pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum...

39
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Energi Ayam memerlukan energi untuk proses -proses fisiologis seperti bernafas, sirkulasi darah, absorpsi zat-zat makan- an, pergerakan, reproduksi, mengatur suhu badan dan seba- gainya (Card, 1962). Menurut Scott et al. (1976) dan NRC (1977)' untuk ransum unggas, pengukuran nilai energi meta- bolis dari bahan makanan.paling banyak dilakukan dan paling praktis, sebab energi metabolis selain energi untuk pro- duksi, juga energi untuk hidup pokok, ~ertumbuhant Perge- rakan dan sebagainya. Besarnya energi net0 kurang lebih 70- 90 persen da- ri energi dalam ransum (Bell dan Freeman, 1971). Scott et al. (1976), ~turkie (1976) dan Wahju (1985) menyatakan bahwa - energi yang dimetaboliskan sebagian hilang selama metabolis- me berlangsung, sisanya dinamakan energi neto. Energi net0 ini yang dipakai untuk hidup pokok, seperti aktivitas, me- ngatur panas badan dan untuk produksi telur, lemak, pertum- buhan dan sebagainya. Energi untuk hidup -pokok ya-ng harus dipenuhi lebih dahulu, setelah itu baru untuk yang lainnya. Card (1972) mengemukakan bahwa energi untuk hidup pokok kurang lebih 75 persen dari energi metabolis, sedangkan Scott et al. (1976) menyatakan bahwa kebutuhan energi net0 82 per- -- sen dari energi metabolis. Energi untuk aktivitas kurang lebih 37 persen dari energi hidup pokok, bagi ayam yang di-

Upload: donga

Post on 10-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Energi

Ayam memerlukan energi untuk proses -proses fisiologis

seperti bernafas, sirkulasi darah, absorpsi zat-zat makan-

an, pergerakan, reproduksi, mengatur suhu badan dan seba-

gainya (Card, 1962). Menurut Scott et al. (1976) dan NRC

(1977)' untuk ransum unggas, pengukuran nilai energi meta-

bolis dari bahan makanan.paling banyak dilakukan dan paling

praktis, sebab energi metabolis selain energi untuk pro-

duksi, juga energi untuk hidup pokok, ~ertumbuhant Perge-

rakan dan sebagainya.

Besarnya energi net0 kurang lebih 70- 90 persen da-

ri energi dalam ransum (Bell dan Freeman, 1971). Scott et

al. (1976), ~turkie (1976) dan Wahju (1985) menyatakan bahwa - energi yang dimetaboliskan sebagian hilang selama metabolis-

me berlangsung, sisanya dinamakan energi neto. Energi net0

ini yang dipakai untuk hidup pokok, seperti aktivitas, me-

ngatur panas badan dan untuk produksi telur, lemak, pertum-

buhan dan sebagainya. Energi untuk hidup -pokok ya-ng harus

dipenuhi lebih dahulu, setelah itu baru untuk yang lainnya.

Card (1972) mengemukakan bahwa energi untuk hidup pokok

kurang lebih 75 persen dari energi metabolis, sedangkan Scott

et al. (1976) menyatakan bahwa kebutuhan energi net0 82 per- -- sen dari energi metabolis. Energi untuk aktivitas kurang

lebih 37 persen dari energi hidup pokok, bagi ayam yang di-

Page 2: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

kandangkan di kandang sistom sangkar (cage) dan 50 persen

bagi sistem serasah (litter).

Kebutuhan energi pada unggas sangat dipengaruhi ke-

adaan temperatur lingkungan, karena temperatur lingkungan

sangat menentukan kebutuhan energi untuk hidup pokok

(Balnave, 1978). Costa (1978) melaporkan bahwa kebutuhan

energi untuk rnemproduksi satu kilogram telur pada daerah

beriklim panas lebih rendah daripada daerah beriklim di-

ngin. Ini disebabkan kebutuhan energi untuk hidup pokok

di daerah panas relatif rendah. Kebutuhan energi untuk

produksi telur saja sangat sedikit pengaruhnya terhadap

temperatur lingkungan (Bierly et al., 1978). Menurut

Scott (1976) ayam yang diberi ransurn dengan tingkat energi

2850 kkal EM/kg, akan mengkonsumsi energi melebihi kebu-

tuhan. Akan tetapi apabila diberi ransurn dengan tingkat

energi 2 650 kkal EM/kg, maka konsumsi energi lebih rendah

dari kebutuhan. Ruhyat (1982) melaporkan bahwa pada ayam

tipe medium pemberian ransum dengan tingkat energi 2 650

kkal EM/kg, pada ayam yang dikandangkan pada kandang sis-

tern sangkar, masih terlihat adanya kelebihan konsumsi

energi. Tingkat energi 2650 kkal EM/kg dan 2850 kkal EM/

kg ransum pada dua galur petelur tipe medium tidak berbeda

nyata terhadap produksi telur, tetapi tingkat energi 2650

kkal EM/kg lebih cocok untuk petelur tipe medium di daerah

tropik daripada 2850 kkal E~/kg.

Page 3: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Sugandi (1973) melaporkan bahwa untuk petelur tipe

ringan perbedaan tingkat energi 2 6 5 0 1 2 850 dan 3 0 5 0 k k a l

EM/kg ransum tidak nyata mempengaruhi produksi telur. De-

mikian pula CresweLl (1979) mengemukakan bahwa kisaran

tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal

EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur.

Hill et al. (1956) melaporkan bahwa pada musim dingin

produksi telur tertinggi dihasilkan dari ransum dengan

tingkat energi tinggi dan produksi telur terendah dari ran-

sum dengan tingkat energi rendah, sedangkan pada musim gu-

gur, musim semi dan musim panasl produksi telur tidak nyata

dipengaruhi oleh tingkat energi dalam ransum. MacIntyre

dan Aitken (1957) mengemukakan bahwa kandungan energi dalam

ransum tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur, bo-

bot telur, kualitas putih telur dan adanya bintik darah dan

bintik daging dalam telur. Pepper et al. (1959) menyatakan

pula bahwa produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum

tidak nyata dipengaruhi oleh tingkat energi dalam ransum.

Grover et al. (1972), pada ayam persilangan antara

Rhode Island Red x Barred Plymouth Rock dan pada pengan-

dangan dengan sistem sanqkar, produksi telur akan menurun

dengan naiknya tingkat energi dalam ransum. Pengaruh penu-

runan produksi telur ini tidak langsung, melainkan karena

dengan kenaikan energi dalam ransum maka konsumsi ransum

berkurang, demikian pula konsumsi proteinnya sehingga me-

Page 4: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

nyebabkan produksi telur turun. Sugandi (1973) melaporkan

bahwa, ransum yang berkadar energi tinggi cenderung untuk

memproduksi telur yang besar-besar dan mempunyai daya cer-

na ransum efisien karena kadar serat kasar rendah.

Tokinson et g . (1968) menyatakan bahwa konsumsi ener- . gi 341 kkal/ekor/hari sudah cukup untuk merangsang produksi

dan besar telur yang memadai. Menurut Karunajeewa (1972)

untuk merangsang produksi dan besar telur yang optimal, me-

merlukan konsumsi energi 316 kkal/ekor/hari. Untuk petelur

tipe medium dan tipe berat yang dipelihara pada temperatur

lingkungan 6 5 sampai 70°F kebutuhan energi 333 kkal dan 360

kkal/ekor/hari (North, 1972).

Untuk petelur tipe ringan di daerah tropik agar ber-

produksi secara maksimal kebutuhan energi metabolis 265

sampai 280 kkal/ekor/hari (Williamson dan Payne, 1978).

Ruhyat (1982) melaporkan bahwa pada pemberian ransum seca-

ra ad libitum, konsumsi energi untuk galur Shaver dan Su-

per-Harco adalah 335.05 kkal dan 340.61 kkal/ekor/hari.

Jackson et g. (1969) menyatakan bahwa penirobunan le- mak tubuh pada petelur disebabkan karena petelur rnampu

mengkonsumsi energi sebanyak 10 sar.ipai 15 persen melebihi

kebutuhan. Menurut Sugandi (1973), pada petelur tipe ri-

ngan sanggup mengatur konsumsi energi secara teliti, se-

hingga tidak terjadi penimbunan lemak. Petelur yang meng-

Page 5: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

9

konsumsi energi berlebih tersebut terutama pada petelur

tipe medium dan tipe berat (Balnave, 1978).

