11
Kelompok Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-11
A (Kontrol) 0,982±0,100a 0,707±0,458 a 1,044±0,084 a B (Induksi) 1,091±0,508 a 1,164±0,659 a 1,477±0,664 a C (Infusum 5%) 0,908±0,150 a 1.143±0,515 a 1,045±0,284 a D (Infusum 10%) 0,800±0,075 a 1.040±0,628 a 0,902±0,028 a
Keterangan : Huruf superkrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
xliii
Kadar kreatinin sebelum perlakuan pada kelompok A, B, C dan D
sepanjang pengamatan berkisar antara 0,707 - 1,091 mg/dl, relatif lebih tinggi dari
yang dilaporkan oleh Hrapkiewicz & Medina (2007) yang berkisar antara 0,2 - 0,8
mg/dl. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin adalah pakan, status
hidrasi, aktivitas, perkandangan dan penggunaan obat-obatan tertentu (Kaneko et
al. 2008). Ilustrasi rerata kadar kreatinin serum tikus seluruh kelompok perlakuan
pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Rerata kadar kreatinin (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11.
Rerata kadar kreatinin pada kelompok A sebelum perlakuan adalah 0,982
mg/dl, pada hari ke-5 menjadi 0,707 mg/dl dan pada hari ke-11 menjadi 1.044
mg/dl. Rerata kadar kreatinin pada kelompok B sebelum perlakuan adalah 1,091
mg/dl, pada hari ke-5 perlakuan meningkat menjadi 1,164 mg/dl, dan pada hari
terakhir perlakuan mengalami peningkatan lagi menjadi 1,477 mg/dl. Rerata kadar
kreatinin kelompok C sebelum perlakuan adalah 0,908 mg/dl, kemudian
mengalami peningkatan seiring dengan lama perlakuan, yaitu pada hari ke-5
menjadi 1,143 mg/dl dan pada hari terakhir perlakuan mengalami penurunan
menjadi 1,045 mg/dl. Untuk kelompok perlakuan D, rerata kadar kreatinin
sebelum perlakuan adalah 0.800 mg/dl selanjutnya pada hari ke-5 menjadi 1,040
mg/dl dan pada hari ke-11 mengalami penurunan menjadi 0,902 mg/dl. Tabel 7
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 5 11Hari
Kadar Kreatinin (mg/dl)
K ontrol
P os itif
Infus 5%
Infus 10%
xliv
menunjukkan bahwa rerata kreatinin serum tidak berbeda nyata pada seluruh
kelompok perlakuan (p>0.05).
Kadar kreatinin serum pada kelompok B, menunjukan hasil yang
cenderung mengalami kenaikan dari periode perlakuan hari ke-0 hingga hari ke-
11. Menurut Kaneko et al. (2008), hubungan antara kreatinin dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) adalah kurvalinier, yang berarti ketika laju filtrasi glomerulus
mengalami penurunan maka akan diikuti dengan kenaikan kadar kreatinin. Kadar
kreatinin dalam serum merupakan indikator yang baik untuk mengetahui laju
filtrasi glomerulus sebagai petunjuk adanya gangguan fungsi ginjal.
Kadar kreatinin serum pada kelompok C dan D mengalami penurunan
setelah hari ke-5 perlakuan dengan menunjukkan pola yang sama. Hal ini
mengindikasikan kuatnya peran infusum dalam mengembalikan atau mengoreksi
atau meningkatkan LFG.
Nilai Klirens Kreatinin
Klirens kreatinin (KK) adalah laju pembersihan kreatinin dari plasma oleh
ginjal. Parameter ini sangat sensitif dan pilihan utama dalam menentukan laju
filtrasi glomerulus per satuan waktu tertentu. Rerata nilai KK pada seluruh
kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Tabel 8.
Klirens kreatinin pada kelompok A relatif dinamis, pada hari ke-0 adalah
0,952 ml/menit, selanjutnya pada pengukuran hari ke-5 diperoleh 2,154 ml/menit
dan pada hari ke-11 menjadi 0,819 ml/menit. Pada kelompok B, nilai klirens
kreatinin pada hari ke-0 adalah 2,893 ml/menit, selanjutnya pada hari ke-5
mengalami penurunan menjadi 1,563 ml/menit dan pada periode berakhirnya
perlakuan pada hari ke-11 menjadi 1,206 ml/menit. Pola antara kelompok A dan B
sangat bertolak belakang, nyata terjadi penurunan signifikan pada kelompok B
(p<0,05). Yang juga menunjukkan kurva linier penurunan KK adalah penurunan
LFG (Stockham dan Scott 2002).