Hafez dan Dyer (1969) melaporkan bahwa petelur yang

mengkonsumsi energi berlebihan mempunyai kadar lemak hati

yang tinggi. Bila lemak hati sudah tertimbun maka sel le-

mak tersebut akan berinfiltrasi ke dalam hati. Penyakit

ini disebut FLHS (Fatty Liver Haemorragic Syndrom). Ayam

yang menderita penyakit ini biasanya mati secara tiba-

tiba, karena terjadi perdarahan pada hati. Snetsinger

(1980) mengemukakan bahwa petelur yang produksinya sudah

melewati puncak produksi, maka apabila mengkonsumsi energi

berlebih, 80 persen dari energi tersebut dirubah menjadi

lemak tubuh.

Kebutuhan Protein

Berg dan Bearse (1957) dari hasil penelitiannya mela-

porkan bahwa pada pemberian ransum dengan tingkat protein

14, 16, dan 18 persen dan energi metabolis 1100 kkal/lb dan

1450 kkal/lb pada empat galur petelur tipe ringan, dengan

hasil sebagai berikut : Pada ransum dengan tingkat energi

tinggi dan protein rendah, produksi telur menurun, tetapi

pada tingkat energi tinggi dengan protein 16 persen dan 18

persen, produksi telur sama. Pada tingkat protein 16 per-

sen dalam ransum, tingkat energi tidak nyata mempengaruhi

produksi telur,

Page 6: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Kebutuhan protein untuk mernproduksi telur tergantung

pada beberapa faktor yaitu tingkat energi dalam ransum,

galur ayam, tingginya tingkat produksi, tipe kandang, umur

ayam, temperatur lingkungan, cekaman akibat keadaan ling-

kungan yang berbeda, kualitas protein yang terkandung da-

lam ransum (Thornton dan Whittet, 1960). Reid dan Majorino

(1980) menyatakan bahwa dengan menaikkan tingkat energi

rnetabolis 2.42 kkal menjadi 3.08 kkal/kg ransum pada ting-

kat protein 14 persen, maka produksi telur menurun. Pada

tingkat protein 16 dan 18 persen dalarn ransun kenaikan

energi rnetabolis akan menaikkan produksi telur.

Pada pemberian ransum dengan tingkat protein 15, 20

dan 25 persen dan tingkat energi net0 750 kkal atau 960

kkal/kg, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi

telur. Hanya kebutuhan ransum untuk memproduksi satu lu-

sin telur berkurang, pada ransum yang berenergi tinggi

(McDaniels et al., 1959). Demikian pula dari hasil pene-

litian Robblee dan Clandinin (19591 melaporkan bahwa pada

pemberian ransum dengan tingkat protein 15 dan 17 persen

pada kalkun bibit, maka tingkat energi tidak berpengaruh

nyata terhadap laju produksi telur, fertilitas dan daya

tetas telur.

Imbangan energi dan protein yang paling efisien dalam

r a n s u m petelur, rnenurut Karunajeewa (1972) ialah 2840 kkal

EM/kg dan 15 persen. Demikian pula NRC (1977) menyatakan

Page 7: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

bahwa kombinasi energi dan protein yang terbaik dalam ran-

sum petelur 2 8 5 0 kkal EM/kg dan 15 persen, sedangkan im-

bangan energi protein dalam ransum untuk ayam petelur tipe

ringan di daerah tropik yang paling efisien yaitu 2 8 5 0

kkal EM/kg dan 18 persen (Sugandi, 1973).

Interaksi antara galur dan tingkat protein dalam ran-

sum berpengaruh sangat nyata terhadap bobot badan, produk-

si telur, bobot telur, efisiensi penggunaan makanan, HU

dan tebal kerabang (Deaton dan Quesenberry, 1965). Demiki-

an pula Harms et al. (1966) mengemukakan bahwa interaksi

antara galur dan tingkat protein dalam ransum, nyata mempe-

ngaruhi bobot badan. Pada ayam New Hamshire tingkat pro-

tein dalam ransum nyata mempengaruhi kenaikan bobot badan

sedangkan kebutuhan protein dalam ransum petelur dipenga-

ruhi oleh produksi dan bobot telur, efisiensi penggunaan

makanan dan pertambahan bobot badan,

Robert dan Denton (1964) melaporkan bahwa kebutuhan

minimal konsumsi protein untuk Rhode Island Red (RIR) 20

gram dan untuk Barred Plymounth Rock 17 gram per ekor per

hari, sedangkan New Hamshire membutuhkan 33 gram/ekor/hari.

Dilaporkannya pula bahwa rataan konsumsi protein yang di-

perlukan untuk mencapai performans yang optimal dipenga-

ruhi oleh beberapa Faktor. seperti galur, bobot badan,

tingkat produksi telur, kandungan energi dan protein dalam

ransum, kandungan asam-asam amino dan temperatur lingkung-

Page 8: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

an. Sharpe dan Morris (1965) menyatakan bahwa kebutuhan

protein dalam ransum untuk ayam persilangan RIR x Light

Sussex adalah 12.5 persen, sedangkan untuk ayam White

Leghorn 16.5 persen agar berproduksi secara maksimal.

Speers dan Balloun (1967) mengemukakan bahwa kebutuh-

an protein untuk memproduksi telur secara maksimal pada

beberapa galur petelur White Leghorn berbeda. Miller dan

Smith (1975) menyatakan bahwa pada petelur White Leghorn

yang diberi tiga macam ransum dengan tingkat protein 10,

12.5 dan 15 persen, maka produksi telur tertinggi dan per-

tambahan bobot badan terbesar pada tingkat protein 15 per-

sen. Kebutuhan protein dalam ransum untuk petelur Hubbard

Golden Comet lebih besar dari rataan kebutuhan protein ba-

gi petelur berkerabang coklat lainnya, sebab Hubbard Golden

Comet berbadan kecil sehingga konsumsi ransum sedikit.

Heuser (1936) menyatakan bahwa pemberian ransum dengan

tingkat protein 16 persen adalah tingkat yang optimal un-

tuk petelur. Demikian pula Reid et al. (1951), melaporkan

bahwa performans yang optimal bagi petelur dapat dicapai

apabila diberi ransum dengan tingkat protein lebih dari

15 persen. Ousterhout (1981) mengemukakan bahwa pada pe-

telur yang diberi ransum dengan tingkat 15, 16, 17 dan 18

persen dan tingkat energi sama, tidak berpengaruh nya-

ta terhadap produksi telur. Hamilton (1978) menyatakan

bahwa pada petelur White Leghorn yang dipelihara dalam

Page 9: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

kandang sistem sangkar, pemberian tingkat protein 15 dan

17 persen dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap

produksi telur.

Selama musim panas, tingkat protein 15 persen dalam

ransum sudah cukup untuk memproduksi telur (Heywang et al., 1955) Menurut Hochreich et al. (1957) efisiensi - penggunaan makanan lebih baik pada ransum yang mengandung

protein tinggi daripada protein rendah. Lebih lanjut di-

kemukakannya bahwa untuk mempertahankan produksi telur

maksimal diperlukan kandungan protein 17 persen dalam ran-

sum. Reid (1976) melaporkan bahwa pada pemberian ransum

dengan tingkat protein 13.5 sampai 19.5 persen tidak ber-

pengaruh nyata terhadap produksi telur, dan dilaporkannya

pula bahwa apabila ayam diberi ransum dengan tingkat pro-

tein 10 dan 11.5 persen kematian mencapai 55.3 dan 31.1

persen.

Miller et al. (1957) menyatakan bahwa dengan pemberi-

an protein 13 sampai 15 persen dalam ransum petelur sudah

cukup untuk produksi telur. Demikian pula Shutze (1969)

mengemukakan bahwa untuk rnenghasilkan bobot telur dan pro-

duksi telur yang optimal, maka ransum yang diberikan mem-

butuhkan tingkat protein 13 sampai 18 persen, dan dikemu-

kakannya pula bahwa selama petelur berproduksi maka ran-

sumnya mernbutuhkan protein 15 sampai 16 persen.

Page 10: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Lee et al. (1944) melaporkan bahwa kebutuhan protein

bagi petelur untuk berproduksi secara optimal ialah 15

sampai 16 persen. Scott et al. (1976) menyatakan bahwa ke-

butuhan protein tersebut sudah cukup dengan 15 persen.

Kebutuhan protein untuk petelur maksimum 17 persen dan mi-

nimum 11 persen, tetapi ini masih ter.gantung pada tempera-

tur lingkungan dan kandungan energi dalam ransum tersebut

(Harms et al., 1962).

Menurut Haberman (1956), penggunaan makanan yang efi-

sien dapat dicapai bila ransum tersebut mengandung protein

15.5 sampai 17 persen. Ayam yang diberi ransum dengan ka-

dar protein 15 persen ditambah dengan 0.23 persen metionin

mempunyai performans yang sama dengan ransum yang mengan-

dung 17 persen protein (Karunajeewa, 1972). Fernandes et

al. (1973) mengemukakan bahwa pemberian protein 13 persen - dalam ransum dengan ditambah lisin dan metionin, dapat

menghasilkan produksi dan besar telur yang sama dengan

protein 15, 17 atau 18 persen.

Miller dan Smith (1975) menyatakan bahwa pada petelur

ripe medium, pemberian ransum dengan tingkat protein 16

dan 17 persen atau 18 persen,. tingkat kepadatan ayam dalam

kandang sistem sangkar tidak mempengaruhi produksi telur.

Menurut Ewing (1963), makin tua umur ayam rnakin ba-

nyak kebutuhan protein bila dibandingkan dengan ayam muda,

tetapi Liwa (1972) melaporkan bahwa tingkat protein 14

Page 11: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

persen dalam ransum efisien penggunaannya pada ayam umur

lebih dari 13 bulan. Apabila umur ayam kurang dari 13 bu-

lan maka ransum yang efisien yaitu dengan tingkat protein

16 persen. Lebih lanjut dilaporkannya pula bahwa ayam

berumur 1 0 bulanr peningkatan tingkat protein dalam ransum

dari 14 ke 16 persen sangat nyata (P c 0.01) mempenga-

ruhi produksi dan bobot telur.

Milton dan Ingram (1957) mengatakan bahwa kebutuh-

an protein dalam ransum 18 persen dapat berhasil baik pada

temperatur lingkungan antara 70 sampai 90" F. Ponda dan

Reddy (1976) melaporkan hasil penelitfannya di India bahwa

pada musim panas petelur sebaiknya diberi ransum dengan

tingkat protein 18 persenl sedangkan pada musim dingin cu-

kup dengan 15 persen.

Konsumsi protein untuk petelur tipe medium supaya da-

pat mencapai produksi telur maksimalr harus mengkonsumsi

protein sebanyak 21 gram/ekor/hari. Apabila konsumsi pro-

tein tersebut hanya 16 sampai 17 gram/ekor/hari, maka pro-

duksi telur turun menjadi 50 sampai 60 persen (North, 1972).

Ruhyat (1982) juga melaporkan bahwa pada ayam tipe medium

yang diberi ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal EM/kg , mengkonsumsi protein sebanyak 20.83 grarn/ekor/hari untuk

galur Shaver dan 21.04 gram/ekor/hari untuk galur Super-

Harco. Ransum dengan tingkat energi 2650 kkal EM/kg di-

konsumsi oleh galur Shaver dan Super-Harco berturut-tu-

Page 12: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

rut sebanyak 20.92 gram/ekor/hari dan 21.28 grarn/ekor/hari.

Mawi (1975), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa

pada petelur galur Kimbrown rataan konsumsi protein 21.43

g,ram/ekor/hari pada tingkat energi 2 650 kkal EM/kg dan 21.21

gram/ekor/hari pada ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal

EM/kg. Karunajeewa (1972) mengemukakan bahwa konsumsi pro-

tein sebanyak 17 gram/ekor/hari sudah cukup untuk memperta-

hankan produksi dan bobot telur yang normal.

Menurut Tokinson et al. (1968) untuk mencapai produksi

dan bobot telur yang optimal, dibutuhkan konsumsi protein

16.6 gram. Demikian pula dengan pendapat-pendapat lain ya-

itu N.RC (1977), mengemukakan bahwa pemberian protein 16.5

gram/ekor/hari dengan tingkat energi 2850 kkal EM/kg sudah

rnernadai. Nesheim et al.,(1979) menyatakan bahwa untuk men-

capai produksi telur yang maksirnal, ayam harus mengkonsumsi

protein 17 gram/ekor/hari.

Aitken et al. (1973) melaporkan dari hasil penelitian-

nya terhadap tujuh galur ayam petelur, ternyata rataan ke-

butuhan akan protein 17 gram/ekor/hari, sedangkan untuk ayam

dara, kebutuhan protein 14 sampai 15 gram/ekor/hari (Thayer

et dl., 1974). Menurut Creswell (19791, produksi telur dan - - bobot telur akan menurun apabila konsumsi protein yang op-

timal tidak tercapai. Untuk petelur tipe ringan membutuh-

kan protein 16 sampai 18 grarn/ekor/hari untuk mencapai pro-

duksi telur dan bobot telur yang optimal.

Page 13: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Untuk menstirnulasi produksi telur, pertambahan bobot

badan dan besar telur ransum harus mengandung metionin

0.28 persen, sistin 0.25 persen (Leong dan McGinnis, 1952).

Menurut NRC (1977) kebutuhan zat-zat makanan untuk petelur

adalah metionin 0.27 persen, sistin 0.23 persen, lisin 0.6

persen, riboflavin 2.2 mg, Ca 3.25 persen dan P 0.05 per-

sen. Dinyatakannya pula bahwa ayam petelur yang dipeliha-

ra dalam kandang sistem sangkar lebih banyak membutuhkan

Ca dan P daripada sistem serasah.

Kroutrnan (1972) mengemukakan bahwa untuk memenuhi ke-

butuhan produksi telur, ayarn cukup mengkonsurnsi ransum 105

sampai 110 gram/ekor/hari dengan tingkat protein 15 persen.

Bila konsumsi menurun sampai 85 - 90 grarn/ekor/hari, ran-

sum harus mengandung 18 sampai 19 persen protein dengan

tingkat metionin 0.34 sampai 0.36 persen.

Sugandi (1973) dalarn penelitiannya dengan tingkat

energi 2 8 5 0 kkal EM/kg dan protein 18 persen dalam ransum

mendapatkan konsumsi metionin 489.89 mg, sistin 336.36 mg

dan lisin 1161.96 mg. Jensen et e. (1974) mengemukakan

bahwa konsumsi lisin 666 sarnpai 788 mg/ekor/hari cukup me-

rangsang performans yang optimal.

Kebutuhan Calsiurn dan Phosphor

Norris et al. (1934) menyatakan bahwa ransum yang me-

ngandung Ca 1.5 persen tidak cukup menghasilkan produksi

Page 14: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

yang optimal. Untuk mencapai produksi yang diharapkan ke-

butuhan Ca harus ditingkatkan menjadi 2.65 persen, tapi

akhirnya dikatakan pula bahwa kebutuhan Ca cukup 1.8 per-

sen. Menurut Evans et al. (1944), kandungan Ca tiga per-

sen dalam ransum, optimal vntuk pembentukan kerabang yang

baik. Damron dan Harms ('1980) mengemukakan bahwa produk-

si telur lebih baik pada pemberian Ca 3.5 persen daripada

2.5 persen atau enam persen.

~oistert (1960) melaporkan bahwa untuk memperoleh

kualitas kerabang yang optimal, petelur yang dipelihara

dalam kandang sistem sangkar membutuhkan tingkat Ca 2.5

sampai 3.5 persen dalam ransum. Menurut Bergdoll (1968),

petelur yang dikandangkan dalam sistern sangkar, dengan

tingkat produksi telur 80 sampai 90 persen, rnernbutuhkan Ca

lebih kurang 3.75 persen dalam ransum. Untuk petelur yang

dikandangkan dalam sistem serasahmembutuhkan Ca lebib se-

dikit daripada kandang sistem sangkar.