Tabel 8 Rerata nilai kreatinin klirens (ml/menit) seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11
Kelompok Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-11
A (Kontrol) 0,952±0,764c 2,154±1,458cde 0,819±0,805c
xlv
B (Induksi) 2,893±1,157bcd 1,563±1,065de 1,206±1,027de C (Infusum 5%) 4,821±1,362a 2,058±1,139cde 2,432±1,535bcde
D (Infusum 10%) 4,250±0,684ab 2,616±1,664bcde 3,786±1,834abc Keterangan : Huruf superkrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak
berbeda nyata (p>0.05)
Ilustrasi rerata nilai kreatinin klirens seluruh kelompok perlakuan pada
hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Rerata nilai kreatinin klirens (ml/menit) seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11
Pada kelompok C, nilai klirens kreatinin mengalami penurunan dari 4,821
ml/menit menjadi 2,058 ml/menit dan mengalami sedikit kenaikan pada hari ke-
11 menjadi 2,432 ml/menit. Pada kelompok D, nilai rerata klirens kreatinin pada
hari ke-0 adalah 4,25 ml/menit, selanjutnya mengalami penurunan pada hari ke-5
menjadi 2,616 ml/menit dan pada hari ke-11 mengalami kenaikan menjadi 3,786
ml/menit. Pada kelompok C dan D, klirens kreatinin menunjukkan pola yang
relatif sama. Penurunan terlebih dahulu pada lima hari pertama menunjukkan
kuatnya pengaruh kerusakan LFG oleh etilen glikol, dan setelah itu mulai terjadi
koreksi perbaikan LFG.
Dari data kadar ureum serum, kreatinin serum dan nilai KK, terbukti
bahwa pemberian etilen glikol dapat menurunkan LFG, dan akan terkoreksi
mendekati kontrol secara linier setelah pemberian infusum daun alpukat.
Evaluasi Histopatologi Ginjal Tikus
0
1
2
3
4
5
6
0 5 11 Hari
Kreatinin Klirens (ml/mnt)
K ontrol
P os itif
Infus 5%
Infus 10%
xlvi
Etilen glikol merupakan bahan yang bersifat nefrotoksik dan penginduksi
kristal oksalat di ginjal (Seyoum et al. 2008). Adanya oksalat akan menghasilkan
radikal bebas yang mengakibatkan sel dalam kondisi stress oksidatif. Kondisi ini
menginisiasi pelepasan mediator-mediator vasoaktif dengan efek vasokontriksi
pembuluh darah, dalam hal ini pembuluh darah ginjal dan berdampak pada
penurunan LFG.
Dampak dari vasokonstriksi pembuluh darah menyebabkan ginjal
mengalami iskemia. Mekanisme penurunan laju aliran darah adalah dengan
mengubah transport ion pada permukaan lumen, menurunkan absorpsi natrium
sehingga konsentrasi natrium di tubulus distal meningkat. Peningkatan
konsentrasi natrium akan menstimulasi renin angiotensin yang berdampak pada
vasokontriksi dan penurunan laju aliran darah (Gavin et al. 2007). Pelepasan
rennin angiotension menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah sistemik dan
tekanan perfusi ginjal. Kenaikan tekanan perfusi ginjal akan dirasakan oleh
reseptor regang miotonik dalam arterial aferen dan mengakibatkan kontraksi pada
arterial aferen. Dampak vasokontriksi dari arterial aferen adalah penurunan renal
plasma flow (RPF), tekanan kapiler glomerulus (Pgc) dan LFG (Prince dan
Wilson 2002).
Induksi kerusakan ginjal oleh bahan nefrotoksik etilen glikol diamati
melalui gambaran histopatologi dan perhitungan lesio yang terjadi. Hasil
pemeriksaan histopatologi ginjal tikus yang dipapar etilen glikol ditemukan
perubahan-perubahan pada glomerulus dan tubulus. Perubahan yang ditemui
berupa edema glomerulus, degenerasi tubulus yang dicirikan inti epitel yang
membengkak, lepas dari membran basal, adanya droplet hyalin, lumen yang
penuh dengan endapan protein hingga tubulus yang nekrotik yang ditandai dengan
intinya yang piknotis. Menurut Nurulazmy (2010), persentase tubulus nekrotik
pada kelompok yang diinduksi etilen glikol (kelompok B) sebanyak 64,2%, lebih
tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok yang diberi infus daun
alpukat (19,5% & 18%). Keadaan ginjal pada kelompok B sudah dapat
dikatagorikan mengalami acute tubular necrotic (ATN). Rendahnya persentase
tubular nekrotik pada kelompok C dan D mempertegas bahwa infusum daun
alpukat memiliki peluang terhadap perbaikan struktur - morfologi nefron ginjal.
xlvii
Edema glomerulus ditandai dengan adanya protein pada mesangium
hingga ke ruang Bowman dan terjadi perluasan ruang Bowman (Gambar 11).
Pada pewarnaan HE terlihat adanya protein yang berwarna merah muda yang
memenuhi mesangium hingga ke ruang Bowman. Endapan protein di mesangium
dan ruang Bowman di duga merupakan molekul-molekul proinflamasi dan protein
kemoaktraktif yang terinisiasi akibat induksi etilen glikol.
Gambar 11 Edema glomerulus (panah) dan tubulus nekrotik (bintang) pada kelompok B
pasca pemberian etilen glikol. Pewarnaan HE,. perbesaran 400x.
Gambar 12 Tubulus nekrotik dengan endapan protein di lumen (bintang) pada kelompok B. Pewarnaan HE, perbesaran 400x.
xlviii
Hasil pengamatan histopatologi yang lain adalah ditemukan lesio endapan
protein dalam lumen tubulus (Gambar 12). Adanya protein di lumen disebabkan
oleh lolosnya protein plasma dari kapiler glomerulus yang kemudian mendiami
lumen tubulus. Banyaknya protein dalam lumen tubulus juga dapat disebabkan
oleh jumlah protein yang melebihi kapasitas absorpsi sel epitel tubulus. Endapan
protein tersebut akan di fagosit oleh lisosom. Protein yang difagosit oleh lisosom
akan mengalami akumulasi di sitoplasma yang disebut droplet hyaline (Gambar
13) (Cheville 2006).