NRC (1971) menyatakan bahwa kebutuhan Ca untuk pete-

lur yang dipelihara pada temperatur 32O C (90°F) yaitu ti-

ga sampai 3.5 persen dalam ransum. Menurut Nesheim et al.

(19791, kebutuhan Ca dalam ransun untuk petelur 3.7 per-

sen, sedangkan menurut NRC (1977) kebutuhan Ca 3.25 persen.

Massengale dan Flatt (1930) menyatakan bahwa kebutuh-

an P untuk petelur' agar memproduksi telur secara optimal

yaitu 0.5 persen. Menurut Miller dan Berse (1934) kebu-

Page 15: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

tuhan P untuk petelur 0.8 persen agar mencapai produksi te-

lur yang optimal. Lebih lanjut NRC (1977) mengemukakan

bahwa kebutuhan P untuk petelur 0.5 persen. North (1972)

melaporkan bahwa kebutuhan Ca dan P pada petelur tipe me-

dium yang berumur 20 sampai 40 minggu berturut-turut tiga

dan 0.6 persen, sedang yang berumur lebih dari 40 minggu

3.25 dan 0.6 persen.

Lubis (1963) mengemukakan bahwa kadar lemak yang op-

timal dalam ransum petelur adalah lima persen. Dernikian

pula North (1972) rnenyatakan untuk ransurn petelur tipe

medium yang dipelihara dalam kandang sistern sangkar, se-

baiknya kandungan lemak dalam ransum 4.61 persen, sedang-

kan ada pendapat lain menyatakan bahwa pemberian lemak

tiga sampai delapan persen dalam ransum masih baik untuk

produksi telur (~chaible, 1970).

Lubis (1963) mengemukakan bahwa serat kasar dalam

ransurn ayam tidak boleh melebihi delapan persen. Menurut

pendapat North (19721, untuk petelur tipe medium yang di-

kandangkan dalarn kandang sistern sangkar kandungan serat

kasar dalam ransum sebaiknya 2.5 persen. Ensminger dan

Olentine (1978) menyatakan bahwa untuk petelur yang mempu-

nyai tingkat produksi antara 67 sampai 77 persen, sebaik-

nya kandungan serat kasar dalam ransum 2.5 persen.

Page 16: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Pengaruh Temperatur

Jull (1951) mengemukakan bahwa ayam memproduksi telur

tertinggi, apabila temperatur lingkungan 10 sampai 15.5OC.

Menurut EL ~ o u s h y dan Morle (1978), suhu yang cocok untuk

petelur yaitu sekitar 10 sampai 2 0 ' C n tetapi suhu ling-

kungan yang paling ideal bagi petelur adalah 15OC. Lebih

lanjut El Boushy dan Morle (1978) melaporkan pula bahwa pro-

duksi telur tertinggi dapat dicapai pada suhu 7.2 sampai

12.E°C, sedangkan efisiensi penggunaan ransum terbaik da-

pat dicapai pada suhu 17 sampai 18OC.

Card (1962) menyatakan bahwa suhu lingkungan yang pa-

ling ideal untuk ayam petelur antara 12.8 sampai 23.g°C.

Menurut North (1972), suhu lingkungan yang baik untuk ayam

petelur adalah 6 5 O F sampai 75- F. Bundy et dl. (1978)

melaporkan bahwa suhu lingkungan yang masih bisa ditolelir

oleh petelur yaitu 4.4 sampai 15.5"C, sedangkan NRC (1977)

mengemukakan bahwa suhu lingkungan yang normal untuk pete-

lur 60 sampai 75°F (16-24-C). Demikian pula Nesheim et

al. (1979) mengatakan bahwa suhu optimal untuk ayam pete- - lur berkisar antara 55 sampai dengan 75OF.

Winter dan Funk (1960) dan McArdle (1972) melaporkan

bahwa untuk menghasilkan produksi telur tertinggi, mem-

butuhkan temperatur lingkungan kurang lebih 55°F. Lebih

lanjut Winter dan Funk (1960) melaporkan bahwa apabila tem-

peratur naik, bobot telur berkurang, kerabang tipis, kon-

Page 17: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

sumsi air minum bertambah, faeces berair dan ayam susah ber-

nafas.

Pengaruh-pengaruh akibat penurunan ternperatur pada ayam

White Leghorn lebih peka daripada ayam petelur New Hamshire

dan Rhode Island Red (Campos et s., 1962). Rogler et s. (1976) berpendapat bahwa semakin naik temperatur lingkung-

an, maka produksi telur berkurang, bobot telur turun, tebal

kerabang berkurang dan berpengaruh pula terhadap Ca dan C02

dalam darah, tetapi sebaliknya apabila temperatur lingkungan

turun sampai 10°F maka produksi telur, tebal kerabang, kon-

sumsi ransum dan bobot badan akan menurun pula, jengger lu-

ka-luka dan berpengaruh terhadap bobot telur dan HU.

Mengenai pengaruh kelembaban udara terhadap produksi te-

lur Card dan Nesheim (1972) melaporkan bahwa apabila kelem-

baban udara terlalu tinggi disertai pula dengan temperatur

tinggi, maka akan menyebabkan pembuangan uap air berlebihan

dari badan dengan jalan "panting" tidak berhasil baik, kare-

na udara sudah jenuh dengan uap air. Keadaan ini akan meru-

pakan cekaman bagi ayam tersebut sehingga produksi telur akan

menurun. Dan dilaporkannya pula bahwa kelembaban yang ting-

gi disebabkan karena ventilasi kandang kurang baik. Nowland

(1978) mengemukakan bahwa kelembaban relatif yang baik untuk

petelur yaitu sekitar 55 sampai 75 persen.

Page 18: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Konsumsi Ransum

Winter dan Funk (1960) melaporkan bahwa konsumsi ran-

sum pada unggas dipengaruhi oleh bangsa ayam, kecepatan

tumbuh serta imbangan enerqi dan protein dalam ransum. De-

mikian pula Shutze (1969) menyatakan bahwa faktor-faktor

yang rnempengaruhi konsumsi ransum yaitu bobot badan, ga-

lur, tingkat produksi, kandungan energi dalam ransurn, tem-

peratur lingkungan dan tipe kandang.

Bolton et al. (1970) mengemukakan bahwa ayam tipe me-

dium mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan ayam

tipe ringan, ini disebabkan ayam tipe medium memerlu-

kan energi dan protein lebih banyak untuk hidup pokoknya.

Pengaruh tingkat energi terhadap konsumsi ransum ada

beberapa pendapat, MacIntyre dan Aitken (1957) melapor-

kan bahwa konsumsi ransum per ekor per hari dan konsumsi

ransum untuk menghasilkan satu lusin telur pada ransum yanq

berenergi tinggi nyata lebih rendah daripada ransum yang

berenergi rendah. Tiap kenaikan energi neto sebesar 100

kkal/kg ransum, konsumsi ransum berkurang 11 persen. Me-

nurut Hadipurnomo (19731, perbedaan tingkat energi 400 kkal

EM/kg yaitu dari 2 650 sampai dengan 3 0 5 0 kkal EM/kg ran-

sum dengan protein 15 persen, tidak nyata mempengaruhi kon-

sumsi ransum. Carew et al. (1980) rnenyatakan bahwa makin

tinggi tingkat energi dalam ransum, konsumsi ransum makin

berkurang.

Page 19: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

MacIntyre dan Aitken (1957) mengemukakan bahwa dengan

meningkatnya kadar protein dalam ransum, konsumsi ransum

sangat nyata meningkat. Berbeda dengan pendapat Dewan dan

Gleaves (1969) yang menyatakan bahwa tingkat protein yang

berbeda dalam ransum tidak nyata mempengaruhi jumlah ran-

sum yang dikonsumsi. Demikian pula Hamilton (1978) mela-

porkan bahwa pernberian ransum dengan tingkat protein yang

berbeda dua persen (dari 15-17%) pada ayam petelur White

Leghorn tidak nyata berpengaruh terhadap konsumsi ransum.