Gambar 13 Hyalin droplet (panah) di epitel tubulus proksimal, dan tubulus nekrotik
(bintang) pada ginjal tikus kelompok B. Pewarnaan HE, perbesaran 400x. Penurunan laju aliran darah ke ginjal mengakibatkan sel-sel ginjal
mengalami iskemia. Kondisi iskemia yang berkepanjangan akan mengakibatkan
sel epitel tubulus proksimal, distal, loop Henle dan duktus pengumpul mengalami
degenerasi hingga nekrotik (Gambar 12, 13). Hasil metabolisme etilen glikol
bersifat toksik bagi sel epitel tubulus, dan oksalat menimbulkan perlukaan pada
sel-sel epitel. Adanya perlukaan pada sel epitel dapat menghasilkan radikal bebas
yang memodifikasi lipid dan protein membran sel. Sel epitel yang dalam kondisi
stress oksidatif kehilangan kemampuan untuk menyembuhkan perlukaannya.
Dampak lanjut dari modifikasi membran sel adalah kematian sel (Meimaridou et
al. 2006).
Kristal - kristal oksalat yang terbentuk sebagai metabolit etilen glikol
membuka peluang afinitas yang tinggi/kuat terhadap kalsium. Pada keadaan ATN,
xlix
kalsium yang seharusnya mengalami reabsorpsi tubuler menjadi gagal dan berada
bebas di dalam lumen tubuli sehingga secara agregat bereaksi dengan oksalat
menjadi kalsium oksalat, suatu endapan garam lemah oksalat (Gambar 14).
Gambar 14 Kristalisasi (panah) pada ginjal tikus kelompok B di daerah duktus kolektivus (bintang) (HE, cahaya Polarisasi 400x).
Menurut Tiselius et al. (2002), agregasi kristal umumnya terjadi di daerah
duktus pengumpul karena di daerah ini kondisi pH rendah sehingga kondusif bagi
proses agregasi kristal yang diinduksi etilen glikol. Agregasi kristal jarang
ditemukan di daerah tubulus proksimal karena adanya proses disolusi kristal oleh
enzim lisosom dari epitel tubulus.
Adanya perlukaan pada epitel tubulus atau duktus kolektivus akibat
hiperoksaluria akan menyebabkan interaksi antara nukleus kristal dan sel. Nukleus
kristal dapat tumbuh dan berkembang menjadi batu harus dalam kondisi melekat
dan bertahap, sehingga mengalami agregasi membentuk masa yang lebih besar.
Metabolit etilen glikol yang berperan dalam pembentukan kristal adalah
oksalat (C2O4 2-). Oksalat memiliki afinitas yang tinggi dengan kalsium sehingga
akan bereaksi membentuk garam kalsium oksalat (CaC2O4). Garam kalsium
oksalat merupakan garam dari asam lemah (asam oksalat). Ikatan kalsium oksalat
yang terbentuk masih bersifat labil sehingga kesetimbangan reaksi masih mungkin
bergerak ke kanan dan ke kiri. Persamaan di bawah ini menunjukan reaksi
kesetimbangan kalsium oksalat:
l
H2C2O4 (aq) + Ca2+ CaC204 (s) + 2H3O+
CaC204 (s) Ca2+ (aq) + C2O4
2-
Pemberian amonium klorida bertujuan membantu kelarutan dari kalsium
oksalat karena efek ion sejenis yang akan menggeser kesetimbangan reaksi.
Dalam ginjal terjadi ikatan antara ion Cl- dan Ca2+ sehingga menghasilkan garam
CaCl2. Reaksi disosiasi amonium klorida dapat dilihat sbb; `
NH4Cl (s) NH4+ + Cl-
NH4+ + H20 NH3 + H3O +
Ca2+ + Cl- CaCl2
Adanya CaCl2 :
CaCl2 Ca2+ (aq) + 2Cl- (aq)
Akibat pemberian infusum daun alpukat 5% dan 10%, kristal kalsium
oksalat yang terbentuk dari kerusakan tubuler (ATN), tampak inti kristalnya
hilang atau terpecah (terfragmentasi). Hal ini dapat dilihat dari ukuran dan
sebaran kristal yang kecil-kecil pada kelompok C dan D (Gambar 15 dan 16).
li
Gambar 15 Kristal dengan ukuran kecil di lumen tubulus distal ginjal kelompok
C. Pewarnaan HE, cahaya Polarisasi 400x.
Gambar 16 Kristal dengan ukuran sangat kecil di lumen tubulus distal ginjal kelompok D. Pewarnaan HE, cahaya Polarisasi 200x.
Hasil metabolisme infusum daun alpukat berupa 3,4 dihydrophenylacetic
acid, metahydroxyphenylacetic acid dan 4-hydro-3-methoxyphenylacetic acid
dalam urin (Gross et al. 1996). Garam asetat ini memiliki gugus karboksil pada
lii
posisi Cα. Adanya kalsium oksalat seperti diuraikan di atas menghasilkan reaksi
dengan metabolit dari infusum daun alpukat sebagai berikut :
HO
HO
O
OH
homoprotocatechuic acid
HO
HO
O
O
homoprotocatechuic acid
CaC204 (s) Ca2+ (aq) + C2O4
2-
C2O4 2- + H3O
+ HC204 - + H2O
H3O+ sebagai hasil resonansi gugus karboksilat akan mengubah suasana
pH dan akan menggeser kesetimbangan reaksi kimia. Ion kalsium oksalat akan
mengalami pergeseran ke arah titik equilibrium dengan bergerak ke kanan
membentuk ion hidrogen oksalat dan air. Semua kalsium oksalat yang terbentuk
akan melarut perlahan-lahan sehingga endapan kristal yang lebih besar tidak akan
terbentuk.
Dengan adanya flavonoid dalam infusum daun alpukat membantu
penghambatan pembentukan kristal dengan cara mencegah peroksidase membran
epitel tubulus sebagai lipid peroksidase (Grases et al. 2009). Daya antioksidan
dari quersetin (derivate flavonoid) cukup tinggi sehingga dapat mengikat radikal
bebas yang dapat mengakibatkan perlukaan dan perubahan struktur membran sel
(Ameha et al. 2006). Salah faktor penentu kesuksesan dalam pembentukan kristal
adalah adanya interaksi kristal dengan sel yang mengalami perlukaan. Ketika
adanya antioksidan quersetin maka perlukaan pada epitel sel dapat dihambat.
H3O +
+
‐
liii
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa etilen glikol sebagai
bahan nefrotoksik dapat menurunkan laju filtrasi glomeruler yang dibuktikan dari
pengujian kadar ureum dan kreatinin serum serta nilai klirens kreatinin.
Perubahan morfologi ginjal akibat etilen glikol dapat dilihat dari lesio pada
glomerulus dan tubulus serta terbentuknya kristal yang kuat di duga sebagai
kristal oksalat.
Pemberian infusum daun alpukat dapat mengkoreksi laju filtrasi
glomeruler dan memecah (menjadikan fragment) kristal oksalat melalui reaksi
dengan metabolit dari infusum daun alpukat dan di dukung oleh peran flavonoid
dalam mencegah peroksidase membrane epitel tubulus. Pemberian infusum daun
alpukat dapat menurunkan presentase tubuler nekrotik ginjal.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai daya hambat kristalisasi dengan waktu induksi dan waktu perlakuan yang lebih lama.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari mekanisme aktivitas
infusum daun alpukat dalam menghambat kristalisasi kalsium oksalat.
3. Perlu dilakukan pengujian dari isolat tunggal infusum daun alpukat untuk mengetahui zat yang berperan dalam menghambat pembentukan kristal.
liv
DAFTAR PUSTAKA
Alfianti, Prasetyorini, Madyastuti R. 2009. Formulasi sediaan tablet ekstrak daun Alpukat (Persea americana Mill) dengan berbagai konsentrasi PVP K30 sebagai bahan pengikat. Skripsi. Universitas Pakuan. Bogor Almeida AP, Miranda MMFS, Simoni IC, Wigg MD, Lagrota MHC, Costa SS.
1998. Flavonolol monoglycosides isolated from the antiviral fractions of Persea americana (Lauraceae) leaf infusion. Phytother Res 12:562-567.
Anonim. 1978. Materia medika Indonesia. Edisi II. Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta.
Anonim. 2004. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan RI. Jakarta Antia BS, Okokon JE dan Okon PA. 2005. Hypoglycemic activity of aqueous leaf
extract of Persea americana Mill. Indian Jurnal of Pharmacology 37 (5):325-326.
Asplin JR. 2000. Hyperoxaluric calcium nephrolithiasis. Endocrinol Metab Clin North Am 31: 927-949. Badarsyam. 2003. Spektrum Bakteriologik pada Berbagai Jenis Batu Saluran Kemih Bagian Atas. Digitized by USU Digital Library. Barnes J, Anderson LA, Phillipson JD. 2002. Herbal medicine a guide for
healthcare professionals. Pharmaceutical Press. London-Chicago. Brai B I C, Odetola A A, Agomo P U. 2007. Effects of Persea americana leaf
extracts on body weight and liver lipid in rats fed hyperlipidaemic diet. African J of Biotech. 6(8): 1007-1011
Bush BM. 1991. Interpretation of laboratory result for small animal clinician. London. Blackwell Scientific Publication. Hlm.224-225
Cheville N.F. 2006. Introduction to veterinary pathology. Third Edition. Iowa Satate University Press. Iowa.
Cogolludo A, Frazziano G, Briones AM, Cobeno L, Moreno L, Lodi F, Salaices M, Tamargo J, Perez-Vizcaino F . 2007. The dietary flavonoid quercetin activates BKCa current in Coronary Arteries via Production of H2O2. Role in Vasodilatation. Cardivascular Research 73: 424-431.
Cohen AH, Fogo AB, Bruijn JA, Colvin RB, Jennete JC. 2006. Fundamentals of renal pathology. New York: Springer.