Ivy dan Gleaves (1976) melaporkan bahwa pada tingkat

produksi telur 70.5 persen, ayam mengkonsumsi ransum 128

gram/ekor/hari. Pada ayam White Leghorn pada tingkat pro-

duksi telur 75 persen, konsumsi ransum 105 gram/ekor/hari

(Byerly et al., 1980). Menurut NRC (19771, konsumsi ran-

sum 108 gram/ekor/hari untuk ayam dengan bobot badan dud

kilogram dan produksi telur 70 persen. Demikian pula

North (1972), menyatakan bahwa konsumsi ransum untuk ayam

tipe medium 120 gram/ekor/hari.

Costa (1978) mengemukakan bahwa ayam tipe medium dan

tipe berat tidak bisa menyesuaikan antara konsumsi ransum

dengan kebutuhan. Konsumsi ransum pada kedua tipe terse-

but cenderung berlebihan terutama pada ayam umur lebih

dari 40 minggu. Wahju (1978) menyatakan bahwa konsumsi

ransum untuk petelur tipe medium 120 sampai 150 grarn/ekor/

hari. Demikian pula Ruhyat (1982) dari hasil penelitian-

Page 20: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

nya melaporkan bahwa konsumsi ransum untuk galur Shaver

120'.4 gram, sedangkan galur Super-Harco 122.29 gram/ekor/

hari .

Konsumsi Air Minum

Heywang (1941) menyatakan bahwa banyaknya air yang

diperlukan oleh seekor ayam dipengaruhi oleh susunan ran-

sum, temperatur lingkungan, tingkat produksi telur, bobot

tubuh dan umur. Hadipurnomo (1973) mengemukakan bahwa

naiknya tingkat energi 2 6 5 0 sampai 3050 kkal EM/kg ransum

tidak nyata berpengaruh terhadap k~nsumsi air minum.

Sugandi (1973) menyatakan bahwa dengan ransum yang mengan-

dung energi berkisar antara 2 650 sampai 3 050 kkal EM/kgr

konsumsi air minum akan menurun. Ruhyat (1982) melaporkan

bahwa konsumsi air minum pada tingkat energi 2850kkal EM/

kg ransum nyata (Pc0.05) lebih banyak daripada tingkat

enerqi 2 6 5 0 kkal EM/kg ransum.

Sugandi (1973) melaporkan bahwa pada petelur White

Leghorn yang dipelihara dalam kandang sistem sangkar, ter-

nyata konsumsi air minum pada pemberian ransum dengan ting-

kat protein 10 persen lebih banyak daripada pada pemberian

ransum dengan tingkat protein 15 persen.

Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi air minum ada-

lah kadar garam dalam ransum. Kare dan Biely (1948) me-

laporkan bahwa apabila kandungan garam dalam ransum menca-

Page 21: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

pai 5.18 persen, maka ayam akan mati. Menurut Heuser (1955),

petelur yang diberi ransum dengan kadar garam 0.5 sampai 1.0

persen akan menghasilkan pertumbuhan, efisiensi penggunaan

makanan dan produksi telur yang lebih baik daripada ransum

tanpa garam. Demikian pula Winter dan Funk (1960) menyata-

kan bahwa kadar garam yang optimal dalam ransum adalah 0.5

sampai 1.0 persen. Phelp (1969) berpendapat bahwa petelur

membutuhkan garam dalam ransumnya tetapi jangan lebih dari

0.25 persen.

Pengaruh temperatur lingkungan terhadap konsumsi ran-

sum Wilson (1948) mengemukakan bahwa perbandingan banyaknya

konsumsi ransum dengan konsumsi air minum, pada petelur ya-

itu pada temperatur 65OF = 1 : 2, sedangkan pada temperatur

95OF = 1 : 4.7. Fox (1951) melaporkan bahwa pada keadaan

cuaca panas ayam White Leghorn lebih banyak minum daripada

ayam Rhode Island Red dan New Hamshire.

Petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan

2SoC, maka konsumsi air minum meningkat, bobot telur dan

kualitas telur menurun (Hvidsten dan Haugen, 1977). Lebih

jauh Rahman (1979) melaporkan bahwa temperatur air yang

diminum juga mempengaruhi banyaknya konsumsi air. Dila-

porkan pula bahwa temperatur air minum yang ideal yaitu

antara 10 sampai 13-C. Bila temperaturnya antara 32 sam-

pai 35°C maka konsumsi air minum berkurang setengahnya.

Page 22: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Mengenai pengaruh tingkat produksi telur terhadap kon-

sumsi air minum, Jull (1949) menyatakan bahwa petelur dengan

tingkat produksi 180 sampai 240 butir mengkonsumsi air se-

banyak 130 sampai 180 lb. Lebih lanjut dikatakannya bahwa

kandungan air pada bagian-bagian sebutir telur adalah seba-

gai berikut : sebutir telur dengan kerabangnya mengandung

air 65.6 persen, kuning telur 48.7 persen, kuning dan putih

telur 73.6 persen, sedangkan putih telurnya saja mengandung

87.9 persen. Lipschitz et al. (1967) melaporkan bahwa kon-

sumsi air minum dipengaruhi pula oleh perbedaan seks. Ayam

betina yang sedang berproduksi mengkonsumsi air sebanyak 1.7

kali ayam jantan.

Mongin dan Sauveur (1974) dan Howard (1975) mengemuka-

kan bahwa apabila produksi telur meningkat maka konsumsi air

pun meningkat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ayam yang se-

dang mengalami proses "oviposition" membutuhkan air minum

sebanyak 50 cc per jam dan proses mengsekresi albumen mem-

butuhkan 37 cc per jam. Demikian pula Howard (1975) menya-

takan bahwa konsumsi air minum pada petelur yang sedan9 ber-

produksi sebanyak 3 0 5 . c ~ per hari, sedangkan yang tidak

berproduksi 146 cc per hari.

Heywang (1941) melaporkan bahwa konsumsi air minum me-

ningkat dengan bertambahnya bobot badan ayam tersebut. De-

mikian pula Hamilton (1978) dan Doran et al. (1980) menya-

takan bahwa galur yang berbeda dalam ha1 ini berbeda dalam

Page 23: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

bobot badan, tingkat produksi telur dan bobot telur, maka

konsumsi air minumnya juga berbeda. Qureshi (1980) juga

menyatakan bahwa banyaknya konsumsi air dipengaruhi oleh

galur . Medway dan Kare (1959) melaporkan bahwa konsumsi air

minum meningkat dengan bertambahnya umur ayam tersebut.

Menurut Ewing (1963), konsumsi air minum untuk petelur ber-

umur 32 minggu sebanyak 3.6 ml/gram makanan yang dikonsum-

si,

Phelp (1974) melaporkan bahwa ayam yang dikandangkan

dalam sistem sangkar lebih banyak rnengkonsumsi air daripada

kandang sistem serasah. Bentuk dan ukuran tempat air minum

mempengaruhi konsumsi air minum. Bentuk tempat air minum

yang paling coco,k untuk petelur ialah bentuk U atau V de-

rigan ukuran tinggi tiga sentimeter dan lebar lima sampai tu-

juh sentimeter (Rahman, 1979).

Konversi Ransum

Tentang konversi ransum Guenther et &. (1972) menge-

mukakan bahwa tingkat energi dalam ransum memperbaiki kon-

versi ransum. Doran et al. (1980) juga melaporkan bahwa

kenaikan tingkat energi dalam ransum dari 2 7 7 3 sampai

3 013 kkal EM/kgr pada tingkat protein 15 persen akan mem-

perbaiki konversi ransum dari 2.81 menjadi 2.71. Ruhyat

(1982) melaporkan bahwa pemberian ransum dengan tingkat

Page 24: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

energi 2650 kkal EM/kg dan 2850 kkal EM/kg tidak berpenga-

ruh nyata terhadap konversi ransum.

Karunajeewa (1972) menyatakan bahwa tingkat protein

dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi

penggunaan ransum. Dinyatakannya pula bahwa tingkat pro-

tein dalam ransum yang paling baik yaitu 15 persen. Demi-

kian pula Reid (1976) melaporkan bahwa kenaikan tingkatpro-

tein dari 13.5 sampai 19.5 persen tidak nyata mempengaruhi

konversi ransum.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

Sugandi et al. (1975) yang rnenyatakan bahwa konversi ran-

sum nyata lebih baik pada ransum dengan tingkat protein 18

persen daripada 15 persen dan ransum yang paling efisien

ialah pada tingkat protein 18 persen dengan energi 2850 kkal

EM/kg ransum. Hamilton (1978) juga mengemukakan bahwa pada

pemberian ransum dengan tingkat protein 15 dan 17 persen

serta tingkat energi sama, pada ayam White Leghorn sangat

nyata (P<O.Ol) mempengaruhi konversi ransum.

Kodra et al. (1968) dan Aitken et &. (1973) mela-

porkan bahwa galur nyata mempengaruhi konversi ransum. Dan

dilaporkannya pula bahwa galur yang mempunyai bobot badan

besar konversi ransumnya cenderung lebih jelek daripada yang

berbobot badan kecil. Ousterhout (1981) dari hasil peneli-

tiannya mengemukakan bahwa dari m p a t .macam galur White

Page 25: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Leghorn, terbukti galur nyata (Pc0.05) mempengaruhi konver-

si ransum.

Bobot Telur

Mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bo-

bot telur terdapat beberapa pendapat, diantaranya Romanoff

dan Romanoff (1963) dan North (1972)nengemukakan bahwa fak-

tor-faktor yang mempengaruhi bobot telur adalah sifat gene-

tik, umur, bangsa, bobot badan, tingkat produksi dan tempe-

ratur lingkungan. Carew et al. (1976) menyatakan bahwa

tingkat energi dalam ransum tidak nyata mempengaruhi bobot

telur pada ayam tipe medium. Ruhyat (1982) melaporkan bah-

wa pada galur Shaver dengan pemberian ransum pada tingkat

energi 2 850 kkal EM/kg ransum nyata (P < 0.05) memproduksi

telur lebih berat daripada tingkat energi 2 650 kkal EM/kg

ransum. Pada galur Super-Harco perbedaan tingkat energi

dalam ransum tidak nyata mempengaruhi bobot telur.

Aitken et al. (1972) menyatakan bahwa dengan menaikkan

tingkat protein dalam ransum dari 14.5 menjadi 17 persen,

akan mengakibatkan peningkatan produksi telur sebanyak 2.3

persen dan bobot telur 0.7 gram. Demikian pula Oluyemi dan

Harms (1978) menyatakan bahwa dengan menurunnya tingkat

energi dan protein dalam ransum maka bobot telur akan me-

nurun pula. Menurut Creswell (19791, apabila konsumsi pro-

Page 26: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

tein tidak mencapai optimal yaitu 16 sampai 18 gram/ekor/

hari, maka produksi dan bobot telur akan menurun.

Thornton et al, (1957) mengemukakan bahwa pada tingkat

protein yang berbeda dari 11 sampai 17 persen tidak berpe-

ngaruh nyata. Dikemukakannya pula bahwa bila lisin ditam-

bahkan ke dalam ransum yang mengandung 17 persen protein dan

ransurn tersebut sudah ditambah metionin, maka bobot telur

akan naik, tetapi bila penambahan lisin tersebut tanpa pe-

.nambahan metionin, maka bobot telur akan menurun. Hamilton

(1978) melaporkan bahwa dengan meningkatnya pemberian pro-

tein dalam ransurn dari 15 sampai 17 persen, tidak berpe-

ngaruh nyata terhadap bobot telur, tetapi bobot telur cen-

derung naik dengan penambahan tingkat protein.

Pepper et al. (1962) mengemukakan bahwa apabila dalam

ransum ayam petelur ditambahkan metionin maka bobot telur

cenderung meningkat, tetapi penambahan glisin ke dalam

ransum petelur, akan mengurangi bobot telur dan berkurang-

nya persentase zat padat dalam albumen (March dan Biely,

1963: . Biely dan March (1964) melaporkan bahwa .bobot telur

yang dihasilkan dari ransum dengan tingkat protein 16 per-

sen ternyata lebih besar daripada ransum dengan tingkat

protein 14 persen. Dilaporkannya pula apabila ransum de-

ngan tingkat 14 persen ditambah dengan lisin dan metionin

akan memproduksi telur lebih besar daripada kalau penambah-

an asam-asam amino tersebut secara terpisah. Keseimbangan

Page 27: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

asam-asam amino dari konsumsi protein lebih besar pengaruh-

nya terhadap bobot telur daripada banyaknya konsumsi pro-

tein yang diperlukan untuk berproduksi secara optimal, te-

tapi terhadap albumen dan selaput kulit telur tidak berpe-

ngaruh nyata.

Griffith et s. (1969) mengemukakan bahwa penambahan

choline dan vitamin B dalam ransum nyata meningkatkan bo- 12

bot telur. Demikian pula dengan penambahan vitamin C dalam

ransun1 akan meningkatkan bobot telur dan produksi telur.

Ousterhout (1980) melaporkan bahwa tingkat Ca dalam ransum

petelur mempengaruhi bobot telur yang dihasilkannya, makin

tinggi tingkat Ca dalam ransum, makin rendah bobot telurnya.

Lebih lanjut dinyatakannya bahwa dengan meningkatnya ting-

kat Ca satu persen dalam ransum, akan mengurangi bobot te-

lur sebanyak hanpir 0.4 gram.

MacIntyre dan Aitken (1957) rnenyatakan bahwa rataan

bobot telur ayam Plymouth Rock dan White Leghorn adalah

62 gram dan 58 gram. Bobot telur dari satu galur berva-

riasi sesuai dengan bobot badannya. Ayam-ayam yang mem-

purlyai .bobot badan ringan cenderung merlghasilkan telur

yang kecil (Bolton et dl., 1970). Lebih lanjut Aitken

et al. (1973) rnengemukakan bahwa bobot telur juga dipenga- - - ruhi oleh galur ayam. Togatorop et al. (1977) dari hasil

penelitiannya melaporkan bahwa rataan bobot telur galur

Page 28: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Enya nyata lebih berat daripada galur Kimber, Hyline dan

Babcock.

Cormon dan Huston (1965) menyatakan bahwa rataan bo-

bot telur yang dihasilkan pada temperatur lingkungan 19' C

lebih berat enam gram daripada rataan bobot telur yang di-

hasilkan pada temperatur 30°C. Demikian pula Lillie

al. (1976) mengemukakan bahwa bobot telur dipengaruhi oleh - temperatur lingkungan. Bila temperatur turun, bobot telur

cenderung rneningkat. Meningkatnya temperatur lingkungan

dari 10°C menjadi 28°C) akan menyebabkan penurunan bobot

telur sebesar 0.20 persen dan produksi telur berkurang se-

banyak 0.10 persen.

Menurut Bruckner (1936), terjadinya penurunan bobot

telur dimulai pada waktu temperatur mencapai 65°F (18.33"C).

Lebih lanjut El Boushy dan Morle (1978) melaporkan bahwa

bobot telur tertinggi dicapai pada temperatur 7.2' C sam-

pai 12.8" C. Berbeda dengan pendapat Grover et al. (1980)

menyatakan bahwa bobot telur tidak berbeda nyata antara te-

lur-telur yang dihasilkan pada temperatur lingkungan 16.75OC

dan 22.50°C.

May dan Stadelman (1959) mengemukakan bahwa umur bukan

saja berpengaruh terhadap bobot telur tetapi juga terhadap

bagian-bagian dari telur dan kadar protein telur. Demikian

pula Romanoff dan Romanoff (1963) dan Carew et al. (1976)

Page 29: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

mengelnukakan bahwa bobot telur rnakin meningkat dengan ber-,

tambahnya umur ayam.

Tebal Kerabang

Faktor-faktor yang mempengaruhi tebal kerabang menu-

rut Winter dan Funk (1960) dan Jull (19511, adalah umur,

suhu lingkungan, tingkat produksi, penyakit, sifat gene-

tik dan imbangan energi dan protein dalam ransum. Roma-

noff dan Romanoff (1963) rnenyatakan pula bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi tebal kerabang adalah sifat gene-

tik, keadaan iklim dan makanan. Foster dan Weatherup

(1979) mengernukakan bahwa ada hubungan positif antara bo-

bot jenis dengan tebal kerabang, sehingga bobot jenis da-

pat mengestimasi tebal kerabang tanpa harus memecahkan

telur.