Cox RD, Phillips WJ. 2004. Ethylene glycol toxicity. Military Medicine 169(8):660-663.
Cruzan G ,Corley RA, Hard GC, Mentens JJWM, McMartin K, Snelling WM, Gingel R, Deyo JA. 2004. Subchronic toxicity of ethyelen glycol in Wistar and F-334 rats related to metabolism and clearance of metabolits. Toxicological Science 81(2):502-511.
Cunningham JG. 2002. Textbook of veterinary physiology. Ed ke-3. USA:WB Saunders Company.Pp:325-375
Dellmann HD dan Brown EM. 1992. Buku teks histology veteriner. R. Hartono, penerjemah: Siti SJ, pendamping. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Histology. hlm 393-403,414-424.
lv
Depkes RI. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Jakarta. Dhawan BN, Srimal RC. 1997. Laboratory manual for pharmacological
evaluation of natural products. India: International Centre for Science and High Technology.
Fan J, Glass MA, Chandhoke PS. 1999. Impact of ammonium chloride administration on a rat ethylene glycol urolithiasis model. Scanning Microsc 13:299-306.
Fox JG, Cohen BJ, Loew FM. 2002. Laboratory animal medicine. New York: Academic Press Inc Harcourt Brace Jovanovich.
Gavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic basic of veterinary disease. Ed ke-4. Musby Elsevier.
Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Jilid 2. Arifin Gunawijaya, penerjemah. Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari Textbook of Histology. Hlm:157-160, 205-209, 229-230.
Grases F, Prieto RM, Gomila I, Sanchis P, Bauza AC. 2009. Phytotherapy and renal stones: The role of antioxidant. A pilot study in Wistar rats. Urol Res 37:35-40. Green ML, Hatch M, Freel RW. 2005. Etylen glycol induces hyperoxaluria
without metabolic acidosis in rats. Am J Physiol Renal Physiol 289:F536-F543
Gross M, Pfeiffer M, Campbell D, Slavin J, Potter J. 1996. The quantitation of metabolites of quercetin flavonols in human urine. Cancer Epidemiol Biomarker Prev 5(9):712-20.
Guyton AC. 1994. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan oleh Ken Ariata Tengadi dkk). Jakarta:EGC.
Hartono R. 1992. Histologi veteriner. Ed ke-3. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hrapkiewicz K dan Medina L. 2007. Clinical laboratory animal medicine. Iowa : Blackwell Publishing. Hlm 343-346.
Hutchinson JS. 2010. Acid-Base Equilibrium. http://cnx.org/content/m1259/1.3 Jacobsen D dan McMartin KE. 1986. Methanol and ethylene glycol poisoning
mechanism of toxicity, clinical course, diagnosis and treatment. Med Toxicol 1:309-334.
Jouad H, Lacaille-Dubois MA, Lyoussi B, Eddouks M. 2001. Effects of the flavonoids extracted from Spergularia purpurea Pers. on arterial blood pressure and renal function in normal and hypertensive rats. J Ethno:72 (2):159-163
Katzung dan Bertram G. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3 Jilid 2 Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, EGC.
Khan SR. 1997. Interaction between stone forming calcific crystal and macromolecules. Urol Int 59:59-71.
Laroubi A, Touhami M, Farouk L. 2007. Prophylaxis effect of Trigonella foenum graecum L., seeds on renal stone formation in rats. Phytoterapy Research 21:921-925.
Lu FC. 1995. Toksikologi dasar. Terjemahan Edi Nugroho. Jakarta : UI Press. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di
laboratorium. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
lvi
Marengo SR, Romani AMP. 2008. Oxalate in renal stone disease: the terminal metabolite that just wont go away. Nat Clin Pract Nephrol 4(7): 368-377.
Meimaridou E, Lobos E, Hothersall S. 2006. Renal oxidative vulnerability due to changes in mitochondrial-glutathione and energy homeostasis in a Rat model of calcium oxalate urolithiasis. Am J Physiol Renal Physiol 291: F731-F740. Merck&Co.Inc. 2000. Ethylene glycol toxicity. Eight Edition. The Merck
Veterinary Manual. CD-ROM Morales AI, Vicente Sanchez C, Santiago Sandoval JM, Egido J, Mayoral P,
Arevalo MA, Fernandez-Tagarro M, Lopez-Novoa JM, Perez-Barriocanal. 2006. Protective effect of quercetin on experimental chronic cadmium nephrotoxicity in rats based on its antioxidant properties. Food and Chem. Toxicol 44:2092-2100.
Nurulazmy I, Harlina E, Madyastuti R. 2010. Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Yang Diberi Etilen Glikol Dan Infus Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Skripsi. Bogor: PB.
Pearle MS, Nakada SY. 2009. Urolithiasis medical and surgical management. London-Informa Healthcare.
Prihatman K. 2000. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan. Jakarta:BAPPENAS.
Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Cetakan ke1.Volume 2. Brahm U Jakarta-Penerbit EGC. Terjemahan dari Pathophysiology : Clinical concepts of disease precess. hlm 867-889.
Ratu G, Badji A, Hardjoeno. 2006. Profil analisis batu saluran kemih di laboratorium patologi klinik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory Vol. 12 (No. 3):114-117
Robertson WG, Markwell PJ. 1999. Predicting the calcium oxalate crystallization potential of cat urine. Waltham Focus (9): 32-33.