Benyamin et al. (19601, melaporkan bahwa tebal kera-

bang yang optimal ialah 0.36 mm. Lebih lanjut Mountney

(1976) rnengemukakan bahwa tebal kerabang minimum yaitu

0.33 mm, apabila kurang dari ketebalan tersebut maka telur

akan rnudah pecah, sehingga rnenyulitkan dalam pengangkutan.

Belyavin dan Boorman (1980) rnengatakan bahwa tebal kera-

bang dengan lapisan cuticula adalah 33.9 f 2.013 rnm x

dan tanpa lapisan cuticula 32.4 2 1.804 rnm x

Menurut Sturkie dan Polin (19541, Ca yang dipakai un-

tuk pembentukan kerabang, sebagian berasal dari makanan yang

Page 30: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

telah dicerna dan sebagian lagi diambil dari persediaan Ca

dalam tubuh. Ca dirnobilisasi oleh hormon estrogen dan ke-

lenjar parathyroid dengan bantuan enzim carbonic anhydrase.

NRC (1971) juga mengemukakan apabila Ca tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan pembentukan kerabang, maka Ca diambil

dari tubuh yang disimpan dalam tulang. Proses penbentukan

kerabang dan mobilisasi Ca biasanya terjadi pada malam

hari, sekitar pukul 22.00 sampai pukul 06.00, den~ikian me-

nurut Mongin dan Sauveur (1974).

Card (1962) menyatakan bahwa kerabang terdiri dari 93

hingga 9 8 persen CaC03. Untuk menghasilkan 300 butir te-

lur per tahun bagi petelur dengan bobot badan 2.27 kilo-

gram, maka rnembutuhkan CaC03 sebanyak 1.7 kilogram atau

0.68 kilogram Ca. Lebih jauh Romanoff dan Romanoff (1963)

melaporkan bahwa kandungan mineral yang terdapat dalam ke-

rabang ialah kalsium 2.21 gram, magnesium, 0.02 gram dan

phospor 0.02 gram. Menurut Bundy et al. (1975), kebutuhan

mineral dalam ransum petelur empat kilogram untuk produksi

telur sebanyak 200 butir per tahun. Kerabang yang normal

menurut Sturkie (1976) mengandung 1.6 sampai 2.4 gram Ca.

Tentang tingkat Ca dan P dalam ransum petelur ada be-

berapa pendapat, yaitu : Heuser (1955) menyatakan bah-

wa kebutuhan kalsiun dan phospor adalah 1.65 persen dan

0.6 persen dalam bentuk anorganik, sedangkan P dalam ben-

tuk tersedia 0.4 sampai 0.6 persen sudah cukup untuk mem-

Page 31: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

bentuk tebal kerabang yang normal. Tingkat P dan Ca dalam

darah meningkat, masing-masing dari 6.46 hingga 6.82 mg

persen dan 34.3 hingga 34.6 mg persen selama tiga sampai

lima jam. Menurut Kubota et al. (1962) kebutuhan Ca dan P

masing-masing sebanyak 2.125 dan 0.613 persen, sedangkan

menurut Ewing (1963) kebutuhan Ca 2.25 persen dan P 0.6

persen. NRC (1977) melaporkan bahwa kebutuhan Ca dan P

yaitu 2.75 dan 0.6 persen.

Peterson et al. (1960) dari hasil penelitiannya me-

nyimpulkan bahwa untuk menjamin kualitas kerabang yang ba-

ik, rnembutuhkan Ca 3.75 persen dalam ransun, apabila ayam

tersebut dipelihara pada temperatur lingkungan 70°F. Apa-

bila temperatur naik maka dianjurkan tingkat Ca dalam ran-

sum dinaikkan menjadi 4.5 persen. Hal ini berbeda dengan

pendapat Moistert (1960) yang menyatakan bahwa tingkat Ca

dalam ransum petelur maksimum 3.75 persen, sebab bila di-

berikan lebih maka konsumsi ransum akan menurun.

Farreel (1979) mengemukakan bahwa- bila pada suhu ling-

kungan tinggi, konsumsi Ca lebih kurang 2.5 gram/ekor/hari,

maka akan menghasilkan kerabang yang tipis. Untuk mengha-

silkan kerabang yang normal konsumsi Ca sebaiknya 3.25 gram/

ekor/hari. Pada suhu lingkungan tinggil penquapan mening-

kat, sehingga akan terjadi reduksi H C ~ ~ dan C02 dalam da-

rah. Bila H C ~ ~ dalam darah rendah, akibatnya CaC03 yang

terbentuk menjadi lebih sedikit. Lebih lanjut Deaton et al.

Page 32: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

(1981) melaporkan bahwa apabila petelur dipelihara pada

suhu lingkungan 15.6 hingga 35.0°C maka tebal kerabang yang

dihasilkan yaitu 0.323 mm dan pada suhu 26.7 hingga 35.O0C,

tebal kerabang 0.314 mm.

Bundy et al, (1975) rnenyatakan bahwa kebutuhan vita-

min D3 yang optimal dalam ransum adalah 800 IU, bila ku-

rang dari jumlah tersebut, maka telur yang dihasilkan akan

berkerabang tipis. Menurut Roland (1978), telur yang di-

keluarkan pada sore hari berkerabang lebih tebal daripada

telur yang dikeluarkan pada pagi hari. Lebih lanjut dike-

mukakan bahwa makin tinggi interval waktu ditelurkan, maka

persentase kerabang makin tinggi. Shen et al. (1981) me-

laporkan bahwa pada ransum yang mengalami defisiensi ter-

hadap vitamin D3 maka produksi telur pun berkurang kurang

lebih 30 persen.

Mengenai pengaruh warna kerabang terhadap tebal kera-

bang menurut Stadelman dan Cotteril (1973), hubungan anta-

ra warna kulit dengan kualitas kerabang tidak nyata. Akan

tetapi Grover et &. (1980) melaporkan bahwa hubungan an-

tara warna kulit telur dan kualitas kerabang sangat nyata.

Menurut Johnson dan Merritt (1955), kualitas telur ya-

itu menilai tinggi putih telur, tebal kerabang dan ada atau

tidak adanya bintik darah atau bintik daging dalam telur,

yang dapat diperbaiki melalui sifat kebakaan. May dan Sta-

delman (1959) menyatakan bahwa galur berpengaruh nyatater-

Page 33: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

hadap bobot telur, bobot kerabang, bobot isi telur, bobot

air dan bobot protein dalam telur, Demikian pula Ouster-

hout (1981) melaporkan bahwa galur berpengaruh nyata ter-

hadap produksi telur, efisiensi penggunaan ransum, bobot

telur, kualitas kerabang dan mortalitas.

Parnell (1957) dan Romanoff dan Romanoff (1963) me-

ngemukakan bahwa makin berat bobot ayam, telur yang diha-

silkan semakin berat dan kerbangnya makin tebal. Ada lcore-

lasi positif antara bobot badan dan bobot kerabang (Amerr

1965). Orr dan Flitcher (1973) juga menyatakan, komposisi

fisik telur tergantung pada galur, besar telur, musim dan

umur ayam. Antara besar ayam, bobot telur dan tebal kera-

bang mempunyai korelasi positif.

Rodda (1972) menyatakan bahwa pengaruh urnur ayam ter-

hadap ketebalan kerabang lebih besar daripada pengaruh ga-

lur. Rolland (1979) melaporkan bahwa makin meningkat umur

ayam, makin rendah kualitas kerabang yang disebabkan oleh:

1. Kemampuan ayam untuk mengabsorpsi Ca berkurang.

2. Persediaan Ca dalam tubuh berkurang.

3. Pengaruh genetik untuk meningkatkan produksi telur le-

bih cepat daripada kemampuan ayam tersebut untuk mem-

pertahankan kualitas kerabang.

Pengaruh tipe kandang terhadap kualitas kerabang dan

putih telur tidak nyata (North, 1972). Lebih lanjut dike-

rnukakannya bahwa pada petelur yang dikandangkan pada sis-

Page 34: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

tern sangkar maka produksi telur yang dihasilkan lebih ren-

dah, mortalitas lebih rendah, telur lebih besar dan persen-

tase bintik darah lebih rendah. Penyakit ND dan "Infectious

Bronchitis" menurunkan kualitas kerabang (Anygorodi, 1979).