Rosa LA, Parilla EA, Aguilar GAG. 2010. Fruit and Vegetable Phytochemicals Chemistry, Nutritional Value and Stability. Blackwell Publishing. Hlm 54.
Sastrohamidjojo H. 2005. Sintesis bahan alam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Seymon A, Asres K, El-fiky FK. 2006. Structure radical scavenging activity relationship of flavonoids. Phytochemistry (67):2058-2070.
Shekarriz B, Stoller ML. 2008. Hyperoxaluria. http://emedicine.medscape.com Simanjuntak, Timbul M. 2007. Pengaruh infusum tumbuhan obat terhadap pelarut
kalsium dalam batu ginjal. Unika Atma Jaya. Sofowara dan Abayoni. 1982. Medicinal plants and traditional medicine in Africa.
John Wiley and Sons Limited Chichestern. New York. Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamental of veterinary Clinical Pathology.
2nd Ed. Iowa : Blackwell Publishing. Stoller ML, Meng MV. 2007. Urinary Stone Disease: The Practical Guide to
Medical and Surgical Management. New Jersey: Humana Press. Subahagio, Rahman I, Ibnusahni, Sutarjo, Sulaksono ME. 1997. Pengaruh Faktor Keturunan dan Lingkungan terhadap Sifat-Sifat Biologis Terlihat pada Hewan Percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Pengembangan Kesehatan Vol. VII (1).
lvii
Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. Elsevier San Diego Academic Press.
Tilley LP, Smith FWK. 2004. The 5-Minute Veterinary Consult: Canine and Feline. IOWA : Blackwell Publishing.
Tisellius HG. 1996. The patient with renal stone disease, www.oup.co.uk/pdf/medicine/otcn3ch8_1.pdf
Touhami M, Laroubi A, Elhabazi K, Loubna F. 2007. Lemon juice has protective activity in a rat urolithiasis model. Bmc Urol Vol 7.
Verkoloen. 2007. The Role of hyaluronan in renal stone disease. http://www.glycoforum.gr.jp/science/hyaluronan/HA29/HA29E.html
Walder AD, Tyler CKG. 1994. Ethylene glycol antifreeze poisoning. Three case reports and a review of treatment. Anesthesia 57(5):464-471
Wientarsih I, Madyastuti R, Prasetyo BF. 2008. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana Gertn) terhadap Batu Ginjal Buatan dan Diuretik pada Tikus Putih. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wiessner JH, Hasegawa AT, Hung LY, Mandel GS. Mandel NS. 2001. Mechanisms of calcium oxalate crystal attachment to injured renal collecting duct cells. Kidney Int 59:637-644.
Winarsi H. 2005. Isoflavon berbagai sumber, sifat dan manfaatnya pada penyakit degeneratif. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yokozawa T, Nakagawa T, Oya T, Okubo T and Juneja LR. 2005. Green Tea
Polyphenols and Dietary Fibre Protect Against Kidney Damage in Rats with Diabetic Nephropathy. J Pharm Pharmacol 57: 773-780.
lviii
lxiii
LAMPIRAN
lxiv
Lampiran 1 Hasil determinasi tanaman alpukat
lxv
Lampiran 2 Analisa statistik urea serum
Urea Serum (mg/dl)
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 4 Dosis10% Dosis5% Induksi normal
hari 3 0 5 11
r 5 1 2 3 4 5
Number of Observations Read 59
Number of Observations Used 58
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Source DF Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model 23 47007.86613 2043.82027 5.18 <.0001
Error 34 13403.38892 394.21732
Corrected Total
57 60411.25505
Pada uji-F diatas nilai-p(0.0001) < alpha 5% artinya model RAL in time significant
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.778131 34.19696 19.85491 58.06045
R-square 77.81% artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor2 dalam model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh factor lain di luar model
lxvi
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 3 10661.41390 3553.80463 9.01 0.0002
hari 2 20128.71539 10064.35770 25.53 <.0001
r(hari) 12 3325.80410 277.15034 0.70 0.7375
kelompok*hari 6 12891.93274 2148.65546 5.45 0.0005
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 3 12559.25639 4186.41880 10.62 <.0001
hari 2 20802.53120 10401.26560 26.38 <.0001
r(hari) 12 2440.35488 203.36291 0.52 0.8896
kelompok*hari 6 12891.93274 2148.65546 5.45 0.0005
Dari output diatas diperoleh kesimpulan bahwa kelompok significant(berbeda nyata), pengaruh hari juga significant, dan interaksi antara hari dan kelompok juga significant. Kesimpulan ini diperoleh dilihat dari nilai-p yang kurang dari alpha 5%.
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(hari) as an Error Term
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
hari 2 20802.53120 10401.26560 51.15 <.0001
lxvii
UJI LANJUT KELOMPOK
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 34
Error Mean Square 394.2173
Harmonic Mean of Cell Sizes 14.48276
Note: Cell sizes are not equal.
Number of Means 2 3 4
Critical Range 14.99 15.76 16.26
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N kelompok
A 77.566 14 Induksi
A
A 65.145 14 Dosis5%
B 46.315 15 normal
B
B 44.989 15 Dosis10%
lxviii
UJI LANJUT HARI
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 12
Error Mean Square 203.3629
Harmonic Mean of Cell Sizes 19.32203
Note: Cell sizes are not equal.
Number of Means 2 3
Critical Range 10.00 10.46
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N hari
A 83.412 19 11
B 51.026 20 5
C 40.114 19 0
lxix
DESKRIPTIF
The GLM Procedure
Level of kelompok
N respon
Mean Std Dev
Dosis10% 15 44.9890667 28.2012541
Dosis5% 14 65.1450000 25.7464231
Induksi 14 77.5657143 47.0457737
normal 15 46.3146667 9.3545641
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
0 19 40.1136316 11.1241290
5 20 51.0263000 15.1315637
11 19 83.4116316 43.7881731
Level of kelompok
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
Dosis10% 0 5 35.945800 20.1850536
Dosis10% 5 5 41.043200 25.2032179
Dosis10% 11 5 57.978200 37.5281740
Dosis5% 0 4 46.942500 4.8337934
Dosis5% 5 5 51.870000 9.8156482
Dosis5% 11 5 92.982000 22.8089263
Induksi 0 5 40.488000 6.8690880
Induksi 5 5 61.242000 4.7413416
lxx
Level of kelompok
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
Induksi 11 4 144.317500 28.6647151
normal 0 5 38.444000 3.5646080
normal 5 5 49.950000 8.7283590
normal 11 5 50.550000 10.0503980
Uji LANJUT INTERAKSI KELOMPOK dengan HARI
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 46
Error Mean Square 344.4292
Harmonic Mean of Cell Sizes 4.8
Note: Cell sizes are not equal.
Number of Means
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Critical Range
24.11
25.36
26.18
26.77
27.22
27.58
27.88
28.12
28.33
28.51
28.66
lxxi
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 144.32 4 indks*11
B 92.98 5 Dos5%*11
C 61.24 5 indks*5
C
C 57.98 5 Dos10%*1
C
C 51.87 5 Dos5%*5
C
C 50.55 5 normal*1
C
C 49.95 5 normal*5
C
C 46.94 4 Dos5%*0
C
C 41.04 5 Dos10%*5
C
C 40.49 5 indks*0
C
C 38.44 5 normal*0
C
lxxii
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
C 35.95 5 Dos10%*0
Dari hasil uji lanjut interaksi kelompok dengan hari diperoleh kesimpulan bahwa interaksi antara induksi dengan hari ke 11 menghasilkan respon yang paling tertinggi dan berbeda nyata dengan semua kombinasi antara kelompok dengan Hari
lxxiii
Lampiran 3 Analisis statistik kreatinin serum
Kreatinin Serum (mg/dl)
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 4 Dosis10% Dosis5% Induksi normal
hari 3 0 5 11
r 5 1 2 3 4 5
Number of Observations Read 60
Number of Observations Used 60
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Source DF Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model 23 3.15704695 0.13726291 0.66 0.8527
Error 36 7.50098190 0.20836061
Corrected Total
59 10.65802885
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.296213 44.51446 0.456465 1.025432
Pada uji-F diatas nilai-p(0.8527) > alpha 5% artinya model RAL in time tidak significant
lxxiv
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 3 1.10069861 0.36689954 1.76 0.1721
hari 2 0.29703306 0.14851653 0.71 0.4971
r(hari) 12 1.03023011 0.08585251 0.41 0.9491
kelompok*hari 6 0.72908516 0.12151419 0.58 0.7413
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 3 1.10069861 0.36689954 1.76 0.1721
hari 2 0.29703306 0.14851653 0.71 0.4971
r(hari) 12 1.03023011 0.08585251 0.41 0.9491
kelompok*hari 6 0.72908516 0.12151419 0.58 0.7413
Semua nilai-p > alpha 5% artinya tidak ada factor yang significant
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(hari) as an Error Term
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
hari 2 0.29703306 0.14851653 1.73 0.2187
lxxv
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 36
Error Mean Square 0.208361
Number of Means 2 3 4
Critical Range .3380 .3554 .3667
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N kelompok
A 1.2442 15 Induksi
A
A 1.0323 15 Dosis5%
A
A 0.9141 15 Dosis10%
A
A 0.9112 15 normal
lxxvi
Kreatinin Serum (mg/dl)
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 12
Error Mean Square 0.085853
Number of Means 2 3
Critical Range .2019 .2113
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N hari
A 1.11691 20 11
A
A 1.01360 20 5
A
A 0.94579 20 0
lxxvii
Kreatinin Serum (mg/dl)
The GLM Procedure
Level of kelompok
N respon
Mean Std Dev
Dosis10% 15 0.91406667 0.35353449
Dosis5% 15 1.03226667 0.33984103
Induksi 15 1.24423167 0.59509702
normal 15 0.91116187 0.29672786
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
0 20 0.94578570 0.27273065
5 20 1.01360000 0.55702919
11 20 1.11690945 0.40081423
Level of kelompok
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
Dosis10% 0 5 0.80020000 0.07568818
Dosis10% 5 5 1.04020000 0.62819042
Dosis10% 11 5 0.90180000 0.02862167
Dosis5% 0 5 0.90860000 0.15022583
Dosis5% 5 5 1.14320000 0.51566869
Dosis5% 11 5 1.04500000 0.28467086
Induksi 0 5 1.09148560 0.50843024