Kualitas Telur

Mengenai penelitian kualitas telur berdasarkan metode

HU Wesley dan Stadelman (1959) menyatakan bahwa cara ini

adalah cara penilaian kualit-as putih telur yang terbaik.

Nilai HU dapat dicari denyan memakai rumus yang dibuat oleh

Haough (1937), dikutip oleh Nesheim et al. (1979) sebagai

berikut :

H U = 100 log ( H - VG (30 w ~ ' ~ ~ - 100) + 1.9) 100

H = tinggi putih telur kental dalam mm.

G = 32.2

W = bobot telur dalam gram

Mengenai pengaruh protein terhadap HU, Harms dan

Douglas (1960) menyatakan bahwa pada pernberian tingkat pro-

tein 14.7 persen dalam ransum maka produksi telur rendah

dan telur yang dihasilkan mempunyai nilai HU tinggi. Pada

tingkat protein 16.7 persen dalam ransum terjadi kebalikan-

nya. Demikian pula Miller dan Whittet (19621, Deaton dan

Quisenberry (1965) dan Sugandi et dl. (1975) melaporkan

bahwa nilai HU dipengaruhi oleh tingkat protein dalam ran-

sum.

Page 35: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Pengaruh tingkat energi dalam ransum terhadap HU, add

beberapa pendapat. Kodra et dl. (1968) mengemukakan bahwa

pada ransum yang mengandung lemak tinggi nyata mempengaruhi

tebal kerabang, tinggi albumen, tinggi kuning telur, bobot

telur dan HU. Akan tetapi menurut Karunajeewa (1972), kua-

litas albumen dan berat jenis telur tidak dipengaruhi oleh

tingkat energi atau protein dalam ransum, melainkan dipenga-

ruhi oleh galur. Dernikian pula Sugandi et al. (1975) dan

Doran et al. (1980) menyatakan bahwa HU tidak dipengaruhi

oleh tingkat energi dalam ransum. Carew et al. (1976) me-

laporkan juga bahwa tingkat energi dalam ransum tidak rnern-

pengaruhi HU, bobot telur, tebal kerabang, bintik darah dan

bintik daging dalam telur.

Mengenai pengaruh pemberian P dalam ransum petelur

terhadap nilai HU, Harms dan Douglas (1960), mengemukakan

bahwa penambahan pemberian P nyata menaikkan HU, tetapi me-

nurunkan produksi telur. Pengurangan pemberian Ca dalam

ransum dari 3.2 persen rnenjadi 2.2 persen pada petelur da-

lam periode produksi, akan nenyebabkan menurunnya tingkat

produksi telur, konsurnsi ransum, efisiensi penggunaan ran-

sum dan bobot jenis telur. Akibat lain adalah mortalitas

dan nilai HU meningkat serta terdapatnya bintik darah da-

lam telur (Hamilton dan Cipera, 1981).

Noles dan Tindell (1967) menyatakan bahwa tidak ada hu-

bungan secara langsung antara HU dengan laju proauksi telur.

Page 36: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Menurut Phelps (1974), defisiensi vitamin A dalam ransum

menyebabkan adanya peningkatan bintik darah dalam telur.Pe-

ningkatan kadar vitamin C dalam ransum sebanyak tiga sam-

pai 10 gram, bisa memperbaiki nilai HU dari 76.77 (sebagai

kontrol) menjadi 80.95 sampai 82.10. Kandungan Fe, Mn,

Zink dan Selenium dalam ransum nyata memperbaiki nilai HU

(Jensen et al., 1978)

Johnson dan Merritt (1955) melaporkan bahwa sifat he-

ritabilitas HU adalah antara 17 hingga 55.persen. Demiki-

an pula Winter dan Funk (1960) mengemukakan bahwa kualitas

telur dipengaruhi oleh galur, makanan dan penyakit. Menu-

rut Rawi dan Amer (1972), nilai HU pada ayam New Hampshire

91.7, pada White Leghorn 89.1 dan pada ayam lokal di Iraq

85.5. Lebih jauh Sunarlim et al. (1980) menyatakan bahwa

pemberian makanan terbatas untuk petelur akan menurunkan

produksi telur dan menaikkan nilai HU.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai HU adalah

umur, musim dan sistem pengandangan, Sturkie dan Polin

(1954) mengemukakan bahwa penurunan nilai HU disebabkan ka-

rena bertambahnya umur ayam yang menghasilkan telur terse-

but. Hal ini terjadi karena penurunan kemampuan fungsi fi-

siologis alat reproduksi. Cumingham et al. (1960) menyata-

kan, umur dan musim berpengaruh terhadap nilai HU;.makin

tua ayam, nilai HU akan menurun.

Page 37: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

Menurut Pratas et &. (1976), nilai HU pada kandang

sistem sangkar lebih tinggi daripada sistem serasah. Su-

gandi et al. (1975) melaporkan bahwa nilai HU dari telur

yang dihasilkan di daerah tropis lebih rendah daripada dae-

rah iklim sedang dan dilaporkannya pula bahwa tebal kera-

bang dan nilai HU pada kandang sistern sangkar lebih baik

daripada sistem serasah.

Mortalitas

Mengenai pengaruh galur terhadap mortalitas, Karuna-

jeewa (1972) menyatakan bahwa mortalitas d i antara galur-

galur tidak berbeda nyata, tetapi galur B cenderung lebih

banyak menderita Lymphoid Leucosis sebanyak 11.3 persen se-

dangkan galur lain hanya 6.3 persen. Lebih lanjut dinya-

takannya bahwa mortalitas sangat nyata (P<0.01) lebih ba-

nyak pada ayam yang diberi ransum dengan tingkat energime-

dium daripada energi tinggi. ~ e m s t i a n n ~ a sebanyak 12.5

persen disebabkan karena menderita Lymphoid Leucosis.

Menurut Sugandi (1973) pada petelur tipe ringan pem-

berian ransum dengan tingkat energi 2650 kkal EM/kg dan

2850 kkal EM/kg tidak memperlihatkan pengaruh nyata ter-

hadap mortalitas. Berbeda dengan hasil penelitian Ruhyat

(1982) yang melaporkan bahwa mortalitas pada galur Super-

Harco nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada galur Shaver dan

dilaporkannya pula bahwa mortalitas pada ayam yang diberi

Page 38: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal EM/kg nyata (P<0.05)

lebih tinggi daripada tingkat energi 2650 kkal EM/kg.

Pada ayam Barred Plymounth Rock walaupun diberiransum

dengan kadar energi tinggi maupun protein tinggi tidak nya-

ta mempengaruhi mortalitas (MacIntyre dan Aitken, 1957).

North (1972) mengemukakan bahwa angka mortalitas sampai 15

persen per tahun untuk petelur masih dianggap cukup baik.

Menurut Fuller dan Chaney (1974), pada petelur yang diberi

ransum dengan kandungan lemak tinggi, maka angka rnortali-

tasnya tinggi pula. Mortalitas akibat karena kanibal dan

prolapsus nyata lebih tinggi pada ransum yang mengandung

protein tinggi dan energi rendah pada ayam White Leghorn.

Aspek Ekonomi

Sugandi (1973) melaporkan bahwa ransum dengan tingkat

protein 1 5 persen lebih murah daripada tingkat protein 18

persen, pada semua tingkat energi yaitu 2 650, 2 8 5 0 dan 2050

kkal EM/kg ransum. "Income over feed cost" baik berdasar-

kan perhitungan produksi telur "hen day" maupun produksi

telur "hen-housed'' lebih menguntungkan pada ransum yang

mengandung protein 18 persen daripada protein 15 persen. Le-

bih lanjut dilaporkannya pula bahwa pada petelur tipe ri-

ngan yang dipelihara dalam kandang sistem serasah, nilai

"income over feed cost'' tertinggi per ekor per tahun yaitu

dari ransum yang mengandung energi 2 8 5 0 kkal EM/kg dengan

Page 39: Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap … · tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur

protein 18 persen baik berdasarkan perhitungan produksi

telur "hen-day" maupun "hen-housed".