Induksi 5 5 1.16440000 0.65949473
lxxviii
Level of kelompok
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
Induksi 11 5 1.47680940 0.66431238
normal 0 5 0.98285720 0.10020382
normal 5 5 0.70660000 0.45853004
normal 11 5 1.04402840 0.08412047
lxxix
Lampiran 3 Analisa statistik Klirens Kreatinin
Klirens kreatinin (ml/detik)
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 4 Dosis10% Dosis5% Induksi normal
hari 3 0 5 11
r 5 1 2 3 4 5
Number of Observations Read 56
Number of Observations Used 53
lxxx
Klirens Kreatinin (ml/menit)
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Source DF Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model 23 101.8705549 4.4291546 3.60 0.0007
Error 29 35.6594102 1.2296348
Corrected Total
52 137.5299652
Pada uji-F diatas nilai-p(0.0007) < alpha 5% artinya model RAL in time significant
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.740715 47.13647 1.108889 2.352508
R-square 74.07% artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor2 dalam model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh factor lain di luar model
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 3 40.37736920 13.45912307 10.95 <.0001
hari 2 14.26591226 7.13295613 5.80 0.0076
r(hari) 12 25.20004852 2.10000404 1.71 0.1168
kelompok*hari 6 22.02722495 3.67120416 2.99 0.0214
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 3 37.95048629 12.65016210 10.29 <.0001
hari 2 14.22945461 7.11472730 5.79 0.0077
r(hari) 12 24.67923053 2.05660254 1.67 0.1259
kelompok*hari 6 22.02722495 3.67120416 2.99 0.0214
lxxxi
Dari output diatas diperoleh kesimpulan bahwa kelompok significant(berbeda nyata), pengaruh hari juga significant, dan interaksi antara hari dan kelompok juga significant. Kesimpulan ini diperoleh dilihat dari nilai-p yang kurang dari alpha 5%.
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(hari) as an Error Term
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
hari 2 14.22945461 7.11472730 3.46 0.0651
lxxxii
UJI LANJUT KELOMPOK
Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 29
Error Mean Square 1.229635
Harmonic Mean of Cell Sizes 12.92308
Note: Cell sizes are not equal.
Number of Means 2 3 4
Critical Range .8922 .9375 .9669
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N kelompok
A 3.6207 10 Dosis10%
A
A 2.9811 14 Dosis5%
B 1.9361 14 Induksi
B
B 1.3090 15 normal
Dosis 10% dan dosis 5% tidak berbeda nyata, induksi dan normal tidak berbeda nyata, sedangakan dosis 10%,dosis5% berbeda nyata dengan induksi,normal
lxxxiii
UJI LANJUT HARI
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 12
Error Mean Square 2.056603
Harmonic Mean of Cell Sizes 17.65385
Note: Cell sizes are not equal.
Number of Means 2 3
Critical Range 1.052 1.101
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N hari
A 3.0840 18 0
A
B A 2.0404 18 5
B
B 1.9085 17 11
lxxxiv
Laju Klirens kreatinin (ml/menit)
The GLM Procedure
Level of kelompok
N respon
Mean Std Dev
Dosis10% 10 3.62070000 1.42819778
Dosis5% 14 2.98114286 1.74313078
Induksi 14 1.93607143 1.25442260
normal 15 1.30899333 1.15998163
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
0 18 3.08399444 1.79982241
5 18 2.04038889 1.23620706
11 17 1.90847059 1.61525130
Level of kelompok
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
Dosis10% 0 4 4.25000000 0.68363782
Dosis10% 5 3 2.61633333 1.66389012
Dosis10% 11 3 3.78600000 1.83388849
Dosis5% 0 4 4.82150000 1.36225854
Dosis5% 5 5 2.05800000 1.13966486
Dosis5% 11 5 2.43200000 1.53472831
Induksi 0 5 2.89260000 1.15698457
Induksi 5 5 1.56300000 1.06535112
lxxxv
Level of kelompok
Level ofhari
N respon
Mean Std Dev
Induksi 11 4 1.20675000 1.02694673
normal 0 5 0.95258000 0.76380252
normal 5 5 2.15460000 1.45823774
normal 11 5 0.81980000 0.80489763
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 41
Error Mean Square 1.471674
Harmonic Mean of Cell Sizes 4.260355
Note: Cell sizes are not equal.
Number of Means
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Critical Range
1.679
1.765
1.822
1.862
1.894
1.918
1.938
1.955
1.969
1.981
1.991
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
lxxxvi
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 4.8215 4 Dos5%*0
A
B A 4.2500 4 Dos10%*0
B A
B A C 3.7860 3 Dos10%*1
B C
B D C 2.8926 5 indks*0
B D C
B E D C 2.6163 3 Dos10%*5
B E D C
B E D C 2.4320 5 Dos5%*11
E D C
E D C 2.1546 5 normal*5
E D C
E D C 2.0580 5 Dos5%*5
E D
E D 1.5630 5 indks*5
E D
E D 1.2068 4 indks*11
E
E 0.9526 5 normal*0
E
lxxxvii
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
E 0.8198 5 normal*1